bab i pendahuluan a. latar belakang masalah... · metode ceramah dan metode tugas, ... berbagai...

75
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan investasi dan sumber masa depan perkembangan suatu bangsa. Pengelolaan dan perlakuan yang benar terhadap anak akan mempertinggi peluang tercapainya kemajuan masa depan suatu bangsa dan negara. Aspek perkembangan jasmani merupakan suatu faktor dominan yang tidak dapat dikesampingkan, bahkan merupakan prioritas untuk dikelola dengan benar dan optimal. Pengembangan aspek jasmani anak dapat ditunjang melalui beberapa kegiatan antara lain melalui kegiatan olahraga. Kegiatan yang lebih mengarah pada proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah-sekolah melalui program- program yang tertuang dalam kurikulum mata pelajaran pendidikan jasmani. Menurut Rusli Lutan (2001), bahwa Pendidikan Jasmani merupakan serangkaian materi pelajaran yang memberikan konstribusi nyata dalam kehidupan sehari-hari dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan jasmani serta rohani peserta didik. Oleh karena itu penyelenggaraan Pendidikan jasmani harus lebih dikembangkan ke arah yang lebih optimal sehingga peserta didik akan lebih inovatif, terampil, kreatif, dan memiliki kesegaran jasmani dan kebiasaan hidup sehat serta memiliki pengetahuan dan pemahaman gerak manusia. Di setiap jenjang sekolah, upaya untuk meningkatkan kualitas proses dan manajemen pendidikan jasmani serta kualitas output pendidikan itu sendiri telah dilakukan dengan berbagai cara, termasuk berbagai peraturan dan kebijakan yang

Upload: truonganh

Post on 06-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan investasi dan sumber masa depan perkembangan suatu

bangsa. Pengelolaan dan perlakuan yang benar terhadap anak akan mempertinggi

peluang tercapainya kemajuan masa depan suatu bangsa dan negara. Aspek

perkembangan jasmani merupakan suatu faktor dominan yang tidak dapat

dikesampingkan, bahkan merupakan prioritas untuk dikelola dengan benar dan

optimal.

Pengembangan aspek jasmani anak dapat ditunjang melalui beberapa

kegiatan antara lain melalui kegiatan olahraga. Kegiatan yang lebih mengarah pada

proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah-sekolah melalui program-

program yang tertuang dalam kurikulum mata pelajaran pendidikan jasmani.

Menurut Rusli Lutan (2001), bahwa Pendidikan Jasmani merupakan

serangkaian materi pelajaran yang memberikan konstribusi nyata dalam kehidupan

sehari-hari dalam upaya meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan jasmani

serta rohani peserta didik. Oleh karena itu penyelenggaraan Pendidikan jasmani

harus lebih dikembangkan ke arah yang lebih optimal sehingga peserta didik akan

lebih inovatif, terampil, kreatif, dan memiliki kesegaran jasmani dan kebiasaan

hidup sehat serta memiliki pengetahuan dan pemahaman gerak manusia.

Di setiap jenjang sekolah, upaya untuk meningkatkan kualitas proses dan

manajemen pendidikan jasmani serta kualitas output pendidikan itu sendiri telah

dilakukan dengan berbagai cara, termasuk berbagai peraturan dan kebijakan yang

mendukung telah dilahirkan dan dilaksanakan, serta mulai menampakkan hasilnya

meskipun belum optimal.

Upaya untuk meningkatkan kualitas proses dan manajemen. Pendidikan

Jasmani di sekolah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, hal ini terlihat dari

siswa masih kesulitan dalam memahami konsep dan penguasaan terhadap teknik

dasar olahraga dan guru-guru juga kesulitan dalam menanamkan konsep dan

penguasaan teknik dasar olahraga pada siswa sehingga berakibat pada rendahnya

hasil belajar siswa. Dari hasil ujian sekolah tahun 2009/2010 diperoleh hasil

penguasaan siswa SMP PENDA Tawangmangu pada materi lempar lembing hanya

(58, 94 %).

Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya hasil belajar siswa antara lain

kurang kreatifnya guru Pendidikan jasmani di sekolah dalam membuat dan

mengembangkan media pembelajaran sederhana, guru miskin akan model-model

pembelajaran, sehingga dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah

dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang monoton, guru hanya menggunakan

metode ceramah dan metode tugas, karena mereka hanya mengejar bagaimana

materi pelajaran tersebut dapat selesai tepat waktu, tanpa memikirkan bagaimana

pembelajaran itu bermakna dan dapat diaplikasikan oleh siswa dalam kesehariannya.

Di lain pihak hasil pengamatan penulis di kelas VII.2 SMP PENDA

TAWANGMANGU menunjukan proses pembelajaran belum melibatkan siswa

secara aktif dalam kegiatan belajar dan pembelajaran. Proses belajar mengajar

hanya didominasi oleh beberapa siswa saja, hal ini menunjukan kurang efektifnya

suatu metode dalam proses belajar dan pembelajaran yang diterapkan oleh guru

dan kurangnya tingkat partisipasi siswa dalam proses pembelajaran. Akibatnya

hanya sebagian siswa saja yang secara aktif mengikuti proses pembelajaran,

sedangkan beberapa siswa masih asyik bercanda, ngobrol dengan teman, atau

bermain sendiri dilapangan tanpa menghiraukan apa yang dijelaskan oleh guru.

Dari pengamatan yang dilakukan oleh penulis, dari 33 siswa menunjukan bahwa

40,62% siswa yang memperhatikan pelajaran, 31,25% siswa yang tidak serius

mengikuti pelajaran, 28,12% siswa yang tidak fokus terhadap pelajaran.

Kurangnya partisipasi siswa dalam mengikuti pelajaran akan menurunkan tingkat

keberhasilan siswa dalam belajar oleh karena itu diperlukan suatu tindakan yang

mampu melibatkan partisipasi siswa dan sekaligus dapat digunakan untuk

mempermudah siswa dalam mengikuti proses pembelajaran demi tercapainya

tujuan pembelajaran yang direncanakan.

Faktor lain dalam pengajaran pendidikan jasmani yang dianggap

membosankan dan kurang disenangi adalah model pembelajaran guru yang tidak

menyesuaikan dengan karakteristik, kemampuan, dan perkembangan anak. Guru

pendidikan jasmani mengajarkan materi dan memperlakukan siswa sama dengan

orang dewasa. Pendidikan Jasmani untuk Sekolah Menengah Pertama seharusnya

berbeda dengan orang dewasa. Kegiatan jasmani merupakan sebuah kegiatan yang

perlu diprogramkan dengan pengelolaan yang benar melalui pendekatan

pertumbuhan dan perkembangan anak. “Anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran

kecil” (Harsono, 1988) Untuk itu setiap anak memiliki ciri dan sifat yang khas yang

harus diberikan perlakuan yang khas pula.

Bila orang dewasa memiliki kegiatan jasmani dalam bentuk olahraga dengan

fasilitas yang standar, maka anak-anak memerlukan implementasi kegiatan jasmani

dengan segala peralatannya yang khas sesuai dengan ciri dan sifat anak tersebut.

Kondisi ini sangat diperlukan agar anak dapat melakukan kegiatan jasmani dan

olahraga sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya.

Upaya untuk menyesuaikan pembelajaran pendidikan jasmani dengan

karakteristik, kemampuan, dan perkembangan siswa SMP, dapat dilakukan melalui

pembelajaran pendidikan jasmani yang dimodifikasi. Menurut Soepartono (2004)

bahwa modifikasi pendidikan jasmani dapat dilakukan dengan penekanan pada

berbagai aspek seperti materi, alat, ukuran lapangan, bentuk, jumlah pemain.

Untuk mewujudkan suatu kondisi pembelajaran pendidikan jasmani yang

memaksimalkan pengalaman belajar siswa, diperlukan alat-alat pembelajaran dalam

jumlah yang memadai, bila sekolah tidak memiliki peralatan, guru pendidikan

jasmani bersama siswa dapat membuat peralatan sederhana (Depdiknas, 2004).

Dalam penelitian ini, modifikasi pendidikan jasmani difokuskan pada aspek

alat yaitu modifikasi lembing. Secara umum kendala yang sering dihadapi guru

dalam pembelajaran lempar lembing adalah keterbatasan alat dengan jumlah siswa

yang cukup besar. Setiap kelas terdiri atas 33 orang siswa, sedangkan alat yang

tersedia hanya empat buah lembing. Apabila proses pembelajaran teknik dasar

lempar lembing dilaksanakan apa adanya, guru pendidikan jasmani tidak akan

mampu menciptakan suatu strategi pembelajaran yang baik. Akibatnya pengalaman

belajar siswa sangat kurang sekali. Artinya kesempatan belajar yang diperoleh untuk

menguasai teknik-teknik dasar lempar lembing hanya beberapa kali saja. Di sisi lain

alokasi waktu yang tersedia yang semestinya digunakan oleh siswa untuk

memperoleh pengalaman belajar secara maksimal, karena minimnya alat-alat

pembelajaran, malah lebih banyak digunakan untuk mengambil lembing yang

dilempar jauh, dan menunggu giliran untuk melempar.

Modifikasi adalah pengubahan. Dalam penelitian tindakan kelas ini, peneliti

akan mencoba strategi modifikasi dalam pembelajaran Pendidikan Jasmani pada

siswa kelas VII.2 SMP PENDA Tawangmangu tahun ajaran 2009/2010, dengan

materi teknik dasar lempar lembing. Peningkatan hasil belajar dengan yang

dimaksud peneliti adalah modifikasi pembelajaran dengan pendekatan permainan

yang mengarah terhadap pendekatan teknik. Disamping itu, modifikasi yang

digunakan peneliti adalah suatu metode pembelajaran untuk meningkatkan

partisipasi siswa dalam mengikuti proses belajar dan pembelajaran Penjas khususnya

materi teknik dasar lempar lembing. Dengan diadakannya modifikasi pembelajaran

pendidikan jasmani yang dilakukan peneliti, diharapkan akan memecahkan atau

akan mengetahui sekaligus akan menemukan jalan keluar dari masalah yang

dihadapi guru dan siswa dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani, khususnya

pembelajaran teknik dasar lempar lembing.

Tujuan modifikasi lembing ini ialah agar siswa lebih tertarik, senang dan

mudah menguasai teknik dasar lempar lembing. Setidak-tidaknya sifat kaku

tradisional yang terikat pada peraturan dan teknik dasar praktik pembelajaran lempar

lembing, untuk sementara dapat diabaikan.

Guru dalam mengajarkan lempar lembing harus selalu memikirkan tentang

bagaimana bagian dari materi pelajaran lempar lembing dapat dibuat semenarik dan

menyenangkan mungkin. Bentuk peralatannya, susunan kelompok, dan gerakan

lemparnya harus bervariasi.

Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis dan dari masalah umum yang

dihadapi guru penjas dalam menyampaikan materi khususnya teknik dasar lempar

lembing, maka penulis merasa tertarik dan yakin untuk melakukan Penelitian

Tindakan Kelas (PTK) pada siswa kelas VII.2 SMP PENDA Tawangmangu

Kabupaten Karanganyar dengan judul “Penggunaan Alat Bantu Pembelajaran

dalam Meningkatkan Hasil Belajar Lempar Lembing”.

Diharapkan dengan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang penulis lakukan

dapat memberikan jalan keluar dari masalah yang selama ini dihadapi oleh para guru

Pendidikan Jasmani, olahraga dan kesehatan dalam pembelajaran Pendidikan

Jasmani pada umumnya dan pembelajaran teknik dasar lempar lembing pada

khususnya, serta mampu memperbaiki proses pembelajaran pendidikan jasmani

yang akhirnya mampu meningkatkan partisipasi aktif dan kemampuan siswa dalam

bidang olahraga pada umumnya, di bidang penguasaan teknik dasar lempar lembing

pada khususnya.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dapat di

identifikasi masalah sebagai berikut:

1. Proses pembelajaran yang berlangsung di kelas VII.2 SMP PENDA

Tawangmangu belum mencapai hasil yang optimal.

2. Partisipasi siswa dalam proses pembelajaran khususnya di kelas VII.2 SMP

Tawangmangu masih kurang.

3. Kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan proses

pembelajaran khususnya di kelas VII.2 SMP PENDA Tawangmangu.

4. Kurang kreatifnya guru Pendidikan jasmani dalam membuat dan mengembangkan

media pembelajaran sederhana di dalam proses pembelajaran khususnya di kelas

VII.2 SMP PENDA Tawangmangu.

C. Pembatasan Masalah

Sehubungan dengan luasnya permasalahan yang timbul dari topik kajian

maka pembatasan masalah perlu dilakukan guna memperoleh kedalaman kajian

dan menghindari perluasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam hal ini

adalah:

1. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII.2 SMP PENDA

Tawangmangu semester ganjil Tahun Pelajaran 2009/2010.

2. Objek Penelitian

a. Pembelajaran teknik dasar lempar lembing yang dimodifikasi melalui

penggunaan rudal dalam meningkatkan hasil belajar lempar lembing siswa

kelas VII.2 SMP PENDA Tawangmangu.

b. Partisipasi siswa mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan, dan

berpartisipasi dalam pembelajaran lempar lembing.

D. Perumusan Masalah

Bertolak dari latar belakang masalah, identifikasi dan pembatasan masalah, maka

permasalahan yang menjadi pokok penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah penggunaan alat bantu (rudal) dalam pembelajaran penjaskes dapat

meningkatkan hasil belajar lempar lembing siswa kelas VII.2 SMP Penda

Tawangmangu.

2. Bagaimanakah cara meningkatkan partisipasi siswa dalam pembelajaran

Penjas khususnya pembelajaran teknik dasar lempar lembing siswa kelas VII.2

SMP Penda Tawangmangu.

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini

mempunyai tujuan untuk mengetahui:

1. Meningkatkan hasil belajar lempar lembing siswa kelas VII.2 SMP Penda

Tawangmangu tahun ajaran 2009/2010 melalui penggunaan alat bantu

pembelajaran berupa rudal/ lembing yang dimodifikasi.

2. Meningkatkan partisipasi siswa kelas VII.2 SMP Penda Tawangmangu tahun

ajaran 2009/2010 melalui penggunaan alat bantu pembelajaran berupa rudal/

lembing yang dimodifikasi.

F. Manfaat Penelitian

1. Bagi Lembaga Pendidikan (Instansi)

a. Sebagai bahan masukan/saran untuk mengembangkan strategi belajar

mengajar yang tepat dalam rangka untuk meningkatkan kualitas proses

dan kualitas hasil belajar siswa ataupun mutu lulusan.

2. Bagi Guru

a. Memotivasi kreatifitas guru di sekolah dalam membuat dan

mengembangkan media pembelajaran sederhana

b. Sebagai bahan masukan/ saran bagi guru dalam memilih alternatif

pembelajaran yang dapat meningkatkan keterlibatan atau partisipasi siswa

dalam proses belajar mengajar

3. Bagi Siswa

Memacu siswa agar lebih berpartisipasi dan berperan serta secara aktif dalam

kegiatan belajar mengajar agar mendapatkan hasil belajar yang lebih baik dan

dapat meningkatkan prestasi belajarnya.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pembelajaran

a. Konsep Pembelajaran

Pembelajaran adalah seperangkat prinsip-prinsip yang dapat digunakan

sebagai pedoman untuk menyusun berbagai kondisi yang dibutuhkan mencapai

tujuan pendidikan. Moh. Uzer Usman (2001: 62) mengemukakan bahwa:

Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung

serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik,

berlangsung untuk mencapai tujuan tertentu. Dari pernyataan tersebut terkandung

pengertian bahwa syarat utama berlangsungnya proses belajar-mengajar yaitu

adanya interaksi.

Selanjutnya, menurut Mulyasa (2003: 100) menyatakan ”pembelajaran pada

hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkungannya,

sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik”. Interaksi adalah

saling mempengaruhi yang bermula adanya saling berhubungan antara komponen

yang satu dengan yang lainnya. Interaksi dalam pembelajaran adalah kegiatan

timbal balik dan saling mempengaruhi antara guru dengan peserta didik.

Pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memfasilitasi,

meningkatkan intensitas dan kualitas belajar pada diri peserta didik. Oleh karena

itu pembelajaran merupakan upaya sistematis dan sistemik untuk memfasilitasi

dan meningkatkan proses belajar maka kegiatan pembelajaran berkaitan erat

dengan jenis hakikat dan jenis belajar serta hasil belajar tersebut. Pembelajaran

harus menghasilkan belajar, tapi tidak semua proses belajar terjadi karena

pembelajaran. Proses belajar terjadi juga dalam konteks interaksi sosial-kultural

dalam lingkungan masyarakat.

Pembelajaran dalam konteks pendidikan formal, yakni pendidikan di

sekolah. Sebagian kecil pembelajaran terjadi juga di lingkungan masyarakat.

Miisalnya, pada saat kegiatan ko-kurikuler (kegiatan di luar kelas dalam rangka

tugas suatu mata pelajaran), ekstra-kulikuler (kegiatan di luar mata pelajaran, di

luar kelas), dan ekstramual (kegiatan dalam rangka proyek belajar atau kegiatan di

luar kurikulum yang di selenggarakan di luar kampus di sekolah, seperti kegiatan

perkemahan sekolah). Dengan demikian proses belajar biasa bias terjadi di kelas,

dalam lingkungan sekolah, dan dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam

bentuk interaksi social-kultural melalui media massa dan jaringan. Dalam

konterks pendidikan non formal justru sebaliknya proses pembelajaran sebagian

besar terjadi dalam lingkungan masyarakat, termasuk dunia kerja, media massa

dan jaringan internet. Hanya sebagian kecil saja pembelajaran terjadi di kelas dan

lingkungan, secara diagramatis kompleksitas dan peraksis belajar dan

pembelajaran dapat digambarkan sebagai berikut:

Interaksi Sosial Kultural

Pembelajaran

Belajar

Interaksi Virtual Maya

Gambar 1. Diagaram Kompleksitas Setting Belajar dan Pembelajaran (Udin S. Winataputra, 2007 : 1,19)

Istilah pembelajaran merupakan istilah baru yang digunakan untuk

menunjukan kegiatan guru dan siswa. Sebelumnya, kita menggunakan

istilah”proses belajar-mengajar” dan “pengajaran”. Istilah pembelajaran

merupakan terjemahan dari kata “instruction”. Menurut Gagne, Briggs, dan

Wager yang dikutip oleh Winataputra (2007: 1.19) Pembelajaran adalah

serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses

belajar pada siswa. Instruction is a set event that affect learners in such a way that

learning is facilitated.

Dalam pasal 1 butir 20 UU No 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS,

yakni” Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan

sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Dari pengertian diatas, kita

mengetahui bahwa ciri pembelajaran adalah inisiasi, fasilitasi, dan peningkatan

proses belajar siswa. Ini menunjukan bahwa unsur kesengajaan dari pihak di luar

individu yang melakukan proses belajar, dalam hal ini pendidik secara perorangan

atau kolektif dalam suatu sistem, merupakan ciri utama dalam konsep

pembelajaran. Ciri utama dari konsep pembelajaran. Ciri lain dari pembelajaran

adalah adanya komponen yang saling berkaitan satu sama lain. Komponen

tersebut adalah tujuan, materi, kegiatan, dan evaluasi pembelajaran. Tujuan

pembelajaran mengacu pada kemampuan atau kompetensi yang diharapkan

dimiliki siswa setelah mengikuti suatu pembelajaran tertentu (Winataputra, 2007:

1.19). Materi pembelajaran adalah segala sesuatu yang dibahas dalam

pembelajaran dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan

pembelajaran mengacu pada penggunaan pendekatan, strategi, metode, dan teknik

dan media dalam rangka membangun proses belajar, antara lain membhas materi

dan melakukan pengalaman belajar sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai

secara optimal. Proses pembelajaran dalam arti luas mrupakan jantungnya dari

pendidikan untuk mengembangkan kemampuan, membangun watak dan

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa.

b. Paradigma Dasar Pembelajaran

Winataputra (2007: 1.21-1.31) mengemukakan paradigma dasar

pembelajaran yaitu sebagai berikut:

1) Model Pengkodisian Operant dari B.F Skinner

Dalam mengembangkan strategi pembelajaran di kelas, model ini memiliki

langkah-langkah pokok sebagai berikut:

a) Mengembangkan iklim kelas yang kondusif

Langkah pertama: Menganalisis lingkungan kelas yang ada saat ini

(1) Perilaku positif di kelas yang mendapat penguatan saat ini

(2) Perilaku negatif yang saat ini diberi toleransi

(3) Hukuman apa yang saat ini di jalankan

Langkah kedua: Mengembangkan daftar penguat potensial

(1) Kegiatan yang disukai peserta didik

(2) Perilaku yang selam ini mendapat hukuman

(3) Latar alami yang selama ini menjadi penguat

Langkah ketiga: Memilih urutan perilaku yang mulai dilakukan

(1) Jenis hukuman apa yang akan diubah menjadi penguatan di kelas

(2) Perilaku positif mana yang cenderung muncul terus-menerus di kelas

(3) Stimulus mana yang digunakan untuk secara berbeda untuk

mengendalikan perbuatan

Langkah ke empat: Menerangkan urutan, memelihara cacatan anekdotal,

dan melakukan perubahan yang dikehendaki

(1) Penggunaan aturan rutin di kelas yang jelas dan konsisten

(2) Penggunaan metode penguatan yang jelas dan potensial yang

mengubah perilaku peserta didik

(3) Peluang yang sama bagi setiap peserta didik untuk memperoleh

penguatan

(4) Penerapan penguatan mengikuti perubahan perilaku peserta didik

b) Menyusun pembelajaran terprogram/berbingkai

Langkah pertama: Mengidentifikasi perilaku akhir dan menganalisis

materi yang akan dipelajari

(1) Apa yang dipilih perilaku akhir pembelajaran?

(2) Kata kunci apa yang perlu dipelajari untuk memperoleh perilaku

akhir tersebut?

(3) Contoh-contoh apa saja yang perlu mendapat respon peserta didik

selama proses belajar?

Langkah kedua: Mengembangkan urutan awal bingkai dan konfirmasi

respon

(1) Informasi apa yang akan ditempatkan pada bingkai pertama?

(2) Urutan logis mana yang diharapkan muncul dari peserta didik?

(3) Apakah urutan rangsangan yang dipakai mulai dari yang sederhana

sampai pada yang kompleks?

Langkah ketiga: mereview urutan awal bingkai dan melakukan perubahan

sesuai kebutuhan

(1) Apakah urutan benar-benar dari yang sederhana ke yang kompleks?

(2) Apakah isyarat secara berangsur hilang bersamaan di dalam urutan?

(3) Apakah respon peserta didik cukup bermakna atau alasan saja?

Langkah keempat: Menerapkan pembelajaran pada sekelompok kecil

peserta didik dan menyempurnakan lebih lanjut

(1) Apakah peserta didik mengalami kesulitan untuk bingkai itu?

(2) Apakah ada gejala peserta didik berlomba untuk selesai dengan

hanya membaca bagian dari bingkai itu?

(3) Apakah pembelajaran itu mengarah pada penguasaan penampilan

atau tes akhir yang merujuk pada kriteria?

2) Model Kondisi Belajar dari Robert Gagne-Briggs

Dalam mengembangkan strategi pembelajaran di kelas, model ini

mempunyai langkah-langkah sebagai berikut.

Tabel 1. Langkah-langkah strategi pembelajaran

Tahap Satu: Mengembangkan

Kerangka Kurikulum

Tahap Dua: Mengembangkan

Kerangka Pembelajaran

Tahap Tiga: Mengembangkan Sistem

Langkah 1: Identifikasi kebutuhan, Tujuan jangka panjang, Dan prioritas Langkah 2: Identifikasi kelayakan pencapaian tujuan Langkah 3: Mengembangkan tujuan kurikulum Langkah 4: Merumuskan tujuan pembelajaran

Langkah 5: Analisis tujuan yang menjadi target ke dalm prosedur dan komponen subsekill Langkah 6: Merumuskan tujuan pembelajaran untuk setiap subskill Langkah 7: Identifikasi peristiwa pembelajaran untuk setiap tujuan Langkah 8: Memilih media untuk setiap peristiwa pembelajaran Langkah 9: Mengembangkan tes untuk setiap tujuan pembelajaran

Latihan 10: Latihan Pembelajaran dalam menggunakan sistem Langkah 11: Melakukan evaluasi formatif Langkah 12: Melakukan uji lapangan dan melakukan revisi Langkah 13: Melakukan dan evaluasi sumatif dari system Langkah14: Mengembangkan dan menyebarluaskan sistem

3) Model Pemrosesan Informasi

Dalam mengembangkan srategi pembelajaran di kelas, model ini

memiliki dua langkah pokok sebagai berikut:

a) Pemahaman pengetahuan

Langkah pertama: mengembangkan atau syarat untuk membimbing

penerimaan pengetahuan baru.

(1) Pertanyaan informal apa yang akan menghubungkan struktur kognitif

peserta didik saat ini?

(2) Apakah pembelajaran itu memiliki tujuan yang tertulis atau pertanyaan

arah saja yang akan menarik peserta didik saat ini?

(3) Bagaimana pengetahuan atau keterampilan baru akan memperkuat yang

sudah dimiliki peserta didik saat ini?

Langkah ke dua: pilih atau kembangkan dukungan konseptual yang akan

mampu memfasilitasi penyampaian informasi.

(1) Informasi mana yang perlu digunakan sebagai pemandu awal yang akan

menjembatani pengetahuan lama dengan pengetahuan baru?

(2) Konsep, episode, dan citra mana yang sudah diterima yang dapat

digunakan untuk member ilustrasi istilah, definisi, atau konsep baru?

(3) Apakah pertanyaan penghubung dalm teks dapat digunakan oleh peserta

didik untuk mensimulasi hal yang baru?

(4) Hal apa yang secara logis menarik peserta didik untuk melakukan

simulasi lebih lanjut?

Langkah ke tiga: mengembangkan isyarat yang dapat membantu peserta didik

untuk mengingat kembali yang telah dipelajarinya.

(1) Perbandingan seperti apa dalam konsep, istilah, atau gagasan yang dapat

dibuat untuk semua hal yang telah dipelajarinya?

(2) Pertanyaan inferensi apa yang dapat digunakan untuk menyimpulkan

hasil pembelajaran?

b) Pemecahan masalah

Langkah pertama: menganalisis hakikat masalah

(1) Proses seperti apa yang telah dituntut oleh masalah? Penyusunan,

transformasi, induksi, atau analisis historis.

(2) Apa yang meski ada dalam masalah dan kendala dalam pemecahan

masalah itu?

(3) Untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah yang optimum

langkah yang mana perlu dimusnahkan?

Langkah ke dua: menganalisis perilaku dari pemecahan masalah pemula.

(1) Unsur masalah mana yang menjadi pusat perhatian pemecahan masalah

pemula dan bagaimana perbedaannya dengan masalah yang menjadi

pusat perhatian para pakar?

(2) Unsur masalah penting mana yang biasanya diabaikan oleh pemecah

masalah pemula?

(3) Strategi umum mana yang biasanya digunakan oleh pemecah masalah

pemula, yang dinilai kurang produktif?

Langkah ke tiga: menyajikan masalah kepada peserta didik dan menerapkan

langkah yang tepat untuk membantu peserta didik melalui proses pemecahan

masalah.

(1) Membantu peserta didik megidentifikasi masalah yang sesungguhnya,

jumlah keharusan yang minimum, dan kendala yang implisit dalam

masalah.

(2) Membantu peserta didik merumuskan tujuan, melakukan analisis historis,

dan strategi lain yang perlu dilakukan untuk memecahkan masalah.

(3) Mendorong peserta didik untuk merumuskan dengan kata-katanya sendiri

masalah, tujuan dan strategi yang akan digunakan dalam pemecahan

masalah.

(4) Memberikan pelurusan arah pemecahan masalah, jika memang

diperlukan, pada akhir kegiatan bahas strategi yang digunakan, dan

evaluasi strategi tersebut untuk pemecahan masalah lainnya atau

pemecahan lebih lanjut.

4) Model Pengembangan Kognitif dari Jean Piaget

Dalam mengembangkan strategi pembelajaran di kelas, model ini

memiliki langkah-langkah pokok sebagai berikut.

Langkah pertama: menentukan topik dalam mata pelajaranatau

kurikulum yang biasanya diajarkan dalam ceramah yang dapat menjadi penelitian

peserta didik secara terbimbing. Aspek mana dalam kurikulum yang cocok untuk

eksperimentasi

a) Topik mana yang kondusif untuk kegiatan pemecahan masalah dalam situasi

kelompok?

b) Topik mana yang dapat diperkenalkan dengan cara memanipulasi objek fisik

sebelum perlakuan verbal?

Langkah ke dua: memilih atau mengembangkan kegiatan kelas untuk

mengidentifikasi topik, dan mengevaluasi kegiatan terpilih yang menggunakan

pertanyaan sebagai berikut.

a) Apakah kegiatan itu member peluang diterapkannya berbagai metode

eksperimentasi?

b) Dapatkah kegiatan itu mengarah pada munculnya berbagai pertanyaan dari

peserta didik?

c) Dapatkah peserta didik membandingkan berbagai cara penelaran dalam

bekerja melalui kegiatan?

d) Apakah masalah itu tidak bias dipecahkan atas dasar persepsi dan isyarat

semata?

e) Apakah kegiatan itu dapat membangkitkan baik kegiatan fisik maupun

peluang untuk kegiatan bersifat kognitif?

f) Dapatkah kegiatan itu memperkaya konstruk/kerangka pikir yang sudah ada?

Langkah ke tiga: mengidentifikasi peluang pertanyaan bagi guru yang

dapat menopang proses pemecahan masalah.

a) Pertanyaan pelacak/probing mana yang digunakan?

b) Potensi proses pembandingan seperti apa yang dilakukan dengan

memenfaatkan bahan yang kondusif bagi timbulnya pertanyaan spontan?

Langkah ke empat: mengevaluasi setiap kegiatan, mencatat keberhasilan,

dan merencanakan revisi yang diperlukan.

a) Aspek kegiatan mana yang membangkitkan minat dan keterlibatan peserta

didik paling kuat? Apakah hal itu dapat digunakan pada masa yang akan

mendatang?

b) Aspek kegiatan mana, bila ada, yang terasa datar saja, dan apakah hal itu

disebabkan karena peserta didik gagal melibatkan diri dan bagaimana

mengatasinya pada kesempatan lain?

c) Apakah kegiatan itu memberi peluang untuk mengembangkan strategi

investigasi/penelitian digunakan?

5) Model Belajar Sosial dari Albert Bandura

Dalam mengembangkan strategi pembelajaran di kelas, model ini

memiliki langkah-langkah pokok sebagai berikut.

Langkah pertama: menganalisis perilaku yang akan dimodelkan.

a) Bagaimana hakikat perilaku itu? Bersifat konseptual, motorik, atau efektual?

b) Urutan tahap apa yang seperti perilaku itu?

c) Apa yang merupakkan titik kritis dari urutan itu yang sukar diamati atau bias

menimbulkan perilaku yang keliru?

Langkah ke dua: membangun nilai fungsional dari perilaku dan memilih model

dari perilaku itu.

a) Apakah perilaku itu akan membawa perkiraan keberhasilan, seperti berhasil

mengoperasikan alat atau promosi jabatan?

b) Jika perilaku itu mengandung kelemahan yang diprekdisikan, model potensial

mana yang lebih mugkin mampu memeprediksikan keberhasilan?

c) Meskikah model itu merupakan model hidup atau simbolik? Perlu

dipertimbangkan waktu, biaya, dan kesempatan untuk menggambarkan nilai

fungsional dari perilaku itu?

d) Penguatan apa yang perlu diterima oleh model untuk perilakunya?

Langkah ke tiga: mengembangkan urutan pembelajaran

a) Untuk keterampilan motorik, perintah apa yang dapat digunakan untuk

menyatakan kerjaan ini dan jangan kerjakan itu?

b) Langkah-langkah mana dalam keseluruhan urutan pembelajaran yang perlu

disajikan dengan pelan-pelan, dan kode verbal apa yang digunakan untuk

mendukung langkah itu?

Langkah ke empat: menerapkan pembelajaran untuk membimbing proses

reproduksi kemepuan kognitif dan motorik peserta didik dapat dikategorikan

dengan cara berikut:

a) Sajikan model

b) Beri kesempatan peserta didik untuk mengulanginya

c) Beri kesempatan peserta didik untuk berlatih bersamaan dengan balikan

visual

Untuk perlu konseptual dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

a) Sajikan model dengan atau tanpa dukungan kode verbal atau arah untuk

menemukan konsisitensi dalam berbagai contoh

b) Berikan peserta didik kesempatan untuk mengintisarikan perilaku yang

dimodelkan itu.

c) Jika pembelajaran itu tentang pemecahan masalah atau strategi penerapan

beri kesempatan peserta didik untuk menjadi pemodel partisipasif.

d) Beri peserta didik kesempatan untuk menerapkan generalisasi pada situasi

lain

6) Model Atribusi dari Bernard Weiner

Dalam mengembangkan strategi pembeljaran dikelas, model ini

memiliki langkah-langkah pokok sebagai berikut:

Langkah pertama: menata ulang tujuan pembelajaran di kelas dalam hal proses

dan strategi belajar.

a) Tujuan mana yang kurang jelas dan perlu dirumuskan ulang agar memberi

tekanan pada strategi pembelajaran?

b) Perubahan apa dalam materi pembelajaran untuk memberi tekanan pada

proses belajar?

c) Apa makna dari pengetesan yang dilakukan apakah bersifat formatif atau

diagnostik untuk mendapat balikan yang diperlukan untuk perbaikan strategi

belajar?

Langkah ke dua: mengidentifikasi kegiatan kelas yang: (a) mengurangi semangat

interpersonal. (b) memfasilitasi pengembangan strategi berpendekatan tugas yang

efektif.

a) Apakah persentase waktu yang digunakan untuk kegiatan klasikal dan

kegiatan kelompok dan kegiatan duduk di bangku terlalu besar, misalnya 80-

20?

b) Kegiatan kelompok kecil mana yang dapat digunakan untuk meningkatkan

proses belajar kooperatif?

c) Permainan individual atau kelompok apa yang tersedia dapat digunakan untuk

memperkuat atau memperbaiki strategi pembelajaran?

c. Konsep Belajar

Ngalim Purwanto (1990: 84) menyatakan definisi belajar adalah setiap

perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu

hasil dari latihan atau pengalaman: Dengan demikian perubahan-perubahan yang

terjadi karena proses pertumbuhan tidak dianggap sebagai hasil belajar, seperti

perubahan-perubahan fisik pada seorang bayi sejak lahir.

Dimyati dam Mudjiono (1999: 24) memaparkan pendapat para ahli

tentang konsep belajar dan pembelajaran yaitu:

1) Belajar Menurut Pandangan Skinner

Skinner berpendapat bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat

orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, jika ia tidak

belajar maka responnya akan menurun. Dalam belajar ditemukan hal berikut:

a) Kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respon pebelajar.

b) Respon si pembelajar, dan

c) Konsekuensi yang bersifat menguatkan respon tersebut. Pemerkuat terjadi

pada stimulus yang menguatkan konsekuensi tersebut. Sebagai ilustrasi,

perilaku respon si pembelajar yang baik diberi hadiah. Sebaliknya, perilaku

respon yang tidak baik diberi hukuman dan teguran.

Guru dapat menyusun program pembelajaran berdasarkan pandangan

skinner ini terkenal dengan nama teori skinner. Dalam menerapkan teori skinner,

guru perlu memperhatikan dua hal yang penting, yaitu: Pemilihan stimulus yang

diskriminatif dan, penggunaan penguatan.

Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori kondisioning operan

sebagai berikut:

(1) Ke satu, mempelajari keadaan kelas. Guru Guru mencari dan meneukan

perilaku siswa yang positif dan negative. Perilaku positif akan diperkuat dan

perilaku negatif diperlemah atau dikurangi.

(2) Kedua, membuat daftar penguat positif. Guru mencari perilaku yang lebih

disukai saja, perilaku yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang

dapat dijadikan penguat.

(3) Ketiga, memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta

jenis penguatannya.

(4) Keempat, membuat program pembelajaran. Program pembelajaran ini berisi

urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku,

dan evaluasi. Dalam melaksanakan program pembelajaran, guru mencatat

perilaku dan penguat yang berhasil dan tidak berhasil. Ketidak berhasilan

tersebut menjadi catatan penting bagi modifikasi perilaku selanjutnya.

2) Belajar Menurut Gagne

Menurut Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks, hasil

belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar orang memiliki ketrampilan,

pengetahuan, sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut adalah dari stimulus

yang berasal dari lingkungan, dan proses kognitif yang dilakukan oleh pebelajar.

Dengan demikian, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang merubah sifat

stimulus lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapasitas baru.

Menurut Gagne belajar dari tiga komponen penting, yaitu kondisi eksternal,

kondisi internal, dan hasil belajar. Gagne melukiskan hal-hal berikut:

a) Belajar merupakan interaksi antara “keadaan internal dan proses kognitif

siswa” dengan “stimulus dari lingkungan”.

b) Proses kognitif tersebut menghasilkan suatu belajar. Hasil belajar tersebut

terdiri dari informasi verbal, ketrampilan intelek, ketrampilan motorik, sikap,

dan siasat kognitif.

Kelima hasil belajar tersebut merupakan kapabilitas siswa.

Kapabilitas siswa tersebut berupa:

(1) Informasi verbal adalah kapabilitas untuk mengungkapkan pengetahuan dalam

bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. Pemilikan informasi verbal

memungkinkan individu berperan dalam kehidupan.

(2) Keterampilan intelektual adalah kecakapan yang berfungsi untuk berhubungan

dengan lingkungan dengan lingkungan hidup serta mempresentasikan konsep

dan lambing. Keterampilan intelek ini terdiri dari dari diskriminasi jamak,

konsep konkret dan terdefinisi dan prinsip.

(3) Strategi kognitif adalah kemampuan menyalurkan dan mengarahkan aktifitas

kognitifnya sendiri. Kemampuan ini meliputi penggunaan konsep dan kaidah

dalam memecahkan masalah.

(4) Keterampilan motorik adalah kemampuan setangkaian gerak jasmani dalam

urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani.

(5) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak obyek berdasarkan

penilaian terhadap obyek tersebut.

Gagne berpendapat bahwa dalam belajar terdiri dari tiga tahap yang

meliputi Sembilan fase. Tahap itu sebagai berikut:

(a) Persiapan untuk belajar

(b) Pemerolehan dan unjuk belajar (performansi)

(c) Alih belajar

Pada tahap persiapan dilakukan tindakan mengarahkan perhatian,

pengharapan, dan mendapatkan kembali informasi. Pada tahap pemerolehan dan

performanisasi digunakan untuk persepsi selektif, sandimatik, pembangkitan

kembali dan respon, serta penguatan. Tahap alih belajar meliputi pengisyaratan

untuk membangkitkan, dan pemberlakuan secara umum. Adanya tahap dan fase

belajar tersebut mempermudah guru untuk melakukan pembelajaran.

Dalam rangka pembelajaran maka guru dapat menyusun acara

pembelajaran yang cocok dengan tahap dan fase-fase belajar. Pola hubungan

antara fase belajar dengan acara-acara pembalajaran tersebut dapat dilukiskan

dalam tabel.2 dibawah ini:

Tabel 2. Hubungan Antara Fase Belajar Dan Acara Pembelajaran Tahapan Fase Belajar Acara Pembelajaran

Persiapan untuk belajar Mengarahkan perhatian

Menarik perhatian siswa dengan kejadian yang tidak seperti biasanya, pertanyaan atau perubahan stimulus

ekspektansi Memberi tahu siswa mengenai tujuan belajar

Retrival (informasi dan ketrampilan yang relevan untuk memori kerja)

Merangsang siswa agar mengingat kembali hasil belajar(apa yang telah dipelajari) sebelumnya

Pemerolehan dan unjuk perbuatan

Persepsi selektif atas sifat stimulus

Menyajikan stimulus yang jelas sifatnya

Sandi semantik Memberikan bimbingan belajar

Retrival dan respon Memunculkan perbuatan siswa

Penguatan Memberikan balikan informative

Retrival dan alih belajar Pengisyaratan Menilai perbuatan siswa

Pemberlakuan secara umum

Meningkatkan retensi dan alih belajar

3) Belajar Menurut Pandangan Piaget

Piaget berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab

individu melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungan. Lingkungan

maka fungsi intelek semakin berkembang. Perkembangan intelektual melalui

tahap-tahap berikut (i). sensori motor (0-2 tahun), (ii). Pra-operasional (2-7

tahun), (iii). Operasional konkret (7-11 tahun), (iv). Oprasi formal (11-keatas).

Pada tahap sensori motor anak mengenal lingkungan dengan

kemampuan sensori dan motorik. Anak mengenal lingkungan dengan penglihatan,

penciuman, pendengaran, perabaan, dan menggerak-gerakkannya. Pada tahap pra-

operasional, anak mengandalkan diri pada presepsi tentang realitas. Ia mampu

menggunakan symbol, bahasa, konsep sederhana, berpartisipasi, membuat

gambar, dan menggolong-golongkan. Pada tahap konkret, anak dapat

mengembangkan pikiran logis. Ia dapat mengikuti penalaran logis, walau kadang-

kadang memecahkan masalah secara “trial and error”. Pada tahap operasi formal

anak dapat berpikir abstrak seperti pada orang dewasa.

Menurut Piaget yang dikutip oleh Dimyati dan Mudjiono (1999:14),

pembelajaran terdiri dari empat langkah, yaitu:

a) Langkah satu: menentukan topik yang dapat dipelajari oleh anak sendiri.

b) Langkah dua: memilih atau mengembangkan aktivitas kelas dengan topik

tersebut

c) Langkah tiga: mengetahui adanya kesempatan bagi guru untuk

mengemukakan pertanyaan yang menunjang proses pemecahan masalah

d) Langkah empat: menilai pelaksanaan tiap kegiatan, memperhatikan tiap

keberhasilan, dan melakukan revisi.

Secara singkat, Piaget menyarankan agar dalam pembalajaran guru

memilih masalah yang berciri kegiatan prediksi, eksperimentasi, dan eksplanasi.

4) Belajar Menurut Rogers

Rogers menyayangkan praktek pendidikan disekolah tahun 1960an.

Menurut pendapatnya, praktek pendidikan menitik beratkan pada segi pengajaran,

bukan siswa yang belajar. Praktek tersebut ditandai oleh peran guru yang

dominant dan saiswa hanya menghafalkan pelajaran.

Menurut Rogers, yang dikutip oleh Dr. Dimyati dan Drs. Mudjiono

dalam Buku Belajar dan Pembelajaran (1999: 16) mengemukakan pentingnya

guru memperhatikan prinsip pendidikan. Prinsip pendidikan dan pembelajaran

tersebut sebagai berikut:

a) menjadi manusia berarti memiliki kekuatan wajar untuk belajar. Siswa tidak

harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.

b) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.

c) Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide

baru, sebagai bagian yang bermakna dalam bagi siswa.

d) Belajar yang bermakna dalam masyarakat moderen berarti belajar tentang

proses-proses belajar, keterbukaan belajar mengalami sesuatu, bejkerja sama

dengan melakukan pengubahan diri terus menerus.

e) Belajar yang optimal akan terjadi, bila siswa berprestasi secarabertanggung

jawab dalam proses belajar.

f) Belajar mengalami (experiential learning) dapat terjadi, bila siswa

mengevaluasi diri sendiri. Belajar mengalami dapat memberi peluang untuk

belajar kreatif, self evaluation dan kritik diri. Hal ini berarti bahwa evaluasi

dari instruktur bersifat sekunder.

g) Belajar mengalami menuntut keterlibatan siswa secara penuh dan sungguh-

sungguh.

Menurut Rogers, yang dikutip oleh Dr. Dimyati dan Drs. Mudjiono

dalam buku Belajar dan Pembelajaran (1999: 17) mengemukakan saran tentang

langkah-langkah pembelajaran yang perlu dilakukan oleh guru. Saran

pembelajaran itu meliputi:

a) Guru memberi kepercayaan kepada kelas agar kelas memilih belajar secara

terstruktur.

b) Guru dan siswa membentuk kontrak belajar.

c) Guru menggunakan metode inkuiri, atau belajar menemukan (Discovery

Learning)

d) Guru menemukan metode simulasi

e) Guru mengadakan latihan kepekaan agar mampu menghayati perasaan dan

berpartisipasi dengan kelompok lain

f) Guru bertindak menggunakan pengajaran berprogram, agar tercipta peluang

bagi siswa untuk timbulnya kreatifitas

Keempat pandangan tentang belajar tersebut merupakan bagian kecil

dari pandangan yang ada. Untuk kepentingan pembelajaran, para guru dan calon

guru masih perlu memilih teori yang relevan bagi bidang studi asuhannya. Guru

juga perlu memodifikasi secara praktis sesuai kondisi perilaku siswa belajar.

d. Ciri-ciri Belajar dan Pembelajaran

Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks.

Sebagai tindakan, maka belajar hanya dialami siswa sendiri. Siswa adalah penentu

terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa

memperoleh sesuatu yang ada dilingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari

oleh siswa berupa keadaan alam, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan,

manusia, atau hal-hal lain yang dijadikan bahan belajar. Dimyati dan Mudjiono

(1999:8) menjelaskan beberapa ciri-ciri umum pendidikan, belajar, dan

perkembangan pada tabel.3.

Tabel 3. Ciri-ciri umum pendidikan, belajar, dan perkembangan. Unsur-unsur Pendidikan Belajar Perkembangan

Pelaku Guru sebagai pelaku mendidik dan siswa

yang terdidik

Siswa yang bertindak

belajar atau pebelajar

Siswa yang mengalami

perubahan

Tujuan Membantu siswa menjadi pribadi

mandiri yang utuh

Memperoleh hasil belajar

dan pengalaman hidup

Memperoleh perubahan

mental

Proses Proses interaksi sebagai faktor eksternal

belajar Internal pada diri pebelajar Internal pada diri pebelajar

Tempat Lembaga pendidikan sekolah dan luar

sekolah Sembarang tempat Sembarang tempat

Lama Waktu Sepanjang hayat dan sesuai jenjang

lembaga Sepanjang hayat Sepanjang hayat

Syarat Terjadi Guru memiliki kewibawaan pendidikan Motivasi belajar Kemauan mengubah diri

Ukuran Keberhasilan Terbentuk pribadi terpelajar Dapat memecahkan

masalah Terjadinya perubahan positif

Faedah Bagi masyarakat mencerdaskan

kehidupan bangsa

Bagi pebelajar

mempertinggi martabat

pribadi

Bagi pebelajar memperbaiki

kemajuan mental

Hasil Pribadi sebagai pembangun yang

produktif dan kreatif

Hasil belajar sebagai

dampak pengajaran dan

pengiring

Kemajuan ranah kognitif,

afektif, dan psikomotorik

Sumber: Dimyati dan Midjiono (1999:8)

e. Dinamika Siswa dalam Belajar

Siswa belajar berarti menggunakan kemampuan kognitif, afektif, dan

psikomotorik terhadap lingkungannya. Ada beberapa ahli yang mempelajari

ranah-ranah tersebut dengan hasil penggolongan kemampuan-kemampuan pada

ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik secara hierarkis. Bloom, Krathwohl,

Simpson menyusun penggolongan perilaku (kategori perilaku) berkenaan dengan

kemampuan internal dalam hubunganya dengan tujuan pengajaran. Hasil

penelitian mereka dikenal dengan Taksonomi Instruksional Bloom. Dimyati dan

Mudjiono (1999: 26) yang dijabarkan sebagai berikut:

1) Ranah Kognitif: terdiri dari enam jenis perilaku sebagai berikut:

a) Pengetahuan, mencapai kemampuan ingatan tentang hal yang telah

dipelajari dan tersimpan dalam ingatan. Pengetahuan itu berkenaan dengan

fakta, peristiwa, pengertian, kaidah, teori, prinsip, atau metode.

b) Pemahaman, mencakup kemampuan menagkap arti dan makna tentang hal

yang dipelajari.

c) Penerapan, mencakup kemampuan menerapkan metode dan kaidah untuk

menghadapi masalah yang nyata dan baru.

d) Analisis, mencakup kemampuan merinci suatu kesatuan kedalam bagian

sehingga struktur keseluruhan dapat dipahami dengan baik.

e) Sintetis, mencakup kemampuan membentuk suatu pola baru.

f) Evaluasi, mencakup kemampuan membentuk pendapat tentang beberapa

hal berdasarkan kriteria tertentu.

2) Ranah Afektif: terdiri dari lima jenis perilaku sebagai berikut:

a) Penerimaan, yang mencakup kepekaan tentang hal tertentu dan kesediaan

memperhatikan hal tersebut.

b) Partisipasi, yang mencakup kerelaan, kesediaan memperhatikan dan

berpartisipasi dalam kegiatan.

c) Penilaian dan penentuan sikap, yang mencakup menerima suati nilai,

menghargai, mengakui, dan menentukan sikap.

d) Organisasi, yang mencakup kemampuan membentuk suatu sistem nilai

sebagai pedoman dan peganggan hidup.

e) Pembentukan pola hidup, yang mencakup kemampuan menghayati nilai

dan membentuknya menjadi pola nilai kehidupan pribadi.

3) Ranah psikomotorik: terdiri dari tujuh jenis perilaku sebagai berikut:

a) Presepsi, yang mencakup kemampuan memilah-milahkan hal-hal secara

khas, dan menyadari adanya perbedaan yang khas tersebut.

b) Kesiapan, yang mencakup kemampuan penempatan diri dalam keadaan

dimana akan terjadi suatu gerakan atau rangkaian gerakan

c) Gerakan terbimbing, mencakup kemampua melakukan gerakan sesuai

contoh.

d) Gerakan yang terbiasa, mencakup kemampuan melakukan gerakan-

gerakan tanpa contoh.

e) Gerakan kompleks, yang mencakup kemampuan melakukan gerakan atau

ketrampilan yang terdiri dari banyak tahap, secara lancer, efisien dan tepat.

f) Penyesuaian pola gerakan, yang mencakup kemampuan menandakan

perubahan penyesuaian pola gerak-gerik dengan persyaratan khusus yang

berlaku.

g) Kreatifitas, mencakup kemampuan melahirkan pola gerak-gerak yang baru

atas dasar prakarsa sendiri.

f. Dinamika Guru dalam Kegiatan Pembelajaran

Peran guru dalam kegiatan pembelajaran disekolah relatif tinggi.

Peran guru tersebut terkait dengan peran siswa dalam belajar (Dimyati dan Drs.

Mudjiono, 1999: 33).

1) Bahan Belajar, dapat berwujud benda dan isi pendidikan. Isi pendidikan

tersebut dapat berupa pengetahuan, perilaku, nilai, sikap, dan metode

pemerolehan.

2) Suasana Belajar, kondisi gedung sekolah, tata ruang kelas, alat-alat belajar

mempengaruhi kegiatan belajar disamping kondisi fisik tersebut, suasana

pergaulan disekolah juga berpengaruh pada kegiatan belajar.

3) Media dan Sumber Belajar dapat ditemukan dengan mudah. Sawah percobaan,

kebun bibit, tempat wisata, museum, gedung olahraga dll. Disamping itu buku

bacaan, laboratorium sekolah juga tersedia semakin baik.

4) Guru Sebagai Subyek Pebelajar, guru sebagai guru pebelajar siswa. Sebagai

subyek pebelajar guru berhubungan langsung degan siswa.

g. Prinsip-Prinsip Belajar

Menurut Purwanto (1990:85) menyatakan beberapa elemen yang

penting yang mencirikan tentang pengertian tentang belajar, yaitu: a. Belajar

merupakan perubahan dalam tingkah laku. b. Belajar merupakan suatu perubahan

yang terjadi melalui latihan atau pengalaman. c. Perubahan dalam belajar itu harus

relative mantap. d. Tingkah laku yang mengalami perubahan karena belajar

menyangkut berbagaiaspek kepribadian.

1) Perhatian dan motivasi

Perhatian mempunyai peran penting dalam proses belajar, Gagne dan

Berliner yang dikutip oleh Dimyati dan Mudjiono (1999: 42) mengatakan tanpa

adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar. Di samping perhatian, motivasi

mempunyai peran penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang

mengerakan dan mengarahkan aktivitas seseorang. “motivasion is the concept we

use when describe the force action on or within an organism to initiate and direct

behavior” demikian menurut H. L. Petri (Petri, Herbert L, 1986:3). Motivasi

dapat merupakan tujuan dan alat dalam pembelajaran. Sebagai tujuan, motivasi

merupakan salahsatu tujuan dalam mengajar.

2) Keaktifan

Proses kegiatan belajar megajar akan berjaalan dengan baik jika siswa

sebagai obyek belajar mempunyai keaktifan yang tinggi. Sehingga kegiatan

belajar mengajar akan berjalan lancer dan tujuan dari kegiatan pembelajaran pun

dapat tercapai. Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang

sangat aktif, jiwa menoleh informasi yang kita terima, tidak sekedar

menyimpannya saja tanpa mengadakan transformasi (Dimyati dan Mudjiono,

1999: 42)

3) Keterlibatan langsung

Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar dikemukakan oleh

John Dewey dengan “learning by Doing”. Belajar harus dialami melalui

keterlibatan langsung. Belajar harus dilakukan siswa secara aktif, baik individual

maupun kelompok dengan cara memecahkan masalah. Dan guru bertindak

sebagai pembimbing dan fasilitator (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 46)

Keterlibatan siswa didalam belajar jangan diartikan keterlibatan fisik

semata, namun lebih dari itu terutama adalah keterlibatan mental emosional,

keterlibatan dengan kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan

pengetahuan, dalam penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan

sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan latihan-latihan dalam

pembentukan ketrampilan.

4) Pengulangan

Teori Psikologi Daya yang mengemukakan bahwa melatih daya-daya

yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menaggap, mengingat,

mengkhayal, berpikir, dengan mengadakan pengulanggan maka daya-daya

tersebut akan berkembang.

Teori lain yang menekan prinsip pengulangan tersebut adalah teori

Psikologi Assosiasi atau Koneksionisme dengan tokohnya Thorndike yang

didasarkan atas hokum belajarnya “Law of Exercise”, ia mengemukakan bahwa

belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan

pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang

timbulnya respons benar (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 46).

5) Tantangan

Teori Medan (Field Teory) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa

siswa dalam situasi belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis.

Dalam situasi belajar siswa mengahadapi tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu

terdapat hambatan yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk

mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila

hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar tercapai, maka ia akan masuk

dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. Agar pada anak timbul

motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik maka bahan belajar

haruslah menantang (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 48).

6) Balikan dan penguatan

Teori belajar Operant dari B.F Skinner. Yang diperkuat dalam teori ini

adalah responnya. Sebagaikuncinya adalah teori belajar Law of Effect dari

Thorndike. Yaitu siswa akan belajar lebih bersemangat apabila mengetahui dan

mendapatkan hasil yang baik. Hasil, apalagi hasil yang baik, akan merupakan

balikan yang menyenangkan dan berpengaruh baik bagi usaha belajar selanjutnya

(Dimyati dan Mudjiono, 1999: 48).

7) Perbedaan individual

Siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang

siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lain.

Perbedaan itu terdapat pada karakteristik psikis, kepribadian, dan sifai-sifatnya.

Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa.

Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatikan oleh guru dalam upaya

pembelajaran. Sistem pendidikan klasikal yang dilakukan disekolah kita kurang

memperhatikan masalah perbedaan individual, umumnya pelaksanaan

pembelajaran di kelas dengan melihat siswa individu dengan kemampuan rata-

rata, kebiasaan yang kurang lebih sama, demikian pula dengan pengetahuannya.

Pembelajaran yang bersifat klasikal yang mengabaikan perbedaan

individual dapat diperbaiki dengan beberapa cara. Antara lain penggunaan metode

atau strategi belajar mengajar yang bervariasi sehingga perbedaan-perbedaan

kemampuan siswa dapat terlayani. Juga penggunaan media instruksional akan

membantu melayani perbedaan-perbedaan siswa dalam cara belajar. Usaha lain

untuk memperbaiki pembelajaran klasikal adalah dengan memberikan tambahan

pelajaran atau pengayaan pelajaran bagi siswa yang pandai, dan memberikan

bimbingan belajar bagi anak-anak yang kurang (Dimyati dan Mudjiono, 1999: 46)

2. Alat Bantu Pembelajaran

a. Pengertian Alat Bantu Pembelajaran

Alat bantu adalah alat-alat yang digunakan oleh pendidik dalam

menyampaikan bahan pendidikan/pengajaran. Alat bantu ini lebih sering disebut alat

peraga karena berfungsi untuk membantu dan meragakan sesuatu dalam proses

pendidikan pengajaran.

Alat bantu ini disusun berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan yang ada

pada setiap manusia itu diterima atau ditangkap melalui panca indera. Semakin

banyak indera yang digunakan untuk menerima sesuatu maka semakin banyak dan

semakin jelas pula pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Dengan perkataan lain,

alat peraga ini dimaksudkan untuk mengerahkan indera sebanyak mungkin kepada

suatu objek sehingga mempermudah persepsi.

Seseorang atau masyarakat di dalam proses pendidikan dapat memperoleh

pengalaman/pengetahuan melalui berbagai macam alat bantu pendidikan. Tetapi

masing-masing alat mempunyai intensitas yang berbeda-beda dalam membantu

persepsi seseorang.

b. Manfaat Alat Bantu Pembelajaran

Menurut Soekidjo (2003), secara terperinci, manfaat alat peraga antara

lain sebagai berikut:

1) Menimbulkan minat sasaran pendidikan.

2) Mencapai sasaran yang lebih banyak.

3) Membantu mengatasi hambatan bahasa.

4) Merangsang sasaran pendidikan untuk melaksanakan pesan-pesan kesehatan.

5) Membantu sasaran pendidikan untuk belajar lebih banyak dan cepat.

6) Merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan-pesan yang diterima

7) kepada orang lain.

8) Mempermudah penyampaian bahan pendidikan/informasi oleh para pendidik

pelaku pendidikan.

9) Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan. Seperti diuraikan

di atas bahwa pengetahuan yang ada pada seseorang diterima melalui indera.

Menurut penelitian para ahli indera, yang paling banyak menyalurkan

pengetahuan ke dalam otak adalah mata. Kurang lebih 75% sampai 87% dari

pengetahuan manusia diperoleh/disalurkan melalui mata. Sedangkan 13% sampai

25% lainnya tersalur melalui indera yang lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa

alat-alat visual lebih mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi

atau bahan pendidikan.

(a) Mendorong keinginan orang untuk mengetahui kemudian lebih mendalami dan

akhirnya memberikan pengertian yang lebih baik. Orang yang melihat sesuatu

yang memang diperlukan akan menimbulkan perhatiaannya. Dan apa yang

dilihat dengan penuh perhatian akan memberikan pengertian baru baginya yang

merupakan pendorong untuk melakukan/memakai sesuatu yang baru tersebut.

(b) Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh. Di dalam menerima sesuatu

yang baru, manusia mempunyai kecenderungan untuk melupakan atau lupa.

Untuk mengatasi hal tersebut, AVA akan membantu menegakkan pengetahuan-

pengetahuan yang telah diterima oleh manusia sehingga apa yang diterima akan

lebih lama tinggal/disimpan didalam ingatan.

c. Syarat Alat Bantu Pembelajaran yang Baik

Menurut Soekidjo (2003) suatu alat pembelajaran dapat dikatakan baik,

apabila mempunyai tujuan pendidikan untuk: Mengubah pengetahuan/pengertian,

pendapat dan konsep-konsep, Mengubah sikap dan persepsi, Menanamkan tingkah

laku/kebiasaan yang baru. Selain itu, alat bantu harus efisien dalam penggunaanya,

dalam waktu yang singkat dapat mencakup isi yang luas dan tempat yang

diperlukan tidak terlalu luas. Penempatan alat bantu perlu diperhatikan

ketepatannya agar dapat diamati dengan baik oleh seluruh siswa.

Efektif artinya memberikan hasil guna yang tinggi ditinjau dari segi

pesannya dan kepentingan siswa yang sedang belajar. Sedangkan yang dimaksud

dengan komunikatif ialah bahwa media tersebut mudah untuk dimengerti

maksudnya.

3. Lempar Lembing

a. Sejarah Atletik

Memahami sejarah tidak hanya sekedar untuk pengertian atau

menguasai pengetahuan, tetapi menghayatin perkembangan atletik, sejak zaman

kuno hingga kini. Dengan mengetahui kejadian masa lampau diharapkan

pengetahuan itu dapat membangkitkan kesadaran untuk menata masa depan yang

lebih baik.

Sejarah dunia olahraga mencatat bahwa atletik merupakan salah satu

cabang olahraga yang memiliki nilai-nilai yang unik. Diantaranya, melalui

kegiatan atletik terbina kemajuan manusia untuk bertahan hidup hingga menjadi

manusia yang produktif. Atletik yang mencakup jalan, lari, lompat, dan lempar

boleh dikatakan sebagai cabang olahraga yang tertua, sama tuanya dengan usia

manusia pertama di dunia. Hal ini mudah dipahami, karena manusia pada saat itu

harus berjalan, lari, lompat, dan lempar untuk mempertahankan hidupnya.

Jalan, lari, lempar, dan lompat adalah bentuk kegiatan yang tidak

ternilai artinya bagi hidup manusia. Semua gerakan ini tercangkup dalam atletik,

bahkan gerakan-gerakan tersebut merupakan esensi dari semua cabang olahraga.

Tentu saja, penguasaan teknik dalam jalan, lari, lompat, dan lempar pada waktu

itu masih sangat sederhana, Demikian pula keadaan alat dan fasilitas yang

dipakai. Keadaan ini, tentu sangat berbeda dengan perkembangan atletik modern

yang dikelola dengan memanfaatkan ilmu dan teknologi.

Menurut para ahli sejarah olahraga atletik sudah dilakukan di negeri

Yunani pada abat ke-6 sebelum nabi Isa lahir. Pandanmgan ini didasarkan pada

lukisan-lukisan pada zaman itu dan tulisan ahli filsafat yang bernama

Xenophenes. Perkembangan atletik pada masa itu sangat erat hubungannya

dengan perlombaan di Yunani yang mengalami Zaman keemasan, antara 500 s/d

400 Sebelum Masehi.

Pada abat ke-12 Setelah Masehi, atletik masih belum dikenal oleh

khayalak ramai. Namun, memasuki abad ke-18, mulai dibentuk berbagai

perkumpulan atletik di Inggris, sekaligus sebagai dimulainya kembali perlombaan

atletik. Setelah Amerika Serikat mendirikan perkumpulan pada tahun 1860 di San

Fransisco, semakin semaraklah kegiatan atletik di seantero dunia, sehingga dapat

dimasukan ke dalam kegiatan Olympiade pertama tahun 1896, meskipun hanya

diikuti oleh kaum pria saja. Sekarang ini tidak kurang dari 24 nomor

diperlombakan untuk pria, dan 14 nomor untuk wanita.

Di Indonesia, atletik mulai dikenal lewat bangsa Belanda yang telah

menjajah kita. Pada saat itu atletik belum banyak dikenal, karena hanya dilakukan

di lingkungan sekolah dan kemiliteran saja, pada tahun 1943 mulai

diselenggarakn perlombaan atletik antara sekolah yang diikuti tiga perkumpulan

sekolah yaitu GASEMBA di Bandung, GASEMMA di Yogya, dan GASEMBO di

Solo. Mulai saat itulah atletik sering diperlombakan Setelah Indonesia merdeka

pengembangan cabang olahraga atletik semakin pesat dengan berdirinya

organisasi PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) tahun 1950 di Kota

Bandung. Sejak saat itulah atletik menjadi cabang olahraga yang sangat digemari

masyarakat. Hampir setiap pagi, orang melakukan jogging bahkan kalau hari

libur, jaln raya sering dipenuhi oleh masyarakat untuk berolahraga lari atau jalan.

Sampai memasuki abat millennium ke-3, tetap menjadi primadona masyarakat

dalam berolahraga.

Di sekolah dewasa ini, atletik sering menjadi kegiatan yang sering

diberikan kepada siswa. Sekolah dapat menyesuaikan diri dengan fasilitas yang

dimiliki. Atletik dikenal sebagai kegiatan yang murah, mudah, dan masal. Dalam

kondisi apapun, sekolah bias menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar

pendidikan jasmani dengan pokok bahasan atletik. Guru perlu memiliki

kreativitas dan inisiatif agar pembelajaran atletik tidak membosankan siswa. Guru

harus mampu mengemasnya dengan bentuk-bentuk kegiatan yang menarik.

Pendekatan bermain kompetisi, menjadi salah satu pendekatan dalam

pembelajaran yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran atletik di SLTP.

b. Pentingnya Atletik bagi Siswa SLTP

Atletik dapat menjadi salah satu kegiatan primadona dalam proses

belajar mengajar pendidikan jasmani di SLTP. Dalam setiap kegiatan pendidikan

jasmani, guru dapat mengunakan unsur atletik sebagai pembuka, inti, atau

penutup kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian atletik memiliki nilai lebih

khususnya dalam pembentukan kwalitas fisik-psikis siswa agar lebih berkembang.

Bila kita sepakat atletik penting bagi pendidikan siswa SLTP, guru

perlu mengupayakan model baru bagi pembelajaran yang lebih atraktif dan

mengembirakan siswa. Untuk itu guru harus berusaha seoptimal mungkin dalam

merancang tugas-tugas belajar. Tanpa perencanaan pengajaran yang baik, atletik

justru akan lebih memupuk rasa kebosanan siswa terhadap kegiatan atletik yang

terkenal monoton.

Perlu disadari benar oleh para guru pendidikan jasmani bahwa siswa

SMP barada pada tahap pencarian jati diri, mereka selalu mencari sesuatu yang

baru, termasuk dalam pembelajaran atletik. Siswa berada satu tahap

kemampuaanya di atas siswa SD. Dengan ciri seperti itu, guru harus pula

memperlakukan mereka secara berbeda dengan siswa SD. Meskipun materi yang

diberikan sama, namun dalam model penyampaian dan tingkat kesulitas harus

berbeda. Jadi, unsur pentahapan dan pengembangan sekuensi tugas gerak

merupakan unsur penting dalam perencanaan pembelajaran.

Sebenarnya dalam pembelajaran atletik tidak diperlukan peralayan

yang mutakhir. Dengan peralatan yang sederhanapun pembelajaran itu bias

berlangsung untuk mencapai tujuan. Guru berpesan untuk memanfaatkan berbagai

fasilitas yang ada di lingkungan sekolah dan sumber belajar yang digunakanpun,

cukup dengan alat yang dimodifikasi guru atau siswa secara bersama-sama.

Kondisi sekolah di kota besar dengan di desa sangat berbeda.

Umumnya sekolah di kota, jauh lebih tersedia peralatannya dibandingkan desa.

Namun dikota sering ada kendala berupa lahan yang tidak memadai untuk

menampung aktifitas siswa. Untuk pembelajaran atletik, kondisi seperti ini tidak

perlu dirisaukan. Dalam kondisi apapun, proses penyampaian materi akan bias

dijalankan, selama guru mempunyai keinginan untuk maju. Tantangan bagi guru

pendidikan jasmani sangatlah tinggi, upaya tanpa mengenal menyerah menjadi

kunci kesuksesan guru pendidikan jasmani.

Untuk menyalurkan keinginan siswa dalam atletik diperlukan

pengembangan atletik yang memiliki unsur permainan dan kompetisi. Unsur ini

menjadi bagian proses pembelajaran, Apabila guru mampu merancang tugas ajar

secara apik dalam proses pembelajaran, pengalaman itu dapat membantu siswa

untuk mengerti dan mencintai atletik.

c. Program Pembelajaran Lempar di SLTP

Untuk pembelajaran teknik lempar pada siswa SLTP akan lebih mudah

dibandingkan dengan pembelajaran pada anak SD. Untuk siswa SLTP, kehati-

hatian dalam pelaksanaan pembelajaran tetap menjadi bahan pertimbangan.

Dalam pembelajaran teknik lempar, guru dapat dimulai dari pengenalan alat.

Selanjutnya, guru menggunakan alat ganti yang aman dan ringan pada siswa.

Langkah ini perlu dilakukan, terutama dalam upaya pembentukkan teknik yang

baik dan benar dalam melempar. Apabila siswa sejak awal dengan memekai alat

yang sesungguhnya, pembentukan sikap gerak akan terganggu karena siswa masih

sulit menggunakan alat tersebut.

Penggunaan alat bantu dalam tahap penganalan pembelajaran teknik

lempar ini, dapat dilaksanakan melalui beberapa langkah perbaikan ketrampilan

siswa. Setelah siswa menguasai secara teknis dasar-dasar pelaksanaan teknik

lempar, guru bisa mengajari mereka dengan alat yang sesungguhnya. Apabila

guru memulai pelajaran, langsung mengunakan alat yang sebenarnya, maka

dibutuhkan pengawasan dan bimbingan.

Dalam pembelajaran teknik lempar, guru bisa memulainya dari yang

termudah yaitu lempar lembing, tolak peluru, lempar cakram, dan lempar martil.

Tahap ini perlu dipahami agar siswa tidak dihadapkan dengan tugas yang sulit

terlebih dahulu. Apabila keliru dalam menentukan pentahapan dalam

pembelajaran berpotensi dikhawatirkan akan berdampak pada kesalahan gerak

yang selanjutnya menimbilkan cidera yang tidak diinginkan.

d. Teknik Dasar Lempar Lembing

Lempar lembing merupakan bagian dari nomor lempar dalam atletik.

Menurut Yudha M Saputra (2001) bahwa lempar lembing merupakan salah satu

kemampuan dalam melemparkan benda berbentuk lembing, sejauh mungkin. Untuk

dapat melakukan lempar lembing dengan baik, sebaiknya siswa harus menguasai

teknik dasar lempar lembing. Menurut Roji (2004) bahwa baik buruknya lemparan

sangat ditentukan oleh penguasaan teknik dasar lempar lembing seperti; cara

memegang lembing, membawa lembing, awalan, dan cara melempar. Untuk lebih

jelasnya teknik-teknik tersebut diuraikan sebagai berikut:

1) Cara memegang lembing

Menurut Yudha M Saputra (2001) terdapat tiga cara memegang lembing

yaitu cara biasa (Amerika style), Cara Finlandia (Fin style), dan cara menjepit (Tang

style). Memegang lembing dengan cara biasa dilakukan dengan ibu jari dan jari

telunjuk berada di pangkal lembing, sedangkan jari lainya menempel pada lembing.

Cara Finlandia dilakukan dengan memegang lembing pada bagian tali lilitan

pegangan, dengan posisi ibu jari dan jari tengah berada pada bagian belakang tali

pagangan, sedangkan jari telunjuk diluruskan menempel pada lembing. Dan Cara

menjepit; lembing dipegang dengan cara dijepit oleh telunjuk dan jari tengah pada

bagian tali lilitan pegangan dan jari lainnya memperkuat pegangan pada lilitan

lembing.

2) Cara membawa lembing

Lembing dibawa setinggi telinga, mata lembing mengarah bawah atau ke

atas, yang diawali dengan sikap berdiri tegak menghadap ke arah lemparan, lembing

dipegang kemudian diangkat setinggi telinga dengan siku ditekuk.

3) Awalan

Awalan bertujuan untuk meningkatkan kekuatan lemparan. Mengambil

awalan dapat dilakukan dengan sikap lari dan diakhiri dengan langkah jingkat atau

langkah silang.

4) Melempar lembing

Sebelum melempar lembing terlebih dahulu pelempar harus mengambil

posisi melempar yang sempurna, yaitu jarak kaki cukup jauh, tangan yang memegang

lembing diluruskan ke samping bawah, berat badan berada pada salah satu kaki,

dalam posisi seperti ini dilanjutkan dengan gerakan meluruskan kaki kanan, setelah

itu memutar dan mendorong pinggul ke kiri. Sesaat kaki kanan hampir lurus, siku

kanan ditekuk dan mengangkat lembing ke depan atas, bersamaan berat badan

dipindahkan ke kiri selanjutnya kaki kiri berpijak pada tanah. Dalam posisi ini

lembing segera di lempar dan diikuti dengan gerak lanjutan.

4. Penelitian tindakan kelas

Menurut Kemmis dan Taggart (1994:117), penelitian tindakan

merupakan sebuah inkuiri yang bersifat reflektif mandiri yang dilakukan oleh

partisipan dalam situasi sosial termasuk kependidikan dengan maksud untuk

meningkatkan kemantapan rasionalitas dari a. praktik-praktik sosial kependidikan,

b. pemahaman terhadap praktek-praktek tersebut, c. situasi pelaksanaan praktek-

praktek pembelajaran. Instrumen yang diperlukan dalam penelitian tindakan kelas

sangat sejalan dengan prosedur dan langkah penelitian tindakan kelas itu sendiri.

Ditinjau dari hal tersebut, maka instrument-instrument ini dapat dikelompokkan

menjadi tiga yaitu; instrumen untuk mengobservasi guru (observing teacher),

instrumen untuk mengobservasi kelas (observing classroom), instrumen untuk

mengobservasi perilaku siswa (observing student).

Penelitian tindakan kelas atau istilah dalam bahasa Inggris adalah

Classroom Action Research (CAR) sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu

dikenal dan ramai dibicarakan dalam dunia pendidikan. Ada tiga kata pembentuk

pengertian PTK yaitu: (a). penelitian, menunjuk pada suatu kegiatan mencermati

suatu objek dengan menggunakan cara dan aturan metodologi tertentu untuk

memperoleh data atau informasi yang bermanfaat dalam meningkatkan mutu

suatu hasil yang menarik minat dan penting bagi peneliti, (b). tindakan, menunjuk

pada suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan tertentu, dalam

penelitian berbentuk rangkaian kegiatan siklus untuk siswa, (c) kelas, dalam hal

ini tidak terikat pada pengertian ruang kelas, tetapi dalam pengertian yang lebih

spesifik yaitu sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama dari guru yang

sama pula. Dalam menggabungkan batasan pengertian tiga kata tersebut dapat

disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan

terhadap kegiata belajar berupa sebuah kelas secara bersama. Tindakan tersebut

diberikan oleh guru dengan arahan dari guru yang dilakukan oleh siswa (Arikunto,

2006:11).

Sudah lebih dari sepuluh tahun Penelitian Tindakan Kelas (yang biasa

disingkat dengan PTK) dikenal dan ramai dibicarakan dalam dunia pendidikan.

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali diperkenalkan oleh ahli psikologi

sosial Amerika yang bernama Kurt Lewin pada tahun 1946. Inti gagasan Lewin

inilah yang selanjutnya dikembangkan oleh ahli-ahli lain seperti Stephen Kemmis,

Robin Mc Tanggart, John Elliot, Dave Ebbutt, dan sebagainya (Zainal Aqib,

2006:13). Menurut John Elliot yang dikutip oleh Zainal Aqib pada buku

“Penelitian Tindakan Kelas Untuk Guru” PTK adalah kajian tentang situasi sosial

dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan didalamnya.

Dalam bahasa inggris PTK diartikan Classroom Action Research

(CAR). Namanya sendiri sebetulnya sudah menunjukan isi yang terkandung

didalamnya. Menurut Zainal Aqib (2006:12) ada tiga kata yang membentuk

pengertian PTK, maka ada tiga pengertian pula yang dapat diterangkan.

a. Penelitian adalah kegiatan mencermati suatu objek, menggunakan aturan

metodologi tertentu untuk memperoleh data atau informasi yang bermanfaat

untuk meningkatkan mutu dari suatu hal yang menarik minat dan penting bagi

peneliti.

b. Tindakan adalah suatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan dengan tujuan

tertentu, yang dalam penelitian ini berbentuk rangkaian siklus kegiatan.

c. Kelas adalah sekelompok siswa yang dalam waktu yang sama menerima

pelajaran yang sama dari seorang guru.

Dengan menggabungkan batasan pengertian tiga kata tersebut segera

dapat disimpulkan bahwa penelitian tindakan kelas merupakan suatu pencermatan

terhadap kegiatan yang disengaja dimunculkan, dan terjadi dalam sebuah kelas.

Menurut Zainal Aqib (2006:16), karakteristik PTK adalah sebagai

berikut:

1) Didasarkan pada masalah yang dihadapi guru dalam instruksional.

2) Adanya kolaborasi dalam pelaksanaannya.

3) Peneliti sekaligus sebagai praktisi yang melakukan refleksi.

4) Bertujuan memperbaiki dan atau meningkatkan kualitas praktik instruksional.

5) Dilaksanakan dalam rangkaian langkah dengan beberapa siklus.

6) Pihak yang melakukan tindakan adalah guru sendiri, sedangkan yang

melakukan pengamatan terhadap berlangsungnya proses tindakan adalah

peneliti, bukan guru yang sedang melakukan tindakan.

Sedangkan menurut Susilo (2009:17), menjelaskan beberapa

karakteristik PTK yaitu:

1) Ditinjau dari segi permasalahan, karakteristik PTK adalah masalah yang

diangkat berangkat dari persoalan praktik dan proses pembelajaran sehari-hari

dikelas yang benar-benar dirasakan langsung oleh guru.

2) Penelitian tindakan kelas selalu berangkat dari kesadaran kritis guru terhadap

persoalan yang terjadi ketika praktik dan proses pembelajaran berlangsung,

dan guru menyadari pentingnya untuk mencari pemecahan masalah melalui

suatu tindakan atau aksi yang direncanakan dan dilakukan secermat mungkin

dengan cara-cara ilmiah dan sistematis.

3) Adanya rencana tindakan-tindakan tertentu untuk memperbaiki praktik dan

proses pembelajaran dikelas. Jika penelitian yang dilakukan hanya sekedar

ingin tahu tanpa disertai tindakan-tindakan tertentu untuk memperbaiki

persoalan atau permasalahan maka itu tidak bias disebut penelitian tindakan

kelas.

4) Adanya upaya kolaborasi antar guru dengan teman sejawat lainnya dalam

rangka membantu untuk mengobservasi dan merumuskan persoalan mendasar

yang perlu diatasi.

Menurut Zainal Aqib (2006:14), jenis-jenis ptk adalah sebagai berikut:

1) PTK diagnostik, ialah penelitian yang dirancang dengan menuntun penelitian

kearah suatu tindakan. Dalam hal ini peneliti mendiagnosis dan memasuki

situasi yang terdapat dalam latar penelitian.

2) PTK partisipasi, ialah apabila orang yang akan melakukan penelitian harus

terlibat langsung didalam proses penelitian sejak awal sampai dengan hasil

penelitian yang berupa laporan.

3) PTK empiris, ialah apabila peneliti berupaya melaksanakan tindakan atau aksi

dan melakukan apa yang dilaksanakan dan apa yang terjadi selama aksi

berlangsung.

4) PTK eksperimental, ialah apabila PTK diselenggarakan dengan berupaya

menerapkan berbagai teknik atau strategi secara efektif dan efisien didalam

suatu kegiatan belajar mengajar.

Zainal Aqib (2006:27) menjelaskan sasaran PTK, yaitu:

1) Unsur siswa: dapat dicermati objek ketika siswa sedang asyik mengikuti

proses pembelajaran dikelas, laboratoriium, lapangan, bengkel, atau ketika

siswa sedang mengikuti kerja bakti dilkuar sekolah.

2) Unsur guru: dapat dicermati ketika guru sedang mengajar dikelas, sedang

membimbing siswa-siswa yang sedang berdarmawisata, atau ketika guru

sedang mengadakan kunjungan ke rumah siswa.

3) Unsur materi pelajaran: dapat dicermati ketika guru sedang mengajar atau

sebagai bahan yang ditugaskan kepada siswa.

4) Unsur Peralatan atau sarana pendidikan: dapat dicermati ketika guru sedang

mengajar. Dengan tujuan meningkatkan mutu hasil belajar, yang dapat diamati

guru, siswa, atau keduanya.

5) Unsur hasil pembelajaran: yang ditinjau dari tiga ranah yang dijadikan titik

tujuan yang harus dicapai melalui pembelajaran, baik susunan maupun tingkat

pencapaian.

6) Unsur lingkungan: baik lingkungan siswa dikelas, sekolah maupun yang

melingkupi siswa dirumahnya.

7) Unsur Pengelolaan: yang jelas-jelas merupakan gerak kegiatan sehingga

mudah diatur, direkayasa dalam bentuk kegiatan.

Menurut Susilo (2009:16) PTK adalah penelitian yang dilakukan oleh

guru atau dikelas tempat disekolah, dengan penekanan pada penyempurnaan atau

peningkatan praktik dan proses dalam pembelajaran. Dalam PTK guru dapat

melakukan penelitian sendiri terhadap proses pembelajaran dikelas atau juga

secara kolaboratif bekerja sama dengan guru dan peneliti lain. Susilo (2009:16)

menjelaskan bahwa, dalam prakteknya PTK adalah tindakan yang bermakna

melalui prosedur penelitian yang mencakup empat langkah yaitu:

a) Merumuskan masalah dan merencanakan tindakan (planning)

b) Melaksanakan tindakan (acting) dan pengamatan (observing)

c) Merefleksikan (reflecting)

d) Perbaikan atau perubahan perencanaan (replanning) untuk pengembangan

tingkat keberhasilan.

Ada beberapa model yang dapat diterapkan dalam PTK, Zainal Aqib

(2006:21) menyebutkan beberapa modal PTK yaitu:

1. Model Kurt Lewin

Zainal Aqib (2006:21) bahwa PTK pertama kali diperkenalkan oleh

Kurt Lewin yang menyatakan bahwa dalam satu siklus terdiri atas empat langkah,

yaitu:

b. Perencanaan (Planning)

c. Aksi atau tindakan (Acting)

d. Observasi (Observing)

e. Refleksi (Reflecting) (Lewin,1990).

Sementara itu empat langkah dalam satu siklus yang dikemukakan

oleh Kurt Lewin tersebut oleh Ernest T Stringer dikolaborasi lagi menjadi:

a) Perencanaan (Planning)

b) Pelaksanaan (Implementing)

c) Penelitian (Evaluating) (Ernest,1996)

Berdasarkan langkah-langkah seperti yang digambarkan PTK diatas,

selanjutnya dapat dikembangkan lagi menjadi beberapa siklus yang akhirnya

kumpulan dari beberapa siklus.

1. Model John Elliot

Apabila dibandingkan dengan dua model yang sudah diutarakan diatas

yaitu model Kurt Lewin dan Kemmis – Mc Taggart, PTK model John Elliot ini

tampak lebih detail dan memungkinkan terdiri dari beberapa aksi yaitu antara tiga

sampai lima aksi (tindakan). Sementara itu, setiap aksi kemungkinan terdiri dari

beberapa langkah (step), yang terealisasi dalam bentuk kegiatan belajar mengajar.

Maksud penyusunan secara terinci PTK model John Elliot ini, supaya

dapat kelancaran yang lebih tinggi antara taraf-taraf didalam pelaksanaan aksi

atau proses belajar mengajar. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa terincinya setiap

aksi atau tindakan menjadi beberapa sub pokok bahasan atau mata pelajaran,

adalah bahwa dalam kenyataan dilapangan setiap pokok bahasan bisanya tidak

akan dapat diselesaikan dalam satu langkah, tetapi dalam beberapa langkah, itulah

yang menyebabkan John Elliot menyusun model PTK yang berbeda secara

skematis dengan model sebelumnya.

2. Model Dave Ebbutt

Sesudah Dave Ebbutt mempelajari model-model PTK yang

dikemukakan para ahli PTK sebelumnya, dia berpendapat bahwa model-model

PTK yang ada seperti yang diperkenalkan oleh John Elliot, Kemmis dan Mc

Taggart, dipandang sudah cukup bagus. Akan tetapi didalam model-model

tersebut masih ada beberapa hal yang belum tepat sehingga masih perlu dibenahi.

Pada dasarnya Ebbutt setuju dengan gagasan yang diutarakan oleh Kemmis dan

Elliot tetapi tidak setuju mengenai beberapa interpretasi Elliot mengenai karya

Kemmis. Selanjutnya dinyatakan pula olehnya tentang pandangan Ebbutt yang

menyatakan bahwa bentuk spiral yang dilakukan oleh Kemmis dan Mc Tanggart

bukan merupakan cara yang terbaik untuk menggambarkan proses aksi refleksi

(action-reflection).

Karena Dave Ebbutt merasa tidak puas dengan adanya model-model

PTK yang hadir sebelumnya, kemudian dia memperkenalkan model PTK yang

disusunya sendiri. Adapun model PTK yang dimaksud menggambarkan adanya

empat tahap yakni sebagai berikut:

a. Tahap 1 : menyusun rancangan tindakan (perencanaan), yang menjelaskan

tentang apa, dimana, oleh siapa dan bagaimana tindakan tersebut dilaksanakan

b. Tahap 2 : pelaksanaan tindakan, yaitu implementasi atau penerapan isi

rancangan didalam kancah, yaitu menggenakan tindakan kelas.

c. Tahap 3 : pengamatan, yaitu pelaksanaan pengamatan oleh pengamat

d. Tahap 4 : refleksi, atau pantulan, yaitu kegiatan untuk mengemukakan

kembali apa yang sudah terjadi.

Secara keseluruhan, keempat tahapan dalam PTK ini membentuk suatu

siklus. Siklus ini kemudian diikuti oleh siklus-siklus lain secara

berkesinambungan seperti sebuah spiral. Namun sebelum keempat tahapan itu

berlangsung, biasanya diawali oleh suatu tahap pra PTK, yang meliputi:

identifikasi masalah, analisa masalah, rumusan masalah, dan rumusan hipotesis

tindakan.

3. Model Kemmis dan Mc. Taggart

Inti konsep yang diperkenankan Kurt Lewin seperti yang sudah

dikemukakan diatas itulah yang selanjutnya dikembangkan oleh para ahli PTK

yang hadir kemudian, misalnya Stephen Kemmis, Robin Mc Taggart, John Elliot,

Dave Ebbutt dan sebagainya.

Model yang dikembangkan oleh Stephen Kemmis dan Robin Mc

Taggart tampaknya masih begitu dekat dengan model yang diperkenalkan oleh

Kurt Lewin sehingga belum tampak adanya perubahan. Keempat komponen

tersebut meliputi:

a. Perencanaan (Planning)

b. Aksi/Tindakan (Acting)

c. Observasi (Observing)

d. Refleksi (Reflecting)

Hanya saja, sesudah suatu siklus selesai diimplementasikan, khususnya

sesudah adanya refleksi, kemudian diikuti dengan adanya perencanaan ulang yang

dilaksanakan dalam bentuk siklus tersendiri. Demikian seterusnya, atau dengan

beberapa kali siklus. Untuk lebih jelasnya berikut ini dikemukakan PTK model

Kemmis dan Taggart yang dikemukakan secara sistematis:

a. Perencanaan (Planning)

Kegiatan perencanaan mencakup (1) identifikasi masalah, (2) analisis

penyebab adanya masalah, dan (3) pengembangan bentuk tindakan (aksi) sebagai

pemecahan masalah. Untuk keperluan identifikasi masalah dalam penelitian

tindakan kelas ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu:

1) Masalah harus benar-benar terjadi dan dirasakan oleh guru pada saat

melaksanakan tugas (on the job problem oriented)

2) Problematik, artinya masalah perlu dipecahkan berkaitan dengan tanggung

jawab, kewenangan dan tugas seorang guru.

3) Memiliki manfaat yang jelas, artinya pemecahan masalah yang dilakukan akan

memberikan manfaat yang jelas bagi siswa dan guru karena ada kemungkinan

kalau masalah tidak segera diatasi akan mengganggu penguasaan kompetensi

berikutnya dalam proses pembelajaran yang mempunyai sifat kesinambungan.

4) Dapat dipecahkan oleh guru selaku pelaksana penelitian tindakan kelas.

Observasi dan Wawancara

Perencanaan

Tindakan I

Pemahaman konsep Refleksi

Evaluasi

Gambar 2. Konsep PTK menurut Kemmis dan Taggart

b. Tindakan (Acting)

Dalam menentukan tindakan (aksi) yang dipilih perlu

mempertimbangkan pertanyan-pertanyaan sebagai berikut: (a) apakah tindakan

yang dipilih telah mempunyai landasan berfikir yang mantap, baik secara kajian

teoritis maupun konsep? (b) apakah alternatif tindakan yang dipilih dipercaya

dapat menjawab permasalahan yang muncul? (c) bagaimanakah cara

melaksanakan tindakan dalam bentuk strategi langkah-langkah setiap siklus dalam

proses pembelajaran dikelas? (d) bagaimana cara menguji tindakan sehingga

dapat dibuktikan telah terjadi perbaikan kondisi dan peningkatan proses dalam

kegiatan pembelajaran dikelas yang diteliti?

Setelah ditetapkan bentuk tindakan yang dipilih sesuai dengan rencana

pelaksanaan tindakan, maka langkah selanjutnya adalah mengimplemintasikan

tindakan dalam proses pembelajaran sesuai dengan scenario pembelajaran yang

sudah dibuat oleh guru.

c. Observasi (Observing)

Kegiatan observasi atau pengamatan dalam penelitian tindakan kelas

dilakukan untuk mengetahui dan memperoleh gambaran lengkap secara objektif

tentang perkembangan proses pembelajaran, dan pengaruh dari tindakan yang

dipilih terhadp kondisi kelas dalam bentuk data. Data yang dihimpun melalui

pengamatan ini meliputi data kuantitatif dan kualitatif sesuai dengan indikator

yang telah ditetapkan. Pengambilan data harus bersifat multiple data collection,

jangan hanya menggunakan satu instrumen saja. Kegiatan pengambilan data dapat

dilakukan diantaranya dengan cara:

1) Observasi atau pengamatan (non-tes), bagaimana cara anak mempersiapkan

alat dan bahan, bagaimana anak menggunakan alat, bagaimna sikap anak

ketika mengerjakan tugas.

2) Wawancara (non-tes), terhadap tiga anak yang unik, tiga anaka yang pintar,

tiga anak yang tidak bisa (bodoh), tiga anak yang mempunyai antusias tinggi,

tiga anak enggan mengikuti proses.

3) Angket (non-tes), sejumlah pertanyaan yang harus dijawab oleh siswa secara

tertulis yang berguna untuk menggungkap tanggapan balik siswa dan dampak

dari aktifitas tindakan selama proses pembelajaran berlangsung.

4) Jurnal (non-tes), catatan harian siswa tentang media cara guru mengajar,

interaksi kawan dan lain-lain.

5) Dokumentasi (non-tes), gambar dan foto PBM.

6) Nilai ulangan (tes), penilaian hasil tugas yang dilakukan guru yang sejenis.

d. Refleksi (Reflecting)

Refleksi dilakukan untuk mengadakan upaya evaluasi yang dilakukan

guru dan tim pengamat dalam penelitian tindakan kelas. Refleksi dilakukan

dengan cara berdiskusi terhadap berbagai masalah yang muncul dikelas penelitian

yang diperoleh dari analisis data sebagai bentuk dari pengaruh tindakan yang telah

dirancang. Pada kegiatan refleksi ini juga ditelaah aspek-aspek mengapa,

bagaimana, dan sejauh mana tindakan yang dilakukan mampu memperbaiki

masalah secara bermakna.

B. Kerangka Pemikiran

Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mampu melibatkan

keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar yakni menggunakan kegiatan

siswa sendiri secara efektif di dalam pembelajaran. Siswa diarahkan untuk

menyelesaikan masalah yang sesuai dengan konsep pembelajaran yang sedang

dipelajari. Dalam hal ini peran guru hanya sebagai motivator dan fasilitator. Guru

bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi siswa, siswa diberi kesempatan seluas-

luasnya untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya dalam menyelesaikan

masalah yang sesuai dengan materi pembelajaran.

Permasalahan umum dalam pembelajaran Penjas adalah kurangnya

sarana atau peran aktif siswa dalam kegiatan belajar. Proses pembelajaran yang

berlangsung belum mewujudkan adanya partisipasi siswa secara penuh. Di sini

siswa berperan sebagai objek pembelajaran, yang hanya mendengarkan dan

mengaplikasikan apa yang disampaikan oleh guru. Selain itu, proses pembelajaran

kurang mengoptimalkan penggunaan modifikasi pembelajaran yang dapat

memancing partisipasi siswa.

Penggunaan suatu model nyata yang dapat diamati dan dipegang

secara langsung oleh siswa memungkinkan siswa untuk terlibat secara aktif dalam

kegiatan belajar. Model nyata yang dimaksud adalah media pembelajaran.

Penggunaan modifikasi pembelajaran memungkinkan siswa untuk lebih banyak

melakukan kegiatan seperti melihat, menyentuh, merasakan, atau mengalami

melalui modifikasi tesebut.

Penggunaan modifikasi dalam pelaksanaan tindakan tiap siklusnya

disesuaikan dengan topik materi yang sedang dipelajari. Secara garis besar

modifikasi yang digunakan antara lain berupa rudal. Secara lebih rinci jenis-jenis

media tersebut dijabarkan dalam RPP tiap-tiap pertemuan.

Penggunaan modifikasi dapat memunculkan fenomena atau gejala

yang dapat ditangkap siswa sehingga dapat memunculkan masalah-masalah yang

terkait dengan topik atau materi yang sedang dipelajari. Permasalahan-

permasalahan inilah yang menjadi basis dalam pembelajaran untuk dipecahkan

bersama di dalam kelas. Pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah

di dalam kelas adalah dengan penggunaan rudal dalam pembelajaran teknik dasar

lempar lembing.

Kurangnya kreatifitas guru yang dapat mempengaruhi rendahnya hasil

belajar siswa antara lain kurang kreatifnya guru Pendidikan jasmani di sekolah dalam

membuat dan mengembangkan media pembelajaran sederhana, guru miskin akan

model-model pembelajaran, sehingga dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani

di sekolah dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang monoton, guru hanya

menggunakan metode ceramah dan metode tugas, karena mereka hanya mengejar

bagaimana materi pelajaran tersebut dapat selesai tepat waktunya, tanpa memikirkan

bagaimana pembelajaran itu bermakna dan dapat diaplikasikan oleh siswa dalam

kesehariannya.

Secara sederhana kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat

digambarkan pada gambar 3 sebagai berikut:

Kondisi awal

Tindakan

Kondisi akhir

Guru: kurang kreatif & inovatif dalam mengajar Pendidikan Jasmani

Meningkatkan teknik dasar lempar lembing melalui penggunaan alat bantu pembelajaran

Melalui penggunaan alat bantu pembelajaran dapat meningkatkan teknik dasar lempar lembinng siswa (siswa lebih bersemangat dan prestasi belajar meningkat)

Siklus II dan III: upaya perbaikan dari tindakan dari siklus I sehingga melalui penggunaan alat bantu pembelajaran dapat berhasil meningkatkan hasil belajar teknik dasar lempar lembing siswa.

Siklus I: guru & peneliti menyusun bentuk gerakan & teknik yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar teknik dasar lempar lembing siswa.

Siswa: - siswa kurang tertarik &

cepat bosan dengan pelajaran lempar lembing

- hasil belajar Penjas rendah

- pemahaman teknik dasar siswa rendah.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

C. Hipotesis

1. Penggunaan alat bantu pembelajaran pendidikan jasmani dapat meningkatkan

kemampuan teknik dasar lempar lembing siswa SMP Penda Tawangmangu

Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar.

2. Partisipasi siswa dalam pembelajaran Penjas meningkat, khususnya pada

pembelajaran teknik dasar lempar lembing siswa SMP Penda Tawangmangu

Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Setting Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2009, karena dalam

penelitian tindakan kelas berlangsungnya pengamatan adalah dilakukan setiap hari

dalam waktu tertentu, dan dilakukan pengamatan adalah setiap berlangsungnya

mata pelajaran Pendidikan Jasmani Kelas VII 2 SMP Penda Tawangmangu

Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar, yaitu setiap hari selasa dari

pukul 07:00 sampai dengan pukul 09:30 WIB. Hal ini dilakukan karena dalam

penelitian tindakan kelas proses pelaksanaan penelitian tidak boleh menggangu

proses belajar mengajar itu sendiri. Pelaksanaan tindakan kelas tidak menganggu

tugas pokok seorang guru karena dia tidak perlu meninggalkan kelasnya. PTK

merupakan suatu kegiatan penelitian yang terintegrasi dengan pelaksanaan proses

pembelajaran.

Tabel 4. Rincian Kegiatan Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian No Rencana Kegiatan Tahun 2009 - 2010

Agts Sept Okt Nov Feb

1. Persiapan

a. Observasi xxx xxx

a. Identifikasi Masalah xxx xxx

b. Penentuan Tindakan xxx xxx

c. Pengajuan Judul xxx xxx

d. Penyusunan Proposal xxx

e. Pengajuan Izin Penelitian xxx

2. Pelaksanaan

a. Seminar Proposal xxx

b. Pengumpulan Data Penelitian xxx

3. Penyusunan Laporan

a. Penulisan Laporan xxx

b. Ujian Skripsi xxx

2. Tempat Penelitian

Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan di SMP PENDA

Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar.

B. Subjek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah:

1. Siswa, subjek dalam penelitian ini siswa kelas VII SMP PENDA

Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar. Jumlah

keseluruhan siswa kelas VII.2 adalah sebanyak 33 orang. Seluruh siswa

diamati untuk mengetahui tingkat perkembangan kemampuan.

2. Guru, subjek yang diamati adalah guru dalam memberikan pembelajaran,

meliputi persiapan, proses, dan penilaian pada saat pembelajaran Pendidikan

Jasmani.

C. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data Primer, berupa hasil belajar dan proses pembelajaran penjas di SMP

PENDA Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar.

2. Data Sekunder, berupa RPP, silabus dan dokumen kelas VII.2 SMP PENDA

Tawangmangu Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi informasi tentang keadaan

siswa dilihat dari aspek kualitatif, dan kuantitatif. Aspek kualitatif berupa catatan

lapangan pelaksanaan pembelajaran, hasil observasi dengan berpedoman pada

lembar observasi. Aspek kuantitatif yang dimaksud adalah hasil penilaian belajar

dari materi pokok lempar lembing. Data penelitian dikumpulkan dari berbagai

sumber meliputi :

a. Informasi mitra kolaboratif dan siswa

b. Tempat peristiwa dan berlangsungnya aktivitas pembelajaran

c. Dokumentasi atau arsip yang antara lain berupa kurikulum, sekenario

pembelajaran, silabus buku penilaian dan buku referensi mengajar.

Tabel 5. Teknik/ Alat pengumpulan data

Aspek yang diteliti Teknik/ Alat Pengumpulan Data Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Studi simak (RPP yang dibuat guru)

Alat Bantu Pembelajaran (APP)

- Studi simak: untuk melihat rancangan alat bantu yang akan digunakan.

- Observasi lapangan: untuk melihat ketersediaan dan pemanfaatan alat bantu yang sudah direncanakan digunakan

Pelaksanaan Pembelajaran Lembar Observasi

Semangat dan keaktivan siswa pengamatan lapangan

Pemahaman siswa terhadap proses pembelajaran

Kartu Ceria, angket

Partisipasi belajar aktif siswa Lembar Pengamatan

D. Validasi Data

Menurut Lexy J. Maleong (2007: 330) teknik triangulasi sumber data

adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain

di luar data itu untuk keperluan mengecek atau sebagai pembanding data.

Triangulasi dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber data dan metode. Jenis

triangulasi ini dilakukan dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan

menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda, dan bahkan

lebih jelas untuk diusahakan mengarah pada sumber data yang sama untuk

menguji kebenaran informasinya. Dalam penelitian ini, digunakan metode

pengumpulan data berupa observasi, wawancara, angket dan tes KBM

berlangsung. Skema triangulasi dalam penelitian ini terlihat pada gb.4 sebagai

berikut:

Gambar 4. Skema Triangulasi Sumber Data Penelitian (Iskandar, 2009: 86)

E. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif. Teknik analisis tersebut dilakukan karena sebagian besar data yang

dikumpulkan berupa uraian diskriptif tentang perkembangan proses pembelajaran,

yakni partisipasi siswa dalam pembelajaran pada sub pokok bahasan teknik dasar

lempar lembing.

Teknik analisis ini mengacu pada model analisis Miles dan Huberman

(dalam Iskandar, 2009:75-76) yang dilakukan dalam 3 komponen yaitu.

1. Reduksi data yaitu meliputi penyeleksian data melalui seleksi yang ketat,

melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkannya dalam satu pola

yang lebih luas.

Observasi

Wawancara Angket Peneliti

Studi Dokumen

Ujian/Tes

2. Penyajian data dilakukan dalam rangka mengorganisasikan data yang

merupakan penyusunan informasi secara sistematik dari hasil reduksi data

dimulai dari perencanaan, pelaksanaan tindakan observasi dan refleksi pada

masing-masing siklus.

3. Penarikan kesimpulan atau verifikasi merupakan upaya pencarian makna data,

mencatat keteraturan dan penggolongan data. Data yang terkumpul disajikan

secara sistematis dan bermakna. Berikut skema model interaktif dalam analisis

data.

Gambar 5. Model Teknik Pengumpulan Data dan Analisis Data Secara Interaktif

(Sumber: Miles dan Huberman, dalam Iskandar, 2009:76)

F. Prosedur Penelitian

Merupakan langkah-langkah yang harus dilalui peneliti. Langkah

pertama menentukan metode yang digunakan dalam penelitian, yaitu metode

Penelitian Tindakan Kelas.

Langkah selanjutnya menentukan banyaknya tindakan yang dilakukan

dalam siklus. Dalam Penelitian Tindakan Kelas ini, peneliti akan melakukan

tindakan-tindakan yang dalam pelaksanaannya berlangsung secara terus menerus

Penyajian Data

Penarikan Kesimpulan

Reduksi Data

Display Data

dan tindakan-tindakan ini akan dilaksanakan dalam siklus yang peneliti berikan

pada siswa yang peneliti jadikan subyek penelitian.

Adapun langkah-langkah pelaksanaan PTK secara prosedurnya adalah

dilaksanakan secara partisipatif atau kolaborasi (guru, dosen dengan tim lainnya)

bekerjasama, mulai dari tahap orientasi dilanjutkan penyusunan rencana tindakan

dilanjutkan pelaksanaan tindakan dalam siklus pertama, diskusi yang bersifat

analitik yang kemudian dilanjutkan kepada langkah refleksi-evaluatif atas

kegiatan yang dilakukan pada siklus pertama, untuk kemudian mempersiapkan

rencana modifikasi, koreksi, atau pembetulan, atau penyempurnaan pada siklus

kedua dan seterusnya.

Adapun prosedur atau langkah-langkah Penelitian Tindakan Kelas

(PTK) terlihat pada gambar 6.

Keterangan:

1. Mengidentifikasi permasalahan umum

2. Mengadakan pengecekan dilapangan (reconnaissance)

3. Membuat perencanaan umum

4. Mengembangkan tindakan pertama

5. Mengobservasi, mengamati, mendiskusikan tindakan pertama

6. Refleksi-evaluatif, dan merevisi atau memodifikasi untuk perbaikan dan

peningkatan pada siklus kedua dan berikutnya

Orientasi Perencanaan

Orientasi Perencanaan Berikut

Dilanjutkan Ke Siklus Berikut?

Refleksi Pelaksanaan Tindakan

Pengamatan

Perbaikan Perencanaan

Pelaksanaan Tindakan Refleksi

Pengamatan

SIKLUS I

SIKLUS II

Gambar 6. Siklus Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Iskandar, 2009:67)

Untuk memperoleh hasil penelitian seperti yang diharapkan, prosedur

penelitian ini meliputi tahap-tahap sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan Survei Awal

Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahap ini adalah:

Peneliti mengobservasi sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian.

2. Tahap Seleksi Informan, Penyiapan Instrumen dan Alat

Pada tahap ini peneliti melakukan persiapan yang meliputi:

a. Menentukan subjek penelitian

b. Menyiapkan alat dan instrumen penelitian dan evaluasi

3. Tahap Pengumpulan Data dan Treatment

Pada tahap ini peneliti mengumpulkan data tentang:

a. Hasil belajar lempar lembing

b. Kepuasan siswa terhadap proses pembelajaran

c. Ketepatan Rencana Pelaksanaan Pebelajaran (RPP)

d. Alat Bantu Pembelajaran (APP)

e. Pelaksanaan Pembelajaran

f. Semangat dan keaktifan siswa

4. Tahap Analisis Data

Dalam tahap ini analisis yang digunakan penelitian adalah deskriptif kualitatif.

Teknik analisis tersebut dilakukan karena sebagian besar data yang

dikumpulkan berupa uraian diskriptif tentang perkembangan proses

pembelajaran, yakni partisipasi siswa dalam pembelajaran pada sub pokok

bahasan teknik dasar lempar lembing.

5. Tahap Penyusunan Laporan

Pada tahap ini peneliti menyusun laporan dari semua kegiatan dari awal survei

sampai dengan menganalisis data yang dilakukan pada waktu penelitian.

G. Proses Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah meningkatnya

hasil belajar lempar lembing siswa kelas VII SMP PENDA Tawangmangu. Setiap

tindakan upaya pencapaian tujuan tersebut dirancang dalam satu unit sebagai satu

siklus. Setiap siklus terdiri atas empat tahap, yaitu: (1) perencanaan tindakan, (2)

pelaksanaan tindakan, (3) observasi dan interpretasi, dan (4) analisis dan refleksi

untuk perencanaan siklus berikutnya. Penelitian ini, direncanakan dalam 3 siklus.

1. Rancangan Siklus I

a. Tahap Perencanaan

Pada tahap ini peneliti dan guru kelas menyusun:

1) Skenario pembelajaran sebagai berikut:

a) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

b) Menyusun lembar penilaian dan hasil pembelajaran

c) Menyusun lembar Observasi

d) Menyiapkan lembar tes dan angket

e) Menyiapkan rudal

f) Menyiapkan lapangan

g) Penetapan alokasi waktu pelaksanaan penelitian

h) Sosialisasi kepada subyek penelitian

b. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan, kegiatan yang dilakukan adalah melaksanakan proses

pembelajaran di lapangan dengan langkah-langkah kegiatan antara lain:

1) Menjelaskan kegiatan belajar mengajar secara umum

2) Melakukan pemanasan 10 menit

3) Membentuk kelompok (5 kelompok @ 8 siswa)

4) Melakukan latihan teknik dasar lempar lembing

a) Cara memegang lembing

b) Cara membawa lembing

c) Cara awalan dengan langkah jingkat

d) Cara melempar lembing

5) Diskusi kelompok membahas masalah masing-masing

6) Membantu secukupnya pada masing-masing kelompok

7) Melaksanakan diskusi kelas

8) Menarik kesimpulan

9) Penilaian dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung

10) Melaksanakan penenangan

c. Tahap Observasi

Kegiatan pengamatan ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan Pelaksanaan

Tindakan I. Pada Tahap ini dilakukan pengamatan terhadap efektifitas

modifikasi pembelajaran penjas yang diterapkan terhadap proses pembelajaran

teknik dasar lempar lembing. Observasi dilakukan dengan menggunakan

instrument berupa lembar observasi siswa.

d. Tahap Evaluasi (Refleksi)

Mengemukakan hasil temuan-temuan dari pelaksanaan tindakan I yang

memerlukan perbaikan pada siklus berikutnya.

Tabel 6. Indikator Ketercapaian Belajar Siswa Persentase

Target Capaian

Cara mengukur

Aspek

yang Diukur Siklus 1 Siklus 2

Keaktian siswa selama pembelajaran

30%

50%

Diamati saat guru memberikan materi teknik dasar lempar lembing dengan penggunaan alat bantu pada awal pembelajaran

Keaktivan semangat siswa dalam mengikuti pembelajaran

Siswa yang sudah mampu melakukan teknik dasar lempar lembing dengan menggunakan alat bantu pembelajaran

40%

40%

60%

50%

Diamati saat pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi oleh peneliti dan dihitung dari jumlah siswa yang menunjukkan kesungguhan dalam kegiatan belajar mengajar.

Diamati saat pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi oleh peneliti.

Ketuntasan hasil

belajar (hasil dari tes kemampuan teknik dasar)

40% 65% Dihitung dari jumlah siswa yang memperoleh nilai 65 ke atas untuk tes tingkat kesegaran jasmani. Siswa yang mendapat nilai 65 atau lebih dinyatakan telah mencapai ketuntasan belajar.

e. Tahap pelaksanaan, dilakukan dengan melaksanakan skenario pembelajaran

yang telah direncanakan, Tahap ini dilakukan bersamaan dengan observasi

terhadap dampak tindakan.

f. Tahap observasi dan interpretasi, dilakukan dengan mengamati dan

menginterpretasikan pendekatan aplikasi pembelajaran bermain pada proses

pembelajaran pendidikan jasmani maupun pada hasil pembelajaran yang

telah dilaksanakan untuk mendapatkan data tentang kekurangan dan

kemajuan aplikasi tindakan pertama.

g. Tahap analisis dan refleksi, dilakukan dengan menganalisis hasil observasi

dan interpretasi sehingga diperoleh kesimpulan bagian mana yang perlu

diperbaiki atau disempurnakan dan bagian mana yang telah memenuhi

target.

2. Rancangan Siklus II dan III

Pada siklus II perencanaan tindakan dikaitkan dengan hasil yang telah

dicapai pada tindakan siklus I sebagai upaya perbaikan dari siklus tersebut dengan

materi pembelajaran sesuai dengan silabus mata pelajaran pendidikan jasmani.

Demikian halnya dengan siklus III yang perbaikan tindakannya dikaitkan dengan

tindakan pada siklus II dan seterusnya, termasuk perwujudan tahap pelaksanaan,

observasi dan interpretasi, serta analisis dan refleksi yang juga mengacu pada

siklus sebelumnya.