bab i akad mudharabah
DESCRIPTION
mudharabahTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pada dasarnya setiap manusia dalam aktivitasnya baik yang bersifat
duniawi maupun ukhrowi tidak lepas dari pada tujuan (maqosyid) dari apa yang
akan ia peroleh selepas aktivitas tersebut, dengan berbagai macam perbedaan
sudut pandang manusia itu sendiri terhadap esensi dari apa yang hendak ia
peroleh, maka tidak jarang dan sangat tidak menutup kemungkinan sekali proses
untuk menuju pada tujuan maqosyid-nya pun berwarna-warni.
Salah satu contoh dalam aktivitas sosial-ekonomi, banyak dari manusia
sendiri yang terjebak dalam hal ini, lebih mengedepankan pada pemenuhan hak
pribadi dan mengabaikan hak-hak orang lain baik hak itu berupa individu ataupun
masyarakat umum. Akan tetapi Islam adalah sebuah agama yang rahmatan lil-
alamin yang mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia, sehingga norma-norma
yang diberlakukan islam dapat memberikan solusi sebuah keadilan dan kejujuran
dalam hal pencapaian manusia pada tujuan daripada aktivitasnya itu, sehingga
tidak akan terjadi ketimpangan sosial antara mereka.
Maka tidak jarang diantara kita yang tiap kali menemukan ayat dalam
kitab suci Al-Quran yang mendorong perdagangan dan perniagaan, dan Islam
sangat jelas sekali menyatakan sikap bahwa tidak boleh ada hambatan bagi
perdagangan dan bisnis yang jujur dan halal, agar setiap orang memperoleh
penghasilan, menafkahi keluarga, dan memberikan sedekah kepada mereka yang
kurang beruntung. Salah satu contoh dalam aktivitas ekonomi yaitu perbankan.
Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang sangat
strategis dalam menyerasikan dan mengembangkan stabilitas perekonomian
nasional. Kegiatan utama dari perbankan adalah menyerap dana dari
masyarakat. Hal ini dikarenakan fungsi Bank yang utama adalah sebagai perantara
(intermediary) pihak-pihak kelebihan dana (surplus of funds) dan pihak yang
1
memerlukan dana (luck of funds). Sebagai agent of development, Bank
merupakan alat pemerintah dalam membangun perekonomian bangsa melalui
pembiayaan semua jenis usaha pembangunan, yaitu sebagai financial
intermediary (perantara keuangan) yang memberikan kontribusi terhadap
pendapatan Negara (Karim, 2001: 78).
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 (undang-undang tentang
perbankan), industri perbankan di Indonesia berlaku sistem perbankan ganda
(Dual Banking System) yakni sistem perbankan konvensional atau pengganti
bunga (yang disebut Bank Konvensional) dan sistem perbankan bagi hasil atau
akad-akad yang sesuai dengan prinsip syariah Islam (yang disebut Bank Syariah).
Munculnya Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan ini mengakibatkan perubahan
dalam dunia perbankan yang memberikan peluang lebih besar bagi
pengembangan perbankan syariah. Hal ini terbukti dengan berkembangnya
perbankan syariah dengan pesat. Pada tahun-tahun terakhir ini perbankan
syariah di Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat pesat, baik
dilihat dari jumlah pembukaan cabang baru, jenis usaha Bank dan volume
kegiatan Bank yang dilakukan.
Setelah dikeluarkannya UU No.10 Tahun 1998 yang isinya memberikan
kewenangan dan pengawasan perbankan ke Bank Indonesia dan sekaligus
diperkenalkan landasan hukum bank syariah, perbankan nasional mulai
menerapkan sistem perbankan berganda atau dual banking system. Dual
banking system yaitu adanya sistem perbankan konvensional dan syariah yang
berlangsung dalam suatu negara dimana penerapannya harus berlandaskan pada
karakteristik dari masing-masing sistem.
Diberlakukannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan
atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 membuat semakin berkembangnya
lembaga-lembaga keuangan syariah yang cukup pesat belakangan ini, maka bank
sentral selaku otoritas moneter harus memantau dan mengendalikan
perkembangan lembaga-lembaga keuangan baru tersebut. Untuk melaksanakan
2
fungsi pemantauan dan pengendalian, maka otoritas moneter juga harus
membangun seperangkat kebijakan dan instrumen moneter yang sesuai dengan
prinsip-prinsip yang dianut oleh lembaga-lembaga keuangan dan perbankan
syariah. Sebagian negara muslim melakukan konversi mekanisme moneter dan
perbankan yang ada ke dalam sistem islami, seperti Iran dan Pakistan, dan
sebagian negara muslim lainnya, seperti Indonesia, mengakomodasikan
perkembangan tersebut melalui “dual banking system”, dimana perbankan syariah
dapat beroperasi berdampingan dengan perbankan konvensional.
Dalam sistem perbankan syariah, nilai-nilai islami yang melandasi
operasi perbankan syariah merupakan hal yang membedakan dengan sistem
perbankan konvensional. Menurut Rodhoni (2008:7) pengembangan ketentuan
dan instrumen bagi bank syariah tidak dapat dipersamakan dengan yang berlaku
pada bank konvensional. Adanya sebuah instrumen atau ketentuan yang
berlaku bagi bank konvensional tidak berarti bank Indonesia harus selalu
menciptakan instrumen dan mengatur ketentuan yang sama bagi bank
syariah. Instrumen maupun ketentuan tersebut dapat saja diperlukan oleh bank
syariah dan sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip syariah. Hal tersebut
harus diatur oleh bank sentral agar dapat berlaku bagi bank syariah. Apabila
instrumen dan ketentuan tersebut tidak sesuai dengan prinsip syariah namun
dibutuhkan bank syariah maka bank sentral harus menciptakan instrumen dan
mengatur ketentuan yang berbeda dengan yang berlaku bagi bank konvensional.
Dalam perbankan syariah kita telah mengenal bahwa didalamnya tidak
memakai prinsip bunga melainkan prinsip bagi hasil, yang mana prinsip bagi hasil
dalam perbankan syariah ini dapat dilakukan dalam empat akad, yaitu; al-
musyarakah, al-mudharabah, al-muzara’ah dan al-musaqah. Namun, dalam
makalah ini penulis hanya membahas mengenai “akad mudharabah (al-
mudharabah)”. Bank syariah juga mengadakan pembiayaan dalam bentuk jual
beli, berbeda dengan bank konvensional yang tidak ada transaksi jual beli,
didalam bank syariah ada 3 macam jual beli, yaitu bai’ al-murabahah, bai’ al-
istisna dan bai’ as-salam.
3
1.2. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan akad mudharabah?
2. Bagaimana implementasi pembiayaan dengan akad mudharabah?
3. Bagaimana tekhnis perhitungan pembagian hasil usaha dengan akad
mudharabah (PSAK 105)?
1.3. TUJUAN
Adapun yang menjadi tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu:
1. Unruk mengetahui apa yang dimaksud dengan akad mudharabah.
2. Untuk mengetahui implementasi pembiayaan dengan akad mudharabah.
3. Untuk mengetahui tekhnis perhitungan pembagian hasil usaha dengan
akad mudharabah (PSAK 105).
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 AKAD MUDHARABAH
Mudharabah berasal dari kata adhdharby fil ardhi yaitu bepergian untuk
urusan dagang. Penduduk Hiraz menyebutnya qiradh yang berasal dari kata
alqardhu yang berarti al-qath’u (potongan). Karena pemilik memotong sebagian
hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungan.
Mudharabah atau qiradh termasuk dalam kategori syirkah. Di dalam Al-
Quran, kata mudharabah tidak disebutkan secara jelas dengan istilah
mudharabah. Al-Quran hanya menyebutkannya secara musytaq dari kata dharaba
yang terdapat sebanyak 58 kali.
Beberapa ulama memberikan pengertian mudharabah atau qiradh diantaranya
yaitu:
Menurut para Fuqaha, mudharabah ialah “Akad antara dua pihak (orang)
saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak
lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari
keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang
telah ditentukan”.
Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah “Akad syirkah dalam laba, satu
pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa”.
Malikiyah berpendapat bahwa mudharabah adalah ”Akad perwakilan, di
mana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk
diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak)”.
Imam Hanabilah berpendapat bahwa mudharabah adalah ”Ibarat pemilik
harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang
berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui”.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah adalah ”Akad yang
menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada orang lain untuk di
tijarah-kan”.
5
Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa
mudharabah ialah “Seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk
ditijarhakan dan keuntungan bersama-sama.”
Sayyid Sabiq berpendapat, mudharabah ialah “Akad antara dua belah
pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk
diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan
perjanjian”.
Dari beberapa pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak
pertama adalah pemilik modal (shahibul maal), sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola modal (mudharib), dengan syarat bahwa hasil keuntungan yang
diperoleh akan dibagi untuk kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan
bersama (nisbah yang telah disepakati), namun bila terjadi kerugian akan
ditanggung shahibul maal kecuali disebabkan oleh misconduct, negligence, atau
violation oleh pengelola dana. PSAK 105 per 18 memberikan beberapa contoh
bentuk kelalaian pengelola dana, yaitu: persyaratan yang ditentukan di dalam akad
tidak dipenuhi, tidak terdapat kondisi di luar kemampuan (force majeur) yang
lazim dan/atau yang telah ditentukan dalam akad, atau merupakan hasil keputusan
dari institusi yang berwenang.
Akad mudharabah merupakan suatu transaksi pendanaan atau investasi
yang berdasarkan kepercayaan. Kepercayaan merupakan unsur terpenting dalam
akad mudharabah, karena pemilik dana tidak boleh ikut campur didalam
manajemen perusahaan atau proyek yang dibiayai dengan dana pemilik dana
tersebut, kecuali sebatas memberikan saran-saran dan melakukan pengawasan
pada pengelola dana, dan sebagai kepercayaan dari pemilik dana kepada pengelola
dana. Oleh karena itu, kepercayaan merupakan unsur terpenting, maka
mudharabah dalam istilah bahasa Inggris disebut trust financing. Pemilik dana
yang merupakan investor disebut beneficial ownerchip atau sleeping partner, dan
pengelola dana disebut managing trustee atau labour partner. (Syahdeini, 1999).
Sesuai dengan prinsip sistem keuangan syariah yaitu bahwa pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu transaksi harus bersama-sama menanggung risiko
6
(berbagi risiko), dalam hal transaksi mudharabah, pemilik dana akan menanggung
risiko finansial sedangkan pengelola dana akan memiliki risiko nonfinansial.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas hal ini sesuai dengan hadist Nabi yang
diriwayatkan oleh Ali r.a:
“pungutan itu tergantung pada kekayaan. Sedangkan laba tergantung
pada apa yang mereka sepakati bersama.”
Dalam mudharabah, pemilik dana tidak boleh mensyaratkan sejumlah
tertentu untuk bagiannya karena dapat dipersamakan dengan riba yaitu meminta
kelebihan atau imbalan tanpa ada faktor penyeimbang (iwad) yang diperbolehkan
syariah. Misalnya, ia memberi modal sebesar Rp 100 juta dan ia menyatakan
setiap bulan mendapat Rp 5 juta. Dalam mudharabah, pembagian keuntungan
harus dalam bertuk persentase/nisbah, misalnya 70:30, 70% untuk pengelola dana
dan 30% untuk pemilik dana. Sehingga besarnya keuntungan yang diterima
tergantung pada laba yang dihasilkan. Keuntungan yang dibagikan pun tidak
boleh menggunakan nilai proyeksi (predictive value) akan tetapi harus
menggunakan nilai realisasi keuntungan, yang mengacu pada laporan hasil usaha
yang secara periodik disusun oleh pengelola dana dan diserahkan pada pemilik
dana.
Hikmah dari sistem mudharabah adalah dapat memberi keringanan pada
manusia. Terkadang ada sebagian orang yang memiliki harta, tetapi tidak mampu
untuk membuatnya menjadi produktif. Terkadang pula, ada orang yang tidak
memiliki harta tetapi ia mempunyai kemampuan untuk memproduktifkannya.
Sehingga dengan akad mudharabah kedua belah pihak dapat mengambil manfaat
dari kerja sama yang terbentuk. Pemilik dana mendapatkan manfaat dengan
pengalaman mengelola dana, sedangkan pengelola dana dapat memperoleh
manfaat dengan harta sebagai modal. Dengan demikian, dapat tercipta kerjasama
antara modal dan kerja, sehingga dapat tercipta kemaslahatan dan kesejahteraan
umat.
2.1.1 Jenis Akad Mudharabah
Dalam PSAK, mudharabah diklasifikasikan ke dalam 3 jenis yaitu:
7
1. Mudharabah Muthlaqah, adalah mudharabah dimana pemilik dananya
memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan
investasinya. Mudharabah ini disebut juga investasi tidak terikat. Dalam
mudharabah muthlaqah, pengelola dana memiliki kewenangan untuk
melakukan apa saja dalam pelaksanaan bisnis bagi keberhasilan tujuan
mudharabah itu. Namun, apabila ternyata pengelola dana melakukan
kelalaian atau kecurangan, maka pengelola dana harus bertanggung jawab
atas konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya. Sedangkan apabila
terjadi kerugian atas usaha itu, yang bukan karena kelalaian dan
kecurangan pengelola dana maka kerugian itu akan ditanggung oleh
pemilik dana.
2. Mudharabah Muqayyadah, adalah mudharabah dimana pemilik dana
memberikan batasan kepada pengelola antara lain mengenai dana, lokasi,
cara, dan/atau objek investasi atau sektor usaha. Misalnya, tidak
mencampurkan dana yang dimiliki oleh pemilik dana dengan dana lainnya.
Tidak menginvestasikan dananya pada transaksi penjualan cicilan tanpa
penjamin atau mengharuskan pengelola dana untuk melakukan investasi
sendiri tanpa melalui pihak ketiga, (PSAK par 07). Mudharabah jenis ini
disebut juga investasi terikat. Apabila pengelola dana bertindak
bertentangan dengan syarat-syarat yang diberikan oleh pemilik dana, maka
pengelola dana harus bertanggung jawab atas konsekuensi-konsekuensi
yang ditimbulkannya, termasuk konsekuensi keuangan.
3. Mudharabah Musytarakah, adalah mudharabah dimana pengelola dana
menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama investasi. Di awal
kerja sama, akad yang disepakati adalah akad mudharabah dengan modal
100% dari pemilik dana, setelah berjalannya operasi usaha dengan
pertimbangan tertentu dan kesepakatan dengan pemilik dana, pengelola
dana ikut menanamkan modalnya dalam usaha tersebut jenis mudharabah
seperti ini disebut mudharabah musytarakah merupakan perpaduan antara
akad mudharabah dan akad musyarakah.
8
2.1.2 Sumber Hukum Akad Mudharabah
Menurut Ijmak Ulama, mudharabah hukumnya jaiz (boleh). Hal ini dapat
diambil dari kisah Rasulullah yang pernah melakukan mudharabah dengan Siti
Khadijah. Siti Khadijah bertindak sebagai pemilik dana dan Rasulullah sebagai
pengelola dana. Lalu Rasulullah membawa barang dagangannya ke negeri Syam.
Dari kisah ini kita lihat akad mudharabah telah terjadi pada masa Rasulullah
sebelum diangkat menjadi Rasul. Mudharabah telah dipraktikan secara luas oleh
orang-orang sebelum masa Islam dan beberapa sahabat Nabi Muhammad SAW.
Jenis bisnis ini sangat bermanfaat dan sangat selaras dengan prinsip dasar ajaran
syariah, oleh karena itu masih tetap ada di dalam sistem islam.
1. Al-Quran
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi
dan carilah karunia Allah SWT.” (QS 62:10)
“Maka, jika sebagian kamu memercayai sebagian yang lain, hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya.” (QS 2:283)
2. As-Sunah
Dari Shalih bin Suaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “tiga hal yang
didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah
(mudharabah), dan mencampuradukkan dengan tepung untuk keperluan
rumah bukan untuk di jual.” (HR. Ibnu Majah)
Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia
mensyaratkan kepada pengelola dananya agar tidak mengarungi lautan dan
tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika
persyaratan itu dilanggar, ia (pengelola dana) harus menanggung
risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas didengar Rasulullah
SAW, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
Adapun Hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
Artinya: “Diriwayatkan oleh sholeh bin shuhaib r.a. bahwa Rasulullah
SAW bersabda: Tiga hal yang di dalamnya ada keberkahan, adalah jual
9
beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur
gandum dengan tepung untuk keperluan rumah (dimakan), bukan
untukdijual. (HR Ibnu Majah)” 21
3. Ijma (kesepakatan) Ulama
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang,
mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun
mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah
Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838). Imam Zailai telah
menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus terhadap legitimasi
pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini
sejalan dengan spirit hadits yang dikutip Abu Ubaid.
Di antara dalil kuat yang menunjukkan akan disyariatkannya
mudharabah ialah kesepakatan ulama Islam sejak zaman dahulu hingga
sekarang akan hal tersebut. Ibnu Munzir asy-Syafi’i berkata, “Kita tidak
mendapatkan dalil tentang al-Qiraadh (mudharabah) dalam Kitab Allah
‘Azza wa Jalla, tidak juga dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Akan tetapi, kita dapatkan bahwa para ulama telah menyepakati
akan kehalalan al-Qiraadh dengan modal berupa uang dinar dan dirham.”
(Al-Isyaraf oleh Ibnul Munzir asy-Syafi’i, 2/38).
Ibnu Hazm berkata, “Al-Qiraadh (al-Mudharabah) telah dikenal
sejak zaman Jahiliyyah, dan dahulu kaum Quraish adalah para pedagang.
Mereka tidak memiliki mata pencaharian selain darinya, padahal di
tengah-tengah mereka terdapat orang tua yang tidak lagi kuasa untuk
bepergian, wanita, anak kecil, anak yatim. Oleh karena itu, orang-orang
yang sedang sibuk atau sakit menyerahkan modalnya kepada orang lain
yang mengelolanya dengan imbalan mendapatkan bagian dari hasil
keuntungannya.
Dan tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah diutus,
beliaupun membenarkan akad tersebut, dan kaum muslimin kala itu juga
menjalankannya. Kalaupun sekarang ada yang menyelisihi tentang hal ini,
maka pendapatnya itu tidak perlu diperhatikan, sebab ia telah terlebih
dahulu menyelisihi praktik nyata seluruh umat dari zaman kita hingga
10
zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Muhalla oleh Ibnu
Hazm, 8/247).
Di antara bukti nyata bahwa kesepakatan akan disyariatkannya
mudharabah ialah praktik dari para al-Khulafa’ ar-Rasyidiin, tanpa ada
seorangpun dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mengingkarinya (Riwayat-riwayat dari para al-khulafa’ ar-Rasyidin dapat
dibaca di kitab Irwaa’ul Ghalil oleh al-Albany, 5/290-294).
4. Qiyas
Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
Mudharabah di qiyaskan kepada al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk
mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada pula
yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat
mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang yang miskin yang
mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian dengan
adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan
kedua golonngan di atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka
memenuhi kebutuhan mereka.
5. Kaidah fiqh
تحريمها على دليل يدل أن إال اإلباحة المعامالت فى .األصل
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.”
2.1.3 Rukun dan Syarat Akad Mudharabah
Rukun akad mudharabah adalah sebagai berikut:
1. Adanya dua pelaku atau lebih, yaitu investor (pemilik modal) dan
pengelola (mudharib). Kedua belah pihak yang melakukan akad
disyaratkan mampu melakukan tasharruf atau cakap hukum, maka
dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila, dan orang-orang
yang berada di bawah pengampuan.
2. Modal atau harta pokok (maal), syarat-syaratnya yakni:
Berbentuk uang
11
Mayoritas ulama berpendapat bahwa modal harus berupa uang dan
tidak boleh barang. Mudharabah dengan barang dapat menimbulkan
kesamaran, karena barang pada umumnya bersifat fluktuatif. Apabila
barang itu bersifat tidak fluktuatif seperti berbentuk emas atau perak
batangan (tabar), para ulama berbeda pendapat. Imam Malik dalam
hal ini tidak tegas melarang atau membolehkan. Namun para ulama
Mazhab Hanafi membolehkannya dan nilai barang yang dijadikan
setoran modal harus disepakati pada saat akad oleh mudharib dan
shahibul maal.
Contohnya: seorang memiliki sebuah mobil yang akan diserahkan
kepada mudharib (pengelola modal). Ketika akad kerja sama tersebut
disepakati, maka mobal tersebut wajib ditentukan nilai mata uang saat
itu, misalnya Rp90.000.000, maka modal mudharabah tersebut adalah
Rp90.000.000.
Jelas jumlah dan jenisnya
Jumlah modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan
antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari
perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak
sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Tunai
Hutang tidak dapat dijadikan modal mudharabah. Tanpa adanya
setoran modal, berarti shahibul maal tidak memberikan kontribusi
apapun padahal mudharib telah bekerja. Para ulama syafi’i dan Maliki
melarang hal itu karena merusak sahnya akad. Selain itu hal ini bisa
membuka pintu perbuatan riba, yaitu memberi tangguh kepada si
berhutang yang belum mampu membayar hutangnya dengan
kompensasi si berpiutang mendapatkan imbalan tertentu. Dalam hal
ini para ulama fiqih tidak berbeda pendapat.
Modal diserahkan sepenuhnya kepada pengelola secara langsung
Apabila tidak diserahkan kepada mudharib secara langsung dan tidak
diserahkan sepenuhnya (berangsur-angsur) dikhawatirkan akan terjadi
kerusakan pada modal, yaitu penundaan yang dapat mengganggu
12
waktu mulai bekerja dan akibat yang lebih jauh mengurangi kerjanya
secara maksimal. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh
pemilik modal, dalam artian tidak diserahkan sepenuhnya, maka
menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad
mudharabah tidak sah. Sedangkan ulama Hanabilah menyatakan
boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal
tidak mengganggu kelancaran usahanya.
3. Nisbah Keuntungan
Nisbah adalah besaran yg digunakan untuk pembagan keuntungan,
mencerminkan imbalan yang berhak dterima oleh kedua pihak yang
mudharabah atas keuntungan yang diperoleh. Pengelola dana
mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan pemilik dana mendapat
imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan harus diketahui
dengan jelas oleh kedua belah pihak, inilah yang akan mencegah
terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian
keuntungan. Jika memang dalam akad tersebut tidak dijelaskan masing-
masing porsi, maka pembagiannya menjadi 50% dan 50%. Perubahan
nisbah harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Pemilik dana
tidak boleh meminta pembagian keuntungan dengan menyatakan nilai
nominal tertentu karena dapat menimbulkan riba.
Syarat-syarat sah akad mudharabah yakni:
1. Proporsi jelas. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan
pemilik modal harus jelas persentasenya, seperti 60% : 40%, 50% : 50%
dan sebagainya menurut kesepakatan bersama.
2. Keuntungan harus dibagi untuk kedua belah pihak, yaitu investor (pemilik
modal) dan pengelola (mudharib).
3. Break Even Point (BEP) harus jelas, karena BEP menggunakan sistem
revenue sharing dengan profit sharing berbeda. Revenue sharing adalah
pembagian keuntungan yang dilakukan sebelum dipotong biaya
operasional, sehingga bagi hasil dihitung dari keuntungan kotor/
pendapatan. Sedangkan profit sharing adalah pembagian keuntungan
13
dilakukan setelah dipotong biaya operasional, sehingga bagi hasil dihitung
dari keuntungan bersih.
4. Ijab Qobul/Serah Terima
Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini
kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul
dari pengelola.
Sedangkan, menurut Ulama Hanafiyah, rukun mudharabah itu hanya satu, yaitu
ijab (dari shahibul maal) dan kabul persetujuan (dari mudharib). Ulama hanafiyah
menyatakan jika shahibul maal dan mudharib telah melafalkan ijab dan qabul
maka akad mudharabah itu telah memenuhi rukunnya dan sah.
2.1.4 Berakhirnya Akad Mudharabah
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini
berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat
keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-
masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi
Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak
transaktor, atau karena ia gila atau idiot.
Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Al Mudharabah
termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah
seorang dari kedua belah pihak siapa saja dengan kematian, gila atau dibatasi
karena idiot, hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan seizinnya,
maka ia seperti wakil dan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan
sesudahnya.
Sedangkan Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh,
karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila
terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh
memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya.
Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha tersebut.”
14
Imam Syafi’i menyatakan: “Kapan pemilik modal ingin mengambil
modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola ingin keluar
dari qiraadh maka ia keluar darinya.”
Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki
keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat
keuntungan maka keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan
kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat
menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak milik kedua belah
pihak. Apabila pengelola minta menjualnya sedang pemilik modal menolak dan
tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka pemilik modal dipaksa
menjualnya, karena hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak kecuali
dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya maka pemilik modal
tidak dipaksa.
Tampak sekali dari sini keadilan syariat islam yang sangat memperhatikan
keadaan dua belah pihak yang bertransaksi mudharabah. Sehingga seharusnya
kembali memotivasi diri kita untuk belajar dan mengetahu tata aturan syariat
dalam muamalah sehari-hari.
Para ulama menyatakan bahwa akad mudharabah akan berakhir apabila :
1. Masing-masing pihak menyatakan akad batal, atau mudharib (Pengeola
dana) dilarang untuk bertindak hukum terhadap modal yang diberikan,
atau shahibul maal (Pemilik dana) menarik modalnya.
2. Salah satu pihak memutuskan mengundurkan diri.
3. Salah seorang yang berakad meninggal dunia. Jika shahibul maal yang
wafat maka menurut Jumhur Ulama akad mudharabah itu batal, karena
akad mudharabah sama dengan akad wakalah yang gugur disebabkan
wafatnya orang yang mewakilkan. Selain itu, Jumhur Ulama berpendapat
bahwa akad mudharabah tidak bisa diwariskan. Akan tetapi, Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa jika salah seorang yang berakad meninggal
dunia, akadnya tidak batal, tetap dilanjutkan oleh ahli warisnya, karena
menurut mereka akad mudharabah boleh diwariskan.
15
4. Salah seorang yang berakad kehilangan kecakapan bertindak hukum,
misalnya gila.
5. Modal habis di tangan shahibul maal sebelum dikelola oleh mudharib.
6. Pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola usaha
untuk mencapai tujuan sebagaimana dituangkan dalam akad. Sebagai
pihak yag mengemban amanah ia harus beritikad baik dan hati-hati.
2.2 IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN DENGAN AKAD MUDHARABAH
Pembiayaan adalah penyediaan uang atau yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank/investor dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau
tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Sebagaimana pengertian akad adalah perjanjian. Kesepakatan Ahli
Hukum Islam (Jumhur Ulama) mendefinisikan akad adalah suatu perikatan antara
ijab dan qobul dengan cara yang dibenarkan syar’i yang menetapkan adanya
akibat-akibat hukum pada obyeknya.
Pengertian dari segi etimologi (bahasa) Mudharabah adalah suatu
perumpamaan (ibarat) seseorang yang memberikan (menyerahkan) harta benda
(modal) kepada orang lain agar digunakan perdagangan yang menghasilkan
keuntungan bersama dengan syarat-syarat tertentu dan jika rugi maka kerugian di
tanggung pemilik modal. Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama
usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shohibul maal) menyediakan
seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha
secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu
diakibatkan bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu
diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka dia harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Sistem Mudharabah pada Perbankan Syariah (Perbankan Islam) adalah
aplikasi dari sebuah sistem perekonomian yang salah satunya adalah sistem
mudharabah. Hal ini disebabkan muncul melalui cara pemilihan terhadap
16
pendapat-pendapat madzhab yang dianggap menunjang terhadap sebuah
institusionalisasi lembaga keuangan moderen. Didalam akad pembiayaan
mudharabah yang dilakukan di bank, didalam akad sudah disebutkan bahwa
apabila timbul perselisihan akan diselesaikan melalui Pengadilan Agama.
Meskipun pada prakteknya apabila terjadi perselisihan tetap lebih dahulu
melakukan perdamaian (shulhu) antara bank dengan nasabah.
Akad mudharabah memiliki tingkat risiko yang paling tinggi karena
nasabah diberikan 100% modal dari pihak bank syariah dan kemudian pendapatan
yang diterima bank tidak tetap dikarenakan pendapatan yang diterima dihitung
berdasarkan proporsi bagi hasil yang telah ditetapkan pada awal akad. Oleh
karena itu akad mudharabah termasuk kelompok Natural Uncertainty Contracts
yang tidak memberikan kepastian return atau pengembalian, baik dari segi
jumlah maupun waktunya. Dalam akad pembiayaan mudharabah disebutkan
bahwa salah satu kewajiban nasabah adalah melakukan pembayaran pembiayaan
yang disalurkan bank syariah.
Meskipun pembiayaan dengan akad mudharabah merupakan pembiayaan
dengan risiko yang tinggi, dalam menyalurkan pembiayaannya bank syariah
diharapkan bisa lebih memperbanyak pembiayaan produktif dengan akad
mudharabah yang merupakan core product dari bank syariah. Hal ini dapat
meningkatkan kepercayaan masyarakat mengenai bank syariah yang menjalankan
prinsip-prinsip sesuai dengan syariat Islam. Akad mudharabah merupakan akad
bagi hasil yang tidak didapatkan pada bank konvensional, tidak seperti dengan
akad murabahah (jual-beli) yang konsepnya juga diterapkan pada bank
konvensional. Selain itu, konsep skema bagi hasil juga terbukti dapat meredam
instabilitas sistem keuangan, memperbaiki distribusi pendapatan dan dapat pula
meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui kuatnya hubungan antara sektor
keuangan dan sektor riil pada penggunaan skema bagi hasil tersebut. Bagi
nasabah pembiayaan, nasabah berharap agar rasio bagi hasil yang ditetapkan
dapat memenuhi keinginannya sehingga pihak nasabah nantinya merasa adil pada
saat pendapatan yang dihasilkan dibagikan. Sedangkan bagi pihak bank syariah,
pengungkapan karakter dan usaha yang jujur oleh nasabah akan menentukan rasio
bagi hasil yang akan ditetapkan nantinya
17
Bank Syariah dalam menerapkan pembiayaan produktifnya dengan akad
mudharabah sudah dapat memenuhi harapan yang diinginkan nasabah, bank
syariah bisa lebih meningkatkan jumlah pembiayaannya dengan akad
mudharabah. Salah satunya dengan pemberian pembiayaan dengan akad
mudharabah kepada nasabah-nasabah yang masih baru atau sebelumnya belum
pernah mendapat pinjaman dari bank syariah. Hal ini berisiko tinggi tetapi dapat
diatasi dengan pemberian insentif yang sesuai dengan kemampuan nasabah.
Dalam menyelesaikan permasalahan khususnya yang ada hubungannya dengan
implementasi pembiayaan dengan akad mudharabah, bank diharapkan
mempunyai formulasi khusus dalam penerapannya.
2.3 TEKNIS PERHITUNGAN PEMBAGIAN HASIL USAHA DENGAN
AKAD MUDHARABAH (PSAK 105 PAR 11)
Di dalam mudharabah istilah profit and loss sharing tidak tepat digunakan
karena yang dibagi hanya keuntungannya saja (profit), tidak termasuk dengan
kerugiannya (loss). Contoh perhitungan pembagian hasil usaha:
Data:
Penjualan Rp. 1.000.000
HPP (Rp. 650.000)
Laba kotor Rp. 350.000
Biaya-biaya (Rp. 250.000)
Laba (rugi) bersih Rp. 100.000
1. Berdasarkan prinsip bagi laba (profit sharing), maka
nisbah pemilik dana : pengelola dana = 30 : 70
Pemilik dana : 30% x Rp.100.000 = Rp. 30.000
Pengelola dana : 70% x Rp. 100.000 = RP. 70.000
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil (revenue sharing), maka
nisbah pemilik dana : pengelola dana = 10 : 90
Bank syari’ah : 10% x Rp. 350.000 = Rp. 35.000
18
Pengelola : 90% x Rp. 350.000 = Rp. 315.000
2.3.1 Bagi hasil untuk akad mudharabah musytarakah (PSAK 105 PAR 34)
Ketentuan untuk akad jenis ini dapat dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu:
1. Hasil investasi dibagi antara pengelola dana dan pemilik dana sesuai
nisbah yang disepakati, selanjutnya bagian hasil investasi setelah
dikurangi untuk pengelola dana tersebut dibagi antara pengelola dana
(sebagai musytarik) dengan pemilik dana sesuai dengan porsi modal
masing-masing.
2. Hasil investasi dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dan
pemilik dana sesuai dengan porsi modal masing-masing, selanjutnya
bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana tersebut
dibagi antara pengelola dan dengan pemilik dana sesuai dengan nisbah
yang disepakati.
Contoh: Bapak A menginvestasikan uang sebesar Rp. 2.000.000,- untuk usaha
siomay yang dimiliki oleh bapak B dengan akad mudharabah. Nisbah yang
disepakati oleh bapak A dan B adalah 1 : 3. Setelah usaha berjalan, ternyata
dibutuhkan tambahan dana, maka atas persetujuan bapak A, bapak B ikut
menginvestasikan uangnya sebesar Rp 500.000. Dengan demikian bentuk akadnya
adalah akad mudharabah musytarakah. Laba yang diperoleh untuk bulan Januari
2008 adalah sebesar Rp 1.000.000.
Berdasarkan PSAK 105 par 34 maka bagi hasil jika terdapat keuntungan dapat
dilakukan dengan cara:
Alternatif 1:
Pertama, hasil investasi dibagi antara pengelola dana dan pemilik dana sesuai
nisbah yang disepakati:
Bagian A: ¼ x Rp 1.000.000 = Rp 250.00
Bagian B: ¾ x Rp 1.000.000 = Rp 750.000
19
Kemudian bagian investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana tersebut (Rp.
1.000.000 – Rp 750.000) dibagi antara pengelola dengan pemilik dana sesuai
dengan porsi modal masing-masing.
Bagian A: Rp 2.000.000/Rp 2.500.000 x Rp 250.000 = Rp 200.000
Bagian B: Rp 500.000/Rp 2.500.000 x Rp 250.000 = Rp 50.000
Sehingga B sebagai pengelola dana akan memperoleh Rp 750.000 + Rp 50.000 =
Rp 800.000, dan A sebagai pemilik dana memperoleh Rp 200.000.
Alternatif 2:
Pertama, hasil investasi dibagi antara pengelola dana (sebagai musytarik) dan
pemilik dana sesuai dengan porsi modal masing-masing.
Bagian A: Rp 2.000.000/Rp 2.500.000 x Rp 1.000.000 = Rp 800.000
Bagian B: Rp 500.000/Rp 2.500.000 x Rp 1.000.000 = Rp 200.000
Kemudian bagian hasil investasi setelah dikurangi untuk pengelola dana (sebagai
musytarik) sebesar Rp 800.000 (Rp 1.000.000 – Rp 200.000) tersebut dibagi
antara pengelola dana dengan pemilik dana sesuai nisbah yang disepakati.
Bagian A: ¼ x Rp 800.000 = Rp 200.000
Bagian B: ¾ x Rp 800.000 = Rp 600.000
Sehingga B memperoleh Rp 200.000 + Rp 600.000 = Rp 800.000, dan A
memperoleh Rp 200.000.
Jika terjadi kerugian atas investasi, maka kerugian dibagi sesuai dengan porsi
modal para musytarik. Misalnya terjadi kerugian sebesar Rp 100.000 maka A akan
menanggung rugi sebesar: Rp 2.000.000/Rp 2.500.000 x Rp 1.000.000 = Rp
800.000.
B akan menanggung rugi sebesar: Rp 500.000/Rp 2.500.000 x Rp 1.000.000 = Rp
200.000.
2.3.2 Perlakuan Akuntansi (PSAK 105)
A. Akuntansi Untuk Pemilik Dana
20
1. Dana mudharabah yang disalurkan oleh pemilik dana diakui sebagai
investasi mudharabah pada saat pembayaran kas atau penyerahan aset
non-kas kepada pengelola dana.
2. Pengukuran investasi mudharabah:
a. Investasi mudharabah dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang
dibayarkan.
b. Investasi mudharabah dalam bentuk non-kas diukur sebesar nilai wajar
asset non-kas pada saat penyerahan nilai dari investasi mudharabah
dalam bentuk asset non-kas harus disetujui oleh pemilik dana dan
pengelola dana pada saat kontrak.
Ada 2 alasan tidak digunakannya dasar historical cost untuk mengukur
asset non-kas (Siswantoro, 2003).
Penggunaan nilai yang disetujui oleh pihak yang melakukan kontrak
untuk mencapai satu tujuan akuntansi keuangan.
Penggunaan nilai yang disetujui (agreed value) oleh pihak yang
melakukan kontrak untuk nilai asset non-kas menuju aplikasi konsep
representational faithfulness dalam pelaporan.
Investasi mudharabah dalam bentuk kas diukur sebesar jumlah yang
dibayarkan.
Jurnal pada saat penyerahan kas:
Investasi Mudharabah xxx
Kas xxx
Investasi mudharabah dalam bentuk asset non-kas diukur sebesar nilai
wajar asset non-kas pada saat penyerahan kemungkinannya ada 2:
Jika nilai wajar lebih tinggi daripada nilai tercatatnya, maka selisihnya
diakui sebagai keuntungan tangguhan dan diamortisasi sesuai jangka
waktu akad mudharabah.
Jurnal pada saat penyerahan asset non-kas:
Investasi Mudharabah xxx
Keuntungan Tangguhan xxx
Asset Non-kas xxx
21
Jurnal amortisasi keuntungan tangguhan:
Keuntungan Tangguhan xxx
Keuntungan xxx
jika nilai wajar lebih rendah daripada nilai tercatatnya, maka selisihnya
diakui sebagai kerugian dan diakui pada saat penyerahan asset non-kas.
Jurnal:
Investasi Mudharabah xxx
Kerugian Penurunan Nilai xxx
Asset Non-kas xxx
3. Penurunan nilai jika investasi mudharabah dalam bentuk asset non-kas.
a. Penurunan nilai sebelum usaha dimulai.
Jika nilai investasi turun sebelum usaha dimulai disebabkan rusak,
hilang atau faktor lain yang bukan karena kelalaian atau kesalahan
pihak pengelola dana, maka penurunan nilai tersebut diakui sebagai
kerugian dan mengurangi saldo investasi mudharabah.
Jurnal:
Kerugian Investasi Mudharabah xxx
Investasi Mudharabah xxx
b. Penurunan nilai setelah usaha dimulai.
Jika sebagian investasi mudharabah hilang setelah dimulainya usaha
tanpa adanya kelalaian atau kesalahan pengelola dana, maka kerugian
tersebut tidak langsung mengurangi jumlah investasi mudharabah
namun diperhitungkan pada saat pembagis bagi hasil.
Jurnal:
Kerugian Investasi Mudharabah xxx
Penyisihan Investasi Mudharabah xxx
22
Kas xxx
Penyisihan Investasi xxx
Pendapatan Bagi Hasil Mudharabah xxx
4. Kerugian, yaitu yang terjadi dalam suatu priode dalam akad mudharabah
berakhir. Pencatatan kerugian yang terjadi dalam suatu periode sebelum
akad mudharabah berakhir diakui sebagai kerugian dan dibentuk
penyisihan kerugian investasi.
Jurnal:
Kerugian Investasi Mudharabah xxx
Penyisihan Kerugian Investasi Mudharabah xxx
Catatan:
Tujuan dicatan sebagai penyisihan agar jelas nilai investasi awal
mudharabah.
5. Hasil Usaha
Bagian hasil usaha yang belum dibayar oleh pengelola dana diakui sebagai
piutang.
Jurnal:
Piutang Pendapatan Bagi Hasil xxx
Pendapatan Bagi Hasil Mudharabah xxx
Pada saat pengelola dana membayar bagi hasil
Jurnal:
Kas xxx
Piutang Pendapatan Bagi Hasil xxx
6. Akad Mudharabah Berakhir
23
Selisih saat akad mudharabah berakhir, selisih antara investasi
mudharabah setelah dikurangi penyisihan kerugian investasi, dan
pengambilan investasi mudharabah, diakui sebagai keuntungan atau
kerugian.
Jurnal:
Kas/Piutang/Asset Non-kas xxx
Penyisishan Kerugian Investasi xxx
Investasi Mudharabah xxx
Keuntungan Investasi Mudharabah xxx
ATAU
Kas/Piutang/Asset Nonkas xxx
Penyisishan Kerugian Investasi xxx
Kerugian Investasi Mudharabah xxx
Investasi Mudharabah xxx
7. Penyajian
Pemilik dana menyajikan investasinmudharabah dalam laporan keuangan
sebesar nilai tercatat, yaitu nilai investasi mudharabah dikurangi
penyisihan kerugian (jika ada).
8. Pengungkapan
Pemilik dana mengungkapkan hal-hal yang terkait dengan transaksi
mudharabah, tetapi tidak terbatas pada:
a. Isi kesepakatan utama usaha mudharabah, seperti porsi dana,
pembagian hasil usaha, aktivitas usaha mudharabah, dan lain-lain.
b. Rincian jumlah investasi mudharabah berdasarkan jenisnya.
c. Penyisihan kerugian investasi mudharabah selama periode berjalan.
24
d. Pengugkapan yang diperlukan sesuai PSAK No. 101 tentang penyajian
laporan keuangan syariah.
B. Akuntasi Untuk Pengelola Dana
1. Dana yang diterima dari pemilik dana dalam akad diakui sebagai dana
syirkah temporer sebesar jumlah kas atau nilai wajar asset nonkas yang
diterima.
2. Pengukuran dana syirkah temporer
Dana syirkah temporer diukur sebesar jumlah kas atau nilai wajar asset
non-kas yang diterima.
Jurnal:
Kas/Asset Nonkas xxx
Dana Syirkah Temporer xxx
3. Penyaluran kembali dana syirkah temporer
Jika pengelola dana menyalurkan dana syirkah temporer yang diterima
maka pengelola dana mengakui sebagai asset (investasi mudharabah).
Sama seperti akuntansi untuk pemilik dana. Dan ia akan mengakui
pendapatan secara bruto sebelum dikurangi dengan bagian hak pemilik
dana.
Jurnal pencatatan ketika menerima pendapatan bagi hasil dari
penyaluran kembali dana syirkah temporer:
Kas/Piutang xxx
Pendapatan yang belum dibagikan xxx
Hak pihak ketiga atas bagi hasil dana syirkah temporer yang sudah
diperhitungkan tetapi belum dibagikan kepada pemilik dana diakui
sebagai kewajiban sebesar bagi hasil yang menjadi porsi hak pemilik
dana.
Jurnal:
Beban bagi hasil mudharabah xxx
Kas xxx
25
4. Sedangkan apabila pengelola dana mengelola sendiri dana mudharabah
berarti ada pendapatan dan beban yang diakui dan pencatatannya sama
dengan akuntansi konvensional yaitu:
Saat mencatat pendapatan:
Kas/piutang xxx
Pendapatan xxx
Saat mencatan beban:
Beban xxx
Kas/utang xxx
Jurnal penutup yang dibuat akhir periode (apabila diperoleh
keuntungan):
Pendapatan xxx
Beban xxx
Pendapatan yang belum dibagikan xxx
Jurnal ketika dibagihasilkan kepada pemilk dana:
Beban bagi hasil mudharabah xxx
Utang bagi hasil mudharabah xxx
Jurnal pada saat pengelola membayarkan bagi hasil:
Utang bagi hasil mudharabah xxx
Kas xxx
Jurnal penutup yang dibuat apabila terjadi kerugian:
Pendapatan xxx
Penyisihan kerugian xxx
Beban xxx
5. Kerugian diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaian pengelola dana
diakui sebagai beban pengelola dana.
Jurnal:
Beban xxx
Utang lain-lain/kas xxx
6. Di akhir akad
Jurnal:
Dana syirkah temporer xxx
26
Kas/asset nonkas xxx
Jika ada penyisihan kerugian sebelumnya.
Jurnal:
Dana syirkah temporer xxx
Kas/asset non kas xxx
Penyisihan kerugian xxx
7. Penyajian
Pengelola dana menyajikan transaksi mudharabah dalam laporan
keuangan:
a. Dana syirkah temporer dari pemilik dana disajikan sebesar nilai
tercatatnya untuk setiap jenis mudharabah, yaitu sebesar dana
syirkah temporer dikurangi dengan penyisihan kerugian (jika ada).
b. Bagi hasil dana syirkah temporer yang sudah diperhitungkan tetapi
belum diserahkan kepada pemilk dana disajikan sebagai pos bagi
hasil yang belum dibagikan sebagai kewajiban.
8. Pengungkapan
Pengelola dana mengungkapakan transaksi mudharabah dalam laporan
keuangan:
a. Isi kesepakatan utama usaha mudharabah, seperti porsi dana,
pembagian hasil usaha, aktivitas usaha mudharabah, dan lain-lain.
b. Rincian dana syirkah temporer yang diterima berdasarkan jenisnya.
c. Penyaluran dana yang berasal dari mudharabah muqayadah.
Pengungkapan yang diperlukan sesuai PSAK No. 101 tentang
penyajian laporan keuangan syariah.
Asumsi pencatatan untuk pengelola dana yang telah dibahas diatas
menggunakan akasd mudharabah muqayyadah, dimana dana dari
pemilik dana langsung disalurkan pada pengelola dana lain (kedua) dan
pengelola dana pertama hanya sebagai perantara yang mempertemukan
antara pemilik dana dengan pengelola dana lain (kedua), maka dana
untuk jenis seperti ini akan dilaporka Off Balance Sheet. Atas kegiatan
27
tersebut pengelola dana pertama akan menerima komisi atas jasa
mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan
pengelola dana lain (kedua) berlaku nisbah bagi hasil.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
1. Akad mudharabah merupakan akad kerjasama usaha antara pemilik
dan pengelola giat untuk melakukan kegiatan usaha. Oleh sebab itu,
akad mudharabah merupakan suatu transaksi pembiayaan/invesasi
yang berdasarkan kepercayaan. Kepercayan merupakan unsur
terpenting dalam akad mudharabah, yaitu kepercayaa dari pemilik
dana kepada pengelola dana. Hal ini disebabkan bahwa laba dibagi
atas dasar nisbah bagi hasil berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak, sedangkan bila terjadi kerugian, akan ditanggung oleh si pemilk
dana kecuali disebabkan oleh misconduct, negligence,dan violation
oleh pengelola dana.
2. Terdapat beberapa jenis akad mudharabah, namun seluruh akad
mudharabah tersebut harus memenuhi rukun dan ketentuan syariah
yang mengacu pada Al Quran, As Sunah, Ijma’ dan Qiyas.
3. Akuntansi untuk pengelola dana dan pemilik dana dilakukan sesuai
dengan PSAK No 105. Pelaksanaan akuntansi yang dilakukan adalah
sesuai dengan prinsip syariah yang ada.
3.2 SARAN
1. Melalui pembelajaran dalam makalah ini, kita diharapkan mengerti
tentang pengertian akad mudharabah beserta jenis-jenisnya, sumber
hukum, rukunnya, berakhirnya akad mudharabah seperti apa,
28
implementasi pembiayaan, serta tekhnik perhitungan pembagian
usaha.
2. Penulis menyarankan kepada para pembaca agar meperbanyak
referensi mengenai akad mudharabah. Karena sebagai mahasiswa
akuntansi, seharusnya paham dengan ilmu ini dan sebagai modal awal
untuk nantinya bisa bersaing di dunia kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Nurhayati, Sri. 2012. Akuntansi Syariah di Indonesia, Edisi 2, Salemba Empat,
Jakarta:
http://fariskayosi.blogspot.co.id/2015/01/proposal-skripsi-analisis-pengaruh.html?
m=1
http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/viewFile/369/315
http://merapikancatatan.blogspot.co.id/2012/04/akuntansi-akad-mudharabah.html
29