bab i pendahuluan 1.1 latar...

33
1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sarana komunikasi yang paling penting bagi manusia tidak lain adalah bahasa. Karena kedudukannya yang penting tersebut menyebabkan bahasa tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia, dan selalu menyertai setiap aktivitas dan perbuatannya. Bahasa digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, pendapat, pengalaman, berita, pesan-pesan, harapan, dan sebagainya. Keinginan untuk selalu mengadakan hubungan dengan orang lain inilah menyebabkan bahasa tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Harimurti Kridalaksana dalam Kamus Linguistik (1984) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk berhubungan dan bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Sehubungan dengan definisi bahasa di atas, fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat komunikasi (Alwasilah, 1993: 8). Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga berfungsi sebagai alat kebudayaan (Pateda, 1990: 12). Masyarakat yang rendah peradabannya mempunyai bahasa yang sederhana. Hal ini disebabkan mereka hanya memerlukan simbol-simbol untuk menyatakan perasaan serta pikirannya. Sebaliknya masyarakat modern banyak menggunakan bahasa sebagai sarana untuk memperlancar segala aktifitasnya di berbagai bidang.

Upload: vuongdang

Post on 29-Apr-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sarana komunikasi yang paling penting bagi manusia tidak lain adalah

bahasa. Karena kedudukannya yang penting tersebut menyebabkan bahasa tidak akan

pernah lepas dari kehidupan manusia, dan selalu menyertai setiap aktivitas dan

perbuatannya. Bahasa digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran,

pendapat, pengalaman, berita, pesan-pesan, harapan, dan sebagainya. Keinginan

untuk selalu mengadakan hubungan dengan orang lain inilah menyebabkan bahasa

tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Harimurti Kridalaksana dalam Kamus Linguistik (1984) mengatakan bahwa

bahasa adalah sistem lambang arbitrer yang digunakan oleh masyarakat untuk

berhubungan dan bekerja sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri. Sehubungan

dengan definisi bahasa di atas, fungsi bahasa yang utama adalah sebagai alat

komunikasi (Alwasilah, 1993: 8). Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga

berfungsi sebagai alat kebudayaan (Pateda, 1990: 12). Masyarakat yang rendah

peradabannya mempunyai bahasa yang sederhana. Hal ini disebabkan mereka hanya

memerlukan simbol-simbol untuk menyatakan perasaan serta pikirannya. Sebaliknya

masyarakat modern banyak menggunakan bahasa sebagai sarana untuk memperlancar

segala aktifitasnya di berbagai bidang.

2

Pemakaian bahasa secara aktual bervariasi dari satu kelompok ke kelompok

yang lain, dari penutur satu ke penutur yang lain, berdasarkan pelafalan, pilihan

kata, arti kata, dan bahkan dalam pemakaian konstruksi sintaksis (Akmajian dkk,

1990:229). Variasi pemakaian bahasa dapat terjadi karena adanya perbedaan bahasa

berdasarkan profesi, misalnya variasi yang digunakan oleh ABRI, Hakim, Jaksa,

Mahasiswa, dan Guru. Juga terdapat variasi bahasa berdasarkan kelas sosial ekonomi,

yaitu variasi yang dipergunakan oleh pekerja kasar, penjaja makanan, dan buruh

kecil. Variasi lainnya misalnya variasi kelompok kelas menengah. Yakni para

pegawai menengah dan usahawan menengah. Selain itu terdapat juga variasi yang

dipergunakan oleh orang-orang kaya (Kartamihardja, 1998).

Pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor linguistik tetapi

juga ditentukan oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor nonlinguistik yang

berpengaruh terhadap pemakaian bahasa antara lain adalah faktor sosial dan faktor

situasional. Karena kedua faktor itulah, variasi bahasa timbul. Variasi bahasa adalah

bentuk-bentuk bagian / varian dalam bahasa yang masing-masing memiliki pola yang

menyerupai pola umum bahasa induknya. Wujud varian-varian tersebut dapat berupa

ideolek, dialek, ragam bahasa, register maupun unda usuk (Suwito, 1985: 23,

Poedjosudarmo, 1976:2).

Ragam bahasa juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu berdasarkan suasana

dan berdasarkan bentuk komunikasinya. Berdasarkan suasananya, bahasa dibedakan

menjadi ragam santai (informil), ragam resmi (formil), dan ragam indah (letterer).

Sementara itu, berdasarkan bentuk komunikasinya, bahasa dibedakan menjadi bentuk

3

ringkas (restricted) dan bentuk terbatas (elaborated). Bernstein menyebutnya sebagai

kode ringkas (restricted code) dan kode lengkap (elaborated code).

Menurut Bernstein dalam Wardaugh (1986), variasi bahasa itu ada dua macam

berdasarkan penggunaannya di dalam masyarakat. Variasi bahasa itu adalah variasi

kode lengkap (Elaborated code) dan variasi kode terbatas (Restricted code). Variasi

kode lengkap menggunakan konsep hirarki yang lengkap. Poedjosudarmo

menambahkan, kelengkapan itu ditunjukkan oleh kesesuaian kaidah sintaksis yang

ada. Ungkapan-ungkapannya dinyatakan dengan jelas. Perpindahan kalimat terasa

runtut dan logis, tidak dikejutkan oleh faktor-faktor ekstralinguistik yang aneh-aneh

(1986:8). Sementara itu, kode terbatas memiliki sifat yang sangat berbeda dengan

kode lengkap, misalnya sering menggunakan kalimat yang pendek atau tidak

menggunakan konsep hirarki yang lengkap. Hal ini disebabkan karena kode ini biasa

digunakan dalam suasana informal. Peserta tutur sering menggunakan kalimat-

kalimat pendek, kata-kata dan ungkapan biasa yang maknanya hanya dimengerti

oleh perserta percakapan itu. Orang luar mungkin mendapatkan kesulitan untuk

memahami makna tutur yang ada, sebab tuturan itu sangat dipengaruhi antara lain

oleh faktor-faktor ekstra-linguistik yang ada pada waktu dan di sekitar pembicaraan

tersebut berlangsung. Mereka menggunakan idiom-idiom khusus yang hanya

dipahami oleh peserta tuturan itu.

Bernstein (dalam Wardaugh) berpandangan bahwa setiap penutur bahasa pasti

dapat menggunakan kode terbatas (Restricted Code), sebab semua pemakai kode ini

mempunyai kesempatan yang pasti, misalnya dalam bahasa keakraban. Akan tetapi

4

tidak semua kelas sosial dapat menggunakan kode lengkap, khususnya masyarakat

kelas bawah.

Beberapa contoh variasi dalam bahasa Jawa dapat ditampilkan berikut ini.

Untuk menyebut kata „biyen‟, mereka menyebutnya menjadi „bingen‟ atau „bingek‟

ataupun „biyek‟, „mengko disik‟, „ngko sik‟, mengko sikik, dan „mengko simik‟. Pada

tataran fonologi, bunyi [f, v, z] akan melemah menjadi [p, s, j, y], contohnya variasi --

- pariasi, TV --- tipi, kemudian zakat --- jakat / yakat. Pada tataran morfologi kata

pemerintah --- pemrentah, dombe, dumbah, deman, dan lain-lain.

Pada tataran morfologi juga ditemukan variasi penggunaan verba seperti

[ŋəpɛ?, ŋəmɛ?, apɛ?, amɛ?, gopɛ?, dan gomɛ?]. Dimikian juga dengan bentuk

nyeneni „memarahi‟ terdapat bentuk nyengeni, dan dalam bentuk pasif terdapat

bentuk diseneni dan disengeni. Prefix /di-/ mendapat tambahan kata dasar yang

diawali dengan vokal akan menjadi /dha-, dhi-, dhu-, dho-/diarak/dharak,

diamuk/dhamuk; diidak/dhidak, diitung/dhitung; diumbah/dhumbah, diurus/dhurus;

dan diomong/dhomong. Pada tataran Krama terdapat bentuk „Redikidul, Prambetan,

Kilenpragi, dan wedos‟. Pada tataran sintaksis terdapat variasi kalimat pendek,

sederhana dan dengan informasi lepas, tetapi juga ditemukan kalimat yang lengkap

dan deskriptif.

5

1.2 Perumusan Masalah

Untuk mengetahui bagaimana penggunaan variasi bahasa pada masyarakat

kelas bawah, perlu diteliti hal-hal yang terkait di bawah ini:

1. Bagaimanakah variasi fonologi pada pemakaian bahasa masyarakat kelas

bawah?

2. Bagaimakanakah variasi gramatikalnya?

3. Bagaimanakah variasi leksikalnya?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan variasi fonologi

2. Mendeskripsikan variasi gramatikal

3. Mendeskripsikan variasi leksikal

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini secara teoretis diharapkan berguna untuk memahami aspek

pemakaian bahasa masyarakat kelas bawah yang nantinya dapat digunakan sebagai

data penyusunan teori pemakaian variasi bahasa yang lebih umum. Manfaat lain

yang juga diharapkan berguna adalah sebagai sumbangan terhadap perkembangan

teori linguistik, khususnya dalam disiplin Sosiolinguistik.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan dalam

hal meningkatkan pemahaman dalam berkomunikasi dengan masyarakat kelas

6

bawah. Hasil penelitian ini juga diharapkan berguna untuk membantu memahami

variasi bahasa berdasarkan penggunaannya dalam masyarakat. Selain itu, hasil

penelitian ini diharapkan dapat menjadi data bagi penelitian lebih lanjut sebagai

penelitian tingkat kedua.

1.5 Kajian Pustaka

Sunarso (1994) telah melakukan penelitian bahasa Jawa di Banyumas.

Penelitiannya berjudul “Pemakaian Tingkat Tutur Bahasa Jawa Dialek Banyumas di

Kabupaten Banyumas.” Pemakain tingkat tutur krama dan krama inggil

dibandingkan menurut kelompok sosial berdasarkan jenis kelamin, pekerjaan,

pendidikan, dan usia. Kajiannya bersifat sosiolinguistik.

Sementara itu Ida Zulaiha dalam tesisnya (2000) melakukan penelitian

tentang “Pemakaian Bahasa Jawa Kabupaten Semarang dengan kajian

Sosiodialektologi.” Kajiannya berisi tentang pemakaian bahasa yang ditinjau dari

aspek fonetik-fonologi, morfologi, sintaksis, dan tingkat tutur dengan variabel kota-

desa, pekerjaan, pendidikan, dan usia. Dalam penelitiannya ditemukan pemakaian

variasi fonologi seperti penggunaan kata /getih/ menjadi /getɛh/, perih/ dan /perɛh/,

buruh/ dan /burϽh/. Variasi konsonan seperti terdapat pada pemakaian kata /gurung/

dan /guŋrʊŋ/. Pada tataran morfologi ditemukan pemakaian akhiran yang tidak

membedakan kelas kata, seperti terlihat pada contoh berikut: /jəmpϽl/ dan /jəmpϽlan/,

/jənti?/ dan /jənti?an/. Pada variasi sintaksis ditemukan pemakaian kata depan pada

7

strukutur frasa yang menyatakan kepemilikan seperti terlihat pada penggunaan kata

/ňang/, /ana/, dan /naŋgon/. Pada tataran leksikon ditemukan variasi penggunaan

kata-kata „bulu kuduk‟ dan „gigi rusak berwarna hitam‟ yang direalisasikan secara

bervariasi menjadi /wulu kalϽŋ/, /wulu giṭϽk/, /rambut cəŋəl/, dan kata/ gigІs/,

/sisІk/, /griwІŋ/, /krϽpϽs/, dan /krϽwϽŋ/.

Dalam tesisnya Sri Waljinah (2003) juga melakukan penelitian yang berjudul

“Pemakaian bahasa Jawa di Kabupaten Boyolali” dengan kajian Sosiodialektologi.

Dalam penelitiannya ditemukan bahwa bahasa Jawa di Boyolali mempunyai

beberapa variasi. Variasi yang ditemukan adalah variasi fonologi, morfologi,

sintaksis, kosa kata, dan unda usuk. Variasi fonologi yang ditemukan adalah

terdapatnya pemakaian kata-kata seperti /getih/ menjadi /gətɛh/, /ragil/ menjadi

/wragІl/, /malih/ menjadi /malɛh/, dan kata /jawah/ menjadi /jawϽh/. Pada tataran

morfologi terdapat bentuk variasi /grono/ menjadi /grϽnϽng/ dan /mbarəp/ menjadi

/pəmbarəp/. Penambahan tersebut tidak mengubah kelas kata. Sementara pada tataran

sintaksis terdapat pemakaian variasi kalimat imperative dengan akhiran /-na/ dan

/-en/ sebagai penanda verba imperative. Kemudian, terdapat pemakaian akhiran /-nen/

dan /-a/ yang menyatakan konsep penegas imperative /-lah/ seperti dalam bahasa

Indonesia.

Kajian mengenai variabel /-iŋ/ dan /-in/ di kota New York, pernah

dilakukakn oleh William Labov. Menurutnya, kelompok sosial tingkat atas dan

kelompok sosial tingkat bawah akan mengucapkan secara berbeda dalam

8

penggunaan kata seperti sleeping dan swimming (Holmes, 1992:152). Kata

sleeping dan swimming diucapkan secara benar oleh masyarakat kelas atas, sementara

itu kelompok masyarakat kelas bawah mengucapkan secara berbeda yaitu menjadi

sleepin dan swimmin. Selanjutnya, Labov juga telah melakukan penelitian tentang

variabel /r/ di kota New York (Wardaugh, 1988: 157-163). Salah satu temuannya

adalah kata car dan guard diucapkan dengan /r/ yang tinggi. Ucapan yang seperti ini

diasosiasikan dengan kelas menengah atas, meskipun mayarakat kelas menengah

atas tersebut tidak menggunakannya dalam setiap kesempatan. Penelitian serupa juga

telah dilakukan olah Trudgil (1974) dalam Sunarso (1997:83). Kajiannya menemukan

bahwa terdapat korelasi langsung antara kelas sosial penutur dalam penggunaan /s/

sebagai penanda verba simple present tense untuk orang ketiga tunggal.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Variasi Bahasa

Kridalakasana 1984:204 menyatakan variasi adalah wujud pelbagai

manivestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari suatu satuan; konsep yang

menyangkut variabel dan varian. Senada dengan pendapat di atas Ohoiwutun

(1997:46-47) mengatakan bahwa variasi bahasa adalah suatu wujud perubahan atau

perbedaan dari pelbagai manivestasi kebahasaan, namun tidak bertentangan dengan

kaidah kebahasaan. Variasi merupakan perubahan atau perbedaan yang

dimanifestasikan dalam ujaran seseorang atau penutur-penutur di tengah masyarakat

bahasa tertentu.

9

Variasi bahasa juga dimaknai sebagai seperangkat permasalahan linguistik

dengan distribusi yang mirip (Wardhaugh, 1988:22). Pateda (1987:52) juga

mengatakan bahwa variasi bahasa adalah pola bahasa atau ujaran yang cukup

homogen yang dapat dianalisis dengan teknik deskripsi sinkronik yang ada yang

mempunyai elemen repertoar luas yang dibatasi oleh makna untuk berkomunikasi.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa variasi bahasa adalah wujud

pemakaian bahasa yang berbeda-beda karena faktor-faktor tertentu.

Poedjosoedarmo, (1983: 175-176) mengatakan bahwa di dalam variasi

bahasa terdapat 3 kelas varian. Varian tersebut adalah (1) dialek yang berupa ideolek

dan dialek ( geografi sosial, usia, jenis kelamin, aliran, suku, dan lain-lain) ; (2)

unda-usuk (hormat, nonhormat, dan lain-lain); (3) ragam (santai/informal,

resmi/formal, indah/literer).

Variasi pemakaian bahasa masyarakat kelas bawah termasuk dalam variasi

ekstrasistemik/varisasi eksternal. Variasi ekstrasistemik/eksternal yaitu variasi bahasa

yang terjadi karena faktor-faktor di luar sistem bahasa itu sendiri. Variasi ini

mencakup variasi geografis, variasi sosial, variasi fungsional, variasi kronologis,

variasi kultural, dan variasi individual. Variasi geografi memunculkan dialek,

sementara itu variasi sosial memunculkan sosiolek.

Trudgill (1974:43-44) dalam Sunarso (1997:82) mengatakan bahwa bahasa

mencerminkan perbedaan internal masyarakat. Kelompok sosial yang berbeda akan

menggunakan variasi yang berbeda. Dalam penelitiannya, ditemukan pertalian

antara pemakaian bahasa dengan kelas sosial. Pengguanaan /-s/ sebagai penanda

10

verba simple present tense untuk orang ketiga tunggal menjadi konsentrasi

penelitiaannya. Penelitian yang dilakukan di Detroit dan East Angilia menunjukkan

bahwa bentuk kosonan /-s/ tersebut kadang-kadang tidak muncul, setidak-tidaknya

pada penuturan beberapa orang. Artinya bentuk seperti “She like him very much, It go

so fast” pernah digunakan oleh penutur. Bahasa Inggris standar pada umumnya

dihubung-hubungkan dengan kelompok sosial tinggi. Dari sini dapat diduga bahwa

terdapat korelasi antara kelas sosial dengan penggunaan bentuk /-s/ tersebut. Dugaan

tersebut ternyata benar. Ini dibuktikan dengan adanya korelasi yang jelas antara kelas

sosial penutur dalam penggunaan /-s/. Di dua tempat tersebut ditemukan bukti bahwa

semakin tinggi kelas sosial masyarakat, semakin sedikit verba yang tidak memakai

/-s/ atau sebaliknya, semakin rendah kelas sosial masyarakat semakin banyak verba

yang tidak memakai /-s/. Yang perlu dicatat di sini adalah informan dalam penelitian

tersebut dibagi menjadi kelas menengah-menengah, menengah-bawah, kelas pekerja

atas, pekerja- menengah, dan kelas pekerja- bawah.

1.6.2 Kode Lengkap dan Kode Terbatas

Bernstein (1977 dan Lee (1981) membedakan kode dalam dua jenis yaitu

kode ringkas dan kode lengkap. Kode ringkas mempunyai ciri-ciri: (1) makna ujaran

tergantung pada konteks, yang merupakan makna partikularistik, makna ujaran

dapat dipahami bila dihubungkan dengan konteks situasi, konteks budaya, dan

konteks pelaku ujaran. Makna partikularistik adalah makna yang dapat dipahami oleh

orang-orang tetentu yang sama-sama memahami konteks situasi dan konteks budaya.

11

(2) jumlah alternatif leksikal dan pola-pola gramatikal relatif terbatas, sehingga

makna dan pola-polanya mempunyai probabilitas yang tinggi untuk bisa

diprediksikan, (3) ujaran bersifat konkrit, deskriptif, dan naratif, (4) fungsi utama

kode utama terbatas adalah menguatkan bentuk hubungan sosial. Maka dari itu sarana

pengonstruksian dan pemakaiannya menggunakan simbol-simbol sosial, (5) prinsip

yang digunakan adalah prinsip implisit, yakni maksud pembicara sering tidak

diwujudkan di dalam ujaran, sehingga kalimat yang dibentuk tidak lengkap

strukturnya. Namun demikian kalimat tersebut sudah lengkap berdasarkan fungsi

komunikasinya dikarenakan sudah komunikatif untuk ukuran hubungan antar

kelompoknya, (6) struktur gramatikal pada umumnya sederhana.

Kode lengkap (elaborated code) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1)

makna ujaran tidak tergantung pada konteks lebih merupakan makna universalistik.

Makna ujaran dapat dipahami secara lengkap hanya dengan melihat teks. Konteks

situasi, budaya, dan pelaku ujaran tidak perlu diperhatikan. Makna universalistik

adalah makna yang dapat ditangkap atau dipahami oleh siapa saja hanya dengan

mendengar atau membaca teks, (2) jumlah leksikal dan pola-pola gramatikal relatif

bervariasi sehingga probabilitasnya rendah, (3) ujaran bersifat abstrak, analitis , dan

argumentative, (4) fungsi utama kode lengkap adalah sebagai sarana individual, (5)

prinsip-prinsip digunakan secara eksplisit yang berarti maksud penutur ditampilkan

atau diujarkan. Maka dari itu kalimat yang dihasilkan adalah kalimat yang lengkap

secara struktur dan lengkap fungsinya di dalam komunikasi, (6) struktur

gramatikalnya cenderung kompleks.

12

1.6.3 Konsep penggunaan Bahasa

Masalah penggunaan bahasa selalu dikaitkan dengan masyarakat sebagai

pemakai bahasa tersebut. Masyarakat bahasa atau juga disebut sebagai masyarakat

tutur adalah suatu masyarakat yang anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu

variasi tutur beserta norma-norma yang sesuai dengan pemakaiannya

(Fishman,1975), mengatakan bahwa masalah penggunaan bahasa adalah bagian dari

kajian sosiolinguistik.

Halliday (1970) mengatakan bahwa sosiolinguistik adalah kajian bahasa

dalam kaitannya dengan pemakai bahasa itu sendiri. Hymes (1973) dalam Sumarsono

(2002:2) mengatakan bahwa sosiolinguistik mengacu pada pemakaian data

kebahasaan dan menganalisis ke dalam ilmu-ilmu lain yang menyangkut kehidupan

sosial, dan sebaliknya, mengacu pada data kemasyarakatan dan menganalisisnya ke

dalam linguistik.

Senada dengan pendapat di atas, Nababan mengatakan bahwa sosiolinguistik

adalah kajian atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai

anggota masyarakat. Sosiolinguistik melihat bahasa dalam kaitannya dengan

masyarakat, dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik lebih menekankan pada fungsi

bahasa itu sendiri.

Bahasa juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat

pemakainya. Sudaryanto (1990, 1990:21) mengatakan bahwa bahasa mempunyai

13

fungsi yang sangat khas. Fungsi bahasa dibedakan menjadi (1) pengembang akal

budi, (2) sebagai pemelihara kerja sama, (3) sebagai pewujud saling menjaga sesama.

Penggunaan bahasa (language use) adalah satu bentuk interaksi sosial yang

terjadi dalam situasi konkrit (Appel, 1976:9). Sedangkan Bell dalam Rokhman,

1998:232) mengatakan bahwa, pada dasarnya penggunaan bahasa dalam masyarakat

tidaklah monopolis melainkan variatif. Hal ini dikarenakan bahasa yang hidup

dalam masyarakat selalu digunakan dalam peran sosial.

Berbicara masalah prinsip-prinsip penggunaan bahasa Levinson, (1983)

mengatakan bahwa dalam mengkaji penggunaan bahasa harus memperhatikan

prinsip-prinsip penggunaan bahasa. Prinsip-prinsip tersebut adalah (1) pengetahuan

tentang peran dan status yang meliputi (a) pembicara dan mitra wicara, dan (b)

kedudukan relatif dari masing-masing peran tersebut; (2) pengetahuan tentang ruang

dan waktu pelaksanaan peristiwa tutur; (3) pengetahuan tentang tingkatan formalitas

peristiwa (resmi atau tidak resmi peristiwa tutur); (4) pengetahuan mengenai bahasa

pengantar (bahasa tulis atau lisan dan halus atau kasar); (5) pengetahuan tentang

ketepatan pokok permasalahan yang dibicarakan kaitannya dengan pemakaian

bahasa; (6) pengetahuan tentang ketepatan bidang wewenang atau register bahasa.

Dalam pandangan sosiolinguistik, struktur masyarakat yang selalu bersifat heterogen

(tidak homogen) akan mempengaruhi struktur bahasa. Struktur masyarakat di sini

meliputi faktor who speak, with whom, where, when, dan to what end (Wijana,

1987:110).

14

1.6.4 Ranah Penggunaan Bahasa

Fishman (1978:113) mengatakan bahwa ranah adalah lingkungan

penggunaan bahasa, baik masyarakat maupun pemerintahan. Terdapat empat ranah

penggunaan bahasa yaitu: (1) ranah keluarga (family domain), menunjuk pada

hubungan suami-istri, orang tua dan anak, kakek-nenek-cucu, ana-anak, dan kakak-

adik, (2) ranah ketetanggaan (neighborhood domain), yang menunjuk pada hubungan

kenalan dan pertemanan; (3) ranah kerja (work domain) menunjuk pada hubungan

pekerjaan; (4) ranah kultural/kebudayaan (cultural domain).

1.6.5 Komponen Tutur

Penggunaan bahasa selain ditentukan oleh faktor linguistik juga ditentukan

oleh faktor-faktor nonlinguistik. Faktor nonlinguistik berhubungan erat dengan

faktor sosial dan kultural. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatan oleh

Kunjana (2001:27), yang mengatakan bahwa bahasa adalah bagian tak terpisahkan

sistem sosial. Sementara itu Koentjaraningrat (1992) juga mengatakan bahwa bahasa

merupakan bagian dari kebudayaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

bahasa tidak terlepas dari sistem sosial dan sistem budaya.

Faktor nonlinguistik yang merupakan faktor luar bahasa merupakan faktor

penentu dalam komunikasi. Dell Hymes menyebut hal seperti ini dengan istilah

komponen tutur (components of speech). Komponen tutur Dell Hymes biasa

disingkat dengan akronim SPEAKING. Penjelasan akronim tersebut adalah sebagai

berikut:

15

1) Setting dan Scene (S)

Setting mengacu pada latar belakang, tempat dan waktu yang sifatnya konkrit,

dimana proses berbicara dilakukan. Berbeda dengan setting, scene mengacu

pada latar belakang psikologis atau batasan budaya tentang suatu kejadian

sebagai suatu jenis suasana tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari seseorang

dengan latar yang sama mungkin mengubah suasana, misalnya saja dari latar

formal menjadi informal, dari serius menjadi santai.

1. Participants (P)

Participants mengacu pada peserta yang terlibat dalam kegiatan

berbicara, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau

pengirim dan penerima (pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat

berganti peran sebagai pembicara ataupun pendengar. Namun di dalam

kotbah di masjid, khotib sebagai pembicara tidak dapat bertukar peran

dengan jamaahnya.

2. Ends (E)

Ends mengacu pada maksud atau tujuan personal dari partisipan yang

ingin didapatkannya pada saat tertentu ketika berbicara. Peristiwa tutur

yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud menyelesaikan suatu kasus,

namun partisipan dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang

berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, sementara itu

pembela berusaha membuktikan terdakwa tidak bersalah, sedangkan

hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.

16

3. Act sequence

Act mengacu pada bentuk dan isi aktual dari apa yang dibicarakannya.

Suatu pidato politik, ceramah keagamaaan, percakapan sehari-hari dan

sebagainya masing-masing merupakan wacana yang berbeda, karena

bentuk bahasa dan isi yang disampaikannya pun berbeda.

4. Key (K)

Key mengacu pada nada, sikap, dan jiwa (semangat) dimana sebuah

pesan khusus disampaikan dengan tulus, serius, seksama, mengejek,

tajam, angkuh, dan sebagainya. Kunci tersebut mungkin saja berupa tanda

nonverbal seperti tingkah laku, bahasa tubuh, postur, dan lain-lain.

5. Instrumentalities (I)

Instrumental mengacu pada pilihan jalur untuk menranfer pesan yaitu

secara oral, tertulis, dan telegram, dapat juga mengacu pada bentuk aktual

dari sebuah tuturan, apakah itu bahasa, dialek, kode, atau register yang

dipilih.

6. Norms of Interaction dan Interpretation (N)

Norm mengacu pada norma-norma atau kaidah-kaidah kebahasaan

yang harus ditaati oleh anggotanya dan penafsiran terhadap tuturan dari

lawan bicara. Norma-norma itu berupa perilaku yang khas dan sopan

santun tutur yang mengikat yang berlaku dalam masyarakat pemakai

bahasa. Misalnya orang boleh menyela atau dilarang menyela percakapan.

7. Genre (G)

17

Genre mengacu pada jenis-jenis ujaran seperti puisi, peribahasa, teka-teki,

kotbah, doa, kuliah, dan editorial.

Dari apa yang telah dikemukanan oleh Hymes di atas dapat terlihat betapa

kompleksnya peristiwa tutur terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.

Kedelapan komponen tutur itu menjadi acuan dalam penelitian ini karena

bahasa digunakan sebagai alat komunikasi dalam masyarakat.

Poedjosoedarmo (1975) menambahkan bahasan tentang komponen tutur.

Konsep Dell Hymes oleh Poedjosoedarmo dikembangkan menjadi tiga

belas (13) butir. Ketiga belas komponen tersebut adalah (1) pribadi si

penutur atau orang pertama, (2) anggapan penutur terhadap orang yang

berkedudukan sosial dan relasinyadengan orang yang diajak bicara, (3)

kehadiran orang ketiga, (4) maksud dan kehendak si penutur, (5) warna

emosi si penutur, (6) nada suasana bicara, (7) pokok pembicaraan, (8)

urutan bicara, (9) relasi antar penutur, (10) bentuk wacana, (11) adegan

tutur, (12) lingkungan tutur, (13) norma kebahasaan lainnya.

1.6.6 Masyarakat Kelas Bawah

1.6.6.1 Definisi Kemiskinan

Masyarakat kelas bawah atau biasa disebut masyarakat miskin adalah suatu

kelompok masyarakat yang kurang beruntung dalam hidupnya. Kemiskinan

merupakan masalah yang sangat kompleks. Wolf Scott dalam Andre Bayo Ala

(1981:5) menjelaskan tentang kemiskinan, yaitu: pertama, kemiskinana dapat

18

didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-

keuntungan nonmaterial yang diterima seseorang. Kemiskinan meliputi kekurangan

atau tidak memiliki pendidikan, kesehatan, dan transportasi yang dibutuhkan. Kedua,

kadang-kadang kemiskinan didefinisikan dari segi kurang atau tidak memiliki aset-

aset seperti tanah, rumah, peralatan, emas, kredit, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan

nonmaterial, yang meliputi berbagai macam kebebasan, hak memperoleh pekerjaan

yang layak, dan hak atas kehidupan yang layak.

Thee Kian Wie ( 1983: 6) mengatakan bahwa di dalam kemiskinan dikenal

istilah kemiskinan absolute dan kemiskinan relative. Kemiskinan absolute adalah

kemiskinan yang ditinjau dari sisi tidak terpenuhinya kebutuhan pokok sehari-hari.

Kemiskinan juga dipandang sebagai suatu keadaan ketika tingkat pendapatan

absolute dari seseorang tidak mencukupi untuk kebutuhan pokok seperti papan,

sandang, pangan , pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan yang dimaksud dengan

kemiskinan relative adalah kemiskinan dalam arti yang luas. Kemiskinan tidak

hanya dipandang dari segi kebutuhan pokok saja, namun juga kebutuhan-kebutuhan

lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan hak-hak politik seseorang.

Sri Edi Swasono (1999) mengungkapkan bahwa kemiskinan tidak cukup

hanya diterangkan sebagai realitas ekonomi saja, dan bukan sekedar gejala

keterbatasan lapangan kerja, pendapatan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat,

tetapi kemiskinan adalah merupakan realitas sistem/ sruktur dan tata nilai

kemasyarakatan.

19

Dalam perkembangangan masyarakat, selalu terdapat kelompok yang karena

keterbatasannya, mereka tidak dapat mensejajarkan diri dengan kelompok yang

lainnya. Mereka tidak dapat menikmati kekayaan atau harta benda yang berharga.

Hal ini disebabkan oleh sistem stratifikasi sosial dan sistem pendistribusian kekuatan

sosial yang ada. Mereka tidak dapat terlibat bersama-sama dengan warga masyarakat

lainnya karena mereka lemah secara ekonomi, sosial, politik, dan budaya (Andre

Bayo Ala(ed), (1981:13). Kelompok ini di dalam masyarakat berada pada tataran

kelas bawah atau biasa disebut orang miskin.

Koentjaraningkrat (1981:5) menambahkan bahwa dalam kesehariannya

setiap orang memiliki perilaku budaya tertentu baik dalam konteks sosial

kemasyarakatan maupun konteks keluarga dan pribadinya. Perilaku budaya ini

berlangsung secara berulang dan membentuk suatu pranata (institution) yang

dipengaruhi oleh sistem norma atau sistem nilai budaya yang mereka miliki.

Dorojatun Kuncorojati (1986:270 mengatakan bahwa orang-orang miskin dan

keluarga miskin memiliki sistem budaya yang disebut budaya kemiskinan (culture of

poverty). Budaya kemiskinan adalah suatu bentuk budaya yang menghasilkan suatu

keadaan yang menjadikannya miskin. Soelaeman (1986:115) menambahkan bahwa

kemiskinan adalah keadaan seseorang yang pendapatannya tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan, dan jaminan

kesehatan. Standarnya adalah standar pendapatan rupiah yang ekuivalen dengan nilai

beras 329 kg per tahun (desa) dan 480 kg per tahun untuk kota.

20

Dalam kemiskinan dikenal istilah kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

Ciri-ciri kemiskinan absolute: 1) tidak mempunyai faktor produksi sendiri ( tanah,

modal, ketrampilan, dan sebagainya; (2) tidak punya kemungkinan aset produksi

dengan kekuatan sendiri; (3) tingkat pendidikannya rendah tidak sampai tamat SD

karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan; (4) kebanyakan

tinggal di desa sebagai pekerja bebas; (5) kebanyakan berusia muda dan tidak

mempunyai ketrampilan bagi mereka yang tinggal di kota (Soelaiman 1986: 135).

Suparlan dkk (1988) menambahkan ciri-ciri kelompok ini adalah: (1) cara

berpikir mereka sangat konkret dan senantiasa dihubungkan dengan pemenuhan

kebutuhan primernya; (2) setiap tindakan dipertimbangkan untung ruginya secara

nyata; (3) tindakannya secara langsung ataupun tidak langsung dilandasi

pertimbangan komersial agar keuntungan jerih payahnya segera dapat dinikmati.

1.6.6.2 Ukuran kemiskinan menurut Pemerintah (BKKBN)

Pemerintah dalam hal ini Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN)

Daerah Istimewa Yogyakarta (2001) mengeluarkan blanko Register Pendataan

Keluarga menetapkan kriteria kemiskinan dengan batasan-batasan ekonomi dan non

ekonomi. Istilah-istilah yang digunakan sangat luas yaitu meliputi Keluarga Pra

Sejahtera dan Sejahtera I, Sejahtera II, juga Sejahtera III+. Yang disebut dengan

Keluarga Pra Sejahtera adalah dari segi ekonomi masuk golongan „Keluarga Miskin

Sekali‟. Sedangkan yang dimaksud keluarga Sejahtera I adalah kelompok yang

secara ekonomi termasuk „Keluarga Miskin‟.

21

Kriteria masing-masing tingkat kesejahteraan tersebut adalah sebagai berikut

ini.

a) Keluarga Prasejahtera (PS)

Keluarga Prasejahtera adalah keluarga yang tidak memenuhi salah satu

atau lebih dari syarat-syarat keluarga Sejahtera I.

b) Keluarga Sejahtera I (SI)

Paling sedikit terdapat dua indikator dalam kriteria Sejahtera I, yaitu:

(1) Alasan Ekonomi:

Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali atau lebih

dalam sehari.

Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di

rumah, bekerja/sekolah, dan bepergian.

Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah.

(2) Alasan non-ekonomi

Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama

Apabila anak sakit dan atau pasangan usia subur ikut ber-KB

akan dibawa ke sarana kesehatan.

c) Sejahtera II (S II)

Sejahtera II adalah kelompok keluarga yang mempunyai ciri-ciri keluarga

Sejahtera I ditambah kriteria-kriteria sebagai berikut:

22

1. Paling sedikit, sekali dalam seminggu kelurga ini makan daging

atau telur.

2. Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk tiap penghuni.

3. Setahun terakhir, keluarga memperoleh paling tidak satu setel

pakaian baru.

4. Tiga bulan terakhir anggota keluarga dalam keadaan sehat dan

dapat melaksanakan tugas atau fungsi masing-masing.

5. Ada anggota keluarga umur 15 tahun berpenghasilan tetap.

6. Anggota keluarga umur 10-60 tahun bisa baca tulisan latin.

7. Anak umur 7-15 tahun bersekolah

8. Pasangan usia subur dengan anak hidup 2 atau lebih saat ini

memakai kontrasepsi.

9. Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama secara teratur.

d) Sejahtera III (S-III)

Sejahtera III adalah keluarga yang mempunyai syarat S-II ditambah

beberapa kriteria berikut ini:

1) Sebagian penghasilan keluarga ditabung

2) Kebiasaan keluargaa makan bersama paling sedikit, sehari satu

kali dan memanfatkannya untuk berkomunikasi.

3) Keluarga sering kegiatan bermasyarakat di lingkungan tempat

mereka tinggal.

23

4) Keluarga berekreasi ke luar rumah paling sedikit sekali dalam 6

bulan.

5) Keluarga memperoleh berita dari surat kabar, radio, televiasi, atau

majalah.

6) Anggota keluarga mampu menggunakan sarana transportasi

setempat.

7) Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agamanya.

1.6.7 Bahasa dan Kelompok Masyarakat Kelas Bawah

Realisasi budaya keluarga ini ditandai dengan penggunaan kode bahasa yang

sangat terbatas. Keberhasilan sosial anggota masyarakat ujaran dan kemudahan

mendapatkan keistimewaan sosial sangat bergantung pada derajat pengorganisasian

pesan-pesan linguistiknya. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa

kebiasaan ujaran kelompok sosial tertentu ini berbeda dalam sintaksis dan semantik

dengan kelompok sosial lainnya (Bernstein dalam Alwasilah 1985:97).

1.6.7.1 Jenis-jenis Variasi

Berbicara tentang variasi, menurut Poedjosoedrmo (1983:175-176) paling

sedikit terdapat tiga kelas varian bahasa. Varian-varian bahasa tersebut adalah

sebagai berikut:

1) Dialek yang berupa idiolek dan dialek (geografi, sosial, usia, jenis, aliran, suku,

dan lain-lain).

2) Varian unda- usuk yaitu hormat, nonhormat, dan lain-lain,

24

3) Varian ragam yaitu santai/informal, resmi/formal, indah/literer.

Sedangkan berdasar sumbernya , Nababan (1986:15) menyebutkan bahwa variasi

bahasa dapat dibedakan menjadi dua macam bentuknya yaitu:

variasi sistemik atau variasi internal adalah variasi bahasa yang terjadi di dalam

lingkup unsur-unsur kebahasaan itu sendiri. Variasi ini dapat terjadi pada unsur

fonem, morfem, dan tata kalimat. Ohoiwutun (1997:47) mengatakan bahwa

variasi-variasi yang termasuk di dalam variasi sistemik adalah variasi fonologis,

dan variasi morfologis.

1.6.7.2 Variasi Fonologi

Variasi fonologi adalah variasi yang terdapat dalam lingkungan yang sama,

terutama dalam kata yang tidak berbeda maknanya. Contoh variasi ini terjadi pada

pasangan telur dan telor, berjuang dan berjoang, lubang dan lobang, langit dan

langet, sebetulnya terdapat perbedaan fonemis antara /u/ dan /o/ demikian juga

dengan pasangan fonem /i/ dan e/. Hanya saja pada pasangan kata-kata tersebut

fonem-fonem tersebut dapat bervariasi secara bebas (free variation, nonfunctional

variation) (Kridalaksana, 1984:204)

Variasi fonetik atau variasi lafal dapat terlihat pada pengucapan /e/ (vokal

tengah tak bundar/pepet) akan berubah menjadi (vokal depan/tawing) biasa diucapkan

oleh etnik Batak, Sumbawa, dan Bima. Orang cenderung mengucapkan /e/ vokal

tengah tak bundar/pepet menjadi /e/ (vokal depan/tawing) sebagai ciri pemakaian

bahasa Indonesia khususnya kota Medan di Sumatra Utara. Demikian juga dengan

25

penggunaan/pengucapan /t/ dental menjadi /T/ postdental menjadi identitas etnik Bali,

Aceh, Pidi, dan Kandangan (Kalimantan Selatan). Sedangkan penambahan bunyi /?/

(glottal stop atau hamzah) pada kata yang berakhir vokal adalah sebagai penanda

pemakaian ragam bahasa yang dipakai oleh penutur yang berbahasa ibu bahasa

Sunda. Pengucapan bunyi /d/ yang terasa berat adalah sebagai penanda pemakaian

bahasa oleh penutur berbahasa ibu bahasa Jawa (Sumarsono dan Partana, 2002:75).

Dengan perbedaan pemakaian bahasa pada setiap suku bangsa menunjukkan betapa

pluralnya budaya di Indonesia.

1.6.7.3 Variasi Morfofonemis

Variasi morfofonemis atau biasa disebut sebagai morphophonemik variation

adalah perubahan wujud fonemis dari sebuah morfem. Variasi bentuk ini dapat

dilihat pada pemakaian morfem /ber-/ . Morfem /ber-/ dapat berubah menjadi ber-,

be-, dan bel. Perubahan ini terjadi dikarenakan oleh jenis morfem dasar yang

diikutinya (Kridalaksana, 1994:204). Contoh-contoh penggunaannya dapat dilihat

pada data berikut ini:

- ber- + rebut -------berebut

- ber- + ragam _____ beragam

- ber- + ajar -------- belajar

- ber- + angkit -------- berjangkit

- ber- + kasus -------- berkasus

- ber + main ------- bermain

26

1.6.7.4 Variasi Ekstrasistemik/ variasi Ekstrenal

Variasi ekstrasistemik/variasi eksternal adalah variasi bahasa yang terjadi

karena faktor-faktor di luar sistem bahasa itu sendiri. Variasi ini terjadi desebabkan

karena faktor luar bahasa seperti faktor geografis, kedudukan sosial seseorang, situasi

berbahasa, waktu pemakaian, gaya/style, kultural, dan individual.

Variasi ekstrasistemik tersebut mencakup beberapa macam yaitu variasi

geografis atau biasa disebut variasi regional, variasi sosial, variasi fungsional, variasi

kronologis, variasi kultural, dan variasi individual.

Variasi geografis memunculkan dialek, variasi sosial memunculkan sosiolek,

variasi fungsional memunculkan fungsiolek, variasi kronologis memunculkan

kronolek, dan variasi individual memunculkan idiolek.

I.6.7.5 Munculnya Variasi

Variasi bahasa dapat terjadi dikarenakan bebarapa faktor. Faktor-faktor

tersebut adalah sebagai berikut ini.

1.6.7.5.a Faktor Geografis

Varaiasi bahasa yang disebabkan oleh perbedaan daerah pemakaian bahasa

disebut variasi geografis atau variasi regional. Bentuk pemakaian bahasanya disebut

dialek. Poedjosoedarmo, (1983:35) mengatakan bahwa dialek adalah suatu varian

bahasa yang memiliki bentuk dan penggunaan yang khas karena latar belakang

penuturnya yang khas pula.

27

Meillet (1970:70) menjelaskan tentang ciri-ciri dialek. Ciri-ciri dialek adalah

perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan; seperangkat bentuk

ujaran setempat yang berbeda-beda yang mempunyai ciri-ciri umum dan masing-

masing mempunyai kemiripan dibandingkan dengan ujaran lain dari bahasa yang

sama. Sebuah dialek tidak harus mengambil seluruh bentuk-bentuk ujaran dari

sebuah bahasa.

Poedjosoedarma (1983:43-44) mengatakan bahwa dialek dapat terbentuk

dikarenakan adanya kebersamaan yang dialami oleh masyarakat penuturnya.

Kebersamaan tersebut dikarenakan adanya pengalaman dalam menghadapi tantangan

hidup sehari-hari yang telah mereka dapatkan. Di dalamnya terdapat penghayatan

status sosial, kebersamaan di dalam aspirasi hidup, juga dalam hal idiologi, dan lain-

lain.

Kridalaksana (1984:38-39) mengatakan bahwa dialek dapat dibedakan

menjadi dialek regional, dialek sosial, dan dialek temporal. Dialek regional adalah

variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok bahasawan di tempat tertentu. Ciri dialek

ini dibatasi oleh tempat daerah bahasa itu digunakan. Misalnya bahasa Jawa dialek

Solo-Yogyakarta, dan dialek Jawa Timur seperti Surabaya, Malang, Mojokerto,

Pasuruan, dialek Osing (Banyuwangi), dan dialek Banyumas.

Dialek sosial adalah variasi bahasa yang dipakai oleh golongan atau

kelompok sosial tertentu dari suatu kelompok bahasawan. Misalnya bahasa Melayu

yang dipakai oleh para bangsawan.

28

Dialek temporal adalah variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok bahasawan

yang hidup pada masa tertentu, misalnya bahasa Jawa Kuna, dan bahasa Melayu

Klasik. Sebuah bahasa dapat mengalami perubahan dikarenakan oleh keadaan alam

yang tidak rata, bergunung-gunung , dan adanya laut yang telah memisahkan mereka.

Terjadinya perpindahan kelompok masyarakat ini menyebabkan bahasa berubah.

Bahasa yang tadinya berfungsi sebagai alat komunikasi bersama dan seragam

memunculkan bentuk bahasa yang baru. Hal ini disebabkan adanya rintangan

geografis seperti gunung, sungai, selat, dan lainnya. Dengan keadaan yang demikian

tersebut terjadilah perubahan dalam bahasa. Perubahan (bahasa yang baru) ini

disebut sebagai dialek (Ohoiwutun, 1957:50).

1.6.7.5.b Kedudukan Sosial

Kajian Labov tentang variasi bahasa memperlihatkan bahwa tingkat dan

kedudukan sosial seseorang dalam masyarakat tutur menimbulkan perbedaan

variasi bahasa, Liliweri (2003). Penelitian yang dilakukan oleh Trudgill yang

dilakukan di India selatan terhadap salah satu kelompok bahasa Dravida juga

menunjukkan hal yang sama.

Kedudukan sosial seseorang di masyarakat sangat berpengaruh pada tingkah

laku berbahasanya. Hal seperti ini sangat terlihat pada kelompok penutur berbahasa

Jawa, Sunda, dan Bali. Perbedaan status sosial ini memunculkan apa yang disebut

variasi sosial. Sedangkan wujud pemakaian bahasanya disebut sosiolek.

29

Berikut ini beberapa di antaranya:

1) Akrolek

Akrolek adalah wujud variasi bahasa yang dianggap lebih bernilai tinggi dari

pada varian yang lain. Contohnya, bahasa Bagongan yang khusus dipakai bangsawan

di kalangan kraton Jawa. Bahasa Bagongan akhir-akhir ini sering dipakai oleh para

pembawa acara pada acara hajatan perkawinan di Yogyakarta.

Di dalam masyarakat Bali juga dikenal salah satu variasi bahasa yang

disebabkan oleh adanya perbedaan kelas dan status sosial masyarakat. Masyarakat

Bali mengenal kasta untuk mengelompokkan anggota masyarakatnya. Terdapat empat

kelas sosial di dalamnya. Kelas sosial tersebut adalah Brahmana, Kesatria, Waisya,

dan Sudra. Kasta Brahmana adalah kelas kasta tertinggi di dalam masyarakat Bali.

Sedangkan kelas kasta terendah adalah Sudra. Perbedaan pemakaian bahasa pada

masyarakat Bali seperti terlihat pada contoh berikut ini. Kata sudah dalam bahasa

Indonesia diucapkan „sudah‟ oleh kasta Brahmana. Sedangkan kasta Sudra

menyebutnya dengan „sub‟ yang juga berarti „sudah‟. Perbedaan tersebut

dikarenakan kelas dan status sosial yang berbeda. Ragam yang berbeda tersebut

adalah ragam halus disebut singgih dan ragam kasar disebut sor.

Suwito (1989:12) mengatakan bahwa di dalam bahasa Jawa terdapat apa yang

disebut dengan tingkat tutur atau unda usuk. Tingkat tutur (unda usuk) adalah sejenis

tingkat tutur yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Tingkat tutur (unda

usuk) dalam bahasa Jawa terdiri atas tingkat tutur sopan ( halus), tingkat tutur

menengah (sedang) dan tingkat tututr rendah (kasar). Unda usuk ini muncul

30

dikarenakan adanya beberapa faktor sosial yang terdapat di masyarakat. Faktor-faktor

tersebut adalah adanya hubungan antara penutur dan lawan tutur di dalam kontak

sosialnya.

Unda usuk di dalam bahasa Jawa adalah krama, madya, dan ngoko. Salah satu

contoh pemakaian variasi bahasa ini adalah pemakaian kata sapaan. Kata sapaan ini

sering sekali digunakan dalam pemakaian bahasa masyarakat kelas bawah. Sebagai

contoh adalah kata panjenengan /jenengan (krama), sampeyan (madya), dan kowe

(ngoko). Bentuk-bentuk yang berbeda tersebut akan digunakan sesuai dengan siapa

yang diajak berbicara.

2) Basilek

Basilek adalah wujud variasi bahasa yang dianggap kurang bernilai, dan ada

yang menyebutnya bahasa yang rendah. Contoh bahasa yang dianggap rendah ini

adalah dalam pemakaian kata „nun‟ untuk menjawab panggilan dalam bahasa Jawa

ini dianggap sebagai krama ndesa. Jawaban yang dianggap bernilai tinggi adalah

„kula atau dalem‟.

3)Vulgar

Vulgar adalah wujud variasi bahasa yang digunakan oleh penutur yang

kurang terpelajar. Sebagai contoh adalah bahasa-bahasa Eropa hingga abad

pertengahan dianggap vulgar dikarenakan pemakaian bahasa kelompok terpelajar

pada waktu itu menggunakan bahasa Latin.

4) Kolokial

31

Kolokial adalah wujud variasi bahasa yang biasanya digunakan dalam

percakapan sehari-hari.

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah masyarakat yang berpenghasilan rendah dan

beretnik Jawa. Daerah yang menjadi titik pengamatan dalam penelitian ini adalah

kampung Ngaglik kelurahan Giwangan kecamatan Umbulharjo. Di desa ini terdapat

lima keluarga miskin yaitu keluarga bapak Suradi, keluarga bu Cip, keluarga bu

Ngatilah, keluarga bu Herno, dan keluarga bu Genjik. Desa ini adalah desa yang

berbatasan antara Kota Yogyakarta dengan Kabupaten Bantul. Karena kampung ini

berada di daerah perbatasan, pengentasan kemiskinan belum juga terselesaikan.

Secara geografis berada di Kota tetapi secara administrative mereka berada di

Bantul.

1.7.2 Bahan/ materi Penelitian

Materi penelian ini adalah bahasa yang dipakai oleh masyarakat kelas bawah

yang dikelompokkan berdasarkan variasinya. Variasi yang diambil adalah variasi

fonologi, morfologi, sintaksis, kosa kata, dan krama desa.

1.7.3 Metode Pengumpulan Data

32

Data dalam penenelitian ini berupa tuturan atau bagian tutur lisan dari

berbagai peristiwa tutur. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode

pengamatan dan wawancara dengan menggunakan teknik simak, baik dengan teknik

simak libat cakap maupun teknik simak bebas libat cakap (Sudaryanto, 1993: 133-

135). Metode pengumpulan data dilakukan dengan alat bantu tape recorder dan

pencatatan lapangan. Data tersebut divalidasi dengan teknik triangulasi , yaitu: teknik

rekam, catatan lapangan, serta wawancara, dan juga pengamatan langsung.

1.7.4 Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) analisis selama proses

pengumpulan data (Huberman 1984:21-25; Muhajir 1996:105). Cara pertama adalah

(1) reduksi data, (2) sajian data, (3) pengambilan simpulan. Cara kedua adalah (1)

transkripsi data hasil rekaman, (2) pengelompokan data yang berasal dari perekaman

dan catatan lapangan, (3) pengelompokan wujud variasi, (4) penyimpulan dan

perampatan tentang wujud variasi. Selanjutnya untuk mendapatkan hasil penafsiran

yang tepat, dilakukan hal-hal berikut: (1) transkripsi data, (2) pengecakan ulang, dan

(3) diskusi.

1.8 Sistematika Penyajian

Analisis dalam penelitian ini akan disajikan dalam sistematika penyajian

berikut ini. BAB I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, landasan teori,

33

metode penelitian, dan sistematika penelitian. BAB II berisi tentang deskripsi daerah

penelitian. BAB III berisi tentang hasil penelitian dan analisis data. BAB IV berisi

tentang kesimpulan dan saran.