bab i pendahuluan 1.1 latar...

31
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tenggelamnya Kapal van der Wijck pertama kali terbit sebagai cerita bersambung pada Majalah Pedoman Masyarakat di tahun 1938 (Hamka, 1982:2). Kehadiran novel tersebut mendapat respons yang luas dari pengamat sastra. Atas respons itu pula Tenggelamnya Kapal van der Wijck diterbitkan sebagai sebuah buku tahun 1939 oleh M. Syarkawi, teman Hamka sendiri. Pada tahun 1949 penerbitan novel itu masih di tangani oleh M. Syarkawi. Kemudian, penerbitan berikutnya dilakukan oleh Balai Pustaka hingga mengalami cetak ulang ketujuh (Mahayana, 2007: 168). Cetakan kedelapan sampai kesepuluh oleh penerbit Nusantara, Bukittinggi, tahun 1961. Cetakan selanjutnya hingga cetakan ke-18 dilakukan oleh penerbit Bulan Bintang, tahun 1986 (Dahlan, 2011:15). Meskipun beberapa kali mengalami cetak ulang dengan penerbit yang berbeda, Tenggelamnya Kapal van der Wijck tidak mengalami perubahan, kecuali perbaikan salah cetak dan penyesuaian dengan ejaan yang berlaku (Hamka, 1982:6 dan Mahayana, 2007:168). Dengan demikian, Tenggelamnya Kapal van der Wijck dapat dikatakan isinya sama dengan waktu pertama kali cerita tersebut terbit. Sebagaimana dikemukakan Hamka, bahwa inti buku tidak diubah-ubah karena karya tersebut merupakan gambaran dirinya dan zaman di kala menciptakan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Berikut ini dapat disimak pernyataan Hamka tersebut dalam Pendahuluan Cetakan Keempat.

Upload: hoangdung

Post on 05-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tenggelamnya Kapal van der Wijck pertama kali terbit sebagai cerita

bersambung pada Majalah Pedoman Masyarakat di tahun 1938 (Hamka, 1982:2).

Kehadiran novel tersebut mendapat respons yang luas dari pengamat sastra. Atas

respons itu pula Tenggelamnya Kapal van der Wijck diterbitkan sebagai sebuah

buku tahun 1939 oleh M. Syarkawi, teman Hamka sendiri. Pada tahun 1949

penerbitan novel itu masih di tangani oleh M. Syarkawi. Kemudian, penerbitan

berikutnya dilakukan oleh Balai Pustaka hingga mengalami cetak ulang ketujuh

(Mahayana, 2007: 168). Cetakan kedelapan sampai kesepuluh oleh penerbit

Nusantara, Bukittinggi, tahun 1961. Cetakan selanjutnya hingga cetakan ke-18

dilakukan oleh penerbit Bulan Bintang, tahun 1986 (Dahlan, 2011:15).

Meskipun beberapa kali mengalami cetak ulang dengan penerbit yang

berbeda, Tenggelamnya Kapal van der Wijck tidak mengalami perubahan, kecuali

perbaikan salah cetak dan penyesuaian dengan ejaan yang berlaku (Hamka,

1982:6 dan Mahayana, 2007:168). Dengan demikian, Tenggelamnya Kapal van

der Wijck dapat dikatakan isinya sama dengan waktu pertama kali cerita tersebut

terbit. Sebagaimana dikemukakan Hamka, bahwa inti buku tidak diubah-ubah

karena karya tersebut merupakan gambaran dirinya dan zaman di kala

menciptakan Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Berikut ini dapat disimak

pernyataan Hamka tersebut dalam ―Pendahuluan Cetakan Keempat‖.

2

Dengan dicetaknya buku ini kembali, sempatlah saya

mengambil dua kesempatan. Kesempatan pertama ialah

mengoreksi kesalahan cetak pada percetakan-percetakannya yang

dahulu, dan menyesuaikan ejaannya dengan ejaan-ejaan baru,

sesudah perang. Sesudah Bahasa Indonesia ―bulat-bulat‖ menjadi

kepunyaan bangsa Indonesia.

Kedua ialah kesempatan diri sendiri, ―bercermin air‖,

melihat diri sendiri di zaman yang telah dilaluinya; jelas kelihatan

dua hal yang mempengaruhi jiwa. Pertama sentimen yang

bergelora. Kedua tekanan suasana, sebab kemerdekaan masih

dalam cita-cita, dan penjajahan masih menekan dalam segala

lapangan hidup, supaya hal itu tetap kelihatan, maka ketika

membacanya kembali, jalan cerita dan perasaan pengarang, yang

menjadi inti buku, tidak dirobah-robah. Sebab dia adalah puncak

kekayaan jiwa yang dapat diciptakan di zaman muda dan di zaman

sebelum suasana merdeka (Hamka, 1982: 6).

Tenggelamnya Kapal van der Wijck adalah satu dari lima cerita berbentuk

novel yang ditulis Hamka dari tahun 1935—1940 (Teeuw, 1980: 104). Kelima

novel tersebut adalah Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936), Tenggelamnya Kapal

van der Wijck (1938), Karena Fitnah (1938), Merantau ke Deli (1939) dan Tuan

Direktur (1939). Menurut Hamka Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan

novel yang paling baik, lebih memuaskan daripada Di Bawah Lindungan Ka’bah

(Jassin, 1962: 231). Atas dasar apa Hamka mengemukakan pendapat tersebut

tidak dijelaskan Jassin dalam tulisannya.

Novel kedua yang diciptakan Hamka tersebut merupakan karya sastra

yang populer pada zamannya. Kepopuleran karya itu tidak lain karena kisah

percintaan yang sangat problematik dan gaya penceritaan yang mengharukan,

menggugah perasaan, pilu dan sedih hingga secara tak sadar menguras air mata

pembacanya. Gaya penceritaan yang seperti itu digemari pembaca karena pada

zaman itu hampir tidak ada novel percintaan yang ditulis oleh pengarang

3

Indonesia (Dahlan, 2011: 24). Hamka dapat dikatakan sebagai pelopor dalam

menulis novel percintaan ketika itu.

Di sisi yang lain, kehadiran novel tersebut menimbulkan pertentangan di

kalangan masyarakat, terutama para ulama ketika itu. Hamka sebagai seorang

sastrawan dan juga dikenal sebagai ulama, bukan suatu yang lazim pada zaman itu

bila seorang ulama manulis novel percintaan (Hamka, 1982: 5).

Hamka mendapat cercaan, cemoohan, dan penghinaan lainnya yang

semakin menjadi-jadi ketika Tenggelamnya Kapal van der Wijck dituduh sebagai

jiplakan dari Al Majdulin (Magdalena) karya El Manfaluthi. El Manfaluthi atau

lengkapnya Mustafa Lutfi El Manfaluthi adalah sastrawan Mesir yang hidup

1876—1942. El Manfaluthi terkenal dengan gaya bahasanya yang mendayu-dayu.

Salah satu karyanya yang memperlihat gaya bahasa tersebut adalah Al Majdulin

(Magdalena). Al Majdulin merupakan saduran dari Sous les Tilleuls (di Bawah

Pohon Tillia) karya Alphonse Karr, berkebangsaan Prancis (Teeuw, 1980:105). El

Manfaluthi sebenarnya tidak bisa berbahasa Prancis, tetapi melalui bantuan

temannya yang membacakan kata demi kata dia mampu menyadur cerita itu

dengan baik ke dalam bahasa Arab sehingga keaslian cerita tersebut tetap terjaga

(El Manfaluthi, 2008:xii). Karya-karya El Manfaluthi sangat digemari oleh

Hamka. Hamka sendiri menyatakan bahwa ia sangat terpengaruh dengan

Manfaluthi (Berita Minggu, 30 September 1962). Akan tetapi, bukan berarti

Tenggelamnya van der Wijck merupakan bentuk pengaruh dari karya-karya

Manfaluthi terhadap Hamka. Terpengaruh yang dimaksudkan Hamka, bukan

4

menunjukkan bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wiijck merupakan jiplakan

dari karya Manfaluthi, sebagaimana yang dituduhkan kepadanya.

Tuduhan sebagai seorang plagiator terhadap Hamka terjadi ketika

Tenggelamnya Kapal van der Wijck telah mengalami cetak ulang tujuh kali.

Tuduhan itu pertama dilontarkan Abdullah Sp dengan judul tulisan ―Hamka,

Benarkah Dia Manfaluthi Indonesia‖ (Bintang Timur, 7 September 1972). Dalam

esei tersebut Abdullah Sp menceritakan pengalamannya menjadi ―Santri Asrama‖,

Majalengka, Jawa Barat dan berkenalan dengan karya Hamka, Tenggelamnya

Kapal van der Wijck yang sangat mengesankan hatinya. Kutipan tulisan tersebut

dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

... Karya Hamka itu (tjetakan pertama, th. 1938), entah, sudah

tudjuh kali kubatja, kutelentang-kutelungkupkan, kutelentang-

kubukakan lagi, kubatja lagi, tak jemu2nya laksana surat Al

Fatihah. Begitu asik aku dipukau Hamka. Ia telah mengetuk

gerbang hatiku, hati insani. Pernah aku membatja semalam suntuk,

pernah pula pada suatu hari – sesudah membatjanja – menangis

sendirian disudut sunji (Abdullah Sp, 1962:7).

Kekaguman Abdullah terhadap Hamka berubah menjadi rasa muak setelah

dia (Abdullah) membaca karya-karya Manfaluthi. Kekecewaan Abdullah kepada

Hamka makin bertambah setelah dia menonton sebuah film karya Manfaluthi

yang berjudul Dumu el Hub (Air Mata Cinta). Berikut ini dapat dilihat kutipan

esei Abdullah tersebut.

Disini aku lihat, bahwa HAMKA memang hakul-jakin mentah2

mendjiplak, apanja jang berbeda, temanja, isinja, napasnja, tjuma

tempat kedjadian dan tokoh2nja jang disulap, dengan menggunakan

warna setempat tentu (Abdullah Sp, 1962:8).

Berdasarkan esei Abullah Sp tersebut para praktisi, pemerhati sastra, dan

media massa nasional dan daerah menjadi heboh. Kehebohan itu melahirkan dua

5

kubu, yaitu ada yang pro dan ada yang kontra. Perbedaan kedua pendapat itu

terhimpun dalam dua buku, yaitu Tenggelamnya Kapal van der Wijck dalam

Polemik (Hamzah, 1963) dan Aku Mendakwa Hamka Plagiat: Skandal Sastra

Indonesia 1962—1964 (Dahlan, 2011).

Menurut Anwar (1983:251) perdebatan karya Hamka tersebut tidak

terlepas dari konteks politik saat itu. Dalam tahun 1963, Lembaga kebudayaan

Rakyat atau Lekra yang menjadi organisasi pendukung PKI melancarkan gerakan

menteror orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Dalam lapangan sastra satu

demi satu pengarang yang dinilai musuh PKI dihantam dan dimusnahkan. Hamka

merupakan salah seorang menjadi sasaran Lekra. Hamka yang dikenal sebagai

sastrawan dan ulama muslim terkemuka, dianggap ancaman oleh kelompok yang

berhaluan komunis tersebut. Ia dihantam secara politis karena ia pernah menjadi

anggota Masyumi. Ia dihantam secara mental dengan tuduhan bahwa novel yang

dikarangnya dalam tahun 1938 ―Tenggelamnya Kapal van der Wijck‖ adalah

plagiat dari novel Majdulin karya pengarang Mesir, yaitu Luthfi El-Manfaluthi.

Hamka dikeroyok secara terus-menerus oleh ―Bintang Timur‖ dan penerbitan

komunis lainnya (Anwar, 1983:251—252)

Polemik tersebut mulai hilang setelah Jassin mengungkapkan

pandangannya terhadap Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Berikut ini dapat

disimak kesimpulan analisis Jassin terhadap novel tersebut.

―Pada Hamka ada pengaruh Al Manfaluthi. Ada garis2 persamaan

tema, plot dan buah pikiran, tapi djelas bahwa Hamka menimba

dari sumber pengalaman hidup dan inspirasinya sendiri. Anasir

pengalaman sendiri dan pengungkapan sendiri demikian kuat,

hingga tak dapat orang bitjara tentang djiplakan, ketjuali kalau tiap

hasil pengaruh mau dianggap djiplakan. Maka adalah terlalu

6

gegabah untuk menuduh Hamka plagiat seperti meneriaki tukang

tjopet di Senen.

Saja jakin Tenggelamnya Kapal van der Wijck akan terus

hidup mengalami ulangan tjetakan dalam sedjarah kesusastraan

Indonesia sebagai hasil karja jang mempunyai kepribadiannja

sendiri (Jassin, 1963:188).

Polemik Tenggelamnya Kapal van der Wijck tersebut dapat disimpulkan

bahwa Hamka bukanlah seorang plagiator sebagaimana yang dituduhkan

kepadanya. Novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck merupakan pergulatan

pemikiran Hamka dengan kebudayaannya sendiri. Isi dan latar yang dia sentuh

dalam novel tersebut tidak hanya lokalitas, seperti Minangkabau, tetapi juga

Indonesia secara umum. Sebagaimana diungkapkan Teeuw (1980: 105--106),

bahwa Hamka menghasilkan sebuah buku yang amat berbeda sifat, baik isi

maupun latar belakang yang bersifat Indonesia seluruhnya, dan mungkin pula

sedikit banyaknya bersifat sebuah otobiografi. Melalui tokoh-tokohnya ia

menyuarakan beberapa persoalan, di antaranya adalah Islam dan adat

Minangkabau, persentuhan budaya yang berbeda, persoalan modernitas yang

dihadapkan dengan tradisi masyarakat, dan persoalan status sosial. Persoalan ini

sudah jelas membedakan Hamka dengan Al Manfaluthi, yang dianggap karyanya

telah dijiplak oleh Hamka tersebut.

Bahasa yang digunakan Hamka juga menjadi ciri pembeda antara

Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Majdulin. Hamka yang berlatarkan

kebudayaan Minangkabau sangat terpengaruh dengan kebudayaannya. Hal itu

sangat terlihat dari gaya bahasa yang digunakannya dalam novel tersebut. Gaya

bahasa Minangkabau terlihat jelas dalam novel tersebut. Hamzah (1964: 52)

menyebutkan, bahwa Hamka banyak terpengaruh oleh ‗kaba-kaba rakyat

7

Minangkabau‘ dalam beberapa karya sastranya. Salah satunya dapat dilihat pada

Tenggelamnya Kapal van der Wijck, sebagaimana dapat dilihat pada kutipan

berikut ini.

Mamak duduk berapat di kepala rumah yang di hilir,

perempuan-perempuan duduk di dekat jalan ke dapur,

mendengarkan buah mupakat dari jauh. Orang semenda, yaitu

suami dari kemenakan-kemenakan, dari pagi sudah sengaja

tidak pulang, sebab ―orang‖ akan musyawarat dalam sukunya,

padahal mereka hanya ―urang semenda‖ mengebat tidak erat,

memancung tidak putus, lengau di ekor kerbau, debu di atas

tunggul, lecah lekat dikaki. Walaupun kadang-kadang anaknya

sendiri yang akan dipertunangkan atau dikawinkan. Dia hanya

kelak akan diberi kata yang telah masak saja (Hamka,

1982:110).

Pada kutipan yang lain,

Pada suatu hari, tengah hari, sedang cacau ragi kain,

sedang lengang ‗rang di kampung hanya sekali-sekali

kedengaran peluit kerata api yang sedang diperbaiki di bengkel

dekat stasiun, dan dari jauh kedengaran aliran air yang

merawankan hati dalam belukar Anai (Hamka, 2981:147)

Selain, gaya penulisan kaba tersebut, dalam novel Tenggelamnya Kapal

van der Wijck juga banyak ditemukan gaya bahasa kieh (Kias). Kieh berarti kata-

kata, ungkapan, dan pernyataan yang ditujukan secara langsung kepada seseorang

tanpa bermaksud merendahkan orang tersebut (Yusriwal, 2005:2). Kieh yang

ditemukan dalam teks novel tersebut di antaranya: ―tahi mata tak dapat dibuang

dengan empu kaki‖ (Hamka, 1982:110), ―emas tidak juga dapat dicampur dengan

loyang, sutera tersisih dari benang” (Hamka, 1982:41), ―menanamkan padi di

sawah yang tak berair, mendakikan akar sirih, memanjat batu. memintak sisi

kepada limbat (Hamka, 1982:62), dan ―yang tidak lapuk dihujan, nan tidak lekang

dipanas”(Hamka, 1982:111).

8

Gaya bahasa berkias seperti itu cukup banyak ditemukan pada teks

tersebut. Dari bahasa yang digunakan Hamka tersebut sedikit banyaknya berkaitan

dengan kebudayaan yang diacunya, yaitu Minangkabau. Demikian pula halnya

dengan makna dari bahasa tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks

kebudayaan Minangkabau.

Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa Tenggelamnya Kapal van der

Wijck adalah hasil dari kreatifitas Hamka. Kalau Hamka menyatakan ada

pengaruh Manfaluthi dalam kepengarangannya, bukan berarti tidak ada ―nafas‖

Hamka dalam karyanya. ―Nafas‖ yang mencirikan pemikiran Hamka. Al Majdulin

(Magdalena), karya El Manfaluthi adalah sebagai gudang pembacaan bagi

Hamka, sedangkan Tenggelamnya Kapal van der Wijck pergulatan pemikiran

Hamka dengan kebudayaan dan sejarah zamannya.

Fenomena Tenggelamnya Kapal van der Wijck yang telah diuraian di atas

yang melatarbelakangi penulis tertarik menjadikannya sebagai objek material

penelitian ini. Sebagian orang berpendapat karya tersebut plagiat, sedangkan yang

lainnya menyatakan bahwa karya tersebut murni kreatifitas Hamka. Persoalan itu

sangat tepat dikaji dengan konsep intertektualitas yang dikemukakan oleh

Kristeva.

Menurut Kristeva (1980:15), bahwa lahirnya sebuah karya sastra tidak

dianggap sebagai pengaruh dari pengarang ke pengarang yang lain atau pengaruh

dari sebuah karya sastra yang dibaca. Berdasarkan pemikiran Kristeva itu, novel

Tenggelamnya Kapal van der Wijck tidak dianggap pengaruh El Manfaluthi atau

Magdalena yang telah dibaca Hamka.

9

Kristeva menjelaskan bahwa mempelajari teks sebagai intertekstualitas

mempertimbangkannya seperti berada di dalam teks sosial dan sejarah.

(Kristeva,1980: 37). Dengan kata lain, intertektualitas memiliki arti yang lebih

luas. Segala sesuatu yang ada disekitar kita, seperti seni, kepercayaan, cara hidup,

sejarah, politik, atau yang tercakup dalam sebuah kebudayaan disebut teks. Bagi

Kristeva, novel adalah sebuah teks, yang merupakan praktik semiotik yang

mempersatukan pola-pola dari beberapa ungkapan yang dibaca. Novel sebagai

teks sastra melibatkan semua komponen sistem dari sebuah teks, di antaranya

terdapat teks sosial budaya dan sejarah yang dinyatakan masyarakat melalui

wacana (Kristeva dalam Allen, 2000: 35).

Keberagaman teks dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck tersebut

diibaratkan oleh Kristeva, bahwa dalam satu teks terdapat teks-teks lain, teks itu

silang-menyilang dan saling menetralisir satu dengan yang lainya (1980: 36).

Proses bertemunya berbagai jenis teks dalam satu teks itulah yang disebut

intertekstualitas oleh Kristeva.

Kehadiran berbegai jenis teks dalam satu teks tersebut tidak dilihat sebagai

satu hal yang terpisah, tetapi dimaknai sebagai sebuah satu kesatuan. Dengan kata

lain, potongan atau sisipan teks yang terdapat dalam satu teks dimaknai secara

keseluruhan (Kristeva, 1980:37). Hal itulah yang disebut ideologeme oleh

Kristeva. Ideologeme menurut Kristeva (1980:37) adalah memahami transformasi

tuturan/ungkapan (teks tersebut tidak bisa diperkecil/dikurangi lagi) terhadap

keseluruhan teks. Ideologeme itu mempunyai kesamaan secara sosial dan

historikal.

10

Dengan demikian, Teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck diasumsikan,

bahwa karya yang lahir tidak dianggap sebagai pengaruh pengarang atas

pengarang yang lain atau pengaruh sumber karya yang dibaca. Akan tetapi, dalam

sebuah teks tersebut terdapat potongan-potongan teks yang berasimilasi satu

dengan yang lainnya. Pada teks tersebut terdapat teks sosial dan sejarah suatu

masyarakat tertentu. Dengan demikian, teori intertektualitas yang digagas oleh

Kristeva dianggap tepat untuk memahami teks tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian mengenai latar belakang di atas muncul suatu permasalahan.

Permasalahan itu dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut ini.

1. Bagaimana bentuk ideologeme dalam teks Tenggelamnya Kapal van der

Wijck?

2. Bagaimana makna ideologeme yang terkandung dalam teks Tenggelamnya

Kapal van der Wijck?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah

dikemukakan, melalui suatu rangkaian kerja dan prosedur analisis yang

direncanakan, penelitian ini memiliki tujuan teoritis dan praktis.

11

1.3.1 Tujuan Teoretis

Secara teoretis penelitian ini bertujuan mengungkapkan dan menjelaskan

bentuk dan makna ideologeme yang terkandung dalam teks Tenggelamnya Kapal

van der Wijck.

1.3.2 Tujuan Praktis

Tujuan praktis penelitian ini adalah memberikan pemahaman kepada

pembaca untuk memahami sebuah teks dengan cara pandang intertekstualitas.

Selain itu, penelitian ini juga menambah perbendaharaan penerapan teori

intertekstualitas dalam karya sastra, khususnya pemikiran Julia Kristeva.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian dengan topik seperti yang diajukan dalam penelitian ini belum

pernah dilakukan. Meskipun demikian, penelitian atau tulisan yang berkaitan

dengan Tenggelamnya Kapal van der Wijck perlu dikemukakan sebagai pustaka

acuan dan perbandingan.

Junus (1985: 4) melihat bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck

berhubungan dengan peristiwa nyata, yaitu tenggelamnya sebuah kapal. Hal itu

dapat dilihat sebagai usaha meyakinkan khalayak bahwa penikmat berhadapan

dengan cerita tentang peristiwa nyata (Junus, 1993: 134). Novel tersebut menurut

Junus (1985: 46) menggambarkan keadaan kampung yang statis. Pada tulisan

yang lain, Junus (1974: 16) mengemukakan bahwa Tenggelamnya Kapal van der

Wijck mengalami perubahan dibandingkan novel-novel sebelumnya. Kalau pada

12

novel-novel sebelumnya penghalang hubungan cinta antara laki-laki dan

perempuan adalah orang jahat, sedangkan pada Tenggelamnya Kapal van der

Wijck penghalangnya adalah sistem. Cerita ini merupakan kritik pengarang

terhadap sistem yang berlaku di Minangkabau. Menurut Junus, kritik tersebut

merupakan bagian integral dari cerita. Sepasang kekasih dalam cerita itu sengaja

diperlihatkan sebagai korban dari sistem sehingga ia tidak memiliki peran penting

di dalam cerita. Mereka menjadi manusia pasif karena keadaan memaksa mereka

demikian. Kesengsaraan yang mereka deritakan menimbulkan rasa simpati

pembaca. Rasa simpati menimbulkan kritik terhadap sistem. Junus (1993: 232)

mengatakan bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck tidak diakhiri dengan

penyelesaian dongeng atau berakhir bahagia.

Sarijo dalam tulisannya melihat tokoh-tokoh utama dalam Tenggelamnya

Kapal van der Wijck. Menurut Sarijo (1983: 330) tokoh-tokoh yang diciptakan

Hamka ―melambangkan ide Hamka sebagai seorang yang menentang adat juga

telah didorong ke tingkat yang lebih terhormat dalam pandangan Islam (setidak-

tidaknya moral Islam yang ditafsirkan/diyakini oleh Hamka)‖. Selain itu, Sarijo

(1983: 332) mengemukakan, bahwa tokoh-tokoh yang melambangkan cita-cita

Hamka dalam novel-novelnya bukan tokoh-tokoh fatalis, yakni yang menyerah

pada keadaan dalam makna yang negatif. Lebih lanjut dijelaskan Sarijo, bahwa

sikap ―nrimo nasib/takdir‖ dalam pendirian Hamka tidak boleh ditafsirkan dalam

makna pasif/negatif. Sikap ―nrimo‖ bagi Hamka harus dalam arti bahwa

seseorang tahan uji, tahan pengorbanan dan penderitaan. Tokoh perempuan,

seperti Hayati digambarkan Hamka sebagai perempuan yang telah mengalami

13

kemajuan, bukan perempuan yang pasif. Analisis yang dilakukan oleh Sarijo ini

tidak berlandaskan pada teori tertentu. Tulisan tersebut seperti kritik atau apresiasi

pembaca terhadap karya yang dinikmatinya.

Penelitian yang dilakukan Arriyanti, Krisnawati dan Tahtiha Darman

Moenir (2005) mengangkat novel-novel berlatar Minangkabau Periode 1920—

1940. Salah satu sampel dari penelitian tersebut adalah novel karya Hamka, yaitu

Tenggelamnya Kapal van Der Wijck. Penelitian tersebut mengangkat persoalan

―Konflik: Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920—

1940. Dari penelitian itu dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi

merupakan refleksi dari alam pikiran Minangkabau yang memang penuh dengan

konflik. Konflik tersebut merupakan konsep estetika bagi kehidupan orang

Minangkabau.

Ali (1994) menjadikan Tenggelamnya Kapal van der Wijck sebagai salah

satu data penelitiannya dengan judul Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra

Indonesia (1922—1965). Dari penelitian tersebut tidak terlihat toeri dan metode

yang digunakan. Dalam penelitian tersebut Ali mengungkapkan persoalan-

persoalan adat Minangkabau yang ditemukan dalam beberapa karya yang

dijadikan sebagai data penelitian. Khusus pada pembahasan novel Tenggelamnya

Kapal van der Wijck, Ali menyatakan, bahwa ide pokok novel tersebut adalah

―menentang adat Minangkabau dalam suatu segi yang melarang gadis atau

pemudanya kawin dengan orang luar Minangkabau. Persoalan keturunan dan asal

usul juga tampak dalam novel tersebut. Selain itu, novel tersebut juga mengangkat

persoalan kawin paksa yang dilakukan oleh seorang mamak terhadap

14

kemenakannya‖ (Ali, 1994: 88). Menurut Ali, dalam novel tersebut Hamka secara

implisit berkeinginan mengubah sistem matrilineal dalam masyarakat

Minangkabau menjadi patrilineal.

Esten mengkaji tema dan amanat serta latar dan tokoh dalam

Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan menjadikan Salah Asuhan sebagai

pembandingnya. Perbandingan dilakukan karena Esten berhipotesis bahwa Salah

Asuhan dengan Tenggelamnya Kapal van der Wijck terdapat persamaan (1985:5).

Hipotesis Esten tentang data penelitian ialah bahwa pemilihan latar dan pemilihan

(pembentukan dan pembinaan) penokohan amat menentukan dalam pembentukan

dan pengembangan tema serta amanatnya. Oleh karena itu, Esten menggunakan

toeri struktural dan dengan metode struktural dan komparatif. Kedua metode

tersebut tidak dijelaskan cara kerjanya. Teori struktural yang digunakan pun juga

tidak tergambar dengan jelas. Pada kerangka teori, Esten hanya menyebutkan dua

nama ahli, yaitu Abrams dan Welleck. Kedua nama ahli tersebut dipakai untuk

merujuk pengertian latar. Nama ahli lain yang tercantum adalah Schorar dan itu

pun melalui Saat. Nama tersebut adalah untuk merujuk tentang teknik, seperti

kutipan berikut ini: ―Kalau kita bicara tentang teknik (dimana struktur wujudnya,

ME), maka kita bicara tentang hampir segala sesuatu‖. Mengenai teknik ini pun

tidak bisa dipahami.

Esten (1985:63) menghasilkan 10 kesimpulan dalam penelitiannya,

diantaranya adalah 1) adanya persamaan tema antara Tenggelamnya Kapal van

der Wijck dan Salah Asuhan, yaitu masalah diskriminasi manusia. 2) Dalam

Tenggelamnya Kapal van der Wijck diskriminasi manusia disebabkan oleh

15

keturunan suku-bangsa, sedangkan Salah Asuhan disebabkan oleh asal usul

bangsa atau ras. 3) Adanya perbedaan amanat, pada Tenggelamnya Kapal van der

Wijck diskriminasi manusia seperti yang terungkap di dalam tema lebih dilihat

sebagai sesuatu yang tidak benar dan merugikan, baik bagi manusia maupun bagi

bangsa, sedangkan dalam Salah Asuhan masalah diskriminasi manusia itu terlihat

sebagai sesuatu yang harus diterima, bahkan usaha untuk meniadakannya bukan

saja terlihat sisa-sisa (sic) tetapi berbahaya, baik untuk manusia itu sendiri

maupun untuk kepentingan masing-masing bangsa. 4) Pemilihan latar, baik latar

tempat lokasi maupun latar sosial dari masing-masing novel ini banyak ditentukan

oleh faktor tema dan amanat yang diungkapkan. 5) Tema dan Amanat dari kedua

novel ini juga amat menentukan bagaimana tipe watak dari tokoh-tokoh yang

akan dihadirkan dan bagaimana watak-watak kemudian dikembangkan.

Menurut Sumardjo (1999:65) Tenggelamnya Kapal van der Wijck

mengangkat tema konflik antara hati nurani (cinta sejati) dan gengsi harga diri.

Novel tersebut dikelompokkan Sumardjo ke dalam novel yang terbit pada tahun

1920—1930 an. Pada tahun tersebut, Indonesia masih berada pada zaman

penjajahan. Oleh karena itu, dalam sub tulisannya Sumardjo menyebutkan ―Tema

Novel Zaman Kolonial‖. Novel-novel dalam masa kolonial Belanda amat

menonjol dalam mengambil tema kritik sosial. Dari penerbitan resmi pemerintah

kolonial sendiri, Balai Pustaka, kritik sosial itu terutama ditujukan kepada

generasi tua yang menganggap masih ―menguasai‖ anak-anaknya yang berangkat

dewasa, untuk menikah dengan orang yang dapat menjamin keperluan materi

anaknya (harta kekayaan) dan menaikkan gengsi keluarga. Atau orang tua kaya

16

menginginkan anaknya menikah dengan pasangan dari kelas sosial yang setingkat.

Kritik para pengarang ditujukan dengan memperlakukan para gadis ini ―kawin

paksa‖ dengan orang kaya yang rata-rata bertabiat jahat (banyak isteri, penjudi,

periba) dan lebih tua, dan akhirnya perkawinan idaman golongan tua ini kandas,

entah si anak meninggalkan atau menjadi janda dan menemukan kembali

kekasihnya yang setia. Para pengarang yang lebih pesimis mematikan si gadis

dalam kepedihan percintaan (Sumardjo, 1999: 65—66).

Berikut penelitian ―Majdulin dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck

Analisis Intertekstualitas‖ yang dilakukan oleh Sangidu (2004: 147). Penelitian

tersebut disajikan dalam subbab buku Penelitian Sastra: Pendekatan, Toeri,

Metode, dan Kiat yang ditulis oleh Sangidu. Dalam penelitian itu secara eksplisit

peneliti menyatakan, bahwa Tenggelamnya Kapal van der Wijck memiliki banyak

persamaan dengan Majdulin. Persamaan itu dianggap sebagai pengaruh dari

bacaan yang dibaca oleh pengarangnya. Persamaan dan perbedaan kedua karya itu

menurut peneliti dapat dilihat dengan toeri intertekstual.

Teori intertekstual yang digunakan dalam penelitian tersebut tidak begitu

jelas karena beberapa nama ahli dan pemikirannya mengenai intertekstual

disajikan dalam penelitian itu. Di antara nama-nama ahli tersebut adalah Kristeva,

Riffaterre, dan Roland Barthes. Masing-masing pemikir tersebut memiliki

perbedaan tentang konsep intertekstual dan tidak mungkin dipersamakan satu

dengan yang lainnya. Misalnya Kristeva, dia mengonsepkan intertekstualitas:

dalam sebuah ruang teks terdapat beberapa ungkapan yang diambil dari teks lain,

ungkapan tersebut silang-menyilang dan menetralisir satu sama lain (Kristeva,

17

1980: 36). Konsep intertekstualitas-nya Kristeva tidak mengenal adanya pengaruh

dari satu pengarang ke pengarang yang lain dan juga pengaruh karya yang dibaca

(Kristeva, 1980: 15). Dia melihat bahwa sebuah teks (sastra) dikonstruksi teks

sosial dan sejarah.

Lain lagi halnya dengan Riffaterre yang mencoba meluruskan jalan pikiran

pembaca mengenai konsep interteks yang selama ini telah disalahartikan.

Riffaterre (1984: 142) menyatakan, bahwa beberapa sarjana salah mengartikan

interteks sebagai sumber dan tampaknya berpikir intertekstulitas adalah nama lain

untuk pengaruh atau imitasi. Dia menjelaskan bahwa interteks tidak berarti

kumpulan karya sastra yang mungkin telah mempengaruhi teks atau teks itu

mungkin ditiru. Selain itu kata Riffaterre, interteks bukan sebuah konteks yang

dapat menjelaskan teks atau efeknya pada pembaca, atau salah satu dapat

digunakan sebagai dasar perbandingan untuk menunjukkan orisinalitas penulis.

Sebuah interteks menurut Riffaterre adalah korpus teks, fragmen tekstual, atau

segmen seperti teks dari sosiolek yang membagi satu leksinkon, dan pada tingkat

lebih rendah, sintaks dengan teks yang kita baca (secara langsung atau tidak

langsung) dalam bentuk anonim atau, bahkan sebaliknya, dalam bentuk antonim.

Selain itu, kata Riffaterre, setiap korpus adalah homolog struktural dari teks,

misalnya penggambaran suatu malam hujan badai dapat berfungsi sebagai

interteks untuk hari yang damai. Contoh lainnya yang diberikan Riffaterre,

melintasi gurun pasir yang tak ada ujungnya mungkin interteks dari kerutan-

kerutan dalam di kening.

18

Lebih lanjut Riffaterre (1984: 142—143) menjelaskan, sebaliknya

intertekstualitas bukan hanya persepsi homolog dari persamaan dan perbedaan.

Istilah itu mengacu pada pengoperasian pikiran pembaca, tetapi salah satu hal

yang wajib diperlukan pada pemecahan kode teks. Interteks melengkapi

pengalaman pembaca tentang tekstualitas. Hal ini merupakan persepsi bahwa

ketika kita membaca teks tidak bisa lengkap atau memuaskan tanpa melalui

interteks, bahwa teks tidak menandakan, kecuali sebagai fungsi dari homolog

intertekstualitas yang saling melengkapi atau saling bertentangan.

Pemikiran Roland Barthes tentang intertekstual dirangkum Worthon dan

Judith (1990:18), yaitu interteks bukan suatu bidang pengaruh. Menurut Worthon

dan Judith, konsep intertektual Barthes tersebut mengacu pada pemikiran

Kristeva. Selanjutnya, kedua tokoh tersebut menyatakan, bahwa intertektualitas

menurut Barthes adalah kemustahilan hidup di luar teks tak terbatas. Dia

mengibaratkan pada sebuah buku, buku menciptakan makna, dan makna

menciptakan kehidupan. Teks-teks lain muncul dalam sebuah buku melalui kata-

kata, menurut Barthes. Kata-kata yang dihadirkan dalam sebuah teks tidak hanya

sebagai kesenangan mengambil kata-kata karena kata-kata itu memiliki sejarah

masa lalu. Akan tetapi, kata-kata itu menjelaskan bahwa kita membuat pengertian

mengenai pengalaman hidup kita dan membentuk hidup kita dalam hubungan

dengan teks. Kehadiran teks lain tampaknya merupakan ekspresi spontan dan

transparan dari maksud penulis, tetapi pasti berisi elemen teks lain. Menurut

Worthon dan Judith, pembacaan interteks dalam pandangan Barthes dapat

19

dilakukan dengan memori melingkar, yang memungkinkan pembaca membaca

suatu teks melalui suatu prisma semua teks.

Konsep intertekstual Riffaterre dan Barthes (yang dirangkum oleh

Worthon dan Judith) tersebut berbeda dengan konsep intertekstual yang

dikemukakan oleh Kristeva. Konsep teks yang diacu dalam intertekstual Riffaterre

dan Barthes—dalam pandangan Worthon dan Judith—tidak begitu jelas,

sedangkan Kristeva dengan jelas menyatakan bahwa teks tersebut memiliki

kesejajaran atau kesamaan dengan teks sosial dan sejarah.

Dari ketiga pemikiran di atas dapat disimpulkan bahwa intertekstual yang

dimaksudkan bukanlah hubungan persamaan dan perbedaan yang terdapat antara

satu karya sastra dengan karya sastra yang lain, tetapi meyakini bahwa berbagai

teks bertemu dalam satu teks membentuk jaringan atau tenunan. Dengan

demikian, penelitian yang telah dilakukan oleh Sangidu tersebut tidak termasuk

dalam kerangka intertektualitas, sebagaimana yang dimaksudkan oleh ketiga ahli

tersebut.

Berdasarkan tinjauan kepustakaan di atas penelitian Tenggelamnya Kapal

van der Wijck dengan kajian intertekstual khususnya pemikiran Kristeva

dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, asumsi yang dibangun

berdasarkan teori ini dianggap tepat untuk menyelesaikan masalah yang

dimunculkan. Kedua, penelitian ini mengungkapkan teks sosial dan sejarah,

khusus yang ditemukan dalam masyarakat Minangkabau. Ketiga, persentuhan

kebudayaan Minangkabau dengan kebudayaan lain. Keempat. Melalui pembacaan

yang telah dilakukan, teori intertekstual yang dikemukakan Kristeva belum

20

memadai ketersediaannya dalam penelitian karya sastra. Dengan demikian,

penelitian ini dimaksudkan atau dalam rangka menerapkan teori tersebut.

1.5 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori Intertekstual yang digagas oleh Julia

Kristeva. Julia Kristeva adalah seorang pemikir postrukturalis Prancis yang

pertama kali memperkenalkan istilah intertekstualitas (Intertextuality). Dalam hal

ini, toeri intertektualitas yang peneliti gunakan terhimpun dalam buku Desire in

Language: A Semiotic Approach to Literature and Art

Konsep intertekstualitas dikemukakan oleh Julia Kristeva dalam bab

pengantar bukunya yang berjudul Desir Language: A Semiotic Approach to

Literature and Art (1980), sebagaimana dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

Intertextuality (intertextualite). This French word was

(originally) introduced by Kristeva and met with immediate

success; it has since been much used and abused on both sides of

the Atlantic. The concept, however, has been generally

misunderstood. It has nothing to do with matters of influence by

one writer upon another or with sources of a literary work; it does,

on the other hand, involve the components of a textual such as the

novel, for instance. It is defined in La Revolition du Langage

Poetique as the transposition of one or more of signs into another,

accompanied by a new articulation of the enunciative and

denotative position. Any signifying practice (q.v.) is a field (in the

sense of space traversed by lines of force) in which various

signifying s undergo such a transposition (Kristeva, 1980: 15).

(Intertekstualitas berasal dari bahasa Prancis yang

diperkenalkan oleh Kristeva. Toeri ini banyak digunakan orang,

sejak pertama kali digunakan di Atlantik. Konsep teori tersebut

secara umum telah disalahartikan. Ini tidak ada hubungannya

dengan pengaruh oleh satu penulis ke penulis yang lain atau

dengan karya sastra. Dengan kata lain, melihat komponen dari

sistem tekstual seperti yang ada di dalam novel. Hal ini

didefinisikan di dalam buku La Revolition du Langage Poetique

sebagai transposisi antara satu tanda ke tanda yang lain, diikuti

21

dengan pengucapan artikulasi yang baru dan posisi denotatif.

Beberapa praktik penanda adalah bidang yang terdapat beberapa

penanda melalui transposisi).

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dinyatakan bahwa konsep intertekstual,

pertama, tidak menganggap bahwa antarkarya satu dengan yang lainnya

disebabkan pengaruh pengarang atas pengarang yang lain atau pengaruh sumber

karya sastra yang dibaca. Dalam konteks ini, teks Tenggelamnya Kapal van der

Wijk tidak dilihat sebagai pengaruh pengarang El Manfaluthi atau karyanya yang

berjudul Al Majdulin (Magdalena), tetapi dilihat sebagai karya kreatif dari

seorang pengarang yang bernama Hamka. Karya tersebut merupakan pergulatan

Hamka dengan kebudayaan dan sejarah zamannya. Hal tersebut dapat dilihat dari

komponen sistem tektual yang terdapat dalam novel. Kedua, sebagai transposisi

antara satu tanda ke tanda yang lain, diikuti dengan pengucapan artikulasi yang

baru dan denotatif.

Kristeva (1980: 36) memberikan definisi tentang teks, yaitu sebagai alat

translinguistik yang mendistrubsikan kembali aturan-aturan bahasa dengan

menghubungkan kemampuan berbicara yang komunikatif, yang bertujuan untuk

memberikan informasi secara langsung atas berbagai jenis ungkapan pada masa

tertentu (sinkronis). Selanjutnya, menurut Kristeva (1980: 36) teks merupakan

suatu produktifitas. Hal ini berarti, pertama dalam hubungannya dengan bahasa

bersifat redistribusif (destruktif-konstruktif). Kedua, teks merupakan permutasi

(perubahan total, penataan ulang, tranformasi) dari beberapa teks atau sebuah

intertektualitas; dalam ruang teks, berbagai ujaran atau tuturan diambil dari teks-

22

teks yang lain, silang-menyilang dan menetralisir satu sama lain (Kristeva, 1980:

36).

Kristeva (1980:66) juga mengutip pemikiran Bakhtin dalam teori

sastranya, yaitu teks disusun sebagai sebuah mosaik. Dalam pandangan Bakhtin,

teks adalah penyerepan dan tranformasi dari teks yang lain.

Kajian intertekstualitas adalah untuk mengetahui ideologeme yang

terdapat dalam novel. Ideologeme menurut Kristeva adalah persilangan dari

pengaturan teks yang disampaikan melalui tuturan-tuturan sehingga tuturan

tersebut berasimilasi ke dalam ruangannya sendiri (interior text) dan merujuk ke

ruang teks luar (exterior text). Hal itu merupakan praktik semiotik. Selanjutnya,

Kristeva menjelaskan, bahwa ideologeme adalah fungsi intertekstual yang dibaca

sebagai ―membendakan/mematerialkan‖ (materialized) pada level-level struktural

yang berbeda dari tiap teks dan yang membentang panjang jejaknya, hingga

ideologeme itu mempunyai kesamaan secara sosial dan historikal. Ideologeme ini

bukanlah sebuah langkah interpretasi didapat setelah menganalisis dengan maksud

untuk menjelaskan se-―ideologikal‖ mungkin apa yang pada pertama kali diterima

sebagai linguistik (Kristeva, 1980: 36—37). Konsep teks sebagai ideologeme

mengharuskan prosedur semiotik, dengan mempelajari teks sebagai sebuah

intertekstulitas, mempertimbangkannya sebagaimana seharusnya dalam teks sosial

dan sejarah (Kristeva, 1980: 37). Ideologeme sebuah teks adalah fokus

mengetahui secara rasional transformasi tuturan-tuturan (teks tersebut tidak bisa

dikurangi) terhadap keseluruhan teks, begitu juga dengan penambahan dari

23

keseluruhan teks ini ke dalam teks sosial dan historikal (teks yang mengandung

unsur kesejarahan) (Kristeva, 1980:37).

Ideologeme pada sebuah teks sastra dapat dilihat pada novel. Menurut

Kristeva (1980:37), novel dilihat sebagai sebuah teks yang merupakan suatu

praktik semiotik, yang polanya dipersatukan dari beberapa tuturan yang dapat

dibaca. Bagi Kristeva, tuturan spesifik terhadap novel bukan urutan minimal

(suatu entitas tertentu). Tuturan spesifik merupakan suatu operasi, suatu gerakan

yang berhubungan dan bahkan disebut argumen operasi. Argumen operasi, yakni

mempelajari suatu teks tertulis, baik kata atau urutan kata (kalimat, paragraf)

berdasarkan kontekstual.

Selanjutnya, Kristeva (1980:37) menjelaskan bahwa untuk menganalisis

novel terlebih dahulu harus mempelajari fungsi yang menyatukan beberapa teks

dalam sebuah teks. Fungsi adalah kode. Fungsi tersebut menurut Kristeva

(1980:37) adalah sebuah variabel terikat ditentukan bersama dengan variabel

independen yang berhubungan satu sama lain. Variabel terikat mengacu pada teks

dalam atau novel itu sendiri, sedangkan variabel independen mengacu pada teks di

luar novel.

Kedua variabel tersebut dapat diwujudkan dalam proses penganalisisan,

sebagaimana dikemukakan oleh Kristeva (1980:37) berikut ini. Pertama,

menetapkan sebuah tipologi atau klasifikasi dari tuturan-tuturan yang ditemukan

dalam novel. Penetapan tipologi ini dilakukan dengan pembacaan teks secara

keseluruhan atau dari awal hingga akhir. Kedua, menghubungkan teks novel

24

dengan asal-usulnya (teks luar). Dengan kedua cara tersebut dapat diketahui

ideologeme yang terdapat dalam novel.

Dua bentuk analisis yang dapat ditempuh untuk mengetahui ideologeme

dalam novel (Kristeva, 1980: 37—38). Pertama, analisis suprasegmental dari

tuturan-tuturan yang terdapat dalam kerangka novel akan mengungkapkan

keberadaannya sebagai sebuah teks terbatas. Kedua, analisis intertekstual dari

ungkapan-ungkapan akan mengungkapkan hubungan antara tulisan dan ungkapan

dalam teks novel.

Cerita merupakan hasil dari rangkaian kata demi kata (Kristeva, 1980:42).

Seperti telah dijelaskan diawal, bahwa intertekstulitas Kristeva melihat tuturan-

tuturan (kata atau urutan kata) yang hadir dalam teks novel dan relasinya dengan

teks sejarah dan sosial. Konsep kata dalam sastra dijelaskan Kristeva (1980:65

sebagai sebuah persilangan dari permukaan tekstual dan tidak memiliki arti yang

tetap. Hal itu dimaksudkan Kristeva bahwa dalam sebuah teks terjadi dialog

antara beberapa tulisan dari penulis, penerima (pembaca), dan konteks budaya

kontemporer atau konteks budaya sebelumnya. Pada konteks ini, Kristeva (1980:

65) yang terinspirasi dengan pemikiran Bakhtin yang memperkenalkan status kata

sebagai unit struktural minimal. Selain itu ia juga meletakkan teks dalam sejarah

dan masyarakat. Teks tersebut dilihat sebagai teks yang dibaca oleh penulis,

kemudian penulis itu menyisipkan dirinya sendiri dengan menulis ulang teks

tersebut sehingga dalam tulisan tersebut yang diakronis (sepanjang waktu) bisa

berubah menjadi sinkronis dan adanya transformasi teks.

25

Ada tiga dimenasi yang menyelaraskan dialog, yaitu penulis, penerima,

dan teks-teks eksterior (Kristeva, 1980:66). Status kata didefinisikan secara 1)

horizontal (kata dalam teks milik penulis dan penerima). 2) vertikal (kata dalam

teks diorientasikan pada sebuah kumpulan tulisan sastra. Lebih lanjut Kristeva

menjelaskan poros atau sumbu horizontal, yaitu subjek-penerima, dan sumbu

vertikal, yaitu teks-konteks. Kedua sumbu tersebut membawa pada sebuah fakta

penting, yaitu setiap kata (teks) adalah persilangan kata (teks) yang setidaknya

satu kata lain (teks) dapat dibaca. Dalam karya Bakhtin, kedua sumbu ini

disebutnya dialog dan ambivalensi yang tidak dapat dibedakan secara jelas.

Dengan mengutip pemikiran Bakhtin, Kristeva (1980:66) menyatakan bahwa teks

disusun sebagai sebuah kutipan mosaik; teks adalah penyerapan dan transformasi

dari yang lain.

Selanjutnya, kata sebagai unit tekstual terkecil menempati status sebagai:

1) mediator maksudnya teks menghubungkan model struktural pada lingkungan

budaya (sejarah), dan 2) regulator mengendalikan mutasi dari diakronis ke

sinkronis, contohnya struktur sastra (Kristeva, 1980:66). Menurut Kristeva, kata

dalam konteks ini berfungsi dalam tiga dimensi, yaitu subjek, penerima dan

konteks sebagai satu kesatuan dialogis.

Deskripsi sebuah kata dalam genre sastra atau teks memerlukan sebuah

translinguistik. Pertama, memahami genre sastra sebagai sistem semiotikal tidak

sempurna. Kedua, menemukan hubungan antara unit-unit naratif yang lebih besar,

seperti kalimat, pertanyaan dan jawaban, dialog, dan sebagainya. Hal itu

menempatkan dan menunjukkan hipotesis, bahwa setiap evolusi gendre sastra

26

adalah sebuah ketidaksadaran eksteriorisasi dari struktur linguistik pada

tingkatnya yang berbeda. Novel dalam eksterioritas dialog linguistik (Kristeva,

1980: 66).

Konsep dialog yang dikemukakan oleh Kristeva (1980: 69) berpusat pada

teks, yang mengaburkan manusia sebagai subjek. Baginya teks adalah realitas

berwajah ganda. Artinya, teks yang hadir memiliki keberagaman makna. Makna

akan dapat ditemukan setelah terjadi dialog penerima dengan teks yang dibacanya.

Dengan kata lain, makna baru ada kalau teks dan pembaca bertemu, tidak ada

makna yang bisa muncul mendahului pertemuan itu.

Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi,

tranformasi, dan transposisi. Pertama, oposisi, yaitu sesuatu yang tidak dapat

tukar-menukar dan mutlak di antara dua kelompok yang kompetitif tidak pernah

rukun, tidak pernah saling melengkapi, dan tidak pernah dapat didamaikan

(Kristeva, 1980: 47). Kedua, transformasi adalah adanya perubahan bentuk dari

satu teks ke teks yang lain. Ketiga, transposisi adalah adanya transposisi teks dari

satu atau lebih sistem tanda ke tanda yang lain, disertai dengan pengucapan baru

(Kristeva, 1980: 15). Maksudnya dalah bagaimana sebuah sistem tanda

dimasukkan ke dalam sistem tanda lain serta hal-hal yang berkaitan dengan

perubahan semiotik sebagai akibat transposisi itu. Misalnya, dari posisi denotatif

ke konotatif. Dalam hal ini, bahasa merupakan kode yang tidak terbatas.

Berdasarkan uraian pemikiran Kristeva di atas, bahwa mengkaji

intertekstual adalah dalam rangka memahami ideologeme yang terkandung dalam

sebuah teks. Penemuan ideologeme itu dapat dilakukan dengan analisis

27

suprasegmental dan analisis intertekstual. Kedua analisis tersebut tidak dapat

dipisahkan karena keduanya memiliki kaitan satu dengan yang lainnya. Analisis

suprasegmental bergerak dari teks dalam novel. Dengan kata lain, pembacaan

dilakukan secara tekstual. Sementara itu, analisis intertekstual begerak dari teks

luar atau asal usul teks. Jadi, analisis teks dalam novel dikaitkan dengan asal usul

yang ada pada teks luar. Selanjutnya, pemaknaan teks tersebut dilihat dari tiga

unsur yang memproduksi makna, yaitu oposisi, transformasi, dan transposisi.

Penelitian ini dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan di antara

dua teks atau lebih.

Berikut ini dapat dilihat bagan teori intertekstual yang digunakan pada

penelitian ini.

Bagan Teori

Teks sastra

Analisis suprasegmental Analisis intertekstual

Teks sosial dan teks sejarah

oposisi

ideologeme

transposisi transformasi

Wilayah bentuk

Wilayah makna

28

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Data peneltian ini terdiri atas data primer dan skunder. Data primer adalah

teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck cetakan kelimabelas tahun 1982 yang

diterbitkan oleh Bulan Bintang. Data skunder berupa sumber-sumber referensi

tertulis (buku, jurnal, laporan penelitian, dan referansi lainnya) yang terkait

dengan penelitian ini. Data penelitian ini dikumpulkan dengan cara membaca

keseluruhan teks dengan secermat mungkin. Kemudian, mengidentifikasi dan

mengklasifikasikan teks yang berkaitan dengan teks sosial dan sejarah. Terakhir,

tahap pendeskripsian data tersebut.

1.6.2 Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan toeri intertekstual yang kemukakan oleh Julia

Kristeva. Metode analisis data yang digunakan pun mengacu pada metode yang

diungkapkan oleh Kristeva tersebut.

Penelitian intertekstual intinya adalah untuk mengetahui ideologeme yang

terkandung dalam sebuah teks. Ada dua macam analisis yang ditawarkan Kristeva

(1980:38) untuk menemukan ideologeme tersebut. Pertama, analisis

suprasegmental. Analisis ini mengkaji ungkapan atau tuturan yang berupa kata,

kalimat, dan paragraf yang terdapat dalam kerangka novel. Dengan analisis

suprasegmental tersebut akan mengungkapkan keberadaannya sebagai sebuah

teks yang memiliki keterbatasan. Kedua, analisis intertekstual. Analisis ini

mengungkapkan hubungan tuturan antara teks dalam novel teks di luar novel.

29

Kedua analisis tersebut tidak dapat dipisahkan. Analisis suprasegmental

bergerak dari teks dalam novel, sedangkan analisis intertekstual berbicara dari

teks luar novel. Artinya, teks yang muncul dari dalam novel dihubungkan dengan

teks lainnya, yaitu teks yang menjadi asal usul dari teks tersebut. Untuk

memahami teks tersebut harus dipahami fungsi yang menggabungkan potongan-

potongan teks itu. Fungsi yang dimaksudkan dalam kontek ini bukan manfaat,

tetapi kode. Kode tersebut berkaitan dengan teks sosial dan sejarah yang ada

dalam kehidupan masyarakat. Fungsi tersebut terdiri atas variabel terikat dan

variabel independen (kristeva, 1980: 37). varibel terikat berupa kata, kalimat, dan

paragraf yang ditemukan dalam novel. Dengan kata lain, variabel terikat mengacu

pada tekstual novel, sedangkan variabel independen mengacu pada exterior text

atau teks luar.

Menurut Kristeva (1980: 37), kedua variabel tersebut direalisasikan dalam

dua langkah berikut ini. Pertama, menetapkan sebuah tipologi atau klasifikasi dari

tuturan-tuturan yang ditemukan dalam novel. Penetapan tipologi ini dilakukan

dengan pembacaan teks secara keseluruhan atau dari awal hingga akhir cerita.

Kemudian, kedua, menghubungkan teks dalam dengan asal-usulnya yang berada

di luar karya.

Dengan kedua hal tersebut dapat didefinisikan ideologeme dari sebuah

karya. Dengan kata lain, fungsi didefinisikan sesuai dengan seperangkat teks

ekstra-novelistik (Te) yang mengambil nilai dalam seperangkat tekstual novelistik

(Tn) (Kristeva, 1980: 37).

30

Metode tersebut direalisasikan dalam menganalisis data dengan cara

berikut ini. Pertama, melakukan analisis tekstual yang terdapat dalam

Tenggelamnya Kapal van der Wijck.. Kedua, analisis tekstual tersebut

dihubungkan dengan asal usul teksnya atau teks sosial dan sejarah ada di luar

karya. Analisis tersebut dilakukan dengan mengungkapkan kode-kode sosial

budaya dan sejarah yang ditemukan dalam teks cerita. Melalui kedua langkah

tersebut dapat dijelaskan bentuk ideologeme teks Tenggelamnya Kapal van der

Wijck.

Bentuk ideologeme melahirkan oposisi, tranformasi, dan transposisi.

Ketiga konsep ini merupakan penghasil makna sebuah teks. Makna tersebut akan

disajikan dengan menganalisis teks yang mengandung oposisi, tranposisi, dan

transformasi. Berikut dijelaskan dengan bagan berkaitan dengan langkah kerja

penelitian.

31

Bagan Langkah Kerja Penelitian

1.7 Sistematika Penyajian

Penelitian ini terdiri atas empat bab. Bab 1 Pendahuluan terdiri atas

Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Landasan Teori,

Metode Penelitian, dan Sistematika Penyajian. Bab 2 Analisis Suprasegmental

dan Intertekstual Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Bab 3 Makna ideologeme

teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Bab 4 Penutup berisi simpulan.

Teks Tenggelamnya Kapal van der Wijck

Analisis suprasegmental

(variabel terikat)

Analisis intertekstual

(variabel independen)

Bentuk Ideologeme

Teks sosial dan teks sejarah

oposisi transposisi transformasi

makna teks