bab i pendahuluan 1.1 latar...

41
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan hak asasi bagi setiap individu. Oleh karena itu terpenuhinya kebutuhan pangan penduduk merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi agar manusia dapat bertahan hidup. Permasalahan pangan dari waktu ke waktu berlangsung dalam tekanan yang terus meningkat. Salah satu penyebab utamanya adalah pertumbuhan penduduk yang selalu meningkat. Pertumbuhan penduduk beriringan dengan meningkatnya permintaan akan pangan sehingga peningkatan produksi pangan harus mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Thomas Robert Malthus tahun 1798 dalam Essay on the Principle of Population mengungkapkan sebuah teori yang dikenal dengan teori Malthus. Dalam teorinya, Malthus memaparkan bahwa jumlah penduduk cenderung untuk meningkat secara geometris (deret ukur), sedangkan pasokan bahan makanan cenderung meningkat secara aritmatik (deret hitung) sehingga dikhawatirkan pada suatu saat akan terjadi krisis pangan dimana jumlah pasokan bahan makanan tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan manusia. Permasalahan pangan masih menjadi isu global dunia dewasa ini. Pada tahun 2000, para pimpinan dunia bertemu di New York dalam rangka menandatangani “Deklarasi Milennium” yang berisi komitmen untuk mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. Komitmen tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai Milennium Development Goals (MDGs). Prioritas utama komitmen yang dihasilkan dalam deklarasi tersebut adalah menanggulangi kemiskinan dan kelaparan ekstrem yang masih menjadi masalah di semua negara. Kemiskinan dan kelaparan adalah dua tema yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain, kemiskinan adalah aspek utama sebagai penyebab terjadinya kelaparan. Kemiskinan menyebabkan daya beli terhadap bahan makanan rendah sehingga status kecukupan gizi masyarakat tidak terpenuhi.

Upload: hadiep

Post on 06-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan hak

asasi bagi setiap individu. Oleh karena itu terpenuhinya kebutuhan pangan

penduduk merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi agar manusia dapat

bertahan hidup. Permasalahan pangan dari waktu ke waktu berlangsung dalam

tekanan yang terus meningkat. Salah satu penyebab utamanya adalah

pertumbuhan penduduk yang selalu meningkat. Pertumbuhan penduduk

beriringan dengan meningkatnya permintaan akan pangan sehingga peningkatan

produksi pangan harus mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk.

Thomas Robert Malthus tahun 1798 dalam Essay on the Principle of

Population mengungkapkan sebuah teori yang dikenal dengan teori Malthus.

Dalam teorinya, Malthus memaparkan bahwa jumlah penduduk cenderung untuk

meningkat secara geometris (deret ukur), sedangkan pasokan bahan makanan

cenderung meningkat secara aritmatik (deret hitung) sehingga dikhawatirkan pada

suatu saat akan terjadi krisis pangan dimana jumlah pasokan bahan makanan tidak

mampu mencukupi kebutuhan pangan manusia.

Permasalahan pangan masih menjadi isu global dunia dewasa ini. Pada

tahun 2000, para pimpinan dunia bertemu di New York dalam rangka

menandatangani “Deklarasi Milennium” yang berisi komitmen untuk

mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. Komitmen

tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai

Milennium Development Goals (MDGs). Prioritas utama komitmen yang

dihasilkan dalam deklarasi tersebut adalah menanggulangi kemiskinan dan

kelaparan ekstrem yang masih menjadi masalah di semua negara.

Kemiskinan dan kelaparan adalah dua tema yang tidak bisa dipisahkan

satu dengan yang lain, kemiskinan adalah aspek utama sebagai penyebab

terjadinya kelaparan. Kemiskinan menyebabkan daya beli terhadap bahan

makanan rendah sehingga status kecukupan gizi masyarakat tidak terpenuhi.

2

kemudian status ketidakcukupan gizi penduduk ini akan berpengaruh terhadap

produktifitas penduduk dalam megupayakan hidupnya. Selain itu ketidakcukupan

gizi menyebabkan kerentanan terhadap serangan penyakit dan apabila sesorang

sakit mengakibatkan seseorang menjadi semakin miskin. Kelaparan atau

kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi

penduduk, dimana kelaparan merupakan suatu proses sebab-akibat dari

kemiskinan.

Pada tahun 2005 di Indonesia telah diluncurkan Peta Kerawanan Pangan

(Food Insecurity Atlas atau FIA) yang menggambarkan pemeringkatan situasi

ketahanan pangan pada 265 kabupaten di 30 provinsi. Selanjutnya pada tahun

2009 diluncurkan kembali Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security

and Vulnerability Atlas atau FSVA). Perubahan nama Peta Kerawanan Pangan

menjadi Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan dilakukan dengan pertimbangan

untuk memperjelas pengertian mengenai konsep ketahanan pangan berdasarkan

tiga dimensi ketahanan pangan (ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan)

dalam semua kondisi, bukan hanya pada situasi kerawanan pangan saja.

Pertimbangan yang kedua adalah FVSA juga bermaksud untuk mengetahui

berbagai penyebab kerawanan pangan secara lebih baik atau dengan kata lain

kerentanan terhadap kerawanan pangan, bukan hanya kerawanan pangan itu

sendiri (Dewan Ketahanan Pangan, 2009).

Dari perbandingan hasil FIA 2005 dengan FSVA 2009 ditetapkan 100

kabupaten dari 265 kabupaten di 30 provinsi termasuk dalam kategori rentan

terhadap pangan prioritas 1 (satu) atau mempunyai resiko kerenatanan terhadap

pangan yang sangat tinggi sehingga paling diprioritaskan untuk segera

ditanggulangi. Apabila dilihat dari distribusi keruangannya 100 kabupaten

tersebut, sebagian besar berada di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, bagian

timur pulau Jawa, NTB, NTT, bagian utara dan barat Kalimantan, bagian tengah

dan tenggara Sulawesi, dan bagian barat dan timur Sumatera. Resiko kerentanan

terhadap rawan pangan bisa menjadi rawan pangan apabila tidak dilakukan

penanganan dengan segera. Kerawanan pangan didefinisikan sebagai kondisi tidak

3

terpenuhinya pangan bagi individu atau rumah tangga dari segi ketersediaan

pangan dan kemampuan untuk memperolehnya.

Kemampuan penduduk untuk memperoleh pangan yang selanjutnya

disebut akses pangan, erat hubunganya dengan kemiskinan. Dari 100 kabupaten

yang beresiko terhadap kerawan pangan prioritas 1 merupakan kabupaten dengan

persentase penduduk miskin diatas 25 %. Selain hal tersebut, ditengarai mayoritas

penduduk Indonesia masih tergantung pada komoditas beras sebagai bahan

pangan pokok untuk mencukupi kebutuhan kalori harian. Banyak komoditas

bahan pangan alternatif selain beras yang tingkat produksi dan ketersediaanya

lebih melimpah dari beras tetapi mayoritas penduduk enggan untuk

mengkonsumsinya bahkan ada anggapan yang umum berlaku dimasyarakat bahwa

kalau belum makan nasi rasanya sama saja seperti belum makan. Beras menjadi

bahan makan yang penting bagi penduduk Indonesia. Hal-hal tersebut tercermin

pada partisipasi konsumsi beras dan permintaan akan beras yang tinggi.

Berdasarkan data Susenas 1990 -1999, tingkat partisipasi konsumsi beras

di setiap provinsi mencapai sekitar 97- 100 %. Ini artinya hanya sekitar 3 %

rumah tangga yang tidak mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok terutama

pangan pokok tunggal. Tingkat partisipasi konsumsi beras yang lebih kecil 90 %

hanya ditemukan di pedesaan Papua. Sebagai gambaran, tingkat konsumsi beras

rata - rata di kota tahun 1999 adalah 96,0 kg per kapita /tahun dan didesa adalah

111,8 kg per kapita/tahun (Suharno, 2005).

Dalam hal produksi beras, hingga saat ini Pulau Jawa masih memegang

peranan penting, meskipun beberapa daerah seperti Sumatera, Sulawesi dan

Kalimantan merupakan daerah produksi beras. Namun tingkat produksi yang

dihasilkan oleh daerah-daerah tersebut tidak seperti yang dihasilkan oleh Pulau

Jawa. Sehingga produksi beras nasional semakin menurun dan Indonesia menjadi

negara pengimpor beras terbesar (Amang dan Sawit, 1999).

Pulau Jawa sendiri merupakan pusat kegiatan perekonomian dan

pemerintahan Indonesia. Dinamika pembangunan berlangsung dengan cepat,

berakibat pada semakin menurunnya lahan pertanian. Hal tersebut mempengaruhi

produksi beras yang semakin menurun jumlahnya. Dengan jumlah produksi yang

4

semakin menurun sementara permintaan beras meningkat beriringan dengan

pertumbuhan penduduk menyebabkan harga beras menjadi tinggi. Kondisi ini

memungkinan terjadinya kompetisi penduduk untuk dapat mengakses beras,

sementara penduduk dengan kondisi serba kekurangan dalam memenuhi

kebutuhan minimum untuk hidup masih tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Ketersediaan beras dan akses penduduk terhadap pangan merupakan

dimensi-dimensi yang menentukan kondisi ketahanan pangan wilayah. Saliem

dkk (2002), mengemukakan ketahanan pangan pada tingkat wilayah dapat

bersumber dari kemampuan produksi pangan pokok (padi), kemampuan ekonomi

untuk menyediakan pangan dan kondisi sosial masyarakat yang membedakan

tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Kemampuan memproduksi

sangat tergantung pada kondisi wilayah alam setempat seperti topografi, iklim,

curah hujan dan kesuburan tanah. Kemampuan ekonomi rumah tangga dalam

mengakses kebutuhan pangan yang masih kurang ditandai dengan besarnya

proporsi kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah.

Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu Kabupaten di

D.I.Yogyakarta dan secara geografis terletak di Pulau Jawa. Kabupaten

Gunungkidul mempunyai karakteristik geografis yang cukup bervariasi. Secara

umum Kabupaten Gunungkidul dibagi dalam tiga zona wilayah, dimana masing-

masing mempunyai karakter yang berbeda-beda. Zona utara merupakan daerah

perbukitan, dengan tanah didominasi oleh jenis litosol, latosol dan rendzina.

Pada wilayah ini banyak dimanfaatkan untuk perkebunan dan kehutanan,

pertambangan serta permukiman. Zona tengah atau lebih dikenal sebagai ledok

Wonosari (basin Wonosari) merupakan daerah yang relatif landai, dimana pada

zone ini banyak dikembangkan untuk pertanian dan permukiman. Zone tengah

mempunyai kondisi topografi yang relatif lebih menguntungkan daripada zone

utara dan selatan. Jenis tanah yang berkembang pada zone tengah ini antara lain:

mediteran, grumusol hitam, rendzina dan sebagian litosol. Pada zone tengah ini

perkembangan wilayahnya juga relatif lebih maju dibandingkan dengan zone utara

dan selatan. Zona selatan atau yang sering dikenal dengan wilayah karst,

merupakan daerah dengan topografi yang bervariasi, antara datar hingga berbukit.

5

Pada daerah karst banyak dijumpai kubah-kubah karst (dome) dan bentuklahan-

bentuklahan karst lainnya. Daerah karst disusun oleh batugamping terumbu

(limestone), dengan jenis tanah yang berkembang adalah litosol dan mediteran

merah. Variatifnya kondisi geografis kabupaten Gunungkidul tersebut secara

langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kemampuan wilayah

untuk memproduksi beras sebagai bahan makanan pemasok kalori utama bagi

penduduk di Kabupaten Gunungkidul.

Berdasarkan data dan informasi kemiskianan kabupaten tahun 2011

tercatat sebanyak 23.03% penduduk yang tinggal di Kabupaten Gunungkidul

hidup dibawah garis kemiskianan. Pendapatan rata-rata perkapita per bulan

penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah sebesar 288.048 rupiah.

Penduduk yang tergolong hidup dibawah garis kemiskinan tersebut tersebar di 18

(delapan belas) kecamatan di Kabupaten Gunungkidul dengan persentase yang

berbeda-beda. Kondisi ini berpengaruh terhadap akses penduduk terhadap beras

yang selanjutnya akan mencerminkan kodisi ketahanan pangan di Kabupaten

Gunungkidul.

Tiga zona wilayah dan jenis tanah yang ada di Kabupaten Gunungkidul

memungkinkan terjadinya keberagaman tingkat produksi beras antar kecamatan,

begitu juga pada distribusi penduduk dengan kesulitan medapatkan pangan

sebagai penentu tingkat ketahanan pangan daerah. Penentuan kondisi ketahanan

pangan dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa Peta Ketahanan

dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas atau FSVA).

Selanjutnya dalam upaya pengkajian fenomena geosfer yang berupa ketahanan

pangan tersebut, dalam proses dan analisis kajian digunakan pendekatan

keruangan (Spatial Appoach) dengan tema analisis pola keruangan

(SpatialPattern Analysis). Dengan pendekatan dan tema analisis tersebut pola

keruangan ketahanan pangan antar kecamatan di Kabupaten Gunungkidul dapat

diketahui dengan lebih jelas.

6

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan pangan selalu menjadi isu dunia yang menarik dari waktu ke

waktu. Terbukti dengan banyaknya program dari oraganisasi dunia yang menkaji

tentang permasalahan pangan. Salah satu program yang populer adalah MDGs

yang menempatkan pemberantasan kemiskinan dan kelaparan ekstrem sebagai

prioritas utama. Kemiskinan dan kelaparan menjadi permasalahan yang dihadapi

oleh semua negara termasuk Indonesia.

Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia dengan 100 kabupaten

yang termasuk dalam kategori prioritas 1 (satu) sangat rentan terhadap pangan

atau harus segera mendapatkan penanganan. Penduduk miskin tercatat lebih dari

25% dari masing-masing kabupaten tersebut. Fenomena menarik yang ada di

Indonesia adalah mayoritas penduduknya masih bergantung pada beras sebagai

sumber kalori utama tercatat hanya 3% rumah tangga yang tidak mengkonsumsi

beras untuk setiap provinsi yang ada di Indonesia.

Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di D.I

Yogyakarta dengan kondisi geografis yang bervariasi. Hal tersebut berpengaruh

terhadap tingkat produksi bahan makanan khususnya beras. Dinamika

pembangunan yang terus berlangsung berdampak pada semakin sempitnya lahan

pertanian yang berimbas pada semakin menurunnya produksi beras sementara

pemintaan akan beras terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk.

Disisi lain, sebagian penduduk di Gunungkidul masih kesulitan dalam meperoleh

bahan makanan khususnya beras.

Tercatat sebanyak 23.03% penduduk yang tinggal di Kabupaten

Gunungkidul hidup dibawah garis kemiskianan dengan pendapatan rata-rata

perkapita per bulan penduduk sebesar 288.048 rupiah yang tersebar di 18

kecamatan di Kabupaten Gunungkidul. Ketersediaan dan kemampuan penduduk

untuk memperleh bahan makanan berupa beras merupakan cerminan dari

ketahanan pangan daerah. Variatifnya kondisi geografis dan tersebarnya penduduk

miskin ini menimbulkan keberagaman kondisi ketahanan pangan antar kecamatan

terkait dengan tiga zona wilayah yang ada sehingga diperlukan pendekatan

keruangan untuk melihat pola persebaran ketahanan pangan antar kecamatan.

7

Beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimana ketersedian beras sebagai sumber kalori penduduk menurut

kecamatan di Kabupaten Gunungkidul?

2. Bagaimanakah kondisi akses penduduk terhadap pangan menurut

kecamatan di Kabupaten Gunungkidul?

3. Bagaimanakah ketahanan pangan berdasar pada ketersediaan beras dan

akses pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul?

4. Bagaimanakan pola keruangan ketahanan pangan menurut kecamatan di

Kabupaten Gunungkidul?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam rangka untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam

penelitian ini maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui ketersedian beras sebagai sumber kalori penduduk menurut

kecamatan di Kabupaten Gunungkidul,

2. Mengetahui kondisi akses penduduk terhadap pangan menurut

kecamatan di Kabupaten Gunungkidul,

3. Mengetahui ketahanan pangan berdasarkan ketersediaan beras dan

akses pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul,

4. Mengetahui pola keruangan ketahanan pangan menurut kecamatan di

Kabupaten Gunungkidul.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ketahanan pangan yang ditinjau dari ketersediaan beras dan

akses pangan penduduk di Kabupaten Gunungkidul ini dapat digunakan sebagai

dasar pengembangan kajian ketahanan pangan di kabupaten-kabupaten lain.

Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan pengambilan

kebijakan penanganan permasalahan ketahanan di Kabupaten Gunungkidul terkait

dengan penentuan prioritas penanganan daerah reantan terhadap rawan pangan.

8

1.5 Tinjauan Pustaka

1.5.1 Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan merupakan terjemahan dari food security yang

mencakup banyak aspek sehingga setiap orang mencoba menterjemahkan sesuai

dengan tujuan dan ketersediaan data serta diinterpretasikan dengan banyak cara.

Ketahanan pangan sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition

(ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefinisikan bahwa

ketahanan pangan (food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk

memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup

sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam sidang Committee on

World Food Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah

persyaratan “harus diterima oleh budaya setempat” (Rachman dan Ariani, 2002).

Definisi tersebut dipertegas lagi pada Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan

Dunia dan Rencana Tindak Lanjut Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan

Dunia tahun 1996 menjadi ketahanan pangan adalah situasi dimana semua rumah

tangga pada setiap saat memliki akses (baik fisik maupun ekonomi) untuk

memperoleh pangan yang cukup, aman dan sehat bagi seluruh anggota rumah

tangganya. Definisi tersebut merupakan definisi oleh Food Agriculture

Organization (FAO) yang telah diterima secara luas di tingkat internasional.

Pada World Food Summit (1996), ketahanan pangan didefinisikan sebagai

”Ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara

fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup,

bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan

makanan untuk hidup secara aktif dan sehat”.

Pada Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2009, analisis dan

pemetaan dilakukan berdasarkan pada pemahaman mengenai ketahanan dan

kerentanan pangan dan gizi. Di Indonesia, Undang-undang No. 7 tahun 1996

tentang Pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya

pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,

baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sebagaimana FIA

2005, FSVA dibuat berdasarkan tiga pilar ketahanan pangan: (i) ketersediaan

9

pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan.

Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tersebut kondisi

terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya

pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata;

dan (4) terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan

dapat lebih dipahami sebagai berikut:

a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan

ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari

tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat,

protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat

bagi pertumbuhan kesehatan manusia.

b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari

cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,

merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari

kaidah agama.

c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan

yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.

d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan

mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Definisi ketahanan pangan (food security) berbeda dalam tiap konteks,

waktu dan tempat. Sedikitnya ada 200 definisi ketahanan pangan dan sedikitnya

ada 450 indikator ketahanan pangan (Hoddinott 1999). Istilah ketahanan pangan

(food security) sebagai sebuah konsep kebijakan baru pertama kali muncul pada

tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia (Sage 2002).

Maxwell (1996) mencoba menelusuri perubahan-perubahan definisi tentang

ketahanan pangan sejak konferensi pangan dunia 1974 hingga pertengahan decade

90an; perubahan terjadi pada level global, nasional, skala rumah tangga dan

individu; dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective)

hingga pada perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan dari indikator-

indikator objektif ke persepsi yang subjektif. (Maxwell dan Frankenberger, 1992).

10

Maxwell and Slater (2003) juga turut mengevaluasi definisi ketahanan

pangan sepanjang waktu dan menemukan bahwa wacana (diskursus) mengenai

ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari fokus pada ketersediaan-

penyediaan (supply & availability) ke perspektif hak dan akses (entitlements).

Sejak tahun 1980an awal, diskursus global ketahanan pangan didominasikan oleh

hak atas pangan (food entitlements), resiko dan kerentanan (vulnerability). Buku

The Poverty dan Famines-nya Amartya Sen (1981) dianggap sebagai salah satu

pelopor utama perubahan perspektif ketahanan pangan (Maxwell dan Slater,

2003).

Sedikitnya ada empat element ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable

food security) di level keluarga yang diusulkan oleh Maxwell (1996), yakni: (i)

kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan

untuk kehidupan yang aktif dan sehat. (ii) akses atas pangan, yang didefinisikan

sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau menukarkan

(exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer). (iii)

ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko dan

jaminan pengaman sosial. (iv) fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat

bersifat kronis, transisi dan/atau siklus. Definisi secara formal Ketahanan Pangan

sebagai berikut :

1. 1st World Food Conference 1974, UN 1975 : ketahanan pangan adalah

"ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu untuk

menjaga keberlanjutan konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi

produksi dan harga."

2. FAO 1992 : Ketahanan Pangan adalah "situasi di mana semua orang

dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman

(safe) dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif.

3. World Bank 1996 : Ketahanan pangan adalah: "akses oleh semua orang

pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat

dan aktif”.

4. Oxfam 2001 : Ketahanan pangan adalah kondisi ketika: “setiap orang

dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang

11

cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. Dua

kandungan makna tercantum di sini yakni: ketersediaan dalam artian

kualitas dan kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui pembelian,

pertukaran maupun klaim).

5. FIVIMS 2005 : Ketahanan Pangan adalah: kondisi ketika “semua orang

pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada

pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan

konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi

kehidupan yang aktif dan sehat.”

6. Indonesia – UU No.7/1996 : Ketahanan Pangan adalah :”Kondisi di mana

terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur

dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya

jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan

membeli.

Ketahanan pangan (food security) mulai populer sejak krisis pangan dan

kelaparan pada awal dekade 70-an (Maxwell and Frankerberger, 1997 dalam LIPI,

2007). Dalam kebijakan pangan dunia, istilah ketahanan pangan pertama kali

digunakan oleh PBB pada tahun 1971 untuk membangun komitmen internasional

dalam mengatasi masalah pangan dan kelaparan terutama di kawasan Afrika dan

Asia. Pengertian ketahanan pangan awalnya terfokus pada kondisi pemenuhan

kebutuhan pangan pokok. Konsep swasembada berbeda dengan konsep ketahanan

pangan, meskipun dalam beberapa hal mungkin berkaitan.United Nation (1975)

mendefinisikan ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama

pada setiap saat dan mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten dan

dapat mengimbangi fluktuasi produksi dan harga. World Bank (1994) menyatakan

bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua rumah tangga

mempunyai kemampuan untuk membeli pangan. Kemudian pada tahun 1986

World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup

pangan oleh penduduk agar dapat melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat.

Selanjutnya berdasarkan kesepakatan pada International Food Submit dan

International Conference of Nutrition 1992 (FAO, 1997) pengertian ketahanan

12

pangan diperluas menjadi kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan

setiap orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Pengertian

ketahanan pangan yang terakhir ini mengandung makna yang selaras dengan

paradigma baru kesehatan yaitu Indonesia Sehat 2010. Mengacu pada definisi

ketahanan pangan tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan isu-isu strategis

yang patut mendapat perhatian untuk pencapaian kondisi ketahanan pangan,

yakni:

1. Kapasitas dan kapabilitas produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan

seluruh masyarakat dalam jumlah (kuantitas) yang cukup, komposisi gizi

yang seimbang, dan aman (bebas dari cemaran biotik dan/atau bahan

kimia yang berdampak negatif terhadap kesehatan);

2. Aksesibilitas bahan pangan bagi setiap individu baik secara fisik maupun

finansial;

3. Kesesuaian antara jenis pangan yang diproduksi dengan pola konsumsi

pangan masyarakat.

Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas

pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia. Ketahanan

pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam hal

ini hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha

menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia lain. Oleh sebab itu, usaha

pengembangan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha

penanggulangan masalah kemiskinan. Dilain pihak masalah pangan yang

dikaitkan dengan kemiskinan telah pula menjadi perhatian dunia, terutama seperti

yang telah dinyatakan dalam KTT Pangan Dunia, lima tahun Negara Indonesia

memiliki tanggung jawab untuk turut serta secara aktif memberikan kontribusi

terhadap usaha menghapuskan kelaparan di dunia. (Edy, 2005).

Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan

yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli)

pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam

hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan: petani

adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen

13

terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup

untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi

pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan pangan mereka sendiri. (Edy, 2005).

Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan tersebut

mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli),

dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai

budaya dan religi (pola pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif dan produktif

serta halal), dimensi keamanan pangan (kesehatan), dan dimensi waktu (tersedia

secara berkesinambungan) (Hardinsyah dan Martianto, 2001). Dengan pengertian

tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut:

a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan

ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari

tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat,

protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat

bagi pertumbuhan kesehatan manusia.

b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari

cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,

merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari

kaidah agama.

c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan

yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.

d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan

mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.

Pengembangan ketahanan pangan sampai di tingkat rumah tangga,

mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena (1) akses

pangan dan gizi seimbang merupakan hak paling asasi bagi manusia; (2) proses

pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh

keberhasilan memenuhi kecukupan pangan; dan (3) ketahanan pangan merupakan

unsur strategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahanan nasional. Selain itu

ketahanan pangan dapat ditinjau dari sistem kelembagaan pangan. Dalam hal ini,

14

terwujudnya ketahanan pangan dihasilkan oleh bekerjanya secara sinergis suatu

sistem yang terdiri dari subsistem rumah tangga yang mencakup pengaturan pola

konsumsi, pola pengadaan dan pola cadangan; subsistem lingkungan masyarakat

mencakup pengaturan produksi, distribusi dan pemasaran; dan subsistem

pemerintah mencakup kebijakan, fasilitas dan pengamanan (Suryana, 2003).

Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi seperti terlihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1. Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (World Foot

Programme, 2009).

1.5.1.1 Sistem Ketahanan Pangan

Sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu: (i)

sub sistem ketersediaan pangan; (ii) Sub sistem akses terhadap pangan, dan (iii)

15

Sub sistem pemanfaatan (penyerapan) pangan, sedangkan status gizi

merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan

penyerapan pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh.

Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat

dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia

cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk

memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih

dikatakan rapuh. Sistem Ketahanan Pangan seperti ditunjukkan pada Gambar

1.2. berikut.

Gambar 1.2 Sistem Ketahanan Pangan (USAID, 1999; Weingartner, 2004 dalam

Nuhfil, 2008)

1.5.1.2 Sub Sistem Ketersediaan Pangan (Food Availability)

Sub sistem ketersediaan pangan (food availability) adalah ketersediaan

pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam

Ketersediaan Pangan

(Food Availiability)

Akses Pangan

(Food Access)

Penyerapan Pangan

(Food Utilization)

Stabilitas

(Stability)

Status Gizi

(Nutritional Status)

16

suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan

maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi

pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk

kehidupan sehat, aktif dan produktif. Sub Sistem Ketersediaan Ketahanan Pangan

seperti ditunjukkan pada Gambar 1.3 berikut.

Gambar 1.3 Sub Sistem Ketersediaan Ketahanan Pangan (Patrick Webb and

Beatrice dalam Nuhfil, 2008).

1.5.1.3 Sub Sistem Akses terhadap Pangan (Food Access)

Sub sistem akses terhadap pangan (food access), yaitu kemampuan semua

rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk

memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh

dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan.

Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial.

Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses

Produksi

Pasokan pangan

dari luar

Cadangan pangan

Sarana dan prasarana

pemasaran

Bantuan pangan

Jumlah penduduk

Luas panen

Produktivitas

Diversifikasi produk

Irigasi, teknologi,

kredit, sarana

produksi

Iklim, hama,

penyakit, bencana

alam dan lain-lain

Ketersediaan Pangan

per Kapita

17

fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi),

sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan. Sub Sistem Akses

Terhadap Pangan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.4 berikut.

Gambar 1.4 Sub Sistem Akses Terhadap Pangan (Patrick Webb and Beatrice dalam

Nuhfil, 2008).

1.5.1.4 Sub Sistem Pemanfaatan/Penyerapan Pangan (Food Utilization)

Sub sistem pemanfatan/ penyerapan pangan (food utilization), adalah

penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan kalori,

gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung

pada pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas

Pendapatan

Kesempatan kerja

Harga pangan

Sarana dan prasarana

perhubungan

Infrastruktur

pedesaan

Preferensi terhadap

jenis pangan dan

pendidikan

Tidak adanya konflik,

perang, bencana dan

lain-lain

AKSES PANGAN

Akses Ekonomi

Akses Fisik

(Isolasi daerah)

Akses Sosial

18

dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita. Sub sistem

Pemanfaatan/penyerapan Pangan seperti terlihat pada Gambar 2.5 berikut.

Gambar 1.5 Sub sistem Pemanfaatan/penyerapan Pangan (Patrick Webb and

Beatrice dalam Nuhfil, 2008).

Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi

empat sub-sistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang

cukup untuk seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii)

konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang

berdampak pada (iv) status gizi masyarakat . Dengan demikian, sistem ketahanan

pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan

pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek

mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi

anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin.

Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi aspek mikro,

namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada aspek makro

PEMANFAATAN

PANGAN

Outcome Nutrisi dan Kesehatan:

1. Harapan hidup

2. Gizi balita

3. Kematian bayi

Pengetahuan Ibu Rumah Tangga:

1. Pola makan

2. Pola asuhan Kesehatan

Sanitasi dan Ketersediaan Air:

1. Kecukupan air

2. Sanitasi

Fasilitas dan Layanan Kesehatan

1. Fasilitas Kesehatan

2. Layanan Kesehatan

Konsumsi

1. Kecukupan Energi

2. Kecukupan Gizi

3. Diversifikasi Pangan

4. Kemanan Pangan

19

yaitu ketersediaan pangan. Sistem Ketahanan Pangan di Indonesia seperti

ditunjukkan pada Gambar 1.6 berikut.

Gambar 1.6 Sistem Ketahanan Pangan di Indonesia (Nuhfil, 2008)

Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan

dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak

diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang

melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh

penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan

yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat

kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development

Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi

menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai 28 indikator kesejahteraan

masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan.

United Nation Development Programme (UNDP) sebagai lembaga PBB

yang berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua ukuran

kelaparan, yaitu jumlah konsumsi kalori rata-rata anggota rumah tangga di bawah

kebutuhan hidup sehat dan proporsi anak balita yang menderita gizi kurang.

INPUT:

Kebijakan dan Kinerja

Sektor Ekonomi, Sosial

dan Politik :

Ekonomi - Pertanian - Perikanan dan

Kehutanan

Prasarana/Sarana - Lahan/pertanahan - Sumberdaya

air/irigasi

- Perhubungan/transportasi

- Permodalan

Kersa: - Kependudukan - Pendidikan - Kesehatan

Stabilitas dan Keamanan Nasional

OUTPUT:

Pemenuhan Hak Atas Pangan

Sumber Daya Manusia Berkualitas

Ketahanan Nasional

Nasional,

Provinsi

Kabupate

n

Rumah

Tangga

Individu

Kons

umsi

sesua

i

kebut

uhan

Gizi

Pema

nfaat

an

oleh

tubuh

S

t

a

t

u

s

G

I

z

i

Keteredia

an

Distribusi

Konsusmi

Pendapa

tan dan

Akses

Pangan

Pengelol

aan

konsums

i pola

asuh

keluarg

a Sanit

asi

dan

kese

hatan

20

Dalam pendekatan dampak tersebut MDGs memandang bahwa kelaparan adalah

bentuk terburuk dari kemiskinan. Kelaparan menyebabkan masyarakat tidak sehat,

tidak aktif dan tidak produktif sehingga masyarakat miskin akan menjadi semakin

miskin.

1.5.1.5 Indikator Ketahanan Pangan Wilayah

Konsep ketahanan pangan menyangkut aspek yang sangat luas sehingga

indikator/variabel, cara dan data yang digunakan untuk mengukur ketahanan

pangan juga sangat beragam. Soekirman (2000), mengemukakan bahwa untuk

mengukur ketahanan pangan di Indonesia tidak hanya pada tingkat agregatif

nasional dan regional tetapi juga dapat diukur pada tingkat rumah tangga.

Selanjutnya Sawit (1997), menyatakan bahwa penentu utama ketahanan pangan di

tingkat nasional dan wilayah dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan

dan perdagangan pangan. Sementara itu penentu utama di tingkat rumah tangga

adalah ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan risiko yang terkait dengan

akses serta ketersediaan pangan. Suryana (2004) mengukur ketahanan pangan

wilayah dilihat dari kemampuan wilayah untuk memproduksi empat jenis pangan

(padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar) dan digunakan peubah jumlah penduduk,

curah hujan serta Pendapatan Domestik Regional Bruto. Sementara itu

pengukuran ketahanan pangan rumah tangga juga dilakukan dengan menggunakan

model regresi linear berganda dengan peubah tidak bebas adalah tingkat konsumsi

energi dan tingkat konsumsi protein.

Ketersediaan beras dan akses penduduk terhadap beras merupakan pilar-

pilar yang menentukan kondisi ketahanan pangan wilayah. Saliem dkk (2002),

mengemukakan ketahanan pangan pada tingkat wilayah dapat bersumber dari

kemampuan produksi pangan pokok (padi), kemampuan ekonomi untuk

menyediakan pangan dan kondisi sosial masyarakat yang membedakan tingkat

kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Kemampuan memproduksi sangat

tergantung pada kondisi wilayah alam setempat seperti topografi, iklim, curah

hujan dan kesuburan tanah. Kemampuan ekonomi rumah tangga dalam

mengakses kebutuhan pangan yang masih kurang ditandai dengan besarnya

21

proporsi kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah. Kondisi

ketahanan pangan juga sangat berkaitan dengan karakteristik sosial seperti jumlah

anggota rumah tangga, tingkat pendidikan, jumlah pengangguran dan lain

sebagainya.

Tim peneliti dari Fakultas Pertanian IPB, mengukur ketahanan pangan

wilayah menggunakan data produksi pangan sumber karbohidrat (padi, jagung,

ubikayu dan ubijalar) suatu wilayah sebagai proksi ketersediaan pangan dan data

kebutuhan konsumsi pangan setara energi dari tahun 1980 – 1989. Sedangkan

pengukuran pada tingkat rumah tangga berdasarkan pada ketersediaan pangan dan

aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Cara lain untuk mengukurnya adalah

melalui perbandingan antara jumlah energi dan protein yang dikonsumsi oleh

semua anggota rumah tangga dengan tingkat kecukupan energi dan protein yang

dibutuhkan oleh anggota rumah tangga tersebut (Rachman dan Ariani, 2002).

Menurut Hardono (2003), kondisi ketahanan pangan wilayah dapat

dicerminkan oleh beberapa indikator antara lain : (1) tingkat kerusakan tanaman,

ternak dan perikanan; (2) penurunan produksi pangan; (3) tingkat ketersediaan

pangan di rumah tangga; (4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran

total; (5) fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah

tangga; (6) perubahan kehidupan sosial (misalnya migrasi, menjual harta milik,

penjaminan); (7) keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan

kualitas); dan (8) status gizi. Berdasarkan dengan indikator (7) dan (8) diatas,

ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari konsumsi pangan rumah tangga

dan keadaan gizi masyarakat. Sementara itu penentu utama di tingkat rumah

tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait

dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut.

Soetrisno (1998) mengungkapkan bahwa mengacu pada pengertian

ketahanan pangan sesuai dengan Undang-undang Pangan No. 7 Tahun 1996,

maka indikator yang dapat digunakan adalah angka indeks ketahanan pangan

rumah tangga, angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan

wilayah, skor pola pangan harapan untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi,

kondisi keamanan pangan, keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat

22

dan tingkat cadangan pangan pemerintah dibandingkan perkiraan kebutuhan.

Berkaitan dengan stok pangan, salah satu indikator penting dalam ketahanan

pangan baik di tingkat nasional maupun rumah tangga adalah kemampuan untuk

melakukan stok pangan.

Rachman dan Ariani (2002), menyatakan ketahanan pangan di tingkat

wilayah mencakup dua aspek penting yaitu : (1) ketersediaan pangan seimbang

dengan jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, dan (2)

akses penduduk terhadap pangan merata dan tersebar luas pada tingkat harga yang

terjangkau oleh masyarakat. Kemudian pada tingkat rumah tangga, ketahanan

pangan meliputi kemampuan rumah tangga tersebut untuk mengamankan pangan

serta kecukupan gizi anggota rumah tangga.

Suatu rumah tangga dianggap memiliki ketahanan pangan baik jika, rumah

tangga tersebut mempunyai ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup dan

stabil tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, dengan mutu

yang layak dan aman dikonsumsi atau mempunyai kemampuan ekonomi untuk

membeli kebutuhan pangannya yang berkualitas dan aman dalam jangka waktu

tertentu. Dengan kata lain kunci dari karakteristik ketahanan pangan dalam suatu

rumah tangga adalah terjaminnya akses pemenuhan kebutuhan pangan sepanjang

waktu. Ketahanan pangan rumah tangga selalu terkait dengan tiga aspek, yaitu :

(1) kecukupan pangan dalam arti dapat memenuhi kalori yang dibutuhkan untuk

hidup yang sehat, (2) akses terhadap pangan sepanjang waktu, dan (3) keamanan

yang mengandung arti aman untuk pemenuhan kebutuhan makanan yang cukup

sepanjang waktu (PPK-LIPI, 2004).

Menurut Adjid (1994), ketahanan pangan sangat terkait dengan

swasembada pangan yang dinamik, karena mencakup dua aspek penting, yaitu :

(1) ketersediaan pangan seimbang dengan jumlah yang diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan penduduk, pakan dan bahan industri, dan (2) akses

penduduk terhadap pangan merata dan tersebar luas pada tingkat harga yang

terjangkau oleh masyarakat. Tersedianya pangan, lapangan pekerjaan, pendapatan

dan infrastruktur merupakan determinan utama yang menentukan apakah suatu

rumah tangga memiliki ketahanan pangan, artinya dapat memenuhi kebutuhan

23

gizi bagi setiap keluarganya atau tidak. Cukup tidaknya persediaan pangan di

pasar sangat berpengaruh pada harga pangan. Bagi keluarga yang tidak bekerja

dan tidak berpenghasilan ataupun berpenghasilan tidak cukup, kenaikan harga

pangan terutama beras dapat mengancam kebutuhan gizinya, berarti ketahanan

pangan keluarganya juga terancam. Sebaliknya dapat pula terjadi, persediaan

cukup, harga stabil tapi banyak penduduk tidak memiliki pekerjaan sehingga tidak

mempunyai sumber pendapatan, berarti tidak mempunyai daya beli, juga

menyebabkan ketersediaan pangan tidak efektif. Hal lain adalah terbatasnya

aksesibilitas terhadap pangan karena infrastruktur yang tidak memadai, seperti

jaringan transportasi yang menghambat bergeraknya pangan dari pusat-pusat

ekonomi ke daerah-daerah yang jauh.

1.5.2 Peta Ketahanan dan kerentanan Pangan (Food Security and

Vulnerability Atlas atau FSVA)

Peta ketahanan dan kerentanan pangan merupakan suatu instrument untuk

memotret situasi pangan di suatu wilayah. Peta ketahanan dan kerentanan pangan

disusun berdasarkan beberapa indikator yang sudah ditetapkan oleh World Food

programme.

Indikator-indikator tersebut dikelompokan kedalam 3 (dimensi) (i)

ketersediaan pangan (food availability), (ii) akses pangan dan matapencaharian

(food and livelihoods acsess), (iii) kerawanan pangan sementara (transient food

insecurity). Tujuan pembuatan peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA)

adalah: (i) menyoroti kondisi ketahanan dan kerentanan terhadap pangan pangan

tingkat kabupaten di Indonesia berdasarkan indikator terpilih, (ii) mengidentifikasi

penyebab kondisi ketahanan dan kerentanan pangan di kabupaten, dan (iii)

menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk

kerentanan pangan kronis.

Kegiatan pemetaan dalam ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA)

menggunakan 13 (tiga belas) indikator, terbagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu

indikator kronis dan transien. Pemetaan di tingkat nasional hanya menggunakan

10 indikator yang meliputi aspek ketersediaan, aspek akses pangan dan mata

pencaharian dan aspek pemanfaatan pangan. Sedangkan untuk tingkat provinsi

24

menggunakan ke 13 indikator tersebut dimana terdiri dari 9 indikator untuk

pemetaan pada wilayah ketahanan dan kerentanan pangan kronis dan 4 indikator

(aspek kerentanan) untuk pemetaan rawan pangan transien.

Peta ketahanan dan kerentanan pangan komposit dibuat dengan menghitung

indeks komposit ketahanan dan kerentanan pangan dengan cara menggabung

seluruh indikator dan memberikan bobot pada indikator dengan menggunakan

metode Principal Component Analysis. Peta komposit menunjukkan kondisi

ketahanan dan kerentanan pangan berdasarkan gabungan berbagai dimensi

ketahanan dan kerentanan pangan. Penyebab-penyebab kondisi ketahanan dan

kerentanan pangan di daerah dapat diketahui dengan mempelajari kondisi per

indikator.

1.5.2.1 Dimensi Ketersediaan Pangan

Aspek ini melihat kemampuan suatu daerah untuk menghasilkan pangannya

sendiri. Potensi sumberdaya yang dimiliki setiap daerah berbeda-beda. Ada yang

menjadi sentra tanaman pangan sementara daerah yang lain menjadi sentra

tanaman hortikultura, perkebunan dan lain-lain. Perbedaan potensi produksi

pertanian ini tentunya sangat terkait dengan kondisi iklim dan cuaca serta kondisi

tanah yang sangat spesifik pada masing-masing daerah.

Aspek ketersediaan pangan diukur dari rasio antara konsumsi pangan

normatif dengan ketersediaan pangan yang dihasilkan suatu daerah. Konsumsi

pangan normatif di peroleh dengan mengasumsikan konsumsi per kapita per hari

adalah 1.100 kalori per orang per hari. Rasio antara konsumsi pangan normatif

dengan ketersediaan ini sekaligus merupakan ukuran yang menunjukkan proporsi

dari ketersediaan yang digunakan untuk konsumsi.

1.5.2.2 Dimensi Akses Pangan dan Mata Pencaharian

Suatu kegiatan ekonomi yang tinggi cenderung akan diikuti oleh peluang

kerja yang tinggi pula, ini berarti pula bahwa kesempatan kerja dan peluang untuk

25

mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Dengan pendapatan yang lebih baik

maka akan terdapat daya beli yang lebih baik.

Akses pangan ditunjukan dengan kelompok masyarakat yang masih

mengalami kesulitan dalam meperoleh makanan atau kelompok masyarakat

dengan daya beli rendah. Dimensi akses pangan dan mata perncaharian ini sangat

erat dengan kemiskinan dan kemiskinan merupakan indikator kunci dalam

penentuan kondisi ketahanan pangan. Jenis pekerjaan atau mata pencaharian

berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat. Selanjutnya tingkat pendapatan

akan memepengaruhi kemampuan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan dasar

termasuk kebutuhan memperoleh pangan.

1.5.2.3 Dimensi Pemanfaatan atau Penyerapan Pangan

Pemanfaatan atau penyerapan pangan sebenarnya adalah indikator dampak

dari ketersediaan maupun akses pangan. Akses pangan dan ketersediaan yang baik

akan memberikan peluang bagi penyerapan pangan secara lebih baik. Dalam

menyusun indikator ini maka asepk-aspek yang menjadi pertimbangan adalah

berkenaan dengan: (i) falilitas dan layanan kesehatan; (ii) sanitasi dan

ketersediaan air; (iii) pengetahuan ibu RT; dan (iv) outcome nutrisi dan kesehatan.

Aspek-aspek di atas sangat strategis dalam memberikan gambaran

pemanfaatan pangan suatu wilayah. Pemanfaatan pangan secara implisit adalah

merupakan permasalahan asupan gizi di masyarakat. Buta Huruf dijadikan

indikator penting karena dengan kondisi seperti tersebut maka sangat lemah sekali

menangkap informasi untuk meningkatkan kualitas gizi keluarga. Demikian juga

berkenaan dengan kemudahan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Akses

fasilitas kesehatan dilihat dari keberadaan dan jarak fasilitas kesehatan dari

masing-masing wilayah.

Air bersih adalah indikator ketiga yang menggambarkan tingkat

pemanfaatan pangannya. Variabel ini dipilih karena air merupakan bahan baku

yang sangat vital bagi ibu-ibu rumah tangga dalam memasak. Tingginya akses air

bersih tentunya menunjukkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik dan lebih

sehat, hal ini tentunya akan berimplikasi pada makin tingginya harapan hidup

rata-rata penduduk.

26

1.5.3 Padi dan Beras

Padi merupakan jenis tumbuhan dengan nama yang berubah-ubah pada

setiap tahap prosenya. Kandungan banyak air terdapat pada tumbuhan yang hidup

di tanah dan mempunyai bentuk daun yang memanjang tersebut. Nama padi

digunakan ketika tumbuhan ini masih dalam proses tanam hingga mulai tumbuh

bulir-bulir biji pada tumbuhan ini kemudian ketika proses bulir-bulir mulai

terlepas dari tangkainya nama yang dipakai bukan lagi padi melainkan gabah.

Selanjutnya dinamakan beras ketika kulit ari dipisahkan dari bijinya..

Asia dan Afrika barat merupakan dua benua yang menjadi cikal bakal

komoditas padi. Sekitar 300 (tiga ratus) tahun sebelum masehi di Zhejiang (Cina)

tanaman padi mulai dikembangkan dalam bercocok tanam pada penggarapan

lahan pertanian dan di Hastinapur Uttar Padesh (India) ditemukan ditemukan fosil

dari butir-butir beras yang diperkirakan sebagai persediaan bahan makanan

manusia pada 100 (seratus) sebelum masehi. Hal ini membuktikan bahwa padi

merupakan bahan makanan yang telah dikonsumsi sejak masa lampau sebagai

bahan makanan penghasil kalori atau energi. Selain di Cina dan India hal serupa

juga ditemukan di Banglades Utara, Burma, Thailand, Laos dan Vietnam.

1.5.3.1 Ciri Umum Padi

Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim Graminae

atau lumiflorae). Sejumlah ciri suku (familia) ini juga menjadi ciri padi, misalnya

berakar serabut, daun berbentuk lanset (sempit memanjang), urat daun sejajar,

memiliki pelepah daun, bunga tersusun sebagai bunga majemuk dengan satuan

bunga berupa loret, floret tersusun dalam spikelet, khusus untuk padi satu spikelet

hanya memiliki satu floret, buah dan biji sulit dibedakan karena merupakan bulir

(grain) atau kariopsis.

Padi tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian

dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara cukup hangat. Padi menyukai tanah

yang lembab dan becek. Sejumlah ahli menduga, padi merupakan hasil evolusi

dari tanaman moyang yang hidup di rawa. Pendapat ini berdasar pada adanya tipe

padi yang hidup di rawa-rawa (dapat ditemukan di sejumlah tempat di Pulau

Kalimantan), kebutuhan padi yang tinggi akan air pada sebagian tahap

27

kehidupannya, dan adanya pembuluh khusus di bagian akar padi yang berfungsi

mengalirkan oksigen ke bagian akar.

Setiap bunga padi memiliki enam kepala sari (anther) dan kepala putik

(stigma) bercabang dua berbentuk sikat botol. Kedua organ seksual ini umumnya

siap reproduksi dalam waktu yang bersamaan. Kepala sari kadang-kadang keluar

dari palea dan lemma jika telah masak. Dari segi reproduksi, padi merupakan

tanaman berpenyerbukan sendiri, karena 95% atau lebih serbuk sari membuahi sel

telur tanaman yang sama. Setelah pembuahan terjadi, zigot dan inti polar yang

telah dibuahi segera membelah diri. Zigot berkembang membentuk embrio dan

inti polar menjadi endospermia. Pada akhir perkembangan, sebagian besar bulir

padi mengadung pati di bagian endospermia. Bagi tanaman muda, pati berfungsi

sebagai cadangan makanan. Bagi manusia, pati dimanfaatkan sebagai sumber gizi.

Satu set genom padi terdiri dari 12 kromosom. Karena padi adalah tanaman

diploid, maka setiap sel padi memiliki 12 pasang kromosom (kecuali sel seksual).

Padi merupakan organisme model dalam kajian genetika tumbuhan karena dua

alasan yaitu kepentingannya bagi umat manusia dan ukuran kromosom yang

relatif kecil, yaitu 1.6~2.3 × 108 pasangan basa (base pairs atau bp). Sebagai

tanaman model, genom padi telah disekuensing, seperti juga genom manusia.

1.5.3.2 Keanekaragaman Padi

Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan selama ini yaitu Oryza

sativa yang berasal dari daerah hulu sungai di kaki Pegunungan Himalaya (India

dan Tibet/Tiongkok) dan Oryza glaberrima yang berasal dari Afrika Barat (hulu

Sungai Niger). Oryza Sativa terdiri dari dua varietas, indica dan japonica

(sinonim sinica). Varietas japonica umumnya berumur panjang, postur tinggi

namun mudah rebah, palea-nya memiliki “bulu” (awn), bijinya cenderung

panjang. Varietas indica, sebaliknya, berumur lebih pendek, postur lebih kecil,

palea-nya tidak ber-”bulu” atau hanya pendek saja, dan biji cenderung oval.

Walaupun kedua varietas dapat saling membuahi, persentase keberhasilannya

tidak tinggi. Contoh terkenal dari hasil persilangan ini adalah kultivar IR8, yang

merupakan hasil seleksi dari persilangan varietas japonica (kultivar

28

„Deegeowoogen‟ dari Formosa dan varietas indica (kultivar „Peta‟ dari

Indonesia). Selain kedua varietas ini, dikenal pula sekelompok padi yang

tergolong varietas minor javanica yang memiliki sifat antara dari kedua varietas

utama di atas. Varietas javanica hanya ditemukan di Pulau Jawa. Budidaya padi

yang telah berlangsung lama telah menghasilkan berbagai macam jenis padi

akibat seleksi dan pemuliaan yang dilakukan.

1. Padi pera adalah padi dengan kadar amilosa pada pati lebih dari 20%

pada berasnya. Butiran nasinya jika ditanak tidak saling melekat. Lawan

dari padi pera adalah padi pulen. Sebagian besar orang Indonesia

menyukai nasi jenis ini dan berbagai jenis beras yang dijual di pasar

Indonesia tergolong padi pulen. Penggolongan ini terutama dilihat dari

konsistensi nasinya.

2. Ketan (sticky rice), baik yang putih maupun merah/hitam, sudah dikenal

sejak dulu. Padi ketan memiliki kadar amilosa di bawah 1% pada pati

berasnya. Patinya didominasi oleh amilopektin, sehingga jika ditanak

sangat lekat.

3. Padi wangi atau harum (aromatic rice) dikembangkan orang di beberapa

tempat di Asia, yang terkenal adalah ras „Cianjur Pandanwangi‟ (sekarang

telah menjadi kultivar unggul) dan „rajalele‟. Kedua kultivar ini adalah

varietas javanica yang berumur panjang.

4. Padi Gogo, Di beberapa daerah tadah hujan orang mengembangkan padi

gogo, suatu tipe padi lahan kering yang relatif toleran tanpa penggenangan

seperti di sawah.

5. Padi rawa atau padi pasang surut dikembangkan oleh masyarakat yang

tinggal di rawa-rawa Kalimantan. Padi rawa mampu membentuk batang

yang panjang sehingga dapat mengikuti ayunan kedalaman air.

1.5.3.3 Pengolahan Gabah Menjadi Beras

Setelah padi dipanen, bulir padi atau gabah dipisahkan dari jerami padi.

Pemisahan dilakukan dengan memukulkan seikat padi sehingga gabah terlepas

atau dengan bantuan mesin pemisah gabah. Gabah yang terlepas lalu dikumpulkan

dan dijemur. Pada zaman dulu, gabah tidak dipisahkan lebih dulu dari jerami, dan

29

dijemur bersama dengan merangnya. Penjemuran biasanya memakan waktu tiga

sampai tujuh hari, tergantung kecerahan penyinaran matahari. Penggunaan mesin

pengering jarang dilakukan. Istilah “Gabah Kering Giling” (GKG) mengacu pada

gabah yang telah dikeringkan dan siap untuk digiling (plantus, 2008).

Gabah yang telah kering disimpan atau langsung ditumbuk/digiling, sehingga

bulir beras terpisah dari sekam (kulit gabah). Beras merupakan bentuk olahan

yang dijual pada tingkat konsumen. Hasil sampingan yang diperoleh dari

pemisahan ini adalah:

1. Sekam (atau merang), yang dapat digunakan sebagai bahan bakar

2. Bekatul, yakni serbuk kulit ari beras; digunakan sebagai bahan makanan

ternak

3. Dedak, campuran bekatul kasar dengan serpihan sekam yang kecil-kecil;

untuk makanan ternak.

1.5.3.4 Kandungan Gizi Dalam Beras

Kandungan gizi dalam beras tergantung pada jenis dan pengolahan beras.

Beras yang telah diolah menjadi nasi mengalami pertambahan berat sebesar 50%.

Di Indonesia beras yang diolah menjadi nasi merupakan sumber kalori dan protein

yang selanjutnya mejadi pemasok energi bagi tubuh untuk sehat, aktif dan

produktif. Lebih rinci tentang komposisi gizi yang terkandung dalam nasi dapat

dilihat pada tabel 1.1.

Tabel 1.1 Informasi Gizi Nasi Per 100 gram

No. Informasi Gizi Per 100 gram

1. Kalori 129 kkal

2. Lemak 0,28 g

3. Protein 2,66 g

4. Karbohidrat 27,9 g

Sumber: FatSecret.com, 2013

30

1.5.4 Kemiskinan

Kemiskinan adalah permasalahan multidimensional. Pendekatan dengan

satu bidang ilmu tertentu tidaklah mencukupi untuk mengurai makna dan

fenomena yang menyertainya. Definisi secara umum yang lazim dipakai dalam

perhitungan dan kajian-kajian akademik adalah pengertian kemiskinan yang

diperkenalkan oleh Bank Dunia yaitu sebagai ketidakmampuan mencapai standar

hidup minimum (Word Bank, 1990).

Friedman mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan

untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basis kekuatan sosial tidak

terbatas hanya pada (1) modal produktif atau aset (misalnya organisasi sosial

politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, partai politik,

sindikasi, koperasi dan lain-lain), tetapi juga pada (2) network atau jaringan

sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang dan lain-lain; (3) pengetahuan

dan ketrampilan yang memadai; dan (4) informasi yang berguna untuk

memajukan kehidupan mereka. Scott menerangkan bahwa kemiskinan setidaknya

memiliki kondisi-kondisi yang pada umumnya dide kati (1) dari segi pendapatan

dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non material yang

diterima oleh seseorang sehingga secara luas kemiskinan meliputi kekurangan

atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk atau kekurangan

transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat; (2) ka dang-kadang didefinisikan

dari segi kepemilikan aset yakni tanah, rumah, peralatan, uang, emas, kredit dan

lain-lain; (3) kemiskinan non-materi meliputi berbagai macam kebebasan, hak

untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan

yang layak. (Usman, 2006).

United Nations Development Program (UNDP) mendefinisikan

kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan dalam

hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian “tidak adanya partisipasi dalam

pengambilan keputusan publik”sebagai salah satu indikator kemiskinan. pada

penghujung abad 20 muncul pengertian terbaru mengenai kemiskinan yaitu bahwa

kemiskinan juga mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan

31

ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi (voicelessness). Jadi kemiskinan

berwajah majemuk atau bersifat multi dimensi (Cahyat, 2004).

Jhingan (2000) mengemukakan tiga ciri utama negara berkembang yang

menurutnya menjadi penyebab dan sekaligus akibat, yang saling terkait, dari

kemiskinan yang terjadi. Ciri pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang

tidak memadai sehingga menyebabkan ti ngginya jumlah penduduk buta huruf

dan tidak memiliki keterampilan atau keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan

pola konsumsi buruk sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang bisa menjadi

tenaga kerja produktif. Akibatnya, laju pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat.

Apabila kemiskinan dikaitkan dengan ukuran penentuannya seringkali

dibedakan dalam dua definisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk

mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan,

perumahan dan pendidikan yang diperl ukan untuk hidup dan bekerja. Kebutuhan

pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang.

Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis

kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya dibawah garis kemiskinan

digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut (tidak be rubah)

dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu membandingkan

kemiskinan secara umum. Sebagai contoh garis kemiskinan Amerika Serikat tidak

berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkin

terbanding dengan angka kemiskinan satu dekade yang lalu, dengan catatan

definisi kemiskinan tidak berubah. Garis kemiskinan absolut sangat penting jika

seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti pemiskinan antar waktu,

atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya,

pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu

negara dengan negara yang lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama

digunakan antar negara.

Bank dunia mengeluarkan garis kemiskinan absolut agar dapat

membandingkan angka kemiskinan antar negara serta digunakan dalam

menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua

32

ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu : a) US $ perkapita per hari

dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah

ukuran tersebut; b) US $ 2 perkapita per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk

yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US $

PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua

batas ini adalah garis kemiskinan absolut.

Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan

pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat,

sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum

disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian

terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen

lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut

pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin.

Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi

pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini

berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.

Dalam prakteknya, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang

lebih tinggi daripada negara miskin seperti pernah dilaporkan oleh Ravallion

(1998 : p26). Dalam paper tersebut Ravallion menjelaskan mengapa, misalnya,

angka kemiskinan resmi (official figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15

persen di Amerika Serikat dan mendekati 15 persen di Indonesia (negara yang

jauh lebih miskin). Artinya, banyak dari mereka yang dikategorikan miskin di

Amerika Serikat akan dikatakan sejahtera menurut standar Indonesia.

Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung

merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan kekecualian Amerika

Serikat, dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir

empat dekade. Misalnya Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin

adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita dibawah 50 persen dari

median (rata-rata) pendapatan. Ketika median atau rata-rata pendapatan

meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat. Dalam hal mengidentifikasi

dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup

33

untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara

secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk

membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak

mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.

Konsep lain yang pernah dikemukakan sebagai wacana adalah kemiskinan

struktural dan kemiskinan kultural. Soetandyo Wignjosoebroto dalam

”Kemiskinan Struktural : Masalah dan Kebijakan” (Suyanto, 1995)

mendefinisikan ”Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau

didalihkan bersebab dari standar atau kriteria yang subjektif karena dipengaruhi

oleh adat, budaya, daerah, dan kelom pok sosial”. Disamping itu kesulitan

penentuan secara kuantitatif dari ma sing-masing komponen kebutuhan dasar

karena dipengaruhi sifat yang dimiliki oleh komponen itu sendiri,misalnya selera

konsumen terhadap suatu jenis makanan atau komoditi lainnya.

Dari segi faktor penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi

kemiskinan kultural, kemiskinan sumber daya ekonomi, dan kemiskinan

struktural. Menurut Surbakti, kemiskinan kultural bukanlah bawaan melainkan

akibat dari tidak kemampuan menghadapi kemiskinan yang berkepanjangan.

Kemiskinan bukanlah sebab melainkan akibat. Sikap-sikap seperti ini diabadikan

melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi. Kemiskinan sumber daya

ekonomi melihat fenomena kemiskinan dari sisi ketiadaan atau kelangkaan

sumber daya ekonomi baik faktor-faktor produksi yang berupa modal, tanah,

sumber daya manusia dalam hal ini tingkat dan kualitas pendidikan maupun

kondisi geografis yang terkait dengan tempat tinggal suatu masyarakat.

Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor

struktur ekonomi dan politik yang melingkupi si miskin. Struktur ekonomi dan

politik yang kurang berpihak pada sekelompok masyarakat tertentu sehingga

menimbulkan hambatan-hambatan dalam akses sumber daya ekonomi, lapangan

pekerjaan dan partisipasi dalam pembangunan.

Usman (2006) menyatakan bahwa teori yang menarik dan sering dijadikan

acuan dalam membahas permasalahan kemiskinan serta sekaligus menunjukkan

bahwa permasalahan kemiskinan bersifat mutidimensi adalah teori lingkaran

34

kemiskinan. Salah satu pencetus teori ini, Myrdal, pada tahun 1957 menjelaskan

bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki keterkaitan antara satu dengan

yang lain dalam menciptakan suatu problem yang muncul di dalam masyarakat.

Teori ini kemudian dikembangkan lagi oleh para pengamat permasalahan

kemiskinan, diantaranya adalah Jona than Secher. Ia menjelaskan bahwa

pendidikan dan ketenagakerjaaan di masyarakat berinteraksi dalam bentuk sebuah

lingkaran yang saling terkait satu sama lain. Masyarakat yang tidak memiliki

akses untuk berkembang dengan baik akan terdorong untuk bermigrasi ke tempat

lain dan meninggalkan usahanya di tempat asal. Akibatnya, terjadi penurunan

produktivitas dan penerimaan pajak di daerah tersebut. Penurunan penerimaan

pajak akan berdampak pada pengurangan anggaran pembangunan di daerah itu

termasuk belanja pembangunan untuk pendidikan. Penurunan kualitas pendidikan

dan kualitas tenaga kerja pada akhirnya tidak dapat dihindari. Dengan tenaga kerja

berkualitas rendah, industri tidak dapat mengadopsi teknologi yang lebih baik dan

tidak mampu mengembangkan usahanya sehingga berakibat pada berkurangnya

penyerapan tenaga kerja dan meningkatnya pengangguran.

1.5.5 Pendekatan Keruangan

Pendekatan keruangan menurut Hadi Sabari Yunus tidak lain merupakan

suatu metoda analisis yang menekankan analisisnya pada eksistensi ruang (space)

sebagai wadah untuk mengakomodasi kegiatan menusia dalam menjelaskan

fenomena geosfer. Oleh karena obyek studi geografi berupa geospheric

phenomena maka segala sesuatu yang terkait dengan obyek dalam ruang dapat

disoroti dari berbagai matra antara lain:

1. Pola (pattern);

2. Struktur (structure);

3. Proses (process);

4. Interaksi (interaction);

5. Oraganisasi dalam system keruangan (organization within the spatial

system);

6. Asosiasi (association);

35

7. Tendensi atau kecenderungan (tendency or trends);

8. Pembandingan (comparation)

9. Sinegisme keruangan (spatial synergism);

Dari kesembilan matra tersebut dapat dirumuskan minimal terdapat Sembilan

tema analisis dalam pendekatan keruangan, yaitu:

1. Spatial pattern analysis;

2. Spatial structure analysis;

3. Spatial process analysis;

4. Spatial inter-action analysis;

5. Spatial association analysis;

6. Spatial organization analysis;

7. Spatial tendency / trends analysis

8. Spatial comparation analysis;

9. Spatial synergism analysis.

Menurut Hadi Sabari Yunus tahun 2008, Dalam mengaplikasikan

pendekatan keruangan, seoarang peneliti tidak cukup hanya menyebutnya saja

namun secara ekplisit dan jelas menyebutkan tema apa yang akan dianut serta

penjelasan mengenahi operasional pendekatanya. Aplikasi analisis pendekatan

keruangan, minimal meliputi sembilan macam dan apabila ke sembilan macam

tema analisis tersebut harus dilaksanakan maka akan menghabiskan waktu yang

lama, tenaga yang banyak, biaya yang besar, pengusaan teknik analisis yang

mendalam serta kemantapan keilmuan yang memadai. Masing-masing tema

analisis mempunyai spesifikasi sendiri yang terkait dengan spesifikasi obyek

kajian yang akan dilaksanakan. Salah satu gabungan dari beberapa diantaranya

sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan tanpa mengurangi kedar keilmuanya.

Oleh karena inderawi manusia sangat terbatas kemampuanya untuk

mengamati kenampakan geografis di suatu wilayah atau dipermukaan bumi, maka

untuk maksud analisis keruangan seorang peneliti memerlukan alat bantu. Di

sinilah peranan model visualisasi permukaan bumi diperlukan kehadiranya.

Ketersediaan peta, foto udara maupun citra satelit sangat diperlukan dalam

analisis. Namun demikian, gambaran yang ditampilkan dalam peta, foto udara

36

ataupun citra satelit ternyata masih sangat rumit dan kompleks sifatnya. Sehingga

penliti dituntut untuk mampu mengabtraksikannya kedalam visualisasi yang

manageable. Simbol-simbol yang lebih sederhana sangat diperlukan dalam hal ini,

sehingga analisis dapat dilaksanakan dengan lebih mudah. Simbol-simbol yang

secra jonvesional dan masih dipakai samapi saat ini berujud simbol-simbol titik

garis maupun bidang. Visualisasi dari salah satu atau gabungan dari padanya

sangat tergantung dari sifat data dan tujuan analisis.

Secara rinci Hadi Sabari Yunus menjabarkan definisi dari masing-masing

tema analisis dalam pendekatan keruangan. Spatial pattern analysis: penekanan

utama dari analisis ini adalah pada “sebaran” elemen-elemen pembentuk ruang.

Taraf awal adalah identifikasi mengenai aglomerasi sebaran dan kemudian

dikaitkan dengan upaya untuk menjawab geographic questions. Seperti telah

diketahui bahwa geographic questions yang dimaksud adalah pertanyaan What,

Where, When, Why, Who dan How atau terkenal dengan 5 W dan 1 H. Spatial

structure Analysis menekankan pada analisis susunan elemen-elemen pembentuk

ruang. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa struktur elemen-elemen keruangan

dapat dikemukakan dari berbagai fenomena baik fenomena fisikal maupun non

fisikal. Spatial process Analisis menekankan pada proses keruangan yang

biasanya divisualisasikan pada perubahan ruang. Perubahan elemen-elemen

pembentuk ruang dapat dikemukakan secara kualitatif maupun kuantitatif. Setiap

analisis perubahan keruangan tidak dapat dilaksanakan tanpa mengmukakan

dimensi kewaktuannya, maka dimensi temporal mempunyai peranan utama dalam

hal ini. Minimal dua titik untuk mengenali perubahan.

Selanjutnya, Spatial interaction Analysis menekankan pada interaksi antar

ruang. Hubungan timbal balik antar ruang yang satu dengan yang lain mempunyai

variasi yang sangat besar, sehingga upaya mengnali factor-faktor pengontrol

interaksi menjadi sedemikian penting.tahap selanjutnya dalah menjawab

pertanyaan mengapa terjadi interaksi dan bagaimana interaksi terjadi. Spatial

organization Analysis bertujuan untuk mengetahui elemen-elemen lingkungan

mana yang berpengaruh terhadap terciptanya tatanan spesifik dari elemen-elemen

pembentuk ruang. Penekanan utama pada keterkaitan antara penampakan yang

37

satu dengan yang lain secra individual. Spatial Association Analysis bertujuan

untuk mengungkapkan terjadinya asosiasi keruangan atara berbagai penampakan

pada suatu ruang. Apakah ada keterkaitan fungsional atas sebaran keruangan atau

gejala tertentu dengan sebaran keruangan gejala yang lain adalah pertanyaan yang

dipecahkan dengan model analisis ini.

Spatial Tendency/trend analysis adalah suatu analisis yang menekankan

pada upaya mengetahui kecenderungan perubahan suatu gejala. Hal ini dapat

dilakukan berdasar pada space based analysis, time based analysis maupun

gabungan anatara space based dan time based analysis. Spatial Coparation

Analysis merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk mengetahui kelemahan

dan keunggulan suatu ruang dibandingkan dengan ruang yang lain. Hal ini sangat

penting dilakukan dalam studi banding yang mendalam mengenai suatu wilayah

dalam rangka mempelajari kelebihan-kelebiahan wilayah lain untuk digunakan

sebagai dasar penetuan kebijakan pengembangan wilayah, sehingga wilayahnya

dapat mengalami kemajuan yang besar. Spatial Synergism Analisis merupakan

perkembangan baru yang saat ini menjadi sorotan ilmu pengetahuan, karena

sangat terkait dengan erat dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi,

khusus dibidang transportasi dan komunikasi. Makin majunya system transportasi

dan komunikasi telah memungkinkan terjadinya mobilitas barang, jasa, informasi

dan manusia semakin tinggi, sehingga dinamika keruangan juga semakin tinggi.

Spatial synergism hanya akan berfungsi efisien dan efektif apabila disertai dengan

konsep fungtional synergism (Hadi Sabari Yunus, 2008).

1.6 Kerangka Pemikiran

Ketahanan dan kerentanan pangan merupakan hasil dari bentuk interaksi

antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya atau disebut dengan

fenomena geosfer. Bentuk interaksi tersebut berupa kegiatan manusia mengolah

lahan sebagai sumberdaya untuk memproduksi bahan makanan sehingga kodisi

geografis lahan menetukan kemapuan lahan untuk mempruduksi bahan makanan

khususnya beras. Selanjutnya, hal tersebut akan menjadi penentu ketersediaan

beras untuk mencukupi kebutuhan kalori penduduk.

38

Upaya penduduk untuk bertahan hidup dan berkembang biak

berdampingan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar termasuk kebutuhan pangan.

Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut penduduk melakukan aktifitas-

aktifitas perekonomian. Aktivitas perekonomian penduduk sangat beragam

sehingga hasil dari aktivitas tersebut juga akan beragam pula. Bentuk-bentuk dari

aktifitas penduduk dicerminkan oleh jenis pekerjaan dan status pekerjaan yang

dipilih oleh penduduk. Secara umum pemilihan terhadap jenis-jenis pekerjaan dan

status pekerjaan dilatarbelakangi oleh kualitas sumberdaya manusia yang di

tunjukan oleh tingkat pendidikannya. Selanjutnya, dari kesuluruhan aktifitas

penduduk akan menentukan kemampuan penduduk dalam mengakses bahan

makanan berupa beras.

Gabungan antara aspek ketersediaan beras ditambah dengan kemampuan

megakses pangan oleh penduduk merupakan aspek-aspek penentu kodisi

ketahahan pangan suatu wilayah. Dalam penelitian ini wilayah yang dipilih

adalah kabupaten Gunungkidul. Penentuan kondisi ketahahan dan kerentanan

pangan yang berdasar pada dimensi-dimensi tersebut dikenal dengan peta

ketahahan dan kerentanan pangan atau FSVA.

Peta ketahahan pangan merupakan terobosan yang mengacu pada bentuk

visual penyajian kondisi ketahahan dan kerentanan pangan berupa sebuah peta.

Dalam penyajian petanya digunakan pola warna yang seragam dengan teknik

gradasi warna untuk menjelaskan kategori prioritas penanganan daerah yang

beresiko menjadi rawan pangan. Dalam penelitian ini adalah kecamatan-

kecamatan di kabupaten Gunungkidul.

Pada dasarnya peta ketahahan dan kerentanan pangan adalah sebuah

metode dan alat. Untuk kepentingan analisis yang lebih mendalam terhadap

distribusi ketahanan pangan antar kecamatan diperlukan pendekatan keruangan

(spatial approach) dengan menggunakan tema analisis yaitu tema pola keruangan

(Spatial Pattern Analysis) Dengan pendekatan dan tema analisis tersebut

fenomena distribusi ketahahan dan kerentanan pangan kondisi ketahahan dan

kerentanan pangan antar kecamatan di kabupaten Gunungkidul dapat diketahui

dengan lebih jelas.

39

Gambar 1.7 Kerangka pemikiran penelitian ketersediaan beras dan akses pangan dalam kajian ketahanan pangan di Kabupaten

Gunungkidul tahun 2013.

Wilayah Penduduk

Produksi beras Ketenagakerjaan Kondisi sosial

ekonomi

Ketersediaan

beras Status sebagai

buruh tidak tetap

Penduduk

tidak bekerja

Tingkat

pendidikan

Rumah tangga

miskin

Akses pangan Ketahanan

pangan

Peta ketahanan pangan

pangan

Analisis pola

keruangan

Pendekatan

keruangan

Pola keruangan

ketahanan pangan

40

1.7 Batasan Operasional

- Ketahanan Pangan

Ketahananan pangan merupakan kondisi tersedianya jumlah kalori dari

makanan pokok (beras) yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori

harian individu dan rumah tangga dengan diimbangi kemampuan

mengaksesnya untuk hidup sehat, aktif dan produktif.

- Akses Pangan

Kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang

dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan

kalori harian untuk hidup sehat, aktif dan produktif.

- Beras

Daging buah dari tanaman padi (Oriza Sativa).

- Ketersediaan Beras

Ketersediaan beras daerah dalam jumlah yang cukup untuk semua orang

yang hidup didalamnya baik yang berasal dari produksi sendiri, impor,

cadangan pangan maupun bantuan pangan terkait dengan jumlah kalori

yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Patrick Webb and

Beatrice dalam Nuhfil, 2008).

- Konsumsi Normatif

Jumlah kalori minimum utuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Nilai

konsumsi normative adalah 1.100 kkal per kapita per hari (FSVA, 2009).

- Kemiskinan

Kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu

memenuhi hak‐hak dasarnya untuk mempertahankan dan

mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Badan Pusat Statistik).

- Penduduk Miskin

Penduduk yang terdafatar sebagai sasaran program pengentasan

kemiskinan.

41

- Kalori

Satuan ukuran untuk energi. Satu kalori secara resmi didefinisikan

sebagai jumlah energi panas yang dibutuhkan untuk menaikkan 1 cm2 air

(atau 1 gram air) sebesar satu derajat Celcius. Untuk mengukur jumlah

energi dalam makanan, ahli gizi umumnya menggunakan kilokalori

(setara dengan 1.000 kalori), dan label pengukuran mencantumkan

sebagai “kkal” (kamus kesehatan, 2012).

- Kecukupan Kalori

Terpenuhinya jumlah kalori rumah tangga dan individu yang diperoleh

dari konsumsi beras.