bab i pendahuluanetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/64496/potongan/s1-2013...masuknya industri...

28
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masuknya industri musik ke era digital secara signifikan telah merubah wajah dari musik itu sendiri. masyarakat dulu lebih mengenal musik dalam bentuk pringan hitam, kaset, CD, hingga akhirnya nir-wujud dalam format digital. Salah satu wacana yang selalu ditakuti dalam industri musik adalah kemampuan format digital dalam menggeser ketertarikan masyarakat yang akhirnya membuat penjualan album fisik di Indonesia kembang kempis. Evolusi dalam mendengarkan musik yang dimulai dengan menggunakan pita dan berganti dalam bentuk metadata membuat revolusi besar-besaran dalam format musik. Tak sedikit yang terkejut. Dari format kaset berganti menjadi sebuah file dan dapat disimpan dengan berbentuk metadata. Hal ini tentu saja akan menggubah cara seseorang dalam hal mendengarkan musik. Dengan datangnya budaya baru dalam mendengarkan musik tersebut, dan pesatnya pertumbuhan internet, lahirlah situs-situs berbagi data. Dengan makin menjamurnya situs berbagi file tersebar luas di dunia maya. Baik yang legal maupun illegal. Persebaran musik semakin pesat dan cepat. Musik dalam format digital berhasil memunculkan sebuah budaya baru yang tanpa disadari, dalam hal ini sebagai penikmat musik telah aktif menjadi bagian dari budaya tersebut, budaya berbagi file atau biasa disebut Free File Sharing Culture. Aktivitas berbagi file dapat dilakukan melalui banyak cara seperti mengkopi file CD untuk kemudian dipindahkan ke dalam flash disk atau hard disk hingga seperti disebutkan diatas -melalui jaringan internet. Melalui internet para penikmat musik dapat memilih beberapa opsi untuk mengunduh lagu, seperti menggunakan aplikasi BitTorrent dengan teknologi peer-to-peernya, berbagi file melalui attachment email, tautan di blog, atau dengan mengandalkan situs penyimpanan file digital seperti 4shared, Mediafire, Rapidshare, Indowebster

Upload: vuongkien

Post on 03-May-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masuknya industri musik ke era digital secara signifikan telah merubah wajah

dari musik itu sendiri. masyarakat dulu lebih mengenal musik dalam bentuk pringan

hitam, kaset, CD, hingga akhirnya nir-wujud dalam format digital. Salah satu wacana

yang selalu ditakuti dalam industri musik adalah kemampuan format digital dalam

menggeser ketertarikan masyarakat yang akhirnya membuat penjualan album fisik di

Indonesia kembang kempis. Evolusi dalam mendengarkan musik yang dimulai

dengan menggunakan pita dan berganti dalam bentuk metadata membuat revolusi

besar-besaran dalam format musik. Tak sedikit yang terkejut. Dari format kaset

berganti menjadi sebuah file dan dapat disimpan dengan berbentuk metadata. Hal ini

tentu saja akan menggubah cara seseorang dalam hal mendengarkan musik.

Dengan datangnya budaya baru dalam mendengarkan musik tersebut, dan

pesatnya pertumbuhan internet, lahirlah situs-situs berbagi data. Dengan makin

menjamurnya situs berbagi file tersebar luas di dunia maya. Baik yang legal maupun

illegal. Persebaran musik semakin pesat dan cepat. Musik dalam format digital

berhasil memunculkan sebuah budaya baru yang tanpa disadari, dalam hal ini sebagai

penikmat musik – telah aktif menjadi bagian dari budaya tersebut, budaya berbagi file

atau biasa disebut Free File Sharing Culture. Aktivitas berbagi file dapat dilakukan

melalui banyak cara seperti mengkopi file CD untuk kemudian dipindahkan ke dalam

flash disk atau hard disk hingga – seperti disebutkan diatas -melalui jaringan internet.

Melalui internet para penikmat musik dapat memilih beberapa opsi untuk mengunduh

lagu, seperti menggunakan aplikasi BitTorrent dengan teknologi peer-to-peernya,

berbagi file melalui attachment email, tautan di blog, atau dengan mengandalkan

situs penyimpanan file digital seperti 4shared, Mediafire, Rapidshare, Indowebster

dan lain-lain. Semua aktivitas tersebut tidak lepas dari perkembangan teknologi

komunikasi yang sangat maju hingga memudahkan terjadinya proses berbagi file.

Cikal bakal dari revolusi dalam mendengarkan musik ini sendiri tak lepas dari

berkembangnya teknologi. Mulai dari ditemukannya computer, hingga hadirnya

internet ditengah-tengah masyarakat seperti sekarang ini. Tidak ada nama yang pasti

siapa penemu internet pertama kali. Namun internetlah yang memprovokasi dari

hadirnya netlabel itu sendiri. Dengan menggunakan layanan internet, penyebaran

musik jadi lebih mudah dan cepat. Netlabel adalah label rekaman yang

mendistribusikan rilisannya dalam format digital audio melalui jaringan Internet,

rilisan dapat diunduh secara legal baik gratis maupun berbayar. Idenya adalah

menyebarkan musik secara bebas dan tanpa batas geografis. Netlabel menjadi

alternatif dalam wahana musik mandiri di Indonesia yang saat ini stagnan, dimana

jaringan internet belum diantisipasi dengan baik oleh industri musik arus utama.1

Sedikit melihat kebelakang, hadirnya Napster pada musim gugur tahun 1999

merupakan sebuah penemuan terbaru dalam cara untuk mendengarkan musik.

Napster yang merupakan masterpiece dari Shawn Fanning adalah salah satu momok

terbaru bagi industri musik saat itu. Teknologinya memungkinkan pecinta musik

untuk berbagi lagu dalam format MP3 dengan mudah, dan dengan itu menyebabkan

pelanggaran hak cipta yang berat. Namun, hadirnya Napster ini bisa dikatakan

sebagai cikal bakal dari terbentuknya ide sebuah Netlabet. Perbedaan anatara netlabel

dan napster sendiri adalah terdapatnya copyright (hak cipta) legal dalam sebuah

netlabel untuk menyebarluaskan musiknya.

Dibelakang Napster hadirlah iTunes merupakan sebuah piranti lunak yang

mana setiap penggunanya dapat membeli musik secara online dan legal. Rata-rata

15.000 lagu diunduh tiap menit. keberadaan on line store ini sangat membantu

pemusik menjual single dan albumnya ditengah maraknya download illegal dan

penjualan fisik CD yang terus menurun dari tahun ketahun. Harga yang dipatok 1

1 http://indonetlabelunion.tumblr.com/.html diakses 20 februari 2013

single termasuk murah untuk ukuran kocek orang Amerika yaitu 0.99 sen atau sekitar

Rp 9000,- satu kali unduh lagu dan album mulai dari USD 9,9 atau sekitar Rp

90.000,- Kehadiran iTunes ini juga tak jauh dari Pro dan kontra oleh beberapa pihak.

Di Indonesia sendiri pada pertengahan 2000an mulai banyak yang tumbuh

beberapa netlabel. Lahirnya Netlabel pertama di Indonesia diprakarsai oleh

Yesnowave dot com, tepatnya pada tahun 2007. Setelah kehadiran Yesnowave

banyak tumbuh netlabel – netlabel baru. Masing-masing Netlabel biasanya memiliki

suatu ketertarikan tersendiri dalam menentukan jenis musik atau musisi/band yang

menjadi ciri khas dalam setiap rilisan yang mereka keluarkan.In My Room Records,

misalnya, mengkhususkan labelnya hanya untuk Bedroom Musician sementara Stone

Age Records memiliki misi awal mendokumentasikan rilisan skena musik

punk/hardcore/metal lokal. Popularitas Netlabel di Indonesia tidak bisa lepas dari

dukungan media massa lokal yang lambat laun mulai memberikan perhatian kepada

Netlabel sebagai suatu alternatif yang berjalan beriring bersama industri musik yang

telah ada. Dengan hadirnya Netlabel-netlabel baru di Indonesia, berdirilah sebuah

komunitas yang bernama Netaudio.

Netaudio sendiri adalah kegiatan berbasis audio yang bergerak di dunia

virtual, bagian dari kehidupan nyata. Netlabel dan radio online telah dikenal oleh

para pecinta musik dan aktivitas berbagi musik lepas dari hukum hak cipta

konvensional yang mengekang kreativitas dan tidak melulu berorientasi pada nilai

komersial menjadi hal uang penting untuk dilestarikan. Sebuah praktik gotong –

royong, kearifan lokal di era teknologi informasi.

Indonesian Netlabel Union (Serikat Netlabel Indonesia) merupakan suatu

gerakan kolektif netlabel Indonesia yang ditujukan untuk memulai jaringan antar –

netlabel Indonesia dan juga untuk mengenalkan kepada public tentang eksistensi

netlabel lokal serta menjadi sebah wadah dalam mengkaji wacana musik di era

teknologi informasi. Langkah awal dimulai dengan merilis seri album kompilasi

secara serentak pada tanggal 1 Januari 2011. 5 netlabel aktif yang turut serta dalam

komplasi tersebut adalah Hujan! Rekords, Inmyroom Records, Mindblasting, Stone

Age Records dan Yes No Wave.

Studi tentang Netlabel ini untuk mempresentasikan tentang revolusi industri

musik di era digital. Pada umumnya peneliti menekankan studi tentang menagement

Netlabel. Dalam penelitian ini peneliti tidak akan bertanya tentang ―apa arti dari

sebuah netlabel‖, melainkan peneliti akan menekankan penelitian tentang peranan

netlabel dalam menyebarkan dan mengembangkan musik indie di Indonesia. Hal

inilah yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasar uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi pertanyaan

peneliti di sini adalah:

―Bagaimana peranan Netaudio dalam mengembangkan musik Indie di

Indonesia?‖

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu:

1. Mengetahui proses berkembangnya musik indie melalui media baru.

2. Mengetahui media baru sebagai aktor yang menjanjikan dalam penyebaran

musik.

3. Untuk memperluas kajian media baru di bidang komunikasi.

D. Obyek Penelitian

Objek penelitian ini adalah Komunitas Netaudio yang merupakan rumah bagi

musisi indie indonesia.

E. Kerangka Pemikiran

1. Media baru sebagai media komunikasi massa

Ciri utama media massa adalah bahwa media dirancang untuk menjangkau

banyak orang. Komunikator seringkali merupakan lembaga atau seorang

komunikator profesional seperti presenter, entertainer, produser, dll, yang

dipekerjakan oleh lembaga tersebut. Pola komunikasi secara tidak terhindarkan

bersifat satu arah, tidak personal dan terdapat jarak sosial dan fisik antara

pengirim dan penerima.

Sementara itu, konten simbol atau pesan dari komunikasi massa biasanya

merupakan hasil yang terstandarisasi (diproduksi untuk kepentingan massif) dan

dipergunakan kembali dengan didaur ulang menjadi bentuk yang identik,

contohnya seperti iklan. Dimana ide-ide iklan berdasar pada realitas sosial yang

dikonstruksi sedemikian rupa menjadi ide iklan.

Ahli komunikasi massa Harold D. Laswell dan Charles Wright menyatakan

terdapat empat fungsi sosial media massa, yaitu pertama, sebagai social

surveillance, adalah upaya penyebaran informasi dan interprestasi seobjektif

mungkin mengenai peristiwa yang terjadi. Kedua, sebagai Social Correlation.

yakni upaya penyebaran informasi yang dapat menghubungkan satu kelompok

sosial dengan kelompok sosial lainnya. Ketiga, fungsi socialization, yakni upaya

pewarisan nilai-nilai luhur dari satu generasi ke generasi selanjutnya, atau satu

kelompok ke kelompok lainnya dan Keempat, fungsi entertainment, yakni untuk

menghibur khalayak ramai.

Keempat fungsi di atas menunjukkan bahwa meskipun adanya perubahan

teknologi, media dan model komunikasi massa terus bertahan di dalam

keseluruhan lembaga media massa seperti lembaga publikasi dan penyiaran.

Media massa masih dibutuhkan karena secara tidak langsung dianggap sebagai

pemersatu dimana pesan-pesan diproduksi secara massif, sehingga khalayak pun

mengetahuinya secara massif. Pengetahuan yang menyebar ini menjadi pokok

utama pembicaraan dalam komunitas yang lebih kecil, seperti sekelompok orang

atau bahkan hanya beberapa orang.

Hanya saja, di era teknologi komunikasi digital seperti sekarang ini, kehadiran

berbagai inovasi produk teknologi informasi dan komunikasi membuat model-

model baru dalam kegiatan berkomunikasi. Dalam lingkup komunikasi massa,

kehadiran berbagai produk media sosial mulai mengaburkan batas-batas antara

komunikasi massa dan personal. Hal ini dikarenakan oleh luasnya cakupan

komunikasi personal dengan bantuan media massa. Hanya saja yang membedakan

ciri-ciri proses komunikasinya masih tetap nampak, seperti tidak adanya konteks

kelembagaan atau profesional berupa produksi media massa pada umumnya. Hal

ini yang mempengaruhi kondisi apakah pesan yang disampaikan memiliki nilai

moral berupa tanggung jawab oleh pengirim atau komunikator pesan.

Social media merupakan tempat atau sarana untuk menghubungkan manusia

untuk berinteraksi dalam media sosial. Kemunculan internet telah membawa

dampak yang signifikan terhadap cara orang mengonsumsi media. Tidak sedikit

orang yang menggunakan internet, di Indonesia yang memiliki penduduk 245 juta

jiwa, pengguna internet sebanyak 55 juta orang (pada tahun 2011). Angka ini

menempatkan Indonesia berada pada urutan ketida pengguna internet terbesar

dunia.

Pemanfaatan social media dalam proses berkomunikasi semakin populer, saat

ini facebook dan twitter membintangi social media karena jumlah penggunanya

yang sangat banyak. Berdasarkan data Kominfo April 2012, setidaknya tercatat

sebanyak 44,6 juta pengguna Facebook dan sebanyak 19,5 juta pengguna Twitter

di Indonesia.

Hal ini telah menunjukkan bahwa sosial media merupakan media pilihan yang

digemari oleh publik saat ini. Bahkan, sudah banyak ponsel yang menyediakan

fitur-fitur yang terhubung dengan internet, sehingga siapapun dapat mengakses

sosial medianya dengan cepat dan mudah di manapun berada. Selayaknya media

massa, sosial media juga dapat menyebarkan informasi kepada publik secara luas

tanpa diketahui dengan berbagai informasi. Dampaknya, informasi-informasi

tersebut hanya mengalir begitu saja tanpa arti.

Keterbukaan keran informasi, sebagaimana disebutkan di atas, membuat pola

penyebaran informasi berubah, dimana produsen informasi yang tidak

terlembagakan bebas menyebarkan berbagai informasi tanpa melalui pintu

gerbang media (gateway). Akhirnya ada banyak informasi yang diterima oleh

orang-orang, walaupun informasi itu berupa konten sampah yang tidak penting

sama sekali. Konten sampah ini kemungkinan memiliki hubungan dengan

dorongan (visi) retoris sebagaimana disampaikan di atas, yang mencirikan bahwa

seseorang cenderung membebaskan dirinya untuk memberikan komentar, atau

menyebarkan informasi tanpa pernah memikirkan apakah informasi tersebut

penting untuk diketahui oleh khalayak atau tidak.

Selanjutnya, perlu disadari kembali bahwa media massa dan social media

memegang kendali yang cukup tinggi untuk mempengaruhi publik karena

kekuatannya yang sangat besar untuk mempengaruhi publik yang tidak bisa

dilakukan oleh organisasi manapun.

Perkawinan antara keduanya menjadikan tekanan informasi media semakin

―dalam‖ dalam mempengaruhi publik. Tak heran bagaimana media sosial

digunakan dalam kampanye Barrack Obama yang memiliki peran signifikan

dalam usaha memenangkannya. Demikian pula yang terjadi pada kampanye

pasangan Jokowi-Ahok yang memanfaatkan kekuatan media sosial seperti twitter

untuk mempengaruhi opini publik.

Opini publik yang lahir dari konvergensi media massa dan social media ini

membentuk suatu gugusan opini yang khas. Seorang bebas memilih informasi

mana yang ingin dia konsumsi, walaupun secara tidak sadar ia mengkonsumsi

pesan-pesan tak bermutu yang tampil di hadapannya. Hal ini dapat menjadi

cerminan masyarakat karena dorongan untuk memilih dan menyampaikan idenya

dipengaruhi oleh motivasi dan cara berfikir seseorang.

2. Media baru sebagai budaya baru dalam menyebarkan musik

Proses digitalisasi sendiri telah membawa banyak perubahan dalam industri

media baik dari sisi produser maupun pengguna. Salah satu dari perubahan itu

terkait dengan makna dari medium itu sendiri. Dengan adanya teknologi digital,

menjadi sulit bagi pengguna untuk membedakan satu medium dengan medium

lainnya karena berbagai media tampak menyatu dan pengguna dapat dengan

mudah mengakses jenis informasi dan hiburan yang berbeda hanya dengan satu

klik saja (Markman, 1997, h.35).

Fenomena konvergen media ini dapat dipahami dengan lebih baik saat kita

membaca ilustrasi yang dipaparkan oleh Anne Friedberg bahwa walaupun layar

bioskop, televisi dan komputer tetap mempertahankan lokasi fisiknya yang

terpisah, tetapi jenis gambar yang pengguna lihat di masing-masing medium telah

kehilangan kekhasan karakter mediumnya (Harries, 2002, h.171). Dengan adanya

konvergen media, sebuah medium tidak lagi hanya memiliki satu fungsi, tetapi

dapat juga memberikan pelayanan lain, yang memungkinkan banyak pengguna

untuk mendapatkan engalaman media yang berbeda secara simultan (2002, h.10).

Contohnya, saat berselancar didunia maya, orang dapat membaca berita dan

melihat video yang memuat berita tersebut di saat yang bersamaan.

Dari sisi produser media, media konvergen juga memberikan beberapa

tantangan baru. Untuk memuaskan kebutuhan dan selera pengguna yang berbeda,

produser media dituntut untuk menjadi lebih kreatif dalam merencanakan

penggunaan media platform yang berbeda untuk menyebarkan informasi yang

mereka berikan. Selain itu, produser media juga harus mempersiapkan versi yang

berbeda dari materi media yang sama. Hal ini menunjukkan sebuah ekologi

produksi baru dimana cara-cara lama dalam membuat teks media mulai

ditinggalkan (O‘Regan dan Goldsmith, 92, 2002 ).

Karena digitalisasi memberikan kemudahan dan fleksibiltas terhadap muatan

media, jenis teks media yang berbeda seperti filem, musik, video, permainan

komputer, situs Internet, dokumenter televisi dan buku juga dapat saling ditautkan

(crossed referenced) dalam industri media moderen. Oleh karena itu, dapat

dikatakan bahwa pengguna media saat ini cenderung mengenal teks media

tertentu melalui asosiasinya terhadap format budaya yang lain (Marshall, 2002,

h.68).

Hal ini juga dikenal sebagai intertextuality teks media dan dapat ditemukan

dengan mudah dalam konsumsi media masyarakat sehari-hari. Contohnya, isu-isu

yang ramai dibicarakan di media online seperti Facebook atau Kaskus sering

diangkat menjadi agenda berita televisi-televisi nasional dan sebaliknya. Itulah

mengapa produser media dalam era digitalisasi ini harus mempersiapkan versi

yang berbeda dari teks media yang sama untuk memuaskan permintaan pasar.

Faktor penting lainnya yang dapat dianggap sebagai karater khas dari media

digital adalah kemampuannya dalam meningkatkan interaksi dan kontrol

pengguna. Perlu dicatat bahwa interaksi media dapat dikategorikan menjadi dua

macam. Yang pertama adalah interaksi yang memungkinkan pengguna untuk

mengambil kendali atas sebuah teks budaya (Marshall, 2004, p .14). Contoh

kongkrit dari jenis interaksi ini adalah media DVD karena saat pengguna melihat

rekaman DVD pengguna dapat dengan mudah memilih untuk menghentikan,

memulai dan bahkan mengulang kembali adegan yang mereka inginkan, sehingga

memungkinkan pengguna mendapatkan pengalaman mengkonsumsi materi DVD

yang berbeda-beda (Harries, 2001, h.173). Dengan kata lain, interaksi yang

dimungkinkan oleh budaya digital telah mengubah pengalaman pengguna dalam

mengkonsumsi media karena saat ini mereka dapat terlibat langsung dalam proses

produksi teks media tersebut (Marshall, 2004, h.25). Walaupun kemampuan

memilih cara mengkonsumsi media tidak hanya ditemukan pada budaya digital,

media digital telah mebuat pengalaman interaksi ini menjadi semakin sering dan

menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Kehadiran New Media memunculkan adanya perspektif dari beberapa pakar.

Diantaranya adalah McLuhan. Menurut McLuhan, kehadiran New Media dapat

membuat sebuah proses komunikasi menjadi global, sehingga menyebabkan

mengapa dunia saat ini disebut dengan Global Village.

McLuhan mengatakan bahwa dunia akan menjadi satu desa global (Global

Village) dimana produk produk yang ada akan menjadi cita rasa semua orang.

Global Village menjelaskan bahwa tidak ada lagi batas waktu dan tempat yang

jelas. Informasi dapat berpindah dari satu tempat ke belahan dunia lain dalam

waktu yang sangat singkat dengan menggunakan teknologi internet.

Global Village adalah konsep mengenai perkembangan teknologi komunikasi

di mana dunia dianalogikan menjadi sebuah desa yang sangat besar. McLuhan

memperkenalkan konsep ini pada awal tahun 60-an dalam bukunya yang berjudul

Understanding Media: Extension of A Man. Konsep ini berangkat dari pemikiran

McLuhan bahwa suatu saat nanti informasi akan sangat terbuka dan dapat diakses

oleh semua orang.

Salah satu fasilitas bagi individu ataupun masyarakat dunia maya dalam

bersosialisasi secara online dapat dilakukan melalui media sosial online. Media

sosial online merupakan media yang didesain untuk memudahkan interaksi sosial

bersifat interaktif dengan berbasis teknologi internet yang mengubah pola

penyebaran informasi dari sebelumnya bersifat broadcast media monologue (satu

ke banyak audiens) ke social media dialogue (banyak audiens ke banyak

audiens). Media sosial online turut mendukung terciptanya demokratisasi

informasi dan ilmu pengetahuan yang mengubah perilaku audiens dari yang

sebelumnya pengonsumsi konten beralih ke pemroduksi konten.

Alternatif komunikasi masyarakat modern saat ini menyebabkan tuntutan

manusia terhadap kebutuhan informasi semakin tinggi. Hal itu turut melahirkan

kemajuan yang cukup signifikan dalam bidang teknologi. Peningkatan di bidang

teknologi, informasi, serta komunikasi mengakibatkan dunia tidak lagi mengenal

batas, jarak, ruang, dan waktu. Seseorang dapat dengan mudah mengakses

informasi penting tentang fenomena kejadian di belahan dunia lain, tanpa harus

berada di tempat tersebut. Padahal untuk mencapai tempat itu memakan waktu

berjam-jam, namun hanya dengan seperangkat computer atau yang gadget yang

memiliki konektivitas internet, informasi dapat diperoleh dalam hitungan detik.

Internet (interconnection networking) merupakan jaringan komputer yang

dapat menghubungkan suatu komputer atau jaringan komputer dengan jaringan

komputer lain, sehingga dapat berkomunikasi atau berbagi data tanpa melihat

jenis komputer itu sendiri. Seperti yang diketahui internet merupakan bentuk 3

konvergensi dari beberapa teknologi penting terdahulu, seperti komputer, televisi,

radio, dan telepon (Bungin, 2006 : 135).

Perkembangan internet terus berlangsung hingga kini. Di seluruh dunia

jumlah pemakai internet tercatat sekitar 3 juta orang pada tahun 1994. Di tahun

1996 tercatat lonjakan drastis, jumlah pemakai internet hingga sebanyak 60 juta

pengguna, pada tahun 1998 angka ini meningkat tajam hingga mencapai 100 juta

pengguna dan untuk tahun 2005 diprediksi jumlah pengguna internet bakal

mencapai 1 milyar pengguna. Tidak dapat dipungkiri bahwa animo masyarakat

terhadap penggunaan internet sebagai media komunikasi dan informasi terus

meningkat. Kehadiran internet telah membawa revolusi serta inovasi pada cara

manusia berkomunikasi dan memperoleh informasi. Internet berhasil mengatasi

masalah klasik manusia, karena keterbatasan jarak, ruang, dan waktu tidak lagi

menjadi kendala berarti.

Internet turut menggubah bentuk masyarakat dunia, dari masyarakat dunia

lokal menjadi masyarakat dunia global. Sebuah dunia yang sangat transparan

terhadap perkembangan teknologi dan informasi yang begitu cepat dan besar

dalam mempengaruhi peradaban umat manusia. Terdapat desa yang besar dengan

masyarakatnya saling mengenal serta menyapa satu sama lain, sehingga dunia

disebut sebagai the big village.

Berdasarkan pernyataan Marshall McLuhan di buku Understanding Media:

The Extensions of Man, mengemukakan ide bahwa ―pesan media ya medianya itu

sendiri‖ (Marshall, 1999:7). McLuhan menganggap media sebagai perluasan

manusia dan media yang berbed-beda mewakili pesan yang berbeda-beda. Media

juga mempengaruhi cakupan serta bentuk dari hubungan-hubungan dan kegiatan-

kegiatan manusia. Pengaruh media telah berkembang dari individu ke masyarakat.

Dengan media, setiap bagian dunia dapat dihubungkan menjadi ―global village‖

atau desa global.2

Empat puluh tahun yang lalu, Marshall McLuhan berteori panjang lebar

tentang dampak dari media elektronik, seperti televisi dan radio, pada lingkungan

dan budaya kita. Saat itu, ia menggambarkan kita sebagai metafora 'ikan' yang

menyadari air media yang mengelilingi kita. Tentu saja, setelah berevolusi untuk

menjadi sempurna beradaptasi dengan kehidupan di media air, tidak menyadari

keberadaannya, air adalah niche ekologi di mana mereka lahir. Dengan cara yang

sama, sehingga McLuhan berpendapat, kita dilahirkan dalam ekologi kita sendiri

niche. Namun, bukannya dikelilingi oleh air, kita tenggelam dalam media, atau

media (jamak), masyarakat kita teknologi ditingkatkan. Untuk Misalnya, dunia

sehari-hari jalan-jalan dan rumah-rumah, mobil dan truk, komputer dan

telekomunikasi yang kita hadapi adalah sebanyak 'habitat alami' kita sebagai

adalah pohon-pohon dan semak-semak yang tampaknya untuk mengisi

kekosongan. Seperti ikan di air kita jarang menyadari berapa banyak kita

bergantung padanya.3

Dua ide McLuhan yang terkenal "Media adalah pesan" dan "media adalah

pijat "(McLuhan dan Fiore, 1967) merupakan upaya untuk membuat kita sadar

akan efek media pada persepsi kita dan interaksi dengan dunia di sekitar kita. Itu

Kata "pijat" (awalnya kesalahan pencetakan pada sampul buku), khususnya

menunjukkan cara di mana organ-organ sensorik tubuh kita subliminally

terpengaruh oleh media yang mengelilingi kita.

Perkembangan teknologi informasi tidak hanya mampu menciptakan

masyarakat dunia global, namun secara materi dapat mengembangkan ruang

gerak kehidupan baru bagi masyarakat. Tanpa disadari, komunitas manusia telah

2 Marshall McLuhan, Understanding Media, McGraw-Hill, Canada, 1964.

3 O‘Neill Shaleph, Interactive Media The Semiotics of Embodied Interaction, h 32, 2008.

hidup dalam dua dunia kehidupan, yakni kehidupan masyarakat nyata dan

masyarakat maya (cybercommunity).

Masyarakat nyata ialah sebuah kehidupan masyarakat yang secara indrawi

dapat dirasakan sebagai sebuah kehidupan nyata, hubungan-hubungan sosial

sesama anggota masyarakat dibangun melalui pengindraan. Dalam masyarakat

nyata, kehidupan manusia dapat disaksikan sebagaimana apa adanya. Kehidupan

masyarakat maya merupakan suatu kehidupan masyarakat manusia yang tidak

dapat secara langsung diindera melalui penginderaan manusia, namun mampu

dirasakan serta disaksikan sebagai sebuah realitas.

Perubahan apapun pasti membawa konsekuensi tersendiri baik dampak

negatif atau positif. Internet adalah penemuan yang sangat revolusioner dan

mampu mengubah industri musik dengan cepat. Penjualan konten digital melalui

internet tentu jauh lebih murah dan cepat dibandingkan penjualan konvensional.

Keuntungan bisa didapat dengan lebih cepat karena konten digital lebih

mudah diperbanyak. Namun, internet juga mengancam industri musik. Internet

menyediakan kebebasan bagi penggunanya untuk berbagi informasi dan konten

digital sekaligus. Hak cipta tentu saja semakin kehilangan kekuatannya.

Sebagai konsekuensinya, pembajakan konten di era digital meningkat tajam.

Jika Anda mencari judul lagu tertentu di Google, hanya dalam hitungan detik

Anda sudah bisa menemukan lagu tersebut. Setelah itu, lagu bisa didownload

dengan mudah.

Di era internet ini, industri musik dituntut untuk lebih kreatif dalam

memproduksi konten digital. Penjualan konten tersebut biasanya menemui

banyak kendala karena pengguna internet lebih suka mendapatnya di tempat

download file gratis. Meskipun pembajakan meningkat, industri musik masih

terus berkembang pesat.

Jika tahun 2007, pasar musik melalui layanan seluler sekitar 1,7 miliar dollar

AS, akhir tahun ini diprediksi mencapai 3 juta dollar AS. Thaun 2009 mencapai

4,8 miliar dollar AS, tahun 2010 sekitar 6,2 miliar dollar AS, dan pada 2011

tembus 7,3 miliar dollar AS. Warner Musik Group yang menggendeng Nokia

agar musik produksinya dapat diakses langsung melalui layanan Nokia's Come

With Music. Sebelum dengan Warner Bros, Nokia juga menggandeng label besar

lainnya.

Berdasarkan laporan ini, komponen yang masuk dalam industri musik di

seluler antara lain download ring tone, download track, ringback tone, download

videoklip, dan streaming. Nilai penjualan dari ringtone polyphonic dan

monophonic yang dibenamkan langsung di ponsel tidak ikut dihitung.

Penjualan musik digital melalui layanan online, yang kini dikuasai Apple

melalui layanan iTunes, diperkirakan tumbuh dari 1,9 miliar dollar AS pada 2006

menjadi 7,5 miliar dollar AS pada 2011. Kombinasi antara layanan Internet dan

seluler akan mencatat pangsa pasar 56 persen dari total pasar musik di seluruh

dunia.4

Hal ini tentu saja menekankan bahwa media baru sudah mengambil alih peran

gerai atau yang biasa dikenal dengan toko kaset yang ada ditengah-tengah

masyarakat saat ini dan perlahan menggeser mereka. Meskipun masih banyak

yang membeli album music dalam bentuk fisik, namun hal ini tidak menutup

kemungkinan jika suatu saat toko toko kaset konvensional juga membuka layanan

dengan menjual album digital seperti yang dilakukan oleh iTunes saat ini.

3. Media Baru dan penyebaran musik non mainstream

Digitalisasi dapat didefinisikan secara sederhana sebagai penyederhanaan

materi informasi dalam bentuk kode biner (Marshall, 2004: 17) atau penyatuan

teknologi komunikasi dengan logika komputer (Schiller, 2000: xv). Metode baru

pengubahan data ini memiliki keunggulan dalam meningkatkan fleksibilitas

penanganan, penyimpanan dan pengiriman data dari satu orang ke orang lainnya

(Marshall, 2004: 17). Selain itu, fleksibilitas yang ditawarkan oleh proses

4http://tekno.kompas.com/read/2008/07/04/15342076/Tahun.2011..Musik.Digital.56.Persen.Pasar.

Musik.Dunia diakses 11 juni 2013

digitalisasi juga telah mempermudah proses transmisi dan manipulasi materi

informasi yang berefek ekonomis bagi suatu jaringan, karena materi informasi

dapat disebarluaskan secara lebih efisien di antara para pengguna jaringan

tersebut (Schiller, 2000: xv).

Proses digitalisasi sendiri telah membawa banyak perubahan dalam industri

media baik dari sisi produser maupun pengguna. Salah satu dari perubahan itu

terkait dengan makna dari medium itu sendiri. Dengan adanya teknologi digital,

menjadi sulit bagi pengguna untuk membedakan satu medium dengan medium

lainnya karena berbagai media tampak menyatu dan pengguna dapat dengan

mudah mengakses jenis informasi dan hiburan yang berbeda hanya dengan satu

klik saja (Markman, 1997: 35).

Fenomena konvergen media ini dapat dipahami dengan lebih baik saat kita

membaca ilustrasi yang dipaparkan oleh Anne Friedberg bahwa walaupun layar

bioskop, televisi dan komputer tetap mempertahankan lokasi fisiknya yang

terpisah, tetapi jenis gambar yang pengguna lihat di masing-masing medium telah

kehilangan kekhasan karakter mediumnya (Harries, 2002: 171). Dengan adanya

konvergen media, sebuah medium tidak lagi hanya memiliki satu fungsi, tetapi

dapat juga memberikan pelayanan lain, yang memungkinkan banyak pengguna

untuk mendapatkan pengalaman media yang berbeda secara simultan. Contohnya,

saat kita berselancar di dunia maya kita dapat membaca berita dan melihat video

yang memuat berita tersebut di saat yang bersamaan.

Hal ini juga dikenal sebagai intertextuality teks media dan dapat ditemukan

dengan mudah dalam konsumsi media masyarakat sehari-hari. Contohnya, isu-isu

yang ramai dibicarakan di media online seperti Facebook atau Kaskus sering

diangkat menjadi agenda berita televisi-televisi nasional dan sebaliknya. Itulah

mengapa produser media dalam era digitalisasi ini harus mempersiapkan versi

yang berbeda dari teks media yang sama untuk memuaskan permintaan pasar.

4. Netlabel : Sebuah Free Culture, Passion dan Pengarsipan Digital

a. Free Culture

Netaudio sangat lekat dengan Internet, yang mana adalah media untuk

menyebarluaskan produk intelektual, inilah misi yang diusung oleh generasi

free culture5. Internet sebagai media memang seharusnya dibuat untuk

mempermudah dan tidak seharusnya dibuat untuk mempersulit, apalagi

ditunggangi kepentingan kapitalisme.

Free culture bukanlah budaya tanpa kepemilikan. Kebalikan dari free

culture adalah permission culture (budaya ijin), budaya dimana pencipta

hanya dibolehkan mencipta atas ijin penguasa, atau pencipta di masa lalu.

Sekarang, internet telah menjadi sebuah media baru yang merobohkan batasan

antara ijin dan tidak ijin, karena teknologi file-sharing akan membuat audiens

dapat melakukan apasaja tanpa ijin terlebih dahulu, namun jangan lupa juka

Free culture-pun juga tidak menyetujui kegiatan pembajakan. Baik budaya ijin

maupun pembajakan itu sendiri, free culture tidak membela keduanya. Wok

menambahkan ―Konsep Opensource adalah sebuah konsep yang sangat mulia

dan brillian yang dihasilkan manusia diakhir abad 20, berterima kasihlah pada

Linux yang pertama kali memperkenalkan khalayak dengan budaya gratis

namun legal, ini vebar-benar memberikan kontribusi besar bagi hajat hidup

orang banyak, ada kemungkinan besar untuk saling berkolaborasi dan

didedikasikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang open-mind bagi

masyarakat dunia‖.

Konsep free dalam free music bukanlah gratis, namun bebas, karena

memakai interne-pun harus membayar. pemusik saat ini mendapat pemasukan

dari sumber yang bervariasi: Merchandise, tiket konser, pentas di televisi,

event, atau RBT. Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa menggratiskan

musk tidak berpengaruh besar terhadap penghasilan pemusik.

5 Lawrence Lessig, Budaya Bebas, Yogyakarta, KUNCI Kultural Studies, 335, 2011.

“New media mean here new market paradigms, new production

processes, new mindsets and new expressive forms‖ (O‘Regan dan

Goldsmith, 2002: 93).

Dulu di Indonesia, hanya arus utama musik yang mendapatkan

perhatian, pop, jazz, dan rock. Itu saja dan selesai. Akan tetapi derasnya arus

informasi yang masuk dari internet sampai MTV memberi sedikit terapi pada

sedemikian banyak pemusik di Indonesia dengan banyaknya konsep dan

aliran bermusik. Apalagi di era sekarang ini, genre musik semakin ―meriah‖

dengan istilah yang dibuat para jurnalis atau pemusik/band sendiri. Nama-

nama genre itu british pop, metalcore, thrash core, electronic core, alternative

pop, hardcore punk, 8bit dan masih banyak lagi subgenre yang terbentuk dari

arus musik utama tadi.

Di Indonesia, sebenarnya, potensi musik sudah sedemikian

berkembang pesat. Di banyak kota kecil, banyak bermunculan pemusik dan

band-band dengan kreativitas yang bagus. Ini dipicu oleh fasilitas, seperti

peralatan musik, kemudahan akses seperti internet dan komputer tentunya.

Dari sekian banyak aliran musik yang masuk dan mempengaruhi gaya

bermusik artis/band di negeri ini, sialnya hanya beberapa saja yang bisa

sampai menembus major record label. Itupun dengan berbagai macam

prasyarat. Yang jelas musiknya harus layak jual, komersil dan tidak sampai

merugikan record label.

Akhirnya muncul label label independent yang mewadahi mereka

yang tidak masuk dalam kriteria ―layak jual‖ dari major label. Belakangan,

malah banyak diantara label independen ini yang memunculkan band band

―ajaib‖ dengan musik berkualitas. Berkualitas juga sebenarnya juga

tergantung selera pendengar dan penikmat juga. Akan tetapi, jumlah penjualan

album berupa compact disc ataupun kaset tape bisa menjadi bukti maraknya

rilisan dari independen label tersebut.

Lalu muncul netlabel —label berbasis internet sekaligus baru dari

proses promosi dan distribusi musik. Netlabel ini sebenarnya bentuk

perlawanan dari kapitalisasi musik. Orang membuat band, membuat musik

dengan semangat yang berbeda, keinginan menyebarluaskan karya musik

dengan membebaskan orang mengunduh dan membagikannya secara gratis

dan legal.

Netlabel sebenarnya sebagai salah satu sarana untuk menyebarluaskan

karya musik ke publik yang lebih luas. Karena fungsi netlabel adalah bagian

dari promosi dan distribusi. Dan ini menjadi bagian yang serius. Karena

promosi dan distribusi merupakan sesuatu yang luas cakupannya. Internet

sekarang memang sudah menjadi bagian sehari-hari dari kehidupan

masyarakat. Akan tetapi, masih ada daerah-daerah yang masih belum

terjangkau oleh fasilitas ini. Sekarang bagaimana caranya agar karya band

band dan pemusik ―pinggiran‖ ini bisa didapat dan didengarkan di tempat

lain? Dari sini akhirnya netlabel bergerak. Niatan untuk memperkenalkan dan

mendistribusikan karya musik sehingga bisa dinikmati kalangan yang lebih

luas karena karya musik, seperti juga halnya karya seni yang lain sama sama

memiliki hak untuk diperkenalkan, disebarluaskan seluruh informasi

tentangnya.

Dari sini saja, sudah tambah banyak lagi subgenre yang dibangun

hingga semakin sulit untuk mengklasifikasikan jenis musik. Keterbukaan

untuk menerima, mempromosikan dan mendistribusikan musik, adalah sebuah

kewajiban dan sedikit banyak merupakan tanggung jawab moral dari netlabel,

khususnya untuk mendukung distribusi musik secara legal. Malahan,

pewartaan gerakan netlabel dan distribusi musik secara legal ini juga harus

lebih gencar didorong melalui event online dan offline, promosi social media

dan sebagainya. Ini bertujuan agar gerakan ini bisa dikenal semakin luas dan

band/musisi/artis, serta pendengar dan penikmat musik tidak canggung lagi

dengan istilah netlabel.

Munculnya situs sosial media di era Web 2.0 memberi kesempatan

untuk masuk menjadi bagian dari musik itu sendiri, seperti menjadi penyanyi,

kritikus, produser, bahkan hanya sebagai pendengar. Saat ini siapa yang tidak

tahu Youtube, situs berbagi musik dalam format video berevolusi menjadi

radio masakini yang sangat diidolakan. Justin Bieber adalah salah satu dari

sebagian banyak orang yang beruntung terkenal karena Youtube. Tanpa

Youtube tentu saja talenta Bieber tak tercium oleh seorang pencari bakat yang

bernama Scooter Braun yang kemudian memperkenalkannya kepada Usher

dan mengantar Bieber mendunia seperti saat ini. Hal ini tentu saja salah satu

pengaruh dari lahirnya Web 2.0.

Web 2.0, adalah sebuah istilah yang dicetuskan pertama kali oleh

O'Reilly Media pada tahun 2003, dan dipopulerkan pada konferensi web 2.0

pertama pada tahun 2004, merujuk pada generasi yang dirasakan sebagai

generasi kedua layanan berbasis web—seperti situs jaringan sosial, wiki,

perangkat komunikasi, dan folksonomi—yang menekankan pada kolaborasi

online dan berbagi antar pengguna. O'Reilly Media, dengan kolaborasinya

bersama MediaLive International, menggunakan istilah ini sebagai judul

untuk sejumlah seri konferensi, dan sejak 2004 beberapa pengembang dan

pemasar telah mengadopsi ungkapan ini.

Walaupun kelihatannya istilah ini menunjukkan versi baru daripada

web, istilah ini tidak mengacu kepada pembaruan kepada spesifikasi teknis

World Wide Web, tetapi lebih kepada bagaimana cara si-pengembang sistem

di dalam menggunakan platform web. Mengacu pada Tim Oreilly, istilah

Web 2.0 didefinisikan sebagai berikut:

"Web 2.0 adalah sebuah revolusi bisnis di dalam industri komputer

yang terjadi akibat pergerakan ke internet sebagai platform, dan suatu usaha

untuk mengerti aturan-aturan agar sukses di platform tersebut‖6

6 http://id.wikipedia.org/wiki/Web_2.0 diakses 25 juli 2013

Kehadiran netlabel pun memberi angin segar bagi para pemusik karena

sangat membantu mereka yang tidak memiliki cukup budget guna merilis

karyanya dalam bentuk fisik. Dan tak dapat dipungkiri inilah era digital,

dengan hadirnya Netlabel bisa membantu para pemusik yang misalnya mau

merilis rilisannya dalam bentuk fisik namun budget-nya belum memadai,

yang tentunya disertai bundle .pdf, .jpeg, dll yang didalamnya terdapat

artwork, lirik+penjelasan, credit title, dan lain sebagainya. Mengenai

alternatif-alternatif cara yang ada dalam menyebarluaskan karya. Selain itu,

sebagai media promosi, netlabel pun bisa dikatakan cukup efektif dalam

membantu menyebarkan karya-karya dari sang musisi. Karena biasanya, tiap

kali merilis album netlabel selalu mengoptimalkan penggunaan soc-med yang

sedang onfire saat ini seperti Facebook, Twitter, ataupun Google Plus sebagai

lahan promosinya. Netlabel memang memaksimalkan dunia Internet agar

rilisannya dapat segera diketahui untuk kemudian diunduh orang lain.

Netlabel jadi wadah promosi yang efektif khususnya band indie lokal dengan

kualitas super. Informasi jadi cepat tersebar. Kalau musiknya bagus makin

banyak orang tau makin berkembang dan bervariatif referensi musik mereka.

Secara langsung ataupun tidak, netlabel telah turut menjadi satu dalam

raga perkembangan dunia musik tanah air khususnya dalam pergerakan

Indie/Underground scene. Cukup dengan menghubungi salah satu netlabel

(atau lebih) yang diinginkan dan mengirim file mp3, dan karya siap didengar

oleh ribuan bahkan lebih banyak lagi orang diluar sana. Tak usah lagi pusing

memikirkan penggandaan cd/tape, cetak cover, dan promosi. Kini netlabel

hadir sebagai alternatif bagi para pemusik dalam hal distribusi karya-

karyanya.

Internet membuat penyebaran konten menjadi lebih efisien. Efisiensi

ini adalah kelebihan desain Internet. Namun dari sudut pandang industri

konten, fitur ini adalah ―hama‖. Penyebaran konten yang efisien akan lebih

menyulitkan distributor konten dalam mengontrol pendistribusian konten

tersebut. Salah satu reaksi nyata dari industri konten ialah menjadikan Internet

lebih tidak efisien. Menurut respon yang demikian, jika Internet

memungkinkan ―pembajakan‖, maka Internet harus dilemahkan.

Pertarungan yang mengawali perang ini dimulai dari musik. Jadi,

tidaklah adil untuk mengakhiri buku ini tanpa mengangkat isu, yang bagi

kebanyakan orang, lebih genting—yakni, musik. Tidak ada isu kebijakan lain

yang lebih memberi hikmah pelajaran dari buku ini, selain pertarungan dalam

aktivitas berbagi musik. Daya tarik berbagi file musik adalah candu dari

pertumbuhan Internet. Ia mendorong permintaan akses Internet menjadi lebih

kuat dari aplikasi manapun. Ia menjadi aplikasi pembunuh (killer apps.) di

Internet— dengan dua pengertian dari kata ini. Tidak diragukan lagi, aplikasi

tersebut yang mendorong permintaan lebar pita (bandwidth). Ia juga yang

mendorong permintaan terhadap regulasi, yang pada akhirnya membunuh

inovasi dalam jaringan.Tujuan hak cipta, terkait dengan konten secara umum

dan musik secara khusus, adalah menciptakan insentif bagi musik untuk

digubah, dipentaskan, dan yang paling penting, disebarkan. Hukum

melakukan hal ini dengan memberikan hak eksklusif bagi komposer untuk

mengontrol pertunjukan publik atas karyanya, dan hak ekslusif pada artis

penampil untuk mengontrol kopian dari pertunjukannya.

Creative Commons adalah sebuah korporasi nirlaba yang didirikan di

Massachusetts, namun berasal dari Universitas Stanford. Tujuannya adalah

untuk membangun lapisan hak cipta yang masuk akal di atas ekstrem-ekstrem

yang sekarang mendominasi. Cara yang ditempuhnya adalah memudahkan

orang membangun di atas karya orang lain, dengan cara memudahkan para

pencipta untuk membebaskan orang lain mengambil dan membangun di atas

karya-karya mereka. Kode-kode sederhana yang disertai dengan penjelasan

yang mudah dibaca manusia dan terikat pada lisensi yang tahan peluru

membuat usaha ini mungkin dilakukan. Sederhanaberarti tanpa perantara, atau

tanpa pengacara. Dengan mengembangkan seperangkat lisensi bebas yang

dapat dilampirkan orang ke konten mereka, Creative Commons bermaksud

untuk menandai sejumlah konten yang dapat dibangun kembali dengan mudah

dan terpercaya. Tanda-tanda ini kemudian dihubungkan ke lisensi dalam versi

yang dapat dibaca oleh mesin. Hal ini memudahkan komputer untuk

mengidentifikasi konten yang boleh dibagi. Tiga faktor ini, - lisensi legal,

penjelasan yang mudah terbaca manusia, dan tanda yang mudah dibaca mesin,

melahirkan apa yang disebut lisensi Creative Commons. Lisensi Creative

Commons mendasari berlakunya kebebasan bagi siapapun yang mengakses

lisensi ini, dan yang lebih penting lagi, adalah sebuah perwujudan dari

idealisme bahwa pengguna lisensi ini memercayai sesuatu yang berbeda dari

kutub-kutub ekstrem ―Semua‖ atau ―Tidak sama sekali‖. Konten ditandai

dengan tanda CC, yang artinya adalah bukan hak ciptanya ditiadakan,

melainkan kebebasan tertentu tengah diberikan.

Kebebasan-kebebasan ini melampaui apa yang dijanjikan oleh prinsip

fair use. Kadar cakupannya bergantung pada pilihan-pilihan yang diambil para

pencipta. Para pecipta ini dapat memilih sebuah lisensi yang membolehkan

penggunaan macam apapun, selama tetap disertakan atribusi. Ia dapat memilih

lisensi yang hanya mengijinkan penggunaan nonkomersial saja. Ia dapat

memilih lisensi yang membebaskan karyanya digunakan dengan cara apapun

selama selama kebebasan yang sama juga diberikan kepada pengguna lain

(―share and share alike‖). Atau membebaskan penggunaan dengan cara

apapun selama tidak digunakan sebagai derivatif. Atau membebaskan cara

penggunaan apapun selama itu berlangsung di negara-negara berkembang.

Atau membebaskan penggunaan sampling, selama tidak membuat kopi

lengkap. Atau yang terakhir, membebaskan penggunaan untuk kepentingan

pendidikan.

Sebagai katup yang akan menjadi katalis pembebasan ide ini, netlabel

yang mengusung ideologi free culture dapat menjadi poros utama

pengembangan sebuah budaya tanding (counter-culture) yang dapat

mendompleng konsep komodifikasi musik yang telah menjadi norma. Konsep

bahwa seni adalah barang komodifikasi sudah menjadi sebuah paradigma

yang diterima secara luas, bahwa ide adalah sebuah barang dagangan yang

patut dihargai secara nominal. Bukan menentang seni sebagai mata

pencaharian, tetapi terkadang konsep tersebut dijadikan sebuah alasan

dominasi budaya dari seseorang atau sebuah kolektif untuk dapat berteriak

―pencuri!‖ terhadap siapapun yang ―kebetulan‖ menggunakan beberapa nada

dalam beberapa birama yang sama dengan orang/kolektif yang lebih atau

bahkan sama termahsyurnya. Intinya, adalah bahwa pematenan

mengkangkangi perkembangan kreativitas dari produksi karya.

Dengan terbukanya katup tersebut, maka informasi akan – dengan baik

buruknya – lebih luwes berkembang. Remix culture yang sangat didukung

oleh konsep free culture Lessig yang sebenarnya telah ada sejak awal

kemunculan hip hop adalah media kreatif bagi produsen karya untuk dapat

menciptakan sesuatu yang baru dari ide-ide/konsep-konsep yang sudah

tersedia sebelumnya namun dijadikan sebuah kontroversi dalam hal

pelanggaran paten/hak cipta. Dalam dokumenter Steal This Film karya The

League of Noble Peers, konsep unduh, bagi, dan modifikasi karya/konten

yang dipatenkan menjadi fokus utama. Kekhawatiran utama mereka adalah

kontrol konten di daring (internet) yang dicetuskan serta dilaksanakan oleh

kepanjangan tangan kepentingan industri.

Apabila netlabel lokal dapat mengadopsi sikap ini, tidak sekedar

menjadi tempat menimbun musik gratis, maka pembentukan INU ini akan

jauh dari sia-sia. Bukan hanya sekedar kolektif kurator tetapi juga media

kemerdekaan seni dan teknologi. Hal yang terjadi dengan netlabel lokal justru

adalah, apa yang dikhawatirkan sebelumnya, tempat penimbunan musik

gratis. Terlebih adalah pandangan konsumen bahwa netlabel hanya sebagai

tempat mengunduh tanpa mengerti konsep utama dari netlabel tersebut. Pada

dasarnya tanpa kesadaran tersebut tidak bedanya antara pembajak dengan

pengunduh legal, kesadaran yang mereka pegang adalah bahwa musik

tersebut bebas untuk diunduh. Bebas dalam artian tidak ada pengaturan/sanksi

yang tegas terhadap aksi tersebut.

b. Netlabel dan Budaya Gotong royong

Beberapa artis yang menggunakan model crowdfunding untuk

pendanaan proses produksi karya musik nya adalah: Navicula dan Efek

Rumah Kaca. Mereka langsung berhubungan dengan fans mereka untuk

meminta dukungan pendanaan atas projek yang akan dibuat. Ada pula yang

memanfaatkan situs seperti wujudkan.com seperti rapper Kojek dengan

proyek Si Kecil Untuk Bangsa Yang Besar.

Bukan hanya merilis album musik tetapi untuk menerbitkan buku

dengan tema musikal serta pertunjukan seni pun dilakukan dengan cara

crowdfunding. Contoh adalah proyek Tanda Hati 9 Lukisan Kata dan

Nada yang bisa didukung lewat link ini tinyurl.com/tandahati. Ini adalah

proyek album musik puisi yang diangkat dari puisi-puisi karya 9 penyair

dengan latar belakang yang berbeda-beda.

Miguel De Braganca seorang peneliti dari Berklee College of

Music melihat kehadiran crowdfunding dapat merusak tatanan yang telah

terbangun di industri musik dan memberikan harapan baru. Ia dengan jelas

menyatakan bahwa investasi yang dikeluarkan untuk mengembangkan bakat

untuk menjadi terkenal itu tidaklah sedikit. Apalagi dengan kenyataan model

pareto di industri musikdimana 8 dari 10 artis yang dirilis kepasaran

berpotensi tidak laku. Label musik akan mencari jalan aman untuk investasi

musiknya dengan melibatkan fans musik.7

Kehadiran model crowdfunding ini dapat memungkinkan untuk

membantu label merilis apa yang tepat diinginkan oleh fans musik. Dengan

7 http://www.thembj.org/2013/05/record-labels-and-the-jobs-act/ Diakses 21 juli 2013

mengalokasikan investasi dari posting produk ke posting marketing dan

promosi, artinya akan memberi keleluasaan untuk mengenalkan single ini ke

pasaran. Jika fans musik suka, maka mereka dilibatkan dalam proses

dukungan untuk si artis dapat merilis full-album. Tiap fans yang

‗menyumbang‘ akan diberikan ‗royalti‘ dari tiap album yang berhasil

dipasarkan. Fans musik menjadi terlibat dalam keseluruhan proses dari

sebuah masterpiece tercipta.

Secara garis besar, crowdfunding berhubungan dengan konsep direct-

to-fans atau direct-to-consumer. Artinya harus memiliki fans atau consumer

yang potensil dengan jumlah signifikan untuk dapat mendanai proyek. Band

baru dengan personil wajah-wajah baru tentunya akan sulit

mendapatkan funds dengan jumlah yang diharapkan dalam waktu singkat.

Bilapun bisa, mereka harus melalui proses public relations yang cukup

panjang untuk meyakinkan publik menyumbangkan dananya. Dan

kebanyakan artis disini pengennya instan, langsung menodong orang untuk

menyumbang atau membeli CD.

Crowdfunding mungkin bisa jadi sebuah kampanye untuk menghargai

musik itu sendiri dengan mengembalikan musik kepada khalayak luas. Semua

orang menjadi merasa punya peranan dari tiap musik yang telah dirilis.

Massolution mendefinisikan crowdfunding kedalam empat tipe:

Equity-based crowdfunding, ini adalah model yang paling besar

meraup uang dan biasanya digunakan pada produk-prouk digital.

Disini para donatur akan mendapatkan saham atas projek yang akan

dijalankan berdasarkan perjanjian bagi hasil yang telah disepakati.

Lending-based crowdfunding, model ini para donatur akan

menerima bagi hasil dalam jangka waktu tertentu.

Reward-based crowdfunding, donatur akan mendapatkan reward

yang berupa non-uang atas donasi nya.

Donation-based crowdfunding, donatur tidak mengharapkan

kompensasi apapun atas dukungannya terhadap proyek tersebut.

Selama ini produksi musik sangat bergantung pada pemodal yang

berada di korporasi label rekaman. Gelombang kemandirian atau independen

membuka jalan baru sumber pembiayaan dengan memasukan peranan fans

musik untuk ikut andil dalam memproduseri dengan memberikan sumbangan

finansial pada proses pembuatan album rekaman.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan metode studi kasus yaitu jenis penelitian yang

memberikan gambaran yang detail mengenai latar belakang dan sifat suatu peristiwa.

Pada umumnya, studi kasus dihubungkan dengan sebuah lokasi. ―Kasusnya‖

mungkin sebuah organisasi, komunitas, peristiwa, proses, isu, maupun kampanye.

Tujuan yang ingin dicapai dengan metode penelitian studi kasus adalah untuk

mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang dan interaksi

lingkungan suatu unit sosial, individu, kelompok, lembaga atau masyarakat. Menurut

Yin, penelitian studi kasus dapat dibedakan menjadi menjadi tiga tipe, yaitu

penelitian studi kasus yang bersifat eksplanatoris, eksploitoris dan deskriptif.8 Tipe

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi kasus deskriptif. Jenis penelitian studi

kasus deskriptif menurut M. Hariwijaya bertujuan membuat deskripsi secara

sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau objek

tertentu.9

8 Robert K Yin, Studi kasus : desain dan metode, Jakarta : RajaGrafindo Persada, Hal 1, 2003.

9 M. Hariwijaya dan Triton, ―Pedoman Penulis Ilmiah Proposal dan Skripsi‖, Penerbit ORYZA,

Yogyakarta, 2007.

1. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan cara menjadi

observasi partisipan. Cara ini dilakukan karena peneliti ingin mengenal lebih

dalam tentang objek penelitian yang akan ditelitinya. Di sini peniliti ikut terjun

langsung dalam pelaksanaan pendampingan itu. Proses ini dilakukan untuk

memperoleh gambaran riil tentang bagaimana komunitas netaudio

mengembangkan musik dengan menggunakan media baru. Selain itu peneliti

juga terjun ke lapangan ketika untuk melakukan wawancara dengan netlabel-

netlabel tersebut.

Observasi ini dilakukan dalam waktu kurang lebih tiga bulan. Cara lain

yang dilakukan selain menjadi observasi partisipan, dengan cara melakukan

indepth interview atau wawancara yang mendalam untuk mendapatkan

tambahan data tentang berbagai hal yang dipaparkan di atas. Wawancara ini

dapat membantu untuk memahami konteks yang ada di lapangan.

2. Metode Analisis Data

Dalam metode studi kasus ini, proses analisa dimulai dengan

mengumpulkan data dan kemudian mengelompokkan data-data tersebut

berdasarkan jenisnya. Masing-masing data tersebut diinterpretasikan dan

dihubungkan dengan kerangka pemikiran. Setelah melakukan penelusuran

kepustakaan, langkah terakhir dari proses ini adalah penyajian keseluruhan data

dalam bentuk narasi.

Strategi umum penelitian ini adalah preposisi teoritis. Dalam strategi ini

tujuan dan desain studi kasus ditentukan berdasar pada proposisi yang

mencerminkan pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka dan pemahaman-

pemahaman baru. Proposisi-proposisi tersebut membentuk rencana

pengumpulan data dan karenanya memberi prioritas pada strategi analisis yang

relevan. Selain itu penelitian ini menggunakan bentuk analisis dominan

penjodohan pola (pattern-matching) yaitu dengan melakukan perbandingan

antara data yang diperoleh dengan pola yang telah dibuat berdasarkan teori-

teori. Penjodohan pola pada studi kasus deskriptif akan relevan dengan pola

variabel-variabel spesifik yang diprediksi dan ditentukan sebelum pengumpulan

data.10

10 Robert K Yin, Studi kasus : desain dan metode, Jakarta : RajaGrafindo Persada, Hal 140, 2003.