bab i pendahuluan a. latar belakang...1 andi hamzah, “perbandingan pemberantasan korupsi di...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha untuk memberantas tindak pidana korupsi sudah menjadi
masalah global, tidak hanya nasional atau regional. Tindak pidana
korupsi merupakan perbuatan yang bukan saja dapat merugikan
keuangan negara akan tetapi juga dapat menimbulkan kerugian
perekonomian rakyat.1
Kejahatan korupsi yang berkembang di dunia pada umumnya
serta di Indonesia pada khususnya sangat memprihatinkan, sehingga
sangat diperlukan hukum sebagai penegak keadilan guna
menyelamatkan negara dari kerugian dan menjunjung hak rakyat untuk
mendapatkan hasil yang baik dari pembangunan yang bebas dari
korupsi.2
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia masih tergolong tinggi,
sementara pemberantasannya masih sangat lamban. Romli
Atmasasmita menyatakan, korupsi di Indonesia sudah merupakan virus
yang menyebar ke seluruh tubuh pemerintahan sejak tahun 1960-an,
1 Andi Hamzah, “Perbandingan Pemberantasan Korupsi di berbagai Negara”, Jakarta:
Sinar Grafika 2005, hal 5 2 R. Wiyono. “Pembahasan Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”,
Jakarta: Sinar Grafika 2005, hal 33.
2
sementara langkah pemberantasannya masih tersendat-sendat sampai
sekarang.3
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang belum
berjalan sesuai harapan tersebut jelas berkaitan pula dengan upaya
pencegahannya yang juga masih belum memenuhi harapan masyarakat.
Dalam hukum positif Indonesia sebenarnya sudah mengatur mengenai
upaya pecegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang kemudian dalam
keadaan mendesak ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 24 Tahun
1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 3 Tahun
1971. Kemudian, terjadinnya perkembangan mengenai tindak pidana
korupsi yang melibatkan penyelenggara dan pengusaha, Undang-
Undang tersebutpun dirasa tidak sesuai lagi sehingga ditetapkanlah
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi mengganti Undang-undang sebelumnya. Kemudian,
kembali Undang-Undang tersebut mengalami perubahan dan di sahkan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
3 Romli Atmasasmita, “Sekitar Masalah Korupsi,Aspek Nasional dan Aspek Internasional”,
Bandung, Mandar Maju, 2004, hal. 1.
3
Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.4
Dalam konsideran Undang-Undang No. 20 Tahun 2011 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut antara lain menyebutkan
bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas,
tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara
luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai
kejahatan yang pencegahan dan pemberantasannya harus dilakukan
secara luar biasa. Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, serta
menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan
perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta
perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, maka
perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun faktanya dengan
diundangkannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-
Undang No. 20 Tahun 2011, kasus korupsi di Indonesia bukannya
4 Ermansjah Djaja,”Memberantas Korupsi Bersama KPK”(Komisi Pemberantasan Korupsi
di Indonesia), PT.Refika Aditama, Bandung, 2008, hal 8-10.
4
berkurang tetapi justru semakin bertambah. Begitu juga proses
peradilannya dirasakan masih kurang menjamin kepastian hukum.5
Masalah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
menjadi pusat perhatian masyarakat Internasional saat ini. Dalam rangka
penanggulangan praktik korupsi maka lahirlah berbagai konvensi-
konvensi internasional maupun regional satu diantaranya adalah
Konvensi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)
pada tahun 2003 yang membahas strategi pencegahan, penanganan, dan
pemberantasan korupsi secara global.
UNCAC 2003 merupakan suatu guide lines terbaru dalam
penanganan korupsi yang sudah semakin menggurita terutama
bersentuhan dengan lembaga pemerintah termasuk dengan kebijakan
pemerintah dalam segala aspek. Selain karena konsekuensi dari
ratifikasi UNCAC, sebenarnya setiap negara berkewajiban secara
periodik untuk mengevaluasi bagaimana instrument hukum dan
langkah-langkah administratif yang ada dalam rangka mencegah dan
memberantas korupsi, terutama bila dikaitkan dengan peringkat terkorup
ke-10.6
Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi United
Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dengan
5 Ibid.
6 Data bulan Mei Tahun 2009.
5
diundangkannya Undang-Undang No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) dengan demikian ius
constituendum mengenai tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan
mengacu pada konvensi tersebut.
Berikut adalah jenis-jenis tindak pidana korupsi yang diatur
dalam UNCAC ; 7
1. Tindak pidana penyuapan pejabat publik nasional;
2. Tindak pidana penyuapan pejabat publik asing dan
pejabat dari organisasi-organisasi Internasional;
3. Tindak pidana penggelapan, penyelewengan atau
pengalihan kekayaan dengan cara lain oleh seorang
pejabat publik;
4. Tindak pidana memperdagangkan pengaruh;
5. Tindak pidana penyalahgunaan fungsi;
6. Tindak pidana memperkaya secara tidak sah;
7. Tindak pidana penyuapan di sector swasta;
8. Tindak pidana penggelapan kekayaan dalam sektor
swasta;
9. Tindak pidana pencucian hasil kejahatan;
10. Penyembunyian hasil tindak pidana korupsi;
11. Perbuatan menghalang-halangi proses peradilan
Sebenarnya, keseriusan Negara Indonesia dalam menangani
tindak pidana korupsi telah dilakukan dengan baik dengan adanya 3
lembaga Negara yang bertugas mencegah serta memberantas korupsi. 3
(Tiga) Lembaga Negara tersebut antara lain adalah Kepolisian,
7 UNCAC, Article 15 sampai dengan Article 25.
6
Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam
pelaksanaan tugas penanganan tindak pidana korupsi, masing-masing
dari tiga Lembaga Negara tersebut diberikan tugas dan kewenangan
oleh Undang-Undang.
KPK sendiri terbentuk karena lembaga konvensional yaitu
Kepolisian, Kejaksaan, dianggap belum mampu menangani tindak
pidana korupsi yang begitu besar di Indonesia. Hal ini juga didukung
oleh kurangnya kepercayaan rakyat terhadap kinerja Kepolisian dan
Kejaksaan dalam menangani korupsi yang merajalela diberbagai
lingkungan pemerintahan, termasuk dalam lingkungan Kepolisian
maupun Kejaksaan sendiri.
Adapaun sejarah pembentukan lembaga-lembaga pencegahan
dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh Pemerintah sebelum
ada KPK yakni antara lain; Tim Pemberantasan Korupsi yang dibentuk
berdasarkan Kepres Nomor 228 Tahun 1967, Komisi IV Pemberantasan
korupsi berdasarkan Kepres Nomor 12 Tahun 1970 (disebut komite anti
korupsi), OPSTIB berdasarkan Inpres Nomor 8 Tahun 1977, Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) Tahun 1982 yang tidak pernah terwujud
Kepresnya, dan terakhir Tim Gabungan Anti Korupsi yang mengacu
pada UU Nomor 31 Tahun 1999, selanjutnya dengan mengacu pada
Undang-undang tersebut, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak
7
Pidana Korupsi (KPK). Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 lahirlah
Pengadilan Tipikor, yang pada desember 2006 telah diuji materiil oleh
Makhkamah Konstitusi dengan kesimpulan bahwa keberadaan
Pengadilan tersebut harus didasarkan pada peraturan perundang-
undangan sendiri. Selain itu berdasarkan Pasal 27 UU Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001
telah dibentuk Tim Gabungan dibawah koordinasi Jaksa Agung
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Selain itu
pemerintah juga membentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (TIMTAS TIPIKOR) yang kedudukannya langsung di bawah
Presiden (yang telah berakhir masa bekerjanya pada Maret 2007).
Selain lembaga-lembaga tersebut, Peradilan umum masih tetap
berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara korupsi pada
umumnya, namun ternyata pemberantasan korupsi ini masih jauh dari
harapan.
Berikut adalah gambaran singkat tentang tugas lembaga penegak
hukum dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana korupsi serta
bentuk disinkronisasi penanganan kasus tindak pidana korupsi antara
lain :
8
1. Kepolisian
Dalam Penanganan seluruh tindak pidana termasuk di
dalamnya tindak pidana korupsi, berbagai peraturan mengatur
tugas dan kewenangan Kepolisian untuk melakukan
Penyelidikan dan Penyidikan. Beberapa peraturan tersebut
adalah:
a. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
memberikan tugas terhadap Kepolisian diantaranya
dalam pasal 14 ayat 1 huruf g, yaitu melakukkan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainya. Berdasarkan Pasal 1 angka
10 Undang-Undang Kepolian, penyidik adalah pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang untuk melakukan
penyidikan;
b. aturan lain yang memberikan kewenangan terhadap
Kepolisian dalam melakukan penyelidikan dan
penyidikan adalah berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 ayat 1 dan ayat 4
serta rincian tugas dan kewenangannya yang diatur
9
dalam Pasal 4 – 9 KUHAP. Sesuai Pasal 1 ayat 1 dan 4
KUHAP menyebutkan bahwa Polisi Negara Republik
Indonesia adalah pejabat yang diberikan wewenang oleh
Undang-undang untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan;
c. berdasarkan konteks penanganan tindak pidana korupsi
yang diatur dalam Undang- Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas
Kepolisian dalam melakukan Penyelidikan dan
penyidikan diatur dalam Pasal 41 “Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat melaksanakan kerja sama
dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum negara
lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang
telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia”.
2. Kejaksaan
Dalam Penanganan seluruh tindak pidana, termasuk
tindak pidana korupsi, ada beberapa pengaturan dalam
Undang-Undang yang memberikan tugas dan wewenang
kepada Kejaksaan yaitu:
10
a. Salah satu tugas dan wewenang pokok Kejaksaan
sesuai Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan, diantaranya dalam Pasal 30 ayat (1), yaitu
melakukan penuntutan; dan melakukan Penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan Undang-
Undang, yang salah satunya adalah tindak pidana
korupsi;
b. kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) memberikan kewenangan kepada
Kejaksaan untuk melakukan penuntutan, sesuai Pasal
1 ayat (6) KUHAP;
c. berdasarkan konteks penanganan tindak pidana
korupsi yang diatur dalam Undang- Undang No. 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), tugas Kejaksaan dalam melakukan penyidikan
diatur dalam Pasal 41 “Komisi Pemberantasan
Korupsi dapat melaksanakan kerja sama dalam
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi dengan lembaga penegak hukum
negara lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian
11
internasional yang telah diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia”.
Sedangkan kewenangannya dalam melakukan
penuntutan dalam Undang-Undang ini tidak diatur
dengan tegas.
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Dalam penanganan tindak pidana korupsi, tugas dan
wewenang KPK diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 6
hingga Pasal 14 menyebutkan tentang tugas dan wewenang
dari KPK. Salah satu tugas pokok KPK sesuai pasal 6 huruf c
adalah melakukan penyelidikan, penyidikan serta penuntutan.
Selain itu KPK juga bisa melakukan pengambilalihan
terhadap kasus yang sedang ditangani Kepolisian dan
Kejaksaan dengan kondisi tertentu sesuai dengan Pasal 8 dan
9 Undang-undang KPK.
Sebagai institusi yang mempunyai peran penting dalam
upaya pemberantasan korupsi, maka KPK mempunyai
kewajiban untuk memastikan terimplementasinya UNCAC
tersebut. Langkah awal untuk implementasi UNCAC adalah
menyelaraskan undang-undang tindak pidana korupsi dan
12
peraturan perundang-undangan yang lain dengan sejumlah
ketentuan yang tercantum dalam UNCAC.
Tentunya implementasi UNCAC tidak harus menunggu
hingga seluruh peraturan perundangan terharmonisasi dengan
UNCAC, karena sebenarnya telah banyak peraturan
perundang-undangan yang mengarah pada pemberantasan dan
pencegahan korupsi secara masif seperti halnya yang
diperintahkan oleh konvensi. Untuk itu studi ini berusaha
mengidentifikasi kegiatan dan peraturan yang telah dikerjakan
Indonesia yang sejalan dengan amanat UNCAC. Meskipun
hasil dari berbagai program/kegiatan tersebut belum
membuahkan hasil yang maksimal, yang dibuktikan dengan
masih terpuruknya Indonesia akibat Korupsi, namun
setidaknya hasil studi ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan bagi proses harmonisasi perundangan yang
sedang berlangsung.
Dengan adanya tiga lembaga tersebut diatas mengacu kepada
KUHP, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, serta diratifikasinya
Konvensi UNCAC 2003 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2006, memberikan pandangan bahwa Pemerintah sangat serius
13
mendukung dan mendorong semua pihak khususnya aparat penegak
hukum untuk melakukan penanganan sekaligus pencegahan secara
objektif terhadap pihak-pihak yang diduga terlibat dalam tindak pidana
korupsi yang merugikan negara. Inilah yang menurut penulis harus terus
menerus didorong bahwa ketiga penegak hukum harus objektif dan
mampu melakukan langkah-langkah pencegahan, penindakan, dan
pemidanaan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik
meneliti lebih mendalam melalui Tesis ini mengenai hal pencegahan
tindak pidana korupsi menurut UNCAC 2003 dan Peraturan Perundang-
undangan tentang tindak pidana korupsi di Indonesia dengan
mengangkat judul “Kebijkan Hukum Pidana Indonesia dan UNCAC
Tahun 2003 dalam Kaitannya dengan Upaya Pencegahan Tindak
Pidana Korupsi”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah pada
penelitian ini adalah :
Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia dikaitkan dengan
UNCAC Tahun 2003 dalam Mengupayakan Pencegahan Tindak Pidana
Korupsi?
14
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah :
1. Untuk mengetahui sejauh mana pengaturan hukum
internasional dalam hal ini Konvensi UNCAC 2003 serta
hukum nasional tentang tindak pidana korupsi, khususnya
dalam hal pencegahan tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis sejauh mana kebijakan
hukum pidana di Indonesia dalam mengupayakan pencegahan
tindak pidana korupsi.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis Kebijakan dalam
UNCAC 2003 yang dapat di adopsi kedalam Kebijakan
Hukum Pidana Indonesia dalam kaitan Pencegahan terhadap
Tindak Pidana Korupsi.
15
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
kepentingan akademis maupun kepentingan praktis dalam
perkembangan dan pembangunan hukum dimasa kini dan masa yang
akan datang.
a. Manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan
bahwa penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
hukum (hukum pidana) pada umumnya, khususnya bagi
pengembangan ilmu hukum pidana terkait pencegahan tindak
pidana korupsi.
b. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
membuka cakrawala pikir dan menjadi referensi untuk
melakukan evaluasi bagi penyempurnaan tugas dan
kewenangan penegakan hukum dalam melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya tindakan
pencegahan.
16
E. Kerangka Teori
1. Teori Sebab-Sebab Timbulnya Kejahatan
a. Mencari sebab kejahatan dari aspek fisik (biologi kriminal).
Menurut Cesare Lambroso.8 Kejahatan yaitu perbuatan
yang melanggar hukum alam (natural law). Kejahatan juga
merupakan penjahat mewakili suatu tipe keanehan/keganjilan
fisik, yang berbeda dengan non kriminal. Dia mengklaim
bahwa para penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan
yang termanifestasi dalam karakter fisik yang merefleksikan
suatu bentuk awal dari evolusi. Teori Lambroso tentang born
criminal (penjahat yang dilakhirkan) menyatakan bahwa para
penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam
kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip
kera dalam hal sifat bawaan dan watak dibanding mereka
yang bukan penjahat.
b. Mencari tentang sebab kejahatan dari faktor Psikologis dan
Psikiatris (psikologi kriminal). Adapun sebab kejahatan dari
faktor psikologi menurut Susanto.9 Yaitu adanya cacat mental
yang dimiliki dan lebih ditekankan pada kekurangan
8 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2010, “Kriminologi”,Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, hlm.38 9 Ibid, hal . 20 -21
17
intelegensia kepribadiannya yaitu dilihat dari segi tinggi
rendahnya IQ dan tingkat kedewasaan. Masalah cacat mental
ini telah dibuktikan pada perbuatan kenakalan remaja yang
menyatakan bahwa 8% menderita cacat mental. Menurut
Samuel Yochelson dan Stanton Samenow.10
Bahwa
kejahatan disebabkan oleh konflik Internal. Tetapi para
penjahat itu sama-sama memiliki pola berfikir yang abnormal
yang membawa mereka memutuskan untuk melakukan
kejahatan, para penjahat adalah orang yang “marah”, yang
merasa suatu sense superioritas, menyangka tidak
bertanggung jawab atas tindakan yang meraka ambil dan
mempunyai harga diri yang sangat melambung.
c. Mencari tentang sebab kejahatan dari faktor sosiologis. Teori-
teori sosiologi tentang sebab kejahatan dapat dikelompokkan,
menjadi tiga kategori yaitu: strain, cultur deviance
(penyimpangan budaya) dan social control (kontrol sosial).
Teori-teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan
perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang
menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal, keduanya
berasumsi bahwa kelas sosial dan tingkah laku kriminal
10
Ibid, hal. 49 - 50
18
berhubungan, tetapi berbeda dalam hal sifat hubungan
tersebut. Teori strain, ini beranggapan bahwa seluruh anggota
masyarakat mengikuti satu set nilai-nilai budaya dari kelas
menengah, dan teori penyimpangan budaya mengklaim
bahwa orang-orang dari kelas bawah memiliki satu set nilai-
nilai yang berbeda, yang cenderung konflik dengan nilai dari
kelas menengah. Sedangkan teori kontrol sosial yaitu yang
berasumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan
bagian dari umat manusia dan mengkaji kemampuan
kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga membuat aturan-
aturannya efektif.
Menurut Emile Durkheim, anomie (hancurnya keteraturan
sosial sebagai akibat dari hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai).
Menurutnya bahwa jika sebuah masyarakat sederhana berkembang
menuju satu masyarakat yang modern dan kota maka kedekatan
(intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan satu set norma-norma
umum (a common set of rules) akan merosot. Kelompok-kelompok
menjadi terpisah-pisah, dan dalam ketiadaan satu set aturan-aturan
umum, tindakan-tindakan dan harapan-harapan orang disatu sektor
mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain. 11
11
Ibid, hal. 99
19
Dalam usaha untuk menanggulangi kejahatan ada dua cara
yaitu preventif (mencegah sebelum terjadi kejahatan) dan tindakan
represif (usaha sesudah terjadinya kejahatan). Berikut ini diuraikan
pula masing-masing usaha tersebut. Tindakan preventif adalah
tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau menjaga kemungkinan
akan terjadinya kejahatan.
A. Qirom Samsundin, dalam kaitannya untuk melakukan
tindakan preventif adalah mencegah kejahatan lebih baik dari pada
mendidik penjahat menjadi baik kembali sebab bukan saja
diperhintungkan segi biayanya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan
mendapatkan hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.12
Selanjutnya Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan yang
terpenting adalah: 1) preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi
reformasi dan prevensi dalam arti sempit; 2) prevensi kejahatan
dalam arti sempit meliputi; morallistik yaitu menyebarluaskan
sarana-sarana yang dapat memperteguhkan moral seseorang agar
dapat terhindar dari nafsu berbuat jahat; Abalionistik yaitu berusaha
mencegah tumbuhnya keinginan kejahatan dan meniadakan faktor-
faktor yang terkenal sebagai penyuap timbul kejahatan.
12
A. Qirom Samsundin M, Sumaryo E., “Kejahatan anak suatu tinjauan dari psikologis dan
hukum”, Liberti, Yogyakarta, 1985, hal. 46
20
Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya
sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan
hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang
didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya
perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk
bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada
diskresi. Di Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai
perlindungan hukum preventif.13
2. Teori Pencegahan Tindak Pidana
Teori pencegahan tindak pidana pada dasarnya merupakan
bagian dari teori tujuan pemidanaan. Secara garis besar, tujuan
pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan
tetapi untuk mencegah terjadinya kejahatan/tindak pidana serta
mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Sebagaimana
dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok dari pemidanaan
yaitu;14
13
Diunduh dari http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli/
diakses pada tanggal 06-03-2018 pukul 00.04 14
Koeswadji, “Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan
Hukum Pidana”, Cetakan I dan 2, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995, hal. 12.
21
a. Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat
(dehandhaving van de maatschappelijke orde);
b. Untuk memperbaiki kerugian yang diderita oleh
masyarakat sebagai akibat dari terjadinya kejahatan. (het
herstel van het doer de misdaad onstane maatschappelijke
nadeel);
c. Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);
d. Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van
de misdadiger);
e. Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de
misdaad )
Filosof Inggris Jeremy Bentham (1748-1832), merupakan
tokoh yang pendapatnya menurut penulis dapat dijadikan
pendukung dari teori ini. Menurut Jeremy Bentham bahwa manusia
merupakan makhluk yang rasional yang akan memilih secara sadar
kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu suatu pidana
harus ditetapkan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga
kesusahan akan lebih berat dari pada kesenangan yang ditimbulkan
oleh kejahatan. Mengenai tujuan-tujuan dari pidana adalah:15
15
Ibid, hal. 30-31
22
a. Mencegah semua pelanggaran;
b. Mencegah pelanggaran yang paling jahat
c. Menekan kejahatan;
d. Menekan kerugian/biaya sekecil-kecilnya.
3. Teori Penanggulangan Kejahatan Pidana
Menurut G. Peter Hoefnagels, penanggulangan kejahatan
pidana dapat ditempuh dengan beberapa metode yaitu penerapan
hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana
(prevention without punishment) dan mempengaruhi pandangan
masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media
(influencing views of society on crime and punishment/mass media).
Dari ketiga jenis penanggulangan di atas, yang pertama dikategorikan
dalam jalur penal (hukum pidana), sedangkan dua jenis terakhir dapat
dikelompokkan dalam jalur penal (non pidana).16
Dalam penanggulangan jalur penal, upaya pemberantasan
korupsi ditujukan pada pelaku-pelaku korupsi. Artinya
pemberantasan dilakukan pada saat korupsi sudah dilakukan,
penekanannya pada tindakan represif dan reaktif. Sehingga
pemberantasan korupsi jenis ini pada dasarnya sama sekali tidak
16
Artikel Hukum, “Signifikasi Penanggulangan Non-Penal”,
https://ahmadfk.wordpress.com, di unduh pada 19 Oktober 2017.
23
membuat korupsi hilang. Sedangkan, Penanggulangan non-penal,
baik dengan pencegahan tanpa pidana (prevention without
punishment) maupun mempengaruhi pandangan masyarakat
mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing
views of society on crime and punishment/mass media) sebenarnya
mempunyai peranan strategis sebagai preventif untuk mencegah
orang berbuat korup. Karena sifatnya yang mencegah, maka
penanggulangan non-penal harus memperhatikan berbagai aspek
sosial-psikologis yang menjadi faktor kondusif penyebab orang
melakukan korupsi.17
Sarana non-penal mempunyai pengaruh preventif terhadap
kejahatan. Upaya preventif yang di maksud adalah upaya yang
dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana korupsi dengan cara
menangani faktor-faktor pendorong terjadinya korupsi, yang dapat di
laksanakan dalam beberapa cara, yakni :18
a. Cara Moralistik
Cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui
pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah
dan penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
17
Ibid 18
Edy Yunara, “Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi”, Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2005, hal. 60
24
b. Cara Abolisionik
Cara ini muncul dari asumsi bahwa korupsi adalah suatu
kejahatan yang harus di berantas dengan terlebih dahulu menggali
sebab-sebabnya dan kemudian diserahkan kepada usaha-usaha untuk
menghilangkan sebab-sebab tersebut.
Dengan demikian, jika dilihat dari sudut pandang politik
kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal mempunyai
kedudukan yang sangat strategis dalam pencegahan tindak pidana
korupsi.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian
hukum (legal research) Menurut Morris L. Cohen sebagaimana
dikutip dari Piter Mahmud Marzuki, Legal Research is the process
of finding the law that governs activities in human society.19
Dengan
demikian, melalui penelitian ini hendak dikemukakan dan dijelaskan
tentang kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip berkaitan tindakan pidana
menurut hukum di Indonesia dan Konvensi UNCAC 2003.
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Media Group, Jakarta,
2015, hal. 57.
25
2. Jenis pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
pendekatan perbandingan hukum (Comparative Approach) karena
akan membandingkan dan menganalisis Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Pembentukan Undang-undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi, dengan UNCAC (United Nations
Convention Againts Corupption) pada tahun 2003 dalam rangka
menyesuaikan perangkat hukum dalam upaya pencegahan tindak
pidana Korupsi di Indonesia, kemudian di dukung dengan
pendekatan konsep (Conceptual Approach) teoritis karena akan
mengkaji konsep Pencegahan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan
konsep maupun teori yang ada dalam praktek pemberantasan
korupsi.
3. Bahan Hukum
a. Bahan hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum yang
mengikat yang terdapat dalam unit amatan, yaitu:
1. UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan
Nepotisme.
26
2. UU No. 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
4. UNCAC (United Nation Convention Againts Corruption)
Tahun 2003.
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Ratifikasi
United Nation Convention Againts Corruption 2003.
6. Inpres Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 Sebagai
Pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
dalam Penyelenggaraan Negara.
b. Bahan hukum sekunder, yakni yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum perimer. Misalnya hasil-hasil
penelitian dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder.
27
4. Unit Analisa
Yang menjadi unit analisa dalam penelitian ini adalah Hukum
Pidana Internasional Berkaitan dengan Upaya Pencegahan Tindak
Pidana Korupsi menurut Konvensi UNCAC 2003 dikaitkan dengan
Ketentuan Hukum Pidana di Indonesia.
5. Unit Amatan
Yang menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalah upaya
elaborasi instrument UNCAC 2003 pada hukum positif di Indonesia.
6. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan uraian yang teratur dan sistematis, maka
materi penulisan tesis ini akan disistematiskan sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan
Yakni menguraikan tentang latar belakang masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian baik kegunaan
teoritis maupun praktis, berisi metode penelitian yang
didalamnya ada jenis penelitian, pendekatan yang
digunakan, sumber-sumber hukum, unit analisa, unit
amatan serta sistematika penulisan mengenai hal-hal
apa saja yang akan dilakukan di dalam penulisan tesis
ini.
28
BAB II : Tinjauan Pustaka
Yakni menjabarkan mengenai Tinjauan Umum
Tentang Tindak Pidana yang didalamnya terdapat
Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus,
Pencegahan Tindak Pidana, Kajian Tentang Tindak
Pidana Korupsi, Masalah Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia, serta Paparan Singkat Tentang UNCAC
Tahun 2003.
BAB III : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Menguraikan tentang hasil yang diperoleh dari
penelitian tentang Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
dalam Rumusan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia, Pencegahan Tindak Pidana Korupsi melalui
Peran Lembaga/organisasi lain, serta melalui Peran
Serta Masyarakat, dan Hasil Pembahasan tentang
Pencegahan Tindak Pidana Korupsi menurut Konvensi
UNCAC (United Nations Convention Against
Corruption) Tahun 2003 dalam kaitannya dengan
Peraturan Perundang-undangan di Indonesia mengenai
Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
29
BAB IV : Penutup
Yang terdiri dari kesimpulan yang merupakan jawaban
dari permasalahan yang telah diteliti, serta
memberikan saran yang merupakan rekomendasi yang
dihasilkan setelah melakukan penelitian.