bab i pendahuluan a. latar belakang masalah · ... ketika peran-peran bagi anggota keluarga secara...

30
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Novel merupakan salah satu karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan untuk mengkomunikasikan masalah sosial maupun individual yang dialami oleh sastrawan maupun masyarakatnya. Dalam hubungan antara novel sebagai karya sastra dengan kenyataan, Teeuw (via Wiyatmi, 2012:80) menjelaskan adanya hubungan ketegangan antara kenyataan dan rekaan dalam novel. Dalam sebuah novel, dunia nyata dan dunia rekaan saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Keberadaan karya sastra berdampingan dengan dunia realita. Apa yang terjadi dalam realita sering kali memberi inspirasi pada pengarang untuk menggambarkannya kembali dalam karya sastra yang diciptakannya. Oleh karena itu, sastra selalu berurusan dengan diri pribadi manusia, diri manusia dalam masyarakat, dan dengan masyarakat yang menjadi lembaga tempat manusia berkiprah (Soeratno via Wiyatmi, 2012:80). Secara pragmatik, karya sastra dalam masyarakat berperan untuk menggerakkan pembacanya agar bersikap, berperilaku dan bertindak sebagaimana yang disarankan oleh teks karya sastra tersebut. Sehingga, kehadiran karya sastra diharapkan mampu menggerakkan masyarakat menjadi lebih peka dan tanggap dalam menghadapi gejala yang berkembang di masyarakat. Hal itu dikarenakan dalam masyarakat karya sastra memiliki salah satu fungsi sebagai sarana untuk menyuarakan hati nurani masyarakat, di samping fungsi-fungsi lainnya. Sejak zaman dahulu karya sastra dipersepsi sebagai produk masyarakat yang mampu 1

Upload: dinhtuyen

Post on 06-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Novel merupakan salah satu karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan

untuk mengkomunikasikan masalah sosial maupun individual yang dialami oleh

sastrawan maupun masyarakatnya. Dalam hubungan antara novel sebagai karya

sastra dengan kenyataan, Teeuw (via Wiyatmi, 2012:80) menjelaskan adanya

hubungan ketegangan antara kenyataan dan rekaan dalam novel. Dalam sebuah

novel, dunia nyata dan dunia rekaan saling berjalinan, yang satu tidak bermakna

tanpa yang lain. Keberadaan karya sastra berdampingan dengan dunia realita. Apa

yang terjadi dalam realita sering kali memberi inspirasi pada pengarang untuk

menggambarkannya kembali dalam karya sastra yang diciptakannya. Oleh karena

itu, sastra selalu berurusan dengan diri pribadi manusia, diri manusia dalam

masyarakat, dan dengan masyarakat yang menjadi lembaga tempat manusia

berkiprah (Soeratno via Wiyatmi, 2012:80).

Secara pragmatik, karya sastra dalam masyarakat berperan untuk

menggerakkan pembacanya agar bersikap, berperilaku dan bertindak sebagaimana

yang disarankan oleh teks karya sastra tersebut. Sehingga, kehadiran karya sastra

diharapkan mampu menggerakkan masyarakat menjadi lebih peka dan tanggap

dalam menghadapi gejala yang berkembang di masyarakat. Hal itu dikarenakan

dalam masyarakat karya sastra memiliki salah satu fungsi sebagai sarana untuk

menyuarakan hati nurani masyarakat, di samping fungsi-fungsi lainnya. Sejak

zaman dahulu karya sastra dipersepsi sebagai produk masyarakat yang mampu

1

2

memberi makna bagi kehidupan, menyadarkan masyarakat akan arti hidup serta

meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan (Soeratno via Wiyatmi, 2012:81).

Proses penciptaan karya sastra bertolak dari kenyataan. Karya sastra dapat

menampilkan beragam permasalahan yang terjadi dalam kehidupan manusia pada

masa dan kurun waktu tertentu sesuai dengan latar belakang sosial, budaya,

politik, ekonomi maupun religi, dimana karya sastra itu dihasilkan. Menurut

Luxemburg (via Kasnadi, 2010:172), karya sastra merupakan media representasi

kehidupan nyata. Hal ini sesuai dengan inti pendekatan mimesis yang memandang

bahwa karya sastra merupakan tiruan kenyataan (Plato dan Aristoteles via

Kasnadi, 2010:172).

Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang dalam

menyampaikan gagasan-gagasannya. Sebagai media, karya sastra menjadi

jembatan yang menghubungkan pikiran-pikiran pengarang yang disampaikan

kepada pembaca. Dalam hubungan antara pengarang dengan pembaca, karya

sastra menduduki peran-peran yang berbeda. Selain berperan dalam proses

transfer informasi dari pengarang ke pembaca, karya sastra juga berperan sebagai

teks yang diciptakan pengarang dan sebagai teks yang diresepsi oleh pembaca

(Sugihastuti, 2007:81).

Penciptaan sastra selalu bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup

dalam masyarakat (Rampan via Sugihastuti, 2007:82). Dalam karya sastra hal-hal

yang digambarkan tentang masyarakat dapat berupa struktur sosial masyarakat,

fungsi dan peran masing-masing anggota masyarakat, maupun interaksi yang

terjalin di antara seluruh anggotanya. Secara lebih sederhana, karya sastra

3

menggambarkan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan

perempuan. Interaksi yang terjalin di antara keduanya merupakan tema yang

menarik untuk dikaji sebab menyangkut hubungan antara dua jenis kelamin yang

berbeda, yang membentuk tatanan kehidupan masyarakat, baik secara sosial

maupun budaya.

Dalam sistem yang lebih besar dan kompleks, hubungan antara laki-laki

dan perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan pola perilaku yang

mencerminkan penerimaan dari pihak laki-laki atau perempuan terhadap

kedudukan masing-masing jenis kelamin. Proses ini dikuatkan oleh realitas dalam

berbagai kebudayaan bahwa posisi laki-laki lebih tinggi secara struktural

dibandingkan dengan perempuan. Hal ini membuktikan bahwa interaksi yang

terjalin menuntut adanya satu jenis kelamin yang lebih unggul dibandingkan

dengan yang lain. Pihak laki-laki merupakan pemenang, memiliki kekuasaan yang

lebih besar dan peran yang lebih menentukan dalam berbagai proses sosial

dibandingkan dengan perempuan, bahkan pada lingkup pergaulan sosial yang

lebih luas seperti kelompok masyarakat. Proses pengambilan keputusan dalam

sebuah keluarga, dengan demikian, juga tidak terlepas dari kontrol kekuasaan

laki-laki yang dianggap lebih berwenang (Sugihastuti, 2007:82).

Hal ini terus terjadi dan seolah-olah dilegalkan oleh konstruksi

kebudayaan setempat. Proses yang berulang akhirnya banyak membentuk

pandangan negatif tentang perempuan, di antaranya meliputi fungsi, peran dan

kedudukan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah

stereotip bahwa perempuan merupakan kaum yang lemah, sedangkan laki-laki

adalah kaum yang kuat. Berdasarkan hal ini, perempuan memiliki kecenderungan

4

yang kuat untuk bergantung kepada laki-laki. Sebaliknya, laki-laki memiliki

kekuasaan untuk mengontrol perempuan dalam berbagai hal seperti reproduksi,

seksualitas, sistem pembagian kerja dan sebagainya (Sugihastuti, 2007:83).

Dalam konteks kajian gender dikemukakan bahwa hubungan antara

perempuan dengan laki-laki, serta pembagian peran sosial dan privat antara

perempuan dengan laki-laki telah diatur oleh sebuah ideologi gender yang dikenal

dengan istilah patriarkat. Patriarkat adalah sistem hubungan antara jenis kelamin

yang dilandasi hukum kebapakan. Walby (via Wiyatmi, 2012:42) menjelaskan

bahwa patriarkat adalah sebuah sistem dari struktur sosial, praktik yang

menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, menindas, dan mengeksploitasi

perempuan.

Kesan-kesan inferioritas, salah satunya, dapat ditemukan dalam sistem

pembagian kerja yang menyangkut fungsi dan peran perempuan. Terdapat

pemahaman yang menyatakan bahwa perempuan tidak hanya berperan sebagai

istri, ibu, dan ibu rumah tangga bagi keluarga, tetapi juga secara sosial dan budaya

dalam lingkup yang lebih luas. Akan tetapi, ketika peran-peran bagi anggota

keluarga secara dominan dikuasai oleh laki-laki, perempuan tidak memiliki peran

yang signifikan dalam menjalankan suatu fungsi tertentu karena sudah ditangani

oleh laki-laki (Sugihastuti, 2007:83-84).

Dampak lain yang timbul akibat stereotip terhadap perempuan dapat

berupa pembagian ruang untuk perempuan. Dalam perspektif feminisme dikenal

dua terminologi yang menggambarkan ruang aktivitas bagi perempuan yaitu

domestik dan publik. Ruang domestik melingkupi aktivitas perempuan yang

5

berkaitan dengan rumah tangga, sedangkan ruang publik menyangkut aktivitas

perempuan yang dilakukan di luar rumah, baik interaksi dengan masyarakat

sekitar maupun dalam lingkungan kerja (Sugihastuti, 2007:84).

Dalam konteks inferioritas perempuan, ruang domestik merupakan

wilayah pertama yang mengesankan hal tersebut. Kecenderungan yang berlaku di

masyarakat, perempuan diidentikkan dengan fungsi sosialnya sebagai pekerja

rumah tangga. Artinya, perempuan bertanggung jawab terhadap hal-hal yang

menyangkut urusan rumah tangga seperti mengasuh anak, membersihkan rumah,

mencuci, menanak nasi dan sebagainya. Ruang publik, di sisi lain, merupakan

wilayah yang lebih didominasi oleh laki-laki karena fungsi-fungsi seperti

pencarian sumber daya ekonomi dilakukan oleh mereka (Sugihastuti, 2007:84).

Yang terjadi kemudian, laki-laki lebih berkuasa dalam keluarga karena

merasa memiliki tugas yang lebih berat dibandingkan dengan perempuan.

Dampak dari hal ini, salah satunya, adalah perlakuan yang tidak adil terhadap

perempuan. Definisi perlakuan tidak adil terhadap perempuan dapat bermacam-

macam. Yang paling kuat didasarkan atas bentuk-bentuk perlakuan tidak adil

tersebut adalah kekerasan domestik dan kekerasan publik terhadap perempuan.

Perempuan yang mengalami kekerasan domestik dan kekerasan publik seringkali

tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Hal-hal yang menyangkut hidup

perempuan merupakan tanggung jawab laki-laki. Kaum perempuan hanya

memiliki kewajiban untuk tunduk dan patuh pada laki-laki yang menguasainya.

Dengan demikian, perempuan tidak memiliki posisi tawar yang baik dalam hal

menentukan apa yang seharusnya dilakukan dan diperolehnya (Sugihastuti,

2007:85).

6

Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji karya

sastra novel yang berjudul Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja> Ash-Sha>ni‘i. Raja> Ash-

Sha>ni‘i adalah seorang dokter yang berasal dari Saudi Arabia, dia menjadi

terkenal melalui novelnya yang berjudul The Girls of Riyadh atau dalam bahasa

Arab berjudul Bana>tu‘r-Riya>dh. Raja>’ Ash-Sha>ni‘i lahir pada tahun 1981, dia

dibesarkan di kota Riyadh, Arab Saudi. Raja >’Ash-Sha>ni‘i berasal dari keluarga

dokter, ketertarikannya dengan membaca dan menulis mendorongnya untuk

membukukan pengalaman teman-teman perempuannya yang berada di Riyadh.

The Girls of Riyadh adalah karyanya yang pertama dan langsung membuat

namanya menjadi buah bibir di berbagai forum internet di dunia. Buku ini

diterbitkan pertama kali di Libanon pada tahun 2005 dan di Inggris pada tahun

2007. Buku ini sudah lama terdaftar untuk penghargaan Dublin Literary tahun

2009. Raja>’ Ash-Sha>ni‘i menerima gelar sarjana kedokteran gigi dari King Saud

University pada tahun 2005 dan saat ini dia tinggal di Chicago, Amerika Serikat

(Sofyan, 2012:2-3).

Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan, belum ditemukan kajian

yang secara khusus membahas kekerasan terhadap perempuan dalam novel

Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja >’ Ash-Sha>ni‘i dengan kajian kritik sastra feminis

psikoanalisis Helene Cixous. Meskipun demikian, ditemukan kajian yang

memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang dipandang

relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.

Peneliti pertama yaitu Ahmad Sidiq (2011) meneliti tentang ‘‘Ad-Dala>lah

Al-Isya>riyah fi Tafki>k Al-Abuyah Al-‘Arabiyyah Bana>>t Ar-Riya>dh li Raja>’

7

Abdulla>h Ash-Sha>ni‘i’’. Hasil penelitian ini berupa hubungan indeksikal antara

budaya Arab dengan fenomena yang terjadi pada tokoh novel Bana>tu‘r-Riya>dh.

Yaitu adanya pengekangan hak-hak dan kewajiban perempuan. Sehingga,

perempuan hanyalah boneka yang dimainkan oleh kaum laki-laki. Sedangkan, dari

segi indeksikal membongkar patriarkhi Arab, penulis menemukan adanya

perubahan sistem pemerintahan Saudi yang dipelopori oleh kaum salafi atau kaum

neo wahabiyah bahwa kaum laki-laki dan perempuan harus dibedakan hak dan

kewajibannya serta menetapkan hukum-hukum Islam yang oleh sebagian

kalangan dianggap otoriter.

Sehingga sistem tersebut menjadi cambuk yang menyiksa hak-hak para

tokoh perempuan dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh. Pertama, tanda pada tokoh

Qamrah. Kata Qamrah berasal dari kata Qamara yang berarti berjudi. Maka,

Qamrah menjadi penanda setelah diinterpretasikan bahwa tokoh Qamrah adalah

orang yang mempertaruhkan pernikahannya dengan Ra>syid agar tetap bahagia.

Kedua, tanda pada tokoh Sadi >m. Kata Sadi>m berasal dari kata Sadama yang

berarti menyesal. Maka, Sadi>m menjadi penanda setelah diinterpretasikan bahwa

tokoh Sadi>m adalah orang yang menyesal karena telah menyerahkan

keperawanannya sebelum menikah dengan Wali>d. Sehingga, Wali>d mengklaim

dirinya sebagai perempuan murahan. Ketiga, tanda pada tokoh Michelle. Kata

Michelle berasal dari kata Makhala yang berarti memberontak. Maka, Michelle

menjadi penanda setelah diinterpretasikan bahwa tokoh Michelle adalah orang

yang memberontak budaya Arab yang membatasi hak warga negara

berkebangsaan Amerika-Arab. Keempat, tanda pada tokoh Lumeis. Kata Lumeis

berasal dari kata Lamasa yang berarti mencari tahu. Maka, Lumeis menjadi

8

penanda setelah diinterpretasikan bahwa tokoh Lumeis adalah orang yang selalu

penasaran dengan pemerintah yang membatasi hak bergaul kaum sunni.

Peneliti kedua yaitu Andik Bawo Intan Siti Aisyah (2011) meneliti tentang

‘‘Konflik Batin Tokoh pada Novel The Girls of Riyadh Karya Rajaa Al Sanea:

Kajian Psikologi Sastra Sigmund Freud’’. Hasil penelitian ini berupa aspek

psikologis yang terdapat dalam novel The Girls of Riyadh didominasi aspek id dan

tokoh yang mendominasi semua aspek tersebut, baik id, ego dan superego adalah

Qamrah. Meskipun novel Arab yang pada dasarnya selalu menjunjung tinggi

norma, nilai, dan moral yang bernuansa islami, novel ini justru memaparkan

kebalikannya. Novel ini lebih banyak menunjukkan aspek negatif yang selalu ada

dalam diri manusia, terbukti aspek id yang identik dengan watak kepribadian yang

kasar, beringas, tidak mau diatur, tidak taat norma dan hukum. Hanya saja aspek

negatif itu banyak tertahan dalam diri tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel ini

sehingga menyebabkan konflik batin yang mendera tokoh-tokoh tersebut. Berikut

pemaparan singkat hasil penelitian penulis.

1. Aspek kepribadian id cenderung menghendaki penyaluran atau

pelampiasan untuk setiap keinginannya, yang apabila tertahan atau

tersumbat, maka akan mengalami ketegangan. Berdasarkan tabel

identifikasi di bab empat, penulis menemukan bahwa faktor psikologis

pada aspek id yang terdapat pada novel The Girls of Riyadh berjumlah

tigapuluh delapan dan empat tokoh yang mendominasi aspek tersebut

adalah Qamrah, Ra>syid, Sadi>m dan Michelle.

2. Ego adalah komponen kepribadian yang praktis dan rasional.

Berdasarkan ego-nya, manusia mencari kepuasan dan kenikmatan

9

berdasarkan kenyataan (realita) dan bereaksi dengan proses sekunder.

Tujuan realitas prinsip itu adalah mencari objek yang tepat (serasi)

untuk mereduksikan tegangan yang timbul dalam organisme. Aspek

ego yang terdapat dalam novel The Girls of Riyadh berjumlah

enambelas dan empat tokoh yang mendominasi aspek tersebut adalah

Qamrah, Faishal, Lumeis dan Michelle.

3. Superego (das ueber ich) adalah sistem kepribadian yang ketiga dalam

diri seseorang yang berisikan kata hati (conciense). Kata hati

berhubungan dengan lingkungan sosial dan mempunyai norma-norma

sehingga merupakan kontrol atau sensor terhadap dorongan-dorongan

yang datang dari luar id. Superego merupakan wakil dari nilai-nilai

tradisional yang ada dalam masyarakat. Ini merupakan kesempurnaan

dari kesenangan karena itu das ueber ich dapat pula dianggap sebagai

moral daripada kepribadian. Fungsinya yang utama adalah menentukan

apakah sesuatu itu benar atau salah, pantas atau tidak. Sedangkan

aspek superego yang terdapat pada novel The Girls of Riyadh

berjumlah lima dan empat tokoh yang mendominasi aspek tersebut

adalah Qamrah, Michelle, Faishal dan Lumeis.

Peneliti ketiga yaitu Syahril (2012) meneliti tentang ‘‘Arena Produksi

Kultural dan Kekerasan Simbolik Analisis terhadap Novel Bana>tu‘r-Riya>dh

Karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i: Perspektif Sosiologi Pierre Bourdieu’’. Tesis ini

membicarakan arena produksi kultural dan kekerasan simbolik pada novel

Bana>tu‘r-Riya>dh. Alasan pemilihan novel Bana>tu‘r-Riya>dh, dikarenakan novel

tersebut mengangkat beragam masalah perempuan Saudi Arabia. Yaitu

10

perempuan bergulat dengan tuntutan yang bertentangan antara tradisi dan

modernitas, dan itu menunjukkan mereka menentang konvensi ketat sosial

kerajaan dan etika seksual. Novel Bana>tu‘r-Riya>dh merupakan suatu proses

pertarungan kultural yang menarik untuk dikaji dan juga berimplikasi terhadap

kekerasan simbolik. Di sini, peneliti menganalisis masalah tersebut dengan

menggunakan perspektif Pierre Bourdieu. Adapun tujuan penelitian ini adalah

untuk melihat bagaimana pertarungan modernitas melawan tradisional hingga

melahirkan novel Bana>tu‘r-Riya>dh. Dengan berpijak menggunakan dua alat

konseptual yang digunakan oleh Pierre Bourdieu; habitus dan arena yang ditopang

oleh konsep tentang kekuatan simbolik, strategi dan perjuangan untuk mencapai

kekuasaan simbolik dan material melalui beragam kapital yaitu ekonomi, budaya,

dan simbolik. Bagi Bourdieu, seluruh tindakan manusia terjadi dalam ranah sosial

–yang merupakan arena bagi perjuangan sumber daya. Individu, institusi, dan

agen lainnya mencoba untuk membedakan dirinya dari yang lain dan

mendapatkan modal yang berguna atau berharga di arena tersebut. Dalam

masyarakat modern terdapat dua sistem hierarkisasi yang berbeda. Pertama,

sistem ekonomi, yaitu posisi dan kuasa ditentukan oleh uang dan harta –modal

yang dimiliki seseorang. Kedua, sistem budaya atau simbolik, yaitu status

seseorang ditentukan oleh seberapa banyak ‘modal simbolik’ atau modal budaya

yang dimiliki. Karena budaya juga merupakan sumber dominasi, dimana para

intelektual memegang kunci sebagai spesialis produksi budaya dan pencipta kuasa

simbolik. Sementara itu, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan

simbolik, peneliti melihat bahwa novel Bana>tu‘r-Riya>dh memperlihatkan

beberapa kekerasan simbolik dalam beberapa bentuk; kekerasan simbolik negara

11

terhadap masyarakat, kekerasan simbolik patriarki (laki-laki terhadap perempuan)

dan kekerasan simbolik keluarga terhadap anak.

Peneliti keempat yaitu Risna Rianti Sari (2013) meneliti tentang ‘‘Riya>dh

fi Riwa>yati Bana>ti li Raja>’ Ash-Sha>ni‘i: Dirasati Tahliliyati Ijtima’iyyah’’. Hasil

penelitian ini berupa deskripsi mengenai kehidupan masyarakat di Riyadh baik

pada segi kebudayaan, tradisi, masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Riyadh

maupun interaksi antara laki-laki dengan perempuan di Riyadh. Sehingga

ditemukan hubungan antara kehidupan masyarakat dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh

karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i dengan kehidupan nyata di Riyadh. Selain itu, terdapat

juga deskripsi tentang sejarah Riyadh, yaitu tentang kejadian-kejadian di Riyadh

pada tahun 2000-2005 (tahun pada saat novel Bana>>tu‘r-Riya>dh ditulis).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa

kenyataan dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i tidak seratus

persen sama dengan kenyataan yang ada di Riyadh. Karena penulis memberikan

gambaran masyarakat Riyadh hanya berdasarkan pengamatannya, yaitu berupa

kejadian di dalam masyarakat tersebut dan di sekitarnya. Sebagian memang sesuai

dengan kenyataan, tetapi tidak sedikit dari penggambaran tersebut yang penulis

ungkapkan dari sudut pandangnya sebagai anggota masyarakat Riyadh.

Selanjutnya, karena penelitian kekerasan terhadap perempuan dalam novel

Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i dengan menggunakan analisis kritik

sastra feminis psikoanalisis Helene Cixous belum pernah dilakukan. Maka hal ini

menjadi kesempatan bagi peneliti untuk menjadikan novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya

Raja >’ Ash-Sha>ni‘i sebagai objek penelitian. Dalam hal ini, peneliti tertarik untuk

12

menganalisis struktur novel serta mendeskripsikan kekerasan terhadap perempuan

dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i dengan menggunakan

analisis kritik sastra feminis psikoanalisis Helene Cixous.

Novel Bana>tu‘r-Riya>dh menceritakan tentang kehidupan empat orang

perempuan yang tinggal di Riyadh, yaitu Qamrah, Sadi>m, Michelle dan Lumeis.

Bana>tu‘r-Riya>dh dalam bahasa Indonesia berarti ‘‘perempuan-perempuan di

Riyadh’’. Bana>t merupakan bentuk jamak dari kata bintun yang berarti ‘‘anak

perempuan’’ (Munawwir, 1997:112). Disebut dengan bana>t (bentuk jamak)

karena perempuan yang diceritakan dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh berjumlah lebih

dari dua orang perempuan. Kemudian kata Ar-Riya>dh berarti nama ibu kota Saudi

Arabia, yaitu Riyadh.

Adapun alasan yang membuat peneliti tertarik untuk mengkaji novel

Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i sebagai objek penelitian adalah sebagai

berikut.

Pertama, karya sastra novel Bana>tu‘r-Riya>dh ditulis oleh orang yang

sebenarnya bukan sastrawan, tetapi karya sastra tersebut menjadi karya sastra

yang fenomenal. Karena Raja>’ Ash-Sha>ni‘i adalah seorang dokter, tetapi

ketertarikannya dengan membaca dan menulis mendorongnya untuk membukukan

pengalaman teman-teman perempuannya yang berada di Riyadh. Sehingga novel

Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i tetap bisa dipandang sebagai karya

sastra yang mampu mewakili karakteristik kesusasteraan di masanya, khususnya

di Riyadh, Saudi Arabia.

13

Kedua, novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i terbit pada tahun

2000-an sehingga dapat digolongkan dalam karya sastra modern.

Ketiga, dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja >’ Ash-Sha>ni‘i memuat

kekerasan terhadap perempuan. Sehingga, novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’

Ash-Sha>ni‘i dapat dikaji menggunakan teori kritik sastra feminis psikoanalisis

Helene Cixous.

Keempat, berdasarkan penelusuran melalui perpustakaan-perpustakaan

digital di Indonesia, analisis kekerasan terhadap perempuan dalam novel

Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i dengan menggunakan teori kritik sastra

feminis psikoanalisis Helene Cixous belum pernah dilakukan sehingga diharapkan

penelitian ini dapat menjadi acuan untuk penelitian berikutnya.

Berdasarkan tinjauan pustaka dan beberapa alasan tersebut di atas, peneliti

mengambil judul penelitian ‘‘Kekerasan terhadap Perempuan: Kajian Kritik

Sastra Feminis Psikoanalisis Helene Cixous dalam Teks Novel Bana>tu‘r-Riya>dh

Karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i’’. Pendeskripsian kekerasan terhadap perempuan dalam

novel tersebut menjadi tujuan akhir penelitian setelah melalui proses

penganalisisan struktur novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i.

Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat turut berkontribusi dalam

pengembangan kajian kritik sastra feminis dari segi kajian sastra.

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu pertama, memberikan

wawasan dan pengetahuan yang objektif terhadap pengkajian karya sastra novel,

khususnya dalam mengkaji kekerasan terhadap perempuan dalam novel Bana>tu‘r-

Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i. Manfaat kedua, mengungkapkan pengalaman

14

pembaca dengan mengambil amanat dan pesan yang terdapat dalam novel

Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i. Manfaat ketiga, mengembangkan

kajian kritik sastra feminis dalam rangka membangun masyarakat yang

berkeadilan gender dan saling menghormati antarsesama.

B. Rumusan Masalah

Agar pembahasan terfokus pada permasalahan, maka permasalahan yang

akan dikaji penting untuk dirumuskan. Adapun rumusan masalah dalam kajian ini

dapat dikemukakan sebagai berikut.

1. Bagaimana struktur novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i

berdasarkan teori fiksi Robert Stanton?

2. Bagaimana bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam novel Bana>tu‘r-

Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i berdasarkan teori kritik sastra feminis

psikoanalisis Helene Cixous?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk memberikan arah yang jelas pada

penelitian yang dilakukan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian

ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan struktur novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>>ni‘i

berdasarkan teori fiksi Robert Stanton.

15

2. Mendeskripsikan bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam novel Bana >tu‘r-

Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i berdasarkan teori kritik sastra feminis

psikoanalisis Helene Cixous.

D. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dimaksudkan agar penelitian menjadi jelas dan

terarah, sehingga mencapai sasaran yang diinginkan. Adapun pembatasan masalah

yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Struktur novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i berdasarkan teori fiksi

Robert Stanton.

2. Deskripsi bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh

karya Raja >’ Ash-Sha>ni‘i berdasarkan teori kritik sastra feminis psikoanalisis

Helene Cixous.

E. Landasan Teori

Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologis teori

berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Pada tataran yang lebih luas,

dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian,

konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya. Teori

tertentu dengan demikian lahir melalui ilmu tertentu. Dengan kalimat lain, tujuan

akhir suatu ilmu adalah melahirkan sebuah teori (Ratna, 2004:1).

16

1. Teori Fiksi Robert Stanton

Teori fiksi Robert Stanton merupakan salah satu teori pendekatan

struktural yang dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra berupa novel.

Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam teori fiksi menurut Robert Stanton

adalah sebagai berikut.

a. Fakta-fakta Cerita

Fakta-fakta cerita terdiri dari karakter, alur dan latar. Elemen-elemen ini

berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum

menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan

faktual’ cerita. Struktur faktual bukan bagian yang terpisah dari cerita, tetapi

merupakan salah satu aspek cerita. Struktual faktual adalah cerita yang disorot

dari satu sudut pandang (Stanton, 1965:22).

a.1. Karakter

Menurut Stanton (1965:33), berdasarkan kedudukannya, karakter dalam

karya sastra ada dua jenis, yaitu karakter utama dan karakter bawahan. Karakter

utama adalah karakter yang selalu ada dan terkait dengan semua peristiwa yang

berlangsung di dalam cerita. Sedangkan karakter bawahan adalah karakter yang

kedudukannya tidak sentral dalam cerita, tetapi kehadiran karakter ini penting

untuk mendukung keberadaan karakter utama. Karakter bawahan dimunculkan

sekali atau beberapa kali dalam cerita dengan porsi penceritaan yang relatif

pendek. Dalam analisis mengenai karakter ini secara tidak langsung diungkapkan

pula tokoh-tokoh yang mewadahi karakter-karakter tersebut.

17

a.2. Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya

terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal, yaitu peristiwa

yang menyebabkan terjadinya peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena

berpengaruh pada karya secara keseluruhan. Peristiwa kausal tidak hanya terbatas

pada hal fisik seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap

karakter, pandangan, keputusan, dan semua yang menjadi variabel pengubah

(Stanton, 1965:26).

a.3. Latar

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita

dan berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat

berwujud tempat dan waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau

satu periode sejarah (Stanton, 1965:35).

b. Tema

Tema merupakan aspek cerita dalam pengalaman manusia yang sejajar

dengan makna atau sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat.

Cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami

manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan

dan lain sebagainya. Beberapa cerita bermaksud menghakimi tindakan karakter-

karakter di dalamnya dengan memberi atribut baik atau buruk. Sedangkan cerita-

cerita yang lain memusatkan perhatian pada persoalan moral tanpa bermaksud

memberi penilaian dan seolah-olah hanya berkata ‘‘Inilah hidup’’ (Stanton,

1965:36-37).

18

Berdasarkan uraian tersebut di atas secara rinci dapat dilihat pada diagram

di bawah ini.

Diagram 1. Ringkasan teori struktural Robert Stanton.

Dari sarana-sarana sastra yang telah dikemukakan pada uraian di atas,

maka tidak seluruhnya akan diaplikasikan dalam analisis struktural novel

Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i karena akan disesuaikan dengan tema.

Sarana-sarana sastra yang tidak diaplikasikan dalam analisis struktural novel

Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i tersebut adalah ironi.

2. Teori Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis Helene Cixous

Kritik sastra feminis psikoanalisis memfokuskan kajian pada tulisan-

tulisan perempuan karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan

biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada

tokoh perempuan, sedangkan tokoh perempuan tersebut pada umumnya

merupakan cermin penciptanya (Wiyatmi, 2012:26). Helene Cixous adalah

seorang novelis, penulis drama dan kritikus feminis. Dalam teorinya, Cixous

memusatkan perhatiannya pada dua macam, yaitu a). Hegemoni oposisi biner

Teori Fiksi Robert Stanton

b. Tema a. Fakta-Fakta Cerita Sarana-Sarana Sastra

1). Alur

2). Karakter

3). Latar

1). Judul 2). Sudut Pandang

3). Gaya dan Tone

4). Simbolisme 5). Ironi

19

dalam kebudayaan barat, dan b). Praktik penulisan feminim yang dikaitkan

dengan tubuh (Moi via Ratna, 2013:200-201).

2.a. Definisi Kritik Sastra Feminis

Dalam pengertian sehari-hari kata kritik diartikan sebagai penilaian

terhadap suatu fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Secara etimologis, kritik

berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti hakim. Kata kerjanya adalah

krinein yang berarti menghakimi. Kata tersebut juga merupakan pangkal dari kata

benda criterion yang berarti dasar penghakiman. Dari kata tersebut kemudian

muncul kritikos untuk menyebut hakim karya sastra (Wellek dan Pradopo, via

Wiyatmi, 2012:1-2 ).

Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra (kajian

sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya

keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun

dalam karya sastra-karya sastranya. Kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan

dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada

1700-an (Madsen via Wiyatmi, 2012:28). Selanjutnya, Wellek (via Wiyatmi,

2012:2) juga mengemukakan bahwa kritik sastra adalah studi karya sastra yang

konkret dengan penekanan pada penilaiannya.

Secara etimologis, kata feminis berasal dari kata femme yang berarti

perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum

perempuan (jamak) sebagai kelas sosial (Selden via Kasnadi, 2010:175). Istilah

feminisme berasal dari bahasa Latin, yaitu femina yang berarti memiliki sifat

keperempuanan (Hubies via Kasnadi, 2010:175). Menurut Farha (via Kasnadi,

20

2010:175), feminisme adalah kesadaran adanya ketertindasan perempuan baik di

lingkup rumah tangga, di tempat kerja ataupun di tengah masyarakat. Berdasarkan

kesadaran itu, maka diupayakan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut.

Dalam pengertian paling luas, feminis merupakan gerakan kaum

perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan,

disubordinasikan dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang

politik, ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya Sedangkan, dalam

pengertian yang lebih sempit (dalam sastra), feminis dikaitkan dengan cara-cara

memahami karya sastra, baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun

resepsi (Ratna, 2004:184).

2.b. Tahapan Analisis Kritik Sastra

Kritik sastra merupakan suatu cabang studi sastra yang langsung

berhubungan dengan karya sastra melalui interpretasi (penafsiran), analisis

(penguraian), dan penilaian (evaluasi). Adapun tahapan penelitian ini diuraikan

sebagai berikut.

Pertama, interpretasi yaitu upaya memahami karya sastra dengan

memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra itu. Dalam arti sempit,

interpretasi adalah usaha untuk memperjelas arti bahasa dengan sarana analisis,

parafrasa dan komentar. Sedangkan, dalam arti luas, interpretasi adalah

menafsirkan makna karya sastra berdasarkan unsur-unsur beserta aspek-aspeknya

yang lain, seperti jenis sastranya, aliran sastranya, efek-efeknya, serta latar

belakang sosial historis yang mendasari kelahirannya (Abrams dan Pradopo via

Wiyatmi, 2012:3-4). Kedua, analisis yaitu penguraian karya sastra atas bagian-

21

bagaian atau norma-normanya (Pradopo via Wiyatmi, 2012:4). Ketiga, penilaian

yaitu usaha untuk menentukan kadar keindahan (keberhasilan) karya sastra yang

dikritik. Penilaian terhadap karya sastra juga dilakukan tidak dengan semena-

mena, tetapi berdasarkan pada fenomena yang ada dalam karya sastra yang dinilai,

kriteria dan standar penilaian, serta pendekatan yang digunakan (Wiyatmi,

2012:4).

2.c. Tujuan Kritik Sastra Feminis

Tujuan utama kritik sastra feminis adalah menganalisis relasi gender,

hubungan antara perempuan dengan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial,

yang antara lain menggambarkan situasi ketika perempuan berada dalam dominasi

laki-laki (Flax via Wiyatmi, 2012:9). Kritik sastra feminis bertujuan untuk; 1).

Menafsirkan dan menilai karya sastra yang dihasilkan di masa lalu, 2). Membantu

memahami, menafsirkan dan menilai cerita-cerita rekaan penulis perempuan, 3).

Kritik sastra feminis menilai penilaian yang telah digunakan untuk menilai karya

sastra (Kolodny via Kasnadi, 2010:176).

Melalui kritik sastra feminis akan dideskripsikan adanya penindasan

terhadap perempuan yang terdapat dalam karya sastra (Humm, 1986:22). Humm

(1986:14-15) juga menyatakan bahwa penulisan sejarah sastra sebelum

munculnya kritik sastra feminis, dikonstruksi oleh fiksi laki-laki. Oleh karena itu,

kritik sastra feminis melakukan rekonstruksi dan membaca kembali karya-karya

tersebut dengan fokus pada perempuan, sifat sosiolinguistiknya, mendeskripsikan

tulisan perempuan dengan perhatian khusus pada penggunaan kata-kata dalam

tulisannya (Humm via Wiyatmi, 2012:9-10).

22

Pembagian kerja berdasarkan gender yang menempatkan perempuan

dalam ranah domestik, sementara laki-laki dalam ranah publik jelas menimbulkan

kesenjangan kelas karena sebagai pekerja di ranah publik, laki-laki akan

menguasai wilayah produksi. Sehingga secara ekonomi, laki-laki yang

menghasilkan materi, sementara perempuan, meskipun mengeluarkan tenaga dan

menggunakan hampir seluruh waktunya untuk bekerja di rumah dia tidak

mendapatkan penghasilan. Bahkan, secara ekonomi perempuan sebagai ibu rumah

tangga tergantung kepada laki-laki. Perempuan tidak menguasai materi

(kepemilikan benda maupun uang) karena sebagai ibu rumah tangga dia tidak

mendapatkan penghasilan. Oleh karena itu, dia harus tunduk dan patuh kepada

suaminya. Hal inilah yang memungkinkan perempuan tertindas (Wiyatmi,

2012:27-28).

Berdasarkan uraian tersebut di atas secara rinci dapat dilihat pada diagram

di bawah ini.

Diagram 2. Skema Ringkasan Teori Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis

(Helene Cixous)

Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis (Helene Cixous)

1. Hegemoni Oposisi Biner

dalam Kebudayaan Barat

2. Praktik Penulisan Feminim

yang Dikaitkan dengan Tubuh

Langkah-langkah Analisis

Kekerasan terhadap Perempuan

1. Interpretasi 2. Analisis 3. Penilaian

23

3. Definisi Kekerasan terhadap Perempuan

Tindak kekerasan yang terkait dengan perbedaan jenis kelamin dikenal

dengan istilah gender based violence (La Pona via Sugihastuti, 2007:171).

Menurut Saraswati (via Sugihastuti, 2007:171), kekerasan adalah tindakan yang

dilakukan terhadap pihak lain, yang pelakunya perseorangan atau lebih, yang

dapat mengakibatkan penderitaan bagi pihak lain. Kekerasan tersebut dibedakan

dalam dua bentuk, yaitu kekerasan fisik yang dapat mengakibatkan luka pada fisik

hingga mengakibatkan kematian, dan kekerasan psikologis yang berakibat pada

timbulnya trauma berkepanjangan pada korban terhadap hal-hal tertentu yang

telah dialaminya.

Dalam pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di

Nairobi pada tahun 1985, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan

terhadap perempuan adalah sebagai berikut.

Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan

perbedaan jenis kelamin yang berakibat pada penderitaan perempuan

secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,

pemaksaan atau pemerasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik

yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi

(Sugihastuti, 2007:172).

Menurut La Pona (via Sugihastuti, 2007:172), kekerasan terhadap

perempuan adalah tindakan seorang laki-laki atau sejumlah laki-laki dengan

mengerahkan kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian atau penderitaan

secara fisik, seksual, atau psikologis pada seorang perempuan atau sekelompok

perempuan, termasuk tindakan yang bersifat memaksa, mengancam, dan atau

berbuat sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat

maupun dalam kehidupan pribadi di ruang domestik dan publik.

24

3.a. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan

Berdasarkan situs terjadinya, kekerasan terhadap perempuan dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu kekerasan yang terjadi pada arena domestik atau

kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan pada arena publik. Pembedaan

antara kedua ranah ini didasarkan atas unsur relasi sosial antara korban dan pelaku

(Landes via Sugihastuti, 2007:172).

Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki

hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan, meskipun dilakukan di sektor

publik, di pasar misalnya, kekerasan tersebut dapat dikategorikan sebagai

kekerasan domestik. Sebaliknya, jika kekerasan dilakukan oleh orang yang tidak

memiliki hubungan kekerabatan atau perkawinan, meskipun dilakukan di dalam

rumah, dikategorikan sebagai kekerasan sektor publik (Sugihastuti, 2007:172-

173).

Hasbianto (via Sugihastuti, 2007:173) menyatakan bahwa kekerasan

dalam rumah tangga (selanjutnya disebut kekerasan domestik) adalah suatu

bentuk penganiayaan secara fisik maupun emosional atau psikologis, yang

merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah

tangga. Meiyanti (via Sugihastuti, 2007:173) menjelaskan jenis-jenis kekerasan

domestik terhadap perempuan sebagai berikut.

Pertama, kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan dalam melakukan

hubungan seksual, pemaksaan selera seksual sendiri, dan tidak memperhatikan

kepuasan pihak istri. Kedua, kekerasan fisik adalah segala macam tindakan yang

mengakibatkan kekerasan fisik pada perempuan yang menjadi korbannya (La

25

Pona via Sugihastuti, 2007:173). Kekerasan fisik dilakukan dengan menggunakan

anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya seperti

memukul, menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan

rokok, serta melukai dengan barang atau senjata. Ketiga, kekerasan ekonomi

seperti tidak memberikan uang belanja, dan memakai atau menghabiskan uang

istri. Keempat, kekerasan emosional yang meliputi mencela, menghina,

mengancam atau menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak, serta

mengisolasi istri dari dunia luar. Kekerasan terhadap perempuan dibedakan

menjadi dua bentuk, yaitu kekerasan seksual dan nonseksual (Dzuhayatin dan

Yuarsi via Sugihastuti, 2007:173-174). Perbedaan antara kedua jenis kekerasan

tersebut adalah ada atau tidaknya unsur kehendak seksual. Jika terdapat unsur

kehendak seksual, maka kekerasan tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan

seksual. Sebaliknya, jika unsur tersebut tidak dominan, maka kekerasan tersebut

termasuk dalam kategori kekerasan non seksual.

Berdasarkan uraian tersebut di atas secara rinci dapat dilihat pada diagram

di bawah ini.

Diagram 3. Skema Kekerasan terhadap Perempuan

Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan

1. Kekerasan Domestik 2. Kekerasan Publik

2. Emosional

1. Fisik 3. Ekonomi 1. Seksual 2. Non Seksual

1. Fisik 2. Emosional

Diagram Kekerasan terhadap Perempuan

26

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pada penelitian ini dibahas

mengenai dua jenis kekerasan terhadap perempuan dalam teks novel Bana>tu‘r-

Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i, yaitu a). Kekerasan domestik (yang meliputi

kekerasan fisik, emosional dan ekonomi), dan b). Kekerasan publik yang terdiri

dari kekerasan seksual dan non seksual (yang meliputi kekerasan emosional dan

fisik). Akan tetapi, tidak seluruhnya diaplikasikan karena disesuaikan dengan

bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam teks novel Bana>tu‘r-Riya>dh.

F. Data dan Sumber Data

1. Objek Penelitian

Objek penelitian sastra adalah topik atau pokok penelitian sastra (Sangidu,

2001:61). Objek dalam penelitian ini adalah novel Arab yang berjudul Bana>tu‘r-

Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i.

2. Data

Menurut Moleong (2010:16), data sebagai data formal adalah kata-kata,

kalimat maupun wacana. Data yang terkumpul dalam analisis deskriptif berupa

kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya

penerapan metode kualitatif. Bentuk data dalam penelitian ini berupa teks, kata-

kata, frasa, kalimat maupun wacana yang terkandung dalam novel Bana>tu‘r-

Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i.

3. Sumber Data

Sumber data adalah naskah (Ratna, 2004:47). Sumber data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data kepustakaan yang berupa buku, transkrip, website

27

hasil penelitian dan lain sebagainya yang diuraikan dengan perincian sebagai

berikut.

3.a. Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan sumber data utama. Sumber data primer

penelitian ini adalah novel Arab yang berjudul Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-

Sha>ni‘i.

3.b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah sumber data kedua. Sumber data sekunder

dalam penelitian ini adalah data-data yang bersumber dari buku-buku, karya tulis,

data penelitian dan website yang menyediakan data terkait pembahasan dalam

penelitian.

G. Metode dan Teknik Penelitian

Metode berasal dari bahasa Latin, yaitu methodos yang berasal dari kata

meta dan hodos. Kata meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah dan kata

hodos berarti jalan, cara dan arah. Jadi, metode kritik sastra adalah cara sistematis

untuk memahami karya sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah metode deskriptif kualitatif (Endraswara, 2013:173).

Metode deskriptif adalah cara pelukisan data dan analisis dalam kritik

sastra. Kritik membutuhkan pelukisan data sebagaimana adanya. Maksudnya,

yang digambarkan dalam kritik sastra menurut realitas yang ada, tidak perlu

menambahi hal-hal lain. Teknik penelitian semacam ini dalam kritik sastra disebut

deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif mengutamakan penggambaran data

28

melalui kata-kata. Kata-kata memuat ribuan makna. Setiap kata mendukung jutaan

makna (Endraswara, 2013:176)

Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif karena data yang dianalisis tidak

untuk menerima atau menolak hipotesis (jika ada), melainkan hasil analisis itu

berupa deskripsi dari gejala-gejala yang diamati, yang tidak selalu harus

berbentuk angka-angka atau koefisien antarvariabel. Penelitian kualitatif

cenderung berkembang dan banyak digunakan dalam ilmu-ilmu sosial yang

berhubungan dengan perilaku sosial atau manusia dengan berbagai argumentasi

tentunya (Subana, 2001:17-18).

Teknik deskriptif kualitatif menurut McCall dan Simmons (dalam

Endraswara, 2013:176), juga disebut teknik deskriptif analitik (analytic

description). Metode deskriptif analitik dalam kritik sastra adalah cara

menguraikan sekaligus menganalisis (Ratna, 2004:39).

1. Teknik Pengumpulan Data

Teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto dalam Sangidu,

2004:14). Dalam teknik pengumpulan data, data diperoleh dengan cara membaca,

memahami, mencatat hal-hal penting, memaknai dan mengkategorikan teks pada

novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja >’ Ash-Sha>ni‘i, dengan melihat struktur dan isi

teks sesuai dengan teori fiksi Robert Stanton, yang dapat melengkapi dan

menunjang penelitian.

29

2. Teknik Analisis Data

Berdasarkan judul penelitian yaitu ‘‘Kekerasan terhadap Perempuan:

Kajian Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis Helene Cixous dalam Teks Novel

Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja >’ Ash-Sha>ni‘i’’, maka tahapan analisisnya adalah

analisis struktural Robert Stanton, kemudian dilanjutkan dengan analisis kajian

kritik sastra feminis dengan tahap-tahap berikut.

Pertama, interpretasi yaitu upaya memahami karya sastra dengan

memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra itu. Dalam arti

sempit, interpretasi adalah usaha untuk memperjelas arti bahasa dengan

sarana analisis, parafrasa dan komentar. Sedangkan, dalam arti luas,

interpretasi adalah menafsirkan makna karya sastra berdasarkan unsur-

unsur beserta aspek-aspeknya yang lain, seperti jenis sastranya, aliran

sastranya, efek-efeknya, serta latar belakang sosial historis yang mendasari

kelahirannya (Abrams dan Pradopo via Wiyatmi, 2012:3-4).

Kedua, analisis yaitu penguraian karya sastra atas bagian-bagian atau

norma-normanya (Pradopo via Wiyatmi, 2012:4).

Ketiga, penilaian yaitu usaha untuk menentukan kadar keindahan

(keberhasilan) karya sastra yang dikritik. Penilaian terhadap karya sastra

juga dilakukan tidak dengan semena-mena, tetapi berdasarkan pada

fenomena yang ada dalam karya sastra yang dinilai, kriteria dan standar

penilaian, serta pendekatan yang digunakan (Wiyatmi, 2012:4).

30

H. Sistematika Penulisan

Agar diperoleh suatu pembahasan yang jelas dan berkesinambungan antara

bab demi bab, maka sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut.

Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah, landasan teori, data dan sumber

data, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan isi yang meliputi (1) analisis struktural novel Bana>tu‘r-

Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i berdasarkan teori struktural Robert Stanton, (2)

pembahasan yang meliputi deskripsi bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam

novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja >’ Ash-Sha>ni‘i dengan menggunakan kajian

kritik sastra feminis psikoanalisis Helene Cixous.

Bab III penutup yang meliputi simpulan dan saran. Pada bagian akhir

dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran berupa teks novel Bana>tu‘r-

Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i.