peraturan daerah bermuatan norma agama dalam
TRANSCRIPT
Peraturan Daerah Bermuatan Norma Agama Dalam Pelaksanaannya Di Masyarakat : Studi Kasus Penggunaan Kerudung bagi Siswi Non-Muslim
di SMA Negeri 1 Padang dan SMA Negeri 1 Batusangkar, Provinsi Sumatera Barat
Normand Edwin Elnizar dan Heru Susetyo
1. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia Depok, Depok, 16424, Indonesia
2. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Jl. Prof. Mr. Djokosoetono, Kampus Universitas Indonesia Depok, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini melakukan pendekatan kualitatif terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah bermuatan norma Agama di Sumatera Barat dengan mengangkat studi kasus penggunaan kerudung bagi siswi sekolah di dua SMA Negeri dari dua kota yang berbeda sebagai bidang sosial semi–otonom. Dengan perspektif sosio-legal, diungkapkan bagaimana tatanan normatif non-negara yang dalam studi kasus ini adalah salah satu norma dari Agama Islam diakomodasi lewat Peraturan Daerah dan dilaksanakan di masyarakat. Hasil penelitian menemukan Peraturan Daerah tersebut absah secara yuridis dan sosiologis namun dalam pelaksanaannya terjadi intoleransi hak konstitusional bagi siswi non-muslim atas keharusan berkerudung bagi siswi sekolah.
Kata Kunci:
bidang sosial semi-otonom; kerudung; norma agama; Peraturan Daerah; sosio-legal
Religious Local Ordinance Enforcement on Society: A Case Study on The Practice of Wearing Veil for Non-Muslim Female Students in 1 Senior High School Padang and 1
Senior High School Batusangkar, West Sumatra Province
Abstract
This research is qualitative approach of the implementation of Local Ordinance which contains religious norm in West Sumatra Province by featuring a case study on the practice of wearing veil for female students in two senior high schools as semi-autonomous social field. Using socio-legal perspective, this thesis investigated and revealed how the non-public normative order -which in this case was one of the principal norms of Islam- is being accommodated by Local Ordinance, and implemented in the society. The research was found that Local Ordinance is legitimate and sociological, but the implementation violated constitutional right of the non-muslim students.
Key words:
semi-autonomous social field; veil; religious norm; Local Ordinance; socio-legal
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
Pendahuluan
Hukum, walaupun memiliki banyak perwajahan dari sudut pandang para ahli, pada
dasarnya tidak dapat terlepas dari masyarakat tempatnya bekerja. Hukum dan masyarakat
adalah satu kesatuan konsep yang tidak terpisahkan. Bahwa masyarakat membentuk hukum
telah dapat dimengerti karena secara alami hukum tidak lain merupakan hasil interaksi di
dalam masyarakat berdasarkan pandangan hidup, nilai, serta norma yang hidup di masyarakat
tertentu selama masa tertentu. Hasil interaksi inilah yang kemudian dipatuhi sebagai pedoman
mereka dalam berkehidupan. Di sisi lain, berbagai hasil interaksi itu akhirnya akan
membentuk tatanan masyarakat tersebut secara terus menerus, sampai akhirnya terjadi
perubahan terkait pandangan hidup, nilai, serta norma yang berlaku di dalamnya, maka akan
berubah pula hukum yang berlaku. Kesatuan konsep hukum dan masyarakat yang terlaksana
demikian membuat hukum bekerja lebih lancar dalam menjaga ketertiban di masyarakat.
Dari sudut pandang yang menghadirkan organisasi Negara, interaksi tersebut
dipindahkan dalam dinamika yang berlangsung di lembaga khusus pemegang kewenangan.
Hukum berubah makna menjadi segala produk yang dihasilkan oleh lembaga khusus ini, baik
substansinya sudah maupun belum dipatuhi oleh masyarakat. Bentuk produk hukum tersebut
kemudian disebut sebagai peraturan perundang-undangan dalam bentuk tertulis dengan
hirarkinya yang khusus mulai dari yang disebut Konstitusi, Undang-Undang, hingga
peraturan turunan lainnya. Inilah yang disebut sebagai hukum Negara. Dalam UU no.12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, salah satu produk hukum
yang ditetapkan dalam hirarki peraturan perundang-undangan Negara Kesatuan Republik
Indonesia ialah Peraturan Daerah(Perda). Perda dibentuk oleh pemerintahan di daerah dengan
kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Dengan adanya kewenangan ini,
pemerintahan di daerah memiliki kewenangan membentuk hukum yang berlaku khusus di
masyarakat daerahnya.
Ketentuan mengenai Perda memiliki landasan konstitusional setelah amandemen
kedua dalam pasal 18 ayat 6 yang secara tegas menyatakan bahwa “Pemerintahan daerah
berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan
otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya dijelaskan dalam pasal 12 UU no.10 tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa materi muatan Perda
antara lain untuk menampung kondisi khusus daerah dalam batasan tidak bertentangan
dengan kepentingan penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Setelah UU no.10
tahun 2004 diganti dengan UU no.12 tahun 2011, ketentuan ini masih tidak berubah1.
Fenomena yang muncul sejak era Reformasi menggunakan pola Otonomi Daerah2
ialah maraknya berbagai Perda di Indonesia yang memasukkan muatan norma agama dalam
hal ini Islam. Dengan mengacu pada penjelasan sebelumnya, masuknya muatan norma agama
ke dalam produk hukum Negara adalah sebuah keniscayaan apabila tatanan normatif non-
negara di masyarakat daerah tertentu memang dipengaruhi bahkan bersumber suatu agama
tertentu. Namun di lain pihak muncul keberatan yang menolak dimasukkannya norma agama
ke dalam Perda dan juga seluruh jenis Peraturan Perundang-Undangan dalam hirarki hukum
Negara. Argumentasi yang melengkapi keberatan ini berasal dari beragam sudut pandang
mulai dari ketidaksesuaian dengan ideologi Negara, tidak konstitusional, memicu
disintegrasi bangsa, hingga potensi pelanggaran HAM berupa diskriminasi kelompok-
kelompok minoritas bahkan juga terkait kesetaraan jender bagi perempuan di masyarakat.
Kenyataan heterogenitas Indonesia menuntut hukum Negara untuk melakukan banyak
hal agar dapat bekerja sebagaimana mestinya. Namun, di sini juga ditemukan relevansi Perda
sebagai jembatan hukum Negara dalam menampung keragaman tersebut, karena ada banyak
nilai dan norma yang tidak menemukan titik universalnya untuk dituangkan dalam Undang-
Undang yang berskala nasional misalnya. Mengakomodasi norma agama dan norma adat
yang hidup di masyarakat dapat dilakukan sebanyak-banyaknya di tingkat Perda. Sayangnya
ini pun menghadapi kenyataan bahwa pandangan hukum Negara telah diarahkan pada
gagasan instrumentalis yaitu hukum sebagai sarana rekayasa sosial(social engineering).3
Hukum dan masyarakat tidak lagi diposisikan sebagai satu kesatuan yang saling membentuk,
namun hukum Negara lah yang mengambil alih peran membentuk masyarakat. Barangkali
konsep itu berpijak pada pemahaman kontrak sosial untuk berdirinya Negara dimana Negara
menyerap habis kedaulatan rakyat untuk berbuat untuk dan atas nama kebaikan rakyat.
1 Pasal 14 UU no.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-‐Undangan: Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-‐undangan yang lebih tinggi. 2 Pasal 1 angka 6 UU no.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Otonomi Daerah merupakan kebijakan desentralisasi politik yang tujuannya mendekatkan kekuasaan negara kepada rakyat, agar partisipasi politik rakyat di daerah kian meningkat, mulai dari pemilihan para elit penyelenggara negara sampai dengan proses perencanaan dan pembuatan kebijakan publik, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasinya-‐pen.) 3 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008), hlm.1
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
Untuk menjelaskan fenomena perpaduan hukum Negara dengan tatanan normatif non-
negara serta pelaksanaannya di masyarakat, Sumatera Barat menjadi lokasi pilihan penulis
untuk objek penelitian karena di masyarakatnya ditemukan filosofi adat “adat basandi
syarak-syarak basandi Kitabullah”. Kontestasi yang terjadi antara norma Agama dan norma
adat dalam interaksi yang mewarnai hukum di masyarakat justru berpadu dalam sebuah
filosofi yang dikatakan filosofi adat namun jelas bersandar pada norma Agama Islam.
Perpaduan ini dilanjutkan dengan beragam muatan Perda di Sumatera Barat yang bersandar
pada filosofi adat tersebut.4 Berbeda dengan wilayah Nangroe Aceh Darussalam yang
meskipun juga memiliki kondisi serupa, namun kini telah memperoleh otonomi khususnya
dengan payung hukum Negara. Sedangkan wilayah Sumatera Barat tetaplah dalam naungan
sebuah provinsi administratif biasa.
Dengan memperhatikan gambaran kompleks mengenai hukum dan masyarakat
Indonesia, penulis tidak bermaksud untuk memasuki perdebatan menentukan bagaimana
formulasi hukum Negara dan tatanan normatif non-negara yang paling tepat. Penulis memilih
pengamatan fenomena di lingkup yang kecil untuk mendapatkan penjelasan empiris tentang
apa yang terjadi saat ini. Pilihan ini mendorong penulis menukik pada studi kasus yang
penulis temukan tentang kewajiban menggunakan kerudung bagi siswi katolik di Sekolah
Menengah Atas Negeri(SMAN) di Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat.
Berdasarkan penuturan tiga orang kawan penulis yang menamatkan pendidikan menengahnya
di Sumatera Barat, pelajar perempuan di sekolah sudah biasa diharuskan berkerudung sejak
Sekolah Dasar(SD). Bahkan untuk wilayah Batusangkar yang menjadi tempat penelitian
penulis, kewajiban berkerudung bagi siswi menyatu dengan aturan seragam sekolah di
sekolah-sekolah negeri. Penulis sendiri telah menemukan informan seorang siswi Katolik
yang mengaku diwajibkan berkerudung selama beraktifitas di sekolah yang notabene nya
adalah sekolah negeri. Dalam pelaksanaan penelitian di lapangan, penulis menambahkan pula
SMAN di Kota Padang sebagai perbandingan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penelitian ini akhirnya membatasi
pada pokok permasalahan sebagai berikut untuk diketahui :
1. Bagaimanakah legitimasi Perda bermuatan norma Agama terkait kasus tersebut dalam
tinjauan yuridis dan sosiologis di Indonesia?
2. Bagaimanakah tatanan normatif yang terlembagakan di SMAN 1 Batusangkar dan SMAN
1 Padang berkaitan penggunaan kerudung bagi siswi non-muslim di sekolah tersebut? 4 Arskal Salim, “Perda Berbasis Agama dan Perlindungan Konstitusional Penegakan HAM”, Jurnal Perempuan No. 60 (September 2008), hlm.11
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
Dengan pokok permasalahan tersebut penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menjelaskan legitimasi tatanan normatif non-negara yang bersumber dari norma Agama
Islam dapat diakomodasi hukum Negara melalui kenyataan pelaksanaannya dengan
peninjauan secara yuridis dan sosiologis.
2. Memperlihatkan permasalahan yang dirasakan bagi pemeluk agama non-Islam atas
akomodasi kewajiban berkerudung bagi siswi sekolah sebagai ketentuan yang diberlakukan
pada studi kasus dalam penelitian tersebut.
Tinjauan Teoritis
Penelitian ini bersandar pada tiga teori yang akan menjadi dasar untuk menganalisis
yaitu stufentheorie, institutionalization/pelembagaan, dan Semi Autonomous Social Field.
Stufentheorie adalah teori Hirarki Norma Kelsen yang melihat validitas suatu norma selalu
bersumber kepada norma yang lebih tinggi di atasnya. Terdapat jenjang dan lapisan yang
bersusun baku dari keberlakuan suatu norma hingga sampai pada norma tertinggi yang
keberadaannya pre-supposed. Antara tiap norma yang berjenjang tersebut memiliki
hubungan superior-inferior satu sama lain.5 Dengan teori ini penulis akan menganalisis secara
yuridis mengenai Perda bermuatan norma Agama sebagai bagian dari hirarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Dalam teori institutionalization/pelembagaan, Peter
L.Berger mengungkapkan adanya pelembagaan pola-pola tertentu di masyarakat yang pada
akhirnya membentuk tatanan yang memandu mengenai apa yang harus dan tidak harus
dilakukan individu dalam masyarakatnya.6 Tatanan ini menjadi memiliki kekuatan memaksa
yang mengikat individu-individu di dalamnya. Teori pelembagaan ini akan penulis gunakan
untuk menganalisis secara sosiologis atas tatanan normatif-non Negara yang menjadi isu
dalam studi kasus penelitian ini.
Adapun Semi Autonomous Social Field dikemukakan oleh Sally Folk Moore sebagai
konsep pengamatan di suatu bidang sosial yang kecil, untuk menemukan gejala-gejala
dimana bidang atau kelompok dalam masyarakat memiliki kemampuan membuat aturannya
sendiri serta memaksakan keberlakuan aturan tersebut pada anggotanya(otonomi), namun
5 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-‐Undangan I: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm.41 6 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan [The Social Construction of Reality], diterjemahkan oleh Hasan Basari, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm.474
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
pada saat yang sama juga tetap berpeluang mengalami intervensi oleh pihak diluarnya yang
lebih berkuasa. Misalnya intervensi dilakukan oleh lembaga-lembaga formal perangkat
Negara. Untuk sifat dari bidang atau kelompok ini yang otonom namun tidak bebas
intervensi, maka ia dinamakan semi-otonom. Dengan teori ini dapat diamati bahwa hukum
Negara tidaklah memiliki dominasi penuh pada masyarakat, bahkan pengaruhnya selalu
mengalami tarik-ulur dengan sejauh mana bidang sosial semi otonom mampu untuk
mempertahankan wilayah otonominya.7
Metode Penelitian
Penelitian ini melakukan pengumpulan data lapangan dengan pendekatan kualitatif
disamping juga melakukan analisis tekstual terhadap Perda yang menjadi objek penelitian.
Analisis teks akan dilakukan untuk menafsirkan makna yang terkandung dalam pasal-pasal
tersebut dapat merugikan atau menguntungkan kelompok masyarat tertentu dan dengan cara
bagaimana.
Penulis mewawancarai beberapa informan yang mewakili pihak-pihak yang berkaitan
sebagai berikut:
1. Subjek hukum yang harus menjalani ketentuan berkerudung dari kalangan siswi Katolik
sebagai informan utama, yaitu seorang siswi kelas 12 di SMAN 1 Batusangkar.
2. Subjek hukum yang harus menegakkan hukum, yaitu dari kalangan guru di sekolah
informan utama. Penulis awalnya merencanakan untuk mendapatkan informasi dari guru
beragama Islam dan guru beragama non Islam jika tersedia. Namun di lapangan penulis
berhasil mewawancarai seorang Guru Pendidikan Agama Islam di SMAN 1 Padang.
3. Subjek hukum yang harus menjalani ketentuan berkerudung dari kalangan siswi Muslim
untuk mendapatkan pembanding pandangan, penulis berhasil mewawancarai seorang siswi
Muslim kelas 12 di SMAN 1 Padang yang menggunakan kerudung hanya sebatasa ketentuan
seragam sekolah namun tidak menggunakannya di luar sekolah.
4. Orangtua dalam hal ini Ibu dari informan utama sebagai pihak yang bertanggung jawab
mengasuh informan sampai usia dewasanya, termasuk menanamkan nilai-nilai agama kepada
informan utama.
7 Sally Folk Moore, “Law and Social Change: The Semi-‐Autonomous Social Field as an Appropriate Subject of Study”, Law & Society Review, Vol. 7, No. 4 (Summer, 1973), pp. 719-‐746
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
5. Tokoh Adat dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau untuk mendapatkan
informasi mengenai pendapatmya dari sudut pandang adat setempat atas ketentuan tersebut.
6. Pemuka Agama Islam dari Majelis Ulama Indonesia Batusangkar.
7. Alumni SMAN 1 Batusangkar pada masa sebelum ketentuan penggunaan berkerudung
bagi siswi sekolah diberlakukan.
Penelitian ini menggunakan pengamatan Semi Autonomous Social Field(SASF) dengan
lingkup Sekolah Menengah Atas Negeri tempat informan bersekolah. Dengan konsep ini
dapat dipetakan bagaimana aturan-aturan di bidang sosial semi-otonom muncul, dipatuhi,
menguat, melemah karena intervensi, bahkan berganti dengan aturan yang baru. Pendekatan
ini menjadi cara yang penulis nilai tepat untuk mengonstruksikan studi kasus yang ada
sebagai bidang sosial semi-otonom. Dengan SASF inilah penulis menganalisis bagaimana
konsep stufentheorie dan pelembagaan berhadapan untuk akhirnya menyimpulkan jawaban
dari penelitian ini. Bidang sosial-semi otonom dalam penelitian ini ialah SMAN 1
Batusangkar dan SMAN 1 Padang.
Pengambilan data dilakukan secara langsung ke lapangan dengan metode wawancara
di Batusangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Pengamatan dilakukan selama
penulis berada di area Sekolah yang menjadi bidang sosial semi-otonom. Waktu pengambilan
data dilakukan pada 22-27 Juni 2015.
Sebagai tahap awal terkait penelitian yang telah dilakukan ini, penulis membaca
sejumlah literatur dan laporan terkait tema yang penulis ambil. Antara lain Laporan Hasil
Pemantauan Terhadap Perda No. 6 /2003 tentang Wajib Pandai Baca Al-Qur’an Bagi Peserta
Didik Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah; dan Instruksi Walikota Padang No.
451.442/Binsos-Iii/2005, tentang Pelaksanaan Wirid Remaja Didikan Subuh Dan Anti
Togel/Narkoba Serta Berpakaian Muslim/Muslimah Bagi Murid/Siswa SD/MI, SLTP/MTS
dan SLTA/SMK/MA Di Padang. Laporan ini dibuat pada tahun 2008, tepat tiga tahun sejak
mulai bermunculannya Perda bermuatan norma Agama Islam terutama mengenai wajib
berjilbab bagi siswi. Dari laporan ini penulis memperkirakan langkah pendukung apa saja
agar pengambilan data dapat memadai. Secara kebetulan pengambilan data yang penulis
lakukan bertepatan dengan bulan Ramadhan sehingga penulis dapat melihat juga bagaimana
perlakuan yang diberikan oleh pihak sekolah kepada para pelajar non-Muslim selama bulan
ibadah bagi umat Islam. Penulis juga dapat mengumpulkan data tambahan mengenai situasi
yang berlangsung di Batusangkar.
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
Hasil Penelitian
SMAN 1 Padang dipilih dengan pertimbangan kedudukannya sebagai SMA terbaik di
Ibukota Provinsi Sumatera Barat. Wawancara dilakukan pada dua informan yaitu E selaku
Guru Pendidikan Agama Islam dan J seorang siswi muslim yang mengenakan kerudung
hanya selama berada di sekolah sebagai pelaksanaan aturan sekolah. Selama di Padang
penulis juga melakukan wawancara dengan D sebaagai salah satu pimpinan Lembaga
Kerapatan Adat Alam Minangkabau(LKAAM) yang bergelar Datuk Rajo Bagindo. Ketika
penulis melakukan penelitian pada 2015, telah berlaku Perda Kota Padang no.5 tahun 2011
tentang Penyelenggaraan Pendidikan yang salah satu poinnya mengatur penggunaan
kerudung bagi siswi di sekolah.
E mengakui bahwa pada dasarnya penggunaan kerudung memang merupakan simbol
agama dan mengikat khusus bagi yang beragama Islam saja. Hanya saja karena sudah
menjadi aturan seragam sekolah, maka ketentuan ini diminta agar diikuti siswi non-muslim
dalam bentuk anjuran agar tidak terasing dari lingkungan pergaulan karena jumlah mereka
yang biasanya sangat sedikit. E mengakui bahwa pada prinsipnya tidak boleh ada paksaan
bagi non-muslim dalam ajaran Islam untuk ikut berkerudung karena memang diwajibkan
hanya bagi muslimah. Beberapa kali E menegaskan hal itu dalam wawancara kami, namun di
saat yang sama E menyayangkan bahwa setahun belakangan ada seorang siswi beragama
Hindu yang menolak mengenakan kerudung.
Pengalaman J mengenakan kerudung setiap hari sekolah dimulai sejak SD, walaupun
hingga saat ini J juga belum menggunakan kerudung selain karena aturan di sekolah. J sudah
merasa terbiasa menggunakan kerudung dan merasakan ada manfaat baik yang bisa
didapatkan yaitu menjadi simbol yang memperkuat keimanan serta penjagaan diri dari
godaan pergaulan buruk. Walaupun sebenarnya J masih menyimpan rasa keberatan mengenai
aturan ini. Jika dibolehkan memilih, J merasa sebaiknya tidak usah diharuskan sebagai
seragam sekolah tapi dibiarkan kepada seluruh siswi muslimah memilih untuk menggunakan
atau tidak menggunakan kerudung. J juga merasa bahwa tidak ada banyak peluang untuk
mengubah aturan ini dengan posisi siswa.
Dalam wawancara, D menanggapi penjelasan penulis tentang penelitian ini bahwa tidak
pernah ada yang dinamakan Perda Syariah, yanga ada adalah Perda yang bernuansa
keagamaan. Dalam kaitannya dengan ketentuan berkerudung bagi siswi sekolah yang harus
dijalani non-muslim, D mengatakan tidak pernah ada ketentuan adat yang demikian
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
memaksakan bagi orang bukan Islam untuk mematuhi praktek ajaran agama Islam terlebih
simbol Islam berupa kerudung bagi muslimsh.Suku bangsa tidak masalah untuk menrima
asing menjadi bagian dari minang, tapi agama persoalan. Dalam hubungan dengan orang
bukan Islam, dia daianggap tamu yang dihormati di tanah Minang, namun tidak bisa menjadi
bagian dari Minang. Pun demikian non-muslim tidak akan kehilangan kebebasan dalam
menjalankan agamanya sejauh tidak mengganggu kedamaian bersama, persis seperti praktek
masa kenabian dulu di Madinah dengan non-muslim. Sehingga bagi D, jika ditemukan
keharusan menggunakan kerudung bagi siswi non-muslim adalah akibat dari kesalahpahaman
tentang adat Minangkabau.
SMAN 1 Batusangkar pun juga adalah SMA paling tua bahkan pernah menjadi satu-
satunya SMA yang ada di Batusangkar setidaknya hingga tahun 80an.8 Batusangkar
menerapkan ketentuan serupa SMAN 1 Padang bagi siswi non-muslim bahkan sejak sejak
tahun 2001. Ketika penulis melakukan penelitian pada 2015, ternyata tidak ada satupun Perda
yang mengatur mengenai hal ini.
A adalah satu-satunya siswi non-muslim di angkatan kelas 12 SMAN 1 Batusangkar
saat penelitian ini dilakukan. A harus ikut berkerudung sejak TK. Tidak pernah ada
penjelasan dari sekolah bahwa siswi non-muslim dibebaskan dari aturan tersebut. A sendiri
merasa sudah terbiasa dan jika dibolehkan untuk tidak berkerudung saat sekolah, dirinya
memilih tetap berkerudung agar tidak tampil asing sendirian. A merasa kerudung hanya
aturan formalitas seragam sekolah. Dirinya juga tidak pernah merasa diperlakukan
diskriminatif dalam hal lainnya selama bersekolah di SMAN 1 Batusangkar. W, Ibu kandung
dari A, sangat keberatan dengan berbagai nuansa Islam yang harus dijalani anak-anaknya di
sekolah negeri. Namun tidak ada pilihan lain karena fasilitas sekolah terbaik dan murah
adalah sekolah negeri, sementara dirinya dan suaminya memiliki keterbatasan penghasilan.
Y adalah Alumni SMAN 1 Batusangkar yang lulus pada tahun 1985. Y mengatakan
bahwa dulu namanya SMAN Batusangkar, karena hanya satu-satunya SMA di Batusangkar.
Pada masa itu, tidak ada semarak penggunaan kerudung, satu-satunya yang berkerudung di
sekolah adalah Guru Agama Islam. Y berpendapat simbol-simbol Islam yang dihidupkan
atas dorongan politik dari pemimpin ini mendapatkan dukungan masyarakat karena sangat
cocok dengan aspirasi masyarakat, sehingga diterima sekalipun hanya dengan surat himbauan
empat belas tahun lalu tanpa pernah dituangkan menjadi Perda.
8 Informasi ini penulis peroleh dari salah satu informan yang secara kebetulan penulis temui saat mencari salinan Perda Batusangkar di Kantor Bupati, informan ini menjabat sebagai Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat di Kabupaten Tanah Datar
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
Z selaku Ketua I Bidang Fatwa dan Hukum Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Tanah
Datar meyakinkan bahwa ketentuan berkerudung jelas diharuskan untuk perempuan beriman
saja. Dan dalam perspektf hukum, Z menegaskan setiap aspek syariat yang menjadi hukum
positif terbatas keberlakuannya untuk umat Islam. Adalah sebuah kesalahan jika sekolah
negeri sampai melarang siswi non-muslim bersekolah disana kalau tidak mau berkerudung. Z
menyimpulkan bahwa kasus semacam ini adalah persoalan kesalahpahaman oknum tertentu
dan bukan berasal dari ajaran Islam
Pembahasan
Secara yuridis, suatu norma yang telah memenuhi seluruh persyaratan formal
pembentukannya oleh pihak berwenang dan bersumber dari norma yang lebih tinggi maka
telah memiliki kekuatan berlaku. Secara sosiologis, suatu norma memiliki kekuatan berlaku
jika efektif berjalan dalam kehidupan masyarakat. Sudikno membaginya lagi menjadi dua
macam yaitu teori kekuatan dimana secara sosiologis ada pemaksaan dari penguasa sehingga
suatu norma dilaksanakan meskipun masyarakat tidak menerima norma tersebut dan teori
pengakuan dimana kekuatan berlakunya secara sosiologis karena penerimaan dan pengakuan
oleh masyarakat. Kesamaan dua teori ini terletak apakah suatu norma dilaksanakan atau tidak
oleh masyarakat.9 Hanya dengan dipenuhinya tiga unsur kekuatan berlakunya suatu norma
inilah maka norma tersebut dapat berfungsi dengan baik.
Berikut adalah pasal 14 j dalam Perda Kota Padang no.5 tahun 2011 yang isinya menjadi dasar penggunaan kerudung bagi siswi di sekolah,
Setiap peserta didik berkewajiban
j. mengikuti kegiatan pesantren ramadhan, wirid remaja dan didikan subuh dan
memakai seragam muslim/muslimah, pandai baca tulis Al-Qur’an, menghafal Juz
‘Amma dan Asmaul Husna bagi yang beragama Islam dan mengikuti kegiatan
sejenisnya bagi peserta didik yang beragama selain Islam.
Adapun di Batusangkar sejak 2001 hingga penelitian ini dilakukan pada 2015 tidak ada
perubahan landasan ketentuan penggunaan kerudung bagi siswi yaitu Surat Himbauan
Bupati no.451.4/556/Kesra-2001 tentang Berbusana Muslim/Muslimah. Penelusuran penulis
9 Op.cit., 95
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
baik melalui website resmi Pemda Tanah Datar hingga mendatangi langsung Bagian Hukum
dan Bagian Kesejahteraan Rakyat(Kesra) Kantor Bupati Tanah Datar mengonfirmasi bahwa
surat himbauan itu tidak pernah dicabut ataupun dituangkan dalam bentuk Perda. Bahkan,
saat penulis mengajukan permohonan salinannya, baik Bagian Kesra maupun Bagian Hukum
yang sama-sama bertanggung jawab langsung atas arsip tersebut menyatakan bahwa arsip
lama surat himbauan ini tidak ditemukan!
Atas dasar yuridis, Perda Kota Padang telah dibentuk oleh pihak dan kewenangan yang
sah berdasarkan norma yang lebih tinggi darinya. Sementara itu, Surat Himbauan Bupati
yang berlaku di Batusangkar diterbitkan pada tahun 2001 saat UU yang mengatur
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan belum dibuat. Bentuk aturan dalam bentuk
Surat Himbauan Bupati pun tidak secara tegas menyatakan sebagai Peraturan Kepala Daerah
yang bahkan dibuat dengan tidak mengacu pada ketentuan UU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan UU Pemerintahan Daerah yang berlaku saat ini. Penulis menilai
kondisi ini telah cukup menyebabkan hilangnya kekuatan berlaku yuridis Surat Himbauan
tersebut. Walaupun Bupati sebagai Kepala Daerah berwenang membentuk Peraturan Bupati ,
bentuk Surat Himbauan serta kenyataan bahwa pembuatannya tidak mengacu pada ketentuan
UU yang baru sebagai norma yang lebih tinggi, Surat Himbauan ini tidak dapat dikategorikan
sebagai Peraturan Perundang-undangan.
Mengenai materi muatan yang telah diatur batasannya dalam UU Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan UU Pemerintahan Daerah, ketentuan penggunaan
kerudung oleh siswi yang dimuat dalam Perda Kota Padang bagi siswi yang menjadi objek
studi kasus ini ternyata dibatasi pada siswi muslimah. Pengaturan ini tampak sejalan dengan
prinsip proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang
hayat dengan memberi keteladanan, membangun kemauan selama menjadi peserta didik.
Nilai dan norma keagamaan peserta didik dibudayakan dalam penyelenggaraan pendidikan
dengan membangun kemauan peserta didik yang diatur dalam UU no.20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional(UU Sistem Pendidikan Nasional) dan Peraturan Pemerintah
no.55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan(PP Pendidikan
Agama dan Pendidikan Keagamaan).
Dengan memperhatikan kenyataan bahwa ketentuan penggunaan kerudung pada
dasarnya adalah bagian dari norma Agama Islam khusus untuk perempuan muslim, penulis
menelusuri ketentuan penggunaan kerudung ini dapat berjalan dan diterima disebabkan fakta
sosiologis masyarakat Minangkabau yang telah berinteraksi dengan ajaran Islam sejak abad
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
ke-16.10 Maka kerudung sebagai bagian dari norma agama Islam juga dikenal sebagai atribut
pakaian perempuan Minangkabau sejak saat itu dengan beragam modifikasi bentuknya. Telah
terjadi pelembagaan norma yang demikian kuat di masyarakat mengenai atribut keagamaan
Islam termasuk kerudung yang juga dianggap sebagai simbol adat. Hal inilah yang
menyebabkan ketentuan penggunaan kerudung mendapatkan sambutan yang tanpa hambatan.
Pada saat yang sama, dapat dinilai pula bahwa para siswi non-muslim tidak berdaya
untuk menolak ketentuan penggunaan kerudung ini yang bahkan membuat informan dalam
penelitian ini merasa tidak nyaman jika harus tampil berbeda dengan tidak mengikuti
ketentuan penggunaan kerudung bagi siswi. Penulis menilai kekuatan berlaku sosiologis
ketentuan berkerudung yang diterapkan pada siswi menjadi begitu kuat dengan fakta sosial
begitu kuatnya pelembagaan yang terjadi di Sumatera Barat. Terlebih lagi, berdasarkan
kewenangan Kepala Daerah untuk memaksakan keberlakuan ketentuan ini lewat jalur yuridis
dengan Perda Kota Padang yang sebelumnya hanya dengan Instruksi Walikota maupun lewat
jalur kekuasaan sebagai Bupati dengan Surat Himbauan semata telah semakin
menguatkannya. Tidak adanya penentangan yang ditunjukkan oleh masyarakat dan bahkan
dengan adanya dukungan-dukungan yang diungkapkan baik terlihat melalui hasil survei
maupun langgengnya ketentuan-ketentuan norma Agama tersebut dengan atau tanpa menjadi
Perda adalah fakta bahwa masyarakat memang telah menerima kehadiran norma Agama
tersebut.
Kesimpulan
Dengan memperhatikan keseluruhan pendekatan sosio-legal yang telah penulis
uraikan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal yang akan menjawab
pertanyaan penelitian di awal.
Secara sosiologis, penerimaan masyarakat Sumetera Barat begitu mudah ketika
ketentuan penggunaan berkerudung bagi siswi sekolah diberlakukan walaupun pada awalnya
hanya sekadar instruksi dan himbauan oleh Kepala Daerah. Memang ada kenyataan bahwa 10 Lihat uraian Bab II
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
pada masa Orde Baru semarak keislaman tidak terlihat namun nilai-nilai Islam yang menyatu
dengan adat di masyarakat tidak pernah benar-benar hilang. Saat ketentuan penggunaan
kerudung dimuat dalam produk perundang-undangan berupa Perda, penulis menemukan
relevansi yuridis yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan Undang-Undang serta
Peraturan Pemerintah yang berkaitan dalam rangka pendidikan agama bagi peserta didik.
Telah dikemukakan analisis yuridis dalam bagian keempat penelitian ini. Bahkan yang
menarik adalah kasus di Batusangkar dimana tidak ditemukan produk hukum Negara yang
menjadi landasannya namun tetap berjalan konsisten selama belasan tahun. Oleh karena itu,
penulis menyimpulkan bahwa secara sosiologis. dan yuridis, tidak ada masalah dalam
ketentuan ini.
Hanya saja, dalam pendekatan bidang sosial semi-otonom dapat dilihat bahwa terjadi
bias yang mengkhawatirkan dalam tataran pelaksanaan ketentuan penggunaan kerudung bagi
siswi di SMAN 1 Padang dan SMAN 1 Batusangkar. Tidak adanya sosialisasi dan penegasan
bagi para siswi non-muslim untuk menggunakan haknya tidak ikut menggunakan kerudung
telah mengakibatkan lahirnya persepsi intoleran yang melanggar hak-hak konstitusional yang
juga disepakati oleh ajaran agama Islam serta adat Minangkabau di Sumatera Barat itu sendiri
mengenai hak beragama. Hal ini karena tidak dapat dielakkan bahwa keharusan berkerudung
adalah sebuah norma agama yang mengikat hanya bagi perempuan muslim. Walaupun di
antara informan ada yang memilih mengikuti ketentuan yang diberlakukan pihak sekolah,
jelas lebih disebabkan oleh tekanan yang kuat dari bidang sosial semi-otonom bernama
sekolah.
Seperti yang telah diuraikan dalam bagian analisis terhadap berbagai data yang
penulis himpun, dalam kasus di SMAN 1 Padang dapat ditelusuri bahwa ketentuan
penggunaan kerudung dari norma agama Islam yang diakomodasi dalam hukum Negara baru
memiliki legitimasi yuridis pada tahun 2011 ketika Walikota Fauzi Bahar bersama DPRD
Kota Padang menuangkan isi Instruksi Walikota pada tahun 2005 terkait ketentuan tersebut
menjadi Perda no.5 tahun 2011. Baik Instruksi Walikota maupun Perda berisi redaksi yang
mirip dalam hal jaminan atas hak bagi siswi non-muslim untuk tidak terikat ketentuan
penggunaan kerudung sebagai seragam sekolah. Terdapat kata “menyesuaikan” bagi siswi
non-muslim. Bahkan dalam Instruksi Walikota telah memberikan penjelasan lebiih detil
mengenai model seragam yang harus dikenakan yaitu bagi non-Muslim dianjurkan
menyesuaikan pakaian (memakai baju kurung bagi perempuan dan memakai celana panjang
bagi laki-laki). Ketika berubah menjadi Perda, terdapat pengaturan hak-hak yang
mendasarkan pada prinsip toleransi yang tegas dimana Perda mewajibkan seluruh peserta
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
didik melaksanakan kewajiban atau perintah agama yang dianutnya dan menghormati
pelaksanaan ibadah peserta didik lainnya.
Dengan pengakuan para informan bahwa dalam sudut pandang norma adat dan norma
Agama Islam yang menyatu di Sumatera Barat bahwa tidak satupun isi dari tatanan normatif
keduanya memaksa non-muslim agar ikut menjalankan kewajiban berkerudung yang hanya
mengikat bagi perempuan muslim, maka kasus penggunaan kerudung bagi siswi non-muslim
menjadi tidak memiliki landasan yuridis. Hal yang serupa juga terjadi di SMAN 1
Batusangkar yang bahkan tidak memiliki landasan yuridis dengan kenyataan Surat Himbauan
Bupati bukanlah produk hukum Negara. Arsip himbauan tersebut juga tidak lagi dapat
ditelusuri keberadaannya untuk menganalisis isinya. Hanya saja, dalam kedua kasus
ditemukan kenyataan bahwa sosialisasi agar siswi non-muslim ikut menggunakan kerudung
dalam berseragam sekolah sama-sama dijalankan oleh pihak sekolah. Penulis tidak
menemukan bahwa pihak sekolah melakukan sosialisasi atas hak siswi non-muslim untuk
menjalankan keyakinannya terhadap penggunaan kerudung yang pada dasarnya bersunber
dari norma Agama Islam.
Di kedua bidang sosial semi-otonom tersebut penulis menyimpulkan bahwa pada
akhirnya yang membuat siswi non-muslim mengikuti untuk menggunakan kerudung adalah
keengganan untuk bermasalah dengan pihak sekolah, kekhawatiran terkucil dari pergaulan
dengan kenyataan bahwa jumlah mereka sangat sedikit. Kepatuhan mereka didorong oleh
ketiadaan posisi tawar sebagai minoritas non-muslim terhadap pihak sekolah dan keinginan
dapat terus bertahan menjadi bagian dari tempatnya bersekolah. Kondisi sosiologis Sumatera
Barat yang begitu kental dengan Islam tampaknya juga membuat mereka yang minoritas
semakin terpaksa patuh. Hal ini menjadi jelas ketika pada tahun 2015 ada satu orang siswi
non-muslim di SMAN 1 Padang menjadi satu-satunya siswi non-muslim yang dibolehkan
untuk tidak berkerudung sejak ketentuan tersebut dipraktekkan pada tahun 2005. Siswi non-
muslim ini melakukan advokasi secara langsung melalui orangtuanya terhadap pihak sekolah,
dimana orangtuanya tersebut adalah seorang pejabat di Kantor Wilayah Kementerian Agama
Sumatera Barat. Adapun di Batusangkar, informan yang merupakan orangtua salah satu siswi
non-muslim hanya seorang pedagang kecil yang tidak pernah terpikirkan untuk berurusan
dengan pihak sekolah.
Saran
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
Penulis mengajukan saran bagi penelitian lanjutan, pemangku kebijakan, dan bagi
pelaksana teknis di lapangan. Akan jauh lebih baik jika pada penelitian selanjutnya dilakukan
perluasan informan serta ruang lingkup penelitian sosio-legal ini untuk mendapatkan
gambaran yang lebih lengkap. Bagi para pemangku kebijakan perlu untuk lebih berhati-hati
dalam merumuskan kejelasan pengaturan yang mengakomodasi norma Agama serta
peraturan pelaksananya agar tidak terjadi bias seperti di dalam studi kasus. Adapun bagi
pelaksana teknis di lapangan perlu untuk memastikan tujuan dari aturan yang memuat norma
Agama dan memberikan ruang bagi pelaksanaan hak dari subjek hukum yang berada di luar
lingkup pengaturan bermuatan norma agama tersebut.
Kepustakaan
Buku Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan [The Social
Construction of Reality], diterjemahkan oleh Hasan Basari. Jakarta: LP3ES Lukito, Ratno. 2008. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler. Jakarta: Pustaka Alvabet. Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan I. Yogyakarta: Kanisius. Jurnal Moore, Sally Folk, “Law and Social Change: The Semi-Autonomous Social Field as an
Appropriate Subject of Study”, Law & Society Review, Vol. 7, No. 4 (Summer, 1973), pp. 719-746
Salim, Arskal. “Perda Berbasis Agama dan Perlindungan Konstitusional Penegakan HAM”,
Jurnal Perempuan no.60, (September, 2008), hlm.81-92
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 8
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244
Peraturan Pemerintah No.55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan
Keagamaan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 124
Peraturan Daerah Kota Padang No. 5 tagun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 5
Peraturan Daerah ..., Normand Edwin Elnizar, FH UI, 2016