bab i pendahuluan a. latar belakang...

96
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sejarah awal, fungsi narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan dan studi ilmiah. Oleh karenanya diperlukan Narkotika untuk di produksi secara terus menerus untuk kepentingan tersebut. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini 1 . Di dalam pengertian tentang Narkotika, selalu diuraikan tentang pengertian Narkotika sebagai dua fungsi. Salah satunya adalah yang tertera di dalam dasar pertimbangan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula 1 Lihat Ketentuan Umum Bab I Pasal 1, Undang-Undang No 35 Tahun 2009, Tentang Narkotika.

Upload: vuongdang

Post on 05-Mar-2018

218 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah awal, fungsi narkotika diperlukan oleh

manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan,

kesehatan dan studi ilmiah. Oleh karenanya diperlukan Narkotika

untuk di produksi secara terus menerus untuk kepentingan

tersebut.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman

atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis,

yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan

kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan

golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang

ini1.

Di dalam pengertian tentang Narkotika, selalu diuraikan

tentang pengertian Narkotika sebagai dua fungsi. Salah satunya

adalah yang tertera di dalam dasar pertimbangan Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa

Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang

bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan

pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula

1 Lihat Ketentuan Umum Bab I Pasal 1, Undang-Undang No 35

Tahun 2009, Tentang Narkotika.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

2

menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila

disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan

pengawasan yang ketat dan saksama.2

Narkotika apabila dipergunakan secara tidak teratur

menurut takaran/dosis dapat menimbulkan bahaya fisik dan

mental serta dapat menimbulkan ketergantungan pada pengguna

itu sendiri. Penyalahgunaan narkotika sebagai salah satu bentuk

zat yang membahayakan, karena di samping merusak fisik dan

mental juga mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat yang

pada gilirannya dapat mengganggu sendi-sendi keamanan

nasional dalam rangka pembangunan nasional menuju

masyarakat yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan

dalam tujuan negara yang tercantum pada Pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945 alinea keempat. Dalam kontek inilah

kewenangan negara sebagai representasi kepentingan publik

menjadi dasar dari pemberian kewenangan negara untuk

memonopoli reaksi atas kejahatan.3

Bahaya pemakaian narkotika sangat besar pengaruhnya

terhadap negara, jika sampai terjadi pemakaian narkotika

secara besar-besaran di masyarakat, maka bangsa

Indonesia akan menjadi bangsa yang sakit, apabila terjadi

2 Ibid, hlm 2.

3 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Bandung,

Nusa Media, hlm 112

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

3

demikian negara akan rapuh dari dalam karena ketahanan

nasional merosot.4

Dalam kontek sistem hukum, Indonesia berkepentingan

langsung terkait Narkotika karena sudah masuk pada tingkat

membahayakan dan demi kepentingan dan keberlangsungan masa

depan negara.

Pertama, sebagai bagian dari sistem kontrol (social

control) yang mengatur perilaku manusia. Kedua, sebagai

sarana menyelesaikan sengketa (dispute settlement).

Ketiga, sistem hukum memiliki fungsi sebagai social

engineering function. Keempat, hukum sebagai social

mantenance, yaitu fungsi yang menekankan peranan

hukum sebagai pemeliharaan “status quo”.5

Sejarah perundang-undangan tentang tindak pidana

Narkotika di Indonesia merujuk pada Undang-Undang Nomor 9

tahun 1976 tentang Narkotika sebagaiman telah diubah dalam

Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan

terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009

tentang Narkotika. Ketiga Undang-Undang tersebut merupakan

revisi perbaikan dengan melihat kontek, kebutuhan dan tantangan

atas problematika penyalahgunaan Narkotika yang terus

berkembang. Deskripsi secara sederhana dengan memperhatikan

4 Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta: Djambatan,

2004, hlm 5. 5 Teguh Prasetyo, Filsafat, teori & Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju

Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta, Rajawali Pers, 2012,

hlm 311.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

4

tindak pidana penyalahgunaan narkotika di Indonesia yang

semakin hari semakin meningkat, dibutuhkan perubahan

perangkat perundang undangan yang aplikatif sesuai kebutuhan

kondisi saat itu. Oleh sebab itu, indikasi kebutuhan zaman yang

terus berubah menjadi salah satu alasan mengapa aplikasi

Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 tidak lagi mampu secara

efektif mengatasi setiap tindak pidana narkotika yang

berkembang secara cepat. Alasan lain adalah pada satu sisi

pemerintah membutuhkan upaya untuk mengantisipasi dengan

membentuk dan memberlakukan Undang-Undang Narkotika

yang bersifat khusus.

Kebutuhan antisipasi ini juga bedasarkan pada kenyataan

bahwa kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang

dimiliki oleh Indonesia saat ini belum menjangkau kejahatan

tersebut. Oleh karena itu, Andi Hamzah (1997) meyakini bahwa

ketentuan pidana di dalam perundang-undangan pidana khusus

lebih interen dan lebih mendekati tujuan reformasi di banding

dengan yang tercantum di dalam KUHP yang telah kuno itu.6

Jika merujuk pada ruang lingkup materi, rumusan

kebijakan kriminalisasi dan kualifikasi tindak pidana tentang

Narkotika dalam Undang-Undang nomor 9 tahun 1976 terfokus

6 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta:

PT. Pradnya Paramita, 1997, hlm 67.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

5

untuk kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan

(Pasal 23 dan 24 Undang-Undang nomor 9 tahun 1976). Dengan

adanya kelemahan-kelemahan pada perkembangan kebutuhan

sosial dan budaya yang berkembang cepat, serta kebutuhan

cakupan ruang lingkup isi pengaturan tindak pidana

penyalahgunaan Narkotika seperti tersebut, maka pemerintah

Indonesia mengadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 9

Tahun 1976 dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997 tentang Narkotika.

Ruang lingkup Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

tentang narkotika, mempunyai cakupan norma, materi, maupun

ancaman pidana yang di perberat di banding dengan Undang

Undang Nomor 9 Tahun 1976. Hal ini didasarkan pada faktor

perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma

dalam ketentuan yang berlaku pada saat itu tidak memadai lagi

sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Kemajuan

teknologi dan informasi, perkembangan struktur masyarakat dan

latar belakang tindak pidana penyalahgunaan Narkotika semakin

komplek pada akhirnya juga membutuhkan perbaikan Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 yang sudah tidak cukup efektif

dalam pelaksanaannya sesuai kebutuhan jaman. Indikasi utama

yang digunakan adalah tindak pidana Narkotika di dalam

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

6

masyarakat menunjukkan kecenderungan meningkat tinggi tiap

tahun baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan pelaku

yang semakin meluas dan bervariatif. Meski demikian pelaku

penyalahgunaan narkotika tetap di dominasi oleh kalangan anak-

anak, remaja, dan generasi muda. Oleh sebab itu, Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 ini dicabut dan di sempurnakan

oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika mengatur ruang lingkup lebih luas pada peraturan

materi, peran dan pelaksana yang terlibat dalam penanganan

tindak kejahatan khusus (extra ordinary crime). Contoh salah

satu konsekuansi dari kejahatan khusus (extra odinary crime)

adalah terkait hukuman bagi pelaku. Pelaku tindak pidana

narkotika diancam dengan pidana yang tinggi dan berat dengan

dimungkinkannya terdakwa divonis maksimal yakni pidana mati

selain pidana penjara dan pidana denda. Mengingat tindak pidana

narkotika termasuk dalam jenis tindak pidana khusus maka

ancaman pidana terhadapnya dapat dijatuhkan secara kumulatif

dengan menjatuhkan 2 (dua) jenis pidana pokok sekaligus.

Misalnya pidana penjara dan pidana denda atau pidana mati dan

pidana denda.

Secara material, jika dibandingkan dalam KUHP,

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

7

lebih tegas mengatur kekurangan di dalam KUHP yang hanya

menghendaki salah satu pidana pokok saja. Di dalam KUHP

penjatuhan dua hukuman pokok sekaligus memang tidak

dimungkinkan oleh karenanya tidak ada hukuman yang

dijatuhkan berupa pidana penjara dan pidana denda secara

bersama-sama.

Penerapan pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika, adalah suatu upaya radikal untuk

menghukum orang-orang yang tak dapat diperbaiki lagi. Dengan

penerapan pidana mati ini maka hilang kewajiban negara untuk

memelihara mereka dalam penjara-penjara yang demikian

besarnya.7 Pemberlakuan pidana mati bagi pelaku tindak pidana

narkotika memang mengundang kontroversi. Beberapa pendapat

menyebutkan bahwa pidana mati tidak sesuai dengan ajaran

agama, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu

pidana mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia berdasarkan

Pasal 28 A UUD 1945 perubahan kedua, Pasal 4 dan Pasal 33

ayat (2) Undang-undang HAM Nomor 39 Tahun 1999 bahwa

setiap orang bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan

nyawa serta bertentangan dengan Pasal 6 ayat (1) ICCPR bahwa

setiap orang berhak untuk hidup. Akan tetapi, jika ditinjau

7 Andi Hamzah, dkk, Pidana Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini

dan di Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hal. 27.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

8

melalui pendekatan filosofis kemanusiaan bahwa hukuman

dengan pidana mati sangat pantas dijatuhkan kepada para

penyalahguna narkotika tersebut, terutama terhadap jaringan dan

para pengedarnya. Oleh karena akibat dari perbuatan tersebut

sangat berat bobot kejahatannya, yang pada akhirnya dapat

menghancurkan hampir kebanyakan generasi muda dari sebuah

bangsa.8

Pada satu sisi, sanksi pidana yang dijatuhkan oleh para

hakim terhadap para pelaku kejahatan masih dinilai belum

memberikan rasa takut dan dipengaruhi oleh norma-norma di luar

norma hukum tampaknya masih melekat dan menjadi kendala

terhadap penegakan hukum secara konsekuen.9 Penegakan

hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal

pemidanaan, seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum

yang bersifat menghukum pelaku kejahatan sehingga dapat

memberikan efek jera. Terkait dengan hal ini, penulis sependapat

dan merujuk H.J Smidt yang dikutip oleh Teguh Prasetyo (2011),

keberagaman jenis dan sanksi, khususnya yang berupa sanksi

tindakan (treatment) memang lebih banyak dipengaruhi oleh

8 Moh. Taufik Makaro dkk, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 2005, hal. 47. 9 Gatot Supramono, Op.cit, hal 93.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

9

perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, lebih

canggih dan berdimensi baru (new demention of criminology)10

.

Selain itu, di dalam sistem hukum pidana di Indonesia,

dapat timbul pengaturan hukum pidana (kebijakan kriminalisasi)

khusus, tersendiri di luar yang di atur di dalam KUHP.

Pengaturan tindak pidana narkotika merupakan pengaturan salah

satu dari hukum pidana (kebijakan kriminalisasi) khusus di luar

KUHP tersebut. Sebagai bentuk pidana khusus, berarti

“...mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang

tertentu yang tidak dapat di lakukan oleh orang lain selain orang

tertentu”11

. Secara tegas dalam uraian selanjutnya disampaikan

bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus diatur dalam Undang-

Undang Pidana tersendiri12

Sementara di dalam KUHP sendiri menyatakan tentang

kemungkinan adanya Undang-Undang Pidana di luar KUHP itu

sendiri, sebagaimana dapat disimpulkan dari ketentuan yang

terdapat dalam Pasal 103 KUHP. Pasal 103 KUHP menyatakan:

Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VII buku ini

berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan

perundang-undangan yang lain diancam pidana, kecuali

jika oleh undang-undang itu ditentukan lain.

10

Teguh Prasetyo, Op cit, hlm 81. 11

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta, Rajawali

Pers, hal 229 12

Ibid, hlm 229

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

10

Maksud dari penjelasan di dalam Pasal 1-85 Buku I

KUHP tentang Ketentuan Umum/Asas-asas Umum berlaku juga

bagi perbuatan yang diancam dengan pidana berdasarkan undang-

undang atau peraturan di luar KUHP, kecuali undang-undang

atau peraturan itu menyimpang. Dengan kata lain, penerapan

ketentuan pidana khusus dimungkinkan berdasarkan asas lex

spesialis derogate lex generalis yang mengisyaratkan bahwa

ketentuan yang bersifat khusus akan lebih diutamakan daripada

ketentuan yang bersifat umum. Maka terkait dengan hal ini

tentunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 maupun

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

ketentuan materiil dan formilnya tidak sama dengan ketentuan

yang ada dalam KUHP dan KUHAP. Salah satunya adalah

perbedaan masa penangkapan pelaku 1 x 24 jam dalam KUHAP

menjadi total 6 hari dalam UU Nomor 35 Tahun 2009.

Pada sisi lain, ditetapkannya Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan tercatat dalam lembaran Negara tanggal 12

Agustus 2011, menjadi rujukan atas semua proses dan subtansi

pembentukan perundang-undangan di Indonesia. Asas secara

formil dan material di dalam proses dan subtansi pembentukan

perundang-undangan di uraikan dengan jelas di dalam Bab II

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

11

Asas Pembentukan Perundang-Undangan Pasal 5 dan Pasal 613

.

Berkaitan dengan asas pembentukan perundang-undangan

tersebut, maka terkait dengan sejarah pekembangan pengaturan

Narkotika di Indonesia mulai dari Undang-Undang Nomor 9

Tahun 1976, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 maupun

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, menurut penulis,

penting untuk merunut secara ilmiah asas-asas undang-undang

tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam kaitan ruang

lingkup undang-undang tersebut diatas. Kepentingan utamanya

adalah mendapatkan gambaran obyektif perkembangan

perundang-undangan tentang narkotika di Indonesia dan prioritas

pengembangannya kedepan.

Selain itu, dengan jumlah penduduk Indonesia yang

sangat besar dan wilayah yang sangat luas yang merupakan

Negara kepulauan akan menjadikan permasalahan dalam upaya

penanggulangan penylahgunaan narkotika di Indonesia. Banyak

sekali jalan baik yang resmi maupun tidak resmi yang bisa

dijadikan pintu masuk untuk penyelundukan narkotika. Dengan

jumlah aparat penegak hukum di bidang narkotika yang terbatas

disertai peralatan yang terbatas akan menjadikan permasalahan di

bidang penegakan hukum terhadap peredaran gelap narkotika.

13 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Perundang-Undangan.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

12

Dengan jumlah dan peralatan yang terbatas tersebut

diperlukan peran serta masyarakat secara aktif guna menekan

peredaran narkotika secara illegal. Masyarakat diharapkan dapat

membantu aparat penegak hukum dengan cara memberikan

informasi tentang adanya peredaran gelap narkotika maupun

bersedia menjadi saksi saat aparat penegak penegak hukum

melakukan upaya upaya penegakan hokum, sehingga antara

penegak hokum dan masyarakat dapat bekerja sama dalam

pemberantasan peredaran gelap narkotika. Setidaknya masyarakat

dapat menjadi “ penegak hukum “ bagi dirinya sendiri maupun

bagi keluarganya sendiri.

Dari uraian di atas, penulis tertarik mengkaji secara

yuridis ilmiah mengenai penggunaan asas pada muatan materi

peraturan perundang-undangan dalam pengaturan tindak pidana

penyalahgunaan narkotika di Indonesia. Khususnya perbandingan

penggunaan asas pada muatan materi antara Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 Tentang Narkotika.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

13

B. Rumusan Masalah

Bagaimana perbandingan muatan materi antara Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?

C. Tujuan Penelitian

Menganalisa dan mengetahui perkembangan pengaturan

muatan materi antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberikan

sumbangan pengetahuan dan pendekatan penelitian

khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan

terkait dengan ruang lingkup kajian hukum dan

produk perundang-undangan, khususnya tentang

narkotika.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat

secara langsung bagi pengambil kebijakan, khususnya

berbagai fihak yang bekerja didalam perumusan,

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

14

penegakan dan pengawasan hukum di Indonesia,

khususnya bagi penanggulangan penyalahgunaan

narkotika.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian pertama yang

dilakukan oleh penulis. Sejauh ini belum ada peneliti lain

yang meneliti, mengenai perbandingan muatan materi

antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika. Dengan demikian peneliti menjamin kleaslian

bahan bahan yang berkaitan dengan topic ini tanpa plagiat

dari penelitian terdahulu dalam bidang ini.

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,

maupun doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

15

dihadapi.14

Sesuai dengan karakteristik perumusan

masalah yang ditujukan untuk menganalisa perbandingan

muatan hukum perundang-undangan antara Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 dan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009, maka metode penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif. Kategori penelitian normatif karena keilmuan

hukum memang bersifat preskriptif yaitu melihat hukum

sebagai norma sosial bukan gejala sosial15

. Penelitian

hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji

hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori,

sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi,

lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan

pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu

undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan16

.

Kajian hukum normatif ini akan di gunakan untuk

mengkaji perbandingan muatan hukum perundang-

undangan antara dua produk hukum yaitu Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pengertian

14

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana,

2010, hlm. 35. 15

Ibid, hlm 33. 16

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung,

Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 101-102.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

16

Perbandingan hukum dalam kontek penelitian ini merujuk

kepada pendapat Teguh Prasetyo (2012) adalah ilmu yang

membandingkan sistem-sistem hukum yang ada di dalam

suatu negara atau antarnegara17

.

2. Pendekatan Penelitian

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach).

Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena

yang menjadi fokus sekaligus tema sentral penelitian

ini yaitu perbandingan asas muatan hukum

perundang-undangan antara Undang-Undang Nomor

22 Tahun 1997 dengan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 Tentang Narkotika. Untuk itu peneliti

harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang

mempunyai sifat-sifat: comprehensive, all-inclusive,

systemat 18

. Selain itu dalam metode pendekatan

perundang-undangan, peneliti perlu memahami

hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-

undangan19

. Dengan demikian, pendekatan

perundang-undangan dalam penelitian ini merupakan

17

Teguh, Prasetyo,Op cit, hal. 363 18

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Malang: Banyumedia, 2006, hlm. 303. 19

Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm 96.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

17

legislasi dan regulasi mengenai pengaturan tindak

pidana penyalahgunaan narkotika di Indonesia.

b. Pendekatan filsafat (philosopical Approach)

Dengan sifat filsafat yang menyeluruh, mendasar dan

spekulatif, penjelajahan filsafat akan mengupas isu

hukum (legal issues) dalam penelitian normatif secara

radikal dan mengupasnya secara mendalam20

.

Pemahaman akan makna merupakan hal yang

esensial di dalam penelitian21

. Melalui pendekatan

filsafat penulis akan mengupas asas-asas hukum

pidana dalam pengaturan narkotika di Indonesia.

c. Pendekatan konsep (conceptual approach).

Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti

tidak beranjak dari aturan hukum yang ada22

. Dalam

penelitian ini, maka penulis akan menggali konsep

keadilan berdasarkan pandangan-pandangan tokoh-

tokoh dan doktrin-doktrin hukum yang berkembang

dalam Ilmu Hukum. Meskipun tidak secara eksplisit,

konsep hukum dapat juga diketemukan di dalam

undang-undang23

. Jadi konsep-konsep hukum tersebut

20

Johnny Ibrahim, Op.cit, hlm 320. 21

Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm 87. 22

Ibid, hlm 137. 23

Ibid, hlm138.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

18

akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam

membangun argumen-argumen hukum dalam

menemukan asas-asas hukum pidana dalam

pengaturan narkotika di Indonesia.

3. Tehnik Pengumpulan Data dan Sumber Penelitian

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian adalah penelusuran kepustakaan yang berupa

literatur dan dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan

dengan objek penelitian24

. Oleh karena itu, sumber data

penelitian ini adalah data sekunder, yang meliputi bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tertier25

. Bahan hukum yang dikaji meliputi beberapa hal

berikut:

a. Bahan hukum primer

Yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan

perundang-undangan yakni :

1). Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika;

24

Ronny Hantijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta,

Ghalia Indonesia, 1982, hlm 24. 25

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif

Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta; Rajawali Press, 1995, hlm 39.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

19

2). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika

3). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

dan

4). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

b. Bahan hukum sekunder

Adalah bahan hukum yang diperoleh dari studi

kepustakaan, seperti buku-buku teks yang ditulis para

ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para

sarjana dan hasil simposium mendukung bahan

priomer serta yang relevan dengan isu penelitian.

c. Bahan hukum tersier

Adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Dalam kontek penelitian ini,

penulis akan menggunakan kategori bahan hukum

tersier sebagai bahan penelitian meliputi kamus

hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

Kamus Bahasa Inggris ataupun ensiklopedia yang

relevan dengan isu penelitian ini.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

20

4. Metode Analisis

Pertama, Penelitian ini menggunakan metode

analisis deskriptif kualitatif dengan penalaran deduktif.

Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan

menentukan isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga

kegiatan mendeskripsikan tersebut dengan sendirinya

mengandung kegiatan interpretasi26

. Dengan demikian

penelitian ini termasuk dalam dogmatik hukum, yaitu

deskripsi, sistematisasi, analisis, interprestasi, dan menilai

hukum positif27

. Dalam penelitian ini yang

diinterprestasikan yaitu perbandingan asas muatan hukum

perundang-undangan antara Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Kedua, Analisis perbandingan, yaitu hasil analisis

deskriptif kualitatif dengan penalaran deduktif tersebut di

bandingkan dengan menjelaskan perbandingan muatan

materi perundang-undangan dari dua produk undang

narkotika, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika.

26

Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum,

Bandung, Mandar Maju, 2000, hlm 149-150. 27

J.J.H. Bruggink, Op.cit, hal. 169.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Tentang Hukum

Berbicara tentang hukum pada umumnya yang

dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan

atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama: keseluruhan

peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu

kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya.28

Pada dasarnya, menurut J.J.H. Bruggink29

perintah perilaku,

yang mewujudkan isi kaidah itu dapat menampilkan diri dalam

berbagai wajah/sosok. Penggolongan yang paling umum adalah :

a. perintah (Gebod) adalah kewajiban umum untuk

melakukan sesuatu;

b. larangan (Verbod) adalah kewajiban umum untuk

tidak melakukan sesuatu;

c. pembebasan (Vrijstelling, dispensasi) adalah

pembolehan (Verlof) khusus untuk tidak melakukan

28

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),

Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm 40. 29

J.J.H. Bruggink, Refleksi tentang Hukum, Bandung: Penerbit PT

Citra Aditya Bakti, 1999, hlm 100.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

22

sesuatu yang secara umum diharuskan; dan

d. izin (toestemming, permisi) adalah pembolehan

khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum

dilarang.

Selain dari aspek tersebut di atas maka kaidah hukum

dapat juga ditentukan dalam hukum yang tercatat

/terdokumentasikan seperti: hasil-hasil penelitian Hukum adat,

penilaian ahli hukum, pandangan doktrin tentang hukum,

pandangan filosofi seorang filsuf dan lain sebagainya. Begitu

pula kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis

seperti: UU, Yurisprudensi, Keputusan Pemerintah Pusat/Daerah

dan lain sebagainya. Kaidah hukum dapat pula ditemukan dalam

kitab-kitab suci, ada kemungkinan hukum yang tercatat/tertulis

berasal dari kenyataan hukum, tetapi pembentukannya bersifat

rasional. Pembentuknya (seperti DPR/D, Kepala daerah, dan lain-

lain) mempunyai kepentingan tertentu atau mempunyai

pandangan tertentu yang cukup berperanan dalam terbentuknya

hukum tersebut. Adanya kepentingan/pandangan tertentu turut

dipertimbangkan mengakibatkan fakta empiris akan menjadi

hukum setelah diolah secara rasional. Dalam pembentukan

hukum yang terbentuk tidak berasal semata-mata dari kebiasaan

tetapi timbul berdasarkan suatu pertimbangan dari pihak

berwibawa sehingga anggota masyarakat patuh. Hukum yang

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

23

hidup (living Law) tidak bisa lepas dari pertimbangan pihak yang

berwibawa. Maka tidak salah salah jika Mertokusumo

mengatakan bahwa hukum adalah kekuasaan, kekuasaan yang

mengusahakan ketertiban30

.

Dengan demikian ditinjau dari deskripsi di atas dapatlah

ditarik 2 (dua) asumsi dasar, yaitu: Pertama, bahwasanya kaidah

hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis dan tercatat.

Kedua, bahwasanya pembentukan hukum yang hidup tidak lepas

dari legitimasi kewibawaan yang mengakibatkan adanya

pertimbangan nilai, maka dapat disimpulkan bahwa kaidah

hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta empiris tetapi juga

berupa hal rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja

dengan fakta empiris yang alamiah dan fisik serta dapat diserap

dengan panca indera. Hukum bersangkutan dengan manusia yang

secara utuh bersosok monodualistis antara jiwa dan badan,

individu dan masyarakat. Kaidah hukum berintikan keadilan.

Adil dan tidak adil merupakan pendapat mengenai nilai secara

pribadi.

Kaidah hukum bersangkutan dengan martabat manusia

(human dignity), bagaimana manusia terlindungi dari

kesewenang-wenangan, bebas dari rasa takut dan lain-lain dan ini

merupakan aspek personal dari hukum. Sedangkan terhadap

30

Lih. Sudikno Mertokusumo, Ibid, hlm 20.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

24

pernyataan bahwa kaidah hukum berlaku bagi siapapun dan

kapanpun, pedoman bagi anggota masyarakat bertingkah laku,

dan untuk memperhatikan kaidah hukum tersebut dibentuklah

pranata hukum dan lembaga hukum, adalah merupakan aspek

sosial dari kaidah hukum. Aspek personal dan aspek sosial dari

kaidah hukum itu sepertinya saling bertentangan satu sama

lainnya seperti tidak saling mendukung. Usaha-usaha untuk

mempertemukan antara keduanya dapat disebut usaha kultural.

Proses pembentukan dan penerapan kaidah hukum dimana

hubungan timbal balik aspek personal dan aspek sosial

merupakan proses berbudaya. Sehingga proses integrasi antara

pribadi masyarakat dan kebudayaan merupakan inti dari kaidah

hukum yang secara substansial merupakan titik tolak kajian dari

hukum.

Eksistensi sanksi sebagai penguat kaidah hukum

merupakan salah satu kaidah sosial yang penting. Secara

operasional menurut Paul Bohannan, sanksi merupakan perangkat

aturan-aturan yang mengatur bagaimana lembaga-lembaga

hukum mencampuri suatu masalah untuk dapat memelihara suatu

sistem sosial, sehingga memungkinkan warga masyarakat hidup

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

25

dalam sistem itu secara tenang dan dalam cara-cara yang

diperhitungkan31

.

Lebih lanjut Marwan Mas (2004) membagi fungsi hukum

ke dalam tujuh fungsi, yaitu:32

a. fungsi hukum sebagai sarana sosial control,

b. fungsi hukum sebagai ”a tool of social engineering”

(sarana perekayasa masyarakat),

c. fungsi hukum sebagai simbol,

d. fungsi hukum sebagai alat politik,

e. fungsi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa,

f. fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial,

g. fungsi hukum sebagai sarana pengintegrasi sosial.

Dalam literatur tentang Hukum dikenal beberapa teori

tentang tujuan hukum, yaitu:33

(a). Teori Etis. Menurut teori etis

hukum semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan

oleh keyakinan kita yang etis tentang yang adil dan tidak. (b).

Teori utilistis. Menurut teori ini hukum ingin menjamin

kebahagiaan yang terbesar bagi manusia dalam jumlah yang

sebanyak-banyaknya. Pada hakekatnya menurut teori ini tujuan

hukum adalah manfaat dalam menghasilkan kesenangan atau

31

Ihromi, Antropology dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1984, hlm 61. 32

Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia,

2004, hal. 80-88. 33

Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm 77-81.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

26

kebahagian yang terbesar bagi jumlah orang terbanyak. (c). Teori

Campuran. Menurut Mochtar Kusumaatmadja tujuan pokok dan

pertama dari hukum adalah ketertiban. Kemudian menurut

Purnadi dan Soerjono Soekanto tujuan hukum adalah kedamaian

hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi

dan ketenangan intern pribadi. Sedangkan Soebekti berpendapat

bahwa hukum itu mengabdi kepada tujuan negara, yaitu

mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan kepada rakyatnya.

B. Teori Tentang Pidana

Pidana merupakan karakteristik hukum pidana yang

membedakannya dengan hukum perdata. Dalam gugatan perdata

pada umumnya, pertanyaan timbul mengenai berapa besar jika

ada, tergugat telah merugikan penggugat dan kemudian

pemulihan apa jika ada yang sepadan untuk menggantikan

kerugian penggugat. Dalam perkara pidana, sebaliknya, seberapa

jauh terdakwa telah merugikan masyarakat dan pidana apa yang

perlu dijatuhkan kepada terdakwa karena telah melanggar hukum

(pidana)34

.

Istilah ”hukuman” yang berasal dari kata ”straf” dan

istilah ”dihukum” yang berasal dari perkataan ”wordt gestraft”.

34

Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. 3, Jakarta : PT.

Rineka Cipta, 2008, hlm. 27.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

27

Menurut Prof. Mulyatno istilah-istilah tersebut merupakan istilah-

istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-

istilah itu dan menggunakan istilah yang modern, yaitu ”pidana”

untuk menggantikan kata ”straft” dan ”diancam dengan pidana”

untuk mengggantikan kata ”wordt gestraft”, kalau ”straft”

diartikan ”hukuman”, maka ”strafrecht” seharusnya diartikan

”hukum hukuman”35

. Menurut beliau ”dihukum” berarti

”diterapi hukuman”, baik hukum pidana maupun hukum perdata.

”Hukuman” adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi

yang maknanya lebih luas daripada pidana, sebab mencakup juga

keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata36

.

Demikian pula Prof. Sudarto menyatakan bahwa

”penghukuman” berasal dari kata dasar ”hukum”, sehingga dapat

diartikan sebagai ”menetapkan hukum”, atau ”memutuskan

tentang hukumnya” (”berechten”). ”Menetapkan hukum” untuk

suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana

saja, akan tetapi juga hukum perdata37

. Selanjutnya dikemukakan

oleh beliau bahwa istilah ”penghukuman” dapat disempitkan

artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap

sinonim dengan ”pemidanaan” atau ”pemberian/penjatuhan

35

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana,

Bandung: Alumni, 1992, hlm 1. 36

Ibid. 37

Ibid.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

28

pidana” oleh hakim. ”penghukuman” dalam arti yang demikian

menurut Prof. Sudarto mempunyai makna sama dengan

”sentence” atau ”veroordeling”, misalnya dalam pengertian

”setence conditionally” atau ”voorwaardelijk veroordeeld” yang

sama artinya dengan ”dihukum bersyarat” atau dipidana

bersyarat”. Akhirnya dikemukakan oleh Prof. Sudarto bahwa

istilah ”hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pengganti

perkataan ”straf”, namun menurut beliau istilah ”pidana” lebih

baik daripada ”hukuman” 38

.

Istilah ”hukuman” yang merupakan istilah umum dan

konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah

karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup

luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang

hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan,

moral, agama dan sebagainya39

. Oleh karena ”pidana” merupakan

istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian

atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-

sifatnya yang khas40

.

Guna memberikan gambaran yang lebih luas, berikut ini

dikemukakan beberapa pendapat atau definisi dari para sarjana

38

Ibid. 39

Ibid, hlm 2. 40

Ibid.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

29

tentang pidana:41

(a). Prof. Sudarto, SH: ”Pidana ialah

penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang

melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.” (b).

Prof. Roeslan Saleh: ”Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini

berujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara

pada pembuat delik itu.” (c). Fitzgerald: “Punisment is the

authorirative infliction of suffering for an offence.” (Pidana

adalah hukuman dari suatu kejahatan yang mengakibatkan

penderitaan). (d). Ted Honderich: “Punisment is an authority’s

infliction of penalty (something involving deprivation or distress)

on an offender for an offence.” (Pidana adalah hukuman dari

penguasa gerupa penjabutan hak-hak, penderitaan bagi yang

pelanggar kejahatan). (e). Sir Rupert Cross:”Punisment means:

The inliction of pain by the State on someone who has been

convicted of an offence” (Pidana adalah hukuman yang berupa

kesakitan atau penderitaan yang dilakukan oleh negara pada

seseorang yang bersalah melakukan kejahatan). (f). Burton M.

Leiser: “A punisment is a harm inflicted by a person in a position

of authority upon another who is judged to have violated a rule

or a law”.

(g). H.L.A. Hart:

”Punisment must :

41

Ibid.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

30

1. involve pain or other consequences normally

considered unpleasant,

2. be for an actual or supposed offender for his offence;

3. be for an offence against legal rules,

4. be intentionally administered by human beings other

than the offender,

5. be imposed and administered by an authority

constituted by a legal system against with the offence

is committed.

(Pidana harus : (1). Meliputi kerugian / kesakitan atau

konsekuensi yang lain yang biasanya dianggap tidak

menyenangkan. (2). Ada untuk pelanggaran sebenarnya atas

kejahatan. (3). Ada untuk suatu kejahatan yang melanggar hukum

yang resmi. (4). Diberikan secara sengajaoleh masyarakat lain

daripada oleh pelanggar. (5). Dipaksakan dan disengaja oleh

suatu kekuasaan yang dibentuk oleh sistem resmi yang

berlawanan dengan kejahatan)

(h). Alf Ross:

“Punishment is that social response which:

1. occur where there is violation of a legal rule;

2. is imposed and carried out by authorized persons on

behalf of the legal order to which the violated rule

belongs;

3. involves suffering or at least other consequences

normally considered unpleasant;

4. expresses disapproval of the violator”

(Pidana adalah respon sosial : (1). Terjadi dimana ada

pelanggaran hukum (2). Dipaksakan dan dikeluarkan oleh orang

yang berkuasa diatas kepentingan dari perintah resmi; (4).

eliputi penderitaan atau setidak-tidaknya konsekuensi lain yang

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

31

dianggap tidak menyenangkan. (5). Menyatakan ketidaksetujuan

atas pelanggaran)

Berdasarkan beberapa definisi para ahli tersebut, dapat

disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri

sebagai berikut :42

a) Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu

pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-

akibat lain yang tidak menyenangkan;

b) Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau

badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang

berwenang);

c) Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah

melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

C. Asas-asas Pembuatan Undang-Undang

Materi sumber hukum yang menjadi acuan pembentukan

produk hukum di Indonesia adalah Pancasila, UUD 1945,

Yurisprudensi, Hukum Agama, Hukum Adat, dan Hukum

Internasional. Oleh karena itu memahami tentang asas-asas

pembentukan peraturan perundang-undangan akan merujuk

bagaimana cara undang-undang di susun dan bekerja.

42

Ibid, hlm 4.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

32

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian asas

adalah dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir,

berpendapat dan bertindak43. Dari pengertian tersebut, maka asas-

asas pembentuk peraturan perundang-undangan berati dasar atau

sesuatu yang dijadikan tumpuan dalam menyusun peraturan

perundang-undangan. Pandangan kata asas adalah prinisip yang

berarti kebenaran yang menjadi pokok dasar dalam berpikir,

berpendapat dan bertindak.

Dalam menyusun peraturan perundang-undangan penulis

mencoba mengklasifikasikan di dalam dua pokok pembahasan

yaitu pertama, Asas materil; atau prinsip-prinsip substantif; dan

kedua Asas formal; atau prinsip-prinsip teknik pembentukan

peraturan perundang-undangan. Dalam dua kerangka tersebut,

penulis merujuk kepada pendapat Prof. Purnadi Purbacaraka dan

Prof. Soerjono Soekantanto44

, yang mengkompilasi enam asas

dalam menyusun undang- undang:

a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut

(non retroaktif);

43

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

Jakarta, Balai Pustaka, 2002, hlm 70 44

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Peraturan

perundang-undangan dan Yurisprudensi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,

1989, hlm 7-11

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

33

b. peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh

penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan

yang lebih tinggi pula;

c. peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus

menyampingkan peraturan perundang-undangan

yang bersifat umum (lex specialis derogat lex

generalis);

d. peraturan perundang-undangan yang berlaku

belakangan membatal-kan peraturan perundang-

undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori

derogate lex periori);

e. peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu

gugat;

f. peraturan perundang-undangan sebagai sarana untuk

semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan

spiritual dan materil bagi masyarakat maupun

individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas

welvaarstaat).

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

34

Sementara Amiroedin Sjarief, mengajukan lima asas45 :

a. asas tingkatan hirarkhi;

b. peraturan perundang-undangan tidak dapat di ganggu

gugat;

c. peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus

menyampingkan UU yang bersifat umum (lex

specialis derogate lex generalis);

d. peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut;

e. UU yang baru menyampingkan UU yang lama (lex

posteriori derogat lex periori).

Menurut I.C Van der Vlies sebagaimana dikutip oleh

Roseno Harjowidigo (2004) asas- asas formal dan material bagi

pembentukan perundang-undangan adalah sebagai berikut:46

Pertama, Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke

doelstelling); asas ini mencakup tiga hal yaitu mengenai

ketepatan letak peraturan perundang-undangan yang akan

45

Amiroeddin Sjarif, Perundang-undangan: Dasar, Jenis, dan Teknik

Membuatanya,

Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hlm. 78-84. 46

Roseno Harjowidigo, Wetgeving Sleerdi Negeri Belanda dan

Perkembangan Undang-undang saat ini di Indonesia, Badan Pembinaan

Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta

Timur, 2004, hlm. 48.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

35

dibentuk, kerangka kebijakan umum pemerintahan, tujuan khusus

peraturan perundangundangan yang akan dibentuk dan tujuan

bagian-bagian peraturan perundang-undangan yang akan

dibentuk tersebut. Kedua, Asas Organ/Lembaga Yang Tepat

(beginsel van het juiste organ); asas ini memberikan penegasan

tentang perlunya kejelasan kewenangan organ-organ/lembaga-

lembaga yang menetapkan peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan.

Ketiga, Asas Perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids

beginsel); asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif atau

alternatif-alternatif lain untuk menyelesaikan suatu masalah

pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-

undangan. Keempat, Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van

uitvoorbaarheid); asas ini dinilai orang sebagai usaha untuk

dapat ditegakkannya peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan. Sebab tidak ada gunanya suatu peraturan

perundang-undangan yang tidak dapat ditegakkan. Kelima. Asas

konsensus (het beginsel van consensus); asas ini menunjukkan

adanya kesepakatan rakyat dengan pemerintah untuk

melaksanakan kewajiban dan menanggung akibat yang

ditimbulkan oleh peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

36

Masih menurut I.C Van der Vlies sebagaimana dikutip

oleh Roseno Harjowidigo (2004), kebutuhan akan asas-asas

material dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

adalah:

a. Asas tentang terminologi dan sistematika yang benar

(het beginsel van duitdelijke terminologie en

duitdelijke systematiek); asas ini adalah agar

peraturan perundang-undangan dapat dimengerti oleh

masyarakat dan rakyat, baik mengenai kata-katanya

maupun mengenai struktur atau susunannya.

b. Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de

kenbaarheid); asas ini menekankan apabila sebuah

peraturan perundang-undangan tidak dikenali dan

diketahui oleh setiap orang lebih lebih yang

berkepentingan maka ia akan kehilangan tujuannya

sebagai peraturan.

c. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het

rechsgelijkheids beginsel); asas ini menunjukkan

tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang

hanya ditujukan kepada sekelompok orang tertentu,

karena hal ini akan mengakibatkan adanya

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

37

ketidaksamaan dan kesewenangan-wenangan di

depan hukum terhadap anggota-anggota masyarakat.

d. Asas kepastian hukum (het

rechtszekerheidsbeginsel); asas ini merupakan salah

satu sendi asas umum negara berdasarkan atas

hukum.

e. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual

(het beginsel van de individuale rechtsbedeling); asas

ini bermaksud memberikan penyelesaian yang khusus

bagi hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu sehingga

dengan demikian peraturan perundang-undangan

dapat memberikan jalan keluar selain bagi masalah-

masalah umum juga masalah-masalah khusus.47

Pembentukan peraturan perundang–undangan Indonesia

yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang

diberikan oleh cita negara hukum yang tidak lain adalah

Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai bintang

47

Roseno Harjowidigo, Wetgeving Sleerdi Negeri Belanda dan

Perkembangan Undang-undang saat ini di Indonesia, Badan Pembinaan

Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta

Timur, 2004, hlm. 49-50.

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

38

pemandu, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, di mana

sebuah negara menganut paham konstitusi48

.

Lebih lanjut mengenai A. Hamid. S. Attamimi,

mengatakan jika dihubungkan pembagian atas asas formal dan

materil, maka pembagiannya sebagai berikut :

a. Asas–asas formal:

1) asas tujuan yang jelas;

2) asas perlunya pengaturan;

3) asas organ / lembaga yang tepat;

4) asas materi muatan yang tepat;

5) asas dapat dilaksanakan;

6) asas dapat dikenali.

b. Asas–asas materiil:

1) asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma

fundamental Negara;

2) asas sesuai dengan hukum dasar Negara;

48

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu perundang-undangan (dasar-

dasar dan pembentukannya), Yogyakarta, Kanisius, 1998, hlm.197-198.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

39

3) asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan

hukum;

4) asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan

konstitusi49

.

Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di

Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 harus

dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang baik, yang meliputi50

.

1) kejelasan tujuan;

2) kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

3) kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

4) dapat dilaksanakan;

5) kedayagunaan dan kehasilgunaan;

6) kejelasan rumusan; dan

7) keterbukaan.

49

Ibid hlm.197-198. 50

Lihat Pasal 5 Undang Undang Nomor 12 tahun 2011.

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

40

Sedangkan materi muatan Peraturan Perundang-undangan

harus mencerminkan asas 51

:

1) pengayoman;

2) kemanusiaan;

3) kebangsaan;

4) kekeluargaan;

5) kenusantaraan;

6) bhinneka tunggal ika;

7) keadilan;

8) kesamaan kedudukan dalam hukum;

9) pemerintahan;

10) ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

11) keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Menurut Soefyanto, materi muatan perundang-undangan

harus mengandung asas52

:

51

Lihat Pasal 6 ayat (1) Undang Undang Nomor 12 tahun 2011. 52

Soefyanto, Peraturan perundang-undangan (dasar dan teknik

pembuatan), Jakarta, Universitas Islam Jakarta, 2007, hlm. 25-26.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

41

1. asas pengayoman;

2. asas kemanusiaan;

3. asas kebangasaan;

4. asas kekeluargaan;

5. asas kenusantaraan;

6. asas bhineka tunggal ika;

7. asas keadilan;

8. asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan

pemerintahan;

9. asas ketertiban dan kepastian hukum;

10. asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Asas asas pembuatan hukum tersebut secara khusus

penulis merujuk dalam kontek hukum pidana seperti yang

diuraikan oleh Teguh Prasetyo (2011) menegaskan tiga asas

utama, yaitu: asas legalitas, penyertaan dan asas Actus Mens Sit

Rea53

. Sementara di dalam hukum perdata, Soefyanto (2007)

53

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Edisi Revisi, Jakarta, Rajawali

Pers, 2011, hlm., 254-256

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

42

dalam perjanjian antara lain meliputi: asas kesepakatan,

kebebasan berkontrak dan iktikad baik.54

D. Teori Tujuan Hukum Gustav Radbruch

Gustav Radbruch (21 November 1878-23 November

1949) lahir di Lubeck Jerman. Gustav Radbruch adalah profesor

hukum dan professor filsafat di universitas Konigsberg, Kiel dan

Heidleberg. Kehidupan diluar kampus, Radbruch juga merupakan

politisi senior Partai Demokrat Sosialis dan pernah di

Kementerian Hukum Jerman di era Republik Weimar. Setelah di

Jerman dikuasai oleh Nazi, dia dilengserkan dan kemudian aktif

di kampus. Aktivitas inilah yang kemudian mengantarkan Gustav

Radbruch sebagai „Bapak Reformasi Pendidikan Hukum55

‟.

Radbruch mengkombinasikan dua pendekatan sekaligus,

yaitu pendekatan normative dan pedekatan empiris. Oleh sebab

itu Radbruch mengembangkan tiga tujuan hukum56

, pertama,

Kepastian Hukum. Yaitu tuntutan pertama hukum ialah supaya ia

positif, yaitu berlaku pasti. Hukum harus ditaati, supaya hukum

sungguh-sungguh positif. Hukum adalah keseluruhan peraturan

54

Soefyanto, Op cit, hlm. 25-26 55 Achmad Ali, Menguat Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori

Peradilan (judicial Prudence), Termasuk Interpretasi Undang-Undang

(legisprudence), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 181 56

Notohamidjoyo, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum. Salatiga, Griya

Media, 2011, hlm. 33-35

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

43

yang tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa

kelakukan manusia dalam masyarakat Negara dan antar Negara.

Hukum bersifat Sollen-Sein, memperhatikan norma yang harus

diwujudkan dalam kenyataan.

Radbruch mengakui adanya hukum alam yang mengatasi

hukum positif, yaitu 57

:

a. Setiap individu harus diperlakukan menurut keadilan

di depan pengadilan;

b. Pengakuan dan penghormatan terhadap hak hak asasi

manusia yang tidak boleh dilanggar;

Harus ada keseimbangan antara pelanggaran dan

hukuman.

Kedua, Keadilan Hukum. Bagi Radbruch ilmu hukum

adalah pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat atau bersumber

dari manusia maupun dari Tuhan. Ilmu tentang apa yang adil dan

apa yang tidak adil58

. Sebagai pengikut mahzab Neokantianisme,

Radbruch mengembangkan teori keadilan hukum (rechtsidee)

sebagai mahkota dari tata hukum. Hukum merupakan

kulturwissenschaft atau budaya masyarakat. Jadi tujuan hukum

57

Ibid, hlm. 132 58

Ibid. hlm. 183.

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

44

menurut Radbruch adalah merealisasikan nilai-nilai59

. Hukum

bukan „tatanan norma formal dari norma-norma‟ kultur bukan

wilayah „akal murni‟ tetapi „akal praktis‟. Sehingga

kulturwissenschaft adalah nilai-nilai manusia. Pengetahuan, seni,

moralitas, maupun hukum adalah bagian dari kebudayaan dan

masing-masing mengemban nilai-nilai manusiawi60

.

Hukum menurut Radbruch mengemban nilai keadilan

bagi kehidupan konkrit manusia. Ini intrinsik dalam

hukum, karena memang itu salah satu hakikatnya sebagai

salah satu unsur kebudayaan…ilmu bertugas

menghadirkan kebenaran, seni untuk keindahan, tingkah

laku susila untuk moralitas. Jadi masing-masing punya

misi dan tugas sendiri-sendiri dengan sasaran akhir adalah

manusia dengan kebutuhan riilnya61

.

Radbruch juga mengatakan bahwa hukum sebagai

pengemban nilai keadilan, menjadi ukuran bagi adil dan tidaknya

suatu tata hukum. Nilai keadilan juga menjadi dasar dari hukum

sebagai hukum. Ia menjadi landasan moral hukum dan sekaligus

tolok ukur system hukum positif. Tanpa keadilan (rechtsidee)

sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum62

.

59

Bernard L. Tanya dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia

Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010, hlm., 169-

170 60

Ibid 61

ibid 62

Ibid. hlm. 131

Page 45: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

45

Hukum memiliki tiga susunan hukum secara struktural,

yakni (1). Keadilan, Keadilan adalah kesamaan hak di depan

hukum. (2). Kepastian. Kepastian menunjuk pada jaminan bahwa

hukum benar-benar berfungsi sebagai peratutan yang ditaati.

Kepastian merupakan kerangka operasional hukum. (3). Finalitas

yaitu menunjuk pada tujuan keadilan yaitu mewujudkan kebaikan

dalam, hidup manusia.

Ketiga, Daya Guna. Hukum perlu menuju tujuan yang

penuh harga (waardeval). Nilai kebaikan bagi manusia dapat

dihubungkan dengan tiga subyek yaitu individu (individualwerte)

adalah nilai-nilai pribadi yang penting untuk mewujudkan

kepribadian manusia. Daya guna hukum harus mewujudkan

kepribadian manusia yang penuh harga (waardeval). Sementara

Daya Guna hukum juga terkait nilai kolektivitas atau nilai nilai

masyarakat (gemeinschaftswerte), atau nilai yang hanya dapat

diwujudkan dalam masyarakat manusia. Daya guna hukum juga

merupakan nilai-nilai karya kebudayaan, ilmu dan kesenian

(werkwerte).

Yang pertama kali hendak dimajukan kebaikannya adalah

manusia sebagai individu. Jika tujuan hukum adalah kemajuan

Negara maka akan menghasilkan system hukum kolektif, ini akan

terlihat seperti Negara sosialis.

Page 46: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

46

Dalam penjelasan implementasi hukum, bagaimana jika

pertentangan antara keadilan dan kepastian? Radbruch menilai,

kepastian hukum harus dijaga demi keamanan. Namun jika

pertentangan antara tata hukum dan keadilan menjadi begitu

besar, sehingga ia benar benar dirasakan tidak adil, maka demi

keadilan (rechtsidee) tata hukum itu harus dilepaskan63

.

Teori ini (Radsbrucian formula) berusaha untuk

mengatasi dualisme antara sein dan sollen, antara „materi‟ dan

„bentuk‟. Teori ini juga memandang sein dan sollen, „materi‟ dan

„bentuk‟ sebagai dua sisi dari satu mata uang. Radbruch tidak

ingin terjebak dalam dikotomi perdebatan antara „materi‟ dan

„bentuk‟. Sehingga Radbruch berkeyakinan bahwa „materi‟

mengisi „bentuk‟, dan „bentuk melindungi „materi‟. Nilai

keadilan adalah „materi‟ yang harus menjadi isi aturan hukum,

sedangkan aturan hukum adalah „bentuk‟ yang harus melindungi

nilai keadilan.

Pendapat Radbruch ini menurut para ahli dipengaruhi

oleh pengalaman dirinya sebagai warga Jerman yang mengalami

bagaimana Nazi Jerman menggunakan hukum untuk menjadi

pembenar genocida dan peperangan. Kekawatiran kejadian

terhadap tirani hukum untuk kepentingan kolektif (mayoritas)

63

Ibid, hlm. 132

Page 47: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

47

oleh Negara yang diselewengkan oleh Nazi Jerman menjadikan

keyakinan Radbruch bahwa keadilan (rechtsidee) adalah mahkota

tertinggi didalam hukum tanpa bisa ditawar.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

48

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISA PERBANDINGAN

UNDANG-UNDANG NARKOTIKA

UU NO 22 TAHUN 1997 DENGAN UU NO 35 TAHUN 2009

Narkotika merupakan zat atau bahan yang bermanfaat di

suatu bidang pengobatan, pelayanan kesehatan dan

pengembangan ilmu pengetahuan. Tetapi pada sisi lain

menimbulkan kerugian sistematis apabila disalahgunakan oleh

masyarakat tanpa pengendalian dan pengawasan oleh pemerintah.

Pengaturan terhadap penyalahgunaan narkoba telah dilakukan

dengan berbagai cara oleh berbagai Negara termasuk Indonesia

dalam bentuk preemtif maupun represif dengan melibatkan

seluruh elemen penegak hukum dan masyarakat. Termasuk

melihat secara berkala kinerja regulasi terdahulu untuk

menerbitkan regulasi baru yang lebih adaptif dan sesuai dengan

kebutuhan penanggulangan penyalahgunaan narkotika saat ini

dan kedepan.

1. Undang-Undang Narkotika Berkembang, tidak lengkap

dan tidak Selalu Jelas

Secara substansial, perubahan signifikan pada UU Nomor

35 Tahun 2009 sebagai regulasi khusus merupakan

Page 49: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

49

penyempurnaan dan adaptasi perkembangan regulasi Narkotika

dari UU Nomor 22 Tahun 1997. Perkembangan regulasi ini

sejalan dengan kaidah peraturan atau hukum sebagai sebuah

yurisprudensi. Aturan hukum tidak lengkap karena hukum selaku

berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Sebagai

bagian dari budaya dan nilai kehidupan manusia, maka hukum

pada dasarnya telah ada sejak kehidupan manusia. Setiap perilaku

manusia yang berhubungan dengan orang lain dengan sendirinya

adalah perbuatan hukum. Hubungan perilaku ini di bakukan

dalam norma tata aturan hokum tertulis. Upaya hukum positif

adalah untuk membakukan hubungan perilaku ini dalam norma

tata aturan hukum tertulis.

Dengan kaidah tersebut, maka hukum positif selalu

berkembang dan melengkapi seiring dengan perkembangan

kebudayaan manusia. Basis utama hukum adalah menggali dari

dalam masyarakat. Hukum atau peraturan hukum bertujuan untuk

mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kegiatan manusia tidak

terhitung jumlah dan jenisnya, maka tidak heran jika peraturan

hukum tidak lengkap dan tidak selalu jelas. Berdasarkan

pengertian dasar tersebut pada kontek perbandingan asas muatan

materi UU Nomor 5 Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika, menarik untuk dirunut perbandingan antar

keduanya.

Page 50: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

50

2. Narkotika Sebagai Tindak Pidana Khusus

Pada sisi lain pengesahan materi UU Nomor 35 Tahun

2009 menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika menegaskan bahwa narkotika adalah bagian dari

Hukum Tindak Pidana Khusus. Maksudnya adalah tindak pidana

narkotika diatur dalam Undang Undang Pidana yang berada di

luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari

Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil

maupun Hukum Pidana Formil. Hukum tindak pidana khusus

mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu

yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu.

Hukum tindak pidana khusus secara substansi berlaku khusus

kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu di arahkan.

Indikator lain yang digunakan untuk mengukur bahwa

undang-undang tersebut merupakan hukum pidana khusus adalah

pada penyimpangan ancaman pidana yang terdapat dalam

undang-undang pidana umum. Hukum Tindak Pidana Khusus

adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU

pidana tersendiri. Seluruh indikator tersebut terpenuhi dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Artinya semua ketentuan tentang Narkotika ketentuannya diatur

sendiri dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut.

Page 51: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

51

3. Undang-undang Khusus Narkotika No 22 tahun 1997

dan No 35 tahun 2009 Bersifat Dinamis

Sebagai Undang Undang Tindak Pidana Khusus tentang

Narkotika Nomor 22 Tahun 1997 dan Nomor 35 Tahun 2009

bersifat adaptif terhadap perubahan. Ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam undang-undang narkotika dapat dengan mudah

diubah apabila terdapat penyimpangan atau mengatur hal-hal

yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang tersebut

karena perkembangan zaman. Elastisitas undang-undang

Narkotika ini karena Undang-Undang ini hanya mengatur satu hal

yaitu tentang narkotika.

Perubahan undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan

undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat

dilakukan secara elastic sesuai kebutuhan dan kontek kinerja

regulasi. Berbeda dengan undang-undang pidana umum sejenis

KUHP dan KUHAP kurang memiliki elastisitas karena

ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya mengatur banyak

hal.

4. Perbandingan Hukum Materil Dalam Undang-Undang

Narkotika No 22/1997 dengan No 35/2009.

Page 52: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

52

4.1. Kontektualisasi Amar Pertimbangan Hukum

Di sahkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika tanggal 14 September 2009 merupakan

revisi dari UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Di

dalam amar pertimbangannya, pemerintah menilai UU

Nomor 22 Tahun 1997 untuk menjamin masyarakat

Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, meningkatkan

derajat kesehatan sumber daya manusia, urgensi bahaya

narkotika, mengatur tata kelola dan ancaman pidana

terhadap penyalahgunaan narkotika, Pemerintah menilai

UU Nomor 22 Tahun 1997 tidak efektif lagi menanggulangi

situasi dan kondisi tindak pidana narkotika yang semakin

berkembang dan terorganisir. Seperti ditulis didalam

pertimbangan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

pada huruf e yang berbunyi:

e. bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat

transnasional yang dilakukan dengan menggunakan

modus operandi yang tinggi, teknologi canggih,

didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan

sudah banyak menimbulkan korban, terutama di

kalangan generasi muda bangsa yang sangat

membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan

negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang

Page 53: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

53

untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana

tersebut;64

Sementara di dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 huruf e

juga menyampaikan hal yang sama:

e. bahwa kejahatan narkotika telah bersifat

transnasional yang dilakukan dengan menggunakan

modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih,

sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada

sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi

dankondisi yang berkembang untuk menanggulangi

kejahatan tersebut;65

Pertimbangan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009, tidak jauh beda tata bahasanya dengan pertimbangan

yang digunakan untuk merevisi Undang-undang Nomor 9

Tahun 1976 dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997

tentang Narkotika. Hanya pada poin (e) tersebut diatas,

terjadi penggabungan substansi pertimbangan dibandingkan

dengan undang-undang sebelumnya. Kontekstualisasi hukum

dalam amar pertimbangan menjadi landasan pembeda utama

atas perubahan undang-undang.

64 Lihat Menimbang UU No 35/2009 65 Lihat Menimbang UU no 22/1997

Page 54: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

54

Perbedaan yang lainnya adalah di dalam pertimbangan

UU Nomor 35 Tahun 2009, tentang Narkotika pada huruf e

ada tambahan “ didukung oleh jaringan organisasi yang luas,

dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di

kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan

kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara “ . Sedangkan di

dalam pertimbangan UU Nomor 22 Tahun 1997 tidak ada.

4.2. Pengembangan Ketentuan Umum

Didalam UU Nomor 35 Tahun 2009 terdapat uraian

Ketentuan Umum yang menjadi pembeda sekaligus

pelengkap dari UU Nomor 22 Tahun 1997. Penambahan

ketentuan umum dirumuskan sesuai dengan kaidah

penegakan penyalahgunaan narkotika yang berkembang saat

ini adalah:

Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang

dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang

terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada

untuk suatu waktu tertentu dan bertindak bersama

dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana

Narkotika66

.

66 Lihat Ketentuan Umum UU No 35/2009

Page 55: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

55

Penegasan utama dari Ketentuan Umum yang tertera

didalam UU Nomor 35 Tahun 2009 adalah tindak pidana

narkotika sebagai kejahatan yang bisa dilakukan secara

terorganisir dan lintas Negara/transnasional sehingga tindak

pidana narkotika secara tersirat jelas bukan merupakan

sekedar kegiatan kriminal biasa.

4.3. Meningkatkan Golongan Bahan Narkotika dan

Pembatasan Penggunaannya

Di dalam Lampiran Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika67

menegaskan bahwa Indonesia meningkatkan golongan

bahan-bahan yang masuk dalam kategori Narkotika serta

klasifikasi penggunaannya. Pertama, Sesuai dengan UU

Nomor 35 Tahun 2009 ada perluasan golongan bahan-bahan

dalam kategori Narkotika/Psikotropika dibandingkan dengan

UU Nomor 22 Tahun 199768

. Diantaranya dengan

memindahkan Psikotropika Golongan II termasuk sabu-

sabu, ke dalam kategori narkotika Golongan I karena

tingkat bahaya bagi kesehatan manusia.

67 Lihat Lampiran Undang Undang Republik Indonesia Nomor

35 Tahun 2009 68 Lihat Lampiran Undang Undang Republik Indonesia Nomor

22 Tahun 1997

Page 56: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

56

Kedua, dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, Narkotika

Golongan I tidak digunakan untuk pelayanan kesehatan

karena sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Dengan

demikian, ada pelarangan dan sanksi berat secara tegas

terhadap organisasi kriminal/sindikat yang memproduksi,

mengimpor, dan mengedarkan secara melawan hukum

Ekstasi dan Sabu. Jika beratnya melebihi 5 (lima)

gram Narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman

(termasuk heroin dan kokain) maka pelaku dipidana dengan

pidana mati atau pidana penjara lainnya69

.

4.4. Asas-asas Berlakunya Tindak Pidana Narkotika

Asas hukum menurut Paul Scholten dalam

Notohamidjoyo70

adalah suatu tendensi-tendensi yang

disyaratkan kepada hukum oleh faham kesusilaan kita

(tendenzenm welke ons zedelijk oordeel aan het rech stelt).

Demikian juga menurut H.J. Holmes berpendapat bahwa

asas-asas hukum yang konkrit, melainkan perlu dipandang

69 Lihat Bab XV Ketentuan Pidana UU No 35/2009 70 Dr. O. Notohamidjojo, SH. Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum,

Salatiga, Griya Media, 2011 , hlm 23.

Page 57: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

57

sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk (rishtsnoer) bagi

hukum yang berlaku71

Fungsi asas-asas hukum menurut Notohamidjojo72

adalah:

1. Pengundang-undang harus mempergunakan asas-

asas hukum sebagai pedoman bagi kerjanya.

2. Hakim melakukan interpretasi hukum berdasarkan

pada asas asas hukum.

3. Hakim perlu mempergunakan asas-asas hukum,

apabila ia perlu mengadakan analogi.

4. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap

peraturan perundang-undang, apabila undang-

undang, karena tidak dipakai terancam kehilangan

maknanya.

Terkait dengan penjelasan diatas, maka jika melihat

Muatan Materi Undang-undang tentang Narkotika,

diselenggarakan berdasarkan beberapa asas yang diatur

dalam Pasal 3 UU Nomor 35 Tahun 2009 yaitu:

a) keadilan,

b) pengayoman,

c) kemanusiaan,

d) ketertiban,

e) perlindungan,

f) keamanan,

71 Ibid. hlm 23 72 Ibid. hlm 23

Page 58: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

58

g) nilai-nilai ilmiah,

h) kepastian hukum.

Masuknya azas dalam bagian pasal merupakan langkah

maju dalam perbaikan undang-undang Narkotika sesuai UU

Nomor 35 Tahun 2009. Langkah penetapan azas dalam

undang-undang narkotika sejalan dengan ketetapan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sementara, pada UU Nomor 22 Tahun 1997,

penegasan asas-asas yang ditetapkan adalah sesuai dalam

Penjelasan Umum alinea ke 5 yang berbunyi:

Untuk lebih meningkatkan pengendalian dan

pengawasan serta meningkatkan upaya mencegah dan

memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika, diperlukan pengaturan dalam bentuk

undang-undang baru yang berasaskan keimanan dan

ketagwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, manfaat,

keseimbangan, keserasian, dan selarasan dalam

perikehidupan hukum, serta ilmu pengetahuan dan

teknologi. Dan dengan mengingat ketentuan baru

dalam Konvensi Perserikataan Bangsa-Bangsa tentang

Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan

Psikotropika tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 Tentang

Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa

Page 59: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

59

tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan

Psikotropika.

Pada Penjelasan Umum tersebut, dapat disimpulkan

bahwa UU Nomor 22 Tahun 1997 menganut asas :

a) keimanan dan ketagwaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa,

b) manfaat,

c) keseimbangan,

d) keserasian,

e) keselarasan dalam perikehidupan hukum,

f) ilmu pengetahuan dan teknologi

Penegasan penggunaan asas yang berlaku di dalam

materi muatan undang-undang menjadi urgen, apalagi jika

menyangkut dua kaidah hukum yang saling melengkapi

seperti di dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang

Narkotika, dimana proses acara pidana sesuai dengan

Tindak Pidana Umum yang tertera dalam KUHAP.

Sementara pidana merujuk pada UU Nomor 22 Tahun

1997. Sebagai catatan, asas yang dipakai di dalam produk

UU Tindak Pidana Umum sesuai KUHP adalah

diselenggarakan berdasarkan azas: (a) Azas legalitas

(b) Azas teritorial (c) Azas tidak berlaku surut (retro aktif)

Page 60: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

60

(d) Azas nasionalitas yang terdiri dari nasionalitas aktif dan

pasif.

Asas asas yang terkandung dalam Undang Undang

Nomor 22 Tahun 1997 dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Keimanan dan ketagwaan kepada Tuhan Yang Maha

Esa

Asas ini adalah asas menetap (constant) atau asas

yang berlaku tetap dalam semua kaidah berkehidupan.

Asas ini merupakan derajat tertinggi dalam produk

hukum dan undang-undang. Wujud utama dari asas

keimanan dan ketagwaaan kepada Tuhan Yang Maha

Esa adalah tercapainya keadilan hukum dalam

kehidupan manusia.

Merujuk kepada konsep keadilan yang di susun

oleh Gustav Radbruch, maka asas keimananan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, jika dikaitkan dengan konsep

keadilan hukum Gustav Radbruch adalah hukum

sebagai pengetahuan tentang hal-hal yang bersifat atau

Page 61: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

61

bersumber dari manusia maupun dari Tuhan. Ilmu

tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil73

Keimanan dan Ketagwaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa menuntut orang untuk berlaku adil dengan

kepercayaan yang penuh dan transenden kepada Tuhan

Yang Maha Esa. Di dalam Pancasila, jelas posisi

tertinggi dalam sila adalah sila pertama. Ketuhanan

yang Maha Esa. Artinya asas hukum UU Nomor 22

Tahun 1997 dilandaskan pada asas Ketuhananan yang

Maha Esa. Asas pertama dalam berbangsa dan

bernegara. Prinsip utama yang mencerminkan pribadi

yang Bertagwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah

berlaku adil terhadap semua manusia. Konsep Adil

menurut Penjelasan Umum UU Nomor 12 Tahun 2011

Huruf g:

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah

bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-

undangan harus mencerminkan keadilan secara

proporsional bagi setiap warga Negara.

73

Ibid. hlm. 183.

Page 62: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

62

Konsep asas keadilan ini juga di dalam UU Nomor

35 Tahun 2009 sesuai dengan asas keadilan, asas

kemanusiaan, asas pengayoman dan perlindungan bagi

individu masyarakat dan negara. Kontek ketagwaan dan

keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta Keadilan

adalah wujud tertinggi dari asas Materi Muatan

Perundang-undangan.

b. Manfaat.

Asas manfaat adalah asas yang memastikan bahwa

hukum yang ditetapkan atau setiap Materi Muatan

Perundang-undangan memberikan manfaat bagi

kehidupan manusia yang lebih baik dan bermartabat

dalam kontek Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada kaidah yang lain, asas manfaat jika dilihat dari UU

Nomor 12 Tahun 2011 merupakan makna yang dekat

dengan Asas “Kedayagunaan dan Hasilgunaan”.

Menurut Penjelasan Umum UU Nomor 12 Tahun 2011

Huruf e:

Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan

kehasilgunaan “adalah bahwa setiap Peraturan

Perundang-undangan dibuat karena memang

bener-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam

Page 63: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

63

mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara.

Substansi dari asas manfaat di dalam UU Nomor

22 Tahun 1997 terkait dengan asas-asas Asas

Pengayoman, Asas Ketertiban, Asas Perlindungan, Asas

Keamanan dan Kepastian hukum. Meskipun belum

diuraikan secara ekplisit, tetapi kinerja UU Nomor 22

Tahun 1997 diharapakan mampu memberikan kejelasan

pengayoman, ketertiban, perlindungan, keamanan dan

kepastian hukum bagi individu, masyarakat dan Negara.

Termasuk didalammnya adalah bagi korban dan

keluarga korban dan masyarakat umum.

c. Keseimbangan, keserasian, dan selarasan dalam

perikehidupan hukum, serta Ilmu pengetahuan dan

teknologi.

Makna dari asas ini adalah merujuk kepada

Penjelasan Umum UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

Penjelasan Huruf j:

Page 64: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

64

Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan,

keserasian dan keselarasan” adalah bahwa setiap

Materi Muatan Peraturan Perundangundangan

hasur mencerminkan keseimbangan, keserasian,

dan keselarasan, antara kepentingan individu,

masyarakat dan kepentingan bangsa dan Negara.

Penegasan keseimbangan, keserasian dan

keselarasan dalam perikehidupan hukum, serta Ilmu

pengetahuan mencerminkan bahwa UU Nomor 22

Tahun 1997 sesuai dengan herarki hukum. Penjenjangan

setiap jenis peraturan perundang-undangan yang

didasarkan pada asas-asas peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.

Asas tersebut diatas, jika dibandingkan dengan

asas-asas yang tertulis didalam UU Nomor 35 Tahun

2009, maka dikategorikan dalam asas kepastian hukum.

Hukum bekerja untuk ditaati dan untuk itu dibutuhkan

kejelasan hirarki hukum sehingga kinerja hukum bisa di

pertanggungjawabkan.

Sementara penggunaan asas Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi bermakna, UU Nomor 22 Tahun 1997

Page 65: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

65

memberikan ruang pengakuan ilmu pengetahuan dan

teknologi didalam menjalankan materi muatan hukum.

Pengakuan ini penting mengingat UU Nomor 22 Tahun

1997 merupakan Undang Undang Narkotika yang

perkembangannya sangat pesat dan dekat dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi.

Di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, asas Ilmu

Pengetahuan dan Tekonologi ini kategorikan ke dalam

asas Nilai-Nilai Ilmiah. Substansi dari kedua asas dalam

UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun

2009 adalah sama. Perbedaannya adalah pada UU

Nomor 22 Tahun 1997 belum tegas mencantumkan asas

ke dalam pasal ke dalam Materi Muatan Perundang-

undangan, tetapi masuk ke dalam Penjelasan Umum.

Sedangkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tegas

memasukan asas-asas ke dalam Pasal 3.

4.5. Perluasan Tempat Kejadian Perkara

Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal

Narkotika 1961, beserta Protokol Tahun 1972 yang

mengubahnya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara

Page 66: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

66

Republik Indonesia Nomor 3085; serta penerbitan Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United

Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic

Drugs and Psychotropic Substances, 1988 atau Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan

Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988,

sebagaimana tertera dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3673; maka asas

territorial dan kerjasama ektrateritorial dalam kejahatan

Narkotika semakin tegas. Penegasan Narkotika sebagai

extra ordinary crime memungkinkan undang-undang

Narkotika menjangkau wilayah ektrateritorial.

Di dalam Pasal 63 UU Nomor 35 Tahun 2009, upaya

kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional

secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun

internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan

Narkotika dan Prekursor Narkotika di masukan dalam

bagian tugas Negara demi kepentingan nasional.

Kepentingan nasional ini diupayakan pemerintah

terintegrasi dengan kepentingan internasional bagi

perlawanan terhadap kejahatan narkotika pada tingkat

global. Pasal 63 UU Nomor 35 Tahun 2009:

Page 67: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

67

Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan

negara lain dan/atau badan internasional secara

bilateral dan multilateral, baik regional maupun

internasional dalam rangka pembinaan dan

pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika

sesuai dengan kepentingan nasional.

Sedangkan dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 belum

tegas memberikan kewenangan pemerintah secara regional

kawasan maupun internasional untuk menjalin kerjasama

produktif melawan kejahatan Narkotika. Kelemahan UU

Nomor 22 Tahun 1997 adalah secara formil mengikuti

undang-undang tindak pidana umum sesuai KUHP yang

tidak memiliki cakupan ekstra teritorial karena KUHP

hanya berlaku diwilayah Negara Indonesia.

4.6. Pembatasan Penyimpanan, Rehabilitasi dan

Pengobatan Narkotika

Penerbitan UU Nomor 35 Tahun 2009 menegaskan

kepada masyarakat bahwa mereka tidak

diperbolehkan/penyimpanan narkotika untuk jenis dan

golongan apapun. Penyimpanan Narkotika diperbolehkan

pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek,

rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,

dokter dan lembaga ilmu pengetahuan. Sebagaimana diatur

dalam Pasal 4 UU Nomor 35 Tahun 2009:

Page 68: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

68

Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:

a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk

kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan

bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;

c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan

Prekursor Narkotika; dan

d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis

dan sosial bagi Penyalah Guna dan pecandu

Narkotika.

Pada satu sisi, UU Nomor 35 Tahun 2009

memberikan ketegasan bahwa tidak diperkenankan

menyimpan secara personal kecuali pasien rehabilitasi dan

mendapatkan resep dari dokter yang ditunjuk. Sementara

kekawatiran akan sangat menyulitkan pengguna narkotika

yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna

harus mengunjungi tempat-tempat tertentu secara ilegal di

minimalisir dan dinafikan. Semua bentuk rehabilitasi bagi

korban dilakukan oleh Negara dan di control oleh Negara

melalui rehabilitasi medis terpercaya.

Satu sisi ada kekawatiran akan memunculkan black

market Narkoba semakin besar di Indonesia, tetapi

Page 69: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

69

kekawatiran ini bisa dimengerti sebagai bagian dari kritik

atas pelayanan rehabilitasi korban narkoba yang kurang

professional.

Ketentuan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksanan

di sidang pengadilan dalam Pasal 103 UU Nomor 35 Tahun

2009 ditentukan:

(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu

Narkotika dapat:

a. memutus untuk memerintahkan yang

bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau

perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu

Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan

tindak pidana Narkotika; atau

b. menetapkan untuk memerintahkan yang

bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau

perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu

Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah

melakukan tindak pidana Narkotika.

(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan

bagi Pecandu Narkotika sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa

menjalani hukuman.74

74 Pasal 103 UU No. 35/2009

Page 70: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

70

Penegasan rehabilitasi dan pengobatan bagi korban

Penyalah Guna Narkotika dan/atau Pecandu Narkotika

cukup menarik di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009. Kata

“dapat” pada Pasal 103 ayat (1) UU Nomor 35 Tahun 2009

tersebut menempatkan para pengguna narkotika baik yang

bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani

pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Untuk

kepentingan tersebut dalam persidangan, Hakim diberikan

wewenang menghukum pecandu/penyalahguna narkotika

untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabilitasi dan

dapat dijadikan sebagai pengganti hukuman.

Pada sisi lain, UU Nomor 35 Tahun 2009 juga

mengatur mekanisme pelaporan bagi korban yang belum

cukup umur oleh orang tuanya/ wali, untuk mendapat

Rehabilitasi Medis dan Sosial dari negara; dan bagi

Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur, selama 2 (dua)

kali perawatan dokter di Lembaga Rehabilitasi Medis yang

ditunjuk Pemerintah, kesemuanya tidak dituntut pidana,

tetapi diwajibkan menjalani Rehabilitasi Medis dan Sosial.

Pasal 54 “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan

Page 71: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

71

Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial” 75

.

Hal berbeda ditemukan pada UU Nomor 22 Tahun

1997, Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau

membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri

yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti

yang sah. “(2) Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika

kepada … dan (f) pasien.76

Melalui UU Nomor 35 Tahun 2009, kebebasan dan

kehendak sendiri untuk sembuh tidak lagi diberikan oleh

Negara. Para pecandu dan korban mempunyai kewajiban

mengikuti rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang

dikelola oleh negara. Para korban pecandu narkotika

diwajibkan untuk melaporkan diri mereka kepada pusat

kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban

tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan

keluarga sesuai Pasal 54 UU Nomor 35 Tahun 2009. Akan

terbit peraturan menteri yang mengatur tentang rehabiltasi

medis dan sosial yang diselenggarakan oleh instansi

pemerintah ataupun masyarakat.

75 Pasal 55 UU No 35/2009. 76 Pasal 39 UU No 22/1997

Page 72: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

72

4.7. Ketentuan Pidana antara UU No 22 Tahun 1997 dengan

UU No 35 Tahun 2009

Beberapa perbandingan ketentuan pidana yang diatur

di dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor 35

tahun 2009 adalah sebagai berikut:

Matrik 3.1. Perbandingan Substansi Muatan Materi UU No 22/1997

dan UU No 35/2009.

Substansi Muatan Materi

UU No 22 Tahun 1997 UU No 35 Tahun 2009

Jumlah pasal mengandung pidana

Memuat 19 pasal me ngandung pidana dari 96 pasal, atau 19 %.

39 pasal mengandung macam-macam pidana dari 150 pasal, atau 26%.

Ancaman pidana

Terdapat ancaman hukuman mati, hukum penjara, hukuman denda.

Terdapat ancaman hukuman mati, penjara, denda. Ancaman hukuman lebih berat dibanding UU No 22/1997. Penegasan hukum mati bagi pelaku.

Sanksi Tambahan

Sanksi administratif sampai pencabutan izin usaha

Sanksi administratif sampai pencabutan izin usaha dan status badan hokum

Jenis Kesalahan

Unsur ketidakesengajaan tidak berlaku/Culpa

Unsur ketidakesengajaan tidak berlaku/culpa

Ancaman Pemidanaan

Menggunakan pende katan pidana minimal

Menggunakan pendekatan pidana minimal

Sistem kumulatif

Percobaan atau permu fakatan jahat untuk mela kukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sama dengan orang melakukan kejahat an atau pelanggaran ter hadap ketentuan dalam undang-undang

Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sama dengan orang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-undang narkotika ini

Page 73: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

73

Narkotika ini.

Hukuman pidana dan denda

Hukuman pidana dan denda lebih berat dari UU N0 22 1997

Persamaan Hu kuman Terha dap Delik Per cobaan dan Delik Selesai

Menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan.

Menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan.

Ancaman hu kuman orang tua pelaku/ korban dan Masyarakat

Tidak memberikan hukuman kepada orang tua/keluarga.

Memberikan ancaman hukuman pidana 6 bulan kurungan bagi yang tidak melaporkan penyalah gunaan narkotika/psikotropika.

Rehabilitasi Mengenal konsep rehabilitasi oleh Negara dan masyarakat

Mengenal konsep rehabilitasi hanya oleh Negara.

Penegak hukum

Penegak hukum dalam hal ini Penyidik hanya diampu oleh Penyidik Polri

Selain penyidik dari Kepolisian juga ada penyidik dari BNN

Jenis barang yang dilarang

Barang yang dilarang hanya narkotika yang sudah jadi/siap pakai

Barang yang dilarang selain narkotika yang sudah jadi juga prekusornya atau bahan bahannya.

Dari tabel diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Jumlah Pasal Mengandung Pidana

Penerbitan UU Nomor 35 Tahun 2009 dengan tegas

penggunaan pendekatan pidana lebih menonjol

dibandingkan dengan ketentuan pidana dalam UU Nomor

22 Tahun 1997. Pendekatan pidana digunakan sebagai

Page 74: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

74

upaya efek jera dan memberi rasa takut kepada pelaku

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Ketentuan

pidana tercantum pada 39 pasal yang mengandung macam-

macam pidana dari 150 pasal yang ada dalam UU Nomor

35 Tahun 2009, atau 26%. Sementara di dalam UU Nomor

22 Tahun 1997 memuat 19 pasal yang mengandung pasal

pidana dari keseluruhan 96 pasal, atau 19 %. Tampak

pendekatan treatment hukum masih dominan pada Undang-

Undang tersebut.

Meskipun demikian penggunaan pasal mengandung

pidana pada UU 22 Tahun 1997 dan UU 35 Tahun 2009

mencerminkan asas manfaat yang terkait dengan Asas

Pengayoman, Asas Ketertiban, Asas Perlindungan Hukum,

Asas Keamanan dan Kepastian Hukum. Pendekatan Asas

Keamanan dan Kepastian Hukum tampak memunculkan

kekawatiran disatu sisi dari terbitnya UU Nomor 35 Tahun

2009. Ada kekawatiran munculnya kriminalisasi orang,

baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat

dalam undang-undang ini. Apalagi super bodi dengan

kewenangan yang luar biasa seperti Badan Narkotika

Nasional memungkinkan untuk melakukan hal tersebut jika

lemah dalam kontrol.

Page 75: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

75

b. Ancaman Pidana

Dalam undang-undang narkotika Nomor 22 Tahun

1997 maupun UU Nomor 35 Tahun Nomor 2009 terdapat

ancaman hukuman mati, hukum penjara, hukuman denda.

Perbedaan kedua undang-undang tersebut adalah pada berat

ringannya sanksi. Sebagai perhatian utama adalah dalam

UU Nomor 35 Tahun 2009 yang menegaskan hukuman

mati bagi pelaku yang terbukti membawa secara tidak sah

narkotika pada ukuran tertentu.

Pendekatan ancaman pidana mati merujuk secara

langsung pada penggunaan asas keadilan yang merupakan

asas menetap (constant) dari Asas Keimanan dan

Ketagwaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa seperti tertulis

di dalam Asas UU Nomor 22 Tahun 1997. Sementara di

dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, asas tersebut di jabarkan

dalam Asas Keadilan, Asas Kemanusiaan, Asas

Pengayoman dan Perlindungan bagi Individu Masyarakat

dan Negara.

c. Sanksi Tambahan

Pada penyelenggara dan pengelolaan yang ditunjuk,

terdapat sanksi adminisratif seperti teguran, peringatan,

denda adminisratif, penghentian sementara kegiatan dan

Page 76: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

76

pecambutan izin serta hukuman tambahan yang diatur

dalam Pasal 130 ayat (2) UU Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika, berupa: (a) pencabutan izin usaha;

dan/atau (b) pencabutan status badan hukum.

Sesuai UU Nomor 35 Tahun 2009, penggunaan

Asas Kemanusiaan, Asas Pengayoman dan Perlindungan

bagi Individu Masyarakat dan Negara lebih menonjol di

dalam asas muatan materi pasal ini. Meskipun juga

memberikan ruang bagi berjalannya Asas Kepastian

Hukum. Sementara UU Nomor 22 Tahun 1997 di

kategorikan sebagai Asas Keseimbangan, Keserasian dan

Keselarasan dalam Perikehidupan Hukum.

d. Jenis Kesalahan

Secara harfiah, dalam Tindak Pidana narkotika

penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan

hukum” dalam pasal-pasal di Bab XV Ketentuan Pidana

UU Nomor 35 Tahun 2009 dengan tidak memperdulikan

unsur kesengajaan. Artinya siapa saja dapat terkena

ancaman pidana baik melakukan perbuatan penyalahgunaan

narkotikan secara sengaja maupun tidak sengaja. Meskipun

dikenal didalam hukum pidana Asas Tidak Ada Pidana

Tanpa Kesalahan tetapi, delik ini dapat menjerat orang-

Page 77: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

77

orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan

melakukan tindak pidana narkotika. Baik karena adanya

paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuan. Semisal di jebak,

di titipi oleh orang lain tanpa sepengetahuan pembawa atau

karena ketidaktahuan maupun menerima paket dari pos dan

kondisi lainnya. Dalam undang-undang narkotika tidak

mengenal adanya delik culpa atau ketidaksengajaan.

Penanganan kasus penyalahgunaan narkotika yang

kurang efektif salah satunya adalah alibi ketidaksengajaan

pelaku atau berlindung sebagai korban. Oleh karena itu di

dalam UU Nomor 35 Tahun 2009, UU Nomor 22 Tahun

1997 dan KUHP Hukum Pidana Umum dalam KUHP

terdapat delik culpa. Meskipun di dalam KUHP terhadap

orang yang melakukan delik culpa tersebut masih

dipertimbangkan, seperti dalam pasal 359 KUHP.

Penegasan Asas Perlindungan, Asas Ilmu

Pengetahuan atau Asas Nilai-Nilai Ilmiah merupakan

rujukan utama bagi berjalannya keserasian, keselarasan dan

keseimbangan kehidupan individu masyarakat dan Negara.

Asas pada muatan materi pasal ini baik dalam UU Nomor

22 Tahun 1997 maupun UU Nomor 35 Tahun 2009

mengakui bahwa penyalahgunaan narkotika yang terus

berkembang memaksa undang-undang berkembang dan

Page 78: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

78

mengikuti ranah teknologi dan nilai-nilai ilmiah yang terus

berkembang.

e. Ancaman Pemidanaan

Pendekatan UU Nomor 35 Tahun 2009 maupun

UU Nomor 22 Tahun 1997 menetapkan sistem pidana

minimal. Hal ini memunculkan asumsi bahwa UU

tersebut dapat mencegah masyarakat untuk berhubungan

dengan narkotika/psikotropika. Meskipun ada

kekawatiran penggunaan pidana minimal juga akan

menutup kebebasan Hakim dalam menjatuhkan putusan,

walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat

menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal.

Keputusan Hakim tersebut diperbolehkan oleh

Mahkamah Agung.

Pada sisi lain, sistem pemidanaan Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1997 juga tidak memberikan hukuman

kepada orang tua/keluarga pelaku penyalahgunaan

narkotika. Pada Pasal 86 menyebutkan:

(1). Orang tua atau wali pecandu yang belum

cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal

46 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)

Page 79: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

79

bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00

(satu juta rupiah). (2). Pecandu narkotika yang

belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh

orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 46 ayat (1) tidak dituntut pidana.

Pasal 88 juga menyebutkan:

(2). Keluarga pecandu narkotika sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) yang dengan sengaja tidak

melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana

dengan pidana kurungan palinglama 3 (tiga) bulan

atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu

jutarupiah).

Sementara Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

memberikan ancaman hukuman pidana bagi keluarga

yang tidak melaporkan penyalahgunaan

narkotika/psikotropika.

Pasal 134 :

(2) Keluarga dari Pecandu Narkotika sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) yang dengan sengaja tidak

melaporkan Pecandu Narkotika tersebut dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan

atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000,00

(satu juta rupiah).

Sesuai UU Nomor 22 Tahun 1997 dan UU Nomor

35 Tahun 2009, Asas Keadilan dan Keseimbangan jelas

Page 80: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

80

tercermin dari ancaman pemidanaan yang meluas sampai

ke orang tua/keluarga pelaku penyalahgunaan narkotika.

f. Sistem Kumulatif

Percobaan atau permufakatan jahat untuk

melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor

Narkotika sebagaimana diatur dalam undang-undang

narkotika tersebut dengan pidana penjara yang sama

dengan orang melakukan kejahatan atau pelanggaran

terhadap ketentuan dalam undang-undang narkotika ini.

Dalam pasal-pasal di Bab XV Ketentuan Pidana UU

Nomor 35 Tahun 2009 percobaan untuk menyediakan

narkotika golongan 1, dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua

belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling

banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Sebagaimana tertera dalam Pasal 111 UU Nomor 35

Tahun 2009.

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan

hukum menanam, memelihara, memiliki,

menyimpan, menguasai, atau menyediakan

Page 81: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

81

Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)

tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan

paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan

miliar rupiah).

Sedangkan dalam kaidah Hukum Tindak Pidana

Umum dalam KUHP, hukuman terhadap orang yang

melakukan percobaan adalah maksimum hukuman

utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan

dengan sepertiganya, dalam hal percobaan.

Berdasarkan sifat hukuman, sanksi dan hukuman

dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 dan UU Nomor 22

tahun 1997 tentang Narkotika bersifat komulatif.

Maknanya orang yang tertangkap melakukan kejahatan

atau pelanggaran terhadap narkotika akan dihukum

dengan hukuman pidana dan hukuman denda. Jadi

terpidana harus memenuhi vonis hukuman primer dan

vonis hukuman subsider tersebut. Pidana kumulatif ini

menjadi salah satu ciri utama UU Tindak Pidana Khusus

Tentang Narkotika. Perbedaan Hukuman Kumulatif

antar kedua UU narkotika tersebut adalah pada lama

hukuman pidana dan besar denda. Pada UU Nomor 35

Page 82: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

82

Tahun 2009, hukuman yang demikian memberikan efek

jera bagi pelaku.

Efek Jera dalam UU Nomor 22 Tahun 1997 dan

UU Nomor 35 Tahun 2009 merupakan salah satu

manifestasi penerapan Asas Keadilan, Asas Kepastian

Hukum dan Asas Keseimbaangan, Keserasian dan

Keselarasan dalam Perikehidupan Hukum.

g. Persamaan Hukuman Terhadap Delik Percobaan

dan Delik Selesai.

Dalam Undang-undang pidana umum KUHP

terjadi pembedaan vonis hukuman antara suatu tindak

pidana selesai dengan suatu tidak pidana tidak selesai

atau percobaan. Sedangkan UU Nomor 22 Tahun 1997

dan UU Nomor 35 Tahun 2009 menyamakan hukuman

pidana bagi pelaku tindak pidana selesai dengan pelaku

tindak pidana percobaan.

Latar belakang bahwa tindak Pidana Narkotika

adalah suatu kejahatan sistematis karena perbuatan

tersebut memiliki efek yang buruk dan berlanjut di

masyarakat. Oleh karena itu delik percobaan

mensyaratkan suatu tindak pidana tersebut terjadi dan

akibat tindak pidana tersebut selesai.

Page 83: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

83

Sementara pada kasus penyalahgunaan narkotika,

diasumsikan bahwa semua proses kejahatan oleh pelaku

berhenti, tetapi dampaknya masih berlanjut. Meskipun

penting juga dicari cara untuk membedakan pemidanaan

antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak

pidana selesai harus dibedakan untuk menjunjung tinggi

Asas Keadilan, Asas Manfaat dan Asas Keseimbangan

Hukum yang merupakan kekuatan dari UU Nomor 22

Tahun 1997 dan UU Nomor 35 Tahun 2009.

h. Ancaman hukuman bagi orang tua pelaku/

korban dan masyarakat

Di dalam materi pidana UU Nomor 35 Tahun 2009

memberikan ancaman hukuman pidana 6 bulan

kurungan pada UU Nomor 35 Tahun 2009 bagi orang

tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang

menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi.

Dalam Pasal 128 UU Nomor 35 Tahun 2009

menyebutkan:

(1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum

cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam Pasal

55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana

dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)

Page 84: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

84

bulan atau pidana denda paling banyak Rp.

1.000.000,00 (satu juta rupiah).

Meskipun unsur ‟kesengajaan tidak melapor‟

tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut

tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui

bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika.

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi

orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana

narkotika. Sesuai Pasal 131 UU Nomor 35 Tahun 2009:

Setiap orang yang dengan sengaja tidak

melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113,

Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal

118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122,

Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal

127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1

(satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.

50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Maknanya undang-undang Nomor 35 Tahun 2009

juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak

pidana narkotika. Potensi kesulitan justru muncul pada

saat penerapan undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

Page 85: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

85

Biasanya pasal-pasal sejenis ini digunakan untuk pihak-

pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para

pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat

dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan

suatu tindak pidana narkotika. Pada satu sisi, pasal ini

juga menjadi ancaman serius bagi para pihak yang

mendampingi komunitas pecandu narkotika dalam

bentuk yayasan sosial, rehabilitasi yang dikelola oleh

masyarakat maupun individu.

Ketidaksinkronan delik materiil terdapat pada

ketentuan peran serta masyarakat yang diatur pada pasal

104 sampai pasal 108 BAB XIII Tentang Peran

Masyarakat sesuai UU Nomor 35 Tahun 2009 dimana

dalam ketentuan Bab tersebut masyarakat tidak

diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya

penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap

narkotika. Pasal 107 UU Nomor 35 tahun 2009

Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat

yang berwenang atau BNN jika mengetahui

adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Terkait dengan informasi tentang Narkotika,

masyarakat memiliki hak dan tanggungjawab yang

Page 86: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

86

tentunya hak dan tanggung jawab ini dapat digunakan

maupun tidak gunakan tergantung pada keputusan

individu masyarakat.

Tanggung jawab memberantas penyalahgunaan

narkotika merupakan tanggung jawab bersama antara

Negara, individu, keluarga dan masyarakat. Oleh sebab

itu, penggunaan Asas Manfaat dan Asas Keseimbangan,

Keserasian dan Keselarasan dalam Perikehidupan

Hukum menonjol dalam bagian pasal-pasal yang

menjelaskan tentang peran dan tanggung jawab

masyarakat.

i. Rehabilitasi

Di dalam Undang-Undang 22 Tahun 1997 konsep

rehabilitasi bagi korban dan pelaku penyalahgunaan

narkotika adalah oleh Negara dan Masyarakat.

kelemahan mendasar rehabilitasi korban narkotika

adalah ketidakjelasan batasan antara rehabilitasi oleh

Negara maupun rehabilitasi oleh masyarakat. Sementara

di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tanggung jawab rehabilitasi di fokuskan pada tanggung

jawab Negara yang harus mengatur tata kelola peran

Page 87: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

87

masyarakat dalam rehabilitasi bagi korban. Dalam pasal

55 UU Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan:

(1) Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika

yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada

pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau

lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial

yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan

pengobatan dan/atau perawatan melalui

rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Sementara Pasal 57:

Selain melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi

medis, penyembuhan Pecandu Narkotika dapat

diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau

masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan

tradisional.

Pasal 58 juga menyebutkan:

Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika di

selenggarakan baik oleh instansi pemerintah

maupun oleh masyarakat.

Peran rehabilitasi termasuk rehabilitasi sosial

diatur secara ketat atas ijin dari pemerintah, sesuai Pasal

56 UU Nomor 35 Tahun 2009:

(1) Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika

dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh

Menteri. (2) Lembaga rehabilitasi tertentu yang

diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau

Page 88: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

88

masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis

Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan

Menteri.

Rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan

narkotika merupakan manifestasi Asas Keadilan, Asas

Manfaat, Asas Keseimbangan, Keserasian dan

Keselarasan Perikehidupan Hukum. Negara menyadari

bahwa Negara harus kuat untuk menjamin peran

masyarakat dalam proses rehabilitasi korban dalam

bentuk yayasan rehabilitasi korban narkotika, klinik

rehabilitasi maupun kegiatan masyarakat sejenisnya

dengan mengatur dalam tata laksana hukum pada

tingkat operasional lapangan melalui peraturan setingkat

Menteri.

j. Penegak hukum

Perubahan signifikan dalam UU Nomor 35 tahun

2009 di bandingkan denan UU Nomor 22 tahun 1997

adalah dalam hukum formil dalam penanganan

Nrakotika di Indonesia adalah dibentuknya Badan

Narkotika Nasional sebagai Lembaga Pemerintah Non

Kementerian yang merupakan organisasi vertikal dari

pusat sampai ke provinsi dan kabupaten/ kota yang

Page 89: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

89

bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Undang--

Undang Nomor 35 tahun 2009 telah memperkuat bidang

pemberantasan dan penegakan hukum dengan

memberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan

kepada BNN, di samping penyidik dari kepolisian

maupun instansi lain. Ada dua Bab masing-masing Bab

XI dan Bab XII yang mengatur khusus tentang BNN.

Seperti didalam Pasal 64 UU Nomor 35 tahun 2009:

(1) Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang

ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang

selanjutnya disingkat BNN.

(2) BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan lembaga pemerintah nonkementerian

yang berkedudukan di bawah Presiden dan

bertanggung jawab kepada Presiden.

Porsi kewenangan besar bagi BNN diberikan oleh

UU Nomor 35 tahun 2009 untuk mencegah dan

memberantas penyalahgunaan dan peredaran narkotika

dan prekursor narkotika. Selain itu BNN juga dapat

memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas

Page 90: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

90

masyarakat untuk melakukan pencegahan terhadap

penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan

anggota masyarakat. Kewenangan ini menjadikan BNN

menjadi superbodi yang memiliki kekuasaan yang besar

terkait Narkotika di Indonesia. Pasal 70 UU Nomor 35

tahun 2009:

BNN mempunyai tugas:

a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional

mengenai pencegahan dan pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika;

b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan

dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika;

c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia dalam pencegahan dan

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;

d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi

medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika,

baik yang diselenggarakan oleh pemerintah

maupun masyarakat;

e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika;

f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan

kegiatan masyarakat dalam pencegahan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika;

g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral,

baik regional maupun internasional, guna

Page 91: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

91

mencegah dan memberantas peredaran gelap

Narkotika dan Prekursor Narkotika;

h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan

Prekursor Narkotika;

i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan

penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan

peredaran gelap Narkotika dan Prekursor

Narkotika; dan

j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan

tugas dan wewenang.

Selain dari pada itu, BNN diberi kewenangan

untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap

penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor

narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki

penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x

24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah

penyadapan dalam hal melakukan kewenangannya dalam

pemberantasan narkotika. Pasal 71 UU Nomor 35 tahun

2009:

Dalam melaksanakan tugas pemberantasan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang

melakukan penyelidikan dan penyidikan

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika

dan Prekursor Narkotika.

Page 92: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

92

k. Jenis barang yang dilarang

Di dalam UU Nomor 22 tahun 1997 narkotika yang

dilarang hanya jenis narkotika yang telah siap pakai atau

narkotika yang sudah jadi. Sedangkan di dalam UU

Nomor 35 tahun 2009 selain narkotika yang telah siap

pakai atau narkotika yang sudah jadi juga diatur tentang

prekusornya atau bahan bahan pembuat narkotika.

Seperti didalam Pasal 5 UU Nomor 35 tahun 2009:

Pengaturan Narkotika dalam Undang-Undang ini

meliputi segala bentuk kegiatan dan/atau

perbuatan yang berhubungan dengan Narkotika

dan Prekursor Narkotika.

Sementara Pasal 129 UU Nomor 35 tahun 2009

berbunyi :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4

(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)

tahun dan denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) setiap

orang yang tanpa hak atau melawan hukum:

a. memiliki, menyimpan, menguasai, atau

menyediakan

Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau

menyalurkan

Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;

Page 93: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

93

c. menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,

menerima,

menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau

menyerahkan Prekursor Narkotika untuk

pembuatan

Narkotika;

d. membawa, mengirim, mengangkut, atau

mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan

Narkotika.

Page 94: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

94

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa perbandingan muatan materi

antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dengan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dapat

disimpulkan bahwa dibandingkan dengan Undang-undang Nomor

22 Tahun 1997, muatan materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 lebih tegas mengatur tindak pidana khusus tentang

narkotika sesuai kebutuhan perangkat undang-undang untuk

menghadapi perkembangan kondisi nasional dan transnasional,

modus operandi penyalahgunaan narkotika yang semakin tinggi,

praktek tindakan penyalagunaan narkotika dan psikotropika yang

menggunakan teknologi canggih yang semakin berkembang

pesat, dan jaringan organisasi kriminal yang luas lintas Negara.

Ketegasan aturan tindak pidana narkotika dan

psikotropika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

meliputi perluasan Ketentuan Umum, ketegasan Dasar, Asas dan

Tujuan Undang-Undang, Perluasan Ruang Lingkup Golongan

Narkotika, Pengadaan, Impor dan Ekpor yang ketat, Peredaran

hanya oleh Negara, Label dan Publikasi, Prekursor Narkotika,

Pengobatan dan Rehabilitasi oleh Negara, Pembinaan dan

Page 95: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

95

Pengawasan, Pencegahaan dan Pemberantasan oleh badan

khusus, Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang

Pengadilan oleh Badan Khusus dan berita acara pidana khusus,

meningkatkan Peran Serta Masyarakat, pemberian Penghargaan,

serta Ketentuan Pidana yang semakin berat dan akumulatif.

Sedangkan asas asas hokum dalam undang undang Nomor

22 tahun 1997 yang rasio legis munculnya norma dimuat dalam

penjelasan umum alenia 5 sementara undang undang Nomor 35

tahun 2009 asas asas hukumnya dimasukan dalam rumusan

norma norma dalam undang undang tersebut dan di cantumkan

dalam Pasal 3.

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, saran yang

peneliti perlu sampaikan adalah:

1. Bagi penegak hukum seperti Badan Narkotika Nasional dan

Kepolisian Negara Republik Indonesia perlu memahami

tentang perubahan antara UU No. 22 Tahun 1997 dengan UU

No. 35 Tahun 2009, sehingga penegakan Hukum dalam

tindak pidana Narkotika menjadi lebih baik.

2. Bagi Badan Narkotika Nasional dan Kepolisian Negara

Republik Indonesia perlu meningkatkan kerjasama intensif

Page 96: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/8390/2/T2_322011011_BAB I… · manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam bidang pengobatan, kesehatan

96

untuk meningkatkan kinerja hukum (law enforcement)

tentang penyalahgunaan narkotika sebagaimana telah

ditetapkan di dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Narkotika.

3. Bagi masyarakat secara luas, perlu mengembangkan

mekanisme peran serta masyarakat dalam proses pelaksanaan

Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 secara proporsional.

Peran serta secara proporsional akan memberikan dampak

tercapainya asas-asas muatan materi undang undang ini.