bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah · 2017-04-01 · sistem peradilan pidana di indonesia...

42
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu pendekatan yang diperkenalkan oleh pakar hukum di Amerika Serikat sebagai reaksi atas ketidakpuasan terhadap aparat dan institusi penegak hukum. Frank Remington adalah orang pertama di Amerika Serikat yang memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (system aproach) dan gagasan mengenai sistem ini terdapat pada laporan pilot proyek pada tahun 1958. Gagasan ini kemudian diletakkan pada mekanisme peradilan administrasi peradilan pidana dan diberi nama criminal justice system. Istilah ini kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan oleh “The Presiden’t Crime Commision.” 1 Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System merupakan suatu istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Rusli Muhammad mengemukakan bahwa Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan peradilan 1 Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hlm.33.

Upload: phungduong

Post on 09-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan suatu

pendekatan yang diperkenalkan oleh pakar hukum di Amerika Serikat sebagai

reaksi atas ketidakpuasan terhadap aparat dan institusi penegak hukum. Frank

Remington adalah orang pertama di Amerika Serikat yang memperkenalkan

rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (system

aproach) dan gagasan mengenai sistem ini terdapat pada laporan pilot proyek

pada tahun 1958. Gagasan ini kemudian diletakkan pada mekanisme peradilan

administrasi peradilan pidana dan diberi nama criminal justice system. Istilah ini

kemudian diperkenalkan dan disebarluaskan oleh “The Presiden’t Crime

Commision.”1

Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System merupakan suatu

istilah yang menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan

dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Rusli Muhammad

mengemukakan bahwa Sistem Peradilan Pidana merupakan jaringan peradilan

1Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana Konsep, Komponen & Pelaksanaannya

Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, hlm.33.

yang bekerja sama secara terpadu di antara bagian bagiannya untuk mencapai

tujuan tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang.2

Bertalian dengan pendapat di atas, M. Faal mengemukakan bahwa Sistem

Peradilan Pidana adalah suatu sistem berprosesnya suatu peradilan pidana,

masing-masing komponen fungsi yang terdiri dari Kepolisian sebagai penyidik,

Kejaksaan sebagai penuntut umum, Pengadilan sebagai pihak yang mengadili

dan Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi untuk memasyarakatkan kembali

para si terhukum, yang bekerja secara bersama-sama, terpadu di dalam usaha

untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk menanggulangi kajahatan.3

Mardjono Reksodipoetra memberikan batasan terhadap sistem peradilan

pidana sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyaratan terpidana.4 Beranjak dari

definisi tersebut di atas, Mardjono mengemukakan tujuan dari sistem peradilan

pidana adalah:5

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegaskan dan yang bersalah pidana.

2Rusli Muhammad, 2011, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hlm.13.

3M.Faal, 1991, Penyaringan Perkara Pidana oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya Paramita,

Jakarta, hlm.24.

4Yesmil Anwar dan Adang, Op.cit., hlm.35.

5Luhut Pangaribuan,2013, Hukum Acara Pidana: Suarat Resmi Adokat di Pengadilan, Papas Sinar

Sinanti, Jakarta, hlm.14.

3. Dan mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan

tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang ada baik yang terdapat di dalam ataupun di luar Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mempunyai perangkat struktur atau sub

sistem yang terdiri dari Kepolisian yang melakukan tugas penyelidikan dan

penyidikan, Kejaksaan yang melakukan tugas penuntutan terhadap suatu tindak

pidana, Pengadilan yang melaksanakan atau mengimplementasikan hukum

terhadap suatu perkara dengan suatu putusan hakim, serta Lembaga

Pemasyarakatan dan Balai Pemasyarakatan yang bertugas melakukan pembinaan

terhadap terpidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat

sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan

bertanggung jawab. Pembinaan terhadap terpidana yang mendapat hukuman

pidana penjara dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan, sedangkan untuk

terpidana yang mendapat hukuman berupa pidana percobaan atau pidana

bersyarat dilakukan oleh Badan Pemasyarakatan. Subsistem-subsistem tersebut

secara keseluruhan dan merupakan suatu kesatuan berusaha mentransformasikan

masukan menjadi luaran yang menjadi tujuan Sistem Peradilan Pidana yaitu

menanggulangi kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada

dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima masyarakat.

Hukum Pidana yang menduduki posisi sentral dalam Sistem Peradilan

Pidana yaitu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam rangka melindungi

dan menciptakan kesejahteraan masyarakat. Hukum pidana menjadi penting

peranannya, sekarang dan di masa mendatang bagi masyarakat sebagai kontrol

sosial untuk mencegah timbulnya disorder, khususnya sebagai pengendali

kejahatan.6 Hukum yang baik seharusnya berpijak dan mengutamakan keadilan,

kemudian kemanfaatan dan selanjutnya pijakan terakhir adalah kepastian hukum.

Keadilan dalam hukum pidana selama ini sudah dianggap ditegakkan

apabila pelaku tindak pidana setelah melalui proses peradilan pidana dijatuhi

sanksi sesuai dengan aturan-aturan hukum pidananya. Pemikiran itu tersebut

tidak terlepas dari dominasi paradigma Retributive Justice dalam pembentukan

dan implementasi hukum pidana. Paradigma Retributive Justice melihat

kejahatan sebagai persoalan antara negara dengan individu pelaku karena hukum

yang ditetapkan oleh negara untuk menjaga ketertiban, ketentraman,dan

keamanan kehidupan bermasyarakat telah dilanggar oleh pelaku.7 Retributive

Justice memandang bahwa wujud pertanggungjawaban pelaku harus bermuara

pada penjatuhan sanksi pidana. Kerugian atau penderitaan korban dianggap

sudah diimpaskan, dibayar atau dipulihkan oleh pelaku dengan menjalani dan

menerima proses pemidanaan. Banyak pendapat mengemuka terkait dengan

penjatuhan sanksi pidana, dikatakan bahwa substansi maupun prosedur

penyelesaian tindak pidana melalui jalur hukum pidana yang selama ini

6Muhari Agus Santoso, 2002, Paradigma Baru Hukum Pidana, Averroes Press, Malang, hlm.12.

7G.Widiartana, 2013, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan,

UAJY,Yogyakarta, hlm.102.

dijalankan hampir tidak membawa manfaat apapun bagi pemulihan penderitaan

korban. Selama ini sanksi pidana lebih merupakan “pembayaran atau penebusan”

kesalahan pelaku kepada Negara daripada wujud pertanggung jawaban pelaku

atas perbuatan jahatnya kepada korban.8 Padahal yang langsung mengalami

penderitaan atau kerugian akibat tindak pidana itu adalah korbannya.

Perkembangan selanjutnya adalah timbulnya upaya-upaya ke arah

perbaikan perlakuan terhadap hak dan kepentingan korban tindak pidana. Salah

satu upaya tersebut ialah mulai dikembangkannya paradigma Restorative Justice

yang memandang kejahatan sebagai konflik antar individu dan pertanggung

jawaban pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatannya

serta untuk membantu memutuskan mana yang paling baik bagi penyelesaian

tindak pidana dengan mempertimbangkan penderitaan atau kerugian korban.

Salah satu wujud implementasi Restorative Justice ialah melalui Mediasi Penal

(penal mediation). Melalui proses mediasi penal dapat diperoleh puncak keadilan

tertinggi karena terjadinya kesepakatan para pihak yang terlibat dalam perkara

pidana tersebut yaitu antara pihak pelaku dan korban. Pihak pelaku dan korban

diharapkan dapat mencari dan mencapai solusi serta alternatif terbaik untuk

menyelesaikan perkara tersebut dengan prinsip win-win solution.

Hukum adat yang merupakan yang merupakan hukum asli Indonesia,sudah

lama mengenal prinsip mediasi penal yang diterapkan dalam menyelesaikan

kasus-kasus adat yang muncul. Hukum adat tidak mengadakan pemisahan antara

8Ibid

pelanggaran (pemerkosaan) hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki

kembali hukum di lapangan hukum pidana dengan pelanggaran hukum yang

hanya dapat dituntut di lapangan hukum perdata.9 Suatu perbuatan hanya akan

dianggap delik adat apabila msyarakat setempat berdasarkan kesepakatan

menganggap bahwa perbuatan tersebut telah menimbulkan goncangan/

mengganggu keseimbangan kosmis. Begitu pula sanksi/reaksi adat yang

diberikan bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu

bukan semata-mata untuk menghukum/ menjerakan si pelaku. Konsep restitusi

atau pengembalian keadaan dengan tujuan untuk mengembalikan keseimbangan

kosmis pada hukum adat sejalan dengan hakikat mediasi penal dalam hukum

pidana.

Van Ness & Strong sebagaimana dikutip oleh Fatahilah A. Syukur

memberikan pengertian mediasi penal sebagai berikut:

“Victims and opffenders are given the opportunity to meet together with the

assistance of a trained mediator to begin to resolve the conflict and to

construct their own approach to achieving justice. Unlike the formal criminal

justice system, which removes both the victim and offender from pro-active

roles, these programs seek to empower the participants to resolve their

conflict on tyheir own. “in an atmosphere of structured informality.” Unlike

arbitration, in which a third party hears both sides and makes a judgment,

theVORP process relies on the victim and offender to resolve the dispute

together. No spesific outcome is imposed by the mediator;the goal is to

empower participants, promotes dialogue and encourage mutual problem

solving”10

9Iman Sudiyat, 2008,Hukum Adat: Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta,hlm.175.

10

Fatahilah A. Syukur, 2011, Mediasi Perkara KDRT (Kekerasa Dalam Rumah Tangga) dalam

Teori dan Praktek di Pengadilan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.82

Mediasi Penal sudah dikenal dalam dimensi internasional dapat dilihat dari

beberapa konferensi misalnya Kongres PBB ke-9 tahun 1995, Konferensi

Internasional Pembaharuan Hukum Pidana (International Penal Reform

Conference) tahun 1999, dan juga dalam Kongres PBB ke-10 tahun 2000.

Sebagai tindak lanjut pertemuan internasional tersebut, mendorong munculnya

dokumen internasional yang berkorelasi dengan peradilan restoratif dan mediasi

dalam perkara pidana berupa the Recommendation of the Council of Europe 1999

No. R (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”, berikutnya the EU

Framework Decision 2001 tentang “the Stannding of Victim in Criminal

Proceedings” dan the UN Principles 2002 (Resolusi Ecososc 2002/12) tentang

“Basic Principles on the Use Restorative Justice Programmes in Criminal

Matters”.11

Mediasi Penal ini juga dikenal dalam beberapa Undang-Undang pada

Negara Austria, Jerman, Belgia, Perancis dan Polandia.12

Secara statistik,

perkembangan mediasi penal di beberapa negara di dunia adalah sebagai

berikut:13

11

Muladi,1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,

Semarang, hlm.128.

12

Rommy Gumilar, 2010, Semangat Perbaikan Menuju Peradilan Restoratif, hlm. 1, tersedia di

http://romygumilar.wordpress.com/tag/mediasi-penal/, diakses 28 Desember 2014

13

Mark Umbreit, 2001, Introduction: Restorative justice through Victim Offender Mediation,” in

The handbook of Victim Offender Mediation: An Essential Guide to Practice and Research,ed. ,Jossey-

Bass, San Fransisco ,hlm.xiv

Tabel 1. Perkembangan Mediasi Penal di Beberapa Negara

No Negara Jumlah Program

1 Australia 5 2. Austria 17 3. Belgia 31 4. Kanada 26 5. Denmark 5 6. Finlandia 175 7. Prancis 159 8. Jerman 450 9. Italia 4 10. Belanda 2 11. Selandia baru Ada dalam setiap yurisdiksi

12. Norwegia 41 13. Polandia 5 14. Afrika Selatan 1 15. Swedia 50 16. Inggris 46 17. Amerika Serikat 302

Total 1.319

Sumber: Penelitian Mark Umbreit

Barda Nawawi dalam Ridwan Mansyur mengemukakan bahwa mediasi

penal dimungkinkan dalam kasus tindak pidana anak, tindak pidana orang

dewasa ada yang dibatasi untuk delik yang diancam maksimum tertentu, tindak

pidana dengan kekerasan (violent crime), tindak pidana dalam rumah tangga

(domestic violent ), dan kasus perbankan yang beraspek hukum pidana.14

Mediasi

penal dikenal secara terbatas di Indonesia melalui diskresi penegak hukum secara

parsial. Di Kepolisian Mediasi Penal diatur dalam Pasal 14 huruf f Peraturan

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang

14

Ridwan Mansyur, 2008, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT(Kekerasan Dalam Rumah

Tangga),Yayasan Gema Yustisia, Indonesia, Jakarta, hlm.166.

Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam

Penyelenggaraan Tugas Polri yang menyebutkan bahwa:

“penerapan Konsep Alternative Dispute Resolution (pola penyelesaian

masalah sosial melalui jalur alternative yang lebih efektif berupa upaya

menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau non litigasi), misalnya

melalui upaya perdamaian”,

Surat Kapolri No.Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009

mengatur pula tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution

(ADR).

Topo Santoso dkk menjelaskan bahwa terdapat beberapa tindak pidana

yang dapat dimediasikan yaitu berdasarkan kriteria-kriteria sebagai berikut:15

1. Ancaman pidana yang rendah

2. Tingkat kerugian yang ditimbulkan

3. Tindak pidana yang dilakukan karena kelalaian

4. Tindak pidana yang merupakan delik aduan baik absolut maupun

relatif

5. Tindak pidana yang melibatkan anggota keluarga baik pelaku/ korban

6. Tindak pidana dimana pelakunya anak di bawah umur

7. Tindak pidana yang unsur-unsur tindak pidananya tidak jelas

Berpijak pada kriteria yang diungkapkan oleh Topo Santoso tersebut maka

tindak pidana yang dimungkinkan untuk dilakukan upaya mediasi penal salah

satunya adalah tindak pidana yang tergolong ringan. Mengenai istilah tindak

pidana ringan tidak ditemui dalam KUHP, namun mengacu kepada Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981

15

Agustinus Pohan, dkk, 2012, Hukum Pidana dalam Perspektif, Pustaka Larasan, Denpasar,

hlm.320

tentang Hukum Acara Pidana). Pasal 205 ayat (1) KUHAP, dikatakan bahwa

yang diperiksa menurut acara pemeriksaan tindak pidana ringan ialah perkara

yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan atau

denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,- .Ini tampak pula dari sudut

penempatannya, yaitu Tindak Pidana Ringan dimasukkan ke dalam Acara

Pemeriksaan Cepat, bersama-sama dengan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.

Bunyi pasal tersebut dapat dicermati mengenai definisi tindak pidana

ringan, yaitu sebuah perkara yang ancaman hukuman penjara atau kurungan

paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak tujuh ribu lima ratus rupiah.

Jika ditelaah bunyi-bunyi pasal dalam KUHP maka tindak pidana ringan pada

umumnya adalah tindak pidana (delik) pelanggaran yang dalam KUHPidana

yang ditempatkan pada Buku III serta beberapa pasal dalam Buku II antara lain

Pasal 302 ayat (1) mengenai penganiayaan terhadap hewan, Pasal 352 ayat (1)

mengenai penganiayaan ringan, Pasal 364 mengenai pencurian ringan, Pasal 373

mengenai penggelapan ringan, Pasal 379 mengenai penipuan ringan, Pasal 384

mengenai penipuan dalam penjualan, Pasal 407 ayat (1) mengenai pengerusakan

barang, Pasal 482 mengenai penadahan ringan dan pasal 315 mengenai

penghinaan ringan.

Paradigma dalam masyarakat selalu dinamis, perkembangan terkini adalah

mulai dianggapnya jalur litigasi melalui proses peradilan pidana tidak lagi

memenuhi asas cepat, sederhana dan biaya ringan. Begitu pula korban yang

belum merasa kepentingannya diperhatikan meskipun pelaku telah diproses dan

dikenakan sanksi pidana. Perlu dicermati tentang letak stategis Kepolisian dalam

Sistem Peradilan Pidana, dimana Kepolisian merupakan lapisan pertama yang

menentukan suatu perkara pidana akan dilanjutkan melalui jalur litigasi ataupun

tidak. Mediasi penal di tingkat kepolisian memang diatur secara parsial, namun

penerapannya dapat sebagai alternatif dalam penyelesaian perkara pidana guna

lebih memperhatikan kepentingan korban, pelaku serta masyarakat. Penerapan

mediasi penal telah banyak dilakukan di tingkat kepolisian di beberapa daerah di

Indonesia terhadap kejahatan-kejahatan ringan, salah satunya di Kepolisian

Resort Banyumas, Jawa Tengah seperti yang ditulis oleh Malvino Edward dalam

bukunya "Kewenangan Melakukan Mediasi Penal".16

Sebagaimana dilansir oleh

Antara News edisi 11 Oktober 2011, Kepala Bagian Operasional Kepolisian

Resort Kabupaten Buleleng Kompol IB Wedanajati memaparkan bahwa

pihaknya mulai menerapkan langkah hukum mediasi penal atau penyelesaian

alternatif dalam kasus-kasus tindak pidana tertentu yang tergolong

ringan.17

Selain di Polres Buleleng, mediasi penal telah dilaksanakan di

Polres/Polresta lain di Bali seperti Polresta Denpasar.

16

Malvino Edward, 2011, Kewenangan Melakukan Mediasi Penal, Litera Kreasi Lestari,

Tanggerang, hlm.i.

17

Mazuki, 2011, Polres Buleleng Sudah Mulai Terapkan Mediasi Penal tersedia di

http://antarabali.com/berita/14976/polres-buleleng-sudah-mulai-terapkan-mediasi-penal, diakses 10

Januari 2015

Penelitian yang akan penulis lakukan didasarkan kepada data jumlah angka

kriminalitas di Kabupaten/Kota di Bali yang dihimpun oleh Badan Pusat

Statistik, sebagai berikut:18

Tabel 2. Angka Kriminalitas Per-Kabupaten/Kota, Provinsi Bali, 2014

No. Kabupaten/Kota Angka kriminalitas

(kasus)

1. Jembrana 1.173

2. Tabanan 408

3. Badung 667

4. Gianyar 562

5. Klungkung 255

6. Bangli 212

7. Karangasem 452

8. Buleleng 858

9. Denpasar 3.492

Total 8.079

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali

Berdasarkan data di atas dapat diamati bahwa tingkat kriminalitas di Kota

Denpasar menduduki angka tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota

lainnya di Bali. Berdasarkan penelitian awal yang penulis lakukan diperoleh data

jumlah beberapa jenis kejahatan ringan yang terjadi di Polresta Denpasar sebagai

berikut:

18

Aminullah,__,Dampak Mobilitas Penduduk terhadap Kriminalitas di Bali, tersedia di

http://www.ipadi.or.id/ipadi/p-content/files/Aminullah.pdf, diakses 9 Januari 2015

Tabel.3 Angka Kejahatan Ringan di Kota Denpasar tahun 2014

No. Jenis kejahatan Pasal (KUHP) Angka kriminalitas

(kasus)

1. Penggelapan ringan 373 196

2. Pengerusakan barang 407 11

3. Penipuan ringan 379 85

4. Penganiayaan ringan 352 181

5. Pencurian ringan 364 102

Sumber: Sat. Reskrim Polresta Denpasar

Data di atas menunjukan bahwa di antara kejahatan ringan yang terjadi

pada tahun 2014 penggelapan ringan menduduki angka paling tinggi, namun

proses mediasi jarang berhasil pada tindak pidana penggelapan ringan

disebabkan pelaku tidak bisa mengembalikan barang atau sejumlah uang untuk

mengganti kerugian materiil ataupun imateriil yang diderita korban. Diantara

tindak pidana ringan tersebut mediasi penal paling sering dilakukan pada tindak

pidana kasus penganiayaan ringan yang terjadi di wilayah hukum Polresta

Denpasar.

Pasal 109 ayat (2) KUHAP ditegaskan bahwa penyidikan hanya

dihentikan dikarenakan beberapa alasan sebagai berikut:

1. Tidak diperoleh bukti yang cukup

2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.

3. Penghentian penyidikan demi hukum (terdakwa meninggal dunia, perkara ne

bis in idem, perkara kedaluwarsa atau pencabutan perkara yang sifatnya delik

aduan)

Secara normatif mengacu kepada ketentuan Pasal 109 ayat (2) tersebut maka

seharusnya penyidikan tidak dapat dihentikan dikarenakan adanya mediasi atau

“kesepakatan damai” antara pelaku dan korban penganiayaan ringan. Fakta

empiris menunjukan bahwa mediasi dilakukan bahkan telah berhasil

dipergunakan sebagai penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan di

Polresta Denpasar. Berangkat dari latar belakang tersebut di atas maka penulis

ingin melakukan penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah dengan judul sebagai

berikut “Urgensi Pelaksanaan Mediasi Penal di Tingkat Penyidikan dalam

Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan Ringan di Kepolisian Resort Kota

Denpasar”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dapat

dikemukakan yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan mediasi penal di tingkat penyidikan dalam

penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan di Polresta Denpasar?

2. Apakah faktor penghambat dan pendorong pelaksanaan mediasi penal di

tingkat penyidikan dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan di

Polresta Denpasar?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Guna menghindari keluarnya pembahasan tesis ini dari pokok

permasalahan yang telah diungkapkan di atas serta agar pembahasan dalam tesis

ini menjadi sistematis demi menemukan solusi permasalahan, maka perlu untuk

menetapkan ruang lingkup dan batasan mengenai materi yang akan di bahas.

Ruang Lingkup dalam penelitian ini mengenai pelaksanaan mediasi penal

terhadap tindak pidana penganiayaan ringan di Polresta Denpasar meliputi dasar

pertimbangan, proses serta perbandingan mediasi penal dengan beberapa negara.

Pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai faktor penghambat dan

pendorong pelaksanaan mediasi penal di tingkat penyidikan kepolisian dalam

penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan serta beberapa upaya yang

dilakukan Polresta Denpasar untuk menanggulangi hambatan dalam pelaksaan

mediasi penal tersebut.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian meliputi tujuan umum dan tujuan khusus.

1.4.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan umum dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui

pelaksanaan mediasi penal terhadap tindak pidana penganiayaan ringan di

Polresta Denpasar, guna mengetahui hambatan dan pendorong dalam

pelaksanaan mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian kasus tindak

pidana ringan sebagai upaya pembaharuan hukum pidana (penal reform).

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk menganalisis pelaksanaan mediasi penal di Polresta Denpasar

dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan.

2. Untuk menganalisis faktor penghambat dan pendorong pelaksanaan

mediasi penal di Polresta Denpasar dalam penyelesaian tindak pidana

penganiayaan ringan.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.5.1 Manfaat Teoritis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan atau

kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) bagi para pembaca

mengenai paradigma pemidanaan khususnya paradigma restoratif

justice melalui metode mediasi penal dalam penyelesaian tindak

pidana penganiayaan ringan.

2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi untuk

penelitian-penelitian berikutnya.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

dan pemahaman tentang pelaksanaan mediasi penal dalam

penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan.

2. Bagi penegak hukum, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan masukan serta pengetahuan tentang restoratif justice dan

mediasi penal dalam upaya untuk memenuhi rasa keadilan substantif

masyarakat.

3. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pengetahuan dan pemahaman secara mendalam mengenai pentingnya

mediasi penal sebagai perwujudan restroatif justice dalam

penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan demi kepentingan

korban dan pelaku.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Orisinalitas penelitian bertujuan untuk menunjukkan keaslian penelitian

dari seorang peneliti terhadap penelitian sebelumnya. Untuk memperkuat tingkat

orisinalitas penelitian yang penulis lakukan, maka terdapat beberapa penelitian

ilmiah di bidang hukum yang terlebih dahulu telah ada yang memiliki nilai

kesamaan yaitu obyek penelitiannya adalah mengenai mediasi penal. Adapun

penelitian- penelitian tersebut adalah :

1. I Made Widia, 2009, Mediasi Penal sebagai Suatu Pemikiran Alternatif dalam

Proses Peradilan Pidana, Universitas Udayana.

Rumusan masalah dari penelitian I Made Widia, antara lain:

a. Bagaimana pelaksanaan mediasi penal dalam proses peradilan pidana?

b. Bagaimana pengawasan terhadap pelaksanaan mediasi yang dilakukan

oleh penyidik kepolisian?

2. I Made Agus Mahendra Iswara, 2011, Mediasi Penal Penerapan Asas-Asas

Restoratif Justice Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Universitas

Indonesia.

Rumusan masalah dari penelitian I Made Agus Mahendra Iswara, antara lain:

a. Bagaimanakah eksistensi hukum pidana adat dalam peraturan perundang-

undangan?

b. Bagaimakah peran lembaga adat dalam menyelesaikan tindak pidana adat

Bali dengan mempergunakan pendekatan keadilan restoratif melalui

mekanisme mediasi penal?

c. Bagaimanakah mekanisme penerapan mediasi penal dalam menyelesaikan

tindak pidana adat Bali?

3. Nirmala Sari, 2011, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara

Tindak Pidana Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Universitas

Diponogoro.

Rumusan masalah dari penelitian Nirmala Sari, antara lain:

a. Mengapa mediasi penal seyogyanya menjadi alternatif penyelesaian

perkara lingkungan hidup di luar pengadilan?

b. Bagaimana konstruksi mediasi penal sebagai alternatif penyelesaian

perkara tindak pidana lingkungan hidup yang ideal dalam sistem hukum

pidana di Indonesia?

Dari beberapa penelitian tersebut dapat diketahui bahwa penelitian ini

memiliki perbedaan dari segi judul, rumusan masalah serta substansi dari

penelitian-penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya.

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

1. Landasan Teoritis

Untuk menganalisis urgensi mediasi penal dalam penyelesaian tindak

pidana penganiayaan ringan maka diperlukan beberapa landasan teoritis yang

relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Teori hukum memiliki tugas

antara lain untuk memberikan analisis tentang pengertian hukum dan pengertian-

pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, memberikan pengertian

hubungan antara hukum dan logika serta memberikan implikasi- implikasi

kefilsafatan.19

Adapun beberapa landasan teori yang digunakan dalam penelitian

ini antara lain:

1. Teori keadilan

2. Teori hukum integratif

3. Teori sistem hukum

4. Teori penegakan hukum

Mengenai teori-teori tersebut maka dijelaskan masing-masing sebagai

berikut:

19

Meuwissen, 2007, Meuwissen tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan

Filsafat Hukum, PT.Refika Aditama,Bandung, hlm.31.

a. Teori keadilan

Aristoteles menyatakan bahwa kata adil mengandung lebih dari satu arti.

Adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang sebanding, yaitu yang

semestinya. Disini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil

apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang

tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang didasarkan

kepada hukum dapat dianggap sebagai adil.20

Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distriutif, keadilan

komutatif dan keadilan remedial. Adapun penjelasan atas hal tersebut adalah

sebagai berikut:

a. Keadilan distributive adalah keadilan yang memberikan kepada

setiap orang berdasarkan profesinya atau jasanya. Pembagian

barang-barang dan kehormatan pada masing-masing orang

sesuai dengan statusnya dalam masyarakat. Keadilan ini

menghendaki orang-orang yang mempunyai kedudukan yang

sama memperoleh perlakuan yang sama pula di hadapan

hukum.

b. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang memberikan hak

kepada seseorang berdasarkan statusnya sebagai manusia.

c. Keadilan remedial, yaitu menetapkan kriteria dalam

melaksanakan hukum sehari-hari, yaitu kuta harus mempunyai

standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang

dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain. Sanksi

pidana yang dijatuhkan, memulihkan yang telah dilakukan oleh

pembuat kejahatan dang anti rugi memulihkan kesalahan

20

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.156.

perdata. Standar tersebut diterapkan tanpa membeda-bedakan

orang.21

Keadilan merupakan hal yang penting, hal ini sejalan dengan pemikiran

Rawls yang mengatakan perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi

dan kepentingan bersama. Bagaimana ukuran dari keseimbangan itu harus

diberikan, itulah yang disebut dengan keadilan. Keadilan merupakan nilai yang

tidak dapat ditawar-tawar karena hanya dengan keadilanlah ada jaminan

stabilitas hidup manusia.22

Keadilan didasarkan pada nilai, norma dan moralitas masyarakat

setempat. Masyarakat memiliki prosedur dan mekanisme sendiri dalam

menyelesaikan setiap konflik yang muncul. Beberapa yang berkembang dan

sudah menjadi rujukan kolektif adalah melalui jalan musyawarah, mediasi,

remedial, negosiasi, antar pihak-pihak yang berselisih atau berkonflik.23

Jika diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip

keadilan harus mengerjakan dua hal yakni:

a. Prinsip keadilan harus memberikan penilaian konkret tentang

adil tidaknya institusi-institusi dan praktik-praktik institusional.

b. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita dalam

memperkembangan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk

21

Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.51.

22

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit, hlm. 161.

23Umar Sholehudin, 2011, Hukum & Keadilan Masyarakat Perspektif Kajian Sosiologi Hukum,

Setara, Malang, hlm.23.

mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat

tertentu.24

Semua orang mempunyai kemauan mewujudkan suatu aturan masyarakat

yang adil sehingga keadilan itu yang menjadi fokus utama pembentukan

undang-undang, yang harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan di satu pihak

dan di pihak lain dengan tujuan yang sama.25

Dalam penelitian ini teori keadilan yang digunakan adalah teori keadilan

restoratif . Mengambil pengertian dari Surat Keputusan Bersama antara Ketua

Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia,

Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan

Perlindungan Anak Republik Indonesia, Keadilan Restorative (Restorative

Justice) di artikan sebagai :

“Restorative Justice adalah suatu penyelesaian secara adil yang

melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait

dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama mencari penyelesaian

terhadap tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan

pemulihan kembali pada keadaan semula.”

Jim Consedine seorang pelopor keadilan Restoratif, berpendapat “konsep

keadilan retributive dan restitutif yang berlandaskan hukuman, balas dendam

terhadap pelaku, pengasingan, dan perusakan harus digantikan oleh Keadilan

24

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit, hlm. 163.

25Zainuddin Ali, Op.cit. hlm.88.

Restoratif yang berlandaskan rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam

masyarakat, pemafaan, dan pengampunan.26

Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai Keadilan Restoratif,

merupkan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an

dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang

dipakai pada sistem peradilan pidana yang konvensional, pendekatan ini

menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan

masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.27

Secara hipotesis-teoritis, urgensi dipertimbangkannya keadilan restoratif

sebagai sarana merespon kejahatan karena beberapa pertimbangan:28

a. Peradilan pidana yang selama ini menjadi respon tunggal atas

terjadinya kejahatan terbukti tidak mampu menekan angka kejahatan,

bahkan kecenderungannya menjadi faktor kriminogen yang memicu

naiknya angka kejahatan

b. Mekanisme peradilan pidana sebagai respon tunggal atas terjadinya

tindak pidana dirasakan dapat memberikan keseimbangan

perlindungan khususnya antara pelaku, korban dan masyarakat.

Orientasinya yang hanya ditujukan kepada pelaku menjadikan

mekanisme peradilan pidana sebagai sarana yang berat sebelah yang

cenderung memproduksi ketidak adilan

c. Kegagalan Sistem Peradilan Pidana menekan laju kejahatan baik

yang bersifat residiv maupun kejahatan yang dilakukan oleh pelaku

pemula-mengindikasikan, bahwa peradilan tidak berfungsi secara

baik sebagai sara penanggulangan kejahatan

26

Jim Consedine, Restorative Justice : Healing the Effects of Crime, (Lyttelton : Ploughshares

Publications, 1995), hlm.11.

27

Eva Achjani Zulfa, 2009, Keadilan Restoratif, Badan Penerbit FHUI, Jakarta, hlm.2. (selanjutnya

disebut Eva Achjani Zulfa I)

28

Komisi Hukum Nasional Republik Indnesia, 2012, Kebijakan Keberpihakan Hukum: Suatu

Rekomendasi, Komisi Hukum Nasional RI, Jakarta, hlm. 126.

Penanganan perkara pidana secara umum berbeda dengan pendekatan

keadilan restoratif, dimana penanganan perkara pidana secara umum makna

dari tindak pidana pada dasarnya menyerang terhadap individu, masyarakat dan

hubungan kemasyarakatan, akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif,

korban utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana

dalam sistem peradilan pidana yang ada sekarang. Tahap penyidikan adalah

tahap awal dari proses peradilan pidana. Pada tahap ini dimungkinkan bagi

penyidik untuk meneruskan atau tidak meneruskan tindak pidana ke dalam

proses peradilan pidana.29

Upaya mediasi penal sebagai perwujudan prinsip-

prinsip restoratif justice dalam praktek sangat vital dilakukan terutama dalam

proses penyidikan kepolisian dalam hal ini penyelesaian terhadap tindak pidana

penganiayaan ringan. Apabila mediasi penal di tingkat penyidikan kepolisian

berjalan dengan efektif, maka kasus yang masuk ke dalam sistem peradilan

pidana menjadi lebih selektif (mencegah penumpukan perkara di pengadilan)

dan penyelesaian dari tindak pidana memenuhi rasa keadilan bagi korban,

pelaku maupun masyarakat (keadilan substantif). Keadilan substantif adalah

keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif sebagaimana yang muncul dalam

keadilan formal, tetapi kualitatif yang didasarkan pada moralitas publik dan

29

Agustinus Pohan, Op.cit, hlm.324

nilai-nilai kemanusiaan yang mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan

bagi masyarakat.30

b. Teori hukum integratif

Teori hukum integratif diungkapkan oleh Romli Artasasmita, mencoba untuk

mengakomodasi sebagian konsep-konsep hukum pembangunan dari Mocthar

Kusumaatmadja dan hukum progresif dari Satjipto Rahardjo. Meskipun

demikian, hukum integratif memiliki kekhasan tersendiri. Ada 2 (dua) kekhasan

tersebut, yaitu: Pertama, menekankan penggunaan nilai-nilai yang berkembang

dalam masyarakat untuk membuat dan menegakkan hukum. Bukan berarti alergi

terhadap dunia luar, tetapi sebenarnya setiap masyarakat memiliki nilai-nilai

yang terus hidup dan berkembang (the living law). Nilai-nilai tersebut dapat

diubah menuju nilai baru yang dapat mencerminkan kepastian hukum,

kemanfaatan dan keadilan, dan memelihara serta mempertahankannya secara

dinamis. Kedua, penyelesaikan masalah hukum, khususnya konflik, diarahkan

pada out of court settlement sesuai dengan the living law tersebut.

Ada beberapa inti pokok dari konsep hukum ini, antara lain:

1. Kehidupan masyarakat selalu dalam keadaan konflik kepentingan, baik

konflik berdasarkan etnis, budaya, sosial, ekonomi dan politik.

2. Fungsi hukum mengatur dan menyelesaikan konflik, selain memelihara dan

mempertahankan ketertiban.

3. Westernisasi hukum secara historis memperuncing konflik dan

mendegradasikan easternisasi hukum.

4. Modernisasi hukum bukan menerima utuh sistem hukum asing, melainkan

harus beradaptasi sesuai dengan the living law.

30

Umar Sholehudin, 2011, Hukum dan Keadilan Masyarakat, Setara Press, Malang, hlm.59.

5. Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan disalahgunakan menjadi alat

pemaksaan kehendak penguasa kepada rakyatnya (dark engineering).

6. Sistem hukum Indonesia telah lama abaikan the living law termasuk adat law

(hukum adat);

7. Kurang memperhatikan dan mempertimbangkan 3 (tiga) faktor penghambat

fungsi hukum sebagai alat pembaharuan.

8. In-court settlement terbukti tidak optimal menyelesaikan konflik, bahkan

dalam kasus adat menimbulkan konflik sosial, ekonomi, politik

berkepanjangan (unending conflict).

9. Heterogenitas dan varietas sosial-budaya indonesia memerlukan kearifan lokal

bersumber pada adat dalam penyelesaian sengekta.

10. Sarana pembaharuan masyarakat yang sesuai dengan the living law, selain in

court settlement harus dilengkapi dengan out of court settlement.

11. Fungsi hukum integratif adalah mengubah nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat menuju nilai baru yang mencerminkan kepastian hukum,

kemanfaatan dan keadilan, dan memelihara serta mempertahankannya secara

dinamis.

12. Fungsi hukum integratif bertujuan menciptakan ketertiban, keteraturan,

kedamaian dan keharmonisan kehidupan dalam masyarakat.

Teori hukum integratif dipergunakan dengan tujuan untuk menganalisa

mediasi penal yang terjadi serta dasar pertimbangan mediasi penal dalam

penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan di Polresta Denpasar.

c. Teori sistem hukum

Sebuah sistem adalah unit yang beroperasi dengan batas-batas tertentu.

Sistem hukum tersebut sebenarnya dapat dilihat sebagai suatu kumpulan

peraturan-peraturan hukum, dari norma- norma hukum yang teratur.31

Sistem

bisa bersifat mekanis, organis dan sosial.32

Seperti setiap hukum, sistem hukum

adalah suatu produk kesadaran hukum, yang berarti bahwa sistem hukum juga

31

Jan Gijssels,2000, Apa Teori Hukum Itu, __,Bandung, hlm.125.

32

Lawrence M. Friedman,2009,Sistem Hukum: Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung,

hlm.6.

mengandung aspek- aspek irasional. Namun yang menjadi titik berat sekarang

adalah tidak pada segi itu, karena suatu sistem hukum terjadi dengan membentuk

suatu keseluruhan yang saling berkaitan, maka aspek rasionalnya yang lebih

menonjol.33

Teori tentang sistem hukum dikemukakan oleh Lawrence M.

Friedman yang membagi sistem hukum menjadi tiga unsur yaitu struktur hukum,

substansi hukum dan budaya (kultur) hukum. Menurut Lawrence M. Friedman

dalam Achmad Ali di dalam sistem hukum itu dihuni oleh tiga unsur, yakni :

1. Struktur Hukum;

Struktur Hukum ialah keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta

aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para polisinya,

kejaksaan dengan jaksanya, pengadilan dengan hakimnya, dan lain-lain.

2. Substansi Hukum; dan

Substansi hukum yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas

hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

3. Budaya Hukum

Selanjutnya budaya hukum merupakan yaitu opini-opini, kepercayaan-

kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan

cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga

33

Bruggink, 1999, Refleksi tentang Hukum,PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,hlm.137.

masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan

hukum.34

Dalam penelitian ini institusi yang akan diteliti sebagai suatu kesatuan

dalam penerapan metode mediasi penal di tingkat penyidikan adalah Kepolisian

Resort Kota Denpasar. Substansi hukum yang dimaksud adalah landasan yuridis

dalam penerapan mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan

ringan di Polresta Denpasar. Dalam budaya hukum juga akan dibahas mengenai

kesadaran masyarakat terhadap pelaksanaan mediasi penal di tingkat penyidikan

dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan.

d. Teori penegakan hukum

Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum menurut Soerjono

Soekanto terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan serta

sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan,

memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Penegakan

hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan namun

juga sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.35

34

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media

Group, Jakarta, hlm. 204.

35

Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7.

Soerjono Soekanto dalam bukunya yang berjudul “Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Penegakan Hukum” mengemukakan ada 5 faktor yang

mempengaruhi penegakan hukum yaitu:

1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi

pada undang-undang saja.

2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum.

3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa

yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.36

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur daripada

efektivitas penegakan hukum.37

Efektivitas perundang-undangan tergantung pada

beberapa faktor, antara lain:

1) Pengetahuan tentang substansi (isi) perundang-undangan,

2) Cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut.

3) Institusi yang terkait dengan ruang lingkup perundang-undangan

di dalam masyarakatnya.

4) Bagaimana proses lahirnya suatu perundang-undangan, yang

tidak boleh dilahirkan secara tergesa-gesa untuk kepentingan

instan (sesaat), yang diistilahkan oleh Gunnar Myrdall sebagai

sweep legislation (undang-undang sapu), yang memiliki kualitas

buruk dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.38

36

Ibid., hal. 8.

37

Ibid., hal. 9.

38

Achmad Ali I, Op.cit., hal. 378-379.

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada

ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan

tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang

berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan

pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan. 39

penegakan

hukum erat kaitannya dengan fungsi penegak hukum dalam hal ini adalah

Kepolisian. Terlaksananya mediasi penal sebagai salah satu upaya penyelesaian

tindak pidanan penganiayaan ringan di Polresta Denpasar tidak terlepas dari

peranan pihak Kepolisian. Meminjam konsep penegakan hukum maka dapat

diteliti beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja kepolisian dalam merespon

ataupun mengupayakan mediasi penal dalam penyelesaian tindak pidana

penganiayaan ringan di Polresta Denpasar.

Adapun konsep yang relevan digunakan dalam penelitian ini antara lain

sebagai berikut:

a. Konsep diskresi

Diskresi dalam bahasa Inggris diartikan sebagai suatu kebijaksanaan,

keleluasaan.40

Sejalan dengan itu, dalam kamus hukum yang disusun oleh J.C.T

Simorangkir diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam

39

Soerjono Soekanto, Loc.cit.

40

M. John Echol & Hasan Shadilly, 2002, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, hlm.185

setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri.41

Diskresi adalah

wewenang yang diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai

dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri. Gayus T.

Lumbun berpendapat bahwa diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara, baik

pusat maupun daerah yang intinya memperbolehkan pejabat publik untuk

melakukan sebuah kebijakan yang melanggar undang-undang dengan tiga syarat

yaitu, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan

tidak melanggar azas-azas umum pemerintahan yang baik.42

Dengan beberapa

pengertian tersebut di atas, bahwa diskresi itu dilakukan bukan lepas dari

ketentuan hukum tetapi diskresi itu tetap dilakukan dalam kerangka hukum.43

Didalam Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia dijelaskan bahwa :

1. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut

penilaiannya sendiri.

2. Pelaksanaan ketentuan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat

dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan

peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

41

Simorangkir, dkk, 2002, Kamus Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.38

42

Komisi Kepolisian Nasional, 2002, Diskresi Kepolisian: Dalam Tinjauan Hukum dan

Implementasinya di Lapangan, Komisii Kepolsian nasional, Jakarta, hlm.25.

43

M. Faal, Op.cit, hlm.16.

Meskipun Polisi bertindak seolah-olah justru tidak berdasarkan hukum

positif yang berlaku, namun apabila dikaji lebih dalam justru tindakan tersebut

merupakan tindakan yang dapat menjunjung tinggi tujuan hukum itu sendiri yaitu

ketertiban dan perlindungan masyarakat. Dengan dimiliknya diskresi oleh polisi

maka polisi mempunyai kewenangan dalam menerobos suatu bentuk kekakuan

hukum yang lebih menonjolkan sisi legisme semata, dalam mencapai suatu

bentuk keadilan yang nyata. Penting untuk melakukan mediasi penal dalam tahap

penyidikan kepolisian terutama pada kasus penganiyayaan ringan mengingat

penganiyayaan ringan merupakan salah satu delik yang tidak menimbulkan

dampak/kerugian yang signifikan terhadap masyarakat. Pelaksanaan mediasi

penal oleh kepolisian merupakan penerapan asas Ultimum Remidium, hukum

pidana merupakan sarana terakhir. Dalam hal tindak pidana ringan yang yang

bisa diselesaikan dengan perdamaian dapat digunakan metode mediasi penal

dengan berlandaskan pada keadilan restoratif. Jika mediasi penal tidak

mennghasilkan kesepakatan penyelesaian dengan damai antara para pihak, maka

hukum pidana baru akan digunakan sebagai “obat terakhir”.

b. Konsep mediasi/ADR

Mediasi bukanlah metode baru dalam menyelesaikan sengketa di

Indonesia. Substansi mediasi sama dengan mekanisme musyawarah mufakat

yang telah dipakai oleh begitu banyak suku yang berbeda adat, bahasa dan cara

menyelesaikan sengketa yang tersebar di seluruh Indonesia. Pendekatan melalui

jalur mediasi (ADR), pada mulanya termasuk dalam wilayah hukum keperdataan,

namun dalam perkembangannya digunakan oleh hukum pidana, hal ini

sebagaimana diatur dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-6 Tahun 1995

dalam Dokumen A/CO NF.169/6 menjelaskan dalam perkara-perkara pidana

yang mengandung unsur fraud dan white-collar crime atau apabila terdakwanya

korporasi, maka pengadilan seharusnya tidak menjatuhkan pidana, tetapi

mencapai suatu hasil yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat secara

menyeluruh dan mengurangi kemungkinan terjadinya pengulangan.44

Muzlih MZ

sebagaimana dikutip Ridwan Mansyur berpendapat bahwa mediasi merupakan

suatu proses penyelesaian pihak- pihak yang bertikai untuk memuaskan pihak-

pihak yang bertikai untuk mencapai penyelesaian yang memuaskan melalui pihak

ketiga yang netral (mediator).45

Penerapannya mediasi pada ranah perdata hampir

sama dalam penyelesaian pada tindak pidana, namun untuk membedakan dengan

mediasi pada sengketa keperdataan maka digunakanlah istilah mediasi penal atau

penal mediation.

Berdasarkan Council of Europe Committee of Ministers dalam

recommendation no. R (99) 19 Of the Committee of Ministers to member states

Concerning Mediation in Penal di negara-negara eropa sebagai berikut:46

“penal mediation is any process whereby the victim and the offender are

enabled, if they freely consent, to participate actively in the resolution of

44

Fatahilah A. Syukur, Op.Cit. hlm.49

45

Ridwan Mansyur, Op.cit, hlm.137.

46

Agustinus Pohan, Op.cit. hlm.320

matters arising from the crime through the help of an impartial third party

(mediator)”

Dalam terjemahan bebas, dapat diartikan bahwa mediasi penal merupakan suatu

proses yang memungkinkan mempertemukan korban dan pelaku tindak pidana,

jika mereka menghendakinya secara bebas untuk secara aktif berpartisipasi

dalam menyelesaikan masalah yang muncul dari kejahatan melalui bantuan pihak

ketiga yang tidak memihak atau mediator.

Mediasi penal pertama kali dikenal di Kitchener-Ontario, Kanada pada

tahun 1974. Kemudian program ini menyebar ke Amerika Serikat, Inggris dan

negara-negara lain di Eropa. Di Amerika Serikat mediasi penal pertama kali

dipraktekan di Elkhart-Indiana dan di Inggris oleh The Exeter Youth Support

Team pada tahun 1979.47

Mediasi penal merupakan Alternatif penyelesaian

perkara pidana di luar jalur penal. Dalam penyelesaian perkara pidana jika

menempuh jalur penal biasanya selalu adanya penjatuhan pidana oleh hakim

terhadap pelaku, hal ini secara filosofis kadang-kadang tidak memuaskan semua

pihak, oleh karena itu perlu adanya pemikiran penyelesaian perkara pidana

melalui jalur mediasi dengan maksud agar dapat menyelesaikan konflik yang

terjadi antara pelaku dengan korban.

47

Fatahillah A Syukur, Op.cit, hlm.64

2. Kerangka Berfikir

Demi memperkuat alur berfikir serta mempermudah memahami isi serta

arah dari penelitian ini maka berdasarkan teori serta prinsip hukum yang telah

diungkapkan di atas dapat dibuat kerangka pemikiran dengan bagan sebagai

berikut :

\

Gambar 1. Kerangka Berfikir Penelitian

Urgensi Pelaksanaan Mediasi Penal di Tahap Penyidikan dalam

Penyelesaian Tindak Pidana Penganiayaan Ringan di Polresta Denpasar

Rumusan masalah 1

Bagaimanakah pelaksanaan mediasi

penal di tingkat penyidikan dalam

penyelesaian tindak pidana

penganiayaan ringan di Polresta

Denpasar?

Rumusan masalah 2

Apakah faktor penghambat dan pendorong

pelaksanaan mediasi penal di tingkat

penyidikan dalam penyelesaian tindak

pidana penganiayaan ringan di Polresta

Denpasar?

teori keadilan

teori hukum integratif

teori sistem hukum

teori penegakan hukum

1. Jenis penelitian : peneliitian hukum empiris

2. Sifat penelitian : empiris deskriptif kualitatif

3. Data dan sumber data : data primer field research terhadap pelaku dan korban

penganiayaan ringan yang melakukan mediasi penal

data sekunder penelitian kepustakaan

4. Teknik pengumpulan data: teknik studi kepustakaan dan wawancara

5. Teknik penentuan sampel penelitian : purposive sampling dan snowball sampling

6. Teknik pengolahan dan analisa data: analisis kualitatif dengan penyajian deskriptif

menggunakan pendekatan komparasi dan teoritis

Latar belakang masalah

Sistem Peradilan Pidana (SPP) sebagai sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari

lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyaratan terpidana. Dalam

perkembangannya SPP yang berdasarkan retributif justice dirasa tidak dapat berjalan sesuai

dengan tujuannya karena beberapa kelemahan, sehingga mendorong lahirnya pemikiran

restoratif justice (RJ). Munculnya RJ seolah menjadi nafas baru untuk memberikan keadilan

bukan hanya kepada pelaku, tetapi kepada korban dan masyarakat. Salah bentuk penerapan

RJ adalah mediasi penal. Dalam prakteknya mediasi penal sudah banyak dilakukan di

beberapa negara termasuk di Indonesia meskipun belum ada landasan yuridis formal

diberlakukan mediasi penal di Indonesia untuk menyelesaiakan suatu perkara pidana. Keluar

dari positivisme hukum, di beberapa daerah di Indonesia termasuk Bali, mediasi penal telah

banyak diterapkan dalam penyelesaian tindak pidana yang tergolong ringan. Data BPS

menunjukan Kota Denpasar memiliki angka kriminalitas tertinggi di Bali. Penelitian awal

yang dilakukan di Polresta Denpasar yang wilayah hukumnya Kota Denpasar menunjukan

bahwa mediasi penal dilakukan di Polresta Denpasar dalam penyelesaian tindak pidana

penganiayaan ringan.

1.8. Metode Penelitian

Dalam penulisan suatu karya ilmiah, terdapat salah satu komponen penentu

sebagai syarat yang dipergunakan untuk pencarian data dari hasil karya ilmiah

tersebut, dalam hal ini adalah metode penelitian.

Menururt Sutrisno Hadi yang dimaksud dengan metodelogi ialah suatu

cara/ metode untuk memberikan garis- garis yang cermat dan mengajukan syarat-

syarat yang keras, yang maksudnya adalah menjaga ilmu pengetahuan yang

dicapai dari suatu research dapat mempunyai harga ilmiah yang setinggi-

tingginya.48

1. Jenis penelitian

Jenis Penelitian dalam penelitian ini dipakai jenis penelitian hukum yang

bersifat empiris. Penelitian hukum empiris merupakan penelitian yang membahas

bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat. Penelitian ini mengkaji

pelaksanaan mediasi penal di tingkat penyidikan kepolisian dalam menyelesaikan

tindak pidana penganiayaan ringan di Polresta Denpasar.

2. Sifat penelitian

Seperti telah dijelaskan bahwa jenis penelitian yang dipakai adalah

penelitian empiris. Sifat penelitiannya adalah penelitian empiris deskriptif.

Penelitian empiris deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk

menggambarkan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun

48

Sutrisno Hadi, 1979, Metodelogi Reserch, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Gajah

Mada, Yogyakarta, hlm.4.

fenomena buatan manusia. Fenomena itu bisa berupa bentuk, aktivitas,

karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena

yang satu dengan fenomena lainnya. Dalam penelitian ini, fenomena yang

menjadi obyek penelitian adalah pelaksanaan mediasi penal di tingkat penyidikan

dalam penyelesaian tindak pidana penganiayaan ringan di Polresta Denpasar.

3. Data dan sumber data

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh

secara langsung dari lapangan yang dinamakan data primer dan data yang

diperoleh dari bahan- bahan pustaka dinamakan data sekunder. Adapun data yang

dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua) sumber data, yaitu:

1) Data primer

Untuk mendapatkan data primer dilakukan penelitian lapangan (field

research), yaitu dengan cara melakukan penelitian langsung ke lapangan

yakni diperoleh secara langsung dari pelaku dan korban penganiayaan

ringan yang melakukan mediasi penal di wilayah hukum Polresta

Denpasar

2) Data sekunder

Untuk mendapatkan data sekunder dilakukan melalui penelitian

kepustakaan (library research), yaitu pengumpulan berbagai data yang

diperoleh dari menelaah literatur, tesis, jurnal serta surat kabar guna

menemukan fakta maupun teori yang relevan dengan permasalahan

yang akan dibahas. Mengenai data sekunder ini berdasarkan kekuatan

mengikat dari isinya dapat dibagi menjadi 3, yaitu :

a) Sumber bahan hukum primer, yaitu bahan yang isinya mengikat,

karena dikeluarkan oleh pemerintah, seperti peraturan perundang-

undangan.

b) Sumber bahan hukum sekunder, yaitu bahan- bahan yang isinya

membahas bahan primer, seperti buku, surat kabar dan artikel.

c) Sumber bahan hukum tertier, yaitu bahan– bahan yang bersifat

menunjang bahan- bahan primer dan sekunder.49

Berkaitan dengan jenis- jenis data sekunder di atas, maka dalam penulisan

tesis ini akan digunakan :

a) Sumber bahan hukum primer, yaitu Kitab Undang- Undang Hukum

Pidana dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) serta Undang-Undang No 2 Tahun 2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

b) Sumber bahan hukum sekunder, yaitu buku- buku, RKUHP serta

karya ilmiah yang berkaitan dengan mediasi penal di Indonesia.

c) Sumber bahan hukum tersier, yaitu kamus inggris-indonesia

4. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

49

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hlm.12.

1) Teknik studi kepustakaan, teknik ini merupakan teknik awal yang

digunakan dalam setiap penelitian hukum. Metode pengumpulan data ini

sangat bermanfaat karena dapat dilakukan tanpa mengganggu obyek atau

suasana penelitian.50

Studi dokumen atau kepustakaan adalah kegiatan

mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumen- dokumen dan

memeriksa atau menelusuri dokumen- dokumen atau kepustakaan yang

dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh

peneliti.51

Dalam penulisan ilmiah ini, teknik studi dokumen dilakukan

atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan mediasi penal.

2) Wawancara adalah proses interaksi dan komunikasi serta cara untuk

memperoleh informasi dengan bertanya langsung pada narasumber yang

akan diwawancara.52

Wawancara ini dilakukan dengan beberapa informan

yaitu KBO Satreskrim Polresta Denpasar serta Kanit I Satreskrim Polresta

Denpasar serta beberapa responden yaitu pelaku dan korban

penganiayaan ringan yang melakukan mediasi penal di wilayah hukum

Polresta Denpasar.

50

Jonathan Sarwono, 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Graha Ilmu, Yogyakarta,

hlm.225.

51

Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.

101.

52

Ronny Hanitijo, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,

hlm. 57.

5. Teknik penentuan sampel penelitian

Sampel adalah himpunan bagian atau sebagian dari populasi.53

Teknik

penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1) Purposive sampling adalah penarikan sampel berdasarkan tujuan

tertentu yang dipilih sendiri oleh peneliti berdasarkan pertimbangan

kriteria dan karakteristik tertentu. Dipilihnya beberapa pelaku dan

korban penganiayaan ringan di wilayah hukum Polresta Denpasar

dikarenakan motif, teknis dan pelaksanaan mediasi penal diketahui

secara jelas oleh pelaku dan korban yang secara langsung melaksanakan

mediasi penal. Dari data jumlah penganiayaan ringan yang berhasil

diselesaikan dengan mediasi penal di wilayah hukum Polresta Denpasar

yang melibatkan banyak pelaku dan orban penganiayaan ringan, maka

akan diteliti beberapa pelaku dan korban sebagai sampel untuk meneliti

pelaksanaan mediasi penal yang terjadi.

2) Snowball sampling adalah teknik penarikan sampel yang didasarkan

pada rekomendasi dari sampel sebelumnya. Dalam pengumpulan data

melalui teknik wawancara maka Snowball sampling sangat bermanfaat

untuk mencari jawaban permasalahan secara komperhensif dengan

mengajukan pertanyaan mendalam pada sampel penelitian yaitu para

53

Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

hlm.113.

informan dan responden yang telah dipilih melalui teknik purposive

sampling.

6. Pengolahan dan analisis data

Apabila keseluruhan data sudah diperoleh dan sudah terkumpul, kemudian

data diolah dan dianalisis dengan metode analisis deskriptif kualitatif atau

disebut analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah data yang diperoleh dari

beberapa sumber yang dikumpulkan untuk mendapatkan data yang relevan

dengan masalah yang diangkat kemudian diolah secara deskriptif analitis yaitu

menggambarkan secara lengkap tentang aspek- aspek tertentu yang bersangkutan

dengan permasalahan dan selanjutnya dianalisa kebenarannya.54

Data yang dikumpulkan akan diolah dan dianalisis kemudian dikaji dengan

pendekatan komparasi dan teoritis. Pendekatan komparasi yaitu dengan

melakukan perbandingan pelaksanaan mediasi penal di beberapa negara dengan

prakteknya di Indonesia. Komparasi tersebut bertujuan untuk memperoleh

gambaran tentang mediasi penal yang ideal untuk diintegrasikan ke dalam sistem

peradilan pidana di Indonesia dalam rangka pembaharuan hukum pidana (penal

reform).

54

Alimudin Tuwu, 1993, Pengantar Metode Penelitian, Universiats Indonesia, Jakarta,hlm.73.