bab i pendahuluan 1.1 latar...

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah perubahan iklim di Indonesia seringkali terkait dengan kasus penggundulan hutan dan emisi gas rumah kaca, meskipun pada dasarnya, kejadian tersebut lebih banyak dipengaruhi karena dampak perubahan iklim global terhadap Indonesia (UNDP, 2007). Salah satu pengaruh utama iklim di Indonesia adalah El Niño-Southern Oscillation (ENSO). Gambar 1.1 menunjukkan berbagai kondisi ENSO, yaitu ENSO hangat (el-nino), normal dan ENSO dingin (la-nina) (Mulyana, 2002). Dampak secara langsung dari kejadian el-nino, yaitu musim penghujan yang datang lebih akhir serta menurunkan total curah hujan (Qian, et al., 2010). Keterkaitan antara kejadian el-nino dengan curah hujan merupakan salah satu kejadian perubahan iklim global yang menarik untuk dikaji, khususnya jika memperhatikan kejadian el- nino, yaitu pada tahun 1997, 2002, 2004, 2006 dan 2009 (Hamada, et al., 2012). Gambar 1. 1 Berbagai Kondisi ENSO (Prenhall, 2004)

Upload: duonglien

Post on 06-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah perubahan iklim di Indonesia seringkali terkait dengan kasus

penggundulan hutan dan emisi gas rumah kaca, meskipun pada dasarnya,

kejadian tersebut lebih banyak dipengaruhi karena dampak perubahan iklim

global terhadap Indonesia (UNDP, 2007). Salah satu pengaruh utama iklim di

Indonesia adalah El Niño-Southern Oscillation (ENSO). Gambar 1.1

menunjukkan berbagai kondisi ENSO, yaitu ENSO hangat (el-nino), normal

dan ENSO dingin (la-nina) (Mulyana, 2002). Dampak secara langsung dari

kejadian el-nino, yaitu musim penghujan yang datang lebih akhir serta

menurunkan total curah hujan (Qian, et al., 2010). Keterkaitan antara kejadian

el-nino dengan curah hujan merupakan salah satu kejadian perubahan iklim

global yang menarik untuk dikaji, khususnya jika memperhatikan kejadian el-

nino, yaitu pada tahun 1997, 2002, 2004, 2006 dan 2009 (Hamada, et al.,

2012).

Gambar 1. 1 Berbagai Kondisi ENSO (Prenhall, 2004)

2

Kejadian el-nino yang ditunjukkan dengan tingkat menurunnya curah

hujan merupakan kejadian yang memiliki variasi kondisi tinggi secara spasial

dan temporal. Bentuk kemajuan teknologi yang saat ini memungkinkan untuk

memantau hal tersebut adalah penginderaan jauh. Ketersediaan data

penginderaan jauh untuk lingkungan atmosfer saat ini tergolong melimpah,

khususnya secara temporal. Informasi Suhu Permukaan Awan (SPA) dan

Albedo merupakan paremeter pendukung curah hujan yang dapat diperoleh

melalui satelit penginderaan jauh (Kuligowski, 2010). Kondisi curah hujan

estimasi yang diperoleh melalui satelit penginderaan jauh selanjutnya berguna

sebagai pendukung kejadian el-nino.

Salah satu citra satelit penginderaan jauh yang dapat memberikan

informasi tentang kajian curah hujan adalah citra MODIS (Moderate-

Resolution Imaging Spectroradiometer). Kelebihan citra MODIS dibandingkan

dengan citra meteorologi lainnya adalah ketersedian data untuk proses

pengkajian global tentang atmosfer dengan wilayah cakupan yang luas dan

resolusi spektral yang tinggi (Mustofa, 2009). Sensor MODIS terpasang pada

satelit Terra dan Aqua. Satelit Terra dan Aqua memiliki orbit selaras matahari

(sun synchronous) dan dekat kutub (near-polar). Citra yang dihasilkan

memiliki tiga resolusi spasial yaitu 250 meter, 500 meter, dan 1000 meter.

Total karakteristik panjang gelombang yang dimiliki oleh citra MODIS adalah

36 buah saluran dan 12-bit kepekaan radiometrik (Toller, et al., 2009).

Banyak penelitian sebelumnya mengkaji tentang informasi curah hujan

pada kondisi iklim tertentu. Salah satunya yaitu kajian tentang El

Nino/Southern Oscillation (ENSO) terhadap curah hujan bulanan Pulau Jawa,

yang dilakukan oleh Mulyanti (2012). Kajian tentang curah hujan tersebut

dilakukan dengan menggunakan data lapangan serta pengolahan secara

kuantitatif. Informasi yang disajikan dalam penelitian tersebut secara aktual

dapat merepresentasikan kondisi sebenarnya di kenyataan, hanya saja tidak

semua data stasiun hujan terisi, beberapa di antaranya kosong atau tidak

memberikan informasi. Keberadaan teknologi penginderaan jauh, khususnya

citra MODIS, dapat memberikan informasi curah hujan realtime pada seluruh

3

daerah cakupan. Dengan kata lain, proses identifikasi terhadap pola curah

hujan dapat dilakukan secara cepat, mudah dan menyeluruh.

Pernyataan di atas memberikan gambaran secara garis besar bahwa

penelitian terkait dengan perolehan data curah hujan melalui data penginderaan

jauh dimungkinkan untuk dapat dilakukan, khususnya pada kondisi el-nino

yang terkait dengan kondisi perubahan iklim global. Wilayah kajian yang tepat

untuk identifikasi pola curah hujan pada kondisi el-nino adalah Propinsi Jawa

Timur. Hal tersebut dikarenakan Jawa bagian timur mengalami dampak

terbesar dari kejadian el-nino, meskipun pengaruhnya lebih singkat (Mulyanti,

2012). Data pola curah hujan harian melalui citra MODIS selanjutnya

diharapkan dapat memenuhi informasi kondisi el-nino pada penelitian ini.

1.2 Perumusan Masalah

Data stasiun hujan di seluruh Indonesia hanya berada pada lokasi

tertentu, dengan jumlah dan kualitas alatnya yang terbatas. Di sisi lain,

ketersediaan data penginderaan jauh untuk lingkungan atmosfer melimpah

karena interval waktu yang pendek untuk data dalam bentuk citra maupun

non citra. Permasalahan lainnya, aplikasi penginderaan jauh untuk lingkungan

atmosfer dalam jumlah (volume data) yang besar, membutuhkan seleksi,

reduksi dan penanganan otomatis melalui komputer, baik dalam skala global

maupun regional (Lo, 1996). Salah satu jenis citra satelit penginderaan jauh

untuk lingkungan atmosfer yang terkait dengan kajian meteorologis serta

mudah diperoleh adalah MODIS. Di Indonesia, pengolahan data

penginderaan jauh untuk lingkungan atmosfer tidak banyak dilakukan,

khususnya terkait dengan identifikasi kondisi curah hujan pada fenomena el-

nino. Beberapa algoritma pada penelitian sebelumnya menggunakan variabel

kondisi awan untuk mengestimasi nilai curah hujan pada wilayah tertentu.

Fenomena el-nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah

Indonesia berkurang. Tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung

dari intensitas el-nino tersebut. Menurut intensitasnya, el-nino terbagi dalam

4 skala yaitu kuat (strong), menengah (moderate), lemah (weak) dan sangat

lemah (very weak) (Trenberth, 1997). Tahun 2009 dikategorikan sebagai

4

tahun kejadian el-nino menengah atau disebut juga dengan moderate el-nino

(Null, 2007). Kejadian tersebut merupakan kondisi ekstrim yang berbeda

dengan kondisi normal (pada umumnya). Seluruh kejadian tersebut memiliki

karakteristik curah hujan, khususnya di Jawa, dan di daerah tropis umumnya,

dengan ragam spasio-temporal yang tinggi.

Citra MODIS memiliki wilayah cakupan yang luas (250 km hingga

1000 km) serta memiliki nilai spektral yang tinggi, yaitu 36 kanal pada

panjang gelombang tampak hingga inframerah (0,405–14,385µm). Hal

tersebut menunjukkan bahwa citra MODIS sebagai penyedia data untuk

proses-proses pengkajian global tentang atmosfer memiliki kelebihan

dibandingkan satelit cuaca lainnya (Mustofa, 2009). Meskipun, data curah

hujan yang dihasilkan dari pengolahan citra MODIS selanjutnya perlu

dibandingkan atau diuji dengan data curah hujan aktual pada stasiun penakar

hujan.

Mendasarkan uraian rumusan masalah yang disebutkan di atas, muncul

pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Algoritma apa yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi informasi

SPA dan ALB yang mendukung nilai curah hujan estimasi pada kondisi el-

nino melalui pengolahan citra MODIS?

2. Bagaimana perbandingan pola curah hujan estimasi yang ditunjukkan pada

kondisi el-nino dengan kondisi normal melalui pengolahan citra MODIS di

Provinsi Jawa Timur?

3. Bagaimana tingkat validasi pola curah hujan estimasi pada kondisi el-nino

menggunakan citra Penginderaan Jauh dibandingkan dengan pengukuran

data lapangan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, yaitu :

1. Mengetahui algoritma yang yang dapat memberikan informasi SPA dan

ALB sebagai parameter pendukung nilai curah hujan estimasi pada kondisi

el-nino melalui pengolahan citra MODIS.

5

2. Membandingkan pola curah hujan estimasi melalui pengolahan citra

MODIS yang ditunjukkan pada kondisi el-nino dengan kondisi normal di

Provinsi Jawa Timur.

3. Mengetahui validasi hasil identifikasi pola curah hujan (estimasi) pada

kondisi el-nino menggunakan citra Penginderaan Jauh dibandingkan

dengan pengukuran data lapangan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk beberapa kepentingan, antara lain :

1. Secara akademis, khususnya dalam bidang penginderaan jauh atmosfer,

dapat memberikan gambaran tentang tingkat akurasi data curah hujan

berdasarkan pengolahan citra MODIS.

2. Untuk instansi pengelola data curah hujan dan pemerintah daerah, dapat

digunakan sebagai alternatif perolehan data terkait dengan estimasi curah

hujan melalui citra MODIS.

1.5 Landasan Teori

1.5.1 Awan dan Hujan

Udara selalu mengandung uap air. Apabila uap air ini meluap

menjadi titik-titik air, maka terbentuklah awan. Penguapan ini bisa terjadi

dengan dua cara (Pramudia, 2010) sebagai berikut.

1. Apabila udara panas, lebih banyak uap terkandung di dalam udara.

Udara panas yang penuh dengan air ini akan naik tinggi, hingga tiba di

satu lapisan dengan suhu yang lebih rendah, uap itu akan mencair dan

terbentuklah awan, molekul-molekul titik air yang tak terhingga

banyaknya.

2. Suhu udara tidak berubah, tetapi keadaan atmosfer lembab.

Awan menurut bentuknya terbagi menjadi 10 jenis awan

utama seperti pada Gambar 1.2, antara lain (Rahayu, 2010) :

1. Cirrus (Ci), awan terlihat halus dan lembut seperti bulu-bulu,

berwarna putih. Ketinggian umumnya lebih dari 5.000 meter. Terdiri

6

dari kristal es, suhu sangat dingin, walaupun pada musim panas atau

kering.

2. Cirrocumulus (Cc), mengandung butiran air super-dingin, bercampur

dengan kristal es. Butiran air cepat membeku. Awan ini berumur

sangat singkat, cepat berubah menjadi cirrostratus.

3. Cirrostratus (Cs), gugusan kristal es, menyebar dan menutupi sebagian

atau seluruh langit. Menyerupai selaput tipis tembus cahaya. Sering

terbentuk cincin atau halo di sekeliling matahari atau bulan. Kadang-

kadang terjadi hujan yang tidak sampai ke permukaan bumi (virga),

seolah-olah cerah di permukaan.

4. Altocumulus (Ac), puncak awan putih bergulung, dengan dasar awan

lebih gelap dan umumnya melebar. Seperti pecahan atau halus,

ketebalan beragam. Menggambarkan udara cerah, namun bisa

berkembang menjadi awan hujan lainnya, bahkan cumulonimbus.

5. Altostratus (As), awan seperti lembaran halus berwarna abu-abu

gelap. Dapat menghasilkan hujan gerimis, hujan ringan hingga

sedang. Umumnya terbentuk sepanjang sore hari, diikuti hujan pada

senja atau malam hari.

6. Stratus (St), awan terpecah-pecah dan tipis, dapat berbentuk lembaran

atau lapisan. Tidak tumbuh vertikal. Berkembang pada kondisi dimana

aliran angin mengakibatkan udara terkondensasi pada lapisan atmosfer

bawah.

7. Stratocumulus (Sc), awan rendah yang umumnya bergerak lebih cepat

dari cumulus. Dasar awan umumnya lebih gelap daripada puncak

awan, namun ciri-cirinya dapat lebih beragam.

8. Cumulus (Cu), adalah awan yang mengandung kristal es. Terlihat

seperti serabut atau buntut kuda berwarna putih. Terlihat pada posisi

yang sangat tinggi, umumnya lebih dari 5.000 meter dengan suhu

sangat dingin, walaupun pada musim panas atau kering.

9. Nimbostratus (Ns), berwarna gelap, langit tertutup awan, dan sinar

matahari terhalang. Umumnya disertai cuaca buruk. Hujan turun

dengan intensitas rendah hingga sedang, untuk waktu yang lama.

7

10. Cumulonimbus (Cb), awan cumulus yang tumbuh vertikal ketika

cuaca terik. Mengandung hujan lebat, petir, kilat, kadang-kadang

terkait dengan badai dan cuaca buruk.

Gambar 1. 2 Skema Penamaan Awan berdasarkan Bentuk dan Ketinggian

Dasarnya (Pramudia, 2010)

Hujan adalah salah satu bentuk presipitasi. Definisi presipitasi pada

dasarnya yaitu pengendapan air dari atmosfer pada permukaan bumi dalam

bentuk cair (tetes hujan) dan padat (salju) (Tjasyono, 2008). Di wilayah

tropis seperti Indonesia presipitasi lebih didefinisikan sebagai hujan karena

sangat jarang terjadi presipitasi dalam bentuk jatuhan keping es.

Curah hujan mempunyai variabilitas yang besar dalam ruang dan

waktu. Menurut skala ruang, variabilitasnya sangat dipengaruhi oleh letak

geografi, topografi, arah angin dan letak lintang. Menurut skala waktu,

keragaman curah hujan dibagi atas tipe harian, bulanan dan tahunan.

Variasi curah hujan harian lebih dipengaruhi oleh faktor lokal, variasi

bulanan dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut, aktivitas konveksi,

arah aliran udara di permukaan serta variasi sebaran daratan dan lautan.

Variasi curah hujan tahunan dipengaruhi oleh perilaku atmosfer global,

siklon tropis dan lain-lain (Prasetya, 2011).

Cuaca permukaan wilayah Indonesia relatif sama. Secara umum

curah hujan di Indonesia didominasi oleh pengaruh beberapa fenomena

seperti sistem monsoon Asia-Australia, el-nino, sirkulasi Timur-Barat

(Walker Circulation) dan Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta

beberapa sirkulasi karena faktor lokal (Prasetya, 2011).

8

1.5.2 Suhu Permukaan Awan (SPA), Albedo Awan dan Estimasi Curah

Hujan

Suhu Permukaan Awan atau disingkat SPA, memiliki definisi lain

yaitu temperatur puncak dari awan. Permukaan paling atas dari awan

(cloud-top) merupakan bagian yang terpengaruh langsung oleh sinar

matahari (seperti pada Gambar 1.3). Kondisi temperatur permukaan awan

secara visual dapat diketahui melalui kecerahan awan dan ketebalan awan,

yang cenderung pada jenis awan (Lo, 1996).

Gambar 1. 3 Proses Terjadinya Presipitasi pada 2 Jenis Kondisi Awan (IPCC, 2007)

Albedo memiliki kaitan dengan nilai pantulan kembali sinar

matahari. Sedangkan albedo awan berarti nilai pantulan dari awan setelah

menerima energi dari matahari, yang dipengaruhi oleh sudut zenith

matahari, ketebalan awan, kandungan air atau es pada awan. Nilai albedo

awan berkisar antara 10% hingga kurang dari 90% (Gourdeau, 2004).

9

Banyak penelitian penginderaan jauh sebelumnya terkait dengan

estimasi curah hujan mendasarkan variabel SPA yang diperoleh melalui

spektrum panjang gelombang inframerah dan kadangkala menyertakan

variabel Albedo Awan (ALB) yang diperoleh melalui spektrum panjang

gelombang tampak/visible. Pendekatan tersebut umumnya didasarkan

pada asumsi bahwa SPA diyakini sebagai variabel prediktor yang tepat

untuk menunjukkan nilai curah hujan (Kuligowski, 2010). Dengan kata

lain, nilai curah hujan dapat diestimasikan melalui persamaan berdasarkan

korelasi statistik dari beberapa parameter.

Metode penaksiran hujan menggunakan spektrum tampak maupun

inframerah dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (1) metode indeks awan

yang tidak tergantung waktu, (2) metode riwayat hidup (life history)

tergantung waktu. Metode indeks awan memerlukan identifikasi tipe awan

dan luas awan untuk menaksir jumlah hujan, dengan mangasumsikan

intensitas dan probabilitas hujan tertentu berkaitan dengan jenis awan.

Metode life history menguji perkembangan awan konveksi dari urutan

waktu pada citra di setiap pikselnya (Lo, 1996).

1.5.3 El-Nino

El Nino merupakan suatu gejala alam di Samudra Pasifik bagian

tengah dan timur ditandai dengan kondisi memanasnya suhu permukaan

laut di wilayah tersebut, yang berefek pada pendinginan suhu permukaan

laut di lautan Indonesia. Saat yang bersamaan terjadi perubahan pola

tekanan udara yang mempunyai dampak sangat luas. Tekanan udara pada

masing-masing wilayah kejadian el-nino memiliki hubungan yang

berbanding terbalik dengan suhu permukaan laut (Gambar 1.4). Kondisi El

Nino ditunjukkan melalui rendahnya tekanan udara pada wilayah Samudra

Pasifik bagian timur dan tingginya tekanan udara pada wilayah Samudra

Pasifik bagian barat (Stone, 2010).

Walaupun el-nino dianggap sebagai faktor pengganggu dari sirkulasi

monsun yang berlangsung di Indonesia, namun pengaruhnya sangat terasa

yaitu timbulnya bencana kekeringan yang meluas. Ketika berlangsung el-

10

nino, terjadi penguatan angin barat di Pasifik barat daerah ekuator mulai

dari sebelah utara Irian hingga Pasifik Tengah (Trenberth, 1997).

Fase Panas (el-nino) sebagai bagian dari ENSO dipengaruhi oleh tiga

faktor, yaitu curah hujan, temperatur dan evaporasi (Mulyanti, 2012).

Terjadinya el-nino menyebabkan musim penghujan datang lebih akhir

serta menurunkan total curah hujan. Dampak el-nino siginifikan pada

bulan September – November (SON) dan memberikan dampak signifikan

dalam menurunkan curah hujan di Pulau Jawa pada bulan Desember –

Februari (DJF) (Qian, et al., 2010).

Gambar 1. 4 Hubungan Suhu Permukaan Laut dan Tekanan Udara (Stone, 2010)

Indikator menentukan terjadinya el-nino adalah SST (Sea Surface

Temperature), SOI (Southern Oscillation Index) dan MEI (Multivariate

ENSO Index). MEI merupakan gabungan SOI dan SST.

11

Tabel 1. 1 Tahun Kejadian El-Nino dan La-Nina di Indonesia

Tipe ENSO

Tahun Nilai Ocean Nino Indeks (ONI) per Triwulan

JJA JAS ASO SON OND NDJ DJF JFM FMA MAM AMJ MJJ

- 2001 2002 0.0 0.0 -0.1 -0.2 -0.2 -0.3 -0.2 0.0 0.1 0.3 0.5 0.7

ME 2002 2003 0.8 0.8 0.9 1.2 1.3 1.3 1.1 0.8 0.4 0.0 -0.2 -0.1

- 2003 2004 0.2 0.4 0.4 0.4 0.4 0.3 0.3 0.2 0.1 0.1 0.1 0.3

WE 2004 2005 0.5 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.6 0.4 0.3 0.3 0.3 0.3

WL 2005 2006 0.2 0.1 0.0 -0.2 -0.5 -0.8 -0.9 -0.7 -0.5 -0.3 0.0 0.1

WE 2006 2007 0.2 0.3 0.5 0.8 1.0 1.0 0.7 0.3 -0.1 -0.2 -0.3 -0.3

ML 2007 2008 -0.3 -0.6 -0.9 -1.1 -1.2 -1.4 -1.5 -1.5 -1.2 -0.9 -0.7 -0.5

- 2008 2009 -0.3 -0.2 -0.1 -0.2 -0.4 -0.7 -0.9 -0.8 -0.6 -0.2 0.1 0.4

ME 2009 2010 0.5 0.6 0.7 1.0 1.4 1.6 1.6 1.4 1.1 0.7 0.2 0.3 Keterangan : ME (Moderate El Nino); WE (Weak El Nino); ML (Moderate -1.3La Nina); WL (Weak La Nina). Sumber : (Null, 2007)

1.5.4 Penginderaan Jauh untuk Lingkungan Atmosfer

Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk

memperoleh informasi mengenai obyek, daerah atau fenomena melalui

analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung

dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Lillesand, et al., 1990). Pola

pantulan spektral pada citra penginderaan jauh sangat berguna untuk

mengenali obyek atau fenomena yang ada dimuka bumi.

Aplikasi penginderaan jauh untuk lingkungan atmosfer dicirikan

oleh arah orientasi analisis dari volume data satelit meteorologi dalam

jumlah yang besar. Dengan kata lain, skala penelitian dalam aplikasi

penginderan jauh untuk lingkungan atmosfer ini berada pada skala global

hingga regional (Barret, 1974). Selain pertimbangan skala tersebut,

ketersediaan data satelit cuaca untuk interval waktu yang pendek

memeberikan tiga pendekatan, yaitu (1) interpretasi visual atau bantuan

komputer pola spasial citra dua dimensi asli; (2) analisis matematis

pengukuran radiasi untuk memperoleh parameter meteorologi yang

bermanfaat; (3) deteksi trend atau pola perubahan fenomena iklim dengan

cara membandingkan data meteorologi satu dimensi atau dua dimensi (Lo,

1996).

12

Tidak semua spektrum gelombang elektromagnetik (lihat Gambar

1.5) dapat digunakan untuk kajian penginderaan jauh lingkungan atmosfer,

hanya sebagian dari spektrum yang terkait dengan besaran, parameter serta

gejala atmosfer, yang dapat digunakan (Prawirowardoyo, 1996).

Perkembangan penginderaan jauh lingkungan atmosfer, khususnya dalam

memprediksi curah hujan memunculkan banyak algoritma yang bervariasi.

Pada dasarnya, instrumen dasar penginderaan jauh yang digunakan (seperti

pada kejadian curah hujan) tidak berbeda dengan kajian penginderaan jauh

di bidang lain, yaitu gelombang elektromagnetik bagian tampak (visible)

dan inframerah (infrared) yang saling di-regresikan secara statistik (Hao,

et al., 2007). Di sisi lain, masalah utama aplikasi penginderaan jauh untuk

lingkungan atmosfer adalah melimpahnya data. Volume data satelit yang

besar serta dikumpulkan setiap harinya, membutuhkan seleksi, reduksi dan

penanganan otomatis dengan komputer (Lo, 1996).

Gambar 1. 5 Nilai Serapan dan Pancaran oleh Atmosfer (WCRP, 2008)

13

1.5.5 Kualitas Data Spasial

Kualitas data spasial merupakan hal penting dalam 15 tahun terakhir

ini. Studi terkait kualitas data spasial meliputi aspek ilmu sosial (analisis

kualitas data pengguna), model database (metadata) dan analisis statistik

secara kuantitatif (ITC, 2014).

Data spasial setidaknya ada tiga komponen di dalamnya, antara lain

(Hunter, et al., 2009).

1. Akurasi data (accuracy)

Keakuratan adalah kedekatan dari hasil pengamatan terhadap nilai-nilai

benar atau nilai-nilai yang diterima sebagai benar.

2. Kualitas (quality)

Kualitas secara sederhana dapat dikatakan sebagai kesesuaian untuk

digunakan untuk sebuah dataset tertentu. Data yang sesuai untuk

digunakan dengan satu aplikasi mungkin tidak cocok untuk digunakan

dengan yang lain. Hal ini sepenuhnya bergantung pada skala, akurasi,

dan cakupan data yang ditetapkan, serta kualitas data set yang akan

digunakan. US Spatial Data Transfer Standard (SDTS)

mengidentifikasi lima komponen data kualitas definisi, yaitu :

a. Lineage (riwayat data) : sumber, isi, spesifikasi, cakupan geografis,

metode kompilasi, metode tranformasi, penggunaan algoritma yang

relevan selama kompilasi.

b. Positional accuracy (akurasi posisi)

c. Attribute accuracy (akurasi informasi simbol)

d. Logical consistency : komponen ini berkaitan dengan menentukan

konsistensi struktur data dari sebuah dataset.

e. Completeness (kelengkapan data) : pertimbangan

terhadap kekosongan data, bagian yang tak terklasifikasi

dan prosedur kompilasi.

3. Kesalahan (error)

Ada dua jenis kesalahan, yaitu kesalahan sumber dan kesalahan

opersional. Kesalahan sumber mengartikan bahwa kesalahan berasal

dari sumber dokumen dan data. Kesalahan operasional seperti

14

kesalahan saat pengambilan sampel, ketidak akuratan algoritma,

kesalahan klasifikasi dan lain sebagainya.

Data spasial terkait dengan informasi curah hujan melalui citra

penginderaan jauh dan data pengukuran lapangan memiliki resolusi dan

akurasi yang berbeda, baik secara spasial maupun temporal. Komponen

pengukuran kualitas data (resolusi dan akurasi) secara spasial meliputi

pertimbangan dimensi data (x, y, z) dan ukuran piksel/cakupan wilayah

(Veregin, 1998).

Pengukuran untuk memperoleh nilai akurasi spasial dapat dilakukan

dengan memperhatikan komponen statistiknya, seperti rerata kesalahan

(mean error), RMSE (root mean squared error), derajat kepercayaan

(confidence limits), dan lainnya. Resolusi spasial penting diperhatikan

untuk pengambilan sampel, agar sampel tidak terlalu banyak ataupun

terlalu sedikit. Pengukuran untuk memperoleh nilai akurasi temporal yaitu

dengan memperhatikan aktualisasi data serta dinamika perubahan

informasi yang terjadi pada suatu lokasi. Terkait dengan resolusi temporal,

hal yang perlu diperhatikan adalah interval sampel (Veregin, 1998).

Contohnya terkait dengan pengukuran data curah hujan adalah dengan

memperhatikan rata-rata sampel pada citra dan data lapangan untuk setiap

waktu perekaman (scene).

1.5.6 Citra MODIS

Gambar 1. 6 Satelit Terra MODIS dan Satelit Aqua MODIS (Gumley, 2002)

15

MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah

salah satu dari lima sensor (ASTER, CERES, MISR, MODIS, dan

MOITT) yang secara komprehensif mengukur lingkungan bumi dan

perubahan didalam sistem iklim. MODIS (lihat Gambar 1.6) telah berhasil

diluncurkan dari Vandenberg Air Force Base, CA pada tanggal 18

Desember 1999 dengan satelit Terra (mengorbit dari utara ke selatan).

Satelit ke dua, yaitu Aqua (mengorbit dari selatan ke utara), diluncurkan

pada tanggal 4 Mei 2002. MODIS mempunyai 2 band resolusi 250 m,

yang 4 kali lebih baik dari NOAA-AVHR, 5 band resolusi 500 m, dan 29

band resolusi 1000 m. MODIS dapat mengamati seluruh permukaan bumi

dengan resolusi temporal yang tinggi.

MODIS mengorbit bumi secara polar pada ketinggian 705 km. Lebar

cakupan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km.

Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS

sebanyak 36 band (36 interval panjang gelombang) seperti pada Tabel 2,

mulai dari 0,405 sampai 14,385 µm (1 µm = 1/1.000.000 meter). Data

terkirim dari satelit dengan kecepatan 11 Megabytes setiap detik dengan

resolusi radiometrik 12 bits. Artinya obyek dapat dideteksi dan dibedakan

sampai 212 = 4.096 derajat keabuan (grey levels) (Toller, et al., 2009).

Dengan karakteristik di atas, MODIS memiliki beberapa kelebihan

dibanding NOAA-AVHRR. Diantara kelebihannya, yaitu lebih banyaknya

spektral panjang gelombang (resolusi radiometrik), lebih telitinya cakupan

lahan (resolusi spasial) serta lebih seringnya frekuensi pengamatan

(resolusi temporal). Data yang diperoleh dari MODIS, dapat dimanfaatkan

untuk dinamika global dan proses yang terjadi di permukaan bumi, laut,

dan atsmosfer dekat permukaan bumi. MODIS berperan sangat penting

dalam memprediksi perubahan global secara akurat dan membantu

penentu kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan.

Secara detail, produk MODIS dikatagorikan menjadi tiga bagian, yaitu

produk pengamatan vegetasi, radiasi permukaan bumi, dan tutupan lahan.

Meskipun, kualitas produk tersebut perlu diukur melalui proses valiadasi,

16

yaitu membandingkan ketepatan pengamatan sensor dengan kondisi

sebenarnya (Mustofa, 2009).

Tabel 1. 2 Spesifikasi Sensor MODIS Aqua/Terra

Band λ (µm) Resolusi Spasial (m) Kegunaan Utama

Saluran Reflektan (Pantulan) 1 0,620 - 0,670 250 Aerosol, Awan, Lahan 2 0,841 - 0,876 250 3 0,459 - 0,479 500

Aerosol, Awan, Ketebalan Optis, Bentuk Awan, Masking Awan, Salju,

Lahan/Tanah

4 0,545 - 0,565 500 5 1,230 - 1,250 500 6 1,628 - 1,652 500 7 2,105 - 2,155 500 8 0,405 - 0,420 1000

Warna Laut, Klorofil, Fitoplankton, Biogeo-kimiawi

9 0,438 - 0,448 1000 10 0,483 - 0,493 1000 11 0,526 - 0,536 1000 12 0,546 - 0,556 1000 Sedimen, Atmosfer 13 0,662 - 0,672 1000 14 0,673 - 0,683 1000 Flouresense 15 0,743 - 0,753 1000 Aerosol Atmosfer 16 0,862 - 0,877 1000 17 0,890 - 0,920 1000

Uap Air, Awan 18 0,931 - 0,941 1000 19 0,915 - 0,965 1000 26 1,360 - 1,390 1000 Awan Sirus

Saluran Radian (Pancaran) 20 3,660 - 3,840 1000 Permukaan dan Awan, Suhu, Api dan

Vulkanik, Suhu Muka Laut

21 3,929 - 3,989 1000 22 3,929 - 3,989 1000 23 4,020 - 4,080 1000 24 4,433 - 4,498 1000 Suhu Atmosfer 25 4,482 - 4,549 1000 27 6,535 - 6,895 1000 Uap Air Troposfer 28 7,175 - 7,475 1000 29 8,400 - 8,700 1000 Partikel Awan 30 9,580 - 9,880 1000 Total Kandungan Ozon 31 10,780 - 11,280 1000 Awan, Api, Suhu Permukaan 32 11,770 - 12,270 1000 33 13,185 - 13,485 1000

Ketinggian Awan, Suhu, Tekanan, Profil Suhu/Temperatur

34 13,485 - 13,785 1000 35 13,785 - 14,085 1000 36 14,085 - 14,385 1000

Sumber : modis.gsfc.nasa.gov

1.6 Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang estimasi curah hujan, khususnya dengan data

penginderaan jauh, telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.

17

Widodo (1998), menggunakan data Satelit Cuaca GMS melalui persamaan

regresi berganda untuk estimasi curah hujan. Metode dalam penelitian

tersebut, yaitu menggabungkan variabel terikat (curah hujan) dengan variabel

tak terikat (suhu ppermukaan awan dan albedo awan) untuk dijadikan

persamaan regresi linier berganda serta estimasi curah hujan. Penelitian yang

dilakukan selama bulan Oktober, November 1996 dan Januari hingga Maret

2007 di Bandung tersebut, menghasilkan korelasi antara suhu puncak awan,

albedo awan dan curah hujan sebesar 87,3 persen.

Hao, et al. (2007) melakukan perbandingan estimasi curah hujan melalu

beberapa algoritma. Diantaranya, yaitu data harian Aqua MODIS dengan

metode MODIS Dual Spectral Rain Algorithm (MODRA), algoritma AMSR-

E dan pengukuran lapangan. Penelitian yang dilakukan di China bagian

Timur selama bulan Mei hingga September 2005 ini, menunjukkan hasil

bahwa estimasi curah hujan dari MODRA lebih baik terhadap awan-awan

hujan yang hangat jika dibandingkan dengan algoritma AMSR-E.

Indah, et al. (2007) melakukan penelitian berupa pengembangan

aplikasi data Terra MODIS untuk ekstraksi data Suhu Permukaan (SP)

dengan menerapkan 3 algoritma perhitungan, yaitu Price (1984), Li & Becker

(1991) dan Coll, et al. (1994). Metode split-window dengan menggunakan 2

band (31 dan 32) pada penelitian ini, menunjukkan hasil berupa, nilai SP

tertinggi dihasilkan oleh algoitma Li & Becker (1991) dan terendah

dihasilkan oleh algoritma Price (1984).

Mardiyanto (2009) dengan menggunakan data gabungan dari citra

MTSAT dan TRMM, sekaligus kondisi fisik lahan dari Citra Landsat ETM+,

melakukan estimasi curah hujan pada tanggal 5 hingga 15 Februari 2009 di

DAS Garang, Semarang, Jawa Tengah. Curah hujan yang diperoleh melalui

gabungan nilai estimasi kedua citra tersebut serta kondisi fisik DAS,

kemudian digunakan untuk menghitung debit aliran DAS dengan metode

rasional. Nilai debit aliran melalui data penginderaan jauh, kemudian

dibandingkan dengan debit aliran hasil pengukuran di lapangan (ALWR).

Buana (2012) melakukan penelitian dengan menggabungkan variabel

suhu permukaan awan dan albedo awan untuk digunakan sebagai persamaan

18

estimasi curah hujan melalui citra TERRA MODIS. Penelitian tersebut

dilakukan di sebagian daerah Jawa Tengah pada tahun 2001 hingga tahun

2011. Metode yang digunakan untuk menghasilkan persamaan dalam

penelitian tersebut yaitu regresi linier berganda. Hasilnya menunjukkan

bahwa nilai curah hujan estimasi berada di bawah acuan nilai curah hujan dari

data lapangan (Dinas Pertanian).

Penelitian yang dilakukan oleh penulis memanfaatkan data

penginderaan jauh berupa citra Terra MODIS untuk identifikasi pola curah

hujan di Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan data time series,

yaitu saat tahun terjadinya el-nino (2009/2010) serta dibandingkan dengan

tahun normal (2003/2004). Metode yang digunakan dalam penelitian ini

adalah persamaan regresi linier berganda pada dua jenis persamaan

(gabungan 2 algoritma) untuk memperoleh nilai estimasi curah hujan. Hasil

akhir dari nilai estimasi curah hujan tersebut kemudian dibandingkan dengan

data lapangan (stasiun hujan).

Berikut ini adalah tabel perbandingan perbedaan penelitian penulis

dengan peneliti sebelumnya.

Tabel 1. 3 Daftar Penelitian Terkait Sebelumnya Penulis/Judul Tujuan Metode Hasil

(1) (2) (3) (4) F. Heru Widodo, 1998. Pemanfaatan Data Satelit Cuaca GMS untuk Estimasi Curah Hujan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat dan sekitarnya. Thesis.

1. Mempelajari kemampuan satelit cuaca GMS untuk menyadap data Albedo Awan (ALB) dan SPA.

2. Mencari hubungan antara ALB dan SPA dengan curah hujan yang terjadi.

3. Membuat model matematis untuk estimasi besarnya curah hujan wilayah menggunakan ALB dan SPA dari citra satelit GMS.

Regresi Berganda, Variabel Terikat (Curah Hujan), Variabel Tak Terikat (SPA & Albedo Awan).

1. Satelit cuaca GMS dapat dipakai dengan baik untuk menyadap data SPA melalui nilai indeks kecerahan pada citra GMS.

2. Hubungan kecerahan antara SPA dan ALB terhadap curah hujan cukup tinggi.

3. Satelit cuaca GMS-5 dapat digunakan untuk pembuatan model estimasi curah hujan dengan pengukuran nilai ALB dan SPA.

19

Lanjutan Tabel 1.3 Penulis/Judul Tujuan Metode Hasil

(1) (2) (3) (4) Hao Yan dan Song Yang, 2007. A MODIS Dual Spectral Rain Algorithm. Journal of Applied Meteorology and Climatology Vol. 46 p.1305-1323.

Mengeksplorasi cara baru untuk memperkirakan curah hujan dari MODIS melalui berbagai saluran terkait dengan awan.

Perbandingan Data Harian Aqua MODIS, AMSR-E dan pengukuran lapangan, MODRA, Multiregresi dan Korelasi Band IR-VIS.

Melalui penerapan MODRA menggunakan 2 band (panjang gelombang 11 µm dan 1,38 µm), hasil menunjukkan bahwa estimasi curah hujan dari MODRA lebih baik terhadap awan-awan hujan yang hangat jika dibandingkan dengan algoritma AMSR-E.

Indah, et al., 2007. Pengkajian Pemanfaatan Data Terra-MODIS untuk Ekstraksi Data Suhu Permukaan Lahan (SPL) berdasarkan Beberapa Algoritma. Jurnal LAPAN Vol 4 No. 1.

Mengembangkan aplikasi data Terra MODIS guna ekstraksi data Suhu Permukaan (SP) dengan menerapkan 3 algoritma perhitungan, yaitu Price (1984), Li & Becker (1991) dan Coll, et al. (1994).

Pengolahan data SP dengan 3 algoritma, Klasifikasi nilai SP, Metode Multi-Kanal (Split Window).

Data Terra MODIS memungkinkan untuk dikembangkan guna ekstraksi data SP, yaitu dengan memanfaatkan kanal 31 dan 32. Nilai SP tertinggi dihasilkan oleh algoitma Li & Becker (1991) dan terendah dihasilkan oleh algoritma Price (1984).

Mardiyanto, 2010. Pemanfaatan Citra Satelit Orbit Geostasioner dan Orbit Polar untuk Estimasi Curah Hujan dan Debit Puncak di DAS Garang, Semarang, Jawa Tengah. Thesis.

1. Estimasi curah hujan dari gabungan data satelit MTSATdan TRMM

2. Memperoleh debit aliran dengan metode rasional menggunakan SIG

3. Menentukan ketepatan relatif sebit limpasan aktual dan estimasi dibandingkan dengan debit aliran dari data AWLR

Penginderaan Jauh Cuaca (MTSAT dan TRMM), Statistik, Debit Puncak melalui metode Cook, Hidrologi dan SIG.

1. Estimasi curah hujan dari gabungan data satelit MTSATdan TRMM.

2. Estimasi debit puncak dengan data citra satelit dan debit puncak aktual dari data pengukuran stasiun hujan.

3. Ketepatan debit aliran dari hasil pengukuran stasiun hujan dan estimasi citra satelit dibandingkan dengan data AWLR.

Fahrudin Indra Buana, 2012. Estimasi Curah Hujan Menggunakan Citra MODIS di Sebagian Daerah Jawa Tengah. Skripsi.

1. Estimasi curah hujan yang terjadi dengan analisis suhu permukaan awan dan nilai albedo.

2. Mengetahui tingkat keakuratan data curah hujan yang disadap dari citra MODIS dengan data curah hujan acuan (milik Dinas Pertanian).

SPA + Albedo, Regresi Berganda.

Pola sama dengan curah hujan aktual, hasil underestimate.

20

Lanjutan Tabel 1.3 Penulis/Judul Tujuan Metode Hasil

(1) (2) (3) (4) Rif’at Darajat, 2013. Identifikasi Pola Curah Hujan pada Kondisi El-Nino melalui Citra MODIS di Propinsi Jawa Timur. Skripsi.

1. Mengetahui algoritma yang dapat memberikan informasi suhu permukaan awan (SPA) dan albedo awan (ALB) sebagai parameter pendukung nilai curah hujan (estimasi) melalui pengolahan citra satelit MODIS.

2. Membandingkan pola curah hujan (estimasi) yang ditunjukkan pada kondisi el-nino dengan kondisi normal.

3. Mengetahui validasi hasil identifikasi pola curah hujan (estimasi) menggunakan citra PJ dibandingkan dengan data lapangan.

Ekstraksi Suhu Permukaan Awan (SPA) dan Albedo melalui beberapa algoritma, Regresi Liner Berganda, Uji Akurasi dengan Data Stasiun Hujan.

1. Peta intensitas curah hujan yang didapat dari citra satelit MODIS tiap 3 kali dalam satu bulan.

2. Grafik intensitas curah hujan pada kondisi el-nino dan kondisi normal (sebagai pembanding).

3. Tabel dan grafik perbandingan antara pola curah hujan hasil estimasi pengolahan citra satelit MODIS dengan data lapangan (stasiun hujan) daerah kajian.

1.7 Kerangka Pemikiran

Kejadian hujan yang tidak menentu serta perubahan iklim drastis yang

akhir-akhir ini terjadi merupakan salah satu contoh fenomena cuaca yang

menarik untuk diteliti. Hanya saja ketersediaan data hujan di stasiun memiliki

beberapa kekurangan seperti pencatatan yang tidak teratur, kondisi alat,

pembacaan data yang kurang cermat dan lain sebagainya. Di sisi lain, masalah

utama aplikasi penginderaan jauh untuk lingkungan atmosfer adalah

melimpahnya data. Volume data satelit yang besar dan dikumpulkan setiap

hari membutuhkan seleksi, reduksi dan penanganan otomatis dari komputer.

Memperhatikan dua hal yang berbeda tersebut, peluang untuk melakukan

penelitian tentang curah hujan secara realtime pada kondisi tertentu dapat

disinkronkan.

Data hujan hasil estimasi melalui satelit penginderaan jauh dapat

dikonversi hingga satuan mm/jam. Satelit MODIS merupakan jenis satelit

21

yang dapat memonitoring permukaan bumi melalui deteksi suhu permukaan

serta albedo, khususnya terkait dengan awan. Kualitas hujan pada salah satu

kondisi iklim, yaitu el-nino, dapat diamati melalui satelit MODIS dengan

memperhatikan pola yang terjadi di setiap bulannya sepanjang tahun. El-Nino

merupakan kondisi tegas ketika potensi hujan minim akibat meningkatnya

suhu muka laut secara ekstrim.

Visualisasi akhir dari pengolahan data hujan melalui satelit MODIS

adalah grafik pola curah hujan serta peta distribusi hujan pada kondisi el-nino

di daerah penelitian. Uji akurasi dari pengolahan data penginderaan jauh

tersebut dilakukan dengan membandingkan data pengukuran lapangan (data

sekunder curah hujan dari stasiun hujan). Grafik yang menunjukkan pola

curah hujan pada kondisi normal (tidak terjadi el-nino dalam satu tahun) dapat

disajikan sebagai pembanding dalam melakukan analisis pola curah hujan

dalam setahun pada kondisi klimatologi yang berbeda.

Gambar 1. 7 Diagram Kerangka Pemikiran

1. Fenomena hujan yang bervariasi (tidak menentu) akibat pengaruh perubahan iklim

2. Ketersediaan data penginderaan jauh di bidang lingkungan atmosfer melimpah (seperti : data satelit GOES, CERES, NOAA, TRMM, MODIS, MTSAT, dan lain sebagainya)

Pemanfaatan data citra satelit MODIS

Pengolahan citra satelit melalui beberapa algoritma untuk memperoleh data curah hujan (harian, bulanan)

pada kondisi El-Nino dan kondisi normal

Nilai curah hujan dan

lokasi stasiun hujan dari

data lapangan (sekunder)

Pola dan distribusi curah hujan tiap bulan pada kondisi El-Nino dan kondisi normal

(sebagai pembanding)

22

1.8 Batasan Istilah

1. Albedo merupakan presentase yang menggambarkan perbandingan antara

sinar matahari yang tiba di permukaan bumi dan yang dipantulkan kembali

ke angkasa dengan perubahan panjang gelombang (outgoing longwave

radiation) (Budikova, et al., 2012).

2. Awan adalah suatu kumpulan partikel air atau es yang tampak di atmosfer.

Kumpulan partikel tersebut termasuk partikel yang lebih besar, juga

partikel kering seperti terdapat pada asap atau debu (Prawirowardoyo,

1996).

3. Data Realtime adalah data yang selalu diperbarui secara cepat dan terus

menerus (Hanifuddin, 2012).

4. El-Nino merupakan suatu gejala alam di Samudra Pasifik bagian tengah

dan timur diikuti dengan memanasnya suhu permukaan laut di wilayah

tersebut. El-Nino secara umum akan menyebabkan curah hujan di sebagian

besar wilayah Indonesia berkurang, besar pengurangannya tergantung dari

lokasi dan intensitas El-Nino tersebut (Mulyana, 2002). 5. Korelasi Statistik adalah hubungan, yang dalam hal ini adalah hubungan

antara satu variabel dengan variabel lain. Besarnya korelasi ditunjukkan

oleh koefisien korelasi (Furqon, 2004).

6. Presipitasi adalah semua bentuk dari unsur air (hujan, salju, es, embun,

kabut) yang jatuh ke tanah (Miller, et al., 1983).

7. Suhu Puncak Awan adalah besarnya suhu di permukaan awan (Widodo,

1998).

8. Kolokasi adalah titik dengan perbedaan nilai pada sistem pengamatan

independen, yang memiliki bias dan kesalahan sistematis (Worley, et al.,

2011). Contohnya yaitu perbandingan antara data aktual dan penginderaan

jauh pada lokasi dan waktu yang sama.