bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH.
Reklamasi dalam arti luas, adalah proses pembuatan daratan baru dari dasar
laut atau dasar sungai. Tanah yang direklamasi disebut tanah reklamasi atau
landfill.1 Menurut Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, menjelaskan
bahwa Reklamasi adalah Kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka
meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial
ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.2 Pengertian
tersebut (a quo) disebutkan dalam Pasal 1 Angka 1 Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi di Kawasan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil menjelaskan bahwa Reklamasi adalah kegiatan yang
dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan
ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan,
pengeringan lahan atau drainase dan Pasal 1 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 40/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan
Reklamasi Pantai menjelaskan bahwa Reklamasi Pantai adalah kegiatan di tepi
1 https://id.wikipedia.org/wiki/Reklamasi_daratan dikunjungi pada tanggal 10 Februari 2017 pukul
21.45. WIB. 2 Pasal 34 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739).
pantai yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber
daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan, atau drainase.3 Reklamasi dapat juga didefinisikan
sebagai aktivitas penimbunan suatu areal dalam skala relatif luas hingga sangat luas
di daratan maupun di areal perairan untuk suatu keperluan rencana tertentu.
Reklamasi umumnya dilakukan dengan tujuan perbaikan dan pemulihan kawasan
berair yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kawasan
yang telah direklamasi tersebut dapat dijadikan lahan pemukiman, objek wisata dan
kawasan niaga.4 Manfaat Reklamasi bagi negara dengan tingkat kepadatan
penduduk yang tinggi, reklamasi dapat digunakan untuk mengatasi kendala
keterbatasan lahan, yang nantinya dapat dimanfaatkan menjadi lahan pemukiman
yang baru. Kawasan kota di tepi pantai cenderung mengalami perubahan yang
cukup pesat, sehingga menimbulkan berbagai masalah seperti meningkatnya
kebutuhan lahan untuk perumahan, industri, perdagangan dan jasa, pelabuhan,
pergudangan, wisata bahari, maupun sarana dan prasarana, sehingga perlu
dilakukan perluasan melalui reklamasi pantai.
Kawasan Reklamasi Pantai merupakan kawasan hasil perluasan daerah
pesisir pantai melalui rekayasa teknis untuk pengembangan kawasan baru.
Kawasan reklamasi pantai termasuk dalam kategori kawasan yang terletak di tepi
3 Pasal 1 Angka 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang
Reklamasi di Kawasan Wilayah Pesisir (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
267) dan Pasal 1 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 40/PRT/M/2007. 4 American Society of Mining & Reclamation. (2016). American Society of Mining &
Reclamation. Retrieved 20 April 2016, from http://www.asmr.us/ dikunjungi pada tanggal 11
Februari 2017 pukul 20.30. WIB.
pantai, dimana pertumbuhan dan perkembangannya baik secara sosial, ekonomi, dan
fisik sangat dipengaruhi oleh badan air laut. Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota-
kota di tepi pantai akan berimbas pada daerah sekitarnya termasuk kawasan reklamasi pantai
sebagai perluasan kota tersebut. Hal ini tentu saja akan menimbulkan berbagai persoalan
kompleks sehingga diperlukan pengaturan terhadap kawasan reklamasi pantai dimaksud.
Dalam rangka menata pembangunan kawasan reklamasi pantai diperlukan suatu pedoman
teknis yang operasional bagi pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam penyelenggaraan
penataan ruang di kawasan reklamasi pantai.
Dasar Pemikiran dalam satu dekade ini terdapat kecenderungan bahwa Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan mengalami kerusakan akibat aktivitas Orang dalam
memanfaatkan sumber dayanya atau akibat bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai
kegiatan eksploitasi yang bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
atau dampak kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perundang-
undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Peraturan Perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada eksploitasi Sumber
Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan kelestarian sumber daya. Sementara
itu, kesadaran nilai strategis dari pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara
berkelanjutan, terpadu, dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak
masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti
sasi, mane'e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menunjukkan bahwa prinsip
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu belum terintegrasi dengan kegiatan
pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum
mampu mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan
kepada sumber daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya non-
hayati disubstitusi dengan sumber daya lain. Oleh sebab itu, keunikan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yang rentan berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi
masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas
manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dipertahankan untuk konservasi.
Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya dengan baik dan yang telah
berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak perlu diberi sanksi. Norma-norma
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tersebut disusun dalam lingkup
perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan
memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya
seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4725). Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang akan dimuat difokuskan pada norma hukum yang belum diatur dalam sistem
peraturan perundang-undangan yang ada atau bersifat lebih spesifik dari pengaturan umum
yang telah diundangkan. Norma-norma itu akan memberikan peran kepada Pemerintah,
masyarakat, dan swasta sebagai pemangku kepentingan baik kepentingan daerah, kepentingan
nasional, maupun kepentingan internasional melalui sistem pengelolaan wilayah terpadu.
Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum,
pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum
yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dasar hukum itu dilandasi oleh Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.5 Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan
5 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739).
Yang Maha Esa kekayaan berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan
maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal
dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan
secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan
manusia pada umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan dan
keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan
masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya. Oleh karena itu, pengelolaan
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada
hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai
pengamalan Pancasila. Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian
terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa
fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan
manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti.
Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting
bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi. Tindakan yang tidak bertanggung jawab
yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam
ataupun tindakan yang melanggar ketentuan tentang perlindungan tumbuhan dan satwa yang
dilindungi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang
berat tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak
dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin
lagi.6 Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014 Tentang Perubahan
6 Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419).
Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar Badung Gianyar dan Tabanan, dimana dalam Peraturan
Presiden tersebut mengubah status Kawasan Konservasi menjadi Kawasan Pemanfaatan
Umum dan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014
menghapuskan Pasal-Pasal yang menyatakan Kawasan Teluk Benoa adalah Kawasan
Konservasi sebagaimana disebutkan pada Pasal 55 ayat (5) Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 45 Tahun 2011 yaitu Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas: (a) Kawasan Konservasi Pulau
Kecil meliputi sebagian Pulau Serangan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan
Pulau Pudut, di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung; (b) Kawasan Konservasi
Perairan di perairan Kawasan Sanur di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, sebagian
perairan Kawasan Serangan di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, perairan
Kawasan Nusa Dua di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, dan perairan Kawasan
Kuta di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung; (c) Kawasan Konservasi dan Perlindungan
Ekosistem Pesisir berupa Kawasan Hutan Pantai berhutan bakau atau Mangrove dan Kawasan
Taman Hutan Raya Ngurah Rai sebagian di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan
sebagian di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung; (d) Kawasan Konservasi dan
Perlindungan Ekosistem Pesisir berupa Kawasan perlindungan terumbu karang, di Kawasan
Pesisir Sanur di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, sebagian Pulau Serangan di
Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Nusa Dua di Kecamatan Kuta Selatan,
Kabupaten Badung, Tuban dan Kuta di Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung; (e) Kawasan
Konservasi Maritim, berupa permukiman nelayan, di Kawasan Serangan di Kecamatan
Denpasar Selatan, Kota Denpasar; (f) Kawasan Jimbaran dan Kawasan Kedonganan di
Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung; dan (g) Kawasan Konservasi pada kawasan
pesisir yang dimanfaatkan untuk kegiatan sosial-budaya dan agama di seluruh pantai tempat
penyelenggaraan Upacara Keagamaan (Melasti) dan Kawasan laut di sekitarnya. Serta
mengurangi luasnya kawasan konservasi perairan dengan menambahkan kata frasa sebagian
pada Kawasan Konservasi Pulau Serangan dan Pulau Pudut. Maka dari itu, Penulis mengangkat
isu hukum tersebut berjudul “KEBIJAKAN REKLAMASI PANTAI DI TELUK BENOA
PROVINSI BALI (STUDI TERHADAP PERATURAN PRESIDEN NOMOR 51
TAHUN 2014)“ Penulis menilai bahwa masalah tersebut sangat menarik untuk dijadikan
Penelitian dan Penulisan Hukum.
B. RUMUSAN MASALAH.
Berdasarkan Latar Belakang Masalah diatas, Penulis merumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Mengapa Pemerintah mengubah Kawasan Konservasi menjadi Kawasan
Pemanfaatan Umum yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun
2011 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar Badung Gianyar dan
Tabanan ?
2. Apakah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan
merupakan Peraturan Perundang-undangan yang konsistensi dan sinkronsisasi atau
inkonsistensi dan tidak sinkronisasi ?
C. TUJUAN PENELITIAN.
Dalam Tujuan Penelitian ini, Penulis berharap dapat mengetahui permasalahan yang
menjadi polemik terhadap Reklamasi di Teluk Benoa Kabupaten Badung, Provinsi Bali yang
dianggap menguntungkan Pengusaha dan Pengembang disamping itu merugikan masyarakat
Kabupaten Badung terutama masyarakat Provinsi Bali.
D. MANFAAT PENELITIAN.
Dalam Manfaat Penelitian ini, Hasil Penulisan ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dalam memperkaya dan menambah wawasan maupun pengetahuan bagi
pembaca atau masyarakat dalam perkembangan ilmu hukum termasuk Hukum Lingkungan
Hidup (Environtmental Law), Hukum Tata Ruang (Spatial Law), Hukum Tata Negara
(Constitusional Law), Hukum Kehutanan (Forest Law) dan Hukum Administrasi Negara
(Administrative Law).
E. METODE PENELITIAN.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi.7 Metode Penelitian Hukum adalah sebagai cara kerja
ilmuan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan metode. Secara harfiah mula-mula
metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian
berlangsung menurut suatu rencana tertentu.8 Metode penelitian hukum merupakan suatu cara
yang sistematis dalam melakukan sebuah penelitian.9 Metode Penelitian yang digunakan oleh
penulis dalam penelitian ini adalah Penelitian Hukum Normatif.
1. Penelitian Hukum Normatif.
7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hal. 35. 8 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang, 2006, hal. 26. 9 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 57.
Menurut Terry Hutchinson sebagaimana dikutip Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan
bahwa penelitian hukum doktrinal adalah sebagai berikut: “doctrinal research: research wich
provides a systematic exposition of the rules goverming a particular legal kategory, analyses
the relationship between rules, explain areas of difficullty and, perhaps, predicts future
development.”
(Penelitian doktrinal adalah penelitian yang memberikan penjelasan sistematis aturan
yang mengatur suatu kategori hukum tertentu, menganalisis hubungan antara peraturan
menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin memprediksi pembangunan masa depan).10
Ilmu hukum mempunyai karakter yang khas, yaitu sifatnya yang normatif, praktis dan
preskriptif.11 Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum,
nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma
hukum.Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menentapkan standar prosedur, ketentuan-
ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aktivitas hukum.12 Penelitian yang dikaji penulis
dalam penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat preskriptif, yang dimaksudkan untuk
memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah dilakukan.
2. Pendekatan dalam Penelitian Hukum.
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut,
peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba
untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum
adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach),
10 Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit., hal. 32. 11 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2005, hal. 1. 12 Peter Mahmud Marzuki. Op.Cit, hal. 22.
dan pendekatan konseptual (conseptual approach).13 Macam-macam pendekatan penelitian
hukum normatif yang dilakukan oleh penulis adalah pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka
kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu
undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-
Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang.14 Pendekatan historis (historical
approach) dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan perkembangan
pengaturan mengenai isu yang dihadapi.15 Pendekatan konseptual (conceptual approach)
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum,
peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-
konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.16
3. Sumber-Sumber Penelitian Hukum.
Sebagaimana dikemukakan pada Bab II bahwa penelitian hukum tidak mengenal adanya
data. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang
seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian.17 Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan sumber-sumber penelitian hukum sebagai berikut:
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Prenada Media Group, 2005, Jakarta, hal.
133. 14 Ibid., 15 Ibid., hal. 134. 16 Ibid., hal. 135-136. 17 Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit., hal. 181.
a. Bahan Hukum Primer yang digunakan terdiri dari peraturan perundang-undangan,
catatan resmi, risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim.18 Bahan-
bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis adalah
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan.
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang.
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah.
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana.
18 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hal. 141.
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 Tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (yang selanjutnya disingkat RTRW
Nasional).
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang.
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2010 Tentang
Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang.
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2016 Tentang
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (yang selanjutnya disingkat KLHS).
13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin
Lingkungan.
14. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 Tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (yang selanjutnya disingkat AMDAL).
15. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang
Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
16. Peraturan Menteri Pekerjaan dan Perumahan Umum Nomor 40/PRT/M Tahun
2007 Tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai.
17. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029.
18. Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten badung Tahun 2013-2033.
b. Bahan Hukum Sekunder adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-
prinsip dasar ilmu hukum dan pandanganpandangan klasik para sarjana yang mempunyai
kualifikasi tinggi.19 Bahan-bahan hukum sekunder yang digunakan oleh penulis adalah
1. Buku-buku ilmiah tentang Hukum.
2. Makalah-Makalah Hukum.
3. Jurnal Hukum.
4. Artikel Hukum.
c. Bahan Hukum Tersier adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan-
bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.20 Bahan-bahan hukum tersier yang
digunakan oleh penulis adalah
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
2. Kamus Besar Bahasa Inggris.
3. Kamus-Kamus Hukum.
19 Ibid., hal. 142. 20 H. Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi
(Edisi Pertama), cet. 4, Rajawali Pers, Jakarta, 2016, hal.16.