bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit degeneratif sejak beberapa dasawarsa silam telah menjadi
segmentasi permasalahan tersendiri bagi tiap negara di seluruh dunia (Handajani
dkk., 2007). Hingga saat ini penyakit degeneratif telah menjadi penyebab
kematian terbesar di dunia. Hampir 17 juta orang meninggal lebih awal setiap
tahun akibat epidemi global penyakit degeneratif (WHO, 2011). Indonesia
menanggung beban ganda penyakit di bidang kesehatan, yaitu penyakit infeksi
yang masih merajalela dan penyakit-penyakit degeneratif (Handajani dkk., 2007).
Di Indonesia, transisi epidemiologi menyebabkan terjadinya pergeseran pola
penyakit, di mana penyakit degeneratif sudah terjadi peningkatan.
Penyebab terjadinya penyakit degeneratif adalah pola hidup yang tidak sehat
seperti kebiasaan merokok, minum alkohol, pola makan, aktivitas fisik yang
kurang, stres, dan pencemaran lingkungan. Pola hidup tidak sehat dapat
menimbulkan senyawa radikal bebas yang bersifat reaktif terhadap sel dan
jaringan tubuh. Diperkirakan sekitar 10.000-20.000 senyawa radikal bebas
menyerang sel tubuh setiap hari (Valko dkk., 2004). Senyawa radikal bebas yang
menyerang sel tubuh dapat memperantai berbagai kerusakan di dalam tubuh
(Aseervatham dkk., 2013) dan mempercepat proses penuaan (Getoff, 2007).
Penyakit degeneratif yang banyak prevalensinya yaitu penyakit
kardiovaskuler, kanker, penyakit paru obstruksi kronik, dan diabetes (Hunter dan
1
2
Reddy, 2013). Menurut WHO, penyakit kardiovaskuler mempunyai prevalensi
kasus kematian paling tinggi di dunia (Santulli, 2013). Pada tahun 2010, The
Global Burden of Disease menyatakan sebanyak 29,6 % kasus kematian di dunia
dikarenakan oleh penyakit kardiovaskuler, sekitar dua kali jumlah kasus kematian
akibat kanker (Nichols dkk., 2014). Insiden penyakit kanker secara global
diprediksi akan meningkat dari 12,8 juta kasus baru pada tahun 2008 menjadi
22,2 juta pada tahun 2030 (American Association for Cancer Research, 2013). Di
Indonesia, diperkirakan setiap tahun terdapat penderita baru dari setiap seratus
ribu penduduk dan penyakit kanker menduduki peringkat ketiga penyebab
kematian setelah penyakit jantung dan paru (Nugroho dkk., 2000). Penyakit
kanker membutuhkan waktu terapi lama dan biaya yang mahal (Soeksmanto dkk.,
2007).
Konsumsi buah-buahan, sayur, dan makanan dari tumbuhan yang kaya nutrisi
dapat mengurangi risiko penyakit yang terkait dengan senyawa radikal bebas
(Carlsen dkk., 2010), misalnya penyakit kardiovaskuler dan kanker (Genkinger
dkk., 2004). Kandungan senyawa bioaktif alami dapat mencegah kerusakan sel
dan deoxyribonucleic acid (DNA) yang disebabkan oleh radikal bebas dan
oksigen reaktif, dapat meningkatkan aktivitas enzim yang dapat mendetoksifikasi
toksin dan karsinogen, memacu sintesis kolesterol dan metabolisme hormon,
mereduksi agregasi platelet, menurunkan tekanan darah, stimulasi sistem imun,
anti bakteri, dan antivirus (Lampe, 1999). Bukti kuat efek proteksi risiko kanker
dari konsumsi sayur dan buah didapatkan dari case-control studies. Studi
menyatakan sayur yang mentah dan segar menunjukkan proteksi yang konsisten
3
pada selada, dedaunan hijau, bawang putih, tomat, dan buah jeruk, dengan sekitar
70% studi melaporkan adanya efek proteksi (La Vecchia dkk., 2001).
Kemampuan senyawa bioaktif yang terdapat dalam buah dan sayuran dalam
mencegah penyakit degeneratif merupakan peluang dalam mengembangkan
potensinya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat (Nugraheni, 2011).
Buah jambu biji merah mengandung senyawa antioksidan vitamin C,
karotenoid, dan flavonoid (Rai dkk., 2009). Senyawa-senyawa tersebut dapat
mencegah timbulnya penyakit-penyakit degeneratif. Buah jambu biji merah
diharapkan dapat digunakan sebagai agen anti penyakit degeneratif.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana profil kromatografi lapis tipis ekstrak etanolik buah jambu biji
merah?
2. Apakah ekstrak etanolik buah jambu biji merah mampu memberikan aktivitas
antioksidan dengan metode penangkapan radikal bebas DPPH dan reducing
power assay?
3. Apakah ekstrak etanolik buah jambu biji merah mampu memberikan aktivitas
sitoprotektif pada sel Vero secara in vitro?
4
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui profil kromatografi lapis tipis ekstrak etanolik buah jambu biji
merah.
2. Mengetahui aktivitas antioksidan ekstrak etanolik buah jambu biji merah
dengan metode penangkapan radikal bebas DPPH dan reducing power assay.
3. Mengetahui aktivitas sitoprotektif ekstrak etanolik buah jambu biji merah
pada sel Vero secara in vitro.
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan sumbangan dalam upaya pencegahan penyakit degeneratif.
2. Memberikan informasi tentang manfaat buah jambu biji merah dalam
melindungi sel-sel tubuh dari radikal bebas.
3. Memberikan suatu ide dan inspirasi bagi penelitian selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka
1. Penyakit degeneratif
Penyakit degeneratif merupakan penyakit tidak menular (non-communicable
disease) yang berlangsung secara kronis. Beberapa teori yang menunjukkan
proses awal terjadinya penyakit degeneratif di dalam tubuh manusia, yaitu: (1)
adanya hubungan antara transisi demografi, epidemiologi, dan kesehatan, (2)
perubahan metabolisme tubuh yang ditandai penurunan produksi hormon
5
testosteron untuk laki-laki dan estrogen untuk perempuan yang mulai tampak pada
usia 65 tahun ke atas, (3) pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi ke
penyakit non-infeksi (degeneratif) akibat adanya pergeseran baik pola makan
maupun pola hidup, dan (4) kelebihan gizi yang mengakibatkan tingginya
prevalensi penyakit degeneratif sudah dirasakan negara-negara berkembang
termasuk Indonesia (Handajani dkk., 2007).
Faktor resiko penyakit degeneratif dapat berasal dari diri sendiri maupun
lingkungan sekitar. Beberapa faktor risiko penyakit degeneratif menurut WHO
(2009), yaitu: (1) kurangnya aktivitas fisik seperti berolahraga, (2) merokok, (3)
konsumsi alkohol, dan (4) pola makan yang tidak sehat, seperti makan makanan
berlemak secara berlebih serta kurang konsumsi sayur dan buah. Faktor dari
lingkungan seperti polusi dan radiasi juga dapat mempengaruhi timbulnya
penyakit degeneratif.
Penyakit degeneratif berkaitan erat dengan proses penuaan (Ames dkk.,
1993). Proses penuaan dapat berupa penurunan fungsi sistem dalam tubuh.
Penurunan fungsi tersebut dikarenakan beberapa faktor seperti penurunan jumlah
sel dan komponen jaringan. Contoh penyakit ini adalah berbagai penyakit
neurodegeneratif, penyakit kardiovaskular, degenerasi makula pada retina mata,
osteoporosis, dan sarkopenia. Proses penuaan dapat menimbulkan risiko
terjadinya abnormalitas pada sel seperti sel hiperplastik yang dapat berujung pada
kanker (Campisi dkk., 2011). Penyakit degeneratif ini salah satunya disebabkan
karena antioksidan yang ada di dalam tubuh tidak mampu menetralisir
6
peningkatan konsentrasi radikal bebas (Floyd, 1999). Beberapa contoh penyakit
degeneratif, yaitu:
a. Penyakit kardiovaskuler. Senyawa radikal bebas dapat menyebabkan peru-
bahan permeabilitas membran, kerusakan membran lipid bilayer,
mengganggu fungsi berbagai protein seluler apoptosis sel kardiovaskuler,
aritmia, disfungsi denyut jantung, dan infark miokard. Radikal bebas pada
sistem kardiovaskular bersumber dari enzim xanthine oxidoreductase (XOR),
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase (kompleks
membran multi subunit), nitric oxide synthetase (NOS), dan sitokrom pada
mitokondria. Penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas antara lain:
atherosklerosis, jantung iskemik, hipertensi, kardiomiopati, hipertrofi jantung,
dan gagal jantung kongestif (Valko dkk., 2007).
b. Kanker. Radikal bebas dapat menyerang dan mengoksidasi DNA sel tubuh,
menyebabkan terjadinya mutasi DNA, misalnya mutasi pada p53 yang
digunakan untuk proses apoptosis. Radikal bebas dapat mengganggu proses
signaling sel menyebabkan ketidaknormalan sel di dalam tubuh. Sel kanker
dapat dicirikan oleh adanya ketidaknormalan dari fungsi reseptor tyrosine
kinase, perbedaan level growth factor spesifik, proses transduksi sinyal ke
nukleus, jumlah protein transkripsi dan gen yang terlibat dalam cel cycle dan
pengaturan replikasi DNA (Valko dkk., 2007). Proses fagositosis
menghasilkan radikal bebas untuk mem-bunuh sel asing. Radikal bebas yang
dihasilkan dapat berperan dalam proses pembentukkan tumor. Proses infeksi
7
dan inflamasi yang menghasilkan radikal bebas menyumbang 1 dari 4 kasus
kanker yang terdiagnosis (Sainz dkk., 2012).
c. Alzheimer. Penumpukan peptida ß-amiloid berkaitan dengan penyakit
Alzheimer. Adanya peptida ß-amiloid yang diinisiasi oleh radikal bebas dapat
menyebabkan terjadinya proses oksidasi protein sel, peroksidasi lipid,
pembentukkan radikal bebas baru, dan disfungsi seluler berujung pada
penumpukan ion kalsium (Ca2+
) serta dapat berujung pada kematian sel saraf
(Varadarajan dkk., 2000).
2. Radikal bebas
Radikal bebas adalah molekul yang pada orbit terluarnya mempunyai satu
atau lebih elektron tidak berpasangan (Chen dkk., 1996). Elektron tidak ber-
pasangan pada radikal bebas bersifat tidak stabil dan reaktif (Valko dkk., 2007).
Radikal bebas dapat bersumber dari dalam tubuh (endogen) yang dihasilkan oleh
proses respirasi aerobik sel mitokondria, fagositosis sel asing, sel peroksisom, dan
enzim sitokrom P450 (Ames dkk., 1993). Radikal bebas dapat berupa reactive
oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS) (Valko dkk., 2007).
a. Reactive oxygen species (ROS). Oksigen yang sangat esensial bagi
kehidupan, ternyata mempunyai peranan dalam kematian sel dan jaringan.
Oksigen dalam bentuk molekul (dioksigen) mempunyai konfigurasi elektron
yang unik dan bersifat radikal. Penambahan satu elektron pada molekul
dioksigen dapat membentuk radikal anion superoksida (Valko dkk., 2004).
Radikal anion superoksida dihasilkan dari proses metabolisme aerobik atau
8
dari radiasi fisik terhadap molekul dioksigen. Superoksida yang dihasilkan
disebut sebagai ROS primer. Senyawa ROS primer yang bersifat reaktif akan
berinteraksi dengan senyawa lain membentuk ROS sekunder (Valko dkk.,
2007).
Di dalam tubuh, radikal bebas sebagian besar dihasilkan oleh
mitokondria melalui proses respirasi aerobik, dimana terjadi proses reduksi
oksigen menjadi air. Pada proses respirasi aerobik terbentuk senyawa
intermediet ROS seperti anion superoksida (Birben dkk., 2012), hidrogen
peroksida, dan hidroksi radikal (Wickens, 2001). Senyawa H2O2 bersifat
relatif permeabel terhadap membran sel, kurang reaktif dan merupakan
radikal lemah dengan waktu paruh yang lama (Ryter dkk., 2007). Dengan
adanya katalis logam seperti Fe, tingkat ketoksikan H2O2 terhadap sel
menjadi lebih tinggi karena diubah menjadi molekul yang lebih reaktif (Mates
dkk., 1999) melalui reaksi Fenton:
H2O2 + Fe2+
Fe3+
+ •OH +
‒OH (1)
b. Reactive nitrogen species (RNS). Senyawa NO. dihasilkan oleh nitric oxide
synthetases (NOSs). Enzim NOSs dapat mengubah L-arginin menjadi L-
sitrulin (Sugamura dan Keany, 2011). NO. berperan sebagai molekul sinyal
dalam berbagai proses fisiologis, seperti neurotransmiter, pengaturan tekanan
darah, mekanisme pertahanan tubuh, relaksasi otot polos, dan regulasi sistem
imun. Waktu paruh senyawa NO. hanya beberapa detik pada media air.
Senyawa NO. lebih stabil pada lingkungan dengan konsentrasi oksigen
9
rendah. Senyawa NO. mudah larut baik dalam air dan lemak, sehingga mudah
berdifusi melalui membran sitoplasma (Valko dkk., 2007).
Senyawa NO. dapat mengalami derivatisasi membentuk senyawa radikal
yang lebih reaktif. Bentuk derivatisasi dari senyawa NO. seperti peroksi nitrit
dapat mengoksidasi senyawa lain yang memberikan kontribusi pada kematian
sel. Produksi RNS berlebih disebut sebagai keadaan stres nitrosatif (Brown
dan Borutaite, 2001).
Selain dari dalam tubuh (endogen), radikal bebas juga dapat bersumber dari
luar tubuh (eksogen). Radikal bebas eksogen berasal dari menghirup asap rokok,
paparan ozon, hiperoksia, radiasi sinar pengion, dan ion logam berat (Birben dkk.,
2012).
Spesies radikal bebas dapat menimbulkan beberapa akibat seperti proses
adaptasi dengan meningkatkan sistem pertahanan antioksidan serta menimbulkan
kerusakan jaringan misalnya kerusakan DNA, lipid, dan protein.
a. Kerusakan DNA. Senyawa radikal dapat merusak basa DNA, memecah rantai
DNA, kesalahan penyandian gen dan dapat mengakibatkan terjadinya
mutagenesis. Radikal bebas seperti •OH dan H
• dapat bereaksi dengan basa
DNA dan atom hidrogen senyawa gula yang terikat pada basa DNA. Atom
C4-C5 basa pirimidin sangat sensitif terhadap serangan radikal bebas. Reaksi
oksidasi basa pirimidin oleh radikal bebas menghasilkan senyawa seperti
timin glikol, residu urea, 5-hidroksideoksiuridin, dan 5-hidroksideoksisitidin.
Reaksi oksidasi basa purin oleh radikal bebas dapat menghasilkan senyawa
seperti 8-hidroksideoksiguanosin (8-OhdG), 8-hidroksideoksiadenisin, dan
10
formamidopirimidin. Senyawa 8-OhdG berhubungan dengan proses karsino-
genesis dan digunakan sebagai marker adanya oksidasi DNA (Nisha dan
Deshwal, 2011). Fragmentasi DNA oleh radikal bebas menyebabkan aktivasi
enzim poli ADP-ribosa sintetase yang berfungsi dalam sistem repair DNA.
Adanya kerusakan yang parah pada DNA membuat sel tidak dapat berfungsi
secara normal dan mati (Sarma dkk., 2010).
b. Peroksidasi membran lipid. Senyawa radikal bebas seperti ROS dan RNS
dapat mengoksidasi membran sel yang terdiri atas fosfolipid. Senyawa
fosfolipid mengandung asam lemak tak jenuh yang peka terhadap serangan
radikal bebas. Proses oksidasi lipid terdiri dari (1) inisiasi, yaitu pembentukan
radikal asam lemak tak jenuh oleh senyawa radikal bebas, (2) propagasi,
radikal asam lemak tak jenuh bereaksi baik dengan oksigen maupun asam
lemak lain membentuk peroksida lipid, dan (3) terminasi, pembentukan asam
lemak non-radikal akibat adanya dua radikal asam lemak yang bereaksi
(Schafer dkk., 2000). Adanya kerusakan membran lipid dapat menyebabkan
fluiditas dan permeabilitas membran terganggu. Kerusakan membran lipid
juga menyebabkan terganggunya fungsi protein yang terikat pada membran
seperti enzim dan reseptor (Sarma dkk., 2010).
c. Kerusakan protein. Senyawa radikal bebas dapat menyerang protein,
membuat protein mengalami fragmentasi, cross-linking dan modifikasi
molekul protein. Reaksi antara protein dan radikal bebas dapat membentuk
protein hidroperoksida yang bersifat reaktif dan dapat menginisiasi
pembentukkan radikal bebas baru (Devasagayam dkk., 2004). Kerusakan
11
pada protein dapat mengganggu fungsi enzimatik dan mengganggu proses
signaling yang diperantarai oleh reseptor protein (Sarma dkk., 2010).
Pengaruh senyawa radikal pada protein kolagen dan elastin menyebabkan
fragmentasi protein kolagen dan elastin, menyebabkan kulit menjadi keriput
dan kasar (Kammeyer dan Luiten, 2015).
Senyawa radikal bebas lebih lanjut dapat menimbulkan kematian sel baik secara
apoptosis maupun secara nekrosis (Halliwell, 2001).
3. Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas
maupun aksinya (Sies, 1996 cit Sharma, 2014). Menurut Halliwell (2001),
antioksidan merupakan senyawa dengan konsentrasi yang lebih rendah daripada
zat teroksidasi, yang dapat menunda atau mencegah proses oksidasi zat
teroksidasi. Efek antioksidan senyawa dari tanaman terdiri dari dua mekanisme
baik secara langsung yakni dengan (1) penangkapan radikal bebas, maupun tidak
langsung yakni (2) induksi enzim yang berperan sebagai antioksidan, dan (3)
memberikan perlindungan terhadap proses komunikasi antar sel (Yoo dkk., 2008).
Radikal berupa elektron dapat ditangkap oleh senyawa antioksidan. Terdapat tiga
macam antioksidan, yaitu: (1) antioksidan primer yang berfungsi dalam
penangkapan radikal bebas secara langsung, (2) antioksidan sekunder yang
menghambat pembentukan radikal bebas, dan (3) antioksidan tersier yang dapat
memperbaiki molekul teroksidasi lewat asupan makanan yang mengandung
antioksidan (Gutteridge dan Halliwell, 1994 cit Noori, 2012).
12
Terdapat bermacam-macam bentuk pertahanan pada suatu organisme untuk
melindungi diri dari senyawa oksidan reaktif dan dari dampak yang ditimbulkan.
Diantaranya dengan beberapa macam enzim seperti superoxide dismutase (SOD),
ascorbate peroxidase (APX), catalase (CAT), glutathione peroxidase (GPX) dan
enzim ascorbate-glutahione (AsA-GSH) cycle seperti ascorbate peroxidase
(APX), monodehydroascorbate reductase (MDHAR), dehydroascorbate
reductase (DHAR), and glutathione reductase (GR) (Noctor dan Foyer, 1998).
SOD merupakan enzim yang terdapat dalam sitoplasma dan mitokondria sel, yang
melakukan dismutasi terhadap senyawa superoksida. Terdapat tiga bentuk enzim
SOD, yaitu: SOD ekstraseluler (EC SOD), SOD tembaga/seng intraseluler (Cu/Zn
SOD), dan SOD mangan (Mn SOD) (Mates dkk., 1999). SOD merupakan
pertahanan pertama melawan oksidan reaktif dengan cara mengubah senyawa
oksidan reaktif menjadi H2O2. Senyawa H2O2 kemudian diubah oleh enzim CAT,
APX dan GPX menjadi H2O (Sharma, 2012). Reaksi penetralan radikal bebas
oleh enzim terdapat pada persamaan (2), (3), dan (4) (Kulbacka dkk., 2003 dalam
El-Missiry, 2012).
SOD
O2 •-
+ O2 •-
+ 2H+
H2O2 + O2 (2)
CAT
2H2O2 2H2O + O2 (3)
GPX
H2O2 + 2GSH 2H2O + GSSG (4)
Bentuk pertahanan diri terhadap oksidan reaktif secara non-enzimatik terdiri
atas senyawa yang memiliki aktivitas menangkap radikal bebas seperti vitamin E,
vitamin C, glutathione (GSH), β-karoten (Fisher, 2010), flavonoid, senyawa
13
polifenol, kurkumin dari kunyit dan kafein dari teh atau kopi (Krimmel dkk.,
2010). Senyawa flavonoid yang penting misalnya katekin, kuersetin dan
kaempferol (Rice-Evans dkk., 1996). Tubuh tidak dapat memproduksi senyawa-
senyawa tersebut sehingga perlu adanya asupan nutrisi yang mengandung
senyawa tersebut (Sarma dkk., 2010).
Senyawa antioksidan yang ideal harus memiliki persyaratan seperti efektif
pada konsentrasi rendah, cukup larut dalam produk yang teroksidasi, tidak toksik,
tidak iritan saat disimpan pada jangka waktu lama, harus tidak berbau, dan tidak
mempunyai rasa. Produk hasil dekomposisi antioksidan harus tidak toksik dan
tidak iritan, stabil pada range pH yang luas, netral dan tidak bereaksi dengan
senyawa kimia lain (Sarma dkk., 2010).
Antioksidan yang terdapat di dalam tubuh terkadang tidak dapat menetralisir
secara optimal senyawa oksidan reaktif yang kemudian akan memunculkan
berbagai penyakit degeneratif (Chen dkk., 1996). Senyawa antioksidan dari luar
seperti vitamin C, vitamin E, dan karotenoid perlu ditambahkan guna membantu
menetralisir oksidan reaktif (Ames dkk., 1993). Uji penentuan kapasitas
antioksidan dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti dengan metode
DPPH, lipid peroksidase, nitrit oksida dengan reagen Griess, FRAP ( Ferric
Reducing Ability of Plasma) dan reducing power assay.
4. Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu senyawa antioksidan yang banyak terdapat
dalam tanaman. Flavonoid dapat berbentuk bebas dan dapat terikat dengan
14
senyawa karbohidrat sederhana, seperti glukosa dan rhamnosa. Flavonoid yang
terikat dengan karbohidrat sederhana disebut dengan flavonoid glikosida.
Senyawa flavonoid glikosida terdiri dari dua bagian, yaitu bagian senyawa
flavonoid sendiri (aglikon) dan senyawa karbohidarat sederhana (glikon). Dua
bagian tersebut dihubungkan oleh suatu jembatan glikosidik. Nama flavonoid
berasal dari bahasa Latin flavous yang berarti warna kuning. Struktur flavonoid
terdiri atas kerangka utama C6—C3—C6 dengan cincin piran pada cincin
aromatik C3 disebut sebagai benzopiran.
Gambar 1. Kerangka dasar flavonoid (Oroian dan Escrische, 2015)
Flavonoid memiliki beberapa bentuk, yaitu flavon, flavonon, flavonol,
isoflavon, dan antosianidin (Kar, 2007). Flavonoid memiliki kemampuan untuk
meningkatkan kesehatan melalui kapasitas antioksidan yang tinggi. Aktivitas
biologi dan farmakologi kuersetin dihasilkan dari aktivitas antioksidan yang
dimiliki (Majewska dkk., 2011). Flavonoid memiliki beberapa aktivitas penting
seperti sebagai antioksidan, agen hepatoprotektif, anti bakteri, anti-inflamasi,
antikanker, dan antiviral (Kumar dan Panday, 2013). Flavonoid memiliki bentuk
radikal yang cukup stabil dan kurang reaktif setelah bereaksi dengan radikal
bebas. Stabilisasi bentuk radikal flavonoid terjadi akibat proses konjugasi elektron
pada molekul flavonoid (Han dkk., 2012) dan membentuk struktur kuinon (Amic
15
dkk., 2007). Gugus yang berperan penting pada penangkapan radikal bebas adalah
gugus hidroksi pada cincin B. Semakin banyak gugus hidroksi pada cincin B,
semakin besar pula kapasitas penangkapan radikal bebas yang dimiliki. Minimal
harus terdapat dua gugus hidroksi pada cincin B untuk menghasilkan aktivitas
antioksidan yang baik (Majewska dkk., 2011).
5. Buah jambu biji merah (Psidium guajava L.)
Klasifikasi tanaman jambu biji merah adalah sebagai berikut (Anonim, 2012) :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Rosidae
Ordo : Myrtales
Famili : Myrtaceae
Genus : Psidium
Spesies : Psidium guajava L.
Buah jambu biji merah selain digunakan sebagai asupan makanan, juga
digunakan dalam pengobatan tradisional. Studi etnofarmakologi terbaru
menunjukkan bahwa buah jambu biji merah digunakan untuk treatment beberapa
penyakit seperti sebagai anti-inflamasi, diabetes, hipertensi, karies, luka jaringan,
meredakan nyeri dan menurunkan panas demam (Gutierrez dkk., 2008).
16
Buah jambu biji merah dikenal memiliki banyak kandungan vitamin dan
mineral yang tinggi. Buah jambu biji merah memiliki kandungan vitamin C
empat kali lebih banyak daripada buah jeruk. Buah jambu biji merah dikenal
sebagai “superfruit” dikarenakan kandungan antioksidan yang tinggi (Hassimotto
dkk., 2005). Buah jambu biji merah banyak mengandung senyawa tanin, fenol,
triterpenoid, flavonoid, minyak atsiri, saponin, karotenoid, lektin, vitamin, serat
dan asam lemak (Vyas dkk., 2010).
6. Kromatografi lapis tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan senyawa dalam
campuran, digunakan untuk mengetahui jumlah komponen senyawa dalam
campuran, mengidentifikasi senyawa, monitoring proses reaksi kimia, mengetahui
kondisi yang sesuai untuk proses kromatografi kolom, dan analisis fraksi
kromatografi kolom (Sherma dan Fried, 2003). Kromatografi lapis tipis
merupakan metode yang murah dan banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang
karena mudah, reliabel dan dapat menganalisis secara cepat (Dickson dkk., 2004).
Kromatografi lapis tipis terdiri dari dua fase, yaitu fase gerak (mobile phase) dan
fase diam (stationary phase).
a. Fase gerak. Fase gerak pada kromatografi lapis tipis berupa zat cair. Fase
gerak biasanya dalam bentuk campuran beberapa pelarut. Pemilihan fase
gerak didapatkan baik dari literatur maupun dengan trial and error. Fase
gerak memiliki variasi kepolaran yang berbeda-beda dari yang bersifat non
polar seperti n-heksan sampai polar seperti asam asetat dan air. Kepolaran
17
fase gerak dapat ditentukan dengan menghitung solvent strength (ε0) (Hahn-
Deinstrop, 2007).
b. Fase diam. Fase diam dalam kromatografi lapis tipis bersifat lebih polar
daripada fase gerak, kecuali pada reversed phase. Fase diam pada
kromatografi lapis tipis berupa alumina (Al2O3.xH2O)n atau silika gel (SiO2.
xH2O)n. Alumina dan silika bersifat sangat elektropositif karena berikatan
dengan beberapa atom oksigen (Gocan, 2002). Sifat elektropositif ini
membuat fase diam bersifat sangat polar dan mempunyai afinitas yang tinggi
terhadap senyawa polar (Hahn-Deinstrop, 2007).
Senyawa yang dielusi akan terbawa oleh fase gerak dan akan berinteraksi
dengan fase diam (Spangenberg dkk., 2011). Jarak yang ditempuh senyawa saat
proses elusi disebut sebagai retardation factor (Rf). Nilai Rf dihitung dengan
rumus:
Rf =
(5)
(Dickson dkk., 2004).
Senyawa yang semakin polar akan berinteraksi secara kuat dengan fase diam,
menyebabkan nilai Rf semakin kecil. Metode deteksi senyawa disesuaikan dengan
senyawa yang dianalisis.
7. Metode penangkapan radikal bebas DPPH
Metode penangkapan radikal bebas senyawa DPPH (2,2-diphenyl-1-picryl-
hydrazyl) merupakan metode yang paling umum digunakan dalam pengujian
aktivitas antioksidan (Mailandari, 2012). Metode uji penangkapan radikal bebas
18
DPPH merupakan metode pengukuran aktivitas antioksidan berdasarkan pada
hydrogen atom transfer (HAT) dan electron transfer (ET) (Prior dkk., 2005).
(ungu) (kuning)
Gambar 2. Reaksi antara senyawa DPPH dengan antioksidan (A) (Pisochi dkk., 2009)
DPPH mempunyai elektron phi yang dapat mengalami delokalisasi ke seluruh
bagian molekul, sehingga molekul tidak mengalami dimer seperti kebanyakkan
senyawa radikal bebas lain. Proses delokalisasi ini memberikan warna ungu gelap
yang dikarakterisasi oleh pita absorbansi dalam pelarut etanol pada panjang
gelombang 520 nm. Ketika DPPH direaksikan dengan senyawa yang dapat
mendonasikan atom hidrogen, maka warna ungu tersebut akan memudar yang
menggeser pita seapan menuju panjang gelombang lebih kecil menjadikan warna
DPPH menjadi kuning. Parameter yang dapat digunakan untuk menginterpretasi
hasil uji DPPH diantaranya adalah IC50. Nilai IC50 didefinisikan sebagai
konsentrasi ekstrak yang dapat menyebabkan penurunan aktivitas DPPH sebanyak
50% yang dilihat dari pengurangan intensitas warna ungu (Molyneux, 2004).
Semakin tinggi aktivitas antioksidan, maka nilai parameter IC50 akan semakin
kecil (Blois, 1958).
19
8. Metode reducing power assay
Metode reducing power assay berdasarkan metode Oyaizu (1986). Metode
reducing power assay didasarkan pada electron transfer (ET) dan tidak didasarkan
pada hydrogen atom transfer (HAT). Kebanyakkan senyawa antioksidan
mempunyai kemampuan transfer atom hidrogen. Uji antioksidan lain diperlukan
untuk dapat memberikan hasil dari proses HAT, seperti DPPH dan ORAC assay
(Prior dkk., 2005). Senyawa antioksidan yang memiliki kemampuan mereduksi
akan bereaksi dengan ferisianida membentuk ferosianida. Proses transfer elektron
menjadi aktif dengan medium berupa bufer fosfat (Barzegar, 2012). Ferosianida
kemudian bereaksi dengan feri klorida membentuk kompleks berwarna Perl’s
Prussian Blue yang memiliki absorbansi maksimum pada panjang gelombang 700
nm (Ferreira dkk., 2007). Suasana asam digunakan untuk menjaga kelarutan besi
(Prior dkk., 2005). Reaksi yang terjadi pada uji reducing power terdapat pada
persamaan (6) dan (7) (Matei dkk., 2012).
pH 6,6
[Fe (CN)6]3-
+ e-
[Fe (CN)6]4-
(6)
H+ (suasana asam)
4Fe3+
+ 3[Fe (CN)6]4-
Fe4[Fe (CN)6]3 (7)
kompleks berwarna Perl’s
Prussian Blue
Peningkatan aktivitas dilihat dari adanya peningkatan nilai absorbansi.
Semakin besar aktivitas antioksidan, semakin besar pula absorbansi yang
dihasilkan. Hal ini diakibatkan oleh semakin banyak kompleks yang terbentuk.
Nilai EC50 merupakan konsentrasi senyawa antioksidan yang memberikan nilai
20
absorbansi 0,5 yang dihitung dari grafik antara konsentrasi ekstrak dan absorbansi
pada panjang gelombang 700 nm (Ferreira dkk., 2007).
9. Sel Vero
Sel Vero dihasilkan dari ginjal monyet hijau Afrika (Cercopithecus aethiops)
yang telah dewasa dan normal yang banyak digunakan dalam penelitian
(Ammerman dkk., 2008). Sel Vero telah digunakan untuk memproduksi berbagai
vaksin virus. Sel Vero juga telah digunakan dalam mempelajari proses replikasi
virus dan plaque assay (Kistner dkk., 2007). Sel Vero merupakan sel monolayer
berbentuk poligonal dan pipih. Sel Vero yang dibiakkan secara in vitro
merupakan sel epithelial-like (Ammerman dkk., 2008). Sel ini digunakan sebagai
model sel epitel di kulit seperti sel sebosit yang mengeluarkan lipid dan sel epitel
organ di dalam tubuh.
Proses adhesi yang terjadi antara sel dan permukaan padat polistiren
disebabkan oleh adanya interaksi kation divalen dengan protein basa. Dengan
adanya kondisi yang optimal, sel dapat melekat dan menyebar pada carrier dan
membentuk sel monolayer (Nor dkk., 2010).
Gambar 3. Morfologi sel Vero dengan perbesaran 400x (Athmanathan dkk., 2002)
21
Sel Vero merupakan sel normal yang dapat mengalami kematian saat jumlah
sel terlalu banyak. Proses subkultur sel Vero perlu dimonitor agar menjadi
monolayer dengan jumlah yang cukup. Kultur sel Vero membelah menjadi dua
dalam 24 jam (Nahapetian dkk., 1986). Untuk menjaga sel dari kontaminasi
bakteri, biasanya digunakan antibiotik seperti penicilin/streptomisin dengan dosis
rendah. Antibiotik tidak dapat dipakai jika penelitian menggunakan sel Vero yang
diinfeksi bakteri. Konsentrasi sel dalam suspensi sel dapat dihitung dengan
hemocytometer (Ammerman dkk., 2008).
10. Aktivitas sitoprotektif
Adanya radikal bebas yang terdapat dalam tubuh dapat menimbulkan
berbagai kerusakan baik pada sel maupun jaringan. Tubuh mempunyai sistem
perlindungan endogen terhadap adanya senyawa radikal bebas. Sistem
perlindungan tersebut berupa perlindungan secara enzimatik dan non-enzimatik.
Perlindungan secara enzimatik dapat berupa enzim-enzim dalam tubuh yang dapat
mengubah senyawa radikal bebas menjadi senyawa yang tidak berbahaya bagi
tubuh. Enzim katalase dapat mengubah hidrogen peroksida yang bersifat radikal
menjadi air dan oksigen (Kang dkk., 2006). Perlindungan secara non-enzimatik
berupa senyawa-senyawa yang mempunyai aktivitas dalam menangkap radikal
bebas seperti senyawa polifenol, asam askorbat dan karotenoid (Yoo dkk., 2008).
Senyawa flavonoid seperti kaempferol, kuersetin, dan mirisetin mempunyai
aktivitas melindungi sel hepatosit dari H2O2 dan CCl4 secara in vitro (Zhao dan
Zhang, 2009 cit Minari, 2012). Salah satu mekanisme perlindungan sel yaitu
22
antioksidan dapat melindungi membran sel dari proses oksidasi, mencegah
kerusakan membran, mencegah sel mengalami lisis dan mati (Iwalewa dkk.,
2005) serta meminimalisasi terjadinya proses peroksidasi lipid (Yoshikawa dan
Naito, 2002).
Jika antioksidan dalam tubuh tidak dapat mengimbangi radikal bebas yang
berada dalam tubuh maka dapat terjadi kerusakan pada sel maupun jaringan tubuh
yang dapat memicu penyakit-penyakit degeneratif (Seyfizadeh dkk., 2012).
Senyawa antioksidan tambahan dari luar tubuh diperlukan untuk mengimbangi
kelebihan radikal bebas. Asupan makanan yang banyak mengandung antioksidan
diperlukan untuk menjaga sel-sel tubuh dari kerusakan. Antioksidan yang terdapat
dalam makanan dapat berupa baik alami yang berasal dari buah dan sayur maupun
sintetik seperti butyl hydroxy anilin (BHA), butyl hydroxy toluen (BHT), propyl
gallate (PG), dan tertier-butylhydroquinone (TBHQ) (Susilowati, 2010).
Antioksidan sintesis berpotensi menginduksi proses karsinogenesis (Ito dkk.,
1986). Antioksidan alami menjadi perhatian para peneliti untuk pengembangan
agen antioksidan (Nawaly dkk., 2013).
Kemampuan sitoprotektif dari suatu senyawa diuji menggunakan suatu
stresor penginduksi toksisitas pada sel. Adanya sel yang berhasil hidup
ditentukan dengan MTT assay.
Uji 3-(4,5-dimetil tiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida (MTT)
didasarkan pada proses reduksi oleh enzim mitokondrial reduktase terhadap
garam tetrazolium yang berwarna kuning. Senyawa yang terlibat dalam proses
reduksi garam tetrazolium adalah nicotinamide adenine dinucleotide (NADH),
23
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH), dan suksinat. Proses
reduksi menghasilkan kristal formazan ungu yang tidak larut. Proses ini dapat
terjadi jika sel masih dapat beraktivitas (Barahuie dkk., 2014). Metode ini dapat
digunakan untuk menentukan jumlah sel yang masih hidup yang ditentukan
dengan viability cell.
Gambar 4. Reaksi reduksi MTT menjadi formazan oleh enzim mitokondrial reduktase
(Barahuie dkk., 2014)
F. Landasan Teori
Radikal bebas dapat menimbulkan kerusakan sel dan jaringan tubuh.
Kerusakan ini dapat mengarah pada timbulnya penuaan dini dan penyakit-
penyakit degeneratif. Konsumsi senyawa antioksidan yang terdapat pada buah dan
sayur dapat mencegah penyakit degeneratif (Carslen dkk., 2010).
Buah jambu biji merah mengandung senyawa fenolik, flavonoid, vitamin C,
karotenoid dan fiber (Chiari dkk., 2012). Senyawa tersebut berperan dalam
berbagai efek farmakologis dalam tubuh termasuk sebagai antioksidan dengan
menetralkan radikal bebas di dalam tubuh. Buah jambu biji merah berpotensi
menangkap radikal bebas dalam tubuh dan melindungi sel-sel tubuh dari
kerusakan akibat radikal bebas.
24
Kapasitas antioksidan senyawa yang terkandung dalam tanaman dapat diuji
menggunakan metode penangkapan radikal bebas seperti DPPH. Dengan uji ini
dapat diketahui seberapa besar kapasitas senyawa antioksidan dalam buah-buahan
yang dapat menangkap radikal bebas. Uji penangkapan radikal bebas DPPH buah
jambu biji merah pernah dilakukan oleh Djanis dan Hanafi. Uji penangkapan
radikal bebas DPPH oleh Djanis dan Hanafi (2009) menggunakan sampel daging
buah jambu biji merah tanpa kulit yang menghasilkan nilai IC50 sebesar 314,96
mg/L. Uji penangkapan radikal bebas DPPH buah jambu biji merah juga
dilakukan oleh Beh dkk. Uji penangkapan radikal bebas DPPH oleh Beh dkk.
(2012) menggunakan buah jambu biji merah segar yang diekstraksi dengan
pelarut metanol menghasilkan nilai IC50 0,156 mg/mL. Bahan yang digunakan
oleh penulis adalah buah jambu biji merah segar utuh yang diekstraksi
menggunakan etanol 70%, sehingga berbeda dengan penelitian Djanis dan Hanafi
serta berbeda dengan penelitian Beh dkk. Aktivitas antioksidan dapat ditentukan
dengan metode reducing power assay (Ferreira dkk., 2007). Metode reducing
power berdasarkan pada transfer elektron, bukan transfer hidrogen seperti metode
DPPH. Reducing power assay dapat digunakan untuk menentukan kapasitas
transfer elektron dari antioksidan. Aktivitas antioksidan dengan reducing power
assay buah jambu biji merah pernah dilakukan oleh Ahmed dkk. (2013)
menghasilkan nilai sebesar 2,39 mg ekuivalen asam askorbat (AA) per gram
ekstrak. Perbedaan uji reducing power yang digunakan Ahmed dkk. dan penulis
adalah sampel buah jambu biji merah yang digunakan oleh Ahmed dkk. tidak
disertai kulit buah, sementara sampel uji penulis disertai kulit buah.
25
Uji sitoprotektif sel dapat memberikan informasi mengenai kapasitas
perlindungan sel-sel tubuh dari radikal bebas oleh senyawa dalam ekstrak. Buah
jambu biji merah memiliki aktivitas sitoprotektif terhadap H2O2 pada sel kanker
hati HepG2 (Chunhabundit dkk., 2012).
G. Hipotesis
1. Ekstrak etanolik buah jambu biji merah mengandung golongan senyawa
flavonoid ditinjau dari profil kromatografi lapis tipis.
2. Ekstrak etanolik buah jambu biji merah memiliki aktivitas antioksidan
dengan metode penangkapan radikal bebas DPPH dan reducing power
assay.
3. Ekstrak etanolik buah jambu biji merah memilki kemampuan dalam
melindungi sel Vero dari paparan senyawa H2O2.