bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan hak
asasi bagi setiap individu. Oleh karena itu terpenuhinya kebutuhan pangan
penduduk merupakan hal yang mutlak harus dipenuhi agar manusia dapat
bertahan hidup. Permasalahan pangan dari waktu ke waktu berlangsung dalam
tekanan yang terus meningkat. Salah satu penyebab utamanya adalah
pertumbuhan penduduk yang selalu meningkat. Pertumbuhan penduduk
beriringan dengan meningkatnya permintaan akan pangan sehingga peningkatan
produksi pangan harus mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduk.
Thomas Robert Malthus tahun 1798 dalam Essay on the Principle of
Population mengungkapkan sebuah teori yang dikenal dengan teori Malthus.
Dalam teorinya, Malthus memaparkan bahwa jumlah penduduk cenderung untuk
meningkat secara geometris (deret ukur), sedangkan pasokan bahan makanan
cenderung meningkat secara aritmatik (deret hitung) sehingga dikhawatirkan pada
suatu saat akan terjadi krisis pangan dimana jumlah pasokan bahan makanan tidak
mampu mencukupi kebutuhan pangan manusia.
Permasalahan pangan masih menjadi isu global dunia dewasa ini. Pada
tahun 2000, para pimpinan dunia bertemu di New York dalam rangka
menandatangani “Deklarasi Milennium” yang berisi komitmen untuk
mempercepat pembangunan manusia dan pemberantasan kemiskinan. Komitmen
tersebut diterjemahkan menjadi beberapa tujuan dan target yang dikenal sebagai
Milennium Development Goals (MDGs). Prioritas utama komitmen yang
dihasilkan dalam deklarasi tersebut adalah menanggulangi kemiskinan dan
kelaparan ekstrem yang masih menjadi masalah di semua negara.
Kemiskinan dan kelaparan adalah dua tema yang tidak bisa dipisahkan
satu dengan yang lain, kemiskinan adalah aspek utama sebagai penyebab
terjadinya kelaparan. Kemiskinan menyebabkan daya beli terhadap bahan
makanan rendah sehingga status kecukupan gizi masyarakat tidak terpenuhi.
2
kemudian status ketidakcukupan gizi penduduk ini akan berpengaruh terhadap
produktifitas penduduk dalam megupayakan hidupnya. Selain itu ketidakcukupan
gizi menyebabkan kerentanan terhadap serangan penyakit dan apabila sesorang
sakit mengakibatkan seseorang menjadi semakin miskin. Kelaparan atau
kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi
penduduk, dimana kelaparan merupakan suatu proses sebab-akibat dari
kemiskinan.
Pada tahun 2005 di Indonesia telah diluncurkan Peta Kerawanan Pangan
(Food Insecurity Atlas atau FIA) yang menggambarkan pemeringkatan situasi
ketahanan pangan pada 265 kabupaten di 30 provinsi. Selanjutnya pada tahun
2009 diluncurkan kembali Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security
and Vulnerability Atlas atau FSVA). Perubahan nama Peta Kerawanan Pangan
menjadi Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan dilakukan dengan pertimbangan
untuk memperjelas pengertian mengenai konsep ketahanan pangan berdasarkan
tiga dimensi ketahanan pangan (ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan)
dalam semua kondisi, bukan hanya pada situasi kerawanan pangan saja.
Pertimbangan yang kedua adalah FVSA juga bermaksud untuk mengetahui
berbagai penyebab kerawanan pangan secara lebih baik atau dengan kata lain
kerentanan terhadap kerawanan pangan, bukan hanya kerawanan pangan itu
sendiri (Dewan Ketahanan Pangan, 2009).
Dari perbandingan hasil FIA 2005 dengan FSVA 2009 ditetapkan 100
kabupaten dari 265 kabupaten di 30 provinsi termasuk dalam kategori rentan
terhadap pangan prioritas 1 (satu) atau mempunyai resiko kerenatanan terhadap
pangan yang sangat tinggi sehingga paling diprioritaskan untuk segera
ditanggulangi. Apabila dilihat dari distribusi keruangannya 100 kabupaten
tersebut, sebagian besar berada di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, bagian
timur pulau Jawa, NTB, NTT, bagian utara dan barat Kalimantan, bagian tengah
dan tenggara Sulawesi, dan bagian barat dan timur Sumatera. Resiko kerentanan
terhadap rawan pangan bisa menjadi rawan pangan apabila tidak dilakukan
penanganan dengan segera. Kerawanan pangan didefinisikan sebagai kondisi tidak
3
terpenuhinya pangan bagi individu atau rumah tangga dari segi ketersediaan
pangan dan kemampuan untuk memperolehnya.
Kemampuan penduduk untuk memperoleh pangan yang selanjutnya
disebut akses pangan, erat hubunganya dengan kemiskinan. Dari 100 kabupaten
yang beresiko terhadap kerawan pangan prioritas 1 merupakan kabupaten dengan
persentase penduduk miskin diatas 25 %. Selain hal tersebut, ditengarai mayoritas
penduduk Indonesia masih tergantung pada komoditas beras sebagai bahan
pangan pokok untuk mencukupi kebutuhan kalori harian. Banyak komoditas
bahan pangan alternatif selain beras yang tingkat produksi dan ketersediaanya
lebih melimpah dari beras tetapi mayoritas penduduk enggan untuk
mengkonsumsinya bahkan ada anggapan yang umum berlaku dimasyarakat bahwa
kalau belum makan nasi rasanya sama saja seperti belum makan. Beras menjadi
bahan makan yang penting bagi penduduk Indonesia. Hal-hal tersebut tercermin
pada partisipasi konsumsi beras dan permintaan akan beras yang tinggi.
Berdasarkan data Susenas 1990 -1999, tingkat partisipasi konsumsi beras
di setiap provinsi mencapai sekitar 97- 100 %. Ini artinya hanya sekitar 3 %
rumah tangga yang tidak mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok terutama
pangan pokok tunggal. Tingkat partisipasi konsumsi beras yang lebih kecil 90 %
hanya ditemukan di pedesaan Papua. Sebagai gambaran, tingkat konsumsi beras
rata - rata di kota tahun 1999 adalah 96,0 kg per kapita /tahun dan didesa adalah
111,8 kg per kapita/tahun (Suharno, 2005).
Dalam hal produksi beras, hingga saat ini Pulau Jawa masih memegang
peranan penting, meskipun beberapa daerah seperti Sumatera, Sulawesi dan
Kalimantan merupakan daerah produksi beras. Namun tingkat produksi yang
dihasilkan oleh daerah-daerah tersebut tidak seperti yang dihasilkan oleh Pulau
Jawa. Sehingga produksi beras nasional semakin menurun dan Indonesia menjadi
negara pengimpor beras terbesar (Amang dan Sawit, 1999).
Pulau Jawa sendiri merupakan pusat kegiatan perekonomian dan
pemerintahan Indonesia. Dinamika pembangunan berlangsung dengan cepat,
berakibat pada semakin menurunnya lahan pertanian. Hal tersebut mempengaruhi
produksi beras yang semakin menurun jumlahnya. Dengan jumlah produksi yang
4
semakin menurun sementara permintaan beras meningkat beriringan dengan
pertumbuhan penduduk menyebabkan harga beras menjadi tinggi. Kondisi ini
memungkinan terjadinya kompetisi penduduk untuk dapat mengakses beras,
sementara penduduk dengan kondisi serba kekurangan dalam memenuhi
kebutuhan minimum untuk hidup masih tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Ketersediaan beras dan akses penduduk terhadap pangan merupakan
dimensi-dimensi yang menentukan kondisi ketahanan pangan wilayah. Saliem
dkk (2002), mengemukakan ketahanan pangan pada tingkat wilayah dapat
bersumber dari kemampuan produksi pangan pokok (padi), kemampuan ekonomi
untuk menyediakan pangan dan kondisi sosial masyarakat yang membedakan
tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Kemampuan memproduksi
sangat tergantung pada kondisi wilayah alam setempat seperti topografi, iklim,
curah hujan dan kesuburan tanah. Kemampuan ekonomi rumah tangga dalam
mengakses kebutuhan pangan yang masih kurang ditandai dengan besarnya
proporsi kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah.
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu Kabupaten di
D.I.Yogyakarta dan secara geografis terletak di Pulau Jawa. Kabupaten
Gunungkidul mempunyai karakteristik geografis yang cukup bervariasi. Secara
umum Kabupaten Gunungkidul dibagi dalam tiga zona wilayah, dimana masing-
masing mempunyai karakter yang berbeda-beda. Zona utara merupakan daerah
perbukitan, dengan tanah didominasi oleh jenis litosol, latosol dan rendzina.
Pada wilayah ini banyak dimanfaatkan untuk perkebunan dan kehutanan,
pertambangan serta permukiman. Zona tengah atau lebih dikenal sebagai ledok
Wonosari (basin Wonosari) merupakan daerah yang relatif landai, dimana pada
zone ini banyak dikembangkan untuk pertanian dan permukiman. Zone tengah
mempunyai kondisi topografi yang relatif lebih menguntungkan daripada zone
utara dan selatan. Jenis tanah yang berkembang pada zone tengah ini antara lain:
mediteran, grumusol hitam, rendzina dan sebagian litosol. Pada zone tengah ini
perkembangan wilayahnya juga relatif lebih maju dibandingkan dengan zone utara
dan selatan. Zona selatan atau yang sering dikenal dengan wilayah karst,
merupakan daerah dengan topografi yang bervariasi, antara datar hingga berbukit.
5
Pada daerah karst banyak dijumpai kubah-kubah karst (dome) dan bentuklahan-
bentuklahan karst lainnya. Daerah karst disusun oleh batugamping terumbu
(limestone), dengan jenis tanah yang berkembang adalah litosol dan mediteran
merah. Variatifnya kondisi geografis kabupaten Gunungkidul tersebut secara
langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kemampuan wilayah
untuk memproduksi beras sebagai bahan makanan pemasok kalori utama bagi
penduduk di Kabupaten Gunungkidul.
Berdasarkan data dan informasi kemiskianan kabupaten tahun 2011
tercatat sebanyak 23.03% penduduk yang tinggal di Kabupaten Gunungkidul
hidup dibawah garis kemiskianan. Pendapatan rata-rata perkapita per bulan
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah sebesar 288.048 rupiah.
Penduduk yang tergolong hidup dibawah garis kemiskinan tersebut tersebar di 18
(delapan belas) kecamatan di Kabupaten Gunungkidul dengan persentase yang
berbeda-beda. Kondisi ini berpengaruh terhadap akses penduduk terhadap beras
yang selanjutnya akan mencerminkan kodisi ketahanan pangan di Kabupaten
Gunungkidul.
Tiga zona wilayah dan jenis tanah yang ada di Kabupaten Gunungkidul
memungkinkan terjadinya keberagaman tingkat produksi beras antar kecamatan,
begitu juga pada distribusi penduduk dengan kesulitan medapatkan pangan
sebagai penentu tingkat ketahanan pangan daerah. Penentuan kondisi ketahanan
pangan dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa Peta Ketahanan
dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas atau FSVA).
Selanjutnya dalam upaya pengkajian fenomena geosfer yang berupa ketahanan
pangan tersebut, dalam proses dan analisis kajian digunakan pendekatan
keruangan (Spatial Appoach) dengan tema analisis pola keruangan
(SpatialPattern Analysis). Dengan pendekatan dan tema analisis tersebut pola
keruangan ketahanan pangan antar kecamatan di Kabupaten Gunungkidul dapat
diketahui dengan lebih jelas.
6
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan pangan selalu menjadi isu dunia yang menarik dari waktu ke
waktu. Terbukti dengan banyaknya program dari oraganisasi dunia yang menkaji
tentang permasalahan pangan. Salah satu program yang populer adalah MDGs
yang menempatkan pemberantasan kemiskinan dan kelaparan ekstrem sebagai
prioritas utama. Kemiskinan dan kelaparan menjadi permasalahan yang dihadapi
oleh semua negara termasuk Indonesia.
Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia dengan 100 kabupaten
yang termasuk dalam kategori prioritas 1 (satu) sangat rentan terhadap pangan
atau harus segera mendapatkan penanganan. Penduduk miskin tercatat lebih dari
25% dari masing-masing kabupaten tersebut. Fenomena menarik yang ada di
Indonesia adalah mayoritas penduduknya masih bergantung pada beras sebagai
sumber kalori utama tercatat hanya 3% rumah tangga yang tidak mengkonsumsi
beras untuk setiap provinsi yang ada di Indonesia.
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di D.I
Yogyakarta dengan kondisi geografis yang bervariasi. Hal tersebut berpengaruh
terhadap tingkat produksi bahan makanan khususnya beras. Dinamika
pembangunan yang terus berlangsung berdampak pada semakin sempitnya lahan
pertanian yang berimbas pada semakin menurunnya produksi beras sementara
pemintaan akan beras terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk.
Disisi lain, sebagian penduduk di Gunungkidul masih kesulitan dalam meperoleh
bahan makanan khususnya beras.
Tercatat sebanyak 23.03% penduduk yang tinggal di Kabupaten
Gunungkidul hidup dibawah garis kemiskianan dengan pendapatan rata-rata
perkapita per bulan penduduk sebesar 288.048 rupiah yang tersebar di 18
kecamatan di Kabupaten Gunungkidul. Ketersediaan dan kemampuan penduduk
untuk memperleh bahan makanan berupa beras merupakan cerminan dari
ketahanan pangan daerah. Variatifnya kondisi geografis dan tersebarnya penduduk
miskin ini menimbulkan keberagaman kondisi ketahanan pangan antar kecamatan
terkait dengan tiga zona wilayah yang ada sehingga diperlukan pendekatan
keruangan untuk melihat pola persebaran ketahanan pangan antar kecamatan.
7
Beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini, antara lain:
1. Bagaimana ketersedian beras sebagai sumber kalori penduduk menurut
kecamatan di Kabupaten Gunungkidul?
2. Bagaimanakah kondisi akses penduduk terhadap pangan menurut
kecamatan di Kabupaten Gunungkidul?
3. Bagaimanakah ketahanan pangan berdasar pada ketersediaan beras dan
akses pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul?
4. Bagaimanakan pola keruangan ketahanan pangan menurut kecamatan di
Kabupaten Gunungkidul?
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam rangka untuk menjawab permasalahan-permasalahan dalam
penelitian ini maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui ketersedian beras sebagai sumber kalori penduduk menurut
kecamatan di Kabupaten Gunungkidul,
2. Mengetahui kondisi akses penduduk terhadap pangan menurut
kecamatan di Kabupaten Gunungkidul,
3. Mengetahui ketahanan pangan berdasarkan ketersediaan beras dan
akses pangan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul,
4. Mengetahui pola keruangan ketahanan pangan menurut kecamatan di
Kabupaten Gunungkidul.
1.4 Kegunaan Penelitian
Penelitian ketahanan pangan yang ditinjau dari ketersediaan beras dan
akses pangan penduduk di Kabupaten Gunungkidul ini dapat digunakan sebagai
dasar pengembangan kajian ketahanan pangan di kabupaten-kabupaten lain.
Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan sebagai acuan pengambilan
kebijakan penanganan permasalahan ketahanan di Kabupaten Gunungkidul terkait
dengan penentuan prioritas penanganan daerah reantan terhadap rawan pangan.
8
1.5 Tinjauan Pustaka
1.5.1 Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan merupakan terjemahan dari food security yang
mencakup banyak aspek sehingga setiap orang mencoba menterjemahkan sesuai
dengan tujuan dan ketersediaan data serta diinterpretasikan dengan banyak cara.
Ketahanan pangan sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition
(ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefinisikan bahwa
ketahanan pangan (food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk
memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup
sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam sidang Committee on
World Food Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah
persyaratan “harus diterima oleh budaya setempat” (Rachman dan Ariani, 2002).
Definisi tersebut dipertegas lagi pada Deklarasi Roma tentang Ketahanan Pangan
Dunia dan Rencana Tindak Lanjut Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan
Dunia tahun 1996 menjadi ketahanan pangan adalah situasi dimana semua rumah
tangga pada setiap saat memliki akses (baik fisik maupun ekonomi) untuk
memperoleh pangan yang cukup, aman dan sehat bagi seluruh anggota rumah
tangganya. Definisi tersebut merupakan definisi oleh Food Agriculture
Organization (FAO) yang telah diterima secara luas di tingkat internasional.
Pada World Food Summit (1996), ketahanan pangan didefinisikan sebagai
”Ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara
fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup,
bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan
makanan untuk hidup secara aktif dan sehat”.
Pada Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2009, analisis dan
pemetaan dilakukan berdasarkan pada pemahaman mengenai ketahanan dan
kerentanan pangan dan gizi. Di Indonesia, Undang-undang No. 7 tahun 1996
tentang Pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup,
baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Sebagaimana FIA
2005, FSVA dibuat berdasarkan tiga pilar ketahanan pangan: (i) ketersediaan
9
pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan.
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1996 tersebut kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1) tersedianya
pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman; (3) merata;
dan (4) terjangkau. Dengan pengertian tersebut, mewujudkan ketahanan pangan
dapat lebih dipahami sebagai berikut:
a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan
ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari
tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat,
protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat
bagi pertumbuhan kesehatan manusia.
b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari
kaidah agama.
c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan
yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.
d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan
mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Definisi ketahanan pangan (food security) berbeda dalam tiap konteks,
waktu dan tempat. Sedikitnya ada 200 definisi ketahanan pangan dan sedikitnya
ada 450 indikator ketahanan pangan (Hoddinott 1999). Istilah ketahanan pangan
(food security) sebagai sebuah konsep kebijakan baru pertama kali muncul pada
tahun 1974, yakni ketika dilaksanakannya konferensi pangan dunia (Sage 2002).
Maxwell (1996) mencoba menelusuri perubahan-perubahan definisi tentang
ketahanan pangan sejak konferensi pangan dunia 1974 hingga pertengahan decade
90an; perubahan terjadi pada level global, nasional, skala rumah tangga dan
individu; dari perspektif pangan sebagai kebutuhan dasar (food first perspective)
hingga pada perspektif penghidupan (livelihood perspective) dan dari indikator-
indikator objektif ke persepsi yang subjektif. (Maxwell dan Frankenberger, 1992).
10
Maxwell and Slater (2003) juga turut mengevaluasi definisi ketahanan
pangan sepanjang waktu dan menemukan bahwa wacana (diskursus) mengenai
ketahanan pangan berubah sedemikian cepatnya dari fokus pada ketersediaan-
penyediaan (supply & availability) ke perspektif hak dan akses (entitlements).
Sejak tahun 1980an awal, diskursus global ketahanan pangan didominasikan oleh
hak atas pangan (food entitlements), resiko dan kerentanan (vulnerability). Buku
The Poverty dan Famines-nya Amartya Sen (1981) dianggap sebagai salah satu
pelopor utama perubahan perspektif ketahanan pangan (Maxwell dan Slater,
2003).
Sedikitnya ada empat element ketahanan pangan berkelanjutan (sustainable
food security) di level keluarga yang diusulkan oleh Maxwell (1996), yakni: (i)
kecukupan pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan
untuk kehidupan yang aktif dan sehat. (ii) akses atas pangan, yang didefinisikan
sebagai hak (entitlements) untuk berproduksi, membeli atau menukarkan
(exchange) pangan ataupun menerima sebagai pemberian (transfer). (iii)
ketahanan yang didefinisikan sebagai keseimbangan antara kerentanan, resiko dan
jaminan pengaman sosial. (iv) fungsi waktu manakala ketahanan pangan dapat
bersifat kronis, transisi dan/atau siklus. Definisi secara formal Ketahanan Pangan
sebagai berikut :
1. 1st World Food Conference 1974, UN 1975 : ketahanan pangan adalah
"ketersediaan pangan dunia yang cukup dalam segala waktu untuk
menjaga keberlanjutan konsumsi pangan dan menyeimbangkan fluktuasi
produksi dan harga."
2. FAO 1992 : Ketahanan Pangan adalah "situasi di mana semua orang
dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman
(safe) dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif.
3. World Bank 1996 : Ketahanan pangan adalah: "akses oleh semua orang
pada segala waktu atas pangan yang cukup untuk kehidupan yang sehat
dan aktif”.
4. Oxfam 2001 : Ketahanan pangan adalah kondisi ketika: “setiap orang
dalam segala waktu memiliki akses dan kontrol atas jumlah pangan yang
11
cukup dan kualitas yang baik demi hidup yang aktif dan sehat. Dua
kandungan makna tercantum di sini yakni: ketersediaan dalam artian
kualitas dan kuantitas dan akses (hak atas pangan melalui pembelian,
pertukaran maupun klaim).
5. FIVIMS 2005 : Ketahanan Pangan adalah: kondisi ketika “semua orang
pada segala waktu secara fisik, sosial dan ekonomi memiliki akses pada
pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan kebutuhan
konsumsi (dietary needs) dan pilihan pangan (food preferences) demi
kehidupan yang aktif dan sehat.”
6. Indonesia – UU No.7/1996 : Ketahanan Pangan adalah :”Kondisi di mana
terjadinya kecukupan penyediaan pangan bagi rumah tangga yang diukur
dari ketercukupan pangan dalam hal jumlah dan kualitas dan juga adanya
jaminan atas keamanan (safety), distribusi yang merata dan kemampuan
membeli.
Ketahanan pangan (food security) mulai populer sejak krisis pangan dan
kelaparan pada awal dekade 70-an (Maxwell and Frankerberger, 1997 dalam LIPI,
2007). Dalam kebijakan pangan dunia, istilah ketahanan pangan pertama kali
digunakan oleh PBB pada tahun 1971 untuk membangun komitmen internasional
dalam mengatasi masalah pangan dan kelaparan terutama di kawasan Afrika dan
Asia. Pengertian ketahanan pangan awalnya terfokus pada kondisi pemenuhan
kebutuhan pangan pokok. Konsep swasembada berbeda dengan konsep ketahanan
pangan, meskipun dalam beberapa hal mungkin berkaitan.United Nation (1975)
mendefinisikan ketahanan pangan adalah ketersediaan cukup makanan utama
pada setiap saat dan mengembangkan konsumsi pangan secara konsisten dan
dapat mengimbangi fluktuasi produksi dan harga. World Bank (1994) menyatakan
bahwa ketahanan pangan dapat dicapai hanya jika semua rumah tangga
mempunyai kemampuan untuk membeli pangan. Kemudian pada tahun 1986
World Bank mendefinisikan ketahanan pangan adalah akses terhadap cukup
pangan oleh penduduk agar dapat melakukan aktivitas dan kehidupan yang sehat.
Selanjutnya berdasarkan kesepakatan pada International Food Submit dan
International Conference of Nutrition 1992 (FAO, 1997) pengertian ketahanan
12
pangan diperluas menjadi kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan
setiap orang setiap saat untuk hidup sehat, aktif dan produktif. Pengertian
ketahanan pangan yang terakhir ini mengandung makna yang selaras dengan
paradigma baru kesehatan yaitu Indonesia Sehat 2010. Mengacu pada definisi
ketahanan pangan tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan isu-isu strategis
yang patut mendapat perhatian untuk pencapaian kondisi ketahanan pangan,
yakni:
1. Kapasitas dan kapabilitas produksi pangan untuk memenuhi kebutuhan
seluruh masyarakat dalam jumlah (kuantitas) yang cukup, komposisi gizi
yang seimbang, dan aman (bebas dari cemaran biotik dan/atau bahan
kimia yang berdampak negatif terhadap kesehatan);
2. Aksesibilitas bahan pangan bagi setiap individu baik secara fisik maupun
finansial;
3. Kesesuaian antara jenis pangan yang diproduksi dengan pola konsumsi
pangan masyarakat.
Ketahanan pangan merupakan bagian terpenting dari pemenuhan hak atas
pangan sekaligus merupakan salah satu pilar utama hak azasi manusia. Ketahanan
pangan juga merupakan bagian sangat penting dari ketahanan nasional. Dalam hal
ini hak atas pangan seharusnya mendapat perhatian yang sama besar dengan usaha
menegakkan pilar-pilar hak azasi manusia lain. Oleh sebab itu, usaha
pengembangan ketahanan pangan tidak dapat dipisahkan dari usaha
penanggulangan masalah kemiskinan. Dilain pihak masalah pangan yang
dikaitkan dengan kemiskinan telah pula menjadi perhatian dunia, terutama seperti
yang telah dinyatakan dalam KTT Pangan Dunia, lima tahun Negara Indonesia
memiliki tanggung jawab untuk turut serta secara aktif memberikan kontribusi
terhadap usaha menghapuskan kelaparan di dunia. (Edy, 2005).
Ketahanan pangan tidak hanya mencakup pengertian ketersediaan pangan
yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk mengakses (termasuk membeli)
pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan pada pihak manapun. Dalam
hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam ketahanan pangan: petani
adalah produsen pangan dan petani adalah juga sekaligus kelompok konsumen
13
terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan daya beli yang cukup
untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan untuk memproduksi
pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan pangan mereka sendiri. (Edy, 2005).
Makna yang terkandung dalam pengertian ketahanan pangan tersebut
mencakup dimensi fisik pangan (ketersediaan), dimensi ekonomi (daya beli),
dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi) dan dimensi nilai-nilai
budaya dan religi (pola pangan yang sesuai untuk hidup sehat, aktif dan produktif
serta halal), dimensi keamanan pangan (kesehatan), dan dimensi waktu (tersedia
secara berkesinambungan) (Hardinsyah dan Martianto, 2001). Dengan pengertian
tersebut, mewujudkan ketahanan pangan dapat lebih dipahami sebagai berikut:
a. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan
ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari
tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat,
protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat
bagi pertumbuhan kesehatan manusia.
b. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu,
merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari
kaidah agama.
c. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, diartikan pangan
yang harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.
d. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan
mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau.
Pengembangan ketahanan pangan sampai di tingkat rumah tangga,
mempunyai perspektif pembangunan yang sangat mendasar karena (1) akses
pangan dan gizi seimbang merupakan hak paling asasi bagi manusia; (2) proses
pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh
keberhasilan memenuhi kecukupan pangan; dan (3) ketahanan pangan merupakan
unsur strategis dalam pembangunan ekonomi dan ketahanan nasional. Selain itu
ketahanan pangan dapat ditinjau dari sistem kelembagaan pangan. Dalam hal ini,
14
terwujudnya ketahanan pangan dihasilkan oleh bekerjanya secara sinergis suatu
sistem yang terdiri dari subsistem rumah tangga yang mencakup pengaturan pola
konsumsi, pola pengadaan dan pola cadangan; subsistem lingkungan masyarakat
mencakup pengaturan produksi, distribusi dan pemasaran; dan subsistem
pemerintah mencakup kebijakan, fasilitas dan pengamanan (Suryana, 2003).
Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi seperti terlihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi (World Foot
Programme, 2009).
1.5.1.1 Sistem Ketahanan Pangan
Sistem ketahanan pangan terdiri dari tiga sub sistem utama yaitu: (i)
sub sistem ketersediaan pangan; (ii) Sub sistem akses terhadap pangan, dan (iii)
15
Sub sistem pemanfaatan (penyerapan) pangan, sedangkan status gizi
merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan
penyerapan pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh.
Salah satu subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat
dikatakan mempunyai ketahanan pangan yang baik. Walaupun pangan tersedia
cukup di tingkat nasional dan regional, tetapi jika akses individu untuk
memenuhi kebutuhan pangannya tidak merata, maka ketahanan pangan masih
dikatakan rapuh. Sistem Ketahanan Pangan seperti ditunjukkan pada Gambar
1.2. berikut.
Gambar 1.2 Sistem Ketahanan Pangan (USAID, 1999; Weingartner, 2004 dalam
Nuhfil, 2008)
1.5.1.2 Sub Sistem Ketersediaan Pangan (Food Availability)
Sub sistem ketersediaan pangan (food availability) adalah ketersediaan
pangan dalam jumlah yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam
Ketersediaan Pangan
(Food Availiability)
Akses Pangan
(Food Access)
Penyerapan Pangan
(Food Utilization)
Stabilitas
(Stability)
Status Gizi
(Nutritional Status)
16
suatu negara baik yang berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan
maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ini harus mampu mencukupi
pangan yang didefinisikan sebagai jumlah kalori yang dibutuhkan untuk
kehidupan sehat, aktif dan produktif. Sub Sistem Ketersediaan Ketahanan Pangan
seperti ditunjukkan pada Gambar 1.3 berikut.
Gambar 1.3 Sub Sistem Ketersediaan Ketahanan Pangan (Patrick Webb and
Beatrice dalam Nuhfil, 2008).
1.5.1.3 Sub Sistem Akses terhadap Pangan (Food Access)
Sub sistem akses terhadap pangan (food access), yaitu kemampuan semua
rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang dimilikinya untuk
memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh
dari produksi pangannya sendiri, pembelian ataupun melalui bantuan pangan.
Akses rumah tangga dan individu terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial.
Akses ekonomi tergantung pada pendapatan, kesempatan kerja dan harga. Akses
Produksi
Pasokan pangan
dari luar
Cadangan pangan
Sarana dan prasarana
pemasaran
Bantuan pangan
Jumlah penduduk
Luas panen
Produktivitas
Diversifikasi produk
Irigasi, teknologi,
kredit, sarana
produksi
Iklim, hama,
penyakit, bencana
alam dan lain-lain
Ketersediaan Pangan
per Kapita
17
fisik menyangkut tingkat isolasi daerah (sarana dan prasarana distribusi),
sedangkan akses sosial menyangkut tentang preferensi pangan. Sub Sistem Akses
Terhadap Pangan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.4 berikut.
Gambar 1.4 Sub Sistem Akses Terhadap Pangan (Patrick Webb and Beatrice dalam
Nuhfil, 2008).
1.5.1.4 Sub Sistem Pemanfaatan/Penyerapan Pangan (Food Utilization)
Sub sistem pemanfatan/ penyerapan pangan (food utilization), adalah
penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan kalori,
gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung
pada pengetahuan rumahtangga/individu, sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas
Pendapatan
Kesempatan kerja
Harga pangan
Sarana dan prasarana
perhubungan
Infrastruktur
pedesaan
Preferensi terhadap
jenis pangan dan
pendidikan
Tidak adanya konflik,
perang, bencana dan
lain-lain
AKSES PANGAN
Akses Ekonomi
Akses Fisik
(Isolasi daerah)
Akses Sosial
18
dan layanan kesehatan, serta penyuluhan gizi dan pemeliharaan balita. Sub sistem
Pemanfaatan/penyerapan Pangan seperti terlihat pada Gambar 2.5 berikut.
Gambar 1.5 Sub sistem Pemanfaatan/penyerapan Pangan (Patrick Webb and
Beatrice dalam Nuhfil, 2008).
Sistem ketahanan pangan di Indonesia secara komprehensif meliputi
empat sub-sistem, yaitu: (i) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang
cukup untuk seluruh penduduk, (ii) distribusi pangan yang lancar dan merata, (iii)
konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi seimbang, yang
berdampak pada (iv) status gizi masyarakat . Dengan demikian, sistem ketahanan
pangan dan gizi tidak hanya menyangkut soal produksi, distribusi, dan penyediaan
pangan ditingkat makro (nasional dan regional), tetapi juga menyangkut aspek
mikro, yaitu akses pangan di tingkat rumah tangga dan individu serta status gizi
anggota rumah tangga, terutama anak dan ibu hamil dari rumah tangga miskin.
Meskipun secara konseptual pengertian ketahanan pangan meliputi aspek mikro,
namun dalam pelaksanaan sehari-hari masih sering ditekankan pada aspek makro
PEMANFAATAN
PANGAN
Outcome Nutrisi dan Kesehatan:
1. Harapan hidup
2. Gizi balita
3. Kematian bayi
Pengetahuan Ibu Rumah Tangga:
1. Pola makan
2. Pola asuhan Kesehatan
Sanitasi dan Ketersediaan Air:
1. Kecukupan air
2. Sanitasi
Fasilitas dan Layanan Kesehatan
1. Fasilitas Kesehatan
2. Layanan Kesehatan
Konsumsi
1. Kecukupan Energi
2. Kecukupan Gizi
3. Diversifikasi Pangan
4. Kemanan Pangan
19
yaitu ketersediaan pangan. Sistem Ketahanan Pangan di Indonesia seperti
ditunjukkan pada Gambar 1.6 berikut.
Gambar 1.6 Sistem Ketahanan Pangan di Indonesia (Nuhfil, 2008)
Konsep ketahanan pangan yang sempit meninjau sistem ketahanan pangan
dari aspek masukan yaitu produksi dan penyediaan pangan. Seperti banyak
diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang
melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh
penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan
yang luas bertolak pada tujuan akhir dari ketahanan pangan yaitu tingkat
kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development
Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi
menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai 28 indikator kesejahteraan
masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan.
United Nation Development Programme (UNDP) sebagai lembaga PBB
yang berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua ukuran
kelaparan, yaitu jumlah konsumsi kalori rata-rata anggota rumah tangga di bawah
kebutuhan hidup sehat dan proporsi anak balita yang menderita gizi kurang.
INPUT:
Kebijakan dan Kinerja
Sektor Ekonomi, Sosial
dan Politik :
Ekonomi - Pertanian - Perikanan dan
Kehutanan
Prasarana/Sarana - Lahan/pertanahan - Sumberdaya
air/irigasi
- Perhubungan/transportasi
- Permodalan
Kersa: - Kependudukan - Pendidikan - Kesehatan
Stabilitas dan Keamanan Nasional
OUTPUT:
Pemenuhan Hak Atas Pangan
Sumber Daya Manusia Berkualitas
Ketahanan Nasional
Nasional,
Provinsi
Kabupate
n
Rumah
Tangga
Individu
Kons
umsi
sesua
i
kebut
uhan
Gizi
Pema
nfaat
an
oleh
tubuh
S
t
a
t
u
s
G
I
z
i
Keteredia
an
Distribusi
Konsusmi
Pendapa
tan dan
Akses
Pangan
Pengelol
aan
konsums
i pola
asuh
keluarg
a Sanit
asi
dan
kese
hatan
20
Dalam pendekatan dampak tersebut MDGs memandang bahwa kelaparan adalah
bentuk terburuk dari kemiskinan. Kelaparan menyebabkan masyarakat tidak sehat,
tidak aktif dan tidak produktif sehingga masyarakat miskin akan menjadi semakin
miskin.
1.5.1.5 Indikator Ketahanan Pangan Wilayah
Konsep ketahanan pangan menyangkut aspek yang sangat luas sehingga
indikator/variabel, cara dan data yang digunakan untuk mengukur ketahanan
pangan juga sangat beragam. Soekirman (2000), mengemukakan bahwa untuk
mengukur ketahanan pangan di Indonesia tidak hanya pada tingkat agregatif
nasional dan regional tetapi juga dapat diukur pada tingkat rumah tangga.
Selanjutnya Sawit (1997), menyatakan bahwa penentu utama ketahanan pangan di
tingkat nasional dan wilayah dilihat dari tingkat produksi, permintaan, persediaan
dan perdagangan pangan. Sementara itu penentu utama di tingkat rumah tangga
adalah ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan risiko yang terkait dengan
akses serta ketersediaan pangan. Suryana (2004) mengukur ketahanan pangan
wilayah dilihat dari kemampuan wilayah untuk memproduksi empat jenis pangan
(padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar) dan digunakan peubah jumlah penduduk,
curah hujan serta Pendapatan Domestik Regional Bruto. Sementara itu
pengukuran ketahanan pangan rumah tangga juga dilakukan dengan menggunakan
model regresi linear berganda dengan peubah tidak bebas adalah tingkat konsumsi
energi dan tingkat konsumsi protein.
Ketersediaan beras dan akses penduduk terhadap beras merupakan pilar-
pilar yang menentukan kondisi ketahanan pangan wilayah. Saliem dkk (2002),
mengemukakan ketahanan pangan pada tingkat wilayah dapat bersumber dari
kemampuan produksi pangan pokok (padi), kemampuan ekonomi untuk
menyediakan pangan dan kondisi sosial masyarakat yang membedakan tingkat
kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Kemampuan memproduksi sangat
tergantung pada kondisi wilayah alam setempat seperti topografi, iklim, curah
hujan dan kesuburan tanah. Kemampuan ekonomi rumah tangga dalam
mengakses kebutuhan pangan yang masih kurang ditandai dengan besarnya
21
proporsi kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah. Kondisi
ketahanan pangan juga sangat berkaitan dengan karakteristik sosial seperti jumlah
anggota rumah tangga, tingkat pendidikan, jumlah pengangguran dan lain
sebagainya.
Tim peneliti dari Fakultas Pertanian IPB, mengukur ketahanan pangan
wilayah menggunakan data produksi pangan sumber karbohidrat (padi, jagung,
ubikayu dan ubijalar) suatu wilayah sebagai proksi ketersediaan pangan dan data
kebutuhan konsumsi pangan setara energi dari tahun 1980 – 1989. Sedangkan
pengukuran pada tingkat rumah tangga berdasarkan pada ketersediaan pangan dan
aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Cara lain untuk mengukurnya adalah
melalui perbandingan antara jumlah energi dan protein yang dikonsumsi oleh
semua anggota rumah tangga dengan tingkat kecukupan energi dan protein yang
dibutuhkan oleh anggota rumah tangga tersebut (Rachman dan Ariani, 2002).
Menurut Hardono (2003), kondisi ketahanan pangan wilayah dapat
dicerminkan oleh beberapa indikator antara lain : (1) tingkat kerusakan tanaman,
ternak dan perikanan; (2) penurunan produksi pangan; (3) tingkat ketersediaan
pangan di rumah tangga; (4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran
total; (5) fluktuasi harga-harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah
tangga; (6) perubahan kehidupan sosial (misalnya migrasi, menjual harta milik,
penjaminan); (7) keadaan konsumsi pangan (kebiasaan makan, kuantitas dan
kualitas); dan (8) status gizi. Berdasarkan dengan indikator (7) dan (8) diatas,
ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari konsumsi pangan rumah tangga
dan keadaan gizi masyarakat. Sementara itu penentu utama di tingkat rumah
tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait
dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut.
Soetrisno (1998) mengungkapkan bahwa mengacu pada pengertian
ketahanan pangan sesuai dengan Undang-undang Pangan No. 7 Tahun 1996,
maka indikator yang dapat digunakan adalah angka indeks ketahanan pangan
rumah tangga, angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkatan
wilayah, skor pola pangan harapan untuk tingkat ketersediaan dan konsumsi,
kondisi keamanan pangan, keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat
22
dan tingkat cadangan pangan pemerintah dibandingkan perkiraan kebutuhan.
Berkaitan dengan stok pangan, salah satu indikator penting dalam ketahanan
pangan baik di tingkat nasional maupun rumah tangga adalah kemampuan untuk
melakukan stok pangan.
Rachman dan Ariani (2002), menyatakan ketahanan pangan di tingkat
wilayah mencakup dua aspek penting yaitu : (1) ketersediaan pangan seimbang
dengan jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, dan (2)
akses penduduk terhadap pangan merata dan tersebar luas pada tingkat harga yang
terjangkau oleh masyarakat. Kemudian pada tingkat rumah tangga, ketahanan
pangan meliputi kemampuan rumah tangga tersebut untuk mengamankan pangan
serta kecukupan gizi anggota rumah tangga.
Suatu rumah tangga dianggap memiliki ketahanan pangan baik jika, rumah
tangga tersebut mempunyai ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup dan
stabil tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun, dengan mutu
yang layak dan aman dikonsumsi atau mempunyai kemampuan ekonomi untuk
membeli kebutuhan pangannya yang berkualitas dan aman dalam jangka waktu
tertentu. Dengan kata lain kunci dari karakteristik ketahanan pangan dalam suatu
rumah tangga adalah terjaminnya akses pemenuhan kebutuhan pangan sepanjang
waktu. Ketahanan pangan rumah tangga selalu terkait dengan tiga aspek, yaitu :
(1) kecukupan pangan dalam arti dapat memenuhi kalori yang dibutuhkan untuk
hidup yang sehat, (2) akses terhadap pangan sepanjang waktu, dan (3) keamanan
yang mengandung arti aman untuk pemenuhan kebutuhan makanan yang cukup
sepanjang waktu (PPK-LIPI, 2004).
Menurut Adjid (1994), ketahanan pangan sangat terkait dengan
swasembada pangan yang dinamik, karena mencakup dua aspek penting, yaitu :
(1) ketersediaan pangan seimbang dengan jumlah yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan penduduk, pakan dan bahan industri, dan (2) akses
penduduk terhadap pangan merata dan tersebar luas pada tingkat harga yang
terjangkau oleh masyarakat. Tersedianya pangan, lapangan pekerjaan, pendapatan
dan infrastruktur merupakan determinan utama yang menentukan apakah suatu
rumah tangga memiliki ketahanan pangan, artinya dapat memenuhi kebutuhan
23
gizi bagi setiap keluarganya atau tidak. Cukup tidaknya persediaan pangan di
pasar sangat berpengaruh pada harga pangan. Bagi keluarga yang tidak bekerja
dan tidak berpenghasilan ataupun berpenghasilan tidak cukup, kenaikan harga
pangan terutama beras dapat mengancam kebutuhan gizinya, berarti ketahanan
pangan keluarganya juga terancam. Sebaliknya dapat pula terjadi, persediaan
cukup, harga stabil tapi banyak penduduk tidak memiliki pekerjaan sehingga tidak
mempunyai sumber pendapatan, berarti tidak mempunyai daya beli, juga
menyebabkan ketersediaan pangan tidak efektif. Hal lain adalah terbatasnya
aksesibilitas terhadap pangan karena infrastruktur yang tidak memadai, seperti
jaringan transportasi yang menghambat bergeraknya pangan dari pusat-pusat
ekonomi ke daerah-daerah yang jauh.
1.5.2 Peta Ketahanan dan kerentanan Pangan (Food Security and
Vulnerability Atlas atau FSVA)
Peta ketahanan dan kerentanan pangan merupakan suatu instrument untuk
memotret situasi pangan di suatu wilayah. Peta ketahanan dan kerentanan pangan
disusun berdasarkan beberapa indikator yang sudah ditetapkan oleh World Food
programme.
Indikator-indikator tersebut dikelompokan kedalam 3 (dimensi) (i)
ketersediaan pangan (food availability), (ii) akses pangan dan matapencaharian
(food and livelihoods acsess), (iii) kerawanan pangan sementara (transient food
insecurity). Tujuan pembuatan peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA)
adalah: (i) menyoroti kondisi ketahanan dan kerentanan terhadap pangan pangan
tingkat kabupaten di Indonesia berdasarkan indikator terpilih, (ii) mengidentifikasi
penyebab kondisi ketahanan dan kerentanan pangan di kabupaten, dan (iii)
menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk
kerentanan pangan kronis.
Kegiatan pemetaan dalam ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA)
menggunakan 13 (tiga belas) indikator, terbagi ke dalam dua klasifikasi, yaitu
indikator kronis dan transien. Pemetaan di tingkat nasional hanya menggunakan
10 indikator yang meliputi aspek ketersediaan, aspek akses pangan dan mata
pencaharian dan aspek pemanfaatan pangan. Sedangkan untuk tingkat provinsi
24
menggunakan ke 13 indikator tersebut dimana terdiri dari 9 indikator untuk
pemetaan pada wilayah ketahanan dan kerentanan pangan kronis dan 4 indikator
(aspek kerentanan) untuk pemetaan rawan pangan transien.
Peta ketahanan dan kerentanan pangan komposit dibuat dengan menghitung
indeks komposit ketahanan dan kerentanan pangan dengan cara menggabung
seluruh indikator dan memberikan bobot pada indikator dengan menggunakan
metode Principal Component Analysis. Peta komposit menunjukkan kondisi
ketahanan dan kerentanan pangan berdasarkan gabungan berbagai dimensi
ketahanan dan kerentanan pangan. Penyebab-penyebab kondisi ketahanan dan
kerentanan pangan di daerah dapat diketahui dengan mempelajari kondisi per
indikator.
1.5.2.1 Dimensi Ketersediaan Pangan
Aspek ini melihat kemampuan suatu daerah untuk menghasilkan pangannya
sendiri. Potensi sumberdaya yang dimiliki setiap daerah berbeda-beda. Ada yang
menjadi sentra tanaman pangan sementara daerah yang lain menjadi sentra
tanaman hortikultura, perkebunan dan lain-lain. Perbedaan potensi produksi
pertanian ini tentunya sangat terkait dengan kondisi iklim dan cuaca serta kondisi
tanah yang sangat spesifik pada masing-masing daerah.
Aspek ketersediaan pangan diukur dari rasio antara konsumsi pangan
normatif dengan ketersediaan pangan yang dihasilkan suatu daerah. Konsumsi
pangan normatif di peroleh dengan mengasumsikan konsumsi per kapita per hari
adalah 1.100 kalori per orang per hari. Rasio antara konsumsi pangan normatif
dengan ketersediaan ini sekaligus merupakan ukuran yang menunjukkan proporsi
dari ketersediaan yang digunakan untuk konsumsi.
1.5.2.2 Dimensi Akses Pangan dan Mata Pencaharian
Suatu kegiatan ekonomi yang tinggi cenderung akan diikuti oleh peluang
kerja yang tinggi pula, ini berarti pula bahwa kesempatan kerja dan peluang untuk
25
mendapatkan pendapatan yang lebih baik. Dengan pendapatan yang lebih baik
maka akan terdapat daya beli yang lebih baik.
Akses pangan ditunjukan dengan kelompok masyarakat yang masih
mengalami kesulitan dalam meperoleh makanan atau kelompok masyarakat
dengan daya beli rendah. Dimensi akses pangan dan mata perncaharian ini sangat
erat dengan kemiskinan dan kemiskinan merupakan indikator kunci dalam
penentuan kondisi ketahanan pangan. Jenis pekerjaan atau mata pencaharian
berdampak pada tingkat pendapatan masyarakat. Selanjutnya tingkat pendapatan
akan memepengaruhi kemampuan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan dasar
termasuk kebutuhan memperoleh pangan.
1.5.2.3 Dimensi Pemanfaatan atau Penyerapan Pangan
Pemanfaatan atau penyerapan pangan sebenarnya adalah indikator dampak
dari ketersediaan maupun akses pangan. Akses pangan dan ketersediaan yang baik
akan memberikan peluang bagi penyerapan pangan secara lebih baik. Dalam
menyusun indikator ini maka asepk-aspek yang menjadi pertimbangan adalah
berkenaan dengan: (i) falilitas dan layanan kesehatan; (ii) sanitasi dan
ketersediaan air; (iii) pengetahuan ibu RT; dan (iv) outcome nutrisi dan kesehatan.
Aspek-aspek di atas sangat strategis dalam memberikan gambaran
pemanfaatan pangan suatu wilayah. Pemanfaatan pangan secara implisit adalah
merupakan permasalahan asupan gizi di masyarakat. Buta Huruf dijadikan
indikator penting karena dengan kondisi seperti tersebut maka sangat lemah sekali
menangkap informasi untuk meningkatkan kualitas gizi keluarga. Demikian juga
berkenaan dengan kemudahan dalam mengakses fasilitas kesehatan. Akses
fasilitas kesehatan dilihat dari keberadaan dan jarak fasilitas kesehatan dari
masing-masing wilayah.
Air bersih adalah indikator ketiga yang menggambarkan tingkat
pemanfaatan pangannya. Variabel ini dipilih karena air merupakan bahan baku
yang sangat vital bagi ibu-ibu rumah tangga dalam memasak. Tingginya akses air
bersih tentunya menunjukkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik dan lebih
sehat, hal ini tentunya akan berimplikasi pada makin tingginya harapan hidup
rata-rata penduduk.
26
1.5.3 Padi dan Beras
Padi merupakan jenis tumbuhan dengan nama yang berubah-ubah pada
setiap tahap prosenya. Kandungan banyak air terdapat pada tumbuhan yang hidup
di tanah dan mempunyai bentuk daun yang memanjang tersebut. Nama padi
digunakan ketika tumbuhan ini masih dalam proses tanam hingga mulai tumbuh
bulir-bulir biji pada tumbuhan ini kemudian ketika proses bulir-bulir mulai
terlepas dari tangkainya nama yang dipakai bukan lagi padi melainkan gabah.
Selanjutnya dinamakan beras ketika kulit ari dipisahkan dari bijinya..
Asia dan Afrika barat merupakan dua benua yang menjadi cikal bakal
komoditas padi. Sekitar 300 (tiga ratus) tahun sebelum masehi di Zhejiang (Cina)
tanaman padi mulai dikembangkan dalam bercocok tanam pada penggarapan
lahan pertanian dan di Hastinapur Uttar Padesh (India) ditemukan ditemukan fosil
dari butir-butir beras yang diperkirakan sebagai persediaan bahan makanan
manusia pada 100 (seratus) sebelum masehi. Hal ini membuktikan bahwa padi
merupakan bahan makanan yang telah dikonsumsi sejak masa lampau sebagai
bahan makanan penghasil kalori atau energi. Selain di Cina dan India hal serupa
juga ditemukan di Banglades Utara, Burma, Thailand, Laos dan Vietnam.
1.5.3.1 Ciri Umum Padi
Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim Graminae
atau lumiflorae). Sejumlah ciri suku (familia) ini juga menjadi ciri padi, misalnya
berakar serabut, daun berbentuk lanset (sempit memanjang), urat daun sejajar,
memiliki pelepah daun, bunga tersusun sebagai bunga majemuk dengan satuan
bunga berupa loret, floret tersusun dalam spikelet, khusus untuk padi satu spikelet
hanya memiliki satu floret, buah dan biji sulit dibedakan karena merupakan bulir
(grain) atau kariopsis.
Padi tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian
dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara cukup hangat. Padi menyukai tanah
yang lembab dan becek. Sejumlah ahli menduga, padi merupakan hasil evolusi
dari tanaman moyang yang hidup di rawa. Pendapat ini berdasar pada adanya tipe
padi yang hidup di rawa-rawa (dapat ditemukan di sejumlah tempat di Pulau
Kalimantan), kebutuhan padi yang tinggi akan air pada sebagian tahap
27
kehidupannya, dan adanya pembuluh khusus di bagian akar padi yang berfungsi
mengalirkan oksigen ke bagian akar.
Setiap bunga padi memiliki enam kepala sari (anther) dan kepala putik
(stigma) bercabang dua berbentuk sikat botol. Kedua organ seksual ini umumnya
siap reproduksi dalam waktu yang bersamaan. Kepala sari kadang-kadang keluar
dari palea dan lemma jika telah masak. Dari segi reproduksi, padi merupakan
tanaman berpenyerbukan sendiri, karena 95% atau lebih serbuk sari membuahi sel
telur tanaman yang sama. Setelah pembuahan terjadi, zigot dan inti polar yang
telah dibuahi segera membelah diri. Zigot berkembang membentuk embrio dan
inti polar menjadi endospermia. Pada akhir perkembangan, sebagian besar bulir
padi mengadung pati di bagian endospermia. Bagi tanaman muda, pati berfungsi
sebagai cadangan makanan. Bagi manusia, pati dimanfaatkan sebagai sumber gizi.
Satu set genom padi terdiri dari 12 kromosom. Karena padi adalah tanaman
diploid, maka setiap sel padi memiliki 12 pasang kromosom (kecuali sel seksual).
Padi merupakan organisme model dalam kajian genetika tumbuhan karena dua
alasan yaitu kepentingannya bagi umat manusia dan ukuran kromosom yang
relatif kecil, yaitu 1.6~2.3 × 108 pasangan basa (base pairs atau bp). Sebagai
tanaman model, genom padi telah disekuensing, seperti juga genom manusia.
1.5.3.2 Keanekaragaman Padi
Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan selama ini yaitu Oryza
sativa yang berasal dari daerah hulu sungai di kaki Pegunungan Himalaya (India
dan Tibet/Tiongkok) dan Oryza glaberrima yang berasal dari Afrika Barat (hulu
Sungai Niger). Oryza Sativa terdiri dari dua varietas, indica dan japonica
(sinonim sinica). Varietas japonica umumnya berumur panjang, postur tinggi
namun mudah rebah, palea-nya memiliki “bulu” (awn), bijinya cenderung
panjang. Varietas indica, sebaliknya, berumur lebih pendek, postur lebih kecil,
palea-nya tidak ber-”bulu” atau hanya pendek saja, dan biji cenderung oval.
Walaupun kedua varietas dapat saling membuahi, persentase keberhasilannya
tidak tinggi. Contoh terkenal dari hasil persilangan ini adalah kultivar IR8, yang
merupakan hasil seleksi dari persilangan varietas japonica (kultivar
28
„Deegeowoogen‟ dari Formosa dan varietas indica (kultivar „Peta‟ dari
Indonesia). Selain kedua varietas ini, dikenal pula sekelompok padi yang
tergolong varietas minor javanica yang memiliki sifat antara dari kedua varietas
utama di atas. Varietas javanica hanya ditemukan di Pulau Jawa. Budidaya padi
yang telah berlangsung lama telah menghasilkan berbagai macam jenis padi
akibat seleksi dan pemuliaan yang dilakukan.
1. Padi pera adalah padi dengan kadar amilosa pada pati lebih dari 20%
pada berasnya. Butiran nasinya jika ditanak tidak saling melekat. Lawan
dari padi pera adalah padi pulen. Sebagian besar orang Indonesia
menyukai nasi jenis ini dan berbagai jenis beras yang dijual di pasar
Indonesia tergolong padi pulen. Penggolongan ini terutama dilihat dari
konsistensi nasinya.
2. Ketan (sticky rice), baik yang putih maupun merah/hitam, sudah dikenal
sejak dulu. Padi ketan memiliki kadar amilosa di bawah 1% pada pati
berasnya. Patinya didominasi oleh amilopektin, sehingga jika ditanak
sangat lekat.
3. Padi wangi atau harum (aromatic rice) dikembangkan orang di beberapa
tempat di Asia, yang terkenal adalah ras „Cianjur Pandanwangi‟ (sekarang
telah menjadi kultivar unggul) dan „rajalele‟. Kedua kultivar ini adalah
varietas javanica yang berumur panjang.
4. Padi Gogo, Di beberapa daerah tadah hujan orang mengembangkan padi
gogo, suatu tipe padi lahan kering yang relatif toleran tanpa penggenangan
seperti di sawah.
5. Padi rawa atau padi pasang surut dikembangkan oleh masyarakat yang
tinggal di rawa-rawa Kalimantan. Padi rawa mampu membentuk batang
yang panjang sehingga dapat mengikuti ayunan kedalaman air.
1.5.3.3 Pengolahan Gabah Menjadi Beras
Setelah padi dipanen, bulir padi atau gabah dipisahkan dari jerami padi.
Pemisahan dilakukan dengan memukulkan seikat padi sehingga gabah terlepas
atau dengan bantuan mesin pemisah gabah. Gabah yang terlepas lalu dikumpulkan
dan dijemur. Pada zaman dulu, gabah tidak dipisahkan lebih dulu dari jerami, dan
29
dijemur bersama dengan merangnya. Penjemuran biasanya memakan waktu tiga
sampai tujuh hari, tergantung kecerahan penyinaran matahari. Penggunaan mesin
pengering jarang dilakukan. Istilah “Gabah Kering Giling” (GKG) mengacu pada
gabah yang telah dikeringkan dan siap untuk digiling (plantus, 2008).
Gabah yang telah kering disimpan atau langsung ditumbuk/digiling, sehingga
bulir beras terpisah dari sekam (kulit gabah). Beras merupakan bentuk olahan
yang dijual pada tingkat konsumen. Hasil sampingan yang diperoleh dari
pemisahan ini adalah:
1. Sekam (atau merang), yang dapat digunakan sebagai bahan bakar
2. Bekatul, yakni serbuk kulit ari beras; digunakan sebagai bahan makanan
ternak
3. Dedak, campuran bekatul kasar dengan serpihan sekam yang kecil-kecil;
untuk makanan ternak.
1.5.3.4 Kandungan Gizi Dalam Beras
Kandungan gizi dalam beras tergantung pada jenis dan pengolahan beras.
Beras yang telah diolah menjadi nasi mengalami pertambahan berat sebesar 50%.
Di Indonesia beras yang diolah menjadi nasi merupakan sumber kalori dan protein
yang selanjutnya mejadi pemasok energi bagi tubuh untuk sehat, aktif dan
produktif. Lebih rinci tentang komposisi gizi yang terkandung dalam nasi dapat
dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1 Informasi Gizi Nasi Per 100 gram
No. Informasi Gizi Per 100 gram
1. Kalori 129 kkal
2. Lemak 0,28 g
3. Protein 2,66 g
4. Karbohidrat 27,9 g
Sumber: FatSecret.com, 2013
30
1.5.4 Kemiskinan
Kemiskinan adalah permasalahan multidimensional. Pendekatan dengan
satu bidang ilmu tertentu tidaklah mencukupi untuk mengurai makna dan
fenomena yang menyertainya. Definisi secara umum yang lazim dipakai dalam
perhitungan dan kajian-kajian akademik adalah pengertian kemiskinan yang
diperkenalkan oleh Bank Dunia yaitu sebagai ketidakmampuan mencapai standar
hidup minimum (Word Bank, 1990).
Friedman mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan
untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial. Basis kekuatan sosial tidak
terbatas hanya pada (1) modal produktif atau aset (misalnya organisasi sosial
politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, partai politik,
sindikasi, koperasi dan lain-lain), tetapi juga pada (2) network atau jaringan
sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang dan lain-lain; (3) pengetahuan
dan ketrampilan yang memadai; dan (4) informasi yang berguna untuk
memajukan kehidupan mereka. Scott menerangkan bahwa kemiskinan setidaknya
memiliki kondisi-kondisi yang pada umumnya dide kati (1) dari segi pendapatan
dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntungan non material yang
diterima oleh seseorang sehingga secara luas kemiskinan meliputi kekurangan
atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk atau kekurangan
transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat; (2) ka dang-kadang didefinisikan
dari segi kepemilikan aset yakni tanah, rumah, peralatan, uang, emas, kredit dan
lain-lain; (3) kemiskinan non-materi meliputi berbagai macam kebebasan, hak
untuk memperoleh pekerjaan yang layak, hak atas rumah tangga dan kehidupan
yang layak. (Usman, 2006).
United Nations Development Program (UNDP) mendefinisikan
kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan dalam
hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian “tidak adanya partisipasi dalam
pengambilan keputusan publik”sebagai salah satu indikator kemiskinan. pada
penghujung abad 20 muncul pengertian terbaru mengenai kemiskinan yaitu bahwa
kemiskinan juga mencakup dimensi kerentanan, ketidakberdayaan, dan
31
ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi (voicelessness). Jadi kemiskinan
berwajah majemuk atau bersifat multi dimensi (Cahyat, 2004).
Jhingan (2000) mengemukakan tiga ciri utama negara berkembang yang
menurutnya menjadi penyebab dan sekaligus akibat, yang saling terkait, dari
kemiskinan yang terjadi. Ciri pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang
tidak memadai sehingga menyebabkan ti ngginya jumlah penduduk buta huruf
dan tidak memiliki keterampilan atau keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan
pola konsumsi buruk sehingga hanya sebagian kecil penduduk yang bisa menjadi
tenaga kerja produktif. Akibatnya, laju pertumbuhan ekonomi menjadi terhambat.
Apabila kemiskinan dikaitkan dengan ukuran penentuannya seringkali
dibedakan dalam dua definisi yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.
Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk
mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan,
perumahan dan pendidikan yang diperl ukan untuk hidup dan bekerja. Kebutuhan
pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang.
Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis
kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya dibawah garis kemiskinan
digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut (tidak be rubah)
dalam hal standar hidup, garis kemiskinan absolut mampu membandingkan
kemiskinan secara umum. Sebagai contoh garis kemiskinan Amerika Serikat tidak
berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkin
terbanding dengan angka kemiskinan satu dekade yang lalu, dengan catatan
definisi kemiskinan tidak berubah. Garis kemiskinan absolut sangat penting jika
seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti pemiskinan antar waktu,
atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya,
pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan terbanding antara satu
negara dengan negara yang lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama
digunakan antar negara.
Bank dunia mengeluarkan garis kemiskinan absolut agar dapat
membandingkan angka kemiskinan antar negara serta digunakan dalam
menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Pada umumnya ada dua
32
ukuran yang digunakan oleh Bank Dunia, yaitu : a) US $ perkapita per hari
dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah
ukuran tersebut; b) US $ 2 perkapita per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk
yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US $
PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua
batas ini adalah garis kemiskinan absolut.
Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat,
sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum
disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian
terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen
lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut
pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin.
Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi
pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini
berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”.
Dalam prakteknya, negara kaya mempunyai garis kemiskinan relatif yang
lebih tinggi daripada negara miskin seperti pernah dilaporkan oleh Ravallion
(1998 : p26). Dalam paper tersebut Ravallion menjelaskan mengapa, misalnya,
angka kemiskinan resmi (official figure) pada awal tahun 1990-an mendekati 15
persen di Amerika Serikat dan mendekati 15 persen di Indonesia (negara yang
jauh lebih miskin). Artinya, banyak dari mereka yang dikategorikan miskin di
Amerika Serikat akan dikatakan sejahtera menurut standar Indonesia.
Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara tersebut cenderung
merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi, dengan kekecualian Amerika
Serikat, dimana garis kemiskinan pada dasarnya tidak berubah selama hampir
empat dekade. Misalnya Uni Eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin
adalah mereka yang mempunyai pendapatan per kapita dibawah 50 persen dari
median (rata-rata) pendapatan. Ketika median atau rata-rata pendapatan
meningkat, garis kemiskinan relatif juga meningkat. Dalam hal mengidentifikasi
dan menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup
33
untuk digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara
secara keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk
membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak
mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama.
Konsep lain yang pernah dikemukakan sebagai wacana adalah kemiskinan
struktural dan kemiskinan kultural. Soetandyo Wignjosoebroto dalam
”Kemiskinan Struktural : Masalah dan Kebijakan” (Suyanto, 1995)
mendefinisikan ”Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang ditengarai atau
didalihkan bersebab dari standar atau kriteria yang subjektif karena dipengaruhi
oleh adat, budaya, daerah, dan kelom pok sosial”. Disamping itu kesulitan
penentuan secara kuantitatif dari ma sing-masing komponen kebutuhan dasar
karena dipengaruhi sifat yang dimiliki oleh komponen itu sendiri,misalnya selera
konsumen terhadap suatu jenis makanan atau komoditi lainnya.
Dari segi faktor penyebabnya, kemiskinan dapat dibedakan menjadi
kemiskinan kultural, kemiskinan sumber daya ekonomi, dan kemiskinan
struktural. Menurut Surbakti, kemiskinan kultural bukanlah bawaan melainkan
akibat dari tidak kemampuan menghadapi kemiskinan yang berkepanjangan.
Kemiskinan bukanlah sebab melainkan akibat. Sikap-sikap seperti ini diabadikan
melalui proses sosialisasi dari generasi ke generasi. Kemiskinan sumber daya
ekonomi melihat fenomena kemiskinan dari sisi ketiadaan atau kelangkaan
sumber daya ekonomi baik faktor-faktor produksi yang berupa modal, tanah,
sumber daya manusia dalam hal ini tingkat dan kualitas pendidikan maupun
kondisi geografis yang terkait dengan tempat tinggal suatu masyarakat.
Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh faktor
struktur ekonomi dan politik yang melingkupi si miskin. Struktur ekonomi dan
politik yang kurang berpihak pada sekelompok masyarakat tertentu sehingga
menimbulkan hambatan-hambatan dalam akses sumber daya ekonomi, lapangan
pekerjaan dan partisipasi dalam pembangunan.
Usman (2006) menyatakan bahwa teori yang menarik dan sering dijadikan
acuan dalam membahas permasalahan kemiskinan serta sekaligus menunjukkan
bahwa permasalahan kemiskinan bersifat mutidimensi adalah teori lingkaran
34
kemiskinan. Salah satu pencetus teori ini, Myrdal, pada tahun 1957 menjelaskan
bahwa setiap individu dan masyarakat memiliki keterkaitan antara satu dengan
yang lain dalam menciptakan suatu problem yang muncul di dalam masyarakat.
Teori ini kemudian dikembangkan lagi oleh para pengamat permasalahan
kemiskinan, diantaranya adalah Jona than Secher. Ia menjelaskan bahwa
pendidikan dan ketenagakerjaaan di masyarakat berinteraksi dalam bentuk sebuah
lingkaran yang saling terkait satu sama lain. Masyarakat yang tidak memiliki
akses untuk berkembang dengan baik akan terdorong untuk bermigrasi ke tempat
lain dan meninggalkan usahanya di tempat asal. Akibatnya, terjadi penurunan
produktivitas dan penerimaan pajak di daerah tersebut. Penurunan penerimaan
pajak akan berdampak pada pengurangan anggaran pembangunan di daerah itu
termasuk belanja pembangunan untuk pendidikan. Penurunan kualitas pendidikan
dan kualitas tenaga kerja pada akhirnya tidak dapat dihindari. Dengan tenaga kerja
berkualitas rendah, industri tidak dapat mengadopsi teknologi yang lebih baik dan
tidak mampu mengembangkan usahanya sehingga berakibat pada berkurangnya
penyerapan tenaga kerja dan meningkatnya pengangguran.
1.5.5 Pendekatan Keruangan
Pendekatan keruangan menurut Hadi Sabari Yunus tidak lain merupakan
suatu metoda analisis yang menekankan analisisnya pada eksistensi ruang (space)
sebagai wadah untuk mengakomodasi kegiatan menusia dalam menjelaskan
fenomena geosfer. Oleh karena obyek studi geografi berupa geospheric
phenomena maka segala sesuatu yang terkait dengan obyek dalam ruang dapat
disoroti dari berbagai matra antara lain:
1. Pola (pattern);
2. Struktur (structure);
3. Proses (process);
4. Interaksi (interaction);
5. Oraganisasi dalam system keruangan (organization within the spatial
system);
6. Asosiasi (association);
35
7. Tendensi atau kecenderungan (tendency or trends);
8. Pembandingan (comparation)
9. Sinegisme keruangan (spatial synergism);
Dari kesembilan matra tersebut dapat dirumuskan minimal terdapat Sembilan
tema analisis dalam pendekatan keruangan, yaitu:
1. Spatial pattern analysis;
2. Spatial structure analysis;
3. Spatial process analysis;
4. Spatial inter-action analysis;
5. Spatial association analysis;
6. Spatial organization analysis;
7. Spatial tendency / trends analysis
8. Spatial comparation analysis;
9. Spatial synergism analysis.
Menurut Hadi Sabari Yunus tahun 2008, Dalam mengaplikasikan
pendekatan keruangan, seoarang peneliti tidak cukup hanya menyebutnya saja
namun secara ekplisit dan jelas menyebutkan tema apa yang akan dianut serta
penjelasan mengenahi operasional pendekatanya. Aplikasi analisis pendekatan
keruangan, minimal meliputi sembilan macam dan apabila ke sembilan macam
tema analisis tersebut harus dilaksanakan maka akan menghabiskan waktu yang
lama, tenaga yang banyak, biaya yang besar, pengusaan teknik analisis yang
mendalam serta kemantapan keilmuan yang memadai. Masing-masing tema
analisis mempunyai spesifikasi sendiri yang terkait dengan spesifikasi obyek
kajian yang akan dilaksanakan. Salah satu gabungan dari beberapa diantaranya
sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan tanpa mengurangi kedar keilmuanya.
Oleh karena inderawi manusia sangat terbatas kemampuanya untuk
mengamati kenampakan geografis di suatu wilayah atau dipermukaan bumi, maka
untuk maksud analisis keruangan seorang peneliti memerlukan alat bantu. Di
sinilah peranan model visualisasi permukaan bumi diperlukan kehadiranya.
Ketersediaan peta, foto udara maupun citra satelit sangat diperlukan dalam
analisis. Namun demikian, gambaran yang ditampilkan dalam peta, foto udara
36
ataupun citra satelit ternyata masih sangat rumit dan kompleks sifatnya. Sehingga
penliti dituntut untuk mampu mengabtraksikannya kedalam visualisasi yang
manageable. Simbol-simbol yang lebih sederhana sangat diperlukan dalam hal ini,
sehingga analisis dapat dilaksanakan dengan lebih mudah. Simbol-simbol yang
secra jonvesional dan masih dipakai samapi saat ini berujud simbol-simbol titik
garis maupun bidang. Visualisasi dari salah satu atau gabungan dari padanya
sangat tergantung dari sifat data dan tujuan analisis.
Secara rinci Hadi Sabari Yunus menjabarkan definisi dari masing-masing
tema analisis dalam pendekatan keruangan. Spatial pattern analysis: penekanan
utama dari analisis ini adalah pada “sebaran” elemen-elemen pembentuk ruang.
Taraf awal adalah identifikasi mengenai aglomerasi sebaran dan kemudian
dikaitkan dengan upaya untuk menjawab geographic questions. Seperti telah
diketahui bahwa geographic questions yang dimaksud adalah pertanyaan What,
Where, When, Why, Who dan How atau terkenal dengan 5 W dan 1 H. Spatial
structure Analysis menekankan pada analisis susunan elemen-elemen pembentuk
ruang. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa struktur elemen-elemen keruangan
dapat dikemukakan dari berbagai fenomena baik fenomena fisikal maupun non
fisikal. Spatial process Analisis menekankan pada proses keruangan yang
biasanya divisualisasikan pada perubahan ruang. Perubahan elemen-elemen
pembentuk ruang dapat dikemukakan secara kualitatif maupun kuantitatif. Setiap
analisis perubahan keruangan tidak dapat dilaksanakan tanpa mengmukakan
dimensi kewaktuannya, maka dimensi temporal mempunyai peranan utama dalam
hal ini. Minimal dua titik untuk mengenali perubahan.
Selanjutnya, Spatial interaction Analysis menekankan pada interaksi antar
ruang. Hubungan timbal balik antar ruang yang satu dengan yang lain mempunyai
variasi yang sangat besar, sehingga upaya mengnali factor-faktor pengontrol
interaksi menjadi sedemikian penting.tahap selanjutnya dalah menjawab
pertanyaan mengapa terjadi interaksi dan bagaimana interaksi terjadi. Spatial
organization Analysis bertujuan untuk mengetahui elemen-elemen lingkungan
mana yang berpengaruh terhadap terciptanya tatanan spesifik dari elemen-elemen
pembentuk ruang. Penekanan utama pada keterkaitan antara penampakan yang
37
satu dengan yang lain secra individual. Spatial Association Analysis bertujuan
untuk mengungkapkan terjadinya asosiasi keruangan atara berbagai penampakan
pada suatu ruang. Apakah ada keterkaitan fungsional atas sebaran keruangan atau
gejala tertentu dengan sebaran keruangan gejala yang lain adalah pertanyaan yang
dipecahkan dengan model analisis ini.
Spatial Tendency/trend analysis adalah suatu analisis yang menekankan
pada upaya mengetahui kecenderungan perubahan suatu gejala. Hal ini dapat
dilakukan berdasar pada space based analysis, time based analysis maupun
gabungan anatara space based dan time based analysis. Spatial Coparation
Analysis merupakan suatu analisis yang bertujuan untuk mengetahui kelemahan
dan keunggulan suatu ruang dibandingkan dengan ruang yang lain. Hal ini sangat
penting dilakukan dalam studi banding yang mendalam mengenai suatu wilayah
dalam rangka mempelajari kelebihan-kelebiahan wilayah lain untuk digunakan
sebagai dasar penetuan kebijakan pengembangan wilayah, sehingga wilayahnya
dapat mengalami kemajuan yang besar. Spatial Synergism Analisis merupakan
perkembangan baru yang saat ini menjadi sorotan ilmu pengetahuan, karena
sangat terkait dengan erat dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi,
khusus dibidang transportasi dan komunikasi. Makin majunya system transportasi
dan komunikasi telah memungkinkan terjadinya mobilitas barang, jasa, informasi
dan manusia semakin tinggi, sehingga dinamika keruangan juga semakin tinggi.
Spatial synergism hanya akan berfungsi efisien dan efektif apabila disertai dengan
konsep fungtional synergism (Hadi Sabari Yunus, 2008).
1.6 Kerangka Pemikiran
Ketahanan dan kerentanan pangan merupakan hasil dari bentuk interaksi
antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya atau disebut dengan
fenomena geosfer. Bentuk interaksi tersebut berupa kegiatan manusia mengolah
lahan sebagai sumberdaya untuk memproduksi bahan makanan sehingga kodisi
geografis lahan menetukan kemapuan lahan untuk mempruduksi bahan makanan
khususnya beras. Selanjutnya, hal tersebut akan menjadi penentu ketersediaan
beras untuk mencukupi kebutuhan kalori penduduk.
38
Upaya penduduk untuk bertahan hidup dan berkembang biak
berdampingan dengan kebutuhan-kebutuhan dasar termasuk kebutuhan pangan.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut penduduk melakukan aktifitas-
aktifitas perekonomian. Aktivitas perekonomian penduduk sangat beragam
sehingga hasil dari aktivitas tersebut juga akan beragam pula. Bentuk-bentuk dari
aktifitas penduduk dicerminkan oleh jenis pekerjaan dan status pekerjaan yang
dipilih oleh penduduk. Secara umum pemilihan terhadap jenis-jenis pekerjaan dan
status pekerjaan dilatarbelakangi oleh kualitas sumberdaya manusia yang di
tunjukan oleh tingkat pendidikannya. Selanjutnya, dari kesuluruhan aktifitas
penduduk akan menentukan kemampuan penduduk dalam mengakses bahan
makanan berupa beras.
Gabungan antara aspek ketersediaan beras ditambah dengan kemampuan
megakses pangan oleh penduduk merupakan aspek-aspek penentu kodisi
ketahahan pangan suatu wilayah. Dalam penelitian ini wilayah yang dipilih
adalah kabupaten Gunungkidul. Penentuan kondisi ketahahan dan kerentanan
pangan yang berdasar pada dimensi-dimensi tersebut dikenal dengan peta
ketahahan dan kerentanan pangan atau FSVA.
Peta ketahahan pangan merupakan terobosan yang mengacu pada bentuk
visual penyajian kondisi ketahahan dan kerentanan pangan berupa sebuah peta.
Dalam penyajian petanya digunakan pola warna yang seragam dengan teknik
gradasi warna untuk menjelaskan kategori prioritas penanganan daerah yang
beresiko menjadi rawan pangan. Dalam penelitian ini adalah kecamatan-
kecamatan di kabupaten Gunungkidul.
Pada dasarnya peta ketahahan dan kerentanan pangan adalah sebuah
metode dan alat. Untuk kepentingan analisis yang lebih mendalam terhadap
distribusi ketahanan pangan antar kecamatan diperlukan pendekatan keruangan
(spatial approach) dengan menggunakan tema analisis yaitu tema pola keruangan
(Spatial Pattern Analysis) Dengan pendekatan dan tema analisis tersebut
fenomena distribusi ketahahan dan kerentanan pangan kondisi ketahahan dan
kerentanan pangan antar kecamatan di kabupaten Gunungkidul dapat diketahui
dengan lebih jelas.
39
Gambar 1.7 Kerangka pemikiran penelitian ketersediaan beras dan akses pangan dalam kajian ketahanan pangan di Kabupaten
Gunungkidul tahun 2013.
Wilayah Penduduk
Produksi beras Ketenagakerjaan Kondisi sosial
ekonomi
Ketersediaan
beras Status sebagai
buruh tidak tetap
Penduduk
tidak bekerja
Tingkat
pendidikan
Rumah tangga
miskin
Akses pangan Ketahanan
pangan
Peta ketahanan pangan
pangan
Analisis pola
keruangan
Pendekatan
keruangan
Pola keruangan
ketahanan pangan
40
1.7 Batasan Operasional
- Ketahanan Pangan
Ketahananan pangan merupakan kondisi tersedianya jumlah kalori dari
makanan pokok (beras) yang cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori
harian individu dan rumah tangga dengan diimbangi kemampuan
mengaksesnya untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
- Akses Pangan
Kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan sumberdaya yang
dimilikinya untuk memperoleh pangan yang cukup untuk kebutuhan
kalori harian untuk hidup sehat, aktif dan produktif.
- Beras
Daging buah dari tanaman padi (Oriza Sativa).
- Ketersediaan Beras
Ketersediaan beras daerah dalam jumlah yang cukup untuk semua orang
yang hidup didalamnya baik yang berasal dari produksi sendiri, impor,
cadangan pangan maupun bantuan pangan terkait dengan jumlah kalori
yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat (Patrick Webb and
Beatrice dalam Nuhfil, 2008).
- Konsumsi Normatif
Jumlah kalori minimum utuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Nilai
konsumsi normative adalah 1.100 kkal per kapita per hari (FSVA, 2009).
- Kemiskinan
Kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu
memenuhi hak‐hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat (Badan Pusat Statistik).
- Penduduk Miskin
Penduduk yang terdafatar sebagai sasaran program pengentasan
kemiskinan.
41
- Kalori
Satuan ukuran untuk energi. Satu kalori secara resmi didefinisikan
sebagai jumlah energi panas yang dibutuhkan untuk menaikkan 1 cm2 air
(atau 1 gram air) sebesar satu derajat Celcius. Untuk mengukur jumlah
energi dalam makanan, ahli gizi umumnya menggunakan kilokalori
(setara dengan 1.000 kalori), dan label pengukuran mencantumkan
sebagai “kkal” (kamus kesehatan, 2012).
- Kecukupan Kalori
Terpenuhinya jumlah kalori rumah tangga dan individu yang diperoleh
dari konsumsi beras.