bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tertawa muncul secara alami pada manusia bahkan pada bayi yang baru
berusia beberapa bulan. Pemicu terjadinya tawa dapat disebabkan oleh berbagai
hal seperti ketika digelitiki, membaca kisah yang lucu, menonton komedi, ataupun
ketika mendengar suara yang menggelikan. Ihwal bagaimana cara kerja hal-hal
tersebut dapat mengundang tawa rupanya telah menjadi bahan penelitian bagi para
ahli yang menekuni bidang tersebut untuk menggalinya lebih jauh terutama pakar
linguistik, kognitif, psikologi dan lain sebagainya.
Aristoteles melalui Cameron (1993: 5) melihat tertawa sebagai sifat khas
kemanusiaan dan salah satu yang membedakan manusia dari hewan. Namun
seiring dengan perkembangan zaman, pendapat Aristoteles ini dibantah oleh ahli
seperti Steven Legare dari Universite De Montreal (nouvelles.umontreal.ca) yang
dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa tawa merupakan perilaku universal.
Disebut universal karena perilaku ini tidak hanya dilakukan oleh manusia, tetapi
juga hewan, misalnya kera. Legare juga menyebutkan bahwa tawa diasosiasikan
dengan perubahan kontraksi pada otot dan aktivasi otak. Fenomena inilah yang
membawa tawa menjadi sangat bermanfaat bagi tubuh manusia.
Jika diperhatikan, orang-orang yang menyukai humor terlihat lebih segar
daripada yang terlalu serius. Hal ini dikarenakan aktifitas tersebut dapat
meningkatkan jumlah endorphin, yaitu suatu unsur penghilang rasa sakit alami
dalam tubuh. Dr. Lee S. Berk dari Loma Linda University, California, USA
(Harsono,2010) menjelaskan bahwa tertawa membantu meningkatkan jumlah sel-
sel pembunuh alami (dikenal dengan sel NK, sejenis sel darah putih) serta
meningkatkan antibodi sehingga berperan besar dalam melawan infeksi, alergi
serta kanker. Hal ini agaknya sesuai dengan apa yang dipaparkan Martin
(2010:25) tentang kaitan humor dan kesehatan bagi manusia. Penelitian
psikoneuroimunologi menunjukkan humor berhubungan dengan emosi dan
imunitas seseorang sehingga banyak penyedia layanan kesehatan memanfaatkan
humor untuk mempercepat kesembuhan pasien yang ada di rumah sakit dengan
menyediakan ruangan komedi (comedy rooms) dan badut-badut untuk menghibur
pasien. Humor dianggap dapat menjadi sebuah metode percepatan dalam
pemulihan pada pasien yang menderita sakit kronis, kanker, dan penyakit lainnya
Selain memberi manfaat yang positif untuk tubuh, humor pun memiliki
peranan yang cukup penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Bergson and
Freud melalui Billig (2005:2) menyatakan bahwa kekonyolan berada dalam setiap
aspek kehidupan sosial sejalan dengan adat dan kebiasaan dalam komunitas sosial
mereka itu sendiri. Hal inilah yang membuat humor terus berkembang karena
humor mengikuti apa yang sedang terjadi dalam masyarakat. Berbagai hal dalam
ruang lingkup manusia dapat berpotensi untuk dijadikan bahan suatu kelucuan
seperti ketimpangan sosial, fenomena aneh, tren terbaru, sindiran politik dan lain
sebagainya. Humor dapat dijadikan sebagai media untuk menyampaikan pesan
yang baik karena sifatnya yang santai dan menghibur.
Sebagai sarana hiburan, humor telah banyak disajikan dalam berbagai
bentuk media seperti media audio (radio) dan media visual (kartun). Selain itu
humor juga dapat dituangkan dalam audio visual seperti dalam stand-up comedy.
Stand-up comedy sebagai salah satu produk humor yang marak diperbincangkan
oleh khalayak ramai dewasa ini dapat diartikan sebagai ‘komedi berdiri’ atau
‘komedi tunggal’. Stand-up comedy memiliki kekhasan yaitu membawakan materi
lawakannya di atas panggung seorang diri di depan penonton secara langsung.
Dilihat dari sejarahnya, stand-up comedy telah mencul dari abad ke 19 di
Amerika dan Eropa. Namun perkembangan secara signifikan terjadi di Amerika
pada pertengahan abad 19. Hal ini ditandai pada sekitar tahun 1970 banyak klub-
klub komedi dibuka. Komik pada era ini sering menggunakan lelucon mengenai
etnis seperti-Afrika, Skotlandia, Jerman, Yahudi dan membangun humor
berdasarkan stereotip populer. Di tahun 1980an kemajuan pesat terjadi, lebih dari
300 klub komedi bermunculan dan acara stand-up comedy meledak di televisi
(comedians.about.com). Meskipun sedikit jatuh di awal tahun 1990-an, stand-up
comedy kembali bersinar pada tahun 2000 sampai sekarang. Acara-acara yang
mengusung tema stand-up comedy semakin menjamur. Penampilan mereka pun
semakin mudah untuk diakses, seperti sekarang ini penonton dapat melihat
mereka melalui film, DVD, Youtube, dan situs-situs internet lain.
Pelaku stand-up comedy dikenal sebagai comic (comedy microphone) yang
selanjutnya akan disebut sebagai komik dalam penelitian ini. Istilah ini digunakan
karena microphone adalah satu-satunya alat yang digunakan pelaku stand-up
comedy ketika menyampaikan humor-humor segarnya di hadapan penonton.
Beberapa komik terkenal di Amerika yaitu Eddie Murphie, George Carlin,
Margareth Cho, Jerry Seinfield, Woody Allen, dan Chris Rock. Nama-nama di
atas sangat terkenal dikalangan penggemar stand-up comedy karena lawakan
mereka memiliki karakter masing-masing dalam materi komedinya. Eddie
Murphy misalnya terkenal dengan kekuatan mimik wajahnya, George Carlin
dengan gerutuan dan sering bersinggungan dengan topik religi, kemudian
Margareth Cho yang mengandalkan materi humor tentang politik dan perempuan.
Chris Rock sendiri terkenal dengan materi lelucon yang dipengaruhi oleh pionir
komedi hitam seperti Richard Pryor dan Redd. Ia menyerang subyek yang banyak
dihindari komik seperti politik, ras dan selebriti. Keterbukaan dan kejujurannya
yang sangat berani itulah yang menjadikan Chris Rock sebagai salah satu komik
paling sukses dan terkenal dalam komedi modern (www.icomedytv.com)
Kesuksesan Chris Rock tersebut juga tidak terlepas dari kepiawaiannya
meramu lelucon-lelucon untuk menimbulkan tawa penonton. Jika ditinjau dari
ranah linguistik, komik pada umumnya banyak melanggar aspek-aspek pragmatik
dan memanfaatkan aspek kebahasaan. Hal di atas dapat dilihat dari contoh
berikut:
(Datum 1)
48CR: George Bush has fucked up so bad... ((weak
laughter)) ‘George Bush benar-benar gagal...’
((tertawa lemah))
49CR: he made it hard for a white man to run for
president. ((laughter and long applause)) ‘Dia
menyulitkan pria kulit putih untuk menjadi presiden.’
(( tertawa dan bertepuk tangan panjang))
50CR: People are like,"Give me a black man, a white
woman, ‘Orang-orang berkata ,"berikan aku seorang
kulit hitam, wanita kulit putih,’
51 CR: "a giraffe, a zebra,anything but another
white man! ‘jerapah, zebra, apapun kecuali pria kulit
putih lagi!’
52CR: "That last one fucked up my roof." ‘Pria kulit
putih terakhir telah merusak atapku.’
Dalam wacana di atas terlihat sindiran keras Chris Rock pada dunia
politik. Setidaknya terdapat beberapa pelanggaran prinsip pragmatik dalam
tuturan tersebut. Pertama adalah pelanggaran maksim kuantitas yang dapat terlihat
dari tuturan 51. Chris Rock menyebutkan nama-nama hewan seperti jerapah dan
zebra untuk mempertegas kalimat sebelumnya yang menolak orang kulit putih
untuk kembali maju sebagai presiden Amerika Serikat. Hal ini tentu melanggar
prinsip kuantitas yang menghendaki penutur untuk berbicara tidak berlebihan dan
secukupnya. Pelanggaran kesopanan pun terjadi pada tuturan Chris Rock tersebut
yaitu pelanggaran maksim kebijaksanaan dan maksim penerimaan karena ia telah
merugikan pihak-pihak tertentu dan terlihat jelas ia tidak menghormati mereka.
Dari segi kebahasaan sendiri Chris Rock memiliki trik tersendiri untuk
memancing tawa penonton. Gaya bahasa yang digunakannya pun bervariasi dalam
menyampaikan cerita humornya. Salah satu gaya bahasa yang digunakannya
adalah hiperbola. Hal ini menjadi salah satu senjata andalannya untuk
menciptakan efek humor yang luar biasa. Berikut adalah contohnya:
(Datum 2)
99 CR: That's right, Barack, man, he don't let his blackness sneak up
on you. ((weak laughter)) ‘Ya benar, Barack. Dia tak membiarkan
kehitamannya mendekatimu.’ ((tertawa lemah))
100 CR: If his name was Bob Jones or something, ‘Jika namanya
adalah Bob Jones atau seperti itu’
101 CR: it might take you two or three weeks to realise he black.
‘Mungkin kau akan butuh dua atau tiga minggu untuk menyadari dia
itu hitam.’
102 CR: But as soon as you hear “Barack Obama”,
‘tapi setelah kau mendengar “Barack Obama”,’
103 CR: you expect to see a brother with a spear... ((long laughter))
‘kau menduga melihat pria hitam membawa tombak’ ((tertawa
panjang))
104 CR: just standing on top of a dead lion. ((laughter)) ‘berdiri di
atas bangkai singa.’ ((tertawa))
Gaya bahasa hiperbola banyak digunakan untuk melebih-lebihkan suatu
hal, keadaan, ataupun situasi yang dekat dengan para komik. Hal ini dapat terlihat
dari wacana di atas dimana Chris Rock menyoroti tentang nama ‘Barack Obama’.
Chris membayangkan nama itu seperti seorang pria hitam dengan membawa
tombak dan berdiri di atas singa yang mati seperti pada tuturan 103 dan 104.
Reaksi penonton yang tertawa lepas ketika mendengar hal itu merupakan bukti
bahwa gaya bahasa ini masih menjadi primadona bagi komik. Tema sederhana
mengenai nama seseorang pun dapat menimbulkan kelucuan karena komik
menggunakan gaya bahasa hiperbola dalam penciptaan humornya.
Komik juga dikenal sebagai pencerita yang ulung. Mereka dapat
menceritakan kisah lucu yang panjang ataupun pendek dengan menggunakan
struktur yang beragam. Ada kalanya mereka hanya menggunakan satu atau dua
kalimat saja dalam membuat kelucuan. Hal ini digunakan sebagai variasi agar
lawakan mereka tidak monoton. Berikut merupakan salah satu contohnya:
(Datum 3)
105 CR: Barack Obama! ‘Barack Obama!’
106 CR: You expect to see the bass player from The Commodores
come out. [singing and pretending to be a bassist] “too hot to trot,
now baby. Too hot to trot baby” ((laughter, scream and applause))
‘Kau menduga akan melihat pemain bass The Commodores keluar.’
[bernyanyi dan menirukan pemain bass] “too hot to trot, now baby.
Too hot to trot baby” ((tertawa,berteriak dan bertepuk tangan))
Dari contoh di atas terlihat bahwa Chris Rock hanya menggunakan kalimat
singkat untuk menyampaikan lawakannya. Topik yang diangkatnya adalah Barack
Obama. Struktur seperti ini dapat dikatakan termasuk dalam jenis one-liners
dimana komik tidak membutuhkan pengantar cerita yang digunakan untuk
membangun konstruksi sebuah lelucon. Chris Rock berhasil membuat penonton
tertawa ketika ia menyamakan Barack Obama dengan pemain bass The
Commodores yang juga sama-sama berkulit hitam. Penonton pun semakin tertawa
ketika ia menirukan aksi pemain bass tersebut sambil bernyanyi. Di lain sisi, Chris
Rock juga sering menceritakan pengalaman hidupnya dengan ironi yang mampu
menciptakan gelak tawa penonton seperti pada contoh di bawah ini:
(Datum 4)
731 CR: I'll tell you exactly how that happened. I dropped out
of school in the 10th grade. ‘aku akan mengatakan apa yang
sebenarnya terjadi. Aku putus sekolah di kelas 1 SMA’
732 CR: Dropped out in the 10th grade, which is the dumbest
thing you could ever fucking do. ‘Putus sekolah di kelas 1
SMA itu adalah hal terbodoh yang pernah kau lakukan.’
733 CR: You know why? Cos when you drop out in the 10th
grade, ‘Kau tau kenapa? Karena ketika kau putus sekolah di
kelas 1 SMA’
734 CR: you really might as well have dropped out in the
second grade. ((weak laughter))
‘Seharusnya kau keluar saja saat kelas 2 SD’ ((tertawa
lemah))
735 CR: Why? Cos you qualified for the exact same jobs.
‘mengapa? Karena kau hanya bisa mendapat pekerjaan yang
sama juga’
736 CR: Matter of fact, the person that dropped out in the
second grade ‘Bahkan orang yang keluar dari kelas 2 SD’
737 CR: is more qualified cos they have eight years of work
experience. ‘ lebih memiliki kualifikasi karena mereka punya
pengalaman kerja 8 tahun.’
Lawakan Chris Rock di atas merupakan sebuah ironi terhadap apa yang terjadi
pada keputusan hidupnya yang meninggalkan bangku sekolah pada tingkat
pertama SMA dan bekerja sebagai pencuci piring di sebuah restoran. Ia
mengatakan bahwa hal tersebut adalah hal terbodoh yang ia lakukan seperti yang
terlihat pada tuturan 732. Hal yang membuat cerita ini lucu adalah ketika ia
menyesali mengapa tidak keluar pada kelas 2 SD karena lebih berkualifikasi
dengan pengalaman kerja delapan tahun. Dari contoh ini terlihat kepiawaian
Chris Rock menjadikan ironi sebagai salah satu alat untuk meledakkan tertawa
penonton. Terdapat berbagai hal menarik dari lawakannya yang sangat
memungkinkan untuk diteliti lebih lanjut.
Chris Rock sendiri merupakan salah satu komik terbesar sepanjang
sejarah. Ia sudah melakukan 141 pertunjukan besar dan tidak kurang 554.781
orang telah menontonnya secara langsung. Chris Rock dibesarkan di Bedford-
Stuyvesant, yang berlokasi di Brooklyn, New York. Debut layar lebarnya adalah
di film Beverly Hills Cop II (1987) dan menghabiskan tiga tahun sebagai aktor
Saturday Night Live (1975) (IMDB.com). Pada tahun 1994, Chris Rock memulai
debut stand-up comedynya di HBO yang berjudul Big Ass Jokes, disusul dengan
program komedi Bring the Pain yang memenangkan dua buah penghargaan
Emmy Awards (http://comedians.about.com). Tur perjalanan komedinya juga
dikabarkan menjadi tur komedi terbesar di dunia. Hal inilah yang membuat HBO
kemudian mendokumentasikan dan mempublikasikan tur komedinya ke dalam
film yang berjudul Kill the Messenger.
Penelitian mengenai stand-up comedy masih sangat jarang dilakukan. Hal
ini membuat penulis tertarik untuk mengkaji humor yang terdapat dalam film Kill
the Messenger dimana film yang berdurasi 80 menit ini menyuguhkan stand-up
comedy Chris Rock di London, New York, dan Johannesburg. Berbagai manuver
humornya yang cerdas dan sangat tajam menjadikan pertunjukannya sangat
diminati oleh berbagai lapisan kalangan. Struktur materi lawakan yang diberikan
oleh Chris Rock juga memiliki keunikan sehingga sangat memadai untuk diteliti
lebih lanjut.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, tesis ini
selanjutnya akan membahas humor dalam film Kill the Messenger yang berisi tur
stand-up comedy Chris Rock. Terdapat empat hal yang menjadi permasalahan
yaitu:
1. Bagaimana struktur stand-up comedy yang dibawakan oleh Chris Rock
dalam film stand-up comedy Kill the Messenger?
2. Aspek-aspek pragmatik apa saja yang dimanfaatkan untuk menimbulkan
kelucuan dalam film stand-up comedy Kill the messenger’?
3. Aspek-aspek kebahasaan apa saja yang dimanfaatkan dalam film stand-up
comedy Kill the Messenger?
4. Fungsi humor apa saja yang terdapat dalam film stand-up comedy Kill the
Messenger?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penulisan tesis ini adalah untuk mendeskripsikan
wacana humor dalam film Kill the Messenger yang menampilkan stand-up
comedy dari Chris Rock serta mendeskripsikan hal-hal yang menciptakan
kelucuan dan fungsinya. Setidaknya terdapat empat tujuan yang dipaparkan secara
singkat dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Menjelaskan struktur stand-up comedy yang dibawakan oleh Chris Rock
dalam film Kill the Messenger
2. Mendeskripsikan aspek-aspek pragmatik yang dimanfaatkan untuk
menimbulkan kelucuan dalam film stand-up comedy Kill the messenger
3. Mendeskripsikan aspek-aspek kebahasaan yang dimanfaatkan dalam film
stand-up comedy Kill the Messenger
4. Mendeskripsikan fungsi humor yang terdapat dalam film stand-up comedy
Kill the Messenger.
1.4 Manfaat Penelitian
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber
informasi dan referensi dalam kajian mengenai wacana humor verbal ditinjau dari
aspek-aspek linguistik yang digunakan dalam stand-up comedy. Adapun secara
teoritis, manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan pengetahuan yang
komprehensif terhadap humor verbal khususnya dalam stand-up comedy yang
dibawakan oleh Chris Rock. Penelitian ini juga berfungsi untuk mengetahui
penerapan teori mengenai humor, struktur wacana humor, pemanfaatan aspek
pragmatik dan kebahasaan, dan fungsinya sehingga bermanfaat bagi peneliti yang
akan mengkaji mengenai wacana humor lainnya.
1.5 Tinjauan Pustaka
Wijana (1995) dalam disertasinya yaitu “Wacana Kartun dalam Bahasa
Indonesia” mendeskripsikan penyimpangan aspek pragmatik dalam wacana
kartun yaitu penyimpangan prinsip kerja sama, penyimpangan maksim kesopanan,
penyimpangan parameter pragmatik. Secara spesifik Wijana juga
mendeskripsikan aspek kebahasaan yang dimanfaatkan sebagai sumber
kejenakaan yaitu aspek ortografis, fonologis, ketaksaan, metonimi, hiponimi,
sinonimi, antonimi, eufemisme, nama , deiksis, perulangan, pertalian kata dalam
frasa, pertalian elemen intra-klausa, dan pertalian antar proposisi. Tipe-tipe
wacana humor.yang berhasil ditemukan dalam disertasi ini yaitu wacana non-
monolog, wacana monolog dan wacana dialog.
Analisis Wacana Humor Verbal Bahasa Inggris (studi Kasus Serial How I
Met Your Mother) oleh Suwanto (2012) turut menjadi salah satu tinjauan literatur
bagi penelitian ini. Terdapat beberapa aspek yang menjadi masalah penelitiannya
yaitu (1)aspek-aspek pragmatik yang dimanfaatkan untuk menimbulkan kelucuan,
(2) aspek-aspek kebahasaan yang dimanfaatkan untuk menimbulkan kelucuan, (3)
pemanfaatan dan penyimpangan komponen tutur demi humor, dan (4) kejenakaan
dilihat dari General Theory of Verbal Humor Salvatore Attardo. Penelitian ini
menemukan bahwa serial HIMYM menggunakan aspek-aspek kebahasaan
sebagai pemicu humor berupa ortografis, fonologis, morfologis, ketaksaan,
hiponimi, antonimi, nama, eufemisme, hiperbola, deiksis, pertalian elemen intra
sentensial, pertalian elemen inter sentensial, dan pertalian elemen antar proposisi.
Pada tataran pragmatik, penelitian tersebut menemukan bahwa humor tercipta dari
penyimpangan prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan, prinsip ironi, dan
presuposisi. Komsit HIMYM juga memanfaatkan semua segi komponen tutur.
Penelitian ini juga membahas humor melalui GTVH beserta kekurangan teori
tersebut.
Penelitian terbaru mengenai humor adalah penelitian yang dilakukan Joko
Ariyanto (2013) yaitu Analisis Wacana Humor Rons Imawan. Tesis ini
menghasilkan temuan pemanfaatan aspek pragmatik dalam wacana humor Rons
Imawan yang terbagi menjadi menjadi tiga yaitu: penyimpangan prinsip
kerjasama, penyimpangan prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik nya.
Selain itu terdapat pula aspek-aspek kebahasaan seperti aspek ortografis, aspek
fonologis, ketaksaan, hiponimi, sinonimi, antonimi, eufemisme, nama, deiksis,
pertalian kata dalam frasa, pertalian elemen intra klausa, konstruksi aktif pasif,
pertalian antarklausa, dan pertalian antarproposisi yang menjadi hasil
penelitiannya. Ia juga meneliti tentang tipe-tipe wacana humor, dan fungsi
wacana.
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas penelitian ini diharapkan dapat
melengkapi penelitian-penelitian sebelumnya mengenai humor. Penulis sangat
tertarik untuk melakukan penelitian yang berobjek stand-up comedy karena
penelitian semacam ini masih sangat sedikit dilakukan. Berbeda dengan
penelitian sebelumnya yang lebih banyak meneliti humor non verbal seperti teka-
teki, kartun dan lain sebagainya ataupun sesama humor verbal seperti komedi
situasi. Masih minimnya penelitian mengenai stand-up comedy ini mungkin
dikarenakan genre ini masih terbilang baru dalam seni melawak. Stand-up
comedy merupakan humor yang memiliki karakteristik khas dimana hanya
terdapat satu tokoh di atas panggung yang memiliki teknik dan strategi tersendiri
untuk memancing tawa penonton. Hal inilah yang membuat penelitian ini berbeda
dari penelitian sebelumnya.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Analisis Wacana
Analisis wacana merupakan salah satu penelitian linguistik yang mulai
digemari beberapa puluh tahun belakangan ini. Lubis (1993:12) menyatakan
bahwa selama ini aliran-aliran linguistik membatasi penganalisisannya hanya
kepada soal kalimat dan barulah belakangan ini sebagian ahli bahasa
memalingkan perhatiannya kepada penganalisisan wacana. Analisis wacana lahir
dari kesadaran bahwa persoalan yang terdapat dalam komunikasi bukan terbatas
pada penggunaan kalimat atau sebagian kalimat, fungsi ucapan, tetapi juga
mencakup struktur pesan yang lebih kompleks dan inheren yang disebut wacana
(Littlejon melalui Sobur, 2006 : 48).
Analisis wacana merupakan disiplin ilmu yang berusaha mengkaji
penggunaan bahasa dalam tindak komunikasi. Wacana sendiri menurut
Kridalaksana (2005 : 259) adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki
gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini
direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku seri ensiklopedia,
dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang
lengkap. Humor berbentuk lisan (yang sudah ditranskripsikan dalam bentuk
tulisan) dapat dianggap sebagai wacana. Samsuri menguraikan beberapa aspek
yang berkaitan dengan kajian wacana. Aspek-aspek tersebut adalah (a) konteks
wacana, (b) topik, tema dan judul wacana, (c) kohesi dan koherensi wacana (d)
referensi dan inferensi wacana. Konteks wacana yang membantu memberikan
penafsiran tentang makna ujaran adalah situasi wacana. Situasi mungkin
dinyatakan secara eksplisit dalam wacana, tetapi dapat pula disarankan oleh
berbagai unsur wacana, yang disebut ciri-ciri (wacana) atau koordinat-koordinat
(wacana), seperti pembicara, pendengar, waktu, tempat, topik, bentuk amanat,
peristiwa, saluran dan kode) (Samsuri melalui Arifin & Rani, 2000 : 13).
1.6.2 Humor
Pada dasarnya humor merupakan reaksi emosional manusia terhadap bahasa
baik bahasa lisan ataupun tulisan. Dalam literatur-literatur yang ada, banyak
sekali teori yang membahas tentang humor, namun dalam garis besarnya, berbagai
teori tentang humor dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) ragam, yaitu: Pertama,
teori keunggulan (Superiority Theory), dikenal juga sebagai teori permusuhan
(hostility theory) atau dapat pula disebut teori penghinaan (disparagement theory).
Plato dan Aristoteles melalui Schwarz (2010:47) merujuk ke sisi agresif humor,
yang terutama digunakan untuk meremehkan dan mempermalukan lawan tertentu.
Kedua filsuf ini menekankan bahwa tertawa adalah sarana kekuasaan dan
keunggulan bila ditujukan terhadap kesalahan orang lain dan dengan demikian
mengungkapkan inferioritas mereka. Rasa lebih baik, rasa lebih tinggi atau lebih
sempurna pada diri seseorang dalam menghadapi suatu keadaan yang
mengandung kekurangan atau kelemahan adalah inti dari teori ini. Teori
keunggulan (superiority) inilah yang dapat dipakai untuk menerangkan mengapa
para penonton tertawa terbahak-bahak jika komik menceritakan sesuatu yang
merendahkan orang lain.
Teori humor yang kedua adalah teori ketidaksesuaian (incongruity theory).
Wijana (2004: 21) menyatakan bahwa humor secara tidak kongruen menyatukan
dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam suatu objek yang komplek.
Teori humor ini timbul karena perubahan yang tiba-tiba dari situasi yang sangat
diharapkan menjadi suatu hal yang sama sekali tidak diduga pada tempatnya.
Tertawa terjadi karena harapan yang dikacaukan (Frustrated Expectation)
sehingga seseorang dari suatu sikap mental dibawa kedalam suatu sikap mental
yang sama sekali berlainan.
Ketiga adalah teori pembebasan (Relief Theory). Teori ini menyebutkan
bahwa inti dari humor adalah pembebasan atau pelepasan dari kekurangan yang
terdapat pada diri seseorang. Teori pembebasan menyebutkan bahwa humor
digunakan untuk melepaskan ketegangan atau untuk membuat orang merasa
dibebaskan ketika berbicara tentang topik tabu seperti hal-hal yang berbau seks.
Berbagai pembatasan dan larangan yang ditentukan oleh masyarakat menjadikan
dorongan-dorongan batin alamiah dalam diri seseorang mendapat tekanan.
Bilamana kekurangan atau tekanan itu dapat dilepaskan oleh misalnya dengan
lelucon tentang seks, maka hal ini dapat meledakkan tawa bagi orang yang
mendengarnya.
Teori lain terbaru tentang humor digagas oleh Raskin dan Attardo. Raskin
(1985) berkaitan dengan Semantic Script-Based Theory of Humor (SSTH), yang
menyebabkan teori umum humor lisan (GTVH) lahir beberapa tahun kemudian
(Attardo dan Raskin 1991). General Theory of Verbal Humor (GTVH) adalah
teori yang dikembangkan oleh Raskin dan Attardo pada tahun 1991 dan dapat
digambarkan sebagai tindak lanjut untuk Semantic Script-Based Theory of Humor
(SSTH) (Schwarz, 2010: 55-56).
Terdapat beberapa hal penting yang menjadi pedoman teori GTVH yaitu
(1) script opposition (SO), yang telah dikenal dengan teori SSTH Raskin yaitu
menggali makna dari sebuah teks humor, (2) the logical mechanism (LM), yang
mewujudkan logika lokal dan berhubungan dengan cara di mana dua skrip lelucon
dibawa bersama-sama, (3) situation (SI), yang menggambarkan berbagai orang
yang memainkan peran dalam lelucon, obyek, dan lokasi lelucon, (4) target (TA),
yang menggambarkan seseorang atau kelompok orang yang menjadi sasaran, (5)
narrative strategy (NS), yang mengidentifikasi gaya yang digunakan untuk
menyajikan lelucon (misalnya dialog, teka-teki, narasi) dan (6) language (LA),
yang mewakili semua kata dan unit linguistik lainnya yang digunakan dalam teks
(Attardo, 2008:108).
Berbicara mengenai humor tentu tidak terlepas dari struktur yang
membangun humor tersebut. Setidaknya terdapat tiga bagian utama dalam struktur
humor seperti yang diungkap oleh Hockett (1960) melalui Schwarz (2010: 65)
yaitu build up, pivot, dan punch line. Sama halnya dengan struktur sebuah cerita,
humor memiliki bagian pendahuluan yang membangun kerangka berpikir
penikmatnya. Hal ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Carter (2001: 66)
yaitu
The setup is not the funny part of a joke, but it is the most
important part. If you can't get the audience interested at the
beginning of a joke, they are not going to be there at the end
of the joke. Audiences make up their minds very quickly, so
on every joke it's important to first capture their attention,
then make them laugh.
Dapat dilihat dari penggalan penjelasan di atas bahwa bagian pendahuluan bukan
merupakan bagian yang lucu dari sebuah lelucon. Jika komik tidak dapat menarik
perhatian penonton di awal ceritanya, mereka tidak akan mengikutinya sampai
akhir lelucon. Penonton dapat berubah pikiran dalam sekejap sehingga sangatlah
penting bagi komik untuk manarik perhatian penonton pada awal cerita.
Bagian selanjutnya yang ada pada humor adalah pivot. Secara harfiah
pivot sendiri berarti bagian inti yang menjadi topik dari lelucon. Pivot terdiri dari
kata atau frase yang menciptakan ketaksaan. Bagian terakhir adalah punchline
yaitu kalimat akhir yang mengagetkan dan yang mampu membuat penonton
tertawa. Punchline biasanya mematahkan konsep yang telah dibangun pada
bagian pendahuluan sehingga mengakibatkan dampak yang lucu bagi penonton.
1.6.3 Pragmatik
Berkenaan dengan kaidah tindak tutur, Grice (1975) merumuskan kaidah
bertutur prinsip kerjasama. Prinsip ini merupakan kaidah bertutur yang berisi
sejumlah tuntunan bagaimana seharusnya seseorang bertutur. Prinsip kerja sama
dirumuskan sebagai berikut, ‘Buatlah sumbangan informasi Anda sebanyak yang
dibutuhkan pada saat berbicara, berdasarkan tujuan percakapan yang disepakati
atau arah percakapan yang sedang diikuti’. Secara garis besar terdapat empat
maksim yang harus ditaati peserta tindak tutur yakni (1) maksim kuantitas, (2)
maksim kualitas, (3) maksim hubungan, dan (4) maksim cara. Maksim kuantitas
menyarankan agar para pserta tutur dalam interaksi memberi informasi sebanyak
yang diperlukan, dan tidak memberikan sumbangan informasi yang lebih dari
yang diperlukan. Berbeda halnya dengan maksim kualitas yang menyarankan agar
peserta tutur dalam suatu interaksi tidak memberikan informasi yang diyakini
salah (bohong), dan tidak memberikan informasi yang tidak didukung bukti yang
memadai. Selanjutnya Maksim hubungan menyarakan agar para peserta tutur
memberikan informasi yang relevan dengan topik pembicaraan. Terakhir maksim
cara memiliki empat submaksim, yaitu (1) menghindari ungkapan yang kabur, (2)
menghindariu kata-kata yang berarti ganda, (3) mengatakan sesuatu dengan
singkat, dan (4) mengatakan sesuatu dengan teratur.
Selain prinsip kerja sama di atas Leech (1983:16) mengajukan ada enam
teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan seperti berikut:
1. Maksim kebijaksanaan (tact), menggariskan bahwa setiap pertuturan harus
meminimalkan kerugian terhadap orang lain atau memaksimalkan keuntungan
bagi orang lain.
2. Maksim kemurahan (generosity) menghendaki setiap peserta tuturan untuk
meminimalkan keuntungan bagi sendiri dan memaksimalkan kerugian diri sendiri.
3. Maksim penerimaan (approbation) menuntut setiap peserta pertuturan untuk
meminimalkan ketidakhormatan pada orang lain dan memaksimalkan rasa hormat
bagi orang lain.
4. Maksim kerendahan hati (modesty) menuntut setiap peserta pertuturan untuk
memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri dan meminimalkan rasa
hormat terhadap diri sendiri.
5. Maksim kecocokan (agreement) menghendaki agar setiap penutur dan lawan
tutur meminimalkan kesetujuan antara diri sendiri dengan orang lain dan
memaksimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dengan orang lain.
6. Maksim kesimpatian (Sympathy) mengharuskan semua peserta pertuturan untuk
meminimalkan rasa antipati kepada lawan tuturnya dan memaksimalkan rasa
simpati kepada mitra tutur.
1.6.4 Aspek Kebahasaan
Pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan untuk menciptakan humor merupakan
sesuatu yang sering terjadi. Kreativitas pencipta humor dalam memainkan kata,
frasa, klausa, kalimat, dan wacana dengan konteks yang bervariasi dapat
menghasilkan suatu lelucon yang menghibur. Dalam humor verbal khususnya
stand-up comedy pemanfaatan aspek kebahasaan lebih menjurus kepada ketaksaan
dan gaya bahasa. Wijana ( 2004: 141) menyatakan setidaknya ada dua macam
ketaksaan secara sederhana yaitu ketaksaan leksikal dan ketaksaan gramatikal.
Ketaksaan leksikal terbentuk karena bentuk-bentuk yang memiliki dua makna
atau lebih. Hal ini seperti yang terdapat pada polisemi dan homonimi. Lain halnya
dengan ketaksaan gramatikal yang terbentuk dengan penggabungannya dengan
leksem lain. Selain itu gaya bahasa pun tidak luput dimanfaatkan oleh komik
untuk menciptakan humor yaitu dengan menggunakan metafora, hiperbola, dan
lain sebagainya.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Data yang ada,
dianalisis untuk menjawab masalah penelitian. Sumber data utama dalam
penelitian ini adalah tuturan dan performa Chris Rock dalam stand-up comedy
nya. Hal ini kemudian ditranskripsikan ke dalam wacana tulis untuk kemudian
dapat dikaji lebih lanjut. Metode kualitatif sesuai untuk menganalisis data yang
dikumpulkan karena merupakan hasil transkripsi tuturan Chris Rock yang diambil
dari film dokumenter ‘Kill the Messenger’. Film yang menyuguhkan penampilan
Chris Rock di atas panggung dari awal sampai akhir ini merupakan perjalanan tur
stand-up comedynya di tiga kota yaitu Johannesburg, New York dan London.
Penampilan stand-up comedy Chris Rock dalam tiga kota ini dikompilasi menjadi
satu kesatuan yang utuh sehingga film ini bisa dinikmati dengan baik.
Penelitian ini terbagi dalam tiga tahapan metode yaitu tahap pengumpulan
data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data. Data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh melalui beberapa tahap; pertama,
penulis menonton film “Kill the Messenger” dan mengamati secara keseluruhan
humor yang terdapat pada materi stand-up comedy Chris Rock. Tidak hanya
tuturan yang diucapkan oleh Chris Rock yang menjadi fokus penelitian namun
performa Chris Rock seperti gestur, ekspresi wajah, dan tindakan meniru
seseorang juga turut diperhatikan. Tuturan Chris Rock yang menggunakan Bahasa
Inggris dialek Black English kemudian ditranskripsikan kedalam bentuk tulisan
untuk pengumpulan data. Respon penonton berupa tawa, tepuk tangan, teriakan,
siulan, dan standing ovation dalam film dokumenter stand-up comedy Chris Rock
tersebut juga menjadi sorotan karena reaksi penonton sedikit banyak menandai
unsur jenaka yang ada pada stand-up comedy. Pada proses pentranskripsian
penulis menggunakan model yang dibangun oleh Dressler dan Kreuz (2000)
dimana setiap baris dari transkripsi mewakili bahasa lisan yang tersegmentasi
menjadi sebuah kesatuan intonasi (www.uni-saarland.de). Hal inilah yang
membuat transkripsi stand-up comedy pada penelitian ini terdiri dari banyak baris-
baris pendek berisi tuturan lisan yang ditranskripsikan berdasarkan intonasi
penutur. Selanjutnya penulis mencatat bagian-bagian yang terkait dengan
permasalahan penelitian untuk dapat dianalisis lebih lanjut.
Tahap kedua yaitu tahap analisis data. Data yang terkumpul diterjemahkan ke
dalam Bahasa Indonesia karena data merupakan tuturan berbahasa Inggris. Pada
proses penerjemahan penulis terbantu oleh teks terjemahan bahasa Indonesia yang
ada pada video. Penulis kemudian mengecek kembali terjemahan tersebut dengan
transkrip yang ada agar tidak ditemui kalimat-kalimat yang kurang jelas. Setelah
itu dilakukan analisis data untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadi
kelucuan. Selanjutnya data dikelompokkan pada masing-masing kategori
permasalahan dan diteliti lebih lanjut dengan teori yang sesuai.
Tahap ketiga adalah penyajian hasil analisis data. Penulis menggunakan ragam
informal yaitu hanya menggunakan kata-kata dalam memaparkan hasil analisis
data. Melalui hal ini, fenomena-fenomena linguistik dapat dideskripsikan dan
dijelaskan sesuai dengan teori yang digunakan.
1.8 Sistematika Penyajian
Pembahasan mengenai Humor dalam film Kill The Messenger terbagi
menjadi enam bab. Pada bab pertama terdapat beberapa hal penting yang menjadi
pondasi penelitian yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
dan sistematika penyajian. Kemudian bab kedua menjelaskan tentang struktur
humor dalam stand-up comedy meliputi bentuk dan berbagai tipe wacana humor
stand-up comedy Chris Rock. Selanjutnya pada bab ketiga menjelaskan mengenai
aspek pragmatik yang dimanfaatkan dalam stand-up comedy Chris Rock.
Beberapa hal yang dibahas adalah mengenai pelanggaran prinsip kerjasama,
pelanggaran prinsip kesopanan, penyimpangan parameter pragmatik, dan
pemanfaatan prinsip ironi. Bab keempat mendeskripsikan pemanfaatan aspek-
aspek kebahasaan yang terdapat dalam film Kill the Messenger yang meliputi tiga
wilayah besar yaitu morfologi, sintaksis, dan semantis. Bab lima mendeskripsikan
fungsi humor yang terdapat dalam film “Kill the Messenger”. Terakhir adalah bab
keenam yang merupakan bab kesimpulan. Bab ini berisi kesimpulan dan saran
dari apa yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya