bab i pendahuluan a. latar belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/bab i.pdfadat, terbagi dalam dua...

15
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik terdiri dari ribuan kepulauan “archipelago” dengan berbagai suku bangsa yang mempunyai adat istiadat dan agama yang berlainan pula sebagai warisan budaya bangsa Indonesia yang hidup dan berkembang di tengah pergaualan dunia. Warisan yang beraneka ragam ini terus berkembang dan harus dibina dan dipupuk terus menerus sepanjang masa sebagai warisan untuk anak cucu bangsa Indonesia di kemudian hari, dalam rangka filosofi Bhineka Tunggal Ika Negara Kesatuan Republik Indonesia. Begitupun hukum yang ada di Indonesia, sebelum adanya hukum yang diterpakan sebagai hukum nasional untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat juga dikenal hukum adat. 1 Hukum adat berbagai aspek kehidupan termasuk dalam perdata, pidana termasuk dalam pemerintahan. Yang menjadi fokus utama penulis adalah mengenai pemerintahan adat atau dikenal hukum adat ketatanegaraan. Hukum Adat Tata Negara adalah bagian hukum adat mengenai susunan Pemerintahan. Sebagaimana kuliah yaitu Hukum Tata Negara, adalah hukum tertulis memuat peraturan-peraturan mengenai hak dan kewajiban alat-alat perlengkapan Negara menurut konstitusi yang berlaku. Kita telah ketahui bahwa sebagian besar rakyat Indonesia didesa-desa, tersusun bedasarkan persekutuan-persekutuan kecil, merupakan masyarakat adat. Didalam Hukum Tata Negaraterkenal bagian yang 1 Edison Piliang dan Nasrun, 2018, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Kristal Multimedia, Padang, hlm 1

Upload: others

Post on 27-Oct-2019

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik terdiri dari

ribuan kepulauan “archipelago” dengan berbagai suku bangsa yang mempunyai

adat istiadat dan agama yang berlainan pula sebagai warisan budaya bangsa

Indonesia yang hidup dan berkembang di tengah pergaualan dunia. Warisan yang

beraneka ragam ini terus berkembang dan harus dibina dan dipupuk terus menerus

sepanjang masa sebagai warisan untuk anak cucu bangsa Indonesia di kemudian

hari, dalam rangka filosofi Bhineka Tunggal Ika Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Begitupun hukum yang ada di Indonesia, sebelum adanya hukum yang

diterpakan sebagai hukum nasional untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat

juga dikenal hukum adat.1

Hukum adat berbagai aspek kehidupan termasuk dalam perdata, pidana

termasuk dalam pemerintahan. Yang menjadi fokus utama penulis adalah

mengenai pemerintahan adat atau dikenal hukum adat ketatanegaraan. Hukum

Adat Tata Negara adalah bagian hukum adat mengenai susunan Pemerintahan.

Sebagaimana kuliah yaitu Hukum Tata Negara, adalah hukum tertulis memuat

peraturan-peraturan mengenai hak dan kewajiban alat-alat perlengkapan Negara

menurut konstitusi yang berlaku. Kita telah ketahui bahwa sebagian besar rakyat

Indonesia didesa-desa, tersusun bedasarkan persekutuan-persekutuan kecil,

merupakan masyarakat adat. Didalam Hukum Tata Negaraterkenal bagian yang

1 Edison Piliang dan Nasrun, 2018, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Kristal

Multimedia, Padang, hlm 1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

paling bawah didalam pembagian kenegaraan sesudah propinsi/kabupaten adalah

desa dan daerah-daerah istimewa merupakan daerah swapraja yang diperintah

oleh seorang sultan. Umumnya persekutuan rakyat yang kita sebut masyarakat

adat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah

(genealogis) dan hubungan tanah (teritorial). Jadi, yang dimaksud dengan Hukum

Adat Ketatanegaraan adalah “Aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang

tata susunan masyarakat adat, bentuk-bentuk masyarakat (persekutuan) hukum

adat (Desa), alat-alat perlengkapan (Desa), susunan jabatan dan tugas masing-

masing anggota Perlengkapan Desa, Majelis Kerapatan Adat Desa, dan harta

kekayaan Desa”.2

Konsekuensi dari konsep atau gagasan hukum Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) bukan saja hanya desentralisasi kewenangan kepada daerah

otonom yang melahirkan otonomi daerah, melainkan lebih dari itu yakni

pengakuan ataupun perlindungan terhadap adanya otonomi desa sebagai otonomi

asli bangsa Indonesia sejak sebelum datangnya kolonial Belanda. Pengakuan

bukan hanya di atas kertas saja seperti kebebasan memberi nama desa dan

sebagainya, tetapi juga harus memberikan implementasi pengakuan terhadap

kewenangan-kewenangan desa, terutama kewenangan asli yang telah turun

temurun diketahui sebagai kewenangan desa. Dalam hal ini yang harus dijadikan

patokan adalah pengakuan atas “keanekaragaman” sebagai dasar pemikiran dalam

desain otonomi desa.3

2Tolib Setiady, 2008, Jakarta, Inti Sari Hukum Adat Indonesia dalam Kajian

Kepustakaan, Alfabeta, hlm 377 3 Feri Amsari dkk. 2017. Jaminan Konstitusionl Hak Asal Usul Masyarakat Nagari dan

Penerapannya di Sumatera Barat. Fakultas Hukum Unand. Padang. hlm 1

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat

tradisional” atau the indigenous people, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering

dan populer disebut dengan istilah “masyarakat adat”.4 Masyarakat hukum adat

adalah komunitas manusia yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur

tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama lain baik berupa keseluruhan

dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut,

jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari penguasa adat. Pengertian

masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah

tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang

lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar

diantara para anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan

wilayahnya sebagai sumber kekayaannya hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya

oleh anggotanya.5

Secara Historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik

dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk. Struktur

sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi

sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Desa merupakan institusi yang

otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri dan relatif mandiri. Hal

ini antara lain ditunjukkan dengan tingkat keragaman yang tinggi membuat desa

mungkin merupakan wujud desa yang paling kongkret.6Selanjutnya kata desa

dapat ditemui dalam istilah yang berbeda. Sebutan untuk desa dapat dilihat dari

tinjauan sudut pandang suatu daerah misalnya; di Aceh dipakai nama “Gampong”

4 Djmanat Samosir. 2013. Hukum Adat Indonesia. CV Nuansa Aulia, Medan, hlm 69

5 Ibid.hlm. 72

6 HAW. Widjaja, 2008, Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli, Bulat dan Utuh,

PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 4

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

atau “Meunasah” untuk daerah hukum yang paling bawah. Di daerah Batak,

daerah hukum setingkat Desa disebut “Kuta” atau “Huta”. Di daerah

Minangkabau disebut “Nagari”. Di Sumatera Timur, disebut “Dusun” atau

“Tiuh”, di daerah Minahasa diberi nama “Wanua”, dan di daerah Ujung Pandang

di beri nama “Gaukang”. Sebutan Kepala Desa juga menggunakan istilah yang

berbeda pada tiap-tiap bagian daerah seperti Tapanuli Kepala Desa di sebut

“Kepala Nagari”, Sumatera Selatan diberi nama “Pasirah”, di Jawa di beri nama

“Lurah”, di Bali disebut “Parbekel” di Sulawesi Utara diberi nama “Hukum Tua”,

Maluku diberi nama “Kepala Nagari” dan berbagai daerah Papua disebut

“Kurano”.7

Dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 ditegaskan pula adanya kesatuan

masyarakat hukum adat yang diakui dan dihormati keberadaannya oleh negara.

Adanya kesatuan masyarakat hukum adat itu terbentuk berdasarkan tiga prinsip

dasar, yaitu genealogis, teritorial, dan/atau gabungan antara prinsip genealogis dan

prinsip teritorial. Yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014

adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang merupakan gabungan antara

genealogis dan teritorial. Dalam Penjelasan UUD 1945 sebelum Perubahan I, II,

III, dan IV, keduanya sama-sama disebut. Penjelasan Pasal 18 UUD 1945

menyebutkan8:

7 Sadu Wasistiono, 2006, Prospek Pengembangan Desa, Lembaga Kajian Manajemen

Pemerintahan Daerah, Fokus Media, Bandung, hlm 9. 8 Terhadap frasa ini Jimly menyatakan “Setelah Perubahan IV UUD 1945, banyak yang

mengira bahwa Penjelasan UUD 1945 ini sudah tidak ada lagi. Padahal, yang benar adalah bahwa

Penjelasan UUD 1945 sampai sekarang masih merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

naskah UUD 1945 sebagaimana diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang

berlaku sampai awal era reformasi sekarang. Sedangkan Perubahan I, II, III, dan IV hanyalah

naskah Lampiran I, II, III, dan IV terhadap naskah UUD 1945 versi 5 Juli 1959 tersebut. Karena

itu, meskipun sebagian substansinya sudah diadopsikan menjadi materi Perubahan I, II, III, dan IV

UUD 1945, tetapi status Penjelasan UUD 1945 tetap masih ada dan merupakan bagian tidak

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

“Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250

zelfbesturende landchappen (daerah-daerahswapraja) dan

volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nageri di

Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-

daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap

sebagai daerah yang bersifat istimewa.”

Di seluruh Indonesia dewasa ini tercatat berjumlah sekitar 73.000 (tujuh

puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Desa-desa

tersebut dapat dibedakan antara desa biasa dan desa adat. Karena itu, ada dua

konsep masyarakat yang di lapangan biasa dibedakan satu dengan yang lain, yaitu

(i) masyarakat desa, dan (ii) masyarakat adat:9

Selain diatur dalam Pasal 18B UUD NRI Tahun 1945 pengakuan terhadap

hak-hak tradisional masyarakat hukum adat juga dikuatkan kembali dalam Pasal

28 I ayat (3) yang menyatakan bahwa “Identitas budaya dan hak masyarakat

tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban.”

Pengakuan ini sebagai penegasan bahwa negara wajib melindungi dan menjamin

perwujudan hak asasi manusia (masyarakat hukum adat) tersebut. Pasal 18 B ayat

terpisahkan dari naskah UUD 1945 yang sah. Setidaknya, naskah teks Penjelasan UUD 1945 itu

masih dapat dijadikan salah satu sumber rujukan historis yang sah untuk memahami pasal-pasal

yang belum cukup jelas dipahami dalam UUD 1945 pasca reformasi”. . lihat Jimly Asshiddiqie,

Konstitusi Masyarakat Desa, Makalah Hukum, Hlm. 1,

www.jimly.com/.../KONSTITUSI_MASYARAKAT_DESA.pdf 9 Data ini dipakai dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang

Desa.Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLN-RI) Nomor 5495. Menurut data

Kementerian Dalam Negeri, jumlah desa di seluruh Indonesia tercatat 65.189 buah. Lihat

www.kemendagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/0/_/0._induk.kec.pdf; Dari sumber lain,

tercatat pula bahwa jumlah desa di seluruh Indonesia sebanyak 76.546 desa. Sedangkan menurut

data Statistik BPS 2008, jumlah desa di seluruh Indonesia ada 67.245 desa dan 7.893 kelurahan.

Lihat www.sp.2010.bps.go.id/files/ebook/Stat_Podes_Indonesia_2008.pdf. Lihat Jimly

Asshiddiqie, Kontitusi Masyarakat Desa, Makalah Hukum, Hlm. 1,

www.jimly.com/.../KONSTITUSI_MASYARAKAT_DESA.pdf

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

(2) dan Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 merupakan pengakuan dan perlindungan

atas keberadaan masyarakat hukum adat dalam kesatuan dengan wilayah hak

ulayat. Hal demikian merupakan konsekuensi pengakuan terhadap hukum adat

sebagai “living law” yang sudah berlangsung sejak lama, dan diteruskan sampai

sekarang.10

“Desa atau yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik

yang berlaku umum untuk seluruh Indonesia, sedangkan Desa Adat atau

yang disebut dengan nama lain mempunyai karakteristik yang berbeda

dari Desa pada umumnya, terutama karena kuatnya pengaruh adat

terhadap sistem pemerintahan lokal, pengelolaan sumber daya lokal, dan

kehidupan sosial budaya masyarakat Desa. Desa Adat pada prinsipnya

merupakan warisan organisasi kepemerintahan masyarakat lokal yang

dipelihara secara turun-temurun yang tetap diakui dan diperjuangkan

oleh pemimpin dan masyarakat Desa Adat agar dapat berfungsi

mengembangkan kesejahteraan dan identitas sosial budaya lokal. Desa

Adat memiliki hak asal usul yang lebih dominan daripada hak asal usul

Desa sejak Desa Adat itu lahir sebagai komunitas asli yang ada di tengah

masyarakat. Desa Adat adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum adat

yang secara historis mempunyai batas wilayah dan identitas budaya yang

terbentuk atas dasar teritorial yang berwenang mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak asal usul.”

10

Ni’matul Huda, 2015. Hukum Pemerintahan Desa, Dalam Konstitusi Indonesia Sejak

Kemerdekaan Hingga Era Reformasi, Setara Press, Malang, hlm. 106

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

Hak-haktradisionalsebagaimana diatur dalambeberapa undang-undang

sejatinya adalah merupakan hak konstitusional juga karena pengakuan terhadap

hak-hak tradisional itu disebutkan dalam konstitusi, sebagaimana ditegaskan

dalam dalam Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan,”Negara mengakui

dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya...”. Oleh karena itu semua hak tradisional masyarakat hukum adat

sekaligus merupakan hak konstitusional.

Meskipun sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mencoba

mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat, saat ini masih banyak inisiatif

yang berkembang untuk mengatur hal yang sama. Sebagian merupakan inisiatif

peraturan perundang-undangan baru, sebagian lagi merupakan pengaturan lebih

lanjut tentang keberadaan dan hak-hak masyarakat adat dalam bentuk peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah. Namun masih terdapat pertanyaan-

pertanyaan mendasar yang belum terjawab. Misalkan tentang bagaimana arah

politik hukum tentang pengakuan keberadaan dan hak-hak masyarakat adat yang

ingin dituju; bagaimana keberadaan masyarakat adat yang ingin dicapai melalui

pembaruan hukum; sejauh mana reformasi hukum sudah menciptakan kondisi

yang lebih baik bagi masyarakat adat dalam memenuhi hak mereka atas sumber

daya alam.11

Perlindungan konstitusional masyarakat hukum adat sangat penting untuk

menjamin keberlangsungan hidup dan kelestarian budaya yang hidup dalam

masyarakat, sehingga karakteristik masyarakat adat sesuai dengan peraturan

11

Yance Arizona,2011, Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat: Trend legislasi nasional

tentang keberadaan dan hak‐ hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia (1999‐2009), Kertas kerja EPISTEMA No. 07/2010, Jakarta, hlm. 2

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

perundang-undangan yang berlaku. Persoalan ini sangatlah penting dan harus

mempunyai wadah pelindung salah satunya adalah undang-undang, karena

masyarakat adat adalah masyarakat masih kuat pegangannya tentang nilai-nilai

yang bernuangsa lingkungan. Terkait hal tersebut, pada tahun 2014 hadir Undang-

Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi,

yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat

(2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18

ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat

mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-

undangan sektoral yang berkaitan. Dengan konstruksi menggabungkan fungsi

self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan

masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa,

ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat. Desa dan Desa Adat pada

dasarnya melakukan tugas yang hampir sama. Sedangkan perbedaannya hanyalah

dalam pelaksanaan hak asal-usul, terutama menyangkut pelestarian sosial Desa

Adat, pengaturan dan pengurusan wilayah adat, sidang perdamaian adat,

pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban bagi masyarakat hukum adat, serta

pengaturan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli.12

Dikaitkan dengan konteks Nagari di Sumatera Barat atau Minangkabau pada

dasarnya hanya mengenal nama Nagari tidak ada istilah Nagari Adat. Akan tetapi

12

Sayfudin, Peningkatan Kualitas Pemerintahan Desa, Tulisan Hukum,

http://sayfudin27071992.blogspot.co.id/2016/08/peningkatan-kualitas-pemerintahan-desa.html

(diakses tanggal 26 Agustus 2017)

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

untuk menyikapi Undang-Undang Desa, sesuai dengan ketentuan umum angka 1

Undang-Undang Desa mengatakan:

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama

lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan

prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui

dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia”13

Mengubah istilah unit pemerintahan di tingkat desa kepada institusi yang

sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat, pada hakikatnya tidak hanya

dimungkinkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan tetapi juga sejalan

dengan kehendak sebagian besar dari masyarakat Sumatera Barat, untuk kembali

kepada bentuk susunan pemerintahan yang sesuai yaitu Pemerintahan Nagari.

Kembali ke Pemerintahan Nagari sebagai keinginan luhur dari masyarakat dan

pemerintah daerah Sumatera Barat bertujuan mengonstruksikan kembali ke

pemerintahan terendah, yang memungkinkan masyarakat di nagari dapat

mengembangkan potensi dan kreatifitasnya dalam mewujudkan pembangunan

ekonomi kerakyatan. Dalam berkembangnya potensi dan kreativitas ekonomi

kerakyatan di nagari-nagari berdampak semakin kuatnya pelaksanaan otonomi

daerah.14

13

Undang- undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa 14

Helmy Panuh, 2012, Pengelolaan Tanah Ulayat Nagari Pada Era Desentralisasi

Pemerintahan di Sumatera Barat, PT Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 191

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

Pemerintahan Nagari sampai pada sebelumtahun 1979 menjadi

Pemerintahan terendah yangadadi Sumatera Barat.Namun, dengan berlakunya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentangPemerintahan Desa, status dari

Nagari dihilangkan dan diganti dengan Desa. Kedudukan Wali

NagariJugadihapusdanAdministrasi Pemerintahan dijalankan oleh Kepala Desa.

Pemberlakuan undang-undang ini merupakanbentukpenyeragaman

Pemerintahan terendah yangdisebut PemerintahanDesa. PemerintahanDesa

merupakan Pemerintahan langsung dibawahCamat yang tersebar dalam

WilayahKabupaten/Kota.Perbedaan karakter yang terdapatpada Pemerintahan

Desa dengan Pemerintahan Nagari menyebabkan masyarakat hukum adat di

Sumatera Barat kehilangan jati dirinya sehingga masalah hukum adat tidak akan

terurus danDesaakan kehilangan hak otonomnya dikarenakan Pemerintahan Desa

memisahkanantara urusan Pemerintahan dan Adat Istiadat.

Istilah Nagari kembali dimunculkan kepermukan dan digunakan di

Minangkabau sejak terjadinya reformasi Pemerintahan, sehingga merubah arah

Pemerintahan menuju Otonomi Daerah. Hal inidiawali dengan lahirnya Undang-

Undang tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999. Dalam Pasal 1 Huruf H Undang-Undang tersebut menjelaskan

bahwa:“Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakat setempatmenurutprakarsasendiri berdasarkan

aspirasi masyarakat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.” dan

berdasarkan undang-undang tersebut melahirkan Peraturan Daerah Provinsi

Sumatera Barat Nomor 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemrintahan

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

Nagari yang menjadi regulasi pertama lahirnya sistem Pemerintahan Nagari di

Sumatera Barat dan mengalami perkembangan hingga sekarang.

Berdasarkan keadaan-keadaan dan latar belakang masalah yang diuraikan

diatas, penulis tertarik untuk menelah dan menmbahas lebih lanjut terhadap

bagaimana perkembangan pengaturan dari pemerintahan nagari di Sumatera Barat

dalam sebuah Skripsi yang berjudul “KONSTITUSIONALITAS

PEMERINTAHAN NAGARI DI SUMATERA BARAT SEBAGAI

KESATUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT PASCA REFORMASI”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, setidaknya terdapat dua

rumusan masalah yang dapat menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana konstitusionalitas pemerintahan nagari di Sumatera

Barat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat pasca reformasi?

2. Bagaimana peranan pemerintahan nagari di Sumatera Barat

sebagai kesatuan masyarakat hukum adat pasca reformasi?

C. Tujuan Penelitian

Penulisan ini secara umum bertujuan untuk memenuhi kewajiban sebagai

mahasiswa Fakultas Hukum yang akan menyelesaikan pendidikan guna

memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Andalas,

sedangkan jika dilihat dari perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka

tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana konstitusionalitas pemerintahan

nagari di Sumatera Barat.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

2. Untuk mengetahui bagaimana peranan pemerintahan nagari sebagai

kesatuan masyarakat hukum adat.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk lebih memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan bagi penulis baik di bidang hukum pada

umumnya maupun di bidang hukum tata negara pada

khususnya.

b. Untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan

hukum secara teoriti, khususnya bagi hukum tata negara

dalam hal pemerintahan nagari sebagai hukum tata negara

adat yang ada didaerah Sumatera Barat.

2. Manfaat Praktis

a. Secara praktik hasil penelitian ini diharapkan bisa

menjadi referensi dan bermanfaat bagi orang lain terutama

yang terlibat dalam pemerintahan nagari serta yang tertarik

dalam pemerintahan adat di Sumatera Barat.

b. Hasil penelitian ini secara praktis juga diharapakan

bisa bermanfaat bagi masyarakat agar dapat lebih mengetahui

tentang peranan nagari dalam sistem pemerintahan di

Indonesia.

E. Metode Penelitian

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

Guna memperoleh data yang konkret, maka penelitian ini

menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini penulis memakai metode yuridis-normatif yang

merupakan suatu penelitian dengan melakukan pengkajian ketentuan hukum

yang berlaku serta apa yang terjadi dalam kenyataannya di masyarakat.15

khususnya berkenaan dengan pemerintahan nagari dalam kesatuan

masyarakat hukum adat. Dengan perkataan lain, pendekatan yuridis-normatif

akan melihat bagaimana penerapan hukum dalam permasalahan yang akan

diteliti.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis, yaitu penelitian yang

menggambarkan atau melukiskan secara faktual objek penelitian secara

sistematis yang kemudian dianalisis mengenai analisis yurudis kualitatif.16

3. Jenis dan Sumber Data.

Sumber data yang digunakan adalah :

a. Data Sekunder

Data Sekunder, merupakan bahan hukum yang isinya bersifat

mengikat, memiliki kekuatan hukum serta dikeluarkan atau dirumuskan

oleh Pemerintah dan pihak lainnya yang berwenang untuk itu. Secara

sederhana bahan hukum primer merupakan semua ketentuan yang ada

berkaitan dengan pokok pembahasan yang mengikat, bentuk Undang-

15

Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dalam Praktek,Sinar Grafika, Jakarta, hlm

15 16

Ibid, hlm 42

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

Undang dan Peraturan-Peraturan yang ada. Penelitian ini menggunakan

bahan hukum primer sebagai berikut :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

b) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

c) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan Daerah

d) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang

Pemerintahan Daerah.

e) Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun

2018 Tentang Nagari

f) Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun

2007 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Nagari

g) Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun

2000 Tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari

h) Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun

2014 Tentang Penguatan Lembaga Adat dan Pelestarian Nilai

Budaya Minangkabau

b. Data Sekunder

Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan-bahan yang

memberikan penjelasan kepada bahan hukum primer atau keterangan-

keterangan mengenai peraturan perundang-undangan, berbentuk buku-

buku yang ditulis para sarjana, literatur-literatur, hasil penelitian yang

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangscholar.unand.ac.id/46762/2/BAB I.pdfadat, terbagi dalam dua golongan besar, yaitu berdasarkan hubungan daerah (genealogis) dan hubungan tanah (teritorial)

telah dipublikasikan, jurnal-jurnal hukum dan lain-lain. Dalam hal

penelitian ini memakai bahan hukum sekunder berupa :

1. Buku-Buku

2. Jurnal

3. Skripsi/Tesis

4. Makalah Ilmiah

c. Bahan Hukum Tersier

Merupakan bahan-bahan yang menunjang pemahaman akan bahan

hukum primer dan sekunder. Misalnya : Kamus Hukum, Ensiklopedia,

Kamus Besar Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan :

a. Studi dokumen yaitu teknik pengumpulan data yang

dipergunakan dalam penelitan kepustakaan yaitu dengan

mempelajari bahan-bahan kepustakaan dan literature yang berkaitan

dengan penelitian ini, baik buku-buku, jurnal, tesis./skripsi serta

sumber-sumber lain.