bab i pendahuluan a. latar belakang...

26
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut silent killer karena pada umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Selain itu penderita hipertensi umumnya tidak mengalami suatu tanda atau gejala sebelum terjadi komplikasi (Chobanian dkk., 2004). Penderita hipertensi di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 77,9 juta atau 1 dari 3 penduduk pada tahun 2010. Prevalensi hipertensi pada tahun 2030 diperkirakan meningkat sebanyak 7,2% dari estimasi tahun 2010. Data tahun 2007-2010 menunjukkan bahwa sebanyak 81,5% penderita hipertensi menyadari bahwa bahwa mereka menderita hipertensi, 74,9% menerima pengobatan dengan 52,5% pasien yang tekanan darahnya terkontrol (tekanan darah sistolik <140 mmHg dan diastolik <90 mmHg) dan 47,5% pasien yang tekanan darahnya tidak terkontrol. Persentase pria yang menderita hipertensi lebih tinggi dibanding wanita hingga usia 45 tahun dan sejak usia 45-64 tahun persentasenya sama, kemudian mulai dari 64 tahun ke atas, persentase wanita yang menderita hipertensi lebih tinggi dari pria (Go dkk., 2014). Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terbesar penyebab morbiditas dan mortalitas pada penyakit kardiovaskular (Kearney dkk., 2005). Sejak tahun 1999 hingga 2009, angka kematian akibat hipertensi meningkat

Upload: vankhue

Post on 10-Apr-2018

228 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hipertensi merupakan suatu penyakit kronis yang sering disebut silent

killer karena pada umumnya pasien tidak mengetahui bahwa mereka menderita

penyakit hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Selain itu penderita

hipertensi umumnya tidak mengalami suatu tanda atau gejala sebelum terjadi

komplikasi (Chobanian dkk., 2004).

Penderita hipertensi di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 77,9 juta

atau 1 dari 3 penduduk pada tahun 2010. Prevalensi hipertensi pada tahun 2030

diperkirakan meningkat sebanyak 7,2% dari estimasi tahun 2010. Data tahun

2007-2010 menunjukkan bahwa sebanyak 81,5% penderita hipertensi menyadari

bahwa bahwa mereka menderita hipertensi, 74,9% menerima pengobatan dengan

52,5% pasien yang tekanan darahnya terkontrol (tekanan darah sistolik <140

mmHg dan diastolik <90 mmHg) dan 47,5% pasien yang tekanan darahnya tidak

terkontrol. Persentase pria yang menderita hipertensi lebih tinggi dibanding

wanita hingga usia 45 tahun dan sejak usia 45-64 tahun persentasenya sama,

kemudian mulai dari 64 tahun ke atas, persentase wanita yang menderita

hipertensi lebih tinggi dari pria (Go dkk., 2014).

Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terbesar penyebab

morbiditas dan mortalitas pada penyakit kardiovaskular (Kearney dkk., 2005).

Sejak tahun 1999 hingga 2009, angka kematian akibat hipertensi meningkat

2

sebanyak 17,1% (Go dkk., 2014) dengan angka kematian akibat komplikasi

hipertensi mencapai 9,4 juta per tahunnya (WHO, 2013).

Penyakit hipertensi dapat mengakibatkan infark miokard, stroke, gagal

ginjal, dan kematian jika tidak dideteksi secara dini dan ditangani dengan tepat

(James dkk., 2014). Sekitar 69% pasien serangan jantung, 77% pasien stroke, dan

74% pasien congestive heart failure (CHF) menderita hipertensi dengan tekanan

darah >140/90 mmHg (Go dkk., 2014). Hipertensi menyebabkan kematian pada

45% penderita penyakit jantung dan 51% kematian pada penderita penyakit stroke

pada tahun 2008 (WHO, 2013). Selain itu, hipertensi juga menelan biaya yang

tidak sedikit dengan biaya langsung dan tidak langsung yang dihabiskan pada

tahun 2010 sebesar $46,4 milyar (Go dkk., 2014).

Prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5% pada tahun 2013, tetapi

yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan dan/atau riwayat minum obat hanya

sebesar 9,5%. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar kasus hipertensi di

masyarakat belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan (Kemenkes

RI, 2013b). Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011 menyebutkan bahwa

hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit dengan kasus rawat inap

terbanyak di rumah sakit pada tahun 2010, dengan proporsi kasus 42,38% pria dan

57,62% wanita, serta 4,8% pasien meninggal dunia (Kemenkes RI, 2012).

Hipertensi dan penyakit kardiovaskular lainnya pada rumah sakit di

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan penyebab kematian tertinggi (Dinkes

DIY, 2013). Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013 menempatkan D.I Yogyakarta

sebagai urutan ketiga jumlah kasus hipertensi di Indonesia berdasarkan diagnosis

3

dan/atau riwayat minum obat. Hal ini mengalami kenaikan jika dibandingkan dari

hasil riset kesehatan dasar pada tahun 2007, dimana D.I Yogyakarta menempati

urutan kesepuluh dalam jumlah kasus hipertensi berdasarkan diagnosis dan/atau

riwayat minum obat (Kemenkes RI, 2013b).

Seiring dengan peningkatan kasus hipertensi dan komplikasi yang dapat

terjadi jika hipertensi tidak ditangani dengan tepat, maka penggunaan obat yang

rasional pada pasien hipertensi merupakan salah satu elemen penting dalam

tercapainya kualitas kesehatan serta perawatan medis bagi pasien sesuai standar

yang diharapkan. Penggunaan obat secara tidak rasional dapat menyebabkan

timbulnya reaksi obat yang tidak diinginkan, memperparah penyakit, hingga

kematian. Selain itu biaya yang dikeluarkan menjadi sangat tinggi (WHO, 2004).

Pertimbangan di atas tersebut, mendorong peneliti untuk melakukan

penelitian terhadap rasionalitas penggunaan obat antihipertensi pada pasien

hipertensi. Penelitian dilakukan pada pasien rawat inap di Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Yogyakarta dengan pertimbangan bahwa adanya peningkatan

jumlah kasus hipertensi pada tahun 2013 dibanding dengan tahun 2012. Pada

tahun 2013, hipertensi merupakan salah satu dari 10 penyakit penyebab rawat inap

terbesar di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan menempati urutan

ketiga penyebab rawat inap pada penyakit tidak menular. Hal ini berbeda dari

tahun 2012, dimana hipertensi tidak termasuk dalam 10 penyakit penyebab rawat

inap terbesar di rumah sakit tersebut. Pertimbangan lainnya bahwa Rumah Sakit

PKU Muhammadiyah merupakan rumah sakit swasta tipe B (Madya) di

Yogyakarta.

4

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana karakteristik pasien hipertensi rawat inap di Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 berdasarkan usia,

jenis kelamin, riwayat penyakit hipertensi, diagnosis penyakit lain dan penyulit,

serta tingkat tekanan darah?

2. Bagaimana pola penggunaan obat pada pasien hipertensi rawat inap di Rumah

Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2013?

3. Bagaimana rasionalitas penggunaan obat antihipertensi yang meliputi ketepatan

indikasi, obat, pasien, dan dosis pada pasien hipertensi rawat inap di Rumah

Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2013

berdasarkan standar terapi utama JNC 7?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui karakteristik pasien hipertensi rawat inap di Rumah Sakit PKU

Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2013 berdasarkan usia,

jenis kelamin, riwayat penyakit hipertensi, diagnosis penyakit lain dan penyulit,

serta tingkat tekanan darah.

2. Mengetahui pola penggunaan obat pada pasien hipertensi rawat inap di Rumah

Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2013.

3. Mengetahui rasionalitas penggunaan obat antihipertensi yang meliputi

ketepatan indikasi, obat, pasien, dan dosis pada pasien hipertensi rawat inap di

Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember

2013 berdasarkan standar terapi utama JNC 7.

5

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai sumber informasi tentang penggunaan obat antihipertensi pada pasien

hipertensi.

2. Sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan pengobatan rumah

sakit.

3. Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti.

E. Tinjauan Pustaka

1. Definisi dan Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi didefinisikan dengan meningkatnya tekanan darah arteri yang

persisten. Peningkatan tekanan darah sistolik pada umumnya >140 mmHg atau

tekanan darah diastolik >90 mmHg (Depkes RI, 2006) kecuali bila tekanan darah

sistolik ≥210 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥120 mmHg (Setiawati dan

Bustani, 1995).

Klasifikasi tekanan darah oleh Chobanian dkk. (2004) untuk pasien

dewasa (usia ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau

lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis dapat dilihat pada tabel I.

Tabel I. Klasifikasi Hipertensi (Chobanian dkk., 2004)

Klasifikasi tekanan darah Tekanan darah sistolik

(mmHg)

Tekanan darah diastolik

(mmHg)

Normal

Prehipertensi

Hipertensi tingkat 1

Hipertensi tingkat 2

<120

120-139

140-159

≥160

dan <80

atau 80-89

atau 90-99

atau ≥100

Pasien yang menderita hipertensi, kemungkinan besar juga dapat

mengalami krisis hipertensi. Krisis hipertensi merupakan suatu kelainan klinis

6

ditandai dengan tekanan darah yang sangat tinggi yaitu tekanan sistolik >180

mmHg atau tekanan distolik >120 mmHg yang kemungkinan dapat menimbulkan

atau tanda telah terjadi kerusakan organ. Krisis hipertensi meliputi hipertensi

emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi yaitu tekanan darah

meningkat ekstrim disertai kerusakan organ akut yang progresif, sehingga tekanan

darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit-jam) untuk mencegah

kerusakan organ lebih lanjut. Hipertensi urgensi yaitu tingginya tekanan darah

tanpa adanya kerusakan organ yang progresif sehingga tekanan darah diturunkan

dalam waktu beberapa jam hingga hari pada nilai tekanan darah tingkat I (Depkes

RI, 2006).

2. Etiologi Hipertensi

Hipertensi berdasarkan etiologinya dibagi menjadi dua yaitu hipertensi

primer atau esensial dan hipertensi sekunder.

a. Hipertensi primer

Sekitar 95% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial

(primer). Penyebab hipertensi esensial ini masih belum diketahui, tetapi faktor

genetik dan lingkungan diyakini memegang peranan dalam menyebabkan

hipertensi esensial (Weber dkk., 2014). Faktor genetik dapat menyebabkan

kenaikan aktivitas dari sistem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf

simpatik serta sensitivitas garam terhadap tekanan darah. Selain faktor genetik,

faktor lingkungan yang mempengaruhi antara lain yaitu konsumsi garam,

obesitas dan gaya hidup yang tidak sehat (Weber dkk., 2014) serta konsumsi

7

alkohol dan merokok (Mansjoer dkk., 1999).

Penurunan ekskresi natrium pada keadaan tekanan arteri normal

merupakan peristiwa awal dalam hipertensi esensial. Penurunan ekskresi

natrium dapat menyebabkan meningkatnya volume cairan, curah jantung, dan

vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah meningkat. Faktor lingkungan

dapat memodifikasi ekspresi gen pada peningkatan tekanan. Stres, kegemukan,

merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi garam dalam jumlah besar

dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi (Robbins dkk., 2007).

b. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder diderita sekitar 5% pasien hipertensi (Weber

dkk., 2014). Hipertensi sekunder disebabkan oleh adanya penyakit komorbid

atau penggunaan obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah.

Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan

hipertensi atau memperberat hipertensi. Penghentian penggunaan obat tersebut

atau mengobati kondisi komorbid yang menyertainya merupakan tahap pertama

dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes RI, 2006). Beberapa penyebab

hipertensi sekunder dapat dilihat pada tabel II.

Tabel II. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi (Depkes RI, 2006)

Penyakit Obat

Penyakit ginjal kronis

Hiperaldosteronisme primer

Penyakit renovaskular

Sindroma cushing

Phaeochromocytoma

Koarktasi aorta

Penyakit tiroid atau paratiroid

Kortikosteroid, ACTH

Estrogen (biasanya pil KB dengan kadar

estrogen tinggi)

NSAID, cox-2 inhibitor

Fenilpropanolamin dan analog

Siklosforin dan takromilus

Eritropoietin

Sibutramin

Antidepresan (terutama venlafaxine)

8

3. Gejala Klinis Hipertensi

Sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan gejala penyakit. Ada

kesalahan pemikiran yang sering terjadi pada masyarakat bahwa penderita

hipertensi selalu merasakan gejala penyakit. Kenyataannya justru sebagian besar

penderita hipertensi tidak merasakan adanya gejala penyakit. Hipertensi terkadang

menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek, pusing, nyeri dada,

palpitasi, dan epistaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya jika diabaikan, tetapi

bukan merupakan tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi (WHO, 2013).

4. Patofisiologi Hipertensi

Tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan oleh

interaksi berbagai faktor seperti faktor genetik dan lingkungan yang

mempengaruhi dua variabel hemodinamik yaitu curah jantung dan resistensi

perifer total (Robbins dkk., 2007). Curah jantung merupakan faktor yang

menentukan nilai tekanan darah sistolik dan resistensi perifer total menentukan

nilai tekanan darah diastolik. Kenaikan tekanan darah dapat terjadi akibat

kenaikan curah jantung dan/atau kenaikan resistensi perifer total (Saseen dan

Maclaughlin, 2008).

Ginjal memiliki peranan dalam mengendalikan tekanan darah melalui

sistem renin-angiotensin-aldosteron. Mekanisme pengaturan tekanan darah oleh

ginjal dapat dilihat pada gambar 1.

9

Gambar 1. Mekanisme pengaturan tekanan darah oleh ginjal

(Saseen dan Maclaughlin, 2008)

Renin yang dihasilkan oleh sel justaglomerulus ginjal mengubah

angiotensinogen menjadi angiotensin-1, kemudian angiotensin-1 diubah menjadi

angiotensin-2 oleh angiotensin converting enzyme (ACE). Angiotensin-2 dapat

berikatan dengan reseptor angiotensin-2 tipe 1 (AT1) atau reseptor angiotensin-2

tipe 2 (AT2). Stimulasi reseptor AT1 dapat meningkatkan tekanan darah melalui

efek pressor dan volume darah (Saseen dan Maclaughlin, 2008).

Efek pressor angiotensin-2 meliputi vasokonstriksi, stimulasi pelepasan

katekolamin dari medula adrenal, dan meningkatkan aktivitas sistem saraf

simpatik (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Selain itu, angiotensin-2 menstimulasi

sintetis aldosteron dari korteks adrenal yang menyebabkan retensi natrium dan air.

Retensi natrium dan air ini mengakibatkan kenaikan volume darah, kenaikan

resistensi perifer total, dan akhirnya kenaikan tekanan darah (Saseen dan

Maclaughlin, 2008; Saseen, 2009).

10

Tekanan darah juga diregulasi oleh sistem saraf adrenergik yang dapat

menyebabkan terjadinya kontraksi dan relaksasi pembuluh darah. Stimulasi

reseptor α-2 pada sistem saraf simpatik menyebabkan penurunan kerja saraf

simpatik yang dapat menurunkan tekanan darah. Stimulasi reseptor α-1 pada

perifer menyebabkan terjadinya vasokonstriksi yang dapat meningkatkan tekanan

darah. Stimulasi reseptor β-1 pada jantung menyebabkan kenaikan denyut jantung

dan kontraktilitas, sedangkan stimulasi reseptor β-2 pada arteri dan vena

menyebabkan terjadinya vasodilatasi (Saseen dan Maclaughlin, 2008; Saseen,

2009).

5. Komplikasi Hipertensi

Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endotel

arteri dan mempercepat aterosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk

rusaknya organ tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah

besar. Hipertensi adalah faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular

(stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard,

angina), gagal ginjal, demensia, dan atrial fibrilasi. Apabila penderita hipertensi

memiliki faktor-faktor resiko penyakit kardiovaskular, maka terdapat peningkatan

mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskular tersebut. Pasien dengan

hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner,

stroke, penyakit arteri perifer, dan gagal jantung (Dosh, 2001).

11

6. Terapi Hipertensi

Tujuan utama terapi hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan

morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi serta berkaitan dengan kerusakan

organ target (seperti kardiovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal). Target

tekanan darah adalah <140/90 mmHg untuk hipertensi tanpa komplikasi dan

<130/80 mmHg untuk pasien diabetes melitus dan gagal ginjal kronis (Chobanian

dkk., 2004). Terapi hipertensi meliputi :

a. Terapi non farmakologis

Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya melakukan

modifikasi gaya hidup seperti menurunkan berat badan jika kelebihan berat

badan dengan menjaganya pada kisar body mass index (BMI) yaitu 18,5-24,9;

mengadopsi pola makan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH)

yang kaya dengan buah, sayur, dan produk susu rendah lemak; mengurangi

konsumsi garam yaitu tidak lebih dari 100 meq/L; melakukan aktivitas fisik

dengan teratur seperti jalan kaki 30 menit/hari; serta membatasi konsumsi

alkohol tidak lebih dari 2 kali/hari pada pria dan 1 kali/hari pada wanita

(Chobanian dkk., 2004). Selain itu, pasien juga disarankan untuk

menghentikan kebiasaan merokok (Weber dkk., 2014). Modifikasi pola hidup

dapat menurunkan tekanan darah, menambah efikasi obat antihipertensi, dan

mengurangi resiko komplikasi penyakit kardiovaskular (Chobanian dkk.,

2004).

12

b. Terapi farmakologis

Pemilihan obat pada penatalaksanaan hipertensi tergantung pada

tingkat tekanan darah dan keberadaan penyakit penyulit. Obat-obat

antihipertensi seperti diuretik, beta blocker (BB), angiotensin converting

enzyme inhibitor (ACEI), angiotensin receptor blocker (ARB), dan calcium

channel blocker (CCB) merupakan agen primer yang dapat mengurangi

morbiditas dan mortalitas. Obat-obat antihipertensi seperti α-1 blocker, α-2

agonis central, dan vasodilator merupakan alternatif yang digunakan penderita

setelah mendapatkan obat pilihan pertama (Chobanian dkk., 2004).

Jenis obat yang sering digunakan dalam terapi hipertensi :

i. Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI)

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) menghambat

secara langsung angiotensin converting enzyme (ACE) dan menghalangi

konversi angiotensin-1 menjadi angiotensin-2. Aksi ini mengurangi

angiotensin-2 yang dapat menimbulkan vasokonstriksi dan sekresi

aldosteron. Adanya jalur lain yang menghasilkan angiotensin-2

mengakibatkan ACEI tidak menghalangi secara penuh produksi

angiotensin-2 sehingga ACEI tidak menyebabkan efek pada metabolisme.

Bradikinin terakumulasi pada sebagian pasien karena penghambatan ACE

mencegah kerusakan dan inaktivasi bradikinin. Bradikinin dapat

mengakibatkan vasodilatasi dengan mengeluarkan nitro oksida, tetapi

bradikinin juga dapat menimbulkan terjadinya batuk. Contoh obat

golongan ACEI adalah kaptopril, enalapril, dan lisinopril (Saseen, 2009).

13

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) harus dihindari

pada pasien dengan arteri stenosis ginjal karena beresiko menimbulkan

gagal ginjal akut. Selain itu, ACEI juga dikontraindikasikan pada pasien

angioedema dan wanita hamil (Barranger dkk., 2006; BPOM RI, 2008;

WHO, 2009). Efek samping ACEI yang paling sering yaitu batuk kering,

ruam, dan pusing. Hiperkalemia dapat terjadi pada pasien dengan penyakit

ginjal atau diabetes (Barranger dkk., 2006).

ii. Angiotensin receptor blocker (ARB)

Angiotensin-2 dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim

yaitu RAAS (renin angiotensin aldosterone system) yang melibatkan ACE

dan jalur alternatif yang menggunakan enzim kimase (Carter dkk., 2003).

Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) hanya menghambat efek

angiotensin yang dihasilkan melalui RAAS, sedangkan ARB menghambat

angiotensin-2 dari semua jalur. Angiotensin receptor blocker (ARB)

menghambat secara langsung reseptor angiotensin-2 tipe 1 (AT1) yang

memediasi efek angiotensin-2 yaitu vasokonstriksi, pelepasan aldosteron,

aktivasi saraf simpatik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi

arteriol eferen dari glomerulus. Angiotensin receptor blocker (ARB) tidak

memblok reseptor angiotensin-2 tipe 2 (AT2). Hal ini menyebabkan efek

yang menguntungkan dari stimulasi AT2 seperti vasodilatasi, perbaikan

jaringan, dan penghambatan pertumbuhan sel tetap utuh dengan

penggunaan ARB (Depkes RI, 2006). Contoh ARB yaitu valsartan,

kandesartan, irbesartan, dan losartan (Chobanian dkk., 2004).

14

Penggunaan ARB biasanya dapat ditoleransi dengan baik, karena

tidak menyebabkan batuk dan jarang menyebabkan angioedema (Weber

dkk., 2014). Angiotensin receptor blocker (ARB) harus digunakan secara

hati-hati pada pasien dengan kerusakan hati dan ginjal serta

dikontraindikasikan pada kehamilan. Efek samping ARB meliputi pusing,

kelelahan, diare, rasa sakit, dan infeksi (Barranger dkk., 2006).

iii. Diuretik

Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan

mengosongkan simpanan natrium dalam tubuh. Diuretik menurunkan

tekanan darah dengan mengurangi volume darah dan curah jantung, tetapi

setelah 6-8 minggu maka curah jantung kembali normal sedangkan

resistensi vaskular menurun. Natrium diperkirakan berperan dalam

resistensi vaskular dengan meningkatkan kekakuan pembuluh darah dan

reaktivasi saraf. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan peningkatan

pertukaran natrium-kalsium yang menghasilkan suatu peningkatan kalsium

intraselular (Benowitz, 2009).

Empat subkelas diuretik yang digunakan untuk mengobati

hipertensi yaitu tiazid, loop, agen penahan kalium, dan antagonis

aldosteron. Diuretik terutama golongan tiazid merupakan lini pertama

pada pasien hipertensi. Diuretik penahan kalium memiliki efek yang lemah

bila digunakan sendiri tetapi memberikan efek aditif bila dikombinasi

dengan golongan tiazid atau loop. Antagonis aldosteron memiliki efek

yang lebih poten dengan mula kerja yang lambat (Depkes RI, 2006).

15

Contoh diuretik tiazid yaitu hidroklorotiazid, klortalidon, dan indapamid.

Diuretik loop yaitu bumetanid, torsemid, dan furosemid. Diuretik penahan

kalium yaitu amilorid dan triamteren. Antagonis aldosteron yaitu

eplerenon dan spironolakton (Chobanian dkk., 2004).

Diuretik khususnya diuretik tiazid dikontraindikasikan pada

hipersensitivitas terhadap tiazid atau sulfonilurea, anuria, kehamilan,

hiponatremia, hiperurisemia simptomatik, gout, hipokalemia yang

persisten, hiperkalsemia, penyakit Addison, gangguan hati berat, dan

gangguan ginjal berat (kreatinin klirens <30 ml/menit) sedangkan

golongan diuretik loop yaitu furosemid dikontraindikasikan pada

hipersensitivitas terhadap diuretik loop atau sulfonilurea, gout, anuria, dan

pasien koma hepatik akibat sirosis (NFKDOQI, 2004; Lacy dkk., 2006;

BPOM RI, 2008; WHO, 2009). Diuretik penahan kalium dapat

menyebabkan hiperkalemia, terutama pada pasien dengan penyakit ginjal

kronis atau diabetes dan pada pasien yang menggunakan ACEI, ARB,

NSAID, atau suplemen kalium. Antagonis aldosteron dapat menimbulkan

hiperkalemia (Depkes RI, 2006).

iv. Beta blocker (penyekat beta)

Reseptor beta terdiri dari reseptor beta-1 dan reseptor beta-2.

Reseptor beta-1 yang terdapat di jantung dan ginjal berfungsi dalam

mengatur denyut jantung, pelepasan renin, dan kontraktilitas jantung.

Reseptor beta-2 yang terdapat di paru-paru, hati, pankreas, dan otot polos

arteri berfungsi dalam mengatur bronkodilatasi dan vasodilatasi. Penyekat

16

beta menurunkan tekanan darah dengan mengurangi curah jantung dan

mengurangi pelepasan renin dari ginjal (Barranger dkk., 2006; Weber

dkk., 2014).

Penyekat beta yang berikatan dengan reseptor beta-1 bersifat

kardioselektif karena tidak menghambat reseptor beta-2 dan tidak

menstimulasi bronkokonstriksi. Obat-obat yang termasuk dalam penyekat

beta-1 seperti metoprolol, betaksolol, atenolol, asebutolol, dan bisoprolol

lebih aman pada pasien asma, penyakit paru-paru obstruksi kronis, dan

penyakit vaskular. Pada dosis tinggi, penyekat beta selektif kehilangan

kardioselektifitasnya (Barranger dkk., 2006). Beberapa penyekat beta

mempunyai aktivitas simpatomimetik intrinsik (ISA). Asebutolol,

karteolol, penbutolol, dan pindolol adalah penyekat beta ISA yang bekerja

secara agonis pada beta reseptor parsial (Depkes RI, 2006). Penyekat beta

ISA dapat menstimulasi reseptor beta tetapi dengan aksi yang lebih lemah

dari agonis beta sebenarnya. Jika diberikan pada pasien dengan denyut

jantung yang lemah, maka penyekat beta ISA dapat meningkatkan denyut

jantung. Hal yang sebaliknya terjadi pada pasien dalam keadaan istirahat

atau melakukan aktivitas yang dapat menyebabkan takikardi, dimana pada

pasien-pasien ini penyekat beta ISA dapat menurunkan denyut jantung

karena adanya dominasi sifat penyekat beta (Saseen, 2009).

Penyekat beta harus dihindari pada pasien dengan

hipersensitivitas terhadap BB, hipotensi, kehamilan, bradikardi, blok AV

derajat 2 dan 3, edema paru-paru, syok kardiogenik, serta gagal jantung

17

dekompensasi kecuali pada penggunaan karvedilol, metoprolol extended

release, dan bisoprolol (NFKDOQI, 2004; Barranger dkk., 2006; Lacy

dkk., 2006). Efek samping paling sering dari penyekat beta adalah

kelelahan, mengantuk, pusing, bronkospasme, mual, dan muntah

(Barranger dkk., 2006).

v. Calcium channel blocker (CCB)

Calcium channel blocker (CCB) menurunkan tekanan darah

dengan menghambat aliran ion kalsium melalui kanal L pada sel otot polos

arteri. Ada dua jenis CCB yaitu dihidropiridin seperti amlodipin dan

nifedipin yang bekerja mendilatasi arteri, serta nondihidropiridin seperti

dilitiazem dan verapamil yang bekerja mendilatasi arteri dengan efek yang

lebih lemah dari dihidropiridin, tetapi memiliki efek mengurangi denyut

jantung dan kontraktilitas. Generasi pertama CCB seperti verapamil dan

dilitiazem dapat mempercepat progresifitas congestive heart failure pada

pasien dengan kelainan fungsi jantung. Penggunaan CCB generasi pertama

harus dihindari kecuali untuk terapi pada pasien angina, hipertensi, atau

aritmia (Barranger dkk., 2006; Weber dkk., 2014). Dilitiazem dan

verapamil harus dihindari pada pasien dengan blok AV derajat 2 dan 3,

gagal jantung kongesif karena disfungsi sitolik, hipotensi, bradikardi, dan

arterial fibrilasi (NFKDOQI, 2004; Barranger dkk., 2006; BPOM RI,

2008; WHO, 2009). Nifedipin aksi pendek harus dihindari pada pasien

hipertensi atau hipertensi emergensi karena menyebabkan tekanan darah

diastolik tidak teratur dan takikardi (Barranger dkk., 2006).

18

Efek samping utama CCB yaitu menyebabkan edema perifer

yang biasa terjadi pada dosis tinggi. Efek samping ini dapat dikurangi

dengan mengkombinasikan CCB bersama ACEI atau ARB. Calcium

channel blocker (CCB) dihidropiridin menunjukkan efek yang

menguntungkan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dan stroke.

Calcium channel blocker (CCB) nondihidropiridin tidak

direkomendasikan pada pasien gagal jantung, tetapi lebih dipilih pada

pasien dengan detak jantung yang cepat dan untuk mengontrol detak

jantung pada pasien atrial fibrillation yang tidak dapat mentoleransi

penyekat beta. Calcium channel blocker (CCB) nondihidropiridin juga

dapat mengurangi proteinuria. Calcium channel blocker (CCB) memiliki

efek menurunkan tekanan darah yang besar ketika dikombinasi dengan

ACEI atau ARB (Weber dkk., 2014).

vi. Penyekat alfa-1

Penyekat alfa-1 bekerja pada pembuluh darah perifer dan

menghambat pengambilan katekolamin pada sel otot halus, menyebabkan

vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah (ALLHAT, 2003) tanpa

menyebabkan penurunan curah jantung dan takikardi (Cross, 2006).

Contoh penyekat alfa-1 yaitu prazosin, doksazosin, dan terazosin

(Chobanian dkk., 2004).

Penyekat alfa-1 harus dihindari pada pasien dengan penyakit

kardiovaskular karena dapat meningkatkan resiko kematian (Barranger

dkk., 2006). Efek samping yang tidak disukai dari penyekat alfa-1 adalah

19

fenomena dosis pertama yang ditandai dengan pusing sementara atau

pingsan, palpitasi, dan sinkop 1-3 jam setelah dosis pertama. Hipotensi

ortostatik dan pusing dapat berlanjut dengan pemberian terus menerus.

Penggunaannya harus hati-hati pada pasien lanjut usia. Penyekat alfa

melewati hambatan otak-darah dan dapat menyebabkan efek samping pada

sistem saraf pusat seperti kehilangan tenaga, letih, dan depresi (Depkes RI,

2006).

vii. Agonis alfa-2 sentral

Klonidin dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama

dengan merangsang reseptor alfa-2 adrenergik di otak. Perangsangan ini

menurunkan aliran simpatik dari pusat vasomotor di otak, curah jantung,

dan tahanan perifer (Barranger dkk., 2006). Penggunaan agonis alfa-2

sentral secara kronis menyebabkan retensi natrium dan air, terutama pada

penggunaan metildopa. Klonidin dosis rendah dapat digunakan untuk

mengobati hipertensi tanpa penambahan diuretik. Metildopa harus

diberikan bersama diuretik untuk mencegah timbulnya efek antihipertensi

yang terjadi dengan penggunaan jangka panjang, kecuali pada kehamilan

(Depkes RI, 2006).

Penghentian penggunaan agonis alfa-2 sentral secara tiba-tiba

dapat menyebabkan rebound hypertension. Efek ini diduga disebabkan

oleh meningkatnya pelepasan norepinefrin. Metildopa dapat menyebabkan

hepatitis atau anemia hemolitik, tetapi efek ini jarang terjadi. Metildopa

harus dihentikan segera apabila terjadi kenaikan serum transaminase atau

20

alkalin fosfatase liver yang menetap (Oparil dkk., 2003).

viii. Vasodilator arteri langsung

Efek antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan

oleh relaksasi langsung otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan

vasodilasi ke pembuluh darah vena. Kedua obat juga menyebabkan

penurunan tekanan perfusi kuat yang mengaktifkan refleks baroreseptor.

Pengaktifan baroreseptor menyebabkan meningkatnya aliran simpatik,

sehingga meningkatkan denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan

renin (Depkes RI, 2006). Vasodilator arteri langsung dapat menyebabkan

retensi cairan dan takikardia sehingga penggunaannya harus dikombinasi

dengan diuretik dan penyekat beta atau obat lainnya (klonidin, dilitiazem,

atau verapamil) yang dapat mengurangi denyut jantung (Barranger dkk.,

2006).

Hidralazin dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit

arteri koroner dan mitral valvular rhemautic heart disease. Minoksidil

dikontraindikasikan pada pasien dengan pheochromocytoma, acute

myocardial infraction, dan dissecting aortic aneurysm. Efek samping dari

hidralazin yaitu terjadinya sindrom seperti lupus (dosis >300mg/hari),

dermatitis, demam, dan neuropati perifer. Minoksidil dapat menyebabkan

hirsutism (Barranger dkk., 2006).

21

Obat antihipertensi oral yang biasa digunakan menurut Chobanian dkk.

(2004) dicantumkan pada tabel III.

Tabel III. Obat antihipertensi oral (Chobanian dkk., 2004)

Golongan obat

antihipertensi Jenis obat

Kisar dosis lazim

(mg/hari)

Frekuensi

harian lazim

ACEI

Benazepril 10-40 1

Kaptopril 25-100 2

Enalapril 5-40 1-2

Fosinopril 10-40 1

Lisinopril 10-40 1

Moeksipril 7,5-30 1

Perindopril 4-8 1

Quinapril 10-80 1

Ramipril 2,5-20 1

Trandopril 1-4 1

ARB

Kandesartan 8-32 1

Eprosartan 400-800 1-2

Irbesartan 150-300 1

Losartan 25-100 1-2

Olmesartan 20-40 1

Telmisartan 20-80 1

Valsartan 80-320 1-2

Diuretik tiazid Klorotiazid 125-500 1-2

Klortalidon 12,5-25 1

Hidroklorotiazid 12,5-50 1

Politiazid 2-4 1

Indapamid 1,25-2,5 1

Metolazon 0,5-5 1

Diuretik loop Bumetanid 0,5-2 2

Furosemid 20-80 2

Torsemid 2,5-10 1

Diuretik penahan kalium Amilorid 5-10 1-2

Triamteren 50-100 1-2

Antagonis reseptor

aldosteron

Eplerenon 50-100 1

Sprinolokton 25-50 1

BB Atenolol 25-100 1

Betaksolol 5-20 1

Bisoprolol 2,5-10 1

Metoprolol 50-100 1-2

22

Tabel III. Lanjutan… Golongan obat

antihipertensi Jenis obat

Kisar dosis lazim

(mg/hari)

Frekuensi

harian lazim

BB Metoprolol extended

release 50-100 1

Nadolol 40-120 1

Propranolol 40-160 2

Propranolol long-

acting 60-180 1

Timolol 20-40 2

BB dengan intrinsic

symphatomimetic activity

Asebutolol 200-800 2

Penbutolol 10-40 1

Pindolol 10-40 2

Kombinasi penyekat alfa

dan beta Karvedilol 12,5-50 2

Labetolol 200-800 2

CCB dihidropiridin Amlodipin 2,5-10 1

Felodipin 2,5-20 1

Isradipin 2,5-10 2

Nikardipin sustained

release 60-120 2

Nifedipin long acting 30-60 1

Nisoldipin 10-40 1

CCB nondihidropiridin Dilitiazem extended

release 180-420, 120-540 1

Verapamil immediate

release 80-320 2

Verapamil long acting 120-480 1-2

Verapamil 120-360 1

Penyekat alfa-1 Doksazosin 1-16 1

Prazosin 2-20 2-3

Terazosin 1-20 1-2

Agonis alfa-2 dan obat aksi

sentral lainnya

Klonidin 0,1-0,8 2

Klonidin patch 0,1-0,3 1 kali/minggu

Metildopa 250-1000 2

Reserpin 0,1-0,25 1

Guanfasin 0,5-2 1

Vasodilatator arteri Hidralazin 25-100 2

Minoksidil 2,5-80 1-2

Ket. ACEI : angiotensin converting enzyme, ARB : angiotensin receptor blocker, CCB :

calcium channel blocker, BB : beta blocker

23

Algoritma terapi hipertensi dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Algoritma terapi hipertensi (Chobanian dkk., 2004)

The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention,

Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7)

menyatakan obat antihipertensi pada kebanyakan pasien hipertensi sebaiknya

Modifikasi gaya

hidup

Tekanan darah belum sesuai target

(<140/90 mmHg) (<130/80 mmHg

untuk diabetes atau penyakit ginjal

kronis)

Pilihan obat

Tanpa penyakit penyulit

Hipertensi tingkat I

(SBP 140-159 mmHg

atau DBP 90-99

mmHg)

Sebagian besar diuretik

tiazid, dapat

dipertimbangkan

ACEI, ARB, BB, CCB

atau kombinasi

Hipertensi tingkat II

(SBP ≥160 mmHg atau

DBP ≥100 mmHg)

Sebagian besar

kombinasi dua obat

(biasanya diuretik

tiazid dan ACEI atau

ARB atau BB atau

CCB)

Obat-obatan untuk

penyakit penyulit (lihat

tabel IV)

Obat antihipertensi lain

(diuretik, ACEI, ARB,

BB, CCB) sesuai

kebutuhan

Tekanan darah tidak sesuai target

Dengan penyakit penyulit

Optimalkan dosis atau berikan

tambahan obat hingga target

tekanan darah tercapai.

24

adalah diuretik tiazid. Rekomendasi ini terutama untuk pasien yang tanpa indikasi

penyulit dengan hipertensi tingkat I, tetapi tidak menutup kemungkinan digunakan

pula obat antihipertensi lain seperti beta blocker, ACEI, ARB, CCB, atau

kombinasi. Pasien dengan hipertensi tingkat II sebaiknya memulai terapi dengan

kombinasi dua obat antihipertensi dari golongan yang berbeda (Chobanian dkk.,

2004).

Penyakit penyulit pada hipertensi meliputi gagal jantung, pasca infark

miokard, resiko penyakit koroner yang tinggi, diabetes, penyakit ginjal kronis, dan

pencegahan stroke. Penatalaksanaan hipertensi untuk pasien dengan indikasi

penyakit penyulit membutuhkan pertimbangan khusus. Berdasarkan JNC 7,

adanya indikasi penyulit membutuhkan obat-obat antihipertensi tertentu sebagai

lini pertama. Kelas obat yang direkomendasikan merupakan hasil pertimbangan

dari berbagai uji klinis tentang penggunaan kelas obat tertentu pada hipertensi

dengan penyakit penyulit (Chobanian dkk., 2004). Pemilihan terapi hipertensi

dengan penyakit penyulit dapat dilihat pada tabel IV.

Tabel IV. Pemilihan terapi hipertensi dengan penyakit penyulit (Chobanian dkk., 2004)

Penyakit penyulit Rekomendasi obat

Diuretik BB ACEI ARB CCB ALDO ANT

Gagal jantung

Pasca infark miokard

Resiko penyakit koroner tinggi

Diabetes

Penyakit ginjal kronis

Pencegahan stroke

Ket. ACEI : angiotensin converting enzyme, ARB : angiotensin receptor blocker, CCB :

calcium channel blocker, BB : beta blocker, ALDO ANT : aldosterone antagonist

25

7. Rasionalitas Penggunaan Obat Antihipertensi

Penggunaan obat yang irasional merupakan salah satu masalah dunia.

World Health Organization (WHO) memperkirakan terdapat lebih dari 50%

penggunaan obat yang tidak tepat dalam peresepan, penyiapan, dan penjualannya.

Sekitar 50% lainnya juga tidak digunakan secara tepat oleh pasien (WHO, 2002).

Penggunaan obat secara irasional dapat menyebabkan timbulnya reaksi obat yang

tidak diinginkan, resistensi obat, memperparah penyakit, hingga kematian. Selain

itu biaya yang dikeluarkan menjadi sangat tinggi (WHO, 2004).

Penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien mendapatkan obat yang

sesuai dengan kebutuhan klinis, sesuai dosis, dan durasi pemberian, serta biaya

yang dikeluarkan untuk obat tersebut terbilang rendah bagi pasien dan

komunitasnya. Obat yang tepat harus efektif, berkualitas, dan aman (WHO, 1987).

Kriteria penggunaan obat yang rasional dikenal dengan asas empat tepat satu

waspada, yakni tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien, tepat dosis, dan waspada

terhadap efek samping obat (Imono, 2003).

Tepat indikasi berarti obat yang akan digunakan didasarkan pada

diagnosis penyakit yang akurat dan bahwa terapi dengan obat merupakan terapi

yang aman dan efektif. Tepat obat berarti pemilihan obat didasarkan pada

pertimbangan nisbah keamanan dan kemanjuran yang terbaik di antara obat yang

ada. Tepat pasien berarti tidak ada kontraindikasi atau kondisi khusus yang

mempermudah timbulnya efek samping serta terapi obat dapat diterima oleh

pasien. Tepat dosis berarti takaran, jalur, saat, lama pemberian sesuai dengan

kondisi pasien. Waspada terhadap efek samping obat berarti melaksanakan

26

tindakan pengawasan terhadap efek samping utama obat secara tepat (Imono,

2003).

F. Keterangan Empiris

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik pasien hipertensi,

pola pengobatan, dan rasionalitas penggunaan obat antihipertensi yang meliputi

ketepatan indikasi, ketepatan obat, ketepatan pasien, dan ketepatan dosis pada

pasien hipertensi rawat inap di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta

periode Januari-Desember 2013.