bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era modern seperti saat ini, Social Networking Site (SNS) atau jejaring
sosial telah berkembang menjadi salah satu produk kemajuan teknologi yang
paling sering digunakan. Kemampuannya untuk memberikan kemudahan akses
berinteraksi menjadi salah satu feature yang paling diminati oleh manusia modern
dewasa ini. Berkat adanya teknologi mobile dan kehadiran SNS, manusia dapat
dengan mudah melakukan aktivitas komunikasi, di manapun dan kapanpun
mereka berada, baik untuk keperluan bisnis, maupun sekadar berseluncur di SNS
yang mereka miliki. Ramainya penggunaan SNS tidak hanya terjadi di negara
barat saja, namun Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan persentasi
pengguna SNS yang tidak sedikit.
Hingga awal tahun 2016, jumlah pengguna SNS di Indonesia mencapai 82
juta. Padahal sebelumnya, eMarketer mencatat jumlah pengguna SNS di
Indonesia pada akhir 2015 mencapai angka 72.3 juta.1 Perbedaan angka tersebut
mengindikasi adanya peningkatan jumlah pengguna SNS di Indonesia setiap
tahunnya. Dari sekian banyak pengguna SNS, tercatat sebanyak 77% penduduk di
Indonesia dengan golongan usia 19-24 tahun diketahui mengakses SNS di
manapun mereka berada dengan menggunakan media mobile phone.2 Ini
merupakan bukti bahwa adanya kemudahan teknologi mobile semakin diminati
oleh sebagian besar penduduk di Indonesia saat ini.
Banyaknya pengguna SNS tersebut menimbulkan suatu implikasi, yakni
munculnya fenomena baru: Micro-Celebrity. Pada tahun 2008, akademisi dari
Amerika bernama Theresa M. Senft pertama kali mencetuskan konsep Micro-
Celebrity ini dalam bukunya yang berjudul Camgirl: Celebrity and Community in
1eMarketer. 2016. Instagram Users in Indonesia Follow Fashion. Diakses dari http://www.emarketer.com/Article/Instagram-Users-Indonesia-Follow-Fashion/1013618. 3 Oktober 2016. Hal.1. 2 Statista. 2016. Statistics and Facts on Internet Usage in Indonesia. Diakses darihttps://www.statista.com/topics/2431/internet-usage-in-indonesia/. 18 September 2016. Hal. 1.
The Age of Social Networks. Awalanya, konsep micro-celebrity ini muncul untuk
mengamati fenomena yang terjadi pada media sosial Twitter. Bagi mereka yang
disebut sebagai micro-celebrity, popularitas dan presentasi diri merupakan
konstruksi yang dibentuknya untuk (secara sengaja) dilihat dan dikonsumsi oleh
audiens. Mereka memiliki jumlah pengikut (followers) yang tidak sedikit.
Meskipun pada awalnya fenomena micro-celebrity ini berkembang di media
sosial Twitter, namun kini ketika media sosial berbasis foto mulai naik hingga
kemudian menduduki peringkat kedua sebagai media sosial yang paling digemari
di Indonesia, micro-celebrity perlahan hadir di dalamnya, hingga kemudian
menurunkan istilah selebgram dalam dunia media sosial.
Selebgram (akronim dari selebriti dan Instagram) memiliki salah satu sisi yang
menarik, yakni seringkali para selebgram ini dijadikan sebagai referensi gaya
hidup; baik dari acuan mode, tutorial memasak, travel tips, ataupun rekomendasi
kuliner dan objek wisata di suatu daerah tertentu. Salah satu yang tak kalah
pentingnya dalam dunia Instagram adalah kemunculan selebgram yang
memfokuskan dirinya pada gaya hidup (lifestyle). Merek busana yang mereka
kenakan, lokasi wisata yang mereka kunjungi, hingga camilan unik yang biasa
mereka konsumsi menjadi suatu acuan model bagi para pengikut yang memiliki
minat yang sama. Bahkan, tak jarang kepribadian para selebgram ini juga menjadi
salah satu daya tarik tersendiri bagi penggemarnya, termasuk pengelolaan konten
untuk dapat menjangkau audiensya.3
Berawal dari memotret foto yang menarik, kemudian proses editing untuk
mendapatkan foto cantik, hingga akhirnya foto tersebut dinikmati banyak
kalangan dan mendapatkan jumlah penyuka (likers) yang tak sedikit
menyebabkan selebgram menjadi salah satu role model yang dijadikan panutan
bagi para pengikutnya, sesuai dengan bidang yang digelutinya, seperti travelling,
cooking, ataupun gaya hidup (lifestyle). Banyaknya jumlah pengikut (followers)
serta penyuka (likers) pada sebuah unggahan pesan visual menyebabkan
3 Lidwina Mutia Sadasri. 2013. Internet, Selebriti Mikro, dan Kuasa: Analisis Wacana Faucaultion Chripstory akun Twitter @Triomacan2000 dan @Kurawa Masa Kampanye Pilkada DKI Jakarta. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Hal.16.
selebgram memiliki ketenaran tersendiri di dunia maya, khususnya di media
Instagram.
Tentunya, hal ini tidak disia-siakan oleh para pebisnis dan pengusaha. Mereka
melakukan upaya endorsement terhadap para selebgram guna mempromosikan
atau sekadar memperkenalkan produk baru mereka kepada khalayak, sesuai
dengan target sasaran mereka. Hal ini merupakan suatu fenomena yang masuk
akal, sebab selebgram memiliki pengaruh yang kuat terhadap audiens, terutama
para pengikutnya. Seringkali, produk yang digunakan oleh selebgram memicu
adanya pemikiran dari pengikut dan penggemarnya bahwa jika ia mengenakan
produk yang sama dengan yang digunakan oleh selebgram, maka ia akan merasa
memiliki sifat yang sama dengan selebgram itu sendiri. Bahkan sering pula
terjadi, penggemar mau membeli atau mengonsumsi produk bukan semata-mata
karena ia membutuhkan peroduk tersebut, melainkan hanya karena ia merupakan
penggemar berat dari selebgram dan ingin terlihat sama seperti selebgram yang
dikaguminya. Di Indonesia, selebgram yang melakukan endorsement sering kali
disebut juga sebagai selebgram endorser.
Selebgram endorser yang memiliki banyak followers memungkinkan untuk
memberikan keuntungan lebih pada produk dan produsen, sebab pesan visual
yang diunggahnya memungkinkan untuk disaksikan oleh banyak audiens. Maka,
tak heran jika semakin banyak jumlah pengikut followers, maka semakin mahal
pula upah yang harus dibayarkan kepada selebgram endorser untuk mengunggah
satu kali foto. Sistem berbayar ini kemudian menyebabkan selebgram endorser
memiliki status sosial tersendiri, baik dalam dunia maya maupun dalam
kehidupan sesungguhnya. Besarnya upah yang harus dibayarkan, didukung
dengan banyaknya jumlah pengikut followers merupakan salah satu faktor yang
dapat mengindikasikan ketenaran dan kredibilitas selebgram tersebut.
Hasil unggahan yang baik adalah salah satu hal utama bagi selebgram
endorser untuk mendapatkan perhatian khalayak. Untuk menghasilkan hal itu, tak
jarang mereka melakukan usaha-usaha di belakang layar yang dapat dilakukannya
sendiri, maupun dengan bantuan orang lain. Mulai dari bersolek untuk performa
di depan kamera, pemilihan latar untuk objek pemotretan, pengunaan lensa
sebagai media perekam, serta pemilihan penggunaan smartphone sebagai media
pengunggah merupakan hal penting yang mereka perhatikan. Keseluruhan usaha
di balik layar tersebut merupakan proses produksi pesan visual yang nantinya
akan diunggah ke media Instagram. Semakin baik wujud pesan yang nantinya
akan diunggah, maka semakin banyak pula likers pada posting pesan tersebut.
Hal yang menarik dari fenomena selebgram endorser adalah bahwa dalam
dunia penelitian Ilmu Komunkasi, telah beberapa kali mengulas tentang
bagaimana selebgram endorser ini memiliki pengaruh terhadap audiens. Namun,
belum banyak penelitian yang mengulik bagaimana proses dibalik produksi pesan
yang dilakukan oleh selebgram endorser ini hingga menjadi sebuah unggahan
pesan visual berbentuk gambar, foto, maupun video endorsement yang menarik
perhatian dan memiliki pengaru yang kuat terhadap khalayak. Bagaimana
kehidupan keseharian selebgram endorser, serta bagaimana pemaknaan
selebgram sendiri bagi mereka, apakah untuk sekadar hobi, sekadar mengisi
waktu luang atau bahkan telah dijadikannya sebagai sebuah profesi merupakan
ranah yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Selain itu, media apa saja yang
dibutuhkannya untuk memroduksi sebuah pesan, seberapa besar upaya yang
dilakukannya, adakah kesamaan upaya dengan pengguna Instagram pada
umumnya dalam memroduksi sebuah pesan, serta berapa lama waktu yang
dihabiskannya untuk menghasilkan sebuah foto merupakan hal yang menarik
untuk ditelusuri lebih jauh lagi. Untuk itu, peneliti mencoba menelisik lebih dalam
lagi bagaimana aktivitas behind the scene yang dilakukan oleh selebgram
endorser dalam melakukan proses produksi pesan hingga menjadi sebuah
unggahan foto endorsement yang memiliki pengaruh terhadap pengikutnya.
Pada tahun 2016, jumlah pengguna Instagram di Indonesia didominasi oleh
pengguna dengan rentan usia 16-25 tahun.4 Di sisi lain, Yogyakarta sebagai Kota
Pelajar memiliki jumlah pemuda yang tidak sedikit dibandingkan dengan kota-
kota lain yang berada di Indonesia. Hingga akhir tahun 2016, jumlah pemuda
dengan rentan usia 15-24 tahun yang berada di Yogyakarta mencapai 477 ribu
4https://www.statista.com/statistics/279776/preferred-netizen-social-media-in-indonesia-by-age/, diakses pada tanggal 2 Desember 2016.
jiwa5, dengan jumlah lelaki sebanyak 248.7 ribu dan perempuan sebanyak 228.3
ribu jiwa. Hal ini menarik bagi peneliti untuk menelisik lebih jauh selebgram
endorser yang berada di Yogyakarta, sebab sebagian besar pengguna Instagram
merupakan kaum muda, dan Yogyakarta merupakan wilayah dengan jumlah kaum
muda yang cukup banyak di Indonesia. Untuk itu, peneliti memilih selebgram
endorser asal Yogyakarta untuk menjadi subjek penelitian dalam penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang menjadi
fokus dalam penelitian ini adalah: Bagaimana proses produksi pesan yang
dilakukan oleh akun selebgram endorser pada media Instagram?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini disusun dengan tujuan:
1. Untuk mendeskripsikan proses produksi pesan yang dilakukan oleh akun
selebgram endorser.
2. Untuk menganalisis sosok dibalik akun selebgram endorser.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya serta memperluas wacana
Ilmu Komunikasi, khususnya dalam ranah produksi pesan yang dilakukan
oleh akun instagram endorser pada media Instagram.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca berkaitan
dengan cara, proses, serta dinamika yang terjadi selama produksi sebuah
unggahan pesan viusal pada akun instagram endorser.
5https://yogyakarta.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/3, diakses pada tanggal 2 Desember 2016.
E. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah pemilik akun instagram endorser yang
memahami proses produksi pesan dibalik terciptanya sebuah unggahan
endorsement. Penelitian ini ingin mengamati proses dibalik terciptanya sebuah
pesan visual pada media instagram yang dilakukan oleh akun selebgram
endorser. Proses yang dimaksud adalah meliputi tata cara, tahap, serta dinamika
yang terjadi selama proses persiapan, pengambilan gambar, proses pemilihan
gambar dan editing, pemilihan caption, serta pengunggahan pesan visual
dilakukan oleh pemilik akun selebgram endorser. Tak jarang, selama proses
tersebut berlangsung, para pemilik akun selebgram endorser ini tidak murni
hanya melakukan serangkaian proses tersebut seorang diri, dan dengan
background visual yang seadanya. Sering kali mereka menggunakan jasa orang
ketiga untuk mempermudah pengerjaan, dan tak jarang mereka rela menelusuri
lokasi yang jarang dijamah atau berjarak cukup jauh demi mendapatkan
background pemotretan objek yang menarik. Proses inilah yang nantinya akan
menjadi kajian utama dalam penelitian ini.
Singkatnya, fokus penelitian ini terletak pada proses produksi pesan visual
yang dilakukan oleh pemilik akun selebgram endorser, dengan lokus penelitian
yang terletak pada ranah pesan dan selebgram endorser yang menjadi subjek
penelitiannya.
F. Kerangka Pemikiran
1. Proses Produksi Pesan
Pesan merupakan suatu komponen terpenting dalam proses komunikasi.
Pesanlah yang menyebabkan tujuan komunikasi yang dilakukan oleh
komunikator (encoder) dapat diterima oleh komunikan (decoder). Pesan
komunikasi dapat berwujud verbal maupun non-verbal. Ia sampai kepada
decoder melalui suatu medium perantara. Pada proses komunikasi, pengemasan
sebuah pesan tiap individu akan selalu berbeda-beda. Proses pengemasan inilah
yang menjadi hal penting dalam proses pesan dan nantinya akan dijadikan
landasan pemikiran dalam penyusunan penelitian ini.
Produksi pesan merupakan proses pembentukan dan penyampaian makna.
Interaksi sosial dan kultural merupakan dua konteks yang dapat memiliki
pengaruh terhadap proses pembentukan pesan. Pada tahapan produksi pesan,
terdapat pemaparan bagaimana proses penciptaan pesan seseorang dalam bentuk
tulisan, ucapan, maupun ekspresi dari pemroduksi pesan. Dibalik produksi
sebuah pesan, biasanya terdapat tujuan serta kepentingan-kepentingan tersendiri,
seperti kepentingan bisnis maupun kepentingan politik. John Fiske (2004)
menegaskan bahwa tujuan merupakan faktor yang krusial dalam memutuskan
apa yang membentuk sebuah pesan. Tujuan pesan dalam proses komunikasi
dapat bersifat informatif, persuasif, dan bersifat mengontrol.
Pada ranah produksi pesan, definisi dan teori yang terdapat didalamnya
sebagian besar memaparkan konsep encoding. Pemaparan yang ada memberikan
pemahaman kepada pembaca terhadap proses produksi, seperti teori logika
desain pesan, teori penyusunan tindakan, serta teori perencanaan dan tujuan
pesan.
1) Teori Logika Desain Pesan (Message Design Logic)
Logika Desain Pesan merupakan teori yang dikemukakan oleh
B.J.O‟Keefe. Ia mengemukakan bahwa Teori Logika Desain Pesan terbagi
menjadi tiga logika, yaitu logika ekspresif, logika konvensional, dan logika
retorika (Miller, 2002:11). Logika ekspresif yaitu logika yang memandang
komunikasi sebagai cara untuk mengekspresikan diri serta untuk
menyatakan perasaan dan pikiran. Pesan yang disampaikan dalam logika ini
bersifat terbuka dan apa adanya.
Logika konvensional yaitu logika yang memandang komunikasi sebagai
permainan yang harus dimainkan dengan mengikuti sejumlah prosedur.
Tujuan dari logika ini adalah untuk menciptakan komunikasi yang sopan,
pantas, dan mengikuti aturan yang harus diketahui oleh kelompoknya.
Logika ini hanya dapat berjalan ketika seluruh komunikan dalam sebuah
kelompok menjalankan aturan-aturan yang ada. Selain itu, logika ini
dianggap berhasil ketika terdapat reaksi antar kelompoknya. Logika ini
menganggap bahwa pesan yang diproses merupakan pesan yang
berdasarkan pada aturan dan norma yang berlaku, sehingga lebih memiliki
sifat kesopanan dan kelayakan.
Logika retorika merupakan logika yang memandang komunikasi sebagai
suatu cara untuk mengubah aturan melalui negosiasi. Pesan-pesan yang
disusun pada logika ini cenderung bersifat fleksibel, berwawasan dan
berpusat pada komunikannya.
2) Teori Penyusunan Tindakan (Action Assembly Theory)
John Greene dalam Miller (2002:102) menjelaskan bagaimana cara
encoder mengorganisasikan pengetahuan dan pikiran, lalu menggunakannya
untuk membentuk sebuah pesan. Terdapat dua komponen utama dalam teori
ini, yakni pengetahuan akan isi (content knowledge) dan pengetahuan
prosedural (procedural knowledge).
Pengetahuan akan isi atau kandungan memaparkan bagaimana seorang
komunikator harus memahami kandungan, isi, atau hal yang ingin ia
komunikasikan. Sedangkan pengetahuan prosedural terdiri dari suatu
kesadaran akan konsekuensi dari berbagai aksi komunikasi, dalam situasi
yang berbeda-beda. Pada teori kumpulan aksi, komponen ini merupakan
komponen yang utama. Cara kerja pengetahuan prosedural ini dijelaskan
oleh Greene dalam (Littlejohn, 2001:101) seperti titik-titik yang saling
berhubungan antar satu sama lain. Asumsi utama pada pendekatan ini yakni:
anda mengerti tentang sesuatu, dan anda mengerti bagaimana melakukan
sesuatu itu.
Dalam (Miller, 2002:106), Greene menyebutkan bahwa kesinambungan
antar tindakan untuk membentuk penyampaian pesan merupakan suatu
proses yang rumit dan tidak selalu berhasil. Untuk itu, perlu kemampuan
tersendiri bagi pemilik akun selebgram endorser untuk mengambil tindakan
yang diperlukan secara efektif dan efisien, agar pesan dapat tersampaikan
dengan baik dan dapat memenuhi tujuan komunikasinya. Dengan kata lain,
kesinambungan tindakan yang dilakukan oleh akun selebgram endorser
sangat menentukan terhadap keberhasilan dan kredibilitas pesan visual yang
akan dipublikasikannya.
3) Teori Perencanaan dan Tujuan
Teori Perencanaan dicetuskan oleh Berger dalam bukunya berjudul
Planning Social Interaction pada tahun 1997. Dalam bukunya tersebut, ia
menjelaskan bahwa pemaparan mengenai teori ini berguna untuk
mengetahui seberapa besar pengaruh perencanaan terhadap kemungkinan
dan kompleksitas, bagaimana aktor-aktor sosial menggagalkan rencana,
serta untuk mengetahui pengaruh kesuksesan atau kegagalan sebuah
perencanaan komunikasi.
Sedangkan teori tujuan yang dicetuskan oleh C. Berger dalam (Miller,
2002:107) ini memaparkan bahwa rencana-rencana dari perilaku
komunikasi merupakan sebuah representasi hirarki kognitif dari rangkaian
tindakan untuk pencapaian tujuan. Pada pembahasan ini, rencana dianggap
sebagai sebuah rangkaian tindakan yang dilakukan oleh encoder guna
mencapai tujuan komuikasinya. Pada teori ini, dijelaskan bagaimana
encoder melewati proses-proses yang berlangsung dalam diri manusia
ketika proses komunikasi berlangsung, mulai dari proses berfikir, proses
pembuatan keputusan, hingga sampai pada proses pembuatan simbol
sebelum memproduksi pesan.
Rencana-rencana merupakan gambaran mental dari langkah-langkah yang
akan diambil oleh seseorang untuk memenuhi sebuah tujuan. Littlejohn
(2008:185) menyebutkan bahwa seluruh rencana disebut sebagai hirarki
karena tindakan-tindakan tertentu diperlukan untuk menyusun segala
sesuatunya, sehingga tindakan-tindakan lain akan dapat diambil. Oleh
karena itu, perencanaan dapat dimaknai sebagai proses rencana-rencana
kegiatan. Perencanana pesan merupakan hal yang penting dalam produksi
pesan, sebab perencanaan mampu mempengaruhi suatu komunikasi untuk
dapat meraih tujuannya.
Pemaparan mengenai konstruksi tujuan dalam buku Miller dijabarkan lagi
ke dalam hal yang lebih spesifik. Dillard, Segrin & Hardin dalam (Miller,
2002:107) menyebutkan bahwa tujuan dalam hal ini diklasifikan lagi
menjadi dua, yakni tujuan primer dan tujuan sekunder. Tujuan primer
berada dalam situasi komunikasi di mana komunikator bertindak untuk
tujuan menyelesaikan masalah dalam interaksi. Penggunaan kalimat
persuasif merupakan salah satu konstruksi guna menimbulkan reaksi
interaksi terhadap audiensnya. Sedangkan tujuan sekunder tidak terdapat
penekanan di dalam interaksi. Tujuan sekunder lebih menekankan pada isu
hubungan (relational). Secara spesifik, tujuan sekunder terbagi ke dalam
lima tipe, sebagai berikut (Miller, 2002:108):
- Identity goals, melibatkan adanya konsep diri.
- Interaction goals, fokus dengan menjadi masyarakat yang tepat.
- Relational resource goals, fokus terhadap peningkatan atau pemeliharaan
aset hubungan, seperti dukungan, perhatian, atau stimulasi.
- Personal resource goals, fokus terhadap peningkatan atau pemeliharaan
terhadap aset individu.
- Arousal management goals, memusatkan pembahasan pada penjagaan
gairah (arousal) pada wilayah yang diterima.
Setelah berbicara mengenai beberapa pendekatan terhadap produksi pesan,
terdapat pula proses pesan yang juga akan digunakan sebagai landasan penelitian
ini. Jika pembahasan pada ranah produksi pesan berfokus pada konsep encoding,
maka pada ranah proses pesan, titik tekannya ada pada decoding, atau peroses
datang dan penerimaan pesan. pada ranah proses pesan, terdapat model
komunikasi yang peneliti anggap sesuai untuk menjadi landasan penelitian ini,
yakni Elaboration Likelihood Model. Asumsi dalam model ini adalah bagaimana
penerima dapat terpengaruhi oleh maksud dari pesan yang disampaikan oleh
komunikator, dan direalisasikan secara langsung. Model ini memiliki dua rute
penerimaan pesan, yaitu (Miller, 2002:118-119):
1) Terpusat (Central)
Rute ini merujuk pada detail pesan yang dipersuasifkan, argumen pesan
yang harus relevan, masuk akal, dan kuat. Rute ini digunakan ketika
komunikan memproses informasi yang baru masuk menggunakan rasio, lalu
menyelidiki dan mempertimbangkan pesan yang ia dapatkan untuk
kemudian dilakukan tindakan dengan sadar guna merespon pesan tersebut.
2) Periferal (Peripheral)
Rute ini merujuk pada pemikiran kognitif untuk mengevaluasi pesan
tersebut. Rute ini melihat bagaimana pesan itu diterima atau ditolak tanpa
memperhatikan sikap-sikap yang diminta atau diharapkan untuk diubah.
Rute ini menitikberatkan pada kredibilitas pesan itu sendiri. Apakah pesan
tersebut memiliki daya pikat? Apakah orang suka pada pesan itu? Apakah
orang yang memberi pesan dapat dipercaya? Selain itu, kredibilitas dari
komunikator juga sangat diperhatikan dalam rute ini.
Penentuan kedua rute diatas dipengaruhi oleh faktor motivasional dan faktor
kemampuan (Miller, 2002:120). Motivasi sedikitnya terdiri atas tiga hal.
Pertama, keterlibatan audiens dengan topik. Semakin penting topik yang diapilih
oleh akun selebgram endorser, maka audiens akan semakin antusias untuk
menyimak pesan yang diberikan. Faktor kedua adalah perbedaan pendapat.
Audiens akan menilai sebuah topik dari berbagai sumber. Faktor ketiga adalah
kecenderungan pribadi decoder atau audiens untuk berpikir kritis. Sedangkan
faktor kemampuan meliputi ketersediaan sumber data atau teori yang relevan
untuk menunjang argumentasi komunikator sebagai encoder.
Model Elaboration Likelihood mengasumsikan bahwa argumentasi pesan
yang kuat akan berhasil masuk ke dalam rute periphal, yakni pesan tersebut
dapat singgah meski untuk sementara waktu, atau bahkan dapat masuk ke rute
yang lebih dalam yakni rute central, di mana pesan tersebut dapat berpengaruh
ke dalam perubahan perilaku.
2. Micro-Celebrity
Lebih dari satu dekade, studi tentang selebriti menjadi sebuah wilayah yang
berkembang dan bertumbuh dengan subur dan bersaing dengan perluasan kultur
selebriti itu sendiri (Sadasri, 2013:42). Kajian mengenai selebriti sendiri menarik
untuk ditelisik lebih dalam sebab ia memiliki kedekatan khusus dengan khalayak
secara masif. Su Holmes dan Sean Redmond (2006:116) menyebutkan bahwa
kajian menegenai selebriti sangat berguna sebagai titik luncuran bagi investasi
individualitas, tubuh dan imaji tubuh, cara imaji media bekerja pada publik,
selebrasi kepribadian oleh kelompok dan audiens serta subkultur, persimpangan
psikologis terkait kemasyhuran atau reputasi, narsisme dan diri, kajian tentang
aib, ekonomi, politik, serta budaya dan sejumlah besar isu dan fokus yang saling
berpotongan. Aelan Arumpac (2006:7) menegaskan bahwa selebriti merupakan
objek yang unik untuk dianalisis, terutama jika ditinjau dari ketiga bagiannya,
yakni kepribaian, jangkauan, dan konteks. Tiga bagian dari selebriti tersebut
mempengaruhi eksistensi selebriti dalam masayarakat. “Kepribadian selebriti
menjadi daya tarik tersendiri bagi penggemarnya, termasuk pengelolaan konten
untuk dapat menjangkau audiensnya” (Sadasri, 2013:15).
Perkembangan selebriti tidak dapat terlepaskan dari adanya kemajuan
teknologi dan digitalisasi media komunikasi, meskipun selebriti juga tidak selalu
bergantung pada teknologi tersebut. kehadiran teknologi komunikasi, khususnya
pada media komunikasi menyebabkan seseorang pada masanya nanti dapat
menunjukkan kehadiran dirinya pada dunia dalam kurun waktu yang singkat.
“Dalam relasi selebriti dan media baru, gejala selebrifikasi makin
masif melalui web-based media yang memungkinkan respon langsung,
baik dalam bentuk kuantitas follower maupun jumlah pengguna yang
klik „likes‟” (Sadasri, 2013:21)
Pernyataan di atas mengindikasikan bahwa teknologi dan media baru tidak
hanya menyediakan outlet baru dalam eksploitasi selebriti, audiens, dan orang-
orang yang berada dalam rentang antara keduanya (Marwick, 2011:156). Salah
satu bentuk kemunculan media baru sebagai outlet baru dalam kemunculan
selebriti yakni dengan hadirnya media sosial berbasis foto, yang disebut
Instagram. Media ini mendorong munculnya transformasi selebriti berbasis
teknologi media.
Seperti yang telah disebutkan di atas, dengan adanya perkembangan media,
setiap orang dapat berperilaku dan menganggap dirinya sebagai selebriti mikro.
Hal ini dikarenakan adanya jumlah followers dan juga jumlah pengguna yang
klik „likes yang mereka miliki‟. Micro-celebrity muncul sebagai sebuah gaya
baru dalam online performance yang melibatkan tindakan peningkatan
popularitas melalui teknologi web, seperti blog dan situs jejaring sosial (Senft,
2008:25).
Awalnya, micro-celebrity lahir karena adanya media sosial Twitter. Para
micro-celebrity dalam dunia Twitter memiliki penggemar dan pengikut yang
dapat dilihat dari jumlah pengikutnya, jumlah retweet, serta jumlah tweet atau
kicauannya pada media Twitter. Jika selebriti memiliki fanbase untuk
menampung para penggemarnya, maka hal tersebut tidak perlu dilakukan oleh
para micro-celebrity, sebab dengan adanya media Twitter kala itu, mereka dapat
dengan mudah menjangkau audiens, termasuk para pengikut serta para
penggemarnya. Sehingga, kedekatan yang terjalin antara penggemar dan sosok
yang diidolakan akan lebih terlihat pada micro-celebrity. Shane Titlon (2011:2)
menyebutkan bahwa pada media Twitter, micro-celebrity secara kuantitatif
dibatasi dengan audiens yang dimiliki, yakni dengan minimal 6,000 akun
pengguna dan membentuk konten dalam ceruk tertentu.
Marwick (2011:58) mengatakan bahwa terdapat dua jenis tipe micro-
celebrity, yakni „yang diraih‟ (achieved) dan „yang dianggap‟ (ascribed). Tipe
achieved micro-celebrity dapat didefinisikan sebagai status yang diraih secara
sadar. Label selebriti berdasar pada seperangkat pilihan individu untuk
meningkatkan visibilitas, status, dan popularitas, seperti menjadi model atau
menjadi host video show. Sedangkan ascribed micro-celebrity yang dianggap
merupakan posisi selebriti yang ditetapkan melalui produksi media selebriti
tentangnya, seperti paparazzi atau blog.
Berbicara mengenai kajian selebriti, adanya relasi antara internet dan selebriti
membawa pembedaan konsep antara selebriti dan micro-celebrity pada konteks
situs jejaring sosial dan status (Sadasri, 2013:43). Selebriti secara konseptual
merujuk pada seseorang yang telah dikenal oleh banyak orang yang
menyukainya dan tidak dikenalnya (Marwick, 2011:218). Micro-celebrity secara
murni terbentuk karena adanya media sosial. Ia mendapatkan ketenaran karena
adanya media sosial, bukan karena adanya media entertainment layaknya
selebriti profesional. Micro-celebrity dengan selebriti profesional juga memiliki
pebedaan dalam tujuannya unutk meraih sukses dalam hal finansial, sedangkan
micro-celebrity dipandang dengan pemikiran dan tindakannya, tidak selalu
berkaitan dengan tujuan finansial (Marwick dan Boyd, 2011:139).
Kemunculan Instagram sebagai media berbasis visual menyebakan adanya
peralihan pengguna, termasuk peralihan domisili micro-celebrity. Pada dunia
Twitter, micro-celebrity akan tetap ada dan masih akan terus eksis sekalipun
Instagram telah menjadi media sosial yang patut diperhitungkan. Namun,
dengan adanya media sosial Instagram, maka muncul pula bentuk micro-
celebrity pada media sosial ini.
Dalam dunia Instagram, relasi antara micro-celebrity dengan pengikut atau
penggemarnya ditandai dengan adanya data kuantitatif berupa jumlah pengikut
atau follower. McNamara (2009:27-29) memaparkan adanya pengelolaan citra
melalui akuisisi teman, foto, status, dan beragam undangan kegiatan serta
kesemuanya yang berkaitan dengan pengaruh dalam jejaring yang dapat
meningkatkan popularitas dan posisi sosial selebriti tersebut.
Keterkaitan antara micro-celebrity dan Instagram terletak pada posisi
Instagram sebagai wadah baru dalam melahirkan micro-celebrity yang berdasar
pada adanya ketertarikan pengikut atau penggemar terhadap konten pesan visual
yang dihasilkan oleh micro-celebrity itu sendiri. Jika pada media sosial Twitter,
sosok micro-celebrity lebih terkenal karena kicauannya, maka di media sosial
Instagram, sosok micro-celebrity dapat meraih ketenaran karena konten pesan
visual yang diunggahnya ke dalam laman profil akun Instagramnya. Semakin
banyak yang tertarik pada akun micro-celebrity di Instagram, maka akan
semakin banyak pula jumlah likes dan follower yang ia miliki. Angka pada
jumlah likes dan follower pada Instagram sangat mudah mengindikasikan bahwa
individu tersebut merupakan micro-celebrity. Di Indonesia, istilah micro-
celebrity pada media Instagram selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan
Selebgram. Selanjutnya dalam penelitian ini, istilah selebgram akan digunakan
untuk mengindikasikan akun instagram micro-celebrity.
Menurut Hu, Manikoda, dan Kambhapati (2014:1) konten instagram terbagi
menjadi 8 kategori, yaitu: friends, food, gadgets, captioned photos, pet, activity,
selfie, dan fashion. Keseluruhan kategori tersebut masih dapat dikelompokkan ke
dalam 4 kategori umum, yaitu foto manusia (selfie, groufie, dan teman), foto
objek (meliputi hewan peliharaan, gawai, makanan, dan fashion), aktivitas
(meliputi kegiatan indoor dan outdoor) serta foto grafis (meliputi quotes dan
meme).
Namun, yang sering kali menarik perhatian dan tidak dengan mudah lepas
dari perhatian khalayak adalah berkaitan dengan fashion dan gaya hidup
(lifestyle). Adanya minat yang cukup besar bagi pengguna Instagram pada
fashion menyebabkan sebagian besar pengguna Instagram di Indonesia
mengikuti akun fashion.6 Landasan inilah yang digunakan peneliti untuk
menjadikan selebgram endorser bertemakan fashion dan lifestyle sebagai
informan dalam penelitian.
6eMarketer. 2016. Instagram Users in Indonesia Follow Fashion. Diakses dari http://www.emarketer.com/Article/Instagram-Users-Indonesia-Follow-Fashion/1013618. 3 Oktober 2016. Hal.1.
3. Endorsement
Endorsement adalah strategi yang digunakan oleh perusahaan untuk
meningkatkan citra ataupun meningkatkan penjualan produk mereka.
Perusahaan biasanya membayar sosok endorser untuk menggunakan produknya
lantas dipublikasikan melalui media. Hal ini digunakan untuk memudahkan
penyampaian pesan dari perusahaan kepada khalayak yang dituju. Sonwalkar,
Kapse, dan Pathak (2011:14) menyebutkan bahwa endorsement adalah sebuah
bentuk komunikasi di mana seorang selebriti bertindak sebagai juru bicara dari
sebuah produk atau merek tertentu. Sedangkan endorser merupakan atribut
dalam endorsement sebagai sumber informasi dan karakteristik pesan yang
dikomunikasikan untuk dapat mempengaruhi efektivitas proses komunikasi
(Mowen dan Minor, 2002:378).
Belch and Belch (2004:168) memaknai endorser sebagai icon atau sosok
tertentu yang sering juga disebut sebagai sumber langsung (direct source) untuk
mengantarkan sebuah pesan atau memperagakan sebuah produk atau jasa dalam
kegiatan promosi yang bertujuan untuk mendukung efektivitas penyampaian
pesan produk. Penggunaan endorser dalam iklan bertujuan agar dalam
menyampaikan pesan produk, terdapat sebuah dukungan yang menyebabkan
adanya kemudahan untuk penyampaian pesan produk tersebut kepada khalayak.
Pada penelitian ini, endorser dikaitkan dengan selebgram yang melakukan
kegiatan endorsement pada akun pribadinya.
Penggunaan akun micro-celebrity pada instagram sebagai endorser dalam
mengiklankan atau mempromosikan sebuah produk dipercaya memiliki
keefektifan tersendiri karena mampu mempengaruhi perasaan khalayak yang
menyaksikan unggahan pesan visual tersebut. Selain itu, beberapa penelitian
yang membahas mengenai pengaruh selebgram endorser terhadap audiens juga
menyebutkan bahwa selebgram endorser memiliki kekuatan yang cukup besar
untuk mempengaruhi sikap, hingga ke keputusan pembelian konsumen. Untuk
itu, tak jarang jika pebisnis dan pengusaha di Indonesia memanfaatkan akun
micro-celebrity sebagai salah satu media endorser.
Namun, dalam menentukan sosok endorser yang akan dijadikan sebagai
pendukung produk, terdapat bebrapa faktor yang harus diperhatikan.
Sebagaimana yang telah dicetuskan oleh Belch dan Belch dalam Widyaningtyas
(2013:11-12), faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan
endorser adalah sebagai berikut:
1) Source Credibility, menggambarkan persepsi konsumen terhadap keahlian,
pengetahuan dan pengalaman yang relevan yang dimiliki oleh endorser,
berkaitan dengan brand atau produk yang diiklankan serta kepercayaan
konsumen terhadap endorser untuk memberikan informasi yang tidak bias
dan objektif. Kredibilitas memiliki dua sifat penting, yaitu: a) Expertise,
merupakan pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dimiliki endorser
berkaitan dengan produk yang akan diiklankan. b) Truthworthiness,
mengacu pada kejujuran, integritas, dan dapat dipercayainya seorang
sumber.
2) Source Attractiveness, yakni adanya tampilan yang menarik dari selebgram
endorser guna membangiktkan minat audiens untuk menaruh perhatian
kepadanya. Dalam konsep ini, terdapat beberapa poin yang menggambarkan
daya tarik endorser, yakni meliputi: a) Similarity, merupakan persepsi
khalayak berkenaan dengan kesamaan yang dimiliki dengan endorser,
kemiripan ini dapat berupa karakteristik demografis, gaya hidup,
kepribadian, masalah yang dihadapi sebagaimana yang ditampilkan pada
iklan, dan sebagainya. b) Familiarity, yakni pengenalan terhadap
narasumber melalui exposure, misalnya penggunaan endorser dipilih karena
keseringannya mengunggah pesan visual atau muncul di laman media
sosial. Sedangkan typical-person endorser dinilai berdasarkan keakraban
dengan sosok yang sering ditampilkan karena keseringannya dijumpai
dalam kehidupan sehari-hari. c) Likeability, yakni adanya kecenderungan
audiens untuk suka terhadap endorser, bisa jadi karena kemampuannnya,
penampilan fisiknya, atau karena kepribadian dan karakter personal lainnya.
3) Source Power, yakni berupa kekuatan atau kharisma yang dipancarkan oleh
endorser, sehingga mampu mempengaruhi pemikiran maupun tingkah laku
khalayak yang ingin dituju.
Faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan oleh pebisnis atau pengusaha yang
hendak menggandengendorser sebagai pihak pendukung dalam mempromosikan
produk. Sehingga, pesan yang hendak disampaikan oleh pebisnis atau pengusaha
melalui selebgram endorser dapat tersampaikan kepada khalayak yang dituju.
Jika endorser yang dipilih tidak sesuai dengan nilai maupun tujuan yang dibawa
oleh pengusaha tersebut, maka bisa jadi pesan yang ingin disampaikan kepada
audiens dari pebisnis atau pengusaha akan terputus di tengah jalan.
Perlunya memperhitungkan faktor-faktor di atas didukung dengan pendapat
McCracken (1989:312), yang menyebutkan bahwa dalam tahap proses
pemindahan makna pesan, kredibilitas endorser merupakan hal pertama yang
mampu dengan mudah mempengaruhi khalayak. Endorser yang memiliki
jumlah pengikut yang banyak memungkinkan untuk memberikan keuntungan
lebih pada produk, sebab pesan visual yang diunggahnya memungkinkan untuk
disaksikan oleh banyak audiens. Maka, tak heran jika semakin banyak jumlah
pengikut (follower), maka semakin mahal pula upah yang harus dibayarkan
kepada akunselebgram endorser untuk mengunggah satu kali foto. Sistem
berbayar ini kemudian menyebabkan selebgram endorser memiliki status sosial
tersendiri. Besarnya upah yang harus dibayarkan, didukung dengan banyaknya
jumlah pengikut (follower) merupakan salah satu faktor yang dapat
mengindikasikan ketenaran dan kredibilitas selebgram tersebut.
4. Manajemen Media
Organisasi sebagai kekrangka kerja (frame of work) dari suatu manajemen
yang menunjukkan adanya bagian tugas, wewenang dan tanggung jawab yang
jelas antara pimpinan dan bawahan dalam suatu sistem manajemen modern
(Ruslan, 2002:88). Organisasi media memiliki dua aspek penting yang perlu
diperhatkan, yang pertama yaitu aspek manajemen komunikasi (communication
management) dan kedua adalah aspek hubungan antar manusianya (human
relations). Komunikasi manajemen organisasi atau perusahaan oleh O. U.
Effendy (dalam Ruslan, 2002:90-91) dijelaskan memiliki beberapa wujud
komunikasi, yaitu komunikasi vertikal, komunikasi horizontal, dan komunikasi
eksternal. Komunikasi vertikal yaitu arus komunikasi dua arah timbal-balik
dalam melaksanakan fungsi-fungsi manajemen memiliki peranan yang cukup
vital, yaitu komunikasi dari atas ke bawah (downward communication) dan dari
bawah ke atas (upward communication). Komunikasi dari atas ke bawah terjadi
ketika pemimpin memberikan instruksi atau perintah kepada bawahannya,
sedangkan komunikasi dari bawah ke atas terjadi ketika bawahan memberikan
laporan atau pemberian saran kepada atasannya.
Kemudian yang kedua adalah komuikasi horizontal, yaitu komunikasi satu
level yang terjadi antara para karyawan dengan karyawan lainnya atau antara
pimpinan satu departemen dengan pimpinan departemen lainnya dalam satu
tingkatan yang sama. Ketiga, yaitu komunikasi eksternal, yang berlangsung
antara dua belah pihak organisasi atau lembaga dengan pihak luar, misalnya
komunikasi dengan pihak perbankan, rekan bisnis, pelanggan, maupun pejabat
pemerintah.
Hendry Fayol (1985) mengemukakan bahwa terdapat lima fungsi-fungsi
manajemen, yaitu sebagai berikut:
a. Perencanaan (planning)
Manajemen berfungsi untuk menetapkan tujuan-tujuan organisasi dan
penentuan strategi kebijaksanaan proyek, program, prosedur, metode,
sistem, anggaran, serta standar yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan.
b. Pengorganisasian (Organizing)
- Penentuan sumber daya dan kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan organisasi.
- Perancangan dan pengembangan suatu organisasi atau kelompok
kerja yang dapat menggiring hal tersebut pada tujuan.
- Penugasan tanggung jawab tertentu.
- Pendelegasian wewenang yang diperlukan kepada individu-
individu untuk melaksanakan tugasnya.
c. Penyusunan (Staffing)
Manajemen berfungsi untuk melakukan rekrutmen, pengembangan,
serta penempatan dan pemberian orientasi pada karyawan dalam
lingkungan kerja yang menguntungkan dan produktif.
d. Pengarahan (Leading)
Leading dalam fungsi manajemen yaitu bagaimana untuk
mengarahkan karyawan agar melakukan hal-hal yang berkaitan dengan
tujuan.
e. Pengawasan (Controlling)
Pengawasan merupakan penerapan cara dan alat untuk menjamin
bahwa rencana telah dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan.
M.T Myers dan G.E. Myers, dalam bukunya Management of
Communication, menyebutkan bahwa komunikasi memungkinkan
seseorang untuk mengkoordinasikan suatu kegiatan kepada orang lain
untuk mencapai tujuan bersama, tetapi komunikasi tidak sekadar
penyampaian informasi atau pesan dan mentransfer makna saja.
Komunikasi mengandung arti suatu proses transaksional, yaitu berkaitan
dengan pihak lainnya dalam upaya mempertukarkan suatu simbol/lambang
dan membentuk suatu makna serta mengembangkan harapan-harapannya.
Menurut keduanya, fungsi komunikasi dalam pembentukan pola pada
suatu organisasi dapat dianalisis produksi dan pengaturannya. Produksi
dan pengaturan yang terjadi dalam manajemen organisasi adalah sebagai
berikut:
- Menentukan rencana sasaran dan tujuan
- Merumuskan bidang-bidang masalah
- Mengkoordinasikan tugas-tugas secara fungsional
- Instruksi, petunjuk, dan perintah untuk melaksanakan fungsi serta
tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh bawahan
Mengembangkan sistem prosedur instruksi, pelaksanaan tugas atau
fungsi, dan kebijaksanaan umum perusahaan
G. Kerangka Konsep
Dari pemaparan konsep kerangka pemikiran di atas, peneliti menentukan
batasan konsep untuk melakukan penelitian ini. Konsep tersebut adalah
mengenai konsep produksi pesan, micro-celebrity, serta endorsement. Produksi
pesan merupakan proses pembentukan dan penyampaian makna. Interaksi sosial
dan kultural merupakan dua unsur penting yang dapat memiliki pengaruh
terhadap proses pembentukan pesan. Unsur psikologis juga merupakan salah
satu unsur yang dapat mempengarui proses penciptaan pesan yang kemudian
berwujud dalam bentuk tulisan, ucapan, tindakan, maupun visual. Selain itu,
dibalik produksi sebuah pesan, acap kali terdapat kepentingan-kepentingan
tersendiri, seperti kepentingan bisnis maupun kepentingan politik. Adapun faktor
krusial dalam pembentukan sebuah pesan adalah bertumpu pada tujuan. Tujuan
pesan di sini dapat bersifat informatif, persuasif, kontrol, dan sebagainya.
Konsep micro-celebrity merupakan salah satu perluasan strategi dalam
periklanan. Selebgram sebagai micro-celebrity dalam media Instagram dipilih
untuk menjadi medium penyalur pesan dari perusahaan atau pebisnis.
Penggunaan selebgram endorser sebagai penyambung pesan, menyebabkan ia
harus cermat dalam membentuk dan menyampaikan pesan yang sesuai dengan
tujuan perusahaan yang terdapat dalam produk. Pemilihan selebgram endorser
ini dilakukan dengan mempertimbangan berbagai faktor, seperti source
credibility, source attractiveness, dan source power.
Penelitian ini memusatkan perhatian pada konsep pertama, yakni konsep
mengenai produksi pesan. Peneliti ingin mengamati situasi yang sebenarnya di
lapangan ketika selebgram endorser melakukan proses produksi pesan, mulai
dari proses perencanaan, proses pembuatan makna pesan, hingga proses
penyampaian pesan melalui media Instagram.
Pada tahap produksi pesan, selebgram endorser diteliti bagaimana ia
memproduksi pesan dari proses perencanaan dalam logika yang nantinya
dijabarkan dengan menggunakan sudut pandang Teori Logika Desain Pesan,
yang terdiri atas tiga logika. Yakni logika ekspresif, logika konvensional, dan
logika retorika. Selebgram endorser dikaji apakah ia menyampaikan pesan
dengan sifat terbuka dan apa adanya, seperti yang dipandang dalam logika
ekspresif, ataukah selebgram endorser memandang bahwa pesan yang akan ia
sampaikan melalui akun instagram pribadinya merupakan komunikasi yang
harus melibatkan aturan-aturan yang berlaku guna menciptakan komunikasi
yang sopan, pantas, dan mengikuti aturan yang ada. Bisa juga, selebgram
endorser menggunakan logika retorika, yang memandang komunikasi sebagai
cara untuk mengubah aturan melalui negosiasi.
Tahap selanjutnya adalah menelaah selebgram endorser berasarkan Teori
Perencanaan dan Tujuan. Pada teori ini, terdapat pembagian makna tujuan, yakni
tujuan primer dan tujuan sekunder. Jika selebgram endorser cenderung
menggunakan kata-kata atau kalimat persuasif, berarti selebgram endorser
tersebut dapat dikategorikan sebagai komunikator yang memiliki tujuan primer.
Namun, jika tidak begitu terlibat dalam komunikasi persuasif, maka bisa jadi
selebgram endorser tersebut tidak menggunakan tujuan primer dalam
melakukan produksi pesan, melainkan menggunakan tujuan sekunder, di mana
tujuan sekunder sendiri terbagi ke dalam 5 tipe, yakni sebagai berikut (Miller,
2002:108):
- Identity goals, melibatkan adanya konsep diri.
- Interaction goals, fokus dengan menjadi masyarakat yang tepat.
- Relational resource goals, fokus terhadap peningkatan atau pemeliharaan
aset hubungan, seperti dukungan, perhatian, atau stimulasi.
- Personal resource goals, fokus terhadap peningkatan atau pemeliharaan
terhadap aset individu.
- Arousal management goals, memusatkan pembahasan pada penjagaan
gairah (arousal) pada wilayah yang diterima.
Setelah dikaji dengan menggunakan teori Logika Desain Pesan dan Teori
Perencanaan dan Tujuan, aktivitas di balik layar oleh selebgram endorser
kemudian ditelaah dengan menggunakan Teori Penyusunan Tindakan. Pada
tahap ini, selebgram endorser akan dijabarkan berdasarkan content knowledge
dan procedural knowledge. Berdasarkan konsep content knowledge, selebgram
endorser dikaji sejauh apa ia memahami konten atau isi pesan yang akan ia
sampaikan ke khalayak melalui akun instagramnya. Kemudian, berdasarkan
konsep procedural knowledge, selebgram endorser dikaji bagaimana ia
memahami langkah dan tindakan yang akan diambilnya untuk menyampaikan
pesan yang telah ia pahami kontennya. Tindakan apa yang dipilihnya guna
mendukung tujuan dan penyampaian pesan secara efektif, serta bagaimana
tahap-tahap yang dilaluinya setelah menyusun pesan, memahami konten pesan,
menentukan tujuan, serta bagaimana manajemen yang dilakukan pada sebuah
akun selebgram endorser merupakan aspek yang akan ditelaah lebih dalam.
H. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian merupakan senjata utama yang digunakan untuk
membedah penelitian ini. Pemaparan metodologi penelitian pada bab ini disajikan
sebagai berikut:
1. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Lincoln
(dalam Newman, 2003:72), penelitian kualitatif menekankan pada proses
pemaknaan realitas sosial yang tidak diuji atau diukur secara ketat layaknya
penelitian kuantitatif. Pada pendekatan kualitatif, terdapat empat orientasi
utama yang perlu diperhatikan menurut Neuman (dalam Soemantri 2005:60),
yaitu: 1) Data diperlakukan sebagai sesuatu yang bermakna secara intrinsik,
2) Menggunakan perspektif non-positivistik dengan memfokuskan pada
makna subjektif, pendefinisian, metafora, dan deskripsi pada kasus. Dengan
demikian, penelitian kualitiatif bersifat transdental, yang di dalamnya
memiliki tujuan untuk menghilangkan keyakinan palsu yang terbentuk pada
sebuah objek kajian, 3) Menggunakan logika penelitian yang bersifat logic in
practice. Penelitian secara aktual dijalankan secara tidak teratur, lebih
ambigu, dan terikat pada kasus-kasus spesifik, 4) Menempuh langkah-
langkah penelitian yang bersifat non-linear untuk dapat menjalankan orientasi
dalam mengkonstruksikan makna.
Jika dipandang dari sudut pandang ontologis, realitas yang lahir pada
penelitian kualitatif bersumber dari adanya konstruksi realitas oleh individu
yang terlibat dalam penelitian tersebut. Adanya penekanan pada proses
pemaknaan realitas sosial menyebabkan pendekatan kualitatif dianggap
paling tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Sesuai dengan nilai dan
unsur orientasi yang terdapat pada pendekatan kualitatif, peneliti berusaha
untuk mengulik makna dan realitas sosiokultural yang terikat pada kasus
spesifik: proses produksi pesan oleh akun instagram endorser. Selain itu,
pemilihan pendekatan kualitatif ini diperkuat dengan adanya kesempatan
pada metode ini untuk dapat mendeskripsikan suatu fenomena secara rinci
dan mendalam.
2. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Etnografi.
Metode ini pada mulanya digunakan pada kajian Antropologi untuk meneliti
sosial budaya. Hammersley dan Atkinson (dalam Morley, 1992:187)
memaparkan metode Etnografi sebagai berikut:
“Simply one social research method, albeit an usual one, drawing
on a wide range of sources of information. The ethnographer
participates in people‟s lives for an extended period of time.
Watching what happens, listening to what is said, asking questions,
in fact, collecting whatever data are available to throw light on the
issues with which he or she is concerned.”
Metode etnografi menyebabkan peneliti sebagai etnografer harus turut
serta dalam penelitian secara mendalam pada kurun waktu tertentu, dengan
melakukan observasi partisipasi, di mana peneliti ikut masuk ke dalam
suasana lapangan. Dengan metode ini, peneliti dapat merasakan langsung
berada dalam lingkungan objek yang diteliti, untuk kemudian dilakukan
pengamatan mendalam serta pencatatan etnografis terhadap objek penelitian.
Sehingga, diharapkan peneliti mampu mendeskripsikan objek kajian secara
detail sesuai dengan pengalaman konkrit yang terjadi di lapangan. Tak jarang,
peneliti juga berusaha untuk menggambarkan praktik-praktik informan utama
berdasarkan observasi yang dilakukannya di lapangan, utamanya memusatkan
perhatian pada tingkah laku informan dengan berlatarbelakang sosial dan
budayanya.
Pada penelitian ini, peneliti ikut serta ke dalam suasana proses produksi
pesan visual yang dilakukan oleh sosok dibalik akun selebgram endorser,
baik berupa gambar, foto, maupun video. Peneliti akan mencoba mengamati
dan ikut terlibat dalam proses tersebut, mulai dari persiapan, proses editing,
pemilihan foto, serta pemilihan caption yang akan digunakan olehnya. Lebih
jauh lagi, peneliti akan ikut mencoba menelusuri lokasi-lokasi pengambilan
gambar, atau persiapan aksesoris yang dibutuhkan oleh orang-orang dibalik
akun selebgram endorser guna mendukung performanya dalam pemotretan.
Seluruh kegiatan akan peneliti ikuti untuk mendapatkan data yang konkrit dan
sesuai dengan yang terjadi di lapangan. Selain itu, peneliti juga melakukan
wawancara mendalam guna mendapatkan keterangan yang lebih spesifik
berkaitan dengan objek penelitian yang akan dikaji.
3. Jenis Penelitian
“Hasil akhir dari penyusunan etnografi adalah suatu deskripsi verbal
mengenai situasi budaya yang dipelajari.” (Spradley, 2006:33). Maka dari
itu, penelitian yang dilakukan ini bersifat deskriptif, yakni memberikan
penggambaran terkait suatu fenomena tertentu. Terdapat upaya deskripsi,
pencatatan, serta analisis pada penggambaran suatu keadaan atau objek
penelitian. Penelitian yang bersifat deskriptif memusatkan pada pertanyaan
“siapa” dan “bagaimana” yang nantinya harus diuraikan berdasarkan apa
yang didapat oleh peneliti di lapangan. Penelitian deskriptif juga bertujuan
untuk menampilkan gambaran akurat mengenai setiap perincian situasi, latar
sosial, budaya, atau hubungan. Dengan demikian, realitas yang ada di balik
suatu fenomena dapat diselidiki kebenarannya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan pengamatan
partisipan (participant observation) dalam aktivitas keseharian informan,
serta melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) guna
mendapatkan hasil observasi deskriptif berkaitan dengan proses produksi
pesan yang dilakukan oleh sosok dibalik akun selebgram endorser.
Pengamatan partisipan dilakukan untuk mendapatkan kedekatan dengan
informan, berhubungan dengan lingkungan dan suasana yang terjadi ketika
informan tengah memroduksi sebuah pesan visual, baik berupa gambar, foto,
maupun video. Pada tahapan ini, peneliti secara terbuka mengamati perilaku
serta lingkungan yang ada, dengan kesediaan dari selebgram untuk menjadi
informan. Peneliti juga mengikuti kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh
informan, berkaitan dengan persiapan, proses produksi, hingga pasca-
produksi pesan. Sehingga, sebisa mungkin peneliti mendapatkan hasil
pengamatan sesuai dengan situasi empiris yang terjadi.
Untuk mendapatkan data penelitian yang lebih lengkap, peneliti
melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap informan.
Wawancara yang dilakukan tidak hanya terpatok pada panduan wawancara,
namun juga diperluas dengan pertanyaan spontan yang mendukung
penelitian. Sehingga, pertanyaan yang dilontarkan oleh peneliti merupakan
perpaduan antara pertanyaan terencana (closed ended questions) dan
pertanyaan spontan (open ended questions). Hal ini dilakukan agar peneliti
bisa mendapatkan data lebih lengkap dan rinci.
Nuansa yang dibangun saat melakukan wawancara adalah nuansa
informal, sehingga informan lebih leluasa untuk menjawab pertanyaan demi
pertanyaan yang dilontarkan oleh peneliti. Pertanyaan yang diajukan melalui
wawancara tidak hanya dilakukan satu kali pada satu waktu, melainkan
dilakukan setiap kali informan melakukan proses produksi pesan, sebab
informan tidak hanya memiliki satu lokasi saja untuk melakukan proses
produksi pesan, namun dilakukan di beberapa lokasi yang seing kali idak
terduga dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Wawancara
mendalam dilakukan untuk mendapatkan jawaban yang lebih rinci berkaitan
dengan objek penelitian, sehingga membutuhkan waktu yang panjang dan
intensif.
Wawancara yang dilakukan dapat berkaitan dengan latar belakang
informan, motif informan dalam menentukan lokasi pengambilan pesan,
proses editing, pemilihan kata untuk diunggah ke media Instagram, serta
bagaimana aktivitas yang dilakukan setelah proses unggah selesai dilakukan.
Keseluruhan hasil wawancara peneliti catat ke dalam buku catatan etnografis.
Adapun teknik pengumpulan data selain kedua teknik yang telah
disebutkan di atas adalah dengan dokumentasi. Dokumentasi diambil baik
dengan dokumentasi audio, maupun visual. Dokumentasi audio dapat berupa
rekaman suara yang diambil ketika melakukan wawancara. Sedangkan
dokumentasi visual dapat berupa foto, dapat juga berupa pengambilan video.
5. Teknik Analisis Data
Setelah melakukan pengamatan dan wawancara, peneliti melakukan
seleksi terhadap data yang diperoleh, yakni data yang dibutuhkan untuk
penelitian, serta data tambahan yang dapat mendukung penelitian. Setelah
proses penyeleksian selesai dilakukan, peneliti menggunakan data-data yang
telah terseleksi tersebut guna dilakukan analisis data. Analisis data dalam
metode penelitian kualitatif dipahami sebagai berikut:
“Upaya mencari dan menata secara sistematis catatan hasil
observasi, wawancara, dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman
peneliti akan kasus yang sedang diteliti dan menyajikannya bagi
orang lain sebagai temuan.”(Muhadjir, 1996:105)
Merujuk pada pengertian tersebut, langkah yang peneliti lakukan setelah
penyeleksian data adalah pemaknaan peneliti terhadap data yang kemudian
diolah dan menjadi temuan yang representatif bagi khalayak. Perujukann
terhadap teori dan konsep dilakukan pada tahap ini guna menghasilkan
sebuah temuan. Dalam hal ini, digunakan dua cara. Pertama, yakni
menggunakan cara deduktif, sedangkan yang kedua adalah dengan
menggunakan cara induktif.
Cara yang pertama, yakni dengan cara deduktif, merupakan cara yang
dilakukan untuk mengetahui adanya kesesuaian antara teori yang ada dengan
praktik di lapangan. Teori yang telah dipilih sebelumnya dijadikan rujukan
dalam membaca data yang telah didapatkan dari lapangan.
Sedangkan yang kedua, yakni dengan cara induktif. Cara ini memandang
data yang telah terseleksi diamati secara lebih general. Jika di dalamnya
terdapat tindakan-tinddakan komunikasi, maka hal tersebut dapat
digeneralisasikan. Kemudian, hasil dari generalisasi data tersebut
dikategorikan ke dalam beberapa kotak pembahasan sesuai dengan konsep
dan teori yang digunakan.
6. Teknik Pemilihan Informan
Pada penelitian ini, sumber data atau pelaku dari fenomena yang akan
diteliti disebut dengan “informan”. Informan dalam penelitian ini merupakan
pemilik akun selebgram endorser yang berasal dari Daerah Istimewa
Yogyakarta. Pada penelitian ini, terdapat 2 pemilik akun selebgram endorser
yang berkontribusi besar.
Kedua informan tersebut dipilih karena memenuhi 4 kriteria informan
menurut (Spradley, 1997: 63-70), yakni sebagai berikut:
a) Enkulturasi penuh, yaitu selebgram endorser memahami dan mengerti
dengan baik perihal proses produksi pesan visual, mulai dari proses,
hingga pasca pengunggahan, berikut dengan situasi dan kondisi di
lapangan yang terjadi.
b) Suasana budaya yang tidak dikenal, ini berarti suasana dan kebudayaan
yang hendak diteliti tidak diketahui sebelumnya oleh peneliti.
c) Mempunyai waktu yang cukup, yakni selain selebgram endorser bersedia
menjadi informan penelitian, mereka juga memiliki waktu yang cukup
untuk dilakukan penelitian terhadapnya.
d) Non-analitik, yakni selebgram endorser yang dimintai keterangannya
berkaitan dengan objek yang diteliti memaparkan informasi dari sudut
pandangnya, bukan dari sudut pandang luar. Sehingga, mereka dapat
memaparkan suasana budayanya sesuai dengan yang sebenarnya terjadi,
bukan bersentuhan dengan sudut pandang dari luar.
Untuk memilih informan, peneliti melakukan pengamatan terhadap akun-
akun selebgram endorser diYogyakarta yang memiliki fokus terhadap fashion
dan lifestyle. Berdasarkan kriteria di atas, peneliti telah mengajukan
permintaan kepada 7 selebgram endorser dan mendapatkan 5 respon dari 7
permintaan yang dikirim. Dari 5 respon tersebut, peneliti menyaring lagi
menjadi 2 selebgram endorser berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Informan telah menjadi selebgram selama minimal satu tahun.
b. Informan merupakan selebgram yang menerima produk endorsement
selama minimal satu tahun.
c. Informan merupakan selebgram yang diakui oleh media massa atau
media online melalui pemberitaan atau peliputan yang pernah
dilakukan oleh media massa atau media online.
d. Informan bersedia memberikan informasi yang lebih mendalam kepada
peneliti.
e. Informan dipilih dari lingkup yang paling dekat dengan objek
penelitian, sehingga akan memperdalam informasi yang dibutuhkan
oleh peneliti.
f. Informan berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta, sehingga
memudahkan peneliti dalam mengobservasi dinamika proses produksi
pesan.
Informan yang dipilih merupakan selebgram asal Yogyakarta yang
menerima produk endorsement pada akun instagram mereka, yakni akun
@permatasafiraoa dan @miraans_. Keduanya telah dikenal sebagai
selebgram endorsement selama lebih dari dua tahun. Kedua selebgram
endorser tersebut dipilih karena memiliki konsentrasi produk yang sama,
yakni di bidang lifestyle dan fashion.
Selain itu, kedua selebgram memiliki keunikan masing-masing yang
cukup menarik untuk diteliti. Keunikan keduanya terletak pada tone warna
yang dipilih untuk profil mereka. Informan pertama, yaitu
@permatasafiraoa memiliki keunikan dalam memilih warna foto yang
cendderung berwarna dan kontras. Sedangkan informan kedua, yaitu
@miraans_ memilih untuk menggunakan tone warna yang hangat dan
lembut. Kedua perbedaan yang unik ini menyebabkan peneliti ingin
mengetahui bagaimana proses yang mereka lakukan untuk memproduksi
pesan yang dititipkan kepada mereka.
7. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak
di tengah-tengah Pulau Jawa, yang terdiri dari empat kotamadya dan empat
kabupaten, Provinsi DIY. Secara geografis, Daerah Istimewa Yogyakarta
terletak pada titik koordinat 8º 30' - 7º 20' Lintang Selatan, dan 109º 40' - 111º
0' Bujur Timur.
Kedua lokasi tersebut dipilih oleh peneliti berdasarkan pada lokasi tempat
tinggal informan yang akan diteliti, yakni di wilayah Daerah istimewa
Yogyakarta. Meskipun begitu, besar kemungkinan bagi informan untuk
berpindah lokasi ke wilayah yang lebih luas untuk mendapatkan latar foto
yang dianggapnya menarik. Secara keseluruhan, lokasi penelitian terbilang
fleksibel, mengikuti gerak selebgram endorser.
8. Sistematika Penulisan
BAB I
Bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka
pemikiran, serta metode penelitian yang dituangkan dalam bab ini.
BAB II
Pada Bab II, terdapat tulisan mengenai kajian pustaka berkaitan dengan
pemahaman konsep dan teori yang akan digunakan untuk membedah
penelitian, utamanya berkaitan dengan proses produksi pesan dan micro-
celebrity,dan endorsement.
BAB III
Pada Bab III, dipaparkan temuan di lapangan berupa deskripsi informan,
lengkap dengan aktivitas kesehariannya.
BAB IV
Pada bab ini, penulis akan memaparkan pembahasan dan analisis penelitian
yang telah dilakukan. Bab ini merupakan penjabaran inti dari penyusunan
penelitian ini.
BAB V
Bab ini berisi kesimpulan dan saran, yang merupakan penutup dari seluruh
rangkaian penelitian ini.