bab i pendahuluan 1.1 latar...

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Novel Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka terbit pertama kalinya pada tahun 1938 dengan penerbit Balai Pustaka. Novel ini menurut Teeuw (1955: 180), adalah karya yang pelik. Pelik karena beberapa hal, terutama karena keringkasannya sehingga seolah-olah hanya menyebutkan yang perlu-perlu saja, cerita yang diangkatnya tidak menimbulkan kebosanan. Pendapat yang sama dengan Teeuw juga dikemukakan oleh Hamzah. Ditinjau dari komposisi ceritanya, novel ini menurut Hamzah (1964: 62) dianggap berhasil daripada Tenggelamnya Kapal Van Der Wick. Di Bawah Lindungan Kabah memiliki kepadatan isi, sedangkan pada Tenggelammnya Kapal Van Der Wick ceritanya monoton, sentimentil, dan terlalu banyak berisi surat-surat cinta. Karya ini selain dipandang berhasil dari komposisi ceritanya, juga banyak diselipkan pikiran-pikiran yang tinggi, ajaran-ajaran keislaman, dan sindiran-sindiran atas adat masyarakat, yang menurut Hamka tiada baik sama sekali atau berlawanan sekali dengan agama Islam (Jasin, 1985: 46). Kelebihan yang dimiliki oleh Novel Di Bawah Lindungan Kabah tersebut menyebabkan ia menjadi disukai dan pada akhirnya menjadi populer. Dalam rentang waktu antara tahun 1938 sampai dengan tahun 2008 novel ini telah disambut oleh pembacanya dengan menghasilkan karya berupa film. Film pertama 1

Upload: vandang

Post on 13-Jun-2018

243 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Novel Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka terbit pertama kalinya

pada tahun 1938 dengan penerbit Balai Pustaka. Novel ini menurut Teeuw (1955:

180), adalah karya yang pelik. Pelik karena beberapa hal, terutama karena

keringkasannya sehingga seolah-olah hanya menyebutkan yang perlu-perlu saja,

cerita yang diangkatnya tidak menimbulkan kebosanan. Pendapat yang sama

dengan Teeuw juga dikemukakan oleh Hamzah. Ditinjau dari komposisi ceritanya,

novel ini menurut Hamzah (1964: 62) dianggap berhasil daripada Tenggelamnya

Kapal Van Der Wick. Di Bawah Lindungan Kabah memiliki kepadatan isi,

sedangkan pada Tenggelammnya Kapal Van Der Wick ceritanya monoton,

sentimentil, dan terlalu banyak berisi surat-surat cinta. Karya ini selain dipandang

berhasil dari komposisi ceritanya, juga banyak diselipkan pikiran-pikiran yang

tinggi, ajaran-ajaran keislaman, dan sindiran-sindiran atas adat masyarakat, yang

menurut Hamka tiada baik sama sekali atau berlawanan sekali dengan agama Islam

(Jasin, 1985: 46).

Kelebihan yang dimiliki oleh Novel Di Bawah Lindungan Kabah tersebut

menyebabkan ia menjadi disukai dan pada akhirnya menjadi populer. Dalam

rentang waktu antara tahun 1938 sampai dengan tahun 2008 novel ini telah

disambut oleh pembacanya dengan menghasilkan karya berupa film. Film pertama

1

2

hadir pada tahun 1977 yang berjudul Para Perintis Kemerdekaan. Film pertama ini

dibintangi oleh Mutiara Sani sebagai Halimah, Cok Simbara sebagai Hamid, dan

Camelia Malik sebagai Zainab. Latar film ini adalah zaman kolonial tahun 1920-an di

Sumatra Barat. Film yang disutradarai Asrul Sani ini bercerita tentang perlawanan

terhadap penjajahan Belanda dan otoritas keagamaan yang kolot. Film ini menurut

kritikus film Eric Sasono, merupakan perlawanan terhadap politik dan menjadi

sumber pembaharuan Islam. Kisah percintaan antara Hamid dan Zainab tidak

mendapat perhatian yang khusus dalam film ini. Film ini dianggap berhasil, karena

mengandung nilai kultural dan tanpa mengabaikan unsur komersilnya (1982: 6).

Keberhasilan film ini juga dapat ditandai dengan sejumlah penghargaan yang

diterimanya. Penghargaan yang pernah diterima film Para Perintis Kemerdekaan

adalah piala MMPI, FFI 1981 untuk kategori penggarapan unsur musik tradisional

dalam film, Plakat H.Usmar Ismail, FFI 1998 untuk tema terbaik yang

mengungkapkan satu tahap perjuangan bangsa dalam bidang politik, agama, dan

emansipasi. Unggulan FFI 1981 untuk kategori film, sutradara, skenario, dan tata

musik terbaik (http://filmindonesia.or.id/movie/title/award/lf-p023-77-829964/para-

perintis-kemerdekaan#.T3MFTFtfJR4).

Film Para Perintis Kemerdekaan ini pertama kali muncul berjudul sama

dengan novelnya, tetapi rezim Orde Baru Soeharto masa itu meminta mengubah judul

film tersebut. Alasannya, judul itu dianggap berbau politis karena tahun itu bertepatan

dengan masa kampanye. Salah satu partai politik, PPP (Partai Persatuan

3

Pembangunan) memiliki lambang kabah. Asrul Sani patuh dan mengganti judul

filmnya dengan judul Para Perintis Kemerdekaan (http://www.tabloidbintang.com)

Pada tahun 2008 film kedua yang terinspirasi dari novel Di Bawah Lindungan

Kabah hadir. Film ini diproduksi MD Entertaiment. Berbeda dengan film pertama,

film kedua ini berjudul sama dengan novelnya yaitu Di Bawah Lindungan Kabah.

Film ini disutradarai oleh seorang sutradara muda yang sebelumnya juga pernah

sukses menyutradai film Heart, yaitu Hanny. R Saputra. Film yang dibintangi oleh

Herjunot Ali memerankan tokoh Hamid dan Zainab diperankan oleh Laudya Cinthia

Bella. Film ini berkisah tentang kasih tak sampai yang dialami sepasang kekasih

karena belenggu adat perkawinan budaya yang mereka anut, yaitu budaya

Minangkabau. Hamid dan Zainab harus memendam perasaan cinta mereka, karena

Zainab dijodohkan dengan kemenakan ayahnya, dengan alasan supaya harta pusaka

mereka terjaga. Selain karena adat, hubungan cinta mereka harus kandas karena

mereka memiliki perbedaan yang sangat jauh dalam hal materi dan status sosial.

Hamid akhirnya memutuskan untuk pergi dari kampungnya dan menuju Mekah.

Mekah adalah satu impian terbesar dalam hidup Hamid. Di Mekah Hamid merasa

sangat nyaman, karena ia merasa dekat dengan Tuhan. Setelah lama ditinggal Hamid,

Zainab sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia. Meninggal dalam penantiannya

terhadap kepulangan Hamid. Hamid juga dikisahkan meninggal dunia di Mekah.

4

Dari uraian di atas terlihat bahwa terdapat dua buah karya yang terinspirasi

dari novel Di Bawah Lindungan Kabah. Kedua karya sambutan itu sekilas terlihat

mengalami banyak perubahan dibandingkan dengan novelnya. Perbedaan mendasar

yang terdeteksi antara novel dan film adalah penggunaan media. Novel menggunakan

media cetak, sedangkan film menggunakan media audio-visual. Perbedaan

penggunaan media ini tentu mempunyai dampak pada cerita yang disampaikan.

Selain memiliki perbedaan dalam hal penggunaan media, novel dan film juga

memiliki persaman. Menurut Boggs (dalam Sani, 1992: 24), sastra dan film betul-

betul memiliki banyak unsur yang sama. Biarpun kedua medianya berbeda, keduanya

mengkomunikasikan bermacam hal dengan cara yang sama. Analisa film yang

perseptif dibangun atas unsur-unsur yang dipakai dalam mengkaji sastra.

Perbedaan lain yang tergambar antara novel, film Para Perintis

Kemerdekaan, dan film Di Bawah Lindungan Kabah adalah dari segi tema dan tokoh.

Tema novel berbeda dengan tema film Para Perintis Kemerdekaan sedangkan, tema

novel dengan tema film Di Bawah Lindungan Kabah sama. Perbedaan lain yang

tampak adalah dari segi tokoh. Tokoh-tokoh yang berperan di dalam novel sama

dengan tokoh-tokoh yang ada di film Di Bawah Lindungan Kabah sedangkan, tokoh

yang berperan di novel sangat jauh berbeda dengan tokoh yang berperan dalam film

Para Perintis Kemerdekaan.

Perbedaan dan persamaan yang terlihat dalam masing-masing karya ini

disebabkan oleh perubahan yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang,

5

dipengaruhi oleh horizon harapan dari pembaca dan pengalaman pembaca yang

berbeda. Dalam Hal ini sesuai dengan pendapat Jauss (1983: 20—21), karya sastra

bukanlah objek yang berdiri sendiri menawarkan pandangan yang sama kepada setiap

pembaca dalam setiap periode. Karya sastra bukanlah sebuah monumen yang secara

monologis menyatakan esensi sepanjang masa. Karya sastra lebih mirip sebagai

orkestrasi yang selalu memberi resonansi-resonansi baru di antara para pembacanya,

dan membebaskan teks dari materi kata-kata serta membawa pada eksistensi

kontemporer.

Dalam kaitan ini, lebih jauh Jauss menyebutkan bahwa karya sastra bahkan

karya yang kelihatan baru pun, tidaklah benar-benar baru dalam kekosongan

informasi tetapi mempengaruhi pembacanya dengan pemberitahuan, tanda-tanda

yang mudah dan sulit, ciri-ciri yang akrab, atau sindiran yang tidak langsung. Semua

itu membangkitkan memori tentang apa yang telah dibacanya, membawa pembaca

kedalam tingkah laku emosional yang khusus dan dengan permulaannya

menimbulkan harapan-harapan pada bagian tengah dan akhirnya, yang kemudian

dapat dipertahankan keutuhannya atau dibalik, diorientasikan kembali, atau bahkan

secara ironis disempurnakan dalam pembacaan itu sesuai dengan aturan-aturan genre

tertentu atau tipe teksnya (Jauss, 1983: 23).

Dalam hal ini Di Bawah Lindungan Kabah dapat ditempatkan pada posisi

sebagai karya sastra yang selalu memberi pengalaman kesastraan kepada para

pembacanya, memberi resonansi-resonansi baru di antara pembacanya. Oleh karena

6

itu membahas dan meneliti lebih lanjut novel Di Bawah Lindungan Kabah dan dua

karya sambutannya dengan menggunakan kajian estetika resepsi, menjadi menarik

untuk dilakukan. Penggunaan teori estetika resepsi ini diharapkan dapat

mengungkapkan sejarah sambutan/penerimaan pembaca secara estetik yang

terungkap dalam dua karya sambutan tersebut.

Karya sastra yang tercipta pada beberapa kurun yang lampau dapat dikenali

melalui perwujudan dari transformasinya, juga melalui perwujudan dari bentuk

tanggapan terhadap teksnya. Apabila wujud teks transformasi atau teks penyambut itu

bermacam-macam, maka hal itu menandai adanya sambutan yang intensif terhadap

teksnya. Pendapat ini didasarkan pada anggapan bahwa kemunculan suatu teks dalam

teks-teks yang tercipta kemudian merupakan penyambutan dalam horizon harapan

yang sesuai dengan minatnya dan seleranya (Karatz, 1981). Dari sini terlihat bahwa

penyambutan pembaca dapat dilacak pada berbagai teks lain. Hal ini menunjukkan

adanya dinamik sistem dan sejarah sastranya. Gejala demikian memerlukan

pendekatan estetik resepsi dari pihak peneliti yang lewat keragaman naskah dapat

menelusuri sejarah resepsi teks tersebut dalam interaksinya dengan faktor-faktor

sosiobudaya (Chamamah-Soeratno, 1988:37—38).

Pendekatan estetika resepsi mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra

itu sejak terbitnya selalu mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya. Menurut

Jauss (1974:12—13), apresiasi pembaca pertama terhadap sebuah karya sastra akan

dilanjutkan dan diperkaya melalui tanggapan-tanggapan lebih lanjut dari generasi ke

7

generasi. Dengan cara ini makna historis karya sastra akan ditentukan dan nilai

estetiknya terungkap.

Peneliti sastra dan sejarah sastra menurut Jauss bertugas untuk menelusuri

resepsi karya sastra sepanjang zaman. Keindahan sebuah karya bukanlah sesuatu

yang mutlak, abadi atau tetap, keindahan adalah pengertian yang nisbi, tergantung

dari situasi sosio-budaya pembaca (Teeuw, 1984 : 197).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yang akan

dijawab dalam penelitian ini adalah;

1. Bagaimana tanggapan Asrul Sani dan Hanny R Saputra terhadap novel Di

Bawah Lindungan Kabah karya Hamka?

2. Bagaimana gambaran horizon harapan pembaca terhadap Novel Di Bawah

Lindungan Kabah karya Hamka?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini ada dua, yaitu tujuan teoretis dan tujuan praktis. Tujuan

teoretis penelitian ini yaitu;

1. Untuk mendeskripsikan tanggapan Asrul Sani dan Hanny R Saputra

terhadap novel Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka.

8

2. Untuk mengungkapkan horizon harapan pembaca terhadap novel Di

Bawah Lindungan Kabah karya Hamka.

Tujuan praktis penelitian ini adalah mengakumulasi ilmu terutama yang

berkaitan dengan kajian resepsi sastra.

1.4 Tinjauan Pustaka

Penelitian dengan topik yang sama dengan penelitian ini, khususnya kajian

estetika resepsi pembaca terhadap novel dan film Di Bawah Lindungan Kabah,

sejauh yang dapat dijangkau belum ditemukan. Akan tetapi, tulisan yang

menggunakan sudut pandang yang berbeda dari penelitian ini yang berkaitan dengan

novel Di Bawah Lindungan Kabah sudah banyak dilakukan. Berikut dikemukakan

beberapa tulisan yang berkaitan dengan novel dan film Di Bawah Lindungan Kabah.

Hubungan Intertekstual Karya Sastra Prosa Indonesia merupakan penelitian

yang dilakukan oleh Rachmad Djoko Pradopo (2009). Penelitian ini mengkhususkan

pembahasan hubungan intertekstual antara Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka

dengan Atheis karya Achdiat Kartamihardja, dan Gairah untuk Hidup dan untuk Mati

Karya Nasijah Djamin. Pradopo menyimpulkan bahwa Di Bawah Lindungan Kabah

merupakan hipogram Atheis dan Gairah untuk Hidup dan Gairah untuk Mati.

Hubungan intertekstual ketiga karya tersebut terlihat dalam struktur cerita (alur) dan

pusat pengisahannya. Ketiga karya tersebut memiliki alur sorot balik, berpusat

pengisahan metode orang pertama digabungkan dengan metode orang ketiga.

9

Al Yatim Karya Mustafa Lutfi Al-Manfaluti dan Di Bawah Lindungan Kabah

karya Hamka: Analisis Intertekstual merupakan penelitian berupa skripsi yang

dilakukan oleh Kenyo Mitrajati (2007). Penelitian ini membahas kedua karya tersebut

dengan menggunakan pisau analisis intertekstual. Analisis itu dilakukan dengan

mengungkapkan persamaan-persamaan unsur intrinsik terutama tema, alur, tokoh,

dan penokohan kedua karya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kedua karya

tersebut memilki persamaan tema, alur tokoh dan penokohan. Tema utama keduanya

adalah adanya perbedaan status sosial ekonomi. Alur flash back dengan tiga tahapan

alur dalam masing-masing karya sastra. Kedua karya tersebut memiliki hubungan

kesejajaran. Hubungan kesejajaran ini pada gilirannya akan menimbulkan asumsi

bahwa keduanya memiliki hubungan kesejarahan dan hubungan intertekstual.

Teeuw juga pernah menulis tentang Hamka. Judul tulisannya adalah Hamka

Sebagai Pengarang Roman. Tulisan ini merupakan bagian dari bukunya yang

berjudul Sastra Baru Indonesia 1 (1980). Dalam tulisan ini Teeuw menggambarkan

sosok Hamka dan beberapa karyanya yang cukup terkenal. Hamka tidak menerima

pendidikan Barat. Dia tidak tahu berbahasa Belanda atau Inggris, dan bakat serta

nilaian seninya berkembang oleh pengaruh kesusatraan Arab modern. Pengaruh ini

jelas kelihatan, umpamanya dalam roman pertamanya Di Bawah Lindungan Kabah.

Suatu kisah sentimental tentang seorang pemuda yang karena cintanya gagal (gagal

karena kuasa adat), mencari perlindungan berhampiran dengan tempat suci Islam

yang terkenal di Mekah dan akhirnya meninggal dunia di sana. Hamka adalah

10

pengarang roman Indonesia yang paling banyak hasil tulisannya tentang agama

Islam. Buku-bukunya dulu dan sekarang masih populer dan berpengaruh di kalangan

masyarakat luas. Roman-roman Hamka digemari oleh sebagian besar masyarakat

Islam. Bagi pembaca barat, roman-roman ini sekurangnya menarik sebagai sumber

keterangan tentang masyarakat Indonesia di zaman sebelum perang.

Jakob Sumardjo juga pernah membahas novel Di Bawah Lindungan Kabah

dalam bukunya yang berjudul Konteks Sosial Novel Indonesia 1920—1977 (1999).

Novel Di Bawah Lindungan Kabah digolongkannya pada zaman kolonial, tepatnya

tahun 1930-an. Novel ini memiliki tema yang sama dengan novel seangkatannya

yaitu kawin paksa. Novel yang seangkatan tersebut adalah Dian Yang Tak Kunjung

Padam, Mencari Pencuri Anak Perawan, Kasih Tak Terlerai, Pertemuan Jodoh, dan

Sampaikan Salamku Kepadanya.

Novel-novel dalam masa kolonial Belanda (Angkatan Balai Pustaka) amat

menonjol dalam mengambil tema kritik sosial. Dari penerbitan resmi pemerintah

kolonial sendiri, Balai Pustaka, kritik sosial itu terutama ditujukan kepada generasi

tua yang menganggap masih ―menguasai‖ anak-anaknya yang berangkat dewasa,

untuk menikah dengan orang yang dapat menjamin keperluan materi anaknya (harta

kekayaan) dan menaikkan gengsi keluarga. Atau orang tua kaya menginginkan

anaknya menikah dengan pasangan dari kelas sosial yang setingkat. Kritik para

pengarang ditujukan dengan memperlakukan para gadis ini ―kawin paksa‖ dengan

orang kaya yang rata-rata bertabiat jahat (banyak istri, penjudi, periba) dan lebih tua,

11

dan akhirnya perkawinan idaman golongan tua ini kandas, entah si anak meninggal

atau menjadi janda dan menemukan kembali kekasihnya yang setia. Para pengarang

pesimis mematikan si gadis dalam kepedihan percintaan (Sumardjo, 1999: 65—66).

Masalah kekayaan, pangkat, jaminan hidup, yang rupanya mulai menjadi nilai

material penting dalam hidup masyarakat modern, yang tumbuh tahun 1920-an dan

1930-an, tercermin dalam ungkapan intelektual para pengarang Indonesia (Sumardjo,

1999: 66).

Jassin juga pernah membicaran Hamka dan novel Di Bawah Lindungan

Kabah dalam bukunya yang berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik

dan Esei I (1985). Dalam tulisannya ini Jassin hanya memaparkan sosok Hamka dan

mengulas sedikit tentang kandungan novel Di Bawah Lindungan Kabah. Menurut

Jassin (1985: 46), novel Di Bawah Lindungan Kabah banyak diselipkan pikiran-

pikran yang tinggi, ajaran-ajaran keislaman, dan sindiran-sindiran atas adat-adat

masyarakat, yang menurut Hamka sangat tidak baik atau sangat berlawanan dengan

agama Islam. Hamka adalah seorang pengarang yang romantis. Dia adalah seorang

pengembara. Bukan saja pengembara lahir yang belajar dari satu tempat ke tempat

lain, tetapi juga seorang pengembara dalam pikiran, yang mempelajari ilmu

pengetahuan negeri-negeri yang jauh. Hamka dalam menulis karangan menggunakan

bahasa yang sederhana tetapi berjiwa. Karangannya penuh kekayaan batin, penuh

perbuatan-perbuatan yang membayangkan keluhuran budi tokoh-tokohnya.

12

Dalam buku Pokok dan Tokoh yang ditulis oleh Teeuw (1955), Hamka dan

novel Di Bawah Lindungan Kabah juga dibahas. Menurut Teeuw, Hamka merupakan

pengarang roman yang berhaluan paham Islam. Selain menulis roman, Hamka juga

banyak menulis buku-buku agama.

Novel Di Bawah Lindungan Kabah merupakan salah satu karya Hamka yang

pelik menurut Teeuw, karena keringkasan isinya. Hamka sangat pandai memilih yang

penting-penting, tepat pada tempatnya diselipkannya surat-surat sehingga ia tidak

perlu lagi membuat berbagai penjelasan.

Hamka sebagai Pengarang Roman: Sebuah Studi Sastra ditulis oleh Junus

Amir Hamzah (1964). Buku ini secara khusus membahas karya Hamka yang

termasuk kategori roman. Di Bawah Lindungan Kabah dan Tenggelamnya Kapal Van

Der Wicjk merupakan karya Hamka yang termasuk pada kategori roman. Kedua

roman ini dibahas dari berbagai aspek.

Berdasarkan hasil tinjauan pustaka di atas, belum ditemukan kajian tentang

horizon harapan dalam karya sambutan novel Di Bawah Lindungan Kabah karya

Hamka yang berupa Film Para Perintis Kemerdekaan dan Film Di Bawah Lindungan

Kabah. Beberapa kajian di atas lebih banyak membahas struktur novel Di Bawah

Lindungan Kabah, sosok Hamka dan hubungan antara novel dengan konteks sosial.

13

1.5 Landasan Teori

Landasan teori yang digunakan dalam tesis ini adalah estetika resepsi, yang

secara khusus mengerucut pada teori horizon harapan pembaca. Oleh karena itu,

dalam bagian landasan teori ini akan dijabarkan tentang konsep estetika resepsi dan

konsep horizon harapan menurut Hans Robert jauss.

1.5.1 Estetika Resepsi

Teori ini melihat pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga; pengarang,

karya sastra, dan masyarakat pembaca. Hal ini disebabkan bahwa kehidupan historis

sebuah karya sastra tidak terpikirkan tanpa partisipasi para pembacanya. Pembaca itu

mempunyai peranan aktif, bahkan merupakan kekuatan pembentuk sejarah (Jauss,

1983: 12). Estetika resepsi atau estetika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan)

yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap

karya sastra (Pradopo, 2009: 206).

Pemikiran Jauss tentang estetika resepsi ini dijelaskannya kedalam tujuh

tesisnya, yaitu:

Tesis 1: Pengalaman Pembacaan

A renewal of a literary history demands the removal of the

prejudices of historical objectivism and the grounding of

the traditional aesthetics of production and representation

in an aesthetics of reception and influence. The historicity

of literature rests not on an organization of ‗literary facts‘

that is established post festum, but rather on the preceding

14

experience of the literary work by its readers (Jauss, 1983:

20).

(Pembaharuan sejarah sastra menuntut pembuangan

prasangka objektivisme historis dan dasar-dasar estetika

karya sastra dan penggambaran kenyataan yang

tradisional. Kesejarahan sastra tidak bergantung pada

organisasi fakta-fakta sastra yang dibangun oleh post festum,

tetapi pada pengalaman sastra sebelumnya oleh para

penikmat sastra).

Tesis 2: Horizon Harapan

The analyisis of the literary experience of the reader avoids

the threatening pitfalls of psychology if it describes the

reception and the influence can of a work within the

objectivifiable system of expectations that a rises for each

work in the historical moment of its appearance, from a

pre-understanding of the genre, from the form and themes

of already familiar works, and from the opposition between

poetics and practical language (Jauss, 1983:22).

(Analisis pengalaman sastra para penikmat sastra

menyisihkan perangkap-perangkap psikologi yang

mengancam, jika analisis tersebut mendeskripsikan

penerimaan (resepsi) dan pengaruh karya sastra dalam

sistem-sistem harapan yang dapat dinyatakan yang muncul

untuk masing-masing dalam momen historis

kemunculannya, dari pemahaman genre sebelumnya, dari

bentuk dan tema karya-karya sastra yang telah diakrabinya,

dan dari perbedaan antara poetika dan bahasa praktis).

Suatu karya sastra tidak pernah tampil sama sekali baru dalam kekosongan

informasi, tetapi mengandung sarana yang mengarahkan penikmat sastra. Karya

sastra mempengaruhi penikmatnya dengan pemberitahuan melalui tanda-tanda yang

mudah dan sulit, ciri-ciri yang akrab, atau sindiran yang tidak langsung. Semuanya

15

itu akan membangkitkan memori tentang apa yang telah (pernah) di ―baca‖nya

(dinikmatinya), membawa penikmat sastra ke dalam tingkah laku emosional yang

khusus, yang pada awalnya menimbulkan harapan-harapan pada bagian tengah dan

akhirnya, dan kemudian dapat dipertahankan keutuhannya atau dibalik, diorientasikan

kembali, atau bahkan secara ironis disempurnakan dalam ―pembacaan‖ itu sesuai

dengan aturan-aturan jenis sastranya.

Tesis 3: Jarak Estetik

The horizon of expectations of a work allows one to

determine its atristic character by the kind and the degree

of its influence on a presupposed audience. If one

characterizes as aesthetic distance the disparity between the

given horizon of expectations and the appearance of a new

work, whose reception can result in a chage of horizons

through negation of familiar experiences or through raising

newly articulated experiences to the level of consciousness,

then this aesthetic distance can be objectified historically

along the spectrum of the audience‘s reactions and

criticism‘s judgment (spontaneous success, rejection or

sock, scattered approval, gradual or belated understanding

(Jauss, 1983: 25)

(Horizon harapan sastra atau karya sastra menunjukkan

salah satu cara untuk menentukan ciri-ciri artistiknya

dengan macam dan tingkat pengaruhnya pada pembaca

yang ditentukan. Jika seseorang mengkarakterisasikan

perbedaan antara ―horizon harapan‖ dengan pemunculan

karya baru sebagai jarak estetik, maka penerimaannya

dapat menghasilkan ―perubahan horizon-horizon‖ melalui

negasi terhadap pengalaman-pengalaman yang telah

dikenalnya, atau melalui pengangkatan pengalaman-

pengalaman barunya pada tingkat kesadaran. Dengan

demikian, jarak estetik dapat diobjektivasikan secara

historis sepanjang spektrum reaksi-reaksi pembaca dan

penentuan kritik (keberhasilan yang spontan, penolakan

16

atau shock, penyetujuan di beberapa bagian, pemahaman

bertahap atau ditunda).

Tesis 4: Semangat Zaman

The reconstruction of the horizon of expextation, in the

face of which a work was created and received in the past,

enables one on the other hand to pose questions that the

text gave an answer to, and thereby to discober how the

contempiorary reader could have viewed and understood

the work. This approach corrects the mostly unrecognized

norms of a classicist or modernizing understanding of art,

and avoids the circular recourse to a general ‗spirit of age‘

(Jauss, 1983: 28).

(Rekonstruksi horizon harapan, dalam hal ini karya sastra,

dicipta dan diterima pada masa lampau, menyebabkan

seseorang bertanya kembali tentang teks itu, dan mencoba

menemukan bagaimana pembaca saat ini memandang dan

memahami karya itu. Pendekatan ini membenarkan norma-

norma klasik yang tidak dikenal atau pemahaman sastra

modern, dan mengabaikan jalan lain pada ―semangat

zaman).

Tesis 5: Rangkaian Sastra

The theory of the asthetics of reception not only allows one

to conceive the meaning and form of literary work in the

historical unfolding of it understanding. It also demands

that one inserts the individual work into ‗literary series‘ to

recognize its historical position and significance in the

context of the experience of literature. In the step from a

history of the reception of works to an eventful history of

literature, the latter manifests itself as a process in which

the passive reception is on the part of authors. Put

anotherway, the next work can solve formal and moral

problems left behind by the last work and present new

problems in turn (Jauss, 1983: 32).

(Teori estetika resepsi tidak hanya memandang makna dan

bentuk karya sastra dalam penjelasan historis

pemahamannya. Teori ini juga menuntut kerja individual

17

sebagai bagian dari jajaran kerja lainnya, untuk mengetahui

arti dan kedudukan historisnya dalam konteks pengalaman

sastra. Di dalam tahapan dari sejarah resepsi sastra ke

sejarah sastra, yang kedua ini memanifestasikan diri

sebagai proses resepsi pasif yang merupakan bagian dari

pengarang. Karya (pemahaman) berikutnya dapat

menyelesaikan problem-problem moral dan formal yang

ditinggalkan oleh karya sebelumnya dan dapat

menghadirkan problem baru bagi pemahaman berikutnya).

Tesis 6: Perspektif Sinkronik-Diakronik

The achievments made in linguistics throug the distiction

and methodological interrelation of diacronic and syncronic

analysis are the occasion for overcoming the diacronic

perspective-previously the only one practiced – in art

history as well. If the perspective of the history of reception

always bumps up against the functional connections

between the understanding of new works and the

significance of older ones when changes in aesthetic

attitudes are considered, it must also be possible to take

synchronic cross-section of a moment in the development,

to arrange the heterogeneous multiplicity of

contemporaneous work ini equivalent, opposing, ang

hierarchical structures, and thereby to discover an

overarching system of relationships in the literature of a

historical moment. From this principle of representation of

a new literary history could be developed, if further cross-

sections diachronically the change in literary structures in

its epoch-making moments (Jauss, 1983: 36).

(Hasil-hasil yang dicapai dalam linguistik melalui

perbedaan interelasi metodologis analisis sinkronis

dan diakronis, yaitu pembenahan atau penyempurnaan

observasi diakronis yang sampai sekarang menjadi metode

yang biasa dalam studi sejarah sastra. Perspektif sejarah

sastra selalu menemukan hubungan fungsional antara

pemahaman karya-karya baru dengan makna karya-karya

terdahulu. Perspektif ini juga mempertimbangkan

pandangan sinkronis guna menyusun dalam kelompok-

kelompok yang sama, berlawanan dan teratur sehingga

18

didapat sistem hubungan yang umum dalam karya sastra

pada waktu tertentu).

Tesis 7: Sejarah Sastra Umum

The task of art history is thus only completed when art

production is not only represented syncronically and

diachronically in the succession of its systems, but also

seen as ‗special history‘ in its own unique relationship to

‗general history‘. This relationship does not end with the

fact that a typified, idealized, satiric, or utopian image of

social existence can be found in the art of all times. The

social function of art manifests itself in its genuine

possibility only where the art experience of the reader

enters into the horizon of expections of his lived praxis,

performs his understanding of the world, and thereby also

has and effect on his sosial behavior (Jauss, 1983: 39).

(Tugas sejarah sastra hanya terselesaikan apabila produksi

sastra tidak hanya direpresentasikan secara sinkronik dan

diakronik dalam suksesi sistemnya, namun juga dipandang

sebagai ―sejarah khusus‖ dalam hubungan unitnya dengan

―sejarah umum‖. Hubungan tersebut tidak berakhir dengan

fakta yang ditipekan, diidealkan, satirik, atau dengan citra

utopia dari eksistensi sosial dari sastra disepanjang

zaman. Fungsi sosial dari sastra termanifestasi dalam

kemungkinannya yang begitu unggul khususnya ketika

pengalaman seni dari ―pembaca‖ (penikmat

seni) memasuki cakrawala harapan dari praxisnya,

menghayalkan pemahamannya tentang dunia dan sehingga

juga memiliki efek pada perilaku sosialnya).

Dari tujuh tesis Jauss tersebut maka dalam penelitian ini penulis hanya

mengambil satu tesis Jauss yang sangat terkenal yaitu horizon harapan pembaca.

Alasan penulis mengambil satu tesis ini adalah karena penelitian ini lebih difokuskan

pada mengungkapkan pemaknaan atau interpretasi pembaca aktif (Asrul Sani dan

Hannya R. Saputra) terhadap Novel DBLK.

19

1.5.2 Horizon Harapan

Berikut akan dijelaskan dengan bagan konsep horizon harapan dalam

kaitannya dengan Penerimaan Novel Di Bawah Lindungan Kabah Karya Hamka.

Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan bahwa menurut Jauss (1983: 20—

21), karya sastra bukanlah objek yang berdiri sendiri menawarkan pandangan yang

sama kepada setiap pembaca dalam setiap periode. Karya sastra bukanlah sebuah

Novel DBLK Karya Hamka

Bukanlah objek yang berdiri sendiri yang menawarkan pandangan yang kepada setiap pembaca.

Bukan sebuah monumen yang secara monologis menyatakan esensi sepanjang masa.

Lebih mirip orkestrasi yang selalu memberi resonansi-resonansi baru kepada para pembaca.

Horizon harapan berfungsi untuk menerangkan kriteria yang digunakan oleh pembaca untuk mempertimbangkan teks-teksnya dalam suatu periode tertentu

Horizon harapan yang sebenarnya berbicara tentang bagaimana Novel DBLK harus dinilai dan diinterpretasi ketika karya ini muncul, tetapi tidak berakhir dengan penetapan arti.

20

monumen yang secara monologis menyatakan esensi sepanjang masa. Karya sastra

lebih mirip sebagai orkestrasi yang selalu memberi resonansi-resonansi baru di antara

para pembacanya, dan membebaskan teks dari materi kata-kata serta membawa pada

eksistensi kontemporer. Jauss dalam teori estetika respsinya menekankan dimensi

kesejarahan pada kritik sastra yang berorientasi kepada pembaca. Jauss juga

menggunakan istilah horizon harapan (Ewartunghorizont) untuk menerangkan

kriteria yang digunakan oleh pembaca untuk mempertimbangkan teks-teks sastra

dalam suatu periode tertentu. Kriteria ini menolong pembaca menentukan bagaimana

menimbang sebuah sajak misalnya epos, atau tragedi atau pastoral, dalam suatu acara

yang lebih umum, meliputi apa yang dipandang sebagai puitis atau literer sebagai

lawan dari yang tidak puitis atau penggunaan bahasa yang tidak bersifat sastra.

Peran pembaca dan proses pembacaan sebuah karya sastra dapat dilihat pada

pandangan Chamamah-Soeratno (1991:21 dalam Fadlil, 2007: 40), yaitu peran

pembaca sebagai pengungkap makna sebuah karya sastra, sebenarnya bukanlah satu

faktor yang mantap stabil, karena yang disebut pembaca adalah faktor yang variable,

sesuai dengan masa, tempat, dan keadaan sosiobudaya yang melatari pembacaan.

Perubahan yang terjadi pada latar belakang sosial dapat mempengaruhi makna yang

diungkapkannya. Oleh karena itu, ada kemungkinan satu karya sastra memperoleh

makna yang bermacam-macam dari berbagai kelompok pembaca. Dalam hal ini,

banyak dan beraneka ragamnya makna dapat menunjukkan kekayaan sebagai ciptaan

sastra.

21

Dalam kaitannya dengan pemaknaan teks, maka horizon harapan memiliki

peranan penting. Horizon harapan yang sebenarnya hanya berbicara tentang

bagaimana karya sastra harus dinilai dan diinterpretasi ketika karya itu muncul, tetapi

tidak berakhir dengan penetapan artinya. Menurut Jauss (1983: 115), meminjam

filsafat hermeneutik Gadamer, seorang pengikut Heidegger yang mengatakan bahwa

semua tafsiran kesusastraan masa lampau timbul dari sebuah dialog antara masa

lampau dan masa kini. Usaha untuk memahami sebuah karya bergantung pada

pertanyaan yang ditimbulkan oleh lingkungan kebudayaan yang mengitarinya. Jadi,

penelitian sastra mau tidak mau bersifat historis, artinya resepsi sebuah karya sastra

dengan pemahaman dan penilaiannya tidak dapat lepas dari kerangka sejarahnya

seperti terwujud dalam horizon harapan pembaca masing-masing (Jauss, 1983: 202).

Pada waktu yang sama, ditemukan pertanyaan-pertanyaan yang diusahakan

untuk dijawab oleh karya itu sendiri dalam dialognya dengan sejarah. Perspektif

kekinian selalu mencakup sebuah hubungan dengan masa lampau, tetapi pada saat

yang sama masa lampau hanya dapat dicapai lewat perspektif masa kini. Seseorang

tidak dapat melakukan perjalan ke masa lampau tanpa membawa masa kini

bersamanya. Penggabungan horizon harapan tampaknya bukan suatu penggabungan

yang total atas semua sudut pandang yang telah timbul, tetapi hanya horizon harapan

yang menurut pengertian kritik hermeneutik menjadi bagian yang secara bertahap

menampilkan totalitas arti membentuk kesatuan arti yang sejati (Jauss, 1983: 16).

22

Menurut Jauss (1983: 23), karya sastra, bahkan karya yang kelihatannya baru

pun, tidaklah benar-benar baru dalam kekosongan informasi, tetapi mempengaruhi

pembacanya dengan pemberitahuan, tanda-tanda yang mudah dan sulit, ciri-ciri yang

akrab, atau sindiran yang tidak langsung. Semua itu membangkitkan memori tentang

apa yang telah dibacanya, membawa pembaca ke dalam tingkah laku emosional yang

khusus, dan dengan permulaannya menimbulkan harapan-harapan pada bagian tengah

dan akhirnya, yang kemudian dapat dipertahankan keutuhannya atau dibalik,

diorientasikan kembali, atau bahkan secara ironis disempurnakan dalam pembacaan

itu sesuai dengan aturan-aturan genre tertentu atau tipe teksnya. Berdasarkan

pendapat ini, penulis memandang bahwa novel Di Bawah Lindungan Kabah sebagai

karya sastra yang telah lama hadir tidak menjadikannya usang, karena ada beberapa

karya lahir yang dipengaruhinya. Karya yang terinspirasi dari novel tersebut tidak

hanya berubah dari segi genrenya saja, akan tetapi juga memiliki harapan yang

berbeda yang tentunya sesuai dengan horizon harapan pembacanya. Karya-karya

tersebut berupa film yang lahir pada tahun 1977 dan tahun 2008. Kedua karya ini

memiliki rentang waktu yang cukup panjang, tentunya memiliki horizon harapan

yang berbeda juga.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan

data. Data dalam penelitian ini merupakan data kualitatif, karena tidak berupa angka,

tetapi berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi, sifat, ciri, keadaan dari sesuatu

23

atau gejala, atau pernyataan mengenai hubungan-hubungan antara sesuatu dengan

sesuatu yang lain (Ahimsa-Putra, 2009: 18).

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah berupa data primer dan data sekunder. Data

primer berupa teks novel Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka yang diterbitkan

oleh PT Bulan Bintang pada tahun 2010 (cetakan ke-31) dengan jumlah halaman 65

halaman yang juga sebagai objek material, kutipan dialog dan gambar Film Para

Perintis Kemerdekaan karya Asrul Sani yang diproduksi pada tahun 1977, dan

kutipan dialog dan gambar Film Di Bawah Lindungan Kabah karya Hanny R.

Saputra yang diproduksi pada tahun 2008 dan ditayangkan pada tahun 2011.

Selain itu penulis juga menggunakan data sekunder berupa sumber-sumber

referensi tertulis (buku, jurnal, tesis, disertasi, laporan penelitian) yang relevan

dengan teks kajian, yaitu estetika resepsi.

1.6.2 Metode Analisis Data

Metode analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian yang

merupakan perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan untuk

mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antar data yang tidak

pernah dinyatakan oleh data itu sendiri (Faruk, 2012: 25).

24

Untuk menganalisis data yang berupa novel Di Bawah Lindungan Kabah

karya Hamka ini dan dua film sebagai karya sambutannya, dilakukan dengan

menggunakan metode horizon harapan pembaca.

Cara yang dilakukan dalam mengungkapkan horizon harapan pembaca novel

Di Bawah Lindungan Kabah adalah dengan mengidentifikasi interpretasi atau

pemaknaan penyambut (Asrul Sani dan Hanny R. Saputra) yang tergambar dalam

karyanya. Di samping itu juga dilihat hubungan pemaknaan-pemaknaan tekstual

tersebut dengan data-data yang berasal dari teks-teks di luar kedua film, diantaranya

adalah teks-teks yang terkait sosial-budaya masyarakat Minangkabau dan Indonesia.

1.7 Sistematika Laporan Penelitian

Penelitian ini terdiri atas empat bab. Bab I merupakan pendahuluan yang

berisi latar belakang, masalah, objek penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka,

landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II berisi

gambaran tentang Karya Sambutan novel Di Bawah Lindungan Kabah karya Hamka.

Bab III berisi uraian tentang Horizon Harapan Pembaca Novel Di Bawah Lindungan

Kabah. Bab IV Penutup, berisi simpulan dan saran untuk penelitian selanjutnya.