bab i pendahuluan 1.1 latar...

12
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemauan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Masyarakat diharapkan mampu berperan sebagai pelaku pembangunan kesehatan dalam menjaga, memelihara dan meningkatkan derajat kesehatannya sendiri serta berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat dilakukan dengan berbagi cara, salah satunya dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran atas hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011). PHBS mempunyai tatanan sehat yang terdiri di lima tatanan, yaitu tatanan rumah tangga, tatanan tempat kerja, tatanan tempat umum, tatanan sekolah, dan tatanan sarana kesehatan. Tatanan yang lain Menurut (Dinas Kesehatan) Dinkes Provinsi Jatim (2007, dalam Efendi & Makhfudli 2009: 322) Terdapat tatanan PHBS yang lain yaitu PHBS di tatanan Pondok Pesantren. Tantanan Pondok Pesantren mempunyai Indikator PHBS yaitu kebersihan perorangan; penggunaan air bersih; kebersihan tempat wudhu; pengunaan jamban; kebersihan asrama, halaman dan ruang belajar; ada kader atau santri husada dan kegiatan poskestren; bak penampungan air bebas dari jentik nyamuk; Penggunaan garam beryodium; makanan gizi seimbang; pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan;

Upload: vutu

Post on 03-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan bertujuan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan

kemauan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan

yang setinggi-tingginya. Masyarakat diharapkan mampu berperan sebagai pelaku

pembangunan kesehatan dalam menjaga, memelihara dan meningkatkan derajat

kesehatannya sendiri serta berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.

Peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat dilakukan dengan berbagi

cara, salah satunya dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). PHBS adalah

sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran atas hasil pembelajaran

yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang

kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan masyarakat (Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011). PHBS mempunyai tatanan sehat yang

terdiri di lima tatanan, yaitu tatanan rumah tangga, tatanan tempat kerja, tatanan

tempat umum, tatanan sekolah, dan tatanan sarana kesehatan. Tatanan yang lain

Menurut (Dinas Kesehatan) Dinkes Provinsi Jatim (2007, dalam Efendi & Makhfudli

2009: 322) Terdapat tatanan PHBS yang lain yaitu PHBS di tatanan Pondok

Pesantren.

Tantanan Pondok Pesantren mempunyai Indikator PHBS yaitu kebersihan

perorangan; penggunaan air bersih; kebersihan tempat wudhu; pengunaan jamban;

kebersihan asrama, halaman dan ruang belajar; ada kader atau santri husada dan

kegiatan poskestren; bak penampungan air bebas dari jentik nyamuk; Penggunaan

garam beryodium; makanan gizi seimbang; pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan;

2

gaya hidup tidak merokok dan bebas napza; gaya hidup sadar acquired immune deficiency

syndrome (AIDS); peserta jamiman pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM), dana

sehat, atau asuransi kesehatan lainnya (Dinkes Provinsi Jatim, 2007)

Pondok Pesantren dapat didefinisikan sebagai suatu tempat pendidikan dan

pengajaran yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung sarana sebagai

tempat tinggal santri yang bersifat permanen. (Tuanaya et al, 2007). Pondok

Pesantren selain dikenal sebagai wahana tempat belajar santri dalam mendalami ilmu

agama Islam, namun Pondok Pesantren sampai saat ini masih bermasalah tentang

PHBS seperti kepadatan hunian kamar, sarana pembuangan sampah, sarana

pembuangan kotoran manusia dan penyediaan air bersih (Azwar, 2009), santri sering

menggantung pakaian di kamar, saling bertukar pakaian benda pribadi seperti

pakaian, sisir dan handuk (Nugraheni, 2008). Selain itu program pemerintah yang

diluncurkan pada sejak tahun 2006 yaitu unit kesehatan berbasis masyarakat (UKBM)

Posko kesehatan Pesantren (Poskestren) kurang berjalan lancar karena poskestren di

Jawa Timur yang terbentuk 1089 dari 2573 Pondok Pesantren (Dinkes Prov Jatim,

2012). Sedangkan di Kabupaten Malang sendiri, Poskestren yang telah terbentuk 55

dari 315 Pondok Pesantren (Dinkes Kab Malang, 2012).

Masalah-masalah tersebut menjadikan Pondok Pesantren masih tetap ada

penyakit menular yaitu budukan/gatal agogo/gudik (scabies) pada santri. Scabies adalah

penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei

var, hoonis dan produknya. Gejala utama adalah gatal pada malam hari, lesi kulit

berupa terowongan, papula, vesikula, terutama pada tempat dengan stratu korneu yang

tipis seperti sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar (sikut), lipat

ketiak, pusar, genetalia eksterna pria, areola mamae, telapak kaki dan telapak tangan.

Penyakit ini dapat ditularkan secara langsung (kontak kulit dengan kulit) misalnya

3

berjabat tangan, tidur bersama, dan melalui hubungan seksual. Selain itu scabies dapat

ditularkan secara tidak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei,

bantal, dan selimut (Djuanda, 2010). Penyakit ini biasanya banyak ditemukan di

tempat yang kurang terjaga kebersihannya dan padatnya populasi seperti asrama,

panti asuhan, rumah, penjara dan Pondok Pesantren. Sampai saat ini stempel sahnya

santri apabila terkena scabies masih menjadi fenomena dalam suatu Pondok Pesantren.

Prevalensi scabies di seluruh dunia ± 300 juta kasus per tahun (Setyaningrum,

2013). Di Asia prevalensi scabies sebesar 20,4% (Baur, 2013). Currie & Carapetis (2000

dalam April, Joses & Tolibin, 2008) mengatakan bahwa prevalensi scabies pada anak-

anak Aborigin-Australia di daerah terpencil mencapai 50% dan umumnya mereka

mengalami reinfestasi tungau dari penderita lain yang belum sembuh. Penelitian yang

dilakukan oleh Ma’rufi tahun 2003 di Pondok Pesantren kabupaten Lamongan

didapatkan prevalensi 64,20% dari 338 santri, prevalensi tersebut lebih rendah

dibanding prevalensi dari Pondok Pesantren Pasuruan sebesar 66,70% (Kuspriyanto,

2000). Hasil Penelitian lain oleh Nugroho (2012) didapatkan santri mukim yang

berPHBS positif yang menderita scabies sebanyak 41,1% sedangkan yang tidak

menderita scabies 35,5%, Santri mukim yang berPHBS negatif yang menderita scabies

sebanyak 20% sedangkan yang tidak menderita scabies 3,4%, data tersebut mempunyai

prevalensi scabies 61,1% dari 90 Santri mukim.

Dalam hubungannya santri dengan karakteristik scabies, Santri sering terkena

dan tertular scabies karena PHBS pada umumnya kurang mendapatkan di perhatian

dari santri (Depkes 2007), serta PHBS Pondok Pesantren buruk, seringnya saling

menukar pelaratan pribadi dan tidur bersama di tempat yang sempit. Hal tersebut

yang menjadikan santri mukim beresiko lebih besar timbulnya scabies dan penularan

4

karena santri mukim selalu berinterkasi dengan santri melalui saling bertukar pakaian,

handuk, perlengkapan pribadi, dan tidur bersama (Nugraheni, 2008).

Hasil Penelitian Prawira (2011) tentang “faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian scabies pada santri di Pondok Pesantren Al-Makmur Tungkar

Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2011”. Penelitian ini merupakan penelitian

observasional dengan pendekatan analitik dan menggunakan desain Cross Sectional

Study, cara pengambilan sampel dengan random sampling, penelitian dilakukan pada

santri dengan jumlah sample 59 santri. Hasil penelitian di uji dengan chi square. Hasil

penelitian diketahui 49% dari responden menderita penyakit scabies, 25% memiliki

tingkat pengetahuan rendah, 12% dari responden memiliki sikap negatif, 15% dari

responden yang memiliki personal hygiene tidak baik, 34% dari responden memiliki

sanitasi lingkungan tidak baik. Tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan

dengan kejadian scabies (p=0,263), tidak ada hubungan antara sikap dengan kejadian

scabies (p=0,706), tidak ada hubungan antara personal hygiene dengan kejadian scabies

(p=0,731), ada hubungan antara sanitasi lingkungan dengan kejadian scabies (p=0,044)

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan yang bermakna antara sanitasi

lingkungan dengan kejadian scabies.

Hasil Penelitian lain oleh Nugroho (2012) tentang sejauh mana “Hubungan

perilaku hidup bersih dan sehat dengan kejadian scabies di Pondok Pesantren Bahrul

Maghfiroh di Kabupaten Malang” dengan membagi menjadi 2 santri yaitu santri

mukim dengan scabies dan santri mukim tanpa scabies yang ditinjau dari PHBS negatif

dan PHBS positif didapatkan santri mukim yang berPHBS positif yang menderita

scabies sebanyak 41,1% sedangkan yang tidak menderita scabies 35,5%, Santri mukim

yang berPHBS negatif yang menderita scabies sebanyak 20% sedangkan yang tidak

5

menderita scabies 3,4%. santri yang berPHBS negatif memiliki resiko menderita

penyakit scabies 5,4 kali lebih besar dari pada santri mukim yang berPHBS positif.

Kecamatan Poncokusumo merupakan salah satu wilayah diantara 33

Kecamatan yang saat ini terdapat di Kabupaten Malang, yang secara geografis

merupakan kawasan dengan kondisi lahan berupa hamparan lahan yang cenderung

berbukit-bukit karena berada di sebelah barat lereng gunung Semeru yang sebagian

besar merupakan lahan produktif berada pada ketinggian antara 600 sampai dengan

1200 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata antara 2300 mm

sampai dengan 2500 mm per tahun dan suhu rata-rata 21,7 derajat celcius serta

berjarak tempuh ke Ibu Kota Kabupaten kurang lebih sejauh 24 Km (Kecamatan

Poncokusumo, 2013).

Pondok Pesantren AL-Ittihad adalah salah satu Pondok Pesantren terbesar di

Kecamatan Poncokusumo. Pondok Pesantren tersebut terletak di desa Belung

Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Pondok yang memiliki luas kurang

lebih 800 m2 berada di satu area dengan sekolah Madrasah Aliyah dan Madrasah

Tsanawiyah Al-Ittihad Belung. Sebagian besar murid yang bersekolah di Al-Ittihad

adalah santri dari Pondok Pesantren Tersebut. Tempat tinggal santri mukim di

Pondok Pesantren tersebut terbagi menjadi dua yaitu Pondok Pesantren Al-Ititihad

putra yang berada di selatan dan Pondok Pesantren Al-Ittihad putri yang berada di

utara. Jumlah santri mukim 786 santri, namun jumlah tersebut dapat bertambah

dengan adanya santri kalong disekitar Pondok yang ingin menambah ilmu

keagamaan. Luas kamar santri putra berukuran 4x4 meter diisi 12-15 santri

sedangkan luas kamar santri putri berukuran 5x4 meter diisi 12-20 santri.

Berdasarkan Keterangan dari Ponkesdes desa Belung, di Pondok Pesantren tersebut

banyak santri yang terkena scabies dengan prosentase 37% tahun 2013. Angka

6

Kejadian Scabies dari pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) Poncokusumo tahun

2014, bulan Oktober terdapat 53 kasus, November 55 kasus, bulan Desember 21

kasus. Sedangkan keterangan dari pihak unit kesehatan sekolah (UKS) Pondok

Pesantren bulan Juni 2015 terdapat 34 santri yang gatal-gatal di tangan. Studi

pendahuluan dengan dengan mengambil sample 4 santri mukim di Pondok Pesantren

tersebut, rata-rata 3 santri sering bertukar baju dan peralatan pribadi, rata-rata 3 santri

mempunyai intensitas mandi 2 kali sehari. Santri yang internsitas mandinya kurang

dari 1 kali sehari beralasan udaranya dan airnya dingin, karena sesuai dengan

ketinggian Pondok Pesantren tersebut di kecamatan Poncokusumo.

Intensitas mandi ini dapat di tarik kesimpulan bahwa, intensitas mandi

kurang dari 1 kali sehari tergolong PHBS yang tidak baik menyebabkan resiko besar

terkena scabies, karena scabies banyak di temukan di kepadatan populasi dalam ruangan

seperti Pondok Pesantren dan lingkungan yang kurang terjaga kebersihannya.

Melihat masih adanya penyakit scabies sampai saat ini di Pondok Pesantren

karena kurang berPHBSnya santri mukim dan scabies mudah menular antara santri,

sanitasi Pondok Pesantren kurang diperhatikan oleh pengurus Pondok Pesantren,

serta masalah-masalah diatas, maka penulis ingin meneliti sejauh hubungan mutu

PHBS dengan kejadian scabies santri di Pondok Pesantren Al-Ittihad Belung

Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas, maka dapat

dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimana mutu PHBS Perorangan di Pondok Pesantren Al-Ittihad Belung

Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang?

7

2. Bagaimana mutu PHBS lingkungan pada santri di Pondok Pesantren Al-Ittihad

Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang?

3. Bagaimana kejadian scabies pada santri di Pondok Pesantren Al-Ittihad Belung

Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang?

4. Bagaimana hubungan mutu PHBS perorangan dengan kejadian scabies pada santri

di Pondok Pesantren Al-Itihad Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten

Malang?

5. Bagaimana hubungan mutu PHBS lingkungan di Pondok Pesantren dengan

kejadian scabies pada santi mukim di Pondok Pesantren Al-Ittihad Belung

Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan mutu PHBS dengan kejadian

scabies santri di Pondok Pesantren Al-Ittihad Belung Kecamatan Poncokusumo

Kabupaten Malang.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mendeskripsikan mutu PHBS perorangan di Pondok Pesantren Al-Ittihad

Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang

2. Mendeskripsikan mutu PHBS lingkungan pada santri di Pondok Pesantren Al-

Ittihad Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang

3. Mendeskripsikan kejadian scabies di Pondok Pesantren Al-Ittihad Belung

Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang

8

4. Menganalisis hubungan mutu PHBS perorangan dengan kejadian scabies pada

santri di Pondok Pesantren Al-Ittihad Belung Kecamatan Poncokusumo

Kabupaten Malang

5. Menganalisis hubungan mutu PHBS lingkungan di Pondok Pesantren dengan

kejadian scabies pada santri mukim di Pondok Pesantren Al-Ittihad Belung

Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Peneliti

Dapat menambah wawasan dan pemahaman tentang informasi Scabies,

kehidupan di Pondok Pesantren dan sebagai pengalaman proses belajar mengajar

khususnya dalam melakukan penelitian.

1.4.2 Bagi Puskesmas

Mendapatkan data mutu PHBS dan kejadian scabies di Pondok Pesantren pada

santri mukim sehingga kedepanya dapat melakukan pembinaan, penyuluhan PHBS

dan pemberian informasi tentang scabies.

1.4.3 Bagi Pondok Pesantren

Sebagai informasi penyebaran scabies sehingga kedepanya scabies di Pondok

pesntren tersebut menurun dan dapat mencegah penularan scabies.

1.4.4 Bagi Peneliti Lain

Sebagai referensi dengan penelitian yang serupa dan hasil penelitian ini

diharapkan dapat menambah informasi PHBS dan kejadian scabies pada santri mukim

9

1.4.5 Bagi Institusi Pendidikan

Dapat digunakan sebagai sumber informasi, wacana kepustakaan serta dapat

digunakan sebagai referensi dalam pembuatan karya ilmiah dan skripsi khususya

tentang PHBS dan kejadian scabies.

1.5 Daftar Istilah

1. PHBS adalah Sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar kesadaran atas

hasil pembelajaran yang menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong

dirinya sendiri di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan

kesehatan masyarakat (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

2. Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi

terhadap Sarcoptes scabiei var, hoonis dan produknya (Djuanda, 2010).

3. Papula adalah kelainan kulit yang lebih tinggi dari permukaan kulit, padat,

berbatas jelas dan ukurannya tidak lebih dari 1cm (Djuanda, 2010).

4. Vesikula adalah kelainan kulit yang lebih tinggi dari permukaan kulit, berisi

cairan dan ukurannnya tidak lebih dari 1 cm (Djuanda, 2010).

5. Stratu korneu adalah lapisan terluar epidermis yang terutama terdiri dari sel-sel mati

yang tidak memiliki inti (Djuanda, 2010).

6. Santri Mukim adalah putera atau puteri yang menetap dalam Pondok Pesantren.

(Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5877, 2014)

1.6 Keaslian Penelitian

Penelitian relevan dengan penelitian ini adalah oleh Saad (2008) dengan

mengambil judul “Pengaruh Faktor Higiene Perorangan Terhadap Angka Kejadian

scabies di Pondok Pesantren Annajach Magelang”. Tujuan penelitian ini untuk menilai

10

pengaruh higiene perorangan terhadap angka kejadian scabies di Pondok Pesantren

An-Najach Magelang. Metode Penelitian ini merupakan penelitian analitik

observasional dengan pendekatan cross-sectional menggunakan metode survey.

Populasi penelitian adalah semua santri tingkat SMP/Mts yang tinggal di Pondok

Pesantren An-Najach Magelang dan sampel penelitian adalah total populasi penelitian

sebanyak 100 sampel. Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner dan analisis

data menggunakan uji chi-square. Hasil dari penelitian ini adalah Dari 100 sampel

ditemukan 43 orang (43%) responden yang menderita scabies, status hygiene santri 42

orang (42%) mempunyai higiene perorangan kurang, 55 orang (55%) mempunyai

higiene perorangan cukup, 3 orang (3%) mempunyai hygiene perorangan baik. Analisis

bivariat dengan chi-square didapatkan nilai p=0,000. Kesimpulan penelitian ini terdapat

hubungan yang bermakna antara higiene perorngan dengan angka kejadian scabies.

Perbedaan penelitian Saad dengan penelitian ini adalah penelitian ini adalah

mencari mutu PHBS perorangan dan PHBS lingkungan santri mukim pada Pondok

Pesantren dengan Kejadian scabies, sedangkan penelitian Saad mencari pengaruh

faktor hygiene perorangan terhadap angka kejadian scabies. Persamaan penelitian Saad

dengan penelitian ini adalah penentuan mutu PHBS Pondok Pesantren dikaji dengan

faktor hygiene perorangan.

Penelitian kedua yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian dari Aini

(2009) tentang “Hubungan faktor lingkungan dan perilaku santri terhadap prevalensi

scabies di Pondok Pesantren putra “Sidogiri” Kecamatan Kraton Kabupaten

Pasuruan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka prevalensi scabies dan

hubungan antara faktor lingkungan dan perilaku kesehatan santri terhadap prevalensi

scabies di Pondok Pesantren Putra Sidogiri Kecamatan Kraton Kabupaten Pasuruan.

Penelitian ini menggunakan rancangan analitik observasional dengan cross sectional

11

study dengan mengambil sampel sebanyak 98 orang yang diambil secara simple

random sampling. Variabel yang diteliti meliputi faktor lingkungan (sosial­budaya)

dan perilaku kesehatan (pengetahuan, sikap, tindakan dan personal hygiene) terhadap

scabies serta angka prevalensi scabies. Hasil yang diperoleh menunjukkan kondisi

lingkungan (sosial­budaya) (54.1%), perilaku kesehatan terhadap scabies yaitu tingkat

pengetahuan (80.6%), sikap (64.3%) dan personal hygiene (53.1%) berturut­turut baik

dan tindakan terhadap scabies (54.1%) buruk. Prevalensi scabies diperoleh sebesar

15.3%. Berdasarkan hasil uji korelasi kontingensi dan chi­square, terdapat hubungan

yang signifikan (p<0.05) antara faktor lingkungan (sosial budaya) dan perilaku

kesehatan santri terhadap prevalensi scabies. Faktor resiko terbesar adalah tingkat

pengetahuan terhadap scabies (PR=6,148). Semakin baik lingkungan (sosial­budaya)

dan perilaku kesehatan santri, maka akan menyebabkan mereka cenderung tidak

menderita scabies.

Perbedaan penelitian Aini dengan penelitian ini adalah penelitian Aini

mengambil faktor lingkungan (sosial­budaya) dan perilaku kesehatan (pengetahuan,

sikap, tindakan dan personal hygiene) terhadap scabies serta angka prevalensi scabies.

Sedangkan penelitian ini mencari mutu PHBS santri pada Pondok Pesantren

berdasarkan PHBS perorangan dan PHBS lingkungan seperti air dan sanitasi dengan

terjadinya scabies, tanpa mencari prevalensi scabies tersebut. Persamaan penelitian Nur

Aini dengan penelitian ini adalah pengambilan faktor perilaku kesehatan (personal

hygiene).

Penelitian ketiga yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Ratna

(2007) dengan mengambil judul “Hubungan antara kebiasaan tukar menukar handuk

dengan kejadian scabies di Pesantren Al-Karimah Sawangan Depok” didapatkan

OR=10,07 pada selang kepercayaan 95%: 3,697-27,196 dari nilai P=0,000 (P<0,05)

12

yang berarti ada hubungan antara kebiasaan tukar menukar handuk dengan kejadian

scabies. secara statistik ada hubungan yang bermakna artinya ada perbedaan antara

santri yang biasa tukar menukar haduk dengan santri yang tidak tukar menukar

handuk dengan kejadian scabies. Sedangkan hasil analisis, santri yang biasa tukar

menukar handuk mempunyai resiko 10,027 kali terkena scabies dibanding dengan

santri yang tidak tukar menukar handuk. Kesimpulan dalam penelitian ini ada

hubungan perilaku santri mengenai penggunaan tempat tidur, kebersihan pakaian,

kebiasaan tukar menukar handuk, kebiasaan tukar menukar tempat tidur dan

kebiasaan lantai kamar dengan kejadian scabies.

Perbedaan penelitian Ratna dengan penelitian ini, penetiian Ratna hanya

mengambil faktor PHBS yaitu tukar menukar handuk dengan scabies, sedangkan

penelitian ini mengambil semua unsur PHBS. Persamaan dalam penelitian ini adalah

faktor tukar menukar baju.