bab i pendahuluan a. latar belakang masalahmakna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keanekaragaman kebudayaan Jawa sangat menarik untuk diteliti. Dalam
penyampaiannya, kebudayaan dapat divisualisasikan melalui bahasa. Dengan
bahasa, maka kebudayaan dapat dikenal dan berkembang di masyarakat.
Para petani mengekspresikan tentang apa yang dirasakan, dipikirkan dan
dilihatnya dengan bahasa verbal. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam
anggota masyarakat pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau
aktivitas hidup manusia. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat pengembangan
kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan invetaris ciri-ciri kebudayaan
(Nababan, 1993: 38). Petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,
Kabupaten Karanganyar masih menggunakan bahasa verbal tertentu dalam
aktivitasnya bertani. Setiap daerah memiliki bahasa yang berbeda untuk
mengungkapkan bentuk aktivitasnya, begitu pula petani di Desa Bangsri,
Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang mayoritas
masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani terutama petani padi karena
sebagian besar tanah di desa tersebut merupakan sawah pertanian padi.
Pada umumnya bahasa yang digunakan petani di Desa Bangsri, Kecamatan
Karangpandan, Kabupaten Karanganyar merupakan piranti untuk mencapai sistem
pengetahuan masyarakat di daerah tersebut, melalui pengungkapannya dapat
diketahui pandangan hidup, pandangan dunia atau pola pikir pendukung budaya
2
masyarakatnya. Bahasa dalam budaya Jawa yang berupa istilah-istilah aktivitas
pertanian padi biasanya terkandung kearifan lokal berupa pengetahuan-
pengetahuan.
Pentingnya masalah bahasa dalam budaya tersebut dikaji karena dalam
ranah pertanian tersimpan sistem pengetahuan tradisional para petani yang
diwariskan secara turun temurun. Sistem pengetahuan tersebut menyiratkan
kearifan lokal yang perlu diberdayakan dan dikembangkan untuk merevitalisasi
keunggulan budaya warisan leluhur.
Dewasa ini, banyak generasi muda yang tidak mengetahui tentang bahasa
Jawa dan budaya dalam aktivitas pertanian padi seperti: kêrik „menghaluskan
sawah agar siap untuk ditanami padi‟, ndhaut ‘mecabut benih padi‟, ngalisi
‘membersihkan pematang sawah‟, mberok ‘menanam padi menggunakan bantuan
tali‟, apalagi makna dari bahasa tersebut. Oleh karena hal-hal tersebut, bahasa
dalam budaya Jawa terkait istilah-istilah aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri,
Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar penting untuk dikaji melalui
disiplin ilmu etnolinguistik. Alasan penelitian mengenai bahasa dalam budaya
Jawa terkait aktivitas pertanian padi dapat dikaji secara etnolinguistik berdasarkan
pengertian bahwa objek kajian etnolinguistik adalah berusaha mencari hubungan
bahasa dan budaya yang terdapat di dalam masyarakat. Berdasarkan fakta dalam
masyarakat di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar
yang masih mengenal dan memakai istilah-istilah aktivitas pertanian padi secara
turun temurun tersebut, maka dapat digali hubungan makna bahasa dan budaya
Jawa yang terdapat di balik pemakaian istilah aktivitas pertanian padi secara
3
linguistik. Dalam penelitian ini, penulis ingin ikut melestarikan budaya sehingga
generasi muda dapat memahami budaya yang dimilikinya.
Secara linguistik pengkajian bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas
pertanian padi tersebut perlu adanya pengkajian dari aspek mikrolinguistik dan
makrolinguistik. Mikrolinguistik mempelajari bahasa di dalamnya, dengan
perkataan lain, mempelajari struktur bahasa itu sendiri (Kridalaksana, 2008: 154).
Objek kajian mikrolinguistik mencakup cabang fonologi, sintaksis, leksikon, dan
morfologi (Chaer, 2014: 4). Sedangkan makrolinguistik adalah bidang linguistik
yang mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa,
termasuk didalamnya bidang interdisipliner dan bidang terapan (Kridalaksana,
2008: 149). Salah satu bidang terapan yang dikaji makrolinguistik adalah
etnolinguistik. Berdasarkan pengertian mengenai aspek mikrolinguistik dan
makrolinguistik tersebut, maka dalam penelitian ini aspek mikrolinguistik yang
akan dikaji meliputi aspek morfologi dan sintaksis. Pengkajian dari aspek
morfologi bertujuan untuk mengklasifikasi bentuk bahasa dalam budaya Jawa
terkait aktivitas pertanian padi, apakah terdiri atas satu morfem (monomorfemis)
atau terdiri lebih dari satu morfem (polimorfemis) sedangkan pengkajian dari
aspek sintaksis bertujuan untuk mengklasifikasi bentuk bahasa dalam budaya
Jawa terkait aktivitas pertanian padi apakah berbentuk berbentuk frase atau
berbentuk klausa. Sedangkan aspek makrolinguistik yang akan dikaji dalam
penelitian ini yakni pencermatan terhadap keterkaitan antara makna leksikal dan
makna kultural yang terangkum dalam bahasa dan budaya terkait aktivitas
pertanian padi secara mendalam atas data penelitian yang didapatkan yang
4
merupakan cerminan kognisi, pandangan hidup, pandangan dunia dan pola pikir
masyarakat di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.
Hal tersebut terekspresikan dalam bahasa dan budaya Jawa terkait
aktivitas pertanian padi yang dapat dideskripsikan melalui interdisipliner
etnolinguistik sebagai berikut.
Dêrêp [d|r|p]
Satuan lingual dêrêp berbentuk monomorfemis. Satuan lingual dêrêp
berkategori verba yang dapat berdiri sendiri, berarti dan belum mengalami
proses morfologis.
Dêrêp yaiku mèlu nggarap sawah sarta ngênèni (opahane bawon) „ikut
menggarap sawah dan mengunduh (upahnya bulir-bulir padi)‟
(Poerwadarminta, 1939: 206). Makna leksikal dêrêp adalah ikut menggarap
sawah dan memanennya kemudian mendapat upah berupa bulir-bulir padi yang
biasa disebut bawon.
Makna kultural dêrêp menurut informan berasal dari jarwa dhosok diêrêp-
êrêp yang bermakna diharap-harapkan, karena dêrêp yang selalu diharap-
harapkan oleh buruh tani saat panen tiba agar nantinya mendapatkan bawon.
Dêrêp dilakukan dengan mengunduh padi dengan cara membantu atau menjadi
buruh saat panen pada petani lain saat panen dan mendapat upah yang disebut
bawon. Bawon yaitu gabah „bulir-bulir padi‟ sebagai upah.
Deskripsi makna leksikal dan makna kultural tersebut dapat disimpulkan
bahwa masyarakat di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar menyebut aktivitas tersebut dengan satuan lingual dêrêp bukan
sekedar penamaan belaka namun ada makna yang terkandung di dalamnya. Selain
5
itu, istilah aktivitas terkait pertanian padi yang lain dalam bentuk yang berbeda
pasti akan memiliki makna yang berbeda pula.
Para Petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar memiliki pola pikir yang berupa prinsip dan aturan dalam
mempersiapkan benih yang akan disebar, benih yang akan disebar harus
dijemur sampai kering kemudian direndam. Cara merendam gabah yang
dilakukan petani satu dan petani lainnya berbeda-beda, ada yang setelah
dijemur kering langsung dimasukkan ke dalam ember yang berisi air dingin,
ada pula yang menggunakan air mendidih saat merendam gabah, yang
sebelumnya air mendidih dimasukkan garam sedikit setelah itu gabah
dimasukkan, garam dipercaya dapat memperbanyak dan mempercepat
tumbuhnya gabah. Gabah direndam selama satu hari satu malam dalam ember
atau bak, kemudian setelah itu gabah bisa diangkat untuk selanjutnya dipêp
„menutup rapat agar tidak terkena angin‟ dalam karung dan di atas gabah diberi
daun sarilaya selanjutnya karung bisa ditutup rapat, setelah itu karung yang
berisi gabah dimasukkan ke dalam tenggok dan disimpan di tempat yang
lembab selama dua hari. Ngêpêp gabah dilakukan agar gabah tidak terkena
angin yang nantinya akan membuat gabah menjadi lembab dan dapat tumbuh.
Jika sudah dua hari gabah sudah mulai tumbuh maka gabah siap untuk disebar.
Gabah yang dijadikan benih tidak boleh sembarangan, gabah harus berkualitas
baik, karena masyarakat Desa Bangsri berpandangan bahwa jika menanam
benih yang baik maka hasil yang akan diunduh nantinya akan baik pula.
Pandangan terhadap dunia masyarakat petani Desa Bangsri yakni masyarakat
petani menyebar benih di tanah yang subur, tanah merupakan bagian dari
6
dunia, menyebar benih di tanah yang subur dan gembur akan membuat benih
dapat tumbuh subur pula, sehingga dapat mempercepat proses menanam padi
dengan begitu tanaman padi akan cepat berbuah.
Dari deskripsi tersebut dapat disimpulkan bahwa melalui pengungkapan
bahasa dalam budaya terkait aktivitas pertanian padi dapat diketahui pola pikir
berupa prinsip-prinsip dan aturan-aturan, pandangan hidup dan pandangan
terhadap dunia masyarakat Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar.
Berdasarkan penelusuran yang telah penulis lakukan, penelitian ini belum
pernah dilakukan. Ada pun penelitian sebelumnya yang sejenis sebagai berikut.
Penelitian M. V. Sri Hartini H.S. Program Studi Linguistik Deskriptif,
Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret (2014) untuk disertasi yang berjudul
“Kategori dan Ekspresi Linguistik sebagai Cermin Kearifan Lokal Etnik Jawa di
Kabupaten Kebumen Kajian Etnolinguistik Komunitas Petani” yang mengkaji
tentang kategori dan ekspresi linguistik yang ditemukan dalam ranah pertanian
komunitas petani etnik Jawa yang mencerminkan pemikiran kolektif dan kearifan
lokal daerah Kabupaten Kebumen, eksistensi foklor di daerah penelitian yang
mencerminkan kearifan lokal petani, pengungkapan pola pikir, pandangan hidup,
dan pandangan dunia komunitas petani Jawa di daerah penelitian di balik ranah
bahasa dan budaya yang mencerminkan kearifan lokal, serta alasan ditemukan
karakteristik bahasa dan budaya dalam komunitas petani di daerah penelitian
sebagai daerah transisi dengan daerah budaya dan daerah periferal.
7
Penelitian Dwi Haryanti dan Agus Budi Wahyudi, PBS FKIP, Universitas
Muhammadiyah Surakarta (2005) yang dimuat dalam jurnal Kajian Linguistik dan
Sastra terbitan Fakultas Ilmu Budaya, UGM Vol. 19 no. 1, Juni 2007: 35-50 yang
berjudul “Ungkapan Etnis Petani Jawa di Desa Japanan, Kecamatan Cawas,
Kabupaten Klaten Kajian Etnolinguistik”. Penelitian ini mengkaji tentang bentuk
dan maksud ungkapan para petani di desa tersebut.
Inyo Yos Fernandez, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
menulis hasil penelitiannya dalam jurnal terbitan Fakultas Ilmu Budaya, UGM
yaitu, jurnal Kajian Linguistik dan Sastra Vol. 20 no. 2, terbit Desember 2008:
166-177 dengan judul “Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Jawa
sebagai Cermin Kearifan Lokal Penuturnya: Kajian Etnolinguistik pada
Masyarakat Petani dan Nelayan”. Penelitian ini mengkaji tentang pemakaian kosa
kata khusus sebagai cermin kearifan lokal yang terkait dengan pertanian atau
nelayan oleh petani di Petungkriyonom, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah,
petani dataran tinggi di Desa Wonosari, Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur,
nelayan di Desa Kemadang, Baron, Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta dan Desa
Puger di Jember, Jawa Timur.
Penelitian Bebetho Frederick Kamsiadi, Bambang Wibisono, Andang
Subaharinto, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Jember (2013)
menulis hasil penelitian yang dimuat dalam jurnal Publika Budaya terbitan Bidang
Ilmu Budaya dan Media, Universitas Jember Vol. 1 no. 1 November 2013: 64-78
yang berjudul “Istilah-Istilah yang digunakan pada Acara Ritual Petik Pari oleh
Masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang (Kajian
Etnolinguistik)”. Penelitian ini mendeskripsikan dan menjelaskan tentang bentuk,
8
makna, dan penggunaan istilah-istilah yang digunakan pada ritual petik pari oleh
masyarakat Jawa di Desa Sumberpucung Kabupaten Malang.
Penelitian Saharudin dan Syarifuddin, Fakultas Tarbiyah IAI Qamarul Huda
Lombok Tengah, NTB yang dimuat dalam jurnal Adabiyyat terbitan Fakultas
Adab dan Ilmu Budaya, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Vol. XI no. 1 Juni 2012
yang berjudul “Kategori dan Ekspresi Linguistik dalam Bahasa Sasak pada Ranah
Pertanian Tradisional: Kajian Etnosemantik”. Penelitian ini mengkaji tentang
kategori dan ekspresi linguistik bidang pertanian Sasak tradisional di pulau
Lombok yang berupa kosakata-kosakata beserta makna generiknya.
Penelitian Nurshopia Agustina, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia,
FPBS, UPI (2014) untuk skripsi tentang “Cermin Budaya dalam Leksikon
Perkakas Pertanian Tradisional di Pengauban, Kabupaten Bandung (Suatu
Kajian Etnolinguistik)” yang mengkaji tentang konsep cermin budaya dalam
leksikon perkakas pertanian bahasa Sunda dan klasifikasinya.
Rizal Ari Andani, Program Studi Sastra Daerah, FIB, UNS (2015) untuk
skripsi tentang “Istilah-Istilah Sesaji Cok Bakal Menjelang Panen Padi di Desa
Sidomulyo Kecamatan Wates Kabupaten Kediri (Kajian Etnolinguistik)” yang
mengkaji tentang istilah-istilah, makna leksikal dan makna kultural sesaji cok
bakal menjelang panen padi di Desa Sidomulyo Kecamatan Wates Kabupaten
Kediri.
Penelitian Fanny Henry Tondo, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Kebudayaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dimuat dalam jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, terbitan Badan Penelitian dan Pengembangan
9
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Vol. 18, no. 2, Juni 2012 yang berjudul
“Bahasa Minoritas Hamap dalam Perkebunan Jagung (Tinjauan Etnolinguistik)”.
Penelitian ini mengkaji tentang bentuk-bentuk bahasa yang digunakan oleh orang
Hamap di perkebunan jagung.
Penelitian Intan Arvin Yunaeni, Jurusan Sastra Daerah, FSSR, UNS (2014)
untuk skripsi tentang “Istilah-istilah Gerak Tari Srimpi Dhempel (Kajian
Etnolinguistik)” yang mengkaji tentang bentuk, makna leksikal dan makna
kultural istilah-istilah gerak tari Srimpi Dhempel di Keraton Kasunanan Surakarta.
Penelitian Dwi Lestari, Program Studi Sastra Daerah, FIB, UNS (2015)
untuk skripsi tentang “Bahasa dan Budaya Jawa dalam Tanaman Berkhasiat Obat
Tradisional di Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur (Kajian
Etnolinguistik)” yang mengkaji tentang hubungan bahasa dan budaya Jawa,
makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam nama tanaman
berkhasiat obat tradisional di Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Penelitian tersebut digunakan sebagai acuan dalam menganalisis bentuk,
makna, pola pikir, pandangan hidup dan pandangan terhadap dunia penuturnya
dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas dan hasil pertanian padi di Desa
Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penelitian yang mengkaji
bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri,
Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar dari perspektif kajian
etnolinguistik belum pernah dilakukan. Maka dari itu, penelitian yang akan
dilakukan ini mengkaji bahasa dalam budaya Jawa yang berupa istilah-istilah
10
aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar yang terkait dengan aktivitas, cara kerja, dan cara mengelola hasil.
Dalam hal ini peneliti meneliti tentang bentuk bahasa dalam budaya, makna
leksikal dan makna kultural serta pola pikir, pandangan hidup dan pandangan
terhadap dunia dari bahasa Jawa petani yang terkait dengan aktivitasnya di Desa
Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Dalam penelitian
ini, makna kultural atau makna yang dimiliki oleh penuturnya akan terjaga,
sehingga ajaran yang terkandung dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas
pertanian padi akan menambah pengetahuan pembaca. Ada pun judul yang dipilih
untuk penelitian ini adalah “Bahasa dalam Budaya Jawa terkait Aktivitas
Pertanian Padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar (Kajian Etnolinguistik)”.
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam sebuah penelitian sangat diperlukan. Hal ini
dimaksudkan agar permasalahan yang akan dikaji tidak meluas pada pembahasan
lain. Penelitian yang berjudul “Bahasa dalam Budaya Jawa terkait Aktivitas
Pertanian Padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar (Kajian Etnolinguistik)”, penulis membatasi permasalahan yang
dikaji, yaitu mengenai bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas
pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar yang berupa monomorfemis, polimorfemis, frase, klausa, mengenai
makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam bahasa dan budaya
Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,
Kabupaten Karanganyar, mengenai pola pikir, pandangan hidup dan pandangan
11
terhadap dunia masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,
Kabupaten Karanganyar.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas
pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar?
2. Apakah makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam bahasa
dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri,
Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar?
3. Bagaimanakah pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap
dunia masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,
Kabupaten Karanganyar?
D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas
pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar.
12
2. Mendeskripsikan makna leksikal dan makna kultural yang terangkum
dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa
Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.
3. Mendeskripsikan pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap
dunia masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,
Kabupaten Karanganyar.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dibedakan bersifat teoretis dan praktis.
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoretis yaitu
menambah khazanah teoretis tentang etnolinguistik.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memberi manfaat praktis sebagai berikut.
a. Terdokumentasikannya istilah-istilah aktivitas terkait pertanian padi di
Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar
beserta cara kerja dan makna kulturalnya.
b. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan
masyarakat di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar tentang aktivitas-aktivitas terkait pertanian padi.
c. Dijadikan sebagai acuan penelitian etnolinguistik selanjutnya.
13
F. Landasan Teori
1. Bahasa dan Budaya Jawa
a. Bahasa Jawa
Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa
simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Gorys Keraf,
2004: 1). Bahasa merupakan manifestasi terpenting dari kehidupan
mental penuturnya dan dapat digunakan sebagai dasar
pengklasifikasian pengalaman (Franz Boas dalam Abdullah, 2014: 5).
Bahasa (language) adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang
dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama,
berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana, 2008: 24).
Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi dalam anggota masyarakat
pemakai bahasa dan merupakan dokumentasi kegiatan atau aktivitas
hidup manusia. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat
pengembangan kebudayaan, jalur penerus kebudayaan, dan invetaris
ciri-ciri kebudayaan (Nababan, 1993: 38).
Bedasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa
adalah alat komunikasi berupa simbol bunyi yang bersifat arbitrer yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia, yang merupakan bagian dari
manifestasi terpenting dari kehidupan penuturnya, yang dipergunakan
oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi dan
mengidentifikasikan diri. Selain itu, bahasa berfungsi sebagai alat
pengembangan kebudayaan. Bahasa Jawa berarti alat komunikasi
berupa simbol bunyi yang bersifat arbitrer yang dihasilkan oleh alat
14
ucap orang Jawa, yang merupakan bagian dari manifestasi terpenting
dari kehidupan penuturnya, yang dipergunakan oleh anggota
masyarakat Jawa untuk bekerja sama, berinteraksi dan
mengidentifikasikan diri. Selain itu, bahasa tersebut berfungsi sebagai
alat pengembangan kebudayaan Jawa.
b. Budaya Jawa
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990: 180). Kata
kebudayaan dan kata culture. Kata kebudayaan berasal dari bahasa
Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti
„budi‟ atau „akal‟, dengan demikian kebudayaan dapat diartikan hal-
hal yang bersangkutan dengan budi dan akal (Koentjaraningrat, 1990:
181). Adapun kata culture, yang merupakan kata asing yang sama
artinya dengan kebudayaan berasal dari kata Latin colere yang berarti
„mengolah, mengerjakan‟ terutama mengolah tanah atau bertani, dari
kata itu berkembang arti culture sebagai „segala daya upaya serta
tindakan manusia untuk mengolah tanah dan merubah alam‟
(Koentjaraningrat, 1990: 182). Koentjaraningrat membagi kebudayaan
atas 7 unsur yaitu sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan,
sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi
dan peralatan, bahasa, dan kesenian. (Koentjaraningrat, 1990: 203).
15
Selain itu Koentjaraningrat(1983: 5) juga membagi kebudayaan atas 3
wujud yakni:
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Jadi budaya Jawa adalah keseluruhan budi, sistem gagasan, nilai-
nilai, aktivitas, dan hasil karya yang dimiliki manusia Jawa dalam
kehidupan masyarakat Jawa yang didapatkan melalui proses belajar.
Aktivitas pertanian padi merupakan wujud kebudayaan Jawa.
c. Keterkaitan Bahasa dan Budaya
Robert Sibarani menjelaskan dalam hubungan bahasa dan
kebudayaan, bahasa berperan sebagai alat atau sarana kebudayaan,
baik untuk perkembangan, transmisi maupun penginventarisanya.
Pengembangan konsep-konsep budaya selalu dilakukan dengan
bantuan bahasa. Pola pikir, tingkah laku, adat istiadat, dan unsur
kebudayaan lainnya hanya bisa disampaikan melalui bahasa. Selain itu
bahasa sebagai suatu sistem komunikasi merupakan wujud kebudayaan
yang termasuk sistem sosial yang mendasari tindakan berpola manusia.
Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Bahasa digolongkan
sebagai unsur kebudayaan karena pada hakikatnya bahasa mengikuti
kebudayaan. Bahasa juga merupakan hasil kebudayaan, artinya bahasa
yang digunakan atau diucapkan oleh suatu kelompok masyarakat
16
adalah suatu refleksi atau cermin keseluruhan kebudayaan masyarakat
tersebut (Sibarani dalam Sri Hartini, 2014: 16 ).
2. Istilah
Istilah (term) adalah kata atau gabungan kata dengan cermat
mengungkapkan konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam
bidang tertentu (Kridalaksana, 2008: 97). Istilah adalah perkataan yang
khusus mengandung arti yang tertentu di lingkungan sesuatu ilmu
pengetahuan, pekerjaan atau kesenian (Poerwadarminta, 1976: 388).
Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti menyimpulkan bahwa
istilah adalah kata atau gabungan kata sebagai penyebutan atau penamaan
terhadap sesuatu yang berkaitan dengan kebudayaan yang memiliki
maksud tertentu.
3. Makna
Makna adalah maksud pembicara, pengaruh satuan bahasa dalam
pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia,
hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa
dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang
ditunjukkannya, cara menggunakan lambang-lambang bahasa
(Kridalaksana, 2008: 148). Makna adalah arti yang dimiliki oleh sebuah
kata (leksem) karena hubungannya dengan makna leksem lain dalam
sebuah tuturan (Edi subroto, 2011: 23).
Penelitian ini akan membahas lebih lanjut makna leksikal dan kultural
dari bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian di Desa Bangsri,
Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.
17
a. Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem
meski tanpa konteks apa pun (Chaer, 2014: 289). Makna leksikal ini
dipunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau
konteksnya (Kridalaksana, 2008: 149). Makna leksikal (lexical
meaning) atau makna semantik (semantic meaning), atau makna
eksternal (external meaning) adalah makna kata ketika kata itu berdiri
sendiri, entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang
maknanya kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca di dalam
kamus bahasa tertentu (Pateda, 2001: 119). Dari definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa makna leksikal adalah makna yang dimiliki bahasa
yang terlepas dari konteks.
b. Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna yang timbul karena relasi satuan
gramatikal baik dalam konstruksi morfologi, frase, klausa/kalimat
(Subroto, 33: 2011).
c. Makna Kultural
Makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki bahasa sesuai
dengan konteks budaya penuturnya (Subroto dalam Abdullah, 2014:
20). Konsep makna kultural ini dimaksudkan untuk lebih dalam
memahami makna ekspresi verbal maupun nonverbal suatu masyarakat
yang berhubungan dengan sistem pengetahuan (cognition system)
terkait pola-pikir, pandangan hidup (way of life) serta pandangan
terhadap dunianya (world view) suatu masyarakat (Abdullah, 2014:
18
20). Jadi, makna kultural adalah makna bahasa yang sesuai dengan
konteks kebudayaan masyarakat penuturnya.
Berikut ini adalah contoh makna leksikal dan makna kultural yang
ditemukan dari data tentang bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas
pertanian padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar ini ditemukan data sebagai berikut.
a. Makna Leksikal
Kêrik yaiku nyukur sathithik sarta dipacak rêsik „memotong sedikit
dan menata bersih‟ (Poerwadarminta, 1939: 656). Makna leksikal kêrik
adalah memotong sedikit dan menata bersih.
b. Makna Gramatikal
Mopok yaiku nèmplèkake blêthok lan sapiturute ing „menempelkan
gumpalan tanah di‟ (Poerwadarminta, 1939: 1027). Mopok berasal dari
kata popok kemudian mendapatkan prefix m- menjadi mopok. Makna
gramatikal mopok adalah menempelkan gumpalan tanah pada galengan
„batas petakan pada sawah‟.
c. Makna kultural
Makna kultural mopok menurut masyarakat Desa Bangsri,
Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar dikarenakan saat
melakukan aktivitas ini blêthok „gumpalan tanah‟ yang ditaruh di
galengan „pematang sawah‟ lalu digacrokne „dipukul-pukul‟
menggunakan cangkul akan terdengar bunyi pok-pok-pok, jadi
dinamakan mopok.
19
Mopok dilakukan setelah galengan „pematang sawah‟ sudah
dialisi. Mopok dilakukan dengan cara menaruh blêthok „gumpalan
tanah‟ ditaruh di galengan „pematang sawah‟ lalu digacrokne „dipukul-
pukul‟ menggunakan cangkul dan dihalus-haluskan. Para petani
melakukan mopok untuk memperbaiki pematang sawah agar menjadi
baru serta air dapat menggenang dipetakan sawah dan air tidak bocor ke
petakan sawah lain.
4. Aspek Mikrolinguistik
Mikrolinguistik adalah bidang linguistik yang mempelajari bahasa di
dalamnya, dengan perkataan lain, mempelajari struktur bahasa itu sendiri
atau mempelajari bahan bahasa secara langsung (Kridalaksana, 2008:
154). Objek kajian mikrolinguistik mencakup cabang fonologi, sintaksis,
leksikon, dan morfologi (Chaer, 2014: 4). Penelitian ini mempergunakan
aspek mikrolinguistik yaitu cabang morfologi yang meliputi teori tentang
pengertian monomorfemis, polimorfemis dan cabang sintaksis yang
berupa pengertian tentang frase dan klausa.
a. Monomorfemis
Monomorfemis (monomorphemic) terjadi dari suatu morfem
(Kridalaksana, 2008: 157). Morfem (morpheme) merupakan satuan
bunyi terkecil yang relatif stabil dan yang tidak dapat dibagi atas bagian
bermakna yang lebih kecil misalnya (ter-), (di-), dan sebagainya
(Kridalaksana, 2008: 158). Morfem terdiri atas dua jenis yaitu morfem
bebas dan morfem terikat. Morfem bebas adalah morfem yang secara
potensial dapat berdiri sendiri dan sudah memiliki makna, misal rumah,
20
tanah dan sebagainya sedangkan morfem terikat adalah morfem yang
tidak mempunyai potensi untuk berdiri sendiri dan yang selalu terikat
dengan morfem lain untuk membentuk ujaran, misal pe, juang, temu,
mayur (Kridalaksana, 2008: 158).
Menurut Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih morfem akan
menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal
bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut kata monomorfemis
dengan ciri-ciri dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempunyai makna
dan berkategori jelas, sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut
kata polimorfemis. Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis
dan polimorfemis adalah menggolongkan berdasarkan jumlah morfem
yang menyusun kata.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa suatu kata dapat
diklasifikasikan ke dalam bentuk monomorfemis apabila kata tersebut
berupa morfem bebas yaitu dapat berdiri sendiri dan bermakna.
Pentingnya penjelasan tentang monomorfemis untuk penelitian
yang berjudul “Bahasa dalam Budaya Jawa terkait Aktivitas Pertanian
Padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar (Kajian Etnolinguistik)” ini adalah untuk mengidentifikasi
dan mengklasifikasi bentuk bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas
pertanian padi di wilayah tersebut yang terdiri atas satu morfem. Dalam
penelitian terkait bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian
padi di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
21
Karanganyar ini ditemukan sejumlah satuan lingual yang termasuk
kategori bentuk monomorfemis seperti matun, dêrêp, sulam, dsb.
b. Polimorfemis
Polimorfemis adalah kata bermorfem lebih dari satu. Kata yang
dapat diklasifikasikan ke dalam bentuk polimorfemis adalah hasil kata
dari proses morfologis yang berupa perangkaian morfem. Proses
morfologis meliputi:
1) Afiksasi
Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sebuah dasar
atau bentuk dasar. Afiks adalah sebuah bentuk, biasanya berupa
morfem terikat, yang diimbuhkan pada sebuah dasar dalam proses
pembentukan kata (Chaer, 2014:177). Kata berafiks adalah kata yang
mengalami proses afiksasi. Penambahan afiks dapat dilakukan di
depan (prefiks), di tengah (infiks), di akhir (sufiks) serta dapat di
depan dan akhir (konfiks). Afiksasi ialah proses pembubuhan afiks
pada suatu bentuk baik berupa bentuk tunggal maupun bentuk
kompleks untuk membentuk kata-kata baru. (Rohmadi, Muhammad,
Yakub Nasucha, Agus Budi Wahyudi, 2012: 41). Afiks ialah suatu
bentuk linguistik yang keberadaannya hanya untuk melekatkan diri
pada bentuk-bentuk lain sehingga mampu menimbulkan makna baru
(baru) terhadap bentuk-bentuk yang dilekati tadi. Bentuk-bentuk
yang dilekatinya bisa terdiri atas pokok kata, kata dasar, atau bentuk
kompleks (Rohmadi, Muhammad, Yakub Nasucha, Agus Budi
Wahyudi, 2012: 41). Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa
22
afiksasi adalah proses penambahan afiks yang berupa morfem terikat
pada kata dasar maupun bentuk kompleks yang menimbulkan makna
baru.
2) Reduplikasi
Reduplikasi adalah perulangan bentuk atas suatu bentuk dasar.
Bentuk baru sebagai hasil perulangan bentuk tersebut lazim disebut
kata ulang (Rohmadi, Muhammad, Yakub Nasucha, Agus Budi
Wahyudi, 2012: 83). Reduplikasi adalah proses morfemis yang
mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, secara sebagian
(parsial), maupun dengan perubahan bunyi (Chaer, 2014: 182).
Reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa
sebagai alat fonologi atau gramatikal (Kridalaksana, 2008: 186).
Abdul Chaer (2014: 182-183) membedakan reduplikasi menjadi 3
yaitu: reduplikasi penuh, seperti meja-meja, reduplikasi sebagian
seperti lelaki, dan reduplikasi dengan perubahan bunyi, seperti
bolak-balik, Sutan Takdir Alisjahbana dalam Abdul Chaer
(2014:183) masih mencatat adanya reduplikasi semu, seperti
mondar-mandir, yaitu sejenis bentuk kata yang tampaknya sebagai
hasil reduplikasi, tetapi tidak jelas bentuk dasarnya yang diulang.
Jadi, reduplikasi adalah proses pengulangan kata, baik secara
keseluruhan, sebagian, maupun dengan perubahan bunyi.
3) Kata Majemuk
Kata majemuk ialah dua kata atau lebih yang menjadi satu
dengan lainnya erat sekali dan menunjuk atau menimbulkan satu
23
pengertian baru (Rohmadi, Muhammad, Yakub Nasucha, Agus Budi
Wahyudi, 2012: 103). Kata majemuk adalah gabungan dua kata atau
lebih yang membentuk satu kesatuan arti (Keraf, 2004: 124). Kata
majemuk ialah kata yang terdiri dari dua kata sebagai unsurnya.
Makna muncul bukanlah gabungan makna pada tiap unsur,
melainkan makna lain dari unsur pembentuknya (Ramlan dalam
Pateda, 2001: 145). Jadi, kata majemuk adalah gabungan dua kata
atau lebih yang membentuk makna baru.
Pentingnya penjelasan tentang polimorfemis pada penelitian
ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi bentuk bahasa
dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri,
Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang mengalami
proses morfologi baik karena proses afiksasi, reduplikasi, dan
pemajemukan. Kata polimorfemis yang ditemukan dalam penelitian
ini misalnya istilah pêlakan yang termasuk dalam kelompok kata
yang mengalami proses morfologi yaitu afiksasi, pêlakan berasal
dari kata dasar pêlak kemudian mendapatkan sufik –an. Pêlakan
berarti para petani memulai untuk menggarap sawah.
c. Frase
Frase lazimnya didefinisikan satuan gramatikal yang berupa
gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazimnya juga disebut
gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam
kalimat (Chaer, 2014: 222). Frase adalah satuan gramatikal yang terdiri
atas dua atau lebih dari dua kata yang tidak berciri klausa dan pada
24
umumnya menjadi pembentuk klausa (Kentjono, 1982: 57). Frase pada
umumnya dapat diperluas dengan cara menyisipkan kata pada dua
unsur kata pembentuk frase tersebut, dengan menambahkan kata di
depan, di belakang maupun dengan merubah susunan frase (Kentjono,
1982: 58). Frase dapat didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang
terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak melebihi batas fungsi unsur
klausa, maksud frase tidak melebihi batas fungsi unsur klausa adalah
karena frase selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa, yaitu
sebagai subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan (Ramlan,
2001: 139).
d. Klausa
Klausa merupakan satuan sintaksis yang berada di atas satuan frase
dan di bawah satuan kalimat, berupa runtunan kata-kata berkonstruksi
predikatif. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen berupa kata
atau frase, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi
sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagainya. (Chaer, 2009: 41).
Unsur yang cenderung selalu ada dalam klausa ialah predikat. Unsur-
unsur lainnya mungkin ada mungkin juga tidak ada. (Ramlan, 2001:
80). Kehadiran predikat adalah wajib dalam sebuah konstruksi klausa
(Sidu, 2013: 43).
Ramlan, 2001 menggolongkan klausa berdasarkan kategori kata
atau frase yang menduduki fungsi P. Klausa digolongkan menjadi 4
yaitu: klausa nominal, klausa verbal, klausa bilangan, klausa depan.
25
1) Klausa Nominal
Klausa nominal ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau
frase golongan nomina. Misalnya: ia guru
2) Klausa Verbal
Klausa verbal ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau frase
golongan verba.
3) Klausa Bilangan
Klausa bilangan atau klausa numerial ialah klausa yang P-nya
terdiri dari kata atau frase golongan bilangan. Misalnya: roda
truk itu enam, kerbau petani itu hanya dua ekor
4) Klausa Depan
Klausa depan atau klausa yang P-nya terdiri dari frase depan,
yaitu frase yang diawali oleh kata depan sebagai penanda.
Misalnya: beras itu dari Delanggu, orang tuanya di rumah.
Pentingnya penjelasan tentang klausa pada penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi bentuk bahasa dalam
budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri,
Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar yang berbentuk
klausa. Satuan lingual yang berbentuk klausa yang ditemukan dalam
penelitian ini misalnya istilah meme gabah, satuan lingual meme gabah
berasal dari kata meme (verba) dan kata gabah (nomina). Meme
memiliki fungsi sebagai predikat dan gabah berfungsi sebagai objek.
meme gabah berarti dikeringkan di bawah terik sinar matahari.
26
5. Aspek Makrolinguistik
Makrolinguistik adalah bidang linguistik yang mempelajari bahasa
dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa, termasuk
didalamnya bidang interdisipliner dan bidang terapan (Kridalaksana, 2008:
149). Salah satu bidang terapan yang dikaji makrolinguistik adalah
etnolinguistik. Aspek makrolinguistik yang dipergunakan dalam penelitian
dengan kajian perspektif etnolinguistik ini yaitu teori tentang pengertian
etnolinguistik, pengkajian etnolinguistik dari aspek bahasa dan budaya
serta pengkajian etnolinguistik dari aspek konsep pola pikir, pandangan
hidup masyarakat dan pandangan masyarakat terhadap dunia.
a. Etnolinguistik
Etnolinguistik berasal dari kata „etnologi‟ dan „linguistik‟ yang
lahir karena adanya penggabungan antara pendekatan yang biasa
dilakukan oleh para ahli etnologi dengan pendekatan linguistik. Atas
dasar inilah, Ahimsa membagi kajian etnolinguistik dalam dua
golongan, yaitu kajian etnolinguistik yang memberikan sumbangan
bagi etnologi dan kajian etnologi yang memberikan sumbangan bagi
linguistik (Shri Ahimsa, 1997: 5). Bidang kajian etnologi mengkaji
tentang suku-suku tertentu dan bidang linguistik mengkaji tentang
seluk beluk bahasa keseharian manusia atau mengkaji ilmu bahasa
(Sudaryanto, 1996:9). Etnolinguistik adalah suatu ilmu bagian yang
pada asal mulanya erat bersangkutan dengan ilmu antropologi. Objek
penelitiannya yang berupa daftar kata-kata, pelukisan-pelukisan dari
ciri-ciri, dan pelukisan-pelukisan tentang tata bahasa dari bahasa-
27
bahasa lokal yang tersebar di berbagai tempat di muaka bumi ini,
terkumpul bersama-sama dengan bahan tentang unsur kebudayaan
sesuatu suku bangsa. (Koentjaraningrat, 1974: 2)
Istilah etnolinguistik juga disebut dengan istilah antropological
linguistic yang bervariasi dengan linguistic anthropology (Duranti,
1997: 2). Linguistic anthropology over both antropological linguistic
and ethnolinguistics is part of a conscious attempt at consolidating
and redefining the study of language and culture as one of the major
subfields of anthropology ‘Linguistik antropologi baik antropologi
linguistik maupun etnolinguistik merupakan bagian dari usaha nyata
(sadar) dalam menggabungkan dan menjelaskan bahwa studi bahasa
dan budaya sebagai satu dari subbidang utama dari antropologi‟
(Duranti, 1997: 2). Lebih lanjut menurut Hymes (1963: 277)
ethnolinguistics, the study of speech and language within the context of
anthropology „etnolinguistik adalah ilmu yang mempelajari cara
berbahasa dan bahasa dalam konteks budaya‟ (Duranti, 1997: 2).
Pengertian etnolinguistik yang juga disebut studi linguistik
antropologis menurut Kridalaksana adalah cabang linguistik yang
mempelajari bahasa dalam konteks budaya, mencoba mencari makna
tersembunyi yang ada di balik pemakaian bahasa, merupakan disiplin
interpretatif yang mengupas bahasa untuk mendapatkan pemahaman
budaya yang bermula dari fakta kebahasaan (Kridalaksana, 2008: 59).
Selain itu etnolinguistik juga dipahami sebagai jenis linguistik yang
menaruh perhatian terhadap dimensi bahasa (kosakata, frasa, klausa,
28
wacana, unit-unit lingual lainnya) dalam dimensi sosial dan budaya
(seperti upacara ritual, peristiwa budaya, foklor, dan lainnya) yang
lebih luas untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik
budaya dan struktur sosial masyarakat (Abdullah, 2014: 10). Secara
konseptual etnolinguistik (anthropological linguistics) memiliki
pengertian merupakan jenis linguistik yang menaruh perhatian
terhadap posisi bahasa dalam konteks sosial-budaya yang lebih luas
untuk memajukan dan mempertahankan praktik-praktik budaya dan
struktul sosial (Foley dalam Abdullah, 2014: 1). Lebih lanjut,
etnolinguistik yang dapat disebut juga linguistik antropologi
(anthropological linguistics) adalah cabang linguistik yang mengkaji
hubungan bahasa dan budaya sebagai sub bidang utama dari
antropologi (Richards, Platt, Weber dalam Abdullah, 2014: 4).
Etnolinguistik mencoba melakukan klasifikasi kognisi, pandangan
hidup, pandangan dunia dan pola pikir masyarakat penuturnya yang
bertolak dari data empiris kebahasaan dan sangat bertumpu pada
dimensi leksikon berserta dimensi semantik bahasa dan budaya
pemiliknya (Abdullah, 2014: 8).
Dari beberapa pengertian para ahli mengenai etnolinguistik di atas
dapat disimpulkan bahwa etnolinguistik adalah cabang ilmu linguistik
yang mengkaji tentang bahasa dalam konteks budaya. Etnolinguistik
mencoba mencari makna tersembunyi yang ada di balik pemakaian
bahasa (yang berupa kosakata, frasa, klausa, wacana, unit-unit lingual
lainnya) dalam konteks sosial dan budaya (seperti upacara ritual,
29
peristiwa budaya, foklor, dan lainnya), mengupas bahasa untuk
mendapatkan pemahaman budaya yang bermula dari fakta
kebahasaandan yang lebih luas untuk memajukan dan
mempertahankan praktik-praktik budaya dan struktur sosial. Pada
intinya etnolinguistik mencoba melakukan klasifikasi kognisi,
pandangan hidup, pandangan dunia dan pola pikir masyarakat
penuturnya yang bertolak dari data empiris kebahasaan dan sangat
bertumpu pada dimensi leksikon berserta dimensi semantik bahasa dan
budaya pemiliknya.
b. Pengkajian Etnolinguistik dari Aspek Bahasa dan Budaya
Budaya itu ada di dalam pikiran (mind) manusia, dan bentuk
organisasi pikiran berupa fenomena material. Dalam hal ini fenomena
material itu dapat dipahami berupa ekspresi verbal (kosa-kata, frase,
klausa, wacana, dan unit-unit lingual lainnya) dan ekspesi nonverbal
(upacara ritual, mantra, doa, tempat tertentu, kepercayaan, perangkat
sesaji, dan sebagainya). Selanjutnya dijelaskan bahwa jalan yang
paling mudah untuk memperoleh budaya adalah melalui bahasa,
khususnya melalui daftar kata-kata yang ada dalam suatu bahasa.
Maka dari itu, bahasa merupakan jalan yang paling mudah untuk
sampai pada sistem pengetahuan (cognition system) suatu masyarakat,
yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-
prinsip, dan sebagainya. (Abdullah, 2014: 14).
30
c. Pengkajian Etnolinguistik dari Aspek Konsep Pola Pikir, Pandangan
Hidup Masyarakat dan Pandangan Masyarakat terhadap Dunia
Bahasa dipahami sebagai manifestasi terpenting dari kehidupan
mental penuturnya dan sebagai dasar pengklasifikasian pengalaman
(Abdullah, 2014: 17). Ahimsa dalam Abdullah (2014: 17)
mengemukakan bahwa pola pikir adalah pengetahuan suatu
masyarakat yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-
aturan, prinsip-prinsip, yang sebagaimana dinyatakan melalui bahasa.
Dalam konsep Durkheim, konsep pola pikir dapat mengacu pada
pikiran kolektif masyarakat, yaitu dipahami sebagai suatu gagasan
yang telah dimiliki sebagian besar warga masyarakatnya yang sudah
bukan lagi bentuk pikiran tunggal mengenai suatu hal yang khas,
tetapi umumnya telah berkaitan dengan gagasan lain sejenis, sehingga
menjadi suatu kompleks gagasan (Koentjaraningrat, 1996: 85-86).
Pencermatan melalui ekspresi verbal dan nonverbal dalam bahasa dan
budaya masyarakat tertentu akan dapat menguak pola pikir yang
dimilikinya secara turun-temurun (Abdullah, 2014: 18).
Bahasa merupakan jalan yang paling mudah untuk sampai pada
sistem pengetahuan (cognition system) suatu masyarakat, yang isinya
antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan
sebagainya. Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai
benda yang ada di lingkungan manusia, sebab melalui proses ini
manusia lantas dapat “menciptakan” keteraturan dalam persepsinya
atas lingkungan ekologisnya. Dari nama-nama ini dapat diketahui
31
patokan apa yang dipakai oleh suatu masyarakat untuk membuat
klasifikasi, yang berarti juga kita dapat mengetahui “pandangan
hidup” pendukung kebudayaan suatu masyarakat. Selanjutnya
klasifikasi ini tidak hanya menyangkut objek-objek atau benda-benda,
namun juga mengenai cara-cara, tempat-tempat, kegiatan-kegiatan,
pelaku-pelaku, tujuan-tujuan dan sebagainya. (Abdullah, 2014: 14-
15). Pandangan hidup itu sendiri adalah konsep yang dimiliki
seseorang atau golongan dalam masyarakat yang bermaksud
menanggapi dan menerangkan segala masalah di dunia ini (KBBI,
2012: 1011).
Oktavianus mengemukakan bahwa cara pandang dunia
penuturnya memperlihatkan keterkaitan bahasa dan budaya dalam
menafsirkan pandangan dunia. Melalui sistem gramatika, atau melalui
unit lingualnya sebagai pembentuk sebuah struktur wacana dapat
diamati di balik pola pikir masyarakat yang ditampilkan dalam
budaya. Oleh karena itu analisis terhadap unit lingual sangat penting
untuk menguak aspek sosiokultural suatu komunitas karena relasi
antar unit lingual dengan nilai budaya bersifat multidireksional
(Abdullah, 2014: 16-17). Adapun pandangan terhadap dunia adalah
bagaimana masyarakat memandang dunia yaitu bumi dengan segala
sesuatu yang ada di dalamnya.
32
6. Aktivitas
Aktivitas memiliki arti keaktifan, kegiatan, kerja atau salah satu
kegiatan kerja yang dilaksanakan dalam tiap bagian di dalam perusahaan
(KBBI, 2012: 31).
W.J.S. Poewadarminto menjelaskan aktivitas sebagai suatu
kegiatan atau kesibukan (http://mugironiggi.blogspot.com/aktivitas diakses
3 Desember 2015 pukul 22.11). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa aktivitas adalah suatu kegiatan atau kesibukan yang dilaksanakan
seseorang.
Aktivitas pertanian dalam penelitian ini terdiri dari 4 fase yaitu:
fase sebelum menanam padi, fase saat menanam padi, fase sesudah
menanam padi, fase saat panen dan setelah panen padi.
7. Pertanian Padi
Definisi pertanian adalah 1) perihal bertani (mengusahakan tanah
dengan tanam-tanaman); 2) segala sesuatu yang bertalian dengan tanam-
menanam (pengusahaan tanah dsb) (KBBI, 2012: 1409). Di samping itu,
pertanian adalah sejenis proses produksi yang khas yang didasarkan atas
proses-proses pertumbuhan tanaman dan hewan (Mosher, 1968: 17),
sedangkan padi adalah tumbuhan yang menghasilkan beras, termasuk jenis
oryza (KBBI, 2012: 996). Padi berarti Oryza sativa L. Genus Oryza, famili
Graminear; rumput berumpun; helaian daun memanjang 15-80 cm,
kebanyakan tepi daun kasar, malai panjang 15-40 cm, tumbuh ke atas
dengan ujung menggantung, cabang malai kasar; anak mulai beraneka
ragam, tidak berjarum, berjarum panjang atau pendek, berjarum licin atau
33
kasar, hijau atau cokelat, gundul atau berambut; merupakan tanaman budi
daya terpenting dengan ribuan spesies. (KPU, 2013: 295).
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pertanian
padi berarti sejenis proses produksi yang khas dengan cara mengusahakan
tanah dengan padi (tumbuhan penghasil beras dengan ciri-ciri: helaian
daun memanjang 15-80 cm, kebanyakan tepi daun kasar, malai panjang
15-40 cm, tumbuh ke atas dengan ujung menggantung), yang didasarkan
atas proses-proses pertumbuhan padi tersebut.
G. Data dan Sumber Data
1. Data
Data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam
(dalam arti luas), yang harus dicari/dikumpulkan dan dipilih oleh peneliti.
Data kebahasaan berupa fenomena-fenomena kebahasaan apapun yang
sesuai dengan segi-segi tertentu yang diteliti. (Subroto, 1992: 34).
Data dalam penelitian etnolinguistik yang berjudul “Bahasa dalam
Budaya Jawa terkait Aktivitas Pertanian Padi di Desa Bangsri, Kecamatan
Karangpandan, Kabupaten Karanganyar” ini meliputi: (1) Data lisan
berupa bentuk ujaran atau tuturan informan yang berwujud kata, frase,
klausa yang berkaitan dengan aktivitas pertanian padi (2) Data lisan yang
diperoleh dari informan terpilih terkait penjelasan tentang makna kultural
bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi (3) Data tulis
terkait penjelasan bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian
padi yang termuat dalam buku-buku dan kamus.
34
2. Sumber Data
Sumber data lisan pada penelitian ini yaitu informan yang
mengetahui tentang bahasa dalam budaya terkait aktivitas pertanian padi
di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar dan
sumber data tertulis yang berasal dari buku-buku, catatan penting, dan
kamus. Informan yang dimaksud memiliki kriteria sebagai berikut: 1)
Mengetahui tentang seluk beluk bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas
pertanian; 2) mengetahui bahasa dan budaya Jawa; 3) Sehat jasmani dan
rohani; 4) Memiliki alat ucap dan ujaran yang baik; 5) Bersedia
memberikan informasi tentang bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas
pertanian dengan jujur; 6) Alat pendengaran masih normal; 7) Usia
minimal 30 tahun; 8) Asli penduduk setempat.
H. Metode dan Teknik Penelitian
1. Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif berusaha memahami
makna dari fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa, dan kaitannya
dengan orang-orang atau masyarakat yang diteliti dalam situasi yang
sebenarnya (Subroto, 1992: 7). Adapun penelitian ini bersifat kualitatif
maksudnya adalah pengkajian atau penelitian suatu masalah tidak didesain
atau dirancang menggunakan prosedur statistik (Subroto, 1992: 5).
Penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif. Peneliti mencatat data yang
berwujud kata-kata, kalimat, wacana, gambar-gambar/foto, catatan harian,
memorandum, video-tipe (Subroto, 1992: 7). Penelitian dengan metode ini
35
dimaksudkan agar dapat menganalisis data dengan semua kekayaan dan
wataknya yang penuh nuansa, sedekat mungkin dengan bentuk aslinya
seperti pada waktu dicatat (Sutopo, 2002: 35). Penelitian deskriptif
kualitatif bersifat fenomenalogis, artinya penelitian ini berusaha
memahami makna dari fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa (yang
bersifat verbal maupun nonverbal) dan kaitannya dengan orang-orang atau
masyarakat yang diteliti dalam konteks kehidupan, dalam situasi yang
sebenarnya bersifat lentur dan terbuka, analisisnya secara induksi dengan
meletakkan data-data penelitian bukan saja sebagai alat pembuktian, tetapi
sebagai modal dasar untuk memahami fakta yang ada (Sutopo, 2002: 47).
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Desa Bangsri, Kecamatan
Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, alasan pemilihan lokasi
penelitian di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar karena di desa tersebut sebagian besar masyarakatnya
bermata percaharian sebagai petani padi dan sebagian besar wilayahnya
dimanfaatkan untuk tanah pertanian terutama pertanian padi. Selain itu
masyarakat tersebut masih menggunakan bahasa Jawa sebagai alat
komunikasinya dan bahasa yang berupa istilah aktivitas pertanian
memiliki makna filosofis didalamnya yang penting untuk dipelajari.
3. Alat Penelitian
Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama
penelitian ini yaitu peneliti itu sendiri. Berkaitan dengan kedudukan
peneliti sebagai alat penelitian utama karena dalam penelitian kualitatif
36
ada keyakinan bahwa hanya manusia yang mampu menggapai dan menilai
makna dari berbagai interaksi (Lincoln & Guba dalam Sutopo, 2002: 36).
Seorang peneliti dikatakan alat penelitian utama karena peneliti melakukan
penelitian langsung ke lapangan dan langsung menganalisis data bahasa
dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi di Desa Bangsri,
Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar. Sedangakan alat
bantu dalam penelitian ini adalah pensil, bolpen, buku catatan, laptop,
flashdisk, handphone.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode merupakan cara mendekati, menganalisis, dan menjelaskan
suatu fenomena (Kridalaksana, 2008: 153). Pengumpulan data dalam
penelitian ini menggunakan metode cakap dan studi pustaka. Disebut
metode cakap karena memang berupa percakapan dan terjadi kontak antara
peneliti selaku peneliti dengan penutur selaku narasumber (Sudaryanto,
1988: 7). Metode cakap ini disebut juga dengan wawancara yaitu peneliti
melakukan percakapan dengan mengajukan berbagai pertanyaan kemudian
dijawab oleh narasumber. Teknik dasar yang digunakan yaitu teknik
pancing. Peneliti untuk mendapatkan data pertama-tama harus dengan
segenap kecerdikan dan kemauannya memancing seseorang atau beberapa
orang agar berbicara (Sudaryanto, 1988: 7). Memancing seseorang agar
berbicara dan memberi informasi hendaknya dilakukan dengan halus dan
berhati-hati agar narasumber tidak merasa bahwa dia sedang dipancing.
Hal ini dilakukan untuk menjaga alur dan suasana percakapan tetap alami
37
dan wajar agar informasi tentang data dapat diungkapkan semakin
mendalam.
Teknik lanjutannya yaitu teknik cakap semuka, teknik rekam, dan
teknik catat. Kegiatan memancing bicara itu dilakukan pertama-tama
dengan percakapan langsung, tatap semuka, atau bersemuka (Sudaryanto,
1988: 7). Pembicaraan antara peneliti dengan narasumber harus tetap
dikendalikan oleh peneliti dan diarahkan sesuai dengan kepentingan
peneliti. Disamping melakukan teknik cakap semuka, peneliti melakukan
teknik rekam. Teknik rekam ini sangat penting untuk mengantisipasi
apabila peneliti lupa akan apa yang dituturkan oleh informan. Kemudian
diikuti dengan pencatatan data pada kartu data; jadi digunakan teknik catat
(Sudaryanto, 1988: 9). Teknik catat ini dilakukan untuk mencatat
keseluruhan tuturan atau sebagian tuturan yang dianggap penting dan
relevan terhadap data penelitian.
Teknik studi pustaka adalah cara mengumpulkan data secara tertulis,
terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku, tentang
pendapat, teori, dalil/hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan
masalah penyelidikan (Nawawi, 1995: 133). Teknik studi pustaka
digunakan untuk mengumpulkan data yang diperlukan untuk menambah
data yang dibutuhkan oleh peneliti. Selain itu teknik ini digunakan untuk
referensi data yang sebelumnya diperoleh dari informan. Dalam penelitian
ini, peneliti memperoleh dan memperdalam informasi yang berhubungan
dengan data yang diinginkan melalui kamus.
38
5. Metode dan Teknik Analisis Data
Metode analisis data adalah metode yang dilakukan peneliti dalam
upaya menangani langsung masalah yang terkandung dalam data
(Sudaryanto, 1993: 6). Dalam menganalisis data, penulis menggunakan
metode distribusional dan metode padan.
a. Metode Agih (Distribusional)
Metode agih itu alat penentunya justru bagian dari bahasa yang
bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Teknik dasar yang
digunakan adalah teknik bagi unsur langsung (BUL). Teknik ini
digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur,
dan unsur-unsur yang bersangkutan dianggap sebagai bagian yang
langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:
31). Metode distribusional digunakan untuk menganalisis bentuk
monomorfemis, polimorfemis, frase, dan klausa pada bahasa dalam
budaya Jawa terkait aktivitas pertanian padi. Penerapan metode
distribusional adalah sebagai berikut.
1) Bentuk monomorfemis atau satu morfem
Pada penelitian bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian
padi terdapat beberapa bentuk monomorfemis diantaranya sebagai
berikut:
Data 1
matun [mAtUn] → verba
Satuan lingual matun berkategori verba yang dapat berdiri sendiri,
berarti dan belum mengalami proses morfologis.
39
Data 2
dêrêp [d|r|p] → verba
Satuan lingual dêrêp berkategori verba yang dapat berdiri sendiri,
berarti dan belum mengalami proses morfologis.
2) Bentuk polimorfemis atau lebih dari satu morfem
Pada penelitian bahasa dalam budaya Jawa terkait aktivitas pertanian
padi terdapat beberapa bentuk polimorfemis diantaranya sebagai
berikut:
Data 3
ngêlêpi [ G|l|pi ] → verba
ng + lep + i → ngêlêpi
Satuan lingual ngêlêpi berasal dari kata lep (verba) mendapat konfiks
ng- dan –i menjadi ngêlêpi.
Data 4
Ngêblak [G|blA?] → verba
ng + êblak → ngêblak
Satuan lingual ngêblak berasal dari kata êblak (nomina) mendapat
prefiks ng- menjadi ngêblak.
3) Bentuk frase
Data 5
tandur ngabyak [tAndUr GAbyA?] → frase
tandur (verba) + ngabyak. (adverbia) → tandur ngabyak
40
Satuan lingual tandur ngabyak berasal dari kata tandur „menanam‟
dan ngabyak„ menempuh dengan tidak peduli apapun, mengenai
sekenanya saja‟.
Tandur ngabyak merupakan bentuk frase karena tandur ngabyak
terdiri dari dua kata, tidak berciri klausa, dan dapat disisipkan kata
lain, misalnya kata sing ‘yang‟ menjadi tandur sing ngabyak.
4) Bentuk klausa
Data 6
meme gabah [meme gAbAh] → klausa verbal
meme (verba) + gabah (nomina) → meme gabah
P O
Satuan lingual meme gabah berasal dari kata meme (verba) dan kata
gabah (nomina). Meme memiliki fungsi sebagai predikat dan gabah
berfungsi sebagai objek.
Data 7
nyêbar winih [¥|bAr winIh] → klausa verbal
nyêbar (verba) + winih (nomina) → nyêbar winih
P O
Satuan lingual nyêbar winih berasal dari kata nyêbar (verba) dan
kata winih (nomina). Nyêbar memiliki fungsi sebagai predikat dan
winih berfungsi sebagai objek.
b. Metode Padan
Metode padan adalah alat penentunya di luar, terlepas dan tidak
menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto,
41
1993: 13). Alat penentu yang dimaksud yaitu 1) Kenyataan yang
ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa atau disebut metode padan
referensial; 2) Alat penentunya organ pembentuk bahasa (organ wicara)
atau disebut padan artikulatoris; 3) Bahasa lain atau langue lain (padan
lingual); 4) Perekam bahasa yaitu tulisan (grafis); dan 5) Orang yang
menjadi mitra wicara (pragmatis) (Sudaryanto, 1993: 13). Metode
padan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode padan
referensial, alat penentunya yaitu referen atau isi tuturan. Metode padan
digunakan untuk menganalisis makna leksikal dan makna kultural yang
terangkum dalam bahasa dan budaya Jawa terkait aktivitas pertanian
padi serta pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunia
masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,
Kabupaten Karanganyar.
Dalam penelitian ini analisis data bersifat kontekstual yaitu analisis
data dengan mempertimbangkan konteks sosial yang melatarbelakangi
penggunaan bahasa yaitu mengenai bahasa dan budaya Jawa terkait
aktivitas pertanian padi. Adapun contoh penerapan analisis metode
padan adalah sebagai berikut.
1) Analisis makna leksikal dan makna kultural
Data 7
ngrèntèg [GrEntEg]
Ngrèntèg berasal dari kata rèntèg mendapat prefiks ng- menjadi
ngrèntèg. Rèntèg yaiku padha rontog „rontok semua‟
42
(Poerwadarminta, 1939: 1645). Makna gramatikal ngrèntèg adalah
membuat rontok semua.
Makna kultural ngrèntèg menurut informan berasal dari kata
rèntèg, rèntèg adalah alat perontok padi, dinamakan rèntèg karena
rèntèg bermakna padha rontok yang artinya rontok semua.Aktivitas
ini dilakukan menggunakan rèntèg agar bulir-bulir padi rontok
semua, jadi dinamakan ngrèntèg.
Menurut Masyarakat Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,
Kabupaten Karanganyar, ngrèntèg adalah merontokkan padi
menggunakan rèntèg, rèntèg yaitu alat perontok padi yang
didalamnya terdapat bulatan dengan banyak paku tajam yang
menempel mengarah ke atas. Rèntèg disertai ayuhan seperti ayuhan
sepeda yang berfungsi sebagai penggerak bulantan di dalam mesin
itu, serta terdapat kotakan terbuka untuki memasukkan batang padi
agar bulir-bulir padi bisa rontok. Ngrèntèg dilakukan setelah padi
dirit „dipangkas‟. Ngêrit padi untuk selanjutnya dirèntèg berbeda
dengan ngêrit padi untuk ditlèsêr, kalau ngêrit padi untuk
selanjutnya dirèntèg, batang padi harus dipangkas sampai bawah
agar batang padi masih panjang, hal itu untuk memudahkan petani
dalam proses ngrèntèg karena pada saat ngrèntèg petani mengambil
dua genggaman padi yang dijadikan satu yang kemudian batang padi
dipegang dan digenggam dengan erat menggunakan dua tangan yang
dijadikan satu sedangkan kaki kanan petani mengayuh ayunan pada
rèntèg agar bulatan kayu yang terdapat paku-paku yang menempel
43
dapat berputar untuk merontokkan padi, sedangkan kaki kiri sebagai
penyangga agar petani bisa berdiri secara seimbang. Setelah itu
batang bagian yang berisi bulir-bulir padi dimasukkan ke dalam
mesin rèntèg tanpa melepas batang padi dari genggaman tangan
kemudian batang padi dibolak-balik agar bulir-bulir padi dapat
rontok seluruhnya. Setelah dirasa bulir-bulir padi sudah rontok
seluruhnya, batang padi dikumpulkan di sebelah rèntèg tersebut dan
petani melakukan seterusnya hal tersebut sampai seluruh batang-
batang yang berisi bulir-bulir padi habis dan telah dirontokkan
semua. Setelah gabah jatuh bersamaan dengan kawul/uwuh ‘sisa-sisa
dedaunan padi yang jatuh bersamaan dengan gabah saat dirèntèg’
petani melakukan aktivitas ngaraki „membersihkan kawul/uwuh dari
gabah‟.
Data 8
mopok [mOpO?]
Mopok yaiku nèmplèkake blêthok „menempelkan gumpalan
tanah‟ (Poerwadarminta, 1939: 1027). Makna gramatikal mopok
adalah menempelkan gumpalan tanah pada galengan ‘pematang
sawah’.
Makna kultural mopok menurut masyarakat Desa Bangsri,
Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar berasal dari
bunyi pok-pok. Hal ini dikarenakan saat petani melakukan aktivitas
mopok, blêthok „gumpalan tanah‟ ditaruh di galengan „pematang
sawah‟ lalu digacrokne „dipukul-pukul‟ menggunakan cangkul dan
44
menghasilkan bunyi pok pok pok. Mopok dilakukan agar galengan
menjadi halus, rapi, dan kuat untuk diinjak.
Data 9
gêbug kawul [g|bUg kawUl]
Satuan lingual gêbug kawul berasal dari kata gêbug dan kawul.
Gêbug yaiku gitik gêdhe „alat pukul besar dari kayu‟
(Poerwadarminta, 1939: 418). Kawul yaiku kêsrikan sêrat wit arèn
lsp.dianggo êmpan- êmpan dadèn gêni lsp „potongan serat pohon
aren dsb. Digunakan untuk menghidupkan api dsb‟
(Poerwadarminta, 1939: 593). Makna gramatikal gêbug kawul adalah
memukul-mukul sisa-sisa dedaunan menggunakan pukulan besar
dari kayu.
Makna kultural gêbug kawul dikarenakan aktivitas ini
menggunakan pemukul dan jika dipukul akan terdengar suara bug-
bug-bug sehingga dinamakan gêbug dan yang dipukul-pukul adalah
sisa-sisa dedaunan padi yang jatuh bersamaan dengan gabah saat
dirèntèg „dirontokkan‟ yang biasa disebut kawul. Jadi dinamakan
gêbug kawul.
Gêbug kawul dilakukan setelah ngaraki, gêbug kawul dilakukan
dengan cara memukul-mukul kawul „sisa-sisa dedaunan padi yang
jatuh bersamaan dengan gabah saat dirèntèg‟ hasil arakan yang telah
disendirikan dengan menggunakan kayu. Gêbug kawul dilakukan
karena ada bulir-bulir padi yang tidak dapat pisah dengan batang
45
padi saat dirèntèg maka petani melakukan gêbug kawul, agar hasil
panennya tidak terbuang sia-sia.
2) Analisis pola pikir, pandangan hidup, dan pandangan terhadap dunia
Para Petani di Desa Bangsri, Kecamatan Karangpandan,
Kabupaten Karanganyar memiliki pola pikir yang berupa prinsip dan
aturan dalam mempersiapkan benih yang akan disebar, benih yang
akan disebar harus dijemur sampai kering kemudian direndam. Cara
merendam gabah yang dilakukan petani satu dan petani lainnya
berbeda-beda, ada yang setelah dijemur kering langsung dimasukkan
ke dalam ember yang berisi air dingin, ada pula yang menggunakan
air mendidih saat merendam gabah, yang sebelumnya air mendidih
dimasukkan garam sedikit setelah itu gabah dimasukkan, garam
dipercaya dapat memperbanyak dan mempercepat tumbuhnya
gabah. Gabah direndam selama satu hari satu malam dalam ember
atau bak, kemudian setelah itu gabah bisa diangkat untuk selanjutnya
dipêp „menutup rapat agar tidak terkena angin ‟dalam karung dan di
atas gabah diberi daun sarilaya selanjutnya karung bisa ditutup rapat,
setelah itu karung yang berisi gabah dimasukkan ke dalam tenggok
dan disimpan di tempat yang lembab selama dua hari. Ngêpêp gabah
dilakukan agar gabah tidak terkena angin yang nantinya akan
membuat gabah menjadi lembab dan dapat tumbuh. Jika sudah dua
hari gabah sudah mulai tumbuh maka gabah siap untuk disebar.
Gabah yang dijadikan benih tidak boleh sembarangan, gabah harus
berkualitas baik, karena masyarakat Desa Bangsri berpandangan
46
bahwa jika menanam benih yang baik maka hasil yang akan diunduh
nantinya akan baik pula. Pandangan terhadap dunia masyarakat
petani Desa Bangsri yakni masyarakat petani menyebar benih di
tanah yang subur, tanah merupakan bagian dari dunia, menyebar
benih di tanah yang subur dan gembur akan membuat benih dapat
tumbuh subur pula, sehingga dapat mempercepat proses menanam
padi dengan begitu tanaman padi akan cepat berbuah.
6. Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Metode penyajian hasil analisis data merupakan upaya sang peneliti
menampilkan dalam wujud laporan tertulis apa-apa yang telah dihasilkan
dari kerja analisis; khususnya kaidah (Sudaryanto, 1993: 7). Penyajian
hasil analisis dilakukan melalui dua cara yaitu dengan metode yang
bersifat formal dan informal. Metode penyajian informal adalah
perumusan dengan kata-kata biasa, sedangkan metode penyajian hasil
analisis data formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang
(Sudaryanto, 1993: 145). Tanda yang digunakan dalam penyajian data
penelitian ini di antaranya tanda tambah (+), tanda panah (→), tanda
kurung biasa (()), dan tanda kurung siku ([]).
47
I. Tabel Waktu Penelitian
No
.
Kegiatan Penelitian
Bulan/Tahun
10/
15
11/
15
12/
15
01/
16
02/
16
03/
16
04/
16
05/
16
06/
16
1. Studi Pustaka
2. Survei lokasi
penelitian
3. Penyediaan
instrumen penelitian
4. Penelusuran pustaka
dan referensi terkait
tema
5. Penyusunan proposal
6. Menyiapkan data
untuk proposal
7. Menyusun proposal
penelitian
8. Seminar proposal
9. Perbaikan proposal
10. Analisis data
penelitian
11. Analisis data
lanjutan
48
12. Menyusun draf
laporan
13. Mengecek data ke
lokasi (jika perlu)
14. Penulisan draf
laporan akhir
penelitian
15. Persiapan ujian
16. Ujian
49
J. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan adalah serangkaian cara yang terstruktur dan terpola
secara rapi yang dijadikan pedoman dalam pembuatan tulisan. Sistematika
penulisan skripsi ini dirinci sebagai berikut.
BAB I berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
landasan teori, data dan sumber data penelitian, metode dan teknik penelitian,
metode analisis data, metode hasil analisis data, kerangka berpikir, table waktu
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II berisi analisis data dan pembahasan yang terdiri atas pembahasan
mengenai bentuk bahasa dalam budaya jawa terkait aktivitas pertanian padi,
makna leksikal dan makna kultural yang terangkum dalam bahasa dan budaya
jawa terkait aktivitas pertanian padi, serta pola pikir, pandangan hidup, dan
pandangan terhadap dunia masyarakat petani di Desa Bangsri, Kecamatan
Karangpandan, Kabupaten Karanganyar.
BAB III berisi penutup yang terdiri atas simpulan dan saran dari hasil
penelitian yang telah dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN