bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah i.pdf · peraturan perundang-undangan. dilihat dari...

24
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum, hal ini dinyatakan dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3) menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Indonesia sebagai negara hukum yang secara konstitusional merupakan hasil amandemen ketiga Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia negara hukum, dengan adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang, persamaan di depan hukum, adanya peradilan administrasi dan unsur-unsur lainnya. 1 Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal adanya berbagai macam hukum, baik hukum yang tertulis yang merupakan peraturan peninggalan zaman Hindia Belanda, maupun hukum yang tidak tertulis yang merupakan hukum adat yang berakena ragam. 2 Berdasarkan kenyataan tersebut maka pengembangan ilmu di bidang Perundang-undangan terasa semakin diperlukan, sebagai wacana untuk membentuk hukum nasional, oleh karena hukum 1 Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi, PT. Alumni, Bandung, h. 52. 2 Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan I (jenis, fungsi, dan materi muatan), Kanisius, Yogyakarta, h. 13.

Upload: truongdiep

Post on 15-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum, hal ini dinyatakan dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 1 ayat (3)

menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Indonesia sebagai negara

hukum yang secara konstitusional merupakan hasil amandemen ketiga Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyatakan

bahwa Indonesia negara hukum, dengan adanya pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia, pemerintahan diselenggarakan berdasarkan

undang-undang, persamaan di depan hukum, adanya peradilan administrasi dan

unsur-unsur lainnya.1

Sejak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dikenal adanya

berbagai macam hukum, baik hukum yang tertulis yang merupakan peraturan

peninggalan zaman Hindia Belanda, maupun hukum yang tidak tertulis yang

merupakan hukum adat yang berakena ragam.2 Berdasarkan kenyataan tersebut

maka pengembangan ilmu di bidang Perundang-undangan terasa semakin

diperlukan, sebagai wacana untuk membentuk hukum nasional, oleh karena hukum

1 Iriyanto A. Baso Ence, 2008, Negara Hukum dan Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah

Konstitusi, PT. Alumni, Bandung, h. 52.

2 Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan I (jenis, fungsi, dan materi

muatan), Kanisius, Yogyakarta, h. 13.

2

nasional yang dicita-citakan akan terdiri dari hukum tertulis dan hukum tidak

tertulis. Selain itu pembentukan hukum tertulis itu dirasakan sangat perlu bagi

perkembangan masyarakat dan negara saat ini.3

Pasal 2 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa

Pancasila merupakan sumber hukum negara. Pancasila ditetapkan sebagai sumber

dari segala sumber hukum di Indonesia karena seluruh peraturan perundang-

undangan apapun di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini mengacu kepada

Pancasila, dalam arti seluruh peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak

boleh bertentangan dengan Pancasila.4 Perkembangan mengenai peraturan

perundangan-undangan di Indonesia mengalami beberapa perubahan, dari

dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

(selanjutnya disingkat dengan Ketetapan MPR) Nomor XX/MPR/1966, Ketetapan

MPR Nomor III/MPR/2000 Tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-Undangan, lalu Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10

Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan Undang-

Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan. Pada Undang-Undang Negara Republik Indonesia

Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Ketetapan MPR tidak dimasukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan di

Indonesia. Namun dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12

3 Ibid. h. 15.

4 Inu kencana Syafiie, 2002, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 172.

3

tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Ketapan MPR

dimasukan kembali dalam hierarki peraturan perundangan-undangan di Indonesia.

Ketetapan MPR merupakan suatu wujud peraturan perundang-undangan

yang sah berlaku di Indonesia, bahkan dalam hierarki peraturan perundang-

undangan memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan Undang-undang,

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan

Presiden dan Peraturan Daerah yang tegas dinyatakan dalam Pasal 7 Undang-

Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan.

Dilihat dari sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, maka

Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Ketetapan MPR, dan Undang-Undang merupakan suatu bagian dari sistem norma

Hukum Negara Republik Indonesia. Pancasila merupakan pokok-pokok pikiran

yang terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, serta sumber dan dasar bagi pembentukan pasal-pasal dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan aturan

yang ada dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan aturan-aturan dalam Ketetapan

MPR dan juga sekaligus merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan Undang-

Undang.5 Maka dari pada itu tidaklah dibenarkan jika ada suatu peraturan

perundang-undangan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

5 Maria Farida Indrati S. Op. Cit., h. 65.

4

diatasnya. Apabila hal tersebut terjadi maka tindakan hukum yang patut diambil

adalah melakukan Pengujian konstusionalitas peraturan perundang-undangan

Pengujian konstusionalitas peraturan perundang-undangan atau judicial

review on the constitutionality of law, yang kemudian popular disebut Judicial

review saja, bertolak dari dasar pemikiran bahwa konstitusi adalah hukum dasar

atau fundamental.6 Pengujian peraturan perundang-undangan pada hakikatnya

adalah melakukan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan agar tidak

merugikan hak-hak warga negara, bahkan substansi undang-undang tidak boleh

bertentangan dengan ataupun konstitusi.7 Kewenangan pengujian materi terhadap

peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang

adalah kewenangan dari Mahkamah Agung (MA) sesuai dengan Pasal 24A ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sedangkan

kewenangan untuk melakukan pengujian materi undang-undang terhadap undang-

undang dasar adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK), sesuai dengan Pasal

24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Setelah dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi

memiliki kewenangan untuk membuat produk hukum berupa ketetapan yang

bersifat mengatur (regeling). Padahal sebelumnya, produk hukum yang disebut

Ketetapan MPR itu merupakan bagian dari tata urutan peraturan perundang-

undangan, sehingga memiliki sifat mengatur (regeling), yang tempatnya atau

6 I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitusional Complaint),

Sinar Grafika, Jakarta, h. 253.

7Iriyanto A. Baso Ence., Op. Cit., h. 110.

5

hierarkinya berada di atas undang-undang namun berada dibawah Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sampai saat ini ada beberapa

Ketatapan MPR masih berlaku berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003

tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan

Ketetapan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002 yang berjumlah 139

dikelompokan kedalam 6 pasal (kategori) yaitu:

1. Kategori I: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku (8 Ketetapan)

2. Kategori II: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap

berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan)

3. Kategori III: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap

berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8

Ketetapan)

4. Kategori IV: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tetap

berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang (11 Ketetapan)

5. Kategori V: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan masih

berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib Baru oleh MPR

Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan)

6. Kategori VI: Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tidak

perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat

final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104

Ketetapan)

6

Permasalahan terjadi apabila suatu Ketapan MPR yang dinyatakan masih

berlaku terdapat ketentuan atau norma yang di anggap bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan

penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12

Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa setiap

jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan

erundang-undangan yang lebih tinggi dalam hal ini Ketetapan MPR tersebut

merugikan hak-hak konstitusional warga negara Indonesia ataupun obyek hukum

yang dilindungi hak dan kewenangan konstitusionalnya oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah mengeluarkan keputusan terkait

pengujian terhadap Ketetapan MPR melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

24/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 dan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 86/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menyatakan bahwa

Mahakamah Konstitusi tidak berhak untuk melakukan pengujian terhadap

Ketetapan MPR karena bukan termasuk ruang lingkup kewenangan dari Mahkamah

Konstitusi untuk menguji Ketetapan MPR yang bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tetapi Ketetapan MPR

yang di permasalahkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-

XI/2013 Tentang Pengujian Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 adalah Ketetapan

7

MPR Kategori VI yaitu Ketetapan MPRS/ Ketetapan MPR yang dinyatakan tidak

perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat

final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan yang berjumlah

104 ketetapan, bukan 8 Ketetapan MPR yang masih berlaku sampai saat ini

berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap

Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960

sampai dengan Tahun 2002 yang menjadi obyek permasalahan pada penelitian ini.

Berlandaskan latar belakang tersebut cukuplah bagi saya untuk membuat

skripsi yang berjudul “KEWENANGAN PENGUJIAN MATERI KETETAPAN

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM HAL

BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG DASAR UNDANG-

UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan urutan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Lembaga Negara manakah yang berwenang dalam pengujian materi

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?

2. Bagaimanakah mekanisme pengajuan permohonan yang dapat ditempuh

untuk dapat menguji materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945?

8

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk mencegah adanya pembahasan yang tertalu luas dan menyimpang

dari pokok permasalahan maka sangatlah diperlukan adanya pembatasan-

pembatasan dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini yang menjadi ruang lingkup

permasalahan adalah sebagai berikut:

1. Pertama adalah tentang lembaga negara manakah yang berwenang dalam

pengujian materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

2. Kedua akan dibahas mengenai mekanisme pengajuan permohonan yang

dapat ditempuh untuk dapat menguji materi Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

1.4 Orisinalitas Penelitian

Dengan ini penulis menyatakan bahwa penulisan skripsi ini merupakan hasil

buah karya asli dari penulis, merupakan suatu buah pemikiran penulis yang

dikembangkan sendiri oleh penulis. Sepanjang sepengetahuan penulis dan setelah

melakukan pengecekan atau pemeriksaan (baik dalam ruangan gudang skripsi

Fakultas Hukum Universitas Udayana dan didalam internet) tidak ditemukan

adanya suatu karya ilmiah atau skripsi yang membahas atau menyangkut

permasalahan tentang Kewenangan Pengujian Materi Ketetapan Majelis

9

Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut:

1.5.1 Tujuan Umum

1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang

penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa

2. Melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis

3. Mengembangkan ilmu pengetahuan hukum

4. Pembulat studi mahasiswa untuk memenuhi persyaratan SKS dan jumlah

beban studi untuk memperoleh gelar sarjana hukum

1.5.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui dan memahami lembaga negara yang berwenang dalam

pengujian Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945

2. Untuk mengetahui mekanisme pengajuan permohonanyang dapat ditempuh

untuk dapat menguji materi Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

10

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah

sebagai berikut

1.6.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini ditulis untuk mendapatkan hal-hal yang

bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum dan juga sebagai upaya

pendalam ilmu hukum khususnya tentang kewenangan pengujian materi Keteapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam hal bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

1.6.2 Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini ditulis untuk dapat memberikan masukan-

masukan, ide-ide atau tindakan bagi pihak-pihak yang berkepentingan guna

membangun lingkungan yang tertib sesuai peraturan yang ada.

1.7 Landasan Teoritis

Landasan teoritis yang nantinya digunakan dalam penelitian hukum

merupakan sebuah pijakan dasar yang kuat dalam membedah permasalahan-

permasalahan hukum terkait. Adapun landasan teoritis yang digunakan dalam

penelitian ini berupa Teori Negara Hukum, Teori Perundang-undangan dan Teori

Pemisahan Kekuasaan Negara, dan Teori Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan.

11

1.7.1 Teori Negara Hukum.

Secara Konstitusional Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang di

ketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Untuk

dapat disebut sebagai negara hukum maka harus memiliki dua unsur pokok yakni

adanya perlindungan Hak Asasi Manusia serta adanya pemisahan kekuasaan dalam

negara.8

Dalam perkembangannya timbul dua teori negara hukum. Unsur-unsur

rechtsstaat dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum

Eropa barat Kontinental sebagai berikut:

1. Mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia.

2. Untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan negara harus

berdasarkan teori Trias Politica.

3. Dalam menjalankan tugas-tugasnya, pemerintah berdasarkan Undang-

Undang (wetmatigbestuur).

4. Aapabila dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasarkan Undang-

Undang pemerintah masih melanggar hak asasi (campur tangan pemerintah

dalam kehidupan pribadi seseorang) maka ada pengadilan administrasi yang

akan menyelesaikannya.9

Lain halnya dengan AV Dicey dari kalangan hukum Anglo Saxon

memberikan pengertian the rule of law sebagai berikut:

1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan,

sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum.

2. Kedudukan yang sama di depan hukum baik rakyat ataupun pejabat.

3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh Undang-Undang dan keputusan-

keputusan pengadilan.10

8 Moh Kusnardi dan Bintang R. Saranggih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Cet 4, Gaya

Media Pratama, Jakarta, h. 132. 9 Ibid. 10 Anwar C.S.H., 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Intrans Publishing, h. 48.

12

Selanjutnya “Internasional Commision of Jurists” pada konfrensinya di

Bangkok pada tahun 1965 menekankan bahwa disamping hak-hak politik rakyat

harus diakui pula adanya hak-hak sosial dan ekonomi sehingga perlu dibentuk

standar-standar dasar ekonomi. Komisi ini dalam konfrensi tersebut juga

merumuskan syarat-syarat pemerintahan demokratis di bawah rule of law sebagai

berikut:

1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu,

konstitusi haruslah pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh

hak-hak yang di jamin.

2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.

3. Pemilihan umum yang bebas.

4. Kebebasan menyatakan pendapat.

5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi.

6. Pendidikan kewarganegaraan.11

Dari ciri-ciri negara hukum material tersebut, menurut Anwar C.S.H

memperlihatkan adanya perluasan makna negara hukum formil dan pengakuan

peran pemerintah yang lebih luas sehingga dapat menjadi rujukan bagi berbagai

konsepsi Negara Hukum.12

Tujuan utama Rechtsstaat adalah untuk melindungi kebebasan individu

warga negara dari kekuasaan negara. Ini merupakan konsepsi Rechtsstaat yang

liberal, yang menurut Carl Schmitt, diberi batasan dan penertian khusus yang

sekaligus merupakan cirri-cirinya yaitu:

1. Suatu negara dianggap sebagai rechtsstaat jika campur tangan terhadap

kemerdekaan individu dilakukan semata-mata atas dasar undang-undang.

Jadi disini negaralah yang diberi persyaratan dan prioritas untuk terikat oleh

undang-undang

2. Suatu negara dianggap sebagai rechtsstaat jika seluruh aktifitasnya

sepenuhnya tercakup dalam sekumpulan kewenangan yang batas-batasnya

11 Ibid. 12 Ibid.

13

ditentukan secara pasti. Disini yang menjadi prinsip fundamentalnya adalah

pembagian dan pemisahan kekuasaan

3. Independensi atau kemerdekaan hakim13

Berdasarkan atas uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa ciri-ciri dari suatu

negara hukum adalah, adanya pengakuan serta perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia, peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain

dan tidak memihak, dan legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

1.7.2 Teori Perundang-Undangan

Teori Perundang-undangan (Gesetzgebungstheorie) yang berorientasi pada

mencari kejelasan dan kejernihan makna atau pengertian-pengertian

begripsvorming dan begripsverheldering, dan bersifat kognitif

erklärungsorientier.14

Menurut D.W.P Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, yang

dimaksud peraturan perundang-undangan atau wet in materiële zin mengandung

tiga unsur, yaitu:

1. Norma Hukum (rechtsnorm)

2. Berlaku ke luar (naar buiten werken); dan

3. bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruime zin)15

Dalam Kaitanya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen

mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie). Hans Kelsen

berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis

dalam suatu hierarki, dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber

13I Dewa Gede Palguna, Op.cit h.80

14 Maria Farida Indrati S. Op. Cit., h. 8.

15Ibid., h. 35.

14

dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku

bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, begitu seterusnya

sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lagi lebih lanjut dan bersifat

hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Gurndnorm).16

Menurut Adolf Merkl suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan

berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi kebawah juga ia menjadi sumber dan

menjadi dasar bagi norma hukum dibawahnya, sehingga suatu norma hukum itu

mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif, oleh karena masa berlakunya

suatu norma hukum itu tergantung dari pada norma hukum yang berada diatasnya.

Apabila norma hukum yang berada diatasnya dicabut atau dihapus, maka secara

otomatis norma-norma hukum yang berada dibawahnya akan tercabut atau terhapus

pula.17

Hans Nawiasky berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan

berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-

kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas

empat kelompok besar yaitu:

1. Kelompok I :Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)

2. Kelompok II :Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara / Aturan Pokok

Negara)

3. Kelompok III :Formell Gesetz (Undang-Undang “formal”)

4. Kelompok IV :Verordnung dan Autonome Satzung (Aturan Pelaksana dan

turan otonom)18

16Ibid., h. 41.

17Ibid.

18Ibid., h. 44.

15

Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menentukan jenis dan

hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4. Peraturan Pemerintah

5. Peraturan Presiden

6. Peraturan Daerah Provinsi, dan

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

1.7.3 Teori Pemisahan Kekuasaan Negara

Salah satu ciri dari negara hukum adanya pemisahan kekuasaan negara,

yang dibagi menjadi tiga kekuasaan, pemisahan dari ketiga kekuasaan ini sering

kita temui dalam sistem ketatanegaraan diberbagai negara, dan orang-orang yang

mengemukakan teori ini adalah John Locke dan Montesquieu. John Locke

memisahkan kekuasaan dari tiap-tiap negara kedalam:

1. Kekuasaan legislatif, adalah kekuasaan untuk membuat undang-undangan

2. Kekuasaan eksekutif, adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang

3. Kekuasaan federatif, adalah kekuasaan mengadakan perserikatan dan

aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan diluar

negeri.19

Menurut John Locke ketiga kekuasaan ini harus dipisahkan satu sama

lainnya. dan setelah itu, Montesquieu dengan diilhami oleh pemisahan kekuasaan

dari John Locke, mengatakan, bahwa dalam setiap pemerintahan terdapat jenis

kekuasaan yang diperincinya kedalam:

1. Kekuasaan legislatif, dilaksanakan oleh suatu perwakilan rakyat (Parlemen)

2. Kekuasaan eksekutif, dilaksanakan oleh pemerintah (Presiden atau raja,

dengan bantuan mentri-mentri atau kabinet)

19 Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo,

Jakarta, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I), h. 283.

16

3. Kekuasaan yudikatif, dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahakamah

Agung dan badan peradilan dibawahnya.20

Ajaran Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan negara lebih dikenal

dengan istilah Trias Politica. Tujuan dari ajaran ini adalah untuk menghindari

tindakan sewenag-wenang dari raja.21 Pada Pokoknya, ajaran Trias Politica isinya

adalah sebagai berikut:

1. Kekuasaan Legislatif

Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang

harus terletak dalam suatu badan yang terletak dalam suatu badan khusus untuk itu.

Jika penyusunan undang-undang tidak diletakan pada suatu badan tertentu, maka

mungkinkanlah tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk

kepentingannya sendiri. Didalam negara demokrasi, peraturan perundang-

undangan harus berdasarkan kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat

yang harus dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk

menyusun undang-undang ialah yang dinamakan legislatif. sebagai bahan

pembentuk undang-undang maka legislatif itu hanyalah berhak untuk mengadakan

undang-undang saja, tidak boleh melaksanakannya. Untuk menjalankan undang-

undang itu haruslah diserahkan kepada suatu badan lain.22

2. Kekuasaan Eksekutif

20 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, 2008, Pengertian Hukum Tata Negara dan

Perkembangan Pemerintahan Indonesia Sejak Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga kini, Rineka

Cipta, Jakarta, h.74.

21 Ibid.

22 Ibid., h. 75.

17

Kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan menjalankan undang-undang ini

dipegang oleh kepala negara. kepala negara ini tentu tidak dapat dengan sendirinya

menjalankan segala undang-undang ini. Oleh karena itu kekuasaan dari kepala

negara dilimpahkan kepada pejabat-pejabat pemerintah atau negara yang bersama-

sama merupakan suatu badan pelaksana undang-undang yang disebut eksekutif.23

3. Kekuasaan Yudikatif

Kekuasaan yudikatif ialah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan

undang-undang dan berhak untuk memberikan peradilan kepada rakyat. Badan

yudikatiflah yang berkuasa memutuskan perkara menjatuhi hukuman terhadap

setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan.24

Hal demikan telah ditentukan dalam pembagian bab-bab didalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu:

1) BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara (Eksekutif)

2) BAB VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif)

3) BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiaman (Yudikatif)

dengan demikian, penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan itu

dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan yang bersifat

horizontal dan konteks kekuasaan yang bersifat vertikal. Perspektif vertikal dengan

horizontal ini juga dapat dipakai untuk membedakan antara konsep pembagian

kekuasaan (division of power) yang dianut Indonesia sebelum amandemen Undang-

Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu bahwa

23 Ibid.

24 Ibid.

18

kedaulatan berada ditangan rakyat dan dijelmakan dalam Majelis Permusyawaratan

Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem yang dianut oleh Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen itu dapat

dianggap sebagai pembagian kekuasaan dalam konteks yang bersifat vertikal,

sedangkan sekarang, sistem yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 setelah amandemen adalah sistem pemisahan

kekuasaan (seperation of power) berdasarkan prinsip checks and balances system.25

1.7.4 Teori Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

Dalam praktek pengujian peraturan perundang-undangan, dikenal adanya

tiga macam norma hukum yang dapat diuji. Ketiganya merupakan bentuk norma

hukum dari sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan hukum, yaitu:

1. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat pengaturan (regeling)

2. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat administratif (beschikking)

3. Keputusan normatif yang berisi dan bersifat penghakiman (judgement)26

Ketiga bentuk norma tersebut dapat diuji kebenarannya melalui mekanisme

peradilan (judicial review) ataupun mekanisme diluar peradilan. Dalam Konsep

pengujian peraturan perundang-undang yang berkaitan dengan pengujian oleh

kekuasaan kehakiman, perlu dibedakan pula antara istilah judicial review dan

judicial preview. Review berarti memandang, menilai atau mengkaji kembali,

sedangkan preview adalah kegiatan memandangi sesuatu lebih dulu dari

sempurnanya keadaan obyek yang dipandang itu.27

25 Jimly Asshiddiqie I, Op.Cit., h. 289.

26 Jimly Asshiddiqie, 2010, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Edisi Kedua, Cet.

Pertama, Sinar Grafika, (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie II), h.1 27 Ibid. h.3

19

Bentuk dari pengujian peraturan perundang-undangan ada dua, yaitu

pengujian secara materil yaitu pengujian atas materi muatan peraturan perundang-

undang, sedangkan pengujian formil adalah pengujian atas pembentukan dari

peraturan perundang-undangan.28

Di Indonesia ada dua lembaga tinggi Negara yang berwenang untuk

melakukan pengujian peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan

yaitu Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Agung

berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan

di bawah undang-undang terhadap undang-undang, mempunyai wewenang lainnya

diberikan oleh undang-undang. Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan

bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran

partai politik,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

1.8 Metode Penelitian

Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang

disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode

28 Ibid. h. 38

20

ilmiah.Karena ideal dari ilmu adalah untuk memperoleh interrelasi yang

sistematis.29

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif, mengingat

penelitian ini berhubungan dengan implementasi dari peraturan perundang-

undangan. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang berupa bahan-bahan

hukum dan putusan pengadilan, terutama bahan hukum primer.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan-pendekatan.

Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbegai

aspek mengenai permasalahan yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.

penelitian hukum normatif umumnya mengenal tujuh jenis pendekatan, yakni:

1. Pendekatan Kasus (The Case Approach)

2. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach)

3. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)

4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual

Apporoach)

5. Pendekatan Frasa (Words & Phrase Approach)

6. Pendekatan sejarah (Historical Approach)

7. Pendekatan Perbandingan (Comparative Approach)30

Dalam rangka penyelesaian suatu masalah, dan berdasarkan dari latar

belakang, serta rumusan masalah yang penulis sajikan, maka jenis pendekatan

masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Perundang-

undangan (The Statute Approach), Pendekatan Fakta (The Fact Approach),

29 Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo, Jakarta,

h. 44. 30 Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Denpasar, h. 75

21

Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Apporoach) dan

Pendekatan sejarah (Historical Approach) yaitu menyesuaikan peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau hukum positif dan fakta-fakta yang berlaku

dilapangan serta dikaitkan dengan sejarah-sejarah yang terkait dalam penulisan ini.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat

dan terdiri dari:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan terhadap

Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI

Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.

3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003

Tentang Mahkamah Konstitusi

4) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

5) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman

6) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011

TentangPerubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24

Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

22

7) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

8) Peraturan Mahkamah Konstitusi Negara Republik Indonesia Nomor 06

Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian

Undang-Undang.

9) Peraturan Mahkamah Konsitusi Negara Republik Indonesia Nomor 18

TAHUN 2009 Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic

Filing) Dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference).

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-

buku teks, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan hukum.31

Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks karena

buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan perundang-

undangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini

adalah bertitik tolak pada bahan hukum primer dan skunder. Bahan-bahan hukum

yang digunakan dalam penelitian ini ditelusuri menggunakan metode bola salju

(snow ball method) dan teknik sistem kartu (card system). Bahan pustaka dan

dokumen yang diteliti berkaitan dengan permasalahan yang berkaitan dengan

31 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 144.

23

keweangan pengujian terhadap Ketetapan MPR dalam hal bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan-bahan hukum yang dibutuhkan sudah terkumpul, maka

dilanjutkan dengan menganalisa data dengan teknik deskripsi dan argumentasi,

serta teknik konstruksi terhadap permasalahan yang ada. Dalam penulisan skripsi

ini, data primer dan data skunder yang telah terkumpul, kemudian dianalisa menurut

disiplin ilmu Hukum Tata Negara sehingga menjadi pembahasan yang sinergi dan

terpadu. Dengan teknik deskripsi penulis menguraikan dimana duduk

permasalahannya dan teknik argumentasi penulis memberikan argumentasi

penyelesaian masalah yang terjadi berdasarkan bahan-bahan yang ada, dan dengan

menggunakan teknik konstruksi, penulis membentuk konstruksi yuridis agar

permasalah dalam penelitian ini dapat terselesaikan.

24