bab i pendahuluan a. latar belakang...

18
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam tradisi pernikahan India, salah satu komponen pentingnya adalah dowry atau mahar. Mahar merupakan harta pengantin wanita yang ia bawa kepada suami dan keluarga semenjak pernikahan dan permintaan mahar tersebut terus berlanjut hingga setelah menikah. Mahar bisa berbentuk uang, perhiasan, peralatan rumah tangga, dan sebagainya (Rastogi dan Therly 67). Awalnya, mahar adalah milik pengantin wanita, yang berfungsi sebagai posisi tawar keuangan karena ia akan menjadi pendatang baru di rumah suaminya. Selain itu, mahar juga menjadi jaring pengaman yang mampu memberi perlindungan terhadap rumah tangga yang baru dibangun tersebut, terutama bila ada situasi tak terduga dalam pernikahan (Rastogi dan Therly 68; Badruddoja 403). Saat ini telah terjadi pergeseran terhadap definisi dan fungsi mahar di India. Mahar yang tadinya diperuntukkan bagi mempelai wanita sebagai jaring pengaman, kini diberikan dan menjadi milik suami dan keluarganya. Perubahan kepemilikan mahar ini didorong oleh peningkatan kesejahteraan dan modernisasi di India (Mandal 217). Dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi India memang meningkat sangat pesat, hingga 4 kali lipat (Syed dan Walsh, 2012). Kesejahteraan ekonomi tersebut berpengaruh terhadap gaya hidup masyarakat, termasuk terhadap tradisi pemberian mahar. Masyarakat cenderung menjadi konsumtif, yang cenderung menjadikan barang sebagai tolak ukur penentu status sosial (Williams, 2003). Jenis barang yang diminta untuk mahar juga berubah seiring waktu. Dulu wanita biasanya hanya membawa perhiasan, emas, dan perlengkapan pakaian pengantin sebagai mahar. Benda-benda ini merupakan benda yang bisa disimpan dan dimiliki oleh wanita. Namun, perubahan gaya hidup membuat masyarakat India KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHS JUSMALIA OKTAVIANI Universitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Upload: phamque

Post on 15-Jul-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam tradisi pernikahan India, salah satu komponen pentingnya adalah

dowry atau mahar. Mahar merupakan harta pengantin wanita yang ia bawa kepada

suami dan keluarga semenjak pernikahan dan permintaan mahar tersebut terus

berlanjut hingga setelah menikah. Mahar bisa berbentuk uang, perhiasan, peralatan

rumah tangga, dan sebagainya (Rastogi dan Therly 67). Awalnya, mahar adalah

milik pengantin wanita, yang berfungsi sebagai posisi tawar keuangan karena ia

akan menjadi pendatang baru di rumah suaminya. Selain itu, mahar juga menjadi

jaring pengaman yang mampu memberi perlindungan terhadap rumah tangga yang

baru dibangun tersebut, terutama bila ada situasi tak terduga dalam pernikahan

(Rastogi dan Therly 68; Badruddoja 403).

Saat ini telah terjadi pergeseran terhadap definisi dan fungsi mahar di India.

Mahar yang tadinya diperuntukkan bagi mempelai wanita sebagai jaring pengaman,

kini diberikan dan menjadi milik suami dan keluarganya. Perubahan kepemilikan

mahar ini didorong oleh peningkatan kesejahteraan dan modernisasi di India

(Mandal 217). Dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi India memang

meningkat sangat pesat, hingga 4 kali lipat (Syed dan Walsh, 2012). Kesejahteraan

ekonomi tersebut berpengaruh terhadap gaya hidup masyarakat, termasuk terhadap

tradisi pemberian mahar. Masyarakat cenderung menjadi konsumtif, yang

cenderung menjadikan barang sebagai tolak ukur penentu status sosial (Williams,

2003).

Jenis barang yang diminta untuk mahar juga berubah seiring waktu. Dulu

wanita biasanya hanya membawa perhiasan, emas, dan perlengkapan pakaian

pengantin sebagai mahar. Benda-benda ini merupakan benda yang bisa disimpan

dan dimiliki oleh wanita. Namun, perubahan gaya hidup membuat masyarakat India

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2

meminta mahar dalam bentuk barang-barang seperti televisi, lemari pendingin,

mobil, motor, hingga tanah dan apartemen. Barang-barang seperti itu tidak bisa

disimpan oleh wanita sehingga mudah dikuasai oleh keluarga suami.

Sistem kasta yang telah melekat pada masyarakat India juga mendorong

munculnya mahar. Untuk meningkatkan status keluarga wanita, perempuan di India

didorong untuk menikah dengan lelaki yang kastanya lebih tinggi. Pernikahan

seperti ini disebut hipergami. Akan menjadi hal tabu bila wanita menikah dengan

pria dari kasta yang lebih rendah (Lakshmi 189-190).

Peningkatan kesejahteraan di India menjadikan pria India menjadi lebih

mapan dan berpendidikan. Hal ini membentuk hipergami jenis baru (Mullati 19),

dimana pria dilihat bukan hanya dari kasta, tapi juga pendidikan dan pekerjaan yang

menjanjikan. Para pria seperti ini dianggap memberi penghidupan yang baik

sehingga wanita yang menjadi istrinya pasti terjamin kehidupannya. Padahal

semakin tinggi tingkat pendidikan dan pekerjaan pria, semakin tinggi pula tuntutan

maharnya (Iglitzin & Ross, 1986 dalam Rastogi dan Therly 68). Mahar yang tinggi

dianggap wajar karena mahar adalah kompensasi terhadap biaya pendidikan pria

tersebut serta sebagai pengganti biaya hidup wanita yang akan menjadi istrinya

kelak (Rastogi dan Therly 68). Wanita di India memang dianggap sebagai beban

keuangan baru karena menurut tradisi wanita-lah yang harus pindah ke rumah

suami bila menikah.

Konsekuensi dari pergeseran kepemilikan mahar ini membuat para pria

menggunakan mahar sebagai cara baru untuk menjadi kaya dengan cara instan, dan

untuk tujuan itu, mereka meminta sejumlah besar mahar hingga melampaui

kapasitas keluarga wanita. Para pengantin pria meminta tanah, mobil, emas, uang

tunai, dan hal-hal mewah lain sebagai syarat utama untuk membangun pernikahan.

Bahkan setelah upacara pernikahan, pengantin pria dan keluarganya masih meminta

mahar tambahan, dengan alasan untuk menunjang rumah tangga baru tersebut.

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

3

Permintaan terhadap mahar ini dapat memicu kekerasan dan bahkan

pembunuhan, terutama ketika sang istri tidak mampu memenuhi keinginan suami

dan keluarganya. Kekerasan secara terus-menerus tersebut dapat memicu sang istri

untuk bunuh diri atau bahkan sang istri dibunuh oleh suami dan keluarganya,

kemudian pembunuhan tersebut disamarkan sebagai bunuh diri. Pembunuhan

dilakukan agar pelaku bisa lolos dari hukuman sehingga sang suami bisa menikah

lagi untuk mendapat mahar baru (Oldenburg xi; Rastogi dan Therly 67; Badruddoja

403; Banerjee 34; Mullati 19). Mahar dan kaitannya dengan kekerasan terhadap

wanita inilah yang kemudian memunculkan terminologi ‘dowry murder’, ‘dowry

deaths’, atau ‘bride-burning’. Istilah terakhir muncul karena kebanyakan wanita

dibunuh oleh suami dan atau keluarganya dengan cara dibakar.

Dengan demikian, dowry deaths/ dowry murder adalah kekerasan terhadap

mempelai wanita oleh mempelai pria dan atau keluarganya, sebagai hukuman

karena pengantin wanita tidak mampu menyediakan mahar yang cukup, atau gagal

memenuhi permintaan mahar tambahan setelah menikah, yang berakibat pada

kematian sang pengantin wanita (Diamond-Smith, Luke, dan McGarvey (2008)

dalam Banerjee 36). Dowry deaths adalah salah satu kejahatan terhadap perempuan

di India yang mendapat perhatian besar, terutama karena jumlah korbannya yang

masih sangat tinggi.

The National Crime Records Bureau (NCRB)—bagian dari Ministry of

Home Affairs India yang bertugas mengumpulkan dan menganalisis data kejahatan

di India—menunjukkan bahwa pada tahun 2008, sebaran kasus dowry deaths terjadi

hampir di seluruh India. Secara nasional, NCRB melaporkan 8.618 perempuan

dibunuh, dan 3.239 wanita melakukan bunuh diri pada tahun 2011 karena masalah

mahar. The Asian Women’s Human Rights Council bahkan memperkirakan angka

kematian yang jauh lebih tinggi, yakni hingga 25.000 orang, termasuk bunuh diri

dan pembunuhan terkait mahar di tahun 2009 (Banerjee 34; Jagori 6). Tujuh negara

bagian India yang memiliki kasus dowry deaths tertinggi adalah Uttar Pradesh

(2.237 kasus), disusul oleh Bihar (1.210), Madhya Pradesh (805), Andra Pradesh

(556), Odisha (461), West Bengal (451), dan Maharashtra (390) (Resen 114-5).

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

4

Data tersebut menunjukkan bahwa korban dowry deaths bukan hanya dari

penganut Hindu, tapi juga terjadi pada budaya dan agama lainnya. India sendiri

adalah negara yang sangat beragam dalam hal budaya, agama, ras, dan bahasa.

Sekitar lebih dari 80% adalah Hindu, sisanya adalah Islam (12%), Kristen (2.5%),

dan Jainism (2%). Karena Hindu merupakan mayoritas, maka masyarakat pada

dasarnya mengikuti Hindu sebagai kepercayaan dalam hidup bermasyarakat (as

socio-religious beliefs). Oleh karena itulah, kasus dowry deaths dan kekerasan yang

terkait dengan mahar bisa terjadi pada agama dan budaya lain di India (Mullati 11;

Jagori 6).

Mengingat praktik memberi atau menerima mahar merupakan tradisi yang

melekat di masyarakat India, kekerasan yang terkait dengan mahar ini tentu tidak

mudah untuk dihilangkan. Namun demikian, pemerintah India berkewajiban

melindungi perempuan dan melakukan berbagai kebijakan yang diperlukan untuk

mengatasi masalah dowry deaths yang menelan begitu banyak korban jiwa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memformulasikan rumusan

masalah sebagai berikut: Bagaimana kebijakan pemerintah India untuk menangani

masalah dowry deaths? Mengapa kebijakan tersebut kurang efektif dalam

menanggulangi masalah dowry deaths?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai

kebijakan yang dilakukan untuk menangani masalah ‘dowry deaths’ oleh

pemerintah India. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan kontribusi pengetahuan yang berguna bagi pengembangan studi

hubungan internasional. Hal ini juga menjadi masukan atau informasi tambahan

untuk mahasiswa, sarjana, dan akademisi, yang tertarik pada masalah penegakan

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

5

hak asasi manusia, khususnya dalam masalah kekerasan terhadap perempuan di

India.

D. Kerangka Teori

Kebijakan Publik/ Public Policy

Ide mengenai kebijakan publik muncul saat masyarakat sadar ada suatu

ruang atau wilayah yang tidak bisa bersifat privat atau milik pribadi, namun

merupakan milik bersama dalam masyarakat atau umum. Yang dimaksud dengan

publik itu sendiri merupakan aktivitas manusia yang dirasa perlu untuk diatur atau

diintervensi, baik oleh pemerintah, aturan sosial, atau tindakan bersama.

Menurut Dewey (1927) dalam Wayne (xi) menjelaskan bahwa kebijakan

publik lebih menitikberatkan kepada bagaimana publik dan persoalannya.

Kebijakan publik akan membahas bagaimana isu-isu serta berbagai persoalan milik

umum tersebut disusun, didefinisikan, dan diletakkan dalam agenda kebijakan dan

agenda politik. Berdasarkan pendapat Dye (1976) seperti dikutip dalam Wayne (xi),

kebijakan publik adalah studi tentang “apa yang dilakukan oleh pemerintah,

mengapa pemerintah mengambil tindakan tersebut dan apa akibat dari tindakan

tersebut.”

Menurut Schneider dan Ingram (“Social Construction”), kebijakan publik

merupakan salah satu institusi yang mampu menjadi solusi terhadap masalah-

masalah yang ada di masyarakat.

...Through public policy, collective choice are made with significant

consequences to how and whether problems are resolved, how benefits and

costs are distributed, how target groups are viewed by themselves and

others, and how such groups regard--and participate in--politics. Public

policy is a complex combination of elements, including goals and objectives,

agents and implementation structures, targets, tools, rules, and rationales

(443-4).

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

6

Sementara Heidenheimer et al (1990) mengemukakan bahwa kebijakan

publik adalah studi mengenai “bagaimana, mengapa, dan apa efek dari tindakan

aktif (action) dan pasif (inaction) pemerintah.” Pendapat Heidenheimer ini senada

dengan pendapat Kraft dan Furlong (6), namun Kraft dan Furlong menekankan

bahwa tindakan pemerintah tersebut ada kaitannya dengan berbagai faktor, yaitu:

tujuan dari kebijakan, cara yang digunakan, aturan-aturan yang berlaku, dan

bagaimana praktik dari badan-badan pemerintah tersebut mengimplementasikan

program-program.

Dengan demikian kebijakan publik tidak hanya mengenai pernyataan resmi

pemerintah, namun justru lebih kepada tindakan nyata yang dilakukan oleh

pemerintah dan badan yang dinaunginya. Jadi, kebijakan publik dilihat dalam

kerangka pemerintah sebagai aktor utama, dan bagaimana pemerintah menyediakan

solusi, dengan mengatur, merespons atau memecahkan persoalan yang terjadi pada

masyarakat. Persoalan yang perlu diintervensi oleh pemerintah atau tidak, dilihat

dari persepsi publik terhadap masalah tersebut. Jika ada suatu kondisi dimana

publik secara luas tidak bisa menerima kondisi itu, maka pemerintah perlu campur

tangan untuk mengatasinya.

Menurut Kraft dan Furlong, ada tiga alasan mengapa pemerintah campur

tangan dalam suatu persoalan masyarakat, yakni: politis, moral, dan ekonomi.

Untuk kasus dowry deaths yang terjadi di India, alasan pemerintah India adalah

alasan politis, dimana pemerintah mengambil tindakan tertentu karena ada

pergeseran terhadap opini publik atau bangkitnya gerakan sosial yang menekan

pemerintah untuk mengambil tindakan. Dalam kasus dowry deaths, pemerintah

India akhirnya melibatkan diri dalam isu-isu mahar dan kekerasan yang terkait

dengannya, karena adanya perhatian masyarakat terhadap kasus-kasus kekerasan

terhadap wanita yang diakibatkan oleh mahar ini (16).

Setelah pemerintah memutuskan untuk ikut menyelesaikan suatu persoalan

di masyarakat dengan alasan tersebut di atas, maka hal berikutnya yang penting

diperhatikan adalah kebijakan publik seperti apa yang bisa dilakukan oleh

pemerintah agar kebijakan itu efektif dan dipatuhi oleh masyarakat? Untuk melihat

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

7

bagaimana masyarakat berperilaku atau bereaksi terhadap suatu kebijakan, maka

dibutuhkan suatu model atau instrumen kebijakan publik. Ada beberapa pendapat

mengenai alat kebijakan publik ini. Misalnya Bardach (1979) dalam Schneider dan

Ingram (“Behavioral Assumptions”) mengusulkan empat teknik: prescription,

enabling, positive incentives dan deterrence (513).

Selain itu, Kraft dan Furlong (139) mengatakan bahwa pemerintah bisa

melakukan desain kebijakan seperti:

a) regulate (memberikan izin, menerapkan standar, menerapkan sanksi);

b) subsidize (memberi pinjaman, subsidi, bunga rendah, dll);

c) ration (memberikan batas terhadap sumber daya yang terbatas);

d) tax and spend (menggunakan pajak sebagai alat untuk mendukung atau

membatasi serta menyediakan anggaran untuk kepentingan tertentu) ;

e) contract out (kontrak atau pembelian produk dari pihak lain untuk

kepentingan pemerintahan);

f) use market incentives (termasuk kategori pajak namun pajak digunakan

untuk mengubah perilaku masyarakat demi tercapainya kepentingan

tertentu);

g) privatize (layanan publik yang dimiliki pemerintah diberikan kepada pihak

swasta);

h) charge fees (dikenakannya biaya-biaya untuk layanan publik tertentu);

i) educate (memberikan informasi pada publik);

j) create public trust (pengelolaan properti publik oleh pemerintah);

k) conduct research (dukungan terhadap penelitian dan pengembangan).

Salah satu instrumen desain kebijakan dikembangkan oleh Anne Schneider dan

Helen Ingram. Model yang dikembangkan Schneider dan Ingram menekankan pada

reaksi masyarakat terhadap usaha yang dilakukan pemerintah. Untuk melihat

permasalahan dowry deaths, instrumen Schneider dan Ingram ini bisa digunakan

untuk menjelaskan kebijakan seperti apa yang digunakan pemerintah India, agar

masyarakat mau melakukan seperti apa yang diharapkan pemerintah.

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

8

a) Authority tools

Pemerintah menggunakan kekuasaan mereka untuk menyarankan atau

meminta masyarakat agar berprilaku dalam cara tertentu, bisa berupa pemberian

izin, pelarangan, atau meminta untuk melakukan suatu tindakan. Instrumen

kekuasaan berasumsi bahwa masyarakat pada dasarnya patuh pada regulasi dan

hukum meski tanpa hadiah atau imbalan. Sebagai warga negara, pemerintah

yakin kepatuhan merupakan bagian tidak terpisahkan dari masyarakat dalam

kehidupan bernegara (Schneider dan Ingram “Behavioral Assumptions” 514).

Penggunaan kekuasaan sebagai alat mengontrol masyarakat memang tidak

selalu efektif dan terkadang tidak dianggap demokratis, tergantung dari

legitimasi pemerintah. Menurut Schneider dan Ingram (1997), instrumen

kekuasaan bisa digunakan untuk masa krisis, ketika reaksi masyarakat terhadap

kebijakan tersebut kemungkinan besar akan dilakukan sesuai harapan

pemerintah (dalam Kraft dan Furlong 142).

b) Incentive Tools

Pemerintah menggunakan imbalan atau dorongan secara positif dan negatif

agar pemerintah bisa mengarahkan masyarakat untuk pencapaian

kepentingannya. Secara positif berarti pemerintah memberikan insentif yang

mendorong orang untuk melakukan tindakan tertentu. Sementara sanksi bersifat

negatif ditujukan untuk membuat orang tidak melakukan tindakan yang

menghalangi kepentingan pemerintah (Schneider dan Ingram, 1997 dalam Kraft

dan Furlong 142).

Instrumen ini digunakan dengan asumsi bahwa masyarakat tidak akan patuh

begitu saja kecuali mereka dipengaruhi, didorong, atau dipaksa dengan uang

atau imbalan lainnya. Schneider dan Ingram (“Behavioral Assumptions” 515-6)

membagi alat ini menjadi empat, yakni: inducement/bujukan, charge/biaya,

sanction/sanksi, dan force/kekuatan. Sanksi dan paksaan digunakan oleh

pemerintah untuk memberikan label pada tindakan yang dicela pemerintah.

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

9

Sementara bujukan dan biaya diasosiasikan untuk perilaku yang diterima secara

sosial.

Bujukan (inducement) merupakan imbalan positif untuk mendorong

partisipasi masyarakat. Bujukan digunakan atas dasar pemikiran bahwa

individu merespon insentif positif dan biasanya akan memilih alternatif dengan

nilai yang lebih tinggi atau lebih menguntungkan untuk dirinya. Misalnya akan

dapat fasilitas yang lebih baik bila mau direlokasi, atau adanya penghargaan

dalam institusi pendidikan.

Biaya (charge) diasosiasikan dengan standar atau petunjuk sejauhmana

individu boleh menggunakan sesuatu dalam batas yang diizinkan. Bila ingin

menambah jumlah atau tidak memenuhi standar yang ditetapkan, maka akan

dikenakan biaya. Instrumen ini memang bertujuan untuk mengontrol dan

membatasi barang-barang atau aktivitas masyarakat. Namun berbeda dengan

sanksi, biaya tidak dimaksudkan untuk menghilangkan atau menolak suatu

aktivitas. Tujuannya hanyalah untuk mengontrol penggunaannya. Misalnya

kebijakan kontrol polusi yang mengenakan biaya tambahan untuk polusi

tambahan yang dihasilkan.

Sanksi (sanction), merupakan standar atau aturan yang melarang atau

mensyaratkan aktivitas tertentu. Sanksi merupakan alat utama yang digunakan

untuk menegakkan hukum. Tujuannya adalah untuk menghilangkan perilaku

tertentu dengan cara membebankan sesuatu yang nilainya jauh lebih tinggi atau

lebih besar dari perilaku itu sendiri. Misalnya dengan memberikan denda,

mencabut kebebasan atau nyawa seseorang, atau dengan hukuman percobaan

dan pembebasan bersyarat. Alat ini digunakan dengan asumsi bahwa manusia

pada dasarnya bereaksi pada tingkat beratnya hukuman.

Penggunaan kekuatan atau paksaan (force) secara fisik memang bisa

menghasilkan tindakan yang diharapkan. Asumsi dari instrumen ini adalah

beberapa orang tidak akan bisa dipengaruhi untuk melakukan apa yang

diinginkan pemerintah, atau akan memakan biaya yang terlalu mahal untuk

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10

menghasilkan tingkah laku yang diinginkan. Alat ini berdampak bukan hanya

pada individu yang menerima secara langsung, tapi juga pada masyarakat lain

untuk memberikan efek jera atau sebagai tindakan pencegahan. Contohnya

adalah memenjarakan penjahat atau lawan politik, mengambil alih properti

dengan bantuan tentara, dan lain-lain.

Incentive tools memanipulasi keuntungan yang dianggap oleh pembuat

kebijakan relevan dengan situasi masa itu. Alat ini digunakan dengan keyakinan

bahwa individu bisa memilih, mengenali kesempatan-kesempatan yang

dimilikinya, dan punya informasi cukup serta kemampuan pengambilan

keputusan yang baik. Kecakapan dalam memilih sesuai dengan keinginan di

antara alternatif yang ada sangat diperlukan dalam instrumen insentif ini.

c) Capacity-building tools

Pemerintah berperan sebagai pihak yang meningkatkan kapasitas

masyarakatnya, misalnya dengan memberikan pelatihan, pendidikan, informasi,

dan berbagai bantuan lainnya. Tujuannya adalah agar masyarakat bisa

mendapat informasi dan bisa memberdayakan diri mereka sendiri. Alat ini

meyakini bahwa masalahnya adalah bukan pada adanya insentif atau tidak,

melainkan karena adanya penghalang, misalnya kurangnya informasi,

kemampuan, dan sebagainya yang diperlukan untuk melakukan tindakan yang

bisa berkontribusi terhadap tujuan pemerintah. Dalam Schneider dan Ingram

(“1990 Behavioral Assumptions” 517-8) dijelaskan lebih lanjut mengenai

penghalang yang dimaksud:

A. Kelompok sasaran atau lembaga pemerintah tidak tahu ada

alternatif kebijakan lainnya yang lebih efektif. Bisa juga mereka

mengetahui namun mereka tidak menyadari pentingnya

mengubah perilaku mereka sesuai keinginan pemerintah tersebut.

B. Kelompok sasaran atau lembaga pemerintah tahu mengenai

alternatif kebijakan, dan tahu perlunya mengubah perilaku

mereka, namun mereka tidak mengetahui informasi akurat

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

11

mengenai karakteristik kebijakan tersebut, sehingga tidak bisa

melakukan evaluasi terhadap manfaat, biaya, dan

kemungkinannya. Dalam kondisi ini, diperlukan program

informasi yang berupa tulisan, pendidikan, pelatihan, konferensi

dan bantuan teknis.

C. Individu bisa saja hanya mengandalkan keputusannya sendiri

(heuristics) yang menghasilkan tindakan yang justru

mengganggu pencapaian tujuan kebijakan. Diperlukan pelatihan

dalam hal pengambilan keputusan, penaksiran resiko, dan

semacamnya agar meningkatkan rasionalitas dalam mengambil

keputusan.

D. Individu mungkin memahami pentingnya suatu kebijakan, namun

kekurangan sumber daya atau dukungan yang cukup (misalnya

keuangan, organisasi, sosial, politik) untuk melaksanakan

kebijakan tersebut dengan baik. Situasi ini membutuhkan sumber

daya dalam bentuk hibah, subsidi langsung, pinjaman, dan lain-

lain.

Instrumen ini didasarkan pemikiran bahwa kelompok sasaran akan

berpartisipasi dalam aktivitas atau mengubah perilakunya selama mereka mendapat

informasi yang tepat dan memiliki sumber daya yang diperlukan. Program-program

yang berkaitan dengan instrumen ini didasarkan atas keyakinan bahwa tiap individu

bebas memilih dan tidak perlu dipaksa melalui jalur hukum. Contohnya adalah

kebijakan pemerintah berbagai negara yang masih melegalkan rokok. Meski

merokok tidak dilarang dan rokok juga masih diperjualbelikan secara bebas, namun

individu telah disediakan informasi yang cukup agar menjauhi atau mengurangi

rokok.

d) Symbolic and Hortatory tools

Schneider dan Ingram (“Behavioral Assumptions” 519) menjelaskan bahwa

instrumen ini digunakan dengan pemikiran bahwa masyarakat pada dasarnya

dimotivasi dari dalam diri dan memutuskan untuk melakukan sesuatu berdasarkan

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

12

nilai-nilai yang mereka percaya. Pengambilan keputusan didasari oleh kepercayaan

kultural mengenai benar, salah, keadilan, persamaan, kewajiban, dan lain-lain.

Berkebalikan dari capacity tools, instrumen simbol dan bujukan sangat

menekankan pada keputusan dari dalam diri daripada mencari cara untuk

mempengaruhi individu.

Instrumen ini percaya bahwa individu akan melaksanakan tindakan yang

mendukung kebijakan didasari oleh tiga asumsi dasar (Schneider dan Ingram “

Behavioral Assumptions” 520), yakni: (1) diperkenalkan oleh pemerintah sebagai

masalah yang sangat penting; (2) konsisten dengan nilai-nilai dan kepercayaan yang

dianut; (3) diasosiasikan dengan simbol, label, dan citra yang positif.

Orang-orang yang mengambil keputusan seperti ini tidak bisa didekati melalui

pendekatan insentif. Instrumen ini digunakan dengan asumsi bahwa Kelompok

sasaran akan lebih patuh pada kebijakan apabila kebijakan tersebut konsisten

dengan nilai yang dianut oleh Kelompok sasaran. Instrumen simbol dan bujukan

bisa dimanfaatkan untuk mendorong kepatuhan tanpa penggunaan paksaan atau

imbalan. Kebijakan bisa dilakukan dengan program-program komunikasi persuasif

yang mencoba mengubah persepsi melalui nilai-nilai atau menggunakan gambar,

simbol, dan label.

e) Learning tools

Alat ini digunakan dengan asumsi bahwa masalah sosial diketahui atau

teridentifikasi, namun belum bisa dipahami atau tidak ada kesepakatan mengenai

tindak-lanjut yang harus dilakukan. Karakteristik instrumen ini adalah pemerintah

meyakini bahwa masyarakat bisa belajar dan memilih kebijakan mana yang paling

efektif dari berbagai alternatif kebijakan yang ada. Pemerintah didorong atau

diminta untuk mengambil pelajaran dari pengalaman melalui evaluasi, dengar-

pendapat, dan perencanaan yang mampu mendukung interaksi antara pemerintah

dan kelompok sasaran.

Kebijakan yang menggunakan learning tools biasanya sangat terbuka dengan

tujuan dan sasaran yang dicapai, pemerintah hanya memberikan garis besar atau

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

13

tujuan yang masih sangat umum. Sisanya akan diserahkan pada pemerintah tingkat

lokal untuk memilih tujuan dan kebijakan yang tepat. Jika tidak ada persetujuan

atau kesepakatan mengenai apa yang harus dilakukan, program mediasi atau

arbitrasi bisa memfasilitasi masalah ketidaksepahaman tersebut.

Dalam situasi dimana pemerintah tidak mengetahui apa yang diinginkan oleh

masyarakat, maka instrumen partisipasi bisa digunakan seperti dengar-pendapat,

dewan penasehat, panel warga, dan sebagainya. Ketika perilaku masyarakat sangat

beragam dan tergantung pada konteks, kebijakan dapat diserahkan pada pemerintah

lokal. Ini akan memungkinkan pemerintah lokal untuk memilih alternatif kebijakan

yang bisa mendorong partisipasi masyarakat.

Terkait dengan permasalahan dowry deaths di India, meski praktik ini telah

berlangsung sejak lama dan dilakukan secara turun-temurun di India, namun aksi

dan gerakan massa yang mendorong pemerintah untuk ikut campur dalam masalah

dowry deaths baru muncul sekitar tahun 1960-an. Di masa itulah, masyarakat

mengalami pergeseran sudut pandang, dimana mereka menuntut agar tradisi mahar

ini berhenti dilakukan dan dilarang di seluruh negeri, mengingat korban dari pihak

wanita terus berjatuhan. Ketika akhirnya pemerintah terlibat untuk mengatasi

persoalan yang terjadi di masyarakat, saat itulah pemerintah melakukan berbagai

desain kebijakan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

E. Tinjauan Pustaka

1) Dowry Murder: The Imperial Origins of a Cultural Crime oleh Veena

Talwar Oldenburg (2002)

Meningkatnya perhatian terhadap isu hak asasi manusia membuat India

menjadi salah satu negara yang seringkali dikritik karena pelanggaran hak asasi

manusia terhadap perempuan, khususnya masalah dowry deaths. Tradisi Hindu

sering dituding sebagai penyebab utama kematian terkait mahar. Istilah 'dowry

murder' dan 'bride-burning' semakin menyudutkan kebudayaan Hindu sebagai

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

14

kebudayaan yang 'barbar' dan 'kejam'. Dalam bukunya, Oldenburg ingin mengubah

pola pikir tersebut dan mempertanyakan apakah pembunuhan terkait mahar ini

memang merupakan suatu produk budaya Hindu seperti yang diklaim oleh Barat.

Oldenburg melakukan penelitian dengan menelusuri dan menafsirkan kembali

melalui tulisan-tulisan para penjajah Inggris ketika melakukan penelitian di India,

dan dampak penjajahan Inggris terhadap masyarakat sipil India.

Oldenburg menguraikan bahwa kolonisasi Inggris yang membawa budaya

konsumerisme dan materialisme juga berkontribusi terhadap pergeseran nilai-nilai

budaya tradisional, termasuk mahar yang dulunya adalah jaring pengaman, kini

berubah seperti jerat (73). Selain itu, Oldenburg menjelaskan hal-hal dasar tentang

budaya India yang berkaitan dengan mahar ini, untuk menunjukkan adanya

pergeseran nilai dari dulu hingga sekarang.

Penulis menggunakan buku ini sebagai tinjauan pustaka karena buku ini

mampu menjelaskan fenomena dowry dan dowry murder secara lengkap, sehingga

buku ini bisa menjadi referensi penulis untuk penelitian ini. Penulis menyetujui

bahwa ‘dowry deaths’ sebenarnya adalah fenomena yang kompleks, karena

memiliki hubungan dengan banyak aspek dalam kehidupan masyarakat India—

sistem kasta, aborsi terhadap anak perempuan, sex ratio India, sistem patriarki,

preferensi terhadap anak, hak pria dan wanita atas properti, dan lain-lain—serta

pengaruh dari luar India seperti kolonialisme Inggris dan modernisasi.

2) Dowry Murder Sebagai Bentuk Kekerasan Terhadap Wanita di India oleh

Putu Titah Kawitri Resen (2011)

Resen menunjukkan bahwa penyebab dowry murders di India dipengaruhi

oleh perubahan sistem internasional yakni globalisasi. Kasus dowry murder

meningkat pesat hingga 15 kali lipat, dimana pada tahun 1980-an, ada 400 kasus,

sementara tahun 1990, menjadi 6.000 kasus per tahun (4). Penyebab peningkatan

ini sebagian karena pasar India semakin terbuka untuk budaya global, sehingga

terjadilah proses globalisasi yang malah memperburuk sistem mahar ini.

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

15

Globalisasi dan kemajuan ekonomi India membuat masyarakat India menjadi lebih

serakah dan konsumtif. Keluarga mempelai pria membutuhkan uang dan barang

untuk memuaskan hasrat konsumtifnya tersebut. Meminta mahar dianggap sebagai

cara tercepat untuk mendapatkan barang-barang tersebut. Sebagai hasilnya,

komodifikasi pernikahan terjadi dimana laki-laki mengeksploitasi perempuan

melalui mahar.

Resen mengungkapkan bahwa dengan dilarangnya mahar, tidak akan

banyak membantu berkurangnya korban akibat mahar. Perubahan sistem ekonomi

India yang lebih terbuka tidak akan secara otomatis mengubah nilai-nilai patriarki

yang sudah mengakar, karena nilai-nilai patriarki tersebut ada di berbagai bidang.

Oleh karenanya majunya India sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia malah

memunculkan cara untuk eksploitasi perempuan dan keluarganya.

Penulis menggunakan tulisan ini sebagai salah satu referensi karena selain

kesamaan topik, juga karena penelitian ini termasuk penelitian baru (ditulis tahun

2011), sehingga data-data di dalamnya dianggap relevan untuk menunjang

penulisan tesis ini.

3) Failing Gender Justice in Anti-Dowry Law oleh Vineeta Palkar (2003)

Tulisan ini didasarkan pada sebuah studi yang dilakukan pada tahun 2000

oleh sebuah sekolah hukum di Pune, yang berjudul ‘Implementation and Impact of

Section 498-A of the Indian Penal Code’. Proyek ini meneliti berbagai efek dari

reformasi hukum selama 1980-an dan mengidentifikasi sejumlah hambatan dalam

membuktikan pelanggaran dan membawa para pelaku kekerasan dalam rumah

tangga ke peradilan. Dari studi tersebut, Palkar kemudian berusaha menganalisa

bagaimana dan mengapa, untuk sebagian besar, korban yang rata-rata perempuan

gagal untuk mendapatkan keadilan.

Palkar menggunakan sudut pandang hukum, dimana Palkar menunjukkan

kurang efektifnya perundang-undangan yang telah dibuat dalam menanggulangi

kekerasan rumah tangga di India. Tulisan ini menekankan bahwa hukum yang

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

16

melarang mahar dan hukum yang mengatur mengenai kekerasan dalam rumah

tangga tidak tidak melindungi perempuan secara memadai terhadap segala bentuk

kekerasan dalam rumah tangga dan pembunuhan yang terkait mahar, karena

ketimpangan struktural terus hadir dalam lingkup kehidupan pribadi dan sosial.

Penulis menjadikan tulisan Palkar sebagai salah satu kajian pustaka karena

terdapat kemiripan antara tesis ini dengan tulisan Palkar, terutama karena dowry

deaths merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Penulis

menjadikan tulisan Palkar sebagai referensi untuk melihat bagaimana pemerintah

India menerapkan hukum untuk kasus-kasus dalam kekerasan rumah tangga.

Namun yang membedakan dengan tesis ini adalah cakupan penelitian Palkar lebih

luas, yakni penerapan dan penegakan hukum untuk kasus kekerasan dalam rumah

tangga secara umum di India.

F. Argumen Utama

Kekerasan akibat dowry deaths merupakan fenomena yang kompleks,

sehingga kebijakan Pemerintah India untuk mengatasi masalah dowry deaths

menggunakan berbagai instrumen/ tools, seperti authority tools, incentive tools,

capacity-building tools, symbolic and hortatory tools dan learning tools. Hal

tersebut terlihat dari kebijakan pemerintah yang menyeluruh dan bervariasi, bukan

hanya mengeluarkan aturan-aturan yang melarang mahar seperti The Dowry

Prohibiton Act dan amandemen hukum adat Hindu Code Bill; tapi juga peningkatan

kualitas serta kapasitas wanita melalui program-program pendidikan dan kesehatan,

serta penanggulangan dampak dari ‘dowry deaths’ seperti pelarangan aborsi,

pelarangan Skema Sumangali, dan menyelenggarakan program-program lain yang

berusaha menghilangkan diskriminasi terhadap wanita dan anak perempuan.

Bila melihat jumlah pembunuhan terhadap istri karena dowry deaths yang

setiap tahunnya yang tidak mengalami perubahan berarti—yakni 8.618 korban

(2011) dan 8.233 pada tahun 2012—maka kebijakan yang dilakukan pemerintah

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

17

India masih kurang efektif dalam mencegah jatuhnya korban jiwa. Hal tersebut

disebabkan oleh lemahnya penegakan aturan oleh institusi hukum seperti kepolisian

dan kehakiman, terutama di tingkat lokal, karena masih kuatnya budaya patriarki

yang mengakar di India, sehingga diskriminasi terhadap wanita dan anak

perempuan masih terus terjadi.

G. Metode Penelitian

Penelitian dalam tesis ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Lexy J.

Moleong penelitian kualitatif yakni penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,

persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi

dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan

dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (6).

Dalam mengumpulkan data, penelitian ini menggunakan documentary

analysis atau analisis dokumen karena metode pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini berbentuk dokumentasi, baik untuk memahami isinya secara

substansi atau untuk menjelaskan makna yang lebih dalam dari dokumen-dokumen

tersebut. Bahan dokumenter berbentuk buku atau catatan harian, laporan dari

media, surat resmi, otobiografi, surat-surat pribadi, memorial, kliping, dokumen

pemerintah atau swasta, data di website, dan seterusnya (Hammersley dan Atkinson

(1995) dalam Ritchie 35; Rahmat 7).

Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis

atau analisis isi, yang berusaha mengkaji dokumen-dokumen berupa kategori

umum dari makna. Gubrium et.al., menyatakan bahwa dalam analisis isi, peneliti

dapat menganalisis aneka ragam dokumen, dari mulai kertas pribadi hingga sejarah

kepentingan manusia (dikutip dalam Somantri 60).

Terdapat lima fase atau tahapan dalam melakukan analisis terhadap

penelitian ini, yakni: (1) Compiling, atau mengumpulkan dan menyusun data; (2)

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

18

Disassembling, menyusun sekaligus mengkategorisasi kembali data tersebut ke

dalam topik-topik yang lebih sempit; (3) Reassembling (and Arraying), menyusun

ulang kembali data yang telah dikategorisasi melalui tahap disassembling; (4)

Interpreting, melakukan interpretasi terhadap data yang telah tersusun ke dalam

narasi baru atau bentuk baru dan (5) Concluding, mengambil kesimpulan yang

telah didapat dari tahap sebelumnya (Yin 177-9).

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari empat bab, yang terdiri atas:

Bab pertama berisi pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang Masalah,

Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka

Teori, Tinjauan Pustaka, Argumen Utama, Metode Penelitian, dan Sistematika

Penulisan.

Bab kedua membahas tentang fenomena ‘dowry deaths’ di India, yang

membahas lebih dalam hubungan antara kasta, institusi pernikahan dan mahar di

India, serta mengenai fenomena ‘dowry deaths’ itu sendiri.

Bab ketiga menguraikan tentang analisis terhadap kebijakan yang dilakukan

oleh Pemerintah India dalam menanggulangi masalah ‘dowry deaths’ dan juga

alasan mengapa kebijakan yang telah dilakukan pemerintah tersebut kurang efektif

untuk mengatasi masalah ‘dowry deaths’ tersebut.

Bab keempat merupakan bab terakhir mengenai kesimpulan dari penelitian

ini.

KEBIJAKAN PEMERINTAH INDIA DALAM MENANGGULANGI MASALAH DOWRY DEATHSJUSMALIA OKTAVIANIUniversitas Gadjah Mada, 2015 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/