bab dua tinjauan pustaka - repository.uksw.edu

28
15 Bab Dua Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) di Indonesia bukanlah merupakan suatu bidang kajian baru. Sejalan dengan perkembangannya yang sangat cepat selama satu dekade terakhir ini, penelitian mengenai LKMS yang biasanya berwujud dalam bentuk BMT (Baitul Maal wat Tamwil) juga mengalami perkembangan yang pesat. Sudah barang tentu fenomena kemunculan dan perkem- bangan BMT beserta penelitian yang dilakukan terhadapnya merupakan bagian dari proses dialektika dalam perkembangan lembaga keuangan mikro konvensional yang sudah berkembang satu dekade sebelumnya. Dengan demikian antara LKMK (lembaga keuangan mikro konvensional) dan LKMS memiliki hubungan dialektis yang sangat erat, sehingga penelitian mengenai LKMS seringkali tidak dapat dilepaskan dari perkembangan LKMK itu sendiri. Oleh sebab itu bagian Tinjauan Pustaka ini akan mengkaji berbagai hasil penelitian mengenai lembaga keuangan mikro baik konvensional maupun syariah selama satu dekade terakhir ini. Penelitian tentang Perkembangan LKMS Menurut Jurnal Buletin Studi Ekonomi (Agustus 2013), penelitian mengenai lembaga keuangan mikro syariah yang berkembang selama satu dekade tarakhir ini sebetulnya merupakan hasil perkembangan dialektika dari berbagai penelitian kegiatan mengenai lembaga keuangan mikro konvensional yang sudah berkembang sekitar satu dekade sebelumnya. Memang lembaga keuangan mikro atau microfinance atau pembiayaan mikro itu sendiri mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak dua dasawarsa terakhir terutama setelah keberhasilan program Grameen Bank yang

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

15

Bab Dua

Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) di Indonesia bukanlah merupakan suatu bidang kajian baru. Sejalan dengan perkembangannya yang sangat cepat selama satu dekade terakhir ini, penelitian mengenai LKMS yang biasanya berwujud dalam bentuk BMT (Baitul Maal wat Tamwil) juga mengalami perkembangan yang pesat. Sudah barang tentu fenomena kemunculan dan perkem-bangan BMT beserta penelitian yang dilakukan terhadapnya merupakan bagian dari proses dialektika dalam perkembangan lembaga keuangan mikro konvensional yang sudah berkembang satu dekade sebelumnya. Dengan demikian antara LKMK (lembaga keuangan mikro konvensional) dan LKMS memiliki hubungan dialektis yang sangat erat, sehingga penelitian mengenai LKMS seringkali tidak dapat dilepaskan dari perkembangan LKMK itu sendiri. Oleh sebab itu bagian Tinjauan Pustaka ini akan mengkaji berbagai hasil penelitian mengenai lembaga keuangan mikro baik konvensional maupun syariah selama satu dekade terakhir ini.

Penelitian tentang Perkembangan LKMS Menurut Jurnal Buletin Studi Ekonomi (Agustus 2013),

penelitian mengenai lembaga keuangan mikro syariah yang berkembang selama satu dekade tarakhir ini sebetulnya merupakan hasil perkembangan dialektika dari berbagai penelitian kegiatan mengenai lembaga keuangan mikro konvensional yang sudah berkembang sekitar satu dekade sebelumnya. Memang lembaga keuangan mikro atau microfinance atau pembiayaan mikro itu sendiri mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak dua dasawarsa terakhir terutama setelah keberhasilan program Grameen Bank yang

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

16

diperkenalkan oleh Muhammad Yunus (peraih nobel perdamaian tahun 2006) di Bangladesh pada tahun 1980, institusi keuangan dunia mulai menaruh perhatian yang besar kepada pembiayaan mikro dalam mengentaskan kemiskinan di samping juga memperoleh keuntungan.

Microfinance sesungguhnya merupakan pembiayaan yang bisa mencakup banyak jenis layanan keuangan, termasuk di dalamnya adalah microcredit atau kredit mikro, yakni jenis pinjaman yang di berikan kepada nasabah yang mempunyai skala usaha menengah ke bawah dan cenderung belum pernah berhubungan dengan dunia perbankan. Nasabah jenis ini sering kali tidak memiliki jaminan, pendapatan tetap, dan persyaratan administrasi yang dibutuhkan cenderung lebih sederhana. Meskipun demikian, besarnya keyakinan bahwa keuangan mikro merupakan salah satu strategi penting dalam penanggulangan kemiskinan, maka banyak pihak berusaha membuka pelayanan microfinance. Apalagi pemerintah baik pusat maupun daerah, menyalurkan berbagai program dana bergulir kepada kelompok masyarakat atau mendirikan semacam LKM (Lembaga Keuangan Mikro). Demikian pula lembaga donor dan LSM juga membentuk LKM dengan mereplikasi model Grameen Bank atau ASA dari Bangladesh.

Lembaga keuangan mikro di dunia terus mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berdasarkan data yang dipublikasikan Microcredit Summit Campaign tahun 2012, sebanyak 1.746 program pembiayaan mikro telah dilakukan dan mencapai sekitar 169 juta klien pada tahun 2010 untuk kawasan Asia-Pasific saja. Kawasan ini memang merupakan kawasan yang paling banyak menerima program pembiayaan mikro, di samping karena jumlah penduduknya yang banyak juga tingkat penduduk miskinnya cukup tinggi. Tingkat jangkauan program yang diberikan Institusi Keuangan Mikro atau Micro Finance Institution (MFI) mencapai 68,8 persen, dengan kata lain dari sekitar 182,4 juta penduduk miskin di kawasan tersebut, 125,53 juta yang mendapat akses dalam program pembiayaan mikro (Jurnal Buletin Studi Ekonomi, Agustus 2013).

Perkembangan menarik juga terjadi di Indonesia di mana dengan semakin maraknya perkembangan lembaga keuangan mikro, maka bank-bank umum juga mulai terjun memberikan pelayanan

Tinjauan Pustaka

17

kredit mikro. Demikian pesatnya perkembangan kegiatan keuangan mikro ini sehingga meninggalkan kemajuan di bidang pengaturan hukum mengenai keberadaannya, yang pada akhirnya status hukum kebanyakan LKM menjadi tidak jelas dalam kerangka hukum negara. Dalam hal ini LKM dapat dikelompokkan menjadi: 1) LKM formal, terdiri dari unit bank dan non bank (koperasi, pegadaian); 2) LKM nonformal, baik yang telah berbadan hukum (yayasan) maupun yang belum; 3) LKM yang dibentuk melalui program pemerintah; serta 4) LKM informal, seperti arisan, rentenir, dan sebagainya.

Menurut Bintoro (2003) lembaga keuangan bukan bank di Indonesia terdiri dari lembaga formal dan informal. LKM bukan bank formal dapat berbentuk Koperasi, LDKP, pegadaian dan BKK. Sementara itu LKM bukan bank informal dapat berbentuk BMT, kelompok arisan, Simpan-Pinjam, Pelepas Uang dan lain-lain termasuk lembaga-lembaga yang didirikan atas dasar program pemerintah.

Alamsyah (2012) menuliskan bahwa BMT paling berkembang pesat di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta jika dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. BMT memiliki dasar hukum agama berupa sumber hukum tertinggi umat Islam yaitu Alqur’an, Hadits dan Ijtihad. Dasar utama operasional BMT terdapat dalam Alqur’an terletak pada QS. Al-Baqarah ayat 275, 276 dan 278, dan QS. Ali-Imran 104 serta QS. An-Nissa’ ayat 29. Hadist yang menjadi dasar transaksi bisnis dalam Islam dapat dipahami dalam hadist yang diriwayatkan oleh Anas r.a yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sirah Nabawiyah oleh Syaikh Syaifurrahman pada halaman 621. Ijtihad merupakan kesepakatan para alim ulama terhadap hukum yang tidak ditetapkan secara tersurat dalam Islam, namun tetap berpegang teguh dan berdasarkan pada sumber hukum tertinggi umat Islam, yaitu Alqur’an dan Hadist.

Dalam konteks hukum negara, El-Zoghbi & Tarazi (2013) telah meneliti aspek-aspek legalitas dari BMT. Mereka melaporkan bahwa BMT yang terdaftar di Kementerian Koperasi dan UKM tidak diawasi negara sebagai pemberi jasa keuangan. Departemen Perbankan Islam Bank Indonesia memperkirakan bahwa jumlah BMT kurang lebih 100.000 di seluruh Indonesia (beberapa merupakan bank desa) dengan

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

18

aset Rp. 1,4 miliar (atau setara dengan USD 154 juta). Apapun kedudukan BMT dalam ranah hukum negara, kenyataannya adalah bahwa BMT sendiri sesunggunya merupakan kepanjangan tangan penerapan ekonomi syariah Islam, yang merupakan leading sector untuk pembiayaan usaha mikro (Muttaqien, 2008).

Kajian tentang Latar Belakang Kelahiran LKM Syariah Penelitian mengenai latar belakang kelahiran berbagai lembaga

keuangan mikro syariah sebetulnya sudah cukup banyak dilakukan oleh para peneliti sejak satu dekade terakhir ini. Hal ini terkait dengan gejala ketidakmampuan lembaga perbankan konvensional untuk menjangkau pelayanan jasa keuangan pada masyarakat golongan ekonomi lemah yang tidak bankable. Selain itu, kejenuhan terhadap sistem keuangan konvensional yang mendasarkan perhitungan profitnya pada bunga atau riba juga menjadi salah satu pendorong bagi masyarakat untuk mencoba sistem syariah yang mendasarkan pada ikatan bagi hasil. Hal ini tampaknya sejalan dengan semakin meningkatnya pemahaman sebagian elemen masyarakat tentang syariat Islam yang melarang riba dan memperbolehkan sistem bagi hasil.

Penelitian yang dilakukan oleh Muttaqien (2008) menjelaskan bahwa lembaga keuangan mikro syariah yang sebagian besar berbentuk BMT (Baitu Maal wat Tamwil) yang berkembang di Indonesia merupakan salah satu dampak ikutan dari perkembangan ekonomi syariah Islam secara umum di Indonesia. Ia menemukan bahwa perkembangan ekonomi Islam telah menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan di Indonesia. Menurutnya sistem ekonomi Islam tidak hanya mengatur teknis mencari keuntungan namun juga menyajikan pandangan filosofis yang sangat mendasar dalam konteks aktivitas ekonomi manusia. Dasar aktivitas ekonomi tersebut dijelaskan dalam kitab suci Alquran dan Hadist yang harus menjadi dasar bagi perilaku umat Islam. Ia menilai bahwa ekonomi Islam merupakan warisan yang kaya tentang pemikiran Islam dari para pemikir muslim untuk dibuka kembali meskipun kebanyakan dari hal-hal tersebut belum tentu bisa langsung diaplikasikan dalam kehidupan sekarang sehingga

Tinjauan Pustaka

19

memberikan ladang subur untuk diteliti secara lebih serius di masa yang akan datang.

Lebih lanjut berdasarkan hasil penelitiannya, Muttaqien menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sistem ekonomi Islam di Indonesia adalah adanya ketidakpuasan yang sangat besar dalam hal penyelesaian masalah-masalah ekonomi dan cara yang telah digunakan. Faktor lain adalah arti penting ekonomi neo-klasik mempunyai dasar yang sempit dan mempunyai asumsi yang tidak realisitik terhadap manusia. Teori tentang ekonomi pasar telah banyak dipertanyakan tentang pendekatan dan kesimpulan yang diambil. Selama era kolonial terjadi, maka ajaran neo-klasik masuk ke dalam nilai budaya penduduk setempat, lembaga sosial, dan teknologi lokal negara jajahan. Faktor selanjutnya adalah ketidakseimbangan antara masyarakat kaya dan miskin, yang terjadi tidak berhasil diselesaikan dengan pelayanan keadilan dan persaingan yang jujur. Mekanisme ekonomi Internasional secara keseluruhan telah dibuat untuk mengabadikan hegemoni kemajuan industri, yang sekarang ini telah disadari secara luas akan membawa benih kehancuran sendiri (Muttaqien, 2008).

Penelitian Muttaqien tersebut memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Venardos (2005). Venardos mengungkapkan bahwa sistem keuangan konvensional yang menggunakan sistem bunga dinilai sebagai sistem yang tidak menguntungkan masyarakat yang berada dalam tingkat miskin. Konsep operasional lembaga keuangan yang dinilai menghormati hak-hak manusia untuk mendapatkan kehidupan sejahtera adalah sistem bukan riba yang mendasarkan transaksi penyediaan modal keuangan pada konsep bagi hasil. Dalam hal ini lembaga keuangan mikro syariah dalam bentuk BMT (Baitul Maal wat Tamwil) merupakan salah satu lembaga penyedia jasa keuangan bukan bank tanpa bunga yang memiliki potensi akses lebih besar kepada masyarakat miskin, begitu pula dengan LKM bukan bank seperti bentuk KSP (Koperasi Simpan Pinjam).

Prawiranegara (2011) dan Visconti (2012) menuliskan bahwa bunga bank yang telah diberlakukan selama ini di Indonesia

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

20

merupakan bentuk riba dalam pandangan Islam. Riba merupakan segala bentuk penambahan untuk mencapai keuntungan sepihak yang terdapat dalam transaksi pihak-pihak tertentu. Perkembangan bunga bank yang diidentikkan dengan riba dalam Islam tersebut kemudian berpengaruh buruk terhadap masyarakat, terutama masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan. Masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses dan mengembalikan pembiayaan yang telah dipinjam dari sebuah lembaga keuangan yang menerapkan sistem pengembalian berbunga tersebut. Hal ini mendorong dibentuknya sistem pembiayaan dari lembaga keuangan yang baru untuk mempermudah pelayanan kepada masyarakat miskin dalam upaya pengentasan kemiskinan sebagai usaha untuk mendorong perekonomian Indonesia, khususnya di Provinsi Jawa Tengah. Bila dipetakan, perbandingan antara LKM Konvensional dan LKM Syariah dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1: Perbandingan Lembaga Keuangan Mikro Konvensional dan Syariah

Elemen Perbedaan

LKM Konvensional LKM syariah

Sistem Menggunakan sistem bunga

Menggunakan sistem bagi hasil/ non bagi hasil

Hubungan dengan nasabah

Debitur-kreditur Hubungan partisipasi dalam menanggung resiko dan menerima hasil dari suatu penjanjian bisnis

Pendanaan Hasil yang diperoleh dicampur dengan hasil bunga sehingga dapat diperoleh berapa keutungan yang didapat.

Dana dibedakan antara hasil yang diperoleh dari dana sendiri dengan hasil yang diperoleh dari dana simpanan yang diterimanya atas dasar prinsip bagi hasil.

Bentuk pinjaman

Pinjaman yang diberikan kepada mitra dalam bentuk tunai.

Pinjaman yang diberikan atas dasar kemitraan seperti mudharabah, musyarakah, atas dasar jual beli (murahabah) atau dasar sewa guna (ijarah)

Bentuk LKM Biasanya hanya sebagai satu macam saja misanya sebagai LKM komersial, LKM investasi, dll.

Merupakan LKM multiguna karena depat berperan sebagai LKM komersial, LKM investasi, LKM pembangunan.

Keuntungan Bunga merupakan suatu Laba bukanlah satu-satunya tujuan

Tinjauan Pustaka

21

Elemen Perbedaan

LKM Konvensional LKM syariah

keuntungan, keuntungan menjadi satu-satunya tujuan dari didirikannya LKM itu.

karena LKM syariah senantiasa mengupayakan bagaimana masyarakat memanfaatkan sumber-sumber dana yang ada guna membangun kesejahteraan masyarakat.

Dewan pengawas

Diawasi oleh dewan pengawas yang manaungi LKM tersebut. Dimana pusat dari pengawasan adalah Bank Central.

Terdapat lembaga khusus yang mengawasi yaitu Dewan Pengawas Syariah yang mengawasi apakah jalannya LKM tersebut sudah sesuai dengan kaidah syariah atau belum.

Akad dan aspek legalitas

Mempunyai aspek duniawi saja.

Mempunyai aspek duniawi dan ukrawi karena LKM syariah lebih mementingkan keseimbangan dunia dan akhirat.

Sumber: Kompilasi teori dan hasil reset

Alamsyah (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa peran lembaga keuangan mikro di Indonesia yang memberikan layanan jasa keuangan mikro kepada nasabah masyarakat miskin produktif termasuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sudah banyak yang dituangkan dalam artikel jurnal dan buku. UMKM merupakan salah satu unit usaha yang sangat vital bagi perekonomian di Indonesia pasca krisis yang melanda seluruh wilayah Indonesia. Badan UMKM juga berkontribusi di berbagai unit usaha, tenaga kerja hingga output usaha yang dihasilkan oleh UMKM.

Secara internasional istilah pembiayaan mikro atau micro finance sendiri mengacu pada jasa keuangan yang diberikan kepada pengusaha kecil atau bisnis kecil, yang biasanya tidak mempunyai akses perbankan terkait tingginya biaya transaksi yang dikenakan oleh institusi perbankan.

Undang Undang No.1 tahun 2013, tentang Lembaga Keuangan Mikro didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

22

mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Definisi tersebut menyiratkan bahwa LKM merupakan sebuah institusi profit motive yang juga bersifat social motive, yang kegiatannya lebih bersifat community development dengan tanpa mengesampingkan perannya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi, LKM juga melaksanakan kegiatan simpan pinjam, yang aktifitasnya disamping memberikan pinjaman namun juga dituntut untuk memberikan kesadaran menabung kepada masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.

Alamsyah (2012), Muttaqien (2008) dan Muhammad (2003) mendefiniskan BMT atau dalam bahasa Indonesia diartikan Balai Usaha Mandiri Terpadu merupakan lembaga ekonomi rakyat yang memiliki fungsi ganda, yaitu untuk menjalankan fungsi sosial dalam masyarakat sekaligus fungsi bisnis, yang kegiatan operasionalnya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Muhammad (2003) menuliskan bahwa BMT adalah suatu lembaga usaha ekonomi rakyat yang beranggotakan perorangan, atau badan hukum berdasarkan prinsip-prinsip syariah yang berasaskan kegotongroyongan, kekeluargaan, kebersamaan dan merupakan usaha bersama dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat di lingkungan tempat BMT didirikan dan beroperasi. BMT diharapkan memiliki kegiatan operasional seperti bank yang mendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dan kecil bawah dengan berlandaskan sistem syariah.

Muttaqien (2008) menjelaskan bahwa BMT yang terdiri dari Baitul Maal dan Baitut Tamwil merupakan lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) yang memiliki kegiatan mengembangkan usaha-usaha ekonomi produktif dengan mendorong kegiatan menabung dan membantu pembiayaan kegiatan ekonomi anggota serta masyarakat di lingkungannya (fungsi bisnis dalam Baitut Tamwil). Fungsi sosial (dalam Baitul Maal) LKMS BMT dapat dijalankan dengan menggalang titipan dana sosial untuk kepentingan masyarakat seperti dana zakat, infaq dan sedekah kemudian mendistribusikannya kembali (redistribusi) dengan prinsip pemberdayaan masyarakat sesuai dengan peraturan dan amanahnya.

Tinjauan Pustaka

23

Alamsyah (2012) kembali menegaskan bahwa tujuan utama lembaga ini adalah menyediakan permodalan bagi unit-unit usaha mikro dan kecil yang jumlahnya sangat banyak tetapi kesulitan mendapatkan akses permodalan dari lembaga keuangan formal seperti bank meskipun secara konseptual memiliki fungsi sosial dan fungsi bisnis. Ia menjelaskan bahwa searah dengan perubahan tata ekonomi dan perdagangan, konsep baitul mal yang sederhana itu pun berubah, tidak sebatas menerima dan menyalurkan harta tetapi juga mengelolanya secara lebih produktif untuk memberdayakan perekonomian masyarakat. Penerimaan dana juga tidak terbatas pada zakat, infak dan sedekah yang diperuntukkan bagi delapan asnaf atau mustahiq tetapi juga pembangunan fasilitas umum, dan kegiatan-kegiatan sosial untuk mencapai kesejahteraan umat, tidak hanya terbatas pada kalangan umat Islam saja. Oleh sebab itu BMT dapat dikatakan sebagai salah satu lembaga keuangan di Indonesia, di mana pengertian lembaga keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, menghimpun dana, menyalurkan dana atau kedua-duanya. Selain itu, dengan kehadiran BMT diharapkan mampu menjadi sarana dalam menyalurkan dana untuk usaha bisnis kecil dengan mudah dan bersih baik produktif maupun konsumtif karena didasarkan pada kemudahan dan bebas riba/ bunga dengan menggu-nakan transaksi akad-akad syariah, memperbaiki/ meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah, lembaga keuangan alternatif yang mudah diakses oleh masyarakat bawah dan bebas riba/bunga, lembaga untuk memberdayakan ekonomi ummat, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan produktivitas (Alamsyah, 2012).

Alamsyah juga menambahkan bahwa keberadaan BMT pada dasarnya melengkapi keberadaan lembaga keuangan yang mampu melayani semua segmen masyarakat Indonesia. Hal yang cukup positif dari sistem keuangan Indonesia adalah keberadaan lembaga keuangan yang cukup variatif (baik konvensional maupun syariah) dan menyasar semua segmen kelompok masyarakat berdasarkan kemampuan ekonominya. Lembaga-lembaga keuangan tersebut melayani kebu-tuhan dana usaha masyarakat berdasarkan tingkat kemampuan ekonominya, dari kelompok masyarakat yang memang tidak memiliki kemampuan (poorest of the poor) yang dilayani oleh lembaga keuangan

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

24

sosial (termasuk program pemerintah di dalamnya), kelompok masyarakat usaha mikro-kecil yang dilayani oleh lembaga keuangan mikro (termasuk BMT di dalamnya), sampai masyarakat usaha besar yang dilayani oleh bank umum komersial dan pasar modal (Alamsyah, 2012).

Hal menarik lain yang ditemukan oleh penelitian yang dilakukan oleh Purnomo (2003) adalah tentang latar belakang pembentukan dan perkembangan BMT di Indonesia. Dia menemukan fakta bahwa beberapa BMT di Indonesia dibentuk sebagai aspirasi masyarakat kecil yang ingin mendapatkan kesetaraan kelayakan hidup dan ekonomi sehingga kehadiran BMT sangatlah mendukung pengusaha-pengusaha kecil yang berada di pedesaan, di perkampungan kota maupun di pasar-pasar tradisional. Hal ini disebabkan karena banyak perbankan syariah, instansi-instansi besar, baik pemerintah maupun swasta, yang kurang memberikan perhatian dalam membantu permodalan untuk usaha kecil. Banyak pedagang atau pengusaha kecil tidak mendapatkan modal karena dianggap tidak memiliki sistem usaha yang baik, manajemen laporan keuangan yang kurang terkontrol, legalitas usaha yang belum ada, serta surat berharga lainnya untuk dijadikan agunan (jaminan) pinjaman modal usaha.

Alamsyah menggambarkan mekanisme kerja operasional BMT sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1: Mekanisme Operasional BMT di Indonesia

Sumber: (Purnomo, 2003)

Bagi Hasil

Modal Awal

Bagi Hasil

Pembiayaan

Bagi Hasil

Tabungan

PENGURUS BMT SEBAGAI

PENGELOLA

Pendiri Anggota

Usaha Mikro & Kecil

A N G G O T A

A N G G O T A

Tinjauan Pustaka

25

Kajian tentang Dasar-dasar Operasionalisasi LKM Syariah Dalam penelitiannya, Purnomo (2003) menemukan bahwa

pihak pengelola BMT menerima dana yang berasal dari modal awal dan tabungan dari para anggota dan pendiri anggota BMT itu sendiri. Modal itu kemudian dapat digunakan untuk melakukan pembiayaan bagi para anggota dan nasabah yang ingin menjalankan usaha baik skala mikro maupun skala kecil. Para pemanfaat dana dalam hal pembiayaan usaha skala mikro dan kecil, dan para anggota serta pendiri anggota menerima bagi hasil yang diperoleh berdasarkan kesepakatan antar BMT dan pemanfaat dana. Kesepakatan yang dicapai dari tawar-menawar harga tersebut selanjutnya diharapkan dapat menghasilkan kerja sama yang saling menguntungkan antara BMT dalam hal ini pengelola dan masyarakat (sebagai anggota, pendiri anggota dan pemanfaat dana BMT).

Kholim (2004), dalam penelitiannya tentang persoalan keuangan dalam BMT menemukan bahwa penghimpunan dana di BMT dilakukan dari berbagai sumber, baik dari anggota maupun pihak lain. Penghimpunan dana ini bertujuan untuk memperbesar permodalan, memperbesar aset, memperbesar pembiayaan. Jenis sumber permodalan BMT berasal dari simpanan berupa mudharabah, mudharabah berjangka dan wadi’ah. Pinjaman dana dapat berasal dari pinjaman bank, BUMN atau pihak lain. Sedangkan yang berasal dari modal berupa simpanan pokok, simpanan wajib, simpanan pokok khusus, donasi dan penyertaan modal. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh anggota, calon anggota atau koperasi-koperasi lain dan atau anggotanya kepada koperasi dalam bentuk simpanan biasa dan simpanan berjangka.

Kholim menyatakan bahwa beberapa jenis simpanan dalam BMT adalah simpanan mudharabah. Simpanan ini merupakan simpanan, dimana penyetoran dilakukan berangsur dan penarikan dilakukan sewaktu-waktu selama jam kerja. Simpanan mendapatkan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan. Simpanan mudharabah berjangka adalah simpanan yang dilakukan satu kali dengan jumlah yang disepakati dan pengambilan tidak boleh diambil sebelum jangka waktu berakhir menurut perjanjian serta mendapatkan bagi hasil sesuai

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

26

dengan jangka waktu. Simpanan wadi’ah merupakan simpanan yang bersifat dana titipan pihak ketiga dan tidak mendapatkan jasa bagi hasil. Simpanan pembiayaan merupakan simpanan yang mendapatkan fasilitas dari pembiayaan, sistem penyetorannya digabungkan dengan angsuran, dan boleh diambil bila pinjaman telah lunas. Simpanan pokok merupakan simpanan sebagai anggota yang dibayarkan satu kali yaitu waktu mendaftar sebagai anggota dan merupakan komponen modal. Simpanan wajib merupakan simpanan anggota yang disetorkan secara berangsur dan teratur oleh anggota dan besarnya sama antara anggota satu dengan anggota yang lain sesuai dengan kesepakatan. Simpanan pokok khusus adalah simpanan pendiri yang disetorkan pada waktu awal pembentukan.

Kholim juga menuliskan bahwa dalam menjalankan kegiatannya BMT dapat memiliki bentuk hukum yang berupa Koperasi Syariah atau Koperasi Simpan Pinjam Syariah. Pendirian lembaga ini memerlukan anggota pendiri minimal 20 orang dan dipertahankan maksimum 40 orang. Bentuk hukum yang kedua adalah KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) dengan sertifikasi berupa Surat Keterangan Operasional dari PINBUK. Program PHBK-BI (Proyek Pengembangan Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat) memberikan izin kepada Lembaga Pengembang Swadaya Masyarakat (LPSM) tertentu untuk membina KSM atau prakoperasi, termasuk memberikan izin kepada PINBUK untuk melakukan kegiatan pembinaan dan pengembangan pengusaha mikro melalui pendekatan kelompok. LPSM inilah yang memberikan sertifikat kepada KSM atau prakoperasi. Dengan demikian, PINBUK adalah sebuah lembaga yang sengaja dibentuk untuk menumbuhkan usaha kecil di Indonesia yang kelahirannya difasilitasi oleh MUI, Bank Mu’amalat dan ICMI.

Pembedaan dasar operasionalisasi antara LKM syariah dengan konvensional juga menjadi salah satu isu penelitian yang menarik seperti yang dilakukan oleh Muttaqien (2008). Ia menyatakan bahwa teknik-teknik aktivitas kerja LKM Syariah & Konvensional seperti KSP dan LKM bukan bank informal seperti BMT memiliki persamaan. Persamaan tersebut dapat dilihat pada teknis penerimaan uang, mekanisme transfer, teknologi komputer yang digunakan, persyaratan umum pembiayaan dan lain sebagainya. Akan tetapi masih terdapat

Tinjauan Pustaka

27

perbedaan mendasar di antara keduanya. Secara umum, perbedaan antara LKM bukan bank yang bersifat formal (khususnya bentuk KSP) dan informal (khususnya bentuk BMT) dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2: Perbedaan antara KSU/KSP dan BMT

Unsur KSU/KSP BMT Akad & Aspek legalitas Hukum Positif Hukum Islam dan

Hukum Positif Lembaga Penyelesaian Sengketa

Badan Arbitrase Nasional Indonesia

Badan Arbitrase MuamalaSt Indonesia (BAMUI), Basyarnas

Struktur organisasi Tidak ada DSN dan DPS

Ada Dewan Syariah Nasional (DSN) & Dewan Pengawas Syariah (DPS)

Investasi Halal & Haram Halal Prinsip Organisasi Perangkat bunga Bagi hasil, jual beli dan

sewa Tujuan Profit oriented Profit & Falah Oriented Hubungan nasabah Debitur-Kreditur Kemitraan

Sumber : Muttaqien, 2008

Dalam hal regulasi, BMT tidak diatur dan diawasi/diaudit oleh Bank Indonesia, dan dalam pembentukan BMT cukup disahkan oleh Menteri Koperasi dan UMKM. Dalam proses operasionalnya BMT tidak terlalu bankable dibandingkan dengan BPRS, karena mengacu kepada peraturan BI. Kondisi pendukung kerja BMT cukup sederhana walaupun banyak yang sudah layak seperti BPRS, di mana rata-rata pendukung kerjanya sudah layak dan memenuhi standardisasi (Alamsyah, 2012).

Moldevannu & Roger (2001) menjelaskan bahwa permasalahan yang ada merupakan permasalahan agency (agency problem) yang berpengaruh terhadap efisiensi organisasi BMT, dimana salah satunya disebabkan oleh ketertutupan informasi dalam organisasi yang mencakup antara lain ketertutupan informasi yang membatasi shareholder dari informasi yang mereka butuhkan agar perusahaan memiliki kompetensi yang baik. Ketertutupan informasi membatasi pihak pengelola agen dari informasi yang penting dan relevan tentang jalannya perusahaan. Ketertutupan informasi membatasi manajer dari informasi yang dipegang oleh pekerja. Mengingat pentingnya peranan

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

28

BMT terhadap perekonomian nasional terutama berdampak tidak langsung pada pertumbuhan industri perbankan syariah. Bank Indonesia melakukan inisiatif untuk melakukan kajian ini. Adapun BMT yang dimaksud dalam kajian ini adalah lembaga yang juga melakukan fungsi intermediasi (menghimpun dana dan menyalurkan dana disertai imbalan jasa dari dana yang dihimpum/disalurkan) selain fungsi sosial sebagai baitul maal. Pemberian rekomendasi untuk pemerintah dalam penyusunan kebijakan menjadi suatu hal yang penting dari kegiatan pemetaan BMT yang dilakukan.

Kebijakan Negara: Peran LKM Syariah dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

Berbagai penelitian mengenai LKM menyatakan bahwa meskipun lembaga ini telah berkembang pesat di dalam masyarakat namun keberadaannya belum memiliki kerangka hukum yang jelas dalam sistem hukum negara. Penelitian yang dilakukan oleh El-Zoghbi & Tarazi (2013) yang berfokus pada aspek-aspek legalitas dari BMT menyatakan bahwa BMT yang terdaftar di Kementerian Koperasi dan UKM tidak diawasi negara sebagai pemberi jasa keuangan. Padahal seperti diketahui bahwa lembaga ini memiliki peran yang semakin signifikan dalam peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat menengah ke bawah. Dengan demikian LKM Syariah memiliki potensi strategis dalam rangka mengurangi ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Pada gilirannya, kesejahteraan dapat meningkatkan beberapa nilai yang paling berharga dalam diri seorang manusia. Nilai-nilai tersebut adalah nilai kebebasan, rasa tanggung jawab, pekerjaan, keluarga, komunitas dan kepedulian sosial, dimana konflik tidak termasuk di dalamnya (Dye, 2002).

Lebih lanjut Dye (2002) memaparkan bahwa program pembiayaan jaminan sosial yang melayani sebagian besar masyarakat level menengah merupakan hal yang secara politik sudah terkenal dan mendukung kehidupan yang lebih sejahtera pada sebagian besar orang, yang secara politik menuju konsep saling menguntungkan. Akan tetapi, program dukungan publik untuk masyarakat yang sebagian besar

Tinjauan Pustaka

29

ditujukan untuk melayani masyarakat tingkat bawah sangat tidak terkenal dan dikelilingi oleh banyak kontroversi.

Menurut Dye (2002) pengaruh dari kondisi kesejahteraan umum yang menguntungkan dan pemenuhan kebutuhan yang tercapai pada pekerja telah terjadi pada beberapa negara. Survei menunjukkan bahwa masyarakat miskin lebih suka bekerja untuk kesejahteraan mereka, namun dengan pembayaran kesejahteraan yang mungkin menghasilkan pengaruh yang tidak terlalu kelihatan pada tingkah laku kemiskinan mereka. Masyarakat enggan untuk mengambil pekerjaan dengan upah minimum yang bisa jadi tidak pernah memperoleh kebiasaan bekerja yang dibutuhkan untuk berpindah ke posisi pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dalam waktu yang akan datang dalam kehidupan mereka. Kesejahteraan bahkan membantu menghasilkan kebudayaan masyarakat yang mengalah dan bergantung, sehingga menurunkan harga diri seseorang secara personal dan meningkatkan pengangguran, pelanggaran hukum, dan keretakan rumah tangga.

Menurut Bintoro (2003) LKM merupakan institusi yang menyediakan jasa-jasa keuangan kepada penduduk yang berpendapatan rendah dan termasuk dalam kelompok penduduk miskin. LKM bersifat spesifik karena mempertemukan permintaan dana penduduk miskin atas ketersediaan dana. Penduduk miskin bagi lembaga keuangan perbankan akan tidak dapat terlayani karena persyaratan yang harus dipenuhi tidak dimiliki. Pentingnya peran LKM bukan bank yang menyediakan akses permodalan lebih mudah menjadi kelebihan yang dimiliki oleh jenis LKM tersebut, terutama LKM bukan bank yang bersifat informal. Kelompok yang termasuk dalam LKM jenis ini selain bentuk BMT adalah Kelompok Arisan, Simpan Pinjam, Pelepas Uang, Tukang Kredit dan lain sebagainya. Bentuk-bentuk LKM tersebut memiliki tingkat perkembangan dan kematangan yang berbeda-beda sehingga akan berdampak pada pelayanan terhadap kelompok sasarannya. LKM yang bersifat informal umumnya merupakan embrio LKM. UPK dalam PPK misalnya adalah embrio lembaga keuangan yang dapat diarahkan menjadi LKM formal. Peningkatan produktivitas, peningkatan kemampuan usaha penduduk miskin dan penciptaan surplus masih perlu dicermati dalam LKM-LKM tersebut.

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

30

Sesuai dengan sumber hukum tertinggi umat Islam (Alqur’an, Hadits dan Ijtihad), amanah Pembukaan alinea ke empat UUD 1945, UUD 1945 pasal 33 ayat 1 dan 4, serta UUD 1945 pasal 27 ayat 2, Ketetapan MPR No. XVI/MPR/1991, Tap. MPR No. IV/MPR/1999, UU No. 25/2000 tentang Propenas, UU No. 17 tahun 2012 tentang Perkoperasin dan UU No. 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro maka jika dapat disimpulkan, negara berkewajiban untuk menjamin sistem yang selalu berpihak pada kesejahteraan rakyat dengan berdasarkan atas asas menguntungkan semua pihak tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan status sosial dalam konteks nilai-nilai spiritual dan kepedulian sosial untuk mendukung terwujudnya manusia yang berkualitas dan bermartabat.

Pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap strategi dan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia melalui kebijakan dan program yang diarahkan pada pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat (Suharto, 2006).

Sistem Keadilan Negara Sejahtera merupakan langkah maju dari Kapitalisme. Tujuan sistem ini adalah melunakkan ekses Kapitalisme yang berlebihan dan dengan cara ini dapat mengurangi daya tarik Sosialisme. Sistem ini cukup menarik semua lapisan masyarakat, baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofinya, Negara Sejahtera meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang sangat penting yang tidak mungkin tergantung hanya pada operasi kekuatan-kekuatan pasar, kemiskinan, dan ketidakmampuan seseorang tidak mesti merupakan bukti dari kegagalannya. Karena itu, sistem ini mengakui full employment (sebagaimana yang dipercaya Kapitalisme) dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan negara. Meski sistem ini menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara – regulasi, nasionalisasi industri pokok, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yang tinggi dan full employment — subsidi umum, telah melahirkan kepincangan yang tidak adil antara si kaya dan si miskin.

Tinjauan Pustaka

31

Tujuan pembangunan kesejahteraan sosial yang pertama dan utama adalah penanggulangan kemiskinan dalam segala bentuk manifestasinya (Suharto, 2005). Meskipun pembangunan sosial dirancang untuk memenuhi kebutuhan publik secara luas, target utamanya adalah para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), yakni mereka yang termasuk dalam kelompok kurang beruntung seperti orang miskin, anak-anak dan wanita korban tindak kekerasan, anak jalanan, pekerja anak, orang dengan kemampuan khusus (difabel) serta kelompok rentan dan marjinal lainnya. Pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi sosial, bantuan sosial, asuransi sosial, jaring pengaman sosial dan penguatan kapasitas kelompok marjinal adalah beberapa contoh program pembangunan kesejahteraan sosial (Suharto, 2006). Ideologi “kesejahteraan negara” (welfare state) yang dianut oleh negara-negara maju mendefinisikan pembangunan kesejahteraan sosial sebagai wujud dari kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin hak-hak dasar warga negara. Di Indonesia, meskipun konstitusinya secara de jure (legal-formal) merujuk pada sistem kesejahteraan negara, implementasi dari pembelaan negara terhadap hak-hak fakir miskin, anak terlantar dan penyelenggaraan jaminan sosial masih dihadapkan pada beragam tantangan.

Selain pemahaman dan komitmen penyelenggara negara terhadap pembangunan kesejahteraan sosial masih belum solid, faham neo-liberalisme yang mengedepankan kekuatan pasar, investasi modal finansial, dan pertumbuhan ekonomi agregat dianggap lebih menjanjikan kemakmuran dibandingkan dengan pendekatan kesejahteraan sosial yang mengedepankan keadilan sosial, investasi sosial dan penguatan kapasitas sumber daya manusia. Desentralisasi yang terutama digerakkan oleh globalisasi pada aras internasional dan reformasi pada aras nasional, mencuatkan isu-isu yang mempengaruhi perkembangan kesejahteraan sosial di daerah (Suharto, tanpa tahun). Studi di beberapa negara menunjukkan bahwa kemampuan ekonomi tidak secara otomatis dan linear berhubungan dengan pembangunan kesejahteraan sosial (Suharto, 2005). Dengan demikian dukungan kebijakan negara terhadap pengembangan LKM sangat dibutuhkan sebagai salah satu upaya untuk peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat menengah ke bawah yang pada gilirannya akan

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

32

memberikan kontribusi terhadap penciptakaan keadilan di dalam masyarakat.

LKM Syariah dalam Konteks Keadilan Distributif John Rawls

John Rawls dalam bukunya A Theory of Justice (2011) menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar, demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli betapapun efisien dan rapinya, harus dihapuskan jika tidak adil. Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasar pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun, tidak bisa membatalkannya. Atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang dapat dibenarkan oleh hal lebih besar yang didapatkan orang lain. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dipaksakan pada segelintir orang diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang.

Masyarakat tertata dengan baik ketika ia tidak hanya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya namun ketika ia juga secara efektif diatur oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yaitu: masyarakat di mana (1) setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama (2) institusi-institusi sosial dasar yang ada umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut. Dalam hal ini kendati orang saling mengajukan tuntutan yang sangat besar, namun mereka mengakui sudut pandang bersama untuk mengungkapkan pernyataan-pernyataan mereka. Jika kecenderungan orang-orang pada kepentingan diri sendiri memerlukan saling perhatian satu sama lain, maka rasa keadilan publik memungkinkan asosiasi bersama mereka.

Peran konsepsi keadilan adalah menunjukkan hak-hak dasar dan menentukan pemetaan yang layak. Hal ini mempengaruhi problem-problem efisiensi, koordinasi, dan stabilitas. Secara umum orang tidak bisa menilai konsepsi keadilan dengan peran distributifnya

Tinjauan Pustaka

33

semata, betapapun bergunanya peran tersebut dalam mengidentifikasi konsep keadilan. Orang harus mempertimbangkan kaitan yang lebih luas, sebab kendati keadilan punya prioritas tertentu, menjadi kebajikan utama dari institusi namun salah satu konsepsi tentang keadilan lebih disukai dibanding yang lain ketika konsekuensinya yang lebih luas lebih dikehendaki.

Banyak hal dikatakan adil dan tidak adil, tidak hanya hukum, institusi dan sistem sosial bahkan juga tindakan-tindakan tertentu termasuk keputusan, penilaian, dan tuduhan. Orang juga menyebut sikap-sikap serta kecenderungan orang adil dan tidak adil. Namun demikian topik keadilan yang dibahas di sini adalah mengenai keadilan sosial. Dalam hal ini subjek utama keadilan adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan.

Mereka yang terlibat dalam kerja sama sosial memilih bersama prinsip-prinsip yang akan memberikan hak dan kewajiban dasar serta menentukan pembagian keuntungan sosial. Orang lantas memutuskan bagaimana mereka mengatur klaim-klaim mereka satu sama lain dan apa yang mesti menjadi kontrak dasar masyarakat mereka. Sebagaimana tiap orang harus memutuskan dengan pemikiran rasional apa yang membentuk manfaatnya yakni sistem tujuan yang baginya rasional untuk dikejar, sehingga sekelompok orang harus memutuskan apa yang menurut mereka adil dan tidak adil. Pilihan yang akan dibuat orang-orang rasional setara dalam situasi hipotesis tentang kebebasan yang setara dengan mengasumsikan bahwa pilihan ini mempunyai solusi, akan menentukan prinsip keadilan.

Salah satu bentuk keadilan sebagai fairness adalah memandang berbagai pihak dalam situasi awal sebagai rasional dan sama-sama netral. Ini tidak berarti bahwa pihak-pihak tersebut egois yakni individu-individu dengan jenis kepentingan tertentu katakanlah dalam kekayaan, prestise dan dominasi. Namun demikian mereka dianggap tidak saling tertarik pada kepentingan mereka satu sama lain.

Dalam menyusun keadilan sebagai fairness, salah satu tugas utamanya adalah menentukan prinsip keadilan mana yang akan dipilih

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

34

dalam posisi asal. Untuk melakukan hal ini orang harus menjelaskan situasi ini dengan sejumlah detail dan merumuskan persoalan pilihan yang diungkapkan dengan cermat. Orang-orang dalam situasi awal akan memilih dua prinsip yang agak berbeda: yang pertama membutuhkan kesetaraan dalam penerapan hak dan kewajiban dasar, sedangkan yang kedua menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi, misalnya ketimpangan kekayaan dan kekuasaan, hanyalah jika mereka menghasilkan kompensasi keuntungan bagi semua orang, khususnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Prinsip-prinsip ini menyingkirkan pembenaran institusi-institusi dengan alasan bahwa kebutuhan sebagian orang diseimbangkan dengan manfaat yang lebih besar secara keseluruhan. Ini mungkin bisa saja dilakukan, namun tidak adil jika sebagian orang harus kekurangan agar orang lain bisa menikmati kemakmuran. Akan tetapi tidak ada ketidak adilan dalam keuntungan yang lebih besar yang diperoleh oleh segelintir orang yang menyatakan bahwa situasi orang-orang lemah lantas membaik. Gagasan intuitifnya adalah bahwa karena kesejahteraan semua orang tergantung pada skema kerja sama yang tanpanya orang tidak akan bisa mencapai kepuasan hidup, pembagian keuntungan harus menggambarkan kehendak kerja sama semua orang yang ada di dalamnya, termasuk mereka yang kurang beruntung.

Dalam keadilan sebagai fairness, person-person menerima prinsip kebebasan setara dan mereka melakukan hal ini tanpa pengetahuan tentang tujuan mereka yang lebih khusus. Karena itu, mereka secara implisit sepakat untuk menyamakan konsepsi mereka tentang manfaat yang dibutuhkan prinsip-prinsip keadilan, atau setidaknya tidak menekan klaim-klaim yang secara langsung melanggar mereka. Seorang individu yang menyadari bahwa dirinya merasa senang ketika melihat orang lain tidak terlampau bebas akan paham bahwa ia tidak mempunyai klaim apapun pada kenikmatan ini. Sistem sosial yang adil menentukan cakupan yang di dalamnya para individu mesti mengembangkan tujuan-tujuan mereka, dan ia memberikan kerangka hak dan peluang serta cara-cara pemuasan untuk mencapai berbagai tujuan. Prioritas keadilan sebagian dinilai dengan mempercayai bahwa kepentingan-kepentingan yang membutuhkan

Tinjauan Pustaka

35

pelanggaran keadilan tidak punya nilai. Dengan tidak mempunyai nilai maka mereka tidak bisa menolak klaim-klaimnya.

Prioritas asas hak dari pada asas manfaat dalam keadilan sebagai fairness ini ternyata menjadi bentuk utama konsepsi ini. John Rawls merupakan kriteria pada desain struktur dasar secara keseluruhan, tatanan ini tidak boleh melahirkan kecendrungan dan sifat-sifat yang berprinsip tertentu yang telah sejak awal memberikan kepuasan dan mereka harus menjamin bahwa lembaga-lembaga yang adil adalah stabil. Oleh sebab itu ikatan awal tertentu diletakkan pada manfaat dan bentuk karakter yang bermanfaat dan bentuk karakter yang secara moral bernilai, dan jenis person seperti apa seharusnya. Sekarang setiap teori keadilan akan membuat batasan, yakni batasan-batasan yang diperlukan jika prinsip-prinsip pertamanya ingin dipuaskan dengan kondisi yang ada. Utilitarianisme menyingkirkan berbagai hasrat dan kecendrungan yang jika didorong atau dibiarkan akan mengarah pada keseimbangan dengan netto yang lebih rendah.

Subjek utama dari prinsip keadilan sosial adalah struktur dasar masyarakat, tatanan institusi-institusi sosial utama dalam satu skema kerja sama. Orang telah melihat bahwa prinsip-prinsip tersebut mengatur pemberian hak dan kewajiban dalam institusi-institusi ini serta menentukan pembagian kenikmatan serta beban kehidupan sosial. Prinsip keadilan bagi institusi tidak boleh dikacaukan dengan prinsip-prinsip yang diterapkan pada individu dan tindakan-tindakan mereka dalam situasi tertentu. Dua jenis prinsip ini diterapkan pada subjek yang berbeda dan harus dibahas secara terpisah.

Dengan institusi, orang akan memahami sistem aturan publik yang menentukan jabatan serta posisi dengan hak dan kewajiban mereka, kekuatan dan kekebalan, dan lain-lain. Aturan-aturan ini menggolongkan bentuk-bentuk tindakan yang diperbolehkan maupun yang dilarang; dan memberikan hukuman serta pembelaan tertentu, ketika pelanggaran terjadi. Sebagai contoh, institusi, atau lebih umumnya praktik sosial, orang bisa memikirkan permainan dan ritual, pengadilan dan parlemen, pasar dan sistem kepemilikan. Institusi bisa dipikirkan dengan dua cara: pertama sebagai objek abstrak, yakni sebagai bentuk yang diekspresikan oleh sistem aturan; dan kedua

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

36

sebagai perwujudan pemikiran dan tindakan orang-orang tertentu pada masa dan tempat yang ditunjukkan oleh aturan-aturan tersebut. Oleh sebab itu ada ambiguitas mengenai hal yang adil atau tidak adil, mengenai institusi sebagaimana wujudnya atau institusi sebagai objek abstrak. Institusi sebagai objek abstrak adalah adil dan atau tidak adil dalam pengertian bahwa setiap perwujudannva akan adil atau tidak adil.

Institusi ada pada masa dan tempat tertentu ketika tindakan yang dispesifikasi olehnya secara teratur dimunculkan sesuai dengan pemahaman publik bahwa sistem aturan yang menentukan institusi diikuti. Maka institusi parlementer ditentukan oleh sistem aturan tertentu (atau rangkaian sistem semacam itu). Aturan-aturan ini merinci bentuk-bentuk tindakan tertentu, penyelenggaraan sidang parlemen hingga pengambilan suara atas kenaikan pajak. Berbagai jenis norma umum diatur ke dalam skema yang koheren. Institusi parlemen eksis di masa dan tempat tertentu ketika orang menampilkan tindakan yang pas, terlibat dalam aktivitas-aktivitas tersebut dalam cara yang diperlukan, dengan pengakuan resiprokal atas pemahaman satu-sama lain sehingga tindakan mereka sesuai dengan aturan-aturan yang mereka ikuti.

Dalam mengatakan bahwa sebuah institusi sebagai struktur dasar masyarakat, adalah sistem aturan publik, maksud John Rawls adalah bahwa semua orang yang terlibat di dalamnya tahu apa yang akan Rawls ketahui jika aturan-aturan tersebut dan partisipasinya dalam aktivitas adalah hasil dan kesepakatan. Seseorang yang terlibat dalam institusi tahu apa yang dituntut aturan kepadanya dan pada orang lain. Prinsip-prinsip keadilan yang akan diterapkan pada tatanan sosial dalam pengertian ini dianggap bersifat publik, di mana aturan-aturan atas bagian tertentu dari institusi hanya diketahui oleh orang-orang yang terlibat, sehingga bisa diasumsikan bahwa terdapat pemahaman bahwa mereka yang berada di bagian ini dapat membuat aturan bagi diri mereka sendiri selama aturan-aturan tersebut dirancang untuk mencapai sasaran-sasaran yang pada umumnya diterima dari pihak-pihak lain tidak begitu terpengaruh. Publisitas aturan-aturan institusi menjamin bahwa mereka yang terlibat di dalamnya tahu tentang pembatasan seperti apa yang bisa diharapkan

Tinjauan Pustaka

37

dari orang lain dan jenis tindakan apa yang diperbolehkan. Terdapat pijakan umum untuk menentukan harapan bersama. Selain itu, dalam masyarakat yang tertata dengan baik, masyarakat yang secara efektif diatur oleh konsep keadilan bersama, juga terdapat pemahaman publik mengenai apa itu adil dan tidak adil. Kemudian John Rawls mengasumsikan bahwa prinsip-prinsip keadilan yang dipilih tunduk pada pengetahuan bahwa mereka bersifat publik.

Pembedaan antara aturan konstitutif dan institusi yang mengukuhkan berbagai hak dan kewajibannya dengan strategi-strategi dan dalil-dalil tentang bagaimana mengambil keuntungan dari institusi demi tujuan tertentu. Strategi-strategi dan dalil-dalil rasional tidak dengan sendirinya menjadi bagian dari institusi. Namun mereka adalah bagian dari teori tentang institusi, misalnya teori politik parlementer. Biasanya teori institusi menggunakan aturan-aturan konstitutif sebagai apa adanya dan menganalisis bagaimana kekuasaan didistribusikan dan menjelaskan bagaimana mereka terlibat di dalamnya, cenderung menguntungkan diri mereka. Dalam merancang dan mereformasi tatanan sosial orang harus menguji skema dan taktik yang dibiarkannya dan bentuk-bentuk perilaku yang cenderung didorongnya. Aturan-aturan tersebut secara ideal mesti disusun sehingga orang terbawa oleh kepentingan utama mereka untuk bertindak dengan cara-cara yang memperluas berbagai tujuan yang dikehendaki secara sosial. Perilaku para individu yang dibimbing oleh rencana rasional mereka mesti dikoordinasikan sebaik mungkin untuk meraih hasil-hasil yang terbaik dari sudut pandang keadilan sosial, kendati tidak dimaksudkan atau barangkali tidak diperkirakan oleh mereka. Bentham menganggap koordinasi ini sebagai identifikasi artifisial dari kepentingan, Adam Smith menganggapnya sebagai karya tangan gaib (invisible hand). Ini merupakan tujuan legislator ideal dalam menegakkan hukum dan kaum moralis dalam mendesakkan reformasi mereka. Namun, strategi dan taktik-taktiknya yang diikuti oleh para individu, kendati sangat esensial bagi penilaian atas institusi, bukan merupakan bagian dari sistem aturan publik yang menentukannya.

Orang juga bisa membedakan antara aturan tunggal (atau sekelompok aturan), institusi (atau bagian utamanya), dengan struktur dasar sistem sosial secara keseluruhan. Alasan untuk melakukan hal ini

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

38

adalah karena satu atau beberapa aturan penataan bisa menjadi tidak adil tanpa institusinya sendiri menjadi tidak adil. Sama halnya, institusi bisa menjadi tidak adil kendati sistem sosialnya secara keseluruhan adil. Tidak hanya ada kemungkinan bahwa aturan dan lembaga tunggal tidak dengan sendirinya penting namun bahwa di dalam struktur institusi atau sistem sosial, satu ketidakadilan menggantikan ketidak-adilan yang lain. Keseluruhannya akan kurang tidak adil dibanding jika ia hanya mengandung satu bagian yang tidak adil. Lebih jauh, adalah masuk akal jika sebuah sistem sosial menjadi tidak adil kendati tak ada satu pun dan institusi-institusinya yang tidak adil jika dilihat secara terpisah: ketidakadilan adalah konsekuensi dari bagaimana mereka dikombinasikan bersama menjadi satu sistem tunggal. Suatu institusi mungkin mendorong dan terlihat menjustifikasi harapan-harapan yang ditolak atau diabaikan oleh institusi lain. Pembedaan ini cukup jelas karena merefleksikan fakta bahwa dalam memandang berbagai lembaga orang bisa meletakkan mereka dalam konteks yang lebih luas atau pun lebih sempit.

Terdapat lembaga-lembaga yang tidak bisa dikenai konsep keadilan. Suatu ritual biasanya tidak dinilai adil atau tidak adil, kendati berbagai kasus dapat dibayangkan tidak benar, misalnya ritual pengorbanan bayi atau pengorbanan para tawanan perang. Teori akan mempertimbangkan kapan ritual-ritual dari berbagai praktik lainnya dianggap adil atau tidak adil tunduk pada bentuk kritisisme ini. Anggap saja mereka pasti terlibat dalam alokasi berbagai hak dan nilai di kalangan orang-orang tertentu.

Sejumlah orang menyatakan bahwa pada kenyataannya keadilan formal dan keadilan substantif cenderung sejalan dan karena itu lembaga-lembaga yang tidak adil tidak pernah, atau kadang pada tingkatan apa pun, diatur secara netral dan konsisten. Mereka yang didukung dan memperoleh sesuatu dari tatanan yang tidak adil, dan yang menolak hak-hak dan kebebasan orang lain, cenderung tidak akan membiarkan etika rule of law mencampuri kepentingan mereka dalam kasus-kasus khusus. Kepastian hukum yang tak terelakkan dan luasnya cakupan bagi interpretasi mereka, mendorong kearbritreran dalam mencapai keputusan-keputusan yang hanya bisa dihapuskan oleh komitmen keadilan. Hal ini menegaskan bahwa di mana orang

Tinjauan Pustaka

39

menjumpai keadilan formal, rule of law dan penghormatan pada harapan yang sah, di sana orang akan cenderung menjumpai keadilan substantif pula. Hasrat untuk mengikuti aturan-aturan secara netral dan konsisten, untuk memperlakukan kasus serupa secara sama, dan untuk menerima konsekuensi-konsekuensi penerapan norma-norma publik, itu semua sangat terkait dengan hasrat, atau setidaknya kehendak, untuk mengakui hak dan kebebasan orang lain serta untuk memperoleh bagian keuntungan dari beban kerja sama sosial secara fair. Satu hasrat cenderung diasosiasikan dengan hasrat yang lain. Sebab ia tidak bisa dinilai secara layak hingga orang mengetahui prinsip keadilan substantif mana yang paling masuk akal dan dalam kondisi apa orang-orang mengikutinya.

Keadilan distributif dalam ilmu ekonomi memiliki beberapa persyaratan yang menentukan apakah suatu lembaga atau institusi dapat dikatakan sebagai lembaga yang telah menerapkan keadilan tersebut. Ilmu ekonomi Islam syariah juga memiliki karakteristik dalam suatu lembaga pelaksanaan sistem syariah. Lembaga-lembaga perwujudan sistem ini, yang marak berdiri di masyarakat adalah Badan Maal Wat Tamwil (BMT), Koperasi, KSU dan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang menyediakan pinjaman atau simpanan bagi para nasabah yang membutuhkan. Beberapa lembaga tersebut telah secara sporadis berdiri di beberapa provinsi di Indonesia mengingat tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi terhadap sistem ekonomi yang baru, non kapitalis, non imperialis, non sekuler dan non materialis. Akan tetapi, sampai saat ini, lembaga keuangan syariah tersebut masih dipertanyakan terkait definisi dan pelaksanaan di masyarakat.

John Rawls (2011) mengatakan bahwa, setiap orang berhak memiliki hak yang setara dengan kebebasan dasar yang paling luas sesuai dengan kebebasan yang serupa untuk orang lain. Hal tersebut merupakan sebuah kepedulian akan penjaminan hak asasi pribadi yang setara bagi semua warga. Pemerintah, seyogyanya menggunakan prinsip tersebut sebagai pedoman untuk menentukan sejumlah dasar hak asasi seperti kehidupan, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan, kepada setiap individu tanpa menperhatikan ras, agama, suku, jenis kelamin, kedudukan dan lain sebagainya, karena:

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

40

Pertama, keadilan adalah kejujuran (justice as honesty). Masyarakat adalah kumpulan individu yang di satu sisi menginginkan bersatu karena adanya ikatan untuk memenuhi kumpulan individu, tetapi di sisi yang lain masing-masing individu memiliki pembawaan serta hak yang berbeda yang semua itu tidak dapat dilebur dalam kehidupan sosial.

Kedua, selubung ketidaktahuan (veil of ignorance), dimana setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang dan orang-orang atau kelompok yang terlibat dalam situasi yang sama tidak mengetahui konsepsi-konsepsi mereka tentang kebaikan.

Ketiga, posisi original (original position), yaitu situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat,tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, pada keadaan ini orang-orang dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang. “Posisi Original” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri: Rasionalitas (rationality), Kebebasan (freedom), dan Persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).

Keempat, prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain.

Kelima, ketidaksamaan (inequality principle), difference principle (prinsip perbedaan), dimana ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan. Equal opportunity principle (prinsip persamaan kesempatan), jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil.

Tinjauan Pustaka

41

Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Baqarah, terkandung dasar-dasar natural-moral tingkah laku manusia, yang menunjuk kepada: (1) Watak moral yang universal dan obyektif yang membuat semua manusia diperlakukan secara sama dan sama-sama bertanggung jawab kepada Allah,dengan perbuatan-perbuatan yang baik, keyakinan-keyakinan yang berasal dari sumber yang sama yaitu dari Allah SWT. (2) Semua umat manusia harus berusaha keras menegakkan suatu skala keadilan yang diakui secara obyektif terlepas dari perbedaan keyakinan-keyakinan relegius. Manusia yang ideal bisa mengga-bungkan kebajikan moral dengan religius yang sempurna. Tabel 2.3 memperlihatkan perbandingan antara teori John Rawls (2011) dan Alquran.

Tabel 2.3: Perbandingan Teori John Rawls dan Al-Quran

Teori Prinsip Implikasi John Rawls

ketidaksamaan sosial-eko-nomi perlu diatur sedemikian rupa sehingga ketidaksamaan itu dapat diharapkan saling menguntungkan bagi setiap orang

Upaya agar mereka yang kurang beruntung menjadi lebih baik dilakukan dengan cara mengurangi kesejahteraan mereka yang beruntung

diperlukan biaya besar untuk mencapai keadilan sosial-ekonomi

Etika al-Qur’an

Distribusi sumber daya alam dan lingkungan berada dalam kerangka partisipasi;

Redistribusi kekayaan dan pendapatan merupakan tanggung jawab bersama untuk memastikan jaminan sosial, peningkatan kapasitas dan otoritas bagi mereka yang kurang beruntung.

Menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia

kemitraan dalam kepemilikan kekayaan alam tertentu dapat mereduksi disparitas atau kesenjangan dalam pendapatan dan kekayaan;

harmoni antara kepentingan pribadi dan sosial, dan antara kesejahteraan individu dan kesejahteraan sosial

meningkatkan aktivitas perekonomian

Sumber : Kompilasi dari Teori John Rawls dan Al-Quran.

Uraian di atas menunjukkan bahwa meskipun telah banyak penelitian mengenai lembaga keuangan mikro baik konvensional maupun syariah, namun belum ada yang mengkaji kontribusi secara riil LKM Syariah dalam ikut mewujudkan keadilan distributif dalam

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

42

masyarakat dalam kaitannya dengan pemberian kesempatan yang lebih luas kepada kelompok masyarakat menengah ke bawah untuk mengakses permodalan sehingga mereka dapat mengembangkan usaha bisnisnya untuk peningkatan kesejahteraan mereka.