bab i pendahuluan 1.1 latar belakangeprints.umm.ac.id/40319/2/bab i.pdf · 1.1 latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara agraris, sebagian besar penduduk
Indonesia memiliki mata pencaharian sebagai petani. Sekaligus Indonesia adalah
negara yang memiliki iklim tropis, sangat cocok untuk pertumbuhan berbagai
jenis tanaman. Potensi alamiah tersebut sempat menjadikan Indonesia sebagai
salahsatu negara pengekspor beras terbesar di Asia Tenggara. Melalui bakat
alamiah itu pula, bukan hanya komoditas padi saja yang berkembang di
Indonesia, akan tetapi juga diiringi pesatnya perkembangan pertanian dalam
wujud komoditas lain seperti, sayur-sayuran dan buah-buahan.
Secara simultan, semakin berkembangnya pertanian, tidak menutup
kemungkinan juga karena faktor-faktor dari luar yang menuntut pertanian
untuk ditingkatkan produktivitasnya. Faktor dari luar itu salahsatunya ialah
tingkat populasi manusia yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, secara
simultan, memiliki efek domino yaitu peningkatan jumlah pola konsumsi
manusia yang semakin meningkat. Dilansir dari (http://tumoutounews.com)
artikel yang bertajuk ―Jumlah Penduduk Dunia Tahun 2017, Posisi
Indonesia?‖, mengungkapkan bahwasannya Indonesia adalah negara yang
memiliki penduduk terbanyak di dunia pada posisi ke-empat setelah Amerika
Serikat, dengan jumlah penduduk sebanyak 257.912.349 jiwa. Bahkan secara
keseluruhan, penduduk dunia ditaksir pada tahun 2017 sekitar 7,6 miliar,
dikalkulasi akan terus meningkat menjadi 8,6 miliar pada tahun 2030, 9,8
miliar tahun 2050, dan akan menembus 11,2 miliar pada tahun 2100.
2
Peningkatan jumlah penduduk yang semakin masif secara simultan juga
akan diikuti proporsi pola konsumsi yang meningkat. Peningkatan pola
konsumsi itu salahsatunya ialah peningkatan akan kebutuhan pangan.
Disebutkan Hardono (2012) dalam hasil penelitiannya, bahwasannya pada
rumah tangga petani di beberapa provinsi menunjukkan bahwa jumlah rumah
tangga petani yang rawan pangan mengalami peningkatan dari 28,1% (2007)
menjadi 60,3% (2010) (Kementerian Perdagangan, 2013: 2). Bahkan dalam
laporan Kementerian Perdagangan (2013:40) tersebut pola konsumsi seperti
sayuran-sayuran dan buah-buahan masih selisih –(38,6) dari harapan 250
dengan realitas jumlah konsumsi 211,4 dalam hitungan (Kal/kap/hari).
Ketika tingkat populasi jumlah manusia yang semakin membludak dan
dibarengi dengan peningkatan jumlah konsumsi yang semakin meningkat
bahkan dengan variasi jenis makanan olahan yang juga berbahan dasar dari
produk pertanian, sangat memungkinkan jumlah produk pertanian dari
komoditas tanaman pertanian terus akan mengalami peningkatan permintaan
guna memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia bahkan dunia.
Artinya, pertanian sebagai penyumbang terbesar bahan pangan untuk
keperluan konsumsi masyarakat, sangat potensial untuk menciptakan
kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia khususnya petani, karena
bahan pangan adalah kebutuhan yang sangat vital bagi keberlangsungan
hidup manusia. Disisi lain, hal itu juga memiliki makna bahwa petani kini
tengah menghadapi tuntutan jaman yang semakin konsumtif, petani dituntut
untuk selalu berproduksi untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat.
3
Produktivitas dalam bidang pertanian memiliki makna bahwa pertanian
terus dipacu karena menjadi sebuah harapan masyarakat untuk memenuhi
kebutuhan pangan. Kebutuhan pangan di Indonesia masih didominasi dari
hasil olahan pertanian itu sendiri. Ketika kebutuhan pangan menjadi pemicu
sebagai landasan berpacu untuk pengembangan produktivitas pertanian,
secara simultan pertanian membutuhkan tenaga-tenaga kerja tambahan. Hasil
dari kebutuhan akan tenaga kerja tambahan tersebut sekaligus memunculkan
sebuah fenomena menarik yang ada dalam kehidupan pertanian itu sendiri.
Salahsatunya ialah mulai bermunculan tenaga kerja buruh tani perempuan.
Menurut data kementerian pertanian (Kementerian Pertanian, 2013:422-
423), jumlah perkiraan tenaga kerja baru perempuan di sektor pertanian pada
survei Sakernas Februari dan Agustus tahun 2012, pada komoditas tanaman
pangan dan hortikultura masing-masing ialah 50 orang dan 20 orang, dengan
merujuk pada perkiraan tenaga kerja baru di sektor pertanian perdesaan pada
survei Sakernas Februari dan Agustus tahun 2012 yaitu tanaman pangan
ditaksir mencapai 100 hingga 110 orang lebih dan pada hortikultura ditaksir
40 sampai 50 orang. Dipaparkan pula (2013:428) tenaga kerja baru
perempuan di sub sektor pertanian tahun 2012 (perkotaan dan perdesaan) per
Februari dan Agustus dengan komoditas tanaman pangan dan hortikultura
sebanyak 51.104 orang dan 19.779 orang pada Februari (2012), 41.803 orang
dan 15.462 orang di bulan Agustus (2012). Lebih spesifik lagi, merujuk pada
daerah Jawa Timur pada bulan dan tahun yang sama, jumlah tenaga kerja
baru perempuan di sub sektor pertanian, pada komoditas tanaman pangan
13.180 dan 1.852 orang hortikultura (Februari 2012). Sedangkan pada bulan
4
Agustus (2012), tenaga kerja perempuan sub sektor pertanian pada tanaman
pangan ada1.592 orang dan hortikultura 1.225 orang.
Berdasarkan data diatas, maka jika ditelisik secara cermat bahwa
perempuan yang menjadi buruh tani ternyata masih banyak jumlahnya di
Indonesia. Hal itu menyiratkan bahwa pertanian di Indonesia khususnya di
Jawa Timur, kalkulasi data tersebut menunjukkan pertanian adalah salahsatu
ranah pekerjaan yang selalu menyediakan buruh tani perempuan. Oleh karena
itu, pertanian sebenarnya adalah salahsatu ladang penghidupan bagi para
petani khususunya buruh tani perempuan yang memiliki berbagai entitas
kajian yang terbesit di dalamnya.
Meskipun sejatinya bukan ikhwal fenomena langka dalam kehidupan
pertanian itu sendiri, akan tetapi karena tuntutan keadaan yang potensial dan
alamiah tersebut—secara geografis dan ekonomi maupun sosial-budaya,
memunculkan sistem kehidupan pertanian yang baru semacam itu. Dimana
buruh tani perempuan mulai bermunculan ditengah-tengah kehidupan
pedesaan yang notabenenya memang berbasis pertanian. Fenomena buruh
tani perempuan tersebut salahsatunya ada di Desa Sumberbrantas, Kecamatan
Bumiaji, Kota Batu.
Secara geografis, potensi alamiahnya yang sangat memungkinkan untuk
bercocok tanam, menjadi alasan utama bagi keberlangsungan hidup para
penduduknya, yaitu bertani. Bertani dalam artian jika dilihat secara hirarkis
ialah: ada petani sebagai pemilik lahan (juragan) dan ada petani yang menjadi
buruh tani. Petani pemilik lahan menurut Pak Purnomo selaku Sekretaris
Desa Sumber Brantas sekaligus informan mengungkapkan, bahwasannya
5
petani pemilik lahan ada sekitar 30% dari jumlah petani yang ada di Desa
(Wawancara pada tanggal 02 Maret 2018). Sedangkan jumlah buruh tani
secara keseluruhan ada 243 orang, dengan jumlah buruh tani laki-laki 142
orang dan buruh tani perempuan berjumlah 101 orang (Data Rekapitulasi
Jumlah Penduduk menurut Jenis Pekerjaan, 2017). Masih menurut Pak Pur,
beliau juga mengatakan bahwasannya jumlah buruh tani tersebut bahkan bisa
tiga kali lipat dari data yang ada.
Petani yang menjadi buruh tani di Desa Sumber Brantas jika dilihat,
bukan hanya sebatas kegiatan tenaga kerja laki-laki yang bekerja sebagai
buruh tani untuk membantu menyelesaikan pekerjaan pertanian di lahan
pertanian si petani pemilik lahan, akan tetapi juga perempuan dan hubungan
itu atas dasar pemenuhan kebutuhan secara ekonomi—yang orientasinya
adalah upah dari hasil kerjanya. Akan tetapi jika dilihat realitasnya,
perburuhan tersebut bukan hanya menyangkut perihal tenaga kerja laki-laki
secara biologis dan secara ekonomi.
Lebih dari itu, bahwa secara sudut sosiologis bahwa segala tindakan
sosial yang ada harus dilihat secara empiris bahwa apa yang dilakukan aktor
memiliki makna dan memiliki kontribusi untuk direduksi tentang arti makna
tindakan sosial tersebut. Fenomena buruh tani perempuan yang ada di desa
Sumber Brantas bukan hanya memiliki makna bahwa apa yang dilakukan
tersebut bukan hanya sekedar untuk mencukupi ‗ekonomi‘, akan tetapi ada
entitas lain yang harus dimaknai bahwa perburuhan perempuan pada sektor
pertanian memiliki makna yang luas terkait dengan sistem upah yang
diterimanya selama memburuh tani.
6
Salahsatu hal yang sangat kentara secara genderisme, ada perbedaan
pemberian upah yang diberikan oleh pemilik lahan dengan buruh tani
perempuan tersebut. Fenomena diferensiasi upah yang diberikan oleh pemilik
lahan kepada buruh tani laki-laki dan buruh tani perempuan memiliki makna
tertentu yang harus diungkap secara empiris. Terlebih, simbolisasi
diferensiasi upah tersebut bukan hanya sebatas permasalahan ekonomi secara
genderisme, akan tetapi ada makna lain terkait dengan kepasrahan atas upah
yang diterima oleh buruh tani perempuan terhadap pemberian upah yang
diferensiatif itu.
Diiferensiasi upah yang secara simbolis sangat terlihat tersebut dalam
kacamata gender, secara sosiologis, lebih mendalam lagi bahwa adanya
dogmatisme secara kultural yang mengilhami terciptanya postulasi pemikiran
para buruh tani perempuan, bahwa upah yang berbeda tersebut adalah seolah-
olah suatu keniscayaan-hirarkis. Bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
upah yang berbeda meskipun dalam interval waktu kerja kurang lebih sama
saja, sistem penggolongan kerja—borongan dan harian—yang kurang lebih
sama saja yang dikerjakan, yang melatarbelakanginya ialah dogmatisme
perbedaan potensi energi tenaga antara laki-laki dan perempuan, sekaligus
yang menciptakan diferensiasi upah yang secara simbolis meneguhkan
adanya habitus.
Entitas simbolik itulah yang sebenarnya menarik untuk ditelaah lebih
dalam sebagai refleksi atas sistem upah buruh tani perempuan yang memiliki
makna tersirat yang harus dilihat sebagai empirisme itu sendiri. Empirisme
yang dimaksud adalah bahwa dalam tindakan sosial yang secara sosiologis
7
disebut sebagai hexis dari habitus yang telah mengendap dang tersedimentasi
dalam pikiran manusialah yang harus dilihat sebagai kenyataan melalui
tindakan sosial. Habitus dapat dilihat, memiliki makna, ketika
ditransformasikan dalam sebuah tindakan praktis, dan dalam setiap tindakan
praktis tersebut diinisiasi oleh sebuah habitus. Tindakan praktis tersebut
konsekuensi logisnya ialah adanya internalisasi-eksternalitas dari
ekstenalisasi internalitas yang terjadi, maupun sebaliknya, dan seterusnya,
yang menciptakan fundamentalistik pikiran seseorang yang dapat ditelaah
memalui tindakan sosial sang aktor atau agen.
Refleksi kajian tersebut ialah bahwa buruh tani perempuan sebagai
aktor yang berperan sebagai buruh tani, bukan secara spontanitas atau serta
merta para perempuan tersebut menjadi buruh tani. Begitu juga dengan sistem
upah yang diferensiatif secara gamblang dapat diterima oleh buruh
perempuan. Akan tetapi, ada sebuah proses kognitif yang
melatarbelakanginya mengapa hal itu dapat diterima langsung tanpa perlu
mengungkit sistem diferensiasi upah yang padahal dapat buruh tani
perempuan rasakan tingkat perbedaan pemberian upah tersebut. Bahkan
cenderung menerima tanpa adanya oposisi kognitif atas diferensiasi simbolik
sistem upah tersebut.
Bukan maksud ingin membangkitkan kesadaran objek sebagai suatu
oposisi secara kognitif, akan tetapi fenomena sosial buruh tani perempuan
dalam sistem diferensiasi upah yang simbolis menarik untuk dikaji lebih
dalam. Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut yang melatar
belakangi fenomena buruh tani perempuan dan diferensiasi sistem upah itu,
8
peneliti ingin mengangkat sebuah penelitian berjudul Habitus dalam Sistem
Upah Buruh Tani Perempuan (Studi pada Buruh Tani Perempuan di Desa
Sumber Brantas, Kec. Bumiaji, Kota Batu).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat diambil
ialah: Bagaimana habitus dalam sistem upah buruh tani perempuan di Desa
Sumber Brantas?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penelitian bertujuan untuk
mengetahui dan menjelaskan bagaimana habitus dalam sistem upah buruh
tani perempuan di Desa Sumber Brantas.
1.4 Manfaat
1. Secara teoritis: dapat memberikan konstribusi bagi pemahaman
mengenai teori habitus yang digagas oleh Piere Bordieu yang
dihubungkan dengan kasus sistem upah buruh tani perempuan di Desa
Sumber Brantas. Melalui penelitian tersebut diharapkan mampu
memberi sebuah konstribusi teoritis baru yang berangkat dari teori
Habitus Bourdieu sebagai bahan pertimbangan dalam kajian gender.
2. Secara praktis:
a. Bagi Mahasiswa, dapat dijadikan referensi bagi para peneliti
selanjutnya khususnya dari kalangan mahasiswa tentang Habitus
dalam Sistem Upah Buruh Tani Perempuan. Sekaligus dapat
dijadikan sebagai rujukan penelitian sosiologi gender yang
berangkat dari kajian Pierre Bordieu tentang Habitus.
9
b. Bagi Jurusan Sosiologi, sebagai salahsatu literatur yang membahas
tentang Habitus dalam Sistem Upah Buruh Tani Perempuan.
Melalui literatur tersebut, diharapkan nantinya mampu memberikan
spirit kajian sosiologi gender lebih lanjut dan terbarukan dengan
pemaduan teori Habitus.
c. Bagi Desa Sumber Brantas, dapat dijadikan literatur yang mengkaji
buruh tani perempuan yanga ada di Desa Sumber Brantas
1.5 Definisi Konsep
1.5.1 Habitus
Habitus adalah satu kata bahasa Latin yang mengacu kepada kondisi,
penampakan atau situasi yang tipikal atau habitual, khususnya pada tubuh
(Jenkins, 2016:107). Pengertian habitus dalam Safitri (2015: 126)
merupakan akumulasi dari internalisasi agen yang diperoleh agen sejak
lahir yang kemudian membentuk kepribadiannya. Pengetahuan yang
menstrukturkan agen inilah yang kemudian menstrukturkan cara agen
dalam berinteraksi dengan kenyataan objektifnya, dengan kata lain, habitus
merupakan sekumpulan disposisi yang secara tidak disadari maupun
disadari yang mengarahkan tindakan agen.
Habitus dalam Ritzer (2012:903) adalah ―struktur-struktur mental atau
kognitif‖ melalui mana orang berurusan dengan dunia sosial. Lebih lanjut
lagi, menurut Bordieu, habitus itu sendiri merupakan skema yang diperoleh
aktor dari pembongkaran terhadap dunia sosialnya, kemudian dari
pembongkaran tersebut aktor mendapatkan pengetahuan atas dunia sosial
untuk menyesuaikan diri terhadap dunia sosialnya (Wijaya, 2017:13).
10
1.5.2 Sistem Upah
Upah dapat diartikan sebagai pendapatan buruh yang didapat dari
usahanya yaitu bekerja kepada orang lain untuk mencukupi kebutuhan
hidupnya. Adapun beberapa pengertian upah dalam jurnal berjudul
Standar Upah Pekerja Menurut Sistem Ekonomi Islam (Ridwan,
2013:243), sebagai berikut:
a. Upah adalah sejumlah pendapatan uang yang diterima oleh buruh
dalam satu waktu tertentu akibat dari tenaga dan usaha yang
digunakan dalam proses produksi (Hamzaid B. Yahya, 1998:393).
b. Harcharan Singh Khera mendefiniskan upah dengan harga yang
dibayarkan karena jasa-jasa buruh dari segala jenis pekerjaan
yang dilakukan, baik pekerjaan yang bersifat mental ataupun fisik
(Harcharan Singh Khera, 1978:261).
Sedangkan pengertian sistem upah atau pengupahan ialah cara atau
metode dalam memberikan imbalan kepada karyawan atas jasa-jasanya
dalam bentuk uang menurut undang-undang yang berlaku (Manullang,
1990:157 dalam, Hartati, 2010:xxxix).
1.5.3 Buruh Tani Perempuan
Buruh menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun
2003 pasal 1 ayat (3) ialah setiap orang yang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan konsep petani itu sendiri
menurut Wolf dalam Landsberger dan Alexandrov (1984:9-10) petani adalah
penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat
keputusan yang otonom tentang proses cocok tanam (Soviah, 2015:16).
11
Petani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu peasant, yaitu petani kecil
(petani tradisional) yang usahanya dilakukan semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan farmer ialah sebagai petani dengan
lahan yang luas dan usaha pertaniannya dijual untuk bisnis (Eric Wolf,
1983:2 dalam, Jaya dan Sulistyary, 2013:5). Petani peasant sendiri
menurut Scott (1981: 2000 dalam, Jaya dan Sulistyary, 2013:5) ketika
mendapatkan ketidakadilan, mereka tidak akan melakukan perlawanan
secara terbuka dan terang-terangan lewat pengorganisasian masa
(kolektif), namun lebih mengacu kepada resistensi atau dengan kata lain
melakukan perlawanan dengan cara lunak seperti tidak ikut gotong royong,
berbohong, ngemplang, sabotase.
Sedangkan buruh tani itu sendiri dalam pengertian sesungguhnya
memperoleh penghasilan terutama dari bekerja untuk pemilik tanah atau
para petani penyewa tanah guna mendapatkan upah (Hartati, 2010:xxxix).
Sedangkan pekerja bebas di pertanian, memiliki pengertian yang kurang
lebih sama, yaitu apabila seseorang yang bekerja pada orang
lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari 1 majikan dalam sebulan
terakhir) di udaha pertanian baik berupa usaha rumah tangga maupun
bukan usaha rumah tangga atas dasar balas jasa dengan menerima upah
atau imbalan baik berupa uang maupun barang, dan baik dengan sistem
pembayaran harian maupun borongan (Kementerian Pertanian, 2013:xxii-
xxiii). Maka, buruh tani perempuan ialah perempuan baik dewasa maupun
muda yang bekerja di kebun atau di sawah orang lain dengan menerima
upah (Handriyah, 2017:11).
12
Buruh tani perempuan ialah perempuan yang pekerjaannya menjadi
buruh di sawah, kebun atau ladang dari seorang pemilik lahan (juragan)
dengan menerima upah. Lebih lanjut lagi, Lenin dalam Landsberger dan
Alexandrov (1984:19), ada tiga kelompok dalam pembagian klasik kaum
tani yaitu: (1) kaum tani yang kaya (termasuk tengkulak) mungkin
memperkerjakan sendiri beberapa buruh upahan tetapi yang jelas bisa
menghasilkan sejumlah penting surplus yang bisa dipasarkan, (2) petani
menengah yang merupakan dan atau memiliki petak tanah sendiri yang
sempit, yang menghasilkan sekedar surplus tetapi dengan jumlah yang
sedikit dan (3) petani miskin yang hidup terutama dari menjual tenaganya
kepada tuan tanah (Soviah, 2015:16).
1.6 Metodologi
Metode penelitian merupakan serangkaian format prosedural-sistematis
dalam kegiatan penelitian guna memperoleh pengetahuan ilmiah atau ilmu,
serta informasi sesuai dengan rumusan masalah yang telah dirumuskan
sebagai landasan utama dalam suatu penelitian, dimana metode penelitian
mengacu pada:
1.6.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan menggunakan jenis penelitian
kualitatif. Peneliti berusaha memahami peristiwa yang terjadi dan
kaitan-kaitannya dalam situasi tertentu. Penelitian kualitatif memiliki
ciri menyajikan data dalam bentuk narasi, deskriptif dari hasil
wawancara maupun observasi.
13
Peneliti memilih menggunakan jenis penelitian kualitatif karena,
peneliti ingin mengetahui bagaimana habitus sistem upah buruh
perempuan yang ada di Desa Sumber Brantas, yang mana, dengan
perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan yang sebenarnya dapat
dirasakan oleh para buruh tani perempuan, akan tetapi buruh tani
perempuan tersebut dapat menerima dengan keadaan yang
terdiferensiasi upah tersebut.
Melalui penelitian kualitatif ini peneliti dapat menggali data lebih
detail tentang bagaimana habitus dalam sistem upah buruh tani
perempuan melalui wawancara dan observasi serta dokumentasi yang
dilakukan peneliti serta menyajikannya dalam bentuk narasi, deskriptif.
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Konsep
fenomenologi bermula dari pandangan Enmund Husserl yang meyakini
bahwa sesungguhnya objek ilmu itu tidak terbatas pada hal-hal yang
empiris (terindra), tetapi juga mencakup fenomena yang berada di luar
itu, seperti persepsi, pemikiran kemauan, dan keyakinan subjek tentang
―sesuatu‖ di luar dirinya (Idrus, 2009:58-59). Pendekatan semacam itu
berusaha mencari ―esensi‖ makna dari suatu fenomena yang dialami
oleh beberapa individu, yang analisisnya berpijak pada horizonalisasi,
dimana peneliti berusaha memeriksa data dengan menyeroti pernyataan
penting dari partisipan untuk menyediakan pemahaman dasar tentang
fenomena tersebut (Creswell, 2015:viii).
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi karena ingin
mengungkap sebuah realitas sosial dari habitus dalam sistem upah
14
buruh tani perempuan, dengan menggali data berupa pernyataan,
pemahaman, atau pun ungkapan dari subjek penelitian. Melalui
serangkaian teknik yang digunakan dalam penelitian, dapat
mengungkap tentang habitus sistem upah buruh tani perempuan
tersebut. Mengingat bahwa habitus bukanlah sekedar tindakan sosial
semata, akan tetapi tindakan sosial yang teramati memiliki makna yang
tersirat didalamnya, bahkan besar kemungkinan telah tersedimentasi
sejak lama dalam diri subjek yang menjadi pelaku atau aktor.
1.6.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang diambil peneliti ialah di Desa Sumber
Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu. Desa Sumber Brantas adalah
salahsatu desa yang ada di Kota Batu dengan potensi alamnya yang
melimpah yaitu hasil pertanian yang berbasis sayur-sayuran. Sekaligus
dengan potensi tersebut, sudah dapat dipastikan bahwasannya Desa
Sumber Brantas mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai
petani, baik laki-laki maupun perempuan;baik petani pemilik lahan
maupun yang menjadi buruh tani.
Desa Sumber Brantas juga salahsatu desa yang ada di Kota Batu,
tepatnya di Kecamatan Bumiaji yang memiliki potensi besar yaitu
dibidang pertanian yang mana produk hasil pertaniannya telah
melanglang buana di seluruh antero Indonesia dengan produk
unggulannya yaitu tanaman kentang, wortel, kol/kubis, dibandingkan
dengan daerah lain yang ada di Indonesia.
15
Bukan hanya itu saja, dari potensi dibidang pertanian tersebut
menunjukkan adanya korelasi kausalitas antara produk pertanian yang
tumbuh dengan ketersediaan lahan yang luas guna pertanian, menunjukkan
signifikansi jumlah petani yang ada di Desa Sumber Brantas, dengan
jumlah petani keseluruhan 1.772 orang dibandingkan dengan jumlah orang
yang tidak bekerja sebanyak 1.143 orang. Jika diklasifikasikan petani
berdasarkan jenis kelamin, ada 1.084 petani laki-laki dan 688 petani
perempuan. Lebih lanjut lagi jumlah buruh tani yang ada berdasarkan jenis
kelamin: laki-laki 142 orang dan perempuan 101 orang. Bahkan jumlah
tersebut dapat 3 kali lipat jumlah yang ada pada rekapitulasi tahun 2017.
Oleh karena itu, dengan kondisi pertanian dan jumlah petani yang
banyak dan adanya klasifikasi buruh tani perempuan dan laki-laki,
memiliki sebuah tendensi diferensiasi antar jenis kelamin, baik dalam
sistem sosial maupun ekonomi dalam ruang lingkup kehidupan buruh
tani. Desa Sumber Brantas menyediakan potensi-potensi data kajian
lebih lanjut terkait dengan buruh tani perempuannya untuk dieksplor.
Melihat sumber daya manusianya yang mayoritas menjadi petani dan
buruh tani, khususnya buruh tani perempuan.
1.6.3 Sumber Data
Sumber data dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sumber data
primer dan sekunder. Sumber data primer didapat secara langsung oleh
peneliti. Data primer didapatkan dari teknik pengumpulan data yang telah
ditentukan oleh peneliti, dalam hal ini ialah peneliti langsung bertemu
dengan subjek penelitian yaitu buruh tani perempuan sebagai subjek.
16
Sedangkan sumber data sekunder didapatkan melalui sumber-
sumber terentu sebagai perantara yang mendukung data primer seperti
profil Desa Sumber Brantas, foto-foto, maupun keterangan yang
diambil dari informan yang tentunya masih berkaitan dengan penelitian.
1.6.4 Teknik Penentuan Subjek Penelitian
Teknik penentuan subjek penelitian yang digunakan oleh penulis
ialah purposive sample. Sampel bertujuan atau purposive sample
dilakukan dengan cara mengambil subjek bukan didasarkan atas strata,
random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu
(Arikunto, 2010:183). Pertimbang tersebut berdasarkan kriteria-kriteria
yang telah ditentukan oleh peneliti yang mana subjek dianggap paling
tahu tentang apa yang sedang diteliti.
1.6.4.1 Subjek Penelitian
Peneliti dalam penelitian tersebut, mendapatkan dua jenis
subjek penelitian, yaitu 2 buruh tani perempuan dengan sistem
menetap atau buruh tani tetap yang bekerja di satu orang pemilik
lahan (juragan) dan 2 buruh tani perempuan yang tidak menetap
atau berpindah-pindah juragan. Adapun untuk buruh tani dengan
sistem menetap, biasanya satu orang juragan memiliki sampai 10
buruh tani. Buruh tani tersebut biasanya lebih banyak laki-lakinya
dibandingkan perempuan, dikarenakan buruh tani laki-laki
memiliki tenaga yang lebih kuat dibandingkan dengan buruh tani
perempuan. Biasanya hanya dua sampai 3 orang buruh tani
perempuan diantara sepuluh buruh tani tersebut per juragan.
17
Sedangkan untuk buruh tani yang tidak menetap jumlahnya
sangat banyak dan sulit terhitung, termasuk jumlah buruh tani
perempuan yang tidak menetap atau buruh lepas. Hal itu
dikarenakan buruh tani lepas selalu berpindah-pindah dan mereka
hanya aktif bekerja jika ada panggilan kerja, berbeda dengan
buruh tani yang menetap. Adapun kriteria subjek penelitian untuk
buruh tani perempuan tetap ialah:
1. Subjek sebagai buruh tani perempuan di Desa Sumber Brantas
2. Subjek sebagai buruh tani tetap (di satu pemilik lahan/juragan)
2. menjadi buruh tani lebih dari 10 tahun
3. subjek adalah penduduk yang telah menetap di Desa Sumber
Brantas
Subjek buruh tani perempuan tidak menetap:
1. Subjek sebagai buruh tani perempuan di Desa Sumber Brantas
2. Subjek sebagai buruh tani tidak tetap (berpindah pemilik
lahan/juragan)
3. menjadi buruh tani lebih dari 10 tahun
4. subjek adalah penduduk yang telah menetap di Desa Sumber
Brantas
1.6.4.2 Informan Penelitian
Informan adalah seseorang yang berperan memberikan
sebuah informasi terkait dengan penelitian yang diangkat.
Sedangkan informan dalam penelitian ini ialah:
18
1. Pak Poernomo selaku Sekretaris desa Sumber Brantas
2. Bu Ari selaku Kepala Seksi (Kasi) Pelayanan
3. Bu Yayuk (pemilik lahan)
4. Pak Rumadi (buruh tani laki-laki)
1.7 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang biasa dikenal oleh penelitian kualitatif pada
umumnya:
1.7.1 Observasi
Peneliti dalam teknik pengumpulan data melalui observasi
menggunakan jenis observasi partisipasi (partisipant observation). Adalah
metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data
penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti
benar-benar terlibat dalam keseharian responden (Darmadi, 2014:292)
Dengan teknik observasi partisipasi peneliti berusaha menjadi
salahsatu bagian dari para subjek penelitian yang berstatus sebagai
buruh tani perempuan. Melalui ikut serta dan melihat tindakan sosial
mereka selama menjadi buruh tani perempuan. Adapun observasi yang
dilakukan peneliti ialah dengan ikut serta seperti kegiatan menanam
bibit (ponjo), obersevasi panen wortel, sambil mewawancarai para
buruh tani perempuan yang sedang ada di lahan.
1.7.2 Wawancara
Melalui wawancara peneliti dapat menggali data-data dari
narasumber atau informan sesuai dengan rumusan masalah yang telah
dirumuskan guna menggali data-data terkait bagaimana habitus dalam
19
sistem upah buruh tani perempuan yang ada di Desa Sumber Brantas.
Wawancara yang digunakan wawancara tidak terstruktur (Arikunto,
2010:270), yaitu pedoman wawancara yang hanya memuat garis besar
yang akan ditanyakan. Oleh karena itu kreativitas pewawancara sangat
diperlukan. Peneliti tetap mewawancarai subjek sesuai dengan rumusan
masalah sebagai acuan untuk menggali data, namun wawancara tidak
terstruktur perlu ketika data hasil dari wawancara dirasa kurang
mendalam.
Wawancara yang dilakukan oleh peneliti yaitu menanyakan soal
sederhana tentang bagaimana habitus sistem upah buruh tani
perempuan yang ada di Desa Sumberbrantas. Pertanyaan tersebut terus
berkembang untuk menguak bagaimana habitus yang ada dalam sistem
upah buruh tani perempuan tersebut. Melalui wawancara tersebut,
buruh tani mulai membeberkan tentang konsep-konsep mental dan
kognitif yang selama ini mengendap dalam pikiran buruh tani
perempuan terkait dengan habitus sistem upah tersebut.
Pertanyaan tersebut seputar alasan mengapa mmrmilih bekerja
menjadi buruh tani, nominal besaran upah, perbedaan upah antara laki-
laki dan perempuan, mengapa mau menerima upah yang diferensiatif,
interval waktu kerja, pekerjaan yang dikerjakan para buruh tani
perempuan dengan perbandingan pekerjaan buruh tani laki-laki, serta
membongkar ada tidaknya perubahan sistem upah yang diberlakukan
berdasarkan atas perbedaan gender pada buruh tani perempuan dan laki-
laki.
20
1.7.3 Dokumentasi
Dokumen merupakan sebuah catatan peristiwa yang sudah berlalu
(Sugiyono, 2015:240). Berupa tulisan, gambar, karya-karya
monumental dari seseorang, sejarah pribadi kehidupan dimasa lalu dan
autobiografi, dll. Dokumen yang di dapat peneliti berupa profil desa
dan sejarah lisan dari informan dan subjek penelitian.
1.8 Teknik Analisa Data
Untuk menganalisis data dalam penelitian kualitatif, penelitian ini
menggunakan model analisis interaktif Miles dan Huberman (Sugiyono,
2015:246-253). Adapun model analisa data menurut Miles dan Huberman
sebagai berikut:
1. Reduksi Data
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting dicari tema dan polanya, gunanya
untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti
untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila
diperlukan. Reduksi data merupakan proses berfikir sensitif yang
memerlukan kecerdasan dan keluasan dan kedalaman wawasan yang tinggi.
2. Display Data
Display data atau penyajian data merupakan langkah selanjutnya
setelah mereduksi data. Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian
singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Akan
tetapi yang paling sering digunakan untuk menyajikan data kualitatif adalah
dengan teks yang bersifat naratif.
21
3. Verifikasi Data atau Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan
baru yang sebelumnya pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau
gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih remang-remang, sehingga
setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kausal atau interaktif,
hipoteis atau teori.
1.9 Validitas Data
Untuk menguji validitas data dengan menggunakan triangulasi. Menurut
Sugiyono (2014:241), triangulasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data
yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan
sumber data yang telah ada. Bila peneliti melakukan pengumpulan data
dengan triangulasi, maka sebenarnya peneliti mengumpulkan data yang
sekaligus menguji kredibilitas data, yaitu mengecek kredibilitas data dengan
berbagai teknik pengumpulan data dan berbagai sumber data.