bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah drs. h

25
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H. Soedarna T.M., wakil Gubernur Jawa Barat, di sela-sela kunjungannya ke Dusun Susuru pada tahun 2003 mengatakan “Dusun [Susuru] ini luar biasa, disini ada tiga kelompok yang memiliki keyakinan beragama yang berbeda. Namun mereka sangat toleran.1 Di tengah-tengah meningkatnya kekerasan atas nama agama di berbagai tempat di Indonesia, Susuru sebagai salah satu dusun terpencil di Jawa Barat menjadi perhatian media massa terutama sejak Kompas menurunkan berita dengan judul “Damai di Dusun Susuru.2 Daya tarik kerukunan masyarakat Dusun Susuru mencuat kembali ketika Kompas menulis kembali dengan judul “Keguyuban di Lembah Ciamis.3 Pemberitaan tersebut menjadi sangat menarik ketika di banyak tempat- terutama di Jawa Barat- fakta perbedaan kerap menjadi penyebab terjadinya tindakan intoleransi. Meski banyak faktor yang berperan, salah satu penyebab intoleransi adalah identitas agama. Laporan-laporan banyak pihak yang menaruh perhatian pada kehidupan beragama di Indonesia, seperti The Wahid Institute, 4 1 Pikiran Rakyat, 06 Januari 2003. 2 Kompas, 12 Desember 2001. 3 Kompas, 13 Agustus 2012. 4 “Lampu Merah Kebebasan Beragama, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia 2011.”http://www.wahidinstitute.org/Berita/Detail/?id=424/hl=id/Indonesia_Lampu_Merah_Pelan ggaran_Kebebasan_Beragama, diakses tanggal 20 Maret 2013.

Upload: phungtruc

Post on 13-Jan-2017

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Drs. H. Soedarna T.M., wakil Gubernur Jawa Barat, di sela-sela

kunjungannya ke Dusun Susuru pada tahun 2003 mengatakan “Dusun [Susuru] ini

luar biasa, disini ada tiga kelompok yang memiliki keyakinan beragama yang

berbeda. Namun mereka sangat toleran.”1 Di tengah-tengah meningkatnya

kekerasan atas nama agama di berbagai tempat di Indonesia, Susuru sebagai salah

satu dusun terpencil di Jawa Barat menjadi perhatian media massa terutama sejak

Kompas menurunkan berita dengan judul “Damai di Dusun Susuru.”2 Daya tarik

kerukunan masyarakat Dusun Susuru mencuat kembali ketika Kompas menulis

kembali dengan judul “Keguyuban di Lembah Ciamis.”3

Pemberitaan tersebut menjadi sangat menarik ketika di banyak tempat-

terutama di Jawa Barat- fakta perbedaan kerap menjadi penyebab terjadinya

tindakan intoleransi. Meski banyak faktor yang berperan, salah satu penyebab

intoleransi adalah identitas agama. Laporan-laporan banyak pihak yang menaruh

perhatian pada kehidupan beragama di Indonesia, seperti The Wahid Institute,4

1 Pikiran Rakyat, 06 Januari 2003.

2 Kompas, 12 Desember 2001.

3 Kompas, 13 Agustus 2012.

4 “Lampu Merah Kebebasan Beragama, Laporan Kebebasan Beragama dan Toleransi di Indonesia

2011.”http://www.wahidinstitute.org/Berita/Detail/?id=424/hl=id/Indonesia_Lampu_Merah_Pelan

ggaran_Kebebasan_Beragama, diakses tanggal 20 Maret 2013.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

2

Setara Institute,5 dan Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for

Religious and Cross-Cultural Studies),6 menempatkan Jawa Barat sebagai

provinsi yang paling banyak terjadi kekerasan atas nama agama dan keyakinan.

Laporan-laporan tersebut seolah-olah menjustifikasi bahwa baik pemerintah pusat

atau pemerintah daerah maupun elit-elit agama, khususnya di Jawa Barat, belum

berhasil dalam membina kerukunan umat beragama. Namun, di tengah laporan-

laporan “hitam” tentang Jawa Barat, masih ada daerah-daerah terpencil di Jawa

Barat dengan beragam agama dan keyakinan yang sudah lama hidup rukun dan

damai. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada “titik putih” di tengah “catatan

hitam” Jawa Barat. Salah satunya adalah Dusun Susuru.

Dusun Susuru adalah sebuah gambaran masyarakat yang multirelijius.

Populasi penduduknya terdiri dari empat agama yang berbeda; yakni Islam 699

orang, Katolik 114 orang, Sunda Wiwitan 54 orang, dan Kristen Protestan 3

orang. 7

Pada awalnya semua penduduk Susuru beragama Islam, akan tetapi pada

paruh pertama abad ke-20, salah seorang penduduk Susuru yaitu Ki Sumarta

memutuskan untuk mencari ilmu kemanusiaan.8 Dalam usahanya itu dia pergi ke

5 Setara Institute, “Report on Freedom of Religion and Belief in 2011”. http://www.setara-

institute.org/en/content/report-freedom-religion-and-belief-2011, diakses tanggal 20 Maret 2013. 6 “Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2012”. http://crcs.ugm.ac.id/downloads,

diakses tanggal 20 Februari 2013. 7 Monografi Desa Kertajaya Kecamatan Panawangan Tahun 2012.

8 Menurut Pangeran Djatikusumah ilmu kemanusiaan adalah “ilmu manusia yang bertujuan untuk

mencapai “sampurnaning hirup, sajatining mati” (kesempurnaan hidup dan kematian yang sejati)

dengan mengamalkan dan memegang teguh tuntunan pikukuh tilu, yaitu, 1) ngaji badan, 2) mituhu

kana taneuh, 3) madep ka ratu raja 3-2-4-5 lilima 6.” (untuk penjelasan pikukuh tilu lihat Bab 2

hal. 42). P. Djatikusumah, et.all., 2000, Adat Karuhun Urang : Pemaparan Budaya Spiritual,

Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), Cigugur, hal. 33-34.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

3

Cigugur-Kuningan. Di sana ia bertemu dan berguru kepada Pangeran Madrais9

yang berasal dari Keraton Gebang. Setelah selesai, Ki Sumarta kembali ke Dusun

Susuru dan menyebarkan ajaran Kyai Madrais yang dikenal dengan ADS (Agama

Djawa Sunda). Tahun 1964 ADS membubarkan diri karena tekanan dari

pemerintah. Pangeran Tejabuana Alibassa sebagai pimpinan ADS saat itu

memerintahkan pengikutnya untuk memeluk salah satu agama yang diakui

pemerintah, maka di antara pengikut-pengikutnya di Dusun Susuru ada yang

pindah memeluk agama Katolik, Islam, dan Kristen Protestan.10

Mulai saat itulah

Susuru menjadi sebuah Dusun multirelijius.

“Dialog dimulai saat orang-orang bertemu,”11

demikian dikemukakan

Martin Forward. Sejak awal abad 20 (sekitar tahun 1900-an) warga Susuru yang

beragama Islam mulai bertemu, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan penganut

Sunda Wiwitan. Pada 1964, penduduk Susuru yang menganut Islam dan Sunda

Wiwitan mulai berinteraksi dengan penganut agama Katolik dan Kristen

Protestan. Dalam kehidupan multirelijius, sejak awal abad 20, warga Susuru

9 Pangeran Madrais adalah pendiri dan penyebar ajaran Sunda Wiwitan di daerah Cigugur

Kuningan dan sekitarnya. Pada awalnya ajaran Kyai Madrais dikenal dengan ADS (Agama Djawa

Sunda) tetapi pada tahun 1964 ADS membubarkan diri karena tekanan pemerintah. Kemudian

pada tahun 1981 berganti nama menjadi PACKU (Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang).

PACKU hanya berjalan satu tahun karena pada tahun 1982 dibubarkan oleh pemerintah melalui

Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Sekarang di bawah kepemimpinan Pangeran Djatikusumah –cucu

Pangeran Madrais- penganut Sunda Wiwitan menyebut ajarannya dengan sebutan Masyarakat

AKUR (Adat Karuhun Urang). Lihat Didi Wiardi, 2012, “Bertahan Untuk Tidak Gugur, Religi

(Adat) Cigugur” dalam Budi Susanto (ed.), Sisi Senyap Politik Bising, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta, hal. 175-176. 10

A.M. Basuki Nursananingrat, 1977, Umat Katolik Cigugur: Sejarah Singkat Masuknya Ribuan

Orang Penganut ADS menjadi Umat Katolik, Penerbitan Yayasan Kanisius, Yogyakarta, hal. 24. 11

Martin Forward, 2001, Interreligious Dialogue: a Short Introduction, Oxford: Oneworld, hal. 11

dan JB. Banawiratma., et. all., 2010, Dialog Antarumat Beragama: Gagasan dan Praktik di

Indonesia, Jakarta, Penerbit Mizan Publika, hal. 7.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

4

berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang yang berbeda agama. Perbedaan

agama tidak menjadi penghalang bahkan menjadi kekuatan yang menyatukan

warga Susuru. Toleransi dipraktikkan dalam aktivitas sosial dan aktivitas

keagamaan. Bagi masyarakat Susuru kebersamaan lebih penting daripada

formalitas ritual. Dengan demikian, tidak aneh, jika ada orang Muslim mengikuti

perayaan natal di Gereja. Sebaliknya, ketika umat Islam merayakan idul fitri atau

idul adha, penganut agama Katolik dan Sunda Wiwitan ikut berbaur bersama

untuk merayakannya dan mengucapkan selamat.12

Kerukunan masyarakat Dusun Susuru nampak paling tidak dalam dua hal:

Pertama, dari pola relasi antar umat beragama dalam lingkungan keluarga. Setiap

anggota keluarga menerima dan menghormati anggota keluarganya yang

memeluk agama yang berbeda. Bahkan konversi agama karena keinginan sendiri

atau akibat dari pernikahan antar-iman (interfaith marriage) tidak menjadi

penghalang terhadap keharmonisan keluarga. Dalam hal ini, orang tua

membebaskan anak-anaknya untuk memilih agama sesuai dengan keinginannya

sendiri.13

Kedua, realitas kerukunan tercermin dalam lingkungan sosial

masyarakat. Dalam pergaulan sosial dan kehidupan sehari-hari sikap rukun

tampak lebih menonjol. Setiap warga masyarakat terlibat dalam aktivitas sosial

maupun aktivitas keagamaan. Di antaranya dalam aktivitas sosial, mereka terlibat

dalam pembangunan rumah-rumah ibadah, pesta pernikahan, dan bersih desa.

12

Pikiran Rakyat, 01 April 2003. 13

Kompas, 12 Desember 2001.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

5

Dalam aktivitas keagamaan mereka menghadiri hari-hari besar keagamaan dan

mengikuti ritual tahlilan (mendoakan orang meninggal).

Berdasarkan realitas di atas, Dusun Susuru bisa dilihat sebagai kasus

penting yang bisa menunjukkan bahwa perbedaan agama tidak menjadi pemicu

tindakan intoleransi bahkan menjadi energi yang menciptakan kerukunan antar

umat beragama. Penelitian ini akan mengkaji kondisi-kondisi yang ada di Susuru

yang memungkinkan terciptanya situasi damai. Secara khusus, penelitian ini akan

mengamati beberapa aktivitas di mana tiga komunitas tersebut ikut terlibat.

Aktivitas yang melibatkan tiga komunitas agama tersebut di antaranya; kehidupan

sehari-hari, pesta pernikahan, pemakaman dan tahlilan, pembangunan mesjid,

pesantren, gereja, dan rumah adat; perayaan hari-hari besar keagamaan; dan bersih

desa. Aktivitas-aktivitas tersebut akan dijadikan objek penelitian untuk melihat

lebih dalam faktor-faktor yang mendukung konstruksi perdamaian di Susuru.

1.2 Rumusan Masalah

Kerukunan di Dusun Susuru seperti yang telah dijelaskan di atas adalah

berdasarkan penilaian lahiriah saja. Sebagai contoh penilaian lahiriah tersebut bisa

berupa tidak adanya konflik (latent) yang bereskalasi menjadi konflik besar

(manifest) selama bertahun-tahun, meskipun ada konflik-konflik kecil yang

terjadi. Untuk menilai kedamaian diperlukan pengamatan yang mendalam dengan

melihat berbagai aspek dalam masyarakat tersebut termasuk wujud-wujud

integrasi masyarakat. Di balik situasi damai tersebut tentu ada kondisi-kondisi

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

6

yang memungkinkan terciptanya situasi damai. Kondisi-kondisi tersebut

direproduksi dari generasi ke generasi melalui kegiatan-kegitan bersama. Maka

penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui:

1. Apa saja wujud-wujud integrasi masyarakat Susuru?

2. Faktor apa saja yang menjadi konstruksi perdamaian di Susuru?

1.3 Tinjauan Pustaka

Kajian mengenai konstruksi perdamaian sudah banyak dilakukan. Secara

umum ada dua aktor yang berperan dalam membangun konstruksi perdamaian;

yaitu; negara (state) dan masyarakat (civil society). Namun demikian untuk

kepentingan teoritis, tinjauan pustaka dalam penelitian ini hanya akan membahas

konstruksi perdamaian yang dibangun masyarakat (civil society). Menurut

Tadjoeddin, konstruksi perdamaian dalam masyarakat dibagi dua; pertama, yang

menekankan pentingnya integrasi massa, dan; kedua, menekankan pentingnya

integrasi elit (masyarakat).14

Maka tinjauan pustaka dalam penelitian ini hanya

akan membahas dua kelompok pembahasan. Pembahasan pertama literatur yang

berbicara tentang integrasi massa dan pembahasan kedua literatur yang membahas

tentang integrasi elit.

Pembahasan pertama mengenai integrasi massa menekankan pentingnya

jaringan kewargaan lintas komunitas. Banyak penelitian yang membahas

14

Muhammad Zulfan Tadjoeddin, 2004, “Civil Society Engagement and Communal Violence:

Reflection of Various Hypotheses in the Context of Indonesia”, dalam Politics Administration and

Change, No. 42, July-December, hal. 3-7.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

7

pentingnya integrasi massa untuk menciptakan situasi damai. Meskipun istilah

yang digunakan ilmuwan tidak selalu dengan integrasi massa namun kajian

mereka mengenai hubungan civil society dan kekerasan komunal membahas

tentang pentingnya jaringan kewargaan atau yang disebut dengan istilah network

of civic engagement atau civic networks yang menunjukkan integrasi massa.

Di antara penelitian yang mengkaji pentingnya network of civic

engagement adalah Robert Putnam dalam bukunya Making Democracy Work.

Berdasarkan penelitiannya di Italia, Putnam berargumen bahwa semakin kuat

jaringan kewargaan dalam sebuah masyarakat, semakin kecil kemungkinan

terjadinya kekerasan komunal antar warga. Hal itu ditunjukkan oleh keberhasilan

warga Italia utara meredam potensi kekerasan komunal dibandingkan dengan

warga Italia selatan. Fakta menunjukkan bahwa civic engagement di Italia Utara

lebih kuat dibandingkan di Italia selatan.15

Lebih jauh Putnam menyebut bahwa

jaringan keterlibatan warga (civic engagement) yang menumbuhkan sikap saling

percaya antar sesama warga (interpersonal trust) sebagai modal sosial (social

capital). Dengan adanya modal sosial berupa sikap saling percaya, norma-norma,

dan jaringan kewargaan (civic engagement) maka akan meningkatkan efisiensi

masyarakat dalam melakukan tindakan-tindakan yang terkoordinasi dengan

baik.16

Dengan kata lain, semakin kuat jaringan kewargaan dalam masyarakat,

semakin besar kemungkinan bagi warganya untuk bekerja sama dalam mencapai

15

Robert D. Putnam, 1993, Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy,

Princeton, Princeton University Press, hal. 174. 16

Ibid. hal, 167.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

8

tujuan bersama termasuk koordinasi dalam meredam potensi konflik. Senada

dengan Putnam, Dhavan D. Syah yang melakukan penilaian secara individual

tentang social capital, menyimpulkan bahwa civic engagement mempunyai peran

yang sangat signifikan dalam menumbuhkan tingkat kepercayaan antar personal

dalam masyarakat. Lebih jauh, Syah berargumen bahwa partisipasi dalam

berbagai aktivitas kemasyarakatan memungkinkan setiap individu mendapatkan

pengalaman yang positif tentang komunitas lain.17

Jaringan kewargaan yang dimaksud Putnam mencakup jaringan kewargaan

formal maupun informal. Jaringan kewargaan formal bisa dalam bentuk asosiasi

(civic association) dan keterlibatan warga yang bersifat informal seperti makan

malam bersama, saling mengunjungi, pertemuan di warung, jalan dan lain-lain.

Namun demikian Putnam tidak menjelaskan pola relasi itu mencakup komunitas

yang sama (intra-komunitas) atau lintas komunitas. Bagi Putnam, semakin banyak

jaringan kewargaan dalam sebuah masyarakat semakin berpotensi menjadi modal

sosial yang dapat membantu masyarakat dalam menciptakan situasi damai.

Ashutosh Varshney dalam bukunya Ethinc Conflict and Civic Life: Hindus and

Muslim in India mengkonfirmasi penelitian Putnam, Varshney mengatakan bahwa

jaringan kewargaan antar komunitas berupa partisipasi warga dalam kegiatan

bersama (civic engagement) dapat mencegah potensi konflik.18

Meski demikian

17

Dhavan Syah, 2002, “Civic Engagement, Interpersonal Trust and TV Use: an Individual-Level

Assessment of Social Capital”, dalam Political Psychology 19, No. 3, hal. 469-496. 18

Ashutosh Varshney, 2002, Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslim in India, New

York, Yale University Press, hal. 363.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

9

terdapat perbedaan Putnam dan Varshney. Putnam tidak membedakan pola relasi

intra dan inter komunitas sementara Ashutosh Varshney dalam artikelnya Ethnic

Conflict and Civil Society: India and Beyond, membedakan pola relasi warga

dalam komunitas (intra-community engagement) dan antar komunitas (inter-

community engagement). Varshney berargumen bahwa kedua pola relasi tersebut

mempunyai fungsi yang berbeda dalam meredam konflik. Varshney menjelaskan

bahwa dalam pola relasi intra-community hubungan dengan komunitas lain sangat

lemah sehingga sangat rentan terjadinya konflik antar komunitas. Sebaliknya pada

pola relasi inter-community hubungan dengan komunitas lain sangat intensif

sehingga berkontribusi dalam meminimalisir terjadinya kekerasan komunal.19

Hal

itu ditunjukkan berdasarkan penelitian Varshney di kota-kota India yang sering

terjadi konflik antara Muslim dan Hindu. Selain pembagian inter dan intra

komunitas, Varshney juga membagi civic engagement yang bersifat formal (inter-

communal association) dan informal (quotidian interaction). Secara spesifik

Varshney meyakini bahwa di kota-kota India, pola relasi antar warga dalam

asosiasi (inter-communal association) dapat mengurangi kekerasan komunal.

Berdasarkan penelitiannya, Varshney berargumen bahwa beberapa kota di India

yang terdapat asosiasi antar komunitas banyak terbentuk „komisi-komisi

perdamaian‟ ketika terjadi konflik antara Muslim dan Hindu sehingga konflik

tidak bereskalasi.

19

Ashutosh Varshney, 2001, “Ethnic Conflict and Civil Society: India and Beyond”, dalam World

Politics, Vol. 53, No. 3 (Apr), hal. 362-398.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

10

Selain integrasi massa, James D. Fearon dan David D. Laitin dalam

artikelnya Explaining Interethnic Cooperation menambahkan pentingnya

mekanisme penyelesaian konflik di tingkat massa. Fearon menjelaskan dua

mekanisme penyelesaian konflik di tingkat massa yaitu; spiral equilibria dan in-

group policing equilibria. Mekanisme spiral equilibria adalah pencegahan konflik

dengan menekankan diri pada keseimbangan bersama, sehingga ketika ada konflik

antara dua orang, maka mereka akan berusaha keras untuk mencegah

menyebarnya konflik itu agar tidak menjadi konflik antar kelompok yang lebih

besar. Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga dan memelihara kestabilan

hubungan antar kelompok tersebut. Sementara mekanisme in-group policing dapat

mencegah tensi konflik tidak melebar menjadi konflik lintas komunitas karena

penyelesaian dilakukan dalam internal komunitas. Secara sederhana in-group

policing diartikan sebagai kemampuan komunitas untuk mengontrol dan memberi

sangsi bagi anggota komunitasnya yang membuat masalah dengan komunitas lain.

Aktor dalam mekanisme in-group policing adalah tokoh komunitas atau lembaga

tertentu dalam komunitas yang memiliki pengaruh dalam komunitasnya. Terkait

penyelesaian masalah yang melibatkan komunitas lain terkadang memperumit

masalah dan berpotensi menjadikan konflik meluas. Mekanisme in-group policing

dimaksudkan untuk menciptakan hubungan antar komunitas yang harmonis

meskipun ada konflik di antara komunitas.20

20

James. D. Fearon dan David D. Laitin, 1996, “Explaining Interethnic Coopearation” dalam the

American Political Science Review, Vol. 90, No. 4, hal. 715.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

11

Berbeda dengan Putnam dan Varshney yang menekankan pentingnya

integrasi di tingkat massa melalui civic engagement, Tadjoeddin menambahkan

integrasi elit sebagai faktor yang mendukung situasi damai. Integrasi elit

dibutuhkan ketika integrasi di tingkat massa sulit dilakukan. Bagi masyarakat

Indonesia yang feodal maka integrasi elit bisa jadi faktor penting untuk mencegah

konflik. Tadjoeddin meyakini bahwa segregasi antar elit hanya akan terjadi di

tingkat elit dan tidak akan melebar ke tingkat massa. Sementara pertikaian di

tingkat massa akan memudahkan konflik pecah.21

Tadjoeddin mengatakan bahwa

konflik Poso di Sulawesi Tengah memberikan gambaran bahwa integrasi di

tingkat massa tidak cukup kuat untuk memelihara perdamaian ketika elit

tersegregasi. Penelitian Ahnaf dan Aziz di Lasem mengenai koeksistensi Santri-

Cina mengkonfirmasi teori Tadjoeddin tentang integrasi elit. Ahnaf dan Aziz

melihat bahwa integrasi di tingkat massa di Lasem tidak cukup kuat untuk

meredam konflik. Lebih jauh Ahnaf dan Aziz menjelaskan kultur masyarakat

Lasem yang relijius dan cendrung menempatkan Kyai sangat tinggi berpotensi

merusak kultur integrasi di tingkat massa jika tokoh-tokoh Muslim yang

berpengaruh tidak lagi mendukung koeksistensi Jawa-Cina. Keberadaan tokoh

Muslim dan tokoh Cina yang mempunyai pengaruh cukup kuat dalam

memperjuangkan pembauran antar Muslim dan etnis Cina mendukung integrasi

massa. Tentu tidak semua tokoh-tokoh di Lasem pro-koeksistensi; beberapa

21

Muhammad Zulfan Tadjoeddin, 2004, “Civil Society Engagement and Communal Violence:

Reflection of Various Hypotheses in the Context of Indonesia”, dalam Politics Administration and

Change, No. 42, July-December, hal. 7-8.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

12

bahkan membangun wacana yang mengancam integrasi. Namun demikian, tokoh-

tokoh pro-integrasi Lasem masih mempunyai pengaruh yang lebih kuat dalam

mempertahankan koeksistensi.22

Terkait kondisi-kondisi yang memungkinkan terciptanya situasi damai,

Luc Reychler menjelaskan lima situasi yang memungkinkan terwujudnya situasi

damai. Pertama, berfungsinya saluran komunikasi yang memungkinkan

terjadinya diskusi dan koreksi terhadap penyebaran informasi yang berpotensi

menjadi konflik antar komunitas. Kedua, adanya lembaga yang mendukung

perdamaian (peace-enhancing institution). Ahnaf dan Aziz menyebut lembaga

tersebut sebagai lembaga penyelesaian konflik baik yang formal atau informal.23

Ketiga, adanya lingkungan sosial yang integratif yang memungkinkan interaksi

lintas komunitas dalam masyarakat. Dalam persepektif Putnam dan Varshney,

inilah yang mereka sebut dengan civic network atau civic engagement. Keempat,

lingkungan regional atau internasional yang mendukung perdamaian (supportive

regional and international environment). Kelima, adanya tokoh masyarakat

pendukung perdamaian dalam proporsi yang memadai (critical mass of peace-

building leadership).24

Kelima kondisi di atas tidak bersifat mesti ada, sebagai contoh Ahnaf dan

Aziz dalam penelitiannya di Lasem tidak memasukan kondisi keempat, yaitu;

22

M. Iqbal Ahnaf dan Munawir Aziz, 2012, Mengelola Keragaman dari Bawah, Koeksistensi

Santri-Tionghoa di Lasem, Jawa Tengah, Laporan Penelitian, SPs Press, hal. 40. 23

Ibid., hal. 33. 24

Luc Reychler, 2006, “Challenges of Peace Research” dalam International Journal of Peace

Studies, Vol. 11, No. 1, Spring/Summer, hal. 1- 16.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

13

lingkungan regional dan internasional yang mendukung perdamaian; karena

kondisi-kondisi yang dijelaskan Reychler adalah dalam konteks hubungan antar

negara. Dengan kata lain, kondisi-kondisi tersebut bisa dimodifikasi disesuaikan

dengan situasi dan kondisi objek studi. Namun demikian, Reychler meyakini

dalam konteks negara dengan adanya kondisi-kondisi tersebut memungkinkan

terjadinya situasi damai.

Pritti M.K. Rana dalam Ethnic Peace in Malaysia menekankan pentingnya

civic engagement untuk mencegah kekerasan etnis. Dalam penelitiannya Rana

mencoba membahas interethnic civic engagement antara etnis Melayu dan Cina

sebelum dan sesudah tahun 1980an. Pada Tahun 1967 dan 1969, ketika terjadi

resesi ekonomi di Malaysia, aksi demonstrasi yang terjadi melebar menjadi

kekerasan etnis dimana etnis Cina menjadi objek kekerasan. Sementara kekerasan

etnis itu tidak muncul lagi sekitar tahun 1980-1990, meskipun situasinya sama

yaitu ketika terjadi krisis ekonomi dan terjadi demonstrasi besar-besaran. Hal ini,

menurut Rana, akibat dari meningkatnya interethnic civic engagement antara etnis

Melayu dan Cina di sektor ekonomi dengan prinsip saling menguntungkan.25

Literatur tersebut di atas adalah literatur yang secara umum telah berbicara

mengenai konstruksi perdamaian yang menekankan pentingnya integrasi di

tingkat massa dan elit serta adanya mekanisme penyelesaian konflik dalam

komunitas. Penelitian tersebut mencakup penelitian dalam konteks negara

termasuk negara Indonesia yang akan sangat berguna bagi pengkayaan diskusi

25

Pritti M.K. Rana, 2012, Ethnic Peace in Malaysia, Thesis, Leiden University, hal. 58-60.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

14

dalam penelitian mengenai kondisi-kondisi yang mendukung terciptanya situasi

damai. Penelitian penulis akan sangat berbeda dengan penelitian-penelitian yang

lain karena berangkat dari studi konteks sosial dalam lingkup kecil yaitu

masyarakat Susuru. Kasus Susuru menarik untuk dicermati bukan hanya karena

adanya heterogenitas penduduknya, namun juga karena pola interaksi warga

dalam kegiatan keagamaan (interreligious engagement) dilakukan dengan

menembus batas-batas teologis agama masing-masing. Penelitian ini juga lebih

banyak melihat kegiatan-kegiatan informal (everyday civic engagement) yang

terjadi di masyarakat Susuru daripada partisipasi masyarakat dalam kelembagaan

(association of civic engagement).

Secara khusus, penting juga dibahas dalam tinjauan pustaka ini penelitian

yang pernah dilakukan di Susuru, yaitu penelitian Akhmad Satori dan Dedi

Ahimsa Riyadi. Penelitian pertama membahas tentang masyarakat Susuru sebagai

model masyarakat pancasila dan penelitian kedua mengenai masyarakat Susuru

yang mengalami kegamangan dan situasi liminal dalam kehidupan

keberagamaannya. Akhmad Satori, berdasarkan penelitian di Susuru

menyimpulkan bahwa nilai-nilai kebangsaan dan nilai-nilai luhur pancasila pada

prinsipnya sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat Susuru, seperti gotong

royong, saling menghormati, dan menghargai. Salah satu nilai yang tertanam

dalam masyarakat Susuru adalah “Bhineka Tunggal Ika”. Mereka merasa

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

15

walaupun mereka berbeda-beda agama dan keyakinan namun mereka merasa satu

sama lain saudara se-bangsa dan se-tanah air.26

Sementara Dedi Ahimsa Riyadi menjelaskan bahwa masyarakat Susuru

terutama umat Katolik dan pengikut Sunda Wiwitan mengalami kegamangan dan

situasi liminal dalam beragama. Penyebab utamanya adalah masuknya mereka ke

agama Katolik bukan didasari oleh keyakinan akan kebenaran agama Katolik

tetapi keterpaksaan dan instruksi pimpinan mereka. Di sisi lain, situasi liminal

penganut Sunda Wiwitan tampak dari pernyataan mereka bahwa ajaran-ajaran

yang diajarkan Kyai Madrais belum mendarah daging dalam aktivitas sehari-hari

mereka. Sementara kegamangan di kalangan umat Islam direpresentasikan oleh

tidak adanya figur ideal bagi mereka dan minimnya aktivitas dan ekspresi

keagamaan umat.27

Fenomena ini memposisikan penduduk Susuru dalam satu

situasi ambang batas ketika mereka belum bisa menegaskan pilihan dan

memantapkan sikap keberagamaan dengan jelas.

Penelitian Akhmad Satori menjustifikasi tentang kerukunan yang terjadi di

Susuru dilihat dari perspektif nilai-nilai Pancasila yang diterapkan dalam

kehidupan masyarakat. Sementara Penelitian Dedi Ahimsa Riyadi dengan

menggunakan tinjauan psikologis, membantu menganalisis terjadinya kerukunan

di Susuru, salah satunya adalah kegamangan dan situasi liminal keberagamaan

26

Akhmad Satori, 2012, “Kemajemukan Masyarakat Dusun Susuru Desa Kertajaya Kecamatan

Panawangan Kabupaten Ciamis Sebagi Modal Masyarakat Pancasila”, Aliansi Jurnal Politik dan

Perdamaian, Vol 4, Nomor 1, Januari 2012 27

Pikiran Rakyat, 2003, “Kebersamaan di Dusun Susuru: Tipologi Keberagaman Masyarakat

Liminal”. 01 April 2003.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

16

yang dirasakan masing-masing penganut keyakinan mendukung terpeliharanya

kerukunan dan kebersamaan di Susuru. Namun demikian, penelitian Satori yang

mebahas Pancasila sebagai value berbeda dengan penelitian penulis yang akan

mengkaji kondisi-kondisi yang mendukung terciptanya situasi damai. Sementara

penelitian Riyadi tidak relevan lagi dengan keadaan Susuru sekarang dimana

masyarakatnya telah memiliki keyakinan yang mantap tentang agamanya. Hal itu

juga ditunjukkan dengan ekpresi relijius berupa ritual-ritual keagamaan masing

agama dan keberadaan tokoh-tokoh keagamaan masing yang memiliki peran dan

pengaruh yang besar di mata komunitasnya masing-masing.

1.4 Landasan Teori

Konsep kunci dalam penelitian ini adalah konstruksi perdamaian berupa

kondisi-kondisi yang mendukung situasi damai. Secara sederhana pengertian

konstruksi dalam penelitian ini adalah susunan rangka suatu bangunan.28

Dalam

hal ini, perdamaian diibaratkan memiliki susunan rangka bangun berupa kondisi-

kondisi yang tersusun sehingga membangun situasi damai. Berdasarkan kajian

pustaka, kondisi-kondisi tersebut meliputi integrasi elit, jaringan kewargaan, dan

mekanisme penyelesaian konflik. Teori yang akan digunakan adalah teori

Tadjoeddin tentang integrasi elit, Varshney mengenai intercommunal civic

engagement, dan teori Fearon mengenai mekanisme „in-group policing‟ atau „self-

policing‟.

28

WJS. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, hal. 612.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

17

Tadjoeddin menjelaskan integrasi elit sebagai salah satu kondisi yang

memungkinkan terciptanya situasi damai. Berdasarkan kajiannya di Poso dan

Ambon, integrasi elit berperan penting dalam meredam konflik. Tadjoeddin

meyakini bahwa ketika elit bertikai maka akan dengan mudah diikuti oleh

pengikutnya masing-masing. Dengan integrasi elit, ketika muncul isu negatif, elit-

elit agama akan dengan mudah berkomunikasi dan mengklarifikasi isu tersebut

dan meluruskan informasi kepada pengikutnya masing. Dalam hal ini, integrasi

elit berfungsi seperti early warning system yang mendeteksi potensi konflik sejak

dini Tadjoeddin mengatakan:

“The mechanism of elite integration is usually relevant for a highly

segregated society. Elite integration is expected to bridge the gap between

two or more community groups, when mass level integration is relatively

more difficult to develop. Elite integration is also expected to play a

significant role in building a common understanding and mutual trust

among conflicting parties. As the elites address the issues among members

of communities, a kind of horizontal bridge can be built among them, and

at the same time information flows and communication processes can be

developed vertically between the elites and their followers or masses. Such

mechanisms would contribute considerably to the prevention of inter-

community violence.”29

Adapun mekanisme integrasi elit, menurut Tadjoeddin, bisa terwujud

apabila ada dua hal; 1) adanya nilai bersama (value concensus) yang mendukung

saling percaya antar elit, 2) adanya jejaring yang memungkinkan interaksi

interpersonal antar elit dari kelompok yang berbeda.30

Lebih jauh Tadjoeddin

29

Muhammad Zulfan Tadjoeddin, 2004, “Civil Society Engagement and Communal Violence:

Reflection of Various Hypotheses in the Context of Indonesia”, dalam Politics Administration and

Change, No. 42, July-December, hal. 7. 30

Ibid., hal. 7-8.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

18

menjelaskan bahwa integrasi elit bisa juga dipahami sebagai koordinasi elit dan

pembagian kekuasaan (power-sharing). Tadjoeddin mengatakan “elite integration

might also be understood by the following two interpretations: elite coordination

and consociational (power-sharing) polity.31

Teori lain yang juga menunjukkan kondisi yang memungkinkan

terciptanya situasi damai adalah inter-communal civic engagement yang digagas

Ashutosh Varshney. Dalam kajiannya, Varshney membagi hubungan antar

komunitas dalam masyarakat menjadi dua pola; intra-ethnic civic engagement dan

inter-ethnic civic engagement. Pada pola relasi intra-ethnic hubungan dengan

komunitas lain sangat lemah sehingga sangat rentan terjadinya kekerasan antar

komunitas. Sebaliknya pada pola relasi inter-ethnic hubungan dengan komunitas

lain sangat intensif sehingga berkontribusi dalam meredam potensi konflik antar

komunitas. Varshney mengatakan:

“Interethnic networks are agent of peace, but if communities are

organized only along intraethnic lines and the interconnection with other

communities are very weak or even nonexistent, then ethnic violence is

quite likely.” 32

Selain itu Varshney membagi jaringan kewargaan antar komunitas (inter-

communal civic engagement) menjadi dua; pertama, ikatan warga formal

kelembagaan (association forms of engagement). Hal ini dapat dilihat dalam

organisasi sosial dan professional yang mempertemukan anggota masyarakat beda

31

Ibid., hal. 8. 32

Ashutosh Varshney, 2002, Ethnic Conflict and Civic Life: Hindus and Muslim in India, New

York, Yale University Press, hal. 363.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

19

agama, seperti asosiasi buruh, asosiasi pedagang, dan perkumpulan dalam klub-

klub olahraga. Kedua, pola relasi informal yang terjadi dalam aktivitas sehari-

sehari (everyday forms of engagement). Hal ini dapat dilihat dari aktivitas warga

dalam kegiatan sehari-sehari, seperti saling mengunjungi, pertemuan di warung

atau di jalan, kebersamaan warga dalam proyek-proyek sosial. Menurut Varshney,

kedua model pola relasi tersebut (formal dan informal) berkontribusi dalam

meredam konflik, dan ketiadaan pola relasi tersebut berpotensi menciptakan ruang

terjadinya kekerasan antar komunitas. Secara spesifik, Varsney mengatakan

bahwa pola relasi warga dalam kelembagaan (associational forms of engagement)

lebih kuat daripada pola relasi keseharian terutama ketika ada upaya polarisasi

oleh politisi berdasarkan etnis tertentu. Varshney mengatakan:

“Both forms of engagement, if robust, promote peace: contrawise, their

absence or weakness opens up space for ethnic violence. Of the two,

however, the associational forms turn out to be sturdier than everyday

engagement, especially when confronted with attempts by politicians to

polarize people along ethnic lines.”33

James D. Fearon dan David D. Laitin menjelaskan mekanisme

penyelesaian konflik yang disebut dengan istilah „self-policing‟. Self-policing

adalah kemampuan satu komunitas dalam meredam potensi konflik terutama

potensi konflik yang berawal dari perselisihan antar individu. Dalam pelaksanaan

self-policing mensyaratkan adanya tokoh berpengaruh atau lembaga tertentu

dalam komunitas untuk mengontrol dan memberi sangsi kepada anggota

33

Ashutosh Varshney, 2001, “Ethnic Conflict and Civil Society: India and Beyond”, dalam World

Politics, Vol. 53, No. 3 (Apr), hal. 363.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

20

komunitasnya yang membuat permasalahan (trouble maker). Terkait mekanisme

self-policing Fearon dan Laitin mengatakan:

“If a B exploits an A, members of group A continue cooperating with

members group B as though nothing had happened, while members of

group B identify and sanction the individual who acted badly. This leads

to the containment of interethnic violence.”34

Menurut Tadjoeddin, mekanisme self-policing ini bisa diterapkan di

Indonesia dengan dua alasan. Pertama, mekanisme self-policing ini cocok dipakai

dalam masyarakat yang kondisinya plural seperti di Indonesia. Kedua, akar

pertikaian berawal dari konflik antar individu yang kemudian membesar menjadi

konflik antar kelompok.35

Mekanisme self-policing dapat mencegah terjadinya

kekerasan melebar menjadi kekerasan lintas komunitas karena potensi konflik

diselesaikan dalam komunitas.

Ketiga kondisi atau konstruksi perdamaian tersebut dirangkum dalam

istilah “Hipotesa diatas Hipotesa” (hypotheses on hypotheses) yang dipakai M.

Zulfan Tadjoeddin untuk direfleksikan dengan konflik-konflik yang pernah terjadi

di Indonesia. Tadjoeddin mengkombinasikan ketiga mekanisme ini dalam gambar

berikut:36

34

James D. Fearon dan David D. Laitin, 1996, “Explaining Interethnic Cooperation” dalam the

American Political Science Review, Vol. 90, No. 4, hal. 719. 35

Muhammad Zulfan Tadjoeddin, 2004, “Civil Society Engagement and Communal Violence:

Reflection of Various Hypotheses in the Context of Indonesia”, dalam Politics Administration and

Change, No. 42, July-December, hal. 5. 36

Ibid., hal. 11.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

21

Elite Integration

[1] Elite

[3] [3]

[2]

Mass

A B

Self Policing Inter-communal

Engagement

Kondisi-kondisi tersebut bisa dianggap sebagai prasyarat untuk meredam

potensi konflik dan mendukung terpeliharanya situasi damai yang ditawarkan M.

Zulfan Tadjoeddin. Teori mengenai ketiga konsep tersebut akan digunakan

sebagai landasan teori untuk melihat kondisi-kondisi dalam masyarakat Susuru.

Kondisi-kondisi tersebut meliputi wujud-wujud integrasi elit dan integrasi massa

(inter-communal civic engagement) dan mekanisme penyelesaian masalah dalam

masyarakat Susuru. Analisis kondisi-kondisi masyarakat Susuru yang mendukung

terpeliharanya situasi damai dimaksudkan untuk mengetahui konstruksi

perdamaian di Susuru.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian studi kasus ini menggunakan pendekatan dan metode penelitian

kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi partisipatif

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

22

(participant-observation), wawancara semi-terstruktur (semi-structured interview)

dan dokumentasi pribadi. Penelitian difokuskan kepada kondisi-kondisi yang

mendukung situasi damai antara tiga penganut agama yang berbeda di Susuru.

Kondisi-kondisi tersebut meliputi wujud–wujud integrasi elit dan integrasi massa

dan mekanisme penyelesaian masalah dalam masyarakat Susuru.

Observasi partisipatif (participant-observation), menurut Miller dan

Brewer, dilakukan dengan terlibat dalam kehidupan sehari-hari.37

Pengamatan

tersebut dilakukan untuk mengetahui praktik-praktik kerukunan sekaligus

mengamati interaksi di antara mereka dalam kehidupan sehari-hari baik di

lingkungan keluarga ataupun lingkungan masyarakat. Untuk melihat kerukunan

maka peneliti ikut serta dalam aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh tiga

komunitas tersebut. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup: kehidupan sehari-hari,

pesta pernikahan, pemakaman dan tahlilan (mendoakan orang yang meninggal);

pembangunan rumah ibadah; perayaan hari-hari besar keagamaan; dan bersih

desa.

Selain metode observasi partisipatif, peneliti melakukan wawancara semi-

terstruktur (semi-structured interview). Wawancara semi-terstruktur dilakukan

karena memungkinkan peneliti untuk menentukan topik secara umum yang akan

diteliti dan pertanyaan-pertanyaan kunci yang telah ditanyakan. Dalam wawancara

semi-terstruktur waktu dan tempat pelaksanaan fleksibel tidak ditentukan serta

37

Robert L. Miller and John D. Brewer, 2003, “The A-Z of Social Research”, London: Sage

Publication. hal. 213.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

23

dalam menjawab pertanyaan responden diberi kebebasan yang seluas-luasnya.38

Adapun responden yang telah diwawancara terdiri dari: aparat pemerintah, tokoh-

tokoh keagamaan/masyarakat, dan masyarakat umum. Untuk mengetahui aspek-

sosial kegamaan Susuru wawancara telah dilakukan kepada aparat pemerintahan

dan tokoh keagamaan. Untuk mengetahui keterlibatan tokoh agama dan

masyarakat dalam kegiatan-kegiatan bersama wawancara telah dilakukan kepada

tokoh-tokoh keagamaan dan masyarakat umum. Kunjungan lapangan dilakukan

dalam periode bulan Januari sampai April 2013, namun riset awal sudah

dilakukan peneliti sebelum penelitian dimulai. Dalam melakukan wawancara

kepada masyarakat umum telah mempertimbangkan representasi dari tiga

komunitas tersebut.39

Wawancara telah dilakukan dengan lebih 20 orang

responden yang mewakili tokoh masyarakat dan masyarakat biasa dengan latar

belakang agama yang beragam.

Di samping dua metode di atas, untuk membantu dalam pengumpulan data

maka telah digunakan juga metode dokumentasi. Dokumentasi bermanfaat untuk

menjaga keakuratan data. Bentuk dokumentasi tersebut berupa: kamera, perekam

suara (voice recorder), dan catatan-catatan penelitian (field-note).

1.6 Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan penjelasan yang sistematis, maka pembahasan dalam

penelitian ini dibagi menjadi lima bagian. Berikut penjelasan masing-masing bab:

38

Ibid., hal. 167. 39

Responden Muslim 7 orang, responden umat Katolik 7 orang dan responden penganut agama

Sunda Wiwitan 6 orang.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

24

Bab I : Pendahuan mebahas masalah-masalah seputar arah dan acuan

penulisan tesis yang meliputi; Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Kajian

Pustaka, Landasan Teori, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan sebagai

bagian yang terakhir.

Bab II : Pembahasan mengenai aspek-sosial keagamaan sebagai gambaran

awal untuk membahas diskusi selanjutnya mengenai pola interaksi warga Susuru

(civic engagement). Pembahasan tersebut meliputi; Sejarah dan Gambaran Umum

Susuru, Aspek Penduduk, Pendidikan, Struktur Ekonomi, Sejarah Agama-agama

di Susuru, dan Struktur Sosial masyarakat Susuru.

Bab III : Pembahasan mengenai wujud-wujud civic engagement

masyarakat Susuru. Pembahasan tersebut membahas beberapa kegiatan yang

dilakukan bersama, seperti, dalam acara selametan, ritual kematian, tahlilan,

perayaan hari raya keagamaan, pembangunan rumah ibadah, bersih kampung,

integrasi dalam organisasi sosial, dan interaksi di bidang ekonomi. Selain wujud-

wujud partisipasi warga Susuru tersebut, bab ini membahas juga dinamika

kehidupan beragama warga Susuru berupa kasus-kasus yang muncul yang

mengancam situasi damai di Susuru.

Bab IV: Bab ini membahas beberapa faktor yang membentuk situasi damai

di Susuru. Faktor-faktor tersebut berupa adanya nilai bersama, ruang bersama, dan

mekanisme penyelesaian konflik. Dengan adanya nilai bersama berupa ikatan

kekerabatan itu melahirkan adanya integrasi elit dan distribusi power yang merata.

Ruang bersama berupa kegitan bersama menjadi jaringan kewargaan lintas

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Drs. H

25

komunitas yang mendukung situasi damai. Mekanisme self-policing menjadi

mekanisme penyelesaian konflik bagi warga Susuru yang efektif.

Bab V: Menyimpulkan dari keseluruhan pembahasan yang sudah

dijelaskan. Namun secara spesifik, menjelaskan wujud-wujud nyata partisipasi

warga (civic engagement) dan konstruksi damai di Susuru.