bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.ump.ac.id/4430/2/devi kurnia bab i.pdfmenjadi warga...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan dasar di Indonesia merupakan pondasi bagi jenjang
pendidikan selanjutnya haruslah berperan dalam membentuk suatu pondasi yang
kokoh berkaitan dengan watak serta kepribadian anak khususnya peserta didik.
Namun apabila pondasi dalam meletakkan dasar-dasar pendidikan yang
berdampak pada pembentukan watak serta kepribadian anak tidak kuat, nantinya
anak akan mudah terpengaruh dengan hal-hal negatif. Pengarahan dari lingkungan
terhadap perilaku anak yang berjalan dari waktu ke waktu secara terus-menerus
tentu akan membentuk kepribadian anak. Lingkungan pendidikan dapat dikatakan
berhasil jika lingkungan pendidikan tersebut mampu merubah tingkah laku anak
baik dari segi kognitif, psikomotorik, hingga afektif anak ke arah yang lebih baik
(Ahmadi, 2007).
Sekolah merupakan lingkungan kedua dimana anak berinteraksi dengan
warga sekolah (kepala sekolah, guru-guru, karyawan sekolah, dan siswa lain) dan
mengembangkan kemampuannya. Perlu diketahui bahwa interaksi yang dilakukan
oleh anak di sekolah mengandung muatan nilai serta aspek-aspek sosiomoral.
Proses interaksi tersebut tidak hanya berkenaan dengan pendidikan kognisi anak
melainkan berkenaan dengan perkembangan aspek-aspek pribadi lainnya. Sekolah
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
2
juga bertujuan untuk memfasilitasi segala sesuatu yang berkaitan dengan proses
perkembangan siswa agar menjadi pribadi yang sejalan dengan norma-norma
yang berlaku di masyarakat. Melalui sekolah, siswa dipersiapkan menjadi seorang
pribadi yang memiliki kepribadian yang baik. Siswa tidak hanya didik untuk
menjadi warga sekolah yang baik tetapi juga menjadi warga masyarakat yang
baik pula (Darwis, 2006).
Menurut Ahmadi & Uhbiyati (2007), pendidikan harus mempersiapkan
siswa agar dapat hidup berdampingan secara damai dengan orang lain di
sekitarnya. Pendidikan mempunyai tugas untuk membentuk perilaku serta watak
pada anak agar kelak dapat menyesuaikan diri pada lingkungan hidupnya.Tentu
saja, sekolah tidak hanya menjadi pemeran tunggal didalam pembentukan
perilaku dan kepribadian anak tetapi harus berkolaborasi dengan lingkungan
rumah dan masyarakat agar lebih optimal.
Akhir-akhir ini kasus kekerasan di sekolah juga semakin marak ditemui
baik di media cetak maupun media elektronik. Bahkan kekerasan yang
merupakan bentuk perilaku agresif ini telah mengarah kepada tindak kriminal.
Lebih parahnya, pelakunya adalah seorang anak seusia sekolah dasar. Kekerasan
merupakan suatu hal yang paling banyak ditakuti oleh manusia. Baik kekerasan
langsung maupun tidak langsung, baik kekerasan verbal maupun non verbal.
Kekerasan bisa terjadi dimana saja, di rumah, di lingkungan kerja, bahkan di
sekolah sekalipun. Menurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
3
kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah
praktik kekuasaan. Bentuk kekerasan yang paling sering terjadi di sekolah adalah
bullying (Martono, 2012).
Kasus bullying di Indonesia sudah merajalela di sekolah-sekolah. Baik di
tingkat sekolah dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Menurut Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), saat ini kasus bullying menduduki
peringkat teratas pengaduan masyarakat. Periode 2011 hingga Agustus 2014,
KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu sekitar 25%
dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus. Bullying yang
disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah, mengalahkan tawuran pelajar,
diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pungutan liar (KPAI, 2014).
Bullying merupakan istilah yang asing bagi kebanyakan masyarakat
Indonesia, walaupun fenomena ini telah berlangsung lama dan terjadi di berbagai
segi kehidupan termasuk dunia pendidikan. Belum ada penelitian formal yang
mengukur pemahaman murid terhadap istilah bullying di Indonesia (Soedjatmiko,
2013). Bullying merupakan fenomena yang tersebar di seluruh dunia. Prevalensi
bullying diperkirakan 8 hingga 50% di beberapa negara Asia, Amerika, dan Eropa
(Kim, Koh, & Leventhal, 2008).
Prevalensi bullying di Indonesia belum terdapat data yang pasti.
Penelitian Huneck (2006), diperkirakan 10%-16% pelajar Sekolah Dasar (SD)
kelas IV-VI di Indonesia mengalami bullying sebanyak satu kali per minggu.
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
4
Survei di berbagai belahan dunia menyatakan bahwa bullying paling banyak
terjadi pada usia 7 tahun (kelas II SD), dan selanjutnya menurun hingga usia 15
tahun (Glew, Rivara, Feudtner, 2006). Studi lain menyatakan prevalensi bullying
tertinggi pada usia 7 tahun dan 10-12 tahun (Weir, 2007). Anak laki-laki lebih
sering terlibat dalam bullying dibandingkan anak perempuan (Netto, 2007).
Bullying memberikan dampak negatif terhadap pelaku dan korban. Dampak
terbesar dialami oleh korban bullying. Korban bullying mengalami gangguan
psikosomatik dan psikososial. Gangguan prestasi belajar dan tindakan bolos
sekolah yang kronik juga dikaitkan dengan kemungkinan menjadi korban
bullying. Strategi dalam penanganan bullying memerlukan pendekatan holistik
yang melibatkan guru, orangtua, murid, pekerja sosial, dan dokter (Yayasan
Pemantau Hak Anak, 2007). Dokter anak memiliki peran penting dalam
permasalahan bullying. Peran dokter anak di antaranya mengidentifikasi pasien
berisiko, menasihati keluarga, dan mendukung implementasi program anti-
bullying di sekolah. Peran lainnya ialah melakukan skrining masalah mental dan
melakukan rujukan apabila perlu (Vanderbilt, 2008).
Fakta menunjukkan, bullying terhadap anak yang terjadi di Indonesia
bukan fenomena yang baru di lingkungan sekolah, tempat tinggal dan lingkungan
bermain anak. Menurut Ken Rigby dalam buku Astuti (2008) menyatakan bahwa
bullying merupakan hasrat untuk menyakiti, yang diaktualisasikan dalam aksi
sehingga menyebabkan seorang individu atau kelompok menderita. Aksi ini
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
5
dilakukan secara langsung oleh seseorang ataupun kelompok yang lebih kuat,
biasanya kejadiannya berulangkali dan pelaku tersebut melakukan bullying
dengan perasaan senang.
Astuti (2008) dalam bukunya menjelaskan bahwa bullying merupakan
suatu tindakan untuk menyakiti orang lain dan menyebabkan seseorang menderita
dan mengganggu ketenangan seseorang. Tindakan penculikan, penganiayaan
bahkan intimidasi atau ancaman halus bukanlah sekedar masalah kekerasan biasa,
tindakan ini disebut bullying karena tindakan ini sudah bertahun-tahun dilakukan
secara berulang, bersifat regeneratif, menjadi kebiasaan atau tradisi yang
mengancam jiwa korban. Korban yang di-bully biasanya anak yang pendiam dan
anak yang susah bergaul dengan teman di sekitarnya. Bullying terjadi karena
adanya beberapa faktor penyebab yaitu, perbedaan ekonomi, agama, gender,
tradisi dan kebiasan senior untuk menghukum yunior-nya yang sering terjadi.
Adanya perasaan dendam atau iri hati, adanya semangat untuk menguasai korban
dengan kekuatan fisik dan daya tarik seksual. Selain itu, pelaku melakukan
bullying untuk meningkatkan popularitasnya dikalangan teman sepermainnya
(peergroup).
Bentuk penyimpangan perilaku yang terjadi pada siswa sekolah dasar
tidak hanya berupa kekerasan yang merupakan salah satu bentuk dari perilaku
agresif. Pada kenyataannya, hal-hal yang kita pandang sebagai perilaku yang
wajar dilakukan anak usia SD pun terkadang tergolong dalam penyimpangan
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
6
perilaku. Mulai hanya sekedar mengolok-olok temannya, memelototi teman,
hingga mencoreti hiasan kelas. Penyebab bullying terjadi tidak hanya oleh satu
faktor saja tetapi setiap bagian yang ada di sekitar anak juga turut memberikan
kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam munculnya perilaku
tersebut. Faktor-faktor penyebab tersebut antara lain faktor dari keluarga, faktor
lingkungan, faktor sekolah dan faktor pengaruh media. oleh karena itu penyebab
terjadinya perilaku bullying tidak hanya dilatar belakangi oleh satu faktor saja
tetapi segala faktor baik itu faktor eksternal maupun faktor internal (SEJIWA,
2008). Menurut Suharto dalam buku Huraerah (2012), dijelaskan bahwa korban
bullying biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut, berasal dari keluarga miskin,
anak yang mengalami cacat fisik, berasal dari keluarga yang broken home
(perceraian orang tua) atau keluarga yang menikah dini sehingga menyebabkan
belum matang proses pemikiran secara psikologis.
Tindakan kekerasan (bullying) yang dialami anak-anak adalah perlakuan
yang akan berdampak jangka panjang dan akan menjadi mimpi buruk yang tidak
pernah hilang dari ingatan anak yang menjadi korban. Menurut Saptandari dalam
buku Suyanto (2010), dampak yang dialami anak-anak yang menjadi korban
tindak kekerasan biasanya kurangnya motivasi atau harga diri, mengalami
problem kesehatan mental, mimpi buruk, memiliki rasa ketakutan dan tidak
jarang tindak kekerasan terhadap anak juga berujung pada terjadinya kematian
pada korban.
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
7
Dampak psikologis yang dialami korban bullying adalah munculnya
ganggunan kesejahteraan psikologis yang rendah dimana korban merasa tidak
nyaman, takut, rendah diri, tidak berharga, penyesuaian sosial yang buruk dimana
korban takut kesekolah, tidak mau sekolah, menarik diri dari pergaulan, prestasi
akademik yang menurun, bahkan keinginan untuk bunuh diri daripada harus
menghadapi tekanan-tekanan berupa hinaan dan hukuman. Apabila bullying tidak
segera diatasi anak akan tumbuh sebagai pribadi yang pencemas, gugup dan
kurang percaya diri (Wiyani, 2012).
Peserta didik dalam jenjang pendidikan sekolah dasar sangat rentan akan
perilaku bullying. Perilaku kurang baik seperti bullying yang ditampilkan siswa di
sekolah akan mengganggu proses belajar mengajar yang berdampak pada hasil
belajar siswa. Apabila guru dan wali murid tidak benar-benar mengawasi
perkembangan peserta didik, peserta didik akan dapat menjadi korban bullying
atau bahkan pelaku bullying terhadap temannya. Oleh sebab itu guru selaku
pendidik atau wali murid disekolah harus mengawasi perkembangan peserta
didiknya agar tidak terjadi bullying pada peserta didiknya (Riri, 2013).
Bullying sering tidak ditanggapi secara serius oleh orang tua, orang tua
cenderung melimpahkan kasus tersebut kepada guru. Menurut Steven dalam
Astuti (2008) bullying akan menjadi lebih sering dilakukan karena minimnya
respon orang tua dan guru. Hal ini menegaskan bahwa orang tua dan guru lebih
sering membiarkan dan menganggap sepele apa yang terjadi pada diri anak
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
8
maupun siswanya. Seorang guru memiliki keterbatasan dalam melihat dan
mengamati satu persatu permasalahan yang dihadapi siswa-siswinya.
Upaya melaksanakan pendidikan di sekolah, dibutuhkan berbagai faktor
pendukung. Salah satu faktor tersebut adalah kondisi kelas maupun sekolah yang
kondusif bagi siswa, yaitu kondusif secara fisik dan non fisik. Kondusif secara
fisik meliputi kondisi bangunan, fasilitas serta lingkungan yang dapat mendukung
keberhasilan pendidikan. Kondusif secara non fisik adalah terjaganya suasana
sekolah. Sekolah dikategorikan kondusif secara non fisik, bila sekolah tersebut
mampu menciptakan suasana yang damai atau peaceful. Wiyani (2012),
mengungkapkan sekolah yang damai memiliki 9 (sembilan) kriteria, yaitu bebas
dari pertikaian dan kekerasan, memiliki ketentraman, nyaman dan aman,
memberikan perhatian dan kasih sayang, mampu bekerja sama, akomodatif,
memiliki ketaatan terhadap peraturan, mampu menginternalisasikan nilai-nilai
agama dan berhubungan baik dengan masyarakat. Kondisi damai atau peaceful
menjadi kebutuhan setiap sekolah.
Kasus bullying di sekolah semakin lama menjadi fenomena yang
menyebar di dunia dan memiliki dampak negatif terhadap atmosfer sekolah dalam
menciptakan lingkungan belajar yang baik tanpa rasa takut. Selain itu bullying
juga memiliki dampak negatif untuk kehidupan ke depan bagi siswa baik pelaku
maupun korban, sehingga dengan adanya fenomena ini perlu adanya intervensi
untuk mengurangi perilaku bullying di sekolah (Darmawan, 2010).
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
9
Berdasarkan studi pendahuluan, peneliti melakukan wawancara dan pra
observasi pada anak SD dan terdapat kasus anak melakukan bullying terhadap
temannya sendiri. Beberapa anak melakukan bullying kepada anak lain secara
fsikis dan psikis. Bullying secara fisik nampak pada kejadian anak A mendorong
anak B hingga jatuh. Bullying secara psikis nampak pada kejadian seperti siswa
yang berkata tidak sopan pada saat dia tersinggung dan emosi, bahkan dalam
keadaan normal pun kata-kata kasar sering dipergunakan. Anak juga kerap
mengejek temannya hingga menangis. Terdapat juga anak yang menghasut
teman-temannya sehingga dia tidak memiliki teman sama sekali. Berdasarkan
hasil pra survey dan pra wawancara dengan beberapa guru di Sekolah Dasar
Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas terdapat berbagai kasus yang
berkaitan dengan penyimpangan perilaku yang dilakukan siswa, yakni: (1) Guru
melakukan bullying terhadap siswa (2) Siswa melakukan bullying terhadap teman
dan guru, (3) Siswa berbicara kurang sopan, (4) Siswa melakukan pencurian
uang teman sekelasnya, dan (5) Siswa berperilaku tidak sesuai dengan identitas
gendernya (transeksualisme).
Hal ini oleh guru dianggap lumrah dan wajar padahal di dalamnya adalah
bullying secara psikologis. Contoh lain misalnya menyebut anak bodoh, nakal
ataupun pemalas menjadi label bagi siswa, ini merupakan bullying secara verbal
yang dapat berdampak negatif bagi siswa. Hal-hal semacam ini kurang
diperhatikan guru sebagai salah satu bentuk tidak adanya sikap dan perilaku
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
10
respect kepada orang lain. Dengan dimilikinya pengetahuan tentang bullying oleh
guru sebagai pendidik, maka pada waktu melakukan pengamatan di sekolah dapat
dengan mudah mengenali, mengidentifikasi dan mengklasifikasi jenis-jenis
bullying yang sering terjadi di sekolah.
Guru memiliki peranan yang sangat besar dalam dinamika kelas. Sebagai
pihak yang dinilai memiliki otoritas atas jalannya suatu kegiatan belajar, guru
dituntut untuk dapat menciptakan iklim kelas yang sejuk dan memungkinkan
interaksi yang sehat antar komponen kelas yang ditandai dengan penghargaan dan
kesadaran akan perbedaan tiap-tiap siswa di kelas. Kurangnya pengawasan orang
dewasa atau guru pada saat jam istirahat, ketidakpedulian guru dan siswa terhadap
perilaku bullying, serta penerapan peraturan anti bullying yang tidak konsisten
merupakan kondisi-kondisi yang menumbuhsuburkan terjadinya bullying di
sekolah. Latar belakang sekolah juga turut mempengaruhi terjadinya bullying.
Secara konseptual, bullying cenderung terjadi di sekolah yang kurang memiliki
pengawasan, longgar dalam menerapkan aturan serta pihak-pihak pemegang
otoritas tidak memiliki sikap dan pandangan yang tegas terhadap bullying (Elliot,
2008).
Penelitian Newman, et al. (2008) membuktikan bahwa perilaku bullying
pada anak-anak dapat berkurang secara signifikan berkat kerjasama masyarakat,
konselor, guru dan siswa. Komitmen guru menjadi faktor yang menentukan dalam
penurunan kasus bullying, memiliki jangkauan paling luas untuk melakukan
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
11
intervensi yang secara intens berinteraksi dengan siswa baik pelaku, korban
maupun penonton. Guru juga dapat melakukan kontak dengan orang tua dan yang
paling penting memiliki peran utama dalam menciptakan sekolah aman. Selain itu
guru diidentifikasi sebagai agen kunci perubahan dalam penanganan perilaku
bullying meskipun pada kenyataannya guru hanya sedikit berperan dalam
penanganan bullying dan terbatas di lingkungan sekolah, serta pada pemanggilan
pelaku (Nugroho, 2009).
Biasanya guru dapat menangani bullying dalam setting kelas dengan
menerapkan strategi pengaturan perilaku. Kebanyakan guru belum merespon
peristiwa bullying secara efektif dan cenderung mengabaikan. Ini karena guru
merasa bahwa dirinya tidak memiliki keterampilan untuk menangani bullying.
Alasan yang membuat guru gagal dalam menangani perilaku bullying karena guru
tidak memahami pengertian bullying secara keseluruhan, tidak memiliki
kepercayaan diri untuk merespon perilaku bullying, memiliki rasa takut akan
membuat sesuatu yang lebih buruk bagi korban (Crothers & Kolbert, 2008).
Selain itu guru tidak mendapatkan laporan dari siswa yang mengetahui peristiwa
bullying serta merasa takut untuk bertanggungjawab dalam kasus yang
melibatkan kekerasan. Salah satu penyebab minimnya penanganan yang
dilakukan guru adalah pengetahuan guru yang rendah mengenai perilaku bullying
(SEJIWA, 2008). Pengetahuan guru terhadap bullying berdampak pada frekuensi
guru dalam menangani bullying. Semakin guru memahami dan memiliki
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
12
keterampilan maka penanganannya menjadi lebih intensif, namun pada
kenyataannya pengetahuan guru masih belum memadai (Nugroho, 2009).
Newman, Carlos dan Horne (dalam Sugiariyanti, 2010) melakukan
penelitian eksperimen terhadap para guru. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa program perlakuan yang diberikan kepada guru secara efektif
meningkatkan pengetahuan guru dalam penggunaan keterampilan intervensi,
efikasi diri personal guru dan etikasi diri yang berhubungan dengan menghadapi
anak-anak tipe khusus dan mengurangi bullying di ruang kelas yang dinilai
melalui acuan kedisiplinan. Selain itu, survei yang dilakukan oleh SEJIWA
(dalam Sugiariyanti, 2010) juga menyimpulkan bahwa peran guru sangat
diperlukan dalam mengatasi tindakan bullying dan menciptakan lingkungan yang
positif di sekolah. Namun, dampak negatif yang ditimbulkan dari tindakan
bullying belum disadari sepenuhnya oleh guru. Hasil survei tersebut menunjukkan
bahwa 18,3% guru (sekitar 1 dari 5 guru) menganggap bahwa mengintimidasi dan
mengejek adalah hal biasa dalam kehidupan siswa sekolah dan tidak perlu
diributkan. Sebanyak 27,5% guru (sekitar 1 dari 4 guru) berpendapat bahwa
sesekali mengalami penindasan tidak akan berdampak buruk pada kondisi
psikologis siswa.
Mengacu paparan dan permasalahan di atas bahwa pelaku bullying akan
cenderung mengulang perilakunya ketika ada penguatan, sehingga perlu adanya
pengetahuan guru dalam menangani bullying. Ketika guru memiliki pengetahuan
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
13
menangani bullying maka guru akan menggunakan pengetahuan tersebut untuk
mencegah peristiwa bullying di sekolah. Sebaliknya apabila guru tidak memiliki
pengetahuan untuk menangani bullying, maka guru cenderung menganggap wajar
atau mengabaikan peristiwa bullying di sekolah.
Melihat luasnya permasalahan mengenai penyimpangan perilaku seperti
diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang perilaku
bullying. Hal yang demikian dikarenakan tindak kekerasan (bullying) dapat
memberikan dampak yang negatif untuk jangka waktu yang pendek dan panjang.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian
tentang “Gambaran Pengetahuan Guru Tentang Perilaku Bullying di Sekolah
Dasar Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas“.
B. Rumusan Masalah
Besarnya pengaruh terjadinya bullying di sekolah berdampak negatif pada
siswa yang akan mengganggu proses belajar mengajar dan berdampak pada hasil
belajar siswa. Komitmen dan pengetahuan guru menjadi faktor yang menentukan
dalam penurunan kasus bullying. Berdasarkan uraian latar belakang masalah
diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana tingkat
pengetahuan guru tentang perilaku bullying pada anak SD di Desa Karangtengah
Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas?”.
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
14
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengetahuan guru tentang perilaku bullying pada anak SD
di Kelurahan Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan karakteristik guru SD di Desa Karangtengah Kecamatan
Baturraden Kabupaten Banyumas.
b. Mendeskripsikan pengetahuan guru tentang pengertian bullying pada anak
SD di Desa Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas.
c. Mendeskripsikan pengetahuan guru tentang karakteristik bullying pada anak
SD di Desa Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas.
d. Mendeskripsikan pengetahuan guru tentang bentuk bullying pada anak SD di
Desa Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas.
e. Mendeskripsikan pengetahuan guru tentang penyebab bullying pada anak SD
di Desa Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas.
f. Mendeskripsikan pengetahuan guru tentang dampak bullying pada anak SD
di Desa Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas.
g. Mendeskripsikan pengetahuan guru tentang perilaku bullying pada anak SD
di Kelurahan Karangtengah Kecamatan Baturraden Kabupaten Banyumas.
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
15
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada
mahasiswa tentang permasalahan yang ada di sekolah, terutama terkait dengan
berbagai macam perilaku bullying yang terjadi di sekolah dasar.
2. Bagi Guru
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
informasi kepada guru mengenai berbagai perilaku bullying yang terjadi di
kelas, agar guru dapat menganalisis berbagai kemungkinan solusi untuk
mengatasi perilaku menyimpang siswa tersebut, serta mencegah terjadinya
perilaku bullying yang terjadi di sekolah.
3. Bagi Instansi Terkait
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
keilmuan mengenai perilaku bullying dan bahan pertimbangan untuk
mengoptimalkan lembaga pendidikan sekolah dasar, khususnya melalui upaya
guru dalam mengatasi perilaku bullying di sekolah.
4. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengembangkan
keilmuan dan wawasan dalam kegiatan ilmiah. Pengembangan keilmuan ini
dengan meneliti apa saja perilaku bullying yang terjadi di sekolah.
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
16
E. Penelitian Terkait
1. Indawati, Ika (2016), judul “Upaya guru kelas untuk mengatasi perilaku
bullying pada siswa kelas IV di Sekolah Dasar Islam Lukman Hakim Pakisaji
Malang”. Metode penelitian menggunakan kualitatif deskriptif dengan jenis
penelitian studi kasus. Hasil penelitian didapatkan bahwa upaya wali kelas
dalam mengatasi mengatasi perilaku bullying pada siswa kelas IV yatiu,
ketika ada permasalahan wali kelas memanggil siswa yang bersangkutan,
memasukkan dalam catatan buku BK (Bimbingan Konseling), siswa yang
memiliki permasalahan dipanggil satu-satu, memcari tahu masalah yang
terjadi, mengklasifikasikan terlebih dahulu permasalahannya.
Persamaan : Penelitian yang akan dilakukan juga tentang perilaku bullying
yang mengutamakan pada pengetahuan guru.
Perbedaan: Metode penelitian menggunakan kualitatif deskriptif dengan jenis
penelitian studi kasus, sedangkan metode penelitian yang akan dilakukan pada
penelitian ini menggunakan kuantitatif deskriptif pendekatan cross sectional
(potong lintang).
2. Sitasari, Novendawati Wahyu (2016), judul “Pengetahuan dan ketrampilan
guru dalam menangani perilaku bullying”. Metode penelitian kuantitatif
dengan menggunakan desain deskripsi korelasi dengan pendekatan cross
sectional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
pengetahuan dengan keterampilan dalam menangani bullying. Artinya bahwa
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
17
pengetahuan yang dimiliki guru tidak mempengaruhi keterampilan guru
dalam menangani bullying. Ketika guru memiliki pengetahuan yang baik tidak
selalu diikuti dengan keterampilan yang baik. Begitu juga ada guru yang
memiliki keterampilan untuk menangani bullying yang baik, namun
pengetahuannya terhadap bullying masih minim.
Persamaan : Metode penelitian menggunakan kuantitatif deskriptif.
Perbedaan: Variabel penelitian yang digunakan pengetahuan dan ketrampilan
yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel, sedangkan
variable penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
pengetahuan yang bertujuan untuk mengetahui gambaran (mendeskripsikan).
3. Prayunika, Deva (2016), dengan judul “Gambaran tingkat pengetahuan
tentang bullying di SMP Negeri 11 dan SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta”.
Metode penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif cross sectional. Hasil
penelitian bahwa responden SMP Negeri 11 Yogyakarta dan SMP
Muhammadiyah 3 Yogyakarta memiliki pengetahuan tentang bullying baik.
Persamaan : Metode penelitian menggunakan kuantitatif deskriptif.
Perbedaan: Tempat, waktu, dan responden yang berbeda.
4. Setiani, Titis (2013), dengan judul “Hubungan antara tingkat pengetahuan dan
sikap guru Taman Kanak-Kanak dengan tindakan bullying. Metode penelitian
kuantitatif dengan menggunakan desain deskripsi korelasi dengan pendekatan
cross sectional. Hasil penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan antara
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017
18
tingkat pengetahuan dan sikap guru TK dengan tindakan bullying. Analisis
korelasi product moment diperoleh nilai sebesar rxy= 0,789 yang
menunjukkan ada hubungan yang kuat antara pengetahuan dan sikap. Hasil uji
hipotesis diperoleh nilai r hitung = 0,789 lebih besar dari r tabel= 0,361 yang
berarti hipotesis diterima, di mana tingkat pengetahuan dan sikap memiliki
hubungan yang positif dan signifikan.
Persamaan : Metode penelitian menggunakan kuantitatif deskriptif.
Perbedaan: Variabel penelitian yang digunakan pengetahuan dan sikap yang
bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel, sedangkan variable
penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pengetahuan yang
bertujuan untuk mengetahui gambaran (mendeskripsikan).
5. Fajrin, Ahmad Nur (2013), judul “Hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan perilaku bullying pada remaja di SMK PGRI Semarang”. Metode
penelitian kuantitatif, desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif
dengan jenis studi korelasional. Pendekatan yang digunakan cross-sectional.
Hasil penelitian didapatkan bahwa Ada hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan perilaku bullying. Hasil analisa dengan p value = 0,001 (p < 0,05).
Persamaan : Metode penelitian menggunakan kuantitatif deskriptif.
Perbedaan : Tempat, waktu, dan responden yang berbeda.
Gambaran Pengetahuan Guru..., Devi Kurnia..., Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2017