bab empat 4.rakut si telu sebagai pembentuk identitas...
TRANSCRIPT
Bab Empat
4.Rakut Si Telu Sebagai Pembentuk Identitas Sosial.
Pada bagian ini penulis akan menganalisa temuan berdasarkan teori yang dipakai.
Temuan yang ditemukan penulis seperti Konsep diri orang Karo, Pemahaman jemaat GBKP
Yogyakarta terhadap rakut si telu, pelaksanaan peradatan di Yogyakarta, arisan masyarakat Karo
serta perpulungen jabu-jabu. Komponen-komponen ini ditemukan penulis selama penelitian.
Dan hal diatas dijadikan jemaat GBKP Yogyakarta sebagai ruang atau tempat dimana rakut si
telu menjalankan fungsi dan tujuannya sebagai perekat kehidupan masyarakat Karo di dalam
perantauan.
Rakut si telu sebagai pembentuk identitas sosial berarti fungsi-fungsi dan peran
kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru terlihat di Yogyakarta sebagai pembentuk identitas
sosial. Identitas sosial berarti suatu kenyataan sosial yang tampak dan dijadikan sebagai ciri khas
suatu kumpulan masyarakat untuk berinteraksi. Sehingga apa yang dilakukan masyarakat budaya
tersebut dijadikan sebagai identitas sosial. Sosial berarti menyentuh unsur-unsur kehidupan
seperti komunitas, beribadah, bermasyarakat dan relasi-relasi sosial yang terkait sebagai
identitas.
Bagan di atas merupakan kajian sosiologis terhadap teori identitas yang dipakai dan
dihubungkan dengan temuan yang diperoleh oleh penulis. Proses pembentukan identitas dalam
masyarakat Karo di GBKP Yogyakarta dapat dilihat pada bagan di atas. Jalinan interaksi
simbolik menjadi hal yang sangat penting didalam proses pembentukan identitas. Disusul dengan
situasi masyarakat Karo di GBKP Yogyakarta dalam melaksanakan peradatan dan usaha-usaha
yang mereka lakukan demi mempertahankan budaya Karo yang terintegrasikan didalam rakut si
telu/sangkep nggeluh.
Orang Karo Sebagai
Aktor
Sistem Sosial
Peradatan Suku Karo
Situasi Masyarakat
Karo Di GBKP
Yogyakarta
Sumber Interaksi
Pelaksanaan Rakut
Si Telu
Interaksi Simbolik
Bahasa, Karakter,
Sangkep Nggeluh
Konsep Diri Orang
Karo
4.1. Identifikasi Diri Tentang Orang Karo Sebagai Pembentuk Awal Identitas Sosial.
Realitas adanya suatu masyarakat tidak bisa terlepas dari suatu proses ataupun
kemampuan untuk mengenali suatu konsep diri dan tindakan diri seseorang. Dengan adanya
realitas itu seseorang akan mulai mengenali dirinya melalui tindakannya berdasarkan realitas
lingkungan yang mengikutinya. Realitas-realitas itu memampukan seseorang memiliki
pengalaman atau refleksi tentang keadaan dirinya dan siapa dirinya. Sehingga konsep diri
seseorang bisa jadi ditentukan oleh keadaan lingkungan yang menjadi konteks individu
melakukan suatu tindakan sosial.
Individu secara sadarnya akan menemukan atau mengidentifikasi dirinya untuk tetap
bertahan dalam situasi dan sistem sosial yang individu ikuti dan yang diterapkannya. Dengan
memiliki kemampuan mengidentifikasi dirinya dan orang lain, individu mampu bertahan dan
tetap menunjukkan siapa dirinya. Oleh sebab itu Konsep diri dan dirinya menjadi suatu objek
kajian sosial yang tidak terlepas dari makna dirinya. Sehingga kekuatan individu berawal dari
mereka yang mampu melakukan tindakan sosial berdasarkan dirinya dan konsep diri yang sudah
melekat dalam dirinya.
Realitas masyarakat yang tercipta membentuk suatu konsep diri. Berdasarkan pengertian
diatas penulis melihat suatu realitas yang ada dalam diri Orang Karo Yogyakarta terkhususnya
dalam jemaat GBKP Yogyakarta. Jemaat GBKP Yogyakarta merupakan suatu realitas yang tidak
tunggal melainkan suatu realitas yang jamak dan plural dalam melihat siapa dirinya. Konsep
orang Karo tidak terlepas dari mana orang Karo tersebut berasal, tinggal, budaya, profesi bahkan
lingkungan yang mengikutinya. Melihat pengidentifikasian yang begitu beragam ini, orang Karo
diaspora mencoba memposisikan dirinya sebagai orang Karo yang berwajah baru tanpa
meninggalkan karakteristik dirinya sebagai orang Karo yang berbudaya dan orang Karo yang
memiliki fungsi sosial. Secara mendasar, bagaimana orang Karo bisa menkonsepkan dirinya
sebagai orang Karo. Dalam bab dua membagi Konsep diri menjadi dua hal yaitu “i” dan “me”
Konsep tentang diri terdiri dari "i" dan "me" membawa perhatian terhadap hubungan
antara persepsi dan tindakan yang dipandu oleh pikiran. "i" adalah aspek agen-aktor dari diri
sendiri yang memulai tindakan untuk membawa konsekuensi atau niat yang diinginkan. "i"
adalah perseptif-pengamat aspek diri yang melihat aksi, melihat lingkungan, melihat hubungan
dan memandu aktivitas "me" untuk mencapai tujuan akhir. "i" bukan hanya persepsi individu,
namun karena juga mengandung pengetahuan sosial tentang komunitas atau budaya dimana
individu tersebut hidup.1 Berdasarkan teori di atas diatas Masyarakat Karo dihubungkan dengan
persepsi dan tindakan yang mengikutinya.
Dalam Perspektif “i” masyarakat Karo ditandai dengan merga/beru yang mereka miliki
dan yang mereka dapati dari orang tua mereka. Merga dan beru ini merupakan identitas awal
masyarakat Karo dan ini dijadikan sebagai pengetahuan yang sudah melekat dalam diri
masyarakat Karo.Selain itu perspektif “i” dalam diri masyarakat Karo mengenal tutur ( budaya
kekerabatan/perkenalan dalam suku Karo) artinya memiliki pengetahuan tentang budaya Karo
dan mengenal sangkep nggeluhnya.
Dan hal itu melekat dalam diri individu Karo. dan pengetahuan akan budaya Karo atau
dalam hal ini sangkep nggeluhnya dikonsepsikan dalam pikirannya sebagai hal yang menentukan
sikap individu Karo untuk bertindak dalam ruang publiknya bersama masyarakat Karo.2 Persepsi
tentang orang Karo harus dimulai dengan suatu perspektif bahwa orang Karo ialah masyarakat
1 Burke and Stets,” Identity of Theory”, 19-20.
2 Lihat pada bab ketiga Karakteristik dan Sifat orang Karo. Wawancara dengan Drs Sinar Sebayang. Halaman 39.
yang sangat membutuhkan orang lain terutama kepada sesama orang Karo, hal ini berkaitan
tentang masyarakat Karo merantau pasti akan menjunjung tinggi dan melaksanakan budayanya
sebagai media pertahanan diri terhadap perkembangan zaman yang ada.
Masyarakat Karo harus memiliki pemahaman dan pengetahuan terhadap merga
atau tutur (mengenal sangkep nggeluhnya) dengan mereka memahami kedua hal ini masyarakat
Karo akan bisa menjalankan kehidupannya sebagai orang Karo yang berbudaya, sebab kedua hal
di atas menjadi hal yang mendasar di dalam orang Karo, dan dengan mengenal merga dan
sangkep nggeluhnya masyarakat Karo akan tahu bagaimana untuk bersikap seperti menghormati
kalimbubunya, memiliki hubungan dekat dengan senina/sembuyak serta menyayangi
anakberunya.
Kemudian perspektif “i” di dalam diri orang Karo juga terlihat dari kemampuan mereka
yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sosial mereka tentang komunitas orang Karo dan
budaya orang Karo itu sendiri. Budaya Orang Karo yang dimaksud ialah mengenal bagaimana
proses peradatan perkawinan/kematian, pelaksanaan runggu (musyawarah), komunitas/arisan
orang Karo dan ertutur (bersikap ramah dan sopan kepada masyarakat Karo) sebab hal ini
ternyata tidak terlepas dari kehidupan jemaat GBKP Yogyakarta sebagai masyarakat Karo.
Meskipun mereka sudah merantau hidup berbudaya masih melekat dalam diri jemaat
GBKP Yogyakarta bahkan di perantauan praktik budaya Karo tetap dijalankan dan dilestarikan
sebagai upaya pertahanan diri dari berbagai konsep-konsep diri lainnya yang melekat akibat
lingkungan, tempat kerja dan pekerjaan. Melekatnya budaya Karo dalam kehidupan di jemaat
GBKP Yogyakarta dapat dilihat dari mereka masih fasih berbahasa Karo, masih menjalankan
rakut si telu di dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat dalam hal ini konteks karo
misalnya dalam hal peradatan perkawinan, kematian, arisan dalam komunitas Karo dan
perpulungen jabu-jabu (ibadah keluarga) di GBKP Yogyakarta.
Kemudian konsep diri yang ditawarkan Peter Burke dan Jan Stets dalam perspektif “me”.
Mereka mengemukakan bahwa konsep diri “i” ialah fase dari diri "me”, “me” memulai tindakan
yang kemudian berada di bawah arahan, kontrol, dan bimbingan dari "i”3. Jika dilihat dalam
mengidentifikasi orang Karo, secara umum “me” yang dimaksud disini ialah bagaimana orang
Karo bertindak berdasarkan konsep diri (saya) yang sudah melekat dalam dirinya. Konsep diri
orang Karo yang sudah melekat itu ialah orang Karo yang memiliki merga, yang menjalankan
adat-istiadat dan mengenal dan memahami sangkep nggeluh atau yang sering disebut rakut si
telu. Sehingga “me” merupakan tindakan atas konsep yang sudah identifikasikan. Berarti secara
sosial, bahwa “me” adalah orang Karo yang melakukan konsep diri yang melekat dalam persepsi
orang Karo tersebut. Sehingga orang karo dalam hal “me” ialah orang yang memiliki aksi sosial
berbasis budaya Karo dan memiliki fungsi sosialnya didalam masyarakat.
“me” disini ialah adalah orang Karo yang memiliki peran dalam rakut si telu.Orang Karo
yang memiliki peran dalam rakut si telu itu ialah yang menghormati kalimbubu, bersaudara atau
senina/sembuyak dan menyayangi anak berunya dan pada hakekatnya Itulah fungsi sosial orang
Karo. Orang Karo Diaspora terkhususnya di Yogyakarta memaknai dirinya sebagai kumpulan
orang Karo yang tetap membawa konsep awalnya sebagai orang Karo yang berbudaya, bermerga
dan tetap melaksanakan tinggi adat istiadat dan rakut sitelu. Hal ini menjadi 3 dasar orang Karo
Diaspora yang untuk tetap menjadi orang Karo. Kemudian bagaimana orang Karo tetap
menjalankan peran mereka sebagai rakut si telu yang menjadi identitas sosial orang Karo di
Yogyakarta.
3Burke and Stets,” Identity of Theory”, 19-20.
Konsep diri orang Karo yang telah dikonsepkan diatas baik perspektif “i” dan “me”
mengarah kepada konsep budaya orang Karo yang disebut rakut si telu. Hal ini ditandai dengan
konsep diri “i” yang memiliki merga, memahami adat istiadat dan memiliki peran sosial di dalam
kehidupannya sebagai orang Karo. Konsep diri “me” terlihat dari bagaimana aksi sosial yang
berdasarkan konsep diri “i” yang melekat di dalam orang Karo itu sendiri. Ketiga konsep dasar
orang Karo diatas merupakan suatu peran yang harus membutuhkan rakut si telu sebagai pelaku
sosial dalam mempertahankan ketiga hal tersebut. Rakut si telu tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan orang Karo.
Itu sudah dimiliki oleh tiap-tiap individu orang Karo. tanpa memiliki merga orang Karo
tidak bisa mempunyai peran mereka di rakut si telu. Sebab dengan adanya merga orang Karo
mampu diklasifikasikan sebagai kalimbubu, senina dan anak beru. Sehingga merga menjadi
suatu instrument yang sangat penting didalam rakut si telu. Kemudian konsep diri kedua yaitu
orang Karo yang memahami budaya dan adat istiadat. Di dalam adat-istiadat orang Karo, rakut si
telu menjadi tiang budaya bagi masyarakat Karo. mereka lah yang mampu menjalankan budaya
dan adat istiadat orang Karo, tanpa mereka adat-istiadat orang Karo tidak berjalan dengan baik.
Bahkan tidak dianggap sah jika rakut si telu tidak lengkap.
Hal ini menandakan bahwa orang Karo memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya.
Serta memiliki hubungan emosional secara praktik budaya dan fungsi sosialnya. Polarisasi
semacam ini sama seperti konsep ketiga yaitu yang memiliki peran sosial dalam masyarakat
Karo. Dimana orang Karo harus menjalankan fungsi sosial mereka sebagai pelaku sosial yang
memiliki peran didalam rakut si telu. Penjelasan tentang bagaimana penerapan rakut si telu akan
dibahas dalam penjelasan berikutnya untuk mendukung konsep “i” dan “me” yang menjadi dasar
rakut si telu sebagai pembentuk identitas sosial di Jemaat GBKP Yogyakarta.
4.2. Bahasa, karakter diri, sangkep nggeluh sebagai simbol interaksi dalam jemaat GBKP
Yogyakarta.
Simbol berkaitan dengan tanda-tanda, biasanya dilihat dari situasi dimana tanda tersebut
disimpulkan oleh individu yang merasakan simbol tersebut. Sehingga simbol dan tanda
sebenarnya tidak bisa dilepaskan begitu saja, mereka memiliki jalinan sosial antara tanda simbol.
Dimana tanda merupakan konsep umum dari simbol. Makna tanda akan memiliki implikasi
terhadap identitas seseorang. 4 Tanda dan simbol tidak bisa dilepaskan begitu saja sebab kedua
hal ini saling mengikat dan berhubungan. Tanda merupakan bentuk dari simbol yang melekat
dalam diri seseorang. Sehingga hal itu menjadi kekuatan simbolik bagi suatu individu. Tanda dan
simbol itu terlihat dari bagaimana bahasa, karakter diri dan pemahaman budaya tentang sangkep
nggeluh yang dialami dan dirasakan oleh jemaat GBKP Yogyakarta.
Berdasarkan pengamatan dan penelitian penulis, bahwa ada tiga hal yang menjadi simbol
interaksi di dalam jemaat GBKP Yogyakarta. Simbol-simbol ini berupaya untuk tetap
mempertahankan dan mendukung jemaat GBKP Yogyakarta dari sistem-sistem interaksi. Sistem
interaksi itu seperti aturan-aturan gereja, peradatan karo yang terjadi dan interaksi yang terjadi di
dalam kehidupan sehari-hari jemaat GBKP di Yogyakarta. Ketiga hal itu tersebut ialah bahasa,
karakter diri dan sangkep nggeluh.
Pertama bahasa, pada umumnya jemaat di GBKP Yogyakrta masih fasih berbahasa Karo,
beberapa narasumber sangat fasih dalam berbahasa Karo, selain itu ibadah minggu juga
menggunakan bahasa. Hal ini menandakan bahwa bahasa Karo masih menjadi kekuatan diri
yang masih dipegang dan dipergunakan. Tidak hanya orang tua, anak-anak yang ada di Gereja
4 Freese and Burke, “Person,Identity” 12.
GBKP Yogyakarta juga bisa berbahasa Karo. Ini menandakan juga orang tua masih mengajarkan
bahasa Karo sebagai bahasa budaya yang tidak boleh ditinggalkan. Hal ini terlihat ketika ibadah
berlangsung, komunikasi antar jemaat di dalam gereja dan dilluar gereja ketika selesai beribadah.
Mereka masih menggunakan bahasa Karo sebagai alat untuk berkomunikasi.
Bahasa menjadi aspek mendasar dikarenakan itu merupakan simbol dan tanda yang
muncul. Tanda ini langsung terhubung kepada objek, pikiran dan tindakan seseorang seperti apa
yang dijelaskan Peter Burke dan Jan Stets dalam bukunya identity of theory. Dan ditambahkan
lagi bahwa seorang individu mengenal siapa dirinya dalam suatu budaya dan komunitas. Melalui
bahasa individu akan mampu bertahan dalam struktur sosial dan sistem sosial yang diikutinya.
Terhubung ke objek berarti bahasa menjadi pusat untuk berinterkasi dimana dalam hal ini
jemaat GBKP Yogyakarta mempertahankan bahasa Karo sebagai kekuatan mendasar bagi
membangun pola komunikasi dengan orang lain. kemudian hal ini berkaitan dengan bagaimana
bahasa memberikan pengalaman langsung bagi jemaat GBKP Yogyakarta. Sebab dengan fasih
berbahasa Karo, sesamanya juga akan memiliki penghargaan yang lebih bagi dirinya. Karena
memang bahasa menjadi sumber utama masyarakat Karo berinteraksi secara budaya.
Pada dasarnya bahasa juga menjadi norma budaya yang harus menjadi dasar bersama
seseorang untuk mampu mengikuti suatu budaya yang melekat dalam dirinya dalam hal ini
budaya Karo. Sehingga bahasa Karo menjadi identitas awal bagi orang Karo diaspora di
Yogyakarta. Kedua, orang Karo diaspora memahami apa yang dimaksud dengan rakut si telu,
berdasarkan penelitian penulis bahwa jemaat yang ada di GBKP Yogyakarta memahami secara
mendasar tentang rakut si telu. Meski tidak secara mendalam tetapi mereka mengetahui siapa
yang menjadi kalimbubu, senina,sembuyak & anak beru mereka di dalam komunitas mereka.
Dikarenakan mereka merantau sehingga mereka mengangkat secara personal/tidak saudara
kandung siapa yang akan menjadi sangkep Nggeluh mereka.5 Dengan cara begitu mereka mampu
mempertahankan budaya Karo di tengah perantauan. Ini menjadi strategi orang Karo di
Yogyakarta untuk bisa tetap memahami rakut si telu didalam kehidupan sosial mereka.
Mereka tidak hanya memahami rakut si telu sebagai suatu warisan budaya saja,
melainkan pemahaman mereka sudah sampai kepada tataran sosial yaitu rakut si telu menjadi
kekuatan sosial mereka untuk tetap bisa bertahan hidup dan bersosialisasi dengan orang Karo.
Artinya mereka mengangkat sangkep nggeluh bukan hanya untuk memenuhi kewajiban norma
budaya yang mengharuskan memiliki sangkep nggeluh tetapi mereka menganggap itu menjadi
kebutuhan mendasar sebagai orang Karo yang merantau. Sebab sangkep nggeluh lah yang
nantinya akan menjadi keluarga terdekat mereka. Sehingga bukan sebagai tuntutan budaya
melainkan untuk memperkuat rasa kekeluargaan di tanah rantau.
Ada jemaat yang kemalangan atau yang mengalami kesusahan baik secara ekonomi dan
persoalan lainnya. Kalimbubu, senina dan anak beru yang telah diangkat oleh jemaat tersebut
pada umumnya memiliki kewajiban untuk membantu jemaat tersebut. Biasanya jika terjadi hal
demikian jemaat yang bersangkutan akan datang terlebih dahulu kepada senina ( orang yang satu
merga dengannya jika itu laki-laki) sebab posisi senina ialah mendengarkan curhatan dan
kesusahan dari orang lain. Kemudian mereka akan datang kepada anak beru dari jemaat yang
bersangkutan untuk memohon agar diberitahu kepada kalimbubu jemaat yang bersangkutan agar
dapat dibicarakan. Sebab kalimbubu memiliki fungsi untuk memberi saran, solusi dan berhak
untuk membantu jemaat yang bersangkutan. Demikinalah proses sangkep nggeluh yang terjadi.
5 Lihat pada bagian III tentang pengetahuan dan pemahan rakut si telu. Wawancara dengan Bp bebas Tarigan dan
Hendri Perangin-Angin.
ini menandakan bahwa orang Karo sangat dekat sekali dengan sangkep nggeluhnya dan mereka
tidak bisa hidup secara utuh tanpa bantuan dari orang lain terkhusus dari sangkep nggeluhnya.
Ketiga, identitas awal orang Karo diaspora Yogyakarta terlihat dari ciri orang Karo
disana yang sudah mulai demokratis sosialis. Artinya, orang Karo tidak hanya hidup dan
memperhatikan orang Karo saja, melainkan sudah berbicara tentang bagaimana menolong
sesama manusia. identitas ini menjadi penting dikarenakan, orang Karo pada umumnya memiliki
kebiasaan yang pandai bersaudara dan mengambil hati orang lain.6 Tidak hanya itu,orang Karo
sudah terbiasa hidup dengan polarisasi yang sudah ada di peradatan suku Karo, yang dimana
didalamnya sangat menjunjung nilai persaudaran, kemanusiaan dan budaya yang tinggi.
Sehingga sifat demokratis sosialis sangat kelihatan. Itu saya alami sendiri kita sampai di GBKP
Yogyakarta, beberapa jemaat yang kebetulan bertemu dengan saya, langsung menawarkan
tempat tinggal danmembantu proses penelitian saya. 7
Keempat, identitas awal orang Karo diaspora sampai kepada karakteristik orang Karo itu
sendiri. Karakteristik orang Karo pada umumnya ialah tekun, pekerja dan tidak mudah
menyerah. Itu terlihat dari keberhasilan orang Karo yang merantau di Yogyakarta. Baik secara
materi dan secara kehidupan sosial mereka bersama masyarakat. Mereka sangat ramah, mudah
bergaul dan rendah hati. Ini menjadi penanda bahwa orang Karo dengan identitas sangat melekat
dalam dirinya. Dengan prinsip memiliki kesamaan nasib pergi merantau dan pernah hidup susah,
dan pernah ditolong sehingga menyebabkan hal itu mereka lakukan kepada orang Karo merantau
6 Lihat pada bagian II tentang Karakteristik dan sifat orang Karo. Wawancara dengan Jekonia Tariga Pt. Em.
Madison Ginting & Ibu Rosdiana B.Sc. Halaman 34. 7 Lihat pada bagian II tentang Karakteristik dan sifat orang Karo.Wawancara dengan Yanti Br Pencawan & Bp.
Wahyuni Ginting Manik. Halaman 34
juga. Sikap tolong menolong, memikirkan orang lain sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari kehidupan mereka.
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa bahasa, karakter diri, dan sangkep nggeluh
merupakan simbol interaksi bagi jemaat GBKP Yogyakarta. Simbol-simbol ini membuat jemaat
dapat bertahan dari sistem interaksi yang mereka jalankan. Dan bisa dikatakan juga bahwa ketiga
unsur di atas ialah sumber interaksi yang akan bisa memunculkan sistem interaksi. Sistem
interaksi ini terlihat di peradatan dalam masyarakat Karo. Seperti apa yang dikatakan Peter
Burke dan Jan Stets dalam bukunya identity of theory bahwa sumber interaksi berfungsi untuk
mempertahankan pengetahuan/budaya terhadap sistem interaksi yang terjalin di dalam kehidupan
jemaat GBKP Yogyakarta.
Mungkin saja kalau orang Karo yang tinggal di tanah Karo masih beranggapan bahwa
rakut si telu akan selalu hidup dan menjadi dasar bersama untuk kehidupan mereka. Tetapi disini
menjadi keprihatinan orang Karo kalau tidak memiliki sangkep nggeluh atau rakut si telu.
Karena rakut si telu menjadi perekat sosial bagi kehidupan orang Karo. Sehingga hal itu penting
untuk dilaksanakan dan dihidupi. Bagi orang Karo diaspora rakut si telu menawarkan jaminan
kehidupan yang lebih baik, dan jaminan bahwa kekeluargaan akan selalu ada dan hidup akan
selalu terkait karena sudah diikat dalam suatu struktur budaya yaitu rakut si telu dalam
menjalankan kehidupan mereka melalui fungsi/peran sosial mereka di dalam rakut si telu.
4.3. Rakut Si Telu Sebagai Pembentuk Identitas Sosial di Jemaat GBKP Yogyakarta.
Rakut si telu digambarkan sebagai berikut.
Kalimbubu Senina/Sembuyak
Sukut
Anak beru
Gambar segitiga itu atau sering dikatakan sebagai tiga kaki tungku. Dimana kalimbubu
dengan senina berada di posisi kiri dan kanan sedangkan anak beru berada dibagian bawah. Dan
di tengah itu merupakan sukut atau pemilik pesta. Kalau adat perkawinan berarti pengantin dan
orangtuanya sedangkan kalau kematian, keluarga yang ditinggalkan. Sukut dikelilingi oleh rakut
si telu. Hal didasari oleh pengertian bahwa orang Karo membutuhkan ketiganya untuk bisa
menjalankan peradatan tersebut. masing-masing kelompok tersebut melakukan tugasnya dengan
baik dan benar sesuai dengan apa yang sudah menjadi bagian dari mereka.
Di dalam sistem interaksi ini tidak ada yang berada di dalam posisi paling tinggi dan
rendah semua sama dalam pengertian bahwa mereka merupakan sistem kekerabatan yang tak
terpisahkan hanya saja yang membedakan mereka ialah tugas dan tanggung jawab mereka ketika
peradatan berlangsung. Kalimbubu memiliki tanggung jawab sebagai kelompok pemberi dara
bagi keluarga. Dalam hal ini kalau diilihat dalam keadaan penulis, yang termasuk dalam
kalimbubu penulis ialah saudara laki-laki dari ibu penulis (paman).
Kalimbubu juga memiliki sebutan sebagai dibata ni idah (Tuhan yang kelihatan). Konsep
kalimbubu sebagai Tuhan kelihatan disebabkan oleh tugas dan tanggung jawab mereka yang
diidentikan sebagai penasehat dalam peradatan suku Karo, dengan kata lain pada kelompok
kalimbubu memiliki tugas mengawal keseluruhan acara yang ada dalam peradatan suku Karo.
Mengawal berarti memastikan kepada sukut bahwa acara bisa berjalan sesuai dengan apa yang
sudah disepakati. Selain itu kalimbubu juga memiliki fungsi sebagai pemberi saran, memberi
nasehat dan sebagai juru damai ketika ada perselisihan.
Fungsi kalimbubu sebagai pemberi saran ialah mereka bertanggung jawab mendengarkan
kesusahan yang dialami oleh anak berunya sehingga kelompok ini bertanggungjawab untuk
memberikan saran serta memberikan solusi bagi persoalan yang sedang dihadapi. Kelompok ini
sangat penting dalam peradatan suku Karo. Sebab mereka sangat dibutuhkan. Kalimbubu juga
memiliki kedudukan yang sangat penting di dalam peradatan karena memang mereka sangat
diperlukan sebagai wakil dari pihak perempuan yang akan menikah kalau berdasarkan adat
perkawinan. Tanpa kelompok kalimbubu ini acara peradatan suku Karo tidak bisa dilaksanakan
Berarti kalimbubu bisa diartikan sebagai orang yang dihormati dan di segani dalam
masyarakat Karo. Sebab kedudukan mereka sangat diharapkan di dalam peradatan suku Karo.
Kemudian dari sisi mana kalimbubu bisa dijadikan sebagai pembentuk identitas sosial dalam
masyarakat Karo Yogyakarta terkhususnya dalam masayarakat Karo yang beribadah di GBKP
Yogyakarta. Dapat menjadi pembentuk identitas sosial karena fungsi-fungsi budaya bahkan
sosial dari kelompok ini banyak memberikan kemudahan, pertolongan dan membuat jemaat
GBKP Yogyakarta ataupun masyarakat Karo yang berada di dalam posisi ini dengan sadarnya
untuk membantu orang lain dan turut membuat hubungan persaudaraan semakin dekat. Di dalam
kedudukan kalimbubu ini, masyarakat Karo pada umumnya akan berada di dalam posisi yang
sangat penting.
Dalam teori Burke dan Stets buku identity of theory tentang Agen/Aktor dan Peran,
mereka mengatakan bahwa agen bisa dikategorikan sebagai indivdu yang memiliki peran
sebagai orang bertindak atau yang memiliki aksi diri dalam ruang interaksi dan menciptakan pola
interaksi sebagai sarana untuk bertindak. Agen berhubungan dengan apa yang dimaksud dengan
peran. Peran sering dikaitkan dengan bagaimana berhubungan orang lain dan semacam tingkah
laku dari seseorang. Tetapi agen juga berbicara tentang hubungan, perilaku. Sama halnya yang
dilakukan oleh pihak kalimbubu, kalimbubu tidak hanya sebagai kelompok yang dianggap paling
penting di dalam peradatan suku Karo. Mereka juga dikaitkan sebagai pemerhati keluarga
terdekatnya.
Dari sisi sosialnya kalimbubu akan berusaha menolong keluarga terdekatnya, sebab
keluarga terdekatnya juga akan bersikap sebagaimana mestinya. Kemudian kalimbubu juga erat
kaitannya sebagai juru damai di dalam permasalahan yang terjadi di Keluarga orang Karo.
Ketika ada permasalahan antar sanak keluarga, kalimbubu menjadi tempat untuk mengadu dan
diharapkan bisa menyelesaikannya. Kalimbubu memakai kekuatan perannya sebagai orang yang
dianggap bijaksana. Oleh sebab itu permasalahan yang terjadi kalau kalimbubu mengetahuinya.
Sebisanya masalah itu akan terselesaikan dengan adil dan damai.
Selanjutnya dari hubungan berelasi dengan kalimbubu. Biasanya orang yang dianggap
kalimbubu keluarga tidak bisa sembarangan berbicara kepada kalimbubu, artinya orang-orang
harus bersikap ramah, sopan santun dan tahu tata krama. Hal ini diterapkan demi menjaga
hubungan keluarga dengan pihak kalimbubu. Sebab kalimbubu dalam setiap peradatan apapun
kehidupan lainnya dibutuhkan sehingga tidak bisa dan diharapkan tidak boleh mengalami
perselisihan kepada pihak kalimbubu keluarganya.
Kalau dilihat dari peranan kalimbubu seperti yang dijelaskan di atas. Kalimbubu menjadi
pembentuk identitas sosial dikarenakan dalam kelompok ini, orang-orang yang di dalamnya akan
hidup sebagai orang yang mengatur dan menyelaraskan tatanan kehidupan yang tidak baik
atapun perlu mengalami keteraturan. Sebab di kelompok kalimbubu diharapkan menjadi orang
yang paling bijaksana dan bersikap adil kepada orang lain. Sebab penghargaan kepada pihak
kalimbubu sangat tinggi diberikan. Oleh sebab itu kalimbubu harus bisa mengatur tatanan
kehidupan dan membantu orang lain secara kemanusiaan sebab posisi mereka sangat baik untuk
melakukan perubahan-perubahan sosial yang significan.
Senina/Sembuyak. Senina pada umumnya dikaitkan dengan kelompok yangn bertanggung
jawab terhadap seluruh upacara adat sukut (pemilik pesta). Sebab senina artinya satu pendapat
atau satu kata. Atau dengan kata lain senina/sembuyak adalah penyambung lidah keluarga ketika
peradatan berlangsung. Mereka turut mendamping keluarga yang akan melaksanakan peradatan.
Sehingga senina diambil dari orang yang satu merga dengan pemilik pesta meski tidak saudara
kandung. Misalnya merga barus yang menikah, yang bertanggungjawab dalam pesta peradatan
ialah yang satu merga dengan penulis (dapat dilihat dari submerga pada bagian III tentang
merga).
Kemudian senina juga memiliki fungsi sebagai teman sharing tentang apa yang menjadi
pergumulan jika dikaitkan dengan pesta peradatan, pemilik pesta akan berdiskusi dengan
seninanya untuk menanyakan bagaimana persiapan pesta dan apa saja yang akan dipersiapkan
untuk melancarkan acara tersebut. Kemudian sembuyak, kelompok ini merupakan yang satu
merga dengan pemilik pesta tetapi berasal dari keturunan yang sama atau kandung (laki-laki).
Jika di dalam posisi pesta kedudukan mereka hampir sama dengan senina karena memiliki fungsi
dan peran hampir sama sebagai pengatur dan bertanggungjawab atas peradatan yang akan
dilakukan.
Intinya senina/sembuyak ialah kelompok yang memiliki hubungan yang dekat kepada
yang akan melaksanakan pesta. Merekalah yang akan bertanggungjawab akan peradatan yang
dilakukan saudaranya. Jika dilihat dari tugas mereka ini, pemilik pesta diharapkan harus bersikap
peduli dan menjunjung tinggi persaudaraan kepada kelompok ini, sebab mereka adalah wakil
mereka ketika peradatan mau dilakukan baik adat perkawinan, kematian dan lain sebagainya.
Sebab mereka adalah keluarga terdekat dari pemilik pesta.
Oleh sebab itu kelompok ini menjadi pembentuk identitas sosial dikarenakan mereka
ialah orang yang akan menjadi pendamping keluarga ketika mengalami kesusahan atau pun akan
melaksanakan peradatan. Kelompok mereka inilah yang mendampingi dan akan mengatur segala
persiapannya. Kalau dikaitkan dengan kehidupan pada umumnya kelompok ini menjadi
kelompok yang paling dekat dengan keluarga yang akan melaksanakan pesta. Oleh sebab itu
menjadi kelompok ini berarti menjadi orang yang selalu ada buat orang lain. Dengan kata lain
kelompok senina ini bisa bisa menjadi pembentuk identitas dikarenakan mereka memiliki fungsi
selain di atas sebagai pendamping keluarga atau bisa dikatakan sebagai malaikat yang
bertanggungjawab untuk membantu dan selalu ada buat keluarga yang mengangkat mereka
sebagai senina/sembuyak dalam keluarganya.
Kemudian yang terakhir ialah anak beru. Anak beru ialah kelompok yang satu merga
dengan pemilik pesta atau keluarga merga tertentu (tetapi yang perempuan, kalau senina tadi
laiki, anak beru perempuan). Tugas dari anak beru ialah mengatur jalannya musyawarah/runggu,
mereka mengatur jalannya musyawarah, mereka yang akan menjembatani diskusi yang sedang
berlangsung antara kalimbubu, senina dan anakberu. Segala sesuatu yang dibicarakan kemudian
dicatat oleh pihak anak beru agar mereka tahu apa yang akan dikerjakan. Kemudian mereka
menyiapkan hidangan pesta, artiya mereka menyiapkan dari mulai menyiapkan perkakas alat
masak, membeli kebutuhan masak dan memasaknya serta menghidangkannya kepada tamu yang
hadir.
Selain itu mereka berkewajiban memberi kabar/undangan ketika akan dilaksanakan
peradatan kepada keluarga terdekat, undangan pelaksanaan peradatan harus sampai kepada
kerabat dan tidak boleh tidak disampaikan sebab orang Karo pada umumnya sangat sensitive
kalau tidak di undang langsung. Dan tugas anak beru lainnya ialah menjadwalkan pertemuan
keluarga, ketika aka ada perihal yang akan disampaikan kepada keluarga terdekat mereka juga
bertanggungjawab untuk menyampaikannya Dan menjadi juru damai kalimbubunya. Jika terjadi
perselisihan antara kalimbubu dengan orang lain, anak beru berkewajiban menjadi juru damai.
Karena anak beru merupakan saudara terdekat dari kalimbubunya.
Kelompok ini bisa dikatakan adalah tim sukses di dalam menyelesaikan adat yang akan
sedang berlangsung. Karena begitu pentingnya peran mereka dalam struktur peradatan
masyarakat Karo, pada umumnya masyarakat Karo akan menyayangi anak beru mereka karena
merekalah yang akan mempersiapkan dari persiapan acara hingga sampai acara selesai.
Kelompok ini bisa menjadikan dirinya sebagai pembentuk identitas karena kelompok ini
menawarkan suatu sistem kekerabatan sosial yang sangat baik. Mereka membuat kekerabatan
suku Karo begitu erat. Begitulah kehidupan orang Karo sangat erat dan saling memperhatikan
sesamanya.
Oleh sebab itu ketiga unsur ini selalu akan bersinggungan dengan kehidupan masyarakat
Karo. Dimana ada kegiatan masyarakat Orang Karo, kemalangan, perkawinan bahkan
perselisihan ketiga unsur ini pasti ada sebagai suatu sistem kekerabatan yang menolong.
Dalam teori Burke dan Stets buku identity of theory tentang Agen/Aktor dan Peran,
mereka mengatakan bahwa agen bisa dikategorikan sebagai indivdu yang memiliki peran
sebagai orang bertindak atau yang memiliki aksi diri dalam ruang interaksi dan menciptakan pola
interaksi sebagai sarana untuk bertindak. Agen berhubungan dengan apa yang dimaksud dengan
peran. Peran sering dikaitkan dengan bagaimana berhubungan orang lain dan semacam tingkah
laku dari seseorang.
Tetapi agen juga berbicara tentang hubungan, perilaku.8 Berarti agen melaksanakan peran
mereka demi menciptakan interaksi dan mempertahankan pola interaksi yang sudah ada.
Sehingga pola interaksi tetap bisa terjaga. Hal inilah yang dilakukan sangkep nggeluh yang ada
di Yogyakarta. Mereka mempertahankan rakut si telu dengan tetap melaksanakan peran dan
tugas mereka didalam sangkep nggeluh yang mereka miliki. Sehingga rakut si telu dapat
dikategorikan sebagai agen dan fungsi mereka dapat dikatakan sebagai peran sebagaimana yang
dimaksud Burke dan Stets.
Ini menandakan orang karo sangat berhubungan satu dengan lainnya. Sehingga dapat
dikatakan rakut si telu menjadi sumber interaksi didalam konteks bermasyarakat. Selain itu
mereka menjadi jalinan sosial yang sudah terstruktur dalam kehidupan orang Karo meski tidak
secara organisatoris melainkan secara budaya terlebih kepada kesadaran diri dalam tiap individu
orang Karo. Oleh sebab itu pada umumnya orang Karo sudah bisa memposisikan dirinya sebagai
apa, dan tugasnya apa dalam suatu peradatan suku Karo. semua jalinan ketiga kelompok sosial
ini berjalan begitu seterusnya. Sehingga memang dibutuhkan kedewasaan diri ketika berada
diantara salah satu kelompok sosial tersebut. Dari penjelasan diatas, ketiga kelompok sosial
diatas tidak hanya dipandang sebagai suatu struktur budaya saja, melainkan ialah suatu perekat
sosial didalam suku Karo.
Kelompok sosial harus digeserkan maknanya sebagai identitas sosial dalam masyarakat
Karo. Identitas sosial berarti, tugas, fungsi dan peran ketiga kelompok sosial ini tidak hanya
sebatas di peradatan saja melainkan dalam kehidupan lainnya seperti kehidupan keluarga,
8 Burke and Stets, “ Identity of Theory”, 6.
kehidupan tetangga dan kehidupan beragama. Maknanya harus sampai ditahap ini. Sehingga
kehidupan masyarakat suku Karo terjalin dengan baik.
Kita tidak hanya menghormati kalimbubu sangat ada peradatan, kita tidak hanya
berempati dengan senina ketika ada masalah dengan kalimbubu atau orang lain, kita tidak hanya
menyayangi anak beru ketika mau melaksanakan adat. Semua didasari karena ketiga kelompok
sosial.budaya ini menjadi kebutuhan dasar bersama yang di hidupi dalam sektor-sektor
kehidupan yang lebih luas. Sehingga rakut si telu menjadi kekuatan sosial yang mampu
mempertahankan sistem sosial yang sudah terjalin diantara ketiga kelompok tersebut. Dengan
kata lain ketiga kelompok tersebut menjadi landasan masyarakat suku Karo dimanapun berada
Menurut Lee Freeze dan Peter Burke dalam teori person, identitiy and social interaction
seseorang bisa memiliki jalinan komunikasi dengan orang lain ketika sumber identitas seseorang
terletak di jaringan peran, status, dan norma subkultur orang tersebut. Jaringan yang
menyediakan struktur interaksi interpersonal dengan begitu individu bisa menemukan,
mendefinisikan, dan mengidentifikasi orang. Orang-orang berhubungan dengan lingkungan
mereka sebagian karena tanda-tanda sosial didalam lingkungan sekitarnya.9 Jaringan peran,
status dan norma itu terjalin dalam kehidupan orang Karo pada umumnya termasuk yang ada di
Jemaat GBKP Yogyakarta.
Interaksi Interpersonal yang dikemukakan oleh Lee Freeze dan Peter J. Burke berkaitan
dengan apa yang ingin dibangun oleh masyarakat Karo diaspora dalam hal ini jemaat GBKP
Yogyakarta dalam melakukan interaksi kepada sesama orang Karo. Interaksi yang dibangun oleh
9 Fresse and Burke, “ Person, Identity And Social Interaction”, 17.
masyarakat Karo Yogyakarta khususnya jemaat GBKP Yogyakarta terlihat pada apa yang
mereka lakukan seperti tetap melakukan pelaksanaan runggu, peradatan perkawinan/kematian
dan arisan komunitas Karo.Hal ini dinamakan interaksi interpersonal dan hal dibawah ini
dijadikan sebagai sumber interaksi.
Di dalam penjelasan teori Burke dan Stets tentang sumber interaksi ialah suatu tempat
dimana orang dan kelompok melaksanakan proses interaksi. Dimana ada proses interaksi antara
individu dengan individu. Dan dimana sumber itu membantu dan mendukung proses interaksi
tersebut dengan simbol interaksi yang ada seperti tanda, simbol, sumber dan respon. Ini terlihat
dari beberapa kegiatan/peradatan suku Karo yang ada dan masih dilakukan oleh jemaat GBKP
Yogyakarta.10
Sumber ini berfungsi untuk mempertahankan pengetahuan ataupun informasi yang sudah
ada dari sistem-sistem interaksi. Sebab sistem interaksi akan menghasilkan banyak informasi
dan pengetahuan dari berbagai interaksi yang sudah dihasilkan sehingga diperlukan suatu
pertahanan diri bagi pengetahuan dan informasi yang sudah ada. Sumber Informasi dihasilkan
melalui lingkungan ataupun situasi sosial yang sedang terjadi. Informasi didapatkan melalui
interaksi intensif yang dilakukan oleh seseorang dengan orang lain.11
Runggu, Perpulungen
Jabu-Jabu dan arisan masyarakat Karo menjadi sumber interaksi. Sebab didalam kegiatan
tersebut proses interaksi, bentuk interaksi dan sistem interaksi terlihat sebagai jalinan rakut si
telu sebagai identitas masyarakat Karo Yogyakarta.
4.3.1. Runggu ( Musyawarah).
10
Burke and Stets, “ Identity of Theory”, 6. 11
Frese and Burke,”Person,Identity,” 11.
Runggu adalah suatu musyawarah yang biasa dilakukan oleh masyarakat Karo. Dalam
runggu biasa diidentikan dengan percakapan antar keluarga yang bersangkutan (sukut) dalam hal
ini yang ingin melakukan adat perkawinan/kematian atau yang ingin melakukan runggu.
Biasanya runggu berisikan tentang musyawarah yang bermufakat dan menghargai perbedaan
pendapat. Runggu bisa dilakukan ketika sangkep nggeluh sudah hadir dan lengkap seperti
kalimbubu, senina dan anak beru. Dalam penelitian penulis, jemaat GBKP runggun Yogyakarta
masih melakukan runggu sebagai suatu ruang bersama untuk mempertemukan sangkep nggeluh
yang dimiliki oleh suatu keluarga yang ingin melaksanakan pesta adat Karo.
Di dalam runggu, musyawarah di pimpin oleh anak beru dari pihak keluarga. Anak beru
akan menanyakan kepada pihak keluarga kalau pihak kalimbubu, senina/sembuyak, anak beru
sudah hadir atau belum. Jika belum hadir dari salah satu sangkep nggeluhnya musyawarah belum
bisa dilakukan. Sebab mereka harus hadir di dalam pengambilan keputusan. Hal ini menegaskan
bahwa keterikatan ketiga unsur ini sangat erat. Mereka tidak bisa dipisahkan karena saling
berhubungan.
Selama runggu berjalan, anak beru akan memulai musyawarah bersama, di dalam
diskusi ini biasanya jika untuk adat perkawinan, biasanya akan dibahas tentang mahar dari laki-
laki ke perempuan, di dalam musyawarah ini akan disepakati tentang kesanggupan pemberian
mahar kepada pihak perempuan. Setelah itu disepakati tentang tanggal peradatan dan lokasi
peradatan. Biasanya akan dilaksanakan di tempat perempuan. Karena kita pihak perempuan
adalah orang yang sangat dihormati begitu filosofinya bagi masyarakat Karo. Selain itu akan
dibahas tentang sarana dan prasarana untuk persiapan peradatan dari kebutuhan makanan,
minuman dan hidangan apa yang akan diberikan kepada tamu. Hal ini dibicarakan dengan begitu
cermat.
Kemudian semua yang telah di musyawarahkan dan telah disepakati tidak bisa di ganggu
gugat oleh siapapun sebab kesepakatan di dalam runggu sangat dihormati. Sebelum musyawarah
selesai, senina/sembuyak dari keluarga yang terkait menanyakan kepada keluarga tersebut
apakah masih ada yang perlu dipersiapkan atau sudah cukup. Ketika bagi keluarga sudah cukup,
akan dipersilahkan kepada kalimbubu jika masih ingin bertanya atau memberikan nasehat
ataupun saran. Tak kala juga kalimbubu akan menanyakan kepada keluarga mengenai
pendanaan. Jika mengalami kendala dalam pendanaan biasanya kalimbubu dan anak beru akan
berinisiatif untuk melunasi kekurangan dana tersebut.
Runggu ini tidak dilupakan oleh jemaat GBKP Yogyakarta karena musyawarah ini
sangat demokratis, ramah lingkungan dan menjunjung sekali pendapat antar tiap individu orang
Karo. Sehingga peran rakut si telu terlihat di runggu . Runggu menjadi model komunikasi yang
dibangun, di dalam runggu biasanya hal yang dibicarakan cukuplah serius sehingga ditata
dengan begitu baik.
Model interaksi semacam ini menunjukkan interaksi interpersonal jemaat GBKP
Yogyakarta sanga kelihatan menjunjung tinggi hasil musyawarah dibandingkan dengan
keputusan dari suatu keluarga. Karena menjadi orang Karo adalah menjadi suatu keharusan
untuk menerapkan norma budaya salah satunya adalah pelaksanaan runggu sebagai langkah
awal untuk membangun suatu percakapan dan hasilnya rencana pelaksanaan peradatan.
Tanpa adanya runggu interaksi rakut si telu tidak berjalan dengan baik. Meski pertemuan
ketiga kelompok sosial ini bisa saja terlihat dalam kehidupan sehari-hari tetapi di dalam runggu
itu terlihat jelas sebagai suatu perekat sosial di dalam membantu rencana pelaksanaan suatu adat
dari keluarga yang ingin melaksanakan adat tersebut. Pola interaksi semacam ini sangat
menentukan bagaimana sistem interaksi yang dibangun.
Sistem interaksi ini terlihat ketika rakut si telu dipertemukan dalam nuansa adat yang
berlangsung. Kemudian bagaimana relasi rakut si telu tersebut diperhadapkan dengan kehidupan
sehari-hari. Sebab pola komunikasi yang dibangun tentu tidak sekaku atau terstruktur ketika di
dalam peradatan dimana ada juru bicara yang mengatur kelompok sosial mana saja yang
berbicara terlebih dahulu. Di dalam kehidupan sosial proses interaksi mereka berada dalam
posisi yang lebih santai dan lebih bersahabat.
4.3.2. Arisan orang Karo
Arisan orang Karo yang ada di Yogyakarta dan diikuti oleh jemaat GBKP Runggun
Yogyakarta terdiri dari arisan merga, arisan berdasarkan kampung halaman, arisan merga silima
sinuan buluh. Arisan ini dibentuk bertujuan untuk tetap mempertahankan pola komunikasi yang
sudah ada di dalam masyarakat Karo Yogyakarta dan juga untuk menjaga kerukunan masyarakat
Karo. Selain itu tujuan dari arisan ini untuk bertemu dan bertegur sapa antar orang karo satu
dengan lainnya. Arisan ini sangat beragam yang ada di jemaat GBKP Yogyakarta hal ini
disebabkan karena setiap arisan yang diikuti tentu memiliki nuansa yang berbeda. Ketika arisan
dengan satu kampung halaman yang sama pasti pola komunikasi yang dibangun pasti selalu
bernuansa tentang percakapan bagaimana keadaan kampung dan informasi tentang keadaan
kampung. Ungkapan keadaan kampung bertujuan untuk menahan rindu akan kampung
halamannya sehingga ada rasa ingin berbuat sesuatu untuk kampung halaman. Misalnya
kekurangan apa yang bisa dilakukan untuk kampung.
Kemudian arisan antar sub merga yang sama. Ini biasanya bersifat kekuatan submerga.
Biasanya bertemu untuk membicarakan tentang keadaan keluarga masing-masing. Sehingga jika
mengalami kekurangan dan membutuhkan bantuan biasanya arisan ini membantu apa yang bisa
meringankan beban dari salah satu keluarga. Sebab arisan submerga dianggap menjadi suatu
arisan keluarga besar yang memiliki asal ibu yang sama.
Anggapan itu dihidupkan agar kedekatan menjadi lebih dekat. Sehingga tidak ada jarak
antara keluarga satu dengan lainnya. Karena sudah dianggap sebagai saudara kandung, berarti
tidak ada alasan untuk tidak saling membantu. Sehingga sangat jelas terlihat bahwa kekuatan sub
merga yang sama memberikan dampak kepada interaksi yang dibangun. Sehingga interaksi yang
dibangun juga bisa berasal dari emosional submerga. Karena memiliki submerga sama harus
memiliki rasa kebersamaan. Disinilah terletak bagaimana kekuatan orang karo sebagai
penjunjung tinggi rasa persaudaran.
Kemudian arisan merga silima sinuan buluh. Arisan ini merupakan kumpulan dari kelima
merga yang diikuti oleh jemaat GBKP Yogyakarta. Arisan ini cukup besar karena meliputi
kelima merga yang ada di suku Karo. Di Yogyakarta arisan ini membahas secara luas bagaimana
perkembangan komunitas tersebut. Dan bisa dijadikan sebagai wadah mengevaluasi diri, hal-hal
apa saja yang menjadi kekurangan selama ini. Sehingga arisan ini memiliki kebermanfaatan yang
positif bagi orang Karo yang mengikuti arisan tersebut. Biasanya arisan ini berkumpul semua
sangkep nggeluh yan ada di orang karo Yogyakarta. Sehingga jalinan komunikasi yang terjadi
sangat kuat. Oleh sebab itu arisan ini tidak hanya bertemu dan berkumpul saja. Melainkan ada
pembahasan yang dibicarakan. Misalnya tentang perkembangan arisan yang sudah dibentuk dan
dilaksanakan.
Kemudian misalnya ada dari salah satu anggota dari arisan tersebut sudah lama tidak
hadir, maka arisan merga tersebut wajib untuk mengetahui alasan mengapa anggota arisan
tersebut tidak hadir, biasanya pengurus arisan dan kerabat dekat anggota yang tidak aktif juga
hadir untuk menanyakan langsung persoalan apa yang sedang terjadi sehingga menyebabkan
ketidakaktifan dari anggota arisan tersebut. Di dalam proses pelaksanaan Arisan, misalnya
arisan merga barus yang menjadi anak beru dalam arisan tersebut ialah sub merga yang sama
dengan barus, kemudian mereka mempersiapkan segala hidangan yang sudah disampaikan oleh
pihak keluarga. Sehingga arisan tidak hanya berbicara tentang sukacita anggota arisan saja
melainkan apa yang menjadi persoalan dari anggota arisan tersebut.
4.3.3. Perpulungen Jabu-jabu dan Ibadah Minggu
Perpulungen Jabu-Jabu ( Ibadah keluarga) yang terbagi menjadi 3 sektor yaitu Korinti
yang dilaksanakan tiap hari senin pukul 19.00-21.00 Wib, kemudian tiap hari selasa sektor Filipi
pada pukul yang sama dan tiap hari Rabu Sektor Galatia pada pukul yang sama. Kemudian ada
pelayanan Kaum Bapa ( mamre) dan Kaum Ibu ( moria) yang dilaksanakan setiap hari minggu
selesai Ibadah Minggu dimulai pada pukul 10.00-12.00 Wib. Perpulungen Jabu-jabu juga
merupakan bagian dari interaksi interpersonal yang dibangun oleh jemaat GBKP runggun
Yogyakarta. Karena di dalam PJJ ini, jemaat melakukan interaksi yang meski bernuansa rohani
karena PJJ ini merupakan ibadah keluarga yang menjadi bagian dari pelayanan keluarga yang
ada di Gereja.
Sistem interaksi yang dibangun berupa sharing tentang tema yang sudah ditentukan
kemudian diakhir PJJ biasanya dibuat sharing tentang pelayanan Gereja yang selama ini
dilakukan. Sehingga terjadi interaksi berupa sharing pengalaman melayani. Sama halnya dengan
arisan, anak beru dari keluarga yang melaksanakan perpulungen jabu-jabu langsung dengan
kesadaran dirinya untuk menyiapkan hidangan yang telah dipersiapkan keluarga yang terkait.
Oleh sebab itu ketiga unsur tersebut memang bersinergi dengan gereja. Selain persekutuan,
mereka membahas tentang program pelayanan, jemaat yang kurang aktif. Biasanya mereka akan
membahas itu.
Sama seperti dengan arisan, ketua wilayah biasanya akan memulai percakapan tentang
apakah ada jemaat yang tergabung dalam persekutuan ini kurang aktif. Jika ada pengurus PJJ
akan berdikusi dengan sangkep nggeluhnya yang hadir di dalam PJJ tersebut, kalau tidak ada
mereka akan mengunjungi sangkep nggeluhnya supaya bertanya langsung tentang jemaat gereja
yang kurang aktif. Budaya sangkep nggeluh dan runggu tetap masuk di dalam ruang bergereja di
karenakan memang budaya Karo semacam ini sangat dibutuhkan di dalam mengelola pelayanan
gereja. Tanpa adanya komunikasi dengan sangkep nggeluh dan runggu, keteraturan dalam segi
menghargai dan menghormati orang lain kurang terlaksana dengan baik. Sebab masyarakat Karo
dan jemaat GBKP pada umumnya sangat memegang teguh budaya Karo dan menghormati
sangkep nggeluhnya sebagai suatau kekerabatan sosial bagi kehidupan jemaat GBKP Yogyakarta
khususnya.
Kemudian ada ibadah minggu di GBKP Yogyakarta yang dilaksanakan pada pukul
08.00-10.00. Wib. Selesai ibadah biasanya jemaat tidak langsung pulang. Mereka menyempatkan
diri untuk berkumpul sejenak untuk bercerita dan berkumpul untuk sekedar bertanya ataupun
saling bertukar pendapat tentang suatu hal. Ini menandakan bahwa setiap waktu yang memiliki
perjumpaan bersama dengan orang Karo, jemaat GBKP Yogyakarta sebisanya menggunakan
waktu untuk bercerita dan berkumpul. Berarti jemaat GBKP Yogyakarta selalu berusaha untuk
melakukan interaksi.
Usaha semacam ini membuktikan bahwa mereka peduli dengan orang lain. Ingin tau
tentang orang lain. Sistem yang dibangun semacam ini bisa saja tanpa disadari oleh jemaat
tersebut. Inilah yang disebut dengan interaksi sosial. Menurut hemat penulis, hal ini dilakukan
dengan rangka untuk mempertegas bahwa mereka selalu membutuhkan ruang dan media
komunikasi dengan orang lain. Ini menjadi simbol bahwa orang Karo menunjukkan kedekatan
dan rasa persaudaraan mereka. Ini harus dijalani secara terus menerus sehingga nantinya bisa
memberikan kontribusi yang baik dari hasil interaksi.
Berdasarkan dari berbagai interaksi interpersonal yang dibangun. Jemaat GBKP
Yogyakarta menyadari benar bahwa interaksi sangatlah penting didalam mempertahankan suatu
kebudayaan atau norma budaya yang ada didalam suku Karo. Jemaat sadar bahwa salah satu
untuk mempertahankan kebudayaan suku Karo adalah dengan membangun suatu pola interaksi
dan membangun sistem interaksi. Dengan melakukan hal itu mereka akan terbiasa dalam situasi
sosial yang bersifat kekaroan. Sebab internalisasi budaya dan kehidupan akan selalu ada
sehingga untuk menanggulangi pengikisan akan budaya sendiri, diperlukan suatu wadah, media
dan pola interaksi untuk mempertahankan apa yang sudah menjadi identitas yang ada di dalam
diri orang Karo.
Interaksi interpersonal yang dibangun sudah menjadi kewajiban jemaat GBKP
Yogyakarta untuk menjaga identitas mereka sebagai orang Karo yang memiliki kebiasaan
mempertahankan budaya ramah kepada orang lain, menolong sesama dan berkumpul bersama
dalam komunitas suku Karo. Kenyataan semacam ini mengarahkan orang Karo untuk selalu
terbuka dengan orang lain, dan berbicara apa adanya dengan orang lain. tak terlepas dari itu
rakut si telu menjadi dasar mereka membangun interaksi yang ada. Dengan siapa mereka
berbicara, apakah dengan kalimbubu, senina, anak beru.
Sehingga ketika sudah mengetahui dengan siapa mereka berbicara, interaksi yang
dibangun pasti memiliki perbedaan. Ada interaksi yang dibangun berdasarkan rasa menyegani (
kalimbubu)sehingga tidak etis kalau tidak melakukan percakapan. Ada juga berdasarkan kepada
ada rasa empati (senina) kepada orang lain sehingga rasanya perlu melakukan interaksi,supaya
bisa mengetahui apa yang sedang terjadi dengan orang lain. kemudian terakhir ada rasa
komunikasi yang dibangun berdasarkan menyayangi (anak beru) antar satu dengan lain sehingga
interaksi harus sudah dibangun berdasarkan persaudaraan yang sudah terjalin.
5. Sistem Interaksi Rakut Si Telu di Jemaat GBKP Yogyakarta
Dalam kehidupan Jemaat GBKP Yogyakarta, kehidupan merantau sudah menjadi bagian
hidup yang mereka harus jalani sehingga untuk mempertahankan kehidupan dan tidak
melepaskan diri kehidupan kekaroan mereka. Mereka berinisiatif untuk mengangkat sangkep
nggeluh atau yang disebut sebagai rakut si telu secara simbolik. Hal ini disebabkan karena
minimnya keluarga kandung yang mereka miliki di tanah perantuan oleh sebab itu agar tetap ada
ikatan budaya dan persaudaraan, mereka mengangkat sangkep nggeluh mereka berdasarkan
dengan kedekatan merga, bebere, asal kampung, dan kemudian pertalian persaudaraan yang
mungkin ada dari kampung, karena kedekatan selama merantau.
Dengan begitu pengangkatan sangkep nggeluh tersebut menjadikan tali persaudaraan ini
tidak putus. Meski sangkep nggeluh tidak berdasarkan dari keturunan, Jemaat disini bisa
mengatur pola interaksi mereka seperti saudara kandung sendiri. Mereka menunjukkan
kedekatan mereka dan perhatian dengan begitu hangat. Kebiasaan orang Karo ialah ketika sudah
memiliki sangkep nggeluh mereka menemukan keluarga yang baru sehingga mereka tidak begitu
khawatir ketika merasa kekurangan dan membutuhkan bantuan sebab sangkep nggeluh yang
sudah diangkat memiliki fungsi yang sama dengan sangkep nggeluh yang berasal dari keturunan
yang sama.
Dimensi kedekatan dan kepedulian ini bisa terjadi karena pola interaksi yang dilakukan
selalu berkelanjutan dan tidak putus. Seperti di dalam runggu, arisan merga, arisan asal
kampung, dan arisan merga silima sinuan buluh dan kegiatan gerejawi. Hal ini tentunya
menyebabkan varian interaksi bertambah dan tali persaudaraan semakin kuat
Selain itu di dalam jemaat GBKP Yogyakarta, orang Karonya juga mengalami
perkawinan campuran, dimana pria karo maupun perempuan karo menikah dengan orang Jawa,
Batak, Makassar dan lain sebagainya. Untuk itu dilakukan pengangkatan merga/beru bagi
mereka yang telah menikah orang Karo. Hal ini bertujuan untuk tetap melaksanakan norma
budaya yang ada di dalam suku Karo. Bahwa siapa baru masuk ke dalam kehidupan orang Karo
harus diberi tanda/simbol seperti merga/beru agar mereka bisa melaksanakan dan memiliki
kedudukan yang sama dalam sistem kekerabatan dan sistem peradatan. Melalui pemberian
merga/beru seseorang bisa dikatakan sebagai orang Karo.
Mereka akan diperkenalkan dengan budaya Karo yang mendasar seperti ertutur (
perkenalan ) dalam budaya Karo, kemudian diperkenalkan dengan rakut si telu. Dijelaskan siapa
yang menjadi kalimbubu, senina dan anak beru mereka berdasarkan merga/beru yang sudah
mereka miliki dan sebaliknya diperkenalkan tata cara mengetahui peran dan posisi sosial mereka
ketika ada peradatan suku Karo. Biasanya mereka akan mengikuti peradatan suku Karo yang
sedang terjadi, kemudian mengikuti arisan Karo dan di ikut sertakan dalam runggu dan kegiatan
orang Karo lainnya. Agar terbiasa untuk mengikuti pola interaksi yang orang Karo Yogyakarta
selama ini jalankan. Dengan begitu orang Karo baru ini akan bisa mengikuti kebiasaan
masyarakat Karo tentunya kefasihan berbahasa Karo nantinya akan bisa didapati karena pola
interaksi yang terus menerus dilakukan.
5.5.1. Pelaksanaan Peradatan yang umumnya dilakukan Jemaat GBKP Yogyakarta.
Pada umumnya masyarakat Karo yang tergabung dalam GBKP Yogyakarta masih
melaksanakan peradatan baik perkawinan dan kematian. Tetapi pelaksanaan peradatan
perkawinan dan kematian dari segi kualitas tidak seperti yang ada di tanah Karo yang begitu
detail dan berkualitas. Di Yogyakarta pada umumnya mereka melaksanakan peradatan secara
sederhana sesuai dengan kesanggupan masyarakat karo dan ketersediaan sangkep nggeluhnya.
Dalam pelaksanaan peradatan, pihak kalimbubu akan menerima mahar yang telah disepakati
oleh pihak laki-laki kepada perempuan.
Peradatan dilakukan di aula pertemuan, kemudian keluarga terkhusus sangkep nggeluh
(kalimbubu, senina/sembuyak,anak beru) posisi duduknya berbeda dalam artian. Pihak laki-laki
berada di sebelah kiri aula. Susunanya pojok kiri pertama di isi oleh teman kerja, tetangga dan
kerabat diluar sangkep nggeluh pihak laki-laki, kemudian di susul lagi kalimbubu,
senina/sembuyak dan anak beru paling ujung dekat dapur.
Di susul dengan pihak perempuan yang susunannya sama dengan pihak laki-laki tersebut.
pihak perempuan di sebelah kanan, dikarenakan bagi masyarakat karo pihak perempuan ialah
kelompok yang harus dihormati. Sehingga mereka harus duduk di sebelah kanan dalam
peradatan Karo. sebelum peradatan, para pihak laki-laki memberikan kampil (keranjang yang
berisikan sirih, kapur, rokok dan tembakau) kepada pihak sangkep nggeluh laki-laki dan
perempuan. Kemudian dilaksanakanlah runggu yang dipimpin oleh juru bicara yang dinamakan
anak beru tua yang berasal dari pihak laki-laki.
Anak beru tua inilah yang akan memimpin runggu ataupun dialog antara sangkep
nggeluh laki-laki dan perempuan. Mereka biasa membahas tentang kepastian mahar/ jika
perkawinan yang akan diberikan, kalau kematian dinamakan utang adat. kemudian membahas
urutan pemberian ucapan selamat ataupun wejangan/nasihat jika itu perkawinan, kalau kematian
pengucapan turut berduka cita. Urutan ucapan sukacita/dukacita biasanya terlebih dahulu
kerabat/tetangga, kemudian di susul kalimbubu, senina/sembuyak dan anakberu. Pemberian
ucapan sukacita maupun dukacita ini dilaksanakan sebagai ungkapan bahwa peradatan itu sangat
mahal harganya, oleh sebab itu ketika ada peradatan baik sukacita dan dukacita mereka tetap
memberikan ucapan selamat ataupun kata penghiburan.
Selain itu fungsi kalimbubu selanjutnya ketika dalam konteks perkawinan ialah mereka
akan menerima pertama kali mahar kemudian disusul oleh pihak senina dan anak beru. Dan
senina/sembuyak mendampingi keluarga yang melaksanakan peradatan hingga acara selesai.
Proses pendampingan ini dilakukan kepada keluarga yang melaksanakan peradatan. Ini
dilakukan sebagai bukti bahwa mereka adalah saudara kandung dari pemilik peradatan.
Pendampingan berupa menanyakan kepada keluarga tentang pendanaan, kemudian keadaan pesta
apakah memiliki kekurangan atau tidak. Hal ini menandakan bahwa rakut si telu sangat
menentukan keberhasilan dari sebuah acara.
Kemudian anak beru pada pelaksanaan mengatur hidangan, tamu yang datang dan sarana
prasarana peradatan. Mereka pada umumnya akan berada di dalam dapur aula untuk
mempersiapkan segala sarana dan prasarana peradatan. Intinya mereka menjadi kelompok yang
berkerja sebagai pelayan adat dalam hal perhidangan. Posisi rakut si telu sebenarnya sangat
dibutuhkan oleh keluarga yang ingin melakukan peradatan. Bayangkan jika mereka tidak
memiliki sangkep nggeluh bagaimana mereka bisa mengatur setiap peradatan yang ada dalam
kehidupan keluarga mereka. Dan bagaimana peradatan yang mereka lakukan kalau secara
budaya sangkep nggeluh mereka tidak hadir. Hal ini menandakan bahwa masyarakat Karo
termasuk jemaat GBKP Yogykarta membutuhkan sesamanya di dalam pelaksanaan peradatan
suku Karo dan kehidupannya.
Oleh sebab itu di dalam mempersiapkan pelaksanaan peradatan dalam suku Karo,
sangkep nggeluh inilah yang dipanggil untuk turut membantu pelaksanaan peradatan. Apalagi
jika pelaksanaan terjadi perantauan tentu terjadi sangat sederhana dan tidak seperti yang terjadi
kampung halaman sebab keterbatasan saudara kandung dan pengetahuan yang terbatas tentang
peradatan menyebabkan pelaksanaan dilaksanakan sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan
yang ada di dalam masyarakat Karo.
Pengetahuan dan pengalaman individu semacam inilah yang dimaskud Burke dan Stets
dalam buku identity of theory tentang simbol interaksi, dimana makna, tanda, simbol dan respon
menjadi pengetahuan dan pemahaman akan gejala sosial yang terjadi. gejalanya ialah bahwa
masyarakat Karo membutuhkan sangkep nggeluhnya agar kehidupan berbudaya dan sehari-hari
mereka diperhatikan oleh sesama orang Karo. Dan penentuan siapa yang akan menjadi
kalimbubu, senina/sembuyak dan anak beru ditentukan dari merga yang akan melaksanakan
peradatan.
Kemudian masyarakat karo yang tidak selamanya menjadi kalimbubu, suatu saat mereka
akan berada di dalam posisi senina ataupun anak beru. Sebagai contoh: Jika yang menikah
adalah merga barus berebere ginting. Yang akan menjadi kalimbubunya ialah yang merga
ginting dan yang menjadi senina adalah yang satu submerga (bukan saudara kandung) kemudian
yang menjadi sembuyak ialah saudara kandung laki-laki yang satu merga dan anak beru ialah
perempuan yang memiliki merga yang sama dengan barus. Dan sebaliknya itu akan berputar
terus. Sehingga masyarakat karo akan pernah selalu ada di posisi rakut si telu tersebut.
6. Situasi Budaya Jemaat GBKP Yogyakarta.
Situasi sosial yang ada di dalam kehidupan orang Karo diaspora ialah bahwa secara
umum mereka memahami dan melaksanakan kebudayaan itu berdasarkan apa yang menjadi
pengetahuan mereka saja dikarenakan mereka sudah lama meninggalkan kampung halaman.
Oleh sebab itu mereka membutuhkan suatu sistem sosial yang berisikan tindakan sosial yang
diisi dengan kegiatan-kegiatan suku Karo yang pada dasarnya dipelopori oleh tetua orang Karo
yang sudah lama di Yogyakarta yang memahami dan mengerti benar tentang budaya orang Karo
beserta sistem peradatan yang sebenarnya. Karena keterbatasan itulah jemaat GBKP Yogyakarta
dan masyarakat Karo pada umumnya melaksanakan peradatan sesuai dengan kesanggupan
mereka.
Pada dasarnya rakut si telu memberikan kebebasan yang terbatas, artinya bahwa
masyarakat Karo diaspora pasti akan berada dalam peran sosial yang berganti-gantian oleh sebab
itu diharapkan ketika proses sosial berjalan masyarakat Karo benar-benar menjalankan
kewajibannya dengan baik. Dan ini dirasakan oleh masyarakat Karo diaspora. Karena tidak
selamanya menjadi kalimbubu yang harus dihormati. Tetapi akan berada didalam posisi senina
dan anak beru. Polarisasi peran budaya itu akan dinikmati dan dilaksanakan secara bergantian
tergantung kepada si pemilik pesta yang memiliki hubungan sosial dengan kerabat dan
masyarakat Karo diaspora.
Tidak mengalami pergeseran nilai, makna dan sisi budayanya. Hanya saja apa yang bisa
dilakukan semampu masyarakat Karo saja tidak mengalami kekakuan dan struktural budaya
yang sangat sistematis. Misalnya ada istilah rebu ( berpantangan berbicara). Misalnya menantu
tidak bisa berbicara langsung kepada mertuanya. Karena itu dianggap tidak sopan dan melanggar
nilai budaya kesopanan dalam budaya Karo. Sehingga dibutuhkan perantara untuk
menyampaikan apa yang ingin disampaikan. Tetapi di jemaat GBKP Yogyakarta mulai
diperbolehkan sebatas hanya untuk bertanya kabar dan bersalaman saja, sebatas tegur sapa.
Misalnya di dalam sangkep nggeluh kan memiliki subklennya jika itu tidak terpenuhi semuanya.
Hanya yang mewakili tiap kelompok sosial saja. Dikarenakan tidak semua subklen bisa
ditemukan. Untuk mengantisipasinya harus dicari perwakilan dalam tiap kelompok sosial yang
ada.
Agar tetap ada norma budaya Karo yang melekat. Masyarakat Karo diaspora sudah mulai
melakukan diskusi dan pertemuan dalam hal membicarakan tentang budaya, kekaroan dan
budaya Karo. Agar norma budaya bisa tetap ditransfer secara simultan dan berkelanjutan. Upaya
ini agar sistem sosial, tindakan sosial dan norma budaya selalu ada di dalam diri mereka sebagai
orang Karo. Hal ini memberi kekuatan bahwa rakut si telu terkhususnya memiliki kepentingan
yang sangat menentukan peradaban masyarakat Karo yang ada di Yogyakarta. Oleh sebab itu
rakut si telu tidak ditampilkan sebagai warisan budaya saja melainkan menjadi perekat sosial
yang berbasis etnik. Entitas semacam ini, merujuk kepada rakut si telu sebagai identitas sosial
yang sangat diperlukan oleh masyarakat Karo diaspora.
Kekhawatiran mengenai keberlangsungan masyarakat Karo disini ialah bagaimana
dengan anak cucu mereka nantinya apakah mereka nanti akan mengenal, memahami bahkan
menyukai budaya mereka sendiri. Oleh sebab itu budaya karo terkhususnya rakut si telu sudah
diperkenalkan kepada mereka. Misalnya melalui nyanyian karo, ikut serta dalam perpulungen
jabu-jabu, arisan orang Karo dan peradatan suku Karo dan terbiasa untuk berbicara bahasa Karo
dengan anak dan sanak saudara mereka. Hanya dengan hal ini, mereka bisa mentransfer budaya
Karo yang mereka miliki. Karena itu sudah menjadi kebutuhan bersama yang harus dipenuhi.
Sehingga hal itu harus diajarkan dan diwariskan.
Dengan begitu mereka akan mengetahui siapa sangkep nggeluh mereka kalau mereka
memahami siapa keluarga terdekat mereka. Karena sangkep nggeluh menjadi keluarga kedua
dari tiap individu Karo. mereka menjadi wadah untuk berdiskusi, meminta pertolongan. Oleh
sebab itu rakut si telu dipahami sebagai identitas sosial. Identitas sosial berarti rakut si telu
sebagai pilihan yang memampukan mereka hidup secara baik dalam budaya dan kehidupan
sehari-hari. Di dalam fungsi-fungsi rakut si telu banyak menebarkan nilai-nilai kemanusiaan
yang sangat membentuk harmoni sosial dan meningkatkan persaudaraan yang sangat mendalam
bagi sesama karo. Oleh sebab itu sudah menjadi keharusan bagi masyarakat Karo Yogyakarta
dan jemaat GBKP Yogyakarta untuk memiliki sangkep nggeluh meski tidak kandung demi
mempertahankan budaya karo yang selalu memiliki kekerabatan yang baik dimana pun mereka
berada. Dan sebagai pertahanan diri dan perwujudan eksistensi orang Karo yang sebagai suku
yang menjunjung tinggi persaudaraan dalam tiap-tiap segi kehidupan.
Berdasarkan penjelasan di atas bahwa teori identitas yang diusung oleh Burke dan Stets
beserta Freese dan Burke. Keduanya memang menekankan simbol interaksi sebagai pusat
pembentukan identitas yang dilihat dari tanda, simbol, sumber dan respon. Tak hanya itu
persepsi dan tindakan sebagai langkah awal dalam menentukan identitas. Teori ini turut
membantu hasil temuan penulis. Temuan-temuan penulis ternyata juga ketika dihubungkan
dengan teori yang dipakai memiliki kesinambungan. Teori interaksi simbolik turut menganalisis
temuan yang ada.