bab i pendahuluan 1.1. latar belakang - sinta.unud.ac.id i asri.pdf · dalam hal debitor adalah...

Download BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - sinta.unud.ac.id I asri.pdf · dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana . 5 Pensiun ... berbagai teori-teori,

If you can't read please download the document

Upload: lamnguyet

Post on 06-Feb-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Perekonomian merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunan

    sebuah Negara, termasuk di Indonesia sendiri yang notabenenya adalah negara

    berkembang. Jika kita telusuri dalam sejarah, bidang perekonomian selalu

    menjadi sebuah motif yang melatarbelakangi dan mempengaruhi berbagai

    peristiwa yang ada dari masa ke masa. Walaupun bangsa Indonesia telah merdeka,

    seperti yang kita ketahui bahwa dalam bidang hukum keperdataan atau hukum

    privat, kita masih menggunakan warisan pemerintahan kolonial yang

    diberlakukan dengan asas konkordansi. Berkaitan dengan hal tersebut maka dalam

    aturan aturan yang masih bernuansa kolonial itu, diatur mengenai beberapa

    bentuk badan usaha mulai dari yang sederhana hingga yang lebih kompleks yaitu,

    usaha dagang (UD), persekutuan perdata (vennootschap), Persekutuan Firma

    (vennootschap onder eene firma), dan Persekutuan Komanditer (Commanditaire

    Vennootschap). Selanjutnya, menjawab tantangan perkembangan jaman, maka

    pada tahun 1995 pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah produk hukum

    bernama Undang Undang No 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, yang

    kemudian pada tanggal 16 Agustus 2007 diganti dengan Undang-Undang No. 40

    Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT).

    Perseroan Terbatas merupakan sebuah bentuk badan usaha yang paling

    diminati oleh para pelaku usaha. Hal tersebut dikarenakan Perseroan Terbatas

  • 2

    merupakan badan usaha berbentuk badan hukum yang diharuskan memiliki harta

    kekayaan yang terpisah dari harta kekayaan pelaku usahanya. Dengan modal dasar

    yang seluruhnya terbagi dalam bentuk saham, maka pelaku usaha memiliki

    tanggung jawab terbatas yaitu hanya sebesar saham yang dimilikinya. Tentunya

    hal ini memberikan posisi yang lebih aman dan menguntungkan bagi para pelaku

    usaha dalam hal ini pemegang saham. Maka tidak heran jika kemudian dewasa

    ini, bentuk badan usaha yang lain mulai ditinggalkan oleh para pelaku usaha

    dengan modal besar, dan beralih pada Perseroan Terbatas.

    Dalam melakukan kegiatan bisnisnya, tentu tidak mengherankan lagi jika

    suatu perseroan melakukan perjanjian dengan pihak lain. Pasal 1313 KUHPerdata

    memberikan definisi perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu pihak

    atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pasal ini

    menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian yang

    menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri.1 Dalam

    suatu perjanjian tentu terdapat prestasi yang mana bisa terdiri atas memberikan

    sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.

    Walaupun telah terikat dalam suatu perjanjian yang bersifat mengikat,

    namun tidak jarang dalam suatu perikatan, salah satu pihak melakukan ingkar

    janji atau yang sering disebut wanprestasi. Penyelesaian sengketa akibat

    wanprestasi dapat dilakukan baik dengan jalur non litigasi maupun litigasi. Jalur

    non litigasi dapat ditempuh melalui mediasi, negosiasi, maupun arbitrase dengan

    1 Ahmad Miru dan Sakka Pati, 2011, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233

    sampai 1456 BW, Cet.III, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 63.

  • 3

    sebelumnya mencantumkan klausul arbitrase didalam perjanjian yang

    bersangkutan. Sedangkan jalur litigasi dapat ditempuh dengan mengajukan

    gugatan wanprestasi ke Pengadilan Umum. Namun pada kenyataannya banyak

    pula perkara yang timbul akibat wanprestasi ini diselesaikan melalui jalur

    kepailitan yang ditangani di Pengadilan Niaga.

    Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk

    keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, dimana

    debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-

    utang tersebut kepada para kreditornya.2 Kepailitan di Indonesia diatur dalam

    Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

    Kewajiban Pembayaran Utang (Selanjutnya, disebut UUKPKPU). UUKPKPU

    menganut pengertian utang secara luas yaitu berarti utang tidak hanya sebatas

    timbul dari perjanjian utang piutang, dan tidak terbatas hanya dalam jumlah uang,

    namun dapat mencakup berbagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat

    dinyatakan dalam jumlah uang. Serta tidak hanya yang timbul dari perjanjian, tapi

    juga dari undang-undang, contohnya perbuatan melawan hukum yang diatur

    dalam Pasal 1365 KUHPerdata.

    Ini berarti segala prestasi atau kewajiban dalam suatu perjanjian yang

    dapat dinyatakan dalam jumlah uang adalah merupakan utang sesuai pengertian

    utang yang dianut UUKPKPU. Hal tersebutlah yang menjadi dasar bagaimana

    sengketa wanprestasi dapat menjadi dasar permohonan kepailitan. Secara lengkap,

    2M.Hadi Subhan, 2009, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik Peradilan, Cet.II,

    Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 2.

  • 4

    syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pailit tertuang pada Pasal 2 ayat (1)

    UUKPKPU, yaitu:

    Debitor mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas

    sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatan

    pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri

    maupun permohonan satu atau lebih Kreditornya.

    Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU, yang dimaksud

    dengan Kreditor adalah baik itu kreditor konkuren, kreditor separatis, maupun

    kreditor preferen. Yang dimaksud dengan utang yang telah jatuh waktu dan dapat

    ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu baik

    karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana

    diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang,

    maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase.

    Setelah syarat seperti tertuang di atas dipenuhi, maka permohona pailit

    dapat diajukan ke Pengadilan Niaga yang berwenang. Berkaitan dengan hal

    tersebut, dalam Pasal 2 UUKPKPU juga diatur bahwa pengajuan tersebut dapat

    dilakukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum, lalu dalam hal Debitornya

    adalah bank maka pengajuannya hanya dapat dilakukan oleh Bank Indonesia,

    dalam hal Debitornya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan

    Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan pailit

    hanya dapat dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal, serta yang terakhir

    dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana

  • 5

    Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan

    publik, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri

    Keuangan.

    Perkara kepailitan adalah perkara yang sumir atau sederhana, maka dari itu

    perkara kepailitan diajukan berupa permohonan dan syaratnya pun terlihat sangat

    sederhana. Selain itu dalam Pasal 8 ayat (4) UUKPKPU dinyatakan bahwa

    permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau

    keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.

    Dalam prakteknya fakta-fakta untuk membuktikan syarat adanya utang

    tidaklah selalu sesederhana bunyi norma-norma hukum tersebut. Permasalahannya

    kemudian adalah dalam menilai sederhana atau rumitnya suatu perkara kepailitan

    hakim memiliki pandangannya tersendiri. Perbedaan pandangan antara majelis

    hakim pada tiap-tiap tingkat peradilan tentu tidak jarang terjadi. Hal ini

    dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan hakim mengenai aturan-aturan yang

    memiliki relevansi terhadap perkara yang ditangani, sehingga menyebabkan

    adanya putusan yang berbeda antar tingkat peradilan. Walaupun hal ini terkesan

    lazim terjadi namun kebiasaan yang dibenarkan seperti ini akan mencederai nilai

    kepastian hukum.

    Salah satunya kasus kepailitan yang baru-baru ini terjadi dan putusannya

    cukup menimbulkan pro kontra adalalah kasus PT. Pupuk Indonesia Holding

    Company (Persero) dahulu PT. Pupuk Sriwidjaja (Persero) (selanjutnya disebut

  • 6

    PT. Pupuk Indonesia) dan PT. Pupuk Sriwidjaja Palembang (selanjutnya disebut

    PT.PSP) selaku Pemohon pailit melawan PT. Sri Melamin Rejeki (selanjtnya

    disebut PT.SMR) yang merupakan anak perusahaan dari PT. Pupuk Sriwidjaja

    (Persero) selaku Termohon pailit. Berdasarkan segala dalil permohonan Pemohon,

    dan dalil sanggahan Termohon, maka Majelis Hakim Pengadilan Niaga melalui

    Putusan Nomor 64/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst menjatuhkan putusan menolak

    permohonan kepailitan yang diajukan Pemohon terhadap Termohon.

    Pemohon yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut kemudian

    mengajukan upaya kasasi ke Mahkamah Agung. Setelah mempelajari memori

    kasasi dan kontra memori kasasi, Majelis Hakim Mahkamah Agung melalui

    Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013

    ternyata menjatuhkan putusan yang berbeda dengan putusan Judex Facti. Salah

    satu poin utama yang membedakan antara putusan Judex Facti dan Judex Juris

    adalah perbedaan pandangan mengenai bukti adanya utang yang dimiliki

    Termohon terhadap Pemohon sebagaimana didalilkan oleh Pemohon.

    Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka ditulislah

    skripsi ini dengan judul: Analisis Putusan Mahkamah Agung RI Nomor

    45K/Pdt.Sus-Pailit/2013 Mengenai Bukti Adanya Utang (Pailitnya PT Sri

    Melamin Rejeki).

    1.2. Rumusan Masalah

    Bahwa berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka

    rumusan masalah yang didapat adalah sebagai berikut.

  • 7

    1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam

    Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 45K/Pid.Sus-Pailit/2013?

    2. Apakah akibat hukum dari adanya perbedaan pertimbangan hukum antara

    Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung dalam perkara Nomor

    45K/Pid.Sus-Pailit/2013?

    1.3. Ruang Lingkup Masalah

    Sesuai dengan rumusan masalah di atas, untuk mendapatkan hasil

    pembahasan yang sistematis dan tidak keluar dari pokok permasalahan, maka

    perlu kiranya ditetapkan batasan-batasan dalam ruang lingkup tertentu. Oleh

    karenanya pembahasan dalam penelitian ini hanya berpusat pada dasar

    pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim untuk mengabulkan

    Permohonan Kasasi pada perkara kepailitan PT Sri Melamin Rejeki serta apa

    akibat hukum dari perbedaan pandangan antara Pengadilan Niaga dan Mahkamah

    Agung ditinjau dari peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan, Kitab

    Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,

    peraturan perundang-undangan di bidang perseroan, yurisprudensi dan dari

    berbagai teori-teori, doktrin-doktrin, serta asas-asas hukum.

    1.4. Orisinalitas Penelitian

    Usulan peneilitian ini diajukan pada Bulan Oktober 2015. Ide penelitian

    ini murni dari hasil pemikiran peneliti yang dapat dipertanggungjawabkan

    kebenarannya. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan ditemukan beberapa

    penelitian sejenis namun memiliki substansi yang berbeda dengan penelitian ini.

  • 8

    Penelitian-penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain adalah

    sebagaimana disebutkan dibawah ini.

    a. Penelitian yang dilakukan oleh Fuji Kadriah Zulaika, S.H. dengan judul

    Pengertian Utang Dalam Kasus Kepailitan (Suatu Analisa Yuridis:

    Berkaitan Dengan Utang Dalam Putusan Pailit Manulife), Tesis pada

    Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum

    Universitas Diponegoro Semarang, 2003.

    Permasalahan yang diangkat adalah mengenai pengertian utang dalam

    pandangan hakim hakim pengadilan niaga serta mengenai dasar pertimbangan

    keputusan majelis hakim berdasarkan pengertian utang dalam Undang Undang

    No 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu No 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan

    menjadi Undang Undang, sedangkan penelitian yang Peneliti lakukan berjudul

    Analisis Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 45K/Pdt.Sus-

    Pailit/2013 Mengenai Bukti Adanya Utang (Pailitnya PT Sri Melamin Rejeki).

    Permasalahan yang diangkat adalah mengenai dasar pertimbangan yang

    digunakan oleh Majelis Hakim pada Putusan Mahkamah Agung RI No.

    45K/Pdt.Sus-Pailit/2013 perkara kepailitan PT Sri Melamin Rejeki serta apa

    akibat hukum dari perbedaan pertimbangan antara Majelis Hakim Pengadilan

    Niaga dan Mahkamah Agung dalam perkara tersebut.

    1.5. Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:

    1.5.1 Tujuan umum

  • 9

    Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum

    terkait paradigma science as a process, yang artinya ilmu tidak akan pernah final

    untuk digali dan tidak akan pernah habis untuk ditelusuri kebenarannya.

    1.5.2 Tujuan khusus

    a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam

    Putusan Mahkamah Agung RI No. 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013.

    b. Untuk mengetahui akibat hukum dari adanya perbedaan pertimbangan

    hukum antara Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung.

    1.6. Manfaat Penelitian

    Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adaalah dapat memberikan

    dampak yang positif bagi penulis dan bagi semua pihak. Adapun manfaat tersebut

    dibagi menjadi dua yaitu.

    1.6.1 Manfaat teoritis

    Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian ini adalah terjadinya

    perkembangan ilmu hukum sehingga kiranya dapat dipergunakan sebagai bahan

    pustaka dan rujukan dalam bidang hukum kepailitan dan hukum perusahaan.

    1.6.2 Manfaat praktis

    Manfaat praktis yang diharapkan melalui penelitian ini untuk para

    mahasiswa hukum adalah agar dapat memberikan pengetahuan dan penjelasan

    mengenai hukum kepailitan dan penerapannya di dalam sebuah putusan.

    Sedangkan bagi para penegak hukum khususnya Majelis Hakim yang menangani

  • 10

    perkara kepailitan, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan

    dalam menangani perkara-perkara kepailitan yang ada di negara ini.

    1.7. Landasan Teoritis

    Kepailitan berasal dari kata dasar pailit (dalam bahasa Indonesia), failliet

    (dalam bahsa Belanda), dan bankruptcy (dalam bahasa Inggris). Pailit merupakan

    suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran

    pembayaran terhadap utang utang dari para kreditornya.3

    Secara yuridis UUKPKPU tidak memberikan definisi dari pailit, namun

    hanya memberikan definisi kepailitan dalam Ketentuan Umum pasal 1

    UUKPKPU yang menyatakan sebagai berikut.

    "Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang

    pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah

    pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

    ini."

    Siapakah kemudian yang dapat disebut dengan Debitor menurut

    UUKPKPU, Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau

    undang undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan.

    Penagihan utang tersebut dimuka pengadilan ini, haruslah memenuhi

    syarat kepilitan yang tertuang dalam Pasal 2 ayat (1) UUKPKPU yang

    menyebutkan bahwa. "Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak

    membayar lunas sedikitnya satu utang yangtelah jatuh waktu dan dapat ditagih,

    3Ibid, h.1.

  • 11

    dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri

    maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya."

    Jadi utang merupakan unsur penting dari adanya kepailitan itu sendiri,

    maka dari itu kita perlu mengetahui apa itu utang. Dalam Pasal 1 angka 6

    UUKPKPU tertuang definisi yuridis mengenai utang.

    "Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam

    jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing,

    baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau

    kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang

    wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada

    Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitor.

    Dari rumusan di atas kita dapat melihat bahwa utang bisa timbul salah

    satunya dari perjanjian. Dalam praktik bisnis, adalah hal yang lumrah jika antara

    pihak satu dengan pihak lainnya membuat sebuah perikatan. Perikatan tersebut

    kemudian dituangkan dalam berbagai jenis kontrak atau perjanjian.

    Dalam bahasa Indonesia istilah kotrak sama pengertiannya dengan

    perjanjian. Istilah kontrak lebih menunjukkan nuansa bisnis atau komersial dalam

    hubungan hukum yang dibentuk, sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih

    luas.4

    Di dalam Buku III KUH Perdata dikenal lima macam asas hukum, yaitu

    asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas

    kepastian hukum), asas itikad baik, dan asas kepribadian.5 Kelima asas

    4Simamora Sogar, 2013, Hukum Kontrak Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa

    Pemerintahan di Indonesia, Kantor Hukum WINS and Patners, Surabaya, h. 23. 5 Salim H.S., H. Abdullah, dan Wiwiek Wahyuningsih, 2011, Perancangan Kontrak dan

    Memorandum of Understanding (MoU), Cet.V, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1.

  • 12

    tersebutlah yang umumnya menjadi dasar pembuatan pembuatan perjanjian

    yang terjadi dalam lapangan hukum perdata.

    Dalam membuat perjanjian tersebut di atas, agar perjanjian tersebut

    menjadi sah, maka harus dipenuhi syarat syarat sahnya perjanjian.dalam hukum

    Eropa Kontinental, syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH

    Perdata atau Pasal 1365 Buku IV NBW (BW Baru) Belanda.6 Pasal 1320 KUH

    Perdata menentukan 4 syarat sahnya perjanjian yaitu :

    1. adanya kesepakatan;

    2. kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;

    3. adanya obyek;

    4. adanya kausa yang halal.

    Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif, sedangkan syarat tiga

    dan empat adalah syarat obyektif. Jika syarat subyektif tidak terpenuhi maka

    berakibat perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Artinya jika salah satu pihak

    melakukan gugatan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, dan sebaliknya jika

    tidak diajukan gugatan maka perjanjian tersebut tetap berlaku. Selanjutnya jika

    syarat obyektif yang tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum

    secara serta merta.

    1.8. Metode Penelitian

    1.8.1 Jenis penelitian

    6Salim H.S., 2009, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar

    Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim H.S. II), h. 33.

  • 13

    Terdapat 2 (dua) jenis penelitian hukum yaitu penelitian hukum normative

    dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normative adalah penelitian

    hukum yang meliputi penelitian tentang asas hukum, norma hukum, perbandingan

    hukum, sejarah hukum, inventarisasi hukum, sistematika hukum, dan sinkroniasi

    hukum (vertical dan horizontal), sedangkan penelitian hukum empiris adalah

    penelitian ilmiah yang menerangkan fenomena hukum mengenai terjadinya

    kesenjangan antara norma dengan perilaku masyarakat (kesenjangan antara das

    sollen dan das sein).

    Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian

    hukum normatif. Terdapat beberapa ciri-ciri penelitian hukum normatif,

    diantaranya sebagai berikut.

    a. Penelitian beranjak dari adanya kesenjangan dalam norma hukum/asas

    hukum;

    b. tidak menggunakan hipotesa;

    c. menggunakan landasan teori;

    d. menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

    hukum tersier.7

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus, pendekatan perundang-

    undangan dan pendekatan analisa konsep hukum yang diutarakan oleh para ahli

    hukum maupun para pakar hukum, serta dilandasi oleh berbagai teori-teori hukum

    yang relevan dan didukung oleh berbagai bahan hukum dan data penunjang.

    7Amiruddin dan Zainal Azikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT

    Rajagrafindo Persada, Jakarta, h. 166.

  • 14

    1.8.2 Jenis pendekatan

    Penelitian hukum normative mengenal adanya 7 (tujuh) jenis pendekatan

    yaitu, pendekatan kasus (The Case Approach), pendekatan perndang-undangan

    (The Statute Approach), pendekatan fakta (The Fact Approach), pendekatan

    analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach), pendekatan frasa

    (words and Phrase Approach), pendekatan sejarah (Historical Approach).

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus (the case approach), pendekatan

    perundang-undangan (the statute approach) dan pendekatan analisa konsep

    hukum (analitical & conseptual approach).

    Pendekatan kasus dilakukan dengan cara meneliti setiap peristiwa hukum,

    alat bukti, dan pertimbangan hukum yang dinyatakan dalam putusan Mahkamah

    Agung No. 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013. Pendekatan perundang-undangan (The

    Statute Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan

    regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang ditangani.8 Sedangkan

    pendekatan analisa konsep hukum (analitical & conseptual approach) digunakan

    untuk memahami prinsip-prinsip hukum yang terkait dengan kasus yang dibahas.

    Semua pendekatan tersebut digunakan untuk menghasilan penilaian yang

    maksimal terhadap putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.

    45K/Pdt.Sus-Pailit/2013.

    8 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

    Jakarta, h.93

  • 15

    1.8.3 Sumber bahan hukum

    Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum

    primer dan bahan hukum sekunder.

    a. Bahan Hukum Primer

    Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri dari asas dan

    kaidah hukum. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah berupa putusan pengadilan dan peraturan perundang-undangan

    yang sesuai dengan ruang lingkup pembahasan penelitian ini, diantaranya

    Putusan Mahkamah Agung No. 45K/Pdt.Sus-Pailit/2013, Undang-Undang

    No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

    Pembayaran Utang, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang

    Perseroan Terbatas, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab

    Undang-Undang Hukum Dagang dan berbagai peraturan hukum lainnya

    serta berbagai putusan pengadilan yang relevan dengan pokok

    permasalahan.

    b. Bahan Hukum Sekunder

    Bahan hukum sekunder terdiri atas buku-buku hukum, jurnal-jurnal

    hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam

    media massa, kamus dan ensiklopedia, serta informasi dari media internet

    yang relevan dan dapat dipercaya.

    1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum

  • 16

    Penulisan ini dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan bahan

    hukum melalui studi dokumen dan metode sistematis atau sistem kartu (card

    system). Soerjono Soekanto menyatakan bahwa studi dokumen merupakan suatu

    alat pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis.9 Studi dokumen

    dilakukan atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian.

    Metode sistematis (sistem kartu), yaitu setelah mendapat semua bahan yang

    diperlukan kemudian dibuat catatan mengenai hal-hal yang dianggap penting bagi

    penelitian yang dilakukan.10

    Pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum

    sekunder dilakukan dengan cara pemilahan bahan hukum yang relevan, yaitu

    bahan hukum yang berkaitan dengan hukum kepailitan, hukum perjanjian, hukum

    perusahaan dan konsep hukum perdata pada umumnya.

    1.8.5 Teknik analisis bahan hukum

    Setelah seluruh bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini

    terkumpul, selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisa menggunakan teknik

    deskripsi, teknik sistematisasi, teknik evaluasi, dan teknik argumentasi. Teknik

    deskripsi diaplikasikan dengan dengan membaca serta mencatat materi-materi

    yang memiliki relevansi terhadap penelitian ini. sedangkan teknik sistematisasi

    diaplikasikan dengan melihat kaitan diantara norma-norma dalam peraturan

    perundangan-undangan yang digunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya

    berdasarkan hasil teknik deskripsi dan sistematisasi, digunakan teknik evaluasi

    dengan melakukan penilaian terhadap rumusan pernyataan norma ataupun

    9 Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, h.21

    10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian hukum Normatif, PT Raja

    Grafindo Persada, Jakarta, h.13

  • 17

    keputusan dengan menggunakan alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

    Hasil evaluasi tersebut kemudian digunakan sebagai dasar dalam membangun

    argumentasi hukum terhadap permasalahan yang diangkat dalam penelitian.