peraturan daerah bermuatan norma agama dalam

16
Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam Pelaksanaannya Di Masyarakat : Studi Kasus Penggunaan Kerudung bagi Siswi Non-Muslim di SMA Negeri 1 Padang dan SMA Negeri 1 Batusangkar, Provinsi Sumatera Barat Normand Edwin Elnizar dan Heru Susetyo 1. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia Depok, Depok, 16424, Indonesia 2. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia Depok, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian ini melakukan pendekatan kualitatif terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah bermuatan norma Agama di Sumatera Barat dengan mengangkat studi kasus penggunaan kerudung bagi siswi sekolah di dua SMA Negeri dari dua kota yang berbeda sebagai bidang sosial semi–otonom. Dengan perspektif sosio-legal, diungkapkan bagaimana tatanan normatif non-negara yang dalam studi kasus ini adalah salah satu norma dari Agama Islam diakomodasi lewat Peraturan Daerah dan dilaksanakan di masyarakat. Hasil penelitian menemukan Peraturan Daerah tersebut absah secara yuridis dan sosiologis namun dalam pelaksanaannya terjadi intoleransi hak konstitusional bagi siswi non-muslim atas keharusan berkerudung bagi siswi sekolah. Kata Kunci: bidang sosial semi-otonom; kerudung; norma agama; Peraturan Daerah; sosio-legal Religious Local Ordinance Enforcement on Society: A Case Study on The Practice of Wearing Veil for Non-Muslim Female Students in 1 Senior High School Padang and 1 Senior High School Batusangkar, West Sumatra Province Abstract This research is qualitative approach of the implementation of Local Ordinance which contains religious norm in West Sumatra Province by featuring a case study on the practice of wearing veil for female students in two senior high schools as semi-autonomous social field. Using socio-legal perspective, this thesis investigated and revealed how the non-public normative order -which in this case was one of the principal norms of Islam- is being accommodated by Local Ordinance, and implemented in the society. The research was found that Local Ordinance is legitimate and sociological, but the implementation violated constitutional right of the non-muslim students. Key words: semi-autonomous social field; veil; religious norm; Local Ordinance; socio-legal Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam Pelaksanaannya Di Masyarakat : Studi Kasus Penggunaan Kerudung bagi Siswi Non-Muslim

di SMA Negeri 1 Padang dan SMA Negeri 1 Batusangkar, Provinsi Sumatera Barat

Normand Edwin Elnizar dan Heru Susetyo

1. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia Depok, Depok, 16424, Indonesia

2. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia Depok, Depok, 16424, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini melakukan pendekatan kualitatif terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah bermuatan norma Agama di Sumatera Barat dengan mengangkat studi kasus penggunaan kerudung bagi siswi sekolah di dua SMA Negeri dari dua kota yang berbeda sebagai bidang sosial semi–otonom. Dengan perspektif sosio-legal, diungkapkan bagaimana tatanan normatif non-negara yang dalam studi kasus ini adalah salah satu norma dari Agama Islam diakomodasi lewat Peraturan Daerah dan dilaksanakan di masyarakat. Hasil penelitian menemukan Peraturan Daerah tersebut absah secara yuridis dan sosiologis namun dalam pelaksanaannya terjadi intoleransi hak konstitusional bagi siswi non-muslim atas keharusan berkerudung bagi siswi sekolah.

Kata Kunci:

bidang sosial semi-otonom; kerudung; norma agama; Peraturan Daerah; sosio-legal

Religious Local Ordinance Enforcement on Society: A Case Study on The Practice of Wearing Veil for Non-Muslim Female Students in 1 Senior High School Padang and 1

Senior High School Batusangkar, West Sumatra Province

Abstract

This research is qualitative approach of the implementation of Local Ordinance which contains religious norm in West Sumatra Province by featuring a case study on the practice of wearing veil for female students in two senior high schools as semi-autonomous social field. Using socio-legal perspective, this thesis investigated and revealed how the non-public normative order -which in this case was one of the principal norms of Islam- is being accommodated by Local Ordinance, and implemented in the society. The research was found that Local Ordinance is legitimate and sociological, but the implementation violated constitutional right of the non-muslim students.

Key words:

semi-autonomous social field; veil; religious norm; Local Ordinance; socio-legal

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 2: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

Pendahuluan

Hukum, walaupun memiliki banyak perwajahan dari sudut pandang para ahli, pada

dasarnya tidak dapat terlepas dari masyarakat tempatnya bekerja. Hukum dan masyarakat

adalah satu kesatuan konsep yang tidak terpisahkan. Bahwa masyarakat membentuk hukum

telah dapat dimengerti karena secara alami hukum tidak lain merupakan hasil interaksi di

dalam masyarakat berdasarkan pandangan hidup, nilai, serta norma yang hidup di masyarakat

tertentu selama masa tertentu. Hasil interaksi inilah yang kemudian dipatuhi sebagai pedoman

mereka dalam berkehidupan. Di sisi lain, berbagai hasil interaksi itu akhirnya akan

membentuk tatanan masyarakat tersebut secara terus menerus, sampai akhirnya terjadi

perubahan terkait pandangan hidup, nilai, serta norma yang berlaku di dalamnya, maka akan

berubah pula hukum yang berlaku. Kesatuan konsep hukum dan masyarakat yang terlaksana

demikian membuat hukum bekerja lebih lancar dalam menjaga ketertiban di masyarakat.

Dari sudut pandang yang menghadirkan organisasi Negara, interaksi tersebut

dipindahkan dalam dinamika yang berlangsung di lembaga khusus pemegang kewenangan.

Hukum berubah makna menjadi segala produk yang dihasilkan oleh lembaga khusus ini, baik

substansinya sudah maupun belum dipatuhi oleh masyarakat. Bentuk produk hukum tersebut

kemudian disebut sebagai peraturan perundang-undangan dalam bentuk tertulis dengan

hirarkinya yang khusus mulai dari yang disebut Konstitusi, Undang-Undang, hingga

peraturan turunan lainnya. Inilah yang disebut sebagai hukum Negara. Dalam UU no.12

tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, salah satu produk hukum

yang ditetapkan dalam hirarki peraturan perundang-undangan Negara Kesatuan Republik

Indonesia ialah Peraturan Daerah(Perda). Perda dibentuk oleh pemerintahan di daerah dengan

kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Dengan adanya kewenangan ini,

pemerintahan di daerah memiliki kewenangan membentuk hukum yang berlaku khusus di

masyarakat daerahnya.

Ketentuan mengenai Perda memiliki landasan konstitusional setelah amandemen

kedua dalam pasal 18 ayat 6 yang secara tegas menyatakan bahwa “Pemerintahan daerah

berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan

otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya dijelaskan dalam pasal 12 UU no.10 tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan Perda

antara lain untuk menampung kondisi khusus daerah dalam batasan tidak bertentangan

dengan kepentingan penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 3: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Setelah UU no.10

tahun 2004 diganti dengan UU no.12 tahun 2011, ketentuan ini masih tidak berubah1.

Fenomena yang muncul sejak era Reformasi menggunakan pola Otonomi Daerah2

ialah maraknya berbagai Perda di Indonesia yang memasukkan muatan norma agama dalam

hal ini Islam. Dengan mengacu pada penjelasan sebelumnya, masuknya muatan norma agama

ke dalam produk hukum Negara adalah sebuah keniscayaan apabila tatanan normatif non-

negara di masyarakat daerah tertentu memang dipengaruhi bahkan bersumber suatu agama

tertentu. Namun di lain pihak muncul keberatan yang menolak dimasukkannya norma agama

ke dalam Perda dan juga seluruh jenis Peraturan Perundang-Undangan dalam hirarki hukum

Negara. Argumentasi yang melengkapi keberatan ini berasal dari beragam sudut pandang

mulai dari ketidaksesuaian dengan ideologi Negara, tidak konstitusional, memicu

disintegrasi bangsa, hingga potensi pelanggaran HAM berupa diskriminasi kelompok-

kelompok minoritas bahkan juga terkait kesetaraan jender bagi perempuan di masyarakat.

Kenyataan heterogenitas Indonesia menuntut hukum Negara untuk melakukan banyak

hal agar dapat bekerja sebagaimana mestinya. Namun, di sini juga ditemukan relevansi Perda

sebagai jembatan hukum Negara dalam menampung keragaman tersebut, karena ada banyak

nilai dan norma yang tidak menemukan titik universalnya untuk dituangkan dalam Undang-

Undang yang berskala nasional misalnya. Mengakomodasi norma agama dan norma adat

yang hidup di masyarakat dapat dilakukan sebanyak-banyaknya di tingkat Perda. Sayangnya

ini pun menghadapi kenyataan bahwa pandangan hukum Negara telah diarahkan pada

gagasan instrumentalis yaitu hukum sebagai sarana rekayasa sosial(social engineering).3

Hukum dan masyarakat tidak lagi diposisikan sebagai satu kesatuan yang saling membentuk,

namun hukum Negara lah yang mengambil alih peran membentuk masyarakat. Barangkali

konsep itu berpijak pada pemahaman kontrak sosial untuk berdirinya Negara dimana Negara

menyerap habis kedaulatan rakyat untuk berbuat untuk dan atas nama kebaikan rakyat.

                                                                                                                         1   Pasal   14   UU   no.12   tahun   2011   tentang   Pembentukan   Peraturan   Perundang-­‐Undangan:   Materi   muatan  Peraturan   Daerah   Provinsi   dan   Peraturan   Daerah   Kabupaten/Kota   berisi   materi   muatan   dalam   rangka  penyelenggaraan  otonomi  daerah  dan  tugas  pembantuan  serta  menampung  kondisi  khusus  daerah  dan/atau  penjabaran  lebih  lanjut  Peraturan  Perundang-­‐undangan  yang  lebih  tinggi.  2   Pasal   1   angka   6   UU   no.23   tahun   2014   tentang   Pemerintahan   Daerah:   Otonomi   Daerah   adalah   hak,  wewenang,  dan  kewajiban  daerah  otonom  untuk  mengatur  dan  mengurus  sendiri  Urusan  Pemerintahan  dan  kepentingan   masyarakat   setempat   dalam   sistem   Negara   Kesatuan   Republik   Indonesia.   (Otonomi   Daerah  merupakan   kebijakan   desentralisasi   politik   yang   tujuannya   mendekatkan   kekuasaan   negara   kepada   rakyat,  agar  partisipasi  politik  rakyat  di  daerah  kian  meningkat,  mulai  dari  pemilihan  para  elit  penyelenggara  negara  sampai   dengan   proses   perencanaan   dan   pembuatan   kebijakan   publik,   pelaksanaan,   pengawasan   dan  evaluasinya-­‐pen.)  3   Ratno   Lukito,   Hukum   Sakral   dan   Hukum   Sekuler:   Studi   tentang   Konflik   dan   Resolusi   dalam   Sistem  Hukum  Indonesia,  (Jakarta:  Pustaka  Alvabet,  2008),  hlm.1  

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 4: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

Untuk menjelaskan fenomena perpaduan hukum Negara dengan tatanan normatif non-

negara serta pelaksanaannya di masyarakat, Sumatera Barat menjadi lokasi pilihan penulis

untuk objek penelitian karena di masyarakatnya ditemukan filosofi adat “adat basandi

syarak-syarak basandi Kitabullah”. Kontestasi yang terjadi antara norma Agama dan norma

adat dalam interaksi yang mewarnai hukum di masyarakat justru berpadu dalam sebuah

filosofi yang dikatakan filosofi adat namun jelas bersandar pada norma Agama Islam.

Perpaduan ini dilanjutkan dengan beragam muatan Perda di Sumatera Barat yang bersandar

pada filosofi adat tersebut.4 Berbeda dengan wilayah Nangroe Aceh Darussalam yang

meskipun juga memiliki kondisi serupa, namun kini telah memperoleh otonomi khususnya

dengan payung hukum Negara. Sedangkan wilayah Sumatera Barat tetaplah dalam naungan

sebuah provinsi administratif biasa.  

Dengan memperhatikan gambaran kompleks mengenai hukum dan masyarakat

Indonesia, penulis tidak bermaksud untuk memasuki perdebatan menentukan bagaimana

formulasi hukum Negara dan tatanan normatif non-negara yang paling tepat. Penulis memilih

pengamatan fenomena di lingkup yang kecil untuk mendapatkan penjelasan empiris tentang

apa yang terjadi saat ini. Pilihan ini mendorong penulis menukik pada studi kasus yang

penulis temukan tentang kewajiban menggunakan kerudung bagi siswi katolik di Sekolah

Menengah Atas Negeri(SMAN) di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.

Berdasarkan penuturan tiga orang kawan penulis yang menamatkan pendidikan menengahnya

di Sumatera Barat, pelajar perempuan di sekolah sudah biasa diharuskan berkerudung sejak

Sekolah Dasar(SD). Bahkan untuk wilayah Batusangkar yang menjadi tempat penelitian

penulis, kewajiban berkerudung bagi siswi menyatu dengan aturan seragam sekolah di

sekolah-sekolah negeri. Penulis sendiri telah menemukan informan seorang siswi Katolik

yang mengaku diwajibkan berkerudung selama beraktifitas di sekolah yang notabene nya

adalah sekolah negeri. Dalam pelaksanaan penelitian di lapangan, penulis menambahkan pula

SMAN di Kota Padang sebagai perbandingan untuk menjawab pertanyaan penelitian.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penelitian ini akhirnya membatasi

pada pokok permasalahan sebagai berikut untuk diketahui :

1. Bagaimanakah legitimasi Perda bermuatan norma Agama terkait kasus tersebut dalam

tinjauan yuridis dan sosiologis di Indonesia?

2. Bagaimanakah tatanan normatif yang terlembagakan di SMAN 1 Batusangkar dan SMAN

1 Padang berkaitan penggunaan kerudung bagi siswi non-muslim di sekolah tersebut?                                                                                                                          4  Arskal  Salim,  “Perda  Berbasis  Agama  dan  Perlindungan  Konstitusional  Penegakan  HAM”,   Jurnal  Perempuan  No.  60    (September  2008),  hlm.11  

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 5: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

Dengan pokok permasalahan tersebut penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menjelaskan legitimasi tatanan normatif non-negara yang bersumber dari norma Agama

Islam dapat diakomodasi hukum Negara melalui kenyataan pelaksanaannya dengan

peninjauan secara yuridis dan sosiologis.

2. Memperlihatkan permasalahan yang dirasakan bagi pemeluk agama non-Islam atas

akomodasi kewajiban berkerudung bagi siswi sekolah sebagai ketentuan yang diberlakukan

pada studi kasus dalam penelitian tersebut.

Tinjauan Teoritis

Penelitian ini bersandar pada tiga teori yang akan menjadi dasar untuk menganalisis

yaitu stufentheorie, institutionalization/pelembagaan, dan Semi Autonomous Social Field.

Stufentheorie adalah teori Hirarki Norma Kelsen yang melihat validitas suatu norma selalu

bersumber kepada norma yang lebih tinggi di atasnya. Terdapat jenjang dan lapisan yang

bersusun baku dari keberlakuan suatu norma hingga sampai pada norma tertinggi yang

keberadaannya pre-supposed. Antara tiap norma yang berjenjang tersebut memiliki

hubungan superior-inferior satu sama lain.5 Dengan teori ini penulis akan menganalisis secara

yuridis mengenai Perda bermuatan norma Agama sebagai bagian dari hirarki peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Dalam teori institutionalization/pelembagaan, Peter

L.Berger mengungkapkan adanya pelembagaan pola-pola tertentu di masyarakat yang pada

akhirnya membentuk tatanan yang memandu mengenai apa yang harus dan tidak harus

dilakukan individu dalam masyarakatnya.6 Tatanan ini menjadi memiliki kekuatan memaksa

yang mengikat individu-individu di dalamnya. Teori pelembagaan ini akan penulis gunakan

untuk menganalisis secara sosiologis atas tatanan normatif-non Negara yang menjadi isu

dalam studi kasus penelitian ini.

Adapun Semi Autonomous Social Field dikemukakan oleh Sally Folk Moore sebagai

konsep pengamatan di suatu bidang sosial yang kecil, untuk menemukan gejala-gejala

dimana bidang atau kelompok dalam masyarakat memiliki kemampuan membuat aturannya

sendiri serta memaksakan keberlakuan aturan tersebut pada anggotanya(otonomi), namun

                                                                                                                         5  Maria  Farida  Indrati  Soeprapto,  Ilmu  Perundang-­‐Undangan  I:  Jenis,  Fungsi,  dan  Materi  Muatan,  (Yogyakarta:  Kanisius,  2007),  hlm.41  6   Peter   L.   Berger   dan   Thomas   Luckmann,   Tafsir   Sosial   atas   Kenyataan   [The   Social   Construction   of   Reality],  diterjemahkan  oleh  Hasan  Basari,  (Jakarta:  LP3ES,  1990),  hlm.474  

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 6: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

pada saat yang sama juga tetap berpeluang mengalami intervensi oleh pihak diluarnya yang

lebih berkuasa. Misalnya intervensi dilakukan oleh lembaga-lembaga formal perangkat

Negara. Untuk sifat dari bidang atau kelompok ini yang otonom namun tidak bebas

intervensi, maka ia dinamakan semi-otonom. Dengan teori ini dapat diamati bahwa hukum

Negara tidaklah memiliki dominasi penuh pada masyarakat, bahkan pengaruhnya selalu

mengalami tarik-ulur dengan sejauh mana bidang sosial semi otonom mampu untuk

mempertahankan wilayah otonominya.7

Metode Penelitian

Penelitian ini melakukan pengumpulan data lapangan dengan pendekatan kualitatif

disamping juga melakukan analisis tekstual terhadap Perda yang menjadi objek penelitian.

Analisis teks akan dilakukan untuk menafsirkan makna yang terkandung dalam pasal-pasal

tersebut dapat merugikan atau menguntungkan kelompok masyarat tertentu dan dengan cara

bagaimana.

Penulis mewawancarai beberapa informan yang mewakili pihak-pihak yang berkaitan

sebagai berikut:

1. Subjek hukum yang harus menjalani ketentuan berkerudung dari kalangan siswi Katolik

sebagai informan utama, yaitu seorang siswi kelas 12 di SMAN 1 Batusangkar.

2. Subjek hukum yang harus menegakkan hukum, yaitu dari kalangan guru di sekolah

informan utama. Penulis awalnya merencanakan untuk mendapatkan informasi dari guru

beragama Islam dan guru beragama non Islam jika tersedia. Namun di lapangan penulis

berhasil mewawancarai seorang Guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 1 Padang.

3. Subjek hukum yang harus menjalani ketentuan berkerudung dari kalangan siswi Muslim

untuk mendapatkan pembanding pandangan, penulis berhasil mewawancarai seorang siswi

Muslim kelas 12 di SMAN 1 Padang yang menggunakan kerudung hanya sebatasa ketentuan

seragam sekolah namun tidak menggunakannya di luar sekolah.

4. Orangtua dalam hal ini Ibu dari informan utama sebagai pihak yang bertanggung jawab

mengasuh informan sampai usia dewasanya, termasuk menanamkan nilai-nilai agama kepada

informan utama.

                                                                                                                         7  Sally  Folk  Moore,    “Law  and  Social  Change:  The  Semi-­‐Autonomous  Social  Field  as  an  Appropriate  Subject  of  Study”,    Law  &  Society  Review,  Vol.  7,  No.  4  (Summer,  1973),  pp.  719-­‐746  

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 7: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

5. Tokoh Adat dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau untuk mendapatkan

informasi mengenai pendapatmya dari sudut pandang adat setempat atas ketentuan tersebut.

6. Pemuka Agama Islam dari Majelis Ulama Indonesia Batusangkar.

7. Alumni SMAN 1 Batusangkar pada masa sebelum ketentuan penggunaan berkerudung

bagi siswi sekolah diberlakukan.

Penelitian ini menggunakan pengamatan Semi Autonomous Social Field(SASF) dengan

lingkup Sekolah Menengah Atas Negeri tempat informan bersekolah. Dengan konsep ini

dapat dipetakan bagaimana aturan-aturan di bidang sosial semi-otonom muncul, dipatuhi,

menguat, melemah karena intervensi, bahkan berganti dengan aturan yang baru. Pendekatan

ini menjadi cara yang penulis nilai tepat untuk mengonstruksikan studi kasus yang ada

sebagai bidang sosial semi-otonom. Dengan SASF inilah penulis menganalisis bagaimana

konsep stufentheorie dan pelembagaan berhadapan untuk akhirnya menyimpulkan jawaban

dari penelitian ini. Bidang sosial-semi otonom dalam penelitian ini ialah SMAN 1

Batusangkar dan SMAN 1 Padang.

Pengambilan data dilakukan secara langsung ke lapangan dengan metode wawancara

di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Pengamatan dilakukan selama

penulis berada di area Sekolah yang menjadi bidang sosial semi-otonom. Waktu pengambilan

data dilakukan pada 22-27 Juni 2015.

Sebagai tahap awal terkait penelitian yang telah dilakukan ini, penulis membaca

sejumlah literatur dan laporan terkait tema yang penulis ambil. Antara lain Laporan Hasil

Pemantauan Terhadap Perda No. 6 /2003 tentang Wajib Pandai Baca Al-Qur’an Bagi Peserta

Didik Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah; dan Instruksi Walikota Padang No.

451.442/Binsos-Iii/2005, tentang Pelaksanaan Wirid Remaja Didikan Subuh Dan Anti

Togel/Narkoba Serta Berpakaian Muslim/Muslimah Bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTS

dan SLTA/SMK/MA Di Padang. Laporan ini dibuat pada tahun 2008, tepat tiga tahun sejak

mulai bermunculannya Perda bermuatan norma Agama Islam terutama mengenai wajib

berjilbab bagi siswi. Dari laporan ini penulis memperkirakan langkah pendukung apa saja

agar pengambilan data dapat memadai. Secara kebetulan pengambilan data yang penulis

lakukan bertepatan dengan bulan Ramadhan sehingga penulis dapat melihat juga bagaimana

perlakuan yang diberikan oleh pihak sekolah kepada para pelajar non-Muslim selama bulan

ibadah bagi umat Islam. Penulis juga dapat mengumpulkan data tambahan mengenai situasi

yang berlangsung di Batusangkar.

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 8: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

Hasil Penelitian

SMAN 1 Padang dipilih dengan pertimbangan kedudukannya sebagai SMA terbaik di

Ibukota Provinsi Sumatera Barat. Wawancara dilakukan pada dua informan yaitu E selaku

Guru Pendidikan Agama Islam dan J seorang siswi muslim yang mengenakan kerudung

hanya selama berada di sekolah sebagai pelaksanaan aturan sekolah. Selama di Padang

penulis juga melakukan wawancara dengan D sebaagai salah satu pimpinan Lembaga

Kerapatan Adat Alam Minangkabau(LKAAM) yang bergelar Datuk Rajo Bagindo. Ketika

penulis melakukan penelitian pada 2015, telah berlaku Perda Kota Padang no.5 tahun 2011

tentang Penyelenggaraan Pendidikan yang salah satu poinnya mengatur penggunaan

kerudung bagi siswi di sekolah.

E mengakui bahwa pada dasarnya penggunaan kerudung memang merupakan simbol

agama dan mengikat khusus bagi yang beragama Islam saja. Hanya saja karena sudah

menjadi aturan seragam sekolah, maka ketentuan ini diminta agar diikuti siswi non-muslim

dalam bentuk anjuran agar tidak terasing dari lingkungan pergaulan karena jumlah mereka

yang biasanya sangat sedikit. E mengakui bahwa pada prinsipnya tidak boleh ada paksaan

bagi non-muslim dalam ajaran Islam untuk ikut berkerudung karena memang diwajibkan

hanya bagi muslimah. Beberapa kali E menegaskan hal itu dalam wawancara kami, namun di

saat yang sama E menyayangkan bahwa setahun belakangan ada seorang siswi beragama

Hindu yang menolak mengenakan kerudung.

Pengalaman J mengenakan kerudung setiap hari sekolah dimulai sejak SD, walaupun

hingga saat ini J juga belum menggunakan kerudung selain karena aturan di sekolah. J sudah

merasa terbiasa menggunakan kerudung dan merasakan ada manfaat baik yang bisa

didapatkan yaitu menjadi simbol yang memperkuat keimanan serta penjagaan diri dari

godaan pergaulan buruk. Walaupun sebenarnya J masih menyimpan rasa keberatan mengenai

aturan ini. Jika dibolehkan memilih, J merasa sebaiknya tidak usah diharuskan sebagai

seragam sekolah tapi dibiarkan kepada seluruh siswi muslimah memilih untuk menggunakan

atau tidak menggunakan kerudung. J juga merasa bahwa tidak ada banyak peluang untuk

mengubah aturan ini dengan posisi siswa.

Dalam wawancara, D menanggapi penjelasan penulis tentang penelitian ini bahwa tidak

pernah ada yang dinamakan Perda Syariah, yanga ada adalah Perda yang bernuansa

keagamaan. Dalam kaitannya dengan ketentuan berkerudung bagi siswi sekolah yang harus

dijalani non-muslim, D mengatakan tidak pernah ada ketentuan adat yang demikian

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 9: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

memaksakan bagi orang bukan Islam untuk mematuhi praktek ajaran agama Islam terlebih

simbol Islam berupa kerudung bagi muslimsh.Suku bangsa tidak masalah untuk menrima

asing menjadi bagian dari minang, tapi agama persoalan. Dalam hubungan dengan orang

bukan Islam, dia daianggap tamu yang dihormati di tanah Minang, namun tidak bisa menjadi

bagian dari Minang. Pun demikian non-muslim tidak akan kehilangan kebebasan dalam

menjalankan agamanya sejauh tidak mengganggu kedamaian bersama, persis seperti praktek

masa kenabian dulu di Madinah dengan non-muslim. Sehingga bagi D, jika ditemukan

keharusan menggunakan kerudung bagi siswi non-muslim adalah akibat dari kesalahpahaman

tentang adat Minangkabau.

SMAN 1 Batusangkar pun juga adalah SMA paling tua bahkan pernah menjadi satu-

satunya SMA yang ada di Batusangkar setidaknya hingga tahun 80an.8 Batusangkar

menerapkan ketentuan serupa SMAN 1 Padang bagi siswi non-muslim bahkan sejak sejak

tahun 2001. Ketika penulis melakukan penelitian pada 2015, ternyata tidak ada satupun Perda

yang mengatur mengenai hal ini.

A adalah satu-satunya siswi non-muslim di angkatan kelas 12 SMAN 1 Batusangkar

saat penelitian ini dilakukan. A harus ikut berkerudung sejak TK. Tidak pernah ada

penjelasan dari sekolah bahwa siswi non-muslim dibebaskan dari aturan tersebut. A sendiri

merasa sudah terbiasa dan jika dibolehkan untuk tidak berkerudung saat sekolah, dirinya

memilih tetap berkerudung agar tidak tampil asing sendirian. A merasa kerudung hanya

aturan formalitas seragam sekolah. Dirinya juga tidak pernah merasa diperlakukan

diskriminatif dalam hal lainnya selama bersekolah di SMAN 1 Batusangkar. W, Ibu kandung

dari A, sangat keberatan dengan berbagai nuansa Islam yang harus dijalani anak-anaknya di

sekolah negeri. Namun tidak ada pilihan lain karena fasilitas sekolah terbaik dan murah

adalah sekolah negeri, sementara dirinya dan suaminya memiliki keterbatasan penghasilan.

Y adalah Alumni SMAN 1 Batusangkar yang lulus pada tahun 1985. Y mengatakan

bahwa dulu namanya SMAN Batusangkar, karena hanya satu-satunya SMA di Batusangkar.

Pada masa itu, tidak ada semarak penggunaan kerudung, satu-satunya yang berkerudung di

sekolah adalah Guru Agama Islam. Y berpendapat simbol-simbol Islam yang dihidupkan

atas dorongan politik dari pemimpin ini mendapatkan dukungan masyarakat karena sangat

cocok dengan aspirasi masyarakat, sehingga diterima sekalipun hanya dengan surat himbauan

empat belas tahun lalu tanpa pernah dituangkan menjadi Perda.

                                                                                                                         8   Informasi   ini   penulis   peroleh   dari   salah   satu   informan   yang   secara   kebetulan   penulis   temui   saat   mencari  salinan   Perda   Batusangkar   di   Kantor   Bupati,   informan   ini   menjabat   sebagai   Kepala   Bagian   Kesejahteraan  Rakyat  di  Kabupaten  Tanah  Datar  

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 10: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

Z selaku Ketua I Bidang Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Tanah

Datar meyakinkan bahwa ketentuan berkerudung jelas diharuskan untuk perempuan beriman

saja. Dan dalam perspektf hukum, Z menegaskan setiap aspek syariat yang menjadi hukum

positif terbatas keberlakuannya untuk umat Islam. Adalah sebuah kesalahan jika sekolah

negeri sampai melarang siswi non-muslim bersekolah disana kalau tidak mau berkerudung. Z

menyimpulkan bahwa kasus semacam ini adalah persoalan kesalahpahaman oknum tertentu

dan bukan berasal dari ajaran Islam

Pembahasan

Secara yuridis, suatu norma yang telah memenuhi seluruh persyaratan formal

pembentukannya oleh pihak berwenang dan bersumber dari norma yang lebih tinggi maka

telah memiliki kekuatan berlaku. Secara sosiologis, suatu norma memiliki kekuatan berlaku

jika efektif berjalan dalam kehidupan masyarakat. Sudikno membaginya lagi menjadi dua

macam yaitu teori kekuatan dimana secara sosiologis ada pemaksaan dari penguasa sehingga

suatu norma dilaksanakan meskipun masyarakat tidak menerima norma tersebut dan teori

pengakuan dimana kekuatan berlakunya secara sosiologis karena penerimaan dan pengakuan

oleh masyarakat. Kesamaan dua teori ini terletak apakah suatu norma dilaksanakan atau tidak

oleh masyarakat.9 Hanya dengan dipenuhinya tiga unsur kekuatan berlakunya suatu norma

inilah maka norma tersebut dapat berfungsi dengan baik.

Berikut adalah pasal 14 j dalam Perda Kota Padang no.5 tahun 2011 yang isinya menjadi dasar penggunaan kerudung bagi siswi di sekolah,

Setiap peserta didik berkewajiban

j. mengikuti kegiatan pesantren ramadhan, wirid remaja dan didikan subuh dan

memakai seragam muslim/muslimah, pandai baca tulis Al-Qur’an, menghafal Juz

‘Amma dan Asmaul Husna bagi yang beragama Islam dan mengikuti kegiatan

sejenisnya bagi peserta didik yang beragama selain Islam.

Adapun di Batusangkar sejak 2001 hingga penelitian ini dilakukan pada 2015 tidak ada

perubahan landasan ketentuan penggunaan kerudung bagi siswi yaitu Surat Himbauan

Bupati no.451.4/556/Kesra-2001 tentang Berbusana Muslim/Muslimah. Penelusuran penulis

                                                                                                                         9  Op.cit.,  95  

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 11: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

baik melalui website resmi Pemda Tanah Datar hingga mendatangi langsung Bagian Hukum

dan Bagian Kesejahteraan Rakyat(Kesra) Kantor Bupati Tanah Datar mengonfirmasi bahwa

surat himbauan itu tidak pernah dicabut ataupun dituangkan dalam bentuk Perda. Bahkan,

saat penulis mengajukan permohonan salinannya, baik Bagian Kesra maupun Bagian Hukum

yang sama-sama bertanggung jawab langsung atas arsip tersebut menyatakan bahwa arsip

lama surat himbauan ini tidak ditemukan!

Atas dasar yuridis, Perda Kota Padang telah dibentuk oleh pihak dan kewenangan yang

sah berdasarkan norma yang lebih tinggi darinya. Sementara itu, Surat Himbauan Bupati

yang berlaku di Batusangkar diterbitkan pada tahun 2001 saat UU yang mengatur

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan belum dibuat. Bentuk aturan dalam bentuk

Surat Himbauan Bupati pun tidak secara tegas menyatakan sebagai Peraturan Kepala Daerah

yang bahkan dibuat dengan tidak mengacu pada ketentuan UU Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dan UU Pemerintahan Daerah yang berlaku saat ini. Penulis menilai

kondisi ini telah cukup menyebabkan hilangnya kekuatan berlaku yuridis Surat Himbauan

tersebut. Walaupun Bupati sebagai Kepala Daerah berwenang membentuk Peraturan Bupati ,

bentuk Surat Himbauan serta kenyataan bahwa pembuatannya tidak mengacu pada ketentuan

UU yang baru sebagai norma yang lebih tinggi, Surat Himbauan ini tidak dapat dikategorikan

sebagai Peraturan Perundang-undangan.

Mengenai materi muatan yang telah diatur batasannya dalam UU Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan dan UU Pemerintahan Daerah, ketentuan penggunaan

kerudung oleh siswi yang dimuat dalam Perda Kota Padang bagi siswi yang menjadi objek

studi kasus ini ternyata dibatasi pada siswi muslimah. Pengaturan ini tampak sejalan dengan

prinsip proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang

hayat dengan memberi keteladanan, membangun kemauan selama menjadi peserta didik.

Nilai dan norma keagamaan peserta didik dibudayakan dalam penyelenggaraan pendidikan

dengan membangun kemauan peserta didik yang diatur dalam UU no.20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional(UU Sistem Pendidikan Nasional) dan Peraturan Pemerintah

no.55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan(PP Pendidikan

Agama dan Pendidikan Keagamaan).

Dengan memperhatikan kenyataan bahwa ketentuan penggunaan kerudung pada

dasarnya adalah bagian dari norma Agama Islam khusus untuk perempuan muslim, penulis

menelusuri ketentuan penggunaan kerudung ini dapat berjalan dan diterima disebabkan fakta

sosiologis masyarakat Minangkabau yang telah berinteraksi dengan ajaran Islam sejak abad

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 12: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

ke-16.10 Maka kerudung sebagai bagian dari norma agama Islam juga dikenal sebagai atribut

pakaian perempuan Minangkabau sejak saat itu dengan beragam modifikasi bentuknya. Telah

terjadi pelembagaan norma yang demikian kuat di masyarakat mengenai atribut keagamaan

Islam termasuk kerudung yang juga dianggap sebagai simbol adat. Hal inilah yang

menyebabkan ketentuan penggunaan kerudung mendapatkan sambutan yang tanpa hambatan.

Pada saat yang sama, dapat dinilai pula bahwa para siswi non-muslim tidak berdaya

untuk menolak ketentuan penggunaan kerudung ini yang bahkan membuat informan dalam

penelitian ini merasa tidak nyaman jika harus tampil berbeda dengan tidak mengikuti

ketentuan penggunaan kerudung bagi siswi. Penulis menilai kekuatan berlaku sosiologis

ketentuan berkerudung yang diterapkan pada siswi menjadi begitu kuat dengan fakta sosial

begitu kuatnya pelembagaan yang terjadi di Sumatera Barat. Terlebih lagi, berdasarkan

kewenangan Kepala Daerah untuk memaksakan keberlakuan ketentuan ini lewat jalur yuridis

dengan Perda Kota Padang yang sebelumnya hanya dengan Instruksi Walikota maupun lewat

jalur kekuasaan sebagai Bupati dengan Surat Himbauan semata telah semakin

menguatkannya. Tidak adanya penentangan yang ditunjukkan oleh masyarakat dan bahkan

dengan adanya dukungan-dukungan yang diungkapkan baik terlihat melalui hasil survei

maupun langgengnya ketentuan-ketentuan norma Agama tersebut dengan atau tanpa menjadi

Perda adalah fakta bahwa masyarakat memang telah menerima kehadiran norma Agama

tersebut.

Kesimpulan

Dengan memperhatikan keseluruhan pendekatan sosio-legal yang telah penulis

uraikan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal yang akan menjawab

pertanyaan penelitian di awal.

Secara sosiologis, penerimaan masyarakat Sumetera Barat begitu mudah ketika

ketentuan penggunaan berkerudung bagi siswi sekolah diberlakukan walaupun pada awalnya

hanya sekadar instruksi dan himbauan oleh Kepala Daerah. Memang ada kenyataan bahwa                                                                                                                          10  Lihat  uraian  Bab  II    

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 13: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

pada masa Orde Baru semarak keislaman tidak terlihat namun nilai-nilai Islam yang menyatu

dengan adat di masyarakat tidak pernah benar-benar hilang. Saat ketentuan penggunaan

kerudung dimuat dalam produk perundang-undangan berupa Perda, penulis menemukan

relevansi yuridis yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan Undang-Undang serta

Peraturan Pemerintah yang berkaitan dalam rangka pendidikan agama bagi peserta didik.

Telah dikemukakan analisis yuridis dalam bagian keempat penelitian ini. Bahkan yang

menarik adalah kasus di Batusangkar dimana tidak ditemukan produk hukum Negara yang

menjadi landasannya namun tetap berjalan konsisten selama belasan tahun. Oleh karena itu,

penulis menyimpulkan bahwa secara sosiologis. dan yuridis, tidak ada masalah dalam

ketentuan ini.

Hanya saja, dalam pendekatan bidang sosial semi-otonom dapat dilihat bahwa terjadi

bias yang mengkhawatirkan dalam tataran pelaksanaan ketentuan penggunaan kerudung bagi

siswi di SMAN 1 Padang dan SMAN 1 Batusangkar. Tidak adanya sosialisasi dan penegasan

bagi para siswi non-muslim untuk menggunakan haknya tidak ikut menggunakan kerudung

telah mengakibatkan lahirnya persepsi intoleran yang melanggar hak-hak konstitusional yang

juga disepakati oleh ajaran agama Islam serta adat Minangkabau di Sumatera Barat itu sendiri

mengenai hak beragama. Hal ini karena tidak dapat dielakkan bahwa keharusan berkerudung

adalah sebuah norma agama yang mengikat hanya bagi perempuan muslim. Walaupun di

antara informan ada yang memilih mengikuti ketentuan yang diberlakukan pihak sekolah,

jelas lebih disebabkan oleh tekanan yang kuat dari bidang sosial semi-otonom bernama

sekolah.

Seperti yang telah diuraikan dalam bagian analisis terhadap berbagai data yang

penulis himpun, dalam kasus di SMAN 1 Padang dapat ditelusuri bahwa ketentuan

penggunaan kerudung dari norma agama Islam yang diakomodasi dalam hukum Negara baru

memiliki legitimasi yuridis pada tahun 2011 ketika Walikota Fauzi Bahar bersama DPRD

Kota Padang menuangkan isi Instruksi Walikota pada tahun 2005 terkait ketentuan tersebut

menjadi Perda no.5 tahun 2011. Baik Instruksi Walikota maupun Perda berisi redaksi yang

mirip dalam hal jaminan atas hak bagi siswi non-muslim untuk tidak terikat ketentuan

penggunaan kerudung sebagai seragam sekolah. Terdapat kata “menyesuaikan” bagi siswi

non-muslim. Bahkan dalam Instruksi Walikota telah memberikan penjelasan lebiih detil

mengenai model seragam yang harus dikenakan yaitu bagi non-Muslim dianjurkan

menyesuaikan pakaian (memakai baju kurung bagi perempuan dan memakai celana panjang

bagi laki-laki). Ketika berubah menjadi Perda, terdapat pengaturan hak-hak yang

mendasarkan pada prinsip toleransi yang tegas dimana Perda mewajibkan seluruh peserta

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 14: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

didik melaksanakan kewajiban atau perintah agama yang dianutnya dan menghormati

pelaksanaan ibadah peserta didik lainnya.

Dengan pengakuan para informan bahwa dalam sudut pandang norma adat dan norma

Agama Islam yang menyatu di Sumatera Barat bahwa tidak satupun isi dari tatanan normatif

keduanya memaksa non-muslim agar ikut menjalankan kewajiban berkerudung yang hanya

mengikat bagi perempuan muslim, maka kasus penggunaan kerudung bagi siswi non-muslim

menjadi tidak memiliki landasan yuridis. Hal yang serupa juga terjadi di SMAN 1

Batusangkar yang bahkan tidak memiliki landasan yuridis dengan kenyataan Surat Himbauan

Bupati bukanlah produk hukum Negara. Arsip himbauan tersebut juga tidak lagi dapat

ditelusuri keberadaannya untuk menganalisis isinya. Hanya saja, dalam kedua kasus

ditemukan kenyataan bahwa sosialisasi agar siswi non-muslim ikut menggunakan kerudung

dalam berseragam sekolah sama-sama dijalankan oleh pihak sekolah. Penulis tidak

menemukan bahwa pihak sekolah melakukan sosialisasi atas hak siswi non-muslim untuk

menjalankan keyakinannya terhadap penggunaan kerudung yang pada dasarnya bersunber

dari norma Agama Islam.

Di kedua bidang sosial semi-otonom tersebut penulis menyimpulkan bahwa pada

akhirnya yang membuat siswi non-muslim mengikuti untuk menggunakan kerudung adalah

keengganan untuk bermasalah dengan pihak sekolah, kekhawatiran terkucil dari pergaulan

dengan kenyataan bahwa jumlah mereka sangat sedikit. Kepatuhan mereka didorong oleh

ketiadaan posisi tawar sebagai minoritas non-muslim terhadap pihak sekolah dan keinginan

dapat terus bertahan menjadi bagian dari tempatnya bersekolah. Kondisi sosiologis Sumatera

Barat yang begitu kental dengan Islam tampaknya juga membuat mereka yang minoritas

semakin terpaksa patuh. Hal ini menjadi jelas ketika pada tahun 2015 ada satu orang siswi

non-muslim di SMAN 1 Padang menjadi satu-satunya siswi non-muslim yang dibolehkan

untuk tidak berkerudung sejak ketentuan tersebut dipraktekkan pada tahun 2005. Siswi non-

muslim ini melakukan advokasi secara langsung melalui orangtuanya terhadap pihak sekolah,

dimana orangtuanya tersebut adalah seorang pejabat di Kantor Wilayah Kementerian Agama

Sumatera Barat. Adapun di Batusangkar, informan yang merupakan orangtua salah satu siswi

non-muslim hanya seorang pedagang kecil yang tidak pernah terpikirkan untuk berurusan

dengan pihak sekolah.

Saran

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 15: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

Penulis mengajukan saran bagi penelitian lanjutan, pemangku kebijakan, dan bagi

pelaksana teknis di lapangan. Akan jauh lebih baik jika pada penelitian selanjutnya dilakukan

perluasan informan serta ruang lingkup penelitian sosio-legal ini untuk mendapatkan

gambaran yang lebih lengkap. Bagi para pemangku kebijakan perlu untuk lebih berhati-hati

dalam merumuskan kejelasan pengaturan yang mengakomodasi norma Agama serta

peraturan pelaksananya agar tidak terjadi bias seperti di dalam studi kasus. Adapun bagi

pelaksana teknis di lapangan perlu untuk memastikan tujuan dari aturan yang memuat norma

Agama dan memberikan ruang bagi pelaksanaan hak dari subjek hukum yang berada di luar

lingkup pengaturan bermuatan norma agama tersebut.

Kepustakaan

Buku Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan [The Social

Construction of Reality], diterjemahkan oleh Hasan Basari. Jakarta: LP3ES Lukito, Ratno. 2008. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler. Jakarta: Pustaka Alvabet. Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan I. Yogyakarta: Kanisius. Jurnal Moore, Sally Folk, “Law and Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an

Appropriate Subject of Study”, Law & Society Review, Vol. 7, No. 4 (Summer, 1973), pp. 719-746

Salim, Arskal. “Perda Berbasis Agama dan Perlindungan Konstitusional Penegakan HAM”,

Jurnal Perempuan no.60, (September, 2008), hlm.81-92

Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016

Page 16: Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 8

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244

Peraturan Pemerintah No.55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan

Keagamaan

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 124

Peraturan Daerah Kota Padang No. 5 tagun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan

Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 5

Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016