bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah 1.pdf · sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban...

23
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aktivitas masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup meliputi kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi merupakan suatu kehidupan ekonomi yang tidak dapat dilepaskan. Masyarakat harus lebih konsumtif dalam memilih kebutuhan hidupnya, dalam kehidupan sekarang tidak sedikit konsumen yang menginginkan kualitas barang yang bagus tanpa ada unsur yang dapat merugikan konsumen. Semakin berkembangnya teknologi yang ada maka semakin banyak barang dan jasa yang di konsumsi oleh konsumen. Hal ini menimbulkan banyak dampak yang terjadi bagi konsumen karena bermanfaat bagi kebutuhan konsumen akan barang yang diproduksi oleh pelaku usaha. Jelas saja disini kedudukan pelaku usaha lebih berkuasa dibanding kedudukan konsumen. Posisi konsumen yang lemah dapat dimudahkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh untung yang sebesar-besarnya. Faktor utama yang menyebabkan kedudukan konsumen selalu lemah adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya yang masih sangat lemah. Masyarakat sebagian besar tidak mengerti bahkan tidak mengetahui hak-haknya sebagai konsumen. Canggihnya teknologi pada saat ini tidak menjamin penjualan produk tersebut benar-benar sempurna, karena bisa saja mengandung cacat

Upload: truongtu

Post on 06-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Aktivitas masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup meliputi

kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi merupakan suatu kehidupan ekonomi

yang tidak dapat dilepaskan. Masyarakat harus lebih konsumtif dalam memilih

kebutuhan hidupnya, dalam kehidupan sekarang tidak sedikit konsumen yang

menginginkan kualitas barang yang bagus tanpa ada unsur yang dapat merugikan

konsumen.

Semakin berkembangnya teknologi yang ada maka semakin banyak

barang dan jasa yang di konsumsi oleh konsumen. Hal ini menimbulkan banyak

dampak yang terjadi bagi konsumen karena bermanfaat bagi kebutuhan konsumen

akan barang yang diproduksi oleh pelaku usaha. Jelas saja disini kedudukan

pelaku usaha lebih berkuasa dibanding kedudukan konsumen. Posisi konsumen

yang lemah dapat dimudahkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh untung yang

sebesar-besarnya.

Faktor utama yang menyebabkan kedudukan konsumen selalu lemah

adalah tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya yang masih sangat lemah.

Masyarakat sebagian besar tidak mengerti bahkan tidak mengetahui hak-haknya

sebagai konsumen. Canggihnya teknologi pada saat ini tidak menjamin penjualan

produk tersebut benar-benar sempurna, karena bisa saja mengandung cacat

2

tersembunyi yang dapat menyebabkan konsumen yang mengkonsumsi produk

tersebut mengalami kerugian.

Dalam Era Globalisasi Produk –produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha

tidak sedikit yang berbahaya bagi konsumen.

Dalam Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha,

karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya,

sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad

baik dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi sampai tahap purna

penjualan. Sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam

melakukan transaksi pembelian barang dan jasa . Hal ini disebabkan oleh

kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang

dirancang / di produksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi

konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen dimulai pada

saat melakukan transaksi dengan produsen.1

Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen

tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang

terjadi antara kedua pihak konsumen yang begitu mudah percaya dengan

informasi pelaku usaha yang menyesatkan menjadi suatu pelanggaran terhadap

perlindungan konsumen. “Nurmadjito mengatakan larangan ini dapat

mengupayakan agar barang dan jasa yang beredar luas dimasyarakat merupakan

produk yang layak edar antara lain asal usulnya, kualitas sesuai dengan informasi

pengusaha baik melalui label, etiket, dan lain sebagainya”.2

1 Ahmad Miru & Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen , Rajawali Pers,

Jakarta, hlm.54

2Nurmadjito, 2000, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang

Perlindungan Konsumen di Indonesia,Mandar Maju, Bandung, hlm.18

3

Kenyataannya yang terjadi di lapangan larangan tersebut tidak dihiraukan

oleh pelaku usaha, seperti sudah diketahui bahwa Undang- Undang Nomer 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK)

menetapkan tujuan perlindungan konsumen untuk mengangkat harkat kehidupan

konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat

negatif dari pemakaian barang atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas

perdagangan pelaku usaha, sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif

pemakaian barang dan jasa.

Arus globalisasi jaman yang membuat perdagangan bebas serta kemajuan

telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi

barang dan jasa yang melintasi batas-batas wilayah suatu negara membuat barang

dan jasa yang ditawarkan bervariasi baik dalam produk luar negeri maupun dalam

negeri. Kondisi demikian membuat para konsumen mempunyai pilihan dalam

menentukan kebutuhan barang dan jasa yang akan dipergunakan. Sejauh itu

konsumen sendiri harusnya berperan aktif dalam menanggulangi penjualan barang

yang dapat merugikannya.

Unsur masyarakat sebagaimana dikemukakan berhubungan dengan

persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang seharusnya menentukan

efektivitas UUPK, bahwa konsumen harus sadar hukum. “Achmad Ali

mengemukakan ketaataan hukum, kesadaran hukum, dan efektivitas perundang-

undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan”. 3

3Achmad Ali, 1998, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Kencana, Jakarta,

hlm.191

4

Perlunya banyak pengetahuan konsumen yang menjadi dasar agar

konsumen tidak mengalami kerugian dalam hal-hal yang tidak diinginkan, karena

tidak sedikit konsumen yang memerlukan sosialisasi dari pemerintah, dan jika

konsumen sudah mengetahui sebab-akibatnya perlu adanya kesadaraan dan

ketaatan hukum dalam pembentukan diri konsumen agar terjaminannya

keselamatan konsumen.

Tentang kewajiban pelaku usaha Pasal 7 UUPK huruf b yaitu

“memberikan informasi yang benar dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan jasa serta memberi penjelasan, penggunaan, perbaikan, dan

pemeliharaan”, salah satu bentuk wujud kewajiban pelaku usaha agar konsumen

terhindar dari adanya kerugian membeli barang dan jasa yang akan

dikonsumsinya.

Pembelian produk cacat tersembunyi merupakan salah satu bentuk

kerugian yang dialami oleh konsumen, jika saja konsumen mengetahui adanya

cacat di dalam barang yang akan ia beli, maka konsumen tidak akan membeli

barang tersebut. Pentingnya penyampaian penyampaian informasi yang benar

terhadap konsumen mengenai suatu produk agar konsumen tidak salah terhadap

gambaran mengenai suatu produk tertentu.

Dalam hal ini kerugian yang dialami oleh konsumen akibat adanya cacat

tersembunyi tersebut bukanlah semata kesalahan konsumen sendiri yang kurang

hati-hati, akan tetapi pelaku usaha mempunyai andil yang besar karena sebagai

pihak penjual. “Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materiil

maupun formal makin terasa sangat penting. Mengingat semakin lajunya ilmu

5

pengetahuan dan teknologi yang produktivitas dan efisiensi pelaku usaha atas

barang dan jasa yang dihasilkannya, dalam rangka menyelesaikan sengketa

konsumen yang semakin kompleks sehingga peraturan perlindungan konsumen

diperlukan”.4

“Produk cacat dikategorikan ke dalam 3 bentuk yaitu, cacat dalam produk

(production flaws), cacat dalam design (design defects), ketidaktepatan informasi

(in adequate information)”.5 Di dalam UUPK tidak memakai istilah cacat produk

tetapi memakai istilah cacat tersembunyi yang diatur di dalam Pasal 9 ayat (1)

UUPK huruf f menyebutkan bahwa, “Pelaku usaha dilarang menawarkan,

mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan atau jasa tidak benar, dan atau

seolah- olah barang tersebut mengandung cacat tersembunyi”. Pasal 11 huruf b

UUPK menyebutkan bahwa, “Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan

melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui atau menyesatkan konsumen

dengan menyatakan barang dan atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung

cacat tersembunyi”. Cacat tersembunyi merupakan suatu keadaan dimana

seseorang membeli sebuah barang dalam keadaan cacat atau tidak sempurna tanpa

mengetahui keadaan tersebut (tersembunyi). Kerugian konsumen akan pembelian

barang cacat tersembunyi sebagai satu- satunya contoh peristiwa hukum di BPSK

Kota Denpasar yaitu terjadi pada Romy Wahyu Franda yang membeli sepasang

sandal bermerek Havaianas disebuah toko di Seminyak, sandal tersebut ia berikan

kepada tunangannya dan setelah diberikan kepada tunangannya, disalah satu tali

4 Husni Syawali, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung,

hlm.33 5 Az Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta,

(selanjutnya disebut Az. Nasution I), hlm. 248.

6

sandal tersebut cacat atau tidak dapat digunakan kembali, setelah mengetahui

adanya cacat di dalam sandal tersebut Romy Wahyu Franda langsung mendatangi

pihak pelaku usaha tetapi tidak dapat perlakuan baik atau dengan kata lain tidak

mendapati tanggapaan dari pelaku usaha, setelah tidak dapat perlakuan baik dari

pelaku usaha Romy Wahyu Franda melaporkan hal ini ke Badan Penyeleseaian

Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) Kota Denpasar untuk

mendapatkan hak-haknya. Karena secara normatifnya pelaku usaha selaku pihak

yang bertanggung jawab atas penjualan barang yang di perjual-belikan harus

bertanggung jawab atas adanya barang cacat tersembunyi, tetapi dalam

kenyataannya karena adanya cacat tersembunyi pelaku usaha menolak

bertanggung jawab sebab salah satu kelemahan konsumen yang tidak hati-hati di

dalam menentukan barang yang akan dibeli.

Tanggung Jawab pelaku usaha di dalam pemberian ganti rugi dalam hal

adanya penjualan barang cacat tersembunyi menjadi kewajiban oleh pelaku usaha

dalam hal pemberian kompensasi tersebut. Sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) UUPK

menyebutkan bahwa, “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi

atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi

barang atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Pelaku usaha sesuai

dengan kewajibannya mengganti kerugian akibat barang yang di produksi untuk

memenuhi suatu kewajibannya sesuai dengan Pasal 23 UUPK menyebutkan

bahwa, “Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tangapan dan atau

tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen dapat digugat melalui BPSK

atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedukan konsumen”.

7

Pengertian BPSK Menurut Pasal 1 angka 11 UUPK adalah badan yang

bertugas menangani dan menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang

berskala kecil dan bersifat sederhana. BPSK merupakan badan hasil bentukan

pemerintah yang berkedudukan di ibu kota Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota

(Pasal 49 ayat 1 UUPK). Tugas BPSK adalah sebagai pengawas dan

menyelesaikan sengketa, jika pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas

pelanggaran yang dibuat, pihak konsumen berhak mengajukan laporan ke BPSK

untuk mendapatkan ganti kerugian sesuai dengan pelanggaran pelaku usaha

tersebut.

“Secara teoritis penyelesaian sengketa melalui 2 (dua) cara, yaitu dengan

cara penyelesaian sengeketa pertama melalui proses litigasi di luar pengadilan”6,

kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama di dalam

pengadilan. Dari beberapa permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat,

munculah pemikiran untuk melahirkan sebuah bentuk penyelesaian sengketa

diluar proses peradilan melalui mekanisme arbitrase dan Alternatif Dispute

Resolution (selanjutnya disebut ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa

(selanjutnya disebut APS)”. Hadirnya penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan

APS bukan untuk mengacaukan pelaksaan hukum acara sebagai hukum formil

dari hukum publik dan hukum privat yang berlaku. Hal tersebut membantu

membuka pintu baru untuk masyarakat yang mencari keadilan, agar setiap

sengketa tidak selalu di pengadilan dengan waktu yang lama dan biaya yang

mahal.

6 Frans Hendra Winarta, 2011, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional

Indonesia dan Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.9

8

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan menarik untuk diangkat

kedalam sebuah penelitian hukum yang dituangkan di dalam sebuah skripsi

yangberjudul “Pelaksanaan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Atas Penjualan

Barang Cacat Tersembunyi : Studi Pada Badan Penyelesaian Sengketa

(BPSK) Kota Denpasar”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan yang akan di

bahas sebagai berikut :

1. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab dari pelaku usaha atas penjualan

barang cacat tersembunyi (studi pada BPSK Kota Denpasar) ?

2. Upaya apakah yang dilakukan oleh BPSK Kota Denpasar di dalam

penyelesaian sengketa penjualan barang cacat tersembunyi?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Untuk menghasilkan karya ilmiah yang baik, perlu kiranya diberikan

batasan yang tegas mengenai materi yang akan dibahas, sehingga pembahasan

tidak menyimpang dari permasalahan. Maka berdasarkan rumusan masalah, ruang

lingkup masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai

bentuk tanggung jawab pelaku usaha atas penjualan barang cacat tersembunyi :

studi pada BPSK kota Denpasar, sedangkan permasalahan yang kedua dibatasi

hanya pada upaya di dalam penyelesaian sengketa penjualan barang cacat

tersembunyi oleh BPSK Kota Denpasar.

1.4 Orisinalitas

9

Dalam melakukan suatu karya ilmiah skripsi perlu adanya orisinalitas atau

keasliaan penulisan, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan

orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa

jenis penelitian 1 tesis dan 1 skripsi sebagai pembanding yang serupa dengan

judul skripsi penulis tetapi memiliki unsur-unsur perbedaan yang dapat

meyakinkan bahwa skripsi yang dibuat penulis adalah hasil asli tulisan sendiri.

Adapun pembandingnya yaitu :

1.1 Tabel Penelitian Sejenis :

No Judul Skripsi / Tesis Penulis Rumusan Masalah

1.

Mekanisme

Penyelesaian sengketa

konsumen terhadap

produk cacat dalam

kaitannya dengan

tanggung jawab

produsen

M. Masril

(Mahasiswa

program studi

pascasarjana

Universitas

Sumatera Utara

Tahun 2009)

1. Bagaimana bentuk

tanggung jawab

produsen terhadap

produk cacat dalam

perspektif perlindungan

konsumen?

2. Bagaimana mekanisme

penyelesaian sengketa

terhadap produk cacat

dalam kaitannya dengan

tanggung jawab produk

menurut Undang-

Undang Nomor 8 tahun

1999?

10

2. Tanggung jawab

pelaku usaha atas

penggunaan obat

tradisonal yang

mengandung bahan

kimia obat

Ni Komang

Ayu Noviyanti

(Mahasiswa

Fakultas

Hukum

Universitas

Udayana

Denpasar Tahun

2013)

1. Bagaimanakah

pertanggungjawaban

dari pelaku usaha atas

kerugian yang dialami

oleh konsumen karena

penggunaan obat

tradisional yang

mengandung bahan

kimia obat?

2. Upaya-upaya apakah

yang dilakukan oleh

konsumen yang

menderita kerugian atas

penggunaan obat

tradisional yang

mengandung bahan

kimia obat?

1.2 Tabel Penelitian Penulis

No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1. Pelaksanaan

tanggung jawab

pelaku usaha atas

penjualan barang

cacat tersembunyi :

studi pada Badan

Penyelesaian

Sengketa Konsumen

(BPSK)KotaDenpasar

Ni Made Dwi

Nurmahayani

(Mahasiswa

Fakultas Hukum

Universitas

Udayana Tahun

2016)

1. Bagaimana bentuk dari

tanggung jawab pelaku

usaha atas penjualan

barang cacat tersembunyi

(studi pada BPSK Kota

Denpasar)?

2. Upaya apa yang

dilakukan oleh BPSK

Kota Denpasar di dalam

penyelesaian sengketa

penjualan barang cacat

tersembunyi?

.

11

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan umum

1. Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab pelaku usaha terhadap penjualan

barang cacat tersembunyi dalam hal (studi pada BPSK Kota Denpasar).

2. Untuk mengetahui upaya yang dilakukan oleh BPSK Kota Denpasar di

dalam penyelesain sengketa terhadap penjualan barang cacat tersembunyi.

1.5.2 Tujuan khusus

1. Untuk memahami bentuk tanggung jawab pelaku usaha terhadap penjualan

barang cacat tersembunyi dalam hal (studi pada BPSK Kota Denpasar).

2. Untuk memahami upaya yang dilakukan oleh BPSK di dalam penyelesaian

sengketa penjualan barang cacat tersembunyi.

1.6 Manfaat penelitian

Setiap penulisan selalu diharapkan dapat memberikan manfaat pada

berbagai pihak. Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1.6.1 Manfaat Teoritis

1. Secara teoritis hasil penelitian akan dapat menjadi manfaat di dalam

memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu hukum bisnis dan

menambah ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan studi hukum

perlindungan konsumen.

2. Memberikan pemahaman mengenai tanggung jawab pelaku usaha atas

penjualan barang cacat tersembunyi.

1.6.2 Manfaat Praktis

12

1. Untuk menambah pengalaman dan kemampuan peneliti di dalam melakukan

penelitian hukum

2. Untuk memberikan infomasi kepada konsumen tentang pelaksanaan tanggung

jawab pelaku usaha atas penjualan barang cacat tersembunyi.

3. Agar pelaku usaha mengetahui pentingnya pemberian informasi kepada

konsumen atas barang yang dijual untuk menghindari terjadinya sengketa.

4. Untuk bahan masukan bagi BPSK Kota Denpasar dalam pelaksaan tugasnya

dilapangan.

1.7 Landasan Teoritis

Pada landasan teoritis ditengahkan juga beberapa teori dan asas- asas,

definisi , konsep-konsep, prinsip-prinsip yang relevan serta pemikiran para sarjana

sebagai dasar pembenar dalam pengkajian mengenai pelanggaran yang dilakukan

oleh pelaku usaha dalam halnya adanya cacat tersembunyi di dalam barang

tersebut.

Menurut Pasal 3 UUPK menyebutkan mengenai asas-asas yang relevan di

dalam wujud memberikan perlindungan kepada konsumen yaitu:

1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan

manfaat sebesar-besarnya.

2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan dimakudkan untuk memberikan keseimbangan antara

kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil

dan spititual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen

dalam penggunaan pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa

yang di konsumsi atau digunakan.

13

5. Asas kepastian hukum di maksudkan agar pelaku usaha maupun

konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen serta negara menjamin

kepastian hukum.

Upaya perlindungan hukum di dalam kamus hukum perlindungan hukum

adalah “Suatu upaya kepastian hukum untuk mendapat perlindungan berdasarkan

peraturan-peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan negara dan sebagainya atau

dapat yang berlaku bagi semua orang di suatu masyarakat atau negara”.7

Perlunya undang-undang perlindungan konsumen tidak lain karena

lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen. Proses sampai hasil

produksi barang atau jasa dilakukan tanpa ikut campur konsumen sedikitpun.

Tujuan hukum perlindungan konsumen secara langsung adalah untuk

meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen. secara tidak langsung, hukum

ini juga akan mendorong produsen untuk melakukan usaha dengan penuh

tanggung jawab, namun semua tujuan hanya dapat dicapai bila hukum

perlindungan konsumen dapat diterapkan secara konsekuen. Untuk mewujudkan

harapan tersebut, perlu dipenuhi beberapa syarat antara lain sbb.

1. Hukum perlindungan konsumen harus adil bagi konsumen maupun

produsen, jadi tidak hanya membebani produsen dengan tanggung jawab,

tetapi juga melindungi hak-haknya dengan melakukan usaha dengan

jujur.

2. Aparat pelaksanaan hukumnya harus dibekali dengan sarana yang

memadai dan disertai dengan tanggung jawab.

3. Peningkatan kesadaran konsumen akan hak-haknya.

4. Mengubah sistem nilai dalam masyarakat kearah sikap tindak yang

mendukung pelaksanaan perlindungan konsumen. 8

7Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1998,Kamus Hukum, tanpa penerbit, Jakarta,

hlm.954 8Sri Rejeki Hartono, 2000, Makalah Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen

Dalam Buku Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hlm.34

14

“Secara umum ada 4 hak dasar konsumen yaitu, hak untuk mendapat

keamanan (the right to safety), hak untuk mendapat informasi (the right to be

informed), hak untuk memilih (the right to be choose) dan hak untuk di dengar

(the right to be head)”. 9 Di dalam Pasal 4 UUPK dijelaskan mengenai hak-hak

konsumen huruf a-i yang merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum di

dalam pemuatan peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen.

Landasan yuridis mengenai memahami perlindungan konsumen, perlu

diketahui pengertian perlindungan konsumen menurut Pasal 1 ayat (1) UUPK

yaitu perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, sedangkan

menurut “Mochtar Kusumaatmaja hukum perlindungan konsumen adalah

keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi

konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan

produk(barang dan jasa) konsumen antara penyedia dan penggunaannya dalam

kehidupan bermasyarakat”.10

Penjelasan Pasal 1 angka 4 UUPK pengertian barang adalah benda baik

berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat

dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan,

dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.”

“Harkristuti Harkriswono membedakan berbagai perilaku yang merugikan

konsumen yang merupakan perbuatan yang melawan hukum. UUPK telah

memberi kemudahan bagi hak-hak konsumen untuk mendapat ganti rugi dan

9 Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen,Grasiondo, Jakarta, hlm.16

10

AZ. Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum Cet. I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

(selanjutnya disebut Az. Nasution II), hlm.22

15

sejumlah tuntutan yang menyangkut kepentingan konsumen dengan dirumuskan

sistem pertanggungjawaban pelaku usaha (product libiality)”.11

“Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dibedakan

sebagai berikut yaitu, kesalahan (libiality based on fault), praduga selalu

bertanggung jawab (presumption of libiality), praduga selalu tidak bertanggung

jawab (presumption of nonability), tanggung jawab mutlak (strict libiality),

pembatasan tanggung jawab (limitiation of libiality)”. 12

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam perlindungan konsumen secara

umum digunakan untuk menjerat pelaku usaha, khususnya produsen

barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas

tanggung jawab tersebut dinamakan prinsip tanggung jawab product

libiality yaitu suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan

yang menghasilkan produk atau dari orang atau badan yang bergerak

dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk. Menurut asas ini

wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas

penggunaan produk yang di pasarkan.13

Penjelasan Pasal 19 UUPK mengenai tanggung jawab pelaku usaha

bahwa :

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang

dan jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan.

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan jasa yang sejenis atau

setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan

yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari

setelah tanggal transaksi.

11

Harkristuti Harkriswono, 1996, Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Kerangka

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, tanpa tempat penerbit, Jakarta, hlm.6 12

Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,

Jakarta, hlm.92 13

Ibid, hlm.97

16

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

tidak mengharuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan

pembuktian lebih jelas mengenai adanya unsur kesalahan.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku

apabila pelaku usaha dapat membuktikan kesalahan tersebut merupakan

kesalahan konsumen.

Menurut pasal 1491 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (selanjutnya

disebut KUHPerdata) disebutkan bahwa pihak menjual mempunyai tanggung

jawab terhadap pembeli, yaitu :

a. menjamin penguasaan barang yang dijual secara aman dan tentram.

b. menjamin adanya cacat barang tersebut tersembunyi, atau yang

sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan

pembeliannya.

Jika pelaku usaha benar mengakibatkan konsumen atas kerugiannya maka

dapat dikatakan pelaku usaha melanggar atau melawan hukum dan pelaku usaha

tersebut mempunyai kewajiban menggantikan kerugian yang dialami oleh

konsumen tersebut. Menurut pasal 1365 KUHPerdata yang menyebutkan : “Tiap

perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut”.

Penjelasan Pasal 8 ayat 2 UUPK menyebutkan bahwa “pelaku usaha

dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar

tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang di maksud”.

“Produk cacat menurut Az.Nasution adalah setiap produk yang tidak dapat

memenuhi tujuan perbuatannya baik karena sengaja atau kealpaan dalam proses

17

maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya atau tidak

menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harga benda mereka

dalam penggunaan sebagaimana diharapkan orang”. 14

Suatu produk yang mengalami cacat dibedakan atas 3 kemungkinan

yaitu kesalahan produksi, cacat desain, dan informasi yang tidak memadai.

Kesalahan produksi merupakan kesalahan yang meliputi kegagalan proses

produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana inspeksi, apakah

karena kelalaian manusia atau ketidak beresan pada mesin dan yang serupa

dengan itu. Cacat desain yaitu cacat yang terjadi pada tingkat persiapan

produk yang terdiri dari atas desain, komposisi, atau kontruksi, dan

informasi yang tidak memadai yaitu pemasaran suatu produk, dimana

keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada

pemakai yang berupa pemberian label produk, cara penggunaan peringatan

atas resiko tertentu atau hal lainnya sehingga produsen pembuat dan

supplier dapat memberikan jaminan bahwa produk- produk mereka itu

dapat dipergunakan sebagaimana dimaksud.15

“Suatu produk yang mengalami cacat dibedakan atas 3 kemungkinan

yaitu kesalahan produksi, cacat desain, dan informasi yang tidak memadai”.16

Pengaturan mengenai cacat tersembunyi diatur di dalam KUHPerdata 1504 “Si

penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang di

jual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian itu sehingga,

seandainya si pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli

barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.’’

Jika saja konsumen mengetahui adanya cacat tersembunyi di dalam barang

yang akan ia beli maka tidak akan batal membeli barang tersebut, atau sekurang-

kurangnya meminta pengurangan harga barang. Di dalam UUPK dijelaskan

mengenai cacat tersembunyi pasal 9 ayat (1) huruf f “Pelaku usaha dilarang

14

Az. Nasution, 2001, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Radit media,

Yogyakarta, (selanjutnya disebut Az. Nasution II), hlm.248 15

H.Duitntjer Tebbens, 1980, International Product Libiality, Sitjthoff & International

Publisher, Netherlands, hlm. 7-9 16

Az.Nasution I, hlm. 248

18

menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara

tidak benar, dan atau seolah-olah barang tersebut tidak mengandung cacat

tersembunyi”. Menurut Pasal 1505 KUHPerdata bahwa, “Si penjual tidaklah

diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan, yang dapat diketahui

sendiri oleh si pembeli.” Menurut Pasal 1506 KUHPerdata bahwa, “Ia diwajibkan

menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak

mengetahui tentang adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal yang sedemikian,

telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu

apapun.

Sesuai dengan UUPK Pasal 45 ayat (1) bahwa setiap konsumen yang

dirugikan dapat menggungat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas

menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan

yang berada di lingkungan peradilan umum. Yang dimaksud dengan lembaga

yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha adalah

BPSK. Sesuai dengan Pasal 1 angka 11 UUPK menyatakan BPSK adalah badan

yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antar pelaku usaha dan

konsumen. BPSK di dalam menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan

melalui ADR yaitu melalui konsiliasi, mediasi dan arbitrase.

Secara garis besar di dalam penyelesaian sengketa ada 2 yaitu litigasi dan

non litigasi. “Proses di dalam menyelesaikan sengketa melalui proses non litigasi

19

dan litigasi . Proses litigasi cenderung menghasilkan masalah baru karena sifatnya

win-lose”.17

Beberapa permasalahan hukum yang timbul dimasyarakat muncul

pemikiran untuk melahirkan sebuah bentuk penyelsaian sengketa di luar

pengadilan melalui mekanisme arbitrase dan APS. Undang -Undang Nomor 30

tahun 1999 mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa (selanjutnya

disebut UU No. 30 Tahun 1999) adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata

di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh para pihak yang berwenang. Penjelasan Pasal 1 angka 10 UU

No. 30 tahun 1999 macam- macam APS terdiri dari, penyelesaian melalui metode

konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau penilian akhir.

Macam-macam penyelesaian sengketa ini akan menjelaskan bahwa

sesungguhnya di dalam penyelesaian sengketa konsumen sebagai usaha di dalam

menyelaraskan kepentingan umum dapat di selesaikan dengan jalur non litigasi

dan litigasi.

1.8 Metode Penelitian

1.8.1 Jenis penelitian

Di dalam jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini menggunakan

metode Yuridis empiris, yaitu cara prosedur yang dipergunakan untuk

memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebih dahulu

untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer dilapangan18

.

17

Frans Hendra, 2011, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan

Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 9 18

Abdulkadir Muhamad, Hukum dan Penelitian Hukum ,Citra Aditya Bakti, Bandung,

hlm.112

20

Data sekunder tersebut merupakan teori hukum, literatur maupun peraturan

perundang-undangan yang berlaku dimasyarakat. Penelitian empiris yaitu,

penelitian yang dilakukan secara langsung ke lapangan guna mendapatkan

kebenaran yang akurat. dalam melakukan penelitan skripsi ini penulis melakakuan

penelitian di lapangan pada BPSK Kota Denpasar.

1.8.2 Sifat penelitian

Sifat penelitain ini bersifat deskriptif. Penelitian ini bertujuan

menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok

tertentu atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala atau untuk menentukan

ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain di masyarakat.

Penelitian ini menggambarkan pelaksanaan tanggung jawab pelaku usaha atas

penjualan barang cacat tersembunyi : studi pada di BPSK Kota Denpasar.

1.8.3 Data dan sumber data

1. Data primer

Data primer yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber

atau diperoleh dari penelitian di lapangan yang dilakukan dengan cara

mengadakan penelitian di BPSK Kota Denpasar. Adapun sumber data yang

diperoleh dari narasumber yang paling utama, dalam hal ini adalah anggota

Majelis BPSK Kota Denpasar serta Sekretariat BPSK Kota Denpasar.

2. Data sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder.

21

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

mengikat yaitu :

a. KUHPerdata

b. UUPK

c. UU No. 30 Tahun 1999

2. Bahan Hukum Sekunder adalah literatur yang memberikan penjelasan

terhadap bahan hukum primer yaitu meliputi buku-buku : literatur, artikel,

makalah, internet, skripsi, tesis dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya

yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

3. Bahan Hukum Tersier

a. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta

b. Black Law Dictionary

c. Kamus Hukum

1.8.4 Teknik pengumpulan data

1. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara untuk

mendapatkan jawaban yang relevan di dalam suatu kasus penelitian, dalam

penelitian ini wawancara yang merupakan teknik memperoleh data

dilapangan dipergunakan untuk menunjang data-data yang diperoleh melalui

studi dokumen. Penelitian yang dilakukan BPSK Kota Denpasar.

2. Teknik pengumpulan data yang digunakan berupa teknik studi dokumen. Studi

dokumen berupa atas bahan bahan hukum dan perundang-undangan yang

relevan dengan permasalahan mengenai hukum perlindungan konsumen, dan

22

dalam melakukan penelitian ini dengan cara mengumpulkan data berdasarkan

pada bentuk bahan hukum sesuai dengan permasalahan yang ada yang

peraturan relevansinya dengan masalah yang diteliti.

1.8.5 Teknik penentuan sampel penelitian

Dalam penelitian ini, teknik penentuan sampel yang dipergunakan adalah

teknik Non-Probabilitas. Teknik ini digunakan agar diperoleh subyek-subyek

yang ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian, dimana semua populasi

mempunyai kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk ditetapkan menjadi

sampel. Teknik pengumpulan sampel dengan teknik Non- Probabilitas yang

digunakan menekankan pada bentuk Purposive Sampling yaitu penarikan sampel

dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri

oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan

pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kreteria dan sifat-sifat atau

karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.

1.8.6Pengolahan dan analisis data

Dalam melakukan peneletian ini yang dipakai adalah analisis kualitatif

dalam suatu penelitian yang sifatnya eksploratif dan deskriptif. Dalam hal ini data

yang dikumpulkan adalah data naturalistik yang terdiri atas kata-kata (narasi), data

sukar diukur dengan angka, bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus

sehingga tidak dapat disusun ke dalam struktur klasifikasi, hubungan antar

variable tidak jelas, sampel lebih bersifat non probalitas, dan pengumpulan data

menggunakan pedoman wawancara dan observasi.

23

Dalam penelitian dengan teknik analisis kualitatif atau yang sering disebut

analisis kualitatif maka keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer

maupun data sekunder, akan diolah dan dianalisis dengan cara dan tema

diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan

interpretasi untuk memahami makna data dalam situasi sosial, dan dilakukan

penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data.

Proses analis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data

di lapangan dan berlanjut secara hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan

analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif

dansistematis