bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam komunikasi sehari-hari, manusia tidak hanya bertutur dalam rangka
menyampaikan atau bertukar informasi, tetapi juga melakukan tindakan melalui
tuturannya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh John Austin, seorang filsuf
berkebangsaan Inggris, bahwa terdapat dua jenis tuturan yaitu tuturan konstantif
dan tuturan performatif. Tuturan konstantif adalah tuturan yang digunakan untuk
mengatakan sesuatu atau menyampaikan informasi, sedangkan tuturan performatif
adalah tuturan yang digunakan untuk melakukan sesuatu. Pada kenyataannya,
tuturan manusia tidak hanya mengandung informasi tetapi juga dapat
mengandung berbagai tindakan yang salah satunya ditandai dengan munculnya
verba performatif seperti memerintah, berjanji, memohon, melarang, dan
sebagainya. Namun, verba performatif tidak selalu muncul secara eksplisit dalam
tuturan sehingga diperlukan konteks untuk dapat memahami maksud (tindakan)
yang terkandung dalam tuturan tersebut.
Hubungan antara tuturan dan konteks tidak dapat dielakkan. Firth (dalam
Wijana, 1996: 7) menyatakan bahwa kajian bahasa tidak dapat dilakukan tanpa
mempertimbangkan konteks situasi yang meliputi partisipasi, tindakan partisipasi,
ciri-ciri situasi lain yang relevan dengan hal yang sedang berlangsung, dan
dampak-dampak tindakan tutur yang diwujudkan dengan bentuk-bentuk
perubahan yang timbul akibat tindakan partisipan. Hal inilah yang dikaji oleh
pragmatik, yakni cabang linguistik yang mempelajari bahasa yang digunakan
1
2
untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu (Nadar, 2009:2). Wijana (1996: 2)
menyebutkan bahwa pragmatik mengkaji makna yang terikat dengan konteks.
Dengan demikian, pragmatik tidak semata-mata mengkaji wujud-wujud
kebahasaan, melainkan bagaimana wujud-wujud kebahasaan itu digunakan dalam
berkomunikasi.
Salah satu bahasan utama dalam kajian pragmatik adalah tindak tutur.
Tindak tutur dapat diartikan sebagai tindakan-tindakan yang ditampilkan melalui
tuturan. Tuturan yang dilakukan seseorang tidak semata-semata berwujud tuturan
yang diucapkan (tindak lokusi), tetapi juga mengandung maksud tuturan (tindak
ilokusi), dan akibat yang ditimbulkan dari tuturan tersebut (tindak perlokusi).
Tindak ilokusi merupakan fokus kajian pragmatik. Tindak ilokusi cenderung sulit
didefinisikan karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan
lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan faktor-faktor lain yang
melingkupi tuturan.
Kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat dilepaskan dari tindak tutur
dalam berbagai situasi. Sebagai makhluk sosial manusia selalu berhubungan
dengan orang lain dan melakukan tindakan-tindakan yang salah satunya
diungkapkan melalui tuturan. Seluruh sisi kehidupan manusia yang melibatkan
interaksi dengan orang lain hampir selalu melibatkan peran tindak tutur dalam
berbagai wujud dan cara penyampaiannya. Cara seseorang memerintah, berjanji,
memohon, meminta maaf, atau mengundang dipengaruhi oleh beberapa faktor
misalnya usia, jabatan, kedekatan penutur dengan mitra tutur, suasana tuturan
(formal/informal), tujuan tuturan, dan latar belakang penutur serta mitra tutur.
3
Situasi tutur yang berbeda akan menunjukkan penggunaan tindak tutur yang
berbeda pula.
Salah satu situasi tutur yang dapat memberikan gambaran mengenai
penggunaan tindak tutur yang mempunyai ciri khas tertentu adalah kegiatan
belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar memiliki ciri khusus yang
membedakannya dengan situasi tutur yang lain, yakni (1) memiliki tujuan yang
jelas, yaitu membantu siswa dalam suatu perkembangan tertentu dengan
memusatkan perhatian pada siswa, (2) ada suatu prosedur (jalannya interaksi)
yang didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, (3) ditandai dengan
satu penggarapan materi khusus,(4) ditandai dengan adanya aktivitas siswa, (5)
guru berperan sebagai pembimbing, (6) ada pola tingkah laku yang diatur
sedemikian rupa menurut ketentuan yang harus ditaati oleh semua pihak, baik
guru maupun murid, dan (7) ada batas waktu untuk mencapai tujuan (Sunardi,
1980: 16- 17 dalam Mulyani, 2011: 22). Berdasarkan ciri tersebut, tampak peran
guru sangat besar dalam proses belajar mengajar yakni menjadi pembimbing dan
pengatur kegiatan belajar dan pola tingkah laku.
Sebagai seseorang yang menjadi pembimbing dan bertanggung jawab atas
kegiatan belajar mengajar, seorang guru mempunyai wewenang untuk
memberikan perintah, nasehat, petunjuk kerja, maupun larangan pada siswa dalam
rangka menjalankan kegiatan belajar mengajar. Perintah, nasehat, petunjuk kerja,
atau larangan tersebut umumnya diwujudkan dalam tindak tutur direktif, yakni
tindak tutur yang dimaksudkan agar mitra tutur melakukan sesuatu sesuai dengan
keinginan penutur. Tindak tutur direktif dapat direalisasikan kedalam berbagai
4
jenis dan strategi tuturan yang dimaksudkan agar siswa melakukan tindakan
sesuai dengan keinginan guru. Seorang guru perlu memilih bahasa yang sesuai
dalam bertutur sehingga maksud tuturan dapat diterima dengan baik dan
menumbuhkan kepercayaan siswa. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh David
(2004) dalam Lavalle-Alcudia (tanpa tahun) bahwa pemilihan dan kesesuaian
bahasa yang digunakan oleh guru di dalam kelas akan meningkatkan kepercayaan
siswa.
Cara guru mengungkapkan tuturan direktif dipengaruhi oleh beberapa
faktor misalnya tahap pembelajaran, materi pelajaran, bahasa yang digunakan,
hingga tingkat kedekatan guru dengan siswa. Tindak tutur direktif pada saat
membuka pelajaran berbeda dengan tindak tutur direktif yang digunakan pada saat
melaksanakan aktivitas inti pembelajaran. Sebagai contoh, pada tahap apersepsi,
guru umumnya menggunakan tindak tutur direktif mengajak, sedangkan pada saat
mengevaluasi hasil tugas guru menggunakan tindak tutur direktif suruhan
(Etikasari, 2012: 6). Selain itu, faktor mata pelajaran atau materi ajar juga
membedakan jenis tindak tutur direktif yang digunakan. Guru yang mengajar
mata pelajaran yang bersifat praktek misalnya bahasa Inggris (untuk keterampilan
berbicara) atau fisika (pada saat praktikum) lebih banyak menggunakan tuturan
direktif dibanding guru yang memberikan ceramah pada mata pelajaran agama
atau kewarganegaraan.
Bahasa pengantar juga dapat membedakan jenis tindak tutur yang dipakai
dikarenakan adanya faktor budaya yang melekat pada setiap bahasa sehingga
membedakannya dengan bahasa lain. Penggunaan tindak tutur dapat
5
merefleksikan pola hubungan masyarakat penuturnya berdasarkan status sosial,
jarak sosial, usia, dan faktor-faktor lainnya yang terikat dengan budaya. Sebagai
contoh, Falsgraf dan Majors (1995) dalam Dalton-Puffer (2004: 5) dalam
penelitiannya menemukan adanya perbedaan signifikan antara penggunaan bahasa
Jepang dan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pengajaran di sekolah dasar
di Jepang. Guru yang menggunakan bahasa Jepang lebih cenderung menggunakan
tuturan direktif langsung dibanding mereka yang mengajar dalam bahasa Inggris.
Falsgraf dan Majors menyimpulkan bahwa tingkat kelangsungan tuturan
menunjukkan perbedaan status antara guru dan siswa sekaligus menunjukkan pola
hubungan antara guru dan siswa yang cenderung dekat dan informal.
Penelitian ini mengkaji penggunaan tindak tutur direktif dalam pengajaran
percakapan bahasa Inggris. Tindak tutur direktif dipilih karena jenis tindak tutur
ini banyak digunakan oleh guru dalam mengajar. Pengajaran percakapan bahasa
Inggris dipilih dalam studi ini karena dalam aktivitas pembelajarannya guru
banyak bertutur secara lisan menggunakan tindak tutur direktif untuk memberikan
perintah, saran, larangan, atau tuturan direktif lainnya dalam pelaksanaan kegiatan
belajar mengajar. Mengajar dengan menggunakan bahasa asing memberikan
tantangan tersendiri karena guru harus dapat memberikan arahan, penjelasan, atau
perintah secara jelas kepada siswa dengan menggunakan bahasa asing. Selain itu,
dalam pengajaran bahasa asing yang menekankan kemampuan berkomunikasi,
seorang guru menjadi model penggunaan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-
hari.
6
Pengambilan data penelitian ini dilakukan di kelas percakapan bahasa
Inggris (English conversation) semester pertama di Lembaga Pendidikan dan
Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) Yogyakarta sehingga tuturan-tuturan
yang digunakan cenderung formal. LP3I merupakan lembaga vokasi yang
menyiapkan siswanya untuk menjadi tenaga kerja profesional. Oleh karena itu,
pengajaran percakapan bahasa Inggris di lembaga ini menitikberatkan pada
kemampuan penggunaan bahasa dalam berkomunikasi.
Penelitian ini layak dilakukan karena penggunaan tindak tutur direktif
dalam pengajaran percakapan bahasa Inggris sangat bervariasi meliputi jenis,
strategi penyampaian, fungsi, maupun strategi kesopanan yang digunakan. Variasi
penggunaan tindak tutur direktif dapat diamati dalam beberapa contoh berikut:
(1) Let‟s review a little bit!
„Mari kita ulas kembali sedikit!‟
Konteks: Pada saat guru memberikan pertanyaan, tidak ada siswa yang
menjawab. Guru kemudian mengajak siswa mengulas kembali
materi yang pernah diberikan.
Tuturan (1) menunjukkan penggunaan tindak tutur direktif ajakan yang
disampaikan secara langsung dengan menggunakan modus kalimat imperatif
ajakan. Tuturan tersebut berfungsi untuk mengajak siswa mengulas kembali
materi yang telah disampaikan oleh guru. Dalam tuturan tersebut, guru
menggunakan let‟s/ let us „mari kita‟ sebagai bagian dari strategi kesopanan yakni
melibatkan penutur dan lawan tutur dalam suatu kegiatan tertentu.
(2) Who is going to start the activity?
„Siapa yang akan memulai aktivitas (memperkenalkan diri)?‟
Konteks: Guru meminta salah satu siswa untuk mengawali kegiatan
memperkenalkan diri secara sukarela.
7
Tuturan (2) merupakan tindak tutur direktif perintah secara tidak langsung yang
dituturkan dengan modus kalimat interogatif. Tuturan tersebut berfungsi untuk
meminta salah satu siswa memulai aktivitas memperkenalkan diri di depan kelas.
Guru menggunakan kalimat interogatif sebagai bagian dari strategi kesopanan
untuk mengurangi kesan memerintah pada siswa.
(3) Time is up.
„Waktunya selesai.‟
Konteks: Guru menyuruh siswa menghentikan segala aktivitas dengan
mengatakan bahwa waktu untuk mengerjakan telah selesai.
Tuturan (3) merupakan tutuan direktif perintah yang dituturkan secara tidak
langsung menggunakan kalimat deklaratif yang menyatakan bahwa waktu
mengerjakan telah selesai. Berdasarkan ilokusinya, tuturan ini berfungsi untuk
menyuruh siswa berhenti mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru karena
waktu mengerjakan telah selesai. Meskipun dituturkan secara tidak langsung, para
siswa dapat mengerti maksud ilokusi dari tuturan ini dan segera menghentikan
aktivitasnya mengerjakan tugas.
(4) What do you know about cross-culture greeting?
„Apa yang kamu ketahui tentang ungkapan salam lintas budaya?‟
Konteks: Guru bertanya kepada siswa mengenai apa yang mereka ketahui
tentang ucapan salam dalam berbagai budaya.
Pada tuturan (4) terdapat jenis tindak tutur pertanyaan yaitu tindak tutur direktif
yang menghendaki jawaban atau informasi dari lawan tutur. Tindak tutur direktif
pertanyaan dituturkan menggunakan kalimat interogatif. Tuturan ini berfungsi
untuk memancing keaktifan siswa dalam proses pembelajaran, salah satunya
dengan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru.
(5) Ladies and gentlemen, please listen to your friend!
„Saudara-saudara, tolong dengarkan teman Anda!‟
8
Konteks: Pada saat salah satu siswa tampil di depan kelas, sebagian siswa
ramai. Guru kemudian meminta siswa agar tenang dan
mendengarkan siswa yang sedang berbicara di depan kelas.
Dalam tuturan (5) tersebut guru menggunakan tindak tutur direktif permintaan
secara langsung dengan menggunakan kalimat imperatif berpenanda kesopanan
please „tolong‟. Tuturan ini berfungsi untuk memohon siswa agar tenang dan
mendengarkan teman lain yang sedang berbicara.
(6) Don‟t joke!
„Jangan bercanda!‟
Konteks: Pada saat pelaksanaan aktivitas pembelajaran, beberapa siswa
tampak bercanda sehingga guru menegur siswa yang bercanda
dengan mengucapkan tuturan berupa larangan agar siswa
berhenti bercanda.
Tuturan (6) merupakan tindak tutur larangan yang dituturkan secara langsung
dengan menggunakan modus imperatif negatif. Tuturan ini berfungsi untuk
melarang siswa bercanda pada saat mengikuti aktivitas belajar.
(7) I want you, now, choose one friend that you have asked and go in front of
the class and introduce your friend to the rest of the class.
„Saya ingin, sekarang, pilih satu teman yang telah kalian tanyai dan maju
ke depan kelas dan perkenalkan temanmu kepada teman-teman yang lain.‟
Konteks: Guru meminta siswa untuk berlatih memperkenalkan orang lain
yakni teman dalam kelompok yang sudah saling berkenalan.
Dalam tuturan (7), secara tidak langsung guru memerintah siswa untuk melakukan
serangkaian aktivitas pembelajaran yakni mempraktekkan cara memperkenalkan
orang lain dalam bahasa Inggris. Tuturan tidak langsung ditandai dengan
penggunaan modus kalimat deklaratif yang menyatakan keinginan. Tuturan
tersebut berfungsi untuk memberikan perintah kepada siswa.
(8) In the next TOEIC test you have to get higher score than that, you have to
work hard with Miss Adin ya.
„Di tes TOEIC selanjutnya kalian harus mendapat nilai lebih tinggi, kalian
harus bekerja keras dengan Bu Adin ya.‟
9
Konteks: Guru menanyakan hasil ujian TOEIC siswa dan sebagian besar
mengatakan bahwa hasilnya tidak memuaskan. Guru kemudian
menyuruh siswa agar belajar lebih keras untuk mendapatkan
skor yang lebih tinggi di tes selanjutnya.
Pada tuturan (8), terdapat jenis tindak tutur direktif nasihat. Tuturan ini
digolongkan kedalam tuturan direktif tidak langsung dengan modus kalimat
deklaratif keharusan ditandai dengan pemakaian have to „harus‟. Tuturan ini
berfungsi untuk menasihati siswa agar belajar lebih keras.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, tindak tutur direktif dalam pengajaran
percakapan bahasa Inggris menunjukkan adanya variasi dalam hal jenis tuturan,
strategi penyampaian tuturan, fungsi tuturan, dan strategi kesopanan. Kajian ini
mengambil data secara terbatas pada satu guru yang mengajar di dua kelas,
dimana baik guru maupun siswa berasal dari etnis Jawa. Oleh karena itu, hasil
penelitian ini tidak dapat digeneralisasi, melainkan memberikan gambaran
mengenai variasi tindak tutur direktif dalam konteks tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Bagaimanakah jenis tindak tutur direktif dalam pengajaran percakapan bahasa
Inggris?
2) Bagaimanakah strategi penyampaian tindak tutur direktif dalam pengajaran
percakapan bahasa Inggris?
3) Bagaimanakah fungsi tindak tutur direktif dalam pengajaran percakapan
bahasa Inggris?
10
4) Bagaimanakah strategi kesopanan tindak tutur direktif dalam pengajaran
percakapan bahasa Inggris?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan jenis tindak tutur direktif dalam pengajaran percakapan
bahasa Inggris.
2) Mendeskripsikan strategi penyampaian tindak tutur direktif dalam pengajaran
percakapan bahasa Inggris.
3) Mendeskripsikan fungsi tindak tutur direktif dalam pengajaran percakapan
bahasa Inggris.
4) Mendeskripsikan strategi kesopanan tindak tutur direktif dalam pengajaran
percakapan bahasa Inggris.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai manfaat yang bersifat teoretis maupun praktis.
Manfaat teoretis dari penelitian ini adalah temuan-temuan penelitian ini dapat
memperkaya khasanah kajian linguistik pragmatik khususnya tindak tutur direktif.
Penelitian ini memberikan gambaran mengenai pemakaian tindak tutur direktif
dalam ranah pengajaran percakapan bahasa Inggris. Selain itu, penelitian ini juga
dapat dijadikan acuan dalam penelitian pragmatik oleh para peneliti selanjutnya.
Secara praktis penelitian ini bermanfaat bagi pembelajar dan pengajar
bahasa Inggris. Bagi para pembelajar bahasa Inggris, hasil penelitian ini dapat
digunakan untuk mengenali jenis-jenis tindak tutur direktif dalam bahasa Inggris.
11
Sementara itu, bagi pengajar bahasa Inggris, penelitian ini memberikan gambaran
mengenai variasi tindak tutur direktif yang digunakan dalam pengajaran
percakapan bahasa Inggris meliputi jenis tuturan, strategi penyampaian tuturan,
fungsi tuturan, dan strategi kesopanan sehingga pengajar dapat menggunakan
tuturan yang lebih bervariasi dan sesuai dalam berinteraksi dengan siswa. Para
pengajar juga dapat mempertimbangkan penggunaan tindak tutur yang sesuai
dengan konteks pengajarannya sehingga tuturannya lebih efektif dan mudah
diterima oleh siswa.
1.5 Tinjauan Pustaka
Tindak tutur direktif dalam berbagai ranah, beberapa diantaranya dalam
ranah pengajaran, telah dikaji oleh beberapa peneliti sebelumnya, yakni Dalton-
Puffer (2003), Mulyani (2011), Aini (2012), Ardianto (2013), dan Lailiyah
(2013).
Dalton-Puffer (2003) melakukan penelitian berjudul “Telling Each Other
To Do Things in Class: Directives in Content and Language Integrated
Classroom”. Penelitian ini mengkaji penggunaan tindak tutur direktif pada
kegiatan belajar-mengajar mata pelajaran non-bahasa Inggris yang disampaikan
dalam bahasa Inggris. Penelitian ini dilakukan di Austria pada level sekolah
menengah. Tindak tutur direktif dipilih karena sering digunakan dalam interaksi
di dalam kelas dan melibatkan aspek pragmatik antarbahasa (interlanguage
pragmatics) yang dalam hal ini dititikberatkan pada aspek kesopanan berbahasa.
Penelitian ini difokuskan pada salah satu jenis tindak tutur direktif permintaan
(request). Data penelitian ini adalah tindak tutur direktif permintaan yang didapat
12
dari pengamatan secara langsung di dalam kelas. Penelitian ini menunjukkan
adanya variasi realiasi tindak tutur direktif permintaan baik tindak tutur langsung
maupun tidak langsung. Selain itu, penggunaan tindak tutur direktif permintaan
juga dipengaruhi oleh karakter dan budaya masing-masing orang yang terlibat
dalam kegiatan belajar-mengajar tersebut (guru dan siswa).
Adapun perbedaan penelitian Dalton-Puffer (2003) dengan penelitian yang
dilakukan penulis terletak pada batasan masalahnya. Penelitian Dalton-Puffer
(2003) mengkaji tindak tutur direktif permintaan dengan menitikberatkan pada
strategi kesopanan. Sementara itu, penelitian yang dilakukan penulis meliputi
semua kemungkinan jenis, strategi penyampaian, fungsi, dan strategi kesopanan
yang digunakan oleh guru percakapan bahasa Inggris dalam mengajar.
Mulyani (2011) menyusun sebuah disertasi berjudul “Tindak Tutur
Direktif Guru SMA dalam Kegiatan Belajar-Mengajar di Kelas: Kajian Pragmatik
dengan Perspektif Gender di SMA Kabupaten Ponorogo”. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk tindak tutur direktif guru SMA dalam
kegiatan belajar mengajar di kelas, mendeskripsikan realisasi fungsi dan makna
tindak tutur tersebut, mengidentifikasi dan memerikan perbedaan bentuk dan
realisasi fungsi serta makna tindak tutur direktif guru laki-laki dan perempuan
terkait prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan serta faktor yang dominan. Data
berupa tuturan atau ujaran beserta konteksnya tentang tindak tutur direktif guru
secara lisan dan langsung serta wajar dikumpulkan dengan teknik simak, rekam,
catat, dan pengamatan berpartisipasi. Temuan penelitian ini adalah struktur
penyajian tindak tutur direktif guru SMA dalam KBM mencakup kegiatan awal,
13
kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Frekuensi tindak tutur direktif yang paling
banyak adalah perintah dengan segala variasinya yang meliputi: memerintah,
memperingatkan, menyuruh, menegur, melarang, mendesak, mengharuskan.
Selain itu, guru memenuhi prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan dalam
berkomunikasi.
Terdapat perbedaan tuturan direktif antara guru laki-laki dan guru
perempuan. Guru perempuan cenderung lebih banyak menggunakan permintaan,
bertutur secara langsung, sedikit menggunakan tuturan literal, cenderung
menggunakan strategi kesopanan negatif, lebih banyak menggunakan verba
eksplisit, lebih banyak memanfaatkan penanda intonasi, dan lebih banyak
menggunakan verba performatif. Sementara itu, guru laki-laki cenderung lebih
banyak menggunakan perintah, bertutur secara tidak langsung, banyak
menggunakan tuturan literal, sedikit menggunakan strategi kesopanan negatif,
lebih sedikit menggunakan verba eksplisit, banyak menggunakan penanda
tekanan, dan lebih sedikit menggunakan verba performatif pengulangan. Faktor
dominan yang melatarbelakangi perbedaan tindak tutur guru laki-laki dan
perempuan adalah: 1) konteks situasi formal dan informal, 2) faktor kuasa dan
solidaritas, 3) style guru dalam bertutur.
Perbedaan penelitian Mulyani (2011) dan penelitian yang dilakukan oleh
penulis terletak pada fokus kajian. Penelitian Mulyani (2011) fokus pada bentuk
dan makna tuturan serta bagaimana perbedaan penggunaan tindak tutur direktif
oleh guru laki-laki dan perempuan. Sementara itu, penelitian penulis tidak
mengambil perspektif gender dalam analisis data dan cakupan penelitiannya
14
meliputi empat hal yakni jenis, strategi penyampian, fungsi, dan strategi
kesopanan.
Penelitian lain mengenai tindak tutur direktif berjudul “Tindak Tutur
Direktif Bahasa Inggris dalam Transkrip Dialog Film Nanny McPhee (Kajian
Pragmatik)” dilakukan oleh Aini (2012). Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan jenis tindak tutur direktif bahasa Inggris dalam film Nanny
McPhee, mendeskripsikan makna tindak tutur direktif dan menjelaskan faktor-
faktor munculnya tindak tutur direktif tersebut. Objek penelitian ini berupa tindak
tutur direktif dalam transkrip film Nanny McPhee yang divalidasi kembali dengan
melihat film secara langsung. Data kemudian dianalisis menggunakan metode
kontekstual. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa tindak tutur direktif
yang digunakan dalam film Nanny McPhee memiliki wujud tindak tutur literal
langsung, literal tidak langsung, dan tidak literal tidak langsung. Maksud utama
tuturan direktif adalah meminta seseorang melakukan sesuatu. Selain itu,
berdasarkan bentuk verba dan konteksnya, tuturan direktif mempunyai beberapa
maksud turunan yaitu meminta, menyarankan, mengajak, mempersilakan,
membiarkan, menyindir, mempercayakan, minta maaf, minta izin, dan
memperingatkan. Munculnya tindak tutur direktif juga dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu latar belakang peserta tutur, warna emosi, situasi tutur, maksud dan
tujuan, serta norma.
Penelitian Aini (2012) dan penelitian yang dilakukan penulis mempunyai
persamaan dalam hal bahasa yang dikaji yakni bahasa Inggris. Namun, sumber
data dalam penelitian Aini (2012) diambil dari film dan dituturkan oleh penutur
15
asli dalam konteks budaya bahasa tersebut, sedangkan data dalam penelitian
penulis berupa tuturan guru yang bukan merupakan penutur asli bahasa Inggris.
Ardianto (2013) melakukan penelitian berjudul “Tindak Tutur Direktif
Guru dalam Wacana Interaksi Kelas Anak Tunarungu di SLB-B YPTB Malang”.
Penelitian ini berfokus pada bentuk, fungsi, strategi, dan keefektifan tindak tutur
direktif guru dalam wacana interaksi kelas anak tunarungu. Data dalam penelitian
ini dikumpulkan melalui observasi nonpartisipan, perekaman, dan pencatatan.
Data dianalisis dengan menggunakan analisis interaktif model Miles dan
Huberman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) bentuk tindak tutur
direktif guru dalam wacana interaksi kelas anak tunarungu diwujudkan melalui
modus deklaratif, interogatif, dan imperatif, 2) fungsi tindak tutur direktif guru
dalam wacana interaksi kelas anak tunarungu bervariasi berdasarkan konteks
tuturan yakni memerintah, meminta, melarang, mengizinkan, menyarankan,
menasihati, mengajak, menegur, memancing, dan mengarahkan, 3) strategi
perealisasian tindak tutur direktif guru dalam wacana interaksi kelas anak
tunarungu meliputi strategi langsung dan strategi tak langsung, 4) berdasarkan
keefektifannya, modus imperatif dan deklaratif cenderung lebih efektif dibanding
modus interogatif, dan tuturan secara langsung lebih efektif dibanding tuturan
tidak langsung. Selain itu, semakin tinggi pengkombinasian tuturan dengan isyarat
yang dilakukan, semakin efektif tuturan guru yang disampaikan pada siswa di
dalam kelas.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Ardianto (2013) terdapat pada
lawan tutur. Pada penelitian Ardianto (2013) lawan tutur merupakan para
16
tunarungu sehingga guru banyak menggunakan isyarat selain tuturan, sementara
itu penelitian ini melibatkan penutur dan lawan tutur dengan alat dengar dan alat
wicara yang normal.
Lailiyah (2013) melakukan penelitian berjudul “Tindak Tutur Direktif
dalam Rubrik Reader‟s Forum di The Jakarta Post”. Penelitian ini
mendeskripsikan jenis, maksud, dan strategi kesopanan yang digunakan dalam
tuturan direktif yang terdapat dalam Reader‟s Forum di The Jakarta Post. Data
dalam penelitian ini dikumpulkan melalui metode simak, dianalisis dengan
metode kontekstual, dan disajikan secara informal. Temuan penelitian ini
menunjukkan bahwa berdasarkan jenisnya, tindak tutur direktif terbagi menjadi
tindak tutur langsung, tindak tutur tidak langsung, dan tindak tutur literal.
Berdasarkan makna atau maksudnya, tindak tutur direktif mempunyai maksud
memerintah, melarang, meminta, menyarankan, mengajak, mengharapkan,
membiarkan. Strategi kesopanan yang digunakan dalam mengungkapkan tuturan
direktif dalam rubrik Reader‟s Forum di The Jakarta Post menerapkan dua
strategi, yakni strategi kesopanan positif dan strategi kesopanan negatif . \
Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh
Lailiyah (2013) terdapat pada jenis bahasa yang digunakan dimana penelitian ini
menggunakan jenis bahasa lisan sedangkan penelitian Lailiyah (2013)
menggunakan bahasa tulis. Penelitian ini juga membahas mengenai jenis dan
fungsi tindak tutur direktif, sedangkan dalam Lailiyah (2013) hanya membahas
mengenai fungsi (makna).
17
Berdasarkan kajian pustaka terhadap penelitian-penelitian sebelumnya
mengenai tindak tutur direktif, sejauh ini belum ada penelitian mengenai tindak
tutur direktif dalam pengajaran percakapan bahasa Inggris. Penelitian yang
dilakukan penulis mempunyai kekhasan dibanding penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya yakni data tuturan berupa tuturan direktif bahasa Inggris yang
dituturkan dalam pengajaran percakapan bahasa Inggris yang tergolong dalam
keterampilan aktif (active skill) berbahasa. Selain itu, tuturan-tuturan yang
terdapat dalam pengajaran percakapan bahasa Inggris ini dituturkan dalam bahasa
target (bahasa Inggris) oleh penutur dan lawan tutur yang bukan merupakan
penutur asli bahasa yang digunakan.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Pragmatik
Pragmatik merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji
penggunaan bahasa dalam komunikasi. Berbeda dengan tata bahasa yang
mengkaji bahasa berdasarkan struktur internalnya, pragmatik adalah studi
mengenai bagaimana bahasa digunakan dalam berkomunikasi (Parker, 1986:11).
Sementara itu, Levinson (1983:9) mendefinisikan pragmatik sebagai kajian
hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasi atau terkodifikasi
dalam struktur bahasa. Fokus kajian pragmatik adalah maksud penutur yang
tersurat atau tersirat dalam tuturan (Rahardi, 2005: 6). Untuk dapat memahami
maksud penutur dengan baik diperlukan pemahaman mengenai konteks tuturan.
Kajian pragmatik tidak dapat dipisahkan dari konteks penggunaan bahasa,
sebagaimana diungkapkan oleh Leech (1993: 2) bahwa pragmatik berurusan
18
dengan tindak-tindak atau performasi-performasi verbal yang terjadi dalam situasi
dan waktu tertentu. Konteks merupakan semua hal yang berkaitan dengan
lingkungan baik fisik maupun sosial atau latar belakang pengetahuan yang sama-
sama dimilki oleh peserta tutur sehingga dapat saling mengerti maksud tuturan
(Nadar, 2009: 7; Wijana, 1996:11).
Berdasarkan teori-teori yang disampaikan, dapat disimpulkan bahwa
pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji penggunaan bahasa
dalam konteks tertentu untuk dapat memahami maksud penggunaan bahasa
tersebut.
1.6.2 Tindak Tutur
Tindak tutur merupakan salah satu kajian pragmatik yang utama. Tindak
tutur dapat didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan melalui tuturan atau
ujaran (Yule, 2002: 47). Selanjutnya, Yule menjelaskan bahwa setiap tindakan
yang dilakukan melalui tuturan akan mengandung tiga jenis tindakan yaitu tindak
lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak lokusi (the act of saying something) adalah
tindak mengatakan suatu ujaran dan bersifat informatif. Ilokusi (the act of doing
something) adalah tindakan yang terkandung dalam sebuah tuturan atau maksud
tuturan. Perlokusi (the act of affecting something) adalah efek atau pengaruh yang
ditimbulkan oleh suatu tuturan. Ilokusi merupakan obyek utama kajian tindak
tutur, yakni pembuatan pernyataan, permintaan, tawaran, janji dan sebagainya
dalam mengucapkan sebuah kalimat yang mempunyai maksud (kekuatan atau
dorongan) tertentu yang bersifat konvensional (Levinson, 1983: 236).
19
Searle (1979: 12-20) mengelompokkan tindak tutur ilokusi menjadi lima.
Kelima jenis tindak tutur ilokusi tersebut adalah sebagai berikut.
1) Asertif. Pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran proposisi yang
diungkapkan misalnya menyatakan, mengusulkan, mengeluh, mengemukakan
pendapat, dan melaporkan.
2) Direktif. Ilokusi ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan yang
dilakukan oleh petutur misalnya memesan, memerintah, memohon, menuntut,
dan memberi nasihat.
3) Komisif. Pada ilokusi ini penutur (sedikit banyak) terikat pada suatu tindakan
di masa depan, misalnya menjanjikan, menawarkan, dan berkaul.
4) Ekspresif. Fungsi ilokusi ini adalah mengungkapkan atau mengutarakan sikap
psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya
mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam,
memuji, dan berbelasungkawa.
5) Deklaratif. Berhasilnya pelaksanaan ilokusi ini akan mengakibatkan adanya
kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas, misalnya membaptis, memecat,
memberi nama, dan menjatuhkan hukuman.
Piranti yang digunakan untuk mengindikasikan daya ilokusi disebut
sebagai illocutionary force indicating device (IFID). IFID dapat berupa kata kerja
performatif, urutan kata, penekanan, atau intonasi. Selain itu, daya ilokusi juga
dapat diketahui berdasarkan konteks tuturan (Yule, 2002: 49-50). Agar dapat
dianggap valid, tindak tutur harus memenuhi beberapa kriteria yaitu: (1) pelaku
dan situasi harus sesuai, (2) tindakan harus dilakukan secara lengkap dan benar
20
oleh semua pelaku, dan (3) pelaku harus mempunyai maksud yang sesuai. Oleh
karena itu, untuk dapat memahami maksud ilokusi secara tepat diperlukan
pemahaman terhadap konteks tuturan, baik oleh penutur maupun lawan tutur.
1.6.3 Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif merupakan salah satu jenis tindak tutur yang paling
banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tindak tutur direktif digunakan
penutur untuk mengekspreksikan maksud, keinginan, atau harapan, yang dapat
dijadikan sebagai alasan bagi mitra tutur untuk bertindak (Searle, l985: 23 dalam
Purnawan, 2009: 13). Yule (2002:54) menyatakan bahwa tindak tutur ilokusi
direktif adalah tindak tutur yang dituturkan oleh penutur untuk membuat orang
lain (mitra tutur) melakukan sesuatu. Celce-Murcia dan Larsen (1999: 234) dalam
Aini (2012: 80) menyatakan bahwa berdasarkan konteksnya, tuturan direktif tidak
hanya bermakna memerintah atau menyuruh namun juga dapat bermakna lain.
Makna tuturan lainnya adalah meminta/ memohon, menawarkan, menganjurkan
atau menyarankan, menasehati, menunjukkan arah, menunjukkan prosedur,
melarang, memperingatkan, mengajak, dan mengancam.
Bach dan Harnis (dalam Firdaus, 2012: 146) membagi tindak tutur direktif
atas lima kelompok jenis, yakni: 1) kelompok permintaan yang mencakup
meminta, memohon, mengajak, mendorong, mengundang, dan menekan, 2)
kelompok pertanyaan, yang mencakup bertanya, berinkuiri, dan menginterogasi,
3) kelompok persyaratan, yang mencakup memerintah, mengomando, menuntut,
mendikte, mengarahkan, menginstruksikan, mengatur, dan mensyaratkan, 4)
kelompok larangan, yang mencakup melarang dan membatasi, 5) kelompok
21
pengizinan, yang mencakup memberi izin, membolehkan, mengabulkan,
melepaskan, memperkenankan, memberi wewenang, dan menganugerahi, 6)
kelompok nasihat, yang mencakup menasihati, memperingatkan, mengusulkan,
membimbing, menyarankan, dan mendorong.
Realisasi jenis tindak tutur direktif dipengaruhi oleh maksud penutur dan
konteks yang melingkupi tuturan. Pada kenyataannya, tindak tutur direktif
(sebagaimana tindak tutur yang lain) tidak selalu diungkapkan secara langsung
(tersurat dalam tuturan) tetapi dapat juga diungkapkan secara tidak langsung. Oleh
karena itu, diperlukan pemahaman terhadap konteks agar dapat memahami
maksud tuturan. Penutur perlu memperhatikan konteks agar tuturannya dapat
berterima, sedangkan mitra tutur perlu memperhatikan konteks agar dapat
memahami maksud tuturan secara tepat.
1.6.4 Strategi Penyampaian Tindak Tutur
Tindak tutur (tindak ilokusi) dapat dituturkan secara langsung maupun
tidak langsung. Disebut tindak tutur langsung apabila bentuk tuturan
merefleksikan tindak ilokusinya (Parker, 1986: 17). Tindak tutur langsung
ditandai dengan adanya kesesuaian antara maksud tuturan dengan wujud sintaktik
tuturan (modus kalimatnya), yakni kalimat berita untuk memberitakan, kalimat
perintah untuk menyuruh, dan kalimat tanya untuk menanyakan sesuatu. Tindak
tutur tidak langsung ditandai dengan ketidaksesuaian antara wujud tuturan
(modus kalimat) dengan maksud tuturan. Kedua jenis tindak tutur ini sering
digunakan dalam komunikasi. Allan (1986: 166) mengatakan bahwa ilokusi yang
22
sama dapat dinyatakan dalam kalimat yang berbeda dan kalimat yang sama dapat
mengandung ilokusi yang berbeda.
Hal lain yang muncul dalam pembahasan tindak tutur adalah adanya
tindak tutur literal dan nonliteral (Parker, 1986: 19). Tindak tutur literal adalah
tindak tutur yang maknanya sama dengan makna kata yang menyusunnya. Tindak
tutur nonliteral adalah tindak tutur yang maknanya tidak sama atau berlawanan
dengan makna kata yang menyusunnya (Wijana, 1996: 32). Dilihat dari segi
langsung/tidak langsung dan literal/non literal, tindak tutur dapat disampaikan
dalam empat strategi yakni tindak tutur langsung literal, tindak tutur langsung
nonliteral, tindak tutur tidak langsung literal, dan tindak tutur tidak langsung
nonliteral.
Tindak tutur direktif dapat direalisasikan kedalam beberapa bentuk modus
kalimat. Gunarwan (1992: 191) menyebutkan bahwa tindak tutur direktif
setidaknya dapat direalisasikan kedalam beberapa bentuk ujaran direktif yang
meliputi bentuk imperatif, performatif, performatif berpagar, pernyataan
keharusan, pernyataan keinginan, formula saran, pertanyaan, isyarat kuat, dan
isyarat halus. Wujud tuturan deklaratif ini dapat lebih bervariasi tergantung
faktor-faktor lain yang melingkupi tuturan. Keberagaman formulasi tindak tutur
ini oleh Ibrahim (dalam Jalal, 2006: 6) disebabkan oleh pola pemakaian tindak
tutur direktif memang sudah beragam, misalnya berupa perintah, permintaan,
pernyataan bahkan pertanyaan. Pola pemakaian tindak tutur direktif akan terkait
pada persoalan-persoalan berikut ini:
23
1) fungsi pemakaian, misalnya memerintah, melarang, memohon, memberi
saran, dan lain-lain,
2) konteks sosiobudaya berupa struktur kemasyarakatan dan norma-norma
tertentu terkait dengan pola interaksi sosial,
3) pola pemakaian berbagai modus atau strategi dalam menyampaikan tindak
tutur direktif yang harus diselaraskan antara bentuk verbal dengan konteks
tutur dan budaya pelaku tutur.
1.6.5 Kalimat dalam Bahasa Inggris
Berdasarkan nilai komunikatifnya, kalimat bahasa inggris dapat
diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu kalimat deklaratif, kalimat
interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat seru (exclamatory). Kalimat deklaratif
digunakan untuk menyampaikan informasi, kalimat interogatif digunakan untuk
bertanya, kalimat imperatif untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu, dan
kalimat seru untuk mengungkapkan perasaan pribadi penuturnya (Fries, 1952: 31
periksa juga Nadar, 2009: 70-71).
Kalimat deklaratif digunakan untuk menyampaikan informasi kepada
lawan tutur. Kalimat deklaratif paling sederhana terdiri dari subyek dan verba.
Dalam bahasa Inggris, subyek dapat diisi oleh kata-kata berkelas kata benda, kata
ganti, kata kerja berakhiran –ing, to infinitive, frase nomina, dan klausa nomina.
Sementara itu, verba dalam bahasa Inggris diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu:
1) Verba utama atau disebut juga lexical verbs
24
2) Verba bantu/ auxiliary, yang terdiri dari verba bantu primer seperti do,have
dan be dan verba bantu modalitas seperti can, could, may, might, shall, should,
will, would, must, ought to, need,dan dare.
3) Verba bantu semi (semi-auxiliary verbs) misalnya have to, have got to, be
about to.
Informasi yang disampaikan dalam kalimat deklaratif bahasa Inggris akan
dapat dipahami apabila lawan tutur juga mempunyai pemahaman mengenai kala
(tense) dan aspek (aspect) dalam bahasa Inggris. Kala adalah perbedaan bentuk
verba untuk menyatakan perbedaan waktu atau jangka perbuatan (Kridalaksana,
2008: 201), sedangkan aspek adalah kategori gramatikal verba yang menunjukkan
lamanya dan jenis perbuatannya, apakah mulai, sedang berlangsung, selesai,
berulang, dan sebagainya (Kridalaksana, 2008: 21). Tuturan performatif haruslah
berkala kini dan beraspek non-perfektum (Allan, 1986: 169).
Kalimat interogatif merupakan kalimat yang digunakan untuk menanyakan
sesuatu atau meminta informasi. Terdapat tiga jenis kalimat interogatif dalam
bahasa Inggris yaitu kalimat interogatif yang menghendaki jawaban ya/tidak
(yes/no questions), kalimat interogatif yang menghendaki jawaban berupa
informasi, dan kalimat interogatif yang menghendaki jawaban dari pilihan yang
diberikan pada pertanyaan. Kalimat interogatif tipe ya/tidak dimulai dengan kata
kerja bantu lalu diikuti subyek, misalnya: Do you like English lesson?‟Apakah
kamu menyukai pelajaran bahasa Inggris?‟. Kalimat interogatif yang
menghendaki jawaban berupa informasi dimulai dengan kata ganti tanya seperti
what „apa‟, who „siapa‟, which „yang mana‟, whose „milik siapa‟, how
25
„bagaimana‟, whom „siapa‟, when „kapan‟, where „dimana‟, why „mengapa‟.
Contoh kalimatnya adalah Why do you like English lesson? „Mengapa kamu
menyukai pelajaran bahasa Inggris?‟. Sementara itu, kalimat interogatif yang
menghendaki jawaban berupa pilihan dapat serupa dengan dua tipe sebelumnya
(lebih banyak serupa dengan pertanyaan ya/tidak) namun mengandung pilihan,
misalnya Do you like English or math?‟Apakah kamu menyukai bahasa Inggris
atau matematika?‟
Kalimat imperatif dalam bahasa inggris dapat dibedakan menjadi beberapa
tipe, yaitu kalimat imperatif tanpa subyek, kalimat imperatif dengan subyek,
kalimat imperatif dengan kata kerja let, kalimat imperatif negatif, kalimat
imperatif persuasif (Quirk dan Greenbaum, 1973: 200-202) dengan penjelasan
sebagai berikut.
1) Kalimat imperatif tanpa subyek. Kalimat ini terdiri atas kata kerja bentuk
dasar atau infinitive without to serta tidak menunjukkan subyeknya. Umumnya
kalimat perintah tindak mempunyai subjek eksplisit. Secara implisit
subyeknya adalah you „kamu‟ namun subyek tersebut dapat pula dimunculkan
dalam kalimat (Leech dan Svartvik, 1973: 216). Contoh kalimat imperatif
tanpa subyek adalah Be careful! „Hati-hati!‟, Put the book on the table!
„Letakkan buku itu di atas meja!‟.
2) Kalimat imperatif dengan subjek. Subyek kalimat ini biasanya you
„kamu/anda‟ dan dikombinasikan dengan kata kerja bentuk dasar, misalnya
You leave this room immediately! „Anda tinggalkan ruangan ini segera!‟.
26
3) Kalimat imperatif dengan kata kerja let „mari‟. Let „mari‟ diikuti objek orang
pertama tunggal maupun jamak dan orang ketiga, namun tidak dengan bentuk
objek orang kedua seperti you, misalnya Let us do these assignments! „Mari
kita mengerjakan tugas-tugas ini!‟.
4) Kalimat imperatif negatif. Kalimat ini dibentuk dengan menambahkan kata
don‟t „jangan‟ sebelum kata kerja bentuk dasar atau menambahkan kata not
„tidak‟ setelah let‟s „mari kita‟, misalnya Don‟t work too hard! „Jangan
bekerja terlalu keras!‟.
5) Kalimat imperatif persuasif. Kalimat ini menggunakan do „silakan‟ sebelum
kata kerja dan digunakan untuk permintaan disertai harapan besar penuturnya
agar permintaannya dikabulkan oleh lawan tuturnya, misalnya Do have some
more food! „Silakan tambah lagi makanannya!‟.
Kalimat seru mengekspresikan perasaan yang kuat seperti marah, bahagia,
bingung, dan sebagainya. Kalimat seru dapat diawali dengan kata apapun dan
berupa kalimat apapun sepanjang kata atau kalimat tersebut menunjukkan
perasaan yang kuat. Kalimat ini jarang ditemukan dalam bahasa tulis formal dan
banyak digunakan dalam bahasa lisan karena berkaitan erat dengan cara
pengucapannya. Beberapa contoh kalimat seru adalah sebagai berikut: What a
good book! „Sungguh buku yang sangat bagus!‟, How dare you are! „Beraninya
kamu!‟, Help! „Tolong!‟, Great! „Hebat!‟, dan Our team won the championship!
„Tim kita memenangkan kejuaraan!‟.
27
1.6.7 Strategi Kesopanan Berbahasa
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa pragmatik mengkaji
tuturan dalam kaitannya dengan konteks. Pada kenyataannya, situasi-situasi yang
berbeda menuntut adanya jenis-jenis tuturan yang berbeda pula. Hal ini berkaitan
pula dengan derajat sopan santun dalam bertutur. Agar dapat berperilaku sopan,
seseorang harus dapat menggunakan tuturan yang sesuai dengan situasi tutur.
Oleh karena itu penutur perlu menyadari adanya fungsi-fungsi ilokusi. Fungsi
ilokusi dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis sesuai dengan hubungan fungsi-
fungsi tersebut dengan tujuan-tujuan sosial berupa pemeliharaan perilaku yang
sopan dan terhormat (dalam Leech, 1993: 162) sebagai berikut.
1) Kompetitif: tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial misalnya
memerintah, meminta, menuntut, dan mengemis.
2) Menyenangkan: tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial misalnya
menawarkan, mengajak, mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih,
dan mengucapkan selamat.
3) Bekerjasama: tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial misalnya
menyatakan, melapor, mengumumkan, dan mengajarkan.
4) Bertentangan: tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial misalnya
mengancam, menuduh, menyumpahi, memarahi.
Selanjutnya, untuk dapat berlaku sopan dan dalam rangka menjaga
hubungan dengan lawan tutur, Leech (1993: 206-207) menyatakan terdapat 6
maksim kesopanan sebagai berikut.
28
1) Maksim kearifan (tact maxim), buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin
dan buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
2) Maksim kedermawanan (generosity maxim), buatlah keuntungan diri sendiri
sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
3) Maksim pujian (approbation maxim), kecamlah orang lain sesedikit mungkin
dan pujilah orang lain sebanyak mungkin.
4) Maksim kerendahatian (modesty maxim), pujilah diri sendiri sesedikit
mungkin, kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
5) Maksim kesepakatan (agreement maxim), usahakan agar ketaksepakatan diri
dan orang lain terjadi sesedikit mungkin dan usahakan agar kesepakatan antara
diri dengan lain terjadi sebanyak mungkin.
6) Maksim simpati (sympathy maxim), kurangilah rasa antipati antara diri dengan
orang lain hingga sekecil mungkin, tingkatkan rasa simpati sebanyak-
banyaknya antara diri dan orang lain.
Untuk dapat berlaku sopan dalam tuturan direktif, penutur utamanya perlu
memperhatikan dua maksim kesopanan yakni maksim kearifan dan maksim
kedermawanan.
Tindak tutur direktif yang bertujuan untuk membuat orang lain melakukan
sesuatu sesuai dengan keinginan penutur berpotensi memunculkan tindakan
mengancam muka khususnya muka negatif dari mitra tutur. Muka negatif adalah
keinginan seseorang untuk mandiri, bebas bertindak, dan tidak dipaksa oleh orang
lain, sedangkan muka positif adalah keinginan untuk diterima, disukai oleh orang
lain, diakui sebagai bagian dari kelompok dan memiliki keinginan yang sama
29
dengan orang lain (Yule, 2002: 61-62). Tindakan mengancam muka negatif
meliputi perintah dan permintaan, saran, nasihat, peringatan, ancaman, dan
tantangan. Tindakan mengancam muka positif meliputi ketidaksetujuan, kritik,
tindakan merendahkan atau mempermalukan, keluhan, kemarahan, dakwaan,
penghinaan, pertentangan, tantangan, dan sebagainya (Brown dan Levinson, 1987:
66-67 dalam Aini, 2012: 36-37).
Untuk meminta seseorang melakukan suatu tindakan tertentu, penutur
dapat melakukan atau tidak melakukan tindak tutur (dengan gerak-gerik).
Apabila penutur memilih melakukan tindak tutur, dia perlu memilih apakah akan
melakukan tindak tutur secara lugas tanpa penyelamatan muka atau melakukan
tindak tutur dengan penyelamatan muka. Tindakan tanpa penyelamatan muka
dapat dilakukan pada kondisi mendesak dan apabila ancaman terhadap muka
lawan tutur sangat kecil, atau apabila kedudukan penutur jauh lebih tinggi
daripada lawan tutur (periksa Nadar, 2009: 39-40).
Apabila penutur ingin melakukan tindak tutur dengan penyelamatan muka,
penutur dapat melakukan penambahan atau pengubahan tuturan. Tindakan
penyelamatan muka ini dapat dilakukan dengan strategi kesopanan positif maupun
strategi kesopanan negatif. Berdasarkan klasifikasi tindak tutur oleh Searle,
ilokusi direktif merupakan tempat utama kesopanan negatif (Leech, 1993: 166).
Dalam konteks tuturan bahasa Inggris, umumnya tindakan penyelamatan muka
menggunakan strategi kesopanan negatif. Bentuk-bentuk yang biasa digunakan
adalah kalimat pertanyaan yang mengandung modal. Selain itu, ungkapan
permintaan maaf juga sering digunakan dalam tuturan (periksa Yule, 2002: 64-
30
65). Namun demikian, bukan berarti tuturan bahasa Inggris hanya menggunakan
strategi kesopanan negatif, melainkan strategi kesopanan positif juga sangat
mungkin digunakan. Pilihan penggunaan strategi positif maupun negatif ini
dipengaruhi oleh konteks tuturan.
Brown dan Levinson (1987) dalam Hikmah (2011: 21-38) mengajukan
sejumlah strategi kesopanan positif sebagai berikut.
Strategi 1 : memperhatikan minat, keinginan, kelakukan, barang-barang
lawan tutur.
Strategi 2 : melebih-lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati terhadap
lawan tutur.
Strategi 3 : meningkatkan rasa tertarik terhadap lawan tutur, membuat lawan
tutur terlibat.
Strategi 4 : menggunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri atau
kelompok.
Strategi 5 : mencari dan mengusahakan persetujuan dengan lawan tutur.
Strategi 6 : menghindari pertentangan dengan lawan tutur.
Strategi 7 : mempresuposisikan atau menimbulkan persepsi sejumlah
persamaan penutur dan lawan tutur.
Strategi 8 : membuat lelucon.
Strategi 9 : mempresuposisikan atau membuat persepsi bahwa penutur
memahami keinginan lawan tutur.
Strategi 10 : membuat penawaran dan janji.
Strategi 11 : menunjukkan rasa optimisme.
31
Strategi 12 : berusaha melibatkan lawan tutur dan penutur dalam suatu
kegiatan tertentu.
Strategi 13 : memberikan dan meminta alasan.
Strategi 14 : menawarkan suatu tindakan timbal balik , yaitu kalau lawan tutur
melakukan X maka penutur akan melakukan Y.
Strategi l5 : memberikan rasa simpati kepada lawan tutur.
Adapun strategi kesopanan negatif terdiri dari:
Strategi 1 : ungkapan secara tidak langsung sesuai konvensi.
Strategi 2 : gunakan bentuk pertanyaan dengan artikel tertentu.
Strategi 3 : lakukan secara hati-hati dan jangan terlalu optimis.
Strategi 4 : kurangi kekuatan atau daya ancaman terhadap muka lawan tutur.
Strategi 5 : beri penghormatan.
Strategi 6 : gunakan permohonan maaf.
Strategi 7 : jangan menyebutkan penutur dan lawan tutur.
Strategi 8 : nyatakan tindakan mengancam wajah sebagai suatu ketentuan
sosial yang umum berlaku.
Strategi 9 : nominalkan pernyataan
Strategi 10 : nyatakan secara jelas bahwa penutur telah memberikan kebaikan
(hutang) atau tidak kepada lawan tutur.
Pemilihan strategi kesopanan dapat dipengaruhi oleh tiga faktor sosial
yakni kekuasaan, jarak sosial, dan tingkat pembebanan. Kekuasaan adalah
pernyataan hubungan yang menyatakan seberapa besar seseorang dapat memaksa
orang lain tanpa kehilangan muka. Jarak sosial merupakan ukuran kontak sosial
32
antara penutur dan lawan tutur mengenal satu sama lain, dan bagaimana hubungan
mereka dalam konteks. Tingkat pembebanan merupakan status relatif jenis tindak
tutur di dalam situasi yang dianggap tidak terlalu mengancam muka (Brown dan
Levinson, 1987) dalam Rahardi (2005: 68).
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini
dilakukan dalam tiga tahap yakni: 1) tahap penyediaan data, 2) tahap analisis data,
dan 3) tahap penyajian hasil analisis data.
1.7.1 Tahap Penyediaan Data
Data dalam penelitian ini berupa tuturan bahasa Inggris guru dalam kelas
percakapan bahasa Inggris (English conversation) semester pertama di Lembaga
Pendidikan dan Pengembangan Profesi (LP3I) Yogyakarta. Penyediaan data
dilakukan dengan metode simak (observasi) dan teknik simak libat cakap yang
diambil dalam enam sesi pertemuan. Peneliti mengamati kegiatan belajar-
mengajar di dalam kelas agar dapat mengamati konteks tuturan secara langsung
sekaligus mencatat data. Peneliti menggunakan alat perekam untuk merekam
tuturan direktif guru bahasa Inggris dalam mengajar. Setelah dilakukan
perekaman, tahap selanjutnya adalah membuat transkripsi data berupa transkripsi
ortografis. Selanjutnya, dilakukan pengkategorian terhadap tuturan-tuturan
direktif yang digunakan oleh guru. Pengkategorian tindak tutur direktif meliputi
jenis, strategi penyampaian tuturan, fungsi, dan strategi kesopanan dalam tindak
33
tutur direktif. Selain itu, konteks juga ditambahkan dalam pengkategorian agar
dapat memberikan gambaran penggunaan tindak tutur.
1.7.2 Tahap Analisis Data
Data yang telah dikategorikan dalam tahap penyediaan data kemudian
dianalisis dalam tahap analisis data. Pada tahap ini data diamati, dibedah, dan
diuraikan untuk menemukan kaidah mengenai objek yang diteliti, yang dalam hal
ini adalah jenis, strategi penyampaian, fungsi, dan strategi kesopanan tindak tutur
direktif dalam pengajaran percakapan bahasa Inggris. Secara umum, analisis
dilakukan menggunakan pendekatan kontekstual yakni pengkajian bahasa dengan
memperhitungkan konteks luar bahasa. Wujud tuturan dianalisis berdasarkan
konteks tuturan untuk dapat memahami maksud tuturan.
Secara khusus, analisis terhadap empat masalah dalam penelitian ini, yakni
jenis, strategi penyampaian, fungsi, dan strategi kesopanan dilakukan dengan
langkah-langkah berikut. Jenis tindak tutur direktif dianalisis berdasarkan bentuk
tuturan yang tercermin dalam struktur gramatikalnya dengan memperhatikan
konteks tuturan. Strategi penyampaian tindak tutur direktif dianalisis berdasarkan
modus kalimat dan kesesuaian makna tuturan dengan kata-kata yang
menyusunnya. Fungsi tindak tutur direktif dianalisis berdasarkan fungsi yang
diemban oleh tuturan tersebut yang dapat diketahui berdasarkan konteks. Strategi
kesantunan tindak tutur direktif dianalisis berdasarkan modus kalimat dan
penggunaan kosakata dalam tindak tutur direktif dengan tetap mempertimbangkan
konteks tuturan.
34
Kesulitan penelitian ini terletak pada analisis data yang tidak hanya
mempertimbangkan aspek di dalam bahasa tetapi juga konteks tuturan. Konteks
tuturan ini dapat ditafsirkan berbeda-beda antara peneliti satu dengan yang lain
dikarenakan perbedaan sudut pandang dan lata belakang peneliti. Oleh karena itu,
dalam analisis data penelitian ini peneliti memberikan batasan-batasan atau
kriteria-kriteria tertentu yang dijadikan acuan dalam penentuan jenis, strategi
penyampaian, fungsi, dan strategi kesopanan tindak tutur direktif. Adapun
penentuan kriteria ini berdasarkan studi terdahulu maupun berdasarkan
pengamatan yang dilakukan sendiri oleh peneliti selama menganalisi data.
1.7.3 Tahap Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data penelitian ini disajikan secara informal. Dalam
penyajian hasil analisis data secara informal digunakan kata-kata biasa namun
tetap menggunakan istilah-istilah khusus.
1.8 Sistematika Penyajian
Hasil akhir penelitian ini disajikan dalam enam bab. Bab I adalah bagian
pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode penelitian,
dan sistematika penyajian. Bab II berisi ulasan jawaban atas rumusan masalah
yang pertama mengenai jenis tindak tutur direktif dalam pengajaran percakapan
bahasa Inggris. Bab III membahas jawaban rumusan masalah yang kedua
mengenai strategi penyampaian tindak tutur direktif dalam pengajaran percakapan
bahasa Inggris. Bab IV mengulas jawaban rumusan masalah yang ketiga yaitu
fungsi tindak tutur direktif dalam pengajaran percakapan bahasa Inggris. Bab V
35
mengulas jawaban rumusan masalah yang keempat yaitu strategi kesopanan
tindak tutur direktif dalam pengajaran percakapan bahasa Inggris. Bab VI adalah
bagian penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Penyajian hasil penelitian ini
juga akan dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran yang diperlukan.