bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia membawa konsekuensi
negara-negara anggota PBB untuk menyatakan bahwa mereka mengakui hak-hak
setiap orang sebagai hak asasi yang harus dihormati, guna mencegah atau setidak-
tidaknya mengurangi berbagai tindakan dan kebijakan negara yang sewenang-
wenang terhadap individu-individu warganya. Berdasarkan deklarasi ini semua
negara menyatakan kewajibannya untuk menghormati (to respect), melindungi (to
protect),dan memenuhi (to fulfil) hak-hak asasi setiap warganya.1
Hak asasi mempunyai kedudukan atau derajat utama dan pertama dalam
hidup bermasyarakat karena keberadaan hak asasi hakikatnya telah dimiliki,
disandang dan melekat dalam pribadi manusia sejak saat kelahirannya. Seketika itu
pula muncul kewajiban dari manusia lain untuk menghormatinya. Konsep HAM
yang pada hakikatnya juga konsep tertib dunia akan menjadi cepat dicapai apabila
diawali dari tertib politik dalam setiap negara. Artinya kemauan politik pemerintah,
antara lain berisi tekad dan kemauan Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia berbunyi, “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan
hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul
1 Hendriati Trianita dalam Suryadi Radjab, Dasar-Dasar Hak Asasi Manusia, PBHI, Jakarta 2002..Hal. 7.
satu sama lain dalam persaudaraan.”2untuk menegakkan hak asasi manusia dapat
menjadi awal masalah.3 Salah satunya adalah masalah pemenuhan hak-hak bagi
penyandang cacat.
Penyandang Cacat atau disabilitas terdapat di semua bagian dunia dan pada
semua tingkatan dalam setiap masyarakat. Jumlah penyandang cacat di dunia ini
besar dan senantiasa bertambah, baik penyebab maupun akibat kecacatan di dunia
ini bervariasi. Dunia internasional pada dasarnya telah sepakat bahwa permasalahan
penyandang cacat ataupun pemenuhan hak-hak penyandang cacat merupakan suatu
permasalahan yang sangat penting untuk dikaji, karena orang-orang penyandang
cacat juga merupakan aset bangsa yang harus dilindungi dan dipenuhi hak-haknya,
oleh karena itu pada tahun 2006 anggota-anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) mengadakan suatu pertemuan dan merundingkan yang kemudian
menghasilkan suatu konvensi tentang hak-hak penyandang cacat yaitu Convention
on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) 2006 atau sering disebut juga
dengan Konvensi Hak Penyandang Cacat.4
Terdapat hak-hak penyandang cacat yang tercantum dalam konvensi
penyandang cacat tersebut, yaitu hak hidup, situasi beresiko dan darurat
kemanusiaan, pengaturan yang setara di hadapan hukum, akses atas peradilan,
2 A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan
Hukum Hak Asasi Manuisa (HAKHAM),Ghalia Utama, Bogor, 2005, Hal. 8.
3 Ibid, Hal. 127
4 Navanethem Pillay, “Monitoring the Conventionon the Rights of Personswith Disabilities”, Guidance for human
rights monitors, Hal 12, www.ohchr.org,di download tanggal 24 Oktober 2011.
kebebasan dan penyiksaan atau perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak
manusiawi, atau merendahkan martabat, kebebasan dan keamanan seseorang,
kebebasan dari eksploitasi, kekerasan dan penganiayaan, perlindungan terhadap
integritas seseorang, habilitasi dan rehabilitasi, pekerjaan, standar kehidupan yang
layak dan jaminan sosial, partisipasi dalamkehidupan politik dan publik, partisipasi
dalam budaya, rekreasi, waktu luang dan olah raga. Namun demikian realisasi
terhadap pemenuhan, pemajuan dan perlindungan terhadap hak-hak penyandang
cacat sebagai hak asasi manusia masih banyak mendapat hambatan. Hambatan-
hambatan tersebut adalah kurangnya pengertian dan pemahaman hak-hak
penyandang cacat sebagai bagian dari hak asasi manusia baik dalam pengertian
subtansi maupun pengertian secara hukum. Selama ini, para penyandang cacat
masih menghadapi berbagai hambatan dalam beraktivitas dan masih mengalami
keterbatasan dalam berpartisipasi sebagai anggota yang setara dalam masyarakat,
serta masih mendapatkan perlakuan diskriminasi terhadap pemenuhan hak asasi
manusia (HAM) di segala aspek dalam lintas bidang kehidupan. Hambatan,
keterbatasan dan diskriminasi yang umumnya dihadapi para penyandang cacat
adalah dalam mengakses informasi, pendidikan, pekerjaan, transportasi serta sarana
dan layanan publik lainnya. Kondisi inilah yang membuat penyandang cacat
termasuk dalam kelompok miskin dan terpinggirkan.
Hak-hak penyandang cacat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM)
memperoleh pengaturan secara internasional dalam instrumen internasional.
Umumnya suatu instrumen HAM internasional yang dituangkan dalam bentuk
perjanjian internasional pada hakikatnya akan mengikat negara, apabila negara
tersebut telah menyatakan diri untuk terikat pada suatu perjanjian internasional.
Konvensi Hak Penyandang Cacat menandai akhir dari sebuah perjuangan panjang
oleh orang-orang penyandang cacat dan organisasi-organisasi perwakilan mereka
untuk diakuinya secara penuh sebagai isu hak asasi manusia, yang dimulai kembali
pada tahun 1981, dengan Tahun Internasional Penyandang Cacat dan Program Aksi
Dunia Cacat, diadopsi sebagai hasil tahun itu. Pada tahun 1993, berkaitan dengan
Persamaan Kesempatan bagi Para Penyandang Cacat, laporan Pelapor Khusus
tentang Kecacatan dan Sub-Komisi tentang Pencegahan Diskriminasi dan
Perlindungan terhadap Kaum Minoritas, dan serangkaian resolusi oleh Komisi Hak
Asasi Manusia pada tahun 1998, 2000, dan 2002 memberikan kontribusi signifikan
untuk membuka jalan bagi pendekatan hak asasi manusia.5
Konvensi Hak-Hak Penyandang cacat atau Convention on the Rights of
Persons with Disabilities merupakan sebuah pengakuan masyarakat internasional
terhadap hak Penyandang cacat untuk hidup setara dengan warga masyarakat
lainya. Konvensi ini disahkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
dalam sidang ke 61, 13 Desember 2006 lalu di Markas Besar PBB di New York.
Selanjutnya ditandangani oleh sekitar 82 negara termasuk Indonesia yang diwakili
oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamzah pada 30 Maret 2007 yang lalu. Pada saat
upacara penandatanganan pada 30 Maret 2007, Indonesia merupakan negara urutan
ke -9 dari 82 negara pertama yang menandatangani Konvensi tersebut. Hingga saat
5 Agung Kuncahya B.,”Penyandang Cacat Harap Haknya Dipenuhi”,www.jurnas.com, didownload pada tanggal
24 Oktober 2011
ini sudah ada 152 negara yang sudah menandatangani dan 104 diantaranya telah
meratifikasinyatermasuk Indonesia .
Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas juga memperkenalkan suatu
paradigma baru yang sangat penting dalam pemajuan hak penyandang disabilitas.
Melalui Konvensi ini, penyandang disabilitas tidak lagi dilihat sebagai obyek tetapi
subyek penuh. Upaya pengembangan penyandang disabilitas tidak lagi secara
pemberian charity atau penyembuhan, sarana medis, sedekah dan lainnya. Namun,
penyandang disabilitas dilihat dan dinilai sebagai pribadi penuh yang bisa
mengklaim haknya dan mandiri (autonomous individual) yang bisa memutuskan
sendiri, serta dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat pada tanggal
18 Oktober 2011. Proses persiapan ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat ini
telah berjalan selama 4 tahun di tingkat antar kementerian sejak 2007 hingga 2011,
yang juga melibatkan perwakilan dari organisasi kemasyarakatan penyandang
disabilitas. Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) dengan UU Nomor 19
Tahun 2011, konvensi ini menggantiistilah “penyandang cacat” dengan
“penyandang disabilitas” yang dinilai lebih tepat dan manusiawi.
Setiap warga negara berhak terlibat aktif dalam kehidupan berpolitik. Hak
ini terkandung dalam berbagai ketentuan hukum baik yang bersifat internasional
maupun nasional. Begitu pula penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Mereka
mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dengan masyarakat
lainnya dari segala aspek kehidupan dan penghidupan, baik dari segi pendidikan,
ketenagakerjaan, komunikasi, dan lain-lainnya. Sebagai bagian dari warga negara
Indonesia, para penyandang disabilitas juga berhak terlibat aktif dalam kehidupan
berpolitik.
Perlu dijelaskan dalam hal ini penyandang cacat atau disabilitas adalah
seseorang yang mengalami kesulitan dalam kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, maupun psikologis yang disebabkan
oleh ketidaknormalan psikis, fisiologis, maupun tubuh dan ketidakmampuannya
dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Menurut data Pusdatin Kemensos RI
tahun 2010 menunjukkan, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah
1.163.508 jiwa, dan data ini digunakan dalam Renstra Kemensos RI dan PRJMN
2010-2015. Klasifikasi penyandang disabilitas menurut Undang-undang No. 4
Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, salah satunya adalah penyandang tuna
netra. Tuna netra yaitu seseorang yang terhambat mobilitas gerak yang disebabkan
oleh hilang atau berkurangnya fungsi penglihatan sebagai akibat dari kelahiran,
kecelakaan, maupun penyakit.6
Dalam Pasal 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang
Cacat disebutkan bahwa :
1. Penyadang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau
mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari :
a. penyandang cacat fisik;
b. penyandang cacat mental;
c. penyandang cacat fisik dan mental.
2. Derajat kecacatan adalah tingkat berat ringannya keadaan cacat yang
disandang seseorang.
6 http : www.depkes.go.id/download.php?file didownloand pada 24 novemberr 2014 : 5:53
3. Kesamaan kesempatan adalah keadaan yang memberikan peluang kepada
penyandang cacat untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam segala
aspek kehidupan dan penghidupan.
4. Aksesbilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna
mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan.
5. Rehabilitasi adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan penyandang cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnya
secara wajar dalam kehidupan masyarakat.
6. Bantuan sosial adalah upaya pemberian bantuan kepada penyandang cacat
yang tidak mampu yang bersifat tidak tetap, agar mereka dapat meningkatkan
taraf kesejahteraan sosialnya.
7. Pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial adalah upaya perlindungan dan
pelayanan yang bersifat terus menerus, agar penyandang cacat dapat
mewujudkan taraf hidup yang wajar.
Pada Pasal 5 Undang-Undang No.4 Tahun 1997 mengenai hak penyandang
difabel disebutkan bahwa :
Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Pada pasal ini yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan
yaitu meliputi antara lain aspek agama, kesehatan, pendidikan, sosial,
ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan,
olahraga, rekreasi, dan informasi. Sehingga penyandang difabel baik fisik ataupun
mental memiliki hak dan kesempatan sama dalam politik.
Terkait dengan penelitian penulis, hak politik yang dimiliki para
penyandang disabilitas dalam hal ini berhubungan dengan hak untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota dan
anggota DPD serta memilih pemimpin yang mereka kehendaki baik ditingkat
daerah melalui Pemilukada maupun ditingkat pusat melalui Pemilu.
Definisi pemilu menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.8 Tahun 2012
menyatakan bahwa Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Penyelenggaraan pemilu merupakan sarana dalam menghasilkan pemimpin
negara atau wakil rakyat yang mempunyai wewenang mengatur jalannya
pemerintahan, termasuk juga penyandang difabel yang pada akhirnya akan menjadi
bagian penerima manfaat dari program dan kebijakan pemerintah. Bila penyandang
difabel ikut berpartisipasi dalam pemilu, berarti mereka juga ikut mengambil
pengaruh dalam memilih pemimpin/wakil rakyat.
Komisi Pemilihan Umum dalam Undang-undang No.8 Tahun 2012 disebut
sebagai penyelenggara pemilu / pilkada. Komisi Pemilihan Umum ini di dalam
tugasnya bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta
dalam hal penyelenggaraan seluruh tahapan pemilihan umum dan tugas lainnya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu menjamin
hak setiap warga negara untuk dapat memilih wakil-wakil dan pemimpin yang
mereka kehendaki secara langsung. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, maka
seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu terbuka bagi semua pemilih termasuk bagi
penyandang disabilitas, dalam hal ini penyandang tuna netra.
KPU juga memprioritaskan hak politik penyandang disabilitas dalam
pelaksanaan pemilu. Hal tersebut sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, Konvensi Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi PBB
Tentang Hak Penyandang Disabilitas, dan UUD 1945.
KPU juga telah mengatur prioritas bagi penyandang disabilitas mulai dari
pendataan pemilih, sosialisasi pemilu, hingga kemudahan untuk memberikan hak
suara di TPS, selain itu KPU juga membuat modul, materi sosialisasi dan
pendidikan pemilih bagi pemilih disabilitas, serta kerjasama dengan PPUA Penca
dalam menampung aspirasi dan rekomendasi terkait pemenuhan hak politik
penyandang disabilitas dalam pemilu.
KPU sebagai Penyelenggara Pemilu/Pemilukada menjamin hak setiap warga
Negara untuk dapat memilih secara langsung wakil-wakil dan pemimpin yang
mereka kehendaki. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka seluruh tahapan
penyelenggaraan pemilu sebaiknya aksesibel bagi semua pemilih termasuk
penyandang disabilitas. Tersedianya sarana dan prasarana aksesibel dalam pemilu
bertujuan untuk memastikan agar tidak terdapat masalah mobilitas gerak bagi
penyandang disabilitas dalam menggunakan hak politiknya.
Terkait jaminan kehidupan berpolitik kaum disabilitas, dalam konvensi ini
diatur mengenai hak-hak penyandang disabilitas, antara lain hak mendapatkan
aksesibilitas (pasal 9) dan hak partisipasi dalam kehidupan politik dan publik (pasal
29) dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention
on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang
Disabilitas). Pada pasal 29 mengenai hak Partisipasi dalam kehidupan politik dan
publik disebutkan pada point (a) bahwa: Negara-Negara Pihak harus menjamin
kepada penyandang disabilitas hak-hak politik dan kesempatan untuk menikmati
hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya dan akan mengambil
langkah-langkah untuk :
a) Menjamin agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan
penuh dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan dengan yang
lainnya, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas,
termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan
dipilih, antara lain dengan:
i. Memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan bahan-bahan pemilihan bersifat
layak, dapat diakses serta mudah dipahami dan digunakan;
ii. Melindungi hak penyandang disabilitas untuk memilih secara rahasia dalam
pemilihan umum dan referendum publik tanpa intimidasi dan untuk mencalonkan
diri dalam pemilihan, untuk memegang jabatan serta melaksanakan seluruh fungsi
publik dalam semua tingkat pemerintahan, dengan memanfaatkan penggunaan
teknologi baru yang dapat membantu pelaksanaan tugas;
iii. Menjamin kebebasan berekspresi dan keinginan penyandang disabilitas
sebagai pemilih dan untuk tujuan ini, bilamana diperlukan atas permintaan
mereka, mengizinkan bantuan dalam pemilihan oleh seseorang yang ditentukan
mereka sendiri.
Hak untuk mendapatkan kemudahan dalam pemilihan umum di Indonesia
sebagai pemilih bagi kaum disabilitas, selain telah tercantum pada Convention on
the Right Persons with Disabilities (CRPD), juga telah diwujudkan dalam payung
hukum nasional, salah satunya yaitu dalam Pasal 157 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah yang berbunyi:
Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain
pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas
permintaan Pemilih.
Selain itu pada Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2012 berbunyi :
Selain perlengkapan pemungutan suara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), untuk menjaga keamanan, kerahasiaan, dan kelancaran pelaksanaan
pemungutan suara dan penghitungan suara, diperlukan dukungan
perlengkapan lainnya
Pasal 142 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2012 berbunyi :
Bentuk, ukuran, spesifikasi teknis, dan perlengkapan pemungutan suara
lainnya diatur dengan peraturan KPU
Pasal 5 huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 16 Tahun 2013
berbunyi :
Dukungan Perlengkapan Lainnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b terdiri atas: alat bantu tuna netra
Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan berkaitan dengan
masalah hak politik warga negara dalam hal ini penyandang cacat, Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Kota Salatiga sebagai pelaksana penyelenggaraan
Pemilihan Umum harus memfasilitasi hak politik penyandang cacat yakni
penyandang cacat tuna netra dalam keikutsertaaanya pada Pemilihan Umum di
Kota Salatiga. Fasilitas yang harus disiapkan KPUD Salatiga adalah berwujud
template braile. Dengan demikian para penyandang disabilitas tuna netra dapat
melakukan Pemilihan Umum. Namun berdasarkan wawancara dari penyadang
caat tuna netra menjelaskna bahwa mereka tidak mendapatkan fasilitas yang
seharunya disediakan oleh KPUD Salatiga.7
7 Hasil Wawancara Dengan Reponden : 15 November 2015
Data dari Dinas Sosial Kota Salatiga terdapat penyandang cacat tuna netra
ada sekitar 9 orang yang dapat dirinci antara lain 1 orang di Kecamatan
Sidomukti, 7 orang Kecamatan Sidorejo, 1 orang Kecamatan Tingkir 8dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa ada 9 orang kaum disabilitas tuna netra yang
memiliki hak politik dalam keikutsertaanya didalam Pemilu 2014.
Dengan demikian berangkat dari masalah ini maka Penulis mencoba
mengangkat tulisan dalam bentuk skripsi berkaitan dengan tugas dan
tanggungjawab KPUD Kota Salatiga sebagai pelaksana Pemilu 2014 berkaitan
dengan peran sertanya dalam memfasilitasi hak pilih penyandang cacat dalam
Pemilu dengan judul : “Implementasi Hak Pilih Bagi Penyandang Disabilitas
Tuna Netra Pada Pemilu Legislatif 2014” di Kota Salatiga”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana Implimentasi hak pilih penyandang disabilitas tuna netra di Kota
Salatiga pada Pemilu 2014?
2. Apakah kendala-kendala dalam implimetasi hak pilih penyandang disabilitas tuna
netra di Kota Salatiga?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan penelitian ini
adalah :
8 Laporan Pendataan Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah Kota Salatiga 2014
1. Untuk mengetahui implimentasi hak pilih penyandang cacat tuna netra dalam
Pemilu 2014.
2. Untuk mengetahui kendala-kendala dalam implementasi hak pilih penyandang
disabilitas tuna netra.
3. Untuk memberikan solusi guna memperbaiki kinerja penyelenggara Pemilu
dimasa mendatang.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum
ketatanegraan, lebih khusus terkait penerapan teori-teori hukum dalam pelaksanaan
penyelenggaraan Pemilihan Umum yang berhubungan dengan hak pilih dari kaum
disabilitas tuna netra di Kota Salatiga.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
rangka pengambil kebijakan yakni KPUD Kota Salatiga berdasarkan amanat
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 akan lebih baik dimasa yang akan dating
dalam hal memfasilitasi hak pilih setiap warga negara dalam hal ini penyandang
cacat yakni penyandang cacat tuna netra dalam Pemilu 2014. Dengan demikian
pembaca atau calon peneliti lain akan semakin mengetahui tentang apa yang
menjadi peran dan tanggung jawab KPUD Kota Salatiga dalam memfasilitasi
penyandang cacat dalam hal ini penyandang cacat tuna netra dalam
keikutsertaannya pada Pemilu 2014 berdasar peraturan perudang-undangan yang
berlaku, ini dapat dijadikan pedoman bagi para pihak atau peneliti lain yang ingin
mengkaji secara mendalam berkaitan dengan masalah yang penulis utarakan diatas.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Peneltian
Jenis penenilitan yang digunakan adalah penelitian deskriptif yaitu
penelitian yang bertujuan untuk meneliti dan menemukan informasi sebanyak-
banyaknya dari suatu fenomena. Dalam kaitanya dengan peneltian ini fenomena
yanghendak digambarkan secara lengkap adalah implimenetasi hak pilih bagi
penyadang disabilitas tuna netra pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 Kota
Salatiga oleh Penyelenggara Pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum Kota
Salatiga.
2. Pendekatan Yang Digunakan
Penelitian ini menggunakan pendekatan metode yuridis sosiologis.
Penelitian Yuridis Sosiologis (Socio Legal), yaitu studi hukum yang dipelajari
sebagai variable akibat yang timbul sebagai hasil akhir dari berbagai kekuatan
dalam proses social. Langka-langkah dan desain teknis penelitian hukum
mengikuti pola ilmu social dan berakhir dengan penarikan kesimpulan.9 Dengan
menggunakan penelitian hukum penulis mencoba untuk mendapatkan dasar
hukum tentang adanya persoalan hukum dalam dalam peran dan tanggungawab
9 Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta. 1984. Hal 13
KPUD Kota Salatiga dalam memfasilitasi hak pilih bagi penyandang disabilitas
dalam Pemilu 2014
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam peneltian skripsi ini Penulis
menggunakan metode peneltian Yuridis Sosiologis, dimana Penulis mencoba
mendapatkan berbagai data berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu 2014 apakah
memfasilitasi para kaum disabilitas tun netra di Salatiga atau tidak
3. Tehnik Pengumpulan Data
Sumber dan teknik pengumpulan data penelitian ini terfokus di Kota
Salatiga tepatnya pada KPUD Kota Salatiga Sedangkan sumber informasi yang
digunakan sebagai berikut :
a. Data Primer
Data Primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat
dengan cara melakukan wawancara dari para pihak yaitu :
1) Wawancara dengan pejabat dilingkungan KPUD Kota Salatiga
2) Wawancara dengan mantan KPPS
3) Wawancara dengan para penyandang disabilitas tuna netra yang memiliki
hak dalam Pemilu 2014 di Kota Salatiga
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang siap digunakan dalam penelitian. Data
sekunder meliputi :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat bagi pihak-
pihak yang terlibat dan mendukung pengendalian pencemaran
lingkungan yang meliputi :
Convention on the Rights of Persons with Disabilities 2011
Undang-undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang
Cacat
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan
Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum
Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR,
DPD, dan DPRD
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku literatur tentang
penegakan hukum, hak asasi manusia, artikel-artikel baik dari media
cetak, dan media internet.
3) Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan
pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum
yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia
dan Kamus Hukum. Dalam penulisan skripsi untuk membantu penulis
mengerti istilah-istilah hukum ataupun istilah asing yang mendukung
teori ataupun penulisan skripsi ini.
4. Populasi dan Sampel
Populasi responden dalam hal ini adalah para penyandang disabilitas tuna netra
yang berhak dalam Pemilu 2014 di Kota Salatiga. Populasi responden berjumlah
9 orang yang tersebar di 4 kecamatan di Kota Salatiga. Dari 9 orang yang
bersedia diwawancara adalah 5 orang. Jadi sampel yang di ambil untuk
penelitian skripsi ini adalah 5 responden
5. Unit Amatan dan Analisis
a. Unit Amatan
Unit amatan adalah pada peraturan-peraturan baik internasional maupun
nasional yang berkaitan dengan hak-hak kaum disabilitas tuna netra dalam
keikut sertaanyadalam Pemilihan Umum yakni :
Convention on the Rights of Persons with Disabilities 2011
Undang-undang No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang
Cacat
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan
Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum
Undang-Undang No.8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR,
DPD, dan DPRD
b. Unit Analisis
Unit analisis adalah pada Penyelenggara Pemilu yakni Komisi Pemilihan
Umum Kota Salatiga yang terkait dalam pelaksanaan Pemilu 2014 berkaitan
bagaimana KPUD Salatiga memberikan fasilitas hak pilih penyandang cacat
dalam Pemilu 2014 berdasarkan peraturan perundang undangan yang berlaku.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini disusun secara sistematis dan secara berurutan
sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas dan terarah. Adapun sistematika
penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. BAB I PENDAHULUAN
Bab ini meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan yang
berkaitan dengan peran KPUD Kota Salatiga dalam memfasilitasi hak
pilih penyandang cacat dalam Pemilu 2014
2. BAB II HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tinajuan pustaka, dan data penelitian, sekaligus analisa
peneliti terhadap data-data atau bahan-bahan hukum sesuai dengan
permasalahan yang dikaji pada penelitian ini.
3. BAB III PENUTUP
Bab ini berisi pernyataan tentang kesimpulan (jawaban atas permasalahan)
dan saran.