bab i pendahuluan a. latar belakang masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/c1012054_bab1.pdf ·...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Novel merupakan salah satu karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan
untuk mengkomunikasikan masalah sosial maupun individual yang dialami oleh
sastrawan maupun masyarakatnya. Dalam hubungan antara novel sebagai karya
sastra dengan kenyataan, Teeuw (via Wiyatmi, 2012:80) menjelaskan adanya
hubungan ketegangan antara kenyataan dan rekaan dalam novel. Dalam sebuah
novel, dunia nyata dan dunia rekaan saling berjalinan, yang satu tidak bermakna
tanpa yang lain. Keberadaan karya sastra berdampingan dengan dunia realita. Apa
yang terjadi dalam realita sering kali memberi inspirasi pada pengarang untuk
menggambarkannya kembali dalam karya sastra yang diciptakannya. Oleh karena
itu, sastra selalu berurusan dengan diri pribadi manusia, diri manusia dalam
masyarakat, dan dengan masyarakat yang menjadi lembaga tempat manusia
berkiprah (Soeratno via Wiyatmi, 2012:80).
Secara pragmatik, karya sastra dalam masyarakat berperan untuk
menggerakkan pembacanya agar bersikap, berperilaku dan bertindak sebagaimana
yang disarankan oleh teks karya sastra tersebut. Sehingga, kehadiran karya sastra
diharapkan mampu menggerakkan masyarakat menjadi lebih peka dan tanggap
dalam menghadapi gejala yang berkembang di masyarakat. Hal itu dikarenakan
dalam masyarakat karya sastra memiliki salah satu fungsi sebagai sarana untuk
menyuarakan hati nurani masyarakat, di samping fungsi-fungsi lainnya. Sejak
zaman dahulu karya sastra dipersepsi sebagai produk masyarakat yang mampu
1
2
memberi makna bagi kehidupan, menyadarkan masyarakat akan arti hidup serta
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan (Soeratno via Wiyatmi, 2012:81).
Proses penciptaan karya sastra bertolak dari kenyataan. Karya sastra dapat
menampilkan beragam permasalahan yang terjadi dalam kehidupan manusia pada
masa dan kurun waktu tertentu sesuai dengan latar belakang sosial, budaya,
politik, ekonomi maupun religi, dimana karya sastra itu dihasilkan. Menurut
Luxemburg (via Kasnadi, 2010:172), karya sastra merupakan media representasi
kehidupan nyata. Hal ini sesuai dengan inti pendekatan mimesis yang memandang
bahwa karya sastra merupakan tiruan kenyataan (Plato dan Aristoteles via
Kasnadi, 2010:172).
Karya sastra merupakan media yang digunakan oleh pengarang dalam
menyampaikan gagasan-gagasannya. Sebagai media, karya sastra menjadi
jembatan yang menghubungkan pikiran-pikiran pengarang yang disampaikan
kepada pembaca. Dalam hubungan antara pengarang dengan pembaca, karya
sastra menduduki peran-peran yang berbeda. Selain berperan dalam proses
transfer informasi dari pengarang ke pembaca, karya sastra juga berperan sebagai
teks yang diciptakan pengarang dan sebagai teks yang diresepsi oleh pembaca
(Sugihastuti, 2007:81).
Penciptaan sastra selalu bersumber dari kenyataan-kenyataan yang hidup
dalam masyarakat (Rampan via Sugihastuti, 2007:82). Dalam karya sastra hal-hal
yang digambarkan tentang masyarakat dapat berupa struktur sosial masyarakat,
fungsi dan peran masing-masing anggota masyarakat, maupun interaksi yang
terjalin di antara seluruh anggotanya. Secara lebih sederhana, karya sastra
3
menggambarkan unsur-unsur masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan
perempuan. Interaksi yang terjalin di antara keduanya merupakan tema yang
menarik untuk dikaji sebab menyangkut hubungan antara dua jenis kelamin yang
berbeda, yang membentuk tatanan kehidupan masyarakat, baik secara sosial
maupun budaya.
Dalam sistem yang lebih besar dan kompleks, hubungan antara laki-laki
dan perempuan dimanifestasikan dalam berbagai bentuk dan pola perilaku yang
mencerminkan penerimaan dari pihak laki-laki atau perempuan terhadap
kedudukan masing-masing jenis kelamin. Proses ini dikuatkan oleh realitas dalam
berbagai kebudayaan bahwa posisi laki-laki lebih tinggi secara struktural
dibandingkan dengan perempuan. Hal ini membuktikan bahwa interaksi yang
terjalin menuntut adanya satu jenis kelamin yang lebih unggul dibandingkan
dengan yang lain. Pihak laki-laki merupakan pemenang, memiliki kekuasaan yang
lebih besar dan peran yang lebih menentukan dalam berbagai proses sosial
dibandingkan dengan perempuan, bahkan pada lingkup pergaulan sosial yang
lebih luas seperti kelompok masyarakat. Proses pengambilan keputusan dalam
sebuah keluarga, dengan demikian, juga tidak terlepas dari kontrol kekuasaan
laki-laki yang dianggap lebih berwenang (Sugihastuti, 2007:82).
Hal ini terus terjadi dan seolah-olah dilegalkan oleh konstruksi
kebudayaan setempat. Proses yang berulang akhirnya banyak membentuk
pandangan negatif tentang perempuan, di antaranya meliputi fungsi, peran dan
kedudukan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satunya adalah
stereotip bahwa perempuan merupakan kaum yang lemah, sedangkan laki-laki
adalah kaum yang kuat. Berdasarkan hal ini, perempuan memiliki kecenderungan
4
yang kuat untuk bergantung kepada laki-laki. Sebaliknya, laki-laki memiliki
kekuasaan untuk mengontrol perempuan dalam berbagai hal seperti reproduksi,
seksualitas, sistem pembagian kerja dan sebagainya (Sugihastuti, 2007:83).
Dalam konteks kajian gender dikemukakan bahwa hubungan antara
perempuan dengan laki-laki, serta pembagian peran sosial dan privat antara
perempuan dengan laki-laki telah diatur oleh sebuah ideologi gender yang dikenal
dengan istilah patriarkat. Patriarkat adalah sistem hubungan antara jenis kelamin
yang dilandasi hukum kebapakan. Walby (via Wiyatmi, 2012:42) menjelaskan
bahwa patriarkat adalah sebuah sistem dari struktur sosial, praktik yang
menempatkan laki-laki dalam posisi dominan, menindas, dan mengeksploitasi
perempuan.
Kesan-kesan inferioritas, salah satunya, dapat ditemukan dalam sistem
pembagian kerja yang menyangkut fungsi dan peran perempuan. Terdapat
pemahaman yang menyatakan bahwa perempuan tidak hanya berperan sebagai
istri, ibu, dan ibu rumah tangga bagi keluarga, tetapi juga secara sosial dan budaya
dalam lingkup yang lebih luas. Akan tetapi, ketika peran-peran bagi anggota
keluarga secara dominan dikuasai oleh laki-laki, perempuan tidak memiliki peran
yang signifikan dalam menjalankan suatu fungsi tertentu karena sudah ditangani
oleh laki-laki (Sugihastuti, 2007:83-84).
Dampak lain yang timbul akibat stereotip terhadap perempuan dapat
berupa pembagian ruang untuk perempuan. Dalam perspektif feminisme dikenal
dua terminologi yang menggambarkan ruang aktivitas bagi perempuan yaitu
domestik dan publik. Ruang domestik melingkupi aktivitas perempuan yang
5
berkaitan dengan rumah tangga, sedangkan ruang publik menyangkut aktivitas
perempuan yang dilakukan di luar rumah, baik interaksi dengan masyarakat
sekitar maupun dalam lingkungan kerja (Sugihastuti, 2007:84).
Dalam konteks inferioritas perempuan, ruang domestik merupakan
wilayah pertama yang mengesankan hal tersebut. Kecenderungan yang berlaku di
masyarakat, perempuan diidentikkan dengan fungsi sosialnya sebagai pekerja
rumah tangga. Artinya, perempuan bertanggung jawab terhadap hal-hal yang
menyangkut urusan rumah tangga seperti mengasuh anak, membersihkan rumah,
mencuci, menanak nasi dan sebagainya. Ruang publik, di sisi lain, merupakan
wilayah yang lebih didominasi oleh laki-laki karena fungsi-fungsi seperti
pencarian sumber daya ekonomi dilakukan oleh mereka (Sugihastuti, 2007:84).
Yang terjadi kemudian, laki-laki lebih berkuasa dalam keluarga karena
merasa memiliki tugas yang lebih berat dibandingkan dengan perempuan.
Dampak dari hal ini, salah satunya, adalah perlakuan yang tidak adil terhadap
perempuan. Definisi perlakuan tidak adil terhadap perempuan dapat bermacam-
macam. Yang paling kuat didasarkan atas bentuk-bentuk perlakuan tidak adil
tersebut adalah kekerasan domestik dan kekerasan publik terhadap perempuan.
Perempuan yang mengalami kekerasan domestik dan kekerasan publik seringkali
tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Hal-hal yang menyangkut hidup
perempuan merupakan tanggung jawab laki-laki. Kaum perempuan hanya
memiliki kewajiban untuk tunduk dan patuh pada laki-laki yang menguasainya.
Dengan demikian, perempuan tidak memiliki posisi tawar yang baik dalam hal
menentukan apa yang seharusnya dilakukan dan diperolehnya (Sugihastuti,
2007:85).
6
Berdasarkan uraian tersebut di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji karya
sastra novel yang berjudul Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja> Ash-Sha>ni‘i. Raja> Ash-
Sha>ni‘i adalah seorang dokter yang berasal dari Saudi Arabia, dia menjadi
terkenal melalui novelnya yang berjudul The Girls of Riyadh atau dalam bahasa
Arab berjudul Bana>tu‘r-Riya>dh. Raja>’ Ash-Sha>ni‘i lahir pada tahun 1981, dia
dibesarkan di kota Riyadh, Arab Saudi. Raja >’Ash-Sha>ni‘i berasal dari keluarga
dokter, ketertarikannya dengan membaca dan menulis mendorongnya untuk
membukukan pengalaman teman-teman perempuannya yang berada di Riyadh.
The Girls of Riyadh adalah karyanya yang pertama dan langsung membuat
namanya menjadi buah bibir di berbagai forum internet di dunia. Buku ini
diterbitkan pertama kali di Libanon pada tahun 2005 dan di Inggris pada tahun
2007. Buku ini sudah lama terdaftar untuk penghargaan Dublin Literary tahun
2009. Raja>’ Ash-Sha>ni‘i menerima gelar sarjana kedokteran gigi dari King Saud
University pada tahun 2005 dan saat ini dia tinggal di Chicago, Amerika Serikat
(Sofyan, 2012:2-3).
Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan, belum ditemukan kajian
yang secara khusus membahas kekerasan terhadap perempuan dalam novel
Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja >’ Ash-Sha>ni‘i dengan kajian kritik sastra feminis
psikoanalisis Helene Cixous. Meskipun demikian, ditemukan kajian yang
memiliki keterkaitan dengan penelitian ini. Adapun penelitian yang dipandang
relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut.
Peneliti pertama yaitu Ahmad Sidiq (2011) meneliti tentang ‘‘Ad-Dala>lah
Al-Isya>riyah fi Tafki>k Al-Abuyah Al-‘Arabiyyah Bana>>t Ar-Riya>dh li Raja>’
7
Abdulla>h Ash-Sha>ni‘i’’. Hasil penelitian ini berupa hubungan indeksikal antara
budaya Arab dengan fenomena yang terjadi pada tokoh novel Bana>tu‘r-Riya>dh.
Yaitu adanya pengekangan hak-hak dan kewajiban perempuan. Sehingga,
perempuan hanyalah boneka yang dimainkan oleh kaum laki-laki. Sedangkan, dari
segi indeksikal membongkar patriarkhi Arab, penulis menemukan adanya
perubahan sistem pemerintahan Saudi yang dipelopori oleh kaum salafi atau kaum
neo wahabiyah bahwa kaum laki-laki dan perempuan harus dibedakan hak dan
kewajibannya serta menetapkan hukum-hukum Islam yang oleh sebagian
kalangan dianggap otoriter.
Sehingga sistem tersebut menjadi cambuk yang menyiksa hak-hak para
tokoh perempuan dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh. Pertama, tanda pada tokoh
Qamrah. Kata Qamrah berasal dari kata Qamara yang berarti berjudi. Maka,
Qamrah menjadi penanda setelah diinterpretasikan bahwa tokoh Qamrah adalah
orang yang mempertaruhkan pernikahannya dengan Ra>syid agar tetap bahagia.
Kedua, tanda pada tokoh Sadi >m. Kata Sadi>m berasal dari kata Sadama yang
berarti menyesal. Maka, Sadi>m menjadi penanda setelah diinterpretasikan bahwa
tokoh Sadi>m adalah orang yang menyesal karena telah menyerahkan
keperawanannya sebelum menikah dengan Wali>d. Sehingga, Wali>d mengklaim
dirinya sebagai perempuan murahan. Ketiga, tanda pada tokoh Michelle. Kata
Michelle berasal dari kata Makhala yang berarti memberontak. Maka, Michelle
menjadi penanda setelah diinterpretasikan bahwa tokoh Michelle adalah orang
yang memberontak budaya Arab yang membatasi hak warga negara
berkebangsaan Amerika-Arab. Keempat, tanda pada tokoh Lumeis. Kata Lumeis
berasal dari kata Lamasa yang berarti mencari tahu. Maka, Lumeis menjadi
8
penanda setelah diinterpretasikan bahwa tokoh Lumeis adalah orang yang selalu
penasaran dengan pemerintah yang membatasi hak bergaul kaum sunni.
Peneliti kedua yaitu Andik Bawo Intan Siti Aisyah (2011) meneliti tentang
‘‘Konflik Batin Tokoh pada Novel The Girls of Riyadh Karya Rajaa Al Sanea:
Kajian Psikologi Sastra Sigmund Freud’’. Hasil penelitian ini berupa aspek
psikologis yang terdapat dalam novel The Girls of Riyadh didominasi aspek id dan
tokoh yang mendominasi semua aspek tersebut, baik id, ego dan superego adalah
Qamrah. Meskipun novel Arab yang pada dasarnya selalu menjunjung tinggi
norma, nilai, dan moral yang bernuansa islami, novel ini justru memaparkan
kebalikannya. Novel ini lebih banyak menunjukkan aspek negatif yang selalu ada
dalam diri manusia, terbukti aspek id yang identik dengan watak kepribadian yang
kasar, beringas, tidak mau diatur, tidak taat norma dan hukum. Hanya saja aspek
negatif itu banyak tertahan dalam diri tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel ini
sehingga menyebabkan konflik batin yang mendera tokoh-tokoh tersebut. Berikut
pemaparan singkat hasil penelitian penulis.
1. Aspek kepribadian id cenderung menghendaki penyaluran atau
pelampiasan untuk setiap keinginannya, yang apabila tertahan atau
tersumbat, maka akan mengalami ketegangan. Berdasarkan tabel
identifikasi di bab empat, penulis menemukan bahwa faktor psikologis
pada aspek id yang terdapat pada novel The Girls of Riyadh berjumlah
tigapuluh delapan dan empat tokoh yang mendominasi aspek tersebut
adalah Qamrah, Ra>syid, Sadi>m dan Michelle.
2. Ego adalah komponen kepribadian yang praktis dan rasional.
Berdasarkan ego-nya, manusia mencari kepuasan dan kenikmatan
9
berdasarkan kenyataan (realita) dan bereaksi dengan proses sekunder.
Tujuan realitas prinsip itu adalah mencari objek yang tepat (serasi)
untuk mereduksikan tegangan yang timbul dalam organisme. Aspek
ego yang terdapat dalam novel The Girls of Riyadh berjumlah
enambelas dan empat tokoh yang mendominasi aspek tersebut adalah
Qamrah, Faishal, Lumeis dan Michelle.
3. Superego (das ueber ich) adalah sistem kepribadian yang ketiga dalam
diri seseorang yang berisikan kata hati (conciense). Kata hati
berhubungan dengan lingkungan sosial dan mempunyai norma-norma
sehingga merupakan kontrol atau sensor terhadap dorongan-dorongan
yang datang dari luar id. Superego merupakan wakil dari nilai-nilai
tradisional yang ada dalam masyarakat. Ini merupakan kesempurnaan
dari kesenangan karena itu das ueber ich dapat pula dianggap sebagai
moral daripada kepribadian. Fungsinya yang utama adalah menentukan
apakah sesuatu itu benar atau salah, pantas atau tidak. Sedangkan
aspek superego yang terdapat pada novel The Girls of Riyadh
berjumlah lima dan empat tokoh yang mendominasi aspek tersebut
adalah Qamrah, Michelle, Faishal dan Lumeis.
Peneliti ketiga yaitu Syahril (2012) meneliti tentang ‘‘Arena Produksi
Kultural dan Kekerasan Simbolik Analisis terhadap Novel Bana>tu‘r-Riya>dh
Karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i: Perspektif Sosiologi Pierre Bourdieu’’. Tesis ini
membicarakan arena produksi kultural dan kekerasan simbolik pada novel
Bana>tu‘r-Riya>dh. Alasan pemilihan novel Bana>tu‘r-Riya>dh, dikarenakan novel
tersebut mengangkat beragam masalah perempuan Saudi Arabia. Yaitu
10
perempuan bergulat dengan tuntutan yang bertentangan antara tradisi dan
modernitas, dan itu menunjukkan mereka menentang konvensi ketat sosial
kerajaan dan etika seksual. Novel Bana>tu‘r-Riya>dh merupakan suatu proses
pertarungan kultural yang menarik untuk dikaji dan juga berimplikasi terhadap
kekerasan simbolik. Di sini, peneliti menganalisis masalah tersebut dengan
menggunakan perspektif Pierre Bourdieu. Adapun tujuan penelitian ini adalah
untuk melihat bagaimana pertarungan modernitas melawan tradisional hingga
melahirkan novel Bana>tu‘r-Riya>dh. Dengan berpijak menggunakan dua alat
konseptual yang digunakan oleh Pierre Bourdieu; habitus dan arena yang ditopang
oleh konsep tentang kekuatan simbolik, strategi dan perjuangan untuk mencapai
kekuasaan simbolik dan material melalui beragam kapital yaitu ekonomi, budaya,
dan simbolik. Bagi Bourdieu, seluruh tindakan manusia terjadi dalam ranah sosial
–yang merupakan arena bagi perjuangan sumber daya. Individu, institusi, dan
agen lainnya mencoba untuk membedakan dirinya dari yang lain dan
mendapatkan modal yang berguna atau berharga di arena tersebut. Dalam
masyarakat modern terdapat dua sistem hierarkisasi yang berbeda. Pertama,
sistem ekonomi, yaitu posisi dan kuasa ditentukan oleh uang dan harta –modal
yang dimiliki seseorang. Kedua, sistem budaya atau simbolik, yaitu status
seseorang ditentukan oleh seberapa banyak ‘modal simbolik’ atau modal budaya
yang dimiliki. Karena budaya juga merupakan sumber dominasi, dimana para
intelektual memegang kunci sebagai spesialis produksi budaya dan pencipta kuasa
simbolik. Sementara itu, mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan
simbolik, peneliti melihat bahwa novel Bana>tu‘r-Riya>dh memperlihatkan
beberapa kekerasan simbolik dalam beberapa bentuk; kekerasan simbolik negara
11
terhadap masyarakat, kekerasan simbolik patriarki (laki-laki terhadap perempuan)
dan kekerasan simbolik keluarga terhadap anak.
Peneliti keempat yaitu Risna Rianti Sari (2013) meneliti tentang ‘‘Riya>dh
fi Riwa>yati Bana>ti li Raja>’ Ash-Sha>ni‘i: Dirasati Tahliliyati Ijtima’iyyah’’. Hasil
penelitian ini berupa deskripsi mengenai kehidupan masyarakat di Riyadh baik
pada segi kebudayaan, tradisi, masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Riyadh
maupun interaksi antara laki-laki dengan perempuan di Riyadh. Sehingga
ditemukan hubungan antara kehidupan masyarakat dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh
karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i dengan kehidupan nyata di Riyadh. Selain itu, terdapat
juga deskripsi tentang sejarah Riyadh, yaitu tentang kejadian-kejadian di Riyadh
pada tahun 2000-2005 (tahun pada saat novel Bana>>tu‘r-Riya>dh ditulis).
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa
kenyataan dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i tidak seratus
persen sama dengan kenyataan yang ada di Riyadh. Karena penulis memberikan
gambaran masyarakat Riyadh hanya berdasarkan pengamatannya, yaitu berupa
kejadian di dalam masyarakat tersebut dan di sekitarnya. Sebagian memang sesuai
dengan kenyataan, tetapi tidak sedikit dari penggambaran tersebut yang penulis
ungkapkan dari sudut pandangnya sebagai anggota masyarakat Riyadh.
Selanjutnya, karena penelitian kekerasan terhadap perempuan dalam novel
Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i dengan menggunakan analisis kritik
sastra feminis psikoanalisis Helene Cixous belum pernah dilakukan. Maka hal ini
menjadi kesempatan bagi peneliti untuk menjadikan novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya
Raja >’ Ash-Sha>ni‘i sebagai objek penelitian. Dalam hal ini, peneliti tertarik untuk
12
menganalisis struktur novel serta mendeskripsikan kekerasan terhadap perempuan
dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i dengan menggunakan
analisis kritik sastra feminis psikoanalisis Helene Cixous.
Novel Bana>tu‘r-Riya>dh menceritakan tentang kehidupan empat orang
perempuan yang tinggal di Riyadh, yaitu Qamrah, Sadi>m, Michelle dan Lumeis.
Bana>tu‘r-Riya>dh dalam bahasa Indonesia berarti ‘‘perempuan-perempuan di
Riyadh’’. Bana>t merupakan bentuk jamak dari kata bintun yang berarti ‘‘anak
perempuan’’ (Munawwir, 1997:112). Disebut dengan bana>t (bentuk jamak)
karena perempuan yang diceritakan dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh berjumlah lebih
dari dua orang perempuan. Kemudian kata Ar-Riya>dh berarti nama ibu kota Saudi
Arabia, yaitu Riyadh.
Adapun alasan yang membuat peneliti tertarik untuk mengkaji novel
Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i sebagai objek penelitian adalah sebagai
berikut.
Pertama, karya sastra novel Bana>tu‘r-Riya>dh ditulis oleh orang yang
sebenarnya bukan sastrawan, tetapi karya sastra tersebut menjadi karya sastra
yang fenomenal. Karena Raja>’ Ash-Sha>ni‘i adalah seorang dokter, tetapi
ketertarikannya dengan membaca dan menulis mendorongnya untuk membukukan
pengalaman teman-teman perempuannya yang berada di Riyadh. Sehingga novel
Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i tetap bisa dipandang sebagai karya
sastra yang mampu mewakili karakteristik kesusasteraan di masanya, khususnya
di Riyadh, Saudi Arabia.
13
Kedua, novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i terbit pada tahun
2000-an sehingga dapat digolongkan dalam karya sastra modern.
Ketiga, dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja >’ Ash-Sha>ni‘i memuat
kekerasan terhadap perempuan. Sehingga, novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’
Ash-Sha>ni‘i dapat dikaji menggunakan teori kritik sastra feminis psikoanalisis
Helene Cixous.
Keempat, berdasarkan penelusuran melalui perpustakaan-perpustakaan
digital di Indonesia, analisis kekerasan terhadap perempuan dalam novel
Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i dengan menggunakan teori kritik sastra
feminis psikoanalisis Helene Cixous belum pernah dilakukan sehingga diharapkan
penelitian ini dapat menjadi acuan untuk penelitian berikutnya.
Berdasarkan tinjauan pustaka dan beberapa alasan tersebut di atas, peneliti
mengambil judul penelitian ‘‘Kekerasan terhadap Perempuan: Kajian Kritik
Sastra Feminis Psikoanalisis Helene Cixous dalam Teks Novel Bana>tu‘r-Riya>dh
Karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i’’. Pendeskripsian kekerasan terhadap perempuan dalam
novel tersebut menjadi tujuan akhir penelitian setelah melalui proses
penganalisisan struktur novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i.
Selanjutnya, hasil penelitian ini diharapkan dapat turut berkontribusi dalam
pengembangan kajian kritik sastra feminis dari segi kajian sastra.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu pertama, memberikan
wawasan dan pengetahuan yang objektif terhadap pengkajian karya sastra novel,
khususnya dalam mengkaji kekerasan terhadap perempuan dalam novel Bana>tu‘r-
Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i. Manfaat kedua, mengungkapkan pengalaman
14
pembaca dengan mengambil amanat dan pesan yang terdapat dalam novel
Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i. Manfaat ketiga, mengembangkan
kajian kritik sastra feminis dalam rangka membangun masyarakat yang
berkeadilan gender dan saling menghormati antarsesama.
B. Rumusan Masalah
Agar pembahasan terfokus pada permasalahan, maka permasalahan yang
akan dikaji penting untuk dirumuskan. Adapun rumusan masalah dalam kajian ini
dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Bagaimana struktur novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i
berdasarkan teori fiksi Robert Stanton?
2. Bagaimana bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam novel Bana>tu‘r-
Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i berdasarkan teori kritik sastra feminis
psikoanalisis Helene Cixous?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk memberikan arah yang jelas pada
penelitian yang dilakukan. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan struktur novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>>ni‘i
berdasarkan teori fiksi Robert Stanton.
15
2. Mendeskripsikan bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam novel Bana >tu‘r-
Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i berdasarkan teori kritik sastra feminis
psikoanalisis Helene Cixous.
D. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dimaksudkan agar penelitian menjadi jelas dan
terarah, sehingga mencapai sasaran yang diinginkan. Adapun pembatasan masalah
yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Struktur novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i berdasarkan teori fiksi
Robert Stanton.
2. Deskripsi bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam novel Bana>tu‘r-Riya>dh
karya Raja >’ Ash-Sha>ni‘i berdasarkan teori kritik sastra feminis psikoanalisis
Helene Cixous.
E. Landasan Teori
Teori berasal dari kata theoria (bahasa Latin). Secara etimologis teori
berarti kontemplasi terhadap kosmos dan realitas. Pada tataran yang lebih luas,
dalam hubungannya dengan dunia keilmuan teori berarti perangkat pengertian,
konsep, proposisi yang mempunyai korelasi, dan telah teruji kebenarannya. Teori
tertentu dengan demikian lahir melalui ilmu tertentu. Dengan kalimat lain, tujuan
akhir suatu ilmu adalah melahirkan sebuah teori (Ratna, 2004:1).
16
1. Teori Fiksi Robert Stanton
Teori fiksi Robert Stanton merupakan salah satu teori pendekatan
struktural yang dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra berupa novel.
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam teori fiksi menurut Robert Stanton
adalah sebagai berikut.
a. Fakta-fakta Cerita
Fakta-fakta cerita terdiri dari karakter, alur dan latar. Elemen-elemen ini
berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum
menjadi satu, semua elemen ini dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan
faktual’ cerita. Struktur faktual bukan bagian yang terpisah dari cerita, tetapi
merupakan salah satu aspek cerita. Struktual faktual adalah cerita yang disorot
dari satu sudut pandang (Stanton, 1965:22).
a.1. Karakter
Menurut Stanton (1965:33), berdasarkan kedudukannya, karakter dalam
karya sastra ada dua jenis, yaitu karakter utama dan karakter bawahan. Karakter
utama adalah karakter yang selalu ada dan terkait dengan semua peristiwa yang
berlangsung di dalam cerita. Sedangkan karakter bawahan adalah karakter yang
kedudukannya tidak sentral dalam cerita, tetapi kehadiran karakter ini penting
untuk mendukung keberadaan karakter utama. Karakter bawahan dimunculkan
sekali atau beberapa kali dalam cerita dengan porsi penceritaan yang relatif
pendek. Dalam analisis mengenai karakter ini secara tidak langsung diungkapkan
pula tokoh-tokoh yang mewadahi karakter-karakter tersebut.
17
a.2. Alur
Alur adalah rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya
terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal, yaitu peristiwa
yang menyebabkan terjadinya peristiwa lain dan tidak dapat diabaikan karena
berpengaruh pada karya secara keseluruhan. Peristiwa kausal tidak hanya terbatas
pada hal fisik seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap
karakter, pandangan, keputusan, dan semua yang menjadi variabel pengubah
(Stanton, 1965:26).
a.3. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita
dan berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat
berwujud tempat dan waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau
satu periode sejarah (Stanton, 1965:35).
b. Tema
Tema merupakan aspek cerita dalam pengalaman manusia yang sejajar
dengan makna atau sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat.
Cerita yang menggambarkan dan menelaah kejadian atau emosi yang dialami
manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan
dan lain sebagainya. Beberapa cerita bermaksud menghakimi tindakan karakter-
karakter di dalamnya dengan memberi atribut baik atau buruk. Sedangkan cerita-
cerita yang lain memusatkan perhatian pada persoalan moral tanpa bermaksud
memberi penilaian dan seolah-olah hanya berkata ‘‘Inilah hidup’’ (Stanton,
1965:36-37).
18
Berdasarkan uraian tersebut di atas secara rinci dapat dilihat pada diagram
di bawah ini.
Diagram 1. Ringkasan teori struktural Robert Stanton.
Dari sarana-sarana sastra yang telah dikemukakan pada uraian di atas,
maka tidak seluruhnya akan diaplikasikan dalam analisis struktural novel
Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i karena akan disesuaikan dengan tema.
Sarana-sarana sastra yang tidak diaplikasikan dalam analisis struktural novel
Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i tersebut adalah ironi.
2. Teori Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis Helene Cixous
Kritik sastra feminis psikoanalisis memfokuskan kajian pada tulisan-
tulisan perempuan karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan
biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada
tokoh perempuan, sedangkan tokoh perempuan tersebut pada umumnya
merupakan cermin penciptanya (Wiyatmi, 2012:26). Helene Cixous adalah
seorang novelis, penulis drama dan kritikus feminis. Dalam teorinya, Cixous
memusatkan perhatiannya pada dua macam, yaitu a). Hegemoni oposisi biner
Teori Fiksi Robert Stanton
b. Tema a. Fakta-Fakta Cerita Sarana-Sarana Sastra
1). Alur
2). Karakter
3). Latar
1). Judul 2). Sudut Pandang
3). Gaya dan Tone
4). Simbolisme 5). Ironi
19
dalam kebudayaan barat, dan b). Praktik penulisan feminim yang dikaitkan
dengan tubuh (Moi via Ratna, 2013:200-201).
2.a. Definisi Kritik Sastra Feminis
Dalam pengertian sehari-hari kata kritik diartikan sebagai penilaian
terhadap suatu fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Secara etimologis, kritik
berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti hakim. Kata kerjanya adalah
krinein yang berarti menghakimi. Kata tersebut juga merupakan pangkal dari kata
benda criterion yang berarti dasar penghakiman. Dari kata tersebut kemudian
muncul kritikos untuk menyebut hakim karya sastra (Wellek dan Pradopo, via
Wiyatmi, 2012:1-2 ).
Kritik sastra feminis merupakan salah satu ragam kritik sastra (kajian
sastra) yang mendasarkan pada pemikiran feminisme yang menginginkan adanya
keadilan dalam memandang eksistensi perempuan, baik sebagai penulis maupun
dalam karya sastra-karya sastranya. Kritik sastra feminis tidak dapat dipisahkan
dari gerakan feminisme yang pada awalnya muncul di Amerika Serikat pada
1700-an (Madsen via Wiyatmi, 2012:28). Selanjutnya, Wellek (via Wiyatmi,
2012:2) juga mengemukakan bahwa kritik sastra adalah studi karya sastra yang
konkret dengan penekanan pada penilaiannya.
Secara etimologis, kata feminis berasal dari kata femme yang berarti
perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum
perempuan (jamak) sebagai kelas sosial (Selden via Kasnadi, 2010:175). Istilah
feminisme berasal dari bahasa Latin, yaitu femina yang berarti memiliki sifat
keperempuanan (Hubies via Kasnadi, 2010:175). Menurut Farha (via Kasnadi,
20
2010:175), feminisme adalah kesadaran adanya ketertindasan perempuan baik di
lingkup rumah tangga, di tempat kerja ataupun di tengah masyarakat. Berdasarkan
kesadaran itu, maka diupayakan berbagai cara untuk mengatasi masalah tersebut.
Dalam pengertian paling luas, feminis merupakan gerakan kaum
perempuan untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan,
disubordinasikan dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang
politik, ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya Sedangkan, dalam
pengertian yang lebih sempit (dalam sastra), feminis dikaitkan dengan cara-cara
memahami karya sastra, baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun
resepsi (Ratna, 2004:184).
2.b. Tahapan Analisis Kritik Sastra
Kritik sastra merupakan suatu cabang studi sastra yang langsung
berhubungan dengan karya sastra melalui interpretasi (penafsiran), analisis
(penguraian), dan penilaian (evaluasi). Adapun tahapan penelitian ini diuraikan
sebagai berikut.
Pertama, interpretasi yaitu upaya memahami karya sastra dengan
memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra itu. Dalam arti sempit,
interpretasi adalah usaha untuk memperjelas arti bahasa dengan sarana analisis,
parafrasa dan komentar. Sedangkan, dalam arti luas, interpretasi adalah
menafsirkan makna karya sastra berdasarkan unsur-unsur beserta aspek-aspeknya
yang lain, seperti jenis sastranya, aliran sastranya, efek-efeknya, serta latar
belakang sosial historis yang mendasari kelahirannya (Abrams dan Pradopo via
Wiyatmi, 2012:3-4). Kedua, analisis yaitu penguraian karya sastra atas bagian-
21
bagaian atau norma-normanya (Pradopo via Wiyatmi, 2012:4). Ketiga, penilaian
yaitu usaha untuk menentukan kadar keindahan (keberhasilan) karya sastra yang
dikritik. Penilaian terhadap karya sastra juga dilakukan tidak dengan semena-
mena, tetapi berdasarkan pada fenomena yang ada dalam karya sastra yang dinilai,
kriteria dan standar penilaian, serta pendekatan yang digunakan (Wiyatmi,
2012:4).
2.c. Tujuan Kritik Sastra Feminis
Tujuan utama kritik sastra feminis adalah menganalisis relasi gender,
hubungan antara perempuan dengan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial,
yang antara lain menggambarkan situasi ketika perempuan berada dalam dominasi
laki-laki (Flax via Wiyatmi, 2012:9). Kritik sastra feminis bertujuan untuk; 1).
Menafsirkan dan menilai karya sastra yang dihasilkan di masa lalu, 2). Membantu
memahami, menafsirkan dan menilai cerita-cerita rekaan penulis perempuan, 3).
Kritik sastra feminis menilai penilaian yang telah digunakan untuk menilai karya
sastra (Kolodny via Kasnadi, 2010:176).
Melalui kritik sastra feminis akan dideskripsikan adanya penindasan
terhadap perempuan yang terdapat dalam karya sastra (Humm, 1986:22). Humm
(1986:14-15) juga menyatakan bahwa penulisan sejarah sastra sebelum
munculnya kritik sastra feminis, dikonstruksi oleh fiksi laki-laki. Oleh karena itu,
kritik sastra feminis melakukan rekonstruksi dan membaca kembali karya-karya
tersebut dengan fokus pada perempuan, sifat sosiolinguistiknya, mendeskripsikan
tulisan perempuan dengan perhatian khusus pada penggunaan kata-kata dalam
tulisannya (Humm via Wiyatmi, 2012:9-10).
22
Pembagian kerja berdasarkan gender yang menempatkan perempuan
dalam ranah domestik, sementara laki-laki dalam ranah publik jelas menimbulkan
kesenjangan kelas karena sebagai pekerja di ranah publik, laki-laki akan
menguasai wilayah produksi. Sehingga secara ekonomi, laki-laki yang
menghasilkan materi, sementara perempuan, meskipun mengeluarkan tenaga dan
menggunakan hampir seluruh waktunya untuk bekerja di rumah dia tidak
mendapatkan penghasilan. Bahkan, secara ekonomi perempuan sebagai ibu rumah
tangga tergantung kepada laki-laki. Perempuan tidak menguasai materi
(kepemilikan benda maupun uang) karena sebagai ibu rumah tangga dia tidak
mendapatkan penghasilan. Oleh karena itu, dia harus tunduk dan patuh kepada
suaminya. Hal inilah yang memungkinkan perempuan tertindas (Wiyatmi,
2012:27-28).
Berdasarkan uraian tersebut di atas secara rinci dapat dilihat pada diagram
di bawah ini.
Diagram 2. Skema Ringkasan Teori Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis
(Helene Cixous)
Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis (Helene Cixous)
1. Hegemoni Oposisi Biner
dalam Kebudayaan Barat
2. Praktik Penulisan Feminim
yang Dikaitkan dengan Tubuh
Langkah-langkah Analisis
Kekerasan terhadap Perempuan
1. Interpretasi 2. Analisis 3. Penilaian
23
3. Definisi Kekerasan terhadap Perempuan
Tindak kekerasan yang terkait dengan perbedaan jenis kelamin dikenal
dengan istilah gender based violence (La Pona via Sugihastuti, 2007:171).
Menurut Saraswati (via Sugihastuti, 2007:171), kekerasan adalah tindakan yang
dilakukan terhadap pihak lain, yang pelakunya perseorangan atau lebih, yang
dapat mengakibatkan penderitaan bagi pihak lain. Kekerasan tersebut dibedakan
dalam dua bentuk, yaitu kekerasan fisik yang dapat mengakibatkan luka pada fisik
hingga mengakibatkan kematian, dan kekerasan psikologis yang berakibat pada
timbulnya trauma berkepanjangan pada korban terhadap hal-hal tertentu yang
telah dialaminya.
Dalam pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di
Nairobi pada tahun 1985, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan
terhadap perempuan adalah sebagai berikut.
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang berakibat pada penderitaan perempuan
secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau pemerasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik
yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi
(Sugihastuti, 2007:172).
Menurut La Pona (via Sugihastuti, 2007:172), kekerasan terhadap
perempuan adalah tindakan seorang laki-laki atau sejumlah laki-laki dengan
mengerahkan kekuatan tertentu sehingga menimbulkan kerugian atau penderitaan
secara fisik, seksual, atau psikologis pada seorang perempuan atau sekelompok
perempuan, termasuk tindakan yang bersifat memaksa, mengancam, dan atau
berbuat sewenang-wenang, baik yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat
maupun dalam kehidupan pribadi di ruang domestik dan publik.
24
3.a. Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan
Berdasarkan situs terjadinya, kekerasan terhadap perempuan dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu kekerasan yang terjadi pada arena domestik atau
kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan pada arena publik. Pembedaan
antara kedua ranah ini didasarkan atas unsur relasi sosial antara korban dan pelaku
(Landes via Sugihastuti, 2007:172).
Oleh karena itu, kekerasan yang dilakukan oleh pelaku yang memiliki
hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan, meskipun dilakukan di sektor
publik, di pasar misalnya, kekerasan tersebut dapat dikategorikan sebagai
kekerasan domestik. Sebaliknya, jika kekerasan dilakukan oleh orang yang tidak
memiliki hubungan kekerabatan atau perkawinan, meskipun dilakukan di dalam
rumah, dikategorikan sebagai kekerasan sektor publik (Sugihastuti, 2007:172-
173).
Hasbianto (via Sugihastuti, 2007:173) menyatakan bahwa kekerasan
dalam rumah tangga (selanjutnya disebut kekerasan domestik) adalah suatu
bentuk penganiayaan secara fisik maupun emosional atau psikologis, yang
merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah
tangga. Meiyanti (via Sugihastuti, 2007:173) menjelaskan jenis-jenis kekerasan
domestik terhadap perempuan sebagai berikut.
Pertama, kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan dalam melakukan
hubungan seksual, pemaksaan selera seksual sendiri, dan tidak memperhatikan
kepuasan pihak istri. Kedua, kekerasan fisik adalah segala macam tindakan yang
mengakibatkan kekerasan fisik pada perempuan yang menjadi korbannya (La
25
Pona via Sugihastuti, 2007:173). Kekerasan fisik dilakukan dengan menggunakan
anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya seperti
memukul, menampar, meludahi, menjambak, menendang, menyulut dengan
rokok, serta melukai dengan barang atau senjata. Ketiga, kekerasan ekonomi
seperti tidak memberikan uang belanja, dan memakai atau menghabiskan uang
istri. Keempat, kekerasan emosional yang meliputi mencela, menghina,
mengancam atau menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak, serta
mengisolasi istri dari dunia luar. Kekerasan terhadap perempuan dibedakan
menjadi dua bentuk, yaitu kekerasan seksual dan nonseksual (Dzuhayatin dan
Yuarsi via Sugihastuti, 2007:173-174). Perbedaan antara kedua jenis kekerasan
tersebut adalah ada atau tidaknya unsur kehendak seksual. Jika terdapat unsur
kehendak seksual, maka kekerasan tersebut dapat dikategorikan sebagai kekerasan
seksual. Sebaliknya, jika unsur tersebut tidak dominan, maka kekerasan tersebut
termasuk dalam kategori kekerasan non seksual.
Berdasarkan uraian tersebut di atas secara rinci dapat dilihat pada diagram
di bawah ini.
Diagram 3. Skema Kekerasan terhadap Perempuan
Bentuk-bentuk Kekerasan terhadap Perempuan
1. Kekerasan Domestik 2. Kekerasan Publik
2. Emosional
1. Fisik 3. Ekonomi 1. Seksual 2. Non Seksual
1. Fisik 2. Emosional
Diagram Kekerasan terhadap Perempuan
26
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pada penelitian ini dibahas
mengenai dua jenis kekerasan terhadap perempuan dalam teks novel Bana>tu‘r-
Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i, yaitu a). Kekerasan domestik (yang meliputi
kekerasan fisik, emosional dan ekonomi), dan b). Kekerasan publik yang terdiri
dari kekerasan seksual dan non seksual (yang meliputi kekerasan emosional dan
fisik). Akan tetapi, tidak seluruhnya diaplikasikan karena disesuaikan dengan
bentuk-bentuk kekerasan yang terdapat dalam teks novel Bana>tu‘r-Riya>dh.
F. Data dan Sumber Data
1. Objek Penelitian
Objek penelitian sastra adalah topik atau pokok penelitian sastra (Sangidu,
2001:61). Objek dalam penelitian ini adalah novel Arab yang berjudul Bana>tu‘r-
Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i.
2. Data
Menurut Moleong (2010:16), data sebagai data formal adalah kata-kata,
kalimat maupun wacana. Data yang terkumpul dalam analisis deskriptif berupa
kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini disebabkan oleh adanya
penerapan metode kualitatif. Bentuk data dalam penelitian ini berupa teks, kata-
kata, frasa, kalimat maupun wacana yang terkandung dalam novel Bana>tu‘r-
Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i.
3. Sumber Data
Sumber data adalah naskah (Ratna, 2004:47). Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data kepustakaan yang berupa buku, transkrip, website
27
hasil penelitian dan lain sebagainya yang diuraikan dengan perincian sebagai
berikut.
3.a. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan sumber data utama. Sumber data primer
penelitian ini adalah novel Arab yang berjudul Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja>’ Ash-
Sha>ni‘i.
3.b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah sumber data kedua. Sumber data sekunder
dalam penelitian ini adalah data-data yang bersumber dari buku-buku, karya tulis,
data penelitian dan website yang menyediakan data terkait pembahasan dalam
penelitian.
G. Metode dan Teknik Penelitian
Metode berasal dari bahasa Latin, yaitu methodos yang berasal dari kata
meta dan hodos. Kata meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah dan kata
hodos berarti jalan, cara dan arah. Jadi, metode kritik sastra adalah cara sistematis
untuk memahami karya sastra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif kualitatif (Endraswara, 2013:173).
Metode deskriptif adalah cara pelukisan data dan analisis dalam kritik
sastra. Kritik membutuhkan pelukisan data sebagaimana adanya. Maksudnya,
yang digambarkan dalam kritik sastra menurut realitas yang ada, tidak perlu
menambahi hal-hal lain. Teknik penelitian semacam ini dalam kritik sastra disebut
deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif mengutamakan penggambaran data
28
melalui kata-kata. Kata-kata memuat ribuan makna. Setiap kata mendukung jutaan
makna (Endraswara, 2013:176)
Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif karena data yang dianalisis tidak
untuk menerima atau menolak hipotesis (jika ada), melainkan hasil analisis itu
berupa deskripsi dari gejala-gejala yang diamati, yang tidak selalu harus
berbentuk angka-angka atau koefisien antarvariabel. Penelitian kualitatif
cenderung berkembang dan banyak digunakan dalam ilmu-ilmu sosial yang
berhubungan dengan perilaku sosial atau manusia dengan berbagai argumentasi
tentunya (Subana, 2001:17-18).
Teknik deskriptif kualitatif menurut McCall dan Simmons (dalam
Endraswara, 2013:176), juga disebut teknik deskriptif analitik (analytic
description). Metode deskriptif analitik dalam kritik sastra adalah cara
menguraikan sekaligus menganalisis (Ratna, 2004:39).
1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto dalam Sangidu,
2004:14). Dalam teknik pengumpulan data, data diperoleh dengan cara membaca,
memahami, mencatat hal-hal penting, memaknai dan mengkategorikan teks pada
novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja >’ Ash-Sha>ni‘i, dengan melihat struktur dan isi
teks sesuai dengan teori fiksi Robert Stanton, yang dapat melengkapi dan
menunjang penelitian.
29
2. Teknik Analisis Data
Berdasarkan judul penelitian yaitu ‘‘Kekerasan terhadap Perempuan:
Kajian Kritik Sastra Feminis Psikoanalisis Helene Cixous dalam Teks Novel
Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja >’ Ash-Sha>ni‘i’’, maka tahapan analisisnya adalah
analisis struktural Robert Stanton, kemudian dilanjutkan dengan analisis kajian
kritik sastra feminis dengan tahap-tahap berikut.
Pertama, interpretasi yaitu upaya memahami karya sastra dengan
memberikan tafsiran berdasarkan sifat-sifat karya sastra itu. Dalam arti
sempit, interpretasi adalah usaha untuk memperjelas arti bahasa dengan
sarana analisis, parafrasa dan komentar. Sedangkan, dalam arti luas,
interpretasi adalah menafsirkan makna karya sastra berdasarkan unsur-
unsur beserta aspek-aspeknya yang lain, seperti jenis sastranya, aliran
sastranya, efek-efeknya, serta latar belakang sosial historis yang mendasari
kelahirannya (Abrams dan Pradopo via Wiyatmi, 2012:3-4).
Kedua, analisis yaitu penguraian karya sastra atas bagian-bagian atau
norma-normanya (Pradopo via Wiyatmi, 2012:4).
Ketiga, penilaian yaitu usaha untuk menentukan kadar keindahan
(keberhasilan) karya sastra yang dikritik. Penilaian terhadap karya sastra
juga dilakukan tidak dengan semena-mena, tetapi berdasarkan pada
fenomena yang ada dalam karya sastra yang dinilai, kriteria dan standar
penilaian, serta pendekatan yang digunakan (Wiyatmi, 2012:4).
30
H. Sistematika Penulisan
Agar diperoleh suatu pembahasan yang jelas dan berkesinambungan antara
bab demi bab, maka sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut.
Bab I merupakan pendahuluan yang meliputi latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah, landasan teori, data dan sumber
data, metode dan teknik penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan isi yang meliputi (1) analisis struktural novel Bana>tu‘r-
Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i berdasarkan teori struktural Robert Stanton, (2)
pembahasan yang meliputi deskripsi bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam
novel Bana>tu‘r-Riya>dh karya Raja >’ Ash-Sha>ni‘i dengan menggunakan kajian
kritik sastra feminis psikoanalisis Helene Cixous.
Bab III penutup yang meliputi simpulan dan saran. Pada bagian akhir
dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran berupa teks novel Bana>tu‘r-
Riya>dh karya Raja>’ Ash-Sha>ni‘i.