bab i pendahuluan 1.1 latar belakang dewasa ini kehidupan

176
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan sosial dan budaya sehari-hari masyarakat Bali tergantung pada sektor pariwisata, dan dunia pariwisata telah mengubah kondisi Bali, juga pola pikir masyarakat setempat. Bali sebagai tujuan wisata unggulan di Indonesia karena memiliki berbagai potensi kebudayaan. Keunikan budaya Bali dan keindahan alam Bali, juga tampaknya menjadi daya tarik yang paling dominan dalam perkembangan kepariwisataan di Bali (Ardika, 2007: 28). Pengaruh keberhasilan dari dunia pariwisata telah membawa kehidupan sosial dan budaya masyarakat lokal mengalami perubahan yang sangat cepat, menjadikannya komoditi utama dalam perekonomian untuk mencapai kesejahteraan, meningkatkan devisa negara, bertambahnya pendapatan daerah Bali, dan tanpa disadari telah mempengaruhi sektor kebutuhan lainnya. Pariwisata adalah salah satu fenomena kebudayaan global yang dipandang sebagai suatu sistem, dan pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali tampaknya selaras dengan kecenderungan pariwisata global yang terus berkembang mempengaruhi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat (Ardika, 2007: 29). Globalisasi bukan sekedar hegemoni Barat, globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global yang semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan atau panutan oleh masyarakat pendukungnya tidak jarang telah mengalami perubahan karena nilai-nilai budaya global dengan

Upload: trankien

Post on 31-Dec-2016

241 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini kehidupan sosial dan budaya sehari-hari masyarakat Bali

tergantung pada sektor pariwisata, dan dunia pariwisata telah mengubah kondisi

Bali, juga pola pikir masyarakat setempat. Bali sebagai tujuan wisata unggulan di

Indonesia karena memiliki berbagai potensi kebudayaan. Keunikan budaya Bali

dan keindahan alam Bali, juga tampaknya menjadi daya tarik yang paling

dominan dalam perkembangan kepariwisataan di Bali (Ardika, 2007: 28).

Pengaruh keberhasilan dari dunia pariwisata telah membawa kehidupan sosial

dan budaya masyarakat lokal mengalami perubahan yang sangat cepat,

menjadikannya komoditi utama dalam perekonomian untuk mencapai

kesejahteraan, meningkatkan devisa negara, bertambahnya pendapatan daerah

Bali, dan tanpa disadari telah mempengaruhi sektor kebutuhan lainnya.

Pariwisata adalah salah satu fenomena kebudayaan global yang dipandang

sebagai suatu sistem, dan pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali

tampaknya selaras dengan kecenderungan pariwisata global yang terus

berkembang mempengaruhi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat

setempat (Ardika, 2007: 29). Globalisasi bukan sekedar hegemoni Barat,

globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan

global yang semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama

ini digunakan sebagai acuan atau panutan oleh masyarakat pendukungnya tidak

jarang telah mengalami perubahan karena nilai-nilai budaya global dengan

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

2

kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan

tersebut.

Menurut Leiper pariwisata terdiri atas tiga komponen: (1) wisatawan

(tourist), (2) elemen geograpi (geographical elements), dan (3) industri pariwisata

(tourism industrial) (Cooper, dkk. dalam Ardika, 2007: 29). Pariwisata sebagai

industri yang paling besar dan berkembang tercepat di dunia maka hal ini akan

menimbulkan tekanan terhadap lingkungan, sosial dan budaya masyarakat lokal

yang biasanya digunakan untuk mendukung pariwisata tersebut. Kawasan pesisir

merupakan daerah pertama yang terkena dampak pariwisata sehingga cepat

mengalami perubahan akibat gaya pariwisata global. Industri pariwisata di era

global cenderung meningkat dan menjadi katalisator dalam pembangunan

nasional karena mendukung peningkatan perekonomian masyarakat dan devisa

negara. Perkembangan industri pariwisata berpengaruh positif juga dapat

berdampak negatif yang perlu diwaspadai oleh masyarakat (Sirtha, 2007: 62).

Wisatawan global cenderung mencari pengalaman tentang sesuatu yang

otentik atau asli, termasuk benda cagar budaya. Benda cagar budaya merupakan

hasil adaptasi manusia terhadap lingkungan yang mempunyai berbagai nilai, baik

nilai historis, arkeologis, seni, religius, maupun nilai ekonomis (Wiguna, 2002:

163). Mengingat pentingnya nilai tersebut dan dapat berpengaruh terhadap

kehidupan manusia, maka apa pun bentuknya benda cagar budaya itu harus

dilestarikan agar terhindar dari bahaya kemusnahan. Perkembangan pariwisata

global saat ini merupakan peluang benda cagar budaya sebagai daya tarik wisata

budaya yang dikembangkan di Bali, dan telah dirasakan manfaatnya oleh

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

3

masyarakat, namun, jika pengelolaan dan pemanfaatanya tidak terkendali, industri

pariwisata dapat menjadi ancaman yang sangat berbahaya bagi kelestarian nilai-

nilai budaya tersebut (Sirtha, 2007: 62-63).

Bali sebagai daerah tujuan wisata memiliki warisan cagar budaya yang

relatif banyak yaitu benda/bangunan cagar budaya dari masa klasik Hindu dan

Budha. Salah satunya adalah “Pura Petitenget” yang berlokasi di Banjar Batu

Belig, di depan pantai Petitenget, berada di Desa Adat Kerobokan, di wilayah

Kecamatan Kuta Utara, Badung. Pura ini memiliki riwayat yang panjang dan

unik, pura tua yang dirawat secara baik dan bersih ini selain sebagai tempat

persembahyangan, juga sebagai bangunan cagar budaya yang dijaga dan

dilestarikan. Pura Petitenget merupakan salah satu pura dang kahyangan yang

disucikan. Pura Dang Khayangan merupakan tempat pemujaan terhadap jasa

seorang pandita atau guru suci yang telah memberikan ajaran agama kepada

umatnya (Suadnyana, 2010: vi). Pura Dang Kahyangan termasuk dalam

klasifikasi pura umum, sebagai pura yang tergolong umum dapat dipuja oleh

seluruh umat Hindu sehingga sering disebut kahyangan jagat. Pura Kahyangan

Jagat sesuai arti harafiahnya, adalah pura yang universal atau umum, artinya

seluruh umat ciptaan Tuhan sejagat boleh bersembahyang di pura tersebut untuk

memohon keselamatan/kerahayuan, kesejahteraan, dan keteduhan jagat semesta

(Suadnyana, 2010: vii).

Pemanfaatan dan pengelolaan pariwisata budaya ibarat pisau bermata dua

yang mempunyai dua sisi yang berbeda, dapat menimbulkan dampak positif dan

dampak negatif. Dampak positif; lestarinya benda cagar budaya, memberikan

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

4

keuntungan ekonomi kepada masyarakat lokal/setempat. Sedangkan dampak

negatif; rusak/hancurnya benda cagar budaya, terjadinya komersialisasi benda

cagar budaya (Ardika, 2007: XI). Faktor yang sangat berpengaruh terhadap benda

cagar budaya ialah kondisi lingkungan alam dan lingkungan manusia, maka

perkembangan industri pariwisata global yang sangat cepat dan tidak terkendali,

di dukung kondisi lingkungan semacam ini dapat berpengaruh positif dan negatif

terhadap benda cagar budaya tersebut, sekaligus menjadi ancaman yang sangat

membahayakan terutama apabila terjadi proses akulturasi antara budaya

masyarakat lokal dan budaya wisatawan akibat dari kesalahan pemanfaatan dan

pengelolaan pariwisata budaya tersebut (Ardika, 2007: 48).

Dalam aspek budaya terjadi komersialisasi nilai budaya dan pergeseran

nilai budaya dari sakral menuju profan. Apabila nilai budaya masyarakat telah

merosot, maka masyarakat akan kehilangan kepribadiannya. Bahkan kemerosotan

nilai budaya masyarakat menyebabkan pengembangan pariwisata budaya akan

terancam. Karena luasnya pengaruh globalisasi dalam pariwisata, akan

berpengaruh terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial dan budaya, maka

kebijakan pembangunan pariwisata seharusnya tidak hanya untuk mendapatkan

keuntungan pada aspek ekonomi tetapi juga harus ada upaya pengembangan dan

pelestarian lingkungan hidup (tangible) maupun lingkungan sosial dan budaya

(intangible) demi terwujudnya lingkungan yang lestari (Sirtha, 2007: 63).

Dari hasil penelitian yang ada terkait dengan Pura Petitenget sebelumnya

hanya mengungkapkan secara umum tentang keberadaan dan sejarah berdirinya

Pura Petitenget yang unik tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menemukan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

5

adanya pergeseran nilai dan makna, dulu dan sekarang. Pada awal berdirinya,

Pura Petitenget merupakan pura yang sakral, penuh dengan “religio-magis”

karena riwayat sejarahnya yang panjang dan unik, dan penyungsung pura ini

selalu menjaga kesucian pura tersebut tetap dalam nilai-nilai kesakralannya

sebagai sebuah pura dang kahyangan tempat memohon keselamatan dan

kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Saat ini sebagai warisan budaya

mengalami pergeseran nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Hal ini

dapat dilihat dari pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya

dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali, yang telah membuat ketertarikan

wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke pura tersebut. Secara sadar atau

tidak, pada akhirnya membawa berbagai macam persoalan budaya global yang

terkait untuk masuk di dalamnya. Persoalan yang ditemukan di lapangan yakni, di

daerah sekitar Pura Petitenget saat ini sudah banyak dibangun dan dikelilingi oleh

fasilitas-fasilitas sarana dan prasarana penunjang pariwisata, dan wisatawan yang

berkunjung ke dalam Pura Petitenget dapat leluasa masuk hingga ke areal

halaman tersuci (jeroan) dari pura ini, yang seharusnya hanya digunakan sebagai

tempat persembahyangan, dan radius kesucian Pura Petitenget, baik di dalam

maupun di luar pura, seharusnya tetap terjaga dan terpelihara, tetapi saat ini sudah

mengalami perubahan karena dampak dari perkembangan pariwisata Bali.

Persoalan-persoalan di atas telah menyebabkan kesakralan Pura Petitenget

dalam konteks pariwisata budaya di Bali tidak lagi sebagaimana pada awal

mulanya dibangun, tetapi saat ini telah terjadi profanisasi makna dan nilai asli

yang terkandung di dalamnya. Di mana komersialisasi tempat suci dapat

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

6

mengakibatkan menurunnya nilai-nilai religiusitas/kesakralan tempat suci tersebut

akibat industri pariwisata Bali. Masyarakat lokal sebagai pewaris dan pemilik

budaya seringkali tidak memahami makna yang terkandung di dalam sumber daya

budaya yang dimilikinya. Kesakralan suatu pura harus tetap dipelihara dan dijaga

untuk keberadaan kesucian pura tersebut. Dengan adanya konsepsi tentang

kesucian pura yang harus terjaga dan terpelihara kesakralannya, baik di dalam

maupun di luar pura, maka Pura Petitenget seharusnya tetap sakral (suci), baik di

dalam maupun di luar pura itu sendiri, dan sebagai tempat suci bagi umat Hindu

dalam menjalankan ajaran agamanya, di samping sebagai warisan benda cagar

budaya (living monument).

Dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana

Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Bali Tahun 2009 – 2029 yang mengacu

kepada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Radius Kesucian Pura

(Sempadan Kesucian Pura) sesuai Bhisama PHDI adalah; 5 (lima) kilometer

untuk sepuluh (10) pura berstatus Sad Kahyangan, dan 2 (dua) kilometer untuk

puluhan pura berstatus Dang Kahyangan. Dalam radius tersebut tidak dibolehkan

membangun apapun, termasuk fasilitas hiburan dan pariwisata. Kemudian

dipertegaskan lagi dalam Keputusan Bupati Badung Nomor 637 Tahun 2003

Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta Utara menyebutkan :

Pasal 9

Kawasan Limitasi merupakan kawasan yang tidak dapatdikembangkan sama sekali yang memiliki ratio tutupan lahan samadengan 0% sehingga tidak boleh ada bangunan di dalam kawasan ini.Kawasan Limitasi yang ditetapkan adalah :

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

7

a. Kawasan Suci merupakan kawasan yang dipandang memiliki nilaikesucian oleh umat Hindu di Bali. Kawasan suci diantaranyapantai, campuhan (pertemuan sungai), mata air (beji), catuspatha/pempatan agung dan setra/kuburan Hindu.Lokasi kawasan suci tersebut diantaranya di Pantai Canggu danPantai dekat Pura Petitenget.

b. Kawasan Radius Kesucian Pura berpedoman pada KeputusanPHDI Pusat Nomor 11/Kep/I/PHDIP/1994 tentang BhisamaKesucian Pura yang terdiri atas Apaneleng Agung (minimal 5 Kmdari pura) untuk Sad Kahyangan, Apaneleng Alit (minimal 2 Kmdari pura) untuk Dang Kahyangan, dan Apanimpug atauApanyengker untuk Kahyangan Tiga dan lain-lain.

Dalam Pasal 3 (tiga), PERDA Nomor 16 tahun 2009 (RTRWP) Bali

tentang Radius Kesucian Pura, tujuan Perda ini menyatakan secara tegas adalah

mewujudkan ruang aman, nyaman, produktif, berjatidiri berbudaya Bali, dan

berwawasan lingkungan berlandaskan “Tri Hita Karana”, yaitu falsafah hidup

masyarakat Bali yang memuat 3 (tiga) unsur yang membangun keseimbangan dan

keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia,

dan manusia dengan lingkungan sekitarnya, yang menjadi sumber kedamaian,

kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia.

Terkait dengan Perda tersebut di atas, di lapangan ditemukan adanya

berbagai persoalan yakni; (1) jaba Pura Petitenget dipakai sebagai areal halaman

parkir untuk para wisatawan dan masyarakat sekitarnya, (2) wantilan Pura

Petitenget selain digunakan untuk kegiatan masyarakat setempat dalam kaitannya

melaksanakan aktivitas upacara keagamaan, juga dapat dimanfaatkan/digunakan

oleh masyarakat/kelompok lain untuk kegiatan acara tertentu yang tidak ada

hubungannya dengan keagamaan, (3) wisatawan mancanegara dapat dengan

leluasa masuk ke Pura Petitenget hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) dari

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

8

pura tersebut, (4) daerah di sekitar Pura Petitenget banyak terdapat fasilitas sarana

dan prasarana penunjang pariwisata, seperti restoran, café, hotel/penginapan, mini

market dan sebagainya. Persoalan- persoalan yang disebutkan di atas merupakan

realitas atau kenyataan yang dihadapi sekarang ini, dan proses industrialisasi

pariwisata global telah membawa dampak profanisasi yang berpengaruh terhadap

keberadaan dan fungsi utama Pura Petitenget sebagai tempat suci, sehingga dapat

mengurangi rasa hikmat umat ketika bersembahyang di dalam melaksanakan

ajaran agamanya.

Profanisasi budaya menyebabkan terjadinya pergeseran nilai, bentuk dan

makna kesucian Pura Petitenget sebagai warisan budaya akibat pengembangan

pariwisata budaya di Bali. Pura Petitenget sebagai warisan budaya tidak lagi

sebagai sebuah pura yang disucikan dan disakralkan sebagaimana nilai, makna

dan fungsi aslinya pada masa dulu di bangun, tetapi sekarang telah bergeser

karena berfungsi menjadi sebuah objek wisata budaya yang dikunjungi oleh

wisatawan asing. Wisatawan/pengunjung dengan leluasa bisa masuk hingga ke

areal halaman tersuci (jeroan) pura yang seharusnya tetap terjaga dan dilestarikan

sesuai dengan sejarah keberadaan Pura Petitenget tersebut. Konservasi warisan

cagar budaya memang bertujuan baik untuk menjaga keutuhan dan kelestarian

Pura Petitenget ini agar tetap terpelihara dan dapat diwariskan kepada generasi

penerusnya, namun tidak semua bahan yang digunakan dalam konservasi tersebut

menggunakan bahan asli seperti sediakala. Karena pengaruh globalisasi maka

pola pikir masyarakat pendukungnya mengalami perubahan, agar tidak cepat

rusak maka digunakan material lain yang lebih kuat dan tahan lama. Untuk

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

9

mempertahankan keaslian material pura ini sebelumnya, sebaiknya menggunakan

bahan yang sama dengan bahan aslinya agar tetap terjaga dan lestari sesuai

dengan bentuk semula.

Pemanfaatan, perencanaan pembangunan dan operasional pariwisata harus

bersifat lintas sektoral, terintegrasi, dan melibatkan masyarakat lokal dalam

perencanaan, implementasi/pelaksanaan, dan monitoring dari kegiatan pariwisata

budaya (Ardika, 2007: 48). Pemanfaatan dan pengelolaan warisan budaya Pura

Petitenget dalam dunia pariwisata di rancang sesuai kesepakatan antara pihak-

pihak terkait demi terjaganya kelestarian dan keberadaan pura tersebut sebagai

benda/bangunan cagar budaya. Pemanfaatan dan pengelolaannya tetap melibatkan

desa adat setempat sebagai penyungsung pura ini, dan para pemangku desa yang

turun temurun sudah melaksanakan kewajibannya di Pura Petitenget.

Profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat

Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, terjadi karena ketidaktegasan

penerapan aturan-aturan adat, lemahnya pengawasan dan pelaksanaan peraturan

daerah di lapangan tentang radius kesucian pura, serta perubahan pola pikir dan

pandangan masyarakat lokal yang mulai ke arah modern akibat dampak

pariwisata global serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala

bidang. Di mana pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget berdampak pada

aspek sosial ekonomi dan sosial budaya, perlahan namun pasti kesakralan pura

tersebut mulai terabaikan. Keseluruhan hal di atas berimplikasi kuat menyebabkan

terjadinya pergeseran nilai dan makna yang terkandung di dalamnya terhadap

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

10

fungsi utama atau aslinya, serta religiusitas akan kesucian pura tua tersebut, sesuai

dengan riwayat sejarahnya yang panjang dan unik ketika saat pertama dibangun.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka

permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura

Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung?

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan profanisasi pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan

Kuta Utara, Badung?

3. Bagaimanakah dampak dan makna profanisasi pemanfaatan warisan

budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta

Utara, Badung?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi gambaran tentang profanisasi

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,

Kecamatan Kuta Utara, Badung. Penelitian ini memiliki tujuan umum dan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui secara jelas dan

memahami tentang profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di

Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks

pembangunan pariwisata budaya di Bali.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

11

1.3.2 Tujuan Khusus

Sejalan dengan tiga rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan

maka ada tiga tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni

sebagai berikut:

1. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profanisasi pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan

Kuta Utara, Badung.

2. Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap faktor-faktor penyebab

profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat

Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.

3. Penelitian ini dilakukan untuk memahami dan menginterpretasi

dampak dan makna profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura

Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai di bawah ini.

1. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan

berkenan dengan profanisasi pemanfaatan warisan cagar budaya di

Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.

2. Hasil penelitian ini dapat menambah referensi tentang profanisasi

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,

Kecamatan Kuta Utara, Badung.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

12

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan

pengetahuan serta pemahaman kepada masyarakat setempat terkait profanisasi

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,

Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka memiliki keterkaitan baik secara langsung maupun tidak

langsung dengan permasalahan yang diteliti dan hasil-hasil penelitian terdahulu.

Kajian pustaka juga diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa

penelitian yang dilakukan penulis saat ini berbeda dalam aspek-aspek tertentu

dengan yang telah dikerjakan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian tentang obyek

warisan budaya dalam dunia kepariwisataan, dalam bidang perencanaan dan

pengembangan pariwisata, kebijakan pengembangan pariwisata, dan pengaruh

globalisasi terhadap dunia pariwisata sudah pernah dilakukan, namun penelitian

tentang profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat

kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya

sejauh ini belum pernah diteliti.

Asmyta Surbakti (2008) dalam disertasi yang Berjudul “Pusaka Budaya

dan Pengembangan Pariwisata di Kota Medan: Sebuah Kajian Budaya”.

Mengungkapkan bagaimana terjadinya kontra – hegemoni terhadap penghancuran

pusaka budaya, keadaan bangunan bersejarah yang sangat memprihatinkan, di

tengah semangat upaya pelestarian pusaka budaya dan pengembangan pariwisata

di Kota Medan. Pusaka budaya harus tetap dilestarikan agar tidak terjadi

kerusakan atau hilang/punah, dan dapat digunakan sebagai warisan budaya yang

dikembangkan menjadi objek pariwisata di kota Medan. Disertasi ini memberi

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

14

masukan bagaimana pusaka budaya tetap dilestarikan dan dijaga agar tidak terjadi

penghacuran, dan masyarakat sebagai pendukung dan penjaga pusaka budaya

tidak mengalami pro-kontra, tetapi sama-sama menjaga dan melestarikannya

sebagai warisan budaya dan objek pariwisata budaya. Pusaka budaya yang ada di

Kota Medan sebagian telah mengalami kerusakan dan tidak terpelihara dengan

baik, akibat terjadi kontra-hegemoni di dalam masyarakatnya. Relevansinya

dalam penelitian ini mempunyai persamaan yang berkaitan dengan pusaka

budaya yang harus dijaga dan dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan atau punah,

yang dapat dikembangkan menjadi objek pariwisata budaya. Perbedaannya, di

mana Pura Petitenget sebagai pusaka budaya dan objek wisata cagar budaya tetap

terjaga dengan baik, dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya, tetapi

sebagai objek wisata cagar budaya Pura Petitenget mengalami profanisasi

pemanfaatan akibat perkembangan industri pariwisata budaya di Bali.

Sita Laksmi (2003) dalam Tesis yang berjudul “Pengelolaan Pariwisata

Berbasis Masyarakat : Studi Objek Wisata Tanah Lot di Desa Beraban Kecamatan

Kediri Kabupaten Tabanan”. Menjelaskan bagaimana dampak dan makna

pengelolaan wisata Tanah Lot berbasis masyarakat dapat memberikan

kesejahteraan bagi penduduk setempat dan desa adat, yang justru bertambah kuat

dengan kemajuan pariwisata karena dana yang diperoleh dari pengelolaan

pariwisata tersebut dapat digunakan untuk pembangunan desa adat. Tesis ini

memberi gambaran bagaimana pengelolaan objek wisata budaya memberi

kesejahteraan bagi penduduk setempat dalam pariwisata budaya di Bali, dan dana

yang diperoleh digunakan untuk kepentingan pembangunan pura dan kepentingan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

15

masyarakat di sekitar Tanah Lot. Relevansinya dengan penelitian ini mempunyai

persamaan yang berkaitan terhadap bagaimana bentuk pengelolaan dan

pemanfaatan wisata budaya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat

setempat dan Desa Adat. Perbedaannya warisan budaya Pura Petitenget di dalam

pengelolaan dan pemanfaatannya telah mengalami profanisasi dalam

pembangunan pariwisata budaya di Bali sebagai akibat dampak dari industri

pariwisata global yang berkembang pesat di Desa Adat Kerobokan.

Darmiati (2011) dalam tesis yang berjudul “Pura Kebo Edan sebagai Daya

Tarik Wisata Budaya di Desa Pejeng Kecamatan Tampaksiring Kabupaten

Gianyar”. Menjelaskan bagaimana daya tarik wisata budaya terhadap pura tua

Kebo Iwo yang ada di Gianyar untuk tetap menjadi objek kunjungan para

wisatawan dengan keunikan tersendiri agar tidak terpinggirkan, yang di dukung

dengan atraksi pementasan tari Barong calonarang. Keberadaan Pura Kebo Edan

sebagai peninggalan cagar budaya kurang di lirik dan diminati oleh industri

pariwisata Bali, karena lingkungannya kurang tertata dan bersih, di mana sampah

berserakan, serta fasilitas yang tersedia sangat kurang memadai sebagai daerah

tujuan wisata di Gianyar. Tesis ini memberi persamaan, sebagai pura tua yang

masih terawat, tetap terjaga dan terpelihara, di mana keduanya sebagai objek

wisata cagar budaya, untuk tetap dikunjungi oleh wisatawan, agar tidak

terpinggirkan. Perbedaannya, bentuk serta cara pengelolaan dan pemanfaatan

pada kedua pura tua tersebut sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks

pariwisata budaya di Bali yang sangat berbeda. Relevansinya dengan penelitian

ini bagaimana Pura Petitenget sebagai pura tua yang berlokasi di Desa Adat

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

16

Kerobokan, Kuta Utara, tetap menarik untuk dikunjungi wisatawan mancanegara

sebagai objek wisata cagar budaya, sehingga wisatawan bersedia mengunjungi

pura tersebut agar tidak terpinggirkan dan tetap menjadi salah satu tujuan utama

wisata budaya di kabupaten Badung, namun tidak membawa persoalan ke dalam

pengelolaan dan pemanfaatan pura ini sebagai tempat persembahyangan umat

Hindu agar tetap terjaga kesuciannya.

Tesis Aniek Purniti (2008) yang berjudul “Pengelolaan Candi Gunung

Kawi Tampaksiring di Kabupaten Gianyar sebagai Objek dan Daya Tarik Wisata

Budaya”. Memberi masukan dan gambaran bagaimana bentuk pengelolaan Candi

Gunung Kawi Tampaksiring sebagai objek wisata dan daya tariknya sebagai

wisata budaya di Gianyar tetap dipertahankan nilai dan ciri-cirinya yang khas

dalam kaitannya dengan kegiatan kepariwisataan, dan di dalam pengelolaannya

lebih mengedepankan peran masyarakat setempat, sehingga dampak yang

dihadapinya sebagai objek dan daya tarik wisata budaya diupayakan agar tidak

melanggar konsep pelestariannya dalam pengawasan dan pengelolaan Dinas

Pariwisata kabupaten Gianyar. Persamaannya dengan penelitian ini adalah sama-

sama sebagai objek wisata cagar budaya yang tetap terjaga, terpelihara dan

dilestarikan, mempunyai daya tarik sebagai tempat tujuan wisata budaya yang ada

di Bali. Perbedaanya, bentuk pemanfaatan dan pengelolaan ke dua pura tersebut

sebagai objek dan daya tarik wisata budaya dalam pembangunan pariwisata Bali

yang berbeda. Pura Petitenget dalam pemanfaatan dan pengelolaannya di

serahkan kepada pengempon pura itu sendiri, panitia pengelolaan pura, dan

masyarakat di sekitar Pura Petitenget, agar tetap terjaga kesakralan/kesuciannya.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

17

Relevansinya dengan penelitian ini memberi masukan bagaimana pemanfaatan

dan pengelolaan Pura Petitenget sebagai objek wisata dan daya tarik wisata

budaya dalam pembangunan pariwisata Bali, untuk tetap terjaga kelestarian dan

kesuciannya sebagai pura dang kahyangan dalam industri pariwisata budaya di

Bali.

Ardika (2007) dalam buku Pusaka Budaya dan Pariwisata, memberi

rujukan pengetahuan dan menjelaskan bagaimana pusaka budaya yang

diantaranya berbentuk tinggalan-tinggalan arkeologis dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan pengembangan pariwisata budaya di Bali. Buku ini juga

mengungkapkan; (1) warisan Budaya, kekayaan tradisi dan budaya lokal

merupakan potensi yang dapat dikembangkan sebagai objek dan daya tarik

wisata, (2) semakin banyak jumlah wisata yang berkunjung ke suatu daerah maka

dampak kultural yang ditimbulkan terhadap masyarakat lokal dan objek wisata

bersangkutan juga akan semakin besar, (3) masyarakat sebagai salah satu

stakeholder yang harus dilibatkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber

daya budaya yang terdapat di daerah atau wilayah mereka. Relevansinya dalam

penelitian ini, rujukan buku ini memberi pengetahuan dan masukan tentang

bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan warisan cagar budaya, faktor-faktor

penyebab akibat adanya pariwisata budaya, dan bagaimana dampak dari

pariwisata global yang terus berkembang pesat terhadap pengembangan

pariwisata budaya di Bali.

I Putu Anom, dkk. (2010) dalam buku Pariwisata Berkelanjutan dalam

Pusaran Krisis Global, memberi rujukan pengetahuan dan memaparkan

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

18

bagaimana sebuah diskursus pembangunan pariwisata berkelanjutan dengan

mengambil latar belakang pariwisata Bali sebagai suatu model pembelajaran.

Pariwisata Bali yang selama ini dianggap sebagai pembawa kesejahteraan dan

nama besar bagi Bali. Pariwisata yang kepadanya segala harapan masa depan

masyarakat Bali ditumpukan dalam segala sektor kehidupan, juga membawa

dampak negatif yang tidak kecil; degradasi lingkungan, hilangnya ruang-ruang

publik, pudarnya identitas dan kejatidirian manusia Bali, ketimpangan

kemakmuran antar wilayah, disharmoni sosial, mulai hilangnya kesakralan area

pura sebagai tempat suci, dan masih banyak persoalan lain yang timbul akibat

adanya pembangunan pariwisata Bali. Beragam aspek pengembangan pariwisata

Bali diuraikan di dalam buku ini yang di bahas dan disimpulkan dalam belasan

tulisan yang dimuat di dalam buku ini. Relevansinya dalam penelitian ini, rujukan

buku ini memberi pengetahuan dan masukan tentang masalah-masalah dampak

pengembangan pariwisata budaya di Bali yang dianggap memberi kesejahteraan

dalam segala sektor kehidupan masyarakat Bali, tetapi juga membawa dampak

negatif yang tidak kecil bagi lingkungan alam dan budaya Bali itu sendiri.

Dari hasil-hasil penelitian di atas, terlihat perbedaan secara substansial

dengan penelitin ini, adalah objek kajian, yakni objek wisata cagar budaya Pura

Petitenget di Desa Adat Kerobokan. Di samping itu, penelitian ini menjadi

berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena berkaitan dengan

profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa adat kerobokan,

Kecamatan Kuta Utara, Badung.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

19

2.2 Konsep

Konsep merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pengertian, definisi,

dan/atau batasan secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala/merupakan

definisi dari apa saja yang perlu di amati di dalam proses pelaksanaan penelitian.

Ada beberapa konsep yang dipakai dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut

adalah konsep profanisasi pemanfaatan, warisan budaya, Pura Petitenget, dan

Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.

2.2.1 Profanisasi Pemanfaatan

Profanisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah

mengadung kata sifat yang berarti (1) tidak bersangkutan dengan agama atau

tujuan keagamaan; lawan sakral, (2) tidak kudus (tidak suci) karena tercemar,

kotor, dan sebagainya; tidak suci lagi, (3) tidak termasuk yang kudus (suci);

bersifat duniawi (Alwi, 2001: 897). Dari pengertian di atas, profanisasi yang

dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah tidak bersangkutan dengan agama

atau tujuan keagamaan, tidak suci lagi karena sifat keduniawiaan yang masuk.

Dari pengertian di atas profanisasi yang dimaksudkan di sini adalah menjadikan

Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya yang tidak bersangkutan

dengan tujuan keagamaan sehingga mendatangkan sumber pendapatan bagi

masyarakat sekitarnya. Awalnya merupakan pura yang disucikan, sekarang

menjadi tidak suci lagi akibat adanya sifat-sifat keduniawiaan yang masuk di

dalam pura tersebut.

Kata pemanfaatan mempunyai arti/definisi sebagai berikut (1) proses,

cara perbuatan memanfaatkan, (2) proses melakukan kegiatan tertentu dengan

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

20

memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk pembangunan,

(3) proses kegiatan memanfaatkan sumber daya yang ada (sumber daya; alam,

manusia dan budaya) dalam bentuk barang (goods) dan jasa (service) guna

mendatangkan pendapatan (income) bagi masyarakat (Ali, 2012: 22). Dari

pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan adalah cara kegiatan

atau perbuatan dalam memanfaatkan sumber daya budaya dan sumber daya

manusia dalam bentuk barang dan jasa guna mendatangkan pendapatan bagi

masyarakat. Pemanfaatan yang dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai sumber daya budaya yang

dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai sumber daya manusia guna

mendatangkan pendapatan untuk peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di

sekitarnya dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali.

Konsep profanisasi pemanfaatan yang dimaksudkan dalam penelitian ini

adalah menjadikan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya yang tidak

bersangkutan dengan tujuan keagamaan, di mana pada awalnya merupakan pura

yang disucikan, saat ini menjadi tidak suci lagi akibat adanya sifat-sifat

keduniawiaan yang masuk di dalamnya, sebagai akibat atas pemanfaatan Pura

Petitenget sebagai sumber daya budaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal

sebagai sumber daya daya manusia, guna mendatangkan pendapatan untuk

peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya dalam pembangunan

pariwisata budaya di Bali.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

21

2.2.2 Warisan Budaya

Pengertian tentang warisan budaya adalah warisan peninggalan masa lalu

yang diwariskan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain, yang tetap

dilestarikan, dilindungi, dihargai dan dijaga kepemilikannya (Ardika, 2007: 19).

Ada banyak warisan budaya di Indonesia, namun istilah culrural heritage lebih

mengarah kepada pengertian warisan budaya fisik (arsitektur) yakni“cagar

budaya” sehingga aspek kultural dalam nonfisik terabaikan. Harus ditegaskan di

sini, bahwa warisan budaya yang dimaksudkan adalah apa yang diwariskan dari

kehidupan masa sebelumnya (masa lalu) yang berhubungan dengan peninggalan

monumen/bangunan.

Warisan budaya dapat digolongkan atas yang tangible (dapat disentuh;

monumen/bangunan) dan yang intangible (tidak dapat disentuh; seperti musik,

tari) juga abstrak (konsep-konsep) (Ardika, 2007: X). Di antara warisan budaya

yang tangible ada yang berupa monumen, artinya karya unggul manusia yang

patut dihargai selamanya. Dalam hal ini diadakan pembedaan antara apa yang

disebut living monument ( monumen “hidup”) dan dead monument ( monumen

“mati”). Definisi dari “hidup” itu adalah masih berfungsi seperti semula dibuat,

dan tetap digunakan sebagaimana fungsi awalnya, contoh Pura Besakih, Pura

Kebo Iwo, Pura Petitenget, dan sebagainya. Ada pun yang didefinisikan sebagai

“mati” adalah monumen yang bersangkutan sudah atau pernah tak berfungsi lagi

sebagaimana seperti fungsi semula ketika diciptakan, yang pernah ditinggalkan

oleh pembuat dan pengguna awalnya, contoh Candi Borobudur, Candi

Prambanan, Candi Penataran dan sebagainya.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

22

Sebagaimana diketahui pemerintahan Indonesia baru pada tahun 1992

memiliki Undang-Undang Nomer 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya

(UUBCB). Undang-Undang ini selanjutnya mengalami revisi pada tahun 1997,

dan pada tahun 2010 direvisi menjadi Undang-undang Benda Cagar Budaya.

Konvensi PBB mengenai pusaka budaya dunia terkait dengan perlindungan

budaya dan pusaka budaya (United Nations World Heritage Convention

Concerning Proctecting of the World Cultural Natural Heritage) menjelaskan

cakupan pusaka budaya sebagai berikut: (1) monumen (monuments), (2)

kelompok bangunan (group of buildings), dan (3) situs (sites) (Ardika, 2007 : 79).

Pemanfaatan cagar budaya sebagai pariwisata budaya (cultural tourism)

cenderung untuk mendapatkan pengalaman budaya baru yang berbeda dengan

budaya masa lalu. Sebagai sebuah ciri industri pariwisata postmodern maka faktor

masyarakat menjadi sangat penting, karena secara umum mereka adalah pemilik,

pendukung, dan pelaku kebudayaan. Pemanfaatan pusaka budaya buatan manusia

(built heritage) dalam industri pariwisata, seperti bangunan cagar budaya

mencakup konteks budaya (cultural contexts) dan konteks alamiah (natural

contexts) (Nuryanti, dalam Surbakti, 2008: 32).

Dengan demikian konsep bangunan cagar budaya Pura Petitenget sebagai

warisan budaya adalah merupakan warisan peninggalan masa lalu berupa

monumen atau bangunan yang diwariskan dari generasi satu ke generasi lain,

untuk tetap dilestarikan dan dijaga kepemilikannya, di mana Pura Petitenget

sebagai buatan manusia, merupakan salah satu bentuk yang masuk dalam kategori

konteks budaya, dan Pura Petitenget merupakan living monument, artinya masih

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

23

berfungsi seperti semula dibuat, dan tetap digunakan sebagaimana fungsi awalnya

hingga sekarang. Di mana pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan budaya

dalam industri pariwisata budaya mengalami komersialisasi budaya sehingga

terjadi profanisasi makna dan nilainya atas keberadaan dan fungsi utamanya,

karena dijadikannya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya akibat

dampak dari pengembangan pariwisata budaya di Bali.

2.2.3 Pura Petitenget

Pura Petitenget terletak di Banjar Batu Belig, Kelurahan Kerobokan

Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Pura Petitenget

merupakan salah satu pura tua yang ada di Bali, di bangun pada abad XV,

merupakan salah satu pura dang kahyangan yang berada di Kabupaten Badung.

Pura Petitenget di-empon (pangemong/disungsung) oleh 49 banjar adat dan 1

(satu) subak se-Desa Adat Kerobokan, Kabupaten Badung.

Upacara keagamaan (odalan/piodalan) yang berlangsung di Pura

Petitenget jatuhnya setiap enam bulan sekali (210 hari) yakni, pada hari Buda

Wage Merakih, dengan puncak upacara (odalan/piodalan) selama empat hari, di

mana satu hari sebagai persiapan upacara keagamaan dan tiga hari sebagai puncak

upacara keagamaan (Sudiani, 1990: 17).

Keberadaan Pura Petitenget sesuai dengan riwayat sejarahnya, mempunyai

hubungan dengan perjalanan suci sang pendeta Dang Hyang Nirartha atau Dang

Hyang Dwijendra (Pedanda Sakti Wawu Rauh), yang berarti keberadaan Pura

Petitenget di sini sebagai pura “dang kahyangan” yakni, merupakan tempat

pemujaan terhadap jasa seorang pandita atau guru suci yang telah memberikan

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

24

ajaran agamanya kepada umat. Sebagai pura dang kahyangan, berarti Pura

Petitenget termasuk dalam klasifikasi pura umum, artinya sebagai pura yang

tergolong umum dipuja oleh seluruh umat Hindu sehingga sering disebut dengan

kahyangan jagat (Sudiani, 1990: 14).

Konsep pura sebagai tempat suci pada umumnya di Bali berdasarkan

konsep “Tri Mandala”, di mana Tri berarti tiga, Mandala berarti wilayah, jadi Tri

Mandala adalah tiga wilayah/daerah yang dimiliki oleh setiap pura sebagai tempat

suci. Konsep Tri Mandala tersebut adalah membagi wilayah/daerah pura menjadi

tiga bagian halaman yakni, untuk halaman luar (jaba sisi) disebut dengan Nista

Mandala, untuk halaman jaba tengah disebut dengan Madya Mandala, dan untuk

halaman suci (jeroan) disebut dengan Utama Mandala. Antara mandala yang satu

dengan mandala yang lain dibatasi oleh tembok atau pintu masuk yang khas.

Pembagian atas tiga halaman tersebut mempunyai dasar pemikiran filosofis

agama Hindu, yaitu pura dianggap sebagai simbol makrokosmos yang

melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu Bhurloka, di mana jaba pura

melambangkan bhurloka yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia.

Bhuwarloka, di mana jaba tengah melambangkan bhuwarloka yaitu dunia tengah

tempat kehidupan manusia yang sudah dibersihkan /disucikan. Swarloka, di mana

jeroan melambangkan swarloka yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa

(Sumber: http://history1978.wordpress.com/pengetahuan-candi/pura-di-bali/.

Tanggal 6 maret 2013).

Berdasarkan konsepsi pura di atas maka konsep Pura Petitenget dalam

penelitian ini, sebagaimana konsep pura di Bali sebagai tempat suci pada

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

25

umumnya, maka bentuk areal Pura Petitenget juga berdasarkan atas konsep Tri

Mandala tersebut. Memasuki areal Pura Petitenget, pamedek melewati jalan di

sebelah selatan pura dan keluar melalui jalan di sebelah utara pura. Pada halaman

terluar (jaba) Pura Petitenget yang disebut Nista Mandala atau jaba sisi yang

masih menjadi satu kesatuan dengan Pura Petitenget berdiri wantilan pura yang

cukup besar dan bersih.

Untuk memasuki halaman Pura Petitenget, pamedek melewati Candi

Bentar, yaitu merupakan pintu masuk, batas wilayah antara jaba sisi (Nista

Mandala) dengan areal luar, juga merupakan pintu masuk yang menentukan batas

wilayah memasuki halaman tengah (jaba tengah) Pura Petitenget yang disebut

dengan Madya Mandala, di mana pamedek mesti melewati Apit Surang dengan

menaiki beberapa anak tangga.

Untuk bisa sampai ke bagian halaman tersuci (Jeroan) Pura Petitenget

yang disebut dengan Utama Mandala, pamedek mesti melewati Apit Surang.

Masing-masing pura memiliki Apit Surang yang menghadap ke barat. Sementara

itu, untuk menuju ke halaman Utama Mandala (jeroan) Pura Petitenget, pamedek

melewati Kori Agung dengan tiga (3) pintu, yaitu pintu utama di tengah, dengan

dua pintu di samping kiri dan di samping kanan. Sebagai pura dang kahyangan,

pada halaman Utama Mandala Pura Petitenget ini terdapat bangunan utama yakni,

pelinggih Gedong Petitenget, yaitu sebagai tempat berstananya sang guru suci

Dhang Hyang Dwijendra, di mana pelinggih ini juga sebagai tempat penyimpanan

peti pecanangan sang guru suci (Sudiani, 1990: 18-20).

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

26

Pura Petitenget berdampingan dengan Pura Masceti-Ulun Tanjung yang

berdiri sendiri dalam sebuah areal, di mana Pura Petitenget berada di sebelah

utara, sedangkan Pura Masceti-Ulun Tanjung berdiri di sebelah selatan. Kedua

pura ini tampak asri dan bersih, serta terawat dengan sangat baik, di depan

halaman terluar (jaba) Pura Petitenget ditumbuhi pepohonan yang cukup rimbun

dan sejuk dengan keindahan pemandangan pantai Petitenget dengan pasirnya

yang berwarna putih kemilau yang menghadap ke arah Barat.

2.2.4 Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung

Desa Adat Kerobokan adalah sebuah Kelurahan, masuk ke dalam wilayah

kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Kecamatan Kuta Utara mempunyai

luas wilayah adalah 3,386 km², dengan kode wilayah Kelurahan/Desa

51.03.06.1002. Secara astronomis terletak pada 8038’44.2” LS – 115009’42.3” BT.

Secara geografis Kecamatan Kuta Utara mempunyai batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Mengwi. Sebelah Timur berbatasan

dengan Kecamatan Denpasar Barat. Sebelah Selatan berbatasan dengan

Kecamatan Kuta dan Samudra Indonesia. Sebelah Barat berbatasan dengan

Kecamatan Mengwi. Kecamatan Kuta Utara berbentuk wilayah (daratan) datar

sampai berombak (pantai) (Monografi Kecamatan Kuta Utara tahun 2012).

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 643 Tahun 1997, tentang

Penetapan Kelurahan-kelurahan definitive sebagai Pemecahan Kelurahan di

Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, maka Kelurahan Kerobokan yang ada di

Kecamatan Kuta Utara dimekarkan lagi menjadi sebagai berikut: 1) Kelurahan

Kerobokan Kaja, 2) Kelurahan Kerobokan, dan 3) Kelurahan Kerobokan Kelod.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

27

Di mana masing-masing Kelurahan di bawah pimpinan seorang Lurah, yaitu; 1)

Kelurahan Kerobokan Kaja di bawah pimpinan Lurah I Made Adyana, S.STP. 2)

Kelurahan Kerobokan di bawah pimpinan Lurah I Gusti Made Kaler Sudana,SH.

3) Kelurahan Kerobokan Kelod di bawah pimpinan Lurah I Made Wistawan, SE

(Profil Kecamatan Kuta Utara 2011).

Secara geografis Desa Adat Kerobokan, berbatasan di sebelah utara

dengan Banjar Adat Padang Luwih, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa

Adat Seminyak, di sebelah timur berdampingan dengan Desa Adat Padang-

sambian, dan di sebelah barat, bersebelahan dengan Desa Adat Padonan dan Desa

Adat Tandeg. Desa Adat Kerobokan memiliki empat puluh sembilan (49) Banjar

Adat dan satu (1) Subak Desa. Dari ke-empat puluh sembilan Banjar Adat, lima

belas Banjar Adat di antaranya berada di wilayah kedinasan Kota Denpasar.

Secara keseluruhan, masing-masing Banjar Adat diberikan otonomi sesuai dengan

Awig-awig Desa Adat. Walaupun diberikan otonomi sesuai Awig-awig Desa

Adat, tetapi tetap di bawah koordinasi Desa Adat Kerobokan, dengan demikian

Swadharma (kewajiban) dan Swadikara (hak) tetap berjalan dengan baik, lancar

dan aman. Sesuai dengan Visi dan Misi yang diemban oleh Desa Adat kerobokan

yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Kuta Utara (Profil Kecamatan

Kuta Utara 2011).

Kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan dipengaruhi

oleh unsur-unsur agama Hindu, yakni menjunjung tinggi konsep Tri Hita karana,

yaitu mencakup tiga unsur utama lingkungan, yang terdiri dari parhyangan

(lingkungan spiritual), pawongan (lingkungan sosial), dan palemahan (lingkungan

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

28

alamiah). Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan,

yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang antar ketiga unsur tersebut dan

diyakini akan membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia lahir-bathin.

Wilayah Desa Adat Kerobokan ini, terdapat sebuah pura yang sangat

terkenal yakni “Pura Petitenget”. Pura ini berdiri di depan pantai Petitenget

menghada ke Barat, merupakan warisan budaya masyarakat desa Adat Kerobokan

yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya sehingga banyak dikunjungi

masyarakat dan wisatawan mancanegara. Pura Petitenget merupakan salah satu

pura “Dang Kahyangan” sebagai tempat persembahyangan umat Hindu di Bali

yang terletak di Kabupaten Badung. Pura Petitenget ini mempunyai tempat

tersendiri bagi masyarakat (pamedek) sebagai tempat suci sesuai dengan riwayat

sejarah berdirinya pura ini yang panjang dan unik.

Konsep pemanfaatan Pura Petitenget di Desa Adat kerobokan, Kecamatan

Kuta Utara, Badung, yang dimaksudkan di sini adalah memanfaatkan sumber

daya budaya lokal yang berasal dari masyarakat Desa Adat Kerobokan itu sendiri

sebagai pemilik pusaka budaya lokal tersebut guna mendatangkan keuntungan

ekonomi, dengan memberi penambahan pendapatan bagi masyarakat setempat,

dan membuka lapangan pekerjaan baru, sehingga mampu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, sehingga menggeser fungsi utama atau

aslinya sebagai tempat suci yang difungsikan menjadi objek wisata cagar budaya

akibat dampak pengembangan pariwisata budaya di Bali. Pemanfaatan Pura

Petitenget sebagai warisan budaya di Desa Adat Kerobokan di sini adalah

berpegang pada pembangunan pariwisata budaya berkelanjutan dengan tetap

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

29

mempertahankan jati diri sebagai masyarakat Bali, yang bertujuan mewujudkan

keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara kesejahteraan masyarakat,

pengembangan pelestarian lingkungan alam dan sosial budaya. Selain

berpengaruh positif juga akan membawa dampak negatif yang ditimbulkan karena

adanya perubahan nilai dan makna aslinya sebagai tempat suci, hal ini yang perlu

diwaspadai oleh masyarakat setempat, juga oleh masyarakat Bali.

2.3 Landasan Teori

Pada hakikatnya, teori adalah rumusan yang berisikan prinsip umum,

membuat asumsi, meramalkan serta menjelaskan suatu gejala atau masalah yang

untuk sebagian atau keseluruhan telah dibuktikan kebenarannya (Nazir, 1998: 21).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori untuk membedah

masalah penelitian agar diperoleh data yang bisa dipertanggungjawabkan secara

keilmuan, yakni profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa

Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yaitu (1) teori praktik, (2) teori

dekonstruksi, dan (3) teori komodifikasi.

2.3.1 Teori Praktik

Pierre Felix Bourdieu yang lahir pada 1 Agustus 1930 dan meninggal pada

23 Januari 2002, merupakan salah seorang pemikir Perancis paling terkemuka di

penghujung abad ke 20. Bourdieu dikenal sebagai seorang sosiolog, antropolog,

juga ahli filsuf. Bourdieu dalam teori praktik (practice) sosial dengan persamaan:

(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Teori Praktik merupakan gagasan

pemikiran Bourdieu sebagai produk dari relasi habitus, sebagai produk sejarah,

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

30

dan ranah yang juga produk sejarah, yang mana dalam ranah ada pertaruhan,

kekuatan-kekuatan serta orang yang banyak memiliki modal, serta orang yang

tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi dari kekuatan,

sesuatu kekuatan spesifik yang beroperasi dalam ranah (Bourdieu, dalam Harker

dkk. 2009: xxi).

Secara sederhana, habitus bisa diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan,

tetapi Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003: 9) menyatakan bahwa habitus

merupakan keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu

disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang

kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus

mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui

kombinasi srtuktur obyektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam

berbagai posisi sosial yang berada dalam suatu ranah, dan mengimplikasikan

suatu penyesuaian yang subyektif terhadap posisi itu (Bourdieu, dalam Harker

dkk. 2009: 13-14).

Konsepsi ranah yang dipergunakan Bourdieu hendaknya tidak dipandang

sebagai ranah yang berpagar di sekelilingnya, melainkan sebagai ranah kekuatan.

Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk melihat ranah tersebut sebagai

dinamis, suatu ranah di mana beragam potensi eksis (Bourdieu, dalam Harker

dkk. 2009: 9-10). Ranah selalu didefinisikan oleh sistem relasi objektif kekuasaan

yang terdapat di antara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem relasi

objektif yang terdapat di antara titik-titik simbolik.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

31

Modal menurut Bourdieu merupakan hubungan sosial yang artinya suatu

energi sosial hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan di

mana ia memproduksi dan diproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan

kelas menerima nilainya dan efektivitasnya dari hukum-hukum khas setiap arena

dalam praktik artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan

objektif, kekayaan ekonomi atau budaya (Haryatmoko, 2003: 11).

Sejalan dengan sifat adaptif dan strategi adaptasi manusia dengan

lingkungan sekitarnya, terkait dengan konsep hasrat, Bourdieu mengemukakan

secara singkat penekanan “keterlibatan si subyek” dalam proses konstruksi

budaya. Bourdieu mencoba menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa di

antara manusia dengan kebudayaannya terdapat suatu proses interaksi terus

menerus, di mana manusia mencoba mengolah dan mengkonstruksikan simbol-

simbol budaya demi “kepentingannya” dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik

tertentu secara situasional. Usaha-usaha manusia untuk mengkonstruksikan

simbol atau nilai budaya oleh Bourdieu disebut “praktik”. Bagi Bourdieu, seluruh

praktik memiliki sisi ekonomi jika praktik-praktik itu melibatkan benda-benda

(material ataupun simbolik) yang ‘merepresentasikan dirinya sebagai sesuatu

yang jarang dan layak dicari’ (Bourdieu, dalam Harker dkk. 2009: 19).

Dalam teori praktik ini, ditunjukkan bahwa bagaimana nilai-nilai budaya

dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari,

bukan semata-mata nilai-nilai budaya itu terbentuk dengan sendirinya dan

mempengaruhi perilaku manusia. Atau dengan kata lain, bahwa ada hubungan

timbal-balik secara terus menerus antara perilaku yang dipengaruhi sistem simbol

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

32

dan sebaliknya sistem simbol di produksi oleh pelaku berdasarkan kepentingan-

kepentingan situasional. Hubungan timbal-balik itu oleh Bourdieu disebut sebagai

“struktur obyektif” yang mencakup juga kebudayaan sebagai sistem konsepsi

yang diwariskan maupun direproduksi atas dasar kepentingan-kepentingan

situasional. Implikasi utama dari konsep kebudayaan seperti ini, bahwa simbol-

simbol atau nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan senantiasa bersifat

cair, dinamis dan sementara, karena keberadaannya tergantung praktik para

pelakunya yang mempunyai kepentingan tertentu. Implikasi lain, bahwa suatu

kebudayaan hanya dapat terwujud dalam kaitannya dengan “subyek” yang

melalui praktiknya; dan salah satu praktik yang unik karena secara langsung

mengkonstruksi kebudayaan adalah “wacana” (discourse). Wacana merupakan

bentuk penuturan verbal yang berkaitan erat dengan kepentingan si penutur,

berbeda dari “teks” yang merupakan penuturan verbal yang telah lepas dari posisi

si penutur (Bourdieu, dalam Harker dkk. 2009: 20).

Dengan konsep hasrat, praktik, dan wacana memberi peluang yang seluas-

luasnya bagi manusia bahwa secara realistis apa saja bisa terjadi dalam kehidupan

ini. Teori ini dipakai untuk memahami dan menjelaskan di mana manusia

mencoba mengolah dan mengkonstruksikan simbol-simbol budaya demi

“kepentingannya” dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik tertentu secara

situasional.

Dalam konteks penelitian ini teori praktik menjawab bahwa hasrat,

praktik, dan wacana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Desa Adat

Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura Petitenget sebagai pendukung

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

33

kebudayaan lokal dan kepentingannya dapat terjadi perubahan setiap saat karena

situasional yang dinamis akibat industri pariwisata global yang membawa dampak

realistis terhadap warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan dalam

perkembangan pariwisata budaya Bali. Teori praktik dalam penelitian ini akan

membedah variabel bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura

Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam

konteks pariwisata budaya di Bali.

2.3.2 Teori Dekonstruksi

Jacques Derrida adalah pendiri Teori Dekonstruksi. Dia adalah seorang

filsuf kontemporer yang lahir pada 15 Juli 1930 dan meninggal pada 8 Oktober

2004. karya Derrida yang memiliki dampak besar dan mempengaruhi ilmu sosial

adalah teori dekonstruksi. Dekonstruksi adalah sebuah bentuk kritik yang

didasarkan pada pembacaan secara hati-hati. Dekonstruksi adalah politis, ia begitu

kuat mengganggu cara-cara standar memahami dunia, apa yang mungkin telah

terima begitu saja, dengan adanya dekonstruksi, kini harus dipertimbangkan

kembali.

Paham pasca-srtukturalisme sering juga disebut pengkajian dekonstruksi,

yakni sebuah ragam penelitian sastra yang tidak begitu memperhatikan struktur.

Artinya memahami karya sastra boleh dari sisi apa saja. Paham ini begitu bebas,

tak terikat struktur, di antara peneliti sastra ada yang menyebut posmodernisme.

Istilah ini sebagai kontras paham struktural yang masih terkategorikan modern

(Endraswara, 2008: 167). Jadi kajian pasca-struktural maupun dekonstruksi boleh

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

34

disebut juga postmodern, postmodern berarti sebagai pijar penelitian yang

selangkah lebih maju dari modernitas.

Selain teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan

banyak makna, sehingga teks tersebut sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna

dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna.

Makna tidak tunggal, melainkan bersifat plural, makna bukan mati (tetap)

melainkan hidup dan berkembang, maka dekonstruksi membiarkan teks itu dan

menantang segala kemungkinan.

Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau

struktural lebih mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan

buntu, karena tak setiap bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan. Itulah sebabnya

keluar dari srtuktur dan mencoba menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan

konteks lain, diharapkan lebih memadai. Inilah yang dilakukan oleh kaum

dekonstruktif yang ingin selalu ada kebaharuan pemahaman sastra. Dalam kaitan

ini, Barthes (1983: 119) memberikan tahapan penelitian dekonstruksi sebagai

berikut; (1) Mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan

meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur

dipahami secara terpisah. Dengan demikian, tidak satu pun dianggap tidak penting

atau tidak mempunyai peranan. (2) Unsur-unsur yang telah dipahami

dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya untuk mengetahui apakah

unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan antarsemua unsur

(jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (jaringan X dan Y).

Berdasarkan tahapan tersebut, memang tidak tertutup kemungkinan sebuah teks

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

35

sastra dipahami berdasarkan teks lain. Teks sastra dipahami tidak lewat struktur,

melainkan melalui kode-kode lain di luar teks. Dalam kaitan ini, membaca karya

sastra adalah kegiatan yang paradoks. Maksudnya, pembaca boleh menciptakan

kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu yang akhirnya

mudah dikenal. Hal yang aneh, menyimpang, dan mengejutkan dalam teks

dinaturalisasikan dan dikembalikan ke dalam dunia yang mudah dikenali.

Menurut Derrida, mendekonstruksi suatu oposisi adalah membalikkan

suatu hierarki. Akan tetapi, aktivitas itu baru tahap pertama. Pada tahap

berikutnya, pembalikan harus dilakukan terhadap sistem keseluruhan yang di

dalamnya oposisi itu menjadi bagian-bagiannya. Hanya dengan syarat itulah

dekonstruksi dapat memberikan alat untuk menembus lapangan oposisi-oposisi

yang dikritiknya yang juga merupakan lapangan kekuatan-kekuatan nondiskursif.

Praktik dekonstruksi bekerja dalam batas-batas sistem tertentu tetapi dengan

tujuan menghancurkan, melakukan subversi (Aminuddin, 2002: 165).

Menurut Derrida (dalam Aminuddin, 2002: 170) dekonstruksi merupakan

Inventive or nothing. Dekonstruksi juga bukan merupakan prosedur metodelogi

karena dekonstruksi hanya membuka jalan dalam aktivitas berpikir dan

penandaan dalam proses penjejakan jaringan makna guna membentuk

pemahaman. Bagi Derrida, dekonstruksi juga merupakan writing, dalam arti

bukan hanya mengacu pada writing sebagai informasi, melainkan juga sebagai

proses penyusunan pengertian, pemahaman, dan pembentukan posisi yang

berlangsung secara terus-menerus dalam aktivitas berpikir.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

36

Secara tegas dapat dipahami bahwa teori dekonstruksi dalam penelitian ini

untuk memandang sebuah fenomena budaya yang dapat bermakna banyak (tidak

tunggal), dan selalu dalam proses (tidak pernah final) yang terjadi pada kehidupan

masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura

Petitenget. Teori dekonstruksi juga akan membawa pada hal-hal yang selama ini

kurang diperhatikan dalam kehidupan di sekitar masyarakat Desa Adat

Kerobokan dengan membuka aktivitas berpikir masyarakat setempat, sebagai

akibat adanya pengembangan industri pariwisata budaya di Bali. Dalam konteks

penelitian ini, teori dekonstruksi dengan di dukung teori yang lain, digunakan

untuk mengetahui variabel faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya profanisasi

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,

Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali.

2.3.3 Teori Komodifikasi

Teori komodifikasi merupakan salah satu teori aliran Neo-Marxisme

terpenting pada abad ke 20. Teori ini muncul sebagai hasil reaksi pemikiran para

eksponen Neo-Marxisme, terhadap pemikiran Marx dan dan Marxisme-Ortodoks

tentang berbagai problem kebudayaan. Marx dan Marxisme-Ortodoks

berpandangan bahwa problem kebudayaan bukan berasal dari dalam dirinya

sendiri, tetapi muncul sebagai akibat dari adanya bias material hubungan produksi

dalam kegiatan ekonomi (Sutrisno, 2005: 26).

Bertolak dari pandangan Marx dan Marxisme-Ortodoks tersebut, maka

para pemikir Neo-Marxisme kemudian melakukan kritik dan mengembangkannya

dalam satu pandangan baru, dengan penekanan bahwa masalah kebudayaan yang

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

37

timbul bukan semata-mata karena bias material hubungan prodiksi dalam kegiatan

ekonomi, tetapi disebabkan oleh bias seluruh aspek kehidupan manusia (Sutrisno,

2005: 28).

Melalui karyanya History and Class Conciousness (1922), Georg Lukacs

(1885-1971) merupakan salah satu dari para pemikir Neo-Marxisme,

menguraikan bahwa kapitalisme mengusai seluruh dimensi kehidupan

masyarakat, sehingga interaksi dalam kehidupan masyarakat selalu ditandai oleh

pemiskinan makna hidup yang autentik. Kebebasan untuk mengaktualkan dimensi

kemanusiaan dalam masyarakat sebagai ciri autentik kehidupan masyarakat, yang

mampu memaknai kebebasan dirinya, kemudian digantikan oleh adanya aktivitas

pertukaran nilai uang yang secara objektif dapat menimbulkan keterasingan

hidup, dan proses ini yang oleh Lukas disebut sebagai komodifikasi (Sutrisno,

2005: 28).

Komodifikasi adalah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan

komoditi, sehingga kini menjadi komoditi (commodity). Sedangkan komoditi

adalah segala sesuatu yang di produksi dan dipertukarkan dengan sesuatu yang

lain, biasanya uang, dalam rangka memperoleh nilai lebih atau keuntungan

(Piliang, 2004: 21). Komodifikasi tidak hanya berkutat kepada barang-barang

yang terlihat, tetapi merambat pada bidang kebudayaan. Hal ini seperti yang

dikatakan oleh Piliang, bahwa kapitalisme global telah memangsa apa saja,

artinya menjadikan komoditi apa saja, mulai dari hiburan, olahraga, pendidikan,

informasi, kesehatan, hingga kebugaraan, kepribadian, penampilan; mulai dari

tubuh, pikiran, kekuasaan, hingga ilusi, halusinasi dan fantasi, demi

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

38

keberlangsungan perputaran kapital, dan demi menggelembungnya kapital

(Piliang, 2004: 140).

Piliang juga mengatakan bahwa peralihan dari masyarakat industri

menuju masyarakat posindustri telah mempengaruhi bagaimana makna-makna

diamati dalam objek-objek seni dan dikomunikasikan lewat media (massa).

Objek-objek seni dalam kebudayaan posmodern merupakan bagian dari

kebudayaan materi masyarakat global/mutakhir. Sekali objek-objek diproduksi

dan dikonsumsi akan menjadi produk sosial masyarakat yaitu produk yang

digunakan untuk mengkomunikasikan, menyampaikan makna-makna dan

kepentingan-kepentingan sosial yang ada di belakangnya (Piliang, 2004: 62-63).

Teori komodifikasi adalah suatu proses produksi komoditas yang tidak

hanya dalam lingkup ekonomi sempit, tetapi juga bergerak ke lingkup yang lebih

luas, yakni, produksi, distribusi dan konsumsi. Dalam penelitian ini teori

komodifikasi digunakan sebagai teori pendukung teori-teori di atas untuk

menganalisa bagaimana bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura

Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Teori ini

juga digunakan untuk mengungkap dampak dan makna profanisasi pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,

Badung.

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

39

2.4 Model Penelitian

Model penelitian profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget

di Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dapat digambarkan

sebagai berikut.

Gambar 2.1Model Penelitian

Keterangan Garis:

: Hubungan pengaruh searah: Hubungan dua arah/saling mempengaruhi: Dari umum ke khusus

Budaya Tradisional

Faktor-faktor yangMenyebabkan

Profanisasi

- Sakral- Ritual- Tradisi

BentukProfanisasi

Budaya Global

- Ekonomi- Teknologi- Informasi- Komunikasi- Transportasi

Dampak danMakna

Profanisasi

Profanisasi PemanfaatanWarisan Budaya Pura

Petitenget di Desa AdatKerobokan, Kecamatan

Kuta Utara, Badung

Pura Petitenget

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

40

Penjelasan Model Penelitian :

Dalam model penelitian ini, tampak bahwa profanisasi pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,

Badung, telah terjadi pada pura ini sebagai akibat dari pembangunan pariwisata

budaya di Bali. Sesuai dengan sejarah pendiriannya, Pura Petitenget pada awal di

bangun merupakan pura yang disucikan (sakral), mempunyai nilai dan makna

keagamaan dalam religiusitas, yang merupakan budaya tradisional yang

berkembang pada waktu itu, saat ini mengalami pergeseran makna dan nilainya

dikarenakan adanya budaya global yang masuk ke dalamnya, ditandai dengan

pergerakan manusia, ekonomi (uang), teknologi, dan komersialisasi (media).

Fenomena ini menunjukkan adanya tarik menarik atau saling

mempengaruhi antara budaya tradisional dengan budaya global, di mana Pura

Petitenget yang semula sakral telah bergeser fungsinya menjadi profan karena

perubahan nilai dan makna aslinya sebagai tempat suci, karena difungsikannya

sebagai objek wisata cagar budaya akibat dampak dari pembangunan pariwisata

budaya di Bali. Suatu fenomena yang menarik untuk diteliti, oleh karena itu,

dalam penelitian ini, peneliti akan menelaah bagaimana bentuk profanisasi

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,

Kecamatan Kuta Utara, Badung, faktor-faktor apa yang menyebabkan profanisasi

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di desa Adat Kerobokan, Kecamatan

Kuta Utara, Badung, bagaimana dampak dan makna profanisasi pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,

Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali.

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

41

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kajian budaya, tentang profanisasi

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,

Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali.

Merupakan sebuah penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, yakni

penelitian yang menghasilkan data deskriptif, baik data tertulis maupun lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, oleh karena penekanannya pada

uraian detail, maka penelitian kualitatif oleh Bogdan dan Taylor disebut riset

interpretasi (Moleong, 1994: 3).

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Pura Petitenget yang terletak di

Banjar Batu Belig, Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara,

Kabupaten Badung. Lokasi Pura Petitenget ini berjarak sekitar 10 (sepuluh)

kilometer barat daya Kota Denpasar, di tempuh dengan waktu kurang lebih 20

menit. Dari arah Kota Denpasar ke arah barat daya, berbelok ke selatan menuju ke

Kuta Utara, kemudian ke arah utara menuju ke selatan menyusuri jalan raya

Seminyak – Kuta Utara. Selanjutnya menuju ke arah barat daya ke pantai

Petitenget, karena lokasi pura ini tepat berada di depan pantai Petitenget

berdampingan dengan Pura Masceti-Ulun Tanjung, berdiri dalam sebuah areal.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

42

Pemilihan Pura Petitenget sebagai lokasi penelitian karena pura ini

merupakan warisan budaya yang dilestarikan juga berfungsi sebagai objek wisata

budaya. Sebagai objek wisata cagar budaya Pura Petitenget terletak di daerah

pariwisata Desa Adat Kerobokan, Kuta Utara, yang banyak mendapat pengaruh

globalisasi dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali, dan kehidupan

ekonomi masyarakat di sekitarnya sebagian besar bergantung pada sektor

pariwisata, sehingga membawa dampak dan makna atas keberadaan pura tua

tersebut, baik di dalam pura itu sendiri maupun di luar Pura Petitenget tersebut

dalam perkembangan industri pariwisata Bali pada umumnya dan di Desa Adat

Kerobokan pada khususnya yang terus berkembang pesat.

3.3 Jenis dan Sumber Data

3.3.1 Jenis Data

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan

analisis deskriptif kualitatif, yaitu penelitian tentang data dari subjek penelitian

yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk kata-kata dan gambar.

Pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan studi

kepustakaan.

3.3.2 Sumber Data

Menurut Moleong (1994), sumber data dapat dibedakan menjadi dua yaitu

sumber data langsung (primer), dan sumber data tidak langsung (sekunder).

Sumber data langsung (primer) dalam penelitian ini, yaitu data yang diperoleh

langsung dari objek penelitian berupa hasil observasi di lapangan serta dari

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

43

informan. Di sini peneliti melalui wawancara dan observasi yang mendalam,

mendapat data primer yang akurat berkaitan dengan profanisasi pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget. Sumber data tidak langsung (sekunder) dalam

penelitian ini adalah data yang diperoleh tidak secara langsung dari objek

penelitian yang diperoleh dari jurnal, makalah, hasil-hasil penelitian,

perpustakaan, dan instansi pemerintah.

3.4 Teknik Penentuan Informan

Penentuan informan dilakukan secara purposive sampling yaitu pemilihan

informan berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai dengan kapasitas informan

dalam memberikan informasi agar tujuan penelitian tercapai, yakni informan

dipilih yang memiliki pengetahuan tentang penelitian ini. Informan dalam

penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki banyak pengetahuan tentang

objek penelitian, seperti pemangku Pura Petitenget, tokoh masyarakat Desa Adat

Kerobokan, dan masyarakat setempat di Desa Adat Kerobokan yang menjadi

subjek yang diteliti. Jumlah informan dalam penelitian ini dihentikan apabila

terjadi pengulangan jawaban atau kejenuhan jawaban atas pertanyaan yang sama,

sehingga tidak terdapat informan baru lagi (Moleong, 1994: 15).

3.5 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif peneliti merupakan instrumen utama. Peneliti

di sini sebagai perencana, pengumpul data, analisis, penafsir data dan pelapor

hasil penelitian. Dalam hal ini, peneliti harus terjun langsung ke lapangan untuk

memperoleh data tersebut. Pengumpulan data dapat diperoleh dengan wawancara

Page 44: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

44

maupun pengamatan langsung. Untuk itu perlu adanya instrumen untuk

menunjang kegiatan tersebut. Menurut Nawawi (1995: 69) dalam pengumpulan

data diperlukan alat instrumen yang tepat agar data yang berhubungan dengan

masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkan secara lengkap. Instrumen

penunjang tersebut misalnya pedoman wawancara, kamera, alat perekam suara,

dan alat tulis.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang digunakan untuk

mendapatkan data tertentu dengan menggunakan teknik tertentu. Data yang

dikumpulkan dihimpun secara sistematis dan terencana, agar tujuan tercapai

dengan baik. Untuk mendapatkan data maka dalam penelitian ini digunakan

beberapa teknik pengumpulan data.

3.6.1 Teknik Observasi

Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan

sistematik (Nazir, 1988: 212). Pengumpulan data dengan metode observasi yakni

pengumpulan data dilakukan dengan mengamati secara langsung ke objek

penelitian dengan cermat dan dibarengi dengan pencatatan hal-hal yang dianggap

penting untuk memperkuat akurasi data. Pengamatan dilakukan di lokasi Pura

Petitenget, yang terletak di Banjar Batu Belig, Kelurahan Kerobokan Kelod,

Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung.

Page 45: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

45

3.6.2 Teknik wawancara

Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti

untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui percakapan dan

berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada peneliti

(Mardalis, 1999: 64). Wawancara dilakukan dengan beberapa informan yang

dirancang oleh peneliti dengan pertimbangan-pertimbangan atau tujuan tertentu.

Ada sejumlah informan yang direncanakan untuk diwawancarai, dan

syarat-syarat informan yang bersangkutan adalah sebagai berikut. (1) Orang yang

menguasai masalah yang berkaitan dengan penelitian ini. (2) Orang yang mudah

ditemui dan dihubungi dan bersedia sebagai informan. Dalam kaitannya dengan

penelitian ini wawancara dilakukan dengan pamangku Pura Petitenget, tokoh

masyarakat Desa Adat Kerobokan, dan masyarakat sekitar Desa Adat Kerobokan.

3.6.3 Studi Dokumen dan Kepustakaan

Selain observasi dan wawancara, peneliti juga melakukan studi dokumen

dan kepustakaan. Dalam penelitian ini studi dokumen dan kepustakaan mutlak

diperlukan dalam tahap pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan studi

dokumen dilakukan untuk pengumpulan data yang bersumber dari arsip dan

dokumen yang ada hubungannya dengan penelitian ini, seperti buku, majalah,

jurnal, surat kabar, arsip-arsip, peraturan-peraturan, maupun dokumen pribadi

lainnya sebagai pendukung terhadap penelitian ini. Cara ini dilakukan dengan

mencari, memahami, kemudian mencatat data yang relevan sebab dokumen

serikali mencakup hal-hal yang sifatnya khusus, yang sulit ditangkap melalui

observasi langsung (Nawawi, 1995: 180).

Page 46: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

46

Studi kepustakaan dilakukan oleh peneliti untuk mencari data yang berisi

tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan warisan budaya Pura

Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam

pembangunan pariwisata budaya Bali yang bisa didapatkan dari informan atau

dari hasil pencarian di tempat lain, di kantor desa, instansi pemerintah,

perpustakaan, maupun yang dimiliki oleh informan dan pribadi. Melalui teknik ini

dapat diperoleh data yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini.

3.7 Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini merupakan tahapan yang sangat penting.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan terus menerus sepanjang

proses penelitian berlangsung, dilakukan secara deskriptif, kualitatif, dan

interpretatif. Analisis data dilakukan mulai dari perumusan masalah,

pengumpulan data, dan pasca pengumpulan data. Kemudian melakukan reduksi

data dengan cara membuat rangkuman yang inti prosesnya dan pertanyaan-

pertanyaannya yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya (Moleong,

1994: 190). Dengan adanya perumusan masalah maka peneliti telah melakukan

analisis terhadap permasalahan tersebut dalam berbagai prespektif teori dan

teknik yang digunakan.

Berdasarkan hal tersebut maka peneliti akan melakukan proses

pengumpulan data dan analisis data sepanjang rangkaian kegiatan penelitian dan

dituangkan dalam hasil penelitian. Jadi teknik analisis data dalam penelitian ini

adalah melakukan penyederhanaan data yang terkumpul, yang selanjutnya diolah,

Page 47: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

47

ditafsirkan, dan melakukan pemaknaan terhadap data yang telah terkumpul

tersebut, kemudian disajikan secara sistematis.

3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian

Kegiatan yang paling akhir dalam penelitian ini adalah penyajian hasil

penelitian. Penyajian hasil penelitian dilakukan secara informal dan formal.

Teknik penyajian secara informal adalah cara penyajian hasil penelitian dengan

mempergunakan kata-kata atau kalimat verbal sebagai sarananya, dengan

memakai ragam bahasa ilmiah. Ciri ragam bahasa ilmiah adalah objektif, tidak

emotif, lugas dan komunikatif. Sementara itu secara formal penyajian hasil

penelitian berupa tabel, peta, gambar atau foto yang disesuaikan dengan

kepentingan dan proporsi yang diperlukan.

Page 48: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

48

BAB IV

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN

PURA PETITENGET

4.1 Desa Adat Kerobokan

4.1.1 Letak Geografi

Desa Adat Kerobokan juga sebuah Kelurahan, masuk ke dalam wilayah

kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Kecamatan Kuta Utara mempunyai

luas wilayah adalah 3,386 km², dengan jumlah penduduk mencapai 62.508 jiwa,

dengan kode wilayah Kelurahan/Desa 51.03.06.1002. Secara geografis Kecamatan

Kuta Utara mempunyai batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan

dengan Kecamatan Mengwi. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan

Denpasar Barat. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta dan

Samudra Indonesia. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Mengwi.

Kecamatan Kuta Utara berbentuk wilayah (daratan) datar sampai berombak

(pantai), secara astronomis terletak pada 8038’44.2” LS – 115009’42.3” BT,

dengan curah hujan rata-rata 1.618 mm/tahun, dan jumlah hari dengan curah hujan

yang terbanyak 91 hari, dengan suhu rata-rata tertinggi 330C dan terendah 280C.

Dengan luas daerah/wilayah tanah sawah 1.497 ha. dan tanah kering 1.751 ha. Di

mana kepadatan penduduk mencapai 1.890 km/jiwa, serta jumlah Kepala

Keluarga (KK) sebanyak 15.543 KK dengan mayoritas penduduk beragama

Hindu (Monografi Kecamatan Kuta Utara tahun 2012).

Terbentuknya Kecamatan Kuta Utara bermula saat ketika masih menjadi

bagian dari wilayah Kecamatan Kuta. Pada waktu itu Kecamatan Kuta termasuk

Page 49: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

49

wilayah Kabupaten Badung yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya

manusia maupun kelembagaan yang ditunjang sarana dan prasarana yang ada,

serta cukup mendukung dalam rangka program pembangunan.

Letak secara geografis Kecamatan Kuta, merupakan daerah dataran rendah

berada pada ketinggian kurang dari 100 meter di atas permukaan laut. Terletak 16

km dari ibukota Kabupaten dan 13 km dari ibukota Provinsi Bali, dengan luas

wilayah saat itu 17,52 km2 (sebelum pemekaran dan penambahan wilayah) dan

memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut; di sebelah Utara berbatasan dengan:

Kecamatan Kuta Utara, di sebelah Timur berbatasan dengan Kota Denpasar, di

sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta Selatan, dan di sebelah Barat

berbatasan dengan Samudera Indonesia. Secara administratif wilayah Kecamatan

Kuta dibagi menjadi 5 Kelurahan, 27 Lingkungan dan 6 Desa adat. Kelima

kelurahan tersebut yaitu; Kelurahan Kedonganan, Kelurahan Tuban, Kelurahan

Kuta, Kelurahan Legian, dan Kelurahan Seminyak.

Pemerintahan Kecamatan Kuta, dimulai pada zaman Pemerintahan Hindia

Belanda, wilayah (Kabupaten) Badung terdiri dari 5 Kedistrikan yang masing-

masing Distrik di perintah oleh seorang “Punggawa” (Camat) dan seorang

“Manca” (Sekretaris). Adapun kelima Kedistrikan tersebut adalah sebagai beriku:

1) Distrik Denpasar, 2) Distrik Kesiman, 3) Distrik Kuta, 4) Distrik Abiansemal,

dan 5) Distrik Mengwi.

Kedistrikan Kuta mempunyai wilayah bawahan yang disebut wilayah

Keprebekelan yaitu setingkat dengan Desa/Kelurahan yang di perintah atau di

pimpin oleh seorang Prebekel atau Kepala Desa, dengan wilayah bawahan disebut

Page 50: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

50

Banjar Dinas, yang dikepalai oleh seorang Kelian Dinas. Wilayah Keprebekelan

pada jaman Kedistrikan Kuta, yaitu; 1) Keprebekelan Dalung, 2) Keprebekelan

Canggu, 3) Keprebekelan Kerobokan, 4) Keprebekelan Kuta, 5) Keprebekelan

Tuban, 6) Keprebekelan Jimbaran, 7) Keprebekelan Pecatu, 8) Keprebekelan

Ungasan, 9) Keprebekelan Bualu, dan 10) Keprebekelan Tanjung Benoa.

Dalam perkembangan pemerintahan selanjutnya wilayah Keprebekelan ini

mengalami penciutan atau penggabungan hingga menjadi 9 wilayah Keprebekelan

yang kemudian disebut Desa, yaitu; 1) Prebekelan/Desa Dalung dengan 16 Banjar

dinas, 2) Prebekelan/Desa Canggu dengan 18 Banjar Dinas, 3) Prebekelan/Desa

Kerobokan dengan 25 Banjar Dinas, 4) Prebekelan/Desa Kuta dengan 12 Banjar

Dinas, 5) Prebekelan/Desa Tuban dengan 9 Banjar Dinas, 6) Prebekelan/Desa

Jimbaran dengan 10 Banjar Dinas, 7) Prebekelan/Desa Pecatu dengan 3 Banjar

Dinas, 8) Prebekelan/Desa Ungasan dengan 4 Banjar Dinas, 9) Prebekelan/Desa

Benoa dengan 14 Banjar Dinas.

Selanjutnya Kedistrikan Kuta yang kemudian dikenal dengan Kecamatan

Kuta terdiri dari 9 Desa dengan 111 Banjar Dinas. Sejak pergantian kepala

wilayah Kecamatan dari Punggawa menjadi Camat, sebutan Manca digantikan

dengan sebutan Sekretaris Kecamatan (Sekwilcam), dan sejalan dengan

perkembangan pemerintahan sejak tahun 1991 berdasarkan Surat Keputusan

Menteri Dalam Negeri Nomor 140-502, tertanggal 22 September 1980, tentang

Penetapan Desa menjadi Kelurahan, maka Kecamatan Kuta dimekarkan lagi atau

dibagi menjadi 4 Desa dan 5 Kelurahan, yaitu; 1) Desa Dalung, 2) Desa Canggu,

Page 51: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

51

3) Desa Pecatu, 4) Desa Unggasan, 5) Kelurahan Kuta, 6) Kelurahan Kerobokan,

7) Kelurahan Jimbaran, 8) Kelurahan Tuban, dan 9) Kelurahan Benoa.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 643 Tahun 1997, tentang

Penetapan Kelurahan-kelurahan definitive sebagai Pemecahan Kelurahan di

Kabupaten daerah Tingkat II Badung, maka Kelurahan yang ada di Kecamatan

Kuta dimekarkan lagi sebagai berikut: 1) Kelurahan Kerobokan, menjadi: -

Kelurahan Kerobokan, -Kelurahan Kerobokan Kaja, dan -Kelurahan Kerobokan

Kelod. 2) Kelurahan Kuta, menjadi: -Kelurahan Kuta, -Kelurahan Seminyak, dan

-Kelurahan Legian. 3) Kelurahan Benoa, menjadi: -Kelurahan Benoa, dan -

Kelurahan Tanjung Benoa.

Pada tahun 1999, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 350

Tahun 1999, Tertanggal 31 Juli 1999, di mana Kecamatan Kuta dimekarkan lagi

menjadi 1(satu) Kecamatan dan 2 (dua) Kecamatan Pembantu. 1(satu) Kecamatan

tersebut yaitu: Kecamatan Kuta, yang meliputi: -Kelurahan Seminyak, -Kelurahan

Legian, -Kelurahan Kuta, -Kelurahan Tuban, -Kelurahan Kedonganan. Sementara

2 (dua) Kecamatan Pembantu tersebut meliputi sebagai berikut: 1) Kecamatan

Pembantu Kuta Utara, meliputi : -Kelurahan Kerobokan, -Kelurahan Kerobokan

Kaja, -Kelurahan Kerobokan Kelod, -Desa Dalung, -Desa Canggu, dan -Desa

Tibubeneng. 2) Kecamatan Pembantu Kuta Selatan, meliputi: -Kelurahan Benoa, -

Kelurahan Tanjung Benoa, -Kelurahan Jimbaran, -Desa Ungasan, -Desa Kutuh,

dan -Desa Pecatu (Profile Kecamatan Kuta Utara tahun 2012 dan

http://www.badungkab.go.id Tanggal, 16 April 2013, 12:06).

Page 52: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

52

Secara garis besar, Kecamatan Kuta Utara mewilayahi atau menaungi

enam (6) Kelurahan/Desa, yaitu; 1) Desa Tibubeneng, 2) Desa Canggu, 3) Desa

Dalung, 4) Kelurahan Kerobokan Kaja, 2) Kelurahan Kerobokan, dan 6)

Kelurahan Kerobokan Kelod. (Lihat Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Luas Wilayah Desa / Kelurahan di Kecamatan Kuta Utara

No Desa / KelurahanLuas Wilayah(Km2)

Kepadatan Per(Km2)

1 Desa Tibubeneng 6,50 1.510

2 Desa Canggu 5,23 1.022

3 Desa Dalung 6,15 2.951

4 Kelurahan Kerobokan Kaja 5,30 2.498

5 Kelurahan Kerobokan 5,42 1.464

6 Kelurahan Kerobokan Kelod 5,26 1.522

Sumber: Kecamatan Kuta Utara dalam Angka 2011.

Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 643 Tahun 1997, tentang

Penetapan Kelurahan-kelurahan definitive sebagai Pemecahan Kelurahan di

Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, maka Kelurahan Kerobokan yang ada di

Kecamatan Kuta Utara dimekarkan lagi menjadi sebagai berikut: 1) Kelurahan

Kerobokan Kaja, 2) Kelurahan Kerobokan, dan 3) Kelurahan Kerobokan Kelod.

Kecamatan Kuta Utara sebagai induk Pemerintahan Desa /Kelurahan di

bawah pimpinan Dra. A.A. Putu Yuyun Hanura Eny, M.Si sebagai Camat Kuta

Utara yang mewilayahi tiga Desa dan tiga Kelurahan. Tiga Desa tersebut yakni;

1) Desa Tibubeneng, di bawah pimpinan Kepala Desa I Gede Suharja, SH. 2)

Desa Canggu, di bawah pimpinan Kepala Desa I Nyoman Mustiada, 3) Desa

Dalung, di bawah pimpinan Kepala Desa Drh. I Nyoman Triasa. Sementara tiga

Page 53: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

53

Kelurahan tersebut, yaitu; 1) Kelurahan Kerobokan Kaja di bawah pimpinan

Lurah I Made Adyana, S.STP. 2) Kelurahan Kerobokan di bawah pimpinan Lurah

I Gusti Made Kaler Sudana,SH. 3) Kelurahan Kerobokan Kelod di bawah

pimpinan Lurah I Made Wistawan, SE. Kecamatan Kuta Utara juga mewilayahi

88 Lingkungan/Dusun yang masing-masing di bawah pimpinan seorang Kepala

Lingkungan (Kelian) (Profil Kecamatan Kuta Utara 2011). (Lihat Tabel 4.2).

Tabel 4.2 Desa / Kelurahan di Kecamatan Kuta Utara

No Desa / KelurahanJumlah

Banjar Dinas/Lingkungan

Nama Perbekel/Lurah

1 Desa Tibubeneng 13 I Gede Suharja, SH

2 Desa Canggu 7 I Nyoman Mustiada

3 Desa Dalung 23 Drh. I Nyoman Triasa

4 Kelurahan Kerobokan Kaja 23 I Made Adnyana, STP

5 Kelurahan Kerobokan 10 I Gst. Made Kaler Sudana,SH

6 Kelurahan

Kerobokan Kelod

12 I Made Wistawan, SE

Jumlah 88

Sumber: Profil Kecamatan Kuta Utara 2011.

Desa Adat Kerobokan memiliki empat puluh sembilan Banjar Adat dan

satu Subak Desa. Dari ke-empat puluh sembilan Banjar Adat, lima belas Banjar

Adat di antaranya berada di wilayah kedinasan Kota Denpasar. (lihat Tablel 4.3).

Page 54: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

54

Tabel 4.3 Desa Adat, Jumlah Banjar Adat dan Kelian Desa Adat diKecamatan Kuta Utara Tahun 2011

NoDesa Adat

Jumlah

Banjar Adat Kelian Desa Adat

1 Kerobokan 49 A.A. Putu Sutarja

2 Tandeg 2 Drs. I Nyoman Punia

3 Berawa 1 I Wayan Warsa

4 Padonan 7 Drs. I Wayan Jigra

5 Canggu 7 Drs. I Wayan Suamba

6 Dalung 10 I Made Parmita S.Ag.

7 Padang Luwih 6 I Gusti Ketut Suparta, SPd.

8 Tuka 1 I Wayan Dana

Sumber: Profil Kecamatan Kuta Utara 2011.

Secara geografis Desa Adat Kerobokan berbatasan di sebelah utara dengan

Banjar Adat Padang Luwih, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Adat

Seminyak, di sebelah timur berdampingan dengan Desa Adat Padang-sambian,

dan di sebelah barat, bersebelahan dengan Desa Adat Padonan dan Desa Adat

Tandeg. Secara keseluruhan, masing-masing Banjar Adat diberikan otonomi

sesuai dengan Awig-awig Desa Adat. Awig-awig merupakan hukum adat berupa

peraturan atau undang-undang yang disusun atau ditetapkan oleh seluruh anggota

masyarakat desa, banjar, dan subak, tentang aturan tata kehidupan masyarakat di

bidang agama, budaya, dan sosial-ekonomi di Bali (Alwi, dkk. 2001: 80).

Walaupun diberikan otonomi sesuai Awig-awig Desa Adat, tetapi tetap di bawah

koordinasi Desa Adat Kerobokan, dengan demikian Swadharma (kewajiban) dan

Swadikara (hak) tetap berjalan dengan baik, lancar dan aman. Sesuai dengan Visi

Page 55: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

55

dan Misi yang diemban oleh Desa Adat kerobokan yang merupakan bagian dari

wilayah Kecamatan Kuta Utara.

Visi dan Misi tersebut adalah; Visinya: Terwujudnya pelayanan prima

berdasarkan Tri Hita Karana di Kecamatan Kuta Utara. Dimana dengan Misinya:

(1) Peningkatan sumber daya manusia serta sarana dan prasarana kerja. (2)

Mewujudkan kepastian hukum. (3) Menciptakan ketentraman dan ketertiban

masyarakat, dan (4) Peningkatan partisipasi masyarakat (Profile Kecamatan Kuta

Utara tahun 2011).

Dengan Tugas Pokok adalah sebagai berikut; Melaksanakan kewenangan

pemerintah yang dilimpahkan oleh Bupati untuk menangani sebagian urusan

otonomi daerah. Dengan Fungsi Pokok adalah:

-Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat.-Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan

ketertiban umum.-Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan

perundang-undangan.-Mengkoordinasikan pemeliharaa prasarana dan fasilitas

pelayanan umum.-Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di

tingkat Kecamatan.-Membina penyelenggaraan pemerintah desa dan/atau kelurahan.-Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup

tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahDesa atau Kelurahan (Profile Kecamatan Kuta Utara tahun 2011).

Sementara itu, kelurahan Kerobokan Kelod merupakan sebuah kelurahan

yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Kelurahan

Kerobokan Kelod adalah wilayah lokasi berdirinya Pura Petitenget. Kelurahan

Kerobokan Kelod merupakan kelurahan paling selatan di wilayah Kecamatan

Kuta Utara. Secara geografis Kelurahan Kerobokan Kelod terletak di wilayah

Page 56: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

56

dataran rendah dengan ketinggian 0 - 100 meter di atas permukaan laut. Dengan

batas-batas perbatasan Kelurahan Kerobokan kelod sebagai berikut. Di Utara

berbatasan dengan Kelurahan Kerobokan. Di Timur berbatasan dengan Kota

Madya Denpasar. Di Selatan berbatasan dengan Kelurahan Seminyak. Sementara

di Barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Secara administratif Kelurahan

Kerobokan Kelod di bawah pimpinan Lurah I Made Wistawan, SE. Kelurahan

Kerobokan Kelod mempunyai 12 Banjar Dinas/Lingkungan yang masing-masing

di bawah pimpinan seorang Kepala Lingkungan (Kelian). (Lihat Tabel 4.4).

Tabel 4.4 Banjar Dinas / Lingkungan

NO Nama Lingkungan / Banjar Kepala Lingkungan / Kelian

Kelurahan Kerobokan Kelod

1 Lingkungan Pengipian I Made Budiyasa

2 Lingkungan Umasari I Ketut Suardika

3 Lingkungan Taman I Nyoman Sunarka, SE

4 Lingkungan Dukuh Sari I Ketut Suamba

5 Lingkungan Batu Belig I Made Sudika

6

Lingkungan

Pengubengan Kangin I Gusti Putu Sukawijaya

7 Lingkungan Semer I Wayan Winata

8 Lingkungan Kuwum I Nyoman Gede Trisaka, SE

9 Lingkungan Pengubengan Kauh I Nengah Suwirya

10 Lingkungan Merthanadi I Gusti Putu Sujendra

11 Lingkungan Umalas Kangin I Made Suarka, SH, SE

12 Lingkungan Umalas Kauh I Made Karpa

Sumber: Profil Kecamatan Kuta Utara 2011.

Page 57: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

57

Kehidupan secara sosial ekonomi, Keluruhan Kerobokan Kelod ini

sebagian besar masyarakatnya bertumpu pada sektor pariwisata sehingga banyak

menyerap berbagai tenaga kerja. Di mana perkembangan industri pariwisata di

wilayah Kelurahan Kerobokan Kelod sangat pesat bila dibandingkan dengan

wilayah lainnya di Desa Adat Kerobokan, sehingga banyak menarik minat pencari

tenaga kerja dan terjadinya arus urbanisasi, akibatnya banyak penduduk

pendatang melebihi penduduk asli (krama uwed). Hal ini disebabkan karena

lapangan pekerjaan yang tersedia pada industri pariwisata di wilayah ini cukup

memadai, karena banyaknya pembangunan fasilitas-fasilitas sarana dan prasarana

pariwisata di daerah sekitarnya.

Secara tata letaknya, Kelurahan Kerobokan Kelod di bagian sebelah

pesisir Barat dari Kelurahan ini terdapat dua pantai yang sangat indah, yaitu

pantai Batu Belig dan pantai Petitenget. Pantai Batu Belig adalah sebuah pantai

yang landai dan berpasir putih dengan ombak yang kecil sehingga nyaman dan

aman sebagai tempat bermain anak-anak dan berjalan kaki menyusuri pantai.

Pantai ini memang tidak begitu terkenal seperti pantai Kuta, sehingga tidak begitu

banyak pengunjung yang datang, tetapi pantai Batu Belig tidak kalah indahnya

ketika melihat matahari terbenam di ufuk Barat dari pantai ini saat senja hari.

Sedangkan pantai Petitenget merupakan pantai yang cukup terkenal di mata

masyarakat Desa Adat Kerobokan dan wisatawan mancanegara. Pantai Petitenget

mempunyai pemandangan yang sangat indah mempesona dan berada pada garis

pantai yang sama dengan pantai Legian dan dan Kuta. Pantai Petitenget memiliki

pasir yang berwarna putih eksotis berkilauan dengan kuantitas sinar matahari

Page 58: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

58

yang tinggi sepanjang hari sehingga membuat para wisatawan menyukainya untuk

berjemur dan berenang. Gelombak ombaknya yang besar sangat cocok digunakan

sebagai tempat olah raga surfing/selancar. Pantai Petitenget pada sore hari sangat

ramai dikunjungi masyarakat dan wisatawan untuk menikmati indahnya panorama

matahari terbenam (sunset).

Wilayah kelurahan Kerobokan Kelod ini, di Banjar Batu Belig, terdapat

sebuah pura yang sangat terkenal yakni “Pura Petitenget”. Pura ini berdiri di

depan pantai Petitenget menghadap ke Barat, merupakan warisan budaya yang

berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya sehingga banyak dikunjungi

masyarakat dan wisatawan mancanegara. Pura Petitenget merupakan salah satu

pura “Dang Kahyangan” sebagai tempat persembahyangan umat Hindu di Bali

yang terletak di Kabupaten Badung. Pura Petitenget ini mempunyai tempat

tersendiri bagi masyarakat (pamedek) sebagai tempat suci sesuai dengan riwayat

sejarah berdirinya pura ini yang panjang dan unik.

Konsekuensi terhadap kondisi dan hal-hal di atas, akan membuat

wisatawan mancanegara maupun domestik akan mengunjungi Pura Petitenget

sebagai objek wisata cagar budaya. Selain itu tentu akan mengundang setiap

orang dan wisatawan mancanegara untuk datang ke wilayah Kelurahan

Kerobokan Kelod, dan kedatangan mereka dengan membawa berbagai

kepentingan dalam berbagai aspek kehidupan.

4.1.2 Penduduk

Penduduk atau warga masyarakat desa merupakan salah satu sumber daya

atau modal untuk menggerakkan roda pembangunan di Desa Adat Kerobokan

Page 59: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

59

khususnya, dan Kecamatan Kuta Utara pada umumnya. Namun jika kuantitas dan

kualitas dari sumber daya manusia ini tidak dikelola dan diarahkan secara tepat

dan sungguh-sungguh akan dapat menjadi beban sekaligus menjadi penghambat

pembangunan. Pengendalian kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di Desa

Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, telah dilaksanakan secara mandiri dan

terarah maupun melalui pola pembinaan untuk menciptakan kondisi masyarakat

yang mandiri dan sejahterah dalam segala bidang, dimana Desa Adat kerobokan

merupakan salah satu tempat tujuan daerah wisata yang sangat populer di dalam

masyarakat Kecamatan Kuta Utara.

Untuk mengetahui perkembangan penduduk Kecamatan Kuta Utara,

Kabupaten Badung, berdasarkan registrasi/pendataan kependudukan Kecamatan

Kuta Utara pada tahun 2012 memiliki jumlah penduduk 63.993 jiwa, di mana

jumlah laki-laki sebanyak 32.027 orang, dan jumlah perempuan sebanyak 31.966

orang, dengan kepadatan penduduk 1.890 km/jiwa. Keseluruhan dalam

penyebaran penduduk yang merata di segala tempat, dengan jumlah Kepala

Keluarga 15.543 KK. Di mana penduduk Kewarganegaraan Indonesia sebanyak

63.992 orang, dan Kewarganegaraan Asing sebanyak 1 (satu) orang (Monografi

Kecamatan Kuta Utara Tahun 2012).

Dalam pengelolaan masalah penduduk di wilayah Kuta Utara pada

umumnya dan Desa Adat Kerobokan khususnya, tetap pada koridor atau aturan

kependudukan yang ada sesuai dengan kebijakan yang sudah disepakati bersama.

Di masing-masing Banjar, ada Awig-Awig Adat yang mengikat krama uwed/asli

dan krama tamiu/pendatang. Di mana krama tamiu/pendatang yang sudah

Page 60: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

60

memiliki rumah, bisa masuk sampai pada tingkat Banjar “Suka-Duka”. Mereka

tidak sampai diharuskan/dipaksakan masuk Banjar Desa Adat, sebab, mereka juga

sudah masuk Banjar Desa Adat di rumah atau tempat asalnya/kelahirannya.

Dengan masuk Banjar Suka-Duka, mereka akan otomatis mendapat suaran kulkul

(kentongan) jika tertimpa pancabaya/masalah/petaka seperti pencurian,

perampokan, kebakaran, layu sekar dan sebagainya.

Peraturan untuk penduduk pendatang (krama tamiu) diharuskan

mempunyai identitas KIPS (Kartu Identitas Penduduk Sementara). Dalam setiap

operasi penertiban itu tentu mengikut sertakan unsur-unsur dari Desa Adat

setempat, seperti pecalang dan prajuru desa. Operasi penertiban ini penting agar

tidak sampai ada warga yang tanpa identitas, untuk menjaga keamanan

masyarakat setempat. Penduduk pendatang (krama tamiu) juga banyak menetap di

daerah Kerobokan.

4.1.3 Mata Pencaharian

Sebagai daerah yang wilayahnya cukup luas, maka penduduknya tergolong

banyak dengan berbagai macam mata pencaharian. Mata pencaharian sebagian

besar masyarakat Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara adalah bergerak

di bidang pertanian, perdagangan, perikanan, industri, pemerintahan, dan jasa,

sebagai mata pencaharian utamanya. Sektor pariwisata merupakan sektor yang

paling diunggulkan dan mendapat perhatian utama dari masyarakat Kerobokan-

Seminyak, Kecamatan Kuta Utara, dan sektor pariwisata memberikan kontsribusi

yang paling besar terhadap perekonomian dan pendapatan masyarakat setempat,

serta pendapatan daerah terkait. Penyerapan tenaga kerja yang sangat besar dalam

Page 61: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

61

sektor pariwisata menyebabkan sebagian besar masyarakatnya bekerja dalam

industri pariwisata, baik yang berhubungan langsung dengan segala aktivitas

pariwisata maupun dalam bidang sarana dan prasana yang tersedia sebagai

penunjang sektor pariwisata tersebut.

Berdasarkan registrasi/pendataan Kecamatan Kuta Utara tahun 2012,

jumlah perusahaan/usaha industri (besar dan Sedang) sebanyak 91 buah, dengan

jumlah tenaga kerja sebesar 6.779 orang, industri kecil sebanyak 479 buah,

dengan jumlah tenaga kerja sebesar 3.014 orang, dan Industri rumah tangga

sebanyak 408 buah, dengan jumlah tenaga kerja sebesar 1265 orang. Terdapat

perhotelan/losmen/penginapan sebanyak 288 buah, dengan penyerapan tenaga

kerja sebesar 1.481 orang, rumah makan/warung makan sebanyak 202 buah,

dengan jumlah tenaga kerja mencapai 1.064 orang. Di bidang perdagangan/

wirausaha terdapat sebanyak 8.335 buah, dengan menyerap tenaga kerja sebanyak

9.979 orang. Di bidang angkutan/travel terdapat sebanyak 536 buah, dengan

jumlah tenaga kerja sebanyak 701 orang. Di bidang wiraswasta terdapat sebanyak

114 buah, dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 426 orang (Monografi

Kecamatan Kuta Utara tahun 2012).

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sektor pariwisata memegang

peranan yang sangat penting terhadap pereokonomian masyarakat Kerobokan

khususnya dan Kecamatan Kuta Utara pada umumnya. Masyarakat di Kelurahan

kerobokan-Seminyak, Kuta Utara, ikut berperan aktif dalam industri pariwisata,

hal tersebut merupakan nilai penting dan pokok dalam peningkatan kesejahteraan

perekonomian dan pendapatan bagi masyarakat setempat, sehingga dengan penuh

Page 62: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

62

kesadaran mereka turut serta ikut mengembangkan industri pariwisata yang terus

berkembang di wilayah tersebut.

4.1.4 Agama

Masyarakat Desa Adat Kerobokan sebagian besar dari jumlah

penduduknya sekitar 90 persen beragama Hindu, dan sisanya 10 persen beragama

lain, seperti Islam, Kristen, dan Budha, mereka hidup saling berdampingan satu

sama lainnya, menghormati perbedaan agama diantara mereka sesuai dengan

penerapan dan aturan desa yang berlaku dan dipatuhi. Berdasarkan

registrasi/pendataan yang ada di Kecamatan Kuta Utara, penduduk yang

beragama Hindu sebanyak 45.965 orang, beragama Islam sebanyak 9.955 orang,

beragama Kristen Katolik sebanyak 3.185 orang, Kristen Protestan sebanyak

4.124 orang dan beragama Budha sebanyak 764 orang.

Sebagai daerah yang memiliki wilayah yang luas, dan sebagian besar

masyarakatnya beragama Hindu, di mana pura sebagai tempat persembahyangan

bersama, dan juga menjadi milik bersama masyarakat Desa Kerobokan.

Sebagaimana yang disampaikan oleh informan A.A Putu Sutarja, sebagai Bendesa

Adat Kerobokan pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan bahwa Desa Adat

Kerobokan hanya mempunyai satu Pura Puseh dan satu Pura Desa, serta memiliki

delapan Pura Dalem Kahyangan. Kedelapan Pura Dalem itu adalah; Pura Dalem

Robokan, Pura Dalam Teges, Pura Dalam Umaduwi, Pura Dalem Kayuaya, Pura

Dalem Dukuh, Pura Dalem Banjar Anyar, Pura Dalem Desa, dan Pura Dalem

Kerobokan. Sedangkan untuk Pura Puseh dan Pura Desa merupakan

pengempon/penyungsung dari semua masyarakat Desa Adat Kerobokan.

Page 63: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

63

Karena hanya memiliki satu Pura Desa dan Satu Pura Puseh, di samping

krama atau masyarakat Desa Adat Kerobokan cukup banyak, maka pada saat

upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Puseh dan di Pura Desa yang hanya

berlangsung selama tiga hari, persembahyangan diatur secara bergilir dengan

sistem prani, yakni setiap krama Banjar Adat bergiliran menghaturkan

persembahyangan selama upacara keagamaan (odalan/piodalan) berlangsung,

sehingga dalam tiga hari semua masyarakat Desa Adat Kerobokan sudah merata

mendapatkan persembahyangan bersama di Pura Puseh dan Pura Desa tersebut.

Hal ini dilakukan agar persembahyangan berjalan lancar, baik dan aman,

mengantisipasi agar warga masyarakat yang ingin melakukan persembahyangan

tidak serempak berdatangan ke Pura Puseh dan Pura Desa pada saat adanya

upacara keagamaan (odalan/piodalan).

4.1.5 Kehidupan Sosial Budaya

Kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan dipengaruhi

oleh unsur-unsur agama Hindu, yakni menjunjung tinggi konsep Tri Hita karana,

yang berarti “tiga penyebab kesejahteraan”, (Tri = tiga, Hita = sejahterah, dan

Karana = sebab) yaitu mencakup tiga unsur utama lingkungan, yang terdiri dari

parhyangan (lingkungan spiritual), pawongan (lingkungan sosial), dan palemahan

(lingkungan alamiah). Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak

terpisahkan, yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang antar ketiga unsur

tersebut dan diyakini akan membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia

lahir dan bathin. Desa Adat Kerobokan dengan wilayahnya yang luas, dalam

aspek palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan alamiah) juga tidak

Page 64: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

64

luput dari persoalan klasik yang terjadi saat ini akibat industri pariwisata, yakni

adanya alih fungsi lahan tanah pertanian ke nonpertanian.

Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh informan A.A. Putu

Sutarja sebagai Bendesa Adat Kerobokan pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan

bahwa hampir 70 persen lahan persawahan di desa ini sudah beralih fungsi, yang

semula sebagai salah satu daerah penghasil padi di Kabupaten Badung, kini sudah

tidak lagi dan telah terjadi perubahan dratis, dari delapan subak yang ada

sebelumnya, hanya tersisa dua subak yang masih bertahan, yakni Subak Tegal dan

Subak Kedapan, kedua subak tersebut masih berfungsi, walaupun saat ini hanya

mampu berproduksi 50 persen dari lahan pertanian yang ada. Subak adalah suatu

sistem pengairan teratur dalam hal pengaturan air untuk penataan irigasi sawah

dalam kehidupan pertanian masyarakat Bali (Alwi, 2001: 1094). Subak

merupakan budaya lokal rakyat Bali tentang sistem pembagian/penataan air yang

diwariskan secara turun temurun hingga sekarang.

Wilayah Kerobokan sebagai Desa Adat yang berada di daerah perkotaan,

yang mengalami perkembang pesat dalam industri pariwisata, serta banyaknya

penduduk pendatang yang masuk, sehingga membawa berbagai macam persoalan

serta pola kehidupan sosial budaya global yang masuk ke dalam kehidupan

masyarakatnya. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di

segala bidang, pergaulan antar masyarakat lokal dengan pendatang dan

wisatawan, terjadinya perubahan sistem perekonomian dari pertanian ke

pariwisata akibat pengembangan industri pariwisata Bali, serta hubungan

perdagangan global akibat kecanggihan transportasi, semakin mempercepat

Page 65: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

65

terjadinya proses interaksi sosial budaya serta perubahan pandangan dan pola

pikir dalam perilaku kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan.

4.1.6 Kesenian

Kehidupan berkesenian masyarakat di wilayah Desa Adat Kerobokan

masih tetap berlangsung hingga saat ini dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai

seni dan budaya peninggalan nenek moyang yang diwariskan dari generasi ke

generasi, walaupun kehidupan mereka sebagian besar menggantungkan

perekonomian dalam industri pariwisata. Masyarakat Desa Adat Kerobokan juga

memiliki kesenian sakral yang masih tetap dipertahankan dan dipertunjukan pada

saat-saat tertentu, yaitu pada saat upacara keagamaan di Pura Desa, Pura Puseh,

dan Pura Dalem, termasuk ketika odalan/piodalan di Pura Petitenget. Seni sakral

yang dipertunjukkan di sini merupakan seni tarian yang selalu mengiringi

kegiatan upacara keagamaan dengan seni tari yang bersifat ritual, seni tarian

sakral tersebut adalah Tari Rejang dan Tari Baris Tekok Jago.

Berdasarkan dengan apa yang dituturkan oleh informan A.A. Putu Sutarja

(48 tahun) sebagai Bendesa Desa Adat Kerobokan pada tanggal 5 Mei 2013,

mengatakan bahwa Tari Rejang merupakan tarian yang bersifat sakral bagi

masyarakat Desa Adat Kerobokan, karena hanya dipertunjukkan atau pentaskan di

dalam pura pada saat adanya upacara keagamaan (pujawali) di Pura Dalem, Pura

Desa, Pura Puseh maupun Pura Petitenget. Sedangkan tari Baris Tekok Jago

merupakan tarian sakral asli yang berasal dari Desa Adat Kerobokan, di mana

hanya bisa ditarikan atau dibawakan oleh masyarakat dari Banjar Adat Jambe

(Keluruhan Kerobokan Kaja), serta merupakan satu-satunya tarian sakral Baris

Page 66: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

66

yang ada di Kabupaten Badung. Tari Baris Tekok Jago mempunyai makna

filosofis yang menggambarkan ketika seorang atma atau roh pergi menuju surga

dengan penuh pengharapan. Tari Baris Tekok Jago juga merupakan tarian

pemujaan kepada Sang Pencipta untuk memohon hujan ketika musim kering atau

paceklik melanda Desa Adat Kerobokan.

Selain kesenian sakral di atas, kehidupan berkesenian masyarakat Desa

Adat Kerobokan terhadap seni daerah Bali juga sangat berkembang, terutama di

dalam bidang seni kerawitan, seni gamelan, seni tari, seni pahat dan lukis, seni

wayang dan hias, seni mejejaitan dan kerajinan, hal ini dapat dilihat dari

banyaknya sanggar-sanggar seni yang dimiliki, yang selalu mengiringi kegiatan

keagamaan dan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan, mulai

dari seni yang bersifat ritual maupun seni yang bersifat menghibur, terutama seni

gamelan dan tarian yang mampu memberikan daya tarik sekaligus kesejukan

bathin bagi setiap masyarakat di sekitarnya termasuk kepada wisatawan.

4.2 Pura Petitenget

4.2.1 Lokasi

Lokasi penelitian ini dilakukan di Pura Petitenget yang terletak di Banjar

Batu Belig, Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten

Badung, Propinsi Bali. Untuk mencapai Pura Petitenget sangat mudah karena

berada di daerah pariwisata Desa Adat Kerobokan, lokasi Pura Petitenget ini

berjarak sekitar 10 (sepuluh) kilometer Barat Daya Kota Denpasar, di tempuh

dengan waktu kurang lebih 20 menit. Dari arah Kota Denpasar ke arah Barat

Daya, berbelok ke Selatan menuju ke Kuta Utara, kemudian ke arah Utara menuju

Page 67: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

67

ke Selatan menyusuri jalan raya Seminyak-Kuta Utara. Selanjutnya menuju ke

arah Barat Daya ke pantai Petitenget. Lokasi keberadaan Pura Petitenget ini tepat

berada di depan pantai Petitenget, dan Pura Petitenget juga berdampingan dengan

Pura Masceti-Ulun Tanjung yang berdiri sendiri dalam sebuah areal. Pura

Petitenget merupakan salah satu pura tua yang ada di Bali, di bangun pada abad

XV, yang berhubungan dengan perjalanan suci Dang Hyang Nirartha dan

merupakan salah satu pura dang kahyangan di Bali yang berada di Kabupaten

Badung. (Lihat Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Pahatan Nama Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

Berpandangan dengan konsep pura sebagai tempat suci pada umumnya di

Bali, maka struktur atau bentuk areal Pura Petitenget juga berdasarkan atas konsep

pura Tri Mandala, yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba pura

(halaman luar), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (halaman dalam).

Pembagian atas tiga halaman tersebut mempunyai dasar pemikiran filosofis agama

Hindu, yaitu pura dianggap sebagai simbol makrokosmos yang melambangkan

tiga tingkatan dunia, yaitu Bhurloka, di mana jaba pura melambangkan bhurloka

Page 68: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

68

yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. Bhuwarloka, di mana jaba tengah

melambangkan bhuwarloka yaitu dunia tengah tempat kehidupan manusia yang

sudah disucikan. Dan Swarloka, di mana jeroan melambangkan swarloka yaitu

dunia atas tempat kehidupan para Dewa.

Memasuki areal Pura Petitenget mesti melewati jalan di sebelah selatan

pura dan keluar melalui jalan di sebelah utara pura. Di halaman terluar atau Nista

Mandala (jaba) Pura Petitenget berdiri sebuah wantilan yang cukup besar dan

bersih, biasa digunakan sebagai tempat aktivitas yang berhubungan dengan segala

kegiatan di pura ini, berupa kesenian profan yang bersifat hiburan, yaitu seni

balih-balihan. (Lihat Gambar No.4.2).

Gambar 4.2 Wantilan Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

Sebelum memasuki Pura Petitenget mesti melewati Apit Surang (Candi

Bentar) dengan menaiki beberapa anak tangga sebagai pemisah antara jaba sisi

(Nista Mandala) dengan jaba tengah (Madya Mandala). (Lihat Gambar 4.3).

Page 69: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

69

Gambar 4.3 Halaman Depan Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

Memasuki halaman Madya Mandala (jaba tengah) Pura Petitenget dari

arah barat dengan pintu utamanya Candi Bentar (Apit Surang). Pada Madya

Mandala Pura Petitenget ini terdapat bangunan Perantenan (dapur) dan Balai

Wantilan yang berfungsi sebagai tempat menyiapkan segala keperluan upakara

dalam rangka upacara (pujawali) pura, serta bangunan Balai Gong yang berfungsi

sebagai tempat untuk memainkan gamelan/gong saat upacara keagamaan (odalan/

piodalan) untuk kesenian yang bersifat profan (seni Bebali) seperti, Balaganjur,

dan Wayang kulit. Di Madya Mandala ini, di bagian sudut timur halaman terdapat

pelinggih Padma Ratu Ayu, pelinggih Sedan Gede Tedung Jagat dan pelinggih

Sedan Lingsir sebagai tempat untuk memohon kesembuhan. (Lihat Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Beberapa Pelinggih di Madya Mandala Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

Page 70: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

70

Sementara untuk bisa sampai ke Utama Mandala pura (Jeroan) mesti

melewati Kori Agung, yakni merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara

jaba tengah (Madya Mandala) dengan jeroan (Utama Mandala), dengan tiga pintu,

yaitu pintu utama di tengah, dengan dua pintu lagi di sebelah kanan dan di sebelah

kiri. (Lihat Gambar 4.5).

Gambar 4.5 Kori Agung di Madya Mandala Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

Memasuki Halaman Utama Mandala (jeroan) Pura Petitenget terdapat

bangunan Balai Gong, yang berfungsi sebagai tempat untuk memainkan gamelan

saat upacara keagamaan (odalan/piodalan) pura yang bersifat sakral (seni Wali)

seperti, tari Rejang, tari Baris, tari Saron dan Gambang. Bangunan Balai Upakara,

yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesaji (banten) upakara dan

menghaturkan sesaji (banten) oleh pendeta/pedanda saat berlangsungnya upacara

keagamaan (odalan/piodalan), dan Balai Penyimpenan, yang berfungsi sebagai

tempat penyimpanan alat-alat upacara keagamaan pura. Pada Utama Mandala

Pura Petitenget ini, terdapat pelinggih Naga Gombang, pelinggih Padmasari,

Padmasana, pelinggih Meru Tumpang Tiga, yang merupakan linggih Ida

Luhuring Dalem Solo, pelinggih Majapahit, yang merupakan linggih Ida Dalem

Majapahit, pelinggih Sad Pada dan Catu. Pelinggih yang paling utama di pura ini

Page 71: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

71

adalah pelinggih “Gedong Petitenget” yang merupakan tempat berstananya Dhang

Hyang Dwijendra, juga sebagai tempat penyimpanan peti pecanangan sang

pendeta suci tersebut. (Lihat Gambar 4.6 dan Gambar 4.7).

Gambar 4.6 Beberapa Pelinggih di Utama Mandala Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

Gambar 4.7 Pelinggih Gedong Petitenget di Utama Mandala(Dokumentasi: Budiasih)

4.2.2 Sejarah

Pura Petitenget sebagai pura dang kahyangan mempersilahkan umat

Hindu untuk tidak ragu-ragu dalam melakukan persembahyangan di pura ini,

karena sebagai pura dang kahyangan merupakan tempat suci untuk menghormati

jasa sang guru suci. Sebagai bentuk penghormatan maka dibuatkan tempat

Page 72: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

72

pemujaan terhadap jasa sang guru suci dalam perannya sebagai Dang Guru atas

dasar ajaran agama Hindu yang disebut “Rsi Rna”. Di mana makna sejarah

berdirinya pura dang kahyangan berdasarkan dari ajaran Rsi Rna tersebut, yakni

sebagai wujud rasa bakti umat yang tulus, sehingga mendirikan tempat suci untuk

memuja sang guru suci atas jasanya yang telah mengajarkan ajaran agama, dan

bentuk rasa terimakasih umat itu diwujudkan atas pendirian pura dang kahyangan,

dan pura dang kahyangan tersebut didirikan di ashram atau tempat di mana sang

guru melakukan yoga semadi/bertapa. Berdasarkan hal tersebut maka hendaknya

umat menghormati orang suci sebagai guru suci atau dang guru yang telah berjasa

memberi dan mengajarkan ajaran agama, dan sebagaimana halnya umat beragama

Hindu mewujudkan rasa baktinya kepada Tuhan, para Dewa dan para

leluhur.(Sumber:http://www.network54.com/forum/78267/message/1011745902/

Pemujaan+terhadap+Guru+Suci Tanggal 6 juli 2013).

Sesuai dengan apa yang dituturkan oleh informan A.A. Putu Sutarja (48

tahun) sebagai Bendesa Adat Kerobokan pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan

sejarah berdirinya Pura Petitenget bermula ketika seorang pendeta suci yang

bernama Dang Hyang Dwijendra dalam perjalanan sucinya meninggalkan Pura

Serangan menuju ke arah Selatan. Dalam perjalanan suci itu, akhirnya beliau tiba

di sebuah tempat yang kemudian saat ini dikenal sebagai daerah yang bernama

Desa Adat Kerobokan. Sebelum melanjutkan perjalanan sucinya menuju Pura

Uluwatu, Dhang Hyang Dwijendra menyempatkan diri bercengkerama dengan

Ida Batara Masceti di sekitar daerah Petitenget, lokasi Pura Petitenget saat ini. Di

tempat ini, ketika Dhang Hyang Dwijendra dan Ida Batara Masceti sedang asyik

Page 73: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

73

bercakap-cakap membicarakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan

keagamaan, tanpa sengaja percapakan beliau di dengar oleh Bhuto Ijo dan sang

pendeta melihat kehadiran Bhuto Ijo (raksasa yang memiliki wajah sangat

menakutkan dalam mitologi Bali) yang bersembunyi di balik semak dan hutan.

Mengetahui hal itu, Bhuto Ijo dipanggil oleh sang pendeta dan menanyakan

maksud dan tujuannya menampakkan diri di hadapan beliau, kemudian Bhuto Ijo

menjelaskan dan memohon kepada pendeta Dhang Hyang Dwijendra untuk

membiarkan dirinya menempati/mendiami daerah tersebut sebagai tempat

tinggalnya, yang akhirnya dikabulkan oleh sang pendeta.

Sebelum sang pendeta suci Dhang Hyang Dwijendra meninggalkan daerah

Kerobokan, beliau memberi mandat/tugas kepada Bhuto Ijo, di mana beliau

menitipkan sebuah kotak sebagai tempat menyimpan sirihnya yang berbentuk

seperti sebuah peti. Kemudian sang pendeta berpesan dan meminta kepada Bhuto

Ijo untuk menjaganya dengan baik peti pecanangannya sampai beliau kembali

dari tempat pertapaannya yakni, di Pura Uluwatu. Namun, ketika sang pendeta

belum menyelesaikan pertapaannya, beliau di datangi utusan warga Kerobokan

yakni kelian kerobokan dan tokoh masyarakat setempat untuk mendengarkan

laporan dari warga Kerobokan tersebut. Di mana menceritakan bahwa ada

sebidang tanah di wilayah Kerobokan (daerah Petitenget saat ini) yang terbilang

angker, siapa saja yang memasuki daerah tersebut akan terkena sakit/penyakit.

Dikatakannya bahwa suatu ketika ada anggota masyarakat yang memasuki

daerah itu dengan tujuan mencari kayu bakar, memetik dedaunan dan sebagainya,

namun anehnya, setelah pulang dari daerah itu orang tersebut langsung jatuh

Page 74: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

74

sakit. Kejadian tersebut sering terjadi berulangkali, dan cerita itu menjadi tersebar

di masyarakat kerobokan sehingga membuat masyarakat merasa takut memasuki

wilayah tersebut. Rupanya oleh masyarakat setempat tidak ada yang mengetahui

bahwa itu daerah yang angker, karena memang dijaga oleh mahkluk gaib Bhuto

Ijo yang dengan setia menjaga peti pecanangan sang pendeta suci Dhang Hyang

Dwijendra sekaligus menjaga wilayah itu sehingga menjadi angker (tenget).

Akhirnya kelian kerobokan bersama tokoh masyarakat menemui pendeta Dhang

Hyang Dwijendra di Uluwatu untuk memohon petunjuk beliau.

Sang pendeta suci memberitahukan kepada utusan warga kerobokan

bahwa wilayah tersebut memang dijaga oleh mahluk gaib yang bernama Bhuto

Ijo, yang telah diberi mandat oleh beliau untuk menjaga peti pecanangannya yang

dititipkan kepadanya. Oleh sang pendeta diberi petunjuk agar makhluk gaib itu

tidak lagi mengganggu atau mengusik ketenangan masyarakat sekitarnya ketika

memasuki daerah angker itu. Beliau berpesan untuk melakukan dan memberi

persembahan kepada Bhuto Ijo berupa Lelaban setiap Tilem Kawulu, masarana

sampi selem batu, lengkap dengan ajeng-ajengan cacahan. Sedangkan pada

Purnama Kasangan dihaturkan upakara Lelaban Penangluk Merana, masarana

sampi biyang, belang kebangsapi yang sudah beranak, ada tompel dibalik paha

atau lengannya. Semua hal tersebut mesti dilakukan supaya palemahan (tanaman

pertanian) tidak diserang hama penyakit. Sang pendeta suci juga meminta kepada

masyarakat Kerobokan dan sekitarnya untuk membangun sebuah tempat suci

sebagai tempat persembahyangan, dan oleh masyarakat setempat dibangunlah

sebuat tempat suci di daerah itu sesuai dengan perintah sang pendeta. Setelah

Page 75: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

75

dilakukan persembahan kepada Bhuto Ijo sesuai dengan pesan sang pendeta,

kemudian didirikanlah tempat suci oleh masyarakat setempat, maka di daerah

sekitarnya menjadi aman, tidak mendapat gangguan lagi seperti sebelumnya,

penduduk setempat ketika memasuki wilayah yang dijaga oleh Bhuto Ijo tidak

lagi mengalami sakit/penyakit seperti kejadian sebelumnya.

Akhirnya lokasi di mana berdirinya tempat suci tersebut oleh masyarakat

setempat didirikanlah sebuah pura yang berhubungan dengan perjalanan suci sang

pendeta Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra (Pedanda Sakti Wawu

Rauh), pura itu oleh masyarakat setempat dinamakan “Pura Petitenget”, yang

berasal dari dua kata yakni, peti memiliki arti peti yang sesungguhnya, dan tenget

yang berarti angker. Jadi “Petitenget” secara harafiah berarti peti yang angker.

Semenjak Pura Petitenget berdiri, wilayah sekitarnya menjadi aman dan tenteram,

serta tidak ada gangguan atau hal-hal yang menimbulkan sakit, dan masyarakat

setempat leluasa untuk masuk ke daerah Petitenget dengan rasa aman hingga

sekarang ini. Peti Pecanangan sang pendeta suci Dhang Hyang Dwijendra yang

dijaga oleh Bhuto Ijo oleh masyarakat setempat dibuatkan dan diletakkan pada

sebuah bangunan yang diwujudkan dalam bentuk bangunan pelinggih “Gedong

Petitenget”, yaitu sebagai tempat berstananya sang guru suci Dhang Hyang

Dwijendra, di mana pelinggih ini juga sebagai tempat penyimpanan peti.

4.2.3 Penyungsung

Secara umum istilah penyungsung sesungguhnya memiliki arti yang sama

dengan pangempon atau pangemong, karena sama-sama berkaitan dengan umat

dan pura, yang berkewajiban menjalankan perintah agama dalam melaksanakan

Page 76: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

76

sembah sujud bakti kehadapan Tuhan di dalam pura sebagai tempat suci bagi

umat Hindu untuk berhubungan dengan Sang Pencipta melalui persembahyangan

ataupun persembahan. Penyungsung berasal dari kata “sungsung” yang berarti

junjung, menjunjung atau memuliakan Sang Pencipta ketika bersembahyang di

dalam pura. Sedangkan istilah pangempon atau pangemong berasal dari kata

“empon” atau “emong” yang mengandung arti mengayomi atau melindungi. Jadi

pengertian penyungsung, pangempon atau pangemong maknanya lebih tertuju

kepada umat Hindu yang memuliakan Sang Pencipta dalam menjalankan ajaran

agamanya dengan melakukan persembahyangan atau persembahan di dalam pura,

dan lebih terkait dengan memberi pengayoman dan perlindungan terhadap

keberadaan suatu pura. Dalam konteks pengayoman dan perlindungan, tidak saja

secara fisik, melainkan juga dalam finansial dan terselenggaranya keseluruhan

kegiatan-kegiatan upacara yadnya atau pujawali yang di selenggarakan di pura.

(Sumber:http://suryadistira.blogspot.com/2008/07/pemedek-penyungsung-dan-

pengemong.html?m=1).

Sebagaimana yang dituturkan oleh Bendesa Adat Kerobokan A. A. Putu

Sutarja (48 tahun) dan Pemangku Pemucuk Pura Petitenget Jero Mangku Made

Widra (62 tahun) pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan bahwa Pura Petitenget di-

empon (pangemong/disungsung) oleh empat puluh sembilan (49) Banjar Adat dan

satu (1) Subak Adat Se-Desa Adat Kerobokan, Kabupaten Badung. Ke-empat

puluh sembilan Banjar Adat Se-Desa Adat Kerobokan tersebut yakni; Banjar

Batuculung, Banjar Babakan, Banjar Beluran, Banjar Batu Bidak, Banjar Jambe,

Banjar Gadon, Banjar Petingan, Banjar Silayukti, Banjar Gede, Banjar Tegeh,

Page 77: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

77

Banjar Kancil, Banjar Kesambi, Banjar Muding Kaja, Banjar Muding Tengah,

Banjar Muding Kelod, Banjar Muding Mekar, Banjar Campuan, Banjar Padang,

Banjar Peliatan, Banjar Anyar Kaja, Banjar Anyar Kelod, Banjar Kuwum, Banjar

Dukuh Sari, Banjar Semer, Banjar Uma Alas Kangin, Banjar Uma Alas Kauh,

Banjar Uma Sari, Banjar Batu Belig, Banjar Batu Belig Kangin, Banjar Taman,

Banjar Taman Mertanadi, Banjar Basangkasa, Banjar Pengubengan Kauh, Banjar

Pengubengan Kangin, Banjar Pengipian, Banjar Padangsumbu Kelod, Banjar

Padangsumbu Kaja, Banjar Padangsumbu Tengah, Banjar Umadui, Banjar

Jabapura, Banjar Batubolong, Banjar Tegallantang Kaja, Banjar Tegalalantang

Kelod, Banjar Tegalbuah, Banjar Abasan, Banjar Teges, Banjar Lepang, Banjar

Tegehsari, Banjar Robokan, dan Banjar Umaklungkung.

Begitu banyak penyungsung (pangemong) Pura Petitenget dari masyarakat

desa Adat Kerobokan, maka oleh panitia penyelenggara upacara keagamaan pura

ini diberlakukan sistem prani, yakni setiap banjar adat se-Desa Adat Kerobokan

yang akan melakukan persembahyang di Pura Petitenget mesti bergantian di

dalam menghaturkan persembahan sesaji (banten) dan persembahyangan, baik

perseorangan maupun bersama keluarga, akan disesuaikan dengan waktu yang

sudah ditentukan dan disepakati bersama. Hal ini dilakukan agar terwujudnya

ketertiban dan keteraturan, serta kenyamanan bagi umat yang bersembahyang,

sehingga menghindari terjadinya kesemberawutan atau ketidakberaturan pada saat

persembahyangan umat selama proses berlangsungsungnya upacara keagamaan

(odalan/piodalan) di Pura Petitenget.

Page 78: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

78

4.2.4 Upacara

Upacara keagamaan (odalan/piodalan) adalah upacara pemujaan ke

hadapan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan segala

manifestasinya lewat sarana pemerajan, pura, dan kahyangan pada saat hari–hari

tertentu. Upacara odalan/piodalan bisa juga bermakna hari ulang tahun bagi pura,

atau wedal, yang berarti keluar, turun atau dilinggakannya, dalam hal ini Sang

Hyang Widhi dengan segala manifestasinya menurut hari yang telah ditetapkan

untuk pemerajan, pura, dan kahyangan yang bersangkutan. Odalan/piodalan bisa

juga disebut pertitayan, petoyan dan pujawali. Upacara keagamaan (odalan/

piodalan) termasuk dalam upacara keagamaan Dewa Yadnya, yakni bermakna

upacara korban atau persembahan suci yang tulus ikhlas sebagai rasa bakti kepada

Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan seluruh manifestasi-Nya.

Dalam pelaksanaan upacara keagamaan (odalan/piodalan) umat Hindu

berpedoman kepada ajaran Catur Marga, makna Catur Marga adalah empat jalan

untuk mencapai kesempurnaan hidup lahir dan bathin (Sumber:

htpp://www.babadbali.com/piodalan/piodalan.htm).

Berdasarkan konsepsi upacara keagamaan (odalan/piodalan) di atas, maka

Upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget sesuai dengan ajaran

agama Hindu, di mana upacara dilaksanakan dengan cara menghaturkan

persembahan berupa upakara, dengan perlengkapan upacara berbentuk sesajian

kepada kepada Hyang Widhi dengan pengharapan memohon keselamatan dan

kesejahteraan bagi semua makhluk. Adapun upacara keagamaan (pujawali) yang

dilaksanakan di Pura Petitenget menurut Jero Mangku Made Widra (62 tahun)

Page 79: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

79

sebagai Pemangku Pemucuk (utama) Pura Petitenget yang diwawancarai pada

tanggal 5 Mei 2013. Mengatakan bahwa upacara keagamaan (odalan/piodalan) di

Pura Petitenget jatuhnya setiap enam bulan sekali (210 hari), yakni, pada hari

Buda Wage Merakih, dengan puncak upacara odalan/piodalan selama empat hari,

di mana satu hari sebagai hari persiapan upacara keagamaan dengan melakukan

upacara pembersihan dengan menghaturkan upakara banten Nyepuh, yang

bermakna mengembalikan kesucian Pura Petitenget, dan tiga hari sebagai puncak

odalan/piodalan Pura Petitenget.

Berdasarkan tuturan yang disampaikan oleh informan Jero Mangku Made

Widra sebagai Pemangku Pemucuk Pura Petitenget, mengatakan bahwa upacara

keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget rutin diperingati dan

dilaksanakan sesuai dengan waktu tertentu. Upacara keagamaan tersebut di bagi

menjadi tiga (3) tahapan upacara keagamaan. Adapun ketiga tahapan upacara

keagamaan (odalan/piodalan) tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,

Odalan/piodalan Pujawali Agung, yang jatuh setiap enam bulan sekali yakni,

pada hari Buda Wage Merakih, disertai dengan upakara banten Pragembal.

Kedua, Odalan/piodalan Catur Rbah, atau disebut dengan upacara Panca Wali

Krama, yang datangnya setiap lima tahun sekali. Upacara keagamaan ini disebut

dengan upacara Pedudusan Alit, disertai dengan upakara banten Mebangkit

Pragembal. Ketiga, Odalan/piodalan Catur Muka, yang datangnya setiap sepuluh

tahun sekali, disebut dengan upacara Karya Agung, disertai dengan upakara

banten Nyatur Rbah.

Page 80: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

80

BAB V

BENTUK PROFANISASI PEMANFAATAN WARISAN BUDAYA

PURA PETITENGET DI DESA ADAT KEROBOKAN,

KECAMATAN KUTA UTARA, BADUNG

5.1 Pemanfaatan Jeroan dan Jaba Tengah Pura Petitenget Sebagai Objek

Wisata Budaya

Adanya pengaruh budaya global yang mendominasi industri pariwisata

Bali sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi,

komunikasi dan transportasi, yang mempunyai kekuatan saling mempengaruhi

satu sama lainnya sehingga berimplikasi pada segala aspek kehidupan masyarakat

Desa Adat kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Bentuk

pengaruh budaya global itu telah mempengaruhi keberadaan Pura Petitenget

sebagai benda cagar budaya, sehingga mempengaruhi perubahan pandangan dan

pola pikir masyarakat setempat untuk memanfaatkan warisan budaya tersebut ke

dalam bentuk nilai ekonomi atas pemanfaatan warisan budaya ini.

Pura Petitenget yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya atas

pemanfaatannya dalam konteks pariwisata budaya di Bali, telah memberi nilai

ekonomi untuk penambahan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat setempat

serta para pengelola/pengurus pura ini. Unsur kekayaan sumber daya budaya lokal

yang dilestarikan dan dimiliki oleh masyarakat Desa Adat Kerobokan tersebut

dikomersialkan untuk kepentingan pariwisata budaya di Bali, sehingga memberi

peluang bagi wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Pura Petitenget.

Dengan adanya tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan pariwisata

Page 81: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

81

budaya Bali, serta adanya praktik-praktik kapitalisme telah mendorong terjadinya

profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat

kerobokan dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali.

Bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa

Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, di sini adalah pemanfaatan

Pura Petitenget sebagai objek wisata budaya telah membuat rasa ketertarikan

wisatawan mancanegara maupun domestik untuk berkunjung ke pura ini akibat

komersialisasi tempat suci. Secara sadar atau tidak, pada akhirnya membawa

berbagai macam persoalan budaya global yang terkait untuk masuk di dalamnya,

sehingga mempengaruhi keberadaan Pura Petitenget sebagai tempat suci. Dengan

diijinkannya wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan

leluasa masuk hingga ke halaman tersuci (jeroan) pura ini, yang seharusnya hanya

sebagai tempat persembahyangan umat. Kondisi tersebut mengakibatkan kesucian

Pura Petitenget tidak lagi menjadi sakral sesuai dengan riwayat sejarahnya atas

keberadaan pura ini ketika pertama kali di bangun, yang seharusnya tetap terjaga

dan terpelihara, tetapi saat ini mengalami perubahan nilai dan maknanya sebagai

tempat suci, semenjak pemanfaatannya sebagai objek wisata budaya, akhirnya

bergeser ke nilai profan karena berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya. Hal

ini menyebabkan kesucian Pura Petitenget tidak lagi penuh kereligiusan tetapi

bersifat keduniawiaan akibat budaya global yang masuk di dalamnya, sebagai

akibat perkembangan industri pariwisata Bali.

Persoalan di atas telah menyebabkan kesakralan Pura Petitenget dalam

konteks pariwisata budaya di Bali tidak lagi sebagaimana pada awal mulanya di

Page 82: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

82

bangun, tetapi telah terjadi profanisasi atas nilai utamanya sebagai tempat suci

akibat pemanfaatannya yang difungsikan sebagai objek wisata budaya dalam

industri pariwisata Bali. Di mana komersialisasi tempat suci dapat mengakibatkan

menurunnya nilai-nilai religiusitas/kesakralan tempat suci tersebut karena

memfungsikannya sebagai daya tarik objek wisata budaya, dan masyarakat lokal

sebagai pewaris dan pemilik pusaka budaya ini seringkali tidak memahami makna

yang terkandung di dalam sumber daya budaya yang dimilikinya. Kesakralan

suatu pura harus tetap terpelihara dan terjaga untuk keberadaan kesucian pura

tersebut, dengan adanya konsepsi tentang kesucian pura yang harus terjaga dan

terpelihara kesakralannya, baik di dalam maupun di luar pura, maka Pura

Petitenget harus tetap sakral (suci), baik di dalam maupun di luar pura itu sendiri,

dan sebagai tempat suci bagi umat Hindu dalam menjalankan ajaran agamanya, di

samping sebagai warisan benda cagar budaya (living monument).

Komersialisasi bangunan suci/pura sebagai objek wisata budaya sejalan

dengan pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar

budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Kedatangan wisatawan

mancanegara yang sengaja mengunjungi Pura Petitenget, dan melihat-lihat

keadaan pura ini hingga leluasa masuk ke areal halaman tersuci (jeroan) Pura

Petitenget telah mengakibatkan pura ini kehilangan hakekat kesuciannya sebagai

tempat suci akibat sifat-sifat keduniawiaan yang masuk ke dalamnya yang

berimplikasi dengan budaya global, yaitu sebagai benda yang dikomersialkan,

sebagai objek wisata cagar budaya untuk kepentingan industri pariwisata Bali.

Masuknya wisatawan mancanegara hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) Pura

Page 83: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

83

Petitenget tanpa sadar telah membawa budaya global yang modernis untuk masuk

ke budaya lokal yang tradisionalis, dalam konteks ini, di mana budaya global

yang modernis dengan bercirikan etika berpakaian (busana atas) yang bebas

terbuka tidak sesuai dengan budaya lokal yang tradisionalis dengan ciri

berpakaian yang rapi dan bersih sesuai kaidah dan norma berbusana ke pura

sebagai tempat suci. (Lihat Gambar 5.1, Gambar 5.2 dan Gambar 5.3).

Gambar 5.1 Wisatawan Mancanegara di Jeroan Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

Gambar 5.2 Wisatawan Mancanegara di Jeroan Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

Gambar 5.3 Umat Hindu/Pamedek di Jeroan Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

Page 84: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

84

Sementara budaya global dengan ideologi individualis kebebasannya, bisa

saja tidak mengenal aturan kotor kain (haid) tentang hal-hal mengenai memasuki

suatu tempat suci, dalam hal ini pura. Berbeda dengan budaya lokal sebagai umat

beragama yang mengenal aturan kotor kain (haid), tidak mengijinkan seorang

(wanita) yang menstruasi/nifas, memasuki pura sebagai tempat suci karena aturan

norma/adat. Budaya global dengan kebebasan berekspresi ketika menyentuh unsur

kebudayaan tradisional yang unik dan khas, akan melibatkan kecanggihan media

teknologi saat wisatawan mancanegara memasuki halaman tersuci (jeroan) Pura

Petitenget untuk merekam segala objek yang diamatinya dengan segala simbol-

simbol, ikon-ikon seni dan budaya, dan keagamaan yang terkandung di dalamnya,

menjadi keunikan yang khas. Menyebabkan wisatawan mancanegara berkeinginan

untuk mempelajari, melihat cara hidup dan budaya bangsa lain, tanpa sadar

masyarakat lokal telah membuka pintu lebar-lebar atas kebudayaan asing/global

untuk berbaur dan masuk di dalamnya, yakni saat wisatawan memasuki halaman

tersuci (jeroan) Pura Petitenget untuk merekam, melihat keadaan di sekelilingnya

sehingga menciptakan bentuk ruang profan akan hal tersebut. (Lihat Gambar 5.4).

Foto 5.4 Wisatawan Mancanegara di Jeroan Pura Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

Page 85: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

85

Secara bersamaan pada waktu dan tempat yang sama, memungkinkan

wisatawan mancanegara yang berkunjung, akan bertemu dengan pamedek/umat

Hindu yang sedang bersembahyang di jeroan Pura Petitenget, dengan kata lain,

dapat menyebabkan rasa ketidaknyamanan persembahyangan umat di dalam pura.

Kondisional ini disebabkan karena perubahan fungsi asli Pura Petitenget sebagai

tempat suci, semenjak difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya yang

dikomersialkan dalam konteks pariwisata budaya Bali. Sehingga telah mengubah

religiusitas nilai utama atau asli pura ini sebagai tempat suci yang bersifat sakral

telah bergeser menjadi ruang profan akibat sifat-sifat keduniawiaan yang masuk

di dalamnya. Konsekuensi terhadap hal-hal di atas, disebabkan pemanfaatan Pura

Petitenget sebagai objek wisata budaya dalam industri pariwisata Bali telah

mengakibatkan terjadinya profanisasi atas pura ini. Secara sadar atau tidak,

masyarakat lokal sebagai pemilik warisan budaya ini telah menciptakan bentuk

ruang profan yang beradaptasi dengan praktik kapitalis atas pemanfaatan Pura

Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya sehingga menggeser bentuk ruang

sakral Pura Petitenget sebagai tempat suci, dengan mengubah fungsi aslinya.

Terkait dengan hal-hal di atas, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh

informan A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia Pengelola Pura

Petitenget. Hasil kutipan wawancaranya dapat dilihat sebagai berikut:

“...wisatawan mancanegara maupun domestik boleh masuk ke dalampura, dan diijinkan melihat ke semua halaman pura, termasuk kejeroan pura, tetapi mesti mengikuti syarat sesuai dengan aturan yangterpasang di papan pengumuman. Berpakaian sopan, tidak sedangkotor kain (haid) dan menjaga kesopanan selama di jeroan pura,tetapi kami tidak mengetahui apakah mereka memahaminya...”(Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).

Page 86: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

86

Ungkapan di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Bendesa Adat

Kerobokan, Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun), yang juga merupakan tokoh

masyarakat setempat. Hasil wawancara dapat dilihat dalam kutipan penuturannya

sebagai berikut:

“...terkait dengan diijinkannya para wisatawan memasuki semuahalaman pura, termasuk ke jeroan pura, karena mereka ingin melihatkeadaan pura secara keseluruhan. Selain itu kami selalu menjelaskanaturan yang berlaku ketika mereka akan memasuki pura. Kami tidakmengetahui apakah wisatawan itu memahami tentang sedang kotorkain (haid) atau tidak, karena budaya asing mereka yang berbeda...”(Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013).

Hal yang sama dituturkan oleh Jero Mangku Mangku Made Widra (62

tahun), sebagai Pemangku Pemucuk (Utama) dan Jero Mangku Ni Ketut Netri (40

tahun) sebagai Pemangku Pengayah Pura Petitenget, yang sedang bertugas di Pura

Petitenget ketika diwawancarai. Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut:

“Para wisatawan boleh masuk hingga ke jeroan pura, dengan syaratberpakaian sopan dengan memakai kain dan selendang yang sudahdisediakan oleh panitia pengelola, berperilaku sopan ketika berada didalam pura, dan tidak sedang kotor kain (haid) atau nifas, kami tidakmengetahui keadaan mereka yang sebenarnya ketika memasuki pura.Beberapa wisatawan ada juga yang bersembahyang di sini memohonkesembuhan, saat mereka ke Bali lagi, pasti akan mampir kembali...”(Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013).

Melihat tuturan dari para informan di atas menunjukan bahwa peraturan

yang terpasang di papan pengumuman di halaman depan Pura Petitenget sudah

diterapkan oleh pihak pengelola Pura Petitenget semaksimal mungkin, namun ada

hal-hal yang tidak bisa dihindari, yaitu masuknya budaya asing yang terkait di

dalamnya, yang di bawa oleh wisatawan mancanegara ketika mengunjungi Pura

Petitenget, yang dengan leluasa memasuki areal halaman tersuci (jeroan) pura ini.

Budaya global yang modernis dengan kebebasan berekspresinya di segala aspek

Page 87: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

87

kehidupan telah menyentuh ranah budaya lokal yang tradisonalis sehingga

mengubah pola pikir masyarakat setempat ke arah modern dengan pola ideologi

ekonomi untuk memanfaatkan sumber daya budaya yang dimilikinya yang

berimplikasi dengan budaya kapitalis untuk mendatangkan pendapatan dengan

dalil pemeliharaan dan pemberdayaan warisan budaya ini serta meningkatkan

kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini merupakan konsekuensi logis atas

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya

yang dikomersialkan sebagai akibat pengembangan pariwisata budaya di Bali.

Dari pengamatan di lapangan, juga ditemukan situasi pada saat yang sama

antara pamedek yang akan melakukan persembahyangan di Pura Petitenget dan

wisatawan mancanegara yang ingin melihat ke halaman tersuci (jeroan) pura ini,

secara bersamaan bisa datang dalam waktu yang sama. Pada saat pamedek yang

sedang bersembahyang di jeroan Pura Petitenget, wisatawan mancanegara yang

kebetulan berada di halaman jeroan pura, bisa menyaksikannya dengan leluasa

karena berada pada waktu dan tempat yang sama, sehingga dapat menyebabkan

rasa ketidaknyamanan bagi umat yang sedang bersembahyang di halaman tersuci

(jeroan) Pura petitenget. Kondisi tersebut telah mengakibatkan kesakralan Pura

Petitenget dalam fungsi utamanya sebagai tempat suci dapat menurun atau

kehilangan hakekat nilai kesuciannya akibat budaya global yang masuk ke

dalamnya sebagai bentuk adaptif sifat keduniawaan yang dibawa oleh wisatawan

mancanegara akibat komersialisasi tempat suci dalam industri pariwisata Bali.

Berorientasi akan hal-hal tersebut, maka bentuk profanisasi pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,

Page 88: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

88

Badung, adalah memberikan kebebasan kepada wisatawan mancanegara maupun

domestik yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa dapat memasuki

Pura Petitenget hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) pura ini. Kondisi ini telah

mengubah fungsi aslinya Pura Petitenget sebagai tempat suci umat dalam

menjalankan ajaran agamanya telah bergeser menjadi bentuk ruang profan karena

dikomersialkan menjadi objek wisata cagar budaya akibat dampak pembangunan

pariwisata budaya di Bali. Kebijakan pariwisata budaya yang berimplikasi dengan

praktik-praktik kapitalisme sejalan dengan perubahan sosial budaya masyarakat

Desa Adat kerobokan, serta terbukanya akses luar telah mempengaruhi pandangan

dan pola pikir masyarakat setempat selaras dengan situasional masyarakat lokal

yang berusaha melestarikan tinggalan warisan budaya yang dimilikinya dengan

tetap mempertahankan nilai-nilai kesakralannya. Namun di sisi lain, adanya

keinginan perubahan sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat di sekitarnya telah membuat masyarakat Desa Adat kerobokan

memanfaatkan sumber daya budaya mereka menjadi objek dan daya tarik wisata

budaya yang dikomersialkan dalam pembangunan pariwisata budaya Bali.

Profanisasi telah mengakibatkan kesucian Pura Petitenget dalam fungsi

utamanya sebagai tempat suci telah menurun atau kehilangan hakekat nilai-nilai

kesakralannya akibat bentuk adaptif budaya global yang masuk di dalamnya.

Sebagai bentuk sifat keduniawaan yang dibawa oleh wisatawan mancanegara

karena adanya komersialisasi tempat suci, dalam konteks ini Pura Petitenget

sebagai objek wisata cagar budaya dalam perkembangan industri pariwisata Bali

telah mengalami kehilangan statusnya dahulu sebagai pura yang penuh dengan

Page 89: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

89

religiusitas karena riwayat sejarahnya saat pertama di bangun, namun sekarang

telah bergeser menjadi profan semenjak dikomersialkan menjadi objek wisata

budaya. Hal ini ditandai dengan kedatangan wisatawan mancanegara yang

mengunjungi Pura Petitenget, dengan leluasa bisa masuk hingga ke halaman

tersucinya (jeroan) pura, yang akhirnya menciptakan nilai suatu kebudayaan lokal

menjadi sebuah benda atau objek berharga yang bisa diperlihatkan atau dijual

kepada wisatawan mancanegara melalui jalur pariwisata budaya di Bali.

5.2 Pemanfaatan Wantilan Pura Petitenget Sebagai Tempat Kegiatan Sosial

Bagi Masyarakat Umum

Industri pariwisata di era globalisasi saat ini dengan di dukung oleh

otonomi daerah menyebabkan fenomena tersendiri bagi masyarakat pendukung

pariwisata, hal itu menunjukkan bahwa tingkat kemampuan masyarakat daerah

dalam berperan aktif mengembangkan sektor pariwisata cukup besar karena

perkembangan industri pariwisata Bali. Kecenderungan fenomena ini terlihat

dalam kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di

sekitar Pura Petitenget. Salah satu wujud kreativitas dalam pelestarian dan

pengembangan potensial aspek kebudayaaan lokal yang dimilikinya adalah

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget dalam pariwisata budaya di Bali.

Adanya perubahan pola pikir masyarakat setempat untuk memanfaatkan tinggalan

pusaka budaya tersebut ke dalam bentuk nilai ekonomi praktis atas pemanfaatan

Pura Petitenget yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya, yang mana

merupakan unsur kesatuan dari bagian daerah/wilayah kompleks Pura Petitenget

adalah pemanfaatan wantilan Pura Petitenget yang berada di halaman terluar pura

Page 90: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

90

ini yang disebut dengan Nista Mandala atau jaba sisi/jaba luar dari Pura Petitenget

tersebut. (Lihat Gambar 5.5).

Gambar 5.5 Wantila Pura Petitenget di Nista Mandala(Dokumentasi: Budiasih)

Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget yang cukup besar dan bersih, yang

terletak di halaman terluar atau Nista Mandala (jaba) pura, selain digunakan untuk

hal-hal yang biasa berhubungan dengan segala aktivitas atau kegiatan di pura ini

ketika adanya upacara keagamaan (odalan/piodalan) berupa kesenian profan yang

bersifat hiburan, menghibur masyarakat, seperti seni balih-balihan, contohnya;

Joged Bumbung, Gong Kebyar, Rindik, Geguntangan dan sebagainya, juga dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat umum di sekitarnya, maupun oleh masyarakat/

kelompok dari luar wilayah Desa Adat kerobokan yang tidak berhubungan dengan

kegiatan keagamaan di pura tersebut.

Keberadaan dan kondisi wantilan Pura Petitenget yang cukup besar dan

terlihat bersih, serta berada tepat di depan pantai Petitenget yang indah dan selalu

ramai dikunjungi masyarakat sekitarnya dan wisatawan mancanegara, telah

menjadi perhatian tersendiri dan mempunyai daya tarik untuk dimanfaatkan baik

oleh masyarakat umum setempat maupun oleh masyarakat/kelompok dari luar

Desa Adat kerobokan. Daya tarik lokasi wantilan Pura Petitenget dengan

Page 91: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

91

pemandangan pantai Petitenget yang berpasir putih dan indah menjadi pesona

tersendiri bagi masyarakat umum untuk memanfaatkan/menggunakan wantilan

pura ini untuk kegiatan atau aktivitas yang bersifat sosial (Lihat Gambar 5.6).

Gambar 5.6 Lokasi Wantilan Pura Petitenget di Nista Mandala(Dokumentasi: Budiasih)

Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum sekitarnya

maupun masyarakat/kelompok dari luar wilayah Desa Adat Kerobokan, biasanya

tidak ada hubungannya dengan aktivitas/kegiatan keagamaan di pura ini, dan

penggunaannya hanya sebentar. Kondisi di mana memang tidak ada upacara

keagamaan (pujawali) di pura ini, diijinkan oleh pengurus/pengelola Pura

Petitenget sesuai dengan kesepakatan bersama antara panitia pengelola Pura

Petitenget dengan masyarakat setempat. Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget

untuk kegiatan sosial oleh masyarakat umum di sekitarnya maupun masyarakat/

kelompok dari luar Desa Adat kerobokan diperbolehkan, dengan kompensasi

dalam bentuk dana punia secara sukarela/keikhlasan kepada pihak pengelola Pura

Petitenget. Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget biasanya hanya sebentar dan

tidak berlangsung lama, dan hanya sekali-kali digunakan oleh masyarakat umum

maupun masyarakat/kelompok dari luar Desa Adat Kerobokan, seperti kegiatan

yang bersifat sosial dan membutuhkan tempat yang agak luas dan lebar, di

Page 92: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

92

samping itu karena lokasi atau letaknya di depan pantai Petitenget dengan

pemandangan pantai yang mempesona.

Terkait dengan hal di atas, sesuai dengan apa yang dituturkan oleh

informan A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia Pengelola Pura

Petitenget. Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut:

“...masyarakat Desa Adat Kerobokan maupun masyarakat/kelompokdari luar Desa Adat Kerobokan dapat menggunakan wantilan PuraPetitenget untuk kegiatan atau acara yang bersifat sosial, tetapidengan syarat berdana punia untuk kepentingan pura, dan biasanyahanya sekali-kali digunakan oleh masyarakat umum...”(Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).

Pendapat di atas serupa dengan apa yang disampaikan oleh Bendesa Adat

Kerobokan, Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun). Hasil wawancaranya dapat

dilihat dalam kutipan berikut:

“...masyarakat Desa Adat kerobokan maupun masyarakat/ kelompokdari luar Kerobokan boleh menggunakan wantilan Pura Petitengetuntuk kegiatan yang bersifat sosial, dengan syarat adanya pemberiandana punia, tidak ditentukan nominalnya, hanya bersifat keikhlasan,walaupun jarang digunakan oleh masyarakat umum...”(Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013).

Hal senada juga dituturkan oleh Jero Mangku Made Widra (62 tahun)

sebagai Pemangku Pemucuk (Utama) Pura Petitenget. Hasil wawancaranya dapat

dilihat dari kutipan berikut:

“...siapa saja bisa menggunakan wantilan Pura Petitenget, asalkanbersifat sosial, dengan persyaratan berdana punia untuk kepentinganpura, dan tidak ditentukan berapa pun besarnya, keikhlasannya saja,hal ini tidak sering digunakan oleh masyarakat umum”.(Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013).

Dari penuturan ketiga informan di atas tersebut, menunjukkan telah terjadi

profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,

Page 93: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

93

yaitu profanisasi atas pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat

umum maupun masyarakat/kelompok dari luar Desa Adat Kerobokan, di luar dari

kegiatan keagamaan yang berhubungan dengan Pura petitenget. Kondisi tersebut

bertujuan kepada hal-hal yang bersifat ekonomi praktis dengan menekankan dalil

demi pelestarian warisan budaya ini , di mana dengan melepaskan nilai gunanya

sebagai wantilan pura yang biasa digunakan untuk aktivitas yang berhubungan

dengan upacara keagamaan (pujawali) saat sedang berlangsung di Pura Petitenget,

dan digantikan dengan nilai tukar yang mendatangkan nilai ekonomis praktis demi

pelestariannya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Berorientasi atas hal tersebut, maka bentuk profanisasi pemanfaatan

wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum, tidak terlepas dari pengaruh

budaya global yang masuk ke ranah kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi

masyarakat lokal yang berimplikasi dengan praktik-praktik kapitalisme sehingga

terjadi perubahan pola pikir masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumber

daya budaya lokal dengan pemikiran modern dan praktis dengan motif ekonomi,

di mana fungsi asli penggunaan wantilan Pura Petitenget telah terjadi perubahan

fungsi menjadi profan dengan menggeser nilai gunanya dan digantikan menjadi

nilai tukar akibat pemanfaatan wantilan Pura Petitenget ketika digunakan oleh

masyarakat umum untuk kegiatan yang bersifat sosial yang mendatangkan nilai

ekonomi praktis dengan dalil untuk beaya pemeliharaan pura dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Hal itu terjadi sebagai akibat proses

globalisasi yang tidak bisa dihindari yang masuk ke dalam ranah kehidupan

masyarakat Desa Adat Kerobokan dalam industri pariwisata Bali.

Page 94: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

94

5.3 Pemanfaatan Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Kendaraan

Peranan pariwisata sangat besar terhadap kehidupan sosial ekonomi

masyarakat Desa Adat Kerobokan, di mana sebagian besar perekonomian

masyarakatnya bertumpu pada sektor pariwisata di wilayah tersebut. Keberadaan

Pura Petitenget sebagai objek wisata budaya mempunyai nilai ekonomis atas

pemanfaatan dan pengelolaan warisan budaya ini dalam perkembangan industri

pariwisata Bali. Di samping itu lokasi berdirinya Pura Petitenget yang terletak di

depan pantai Petitenget, selain sebagai tempat upacara melasti (pembersihan) bagi

umat Hindu dalam menjalankan ajaran agamanya, juga sebagai tempat rekreasi

dengan memanfaatkan keindahan pantai Petitenget yang berpasir putih berkilau

yang menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara.

Lokasi Pura Petitenget yang strategis itu semakin menambah terkenalnya

keberadaan pura tua ini di mata masyarakat umum dan wisatawan mancanegara

ketika memasuki daerah pariwisata di wilayah Kerobokan, khususnya di daerah

sekitar Petitenget. Di tunjang oleh sarana dan fasilitas yang tersedia bagi sektor

pariwisata di wilayah ini, serta di dukung dengan keterbukaan dan penerimaan

masyarakat yang positif atas perkembangan pariwisata di daerah tersebut semakin

menumbuh kembangkan kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat

Desa Adat Kerobokan. Bertitik tolak dari kondisi di atas, masyarakat Desa Adat

kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget memanfaatkan

sumber daya budaya lokal Pura Petitenget terutama pemanfaatan atas halaman

Nista Mandala (jaba) Pura Petitenget ini yang merupakan satu kesatuan dari

Page 95: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

95

wilayah/daerah kompleks Pura Petitenget untuk kepentingan pariwisata di daerah

Petitenget pada khususnya dan di Desa Adat Kerobokan pada umumnya.

Pemanfaatan halaman terluar (jaba) Pura Petitenget sebagai areal parkir

kendaraan bermotor akan dikenakan ketika tidak ada aktivitas/kegiatan upacara

keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget, berlaku bagi semua masyarakat

dan wisatawan asing yang menggunakan kendaraan bermotor ketika memasuki

daerah/pantai Petitenget, baik yang akan masuk ke pantai Petitenget maupun yang

keluar dari daerah Petitenget, maka dikenakan restribusi parkir yang besarnya

sudah ditentukan oleh pihak pengelola Pura Petitenget atas pemanfaatan jaba Pura

Petitenget sebagai halaman parkir kendaraan bermotor. Apabila ada kegiatan

upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget maka tidak dikenakan

beaya parkir kendaraan khusus bagi masyarakat setempat atau pamedek yang akan

bersembahyang ke Pura Petritenget selama odalan/piodalan berlangsung. Hal ini

merupakan unsur nyata bahwa kawasan Pura Petitenget sebagai tempat suci masih

ada ruang sakral yang dijalankan masyarakat setempat atas pemanfaatan jaba Pura

Petitenget yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Untuk pemanfaatan jaba

Pura Petitenget sebagai areal parkir, maka beaya restribusi parkir kendaraan yang

dikenakan adalah untuk kendaraan roda dua sebesar Rp.1000,- untuk kendaraan

roda empat sebesar Rp.3000,- serta untuk kendaraan besar seperti bis dan truk

sebesar Rp.5000,- (Lihat Gambar 5.7 dan Gambar 5.8).

Page 96: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

96

Gambar 5.7 Memasuki Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Kendaraan.(Dokumentasi: Budiasih)

Gambar 5.8 Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Kendaraan.(Dokumentasi: Budiasih)

Atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan,

serta adanya pemasukan dari restribusi parkir yang didapatkan atas pemanfaatan

jaba Pura Petitenget sebagai tempat parkir bagi para wisatawan mancanegara

maupun masyarakat umum di sekitarnya ketika memasuki kawasan/pantai

Petitenget, baik untuk kegiatan pariwisata maupun untuk kegiatan sehari-hari.

Kecuali saat adanya aktivitas/kegiatan upacara keagamaan (odalan/piodalan) di

Pura Petitenget tidak dipungut beaya parkir, khusus bagi masyarakat/pamedek

yang bersembahyang. Keseluruhan hasil yang didapatkan atas pemanfaatan jaba

Pura Petitenget sebagai lahan parkir dimasukan ke dalam Kas pengelola Pura

Petitenget Desa Adat Kerobokan. (Lihat Gambar 5.9, Gambar 5.10, Gambar 5.1).

Page 97: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

97

Gambar 5.9 Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Kendaraan.(Dokumentasi: Budiasih)

Gambar 5.10 Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Mobil.(Dokumentasi: Budiasih)

Gambar 5.11 Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Motor.(Dokumentasi: Budiasih)

Hasil pemasukan restribusi parkir yang diperoleh atas pemanfaatan jaba

Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan secara keseluruhan digunakan

sepenuhnya untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget. Seperti, untuk beaya

Page 98: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

98

renovasi/perbaikan bangunan/pelinggih pura yang rusak, maupun untuk segala

keperluan pura, upacara sehari-hari atau bulanan di pura, juga pada saat upacara

keagamaan (odalan/piodalan) Pura Petitenget, baik itu setiap enam bulan (210

hari) sekali, lima tahun dan sepuluh tahun sekali. Keseluruhan beaya yang

dikeluarkan untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget di atas, diambil dari

pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan bermotor, juga

pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum, serta sumbangan/

dana punia (sesari) dari pamedek dan para wisatawan ketika mengunjungi Pura

Petitenget. Di mana masyarakat Desa Adat Kerobokan tidak mengeluarkan beaya

untuk keperluan/kepentingan Pura Petitenget seperti hal-hal yang disebutkan di

atas, bahkan ketika adanya upacara keagamaan (pujawali) di Pura Desa dan Pura

Puseh masyarakat Desa Adat Kerobokan tidak mengeluarkan beaya, karena sudah

ditanggung/diambilkan dari Kas panitia pengelolaan Pura Petitenget.

Sesuai dengan hal-hal tersebut di atas, hal ini terkait dengan apa yang

dituturkan oleh informan A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia

Pengelola Pura Petitenget. Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut:

“...masyarakat Desa Adat Kerobokan tidak mengeluarkan beayauntuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget, baik renovasi maupununtuk kebutuhan sehari-hari dan upacara piodalan di Pura Petitenget,bahkan untuk keperluan upacara piodalan bagi Pura Desa dan PuraPuseh, karena kebutuhan tersebut diambilkan dari Kas pengelolaanPura Petitenget atas pemanfaatan dari jaba pura sebagai tempatparkir, wantilan pura, sumbangan dari masyarakat dan wisatawan”.(Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).

Pendapat di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Bendesa Adat

Kerobokan, Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun). Hasil wawancaranya dapat

dilihat dalam kutipan berikut:

Page 99: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

99

“...dana yang masuk atas pemanfaatan jaba pura, wantilan pura, sertasumbangan (sesari) dari masyarakat dan wisatawan yang berkunjungke Pura Petitenget, dipakai untuk keperluan Pura Petitenget sehari-hari/bulanan, untuk upacara keagamaan (odalan/piodalan) dan yangterkait di dalamnya, serta untuk upacara keagamaan di Pura Desadan Pura Puseh, dana pengeluarannya di ambil dari Kas pengelolaanPura Petitenget. Masyarakat tidak mengeluarkan beaya...”(Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013).

Dari tuturan di atas sama dengan apa yang disampaikan oleh seorang

masyarakat Desa Adat Kerobokan I Wayan Janoka (48 tahun). Hasil wawancara

tersebut dapat dilihat dari kutipan penuturannya sebagai berikut:

“Semenjak adanya pemasukan ke Kas pengelola Pura Petitenget dariwisatawan yang berkunjung ke Pura Petitenget, pemanfaatan jabapura sebagai areal parkir, sebagai masyarakat Desa Adat Kerobokan,saya tidak mengeluarkan beaya saat upacara keagamaan (pujawali)di Pura Petitenget, bahkan untuk di Pura Desa dan Pura Puseh,karena ditanggung oleh pihak panitia pengelolaan Pura Petitenget”.(Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).

Dari penuturan para informan di atas, menunjukan telah terjadi profanisasi

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget atas pemanfaatan jaba Pura

Petitenget sebagai areal parkir kendaraan. Setiap dana/uang yang masuk, secara

keseluruhan digunakan untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget, yakni untuk

beaya renovasi bangunan/pelinggih pura yang rusak, untuk segala keperluan pura,

baik sehari-hari/bulanan, upacara keagamaan (odalan/piodalan) Pura Petitenget

serta yang terkait di dalamnya. Hal tersebut membuat masyarakat Desa Adat

Kerobokan tidak mengeluarkan beaya bagi segala keperluan/kepentingan Pura

Petitenget, bahkan juga saat ada upacara keagamaan (pujawali) di Pura Desa dan

Pura Puseh, karena ditanggung dari Kas panitia pengelolaan Pura Petitenget.

Berorientasi atas hal-hal di atas, maka bentuk profanisasi warisan budaya

Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adalah

Page 100: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

100

wujud nyata atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan

yang mendatangkan nilai ekonomi praktis yang menguntungkan bagi masyarakat

setempat dengan memanfaatkan sumber daya budaya yang dimilikinya sebagai

sumber kegiatan ekonomi untuk penambahan pendapatan demi pelestarian dan

pemeliharaan warisan budaya ini, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

sekitarnya. Di mana konsepsi nilai ruang dari radius kesucian Pura Petitenget,

dalam hal ini jaba Pura Petitenget dimanfaatkan sebagai areal parkir kendaraan,

telah digeser menjadi ruang profan yang menjadi perubahan nilai ruang ekonomis,

akibat perubahan pola pikir masyarakat setempat dari masyarakat tradisional ke

masyarakat modern, sehingga menghasilkan kondisi nilai ruang motif ekonomi

untuk pemberdayaan dan pelestarian warisan budaya ini, serta meningkatkan

kesejahteraan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Adat Kerobokan. Hal

ini bersamaan dengan masuknya pola-pola budaya global ke ranah kehidupan

sosial budaya masyarakat setempat sejalan dengan ideologi ekonomi dan pola-

pola kapitalisme dengan memanfaatkan modal sumber daya budayanya guna

mendapatkan nilai material akibat perkembangan industri pariwisata Bali.

Secara pasti dapat disimpulkan, bentuk profanisasi pemanfaatan warisan

budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung,

adalah menjadikan sumber kebudayaan lokal yang dimiliki masyarakat Desa Adat

Kerobokan menjadi benda wisata budaya yang mempunyai daya tarik sebagai

objek wisata cagar budaya. Di mana memberikan kebebasan kepada wisatawan

yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa memasuki Pura Petitenget

hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) pura ini. Kondisi ini telah mengubah

Page 101: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

101

fungsi utama Pura Petitenget sebagai tempat suci umat dalam menjalankan ajaran

agamanya telah bergeser menjadi bentuk ruang profan karena dikomersialkan

menjadi objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya Bali.

Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum yang dapat

digunakan untuk kegiatan di luar keagamaan, tidak terlepas dari pengaruh budaya

global yang masuk ke ranah kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi

masyarakat lokal yang berimplikasi dengan praktik-praktik kapitalisme sehingga

terjadi perubahan pola pikir masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumber

daya budayanya dengan pemikiran yang modernis dan praktis dengan motif

ekonomi. Di mana telah mengubah fungsi asli/utama penggunaan wantilan Pura

Petitenget menjadi ruang profan dengan menggeser nilai gunanya dan digantikan

menjadi nilai tukar akibat pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat

umum untuk aktivitas yang bersifat sosial yang mendatangkan nilai ekonomis

dengan dalil pelestarian dan pemeliharaan Pura Petitenget, dan penambahan

pendapatan bagi kepentingan Pura Petitenget demi meningkatkan taraf

kesejahteraan bagi para pengurus pura dan masyarakat di sekitarnya.

Adanya pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal halaman parkir

kendaraan yang mendatangkan nilai ekonomi praktis yang menguntungkan bagi

masyarakat setempat dengan memanfaatkan warisan budaya yang dimilikinya

sebagai sumber penghasilan ekonomi demi kelangsungan pemeliharaan dan

terjaganya warisan budaya tersebut, selain untuk penambahan pendapatan dan

peningkatan kesejahteraan bagi para pengelola pura dan masyarakat di sekitarnya.

Di mana konsepsi nilai ruang dari radius kesucian Pura Petitenget, dalam hal ini

Page 102: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

102

jaba Pura Petitenget, telah digeser menjadi ruang profan, yang menjadi nilai ruang

ekonomis akibat perubahan pola pikir masyarakat setempat dari masyarakat

tradisional ke masyarakat modern, sehingga menghasilkan kondisi nilai ruang

motif ekonomi demi pemeliharaan dan pelestarian sumber daya budaya ini, serta

untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa

Adat Kerobokan. Hal itu bersamaan dengan masuknya praktik-praktik kapitalisme

dengan motif ekonomi yang berimplikasi dengan bentuk adaptif budaya global

yang masuk ke ranah kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat kerobokan

akibat pengaruh industri pariwisata global sehingga terjebak ke dalam ruang

realitas modernisasi yang menimbulkan pergeseran bentuk nilai dan ruang sakral

Pura Petitenget sebagai tempat suci menjadi bentuk nilai dan ruang profan dengan

mengubah fungsi asli/utamanya menjadi objek wisata budaya dengan ideologi

ekonomi yang menghasilkan nilai uang untuk beaya pelestarian dan pemeliharaan

warisan budaya lokal tersebut, serta penambahan pendapatan demi meningkatkan

kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya.

Perkembangan industri pariwisata Bali yang pesat telah membawa

kapitalisme masuk ke dalam aspek kebudayaan masyarakat Desa Adat kerobokan,

dan profanisasi warisan budaya Pura Petitenget terjadi karena komersialisasi yang

memperlakukan sumber daya budaya lokal ini menjadi unsur nilai ekonomis yang

menghasilkan uang sehingga mengesampingkan nilai-nilai religiusitas utama Pura

Petitenget sebagai tempat suci. Hal ini terjadi karena adanya kesempatan dan

peluang, sehingga masyarakat lokal sebagai pemilik kebudayaan itu termotivasi

dan melahirkan bentuk kreativitas yang bercirikan praktik kapitalisme di bidang

Page 103: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

103

ekonomi. Di mana secara situasional dengan hasrat dan praktik memberi peluang

yang seluas-luasnya bagi masyarakat Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta

Utara, Badung, untuk merepresentasikan “kepentingannya” ke dalam motif sosial

ekonomi dengan mengkonstruksikan simbol-simbol kebudayaan yang dimilikinya

demi nilai pakai yang menghasilkan uang karena situasional yang dinamis akibat

perkembangan industri pariwisata global yang membawa dampak realistis

terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa

Adat Kerobokan dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali.

Page 104: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

104

BAB VI

FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PROFANISASI

PEMANFAATAN WARISAN BUDAYA PURA PETITENGET DI DESA

ADAT KEROBOKAN, KECAMATAN KUTA UTARA, BADUNG

6.1 Daya Tarik Pura Petitenget Sebagai Daya Tarik Wisata Cagar Budaya

Paradigma berpikir masyarakat lokal sebagai pendukung kebudayaan dan

pemilik nilai budaya lokal, akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,

didukung dengan industri pariwisata global yang mendunia mengalami sangat

pragmatis dan berinteraksi terhadap perubahan lingkungannya, sehingga konsepsi

tentang nilai-nilai kesucian pura bergeser dan menjadi terfokus pada nilai-nilai

materialistik, di mana religiusitas pura mengalami perubahan nilai secara dramatis

(Pujaastawa, 2008: 406).

Terkait dengan konsep di atas, serta kenyataan yang ditemui di lapangan,

pengaruh pariwisata dalam aspek nilai ekonomi dengan memanfaatkan sumber

daya budaya masyarakat lokal, dalam hal ini Pura Petitenget, di mana keberadaan

warisan budaya ini menjadi daya tarik tersendiri sebagai sumber daya budaya

lokal dan sajian utama bagi industri pariwisata Bali. Keberlangsungan faktor daya

tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar budaya di Desa Adat

Kerobokan merupakan faktor utama, dan sebagai benda komoditi yang

dipublikasikan dan dikomersialkan bagi pengembangan pariwisata budaya di Bali

untuk mendapatkan keuntungan nilai material ekonomi sesuai dengan kebutuhan

masa sekarang tanpa mengesampingkan aspek nilai budayanya. Namun menjadi

sebuah proses dinamis mengikuti perkembangan zaman akibat industri pariwisata

Page 105: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

105

global untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal sebagai

pemilik kebudayaan dan aspirasi masyarakat pendukung pariwisata.

Semua kebudayaan pasti mengalami perubahan akibat perkembangan

zaman, begitu juga dengan budaya Bali, dalam hal ini Pura Petitenget sebagai

warisan budaya. Secara sadar atau tidak, perubahan sumber daya budaya ini

mengalami pergeseran nilai karena difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya

yang mendatangkan nilai material ekonomis, di mana masyarakat Desa Adat

Kerobokan sebagai pemilik sumber daya budaya ini mengalami perubahan pola

pikir akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang sehingga

mengalami metamorfosis dalam segala aspek sosial kehidupan mereka sebagai

akibat perkembangan industri pariwisata dunia. Di mana naluri materialistik untuk

memanfaatkan sumber daya budaya lokal ini menjadi suatu benda komoditi yang

kemudian dikomersialisasikan, telah menyebabkan terjadinya faktor profanisasi

atas pemanfaatan warisan budaya Pura petitenget di Desa Adat Kerobokan.

Pura Petitenget sebagai sumber daya budaya lokal yang mempunyai nilai

arkelogis yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya atas pemanfaatannya

dalam konteks pariwisata budaya menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya

profanisasi atas keberadaan warisan budaya ini sebagai akibat perkembangan

industri pariwisata budaya di Bali. Di mana faktor yang menjadi nilai simbol

kesucian Pura Petitenget sebagai tempat suci kehilangan hakikat nilainya karena

difungsikan sebagai benda objek wisata budaya akibat komersialisasi bangunan

suci/pura. Aspek komersialisasi tersebut yang menyebabkan terjadinya profanisasi

terhadap Pura Petitenget karena menjadi barang komoditi yang mengkondisikan

Page 106: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

106

kehilangan nilai kesakralannya. Hal tersebut merupakan suatu konsekuensi logis

dari kapitalisasi industri pariwisata Bali, lewat dunia pariwisata kekuatan kapitalis

global merambah pada segala aspek kehidupan sosial budaya masyarakat lokal.

Sebagai sumber daya budaya lokal yang bernilai arkeologis, sebagai pura tua,

maka Pura Petitenget mempunyai daya tarik tersendiri sebagai daya tarik wisata

budaya, sehingga menyebabkan terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan

budaya Pura Petitenget di desa Adat Kerobokan. Hal ini merupakan faktor yang

berasal dari dalam Pura Petitenget, karena menjadi daya tarik wisata cagar budaya

akibat pemanfataannya sebagai objek wisata budaya dalam konteks pariwisata

budaya di Bali, dengan unsur-unsur ideologi ekonomi yang masuk di dalamnya.

Unsur faktor daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar

budaya menyebabkan terjadinya profanisasi adalah; 1) faktor untuk kepentingan/

keperluan Pura Petitenget, 2) faktor untuk penambahan pendapatan bagi pengelola

dan pengurus Pura Petitenget, serta 3) faktor untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat setempat, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Faktor

daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata budaya yang menjadi

dominansi profanisasi atas pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan budaya

yang dikomersialkan. Secara perlahan tapi pasti, tradisi kesakralan/kesucian Pura

Petitenget ini mulai diabaikan, yang digantikan dengan mementingkan aspek nilai

ekonomis sehingga menggeser aspek nilai tradisionalis dengan memfungsikannya

sebagai benda objek daya tarik wisata budaya untuk wisatawan mancanegara.

Terkait dengan kondisi dan unsur faktor tersebut, dapat dilihat dari hasil

Page 107: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

107

wawancara dengan Pemangku Pemucuk (utama) Pura Petitenget yaitu Jero

Mangku Made Widra (62 tahun). Kutipan penuturannya sebagai berikut:

“...setiap dana yang masuk ke Kas pengelolaan Pura petitengetdigunakan bagi kepentingan/keperluan pura, perbaikan bangunan purayang rusak, keperluan sehari-hari/bulanan pura, upacara keagamaan(odalan/piodalan) setiap enam bulan, lima tahun, dan sepuluh tahun,maupun upakara pecaruan melasti ke laut. Selain itu dana digunakanuntuk keperluan honorarium bagi pengelola/pengurus Pura Petitengetsesuai dengan kesepakatan yang sudah ditentukan...”(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).

Melihat dari pendapat di atas, sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh

A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia Pengelola Pura Petitenget,

kutipan penuturannya sebagai berikut:

“...dana yang masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitenget, sebagianbesar digunakan untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget, baikkebutuhan sehari-hari/bulanan pura, kegiatan upacara keagamaan(odalan/piodalan) secara keseluruhan yang berkaitan dengan PuraPetitenget, dan perbaikan bangunan/pelinggih pura yang rusak. Danajuga untuk keperluan para pengelola/pengurus Pura Petitenget yangpembagiannya sudah diatur sesuai kesepakatan bersama...”(Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).

Hal serupa juga disampaikan Bendesa Adat Kerobokan, Anak Agung Putu

Sutarja (45 tahun), kutipan penuturannya sebagai berikut:

“...uang yang terkumpul masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitenget,semua dana untuk keperluan/kebutuhan Pura Petitenget, kebutuhansehari-hari/bulanan pura, bagi upacara keagamaan (odalan/piodalan)pura, dan perbaikan bangunan/pelinggih yang rusak atau direnovasi.Dana juga digunakan untuk honor para pengelola/pengurus pura,sesuai dengan kesepakatan yang ada selama ini...”(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).

Dari penuturan ketiga informan di atas memberikan gambaran bahwa

faktor profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai objek

wisata budaya di Desa Adat Kerobokan, merupakan faktor daya tarik internal Pura

Page 108: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

108

Petitenget sebagai sumber daya budaya lokal yang berfungsi sebagai objek wisata

cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Demi kepentingan unsur

ekonomi untuk penambahan pendapatan dan pemasukan sehingga menyebabkan

terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya ini oleh masyarakat Desa

Adat Kerobokan dengan motif ekonomi, guna mendatangkan nilai uang untuk

beaya pemeliharaan dan pelestarian sumber daya budaya lokal ini, dipergunakan

untuk pembiayaan sarana fisik (renovasi) dan nonfisik (honorarium). Dana

digunakan bagi kepentingan/keperluan Pura Petitenget, baik perbaikan/renovasi

bangunan/pelinggih pura yang rusak atau harus direnovasi, kebutuhan sehari-hari

atau bulanan pura (pembiayaan sesaji, air, listrik dan sebagainya), dan kebutuhan

upacara keagamaan (pujawali) di Pura Petitenget. Kemudian untuk kepentingan

pengelola/pengurus Pura Petitenget (honorarium) bagi kebutuhan ekonominya

sehingga mempunyai pendapatan cukup dan berkelanjutan setiap bulannya. Selain

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, khususnya di sekitarnya

Pura Petitenget, yang sebelumnya merupakan masyarakat petani tradisional kini

beralih ke sektor pariwisata yang memang menjadi andalan utama perekonomian

masyarakat setempat akibat pengembangan industri pariwisata Bali.

Pengaruh daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar

budaya menjadi faktor dominan terjadinya profanisasi warisan budaya Pura

Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam

perkembangan pariwisata budaya di Bali, karena telah mendorong kreativitas

masyarakat Desa Adat kerobokan dengan alasan pelestarian dan pemeliharaan

warisan budaya lokal yang dimilikinya yang beradaptasi dengan ideologi

Page 109: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

109

ekonomi. Adanya kebutuhan ekonomi serta praktik-praktik kapitalis dalam era

globalisasi menyebabkan masyarakat lokal berpikir dinamis untuk beaya

pemeliharaan dan pelestarian sumber daya budaya lokal ini, selain juga untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Sesungguhnya secara tidak

langsung telah menggeser nilai sakral Pura Petitenget ke nilai profan. Hal Ini

merupakan fakta nyata terjadinya komersialisasi aspek kebudayaan karena sudah

mengubah fungsi asli Pura Petitenget sebagai tempat suci menjadi benda komoditi

guna mendatangkan nilai motif ekonomi di dalamnya. Di mana pola kapitalisme

berperan karena kebutuhan beaya untuk pelestarian atas pemanfaatannya sebagai

objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali.

6.2 Perkembangan Industri Pariwisata dengan Semakin Terkenalnya Pantai

di sekitar Pura Petitenget

Industri pariwisata pada awalnya lebih di pandang sebagai suatu kegiatan

ekonomi, dan tujuan utama pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan

keuntungan material/ekonomi, baik bagi masyarakat daerah/negara. Sumbangan

sektor pariwisata terhadap pendapatan daerah Bali terus meningkat tiap tahunnya

bahkan mengungguli sektor-sektor-sektor lainnya. Tidak berlebihan apabila

industri pariwisata dimasukkan ke dalam bidang ekonomi yang pembangunannya

dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Anom, dkk. 2010: 189).

Faktor perkembangan industri pariwisata Bali telah membawa masyarakat

Desa Adat kerobokan mengalami perubahan dalam segala kegiatan sosial

ekonominya, maka kehadiran dunia pariwisata telah mengangkat kesejahteraan

masyarakat di sekitarnya sehingga mengalami perubahan struktural perkonomian

Page 110: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

110

yang cukup signifikan dari masyarakat tradisional pertanian beralih ke masyarakat

pendukung sektor kepariwisataan semenjak wilayah Desa Adat Kerobokan

menjadi daerah pengembangan industri pariwisata di Kabupaten Badung. Industri

pariwisata Bali pertama-tama adalah pengembangan dari ekonomi moneter, yang

memasarkan pemandangan alam dan hasil budaya manusia, mengubah kawasan-

kawasan dan masyarakat-masyarakat dunia menjadi produk pariwisata.

Keberadaan budaya Bali yang menjadi sajian utama bagi pariwisata harus dijaga

kelestariannya, karena budaya adalah sesuatu yang membuat pulau Bali begitu

diminati oleh wisatawan mancanegara di samping keindahan alam yang

dimilikinya. Namun di balik memasarkan dunia pariwisata ini sesungguhnya

berlangsung proses lain, yang menyangkut jati diri bangsa, budaya lokal dan

makna-makna baru, serta inti kebudayaan itu sendiri (Picard, 2006: 9). Pengaruh

perkembangan industri pariwisata di wilayah Desa Adat Kerobokan dengan di

dukung oleh keindahan pemandangan alam pantainya yang terkenal, seperti pantai

Petitenget, hal ini terjadi karena kegiatan industri pariwisata di daerah itu terus

berkembang dengan di tunjang oleh sarana fasilitas di sektor pariwisata, serta

bersamaan masuknya aktivitas pariwisata global ke ranah kebudayaan masyarakat

lokal, dan fenomena inilah yang menggeser secara perlahan namun pasti ke dalam

struktur kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat.

Terkait dengan hal-hal di atas, faktor perkembangan industri pariwisata

Bali menjadi faktor eksternal yang telah memberikan konstribusi nilai ekonomis

besar terhadap pemasukan daerah terkait atas devisa yang masuk, juga pemasukan

nilai ekonomi yang tinggi terhadap kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan,

Page 111: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

111

khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget, yang hampir sebagian besar

kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya bertumpu pada dunia pariwisata. Selain

itu didukung oleh keindahan alam pantainya yang terkenal menjadi salah satu

daya tarik bagi wisatawan mancanegara untuk berdatangan ke daerah Petitenget

akibat perkembangan industri pariwisata di wilayah Kerobokan.

Hal-hal tersebut dikuatkan oleh penuturan seorang informan, I Made

Wistawan, SE (40 tahun) selaku Lurah Kerobokan Kelod. Hasil petikan

wawancaranya sebagai berikut:

“...masyarakat di wilayah Desa Adat Kerobokan, terutama di daerahKerobokan Kelod, sebagian besar kehidupan sosial ekonominyaberasal dari sektor pariwisata. Masyarakat memanfaatkan apa yangmereka miliki untuk berwirausaha/berbisnis di dunia pariwisata. Halyang berhubungan dengan sektor pariwisata pasti mendatangkannilai ekonomis bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraankehidupan masyarakat sekitarnya. Kehidupan mereka yang tadinyapetani tradisional kini beralih ke sektor pariwisata, karena regenerasianak-anak mereka yang lebih memilih bekerja di dunia pariwisata...”(Wawancara, Jumat 10 Mei 2013).

Pendapat senada juga disampaikan oleh seorang masyarakat setempat I

Made Adnyana Putra (35 tahun) selaku wiraswastawan, memilih berwirausaha

dengan membuka usaha jasa laundry dan toko keperluan sehari-hari. Hasil petikan

wawancaranya dituturkan sebagai berikut:

“Saya sebagai generasi muda dan masyarakat yang tinggal di daerahPetitenget, dengan adanya perkembangan industri pariwisata lebihmemilih berwiraswasta, karena lebih menjanjikan di bidangekonomi. Pendapatan dalam berbisnis di sektor pariwisata lebihbesar peluangnya. Sebagian besar masyarakat di sini banyak yangbekerja di dunia pariwisata. Kunjungan wisatawan mancanegara kedaerah Petitenget telah membawa perubahan pola pikir kami ke arahyang modern, karena adanya interaksi dengan dunia internasional,selain di dukung oleh kemajuan teknologi”.(Wawancara, Jumat 10 Mei 2013).

Page 112: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

112

Dari penuturan kedua informan tersebut di atas menunjukkan adanya

faktor perubahan pandangan dan pola pikir masyarakat setempat terhadap

perkembangan industri pariwisata Bali. Pemahaman masyarakat Desa Adat

Kerobokan yang semula tradisional berubah ke arah global karena pengaruh

modernisasi yang memasuki kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya

masyarakat setempat akibat perkembangan industri pariwisata internasional. Nilai

motif ekonomi tinggi yang ditimbulkan oleh pengaruh industri pariwisata Bali

telah memberikan nilai spesifik dan positif dalam pemikiran masyarakat lokal

sehingga mendominasi aspek kehidupan ekonominya untuk penambahan

pendapatan, meningkatkan kesejahteraan dan ketersediaan lapangan pekerjaan.

Pada akhirnya mempengaruhi tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat lokal

sebagai pemilik kebudayaan tersebut, namun di balik itu, tanpa sadar mulai terjadi

proses penurunan nilai sosial budaya sehingga mempengaruhi aspek kebudayaan

masyarakat setempat.

Pariwisata Bali sejalan dengan industri pariwisata global ketika perangkat-

perangkat dan pelaku-pelakunya menjamah langsung suatu masyarakat akibat

pengaruh budaya global, maka yang ditimbulkan berbagai faktor masalah yang

dihadapi masyarakat pendukung dunia pariwisata. Kajian tentang akibat budaya

dari pengembangan pariwisata dalam suatu masyarakat ini sering terjebak oleh

suatu pendekatan normatif, para peneliti berulangkali sekadar mempertanyakan,

apakah kebudayaan asli rusak atau terlindungi, telah tercemar atau sebaliknya

diperkuat oleh pariwisata (Picard, 2006: 9). Berpandangan terhadap hal di atas,

singkatnya perkembangan industri pariwisata di wilayah Desa Adat Kerobokan

Page 113: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

113

dengan di dukung oleh keindahan alam pemandangan pantai di daerah sekitarnya

menjadi faktor kekuatan eksternal yang telah memberi nilai ekonomi kongkrit

dalam kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya di sekitar Pura

Petitenget atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang berfungsi

sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali.

Secara sadar atau tidak, faktor perkembangan industri pariwisata di wilayah ini

telah memberikan aktivitas nilai ekonomis secara signifikan ke arah yang lebih

progresif, yakni dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan

pendapatan masyarakat setempat, mendukung dan menciptakan lapangan

pekerjaan baru, memperoleh devisa asing dan motif-motif ekonomi lainnya, selain

itu menimbulkan berbagai faktor masalah yang muncul dari konsekuensi nyata

bagi suatu daerah yang secara sengaja membuka diri untuk dikunjungi wisatawan

mancanegara akibat pengembangan industri pariwisata global di wilayah tersebut.

Menyadari hal-hal di atas, maka faktor perkembangan industri pariwisata

dengan di dukung keindahan alam pantai di sekitarnya sehingga menjadi daya

tarik untuk dikunjungi wisatawan mancanegara menjadi faktor dominan di bidang

ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Adat Kerobokan,

khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget, hal ini merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya

Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan. Faktor pemanfaatan warisan budaya ini

berfungsi satu arah yang memposisikan Pura Petitenget sebagai obyetivikasi

aspek kebudayaan untuk kepentingan nilai ekonomi, demi pemeliharaan dan

pelestarian sember daya budaya tersebut, selain itu meningkatkan pendapatan dan

Page 114: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

114

pemasukan bagi kesejahteraan masyarakat setempat dalam perkembangan industri

pariwisata Bali. Sederhananya dapat diimplementasikan secara nyata dalam

pengembangan industri pariwisata budaya Bali yang mempromosikan warisan

budaya Pura Petitenget sebagai objek komoditi yang mendatangkan nilai

ekonomis bagi pemeliharaan sumber daya budaya lokal ini dengan disertai minat

wisatawan yang ingin mengetahui warisan budaya tersebut. Masyarakat Desa adat

Kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget berharap dengan adanya industri

pariwisata yang berkembang pesat di wilayahnya akan berpihak kepada

kesejahteraan ekonomi penduduk setempat, serta mampu memberikan manfaat

bagi pelestarian sumber daya budaya yang dimilikinya dengan di dukung oleh

lingkungan pemandangan alam pantai yang indah di daerah sekitar Petitenget,

sehingga secara merata dan berkelanjutan dapat bermanfaat tanpa menghilangkan

religiusitas kebudayaan masyarakat lokal ini.

Nilai estetika yang dimiliki oleh sumber daya budaya Pura Petitenget itu

seringkali menjadi faktor penyebab terjadinya komersialisasi bangunan suci, di

mana proses komersialisasi terjadi ketika pura ini menjadi benda komiditi yang

dipromosikan untuk mendatangkan motif ekonomi sehingga menarik wisatawan

mancanegara berdatangan ke Pura Petitenget. Hal itu terjadi karena perkembangan

industri pariwisata di Desa Adat Kerobokan menyebabkan seringnya para

wisatawan asing mengunjungi Pura Petitenget karena berada di daerah pariwisata

Kuta Utara. Selain itu, Pura Petitenget ini berlokasi di depan pantai Petitenget

yang indah dan terkenal di mata wisatawan mancanegara, dan wisatawan asing

sering menikmati pemandangan pantai Petitenget yang indah dengan matahari

Page 115: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

115

tenggelam di sore harinya. Perlahan namun pasti, di dukung kemajuan teknologi

di segala bidang, maka proses komersialisasi warisan budaya Pura Petitenget di

Desa Adat Kerobokan berlangsung terus menerus sebagai objek wisata cagar

budaya di Kabupaten Badung. Ditunjang sarana fasilitas sektor pariwisata yang

semakin berkembang pesat di daerah sekitar Pura Petitenget telah memberi akses

ruang faktor eksternal makin terbuka, sehingga memberi peluang lebih besar

terjadinya faktor profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget

sebagai akibat adanya komersialisasi tempat suci yang difungsikan sebagai objek

wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. (Lihat Gambar 6.1,

Gambar 6.2, dan Gambar 6.3).

Gambar 6.1 Suasana di Sekitar Pantai Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

Gambar 6.2 Restoran di Depan Pantai Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

Page 116: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

116

Gambar 6.3 Panorama Matahari Terbenan/Sunset di Pantai Petitenget(Dokumentasi: Budiasih)

6.3 Kebutuhan Ekonomi dalam Pengelolaan Pura Petitenget

Masyarakat sebagai salah satu komponen pendukung pariwisata juga harus

dilibatkan dan mendapatkan keuntungan dari pariwisata, jangan sampai hanya

dapat dinikmati oleh kapitalis sebagai pemilik modal tanpa dapat dinikmati oleh

masyarakat, tetapi masyarakat lokal sebagai pemilik sumber daya budaya dan

pelaku kegiatan aktivitas pariwisata itu berlangsung harus juga menikmati

keuntungan atas industri pariwisata dengan cara memaksimalkan proporsi

pendapatan ekonomi yang dikelola secara lokal beserta keuntungan-keuntungan

lainnya pada masyarakat lokal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat

setempat (Ardika, 2007: 120).

Berdasarkan hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa salah satu

faktor yang menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya

Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adalah

memberi kebebasan masyarakat lokal untuk mengembangkan aset warisan budaya

berupa peninggalan monumen, dalam hal ini Pura Petitenget itu sendiri. Selain

berfungsi sebagai tempat suci, juga difungsikan sebagai objek wisata cagar

Page 117: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

117

budaya dengan daya tariknya sebagai daya tarik wisata budaya yang menarik

minat wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Pura Petitenget sebagai akibat

pengaruh industri pariwisata global. Adanya faktor-faktor nilai ekonomis selalu

mempengaruhi pola pikir masyarakat setempat yang berusaha memperbaiki

kehidupan sosial ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di daerah sekitar Pura

Petitenget. Terjadinya kesempatan ruang dan waktu, yang berkorelasi dengan

pengembangan pariwisata budaya berkelanjutan di Bali, yang bertumpu pada tiga

landasan pokok, yaitu berkualitas (quality), berkelanjutan (continuity), dan

berkesinambungan (balancy), akan melahirkan motivasi dan kreativitas

masyarakat lokal sebagai pemilik kebudayaan untuk mempromosikan tinggalan

pusaka budaya sebagai suatu komoditi, yang memberikan keuntungan ekonomi

kepada masyarakat lokal (Ardika, 2007: 50).

Berorientasi pada konsepsi di atas, berkaitan juga dengan pendapat yang

disampaikan oleh pengurus Pura Petitenget tentang kebutuhan ekonomi dalam

pengelolaan warisan budaya Pura Petitenget adalah untuk beaya pemeliharaan

pura dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Berdasarkan hasil

wawancara dengan informan Pemangku Pemucuk (utama) Pura Petitenget Jero

Mangku Made Widra (62 tahun), hasil petikan wawancaranya sebagai berikut:

“...setiap dana yang masuk untuk keperluan Pura Petitenget, danpengurus/pengayah pura (para jero mangku) yang bergilir menjagakeseharian di dalam Pura Petitenget, tetap diperhatikan dan diberitunjangan sesuai dengan kesepakatan yang disepakati bersama olehsemua pihak dengan pengurus/panitia pengelola Pura Petitenget ini.Bila ada sisa dana akan dimasukan kembali ke kas atau ditabunguntuk penggunaan selanjutnya”.(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).

Page 118: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

118

Hal senada sama dengan apa yang disampaikan oleh dua orang Pemangku

Pengayah (pemangku yang bertugas setiap hari) yang lagi bertugas di Pura

Petitenget saat diwawancarai, yaitu Mangku Ni Wayan Sumartini (42 tahun) dan

Mangku I Putu Ngarta (40 tahun), mereka mengatakan pendapat yang sama

dengan apa yang disampaikan oleh Pemangku Pemucuk atau Pemangku Gede

(utama) Pura Petitenget. Hasil kutipan penuturan mereka sebagai berikut:

“Keuangan yang masuk, baik dana punia (sesari), pemanfaatan jabadan wantilan Pura Petitenget, keseluruhannya dimasukkan ke dalamkas panitia pengelolaan Pura Petitenget, kemudian dirinci/dihitungsesuai dengan semua kebutuhan yang dikeluarkan untuk segalakepentingan Pura Petitenget dan para pengurusnya, serta panitiapengelolanya. Bila ada kelebihannya,tetap dimasukan ke kas panitiadan ditabung untuk digunakan pada kebutuhan selanjutnya”.(Wawancara, Minggu, 12 Mei 2013).

Melihat dari penuturan di atas, serupa dengan apa yang disampaikan oleh

Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun) sebagai Bendesa Adat Kerobokan dan I

Nyoman Sunarka (40 tahun) sebagai Kelian Adat Kerobokan Kelod. Hasil kutipan

penuturan mereka sebagai berikut:

“...semua keuangan yang masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitenget,digunakan untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget, untuk parapengurus/pengelola pura. Dana yang dikeluarkan sesuai denganseluruh kebutuhan yang ada, sesuai juga dengan kesepakatan yangsudah ditentukan. Bila ada sisa dana akan dikembalikan ke Kaspanitia dan ditabung, digunakan untuk keperluan selanjutnya...”(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).

Dari tuturan beberapa nara sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor

kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya budaya Pura Petitenget ini

telah menyebabkan profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di

Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yaitu untuk pelestarian

dan kepentingan Pura Petitenget. Seperti beaya pemeliharaan atas warisan budaya

Page 119: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

119

ini agar tetap terjaga dan terlestarikan. Di samping untuk penambahan pendapatan

dengan memberi nilai ekonomis bagi para pengelola/pengurus Pura Petitenget,

juga demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya atas pemanfaatan

dan pengelolaan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya dalam industri

pariwisata Bali. Melihat hal-hal di atas, dan hasil dari beberapa wawancara yang

dilakukan dengan beberapa pihak terkait, maka faktor kebutuhan ekonomi dalam

pengelolaan Pura Petitenget menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget dalam konteks pariwisata budaya di Bali, telah

membuka ruang dan peluang pura ini berfungsi sebagai benda komoditi, sehingga

sekat Pura Petitenget sebagai tempat suci yang bersifat “ritual-magis” akhirnya

menjadi kepentingan ekonomi praktis untuk memperoleh keuntungan ekonomi

dalam bentuk nilai uang. Apabila harapan untuk meningkatkan mutu hidup dan

memperbaiki pendapatan ekonomi, menjadi inspirasi masyarakat lokal untuk

meningkatkan taraf kesejahteraan hidup dengan memanfaatkan potensi internal

yang bersumber dari masyarakat itu sendiri, maka memberikan keuntungan

tersendiri bagi masyarakat setempat, khususnya di sekitar Pura Petitenget atas

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget dalam pembangunan pariwisata Bali.

Perkembangan industri pariwisata Bali dengan kebijakan-kebijakan

institusi formal yang lebih mementingkan manfaat-manfaat nilai ekonomi, di

mana unsur-unsur palemahan (lingkungan alamiah), seperti gunung, hutan,

sawah, sungai, danau, pantai dan kawasan suci pura, yang dianggap sakral/suci

sekalipun, kini terusik dan ternoda oleh keserahkahan naluri bisnis pariwisata, di

mana kearifan-kearifan budaya lokal yang telah diwariskan turun-temurun,

Page 120: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

120

sekarang mulai terabaikan atas nama peningkatan kesejahteraan masyarakat

sekitarnya (Pujaastawa, 2008: 418). Berorientasi pada nilai ekonomi untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka faktor kebutuhan

ekonomi dalam pengelolaan Pura Petitenget dengan daya tariknya sebagai warisan

budaya lokal atas pemanfaatannya yang berfungsi sebagai objek wisata cagar

budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali menjadi faktor relevansi dalam

wewenang aktivitas masyarakat Desa Adat kerobokan untuk memanfaatkan

kemampuan mereka sendiri dalam mengelola sumber daya budaya lokal yang

dimilikinya demi pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya tersebut serta

penambahan pendapatan demi meningkatkan ekonomi dan taraf kesejahteraan.

Selaku pemeran utama, masyarakat lokal Desa Adat Kerobokan ikut

terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam membuat keputusan-keputusan

dan melakukan kontrol-kontrol kebijakan yang mempengaruhi kehidupan sosial

ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, baik bagi para

pengurus/pengelola Pura Petitenget, serta membuka lapangan pekerjaan baru.

Maka pengelolaan atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang

berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya di Desa Adat kerobokan dalam

pembangunan pariwisata budaya di Bali dilakukan secara optimal oleh masyarakat

lokal untuk memberikan ruang bagi kegiatan keseharian masyarakat setempat

sebagai pemilik kebudayaan lokal tersebut sehingga menghasilkan motif ekonomi

praktis untuk kebutuhan pengelolaan Pura Petitenget sebagai sumber daya budaya

demi pelestariannya serta mendatangkan peningkatan kesejahteraan dalam

Page 121: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

121

kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya

masyarakat di lingkungan sekitar Pura Petitenget.

komersialisasi sering menjadi isu utama dalam pemanfaatan dan

pengelolaan pura sebagai daya tarik wisata, selain dijadikannya tempat suci, juga

berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya. Ini merupakan fakta terjadinya

komersialisasi kebudayaan dalam industri pariwisata budaya di Bali, karena

berubahnya atau bertambahnya fungsi kesenian atau monumen/objek cagar

budaya tersebut (Ardika, 2007: 52). Berorientasi dari konsepsi di atas, hal serupa

juga dialami Pura Petitenget sebagai warisan budaya, selain fungsi utamanya

sebagai tempat suci, juga difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya demi

kepentingan pariwisata budaya di Bali. Terkait dengan hal-hal di atas sesuai

dengan apa yang disampaikan oleh A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua

Panitia Pengelola Pura Petitenget dan Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun)

sebagai Bendesa Adat Kerobokan, mengatakan bahwa faktor komersialisasi Pura

Petitenget sebagai objek wisata budaya telah mendatangkan banyak wisatawan

mancanegara mengunjungi pura ini dan memberikan nilai ekonomis tinggi atas

pemanfaatan dan penggunaan keseluruhan kompleks Pura Petitenget dalam

perkembangan industri pariwisata Bali. Kondisi ini diciptakan karena dana

bantuan dari pemerintah maupun instansi terkait sangat minim untuk pembiayaan

atas pemeliharaan dan pelestarian bagi warisan budaya lokal ini, menyebabkan

masyarakat setempat dengan pemikiran modern yang berorientasi logika kapitalis

memanfaatkan sumber daya budaya yang dimilikinya guna mendatangkan nilai

motif ekonomi. Faktor ini menunjukkan bahwa walaupun terlibat langsung dalam

Page 122: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

122

aktivitas kepariwisataan di wilayahnya, masyarakat lokal menyadari sepenuhnya

bahwa proses komersialisasi akan memunculkan faktor-faktor yang akan dapat

mengancam budaya lokal yang dimilikinya. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut

secara sadar masyarakat Desa Adat kerobokan memanfaatkan warisan budaya

Pura Petitenget ini yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya untuk

menghasilkan nilai ekonomis akibat dari komersialisasi tempat suci ini untuk

beaya pemeliharaan demi pelestarian sumber daya budaya ini, hal itu merupakan

konsekuensi logis akibat perkembangan industri pariwisata di wilayah Kuta Utara.

Adanya faktor demi pelestarian dan meningkatkan kesejahteraan di sini,

berfungsi sebagai penambahan pendapatan dana pemeliharaan, juga kesejahteraan

para pengurus/pengelola Pura Petitenget. Di mana segala bentuk keuangan yang

masuk, seperti sumbangan sukarela dari wisatawan/pengunjung, iuran-iuran pura,

saricanang (sesari), pemasukan atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai

areal parkir bagi masyarakat dan wisatawan mancanegara. Kemudian sumbangan

dari kegiatan sosial bila ada yang menggunakan wantilan pura. Keseluruhan hal di

atas, uang yang masuk selalu digunakan untuk kebutuhan Pura Petitenget dengan

segala keperluan pura ini. Misalnya; pemugaran/konservasi bangunan/pelinggih

jika ada kerusakan/diperbaiki, untuk upacara keagamaan yang berhubungan

dengan odalan hari raya, piodalan pura, dan berbagai kebutuhan upacara, bantuan/

honorarium untuk pengelola/pengurus pura setiap bulan, di samping kesejahteraan

masyarakat secara keselurahan atas pemanfaatan dan pengelolaan warisan budaya

Pura Petitenget yang di fungsikan sebagai objek wisata cagar budaya dalam

konteks pariwisata budaya di Bali.

Page 123: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

123

Pengaruh faktor Kebutuhan ekonomi dalam Pengelolaan Pura Petitenget di

atas, terkait juga dengan kenyataan di lapangan, bahwa faktor profanisasi atas

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,

Kecamatan Kuta Utara, Badung, lebih di pandang sebagai kegiatan motif

ekonomi, yang mendatangkan nilai uang untuk penambahan pendapatan beaya

pelestarian warisan budaya ini, memberi peningkatan kesejahteraan masyarakat

setempat dengan meningkatkan kualitas hidup komunitas lokal, yang semula

sederhana tradisional dalam kehidupan sosial ekonomi, saat ini mulai mengikuti

arus perkembangan pariwisata global yang mengubah pola pikir serta perilaku

masyarakat setempat ke arah modern, karena keterlibatan masyarakat di dalam

perencanaan dan manajemen di daerah wisata Desa Adat Kerobokan, khususnya

di daerah sekitar Pura Petitenget. Sehingga menimbulkan rasa aman, memuaskan,

serta dapat memenuhi harapan pengunjung atau wisatawan. Selain tetap menjaga

unsur kebudayaan lokal agar tetap terjaga dan terlestarikan, yakni warisan budaya

Pura Petitenget. Di samping juga memberi kesejahteraan bagi para pengelola/

pengurus Pura Petitenget, dengan harapan semua masyarakat Desa Adat

Kerobokan dapat disejahterahkan dalam keterlibatan mereka di bidang industri

pariwisata Bali yang berkembang pesat.

Page 124: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

124

BAB VII

DAMPAK DAN MAKNA PROFANISASI PEMANFAATAN WARISAN

BUDAYA PURA PETITENGET DI DESA ADAT KEROBOKAN,

KECAMATAN KUTA UTARA, BADUNG

Dampak pariwisata merupakan dampak wilayah yang berpengaruh

terhadap masyarakat lokal dalam segala aspek kehidupannya, yang dapat pula

melahirkan makna-makna baru yang tersirat di dalamnya. Pariwisata merupakan

kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat setempat.

Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang

mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorfose dalam berbagai

aspeknya (Pitana, dkk. 2005: 109). Terkait atas hal tersebut, maka dampak dan

makna profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat

Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yang difungsikan sebagai daya tarik

wisata cagar budaya tentu akan membawa dampak dan makna dalam seluruh

aspek kehidupan sosial dan budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan atas

pemanfaatannya dalam konteks pariwisata budaya di Bali.

7.1 Dampak Profanisasi

7.1.1 Dampak Ekonomi Terjadi Penambahan Pendapatan Untuk

Pembiayaan Pura

Harus diakui bahwa dunia pariwisata memberikan dampak positif pada

keuntungan ekonomi. Bentuk keuntungan perekonomian selalu lebih penting

daripada kebudayaan dan religiusitas. Di sertai perubahan pola pikir masyarakat

mulai ke arah modern akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala

Page 125: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

125

bidang, dan logika kapitalis menjadi unsur pelengkap dari perkembangan industri

pariwisata global (Anom, dkk. 2010: 194). Dalam kerangka idealnya, masyarakat

Desa Adat Kerobokan berharap dengan model pembangunan pariwisata budaya di

Bali, khususnya perkembangan pariwisata di wilayah Kerobokan, diharapkan

untuk lebih berpihak kepada kesejahteraan ekonomi masyarakat Desa Adat

kerobokan, khususnya di daerah Petitenget, sebagai pemilik aspek kebudayaan

lokal atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang difungsikan sebagai

objek wisata cagar budaya dalam pembangunan pariwisata budaya Bali.

Bila di lihat dari target di atas, dari sisi ekonomi, telah membawa dampak

yang mempengaruhi terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura

Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Dampak

ekonomi yang dirasakan akibat pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget

dalam konteks pariwisata budaya di Bali, di sini adalah memberikan pemasukan

ekonomi tinggi berupa sejumlah nilai uang yang masuk ke dalam Kas panitia

pengelolaan Pura Petitenget sebagai usaha nyata penambahan penghasilan untuk

beaya pelestarian dan pemeliharaan sumber daya budaya Pura Petitenget atas

pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan bagi masyarakat

dan wisatawan. Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum bila

ada yang menggunakannya, serta sumbangan masyarakat dan wisatawan dalam

bentuk dana punia (sesari) ketika mengunjungi Pura Petitenget. Ideologi kapitalis

dengan motif ekonomi telah mempengaruhi pola pikir masyarakat setempat

sehingga melibatkan diri secara langsung dalam mengelola warisan budayanya

dengan dalil demi pelestarian sumber daya budaya Pura Petitenget, serta

Page 126: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

126

meningkatnya taraf hidup perekonomian masyarakat setempat sebagai akibat

perkembangan industri pariwisata global. Peran masyarakat setempat yang

melibatkan diri pada sektor pariwisata, dengan munculnya berbagai macam

bidang usaha/bisnis yang dijalankan oleh masyarakat lokal di daerah sekitar Pura

Petitenget, hal ini merupakan bentuk usaha untuk meningkatkan taraf ekonomi

dan kesejahteraan hidup mereka. Motivasi motif ekonomi demi pelestarian dan

pemberdayaan sumber daya budaya lokal Pura Petitenget, serta meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan masyarakat inilah yang akhirnya menciptakan

kemandirian perekonomian yang dibentuk oleh masyarakat Desa Adat Kerobokan

dengan memanfaatkan aspek kebudayaan yang dimilikinya.

Potensi budaya yang dimiliki Pura Petitenget sebagai warisan budaya yang

difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya telah mendatangkan nilai ekonomi

tinggi, yaitu memberikan sumber pendapatan devisa daerah terkait, sumber

pembiayaan atas pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya lokal ini, juga

untuk meningkatkan kesejahteraan pengurus/pengelola pura, memberikan peluang

usaha kerja bagi masyarakat sekitarnya di sektor pariwisata, serta meningkatkan

taraf hidup masyarakat sekitarnya menjadi lebih baik. Dampak ekonomi telah

mempengaruhi terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura

Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, akibat

potensi budaya yang dimilikinya. Di mana kegiatan kebutuhan ekonomi tidak bisa

dihindari karena potensi budaya Pura Petitenget sebagai warisan budaya yang

difungsikan menjadi benda daya tarik wisata cagar budaya yang mendatangkan

nilai ekonomi praktis akibat komersialisasi bangunan suci/pura dalam pariwisata

Page 127: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

127

budaya di Bali. Sehingga menyebabkan keluar dari fungsi utamanya sebagai

tempat suci, tetapi diciptakan menjadi nilai jual untuk menarik wisatawan

mancanegara untuk mengunjunginya sebagai objek wisata cagar budaya. Dari

hasil pengamatan di lapangan, ditemukan bahwa dampak ekonomi mendominansi

atas pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya terhadap

pemanfaatan dari keseluruhan kompleks Pura Petitenget, adalah untuk

kepentingan pelestarian dan pemeliharaan Pura Petitenget itu sendiri, untuk

penambahan pendapatan bagi pengurus/pengelola Pura Petitenget sehingga dapat

meningkatkan taraf hidup perekonomian masyarakat setempat. Hal ini dapat

dilihat dari hasil wawancara dengan Pemangku Pemucuk (utama) Jero Mangku

Made Widra (62 tahun). Petikan hasil wawancara tersebut sebagai berikut:

”...semua dana yang masuk ke Kas pengelolaan pura lebihdiutamakan untuk kepentingan Pura Petitenget, kemudian untukpembagian honorarium yang dikeluarkan dari Kas pengelolaan PuraPetitenget sesuai dengan kesepakatan bersama, pembagiannya sesuaidengan fungsinya masing-masing, baik untuk pengayah pura danpengelola pura, sehingga pendapatan dan kesejahteraan merata bagipara pemangku dan pihak pengelola Pura Petitenget”.(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).

Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Panitia Pengelola Pura Petitenget

A.A. Ngurah Putra (70 tahun). Sesuai dengan penuturannya, petikan hasil

wawancara tersebut sebagai berikut:

”...pembagian dana yang masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitengetsesuai dengan kesepakatan bersama dari awal pembentukan panitiapengelolaan Pura Petitenget tersebut. Semua dana digunakan untukkeperluan dan kepentingan pura. Kemudian dana pembagian bagipengayah pura dan pengelola pura, sehingga pendapatan dankesejahteraan dapat dirasakan merata bagi para pemangku danpanitia pengelola Pura Petitenget ini”.(Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).

Page 128: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

128

Dari penuturan kedua informan di atas, menunjukkan bahwa dampak

ekonomi menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura

Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yakni akibat

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang berfungsi sebagai objek wisata

cagar budaya untuk mendatangkan sumber ekonomi praktis berupa nilai uang

demi pelestarian sumber daya budaya lokal ini, serta penambahan pendapatan

untuk meningkatkan taraf kesejahteraan bagi para pengurus/pengelola Pura

Petitenget, juga masyarakat di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari setiap dana

yang masuk, baik atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai halaman parkir

kendaraan untuk setiap kendaraan yang masuk ke daerah sekitar Pura Petitenget

bagi masyarakat umum dan wisatawan. Adanya pemanfaatan wantilan Pura

Petitenget bagi masyarakat umum/kelompok dari luar Desa Adat Kerobokan

dengan kompensasi berdana-punia bila ada yang menggunakannya, serta

sumbangan atau dana punia (sesari) dari masyarakat dan wisatawan yang

berkunjung ke Pura Petitenget, akan menambah pemasukan bagi Kas pengelolaan

Pura Petitenget atas pemanfaatan warisan budaya lokal ini akibat perkembangan

industri pariwisata Bali.

Dampak ekonomi menjadi dominan yang dirasakan oleh masyarakat Desa

Adat Kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget, yakni sebagai sumber

ekonomi praktis yang mendatangkan nilai uang sebagai bentuk pola-pola kapitalis

yang mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal demi pelestarian,

pemeliharaan dan pemberdayaan warisan budaya Pura Petitenget yang harus tetap

terjaga dan terlestarikan. Di samping meningkatkan kesejahteraan perekonomian

Page 129: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

129

masyarakat setempat, terbukanya lapangan pekerjaan baru di sektor pariwisata,

serta peluang berbisnis yang berhubungan dengan dunia pariwisata global. Hal ini

terjadi karena adanya interaksi penduduk lokal dengan wisatawan mancanegara

lewat transaksi perdagangan internasional dan pertukaran mata uang sehingga

berdampak terhadap penerimaan pajak dan pendapatan daerah terkait, semua itu

sejalan dengan aktivitas masyarakat yang secara perekonomian bertumpu pada

sektor pariwisata.

Dominansi dampak ekonomi atas pemanfaatan warisan budaya Pura

Petitenget dalam konteks pariwisata budaya memberikan akses ruang motif

ekonomi dengan logika kapitalis berupa nilai uang yang menjadi unsur pelengkap

dari kegiatan ekonomi yang dominan ditimbulkan atas pemanfaatan sumber daya

budaya lokal tersebut sebagai akibat perkembangan industri pariwisata di Desa

Adat Kerobokan. Bentuk keuntungan ekonomi selalu lebih penting daripada

kebudayaan dan religiusitas sehingga mempengaruhi pola pikir masyarakat

setempat ke dalam kehidupan sosial budayanya, akibatnya religiusitas Pura

Petitenget sebagai tempat suci bergeser ke ruang profan karena berfungsi sebagai

objek wisata budaya akibat komersialisasi tempat suci. Perkembangan industri

pariwisata global telah menciptakan kreativitas masyarakat lokal ke arah

pemikiran modern untuk memanfaatkan sumber daya budaya yang dimilikinya

demi mendatangkan motif nilai ekonomi sebagai akibat pengaruh industri

pariwisata Bali yang berimplikasi dengan budaya global.

Page 130: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

130

7.1.2 Dampak Lingkungan Dilakukan Pengembangan Sarana Atau

Fasilitas Kepariwisataan

Kebijakan pembangunan pariwisata Bali dewasa ini diharapkan mampu

memberi manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan secara merata dan

berkelanjutan, tanpa merusak sumber daya budaya serta lingkungan ekologi

disekitarnya. Namun dalam kenyataannya manfaat-manfaat ekonomi yang

diperoleh dari sektor pariwisata masih kerap dibarengi oleh berbagai masalah

sosial budaya bahkan juga masalah lingkungan alam (Pujaastawa, dkk. 2008:24).

Pengembangan pariwisata Bali yang semakin tidak terkendali telah memaksa

masyarakat lokal mengikuti arus perubahan dan dampak yang terjadi, di mana

fenomena pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana penunjang

fasilitas dunia kepariwisataan telah mempengaruhi keselurahan aspek kehidupan

sosial masyarakat setempat, serta pendukung dan pelaku pariwisata dengan

menggunakan kecanggihan teknologi dan berbagai peralatan mesin yang

mengkonsumsi energi dan sumber daya dalam jumlah yang tinggi, sekaligus

mengakibatkan kerusakan lingkungan alam sekitarnya yang disertai pencemaran

lingkungan dan polusi.

Seiring perkembangan zaman dan perkembangan industri pariwisata Bali,

telah mengubah pola kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya

masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Tuntutan kebutuhan yang semakin banyak

dan beragam telah membuat masyarakat setempat semakin mengutamakan

pendekatan-pendekatan bersifat ideologi ekonomi. Akibatnya pembangunan

kawasan-kawasan komersial demi pariwisata tidak terelakkan dan menyebabkan

Page 131: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

131

terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Perubahan itu semakin parah dipicu

tumbuhnya pariwisata budaya di Bali, sehingga berdampak pada perkembangan

pariwisata dan lingkungan di wilayah Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta

Utara, Badung tersebut. Selain menjanjikan pekerjaan atau mata pencaharian baru

bagi masyarakat lokal, juga membutuhkan sarana dan prasarana fisik penunjang

sektor kepariwisataan, baik sebagai jawaban atas kontribusi industri pariwisata di

wilayah Desa Adat kerobokan, khususnya di sekitar Pura petitenget, juga bagi

masyarakat Bali dan pendatang yang mencari penghidupan di wilayah tersebut.

Tidak dapat dimungkiri bahwa ketika suatu wilayah, dalam hal ini Desa

Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, ketika dikembangkan menjadi

kawasan pariwisata, proses yang tidak dapat dihindarkan adalah perubahan atas

lingkungan alam di sekitarnya. Dampak lingkungan yang ditimbulkan, yakni

adanya aktivitas dan kegiatan pengembangan sarana dan prasarana fasilitas

pariwisata seperti pembangunan hotel, penginapan, villa, restoran, café, rumah

makan, mini market, fasilitas olah-raga, dan sebagainya, serta berbagai bidang

usaha atau bisnis yang berhubungan dengan dunia kepariwisataan. Di topang oleh

teknologi maju yang digunakan di sekitar Desa Adat kerobokan, khususnya

daerah disekitar Pura Petitenget, telah mengubah lingkungan setempat hingga

melampaui batas-batas daya dukungnya. Misalnya; pembuatan kolam renang,

padang golf, pengambilan air tanah yang sangat berlebihan akibat konsumsi

tinggi, pembuangan limbah dari pembangunan sarana fasilitas pariwisata, dan

polusi yang terjadi akibat penggunaan teknologi. Di samping pesatnya

penggunaan transportasi darat yang menghubungkan satu tempat ke tempat

Page 132: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

132

lainnya, menyebabkan kerusakan lingkungan alam sebagai sumber pendukung

sektor kepariwisataan. Di sisi lain, rendahnya kesadaran dan pengetahuan

masyarakat setempat tentang arti pentingnya lingkungan hidup bagi kelangsungan

kehidupannya kelak, telah menyebabkan mereka bertindak tanpa menghiraukan

dampaknya ke depan.

Meningkatnya minat masyarakat Desa Adat Kerobokan dalam hal kualitas

hidup yang semakin modern, menyiratkan asumsi bahwa kebutuhan akan lahan

untuk pembangunan berbagai fasilitas fisik akomodasi pariwisata, baik yang

berskala besar maupun kecil harus ditingkatkan demi pertumbuhan ekonomi

sehingga mendatangkan devisa daerah terkait, meningkatkan pendapatan dan

kesejahteraan kehidupan ekonomi masyarakat sekitarnya. Sejalan dengan hal itu,

masyarakat lupa bahwa pembangunan fasilitas penunjang pariwisata yang begitu

pesat kerap menjadi ancaman bagi lahan-lahan pertanian yang merupakan sumber

produksi ekonomi rakyat (petani), yang pada akhirnya cepat atau lambat akan

terkikis dan habis. Selain itu dikuatirkan akan terus berpindah tangan ke pemilik

modal/kapital, akibatnya akan ada banyak petani setempat kehilangan mata

pencaharian pokoknya, dan sudah tentu akan berdampak negatif pada lingkungan

alam di wilayah Desa Adat Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura

Petitenget. Selain itu akan berdampak pula terhadap perubahan struktur demografi

dan ekologi lingkungan alam di sekitarnya. Di samping hal di atas, juga terjadinya

polusi udara dan kemacetan arus lalu lintas akibat frekwensi penggunaan

kendaraan bermotor yang tinggi, disebabkan unsur pemusatan wilayah pariwisata

dalam hal ini, terfokus pada wilayah Kerobokan dan Petitenget.

Page 133: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

133

7.1.3. Dampak Sosial Ada Perubahan Pola Pikir dan Mata Pencaharian

Dampak pariwisata terhadap kehidupan sosial masyarakat lokal seringkali

tidak segera dirasakan dan diketahui, karena pariwisata itu sendiri bersifat

kompleks dan saling berkaitan. Implisitas konflik yang demikian itu cenderung di

simpan di dalam benak masyarakat sehingga menunggu waktu yang tepat atas

pemunculannya ke permukaan, akibatnya dampak sosial yang muncul lebih dari

satu jenis dan bersifat kompleks juga (Anom, dkk. 2010: 197). Bersandar pada

pedoman ini, dampak sosial dari pengaruh budaya global yang terbawa oleh

pergaulan antarbangsa melalui kegiatan industri pariwisata di Desa Adat

Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura Petitenget, tanpa disadari telah

mempengaruhi pola pikir dan karakter/perilaku serta emosional masyarakat lokal

akan perubahan yang terjadi di ranah kehidupannya, baik lingkungan fisik

maupun lingkungan sosial masyarakat setempat, hal itu disebabkan perubahan

pandangan ke arah yang modernis.

Dampak sosial atas perubahan tersebut antara lain: 1) Adanya perubahan

pola pikir dan karakter masyarakat setempat karena munculnya kreativitas

semangat dalam berwirausaha di sektor kepariwisataan. 2) Perubahan struktur

pekerjaan utama masyarakat Desa Adat kerobokan, khususnya masyarakat di

sekitar Pura Petitenget, dari petani tradisional beralih ke sektor pariwisata karena

menjadi wilayah pengembangan industri pariwisata Bali, selain itu semakin

terbatasnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan. 3) Berkembangnya pola

hidup konsumtif masyarakat lokal karena perubahan pemikiran ke arah modern.

4) Terjadinya perpindahan atau pertambahan penduduk pendatang baru dari luar

Page 134: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

134

daerah Bali, akibatnya akan semakin terdesaknya penduduk lokal Bali, juga dalam

SDM. Dampak sosial terhadap profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura

Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adanya

perubahan pola pikir masyarakat Desa Adat Kerobokan yang semakin modern dan

ikut berpartisipasi aktif terlibat dalam sektor kepariwisataan di wilayahnya.

Masyarakat lokal yang semula petani, kini ikut berperan aktif di sektor pariwisata

akibatnya terjadi perubahan mata pencaharian, serta alih fungsi lahan pertanian

karena pengembangan dan pembangunan sarana fisik fasilitas kepariwisataan.

Masyarakat lokal semakin semangat dalam berwirausaha dengan membuka rumah

makan, restoran, café, penginapan, laundry, mini market, dan sebagainya.

Masyarakat setempat mulai memanfaatkan pekarangan halaman rumah mereka

untuk disewakan atau dipakai sendiri sebagai tempat usaha/bisnis sehingga

menambah penghasilan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup. Semakin

bertambahnya fasilitas akomodasi kepariwisataan di wilayah Desa Adat

kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget, semakin mempermudah akses

masuknya wisatawan ke daerah ini, sehingga peluang Pura Petitenget sebagai

objek wisata cagar budaya semakin populer dan sering dikunjungi wisatawan

mancanegara. Masyarakat lokal sebagai pemilik warisan budaya ini mulai berpikir

dinamis dan modern karena kesempatan dan peluang yang terbentuk semakin

berkembang sehingga melahirkan kreativitas dan motivasi untuk memanfaatkan

dan mendayagunakan sumber daya budaya lokal untuk memacu pertumbuhan

ekonomi masyarakat setempat dalam menyambut industri pariwisata global.

Page 135: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

135

7.1.4. Dampak Budaya Terjadi Komersialisasi Bangunan Suci

Konsekuensi logis bagi suatu daerah yang secara sengaja membuka diri

untuk pariwisata, adalah masuknya berbagai pengaruh kebudayaan asing ke dalam

lingkungan kebudayaan tuan rumah. Pengaruh kebudayaan asing akan terasa kian

meningkat ketika industri pariwisata menuntut adanya fasilitas-fasilitas dan

layanan internasional dengan standar internasional, ini berarti masuknya unsur-

unsur budaya global yang tidak bisa dihindarkan sebagai akibat kontak lintas

budaya antara tuan rumah dengan wisatawan dan kelompok pendatang pencari

kerja (Pujaastawa, dkk. 2008: 31). Melihat dari pandangan ini, dapat dikatakan

bahwa perkembangan pariwisata di Desa Adat kerobokan, khususnya di daerah

sekitar Pura Petitenget sebagai daerah baru yang membuka diri terhadap industri

pariwisata Bali, tidak terlepas dari pengaruh budaya global yang masuk, seperti;

terjadinya tukar-menukar kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat

setempat. Contohnya, wisatawan mancanegara dapat lebih banyak mengenal

kebudayaan masyarakat lokal serta lingkungan budaya yang lain, sedangkan

penduduk lokal juga dapat mengetahui tempat-tempat lain dari cerita wisatawan.

Dampak budaya yang terjadi dalam pembangunan pariwisata Bali, adalah

menimbulkan adanya kegairahan penggalian, pemeliharaan, dan pengembangan

aspek-aspek kebudayaan lokal akan tetap terpelihara dan lestari (sustainable).

Tentu saja hal tersebut memberikan efek ganda yaitu bertambahnya pendapatan

masyarakat setempat dari kegiatan ini sebagai konsumsi bagi wisatawan karena

sumber daya budaya tersebut dianggap sebagai objek wisata budaya dengan daya

tarik tersendiri, selain itu dapat menjaga kelestarian aspek-aspek kebudayaan dan

Page 136: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

136

warisan budaya itu sendiri. Berpandangan terhadap hal ini, dampak budaya atas

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat kerobokan, Kecamatan

Kuta Utara, Badung, yakni adanya kegairahan masyarakat Desa Adat Kerobokan

untuk menggali potensi sumber daya budaya lokal yang dimilikinya, memelihara

dan mengembangkan Pura Petitenget sebagai warisan budaya yang diwariskan

secara turun-temurun, serta mendayagunakannya sebagai daya tarik wisata cagar

budaya agar tetap terjaga, terpelihara dan terlestarikan, sehingga semakin menarik

dan dikunjungi wisatawan mancanegara. Selain itu juga memberikan penambahan

pendapatan untuk pelestarian dan pemeliharaan pusaka budaya ini, serta dapat

meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat setempat sebagai akibat

pengembangan pariwisata budaya di Bali.

Semakin banyak jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah

maka dampak kultural/budaya yang ditimbulkannya terhadap masyarakat lokal

dan objek wisata bersangkutan juga akan semakin besar (Ardika, 2007: 104).

Berorientasi pada hal tersebut, maka dampak budaya terjadinya profanisasi

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,

Kecamatan Kuta Utara, Badung, yakni di sini terlihat jelas terjadinya proses

penurunan kualitas nilai kebudayaan, karena adanya komersialisasi bangunan

suci/pura, dalam hal ini Pura Petitenget, yang difungsikan sebagai daya tarik

wisata cagar budaya untuk wisatawan. Selain itu adanya interaksi masyarakat

lokal dengan wisatawan mancanegara yang sering mengunjungi Pura Petitenget

sebagai objek wisata cagar budaya, di mana wisatawan asing dengan leluasa bisa

Page 137: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

137

masuk hingga ke halaman tersuci (jeroan) Pura Petitenget untuk mengenal lebih

dekat sumber daya budaya lokal ini.

Ada hal-hal yang harus diperhitungkan, karena apabila suatu pura sebagai

tempat suci dijadikan sebagai obyek wisata cagar budaya, dalam konteks ini Pura

Petitenget itu sendiri, maka bisa menyebabkan menurunnya atau hilangnya nilai-

nilai kesakralan/religiusitas tempat suci tersebut akibat pengembangan pariwisata

budaya. Kemungkinan bisa saja terjadi, kedatangan penduduk lokal atau pamedek

yang bersembahyang ke Pura Petitenget, bertemu dengan wisatawan mancanegara

yang berkunjung ke pura ini, yang secara bersamaan masuk ke dalam jeroan Pura

Petitenget. Ketika hal itu terjadi kemungkinan dapat membuat penduduk lokal

atau pamedek yang sedang bersembahyang di dalam Pura Petitenget menjadi

tidak konsentrasi atau kurang nyaman. Hal ini merupakan dampak budaya yang

terjadi, sehingga mengakibatkan menurunya nilai kebudayaan lokal tersebut

karena komersialisasi Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya sehingga

mengakibatkan terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura

Petitenget di Desa Adat kerobokan dalam konteks pariwisata budaya, karena telah

mengubah nilai utamanya sebagai tempat suci, bergeser menjadi objek wisata

budaya yang dikomoditikan dan dikomersialkan sehingga dikonsumsikan bagi

wisatawan mancanegara. Di mana masyarakat lokal ingin menyuguhkan sesuatu

yang diinginkan wisatawan, disadari atau tidak, masyarakat lokal sebagai pemilik

warisan budaya ini sudah terlalu mengkomersialkan atau mengeksploitasikan

sumber daya budaya yang dimilikinya. Sehingga tanpa sadar, mereka telah

mengurangi dan mengubah sesuatu yang khas dari kebudayaan itu sendiri, bahkan

Page 138: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

138

menggeser atau menurunkan nilai dari sumber daya budaya tersebut, yakni Pura

Petitenget itu sendiri, yang seharusnya tetap terjaga, terlestari dan terpelihara baik

agar tetap bernilai religius atau sakral akhirnya bergeser menjadi ruang profan.

7.2 Makna Profanisasi

7.2.1 Makna Kesucian Pura

Pandangan tentang makna kesucian Pura sebagai tempat suci yang sakral

adalah bermakna sebagai tempat suci yang memiliki unsur-unsur kesucian serta

dapat menggetarkan kesucian Sang Hyang Atman yang bersemayam di dalam

jiwa setiap individu. Di samping berfungsi sebagai sarana untuk meningkatkan

kualitas kesucian umat manusia secara individu, yang berfungsi untuk

mengkomunikasikan Sang Hyang Atma yang ada pada diri manusia dengan

Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumbernya. Pura sebagai tempat suci juga dapat

difungsikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas kesucian umat manusia

sebagai manusia sosial. Pura sebagai tempat suci berfungsi sebagai sarana untuk

meningkatkan berbagai macam keterampilan umat manusia, dan sebagai tempat

untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan yang bersifat ritual dan ritus.

Kesucian Pura tidak hanya perlu dijaga pada saat adanya upacara-upacara

keagamaan (pujawali) saja, melainkan setiap hari, kesucian pura sebagai tempat

dan ruang suci harus tetap terjaga, baik oleh para Jero Mangku yang bersangkutan

perlu memperhatikannya dengan seksama, maupun juga oleh masyarakat lokal

sebagai pengempon atau penyungsungnya. Jika terjadi sesuatu yang melanggar

akan kesucian pura tersebut, maka perlu segera diadakan upacara pembersihan

atau penyucian dengan melaksanakan upakara pecaruan penyucian.

Page 139: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

139

Dalam kaitannya dengan fungsi pura sebagai tempat atau ruang suci, hal

ini berdasarkan pada falsafah ruang dari ajaran Tat Twam Asi dalam agama

Hindu, Tat Twam Asi berarti “itu adalah aku”. Inti ajaran Tat Twam Asi adalah

menjaga keharmonisan dalam kehidupan terhadap segala bentuk ciptaan Tuhan,

termasuk dunia ini. Ajaran Tat Twam Asi mengandung makna konsep ruang

dalam keseimbangan kosmos (balance cosmologi), dalam hal ini ruang makro

(Bhuwana Agung) senantiasa harus seimbang dengan ruang mikro (Bhuwana

Alit). Di dalam makrokosmos, terdapat tiga struktur ruang secara vertikal yang

dianalogikan sebagai tiga dunia (Tri Bhuwana). Struktur ruang Tri Bhuwana atau

Tri Loka ini terdiri dari; Bumi dan alam lingkungannya sebagai “alam paling

bawah” disebut Bhur loka, “alam tengah” adalah alam roh-roh suci disebut

Bhuwah loka, dan “alam atas” adalah alam para Dewa disebut Swah loka

(MenujuPencerahan.http://hardisanatana.blogspot.com/2013/05/kosmologi-

pura.html. Tanggal 11 May 2013).

Dalam buku fenomenal “Sakral dan Profan” karya Mircea Eliade, Eliade

mendiskripsikan dua macam perbedaan mendasar dari ruang pengalaman

manusia, antara; manusia tradisional dan manusia modern. Di mana manusia

tradisional atau homo religius selalu terbuka untuk memandang dunia sebagai

pengalaman ruang yang sakral, manusia religius mendapatkan dalam dirinya

kesucian yang sama dengan yang dia temukan di dalam dunia kosmos. Sedangkan

manusia modern tertutup bagi pengalaman-pengalaman yang bersifat sakral, di

mana manusia profan atau manusia non-religius mendapatkan bahwa segala

sesuatu telah didesakralisasi atau diprofanisasi, artinya; akan merusak sekaligus

Page 140: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

140

juga memiskinkan karena semua tindakan dan kejadian telah tercabut dari

signifikansi spiritualnya. Manusia tradisional seringkali mengekspresikan

pertentangan ini sebagai ruang dunia nyata melawan (versus) ruang tidak nyata,

artinya manusia tradisional berusaha sebisa mungkin untuk hidup dalam ruang

yang sakral agar sepenuhnya dapat menghempaskan dan menyempurnakan

dirinya dalam realitas.

Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh manusia tradisional karena

mereka memanifestasikan dirinya secara berbeda dari dunia profan. Tempat dan

ruang sakral menjadi kiblat atau acuan utama bagi ruang lainnya. Di mana

manusia mendiami sebuah dunia tengah (midland), diantara dunia-luar yang

kacau, yang diperbaharui lagi oleh praktik-praktik duniawi, dan dunia-dalam yang

sakral, penuh dengan ritual sakral/ritus. Dalam hal ini ritual mengambil tempat

dalam ruang sakral ini, di mana tempat dan ruang suci menjadi satu-satunyanya

penghubung dan cara partisipasi masuk ke dalam kosmos yang sakral ketika

berupaya menghidupkan dan menyegarkan kembali dari dunia profan.

Selanjutnya Eliade mengaitkan “waktu sakral” dengan mitologi, di mana waktu

sakral adalah waktu perayaan, yang membutuhkan tempat dan ruang suci, adalah

kembali kepada waktu mistis, kembali kepada permulaan, manakala segalanya

nampak lebih “nyata” daripada keadaan sekarang, dan waktu sakral digerakkan

kembali dengan menjadikannya baru kembali. Sedangkan “waktu profan” adalah

linear atau sejajar, di mana manusia modern cenderung merasa dan melihat bahwa

semua ruang dan tempat adalah sama, manusia modern selalu memandang waktu

profan adalah keseluruhan hidupnya, dan ketika mereka meninggal atau

Page 141: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

141

meninggalkan dunia ini hidupnya juga ikut binasa atau mati (Sumber:

http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membaca-nalar-studi-agama-sakral-

dan-profan-karya-mercia-eliade/ Tanggal 3 Maret 2013).

Berorientasi terhadap hal-hal di atas, maka makna Pura Petitenget dalam

konteks sebagai tempat suci, dalam arti luas mempunyai makna kegunaannya

sebagai tempat suci, sarana pemujaan bagi umat Hindu dalam menjalankan ajaran

agamanya, bersifat nuansa kosmologi yang dilandasi pandangan pentingnya

hubungan antar manusia dengan sang pencipta (parhyangan), merupakan ekspresi

dari hubungan manusia dengan lingkungan spiritual yang sekaligus merupakan

refleksi dari hakikat manusia sebagai homo religius, yakni makhluk yang

memiliki keyakinan akan adanya kekuasaan adikodrati atau super natural, sebagai

salah satu upaya untuk mencapai kesejahteraan hidup bathiniah. Maka manusia

senantiasa berusaha untuk menjaga interaksi yang harmonis dengan lingkungan

spiritualnya, dalam hal ini fungsi Pura Petitenget sebagai tempat dan ruang suci,

sebagai sarana penghubung antara dunia kosmos dengan dunia manusia.

Namun ketika makna Pura Petitenget sebagai tempat suci, dimasukan ke

dalam konteks nilai dan makna sebagai suatu benda komoditas yang bersifat lebih

kepemikiran rasional modern ke arah kehidupan ekonomi praktis, maka eksistensi

nilai dan makna religius sebagai tempat dan ruang suci pemujaan semakin

dipinggirkan, lebih dari itu proses profanisasi mulai terjadi dengan ukuran

penilaian industri dan jasa demi kepuasan para wisatawan. Akibatnya terjadi

pergeseran nilai dan makna kesucian Pura Petitenget ini dari fungsi asli atau

utamanya sebagai tempat suci yang disakralkan, tetapi bergeser menjadi benda

Page 142: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

142

yang dikomersialisasikan. Di mana fungsinya sebagai warisan budaya diposisikan

sebagai objek wisata yang menarik minat wisatawan mancanegara untuk

mengunjunginya sebagai objek wisata cagar budaya, sehingga terjadi proses

eksploitasi kultural, yang dapat mengakibatkan menurunnya nilai-nilai kesucian

atau religiusitas Pura Petitenget sebagai tempat suci untuk kepentingan pariwisata

budaya di Bali sehingga mengalami pergeseran nilai dan makna, yang berfungsi

menjadi tempat dan ruang profan.

Perubahan pada dimensi nilai, ruang dan makna Pura Petitenget sebagai

tempat suci, dalam konteks pariwisata budaya di Bali, di sini terletak pada

perubahan fungsi utamanya sebagai tempat dan ruang suci pemujaan dalam

makna penuh religiusitas bergeser menjadi benda komoditi sebagai objek wisata

cagar budaya yang dikomersialkan. Di mana kehidupan industri dan jasa dalam

kapitalisme dunia pariwisata Bali telah memberi iklim relatif yang bersifat ke

pemikiran rasional dan modern secara keseluruhan terhadap pandangan atas

kegunaan asli atau utamanya, sehingga bergeser dari simbol konstruktif spritual,

di mana merupakan pura yang bersifat sakral, penuh dengan “religio-magis”

karena riwayat sejarahnya yang panjang dan unik, ke perubahan yang bersifat ke

arah yang lebih ke pemikiran universal modern dan ekonomis, yang pada akhirnya

membawa berbagai macam persoalan budaya global yang masuk ke dalamnya,

dengan ditandainya komersialisasi tempat suci Pura Petitenget sebagai objek

wisata cagar budaya. Hal tersebut telah menyebabkan terjadinya perubahan nilai

dan makna kesucian Pura Petitenget sebagai tempat suci dengan memberi nilai

dan makna yang memenuhi fungsi ekonomi praktis ke dalam dimensi ekspresif

Page 143: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

143

penggalian, pemeliharaan dan pemberdayagunaan atas tinggalan pusaka budaya

tersebut untuk menghasilkan dana sebagai bentuk upaya pelestarian sumber daya

budaya ini. Tanpa melihat fungsi aslinya sebagai tempat suci tetapi lebih ke dalam

konteks pariwisata budaya sehingga bersenyalemen terjadinya profanisasi akibat

kesalahan atau kelemahan dalam perencanaan dan pengawasan pelaksanaan

kebijakan publik, serta terjadinya eksploitasi kultural/budaya untuk kepentingan

industri pariwisata budaya di wilayah Desa Adat kerobokan khususnya.

7.2.2 Makna Ritual

Makna ritual yang dimaksudkan di sini, mempunyai konotasi ruang

lingkup yang bersifat nilai dalam kereligiusan atau ritus, yang didasarkan atas

hubungan dan tempat dalam situasi perbuatan sebagai lambang atau peristiwa

terhadap lingkungan tertentu di dalam melaksanakan upacara keagamaan. Makna

ritual selalu berkaitan dengan kereligiusan atau ritual (ritus) upacara keagamaan,

bagaimana masyarakat melaksanakan dan menjalankan ritual-ritual upacara

keagamaan, dan aspek kepercayaan kepada kekuatan kosmologi alam dan

keajaiban di luar dari diri manusia.

Mircea Eliade (1907-1986) dalam buku fenomenal “Sakral dan Profan”

menjelaskan, bagaimana bentuk sakralitas alam dan agama kosmik selalu

mengungkapkan sesuatu di luar dirinya, tidak semata-mata alami namun dunia

adalah simbolis atau transparen; antara dunia dewa-dewa yang bersinar terang

melalui dunianya, dan alam raya dilihat sebagai sebuah semesta yang tertata dan

memanifestasikan modalitas yang berlainan dari yang sakral. Bagaimana upacara

penyucian memungkinkan manusia tradisional yang religius untuk hidup dalam

Page 144: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

144

eksistensi yang terbuka, ini berarti manusia tradisional mengarungi kehidupannya

dalam dua dunia. Di mana manusia hidup dalam dunia kesehariannya, yaitu

kehidupan duniawi yang profan, namun juga berbagi hidup di luar dari dunia

hidupnya sehari-hari, yakni kehidupan kosmos atau dewa-dewa dari dunia yang

sakral. Dunia yang ganda ini, yakni, dunia dari kehidupan manusia sehari-hari,

dan dunia kehidupan kosmis ini secara tepat terekspresikan dalam pengalaman

manusia tradisional itu sendiri dan tempat tinggal mereka sebagai mikrokosmos

atau semesta kecil. Manusia tradisional menyucikan hidupnya dengan serangkaian

ritual-ritual atau upacara keagamaan yang bersifat ritus sebagai bentuk ekspresi

dirinya menuju ruang dan waktu dari yang profan menuju ke ruang dan waktu

yang sakral (ataupun sebaliknya), atas hilangnya pengalaman-pengalaman

spiritual yang dirasakan manusia sebagai akibat dari kehidupan modernisme yang

dihadapi dan dilaluinya terhadap kehidupan sehari-hari (Sumber:

http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membaca-nalar-studi-agama-sakral-

dan-profan-karya-mercia-eliade/).

Agama, adat, dan seni-budaya di Bali mempunyai hubungan yang sangat

erat dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari dalam upacara

keagamaan masyarakat Bali. “Pura” sebagai tempat suci pemujaan bagi umat

Hindu dalam menjalankan ajaran agamanya juga tidak terlepas dari pengaruh

tersebut. Berbagai bentuk upacara keagamaan atau ritual yang berhubungan

dengan “piodalan” (upacara ritual keagamaan) di pura selalu dilakukan di dalam

pura sebagai tempat pemujaan dan permohonan. Makna ritual dalam upacara

keagamaan bagi umat Hindu adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang

Page 145: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

145

terkait dengan aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama. Dalam suatu

upacara yang terkait dengan aturan adat dan agama, seperti upacara ritual (ritus),

sembahyang, upacara kurban, persembahan, dan lain-lain, selalu dilaksanakan di

tempat suci atau pura. Ritual selalu dimaknai sebagai suatu nilai yang bersifat

ritus atau yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat religius, misalnya, tarian

suci keagamaan yang hanya dipentaskan di dalam pura sebagai bentuk gerakan

pemujaan kepada Sang Pencipta, contohnya; tarian wali, Sanghyang Dedari.

Sedangkan makna ritual “pura” sebagai tempat suci, yakni sebagai tempat sarana

mempersembahkan upacara keagamaan dan upacara penyucian dengan segala

bentuk simbol-simbolnya yang bersifat ritus penuh dengan makna kereligiusan

sebagai bentuk rasa syukur umat kepada Sang Pencipta.

Upacara keagamaan dalam agama Hindu, khususnya upacara piodalan di

pura, pada tiap hari raya piodalan tempat-tempat suci dan pada hari-hari tertentu,

orang-orang mengadakan upacara persembahyangan yang disertai pula dengan

upacara banten dan upacara penyucian, persembahyangan ini ada yang dilakukan

sendiri-sendiri dan ada pula yang dilakukan secara bersama-sama. Ritual di dalam

pura ini merupakan kepercayaan kepada kesakralan sesuatu dan menuntut hal-hal

yang “sakral” diperlakukan secara khusus yang tidak dapat dipahami secara

ekonomi dan rasional, seperti cara perlakuan terhadap sesuatu yang di”sakral”kan

di dalam pura, segala sesuatu yang dihubungkan atau disangkutkan dengan

kesucian lahir dan bathin antara manusia dengan Sang Pencipta, memusatkan

perhatian pada penyembahan pujaan-pujaan yang menjadi tempat kesatuan antara

dunia ilahi dan dunia manusiawi, sebagai tempat penghubung dalam

Page 146: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

146

mempersembahkan upacara kurban keagamaan yang bersifat ritus. Makna upacara

keagamaan atau ritual yang dilaksanakan di dalam pura, baik saat piodalan

maupun pada hari-hari tertentu yang berhubungan dengan hari raya umat Hindu,

bukan hanya suatu persembahan, tetapi juga suatu bentuk penyucian diri, yaitu

suatu perpindahan dari yang profan kepada yang sakral, yang mengubah bentuk

nilai dan makna upacara kurban yang dipersembahkan maupun orang yang

mempersembahkannya. Melalui upacara ritual kurban yang bersifat ritus itulah

komunikasi berlangsung antara yang sakral dan yang profan di bangun, atau

sebaliknya antara yang profan menuju ke yang sakral, yang juga merupakan suatu

tindakan penghormatan kepada Sang Pencipta dengan persembahan peribadahan

upacara ritual (Sumber: http://makalah85.blogspot.com/2008/12/upacara-dan-

kebaktian.html. Tanggal 6 April 2013).

Berorientasi terhadap hal-hal tersebut, makna profanisasi atas pemanfaatan

Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, di

mana “makna ritual” mengambil alih secara filosofis atas keberadaan Pura

Petitenget yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya, dibersihkan kembali

dengan bentuk upacara ritual penyucian yang bersifat ritus. Ketika ruang dan

waktu Pura Petitenget berfungsi sebagai tempat suci bergeser yaitu saat Pura

Petitenget difungsikan menjadi objek wisata cagar budaya untuk wisatawan asing

karena komersialisasi tempat suci, dan menjadi nilai ekonomis demi pelestarian

dan pemeliharaan pusaka budaya ini, serta meningkatkan taraf kesejahteraan

masyarakat setempat. Dalam hal ini, maka makna sakral bergeser ke profan, dan

proses profanisasi berjalan seiring waktu, saat ruang Pura Petitenget dibentuk dan

Page 147: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

147

difungsikan sebagai warisan budaya yang diberdayakan dan dilestarikan sebagai

objek wisata cagar budaya dalam pengembangan pariwisata budaya di Bali.

Sedangkan waktu dan ruang Pura Petitenget berfungsi kembali ke makna

utama aslinya sebagai tempat suci, ketika adanya aktivitas dan kegiatan upacara

keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget sedang berlangsung. Di sini

kembali “makna ritual” menjadi filosofis yang dihubungkan atau disangkutkan

dengan upacara-upacara ritual keagamaan yang bersifat ritus untuk penyucian diri

dalam bentuk upacara kurban atau upakara pecaruan penyucian untuk menyucikan

kembali Pura Petitenget menuju ke fungsi utamanya sebagai tempat/ruang suci

untuk melaksanakan upacara ritual, maka akan menjadi “sakral”, mempunyai

makna mengembalikan lagi kesakralan Pura Petitenget ke bentuk awal/semula

sesuai dengan bentuk aslinya sebagai tempat suci umat dalam menjalankan

ajarannya. Berpandangan terhadap hal tersebut, sesuai dengan apa yang dituturkan

oleh Jero Mangku Made Widra (62 tahun) sebagai Pemangku Pemucuk (utama)

Pura Petitenget, petikan wawancaranya adalah sebagai berikut:

“...mengembalikan kesucian Pura Petitenget sebagai tempat suci,yaitu saat berlangsungnya upacara keagamaan (odalan/piodalan) dipura, maka diadakan upacara penyucian dengan banten upakarapecaruan. Upacara penyucian ini dilakukan sehari sebelum puncakpiodalan pura, hal itu dimaksudkan untuk mengembalikan maknakesucian Pura Petitenget ke fungsi awalnya sebagai tempat suci.Apabila kegiatan upacara keagamaan (pujawali) telah selesai, makakembali wisatawan bisa mengunjungi pura”.(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).

Hal yang sama juga disampaikan oleh Anak Agung Putu Sutarja (42

tahun) sebagai Bendesa Adat Kerobokan, petikan wawancaranya sebagai berikut:

“...untuk mengembalikan kesucian Pura Petitenget, yakni saatberlangsungnya upacara keagamaan (odalan/piodalan) di PuraPetitenget, wajib dilakukan upacara pembersihan, yaitu upacara

Page 148: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

148

penyucian dengan banten upakara pecaruan. Upacara dilaksanakansehari sebelum puncak upacara piodalan pura. Hal ini bertujuanmengembalikan makna kesucian pura secara niskala dan sekala.Ketika upacara piodalan di pura telah selesai, dipersilahkan kembalipara wisatawan untuk berkunjung ke Pura Petitenget”.(Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).

Ungkapan dari kedua informan di atas, memberikan gambaran bahwa

makna yang sakral terjadi pada saat adanya upacara ritual keagamaan (odalan/

piodalan) yang berlangsung di dalam Pura Petitenget, dengan melakukan upacara

ritual yang bersifat ritus, penuh dengan makna kesakralan, yang hanya bisa

dilaksanakan dan dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Kerobokan sebagai

manusia religius dalam berhubungan dengan dunia kosmologi dengan Sang

Pencipta. Tampak di sini “makna ritual” adalah dalam bentuk upacara penyucian

yang dilaksanakan di Pura Petitenget, yakni ketika berlangsungnya upacara

keagamaan (pujawali) yang bersifat ritus dengan mempersembahkan upacara

ritual penyucian diri berupa banten upakara pecaruan sebagai simbol filosofis

untuk mengembalikan kembali makna kesucian Pura Petitenget ke fungsi awalnya

sebagai tempat/ruang suci sarana pemujaan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.

Di sini upacara “ritual”, mempunyai arti dan makna filosofis sebagai

penghubung untuk suatu upacara persembahan suci, sebagai bentuk penyucian diri

untuk membersihkan dan mengembalikan fungsi Pura Petitenget sebagai tempat

suci agar kembali ke fungsi awalnya sebagai tempat ruang pemujaan ke hadapan

Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini bermakna sebagai suatu perpindahan dari yang

profan kepada yang sakral, agar mereka kembali memanifestasikan dirinya secara

berbeda dari keadaan sebelumnya. Sementara makna yang profan terjadi ketika

tidak ada aktivitas atau tidak berlangsungnya kegiatan upacara keagamaan

Page 149: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

149

(odalan/piodalan) yang bersifat ritual di dalam Pura Petitenget, maka kembali

dunia profan dengan motif nilai ekonomi berperan di sini, dengan memfungsikan

kembali Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya untuk mendapatkan

nilai material untuk penambahan pendapatan pemeliharaan demi pelestarian

pusaka budaya ini, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya tanpa

menghilangkan makna asli dari fungsi Pura Petitenget sebagai tempat suci umat.

Orang-orang Bali tahu dengan jelas batas antara yang sakral dengan yang

profan, batas antara apa yang dapat dijual dan apa yang harus dilindungi sekuat

tenaga, hal tersebut sesuai pendapat Maurer (Maurer, dalam Picard, 2006: 179).

Berorientasi dari pemikiran ini maka dapat dikatakan bagaimana masyarakat Bali

memisahkan antara yang sakral dengan yang profan, bagaimana mengetahui batas

mana yang boleh di“profan”kan dan batas bagian mana yang harus tetap

di”sakral”kan dalam pengembangan pariwisata budaya di Bali. Kehidupan

masyarakat Bali yang memeluk budaya kolektivis, budaya di mana melakukan

sesuatu secara bersama-sama (gotong-royong), bertemu dan berinteraksi dengan

wisatawan mancanegara yang membawa budaya global atau individualis, artinya

budaya di mana melakukan sesuatu secara sendiri, atau dapat juga di sebut budaya

religius berhadapan dengan budaya modernis, atau homo religioustus bertemu

dengan homo economicus. Perpaduan antara homo religioustus dari masyarakat

tradisional Bali dan homo economicus dari wisatawan mancanegara telah

menghasilkan atau menciptakan dua dunia yang berbeda bagi orang Bali, yakni,

dunia tradisi/tradisional dan dunia modern/internasional, atau biasa dikatakan

sebagai dunia yang sakral dan dunia yang profan.

Page 150: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

150

Demikian juga terhadap pemanfaatan dan pengelolaan Pura Petitenget

sebagai warisan budaya di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,

Badung, di mana masyarakat Desa Adat Kerobokan sebagai pemilik pusaka

budaya ini tahu dengan jelas dan pasti batas mana yang harus tetap di”sakral”kan

dengan budaya kolektivis atau budaya religiusnya untuk tetap mempertahankan

dunia tradisionalnya, yaitu ketika berlangsungnya upacara ritual keagamaan saat

odalan/piodalan di Pura Petitenget, maka kembali fungsi pura sebagai tempat suci

menjadi otoritas mutlak yang berperan di sini, dengan tidak diperbolehkannya

pengunjung/wisatawan mancanegara memasuki areal Pura Petitenget selama

berlangsungnya prosesi ritual upacara keagamaan di pura ini. Begitu juga halnya

batas mana yang boleh di”profan”kan dengan memberi ruang dan waktu bagi

budaya modernis untuk wisatawan mancanegara dengan dalil motif ekonomi,

yaitu ketika kegiatan ritual upacara keagamaan di dalam Pura Petitenget telah

selesai dari keseluruhan prosesi ritual upacara keagamaan, maka kembali Pura

Petitenget berfungsi menjadi objek wisata cagar budaya yang dikomersialkan

dengan segala aturan yang sudah ditetapkan.

7.2.3 Makna Susila/Etika

Makna susila/etika merupakan hal-hal tentang yang baik dan yang buruk,

tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak (Alwi, 2001: 309). Sehubungan

dengan pengertian tersebut, maka makna susila/etika dalam hal ini, bagaimana

menjaga hubungan yang baik dan harmonis antara dunia agama dan budaya

dengan dunia pariwisata, sehingga tetap terjaganya kesucian pura agar terpelihara

dengan baik, saling memberi pengertian, dan menumbuhkan toleransi terhadap

Page 151: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

151

norma adat dan budaya masyarakat lokal, serta tidak melanggar larangan agama

dan adat istiadat setempat.

Makna susila/etika dalam agama Hindu merupakan kerangka dasar yang

memegang peranan penting bagi tatanan kehidupan manusia sehari-hari, realitas

hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. Makna susila/

etika adalah acuan penting dalam berperilaku secara individu dan bermasyarakat,

bagaimana seseorang menempatkan dirinya dalam berperilaku sesuai dengan

tempatnya, bagaimana berperilaku melaksanakan dan menjalani rasa cinta kasih

pada diri sendiri maupun menghargai orang lain. Kata “susila” berasal dari dua

suku kata, yaitu; “su” yang berarti baik, indah dan harmonis. Sementara “sila”

yang berarti perilaku atau tata laku. Jadi susila adalah tingkah laku manusia yang

baik, yang terpancar sebagai cerminan objektif kalbu dalam mengadakan

hubungan dengan lingkungannya. Berpandangan dari pengertian di atas, maka

pengertian makna “susila/etika” menurut pandangan agama Hindu merupakan

nilai-nilai serta norma-norma moral dalam berperilaku yang menjadi pegangan

seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah laku timbal

balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta

(lingkungan) yang berdasarkan atas korban suci (yadnya) keikhlasan dan kasih

sayang. Dalam hal ini pengertian makna susila/etika dirumuskan sebagai suatu

sistem nilai yang bisa berfungsi baik dalam kehidupan manusia perseorangan

maupun pada taraf kehidupan sosial bermasyarakat (Sumber:

http://sitidharma.org/menjaga-kesucian-pura/ Tanggal 8 Mei 2013).

Page 152: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

152

Tujuan dari makna susila/etika di dalam agama Hindu dilihat dari konteks

ketika manusia menyatukan diri dengan Sang Pencipta adalah untuk menyadari

keberadaan diri yang sebenarnya, sehingga kesadaran akan diri sejati sebagai

manusia untuk menginsyafkan dan menyadarkan akan adanya “Brahman” (Sang

Hyang Widhi Wasa) yang kekal sebagai tujuan utama dari penjelmaan “Atman”

dengan badan manusia ke dunia ini, dan tempat untuk menyatukan secara filosofis

dan kosmologis atas keberadaan tersebut adalah ketika manusia berkonsentrasi

memusatkan pikiran menyatukan diri dengan Sang Pencipta saat bersembahyang

di tempat dan ruang suci, dalam hal ini adalah “pura” sebagai tempat suci

pemujaan tersebut. Selanjutnya, makna susila/etika diarahkan untuk tujuan-tujuan

yang positif, serta bermanfaat, dengan simbol-simbol yang diciptakan oleh

manusia dan digunakan secara bersama-sama, teratur, rapi, dan bersih. Salah satu

simbol dari makna susila/etika itu yakni dalam tata cara berbusana yang sopan dan

pantas, rapi dan bersih, sesuai dengan kaidah adat dan norma agama Hindu, ketika

manusia menghubungkan diri kehadapan Sang Pencipta di dalam pura sebagai

sarana tempat suci saat mengorientasikan diri manusia dan berinteraksi kepada

lingkungan yang bersih dan suci, ataupun memasuki pura sebagai tempat/ruang

suci, maka hal ini berfungsi sebagai makna susila/etika, baik dalam berpakaian,

berperilaku, dan berbicara yang sopan dan pantas sesuai dengan adat istiadat

masyarakat tradisional yang religius.

Kaitanya dalam dunia pariwisata dengan makna susila/etika berbusana

yang sopan dan pantas, rapi dan bersih dalam adat dan agama Hindu,

adalah perbedaan pandangan dan pola pikir masyarakat negara maju atau

Page 153: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

153

masyarakat wisatawan yang berbeda dengan masyarakat lokal atau masyarakat

tradisional tentang makna susila/etika dalam berpakaian ketika memasuki pura

sebagai tempat/ruang suci, dan waktu berinteraksi dengan Sang Pencipta saat

bersembahyang di dalam pura, ada aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat

tradisional. Atas hal itu, para wisatawan mancanegara yang mengunjungi Pura

Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya, telah membawa budaya globalnya

untuk masuk di dalamnya, dengan pola berpakaian wisatawan yang bebas dan

tidak sesuai aturan norma dan adat masyarakat tradisional, menjadi salah satu

dampak terjadinya penurunan nilai terhadap makna susila/etika tentang tata cara

berbusana yang baik dan sopan ketika memasuki Pura Petitenget sebagai tempat/

ruang suci. Hal ini telah menyebabkan terjadinya profanisasi atas pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,

badung, dalam industri pariwisata Bali.

Sesuai dengan yang ditemukan di lapangan, Budaya global yang di bawa

oleh wisatawan mancanegara, karena keterbatasan waktu yang dimilikinya ketika

mengunjungi objek wisata cagar budaya Pura Petitenget telah mempengaruhi nilai

dan makna susila/etika yang baik dan sopan akan moralitas mengenai berbusana

ketika memasuki pura sebagai tempat suci. Tatanan cara berpakaian wisatawan

mancanegara, khususnya wanita, ketika mengunjungi Pura Petitenget hingga

memasuki halaman tersuci (jeroan) Pura Petitenget sebagian besar lebih mengarah

pada pola berpakaian yang modernis, dengan busana atas yang sedikit terbuka,

sehingga memberi kesan menonjolkan keseksian atau memperlihatkan bentuk

tubuh, hal ini tidak sesuai dengan norma susila/etika yang baik dalam berbusana

Page 154: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

154

ke pura sebagai tempat suci. Di sadari atau tidak, hal tersebut telah menyebabkan

terjadinya penurunan kualitas kesucian Pura Petitenget dalam nilai dan makna

susila/etika berbusana yang tidak mencirikan budaya tradisional, apalagi para

wisatawan tersebut dengan leluasa bisa masuk hingga sampai ke areal tersuci

(jeroan) Pura Petitenget. Memandang terhadap hal tersebut, pihak pengelola Pura

Petitenget telah berusaha untuk meminimalisasikan dengan menjelaskan aturan

dan larangan sesuai dengan yang tertulis di papan pengumuman di halaman luar/

depan (jaba) Pura Petitenget, namun tidak dapat menolak keinginan wisatawan

untuk mengunjungi dan memasuki Pura Petitenget dengan pola berbusana

wisatawan mancanegara yang modernis tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi

nyata yang harus dihadapi akibat pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget

sebagai objek wisata cagar budaya dalam industri pariwisata budaya Bali,

sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas kesakralan Pura Petitenget

dalam nilai dan makna susila/etika tentang tata cara berperilaku dalam berbusana

yang baik dan sopan ketika memasuki pura sebagai tempat/ruang suci.

7.2.4 Makna Kesejahteraan

Makna kesejahteraan yang dimaksudkan di sini adalah menunjukkan

kepada kesejahteraan sosial kehidupan manusia, yaitu tercukupinya segala

kebutuhan material dan non-material. Dalam istilah umum, kesejahteraan

menunjuk kepada “keadaan yang baik”, kondisi manusia di mana orang-orangnya

dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai, dalam hal ini

kesejahteraan berhubungan dengan hal-hal atau keadaan sejahtera, keamanan,

keselamatan, kemakmuran, dan ketenteraman (Alwi, 2001: 1011). Dalam

Page 155: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

155

ekonomi, kesejahteraan dihubungkan dengan keuntungan benda atau materi yang

menghasilkan nilai uang. Kesejahteraan memiliki arti khusus secara ekonomi

kesejahteraan, yakni dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial, yang menunjukkan

keterjangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang

dimaksud dengan kesejahteraan sebagai sebuah keadaan adalah kesejahteraan

yang meliputi jasmaniah dan rohaniah, yang memberi kesempatan untuk

memperkembangkan seluruh kemampuan dan untuk meningkatkan kesejahteraan

sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan keperluan keluarga dan masyarakat,

yang mencerminkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang harus saling

membantu agar menciptakan suasana yang harmonis dan sejahtera.

Berpandangan terhadap hal di atas, tidak berlebihan apabila perkembangan

pariwisata di Desa Adat kerobokan dimasukkan ke dalam makna kesejahteraan

dengan kaidah ekonomi untuk mencapai target meningkatkan kesejahteraan

masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget. Makna

kesejahteraan dalam hal ini berkaitan dengan kebahagiaan lahir dan bathin dalam

arti luas, sejauhmana masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya di sekitar

Pura Petitenget, serta para pengurus/pengelola Pura Petitenget, mengalami dan

merasakan makna kesejahteraan itu di dalam kehidupan sosial ekonominya.

Bagaimana proses kehidupan mereka mengalami suatu perubahan dalam konteks

sejahtera, dari yang kehidupan sederhana menuju kepada perbaikan yang lebih

baik dari kehidupan sebelumnya. Kesejahteraan yang dimaksudkan di sini tidak

hanya di ukur dari faktor fisik semata melainkan juga di ukur dari faktor kejiwaan.

Page 156: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

156

Perkembangan industri pariwisata di Desa Adat Kerobokan, khususnya di

sekitar Pura Petitenget menjadikan penduduk lokal mulai mengubah lahan

pertanian mereka ke arah sektor pariwisata, sehingga terjadi pengurangan tanah

pertanian akibat alih fungsi lahan ke bentuk bangunan fisik sarana fasilitas

kepariwisataan, adanya penjualan tanah lahan pertanian dan tidak berfungsinya

sistem subak (pengairan) di lingkungan sekitarnya. Di mana penduduk lokal

mulai mengembangkan modal yang mereka miliki ke bidang sektor pariwisata,

tetapi mereka kehilangan lahan pertanian sebagai penghasilan dan pekerjaan

utama mereka. Selain itu adanya persaingan dalam modal yang besar dengan

kapitalis dari luar Bali menyebabkan penduduk lokal tidak mampu bersaing,

bahkan hanya dijadikan unsur pelengkap di industri pariwisata yang sulit

dibendung akibat persaingan global. Di samping itu, juga mulai terlihat dan

terbentuknya pola pikir masyarakat setempat yang terpengaruh membiasakan

penggunaan logika kapitalis yang berorientasi pada keuntungan ekonomi, bahwa

modal dan angka-angka dalam bentuk keuntungan selalu lebih penting daripada

bentuk kebudayaan dan religiusitas. Melihat dari kondisi ini, sesuai dengan apa

yang disampaikan oleh I Made Wistawan, SE (44 tahun) sebagai Lurah

Kerobokan Kelod. Adapun hasil petikan dari wawancaranya sebagai berikut:

“...perkembangan pariwisata di wilayah Desa Adat Kerobokan, telahmengubah pola pikir masyarakat beralih profesi ke sektor pariwisata.Sebagian petani mulai mengubah lahan pertanian mereka ke dalambentuk bangunan fisik sebagai pendukung fasilitas pariwisata yangmendatangkan keuntungan lebih besar bila dibandingkan menjadipetani. Selain itu sistem subak mulai tidak berfungsi normal lagi.menyebabkan banyak petani menjual sebagian lahan pertaniannya.Uang yang milikinya dijadikan modal usaha di sektor pariwisata,dengan harapan akan memberikan peningkatan pendapatan dankesejahteraan hidup, namun jika tidak mampu mengelola dengan

Page 157: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

157

baik, mereka harus bersaing dengan kapitalis pemiliki modal besardan para pendatang yang mencari kerja di wilayah Kerobokan”.(wawancara, Jumat 10 Mei 2013).

Pendapat yang senada juga dituturkan oleh I Made Gede Yasa (35 tahun)

seorang masyarakat yang bekerja di sektor pariwisata. Adapun hasil kutipan dari

wawancaranya sebagai berikut:

“Perkembangan pariwisata di Desa Adat Kerobokan sangat pesat.Sebagai masyarakat yang bekerja di sektor pariwisata, sayamerasakan adanya peningkatan perekonomian. Banyaknya saranafasilitas fisik kepariwisataan memudahkan kami mendapatkanpenambahan pendapatan, walaupun harus bersaing dan bekerja kerasuntuk meraih hasil yang lebih baik”.(wawancara, Jumat 10 Mei 2013).

Dari tuturan kedua informan tersebut dapat disimpulkan bahwa makna

kesejahteraan yang dimaksudkan, adalah dalam bentuk modal/kapital untuk

berwirausaha di sektor pariwisata guna mendatangkan penambahan penghasilan

untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup secara ekonomi, selain itu harus

menghadapi persaingan dari luar Bali akibat kemajuan industri pariwisata global.

Makna kesejahteraan menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,

Badung, yaitu dengan kedatangan para wisatawan mancanegara ke wilayah Desa

Adat Kerobokan, dari sisi ekonomi, memberi penambahan pendapatan atas

keterlibatan masyarakat setempat dalam berwirausaha di sektor pariwisata

sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal

menjadi lebih baik. Akibat komersialisasi tempat suci Pura Petitenget yang

difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya dengan dalil pelestarian dan

pemeliharaan warisan budaya ini yang mendatangkan nilai ekonomi praktis atas

Page 158: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

158

pemanfaatannya dalam konteks pariwisata budaya, yang bergandengan dengan

budaya kapitalisme akibat industri pariwisata global yang masuk ke ranah

kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat, hal ini dapat dilihat dengan

adanya kunjungan wisatawan mancanegara ke Pura Petitenget, telah memberi

dampak nilai ekonomi tinggi untuk peningkatan kesejahteraan bagi para pengurus

dan pengelola Pura Petitenget, serta masyarakat di sekitarnya. Motif ideologi

ekonomi selalu memberi nilai lebih ke dalam makna kesejahteraan secara umum,

kondisi ini dapat di lihat dari setiap dana yang masuk, baik atas pemanfaatan jaba

Pura Petitenget yang digunakan sebagai areal parkir kendaraan, kemudian

pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum dengan kompensasi

berdana punia, serta sumbangan (sesari) dari wisatawan dan masyarakat yang

mengunjungi Pura Petitenget. Keseluruhan dana itu masuk ke Kas pengelolaan

Pura Petitenget, dipergunakan bagi kepentingan/pemeliharaan Pura Petitenget,

serta memberi penambahan pendapatan bagi para pengurus/pengelola Pura

Petitenget. Namun di balik semua dampak positif yang dirasakan dari makna

kesejahteraan itu, tidak semua masyarakat di sekitarnya dapat menikmati makna

kesejahteraan hidup atas perkembangan pariwisata di wilayah Desa Adat

Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura Petitenget. Hal ini dapat dilihat dari

adanya alih fungsi lahan pertanian ke sektor pariwisata, yang mengakibatkan

banyaknya petani kehilangan pekerjaan utamanya sebagai petani, kemudian

adanya persaingan dalam tenaga kerja dan SDM di sektor pariwisata, sehingga

menyebabkan terjadinya arus urbanisasi yang kian meningkat, serta masyarakat

Page 159: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

159

harus menghadapi persaingan dengan kapitalis/pemilik modal besar yang berasal

dari luar Bali akibat perkembangan industri pariwisata global.

Refleksi

Sudah waktunya industri pariwisata Bali memberikan tanggung jawab

moral dalam menjawab persoalan-persoalan aspek kebudayaan saat ini, terutama

dampak dan faktor terjadinya profanisasi terhadap bangunan/monumen tinggalan

pusaka budaya masyarakat lokal. Dalam konteks ini peran pemerintah daerah Bali

sebagai pemegang kebijakan politik, masyarakat Bali sebagai pemilik sumber

daya budaya lokal, para pelaku pariwisata sebagai pendukung industri pariwisata

Bali, dan para pemodal/kapitalis sebagai pemain dalam industri pariwisata global.

Semua komponen tersebut agar bersama-sama dapat memberikan kontribusi

berarti terhadap dunia kepariwisataan, khususnya kepada kebudayaan Bali.

Saat ini profanisasi sudah merambah hampir ke segala aspek-aspek

kebudayaan Bali, salah satunya tempat-tempat suci. Adanya pengaruh arus budaya

global yang berimplikasi dengan praktik-praktik budaya kapitalisme, telah

menyebabkan terjadinya profanisasi terhadap bangunan suci/pura. Hal ini secara

sadar atau tidak, telah menyentuh langsung makna-makna aspek kebudayaan lokal

tersebut sebagai akibat peranannya di dalam dunia pariwisata Bali. Pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget yang difungsikan sebagai objek wisata cagar

budaya di Desa Adat Kerobokan telah mengalami profanisasi sebagai bentuk

adaptif budaya global yang masuk di dalamnya, sehingga menggeser nilai dan

makna aslinya sebagai tempat suci, yang dipromosikan dan dikomersialkan

sebagai benda komoditi dengan motif ideologi ekonomi untuk mendatangkan nilai

Page 160: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

160

ekonomi praktis demi pelestarian dan pemeliharaan sumber daya budaya lokal ini,

serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat atas pemanfaatannya

sebagai daya tarik wisata cagar budaya.

Bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di desa

Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata

budaya di Bali, adalah menjadikan sumber daya budaya yang dimiliki masyarakat

lokal ini menjadi objek wisata budaya yang mempunyai daya tarik sebagai objek

wisata cagar budaya. Di mana memberikan kebebasan kepada wisatawan yang

berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa bisa memasuki Pura Petitenget

hingga ke areal tersuci (jeroan) pura ini. Kondisi ini telah mengubah fungsi utama

Pura Petitenget sebagai tempat suci menjadi ruang profan semenjak difungsikan

menjadi objek wisata cagar budaya akibat pengembangan pariwisata budaya di

Bali. Adanya pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum, tidak

terlepas dari pengaruh budaya global yang masuk ke ranah kehidupan sosial

budaya masyarakat lokal yang berimplikasi dengan praktik-praktik kapitalisme

dalam memanfaatkan sumber daya budayanya dengan motif ekonomi, dengan

menggeser nilai gunanya dan digantikan menjadi nilai tukar. Adanya pemanfaatan

jaba Pura Petitenget sebagai areal halaman parkir kendaraan yang mendatangkan

nilai ekonomi praktis, di mana konsepsi nilai ruang dari radius kesucian Pura

Petitenget, telah bergeser menjadi ruang profan dengan nilai ruang ekonomis

akibat perubahan pola pikir, dari masyarakat tradisional menuju masyarakat

modern, hal ini bersamaan dengan masuknya pola-pola budaya global ke ranah

kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat sebagai bentuk

Page 161: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

161

adaptif budaya asing sehingga terjebak ke dalam ruang realitas modernisasi yang

menimbulkan pergeseran bentuk nilai dan ruang sakral Pura Petitenget sebagai

tempat suci akhirnya bergeser menjadi bentuk nilai dan ruang profan dengan

mengubah fungsi utama atau aslinya, menjadi objek wisata cagar budaya dengan

ideologi ekonomi yang menghasilkan uang untuk penambahan pendapatan demi

pelestarian dan pemeliharaan sumber daya budaya lokal tersebut, juga untuk

meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.

Faktor pengaruh daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar

budaya yang mempunyai nilai arkelogis karena pura ini di bangun sekitar abad

XV dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Kemudian adanya perkembangan

industri pariwisata dengan semakin terkenalnya pantai di sekitar Pura Petitenget,

serta faktor Kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan Pura Petitenget untuk

penambahan pendapatan demi pelestarian Pura Petitenget agar tetap terjaga dan

terpelihara, selain untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat

setempat merupakan faktor yang mendominasi terjadinya profanisasi pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,

Badung, dalam pariwisata budaya Bali. Secara tidak langsung telah menggeser

nilai sakral Pura Petitenget ke nilai profan. Hal Ini merupakan fakta terjadinya

komersialisasi tempat suci menjadi benda komoditi guna mendatangkan nilai

motif ekonomi, sehingga menyebabkan menurunnya atau hilangnya nilai-nilai

kesakralan/religiusitas Pura Petitenget sebagai tempat suci akibat berfungsi

sebagai objek wisata cagar budaya dalam pengembangan pariwisata budaya Bali.

Page 162: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

162

Dampak ekonomi merupakan dampak dominan terjadinya profanisasi

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, untuk

mendatangkan sumber ekonomi praktis demi penambahan pendapatan untuk

pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya Pura Petitenget, dan meningkatkan

kesejahteraan bagi para pengurus/pengelola Pura Petitenget serta masyarakat di

sekitarnya. Kemudian dampak lingkungan yang ditimbulkan, adanya aktivitas

pengembangan sarana fasilitas kepariwisataan, telah mengubah lingkungan

setempat hingga melampaui batas-batas daya dukungnya. Dampak Sosial, yakni

perubahan pola pikir dan mata pencaharian masyarakat lokal yang semula petani,

kini ikut berperan aktif di sektor pariwisata, karena adanya alih fungsi lahan

pertanian ke bentuk bangunan fisik penunjang kepariwisataan. Sementara dampak

budaya, terjadinya penurunan kualitas nilai kebudayaan masyarakat lokal akibat

komersialisasi bangunan suci yang berfungsi sebagai objek wisata budaya, dalam

hal ini Pura Petitenget, di mana telah menggeser fungsi utama/asli Pura Petitenget

sebagai tempat suci dengan memfungsikannya sebagai objek wisata cagar budaya

dalam pengembangan pariwisata budaya di Bali.

Makna Pura Petitenget sebagai tempat suci, makna ritual, makna susila/

etika, dan makna kesejahteraan atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget

di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, mengalami pergeseran

makna ketika berfungsi sebagai suatu benda komoditas objek wisata budaya yang

bersifat lebih kepemikiran rasional modern ke arah kehidupan ekonomi praktis,

maka eksistensi nilai dan makna religius Pura Petitenget sebagai tempat dan ruang

suci pemujaan semakin dipinggirkan. Lebih dari itu proses profanisasi mulai

Page 163: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

163

terjadi dengan ukuran penilaian industri dan jasa demi kepuasan wisatawan akibat

budaya global yang masuk di dalamnya, sehingga terjadi proses eksploitasi

kultural/budaya yang mengakibatkan menurunnya nilai-nilai kesucian/religiusitas

Pura Petitenget sebagai tempat suci untuk kepentingan pariwisata budaya di Bali.

Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis yang harus dihadapi akibat

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan sebagai

objek wisata cagar budaya dalam industri pariwisata Bali. Di mana kehidupan

industri dan jasa dalam kapitalisme dunia pariwisata Bali telah memberi iklim

relatif yang bersifat rasional secara keseluruhan terhadap pandangan atas

kegunaan utamanya, sehingga bergeser dari simbol konstruktif spritual, di mana

merupakan pura yang bersifat sakral, penuh dengan “religio-magis” karena

riwayat sejarahnya yang unik, ke perubahan yang bersifat ke arah yang lebih

universal dan ekonomis, dengan ditandainya komersialisasi tempat suci Pura

Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya. Hal ini menyebabkan terjadinya

perubahan makna kesucian Pura Petitenget dengan memberi nilai dan makna yang

memenuhi fungsi ekonomi praktis ke dalam dimensi ekspresif penggalian,

pemeliharaan, pemberdayagunaan atas sumber daya budaya ini untuk

menghasilkan dana sebagai bentuk pelestarian sumber daya budaya tersebut, tanpa

melihat fungsi aslinya sebagai tempat suci tetapi lebih ke dalam konteks

pariwisata budaya untuk kepentingan industri pariwisata Bali, khususnya di

wilayah Desa Adat kerobokan.

Page 164: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

164

BAB VIII

SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

Adanya pengaruh budaya global yang mendominasi industri pariwisata

Bali sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi,

komunikasi dan transportasi, yang mempunyai kekuatan saling mempengaruhi

satu sama lainnya sehingga berimplikasi pada segala aspek kehidupan masyarakat

Desa Adat kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Bentuk

pengaruh budaya global itu telah mempengaruhi keberadaan Pura Petitenget

sebagai warisan budaya sehingga mempengaruhi perubahan pola pikir masyarakat

setempat untuk memanfaatkan sumber daya budaya tersebut ke dalam bentuk nilai

ekonomis atas pemanfaatannya sebagai daya tarik objek wisata cagar budaya.

Bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa

Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adalah menjadikan sumber

daya budaya lokal yang dimiliki masyarakat Desa Adat Kerobokan dengan

memfungsikannya menjadi objek wisata cagar budaya. Di mana memberikan

kebebasan kepada wisatawan yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa

memasuki Pura Petitenget hingga ke halaman tersuci (jeroan) pura. Kondisi ini

telah mengubah fungsi utama Pura Petitenget akibat adanya komersialisasi tempat

suci, sehingga menggeser nilai sakral Pura Petitenget ke bentuk nilai ruang profan

akibat pengembangan pariwisata budaya di Bali. Pemanfaatan wantilan Pura

Petitenget bagi masyarakat umum tidak terlepas dari pengaruh budaya global yang

masuk ke ranah kehidupan sosial budaya masyarakat lokal yang berimplikasi

Page 165: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

165

dengan praktik-praktik kapitalisme dalam memanfaatkan sumber daya budayanya

dengan motif ekonomi, dengan menggeser nilai gunanya dan digantikan menjadi

nilai tukar. Adanya pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal halaman parkir

kendaraan yang mendatangkan nilai ekonomi praktis, di mana konsepsi nilai

ruang dari radius kesucian Pura Petitenget, telah digeser menjadi ruang profan

dengan nilai ruang ekonomis akibat perubahan pola pikir, dari masyarakat

tradisional ke masyarakat modern, hal ini bersamaan dengan masuknya pola-pola

budaya global sebagai bentuk adaptif budaya asing sehingga terjebak ke dalam

ruang realitas modernisasi yang menimbulkan pergeseran bentuk nilai dan ruang

sakral Pura Petitenget sebagai tempat suci menjadi bentuk nilai dan ruang profan

dengan mengubah fungsi aslinya menjadi objek wisata cagar budaya dengan

ideologi ekonomi sehingga menghasilkan uang untuk penambahan pendapatan

demi pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya ini, serta meningkatkan

kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya.

Faktor pengaruh daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar

budaya, faktor perkembangan industri pariwisata dengan semakin terkenalnya

pantai di sekitar Pura Petitenget, faktor kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan

Pura Petitenget untuk pelestarian sumber daya budaya ini merupakan faktor yang

mendominasi terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget

di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Secara tidak langsung

telah menggeser nilai sakral Pura Petitenget ke nilai profan. Hal Ini merupakan

fakta terjadinya komersialisasi tempat suci menjadi benda komoditi guna

Page 166: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

166

mendatangkan nilai motif ekonomi, sehingga menyebabkan menurunnya atau

hilangnya nilai-nilai religiusitas tempat suci ini akibat industri pariwisata Bali.

Dampak ekonomi merupakan dampak dominan terjadinya profanisasi

pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,

Kecamatan Kuta Utara, Badung, yakni mendatangkan sumber ekonomi praktis

dengan dalil pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya ini, juga meningkatkan

kesejahteraan para pengurus/pengelola Pura Petitenget, serta masyarakat di

sekitarnya. Dampak lingkungan yang ditimbulkan adanya aktivitas pengembangan

sarana fasilitas kepariwisataan, telah mengubah lingkungan setempat hingga

melampaui batas-batas daya dukungnya. Dampak sosial, adanya perubahan pola

pikir dan mata pencaharian, masyarakat lokal yang semula petani, kini ikut

berperan aktif di sektor pariwisata karena adanya alih fungsi lahan pertanian ke

bentuk bangunan fisik. Sementara dampak budaya, terjadinya proses penurunan

kualitas nilai-nilai kebudayaan, karena adanya komersialisasi bangunan suci Pura

Petitenget itu sendiri dalam konteks pariwisata budaya di Bali.

Makna Pura Petitenget sebagai tempat suci, makna ritual, makna susila/

etika, dan makna kesejahteraan atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget

di Desa Adat Kerobokan mengalami pergeseran makna akibat budaya global yang

masuk di dalamnya. Merupakan suatu konsekuensi logis ketika Pura Petitenget

berfungsi sebagai suatu benda komoditas objek wisata budaya yang bersifat lebih

kepemikiran rasional modern ke arah kehidupan ekonomi praktis, maka eksistensi

makna dan nilai religius sebagai tempat suci pemujaan semakin dipinggirkan,

lebih dari itu proses profanisasi mulai terjadi dengan ukuran penilaian industri dan

Page 167: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

167

jasa demi kepuasan wisatawan, sehingga terjadi proses eksploitasi kultural yang

mengakibatkan menurunnya nilai-nilai kesucian/religiusitas Pura Petitenget

sebagai tempat suci untuk kepentingan pengembangan pariwisata budaya di Bali.

8.2 Saran

Berdasarkan fakta dan data di lapangan yang telah dikemukan di atas,

maka ada beberapa hal yang mesti menjadi perhatian bersama atas pemanfaatan

warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,

Badung, dalam konteks pariwisata budaya. Melalui penelitian ini ada beberapa

saran dari peneliti kepada pihak-pihak yang terkait sebagai berikut untuk:

1. Pemerintah daerah setempat dan pelaku pariwisata, untuk lebih

memperhatikan aspek-aspek sosial dan budaya atas pemanfaatan warisan

budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan sebagai objek wisata

cagar budaya. Untuk bersama-sama menjaga hubungan antara dunia

agama dan budaya dengan dunia pariwisata, agar tetap terjaga kesucian

pura, dalam hal ini Pura Petitenget, terlestarikan dan terpelihara dengan

baik. Adanya saling memberi pengertian dan menumbuhkan toleransi

terhadap norma adat dan budaya masyarakat lokal, serta tidak melanggar

larangan atau aturan yang sudah ditetapkan.

2. Masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura

Petitenget perlu melakukan komunikasi yang baik dan berkelanjutan

dengan pemerintah daerah atau pihak-pihak tertentu sehingga jaminan

pelestarian dan pemeliharaan terhadap warisan budaya Pura Petitenget

dalam konteks pariwisata budaya di Bali dapat memberi manfaat dan

Page 168: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

168

berguna bagi masyarakat setempat sebagai pemilik pusaka budaya lokal

ini, sehingga tetap dapat diwariskan kepada generasi penerusnya.

3. Peneliti lain, perlu adanya penelitian yang lebih mendalam secara

menyeluruh dan terfokus tentang profanisasi pemanfaatan warisan budaya

terhadap bangunan suci/pura sebagai objek wisata cagar budaya dalam

konteks pariwisata budaya di Bali. Sehingga perlu ditemukan strategi yang

tepat dan terarah akan pelestarian tinggalan pusaka budaya tersebut untuk

tetap terpelihara dan sakral tanpa mengurangi fungsi aslinya, serta nilai

dan makna kesucian atas bangunan suci/pura yang ada di Bali dalam

pengembangan pariwisata budaya Bali.

Page 169: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

169

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Helmy. 2012. Pemanfaatan Sumber Daya Budaya sebagai Atraksi Wisatadalam Pembangunan Pariwisata. Widyaiswara Madya BKPP Aceh:http//www.bkpp.acehprov.go.id/simpegbrr/artikel.com.

Alwi, Hasan. Dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cetakan Pertama EdisiIII). Jakarta: Balai Pustaka.

Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru.

Anom, I Putu. Dkk. 2010. Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran KrisisGlobal. Udayan University Press: Denpasar-Bali.

Ardika, I Wayan. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Pustaka Larasan:Denpasar-Bali.

Baker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Cetakan Pertama.Yogyakarta: Bentang Pustaka.

Barthers, Roland. 1983. Mythologies. New York: Hill and Wang.

Bourdieu, Pierre Felix. 2009. (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik.(terjemahan). Editor: Harker, Richard. Mahar, Cheelan dan Wikes, Chris.Yogyakarta: Jalasutra.

Darmiati, Ni Made. 2011. “Pura Kebo Edan Sebagai Daya Tarik Wisata Budayadi Desa Pejeng Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar”. Tesis,Program Pascasarjana Universitas Udayana: Denpasar-Bali.

Edkins, Jenny and Williams, Nick Vaughan. 2010. Teori-Teori Kritis MenantangPandangan Utama Studi Politik Internasional. Edisi Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Baca.

Eliade. sakral dan profan.http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membaca-nalar-studi-agama-sakral-dan-profan-karya-mercia-eliade/.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodelogi Penelitian Sastra; Epistimologi, Model,Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Presindo.

Giddens, Anthony. 2004. Runaway World: Bagaimana Globalisasi MerombakKehidupan Kita. (Terjemahan) Jakarta: Gramedia.

Haryatmoko, 2003. Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Bourdieu,Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Jakarta: Gramedia.

Page 170: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

170

htpp://www.babadbali.com/piodalan/piodalan.htm.

http://www.badungkab.go.id www.badungkab.go.id.

http://hardisanatana.blogspot.com/2013/05/kosmologi-pura.html.

http://history1978.wordpress.com/pengetahuan-candi/pura-di-bali/.

http://makalah85.blogspot.com/2008/12/upacara-dan-kebaktian.html.

http://sitidharma.org/menjaga-kesucian-pura/

http://suryadistira.blogspot.com/2008/07/pemedek-penyungsung-dan-pengemong.html?m=1).

http://www.network54.com/forum/78267/message/1011745902/Pemujaan+terhadap+Guru+Suci

Jaya, Sapta Ida Bagus. 2012. “Penerapan Ilmu Pengetahuan Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dalamPerlindungan Situs Arkeologi”. Jurusan Arkeologi, Fakultas SastraUniversitas Udayana: Denpasar-Bali.

Keputusan Bupati Badung Nomor : 637 Tahun 2003 Tentang Rencana DetailTata Ruang Kecamatan Kuta Utara.

Laksmi, Sita A. A. Rai. 2003. “Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat:Studi Objek Wisata Tanah Lot di Desa Beraban Kecamatan KediriKabupaten Tabanan”. Tesis, Program Pascasarjana UniversitasUdayana: Denpasar-Bali.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. PusatakaIndonesia Satu: Jakarta.

Moleong, Lexy J. 1994. Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung: RemajaRosdakarya.

Monografi Kecamatan Kuta Utara Tahun 2012.

Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Instrument Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nazir, Moh. 1998. Metode Penelitian. Cetakan Ketiga. Jakarta: Ghalia.

Norris, Chistopher. 2003. Membongkar teori dekonstruksi jacques derrida.Yogyakarta: Ar-Ruzz.

Page 171: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

171

Peratutran Daerah Propinsi Bali (PERDA) Nomor No.16 Tahun 2009 TentangRencana Umum Tata Ruang (RUTR) Daerah Propinsi Bali.

Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata(Terjemahan). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat. Yogyakarta: Jalasutra.

Pitana Dan Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata: Kajian Sosiologis TerhadapStruktur, Sistem dan Dampak-Dampak Pariwisata. Yogyakarta : AndiOffiset.

Profil Kecamatan Kuta Utara tahun 2011.

Pujaastawa, I.B.G. 2008. Trihita Karana: Kearifan Lokal dengan Nilai-NilaiUniversal. Dalam Pujaastawa,I.B.G. (Ed),2008.Wawasan Budaya untukPembangunan. Pp: 403-419. Jogyakarta: Pusat studi Pariwisata UGM.

Pujaastawa, Wirawan dan Adhika. 2008. Pariwisata Terpadu; Alternatif ModelPengembangan Pariwisata Bali tengah. Program Pascasarjana UniversitasUdayana: Denpasar-Bali.

Purniti, Aniek Ni Komang. 2008. “Pengelolaan Candi Gunung KawiTampaksiring di Kabupaten Gianyar Sebagai Objek dan DayaTarik Wisata Budaya”. Tesis, Program Pascasarjana UniversitasUdayana: Denpasar-Bali.

Sirtha, I Nyoman. 2007. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan denganPerspektif Sosial Budaya. Dalam 45 Tahun Universitas Udayana.UNUD: Denpasar-Bali.

Suadnyana, I Wayan. 2011. Sejarah Perjalanan Danghyang Nirartha di Bali(1451 – 1520). Paramitha: Surabaya.

Sudiani, Ni Nyoman. 1990. “Kekunoan Pura Petitenget dalam Kajian Arkeologi”.Skripsi, Jurusan Arkeologi: Denpasar-Bali.

Surbakti, Asmyta. 2008. “Pusaka Budaya dan Pengembangan Pariwisata diKota Medan: Sebuah Kajian Budaya”. Disertasi, Program PascasarjanaUniversitas Udayana: Denpasar-Bali.

Sutrisno. Dkk. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Tim Penyusun Bali Post, 2010. Mengenal Pura Sad Kahyangan dan KahyanganJagat. Pustaka Bali Post: Denpasar-Bali.

Page 172: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

172

PEDOMAN WAWANCARA

A. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1. Bagaimanakah sejarah berdirinya Pura Petitenget?

2. Bagaimanakah bentuk awal atau asli dari Pura Petitenget?

3. Bagaimanakah pelaksanaan upacara keagamaan di Pura Petitenget?

4. Kapan Pura Petitenget mulai di pugar/konservasi?

5. Kapan Pura Petitenget mulai menjadi cagar budaya?

B. BENTUK PROFANISASI PEMANFAATAN WARISAN BUDAYAPURA PETITENGET

1. Bagaimana bentuk pengelolaan Pura Petitenget sekarang ini?

2. Bagaimana Pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan budaya saat ini?

3. Bagaimana perubahan Pura Petitenget setelah menjadi objek wisata cagar

budaya dan banyak wisatawan yang berkunjung ke dalam pura?

4. Perubahan apa saja yang terjadi dalam pemanfaatan Pura Petitenget sebagai

objek wisata cagar budaya?

5. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu dengan adanya pemanfaatan warisan

budaya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya?

C. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PROFANISASIPEMANFAATAN PURA PETITENGET

1. Sejauh mana keadaan dan perkembangan Pura Petitenget sebagai objek

wisata cagar budaya di daerah Kuta Utara dan Kabupaten badung?

2. Sejauh mana situasi dan perubahan Pura Petitenget dengan ada

perkembangan pariwisata disekitar daerah Petitenget?

3. Sejauh mana manfaat dari pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan

budaya bagi masyarakat setempat?

4. Perubahan apa saja yang terjadi dengan adanya wisatawan mancanegara

berkunjung ke dalam Pura Petitenget?

Page 173: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

173

5. Mengapa para wisatawan mancanegara leluasa bebas masuk ke dalam areal

tersuci Pura Petitenget?

D. DAMPAK DAN MAKNA PROFANISASI PEMANFAATAN PURAPETITENGET

1. Bagaimana kehidupan masyarakat sekitar Pura Petitenget dengan adanya

perkembangan pariwisata Bali?

2. Bagaimana penerimaan masyarakat setempat dengan adanya pemanfaatan

Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya?

3. Apa dampak yang ditimbulkan dengan adanya pemanfaatan Pura Petitenget

sebagai warisan budaya di daerah Petitenget?

4. Bagaimana pengaruh pariwisata terhadap pemanfaatan Pura Petitenget

sebagai objek wisata cagar budaya?

5. Makna apa yang didapatkan dari pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek

wisata cagar budaya?

6. Bagaimana pendapak Bapak/Ibu dengan adanya pemanfaatan Pura

Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya yang dikunjungi wisatawan?

Page 174: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

174

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Mangku Made Widra (L)Umur : 62 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Pemangku Pemucuk (Utama) Pura PetitengetAlamat : Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara

2. Nama : Ni Wayan Sumartini (P)Umur : 42 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Pemangku Pura PetitengetAlamat : Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara

3. Nama : I Putu Ngarta (L)Umur : 40 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Pemangku Pura PetitengetAlamat : Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara

4. Nama : Ni Ketut Netri (P)Umur : 40 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Pemangku Pura PetitengetAlamat : Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara

5. Nama : Made Badra (L)Umur : 70 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Pemangku Pura PetitengetAlamat : Br. Taman, Kerobokan Kelod, Kuta Utara

6. Nama : Wayan Sari (P)Umur : 70 tahunPekerjaan : Pemangku Pura PetitengetPendidikan : SMAAlamat : Br. Taman, Kerobokan Kelod, Kuta Utara

7. Nama : I Putu Parmana, S.STP. M.M. (L)Umur : 46 tahun

Page 175: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

175

Pendidikan : SarjanaPekerjaan : PNSAlamat : Br. Kerobokan, Kuta Utara

8. Nama : Ade Indriana, SE. (P)Umur : 46 tahunPendidikan : SarjanaPekerjaan : PNSAlamat : Jln. Gunung Andakasa Gang Walet 3 No. 2 Denpasar

9. Nama : I Wayan Janoka. (L)Umur : 48 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : PNSAlamat : Br. Anyar Kelod, Kerobokan, Kuta Utara

10. Nama : I Made Wistawan, SE. (L)Umur : 44 tahunPendidikan : SarjanaPekerjaan : Lurah Kerobokan Kelod, Kuta UtaraAlamat : Br. Taman Kerobokan Kelod, Kuta Utara

11. Nama : Ni Made Suranadi, S.Sos. (L)Umur : 51 tahunPendidikan : SarjanaPekerjaan : PNSAlamat : Br. Pemedilan, Denpasar

12. Nama : Ni Nyoman Rasmini (P)Umur : 48 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : PNSAlamat : Br. Padangsambian, Denpasar

13. Nama : Gusti Putu Sujata (L)Umur : 55 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : PNSAlamat : Br. Taman Kerobokan Kelod, Kuta Utara

Page 176: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan

176

14. Nama : Anak Agung Putu Sutarja (L)Umur : 45 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Bendesa Adat KerobokanAlamat : Br. Gadon Kerobokan Kelod, Kuta Utara

15. Nama : I Nyoman Sunarka (L)Umur : 40 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Kelian Adat Kerobokan KelodAlamat : Br. Taman Kerobokan Kelod, Kuta Utara

16. Nama : A.A. Ngurah Putra (L)Umur : 70 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : Ketua Panitia Pengelola Pura PetitengetAlamat : Br. Kerobokan – Seminyak, Kuta Utara

17. Nama : Odah Surya (P)Umur : 60 tahunPendidikan : SMAPekerjaan : PetaniAlamat : Br. Umalas, Kerobokan Kelod, Kuta Utara

18. Nama : I Made Adnyana Putra (L)Umur : 35 tahunPendidikan : DiplomaPekerjaan : WiraswastaAlamat : Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara

19. Nama : Made Gede Yasa (L)Umur : 35 tahunPendidikan : DiplomaPekerjaan : SwastaAlamat : Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara