bab i pendahuluan a. latar belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/bab i.pdfadat, terbagi dalam dua...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik terdiri dari
ribuan kepulauan “archipelago” dengan berbagai suku bangsa yang mempunyai
adat istiadat dan agama yang berlainan pula sebagai warisan budaya bangsa
Indonesia yang hidup dan berkembang di tengah pergaualan dunia. Warisan yang
beraneka ragam ini terus berkembang dan harus dibina dan dipupuk terus menerus
sepanjang masa sebagai warisan untuk anak cucu bangsa Indonesia di kemudian
hari, dalam rangka filosofi Bhineka Tunggal Ika Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Begitupun hukum yang ada di Indonesia, sebelum adanya hukum yang
diterpakan sebagai hukum nasional untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat
juga dikenal hukum adat.1
Hukum adat berbagai aspek kehidupan termasuk dalam perdata, pidana
termasuk dalam pemerintahan. Yang menjadi fokus utama penulis adalah
mengenai pemerintahan adat atau dikenal hukum adat ketatanegaraan. Hukum
Adat Tata Negara adalah bagian hukum adat mengenai susunan Pemerintahan.
Sebagaimana kuliah yaitu Hukum Tata Negara, adalah hukum tertulis memuat
peraturan-peraturan mengenai hak dan kewajiban alat-alat perlengkapan Negara
menurut konstitusi yang berlaku. Kita telah ketahui bahwa sebagian besar rakyat
Indonesia didesa-desa, tersusun bedasarkan persekutuan-persekutuan kecil,
merupakan masyarakat adat. Didalam Hukum Tata Negaraterkenal bagian yang
1 Edison Piliang dan Nasrun, 2018, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Kristal
Multimedia, Padang, hlm 1
paling bawah didalam pembagian kenegaraan sesudah propinsi/kabupaten adalah
desa dan daerah-daerah istimewa merupakan daerah swapraja yang diperintah
oleh seorang sultan. Umumnya persekutuan rakyat yang kita sebut masyarakat
adat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah
(genealogis) dan hubungan tanah (teritorial). Jadi, yang dimaksud dengan Hukum
Adat Ketatanegaraan adalah “Aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang
tata susunan masyarakat adat, bentuk-bentuk masyarakat (persekutuan) hukum
adat (Desa), alat-alat perlengkapan (Desa), susunan jabatan dan tugas masing-
masing anggota Perlengkapan Desa, Majelis Kerapatan Adat Desa, dan harta
kekayaan Desa”.2
Konsekuensi dari konsep atau gagasan hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) bukan saja hanya desentralisasi kewenangan kepada daerah
otonom yang melahirkan otonomi daerah, melainkan lebih dari itu yakni
pengakuan ataupun perlindungan terhadap adanya otonomi desa sebagai otonomi
asli bangsa Indonesia sejak sebelum datangnya kolonial Belanda. Pengakuan
bukan hanya di atas kertas saja seperti kebebasan memberi nama desa dan
sebagainya, tetapi juga harus memberikan implementasi pengakuan terhadap
kewenangan-kewenangan desa, terutama kewenangan asli yang telah turun
temurun diketahui sebagai kewenangan desa. Dalam hal ini yang harus dijadikan
patokan adalah pengakuan atas “keanekaragaman” sebagai dasar pemikiran dalam
desain otonomi desa.3
2Tolib Setiady, 2008, Jakarta, Inti Sari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian
Kepustakaan, Alfabeta, hlm 377 3 Feri Amsari dkk. 2017. Jaminan Konstitusionl Hak Asal Usul Masyarakat Nagari dan
Penerapannya di Sumatera Barat. Fakultas Hukum Unand. Padang. hlm 1
Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat
tradisional” atau the indigenous people, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering
dan populer disebut dengan istilah “masyarakat adat”.4 Masyarakat hukum adat
adalah komunitas manusia yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur
tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama lain baik berupa keseluruhan
dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut,
jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari penguasa adat. Pengertian
masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah
tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang
lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar
diantara para anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan
wilayahnya sebagai sumber kekayaannya hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya
oleh anggotanya.5
Secara Historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik
dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk. Struktur
sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi
sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Desa merupakan institusi yang
otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri dan relatif mandiri. Hal
ini antara lain ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa
mungkin merupakan wujud desa yang paling kongkret.6Selanjutnya kata desa
dapat ditemui dalam istilah yang berbeda. Sebutan untuk desa dapat dilihat dari
tinjauan sudut pandang suatu daerah misalnya; di Aceh dipakai nama “Gampong”
4 Djmanat Samosir. 2013. Hukum Adat Indonesia. CV Nuansa Aulia, Medan, hlm 69
5 Ibid.hlm. 72
6 HAW. Widjaja, 2008, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 4
atau “Meunasah” untuk daerah hukum yang paling bawah. Di daerah Batak,
daerah hukum setingkat Desa disebut “Kuta” atau “Huta”. Di daerah
Minangkabau disebut “Nagari”. Di Sumatera Timur, disebut “Dusun” atau
“Tiuh”, di daerah Minahasa diberi nama “Wanua”, dan di daerah Ujung Pandang
di beri nama “Gaukang”. Sebutan Kepala Desa juga menggunakan istilah yang
berbeda pada tiap-tiap bagian daerah seperti Tapanuli Kepala Desa di sebut
“Kepala Nagari”, Sumatera Selatan diberi nama “Pasirah”, di Jawa di beri nama
“Lurah”, di Bali disebut “Parbekel” di Sulawesi Utara diberi nama “Hukum Tua”,
Maluku diberi nama “Kepala Nagari” dan berbagai daerah Papua disebut
“Kurano”.7
Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 ditegaskan pula adanya kesatuan
masyarakat hukum adat yang diakui dan dihormati keberadaannya oleh negara.
Adanya kesatuan masyarakat hukum adat itu terbentuk berdasarkan tiga prinsip
dasar, yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan antara prinsip genealogis dan
prinsip teritorial. Yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara
genealogis dan teritorial. Dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum Perubahan I, II,
III, dan IV, keduanya sama-sama disebut. Penjelasan Pasal 18 UUD 1945
menyebutkan8:
7 Sadu Wasistiono, 2006, Prospek Pengembangan Desa, Lembaga Kajian Manajemen
Pemerintahan Daerah, Fokus Media, Bandung, hlm 9. 8 Terhadap frasa ini Jimly menyatakan “Setelah Perubahan IV UUD 1945, banyak yang
mengira bahwa Penjelasan UUD 1945 ini sudah tidak ada lagi. Padahal, yang benar adalah bahwa
Penjelasan UUD 1945 sampai sekarang masih merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
naskah UUD 1945 sebagaimana diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang
berlaku sampai awal era reformasi sekarang. Sedangkan Perubahan I, II, III, dan IV hanyalah
naskah Lampiran I, II, III, dan IV terhadap naskah UUD 1945 versi 5 Juli 1959 tersebut. Karena
itu, meskipun sebagian substansinya sudah diadopsikan menjadi materi Perubahan I, II, III, dan IV
UUD 1945, tetapi status Penjelasan UUD 1945 tetap masih ada dan merupakan bagian tidak
“Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250
zelfbesturende landchappen (daerah-daerahswapraja) dan
volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nageri di
Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-
daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap
sebagai daerah yang bersifat istimewa.”
Di seluruh Indonesia dewasa ini tercatat berjumlah sekitar 73.000 (tujuh
puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Desa-desa
tersebut dapat dibedakan antara desa biasa dan desa adat. Karena itu, ada dua
konsep masyarakat yang di lapangan biasa dibedakan satu dengan yang lain, yaitu
(i) masyarakat desa, dan (ii) masyarakat adat:9
Selain diatur dalam Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 pengakuan terhadap
hak-hak tradisional masyarakat hukum adat juga dikuatkan kembali dalam Pasal
28 I ayat (3) yang menyatakan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban.”
Pengakuan ini sebagai penegasan bahwa negara wajib melindungi dan menjamin
perwujudan hak asasi manusia (masyarakat hukum adat) tersebut. Pasal 18 B ayat
terpisahkan dari naskah UUD 1945 yang sah. Setidaknya, naskah teks Penjelasan UUD 1945 itu
masih dapat dijadikan salah satu sumber rujukan historis yang sah untuk memahami pasal-pasal
yang belum cukup jelas dipahami dalam UUD 1945 pasca reformasi”. . lihat Jimly Asshiddiqie,
Konstitusi Masyarakat Desa, Makalah Hukum, Hlm. 1,
www.jimly.com/.../KONSTITUSI_MASYARAKAT_DESA.pdf 9 Data ini dipakai dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang
Desa.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLN-RI) Nomor 5495. Menurut data
Kementerian Dalam Negeri, jumlah desa di seluruh Indonesia tercatat 65.189 buah. Lihat
www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/0/_/0._induk.kec.pdf; Dari sumber lain,
tercatat pula bahwa jumlah desa di seluruh Indonesia sebanyak 76.546 desa. Sedangkan menurut
data Statistik BPS 2008, jumlah desa di seluruh Indonesia ada 67.245 desa dan 7.893 kelurahan.
Lihat www.sp.2010.bps.go.id/files/ebook/Stat_Podes_Indonesia_2008.pdf. Lihat Jimly
Asshiddiqie, Kontitusi Masyarakat Desa, Makalah Hukum, Hlm. 1,
www.jimly.com/.../KONSTITUSI_MASYARAKAT_DESA.pdf
(2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 merupakan pengakuan dan perlindungan
atas keberadaan masyarakat hukum adat dalam kesatuan dengan wilayah hak
ulayat. Hal demikian merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat
sebagai “living law” yang sudah berlangsung sejak lama, dan diteruskan sampai
sekarang.10
“Desa atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik
yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan Desa Adat atau
yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda
dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat
terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan
kehidupan sosial budaya masyarakat Desa. Desa Adat pada prinsipnya
merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang
dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan
oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi
mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa
Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul
Desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah
masyarakat. Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat
yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang
terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.”
10
Ni’matul Huda, 2015. Hukum Pemerintahan Desa, Dalam Konstitusi Indonesia Sejak
Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, Setara Press, Malang, hlm. 106
Hak-haktradisionalsebagaimana diatur dalambeberapa undang-undang
sejatinya adalah merupakan hak konstitusional juga karena pengakuan terhadap
hak-hak tradisional itu disebutkan dalam konstitusi, sebagaimana ditegaskan
dalam dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,”Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya...”. Oleh karena itu semua hak tradisional masyarakat hukum adat
sekaligus merupakan hak konstitusional.
Meskipun sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mencoba
mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat, saat ini masih banyak inisiatif
yang berkembang untuk mengatur hal yang sama. Sebagian merupakan inisiatif
peraturan perundang-undangan baru, sebagian lagi merupakan pengaturan lebih
lanjut tentang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah. Namun masih terdapat pertanyaan-
pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Misalkan tentang bagaimana arah
politik hukum tentang pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat yang
ingin dituju; bagaimana keberadaan masyarakat adat yang ingin dicapai melalui
pembaruan hukum; sejauh mana reformasi hukum sudah menciptakan kondisi
yang lebih baik bagi masyarakat adat dalam memenuhi hak mereka atas sumber
daya alam.11
Perlindungan konstitusional masyarakat hukum adat sangat penting untuk
menjamin keberlangsungan hidup dan kelestarian budaya yang hidup dalam
masyarakat, sehingga karakteristik masyarakat adat sesuai dengan peraturan
11
Yance Arizona,2011, Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat: Trend legislasi nasional
tentang keberadaan dan hak‐ hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia (1999‐2009), Kertas kerja EPISTEMA No. 07/2010, Jakarta, hlm. 2
perundang-undangan yang berlaku. Persoalan ini sangatlah penting dan harus
mempunyai wadah pelindung salah satunya adalah undang-undang, karena
masyarakat adat adalah masyarakat masih kuat pegangannya tentang nilai-nilai
yang bernuangsa lingkungan. Terkait hal tersebut, pada tahun 2014 hadir Undang-
Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi,
yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat
(2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18
ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat
mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-
undangan sektoral yang berkaitan. Dengan konstruksi menggabungkan fungsi
self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan
masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa,
ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada
dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah
dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa
Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat,
pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta
pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.12
Dikaitkan dengan konteks Nagari di Sumatera Barat atau Minangkabau pada
dasarnya hanya mengenal nama Nagari tidak ada istilah Nagari Adat. Akan tetapi
12
Sayfudin, Peningkatan Kualitas Pemerintahan Desa, Tulisan Hukum,
http://sayfudin27071992.blogspot.co.id/2016/08/peningkatan-kualitas-pemerintahan-desa.html
(diakses tanggal 26 Agustus 2017)
untuk menyikapi Undang-Undang Desa, sesuai dengan ketentuan umum angka 1
Undang-Undang Desa mengatakan:
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui
dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”13
Mengubah istilah unit pemerintahan di tingkat desa kepada institusi yang
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat, pada hakikatnya tidak hanya
dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan tetapi juga sejalan
dengan kehendak sebagian besar dari masyarakat Sumatera Barat, untuk kembali
kepada bentuk susunan pemerintahan yang sesuai yaitu Pemerintahan Nagari.
Kembali ke Pemerintahan Nagari sebagai keinginan luhur dari masyarakat dan
pemerintah daerah Sumatera Barat bertujuan mengonstruksikan kembali ke
pemerintahan terendah, yang memungkinkan masyarakat di nagari dapat
mengembangkan potensi dan kreatifitasnya dalam mewujudkan pembangunan
ekonomi kerakyatan. Dalam berkembangnya potensi dan kreativitas ekonomi
kerakyatan di nagari-nagari berdampak semakin kuatnya pelaksanaan otonomi
daerah.14
13
Undang- undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 14
Helmy Panuh, 2012, Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari Pada Era Desentralisasi
Pemerintahan di Sumatera Barat, PT Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 191
Pemerintahan Nagari sampai pada sebelumtahun 1979 menjadi
Pemerintahan terendah yangadadi Sumatera Barat.Namun, dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentangPemerintahan Desa, status dari
Nagari dihilangkan dan diganti dengan Desa. Kedudukan Wali
NagariJugadihapusdanAdministrasi Pemerintahan dijalankan oleh Kepala Desa.
Pemberlakuan undang-undang ini merupakanbentukpenyeragaman
Pemerintahan terendah yangdisebut PemerintahanDesa. PemerintahanDesa
merupakan Pemerintahan langsung dibawahCamat yang tersebar dalam
WilayahKabupaten/Kota.Perbedaan karakter yang terdapatpada Pemerintahan
Desa dengan Pemerintahan Nagari menyebabkan masyarakat hukum adat di
Sumatera Barat kehilangan jati dirinya sehingga masalah hukum adat tidak akan
terurus danDesaakan kehilangan hak otonomnya dikarenakan Pemerintahan Desa
memisahkanantara urusan Pemerintahan dan Adat Istiadat.
Istilah Nagari kembali dimunculkan kepermukan dan digunakan di
Minangkabau sejak terjadinya reformasi Pemerintahan, sehingga merubah arah
Pemerintahan menuju Otonomi Daerah. Hal inidiawali dengan lahirnya Undang-
Undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999. Dalam Pasal 1 Huruf H Undang-Undang tersebut menjelaskan
bahwa:“Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempatmenurutprakarsasendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.” dan
berdasarkan undang-undang tersebut melahirkan Peraturan Daerah Provinsi
Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemrintahan
Nagari yang menjadi regulasi pertama lahirnya sistem Pemerintahan Nagari di
Sumatera Barat dan mengalami perkembangan hingga sekarang.
Berdasarkan keadaan-keadaan dan latar belakang masalah yang diuraikan
diatas, penulis tertarik untuk menelah dan menmbahas lebih lanjut terhadap
bagaimana perkembangan pengaturan dari pemerintahan nagari di Sumatera Barat
dalam sebuah Skripsi yang berjudul “KONSTITUSIONALITAS
PEMERINTAHAN NAGARI DI SUMATERA BARAT SEBAGAI
KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT PASCA REFORMASI”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, setidaknya terdapat dua
rumusan masalah yang dapat menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana konstitusionalitas pemerintahan nagari di Sumatera
Barat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat pasca reformasi?
2. Bagaimana peranan pemerintahan nagari di Sumatera Barat
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat pasca reformasi?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan ini secara umum bertujuan untuk memenuhi kewajiban sebagai
mahasiswa Fakultas Hukum yang akan menyelesaikan pendidikan guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Andalas,
sedangkan jika dilihat dari perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka
tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana konstitusionalitas pemerintahan
nagari di Sumatera Barat.
2. Untuk mengetahui bagaimana peranan pemerintahan nagari sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Untuk lebih memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan bagi penulis baik di bidang hukum pada
umumnya maupun di bidang hukum tata negara pada
khususnya.
b. Untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan
hukum secara teoriti, khususnya bagi hukum tata negara
dalam hal pemerintahan nagari sebagai hukum tata negara
adat yang ada didaerah Sumatera Barat.
2. Manfaat Praktis
a. Secara praktik hasil penelitian ini diharapkan bisa
menjadi referensi dan bermanfaat bagi orang lain terutama
yang terlibat dalam pemerintahan nagari serta yang tertarik
dalam pemerintahan adat di Sumatera Barat.
b. Hasil penelitian ini secara praktis juga diharapakan
bisa bermanfaat bagi masyarakat agar dapat lebih mengetahui
tentang peranan nagari dalam sistem pemerintahan di
Indonesia.
E. Metode Penelitian
Guna memperoleh data yang konkret, maka penelitian ini
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini penulis memakai metode yuridis-normatif yang
merupakan suatu penelitian dengan melakukan pengkajian ketentuan hukum
yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya di masyarakat.15
khususnya berkenaan dengan pemerintahan nagari dalam kesatuan
masyarakat hukum adat. Dengan perkataan lain, pendekatan yuridis-normatif
akan melihat bagaimana penerapan hukum dalam permasalahan yang akan
diteliti.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu penelitian yang
menggambarkan atau melukiskan secara faktual objek penelitian secara
sistematis yang kemudian dianalisis mengenai analisis yurudis kualitatif.16
3. Jenis dan Sumber Data.
Sumber data yang digunakan adalah :
a. Data Sekunder
Data Sekunder, merupakan bahan hukum yang isinya bersifat
mengikat, memiliki kekuatan hukum serta dikeluarkan atau dirumuskan
oleh Pemerintah dan pihak lainnya yang berwenang untuk itu. Secara
sederhana bahan hukum primer merupakan semua ketentuan yang ada
berkaitan dengan pokok pembahasan yang mengikat, bentuk Undang-
15
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dalam Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, hlm
15 16
Ibid, hlm 42
Undang dan Peraturan-Peraturan yang ada. Penelitian ini menggunakan
bahan hukum primer sebagai berikut :
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
b) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
c) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah
d) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah.
e) Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun
2018 Tentang Nagari
f) Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun
2007 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari
g) Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun
2000 Tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari
h) Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Penguatan Lembaga Adat dan Pelestarian Nilai
Budaya Minangkabau
b. Data Sekunder
Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan-bahan yang
memberikan penjelasan kepada bahan hukum primer atau keterangan-
keterangan mengenai peraturan perundang-undangan, berbentuk buku-
buku yang ditulis para sarjana, literatur-literatur, hasil penelitian yang
telah dipublikasikan, jurnal-jurnal hukum dan lain-lain. Dalam hal
penelitian ini memakai bahan hukum sekunder berupa :
1. Buku-Buku
2. Jurnal
3. Skripsi/Tesis
4. Makalah Ilmiah
c. Bahan Hukum Tersier
Merupakan bahan-bahan yang menunjang pemahaman akan bahan
hukum primer dan sekunder. Misalnya : Kamus Hukum, Ensiklopedia,
Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan :
a. Studi dokumen yaitu teknik pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitan kepustakaan yaitu dengan
mempelajari bahan-bahan kepustakaan dan literature yang berkaitan
dengan penelitian ini, baik buku-buku, jurnal, tesis./skripsi serta
sumber-sumber lain.