bab 2 tinjauan pustaka 2.1. skizofrenia 2.1.1....

22
Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia 2.1.1. Definisi Skizofrenia secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu schizo yang berarti ‘terpotong’ atau ‘terpecah’ dan phren yang berarti pikiran, sehingga skizofrenia berarti pikiran yang terpecah (Veague, 2007). Arti dari kata-kata tersebut menjelaskan tentang karakteristik utama dari gangguan skizofrenia, yaitu pemisahan antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya. Definisi skizofrenia yang lebih mengacu kepada gejala kelainannya adalah gangguan psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas, penarikan diri dari interaksi sosial, juga disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognisi (Wiramihardja, 2007). Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta adanya gangguan fungsi psikososial (Crismon dkk., 2008). 2.1.2. Epidemiologi Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1% penduduk di dunia menderita skizofrenia dalam hidup mereka (Amir, 2013). Di Amerika Serikat, prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 persen, yang berarti bahwa kurang lebih 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia selama masa hidupnya. Studi Epidemologic Catchment Area (ECA) yang disponsori National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 0,6 sampai 1,9 persen. Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografik (cth: insidens lebih tinggi pada orang yang lahir di daerah perkotaan di negara maju). Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan angka insidens dan prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia. Di A.S., kurang lebih 0,05 persen

Upload: lekien

Post on 16-Feb-2018

227 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Universitas Sumatera Utara

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Skizofrenia

2.1.1. Definisi

Skizofrenia secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu

schizo yang berarti ‘terpotong’ atau ‘terpecah’ dan phren yang berarti pikiran,

sehingga skizofrenia berarti pikiran yang terpecah (Veague, 2007). Arti dari kata-kata

tersebut menjelaskan tentang karakteristik utama dari gangguan skizofrenia, yaitu

pemisahan antara pikiran, emosi, dan perilaku dari orang yang mengalaminya.

Definisi skizofrenia yang lebih mengacu kepada gejala kelainannya adalah gangguan

psikis yang ditandai oleh penyimpangan realitas, penarikan diri dari interaksi sosial,

juga disorganisasi persepsi, pikiran, dan kognisi (Wiramihardja, 2007).

Skizofrenia merupakan sindrom heterogen kronis yang ditandai dengan pola

pikir yang tidak teratur, delusi, halusinasi, perubahan perilaku yang tidak tepat serta

adanya gangguan fungsi psikososial (Crismon dkk., 2008).

2.1.2. Epidemiologi

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1%

penduduk di dunia menderita skizofrenia dalam hidup mereka (Amir, 2013). Di

Amerika Serikat, prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 persen, yang berarti

bahwa kurang lebih 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia selama masa

hidupnya. Studi Epidemologic Catchment Area (ECA) yang disponsori National

Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi seumur hidup sebesar 0,6

sampai 1,9 persen. Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar

antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografik (cth: insidens

lebih tinggi pada orang yang lahir di daerah perkotaan di negara maju). Skizofrenia

ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan angka insidens dan

prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia. Di A.S., kurang lebih 0,05 persen

Universitas Sumatera Utara

populasi totalnya menjalani pengobatan untuk skizofrenia setiap tahun dan hanya

sekitar setengah dari semua pasien skizofrenia mendapat pengobatan, meskipun

penyakit ini termasuk berat. Prevalensi penderita skizofrenik di Indonesia tercatat

sebesar 1,7 per 1000 penduduk (Riskesdas, 2013).

2.1.3. Etiologi

Penyebab munculnya skizofrenia terbagi menjadi berbagai pendekatan seperti

pendekatan biologis, teori psikogenik, dan pendekatan gabungan atau stress-

vulnerability model.

1. Pendekatan Biologis

Pada pendekatan biologis menyangkut faktor genetik, struktur otak, dan

proses biokimia sebagai penyebab skizofrenia (Halgin dkk., 2010).

a) Teori genetik

Teori ini menekankan pada ekspresi gen yang bisa menyebabkan gangguan

mental. Hasil dari beberapa penelitian menunjukan bahwa faktor genetik sangat

berperan dalam perkembangan skizofrenia, dimana ditemukan hasil bahwa

skizofrenia cenderung menurun dalam keluarga. Hal ini dibuktikan dengan penelitian

yang dilakukan National Institute of Mental Health (NIMH) pada keluarga penderita

skizofrenia yang menyatakan bahwa skizofrenia muncul pada 10% populasi yang

memiliki keluarga dengan riwayat skizofrenia seperti orang tua dan saudara kandung.

Berdasarkan American Journal of Medical Genetics, menyatakan bahwa apabila

kedua orang tuanya mengidap skizofrenia, maka kemungkinan anaknya mengalami

skizofrenia adalah sebesar 40%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin dekat

hubungan biologis dengan individu yang sakit, maka semakin besar juga

kemungkinan seseorang menderita skizofrenia (Semiun, 2006).

b) Teori neurostruktural

Berdasarkan pemeriksaan MRI dan CT scan otak pada orang-orang dengan

skizofrenia menunjukkan ada tiga tipe abnormalitas struktural, yaitu pembesaran pada

Universitas Sumatera Utara

ventrikel otak, atrofi kortikal, dan asimetri serebral yang terbalik (reversed cerebral

asimetry) (Semiun, 2006).

(1) Pembesaran pada ventrikel otak

Ventrikel adalah rongga atau saluran otak tempat cairan serebrospinal

mengalir, diperkirakan pada pasien skizofrenik terjadinya pembesaran pada

daerah ini hingga 20 hingga 50%. Kerusakan pada ventrikel berhubungan

dengan skizofrenia kronis dan simptom negatif (Semiun, 2006). Struktur otak

yang tidak normal seperti pembesaran ventrikel otak diyakini menyebabkan

tiga sampai empat orang yang mengalaminya menderita skizofrenia (Nevid

dkk., 2005). Pembesaran ventrikel otak ini menyebabkan otak kehilangan sel–

sel otak, sehingga otak akan mengecil ukurannya dibandingkan otak yang

normal.

Gambar 2.1. Pembesaran ventrikel otak pada pasien skizofrenik

(Stefan dkk., 2002)

(2) Atrofi kortikal

Pendapat lain menyatakan bahwa skizofrenia dapat terjadi pada seseorang

yang kehilangan jaringan otak yang bersifat degeneratif atau progresif,

kegagalan otak untuk berkembang normal, dan juga karena infeksi virus pada

otak ketika masa kandungan (Nevid dkk., 2005). Atrofi juga menyebabkan

Universitas Sumatera Utara

kerusakan sulci yang menutupi selaput otak atau pembesaran celah antara

bagian-bagian otak. Sebanyak 20 hingga 35% orang dengan skizofrenia

mengalami kelainan ini (Semiun, 2006).

(3) Asimetri serebral yang terbalik (reversed cerebral asimetry)

Pada orang normal, sisi kiri otak lebih besar daripada sisi kanan, tetapi

kondisi yang terbalik terjadi pada orang-orang dengan skizofrenia. Padahal

otak kiri bertanggung jawab dalam kemampuan bahasa, sedangkan otak kanan

bertanggung jawab dalam kemampuan spasial. Hal ini menyebabkan

perbedaan dalam memahami masalah-masalah kognitif pada pasien

skizofrenia. Abnormalitas pada struktur otak pada pasien skizofrenik, seperti

pengurangan massa otak karena pembesaran ventrikel otak mungkin dapat

mempengaruhi dalam produksi neurotransmitter yang terlibat dalam

skizofrenia dan menentukan simptom-simptom yang nantinya akan muncul.

Selain itu, kemungkinan lain yang diungkapkan adalah pengurangan massa

otak ini dapat menyebabkan pegurangan ukuran dari daerah-daerah otak yang

penting untuk fungsi normal (Semiun, 2006). Namun, masih dibutuhkan

penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kepastian teori-teori ini.

c) Teori biokimia

Pada teori biokimia, dikenal hipotesis dopamin dan serotonin-glutamat. Pada

teori glutamat disebutkan bahwa, penurunan kadar glutamat akan menyebabkan

penurunan regulasi reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan menyebabkan

gejala-gejala psikotik serta defisit kognitif. Aktivitas berlebih reseptor dopamin saraf

pada jalur mesolimbik bisa menyebabkan timbulnya gejala positif, sedangkan

penurunan aktivitas dopamin neuron pada jalur mesokortek di dalam kortek

prefrontalis bisa menyebabkan gejala negatif (Dawe, 2009).

Ada tiga faktor yang mungkin menjadi penyebab tingginya aktivitas dopamin

(Semiun, 2006).

(1) Konsentrasi dopamin yang tinggi

(2) Sensitivitas yang tinggi dari reseptor dopamin

Universitas Sumatera Utara

(3) Jumlah reseptor dopamin yang terdapat pada sinapsis

Pada orang dengan skizofrenia ditemukan memiliki jumlah reseptor dopamin yang

lebih banyak daripada orang normal. Penurunan drastis jumlah reseptor dopamin pada

laki-laki terjadi pada umur antara 30-50 tahun, sedangkan pada perempuan penurunan

jumlah reseptor terjadi perlahan-perlahan (Wong dkk., 1986). Teori ini dapat menjadi

penjelasan mengenai perbedaan awitan yang terjadi pada laki-laki dan perempuan.

2. Teori Psikogenik

Teori psikogenik, yaitu skizofrenia sebagai suatu gangguan fungsional dan

penyebab utama adalah konflik, stress psikologik dan hubungan antar manusia

yang mengecewakan.

3. Stress-Vulnerability Model

Pendekatan ini meyakini bahwa orang – orang tertentu yang memiliki

kerentanan genetik terhadap skizofrenia akan memunculkan gejala skizofrenia

jika mereka hidup dalam lingkungan yang penuh dengan stress (Semiun, 2006).

Peristiwa dalam hidup dapat memberikan kontribusi pada perkembangan

skizofrenia pada mereka yang telah memiliki predisposisi pada penyakit ini.

2.1.4. Klasifikasi

Skizofrenia dapat dibedakan menjadi beberapa tipe menurut PPDGJ III tahun

1993, yaitu :

1) Skizofrenia paranoid

a) Memenuhi kriteria skizofrenia

b) Halusinasi dan / waham harus menonjol : halusinasi auditori yang memberi

perintah atau auditorik yang berbentuk tidak verbal; halusinasi pembauan atau

pengecapan rasa atau bersifat seksual; waham dikendalikan, dipengaruhi,

pasif atau keyakinan dikejar-kejar.

Universitas Sumatera Utara

c) Gangguan afektif, dorongan kehendak, dan pembicaraan serta gejala

katatonik relatif tidak ada.

2) Skizofrenia hebefrenik

a) Memenuhi kriteria skizofrenia

b) Pada usia remaja dan dewasa muda (15-25 tahun)

c) Kepribadian premorbid : pemalu dan senang menyendiri

d) Gejala bertahan 2-3 minggu tanpa maksud. Preokupasi dangkal dan dibuat-

buat terhadap agama, filsafat, dan tema abstrak

f) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan,

mannerism, cenderung senang menyendiri, perilaku hampa tujuan, dan hampa

perasaan

g) Afek dangkal (shallow) dan tidak wajar (in appropriate), cekikikan, puas

diri, senyum sendiri, atau sikap tinggi hati, tertawa menyeringai, mengibuli

secara bersenda gurau, keluhan hipokondriakal, ungkapan kata diulang-ulang

h) Proses pikir disorganisasi, pembicaraan tak menentu, inkoheren.

3) Skizofrenia katatonik

a) Memenuhi kriteria diagnosis skizofrenia

b) Stupor (amat berkurang reaktivitas terhadap lingkungan, gerakan, atau

aktivitas spontan) atau mutisme

c) Gaduh-gelisah (tampak aktivitas motorik tak bertujuan tanpa stimuli

eksternal)

d) Menampilkan posisi tubuh tertentu yang aneh dan tidak wajar serta

mempertahankan posisi tersebut

e) Negativisme (perlawanan terhadap perintah atau melakukan ke arah yang

berlawanan dari perintah)

f) Rigiditas (kaku)

g) Fleksibilitas cerea (waxy flexibility) yaitu mempertahankan posisi tubuh

dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar

Universitas Sumatera Utara

h) Command automatisme (patuh otomatis dari perintah) dan pengulangan

kata-kata serta kalimat

i) Diagnosis katatonik dapat tertunda jika diagnosis skizofrenia belum tegak

karena pasien yang tidak komunikatif.

4) Skizofrenia tak terinci atau undifferentiated

a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia

b) Tidak paranoid, hebefrenik, katatonik

c) Tidak memenuhi skizofren residual atau depresi pascaskizofrenia

5) Skizofrenia pasca-skizofrenia

a) Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofernia selama 12 bulan terakhir ini

b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi

gambaran klinisnya)

c) Gejala – gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling

sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu paling

sedikit 2 minggu.

Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi

episode depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis

harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai.

6) Skizofrenia residual

a) Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan

psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan

ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan,

komunikasi non verbal yang buruk sperti dalam ekspresi muka, kontak mata,

modulasi suara dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk

b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau

yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia;

Universitas Sumatera Utara

c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan

frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat

berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia;

d) Tidak terdapat demensia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi

kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif

tersebut.

7) Skizofrenia simpleks

a) Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena

tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan

progresif dari :

(1) Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat

halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik

(2) Disertai dengan perubahan – perubahan perilaku pribadi yang bermakna,

bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat

sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.

b) Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe

skizofrenia lainnya.

8) Skizofrenia lainnya

Termasuk skizofrenia chenesthopathic (terdapat suatu perasaan yang tidak

nyaman, tidak enak, tidak sehat pada bagian tubuh tertentu), gangguan skizofreniform

YTI.

9) Skizofrenia tak spesifik

Merupakan tipe skizofrenia yang tidak dapat diklasifikasikan kedalam tipe yang telah

disebutkan.

Universitas Sumatera Utara

2.1.5. Patogenesis

1) Peran dopamin

Hipotesis dopamin menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan oleh terlalu

banyaknya penerimaan dopamin oleh otak. Dalam hipotesis dopamin, dinyatakan

bahwa skizofrenia dipengaruhi oleh aktivitas dopamin pada jalur mesolimbik dan

mesokortis saraf dopamin. Telalu aktifnya saraf dopamin pada jalur mesolimbik

bertanggung jawab menyebabkan gejala positif, sedangkan kurangnya aktivitas

dopamin pada jalur mesokortis akan menyebabkan gejala negatif kognitif dan afektif.

Pada Jalur saraf dopamin terdiri dari 4 jalur yang mempunyai mekanisme kerja dan

fungsi masing-masing, yaitu :

a) Jalur nigrostiatal : dari substansia nigra ke bangsal ganglia.

b) Jalur mesolimbik : dari substansia nigra menuju ke sistem limbik

c) Jalur mesokortikal : dari subtansia nigra menuju ke frontal cortex

d) Jalur tuberoinfendibular : dari hipotalamus ke kelenjar pituitari.

Hipotesis dopamin inilah yang menyebabkan sebelum tahun 1990an, pengembangan

obat antipsikotik difokuskan secara eksklusif pada agen dengan aktivitas utama yang

berlokasi pada reseptor dopamin D2, yaitu obat-obat antipsikotik tipikal, yang

merupakan antagonis reseptor D2. Namun meskipun blokade reseptor D2 dapat

mengurangi gejala-gejala positif seperti halusinasi dan delusi, antagonis D2 juga

berkaitan dengan efek samping neurologis yang tidak menyenangkan, yaitu gejala

ekstrapiramidal. Selain itu agen ini memiliki keterbatasan untuk gejala negatif dan

kognitif (Crismon dkk., 2008).

2) Peran serotonin

Pelepasan dopamin berkaitan dengan fungsi serotonin. Penurunan aktivitas

serotonin berkaitan dengan peningkatan aktivitas dopamin. Bukti yang mendukung

peran potensial serotonin dalam memperantarai efek antipsikotik obat datang dari

interaksi anatomi dan fungsional dopamin dan serotonin. Studi anatomi dan

elektrofisiologi menunjukkan bahwa saraf serotonergik dari dorsal dan median raphe

nuclei terproyeksikan ke badan-badan sel dopaminergik dalam Ventral Tegmental

Universitas Sumatera Utara

Area (VTA) dan Substansia Nigra (SN) dari otak tengah. Saraf serotonergik

dilaporkan berujung langsung pada sel-sel dopaminergik dan memberikan pengaruh

penghambatan pada aktivitas dopamin di jalur mesolimbik dan nigrostriatal melalui

reseptor 5-HT2A. Secara umum, penurunan aktivitas serotonin terkait dengan

peningkatan aktivitas dopamin. Interaksi antara serotonin dan dopamin, khususnya

reseptor 5-HT2A, dapat menjelaskan mekanisme obat psikotik atipikal dan rendahnya

potensi untuk menyebabkan efek samping ekstrapiramidal. Selain itu, stimulasi 5-

HT1A juga meningkatkan fungsi dopaminergik (Ereshefsky., 1999).

3) Peranan glutamat

Disfungsi sistem glutamatergik di korteks prefrontal diduga juga terlibat

dalam patofisiologi skizofrenia. Hipotesis datang dari bukti pemberian antagonis

reseptor N-metil-D-Aspartat (NMDA), seperti phencyclidine (PCP) dan ketamin, pada

orang sehat menghasilkan efek yang mirip dengan spektrum gejala dan gangguan

kognitif yang terkait dengan skizofrenia. Efek dari antagonis NMDA menyerupai

baik gejala negatif dan positif serta defisit kognitif skizofrenia (Ikawati, 2011).

2.1.6. Diagnosis

Menurut Saddock (2007), diagnosis skizofrenia yang biasa digunakan adalah

berdasarkan DSM-IV. Kriteria diagnosis skizofrenia menurut DSM-IV :

1) Gejala Karakteristik : dua atau lebih gejala berikut ini yang muncul dalam

jangka waktu yang signifikan dalam periode 1 bulan, yaitu :

a) Delusi (waham, keyakinan yang kuat terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak

nyata).

b) Halusinasi (seperti mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang

sebenarnya tidak ada).

c) Cara bicara tak teratur.

d) Tingkah laku yang tak terkontrol.

e) Gejala negatif, yaitu afek datar, alogia, atau tidak ada kemauan (avolition).

Universitas Sumatera Utara

Catatan : Jika wahamnya bersifat aneh/ganjil, atau halusinasinya terdiri dari

suara-suara yang mengomentari orang itu atau suara-suara yang berbicara satu

sama lain, maka satu gejala karakteristik saja cukup untuk mendiagnosa

skizofrenia.

2) Disfungsi sosial/pekerjaan : adanya gangguan terhadap fungsi sosial atau

pekerjaan untuk jangka waktu yang signifikan.

3) Durasi : tanda gangguan terjadi secara terus-menerus selama enam bulan, yang

merupakan gejala karakteristik seperti pada poin 1.

4) Gejala psikotik bukan disebabkan karena gangguan mood seperti pada bipolar.

5) Gejala psikotik bukan disebabkan karena penggunaan obat atau kondisi medik

tertentu.

Selain itu, ada juga kr iteria diagnostik menurut PPDGJ III :

1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua

gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):

a. - Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema

dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya

sama, namun kualitasnya berbeda, atau -

Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk

kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh

sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan

- Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain

atau umumnya mengetahuinya.

b. - Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar atau

- Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu

kekuatan tertentu dari luar atau

- Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah

Universitas Sumatera Utara

terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya= secara jelas, merujuk ke

pergerakan tubuh/anggota gerak atau kepikiran, tindakan atau penginderaan

khusus). - Delusion

perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat

khas bagi dirinya , biasanya bersifat mistik dan mukjizat.

c. Halusinasi Auditorik

- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap prilaku

pasien . -

Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai

suara yang berbicara atau - Jenis

suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat

dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan

agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia

biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan

makhluk asing atau dunia lain).

2. Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara

jelas:

e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai baik

oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa

kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-

valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama

berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.

f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan

(interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak

relevan atau neologisme.

Universitas Sumatera Utara

g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh

tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan

stupor.

h. Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons

emosional yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan

penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi

harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau

medikasi neureptika.

*Adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu

satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);

*Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan

(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behavior),

bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,

sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute), dan penarikan diri secara sosial.

2.1.7. Penatalaksanaan

Ada tiga fase pengobatan dan pemulihan skizofrenia (Ikawati, 2011) :

1) Terapi fase akut

Pada fase ini pasien menunjukkan gejala psikotik yang intensif. Biasanya

pada fase ini ditandai dengan munculnya gejala positif dan negatif. Pengobatan

pada fase ini bertujuan untuk mengendalikan gejala psikotik sehingga tidak

membahayakan terhadap diri sendiri maupun orang lain. Terapi utamanya adalah

dengan menggunakan obat dan biasanya dibutuhkan rawat inap. Pemilihan

antipsikotik yang benar dan dosis yang tepat dapat mengurangi gejala psikotik

dalam waktu enam minggu.

2) Terapi fase stabilisasi

Pada fase ini pasien masih mengalami gejala psikotik dengan intensitas yang

lebih ringan. Pada fase ini pasien masih memiliki kemungkinan yang besar untuk

Universitas Sumatera Utara

kambuh sehingga butuhkan pengobatan yang rutin untuk menuju ke tahap

pemulihan yang lebih stabil.

3) Terapi fase pemeliharaan

Pada fase ini dilakukan terapi jangka panjang dengan harapan dapat

mempertahankan kesembuhan, mengontrol gejala, mengurangi risiko

kekambuhan, mengurangi durasi rawat inap, dan mengajarkan keterampilan untuk

hidup mandiri. Terapinya meliputi obat-obatan, terapi suportif, pendidikan

keluarga dan konseling, serta rehabilitasi pekerjaan dan sosial.

Ada terapi farmakologi dan non farmakologi yang dapat dilakukan :

a. Terapi Non Farmakologi

Ada beberapa pendekatan psikososial yang dapat digunakan untuk pengobatan

skizofrenia. Intervensi psikososial merupakan bagian dari perawatan yang

komprehensif dan dapat meningkatkan kesembuhan jika diintegrasikan dengan

terapi farmakologis. Intervensi psikososial ditujukan untuk memberikan

dukungan emosional pada pasien. Pilihan pendekatan dan intervensi psikososial

didasarkan kebutuhan khusus pasien sesuai dengan keparahan penyakitnya.

1) Program for Assertive Community Treatment (PACT)

PACT merupakan program rehabilitasi yang terdiri dari manajemen kasus

dan Intervensi aktif oleh satu tim menggunakan pendekatan yang sangat

terintegrasi. Program ini dirancang khusus untuk pasien yang fungsi sosialnya

buruk dan bertujuan untuk mencegah kekambuhan dan memaksimalkan

fungsi sosial dan pekerjaan. Unsur-unsur kunci dalam PACT adalah

menekankan kekuatan pasien dalam beradaptasi dengan kehidupan

masyarakat, penyediaan dukungan dan layanan konsultasi untuk pasien,

memastikan bahwa pasien tetap dalam program perawatan. Laporan dari

bebarapa penelitian menunjukan bahwa PACT efektif untuk memperbaiki

gejala, mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan memperbaiki kondisi

kehidupan secara umum.

2) Intervensi keluarga

Universitas Sumatera Utara

Prinsipnya adalah bahwa keluarga pasien harus dilibatkan dan terlibat

dalam penyembuhan pasien. Anggota keluarga diharapkan berkontribusi

untuk perawatan pasien dan memerlukan pendidikan, bimbingan dan

dukungan serta pelatihan membantu mereka mengoptimalkan peran mereka.

3) Terapi perilaku kognitif

Dalam terapi ini dilakukan koreksi atau modifikasi terhadap keyakinan

(delusi), fokus terhadap halusinasi pendengaran dan menormalkan

pengalaman psikotik pasien sehingga mereka bisa tampil secara normal.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi perilaku efektif dalam

mengurangi frekuensi dan keparahan gejala positif. Namun ada risiko

penolakan yang mungkin disebabkan oleh pertemuan mingguan yang

mungkin terlalu membebani pasien-pasien dengan gejala negatif yang berat.

4) Terapi pelatihan keterampilan sosial

Terapi ini didefinisikan sebagai penggunaan teknik perilaku atau kegiatan

pembelajaran yang memungkinkan pasien untuk memenuhi tuntutan

interpersonal, perawatan diri dan menghadapi tuntutan masyarakat. Tujuannya

adalah memperbaiki kekurangan tertentu dalam fungsi sosial pasien. Terapi

ini tidak efektif untuk mencegah kekambuhan atau mengurangi gejala.

5) Terapi Elektrokonvulsif (ECT)

Dalam sebuah kajian sistematik menyatakan bahwa penggunaan ECT dan

kombinasi dengan obat-obat antipsikotik dapat dipertimbangkan sebagai

pilihan bagi penderita skizofrenia terutama jika menginginkan perbaikan

umum dan pengurangan gejala yang cepat (American Psychiatric Assosiated,

2013).

b. Terapi Farmakologi

Secara umum, terapi penderita skizofrenia dibagi menjadi tiga tahap yakni

terapi akut, terapi stabilisasi dan terapi pemeliharaan. Terapi akut dilakukan pada

tujuh hari pertama dengan tujuan mengurangi agitasi, agresi, ansietas, dll.

Universitas Sumatera Utara

Benzodiazepin biasanya digunakan dalam terapi akut. Penggunaan benzodiazepin

akan mengurangi dosis penggunaan obat antipsikotik. Terapi stabilisasi dimulai

pada minggu kedua atau ketiga. Terapi stabilisasi bertujuan untuk meningkatkan

sosialisasi serta perbaikan kebiasaaan dan perasaan. Pengobatan pada tahap ini

dilakukan dengan obat-obat antipsikotik. Terapi pemeliharaan bertujuan untuk

mencegah kekambuhan. Dosis pada terapi pemeliharaan dapat diberikan setengah

dosis akut. Klozapin merupakan antipsikotik yang hanya digunakan apabila

pasien mengalami resistensi terhadap antipsikotik yang lain (Crismon dkk., 2008).

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2. Algoritma terapi skizofrenia (Crismon dkk., 2008)

Universitas Sumatera Utara

2.2. Obat Antipsikotik

Terdapat dua jenis antipsikotik yaitu antipsikotik tipikal dan atipikal. Pada

dasarnya semua antipsikotik mempunyai efek klinis yang sama pada dosis ekivalen.

Perbedaan utama pada efek samping. Pemilihan jenis antipsikosis

mempertimbangkan gejala psikosik yang dominan dan efek samping obat. Bila gejala

negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat antipsikosik atipikal

(golongan generasi kedua), sebaliknya jika gejala positif lebih menonjol

dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal (golongan generasi pertama).

Antipsikotik tidak bersifat kuratif (karena tidak mengeliminasi gangguan berpikir

mendasar), tetapi biasanya membantu pasien berfungsi normal. Obat-obat ini hanya

memperbaiki ketidakseimbangan untuk sementara dan tidak dapat memecahkan

masalah fisiologis yang mendasar. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kasus pasien

yang kambuh setelah menghentikan penggunaan obat-obat ini.

Antipsikotik dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

a. Antipsikotik tipikal (FGA)

Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang mempunyai

aksi untuk mengeblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis ini lebih efektif

untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping ekstrapiramidal

banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal sehingga muncul

antipsikotik atipikal yang lebih aman. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam

antipsikotik tipikal diantaranya adalah klorpromazin, tiorizadin, flufenazin,

haloperidol, loxapin, dan perfenazin (Ikawati, 2011).

b. Antipsikotik atipikal (SGA)

Antipsikotik atipikal adalah generasi baru yang banyak muncul pada tahun

1990an. Aksi obat ini yaitu menghambat reseptor 5-HT2 dan memiliki efek

blokade pada reseptor dopamin yang rendah. Antipsikotik atipikal merupakan

pilihan pertama dalam terapi skizofrenia karena efek sampingnya yang cenderung

lebih kecil jika dibandingkan dengan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal

menunjukkan penurunan dari munculnya efek samping karena penggunaan obat

Universitas Sumatera Utara

dan masih efektif diberikan untuk pasien yang telah resisten terhadap pengobatan

(Shen, 1999). Antipsikotik ini efektif untuk mengatasi gejala baik positif maupun

negatif. Contoh obat yang termasuk antipsikotik atipikal adalah clozapin,

risperidon, olanzapin, ziprasidon, dan quetiapin.

2.3. Hubungan Penggunaan Obat Antipsikotik dengan Sindrom Metabolik

Banyak teori yang mengemukakan tentang mekanisme yang mungkin

memperantarai terjadinya perubahan metabolisme yang terjadi pada pasien yang

menggunakan antipsikotik.

1. Teori yang pertama menyatakan jika penggunaan antipsikotik pada pasien

skizofrenik menyebabkan peningkatan berat badan. Bertambahnya berat badan

pada pasien yang diobati dengan antipsikotik disebabkan oleh peningkatan nafsu

makan yang tidak diseimbangi dengan peningkatan penggunaan energi.

Akibatnya terjadi peningkatan penyimpanan lemak dalam jaringan adiposa yang

mengakibatkan penambahan berat badan. Keadaan yang berlanjut menyebabkan

terjadinya obesitas yang dilihat dari Body Mass Index (BMI). Obesitas

dihubungkan dengan resistansi insulin dan merupakan faktor utama penyebab

diabetes tipe 2 (Castagna, 2011).

2. Penggunaan antipsikotik banyak dikaitkan dengan kelainan dalam regulasi

glukosa. Penggunaan antipsikotik dapat menyebabkan peningkatan penyimpanan

lemak dalam jaringan adiposa yang kemudian memicu penurunan sensitivitas

insulin (Newcomer dkk., 2002). Antipsikotik generasi kedua seperti clozapin dan

olanzapin berhubungan dengan efek samping terhadap regulasi glukosa dalam

berbagai tingkatan keparahan yang berbeda tergantung dari potensinya dalam

peningkatan penyimpanan lemak dalam jaringan adiposa dibandingkan dengan

antipsikotik tipikal. Clozapin dan olanzapin menyebabkan peningkatan berat

badan dan meningkatkan massa lemak tubuh secara signifikan, dengan resistensi

insulin dan risiko diabetes mellitus (Newcomer dkk., 2002).

Universitas Sumatera Utara

3. Aktifitas antipsikotik atipikal adalah antagonis pada berbagai sistem

neurotransmiter termasuk dopaminergik, adrenergik, serotonergik, histaminergik

dan subtipe reseptor muskarinik (Teff & Kim, 2011). Neurotransmiter ini

berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan jalur

metabolisme dan juga regulasi asupan makanan. Reseptor yang mungkin

berpengaruh terhadap timbulnya diabetes adalah dopamin, 5-HT1A , 5-HT2c,

histamin-1 (Gianfrancesco dkk., 2003).

a. Reseptor muskarinik dan histaminergik

Suatu hipotesis yang menyimpulkan jika reseptor muskarinik dan

histaminrgik memiliki peranan penting dalam kasus gangguan metabolisme yang

berkaitan dengan penggunaan antipsikotik. Histamin dan muskarinik dikatakan

sebagai mediator pada peningkatan berat badan dan abnormalitas dalam

metabolisme glukosa. Ikatan pada reseptor histamin H-1 dapat memicu

peningkatan nafsu makan dan berat badan, sedangkan ikatan pada muskarinik M3

menyebabkan kelainan pada regulasi insulin (Teff & Kim, 2011). Perbedaan

kemampuan pengikatan reseptor mungkin menjadi penyebab tingkat perubahan

metabolisme, berat badan, dan peningkatan asupan makanan untuk setiap

antipsikotik berbeda. Clozapin dan olanzapin adalah antagonis reseptor asetilkolin

muskarinik kuat dan dikaitkan dengan kenaikan berat badan. Risperidon tidak

diketahui afinitas terhadap reseptor asetilkolin muskarinik namun menyebabkan

beberapa kasus awitan baru diabetes bila diberikan bersamaan dengan antagonis

muskarinik yang biasa diresepkan untuk mengatasi efek samping ekstrapiramidal

(Lean & Pajonk, 2003). Ini merupakan bukti peran reseptor asetilkolin muskarinik

dalam sindrom metabolik yang terjadi pada pasien skizofrenia yang menggunakan

antipsikotik.

b. Dopamin

Universitas Sumatera Utara

Jalur dopamin di otak tengah berperan dalam kontrol asupan makanan.

Regulasi glukosa darah berpusat di hipotalamus. Antipsikotik yang berperan

sebagai antagonis dopamin menyebabkan glukosa darah tidak terkontrol

(Gianfrancesco dkk., 2003). Sebuah bukti mengenai peran dopamin ini

berdasarkan studi yang menunjukkan penggunaan agonis dopamine sentral dapat

meningkatkan kontrol glukosa (Lipscombe, 2009).

c. Aktivitas reseptor serotonin 5-HT1A dan 5-HT2

Reseptor tersebut juga dihubungkan dengan pengaruhnya terhadap kontrol

glukosa. Walaupun mekanisme yang menghubungkan kedua reseptor ini sangat

kompleks (Haupt & Newcomer, 2001). Reseptor 5-HT2c mungkin terlibat dalam

kontrol asupan makanan. Jika reseptor ini diblok dapat menimbulkan kenaikan

berat badan kecuali ziprasidon dan quetiapin (Lean & Pajonk, 2003).

Saat terjadi resistensi insulin, tubuh berusaha untuk mengatasinya dengan

mensekresi lebih banyak lagi insulin yang menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia.

Hiperinsulinemia yang terjadi menyebabkan resistensi insulin dan keadaan yang lebih

parah dapat menyebabkan kegagalan dalam regulasi reseptor insulin (Lean & Pajonk,

2003). Kelainan yang berhubungan dengan resistensi insulin termasuk intoleransi

glukosa, hipertensi, dan dislipidemia (Henderson dkk., 2005). Resistensi insulin yang

terjadi akibat penggunaan antipsikotik kemungkinan diakibatkan karena efek

langsung dari peningkatan massa lemak di abdominal dan fungsi transport glukosa

(Haupt & Newcomer, 2001).

Di Amerika Serikat, risiko diabetes tipe 2 berkembang pada populasi. Para

peneliti menyadari bahwa penyakit seperti bipolar dan skizofrenia berasosiasi dengan

meningkatnya risiko diabetes. Perubahan metabolik ini dimungkinkan merupakan

risiko pada penggunaan obat-obat antipsikotik. Perubahan fisik seperti penambahan

berat badan juga mungkin merupakan indikasi perubahan metabolisme pada pasien

yang diterapi dengan antipsikotik (Lieberman, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Penggunaan antipsikotik berasosiasi dengan efek samping metabolisme

termasuk penambahan berat badan, dislipidemia dan diabetes tipe 2. Walaupun sangat

sulit untuk membedakan perubahan metabolisme yang terjadi karena pengobatannya

ataupun karena pola hidup pasien (Chon dkk., 2006).

Abnormalitas regulasi glukosa merupakan hal yang pertama kali dilaporkan

pada pasien skizofrenia pada penggunaan/pengobatan antipsikotik yaitu resistensi

insulin yang tidak terobati. Namun penggunaan antipsikotik juga terkait dengan

peningkatan berat badan, metabolisme glukosa, awitan baru DM tipe 2 dan diabetes

ketoasidosis. Terjadinya satu atau semua metabolik sindrom ini akibat dari sindrom

metabolik (Liberman, 2004).

Mengkonsumsi obat antipsikotik menyebabkan meningkatnya nafsu makan.

Peningkatan nafsu makan yang tidak diseimbangi dengan penggunaan energi

menyebabkan meningkatnya berat badan menuju pada taraf obesitas (BMI >30) dan

peningkatan kadar glukosa, lemak dan asam amino dalam darah. Peningkatan glukosa

darah memacu penghasilan insulin oleh pankreas. Keadaan yang berlanjut dalam

waktu yang panjang menyebabkan rusaknya sel beta pankreas dan penurunan

pengaturan reseptor insulin yang berlanjut pada resistensi dari insulin itu sendiri.

Pada umumnya, penyimpanan adiposa tubuh memiliki korelasi positif dengan

resistensi insulin. Pengobatan jangka pendek (4 minggu) dengan Olanzapine (OLZ)

menyebabkan peningkatan penyimpanan dalam jaringan adiposa, yang mana

berhubungan dengan menurunnya sensitifitas dari insulin. OLZ sebagaimana atypical

antipsychotic lainnya bertindak sebagai antagonis terhadap beberapa reseptor

neurotransmiter, mencakup dopamin, serotonin, histamin, dan asetilkolin (Martins,

2010).