bab i pendahuluan 1.1 latar belakang -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pertemuan AUSMIN (Australian, United State Minesterial Meeting) pada
2011, Amerika Serikat (AS) dan Australia telah menyepakati untuk melakukan
evolusi postur kerjasama militer baru. Hasil dari kesepakatan kedua negara yakni
pengiriman pasukan marinir dan peralatan militer AS untuk menempati Darwin,
Australia Utara. Proyek tersebut sudah dimulai pada 2012 dan akan berakhir pada
2017 mendatang dengan final kuantitas pasukan militer sebanyak 2.500.1 Pasukan
dan peralatan militer AS yang akan mengisi Darwin berskala besar dan kuat telah
terindikasi sebuah proses proyek Pembangunan Pangkalan Militer (PPM)2 AS di
Pasifik. Kembalinya AS meningkatkan kapasitas pertahanan (defence capacity) di
Asia Pasifik sebagai respon konstelasi yang terjadi di kawasan. Struktur kawasan
sebelumnya dibentuk dengan peningkatan kapasitas pertahanan oleh beberapa
1 Presiden AS Barack Obama dan Perdana Menteri Australia Julia Gillard mengumumkan hasil
evolusi kerjasama militer kedua negara kepada dunia Internasional pada tahun 2011 bahwa pada
pertengahan 2012 PPM AS di Darwin akan dimulai. Pada Rabu 4 April 2012, AS telah memulai
mengirim sebanyak 200 pasukan ke Darwin. Baca, Budi Fernando Tumanggor, (Rabu, 4 April
2012 14:49 WIB), “AS Tempatkan Pasukan di Australia, China dan Indonesia Meradang”. Dala
m, “jaringnews.com/internasional/umum/12880/as-tempatkan-pasukan-di-australia-china-dan-
indonesia-meradang”, (Diakses pada 9 Januari 2014). Baca juga, Lihat, Russia Today, 2012,
“2500 US Marines in Darwin ‘Not a Military Base’”. Dalama, http://rt.com/news/usaaustralia-
darwin-china-185/. (Diakses pada 9 Januari 2014) 2Untuk selanjutnya Pembangunan Pangkalan Militer menggunakan singkatan yakni PPM.
2
negara sebagai akibat dari pertumbuhan ekonomi serta agresifitas3 dan perluasan
pengaruh China di kawasan.
Skala prioritas dari rasionalitas AS meningkatkan kapasitas pertahanannya
di Asia Pasifik melalui penempatan pasukan dan peralatan militernya di Darwin
adalah agresifitas dan semakin besarnya pengaruh China di kawasan. Artinya, AS
bertujuan menyeimbangi kekuatan dan pengaruh China di kawasan demi
terciptanya melahirkan dan menjaga kesimbangan dalam struktur sistem regional.4
Evolusi kerjasama militer AS dan Australia yang bertujuan melakukan
penyeimbangan kekuatan (Balance of Power) dengan China atas nama
perdamaian dan stabilitas yang berkelanjutan di regional, akan tetapi melahirkan
implikasi lain yakni sumber ancaman baru (source of new threat) terhadap
beberapa negara di Pasifik. Kehadiran AS di Darwin adalah sebuah ancaman
militer yang beskala besar dan kuat telah melahirkan respon yang berbeda-beda
dari beberapa negara kawasan yaitu respon positif, respon negatif dan respon
ambivalen (peluang dan tantangan). Misalnya, Filipina representasi respon positif,
China representasi respon negatif dan Indonesia representasi ambivalen.5
Dalam konteks penelitian ini, salah satu negara yang diasumsikan mendapat
sumber acaman dari PPM AS di Darwin adalah Republik Demokratik Timor
3 Agresifitas China dapat dilihat dari prilakunya di Laut China Selatan dengan empat negara
ASEAN (Filipina, Malaysia, Brunai Darussalam dan Vietnam) beserta Taiwan, sedangkan di
Laut China Timor yakni China versus Jepang. 4Baca, White Defence Australian, 2013, p. 7. 5 Baca, Rina Oktavia, Respon China,Indonesia dan Filipina Terhadap Keberadaan Pangkalan
Militer Amerika Serikat di Darwin, Australia Tahun 2011 2012. Dalam, “journal.unair.ac.id/artic
le_4696_media131_category131.html”. (Diakses pada 30 April 2014)
3
Leste (RDTL)6. Timor Leste ialah negara muda di Asia Pasifik dan masuk ke
dalam kategorisasi negara kecil (small states). Timor Leste baru merdeka dan
berdaulat penuh baik secara de facto maupun de jure pada 20 Mei 2002 dari PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa). Timor Leste tergolong negara termuda di Asia
Pasifik yang baru berumur lebih dari 12 tahun., terhitung dari 20 Mei 2002 sampai
2014 sekarang ini. Sebagai negara muda, Timor Leste dihadapkan pada dinamika
yang seringkali dialami oleh setiap negara. Pada2006 telah terjadi konflik internal
yang berdampak sistemik pada stabilitas ekonomi, kemiskinan, pengangguran dan
telah sampai pada penembakan Ramos Horta dan Xanana Gusmao yang dilakukan
oleh Mayor Alfredo pada 2008. Konflik internal yang terjadi pada 2006-2008
mengundang intervensi asing untuk membantu menstabilkan keamanan nasional
Timor Leste. Selain itu, Timor Leste sampai saat ini masih sangat membutuhkan
bantuan luar negeri (states, Organization Internasional and Non-Goverment
Organization) untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan dalam negeri di
berbagai sektor.
Problematika yang dihadapi Timor Leste memperkuat dirinya masuk ke
dalam kelas negara-negara kecil (class of small states). Negara dapat dikatakan
sebagai small state, setidaknya memenuhi empat syarat yakni luas territorial
kedaulatan, jumlah penduduk, kapasitas produksi serta kapasitas dan kemampuan
6 Republik Demokratik Timor Leste sebelum mendapat pengakuan dari United Nation atau masih
masuk bagian dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) di kenal dengan istilah Timor
Timur. Timor Leste menjadi istilah familiar saat ini, artinya jika menyebutkan Republik
Demokratik Timor Leste, seringkali atau pada umumnya menggunakan istilah Timor Leste.
4
pertahanan.7 Keempat aspek tersebut juga diyakini Hans J. Margenthau seorang
pemikir realis klasik sebagai bagian penentu sumber kekuatan nasional (source of
national power) masih jauh dimiliki dan dikuasai Timor Leste. Artinya, luas
wilayah Timor Leste terbatas dan letak geografis Timor Leste di kawasan Asia
Pasifik strategis dalam menopang jalur pelayaran internasional serta memiliki
sumber daya alam minyak dan gas melimpah belum dimaksimalkan sebagaimana
mestinya. Sedangkan jumlah penduduk sedikit, rendahnya kapasitas produksi
serta kapasitas dan kemampuan militer yang dimilikinya masih kecil dan lemah.
Beberapa sumber kekuatan nasional sebuah negara, masih jauh di bawah rata-rata
yang dimiliki Timor Leste dibandingkan sebagian besar negara di Asia Pasifik.
Kondisi Timor Leste sebagai negara muda yang rentan akan konflik internal
dan intervensi asing, tidak mengherankan lagi ketika bermunculan pertanyaan
tentang sebuah kemandirian dan kapabilitas negara. Mandiri dan mampu menjaga
stabilitas keamanan dalam negeri dan terhindar dari ancaman luar (securityan
deffence) serta memenuhi kebutuhan primer dan sekunder bagi masyarakatnya.
Problematika dan kondisi Timor Leste menjadi variabel kuat bahwa keberadaan
PPM AS di Darwin dengan skala kapasitas kekuatan yang besar menjadi sumber
ancaman terbesar pula terhadap kedaulatan dan independensi politik Timor Leste.
Ditinjau dari aspek kapasitas kekuatan, AS memiliki kapasitas kekuatan super
power dunia yang belum tertandingi sampai saat ini. Sedangkan dari tinjauan
aspek geografis, Timor Leste merupakan negara Asia Pasifik yang secara
7 Lihat, Bilverr Singh, 1999, The Vulnerability of Small State Revisited: A Study Of Singapore’s
Post-Cold War Foreign Policy, Yogyakarta: UGM, Hal., 1-2.
5
geografis paling dekat dengan Darwin. Jarak antara Darwin dan Timor Leste
hanya berjarak < 500 mil.8 Kekuatan yang berskala besar (aggregate power) serta
jarak yang begitu dekat (geographic proximity) secara otomatis akan melahirkan
asumsi ekstrim bahwa keberadaan AS di Darwin, menjadi sumber ancaman
terbesar bagi national security Timur Leste. Apalagi Australia sebagai tempat
PPM AS mengalami perselisihan panjang dengan Timor Leste di Timor Gap.
Selain itu, pengaruh China di Timor Leste sangat kuat, sedangkan keberadaan
China sendiri yang semakin kuat di kawasan merupakan salah satu kausal
terpenting AS kembali memperkuat kekuatan di Asia Pasifik.
Oleh karena itu, keberadaan kekuatan militer AS di Darwin perlu direspon
oleh Timor Leste. Respon sebuah negara ketika dihadapkan pada sebuah sumber
ancaman dalam pemikiran Stephen M. Waltz tentang konsepsi Balance of Threat,
negara cenderung memilih jika bukan balancing maka bandwagoning. Dalam
konteks ini, apakah Timor Leste memilih balancing yang artinya Timor Leste
akan beraliansi dengan kekuatan besar lainnya di kawasan Asia Pasifik yakni
China untuk melawan sumber ancaman, atau Timor Leste memilih bandwagoning
yang artinya Timor Leste akan beraliansi dengan sumber ancaman. Akan tetapi
ketika melihat relasi Timor Leste terhadap dua kekuatan di Asia Pasifik yang
saling kontradiktif, Timor Leste memilih bekerjasama dengan dua kekuatan
tersebut.
8 Baca, Dyah Estu K, 2012, “Problem dan Prospek Hubungan Indonesia-Australia (Pasca
Referendum Timor Timur”, Yogyakarta: Leutikaprio, p. 52.
6
Dalam rangka memperjelas pilihan Timor Leste maka perlu melakukan
analisis mendalam tentang posisi Timor Leste di antara dua kekuatan terbesar
yang saling bertolak belakang di kawasan Asia Pasifik. Untuk itu, memperjelas
intensitas hubungan Timor Leste dengan sumber ancaman (AS-Australia) dan
Timor Leste dengan rival sumber ancaman (China) sangat signifikan. Hal tersebut
dilakukan guna memaksimalkan mengetahui dan memahami posisi Timor Leste
sebagai small state dalam mempertegas respon Timor Leste terhadap PPM AS di
Darwin.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas melahirkan sebuah rumusan masalah
yang menjadi instrumen pencarian rasionalitas relevansi fenomena yang diangkat
peneliti, yaitu Bagaimana Respon Timor Leste Sebagai Small State Terhadap
Pembangunan Pangkalan Militer AS Di Darwin?
1.3 Tujuan Penelitian
Manifestasi dari makna redaksional di rumusan masalah menjadi tujuan
penelitian, yang mana tujuannya adalah untuk mengetahui respon small state
terhadap sumber ancaman great powers dengan mengambil kasus respon Timor
Leste terhadap PPM AS di Darwin yang secara geografis merupakan negara Asia
Pasifik paling dekat dengan Darwin (geographic proximity).
1.4 Mamfaat Penelitian
1.4.1 Mamfaat Teoritis
Out Put penelitian ini yaitu nantinya dapat bermampaat bagi para akademisi
dan ilmuwan Ilmu Hubungan Internasional dalam mengamati dan menjelaskan
7
perilaku small state ketika dibenturkan dengan sumber ancaman besar (Source of
Great Threat) dari eksternal.
1.4.2 Mamfaat Praktis
Hadirnya hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi refleksi bagi
decision maker sebuah negara untuk menentukan prilaku dalam sistem
internasional demi memenuhi national security semaksimal mungkin.
1.5 Kerangka Penelitian
1.5.1 Penelitian Terdahulu
Berdasarkan pengetahuan peneliti terkait dengan fenomena yang diteliti
dan didalami dalam tulisan ini, sampai saat ini belum ada satupun ilmuawan atau
akademisi ilmu Hubungan Internasional meneliti apalagi melahirkan tulisan
tentang penomena yang akan diteliti. Hal tersebut menjadi motivasi tersendiri bagi
peneliti menghasilkan tulisan baru yang ilmiah. Dalam rangka membawa dan
memudahkan peneliti untuk melakukan penelitian, maka perlu sebuah tulisan
yang muatan model, sifat dan/ atau bentuk-nya mendekati fenomena yang
diangkat dalam tulisan ini sebagai penelitian terdahulu. Terdapat tiga tulisan yang
dianggap peneliti relevan sebagai penelitian terdahulu, diantaranya:
Pertama, tulisan dari Rina Oktavia yang berjudul “Respon China,
Indonesia dan Filipina Terhadap Keberadaan Pangkalan Militer Amerika Serikat
di Darwin, Australia Tahun 2011-2012”.9 Tulisan ini menyoroti respon tiga
negara kawasan Asia-Pasifik terhadap keberadaan pangkalan militer Amerika
9Baca, Rina Oktavia, Respon China,Indonesia dan Filipina Terhadap Keberadaan Pangkalan
Militer Amerika Serikat di Darwin, Australia Tahun 2011-2012. Dalam,
“journal.unair.ac.id/article_4696_media131_category131.html”. (Diakses pada 30 April 2014)
8
Serikat di Darwin-Australia. Ketiga negara tersebut adalah China, Indonesia dan
Filipina. Rina Oktavia menjadikan tiga negara tersebut untuk mewakili kategori
respon negara-negara kawasan asia-pasifik atas hadirnya pangkalan militer
Amerika Serikat di Darwin. China secara geografis berada di kawasan Asia
Pasifik, sedangkan Indonesia dan Filipina berada di kawasan Asia Tenggara.
Ketiga negara menurut hasil analisis penelitian Rina Oktavia merespon pangkalan
militer di Darwin dengan respon yang berbeda-beda. Rina Oktavia membagi
ketiga macam kategori respon atas agenda pembangunan pangkalan dan kehadiran
militer Amerika Serikat di Darwin diantaranya: mendukung, ambivalen dan
menentang.
Pertama: mendukung10, dimana Filipina merespon baik atas pembangunan
pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin. Dibuktikan dengan sambutan baik
Sekretaris Komunikasi Filipina Ricky Carandang dalam menanggapi berita bahwa
Amerika Serikat akan menempatkan 2.500 personil militer di Australia, Northern
Territory selama bertahun-tahun mendatang. Kedua: ambivalen11, negara yang
berada pada posisi merespon dengan model ambivalen adalah Indonesia.
Keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin ada dua kemungkinan
bagi Indonesia yaitu menguntungkan dan merugikan kepentingan negaranya. Oleh
karena itu, Indonesia merespon dengan tidak mendukung dan tidak menolak.
Respon dengan model ambivalen cenderung berubah-ubah sesuai dengan kondisi
10Satu reaksi yang muncul dimana suatu negara merasa diuntungkan. 11Reaksi suatu negara yang tidak berada dalam golongan pro dan kontra melainkan lebih
menyikapi suatu fenomena.
9
menurut kepentigan nasional bagi negaranya. Ketiga: menentang12, China adalah
negara yang merasa dirugikan atas pembangunan pangkalan Amerika Serikat di
Darwin. China merasa bahwa program Amerika Serikat di Darwin sebagai bentuk
penyeimbang atau menghalangi pengaruh China di kawasan. Respon China dapat
diketahui dari statemen Kementerian Pertahanan China dalam mengomentari
keputusan Amerika Serikat tersebut, sebagai bukti masih adanya mentalitas
Perang Dingin di pihak Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, yang bisa
menggerus rasa saling percaya di antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik.
Rina Oktavia menggunakan beberapa konsep sebagai pisau analisis dalam
menganalisis respon tiga negara terhadapa kehadiran pangkalan militer Amerika
Serikat di Darwin. Konsep yang dia gunakan terdiri dari empat konsep
diantaranya: bilateral, kepentingan nasional, politik luar negeri, dan budaya politik
dan pengaruhnya terhadap politik luar negeri. Penjelasan di atas menjadi
gambaran seperti apa tulisan dari Rina Oktavia terkait respon ketiga negara di
kawasan Asia-Pasifik terhadap pembangunan pangkalan militer Amerika Serikat
di Darwin.
Kedua, karya dari Rahmah Nazhafah dengan judul “Strategi Militer
Amerika Serikat dalam Membendung Pengaruh Republik Rakyat China di Asia
Pasifik”. Dalam tulisan ini mendeskripsikan kemajuan yang dicapai oleh China
sampai saat ini terutama dalam hal kapasitas militer dan perluasan ekspansinya di
kawasan Asia Pasifik. Prilaku China di kawasan dan langkah-langkah yang di
tempuhnya telah menjadi kausal Amerika Serikat khawatir dan takut terhadap
12Satu reaksi yang muncul dimana suatu negara tidak merasa diuntungkan.
10
kebangkitan China. Oleh karena itu, mau tidak mau Amerika dalam rangka
mempertahankan power dan menjaga national security-nya di kawasan Asia Pasifik,
Amerika terdorong kembali memperkuat dan mengambil langkah konkrit dalam hal
menambahan kapasitas militernya di Asia Pasifik dengan cara pembaharuan strategi
militer untuk membendung ekspansi China.
Langkah yang di ambilnya adalah melakukan evolusi kerjasama militer antara
AS dan Australia dengan menempatkan pasukan marinir sebesar 2500 dan
penempatan peralatan militernya dari 2012 sampai 2017 di Darwin. Secara intrinsik
dalam tulisan tersebut, respon yang dilancarkan China bersifat negatif. Dua hari
setelah pengumuman penempatan pasukan marinir dan peralatan AS di Darwin,
China langsung meresponnya dengan melakukan latihan mengumumkan akan segera
melakukan latihan militer di Pasifik Barat. Selain itu, China akan meluncurkan patroli
bersama dengan Laos, Myanmar dan Thailand di Sungai Mekong untuk
mengembalikan pelayaran dan jaminan keamanan di sungai itu. Sedangkan landasan
konsep yang digunakan dalam tulisan tersebut adalah kebijakan luar negeri,
strategi militer dan regional security complex.
Ketiga, tulisan yang berasal dari Mohamad Rosyidin dengan judul “Politik
Luar Negeri sebagai Konstruksi Sosial: Sikap Indonesia terhadap Kebijakan
Penempatan Pasukan Marinir Amerika di Darwin”.13 Mohamad Rosyidin dalam
tulisannya mengungkap bagaimana respon Indonesia terhadap pembangunan
pangkalan Amerika Serikat di Darwin. Dia membagi dua respon sebagai hasil
13Penulis tulisan ini menempuh Program Studi S2 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gajah
Mada. Tulisan ini dimuat di website Jurnal Unair dan dapat diakses dengan link
“journal.unair.ac.id/article_5570_media89_category.html”. (Di akses pada 30 April 2014, Pkl.
22.36 WIB)
11
klasifikasi dua golongan yang berbeda pendapat di Indonesia. Kelompok eksekutif
yang tidak sama responnya dengan non eksekutif yang berasal dari legislatif.
Kelompok eksekutif menganggap bahwa pembangunan pangkalan militer
Amerika Serikat di Darwin, bukanlah sebuah ancaman tetapi malah
menguntungkan bagi kepentingan nasional Indonesia. Sedangkan kelompok non-
eksekutif yang berasal dari legislatif merespon dengan cara berbeda dengan
pemerintah. Legislatif merespon keberadaan pangkalan Amerika Serikat tersebut
mengancam keamanan Indonesia, khususnya ancaman terhadap PT. Freeport di
Papua.
Mohamad Rosyidin dalam melihat respon berbeda dari internal Indonesia,
anatara pemerintah dan non pemerintah terhadap keberadaan pangkalan militer
Amerika Serikat di Darwin. Respon yang berbeda itu dianggap oleh Rosyidin, dua
teori mainstream HI kurang bahkan tidak relevan, terutama realis dalam
menjelaskan respon yang berbeda dari internal Indonesia. Perspektif konstruktivis
salah satu teori mainstream ilmu hubungan internasional sangat relevan dalam
menjelaskan respon yang berbeda dari Indonesia terhadap pembangunan
pangkalan militer Amerika Serikat di Darwin. Dalam tulisan dia mengatakan
bahwa, “Perspektif konstruktivis melihat ancaman tidak bersifat obyektif,
melainkan subyektif yakni berada dalam pikiran aktor. Mengancam atau tidak itu
bukan ditentukan oleh realitas material di luar sana, tetapi oleh pemaknaan aktor
terhadap realitas tersebut. Konstruktivis melihat bahwa faktor-faktor sosial
seperti identitas berperan penting dalam membentuk pemaknaan aktor terhadap
lingkungannya”.
12
Dari ketiga tulisan di atas mengantarkan peneliti bahwa fenomena yang
akan diteliti, relevan untuk diteliti dan didalami. Jadi, perbedaan tulisan dari Rina
Oktavia, Rahmah Nazhafah dan Muhammd Rosyidin dengan tulisan yang akan di
buat ini terletak pada state, respon dan landasan teoritis/ konseptual serta menguji
relevansi sebuah teori. Dalam tulisan ini, fokus pada small state yaitu Timor Leste
sebagai negara termuda di kawasan Asia Pasifik, sebuah negara yang paling dekat
dengan sumber ancaman dan juga dijadikan tempat perebutan pengaruh oleh dua
kekuatan terbesar di regional. Dalam tulisan ini menggunakan teori Balance of
Threat dan small state, yang mana tujuan penelitian ini dengan mengetahui
prilaku Timor Leste sebagai small state dimaksudkan untuk menggoyang
pemikiran Stephen M. Walt yaitu Balance of Threat yang hanya menawarkan dua
pilihan sebuah negara ketika dihadapkan pada sumber ancaman, jika bukan
balancing maka bandwagoning.
1.5.2 Landasan Konseptual
1.5.2.1 Balance Of Threat
Reformulasi teori dan konsep terus dilahirkan para tokoh realis dari generasi
ke generasi guna menjawab tantangan dinamisasi dunia internasional dan sebagai
manifestasi dialektika kotenstasi pemikiran. Pengembangan konsep yang menarik
dari paradigma realis yaitu munculnya perbedaan pemikiran antara kelompok
deffensive dan offensive – “security”.14 Sampai saat ini, isu keamanan masih tetap
menjadi grand issue diantara dua perdebatan dalam paradigma realis. Ancaman
14Baca, Liu Feng dan Zhang Ruizhuang, “Tipologi Realisme”. Dalam buku, 2009, “Realisme Teori
Hubungan Internasional”, Yogyakarta: Graha Ilmu, p. 32-37.
13
dari dalam dan dari luar (internastional system) menjadi perhatian setiap negara.
Dimana keamanan adalah harga mati untuk dicari, ditingkatkan dan dijaga oleh
sebuah negara. Salah satu pemikiran dasar paradigma relais yaitu sistem
internasional yang tidak lepas dari kondisi anarchy.15
Mengkaji tentang keamanan suatu negara, sumber ancaman dari luar yang
lahir dari persespsi negara akan terus menarik dalam disiplin Ilmu Hubungan
Internasional. Menurut Arnold Wolfers bahwa, “Security is any objective sense,
measure the absence of threats to acquire values, in a subjective sense, the
absence of fear that such values will be attacked.”16 Pemikiran Wolfer tersebut
menganjurkan bahwa sebelum suatu negara melancarkan tindakan balasan atau
respon, sangatlah penting melakukan analisis lebih mendalam tentang ukuran atau
besarnya sumber ancaman yang akan mengancam keamanan negara.
Teori Balance of Threat bagian dari varian paradigma realis dapat
digunakan dalam menjelaskan konstelasi sistem internasional, dalam hal ini
Source of Threat dari kondisi eksternal sebuah negara. Balance Of Threat
dirumuskan oleh Stephen M. Walt sebagai hasil reformulasi konsepsi Balance Of
Power dari Kenneth N. Waltz.17 Aliansi menjadi inti dari teori Balance Of Threat,
yang mana aliansi didefiniskan sebagai hubungan formal atau informal dari
15Baca, Richard W. Mansbach dan Kirsten L. Rafferty, 2012, ”Pengantar Politik Global”,
Bandung: Nusamedia, p. 301-304. Baca juga lebih lanjut, Morgenthau, “Politik Antar Bangsa”. 16Baca, Anak Angung Bayu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, 2005, “Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional”, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, p. 121. 17Baca, Stephen M. Walt, The Origin of Alliance”, p. 17-21, 27-32. Copyright @ 1987 by Cornell
University Press. Used by permission of the publisher. Portions of the text and some footnotes
have been omitted. Dalam, Robert J. Art dan Robert Jervis, 2007, Ínternational Politics:
Enduring Concept and Contemporary Issues, New York:Pearson Longman, p. 96-102. Baca
juga, Stephen M. Walt, “Alliance Formation and The Balance Of World Power”, Internasional
Security, Vol. 9, No. 4 (Spring, 1985), 3-34.
14
kerjasama keamanan antara dua atau beberapa negara dengan tingkat komitmen
dan saling menguntungkan antara negara yang melakukan kerjasama.
Aliansi dalam konteks ini dapat berbentuk Balancing dan Bandwagoning.
Ketika negara yang terancam merespon dengan cara mengimbangi ancaman yang
ada atau membalas dengan modal kekuatan sendiri disebut sebagai Balancing.
Sedangkan bandwagoning yaitu negara yang merasa terancam akan cenderung
memamfaatkan peluang dengan cara mengikuti atau beraliansi dengan sumber
anacaman. Sumber ancaman dapat di bagi menjadi dua kategori yaitu mengancam
sehingga negara bersifat reaksionis ataukah mengancam tetapi ancaman itu
dijadikan peluang untuk memenuhi kepentingan nasional.
Stephen M. Walt, dalam teorinya Balancing Of Threat telah membagi empat
persepsi atau sumber-sumber ancaman terhadap suatu negara antara lain:
Aggregate Power, dimana semakin besar sumber kemampuan total suatu negara,
maka semakin besar pula potensi ancaman yang mereka tunjukkan kepada negara
lain.18 Geographic proximity yang artinya kekuatan yang dekat dengan wilayah
suatu negara menunjukkan ancaman yang lebih besar dari pada kekuatan yang
jauh. Offensive power, maksudnya adalah negara dengan kemampuan serangan
yang besar lebih memungkinkan untuk menunjukkan ancaman yang lebih besar
pula dari pada negara-negara yang menekankan kemampuan pertahanan.
Aggresive Intentions, dimana beberapa negara yang dirasakan berperilaku agresif
18Ukuran ini didasarkan pada logika sederhana realism yaitu dalam hal ini kemampuan militer
suatu Negara.
15
mungkin bisa memancing negara lain untuk menyeimbangkan kekuatan dengan
mereka.19
Stephent M. Waltz dalam menguji dua konsep dari bagian Balance Of
Threat menggunakan Timur Tengah sebagai objek penelitian pada tahun 1955 dan
1979. Hasil dari penelitiannya yaitu balancing lebih umum dibandingkan dengan
bandwagoning dalam menciptakan kestabilan di kawasan Timor Tengah. Variabel
pendukung yang disimpulkan Waltz ketika aliansi terjadi dapat dilihat dari aspek
persamaan ideologi dan dukungan negara (bantuan ekonomi dan militer) menjadi
indikator meningkatkan komitmen untuk beraliansi. Selain Timor Tengah, perang
dingin juga menjadi penguat bahwa balancing lebih menjanjikan menjaga
stabilitas sistem internasional dan keamnan sebuah negara dibandingkan
bandwagoning.
Balance of Threat dari Walt menjadi refleksi lahirnya sebuah pertanyaan,
apakah hanya terdapat dua pilihan bagi sebuah negara khususnya small state
ketika dihadapkan sumber ancaman besar dari luar. Ataukah dengan mengamati
kompleksitas sistem internasional saat ini, ketika terdapat sumber ancaman besar
bagi sebuah negara terdapat pilihan lain. Pilihan lain itu yakni dapat lebih
menguntungkan bagi negara yang terancam dan lebih menjaga stabilitas sistem
internasional dibandingkan memilih salah satu dari dua konsep teori Balance Of
Threat.
19Baca, Ya’qub Farid, 2012, Respon Rusia Terhadap Rencana Penempatan Pertahanan AS di
Cheko dan Polandia, Malang: HI UMM, p. 10
16
1.5.2.2. Small State
Dinamisasi perkembangan dan kemajuan dunia internasional sampai
sekarang telah mengisahkan tiga kategori bentuk negara jika dilihat dalam power
(tangible dan intangible). Ketiga kategori tersebut, diantaranya: (1) Negara besar
(Great State); (3) Negara Sedang (Middle State) (2) Negara kecil (Small State).
Dalam konteks ini, small state menjadi spesialisasi dan akan dideskripsikan.
Penemuan konseptualisasi small state mengalami perkembangan dari tahun ke
tahun, yang artinya bagaimana memaknai sebuah negara sehingga dikatakan
sebagai small state. Dalam pengkategorisasian sebuah negara sebagai small state
dalam dunia internasional, syarat-syarat pengklasifikasian sangat diperlukan dan
dipenuhi negara terkait sehingga dikatakan sebagai the class of small states.
Pada 1970-an, terdapat perkembangan literatur pada konseptualisasi
small state walaupun perkembangan negara kecil memberikan dorongan dengan
tawaran adanya politik baru setelah perang dunia dua. Pertanyaan utama dalam
diskursus akademik adalah apa itu negara kecil?. Dalam mendeskripsikan negara
kecil tidak hanya membutuhkan satu faktor untuk mendapatkan penjelasan yang
akurat. Oleh karena itu, kategorisasi negara sebagai negara kecil dapat ditinjau
dari keterbatasan wilayah teritorial, sedikitnya jumlah penduduk, Kapasitas
produksi kecil sebagai keterangan dari Gross National Product (GNP), kapasitas
dan kemampuan militer kecil.20
20Lihat, Bilverr Singh, 1999, The Vulnerability of Small State Revisited: A Study Of Singapore’s
Post-Cold War Foreign Policy, Yogyakarta: UGM, Hal., 1-2.
17
Beberapa poin syarat pengkategorisasian negara sebagai small state di atas
memberikan gambaran secara utuh bahwa negara-negara di dunia pastinya masih
ada yang memenuhi semua poin yang dimaksud. Syarat-syarat tersebut yang
diyakini berpengaruh besar pada prilaku atau pola yang dibangun sebuah negara
kecil dalam konstelasi sistem internasional dan pemenuhan kebutuhan domestik.
Kedua, negara yang dianggap sebagai negara kecil juga mempengaruhi seperti apa
perilaku negara besar terhadapnya. Oleh karena itu, perlu kiranya mengetahui
seperti apa prilaku small state ketika dibenturkan pada sumber ancaman dan disisi
lain kepentingan dan/ atau kebutuhan pada waktu yang sama.
Dalam konteks ini, Timor Leste telah memenuhi syarat-syarat sebagai
sebagai small state menjadi objek penelitian dan melihat prilaku dan respon small
state ketika dihadapkan pada sumber ancaman. Timor Leste sebagai small state,
seperti apa prilakunya dalam dunia internasional dalam merespon pembangunan
pangkalan militer AS di Darwin. Hal tersebut relevan menjadi objek penelitian
dalam melihat dan menjelaskan prilaku ataukah respon sebuah negara kecil ketika
dihadapkan pada ancaman besar dari eksternal. Hal tersebut menjadi instrumen
untuk membuktikan, apakah hanya balancing ataukah bandwagoning menjadi
pilihan bagi negara yang mendapat ancaman dari luar.
Berdasarkan Source Of Threat Stephen M. Waltz, dapat dibuat pola dengan
menghubungkan PPM AS di Darwin Sebagai Sumber ancaman bagi Timor Leste
sebagai small state, sebagai berikut:
18
Gambar 1.1. Operasionalisasi Source Of Threat Stephen M. Walt
Ancaman militer dan upaya penangkalan melalui penggunaan kapabilitas
militer masih menjadi prioritas dalam kerangka pemikiran kajian keamanan
kontemporer. Source of Threat di atas menunjukkan bahwa kapabilitas militer
merupakan suatu variabel yang vital menjadi ancaman bagi negara lain. Dalam
konteks ini, kehadiran pasukan dan peralatan militer AS di Darwin dengan skala
kekuatan besar (Aggreagat Power) menjadi sumber ancaman besar bagi Timor
Leste sebagai small state. Apalagi di tinjau dari aspek geografis Timor Leste
negara Asia Pasifik yang paling dekat dengan PPM AS di Darwin (Geographic
Proximity). Selain itu, kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki Timor Leste lemah
karena dipengaruhi oleh terbatasnya luas teritorial, sedikitnya jumlah penduduk,
kecilnya kapasitas produksi dan kapasitas dan kemampuan militer masih kecil.
Sebagian kondisi yang dihadapi Timor Leste karena Timor Leste adalah negara
muda atau negara termuda di kawasan dan rentan akan konflik.
Indikator Pembangunan
Pangkalan Militer AS di Darwin
Aggregate Power
Geographic Proximity
Source of Threat Offensive Power
Aggresive Power
Source Of Threat terhadap
Timor Leste (Small State)
19
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Tingkat Analisis
Pada dasarnya penelitian ini dilakukakan oleh peneliti untuk mengetahui
bagaimana behavior Timor Leste sebagai small state di kawasan Asia-Pasifik atas
Pembangunan Pangkalan Militer Amerika Serikat di Darwin, Australia Utara.
Dalam penelitian ini penulis telah menyederhanakan permasalahan kedalam tiga
variabel demi mempermudah melakukan penelitian, yaitu variabel dependen dan
variabel independen dan kedua variabel tersebut didukung oleh intervening
variabel (variabel perantara). Variabel dependen atau unit analisis dalam
penelitian ini adalah respon Timor Leste sebagai state. Sedangkan variabel
Independen atau unit eksplanasinya adalah pembangunan pangkalan militer
Amerika Serikat di Darwin (Australia Utara) sebagai system21.
Menurut Mohtar Mas’oed, jika sebuah penelitian memiliki unit analisis
berupa nation – state dan unit eksplanasinya adalah system, atau unit
eksplanasinya lebih besar daripada unit analisanya merupakan pendekatan
induksionis. Sesuai dengan penomena yang diangkat yaitu Timor Leste sebagai
state dan Pembangunan Pangkalan Militer AS sebagai system, maka penelitian ini
menggunakan level analisa induksionis.22 Selain itu, Intervening variabel
(variabel perantara) digunakan dalam penelitian ini guna mendukung dua variabel
di atas, yang bertujuan mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian.
21Unit eksplanasi dalam penelitian ini dikatakan sebagai sistem karena AS berada di luar kawasan
Pasifik yang telah menempatkan kekuatan militernya di Pasifik melalui Darwin, yang secara
otomatis mempengaruhi struktur sistem kawasan Asia-Pasifik. 22Lihat, Mohtar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi”, Jakarta:
LP3ES, p. 80.
20
Variabel perantaranya adalah rivalitas China dan Amerika Serikat dalam
kontestasi memperebutkan pengaruh di kawasan Asia Pasifik dan dalam konteks
penelitian ini yaitu fokus pada perebutan pengaruh di Timor Leste.
1.6.2 Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini adalah deduktif (umum ke khusus).Penelitian yang
bersifat deduktif berarti penelitian dimulai dari pengetahuan yang sifatnya umum
ke dalam bentuk khusus. Jadi, sesuai dengan pendekatan deduktif maka penulis
mengumpulkan sebanyak-banyaknya data dan menganalisanya. Penegasan dari
cara berfikir deduktif yaitu memungkinkan untuk menyatukan proposisi-proposisi
dan menguji teori, juga memungkinkan seorang teoritis untuk bekerja tanpa harus
berkaitan langsung terus menerus dengan data.23
Mohtar Mas’oed menjelaskan bahwa tujuan akhir sains adalah deskripsi,
eksplanasi, dan prediksi, semisal ilmuwan politik berusaha mencandra,
menjelaskan, dan meramalkan berbagai fenomena. Dalam penelitian ini
menggunakan jenis penelitian yaitu “deksriptif-analitis”.24 Maka penelitian ini
memiliki tujuan untuk medeksripsikan penomena yang diangkat dan
menganalisanya. Untuk itu dalam konteks penelitian ini, penomena yang akan
dijelaskan adalah Pembangunan Pangkalan Militer Amerika Serikat di Darwin dan
kemudian menganalisis prilaku Timor Leste sebagai small state yang akan
membentuk respon atau sikapnya terhadap Pangkalan Militer AS di Darwin yang
teridentifikasi sebagai Source of Threat bagi national security Timor Leste.
23Baca, Nur Cholis, 2010, Kepentingan Rusia Dalam Melakukan Kerjasama Pertahanan Dengan
Iran, Malang, Hal.14 . Dalam Skripsi Mahasiswa Hubugan Internasional UMM. 24Baca, Op.Cit.,p. 68.
21
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
Peneletian sederhana ini bersifat studi pustaka yang mana data yang
diperoleh dari penelitian ini yaitu bersumber dari referensi sekunder. Referensi
yang dimaksud ialah referensi baik yang sudah dikelola oleh orang lain dalam
bentuk dokumen baik tulis maupun verbal publikasi dan melakukan interview
dengan sumber informasi yang terkait. Data jenis ini di antaranya adalah surat
kabar, jurnal, buku, artikel yang bersumber dari internet serta dari Kementrian
Pertahanan Indonesia. Sumber-sumber terebut menjadi referensi penulisan
penelitian ini dan kemudian mengolahnya kembali untuk menghasilkan karya
ilmiah baru.
1.6.4 Teknik Analisa Data
Penulis dalam penelitian ini melakukan teknik analisa sebanyak tiga
tahap.Petama, pemeriksaan yaitu penulis harus berusaha memeriksa setiap saat
apakah data-data yang diperlukan sudah lengkap atau belum. Jika terdapat
kekurangan data maka penulis akan berusaha melengkapi dan memperbaiki data
yang kurang. Kedua, pengolahan yaitu penulis harus disiplin dalam mengelolah
data dengan baik untuk menempatkan data pada tempatnya. Ketiga, analisa dan
interpretasi yaitu data yang sudah dikelolah dengan baik kemudian selanjutnya di
tapsirkan oleh peneliti.
1.6.5 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini penulis akan membatasi waktu penelitian yaitu mulai
dari tahun 2011 sampai 2014. Pada tahun 2011 Presiden Amerika Serikat Barack
Obama dan Perdana Menteri Australia Julia Gillard telah mengumumkan bahwa,
22
AS akan mengirim pasukan militernya ke Australia yang dimulai pada 2012
sampai 2017. Setelah itu, beberapa negara kawasan Asia-Pasifik merespon agenda
tersebut seperti China, Filipina dan Indonesia. Timor Leste menjadi spesialisasi
dalam penelitian ini tentang seperti apa prilaku atau respon Timor Leste terhadap
keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat yang diasumsikan sebagai
ancaman bagi stabilitas keamanan negaranya.
1.7 Hipotesa
Untuk mengetahui respon dan sikap Timor Leste sebagai small state
terhadap source of threat di Darwin maka yang urgent diamati dan dipahami yaitu
seperti apa sikap Timor Leste dalam menyikapi source of threat (Pangkalan
Militer AS di Darwin) dan rivalitas source of threat (China). Dalam penelitian ini
telah membuktikan Timor Leste telah bekerjasama kepada dua kekuatan yang
saling berlawanan yaitu baik ke AS maupun ke China. Oleh karena itu, prilaku
Timor Leste tersebut menandakan bahwa Timor Leste dalam merespon proyek
Pembangunan Pangkalan Militer AS di Darwin, lebih memilih mempererat
kerjasama dengan AS sebagai pemilik source of threat maupun dengan China
sebagai rival source of threat. Berarti pilihan Timor Leste yang berpegang
diantara dua superpower regional Asia-Pasifik melahirkan hipotesa dalam
penelitian ini yaitu Timor Leste lebih memilih bersikap oportunis.
1.8 Sistematika Penulisan
Dalam rangka mengetahui apakah argumen dasar yang dibangun benar-
benar terjadi maka diperlukan penilitian yang mendalam dengan membangun
kerangka berpikir dan kerangka sistematika penulisan demi kevalidan hasil
23
penelitian. Penelitian ini akan dibagi ke dalam empat bab, pembagian bab
disesuikan dengan urutan kerangka pemikiran yang membentuk keseluruhan dari
penilitan ini. Sederhananya, sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
Bab Judul Pembahsan
Bab I Pendahuluan Latar Belakang, Rumusan Permasalahan,
Tujuan Penelitian, Mamfaat Penelitian,
Landasan Konseptual, Metode Penelitian,
Sistematika Penulisan
Bab II Timor Leste Sebagai Small
State dan Pembangunan
Pangkalan Militer AS di
Darwin
- Memotret Timor Leste Sebagai Small
State
- Peta Kekuatan Politik-Militer di Asia
Pasifik.
- Pembangunan Pangkalan Militer AS di
Darwin
- Pangkalan Militer AS di Darwin sebagai
Source of Threat di Asia Pasifik
Bab III Respon Timor Leste Sebagai
Small State Terhadap
Pembangunan Pangkalan
Militer AS di Darwin
- Identifikasi Pangkalan Militer AS sebagai
source of threat bagi Timor Leste
Sebagai Small State
- Polemik di Timor Gap: Potensi
Keterlibatan AS
- Rivalitas AS Vesrus China di Timor Leste
24
- Oportunisme Timor Leste dalam
konsentris AS versus China
Bab IV Kesimpulan,Implikasi
Teoritik dan Saran