bab 2 sakralitas-nasionalisme papua dan fase pergerakannnya

67
1 BAB 2 Sakralitas-Nasionalisme Papua dan Fase Pergerakannnya Tulisan menohok karya Soewardi Soerjaningrat / Ki Hadjar Dewantara kala itu yang dimuat di Surat Kabar De Ekspress di tahun 1913, berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was” (Kalau saya seorang Belanda) memberikan sumbangsih penting dalam menciptakan dan menyemaikan Nasionalisme Indonesia. Karya yang provokatif ini, berisi tentang kritik persuasif terhadap rencana perayaan pesta megah di Hindia-Belanda untuk memeringati hari lepasnya Belanda dari jajahan Perancis. Hal ini disebabkan oleh sikap Pemerintah Belanda yang memaksakan rakyat Hindia-Belanda agar turut membiayai pesta, dengan memungut uang dari mereka. Tulisan sarkastik ini menyebabkannya ditangkap dan diasingkan ke Belanda. Narasi historis ini kemudian memberikan ruang kepada Ben Anderson 1 untuk menghasilkan karya yang berjudul Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Ben memulai tesisnya dengan pertanyaan mengapa di Hindia-Belanda hadir keterikatan di sebuah komunitas, terdiri dari orang yang tidak saling mengenal, berbeda suku dan dan agama, namun menyatakan dirinya sebuah bangsa? Kemudian ia menemukan satu kata yaitu “Nasionalisme” yang telah mengikat mereka sebagai sebuah bangsa. Selanjutnya, salah satu faktor penting dalam menyemaikan “kesadaran nasional” sebagai komunitas sebuah bangsa ialah bahasa dan kapitalisme cetak . Lebih lanjut menurut, produk cetak seperti surat kabar dan novel di awal abad ke 19 telah memungkinkan kesadaran dominan masyarakat. Pada konteks 1 Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. New York: Verso, 1983.

Upload: others

Post on 31-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB 2

Sakralitas-Nasionalisme Papua dan Fase Pergerakannnya

Tulisan menohok karya Soewardi Soerjaningrat / Ki Hadjar Dewantara

kala itu yang dimuat di Surat Kabar De Ekspress di tahun 1913, berjudul “Als Ik

Eens Nederlander Was” (Kalau saya seorang Belanda) memberikan sumbangsih

penting dalam menciptakan dan menyemaikan Nasionalisme Indonesia. Karya

yang provokatif ini, berisi tentang kritik persuasif terhadap rencana perayaan pesta

megah di Hindia-Belanda untuk memeringati hari lepasnya Belanda dari jajahan

Perancis. Hal ini disebabkan oleh sikap Pemerintah Belanda yang memaksakan

rakyat Hindia-Belanda agar turut membiayai pesta, dengan memungut uang dari

mereka. Tulisan sarkastik ini menyebabkannya ditangkap dan diasingkan ke

Belanda.

Narasi historis ini kemudian memberikan ruang kepada Ben Anderson1

untuk menghasilkan karya yang berjudul Imagined Communities: Reflections on

the Origin and Spread of Nationalism. Ben memulai tesisnya dengan pertanyaan

mengapa di Hindia-Belanda hadir keterikatan di sebuah komunitas, terdiri dari

orang yang tidak saling mengenal, berbeda suku dan dan agama, namun

menyatakan dirinya sebuah bangsa? Kemudian ia menemukan satu kata yaitu

“Nasionalisme” yang telah mengikat mereka sebagai sebuah bangsa. Selanjutnya,

salah satu faktor penting dalam menyemaikan “kesadaran nasional” sebagai

komunitas sebuah bangsa ialah bahasa dan kapitalisme cetak .

Lebih lanjut menurut, produk cetak seperti surat kabar dan novel di awal

abad ke 19 telah memungkinkan kesadaran dominan masyarakat. Pada konteks

1 Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of

Nationalism. New York: Verso, 1983.

2

Indonesia, beberapa karya cetak salah satunya tulisan “Als Ik Eens Nederlander

Was” (Kalau saya seorang Belanda) juga memberikan kesadaran Nasional.

Menurut Ben, ketika membaca dan memahami tulisan ini, secara simultan telah

menghasilkan pola pikir dan kesadaran masyarakat tentang dirinya dan orang lain.

Rasa senasib akibat penjajahan yang sama, kemudian menciptakan komunitas

yang terbayang dan menghasilkan embrio Nation-State yang menyatakan

kecintaan dan pengorbanan sebagai sebuah bangsa yang disebut sebagai Bangsa

Indonesia. Pendekatan yang dilakukan oleh Ben2 sejatinya menawarkan lokus

berbeda dengan konteks wilayah Indonesia lainnya, termasuk Papua. Sepertinya

di tahun 1999 Ben mulai menyadarinya bahwa untuk mengukur Nasionalisme

melalui kerangka “proyek bersama” untuk Papua telah selesai3.

Sejenak bila ditelisik lebih mendalam, saya menemukan indikator-

indikator yang menegaskan historis perbedaannya. Pertama, proses integrasi yang

terlambat dari Papua menjadi Bangsa Indonesia berlangsung di Tahun 1969,

tentunya telah menjauhkan diri dari bayangan sebuah Bangsa yang merdeka di

Tahun 1945. Kedua, merujuk kepada kapitalisme cetak sebagai pendekatan yang

ditawarkan oleh Ben Anderson, telah ada proses kapitalisme cetak di Nederlands

Nieuw Guinea (Papua) saat itu. Namun, beberapa surat kabar seperti De Tifa dan

Triton lebih menekanan narasi kepapuan yang dalam penelitian Bernarda

2 Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of

Nationalism. New York: Verso, 1983. 3 Benedict RO'G Anderson. "Indonesian nationalism today and in the future." . Jakarta:

Tempo, 1999.

3

Meteray4 menyebutkan bahwa salah satunya terbentuk identitas kepapuan berasal

dari kontak budaya dengan kolonialisme.

Ketiga, tidak semua orang di Papua saat itu dapat mengakses surat kabar,

mungkin kita hanya menemukan elite-elite lokal Papua yang dapat mengakses.

Namun sebagian masyarakat lokal belum dapat mengakses surat kabar.

Sebagaimana juga, hanya sebagian dari mereka di sekolah peradaban yang telah

mengakses pendidikan. Maka disangsikan, meraka dapat membaca surat kabar

produk koloni lainnya seperti yang dikembangkan melalui pemikiran5.

Oleh karenanya, bagaimana dengan Nasionalisme Papua? Penelitian ini

menemukan bahwa Nasionalisme dalam konteks Papua berawal dari sebuah

bentuk entitas sakral, yang dalam penelitian Hutubessy6 disebut sebagai

Sakralitas-Nasionalisme Papua. Untuk memahami lebih mendalam konsep

Nasionalisme ini, akan ditampilkan ketiga fase historis perjumpaan dan

pergerakannnya. Sebelum membahas fase dalam tulisan ini, kita perlu untuk

memilah konteks Papua yang bersifat administratif dan non administratif,

sehingga kita tidak terjebak dalam menelisik dan memahami antara pendekatan

secara politis dan apolitis.

2.1. Fase Hibrid Sakralitas-Nasionalisme Papua

2.1.1 Cargo Cult ; Sebuah Basis Sakral dan Dinamikanya

4 Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2012.

5 Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of

Nationalism. New York: Verso, 1983.

6 Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua. Yogyakarta:

Library Universitas Gadjah Mada, 2016.

4

Fase mempertemukan narasi kepercayaan lokal dan narasi kolonial

(Kekristenan). Keduanya saling bernegosiasi antar identitasnya. Menurut Enos

Rumansara, secara antropologi berbagai suku di Papua memiliki beragam

kepercayaan lokal, terintegrasi dalam kosmologinya masing-masing7. Setiap

kepercayaan memiliki konsep dan panggilannya yang berbeda-beda kepada yang

transenden. Misalnya orang Moy di Sorong menyebut dengan sebutan Fun Nah,

orang di Teluk Wondama menyebut dengan sebutan Syen Allah, orang Asmat

menyebut dengan sebutan Alawi, orang Malind Anim menyebut dengan sebutan

Dema, dan orang Biak menyebutnya Manseren Nanggi8. Beberapan penyebutan

kepada yang transenden memiliki hubungan dengan kepercayaan Cargo Cult /

kargoisme yang berkembang kuat di wilayah Melanesia. Mereka memercayai

bahwa yang transenden akan datang dan membawa mereka dari dunia profan

kepada dunia ideal yang memberikan kehidupan yang kekal9.

Bagi masyarakat Biak, Mansren Nanggi merupakan sosok yang

memberikan kehidupan yang Korer (damai)10

.:

Koreri is a word in the Biak language meaning 'We change it' (literally

Ko, We [incl.], rer, change, /, it). Rer means to change skins, and Biak

people liken the Koreri process to a snake or lobster changing its skin.

Two closely related meanings distinguished here are given further

amplification in the two chapters which follow, in the context of mythical

and historical events. In its most well-known meaning among outsiders,

Koreri is renewal made possible by a millenarian myth, the myth of

Manseren, which promises a metamorphosis where the visible and the

invisible, mortals and immortals, endings and beginnings, life and death

are joined together in a terrestrial paradise. From time to time the

pressure of dissonant events gives rise to movements which herald such a

metamorphosis. Characteristically these movements find public expression

7 Enos Rumansara, interview by Fred Keith Hutubessy. Cerita Manarmakeri (Agustus 8,

2015). 8 Agapitus Ezebio Dumatubun, Perspektif Budaya Papua. Jayapura: BPNB Papua, 2012.

9 J.G Sterlan dan J.A Godschalk, Kargoisme di Melanesia. Jayapura: Pusat Studi Irian

Jaya, 1989. 10

Markus Wonggor Kaisiepo dan Nonie Sharp, The Morning Star in Papua Barat. North

carlton: Arena Publications, 1994.

5

in dramatic actions which symbolise the ending of the existing order:

people stop working, gardens and livestock are destroyed, men and

women are gripped by trance and 'possession'.

Koreri memberikan janji pembaharuan yang dimungkinkan oleh mitos

millenarian. Mitos Mansren menjanjikan metamorfosis kepada yang tampak dan

yang tak terlihat, antara manusia dan yang transenden, antara manusia dan

kehidupan abadi, antara akhir dan awal, antara kehidupan dan kematian yang

berintegrasi bersama dalam dunia idealnya. Dari masa ke masa, tekanan disonansi

mengakibatkan gerakan-gerakan massa semakin massif11

.

Karakteristik gerakan-gerakan tampil sebagai ekspresi publik melalui aksi

dramatis yang melambangkan akhir dari sebuah tatanan yang telah ada (Nonie

Sharp, Markus Wonggor Kaisiepo 1994). Kondisi ini sangat jauh dari dunia sakral

yang mereka percaya dan harapkan. Sakralitas Biak terintegrasi dalam narasi

metafisik transenden yang terimplementasi dalam narasi mitos Manarmakeri (J.G

Sterlan dan J.A Godschalk 1989). Bagi orang Biak, sosok ini merupakan

pahlawan yang akan datang dan menyelamatkan mereka dari dunia orang mati,

sehingga menurut Kamma12

, banyak unsur dari cerita rakyat orang Biak selalu

dikaitkan dengan mitos ini.

Cerita Manarmakeri berawal dari Yawi Nushado, seorang yang mengidap

penyakit kudis. Sehari-harinya, orang di kampung Sopen, Biak Barat

memanggilnya Manarmakeri ; Man (manusia), Armakaer, (kudis), dan i berarti

(laki-laki), yang berarti seorang laki-laki dengan penyakit kudis. Menurut

11

Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua. Yogyakarta:

Library Universitas Gadjah Mada, 2016. 12

F.C Kamma, Messianic Movements in The Biak-Numfor Area. The Hague, Martinus

Nijhoff, 1972.

6

Rumansara13

, hingga kini orang memanggilnya dengan beberapa nama seperti

Kayan Byak (kekayaan Biak), Kayan Sanau (kekayaan Kudis), Mansren Koreri

(Tuhan Koreri), Mansren Manggundi (Tuhan Sendiri), dan Mansar Manarmakeri

(Tuan atau yang dituakan). Suatu waktu ketika ia sedang berkebun, seekor babi

memasuki pekarangan dan menghancurkan kebunnya. Kemudian, ia mengambil

Makbak (tombak) dan melemparkannya tepat mengenai babi itu. Manarmaker

berlari mengejar babi dengan Makbak (tombak) yang tertancap ditubuhnya sampai

ke dalam sebuah gua.

Tiba-tiba suara yang tidak berwujud menegurnya. Bersamaan dengan itu,

tampaklah pengelihatan kepadanya tentang saudara dan kerabatnya yang telah

lama meninggal. Dalam pengelihatan itu, mereka hidup bahagia. Peristiwa ini

menjadi tanda baginya untuk mendapatkan kehidupan yang kekal. Seketika ia

berusaha untuk bersama-sama dalam pengelihatan itu. Namun, ia tidak dapat ke

sana karena masih berada di Sasor (dunia nyata). Setelah kejadian itu, ia terus

memikirkan cara untuk memperoleh kehidupan bersama dengan keluarganya.

Suatu ketika, Korano Sopen mengadakan sayembara dengan mengumpulkan

seluruh pemuda. Ia memerintahkan mereka untuk menangkap putri Swandibori

yang tinggal bersama seekor Maswar (kasuari) di hutan bakau.

Korano menjanjikan bahwa siapa yang berhasil menangkap Swandibori,

akan dinikahkan dengan adiknya. Sayembara itu pun dimenangkan oleh

Manarmakeri. Sementara itu, Korano mengingkari janjinya. Sebagai gantinya, ia

memberikan seekor babi. Manarmakeri ditolak oleh karena kudis yang diderita.

13

Enos Rumansara, interview by Fred Keith Hutubessy. Cerita Manarmakeri (Agustus 8,

2015).

7

Saudara-saudaranya datang mengambil babi itu, memotongnya dan mengolahnya

untuk dimakan. Mereka memakannya, namun tidak menyisahkan sepotong olahan

daging pun kepada Manarmakeri. Hal ini membuatnya marah dan pergi dari

Sopen. Ia berjalan melalui Maudori, Samberi, dan selanjutnya beristirahat di

Mokmer. Di sana, ia bertemu dengan Sawakurima Padawakan Rumbiak dan

tinggal bersamanya untuk sementara waktu. Sebelum pergi, Rumbiak memberinya

sebuah kelapa tua dan Wendu sebagai bekal. Ia kemudian melanjutkan perjalanan

ke Meokbundi di kepulauan Padaido. Sesampainya di sana, ia menanam kelapa

itu. Ajaibnya, seketika buah itu tumbuh menjadi pohon kelapa. Kemudian, ia

mengelolanya hasil dari pohon itu menjadi Saguer (minuman lokal), dan

menikmatinya sepanjang hari.

Suatu waktu ketika ia hendak memeriksa tampungan Saguer miliknya,

tampak tempayan penampung telah kosong. Ia mencurigai bahwa ada orang yang

datang dan mencurinya. Untuk memastikannya, Manarmakeri memutuskan untuk

tinggal di atas pohon dan menjaga tampungannya itu. Menjelang pagi, ia melihat

sesosok makhluk yang mecoba mengambil Saguer miliknya. Ternyata, sosok

tersebut berasal dari bintang pagi atau dalam bahasa Biak disebut

Kummeser/Sampari. Menyaksikan itu, ia memutuskan untuk menangkapnya.

Sosok itu memohon kepada Manarmakeri untuk melepaskannya, dan berjanji

akan memberitahukan rahasia Koreri Syaben (kekekalan), seperti peristiwa yang

disaksikan sebelumnya. Sosok ini kemudian memberitahukan kepadanya bahwa ia

harus bertemu dengan seorang perempuan cantik di Meokbundi bernama Insoraki.

Namun sebelumnya, ia harus mencari buah Mares (buah pohon bintanggur) dan

8

melemparkannya melalui air. Buah itu harus tepat mengenai payudara Insoraki

saat mandi di kali.

Manarmakeri melakukan semua yang diperintahkan oleh Kummeser /

Sampari. Sejak peristiwa itu, Insoraki mengandung dan melahirkan seorang anak

laki-laki yang diberi nama Manarbew (Pembawa damai). Kejadian yang dialami

oleh Insoraki membuat kehebohan bagi masyarakat di kampungnya, lebih khusus

keluarganya. Mereka bertanya-tanya, siapa ayah dari anak tersebut?. Untuk

menemukannya ayah dari anak itu, maka diadakan ritual Wor yang wajib diikuti

oleh seluruh laki-laki di Meokbundi. Manarmakeri turut mengambil bagian di

dalamnya. Ketika sampai gilirannya untuk melakukan ritual itu, tiba-tiba

berlarilah Manarbeuw dan memeluknya serta berkata ; „ Yae Isoiwu „ yang berarti

“ Ini ayahku”. Semua orangpun tercengang menyaksikan hal ini. Seketika mereka

merasa jijik dengan peristiwa itu terlebih melihat kondisi tubuh Manarmakeri.

Keluarga Insoraki memutuskan pergi meninggalkan pulau itu, dan hanya

menyisakan Manarmakeri, Insoraki, Manarbeuw dan adik Insoraki. Sepeninggal

mereka Manarmakeri menyiapkan seluruh keperluan mereka termasuk makanan.

Ia juga melakukan beberapa mujizat.

Pada suatu kesempatan, Sampari memberikan petunjuk kepadanya untuk

membuat sebuah api besar. Samoari memerintahkannya untuk masuk ke dalam

api itu. Aneh bin ajaib, seketika kulitnya yang dulu terbakar habis, berubah

menjadi benda-benda bernilai. Manarmakeri berubah menjadi seorang laki-laki

yang tampan. Setelah peristiwa itu, ia dipanggil menjadi Manseren Manggundi

atau “Tuhan sendiri”.

9

Kemudian, Manarmakeri membuat perahu besar dan memboyong mereka

semua untuk berlayar sambil mengejar keluarga istrinya yang telah pergi. Ia

mendapatkan mereka. Ia menceritakan semua hal yang telah terjadi kepadanya

dan menawarkan untuk memeroleh hidup kekal. Akan tetapi, mereka tidak mau

mendengarkannya. Akibat tidak mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah

diberitahukannya, maka keluarga istrinya kehilangan kesempatan untuk

mendapatkan Koreri (Kehidupan Kekal). Ia beserta keluarganya melanjutkan

perjalanannya menuju pantai utara. Dalam pelayarannya, ia menciptakan beberapa

pulau seperti pulau Numfor, empat rumah klen dan keret, serta penghuninya.

Di dalam perjalanannya, ia bertemu dengan sebagian orang dan

menceritakan kisah itu. Mereka juga tidak percaya bahwa ia dapat melakukan

mujizat, salah satunya membangkitkan orang mati tidak. Sebagai akibatnya,

orang-orang yang tidak memercayainya harus mati dan mengusahakan sesuatu

dengan bekerja keras guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Manggundi, kemudian

berangkat ke arah barat dan berjanji untuk kembali setelah keturunan yang ke

delapan. Setelah kedatangannya kembali, ia akan memberikan suasana dan

kehidupan yang Koreri (damai).

Kekuatan yang terkandung dalam mitos ini, menyebabkan lahirlah

sejumlah gerakan penantian. Mereka percaya dan menantikan janji-Nya, untuk

datang dan menyelamatkan mereka dari penderitaan saat itu. Tulisan Sterlan dan

Godschalk14

yang menelisik beberapa catatan dari Kamma15

menjelaskan, terdapat

14

J.G Sterlan dan J.A Godschalk. Kargoisme di Melanesia. Jayapura: Pusat Studi Irian

Jaya, 1989. 15

F.C. Kamma, Messianic Movements in The Biak-Numfor Area. The Hague, Martinus

Nijhoff, 1972.

10

29 gerakan Koreri. Pada tabel 1, tampak beberapa gerakan yang tercatat telah

berkembang dan menyebar di beberapa wilayah.

Tabel 1. Gerakan-gerakan Koreri

Tahun Peristiwa

1855 Banyaknya persembahan yang dibawakan kepan Konoor (Bentara

Manggundi) di Pulau Numfor. Tersiar berita tentang Manggundi yang akan

datang untuk membebaskan mereka dari penjajahan kesultanan Tidore

1860 Dua orang yang berasal dari Numfor yang menyatakan mereka telah ke

surga (terletak di bawah bumi) selama lima hari. Mereka membawa kabar

bahwa orang-orang yang telah mari akan hidup kembali dan mereka yang

hidup akan tetap hidup seterusnya. Sumber makanan akan selalu tersedia.

Gerakan ini ditentang oleh Carl Willem Ottow, salah satu penginjil mula-

mula. Ia menantang Konoor untuk membawanya ke surga jika mereka ke

sana, atau menyebabkannya meninggal. Dua tahun setelah itu ia

meninggal, dan kemudian membuat mereka semakin percaya dengan

gerakan ini.

1861-

1864

Terdapat wabah cacar dan gempa bumi yang menyebabkan banyak orang

meninggal termasuk tiga zending (pekabar injil). Mereka dihidari oleh

masyarakat karena dianggap sebagai pembawa bencana.

1867 Seorang Konoor, memberitakan kabar bahwa ia dapat membangkitkan

orang mati dan menjanjikan hidup yang kekal kepada para orang tua, dan

memberi makan kepada satu kampong. Hal ini semakin memperkuat

perasaan benci terhadap Zending.

1868 Seorang Konoor, hadir di Doreh, Manokwari dan tinggal di sebuah rumah

yang berdekatan dengan zending yang bernama Jimmy Lodwick van

Hasselt. Ia menyatakan dapat membangkitkan kerabatnya yang meninggal

dan menyembuhkan anak lelaki yang sedang sakit. Menurutnya,

Manggundi telah ada bersama-sama dengannya di rumah itu dan

memberikan satu ruang beralaskan tikar untuknya. Beberapa orang datang

ke rumah itu mempersembahkan banyak barang berharga.

1882 Seorang Konoor yang bernama Nungrauwi, di Pulau Mansinam

menyatakan bahwa empat hari ke depan akan ada orang mati yang akan

bangkit. Orang-orang berkumpul dan setiap malam membawa tifa dan

bernyanyi. Situasi ini menyebabkan van Hasselt marah dan menghentikan

upacara tersebut.

1884 Korano Baibo dari Mokmer menyatakan bahwa ia adalah Manggundi yang

datang untuk membawa Koreri. Ia pindah ke Myokbundi agar pemuda-

pemuda di sana menyembahnya. Berita tentangnya membuat beragam

pandangan terhadapnya. Di Wardo, beberapa orang menantangnya untuk

mengubah tempurung kelapa menjadi piring. Anehnya, Korano Baibo

tidak dapat melakukannya, sehingga ia dianggap bukan Manggundi.

1885 Orang-orang Numfor melaporkan bahwa Korano dapat melakukan

mujizat. Menurutnya, akan datang sebuah kapal uap besar dan dan

membawa semua barang-barang yang diinginkan. Mendengar hal itu,

banyak orang yang dating membawa persembahan kepadanya. Kemudian

11

di tahun 1886 sebuah kapal dagang diserang akibat kekecewaan tentang

janjinya yang tak kunjung datang, dan masyarakat yang menyerang diberi

hukuman.

1900-

1908

Sebuah gerakan hadir di pulau Roon oleh seorang Konoor bernama Marisi,

yang adalah anak angkat dari seorang pekabar injil G.L Bink. Ia

mengatakan waktu kedatangan Manggundi sudah dekat dan kedatangannya

membawa kehidupan kepada semua orang serta tidak lagi ada penderitaan.

Sebagai janjinya, semua orang akan mendapatkan kain katun biru dan akan

memiliki semua mata uang perak. Ia melakukan peniruan kepada

sakramen-sakramen Kristen seperti perjamuan kudus, baptisan sebagai

kultus ajarannnya. Hal ini menyebabkan banyak pekabar injil benci

padanya. Selanjutnya di tahun 1907, dalam jumlah yang besar penduduk

Roon menjadi Kristen disebabkan mimpi Jan Ajamiseba tentang ajaran-

ajaran Alikitab yang berbaur dengan mitologi Roon. Marisi kemudian juga

mencalonkan diri untuk di baptis dan kemudian beberapa waktu kemudian

meninggal akibat penyakit cacar.

1908 Seorang bernama Petrus Kafiar, seorang budak dari Biak yang

disekolahkan di Depok kembali ke kampungnya menjadi guru dan

mengajar tentang Kekristenan. Hal ini membuat semua orang di Biak

percaya bahwa Koreri akan segera datang dengan menghubungkan dirinya

dengan Koreri.

1910 Mangginomi dari kampong Bawe di Numfor menyatakan bahwa

Magggundi tampil kepadanya di sungai Mamberamo dan mengharuskan

orang-orang membawa persembahan kepadanya. Perempuan-perempuan

muda yang tampil pada acara-acara tarian malam untuk penantian kedatang

Manggundi dikatakan sebagai makhluk-makhluk surgawi. Hal ini

menyebabkan ia dihukum kerja keras selama lima tahun di Ternate karena

dianggap mengancam banyak orang.

1938-

1943

Berawal dari seorang perempuan yang bernama Angganitha Manufandu

yang menjadi Kristen di Tahun 1932. Suatu ketika, suami dan anaknya

meninggal, dan ia terkenal suatu penyakit kulit. Namun ia disembuhkan

oleh seseorang yang diduga adalah Manarmakeri dan orang itu

memberitahukan kepadanya bahwa ia adalah pembawa Koreri. Berita

tentang kesembuhannya tersebar dan membawa banyak orang yang sakit

ke Insumbabi, tempat Angganitha. Jumlah mereka semakin banyak. Untuk

menyambut kedatangan Koreri, mereka diharuskan berdoa dan menjaga

diri agar tidak bercela dengan menaati sejumlah peraturan. Ajaran mereka

berlangsung selama dua tahun dan menekankan hidup yang damai.

Kemudian ia ditahan tetapi tidak dipenjarakan. Namun, semua rumah di

pulau itu dibakar habis oleh pemerintah koloni saat itu. Di tahun 1941 ia

datang ke Sowek dan disambut oleh banyak orang. Ia lebih menentang

pemerintah dan pekabar injil dengan mengatakan bahwa mereka merobek

satu halaman dari Alkitab yang menjelaskan bahwa Yesus itu adalah Manggundi dan menggangti nama setempat dengan nama yang terdapat

dalam Alikitab. Akibat dari pengalaman-pengalamannya ia diangkat

menjadi seorang Konoor, meskipun ia awalnya tidak menganggap

demikian. Orang-orang semakin banyak berkumpul pada malam penantian

kadang sekitar 6000 orang. Gerakan ini kemudian semakin besar menyebar

12

ke Yapen dan Numfor.

Pada dasarnya, Sterlan dan Godschalk16

menyatakan bahwa gerakan

Koreri Syaben berkaitan erat dengan mitologi yang mendasar di dalamnya.

Mereka bergerak dalam usaha memerjuangkan kesenjangan yang terjadi dalam

dunia sehari-hari untuk meraih dunia ideal. Saya menganalisa bahwa terdapat

narasi hegemoni dari pekabar-pekabar injil di masa perkembangan gerekan-

gerakan saat itu. Secara nyata, mereka memiliki kepentingan untuk memperluas

pekerjaan Zending (pekabar Injil). Oleh karena itu, mereka menolak segala bentuk

kepercayaan lokal dan gerakannya. Namun, dengan menolak kepercayaan ini,

zending-zending di masa awal pelayanannya telah menunjukan

kontraproduktifnya. Bagi saya, pekerjaan dan pelayanan para zending tidak

sejalan antara satu dengan baik. Namun, situasi berbeda akan ditemukan bila kita

menelisik karya dan kerja Izaak Samuel Kijne yang juga adalah produk dari

Zending.

2.1.2. Perjumpaan Hibrid Antara Narasi sakral dan Kekristenan

Sebagian orang Kristen di Papua cukup mengenal Izaak Samuel Kijne

sebagai Nabi orang Papua melalui karya dan kerjanya dalam bidang pendidikan

dan pembentukan identitas kepapuaan17

. Catatan historis Onim dan Wanma18

,

menceritakan pada tahun 1923 di Mansinam tiba beberapa pendeta utusan yakni

16

J.G Sterlan dan J.A Godschalk. Kargoisme di Melanesia. Jayapura: Pusat Studi Irian

Jaya, 1989. 17

Lihat Bilveer Singh, Papua Geopolitics and The quest for Nationhood. New Jersey and

London: Transaction Publisher, 2008 ; Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua.

Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2012. 18

Lihat J.F. Onim, 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua. Jayapura:

GMT, 2004 ; Hanz.Wanma, Cahaya Yang Pudar di Bukit Peradaban Tanah Nieuw Guinea.

Jayapura: Andy Wijaya, 2011 ; Dominee Izaak Samuel Kijne ; Mengenang Hidup dan Karyanya

Untuk Tanah dan Bangsa Papua (Mansinam 23 Juni 1923 - Miei, Medio September 1958.

Yogyakarta: JW Press, 2016.

13

Izaak Samuel Kijne, F.Slump dan J. Eigendaal. Mereka diberikan tugas masing-

masing F. Slump dan J.Eigendaal menempati Resort Fak-fak / Resort Berau,

sedangkan Izaak Samuel Kijne ditugaskan menjadi kepala sekolah guru di

Mansinam. Kesan Kijne ketika menginjakan kaki di Mansinam19

;

Alangkah senangnya kehidupan di Pulau Mansinam. Anak-anak dari seluruh

pelosok bekerja di sekolah dan di halaman. Terdengar nyanyian-nyanyian baru.

Timbul harapan untuk bekerja bagi perkembangan daerahnya sebagaimana yang

dilakukan oleh banyak guru Ambon dan Sangihe. Mereka mau bekerja dan bisa

bekerja. Mereka bisa bernyanyi dan bermain musik. Mereka belajar bermain.

Alangkah indahnya Pulau ini untuk mengadakan penemuan-penemuan baru.

Namun tidak dapat dipungkiri, ia mengalami beberapa masalah berarti saat masa

kepemimpinannya. Misalnya, kurangnya sarana dan pra sarana, seperti asrama

yang kurang memadai untuk ditempati. Asrama ini terbuat dari kayu yang telah

lapuk, juga sulitnya untuk mendapatkan air, akibat sumur yang teramat dalam dan

sering kering, serta tanah yang kurang subur.

Kebutuhan yang mendesak, menyebabkan murid-murid harus menyebrang

dari Teluk Doreri ke Manokwari untuk menjual sagu dan buah kelapa. Seringkali

ketika murid-murid pergi untuk berjualan dan berbelanja di Manokwari, mereka

jarang untuk pulang ke Mansinam. Mereka lebih memilih Pardidu (berpergian

tanpa arah dan tujuan yang jelas), sehingga menyebabkan kurangnya waktu

belajar bagi mereka. Biaya yang mahal untuk mendatangkan barang kebutuhan

dari toko-toko di Manokwari berdampak kepada pendidikan. Belum lagi dominasi

anak-anak Amber (pendatang) terhadap anak-anak di Mansinam yang tinggal dan

bersekolah di sana. Dominasi ini juga merupakan salah satu dasar pembentukan

19

J.F. Onim, 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua. Jayapura: GMT,

2004.

14

konstruksi kelas yang terjadi secara dinamis. Dengan alasan-alasan inilah, ia

mengusulkan kepada badan Zendeling untuk mengatur ulang sistem pendidikan.

D.C. Bout dan D.B. Sttarenburg menyarankannya untuk memindahkan

sekolah pendidikan guru dari Mansinam. Kijne diberikan kesempatan oleh mereka

untuk berkunjung ke beberapa lokasi selama satu bulan di wilayah Wondama. Ia

mengunjung satu kampung ke kampung yang lain untuk mencari tempat terbaik

untuk mendirikan sekolah dan Asrama. Ia memilih kampung Miei sebagai lokasi

untuk ditempati nantinya, Menurutnya, Miei memiliki letak yang indah dan

bersada pada bukit-bukit di kaki gunung Wondiwoi. Tanahnya baik, airnya jernih

mengalir dari sungai yang tidak pernah kering. Di sini tempat untuk suatu

pekerjaan yang berguna, suatu kehidupan yang menyatu secara alamiah dengan

kehidupan di kampung-kampung. Dengan memindahkan sekolah guru dari

Mansinam ke Miei, anak-anak diusahakan untuk dididik hidup secara mandiri,

sehingga mereka dapat berprestasi20

.

Tepatnya 25 Oktober 1925, Izaak Samuel Kijne, Johan Ariks, dan C.M.

Gossal serta 35 orang murid CVO (Cursus Volkschool Onderwijzer) dari

Mansinam, menumpang kapal KPM Belanda (Kapal Pelayaran Nasional Belanda)

ke Miei. Masyarakat menyambut mereka dengan meriah. Mereka menyiapkan

tandu dari bambu dan berencana untuk membopong Kijne. Namun, ia

menolaknya. Ia memilih untuk berjalan bersama dengan rombongan dan

masyarakat hingga sampai ke asrama. Gedung asrama dipersiapkan oleh Bout dan

Starrenburg, dan dirancang khusus oleh seorang Sangihe21

bernama Bastian Lano.

20

Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua. Yogyakarta:

Library Universitas Gadjah Mada, 2016. 21

Sekarang bernama Sangihe Talaud terletak di provinsi Sulawesi Utara.

15

Di sekolah itu, Kijne bekerja sebagai Direktur sekaligus guru. Sekolah itu

disebutnya sebagai sekolah peradaban.

Menariknya sekolah ini berbasis asrama. Kijne ingin membentuk

kepribadian anak-anak yang awalnya bersifat individu menjadi lebih kolektif.

Saya tidak menyangsikan bahwa Kijne turut memelopori kesadaran bersama

menjadi Papua. Kesadaran yang dibentuknya menciptakan identitas baru yang

mempersatukan beragam suku dan bahasa, bahkan agama di dalam satu Asrama.

Kehidupan di asrama sejak awal diorganisir agar dapat terus berlangsung secara

berkesinambungan.

Selain itu mereka diajarkan untuk melakukan pembagian tugas. Beberapa

yang di bagi adalah sebagai berikut22

:

a. Jadwal pelajaran disusun sedemikian rupa sehingga ada pekerjaan di

kebun dan pekarangan pada pagi hari yang dilaksanakan beberapa

hari. Karena itu, beberapa mata pelajaran tidak diberikan pada siang

hari, khususnya Kursus Normaal (Normaal School). Peserta Kursus

Normaal mengadakan praktik lapangan pada Sekolah Rakyat di

Miei.

b. Mata pelajaran untuk nyanyian tidak mengalami perubahan, kecuali bahan

pengajaran dari tahun 1930 yang disusun oleh Tuan Geurts yakni

Inspektur Pengajaran pada tahun 1929 untuk Kursus Normaal, sehingga

dapat mengarah kepada soal-soal ujian yang tidak sesuai dengan keadaan

pendidikan yang sesungguhnya. Soal-soal ujian disusun sendiri oleh

pengajar.

c. Ilmu Bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan dan binatang serta ilmu kesehatan

(hiegene) mendapat perhatian utama, yaitu mengenal lingkungan secara

22

J.F. Onim, 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua. Jayapura: GMT,

2004.

16

praktis. Kemudian ilmu tumbuh-tumbuhan disatukan dengan pelajaran

pertanian.

d. Pelajaran agama secara langusng dipraktikan dari contoh yang di teluk

Wondama dan dengan mendengar apa yang ditemukan oleh murid-murid

itu sendiri. Kijne mengembangkan pola kehidupan religi melalui sikap

Yesus sebagai dasarnya untuk mendidik.

Pembagian tugas gedung-gedung, halaman, kebun dan yang lainnya, diorganisir

oleh beberapa dinas seperti dinas perumahan yang bertugas untuk memelihara dan

membersihkan semua gedung sepanjang minggu, pada jam yang ditetapkan.

Untuk mengepalai setiap dinas, ada satu atau dua orang mandor. Mereka terbagi

dalam 9 kelompok. Murid-murid senior dipilih menjadi pemimpin. Tiap tahun

setelah naik kelas, diadakan pemilihan. Berbagai dinas berkerja bergilir dalam

kelompok. Semuanya mendapat giliran bekerja dalam dinas-dinas dan juga

terlibat dalam pekerjaan masing-masing23

.

Dinas kesehatan bertugas untuk membersihkan kamar mandi dan jamban

(WC), saluran pembuangan dan seluruh kompleks, memungut sampah dapur.

mengosongkan bak-bak sampah serta membuangnya ke muara sungai Miei. Dinas

halaman bertugas memelihara halaman, rumput di bukit-bukit dan taman-taman

bunga adalah tugas dinas ini. Di halaman terdapat banyak pohon kapok yang

berfungsi untuk kasur tidur dan sebagainya. Dinas jalan setapak bertugas

memelihara jalan-jalan setapak dan jembatan- jembatan. Di bukit-bukit, jalan-

jalan setapak ini harus dilindungi dari banjir. Pinggiran jalan harus selalu rapi.

Pos Zending mempunyai satu kebun kelapa yang letaknya di antara

gunung dengan kampung Miei. Hasilnya tidak seberapa dan asrama adalah

23

J.F. Onim, 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua. Jayapura: GMT,

2004.

17

pembeli utama. Seluruh kebun kelapa kemudian diambil alih oleh asrama dan

selanjutnya mengusahakannya oleh dinas kebun kelapa. Kebun kelapa ini

kelihatan bersih dan selalu menyediakan buah-buah kelapa untuk dapur asrama.

Pada awalnya buah kelapa diolah juga menjadi kopra. Tetapi karena harganya

jatuh, maka usaha itu dihentikan. Sebuah lapangan olah raga dibuat di atas

sebidang tanah hutan rawa yang sudah dibeli. Selanjutnya, mereka memiliki

lapangan luas, yang secara teratur dijaga oleh dinas lapangan olah raga. Di sini

tidak berlaku kebiasaan "biarkan semua bertumbuh dulu baru secara bersama-

sama membabatnya". Untuk menjaga supaya rumputnya tetap pendek, juga alang-

alangnya, tidak digunakan mesin babat, melainkan dengan babat-babat dari

belahan-belahan bambu. Organisasi ini memberikan kesempatan untuk mengenal

sernua pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari yang mestinya dijaga24

.

Sagu dan ikan merupakan makanan pokok dari penduduk Wondama dan

banyak terdapat orang yang menjual dengan murah buah-buahan, sayur-mayur

serta umbi-umbian. Pengawas pertanian (opzichter) kemudian melihat bahwa

asrama kami mempunyai suatu potensi ekonomis bagi Wondama, kendatipun

tidak memasukkan lebih banyak uang bagi kas-kas orang-orang papua. Tetapi

sekolah ini menjadikan Wondama lebih populer. Hal ini sangat menyenangkan

karena orang-orang Wondama mendesak untuk membukanya kembali bukan

hanya karena penjualan sagu dan ikan, melainkan karena orang teluk hidup

bersama-sama dengan sekolah dan sekolah ini hidup bersama-sama dengan

mereka. Anak-anak mempunyai kebun-kebun sendiri di daerah perbukitan di

belakang asrama. Mereka menjual ketela pohon (singkong), ubi jalar, keladi,

24

Fred Keith Hutubessy, Memimpin Diri Sendiri: Suatu Studi terhadap Pemaknaan

Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne, (Skripsi). Salatiga: Repository UKSW, 2014.

18

jagung, pisang dan nenas kepada asrama. Juga ada kebun percontohan (proeftuin)

sekolah yang menghasilkan sayur-mayur bagi asrama25

.

Menu makanan sehari-hari terdiri dari : sarapan pagi: sagu lempeng

dengan teh; makan siang : papeda dengan sayur dan ikan; makan malam : tiga kali

seminggu, nasi dengan sayur, ikan dan kacang hijau. Selain itu ditambah pula

dengan jenis makanan lainnya yaitu : ubi jalar (petatas), singkong, pisang, jenis

umbi-umbian lain, jagung dan sebagainya. Makanan yang tersedia cukup

bervariasi. Anak-anak bertumbuh tegap dan kekar, berbeda dengan orang-orang

dewasa di kampung-kampung. Hal ini nampak di dalam pertandingan sepak bola

pada hari-hari raya tertentu. Makanan yang baik juga berfungsi membentuk

inteligensia dan watak. Sagu lempeng dibakar oleh ibu-ibu dari Wasior beberapa

hari dalam seminggu.

Pekerjaan masak-memasak ditugaskan kepada murid-murid dari Sekolah

Sambungan. Regu masak terdiri dari lima orang setiap dua minggu. Inilah

pekerjaan terberat yang membuat mereka harus bangun pagi-pagi dan

mengundang banyak kritik dari teman-teman mereka. Selain ikan, kadang kala

ada juga daging dari sapi potong yang diperoleh dari kawanan lembu Miei, juga

hasil tangkapan dari perburuan anak-anak. Dekat kebun-kebun, mereka pasang

jerat dan sejenis pintu jebakan pada pagar kebun yang di atasnya ditimbun batu-

batu besar yang dapat dengan mudah menimpa babi yang terkurung dalam jerat

itu.

25

Fred Keith Hutubessy,Memimpin Diri Sendiri: Suatu Studi terhadap Pemaknaan

Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne, (Skripsi). Salatiga: Repository UKSW, 2014.

19

Anak-anak di asrama menerima uang sebagai jaminan kebutuhan dirinya

sendiri, seperti pakaian, sabun dan lain-lain. Untuk itu mereka harus mengetahui

tata buku. Mereka tidak menerima uang setiap bulan, tetapi mereka boleh

mengambilnya sesuai kebutuhan masing-masing. Apalagi mereka juga menerima

uang dari penjualan hasil kebunnya kepada asrama. Harganya agak murah

dibandingkan dengan harga yang dibayarkan kepada orang-orang Wondama.

Semua pemasukan tercatat pada kolom rekening koran mereka.

Setiap anak memiliki rekening koran sendiri. Bila ingin mengambil uang,

maka dicatat pada kolom debit. Dengan begitu, mereka dapat melihat praktik

sederhana tentang kredit dan debet, juga apa artinya saldo dan belajar menabung.

Hal ini adalah sarana untuk melatih mereka mengenai pemakaian finansialnya,

penghematan, pertanggung-jawaban dan kerapian dari pakaian mereka. Beberapa

orang dari mereka yang waktu tamat menerima sejumlah uang untuk harta mas

kawinnya atau perlengkapan rumah tangga. Ada pula yang menghabiskan

uangnya. Isi tanaman kebun-kebun mereka ditaksir harganya dan uangnya

dikirimkan kepada mereka26

.

Dinas penerangan dan pertanian pada tahun 1935 menempatkan seorang

pengawas pertanian yang dengan sendirinya dapat menjalankan pendidikan

pertanian. Di sekolah, juga di Sekolah Sambungan, ia memberi pelajaran teoritis

dan semua anak mempraktikkannya empat jam seminggu di kebun percontohan.

Dalam kebun itu dicoba untuk menanam padi dan berbagai jenis sayur. Cara

menanam yang baik dan juga memilih bibit dipraktikkan. Pupuk hijau

dimanfaatkan juga. Orang-orang Papua mengambil banyak pengalaman dari

26

Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua. Yogyakarta:

Library Universitas Gadjah Mada, 2016.

20

kebun itu secara praktis. Pengawas Pertanian juga menjadi juru penerang

pertanian untuk penduduk. Dengan sendirinya sekolah ini mengabdi secara nyata

kepada masyarakat27

.

Nyanyian merupakan hal yang berkembang waktu itu. Kijne membentuk

sebuah paduan suara yang mempunyai makna tersendiri. Nyanyian-nyanyian yang

mereka pelajari tersebar luas di Nieuw Guinea. Selanjutnya ada satu orkes

seruling bambu dari anak-anak. Seruling bambu diambil dari hutan dan pada saat

mereka tamat, mereka membawa pulang berikat-ikat suling bambu, karena ada

beberapa daerah yang tidak mempunyai hutan bambu. Ada sebuah kelompok

musik fanfare yang mempunyai 16 alat musik yang dapat ditiup dengan baik.

Tetapi kelompok ini kurang berprestasi, karena anak-anak belum berlatih dengan

baik untuk menggunakan alat-alat tersebut. Namun, mereka merayakan hari-hari

khusus dan meniup suling bambu serta memainkan alat-alat kelompok musik ini.

Mereka juga melakukan senam yang mengikuti cara latihan sederhana

yang terkenal dari Swedia. Selain itu, mereka diajarkan bermain kasti. Ketika tiba

kapal KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), yang datang setiap dua bulan

sekali untuk mengantar barang kebutuhan ke Miei dari Makassar, mereka turut

serta membantu untuk membuka peti-peti, memikul karung beras. Hal ini

sekaligus untuk mengukur kekuatan tenaga mereka. Mereka turut menjaga agar

kampung Miei terhindar dari kebanjiran dan mengupayakan agar lapangan bola

tidak tergenang, oleh karena sungai di Miei yang sering banjir. Sabtu malam

menjadi malam luar biasa. Tidak ada pekerjaan rumah, mereka semua ikut

27

J.F. Onim, 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua. Jayapura: GMT,

2004.

21

bermain. Secara bergilir ada kelompok bermain di rumah. Ada yang menonton,

dan juga berkonsultasi pada malam hari di kantor Kijne, khusus bagi mereka yang

dipanggil28

.

Mereka jarang berlibur ke rumah orang tua, disebabkan belum

terhubungnya kapal di Nieuw Guinea yang dapat memudahkan mereka kembali.

Mereka biasanya mengisi waktu libur dengan mengunjungi tempat-tempat

keramat dari mitologi Wondama, ke air terjun atau sumber air panas, ke kebun-

kebun yang baru dibuka milik rakyat, ke pentahbisan gedung-gedung gereja baru

dan lain sebagainya. Anak-anak di asrama dibebaskan untuk berkarya. Mereka

mengenal dan berinteraksi dengan penduduk Miei, dan kampung-kampung

lainnya. Mereka juga selalu mencoba banyak hal baru di berbagai bidang,

sehingga mereka tidak terisolir. Setiap hari mereka menyaksikan jerih dan juang

soal-soal di kampung. Mereka berpartisipasi sebagai peniup seruling di jemaat

Miei dan turut mengambil bagian dalam ibadah.

Seperti yang ditelisik penelitian sebelumnya oleh Singh dan Meteray29

,

Kijne telah menjembatani ruang interaksi yang kuat untuk membentuk identitas

kolektif yang disebut sebagai titik awal pembentukan Nasionalisme Papua. Pola

asrama juga menawarkan keteraturan yang oleh Hutubessy30

, sejatinya

mereproduksi semangat injil, dan implementasinya melalui pendidikan, untuk

menuju jalan menggapai peradaban. Namun, pendekatan yang mereka Singh,

28

Fred Keith Hutubessy, Memimpin Diri Sendiri: Suatu Studi terhadap Pemaknaan

Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne, (Skripsi). Salatiga: Repository UKSW, 2014. 29

Lihat Bilveer Singh, Papua Geopolitics and The quest for Nationhood. New Jersey and

London: Transaction Publisher, 2008 ; Bernarda Meteray, Nasionalisme Ganda Orang Papua.

Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2012. 30

Fred Keith Hutubessy, Memimpin Diri Sendiri: Suatu Studi terhadap Pemaknaan

Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne, (Skripsi). Salatiga: Repository UKSW, 2014.

22

Meteray, dan Hutubessy31

, melupakan beberapa hal, salah satunya konsep

sakralitas juga secara simultan terbangun dan terkonstruksi dalam sekolah

peradaban oleh Kijne.

Faktanya, Zending (Pekabar Injil) di masa lalu selalu menggunakan cara

represif dalam memahami kehidupan sakralitas di Papua. Namun, cara-cara ini

tidak lagi dilakukan oleh Izaak Samuel Kijne di sekolah peradaban. Kijne

menghibriditaskannya dengan cara mewariskan dan memperkenalkan tradisi-

tradisi lokal melalui perkunjungan situs-situs sakral yang selama ini dianggap

sebagai bentuk kekafiran di masa Zending sebelumnya. Selanjutnya, ia membuka

ruang interaksi sosial kepada mereka untuk berjumpa dengan masyarakat sekitar,

membangun model pembelajaran lokal dari alam sekitar dan bahkan dengan

kemampuan sebagai himnolognya, ia menciptakan nyanyian-nyanyian tentang

alam dan lingkungan sekitar serta dinyanyikan secara bersama32

.

Juga menurut Wanma33

, beberapa saat setelah Kijne tiba dan meresmikan

sekolah di Miei, ia bertemu dengan beberapa orang tua di Miei seperti Matirere

Jakonias Sanggemi, Tuani Bernaard Karubuy, Kokor Kambumi Miei Sayori,

Saweri Ayomi, Abraham Payabai Torey dan Marthinus Sawonggai Ramar. Ia

menyatakan niatnya untuk datang ke sebuah batu yang berbentuk meja di kaki

31

Lihat Bilveer Singh, Papua Geopolitics and The quest for Nationhood. New Jersey and

London: Transaction Publisher, 2008 ; Bernarda Meteray, Nasionalisme Ganda Orang Papua.

Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2012 ; Fred Keith Hutubessy, Memimpin Diri Sendiri: Suatu

Studi terhadap Pemaknaan Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne, (Skripsi). Salatiga: Repository

UKSW, 2014. 32

Lihat, Hanz Wanma, Cahaya Yang Pudar di Bukit Peradaban Tanah Nieuw Guinea.

Jayapura: Andy Wijaya, 2011 ; Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal

Papua. Yogyakarta: Library Universitas Gadjah Mada, 2016 ; Hanz Wanma, Dominee Izaak

Samuel Kijne ; Mengenang Hidup dan Karyanya Untuk Tanah dan Bangsa Papua (Mansinam 23

Juni 1923 - Miei, Medio September 1958. Yogyakarta: JW Press, 2016. 33

Hanz Wanma, Cahaya Yang Pudar di Bukit Peradaban Tanah Nieuw Guinea.

Jayapura: Andy Wijaya, 2011.

23

bukit Aitumieri untuk berdoa dan menyerahkan seluruh pekerjaan dan

pelayanannya. Batu ini merupakan benda sakral bagi orang Maniwak yang

dipercaya akan membawa kemenangan sebelum berperang. Di malam itu, Kijne

pergi dan berdoa. Beberapa orang tua seperti Yakonias Sanggemi, Saweri Ayomi,

Bernaard Karubuy, Kokor Kambumi, dan Miei Sayori, mendengar doa Kijne di

batu itu ;

“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, Sekalipun orang

memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin

bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”.

Pada bulan Agustus 1958, sebelum pulang ke Belanda, Kijne meluangkan

waktu untuk mengunjungi Miei. Di sana, ia bertemu dan menyampaikan pesan

untuk merawat batu tersebut kepada keluarga Karubuy. Batu ini kemudian disebut

sebagai “Batu Peradaban Orang Papua”. Pada masanya di Miei, Kijne

menggunakan batu ini sebagai tempat belajar menulis, membaca dan berhitung,

serta digunakan sebagai mimbar untuk melatih dan berlatih bernyanyi. Menurut

Awom34

, alasan Kijne melatih murid-muridnya agar dapat membaca adalah untuk

dapat membaca Alkitab, dan berhitung ialah untuk dapat menghitung banyak hal,

sehingga di kemudian hari, mereka tidak mudah untuk ditipu. Penyebutan “Batu

Peradaban Orang Papua” mendasarkan pemahaman bahwa pendidikan merupakan

aspek yang sangat penting bagi Orang Papua untuk mengenal dunia selain mereka

dan juga memperkuat kolektivitas identitas mereka, serta nilai peradaban yang

dibentuk oleh Kijne. Hal ini telah menghasilkan ruang “Hibriditas” yang saling

bernegosiasi antara kepercayaan lokal yang sakral dan Kekristenan.

34

Pdt. Herman Awom, interview by Fred Keith Hutubessy. Izaak Samuel Kijne dan

Pelayanannya di Papua (Agustus 16, 2012).

24

Sebelumnya pendekatan hibriditas telah dikembangkan oleh Bhaba35

dengan pertama-tama menggunakan term “melampaui” budaya. Baginya, budaya

merupakan proses yang terjadi di “ruang antara” akibat pelenturan dan

berkolaborasi, serta secara simultan berkontestasi, namun tidak sepenuhnya

bereksklusi dan berinklusi secara penuh tetapi mengalami pelenturan. Fanon dan

Said memengaruhi pikirannya. Fanon36

berperspektif bahwa faktor psikologis

memengaruhi bangsa yang dijajah untuk mengembangkan dirinya dengan

melepaskan “hitam” dan memeroleh hasil didikan “putih”, sedangkan Said37

cenderung mengkristalisasikan bahwa wacana dominan selalu menjadi narasi

kolonial.

Namun bagi Bhaba38

, pemikiran mereka telah membuat jarak dan batas

yang kaku antara penjajah dan yang dijajah, serta cenderung menimbulkan

ambivalensi antara satu dengan lainnya. Praktik hibriditas menurutnya

menghasilkan negosiasi identitas yang resisten di “ruang antara” sehingga

berimplementasi pada relasi sosial di masyarakat. Batasan-batasan budaya pun

tampak menjadi lebih terbuka bahkan tidak akan pernah menuju kepada akhir.

Salah satu juga menurut Bhaba39

, berbagai peniruan atau “mimicry” semakin

menegaskan bahwa bangsa terjajah selalu memiliki kemampuan untuk melakukan

perlawanan dan semakin menegaskan pula bahwa negosiasi identitas selalu terjadi

tanpa adanya batasan serta menjadi sebuah strategi dan siasat untuk melawan

penjajah.

35

Homi K Bhaba, The Location of Culture. New York: Routledge Classic, 1994. 36

Frantz Fanon, Black Skin White Masks: The Experiences of a Black Man in a White

World . New York: Grove Press, 1967. 37

Edward Said, Orientalism. New York: Pantheon Books, 1978. 38

Homi K Bhaba, The Location of Culture. New York: Routledge Classic, 1994. 39

Homi K Bhaba, The Location of Culture. New York: Routledge Classic, 1994.

25

Jika memahami pola karya dan kerja yang dilakukan oleh Kijne dari

kacamata Bhaba40

, konsep hibriditas menjadi acuan teoritis dalam membentuk

Nasionalisme Papua di fase ini. Namun, yang dilupakan Bhaba, bagaimana peran

agensi subjektif yang menjadi inisiator persuasif telah memengaruhi dan

menciptakan “ruang antara”. Meskipun dalam batasan-batasan interaksi memiliki

kepentingannya masing-masing, Izaak Samuel Kijne sebagai subjek koloni, secara

persuasif telah mempelopori ruang hibrid melalui tata cara dan pola

pengajarannya di sekolah peradaban. Sakralitas dalam kepercayaan lokal dan

Kekristenan tampak saling bersinggungan dan bernegosiasi dalam “ruang antara”.

Pada akhirnya, “ruang antara” menjadi basis pembentukan Sakralaitas-

Nasionalisme Papua.

2.2. Fase Transisi Sakralitas-Nasionalisme Papua

Karya dan kerja yang dilakukan oleh Izaak Samuel Kijne sebelumnya

telah menghasilkan siswa-siswa yang nantinya menjadi inisiator dari

pembentukan negara secara De Facto di tahun 1961 dan menjadi modal awal

pembentukan fase transisi. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri selain

berjumpa dengan Kijne di sekolah peradaban, mereka juga melanjutkan sekolah

Besteuur (Sekolah Pamong) dan berjumpa dengan J.P.K Van Eechoed yang

menurut Meteray41

juga turut menyemaikan Nasionalisme Papua. Bagaimanapun

juga, konsep Sakralitas dalam kepercayaan lokal yang bernegosiasi dengan

kekristenan telah menjadi basis penyemaian awal. Saya memahami bahwa

40

Homi K Bhaba, The Location of Culture. New York: Routledge Classic, 1994. 41

Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2012.

26

alasannya, terdapat dalam perjumpaan mereka dengan masyarakat Nieuw Guinea

(Papua). Kijne dan Van Eechoed merupakan produk subjektif koloni dan

bersama-sama membangun Nasionalisme melalui Pendidikan. Namun bagi saya,

karakter dan kesadaran rasional mereka terbentuk kuat melalui perjumpaan di

sekolah peradaban dan pendidikan Besteeur (Sekolah Pamong) bentukan mereka.

Permasalahannya di masa Van Eechoed, konstruksi kelas yang sejak awal

telah terbentuk dalam masyarakat justru semakin meningkat. Menurut Trajanus

Boekorsjom42

, konstruksi dalam masyarakat telah membentuk dan menciptakan

tiga kelas yang menempatkan Belanda sebagai bangsa di posisi pertama, posisi

kedua ditempati oleh orang Maluku, dan posisi ketiga di tempati oleh orang

Papua. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perlawanan dari kelas ketiga kepada

kelas kedua. Menariknya,Van Eechoed menentang konstruksi kelas dengan

mengimplementasikan kebijakannya yang dikenal dengan “Nota Van Eechoud”.

Tujuannya untuk mengakomodir kemampuan orang Papua dari dominasi

pendatang di masa itu.

Van Eechoed kemudian membentuk Papoea Vrijwillingers Korps yang

lebih dikenal dengan Batalyon Papua dan Kursus Bestuurschool Spoed, sekolah

pemerintahan sementara untuk menampung mereka yang tidak dapat melanjutkan

sekolah di Miei akibat penutupan Sekolah oleh Jepang di Tahun 1942. Sekolah ini

menghasilkan elit-elit Papua seperti Nicholaas Jouwe, Markus Kaisiepo, dan

Frans Kaisiepo43

. Di masa itu, Pemerintah Belanda berfokus untuk membangun

42

Leontine E. Visser & Amapon Jos Marey. Bakti Pamong Praja Papua Di Era Transisi

Kekuasaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008. 43

P. J. Droglever, Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.

Yogyakarta: Kanisius, 2010.

27

Papua. Tetapi bagi Van Eechoed, perlunya untuk memerhatikan kebudayaan

orang Papua dalam proses pembangunan, sehingga tidak menghasilkan manusia

Papua yang berpatron kepada Belanda, namun menjadi manusia Papua yang siap

menghadapai perubahan.

Selain berupaya untuk fokus membangun identitas kepapuan, Van

Eechoed mengalami tantangan. Ia memercayakan tugas kepada Soegoro

Atmoprasodjo, seorang Nasionalis Indonesia untuk mengajar dan menjadi direktur

di sekolah itu. Soegoro kemudian menyemaikan Nasionalisme Indonesia kepada

beberapa siswanya dengan membentuk kelompok diskusi dan memperkenalkan

lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ia juga merencanakan sejumlah pemberontakan

melawan Belanda dengan beberapa muridnya dan kemudian ia dipenjara44

.

Bagi saya, polemik antara Soegoro dan Van Eechoed telah menampikan

perang penyemaian Nasionalisme yang berimplikasi praktis kepada salah satu

permasalahan hingga kini yakni ; terkait Nasionalisme antara Indonesia dan

Papua. Meskipun tidak dapat dipungkiri, seiring berjalannya waktu dan dinamika

di masyarakat, terjadi dualisme dalam memahami Nasionalisme antara Indonesia

dan Papua, yang dalam .pendekatan Meteray45

disebut sebagai “Nasionalisme

Ganda orang Papua”.

2.2.1. Transisi Historis Sebagai Basis Penyemaian Sakralitas

Perjalanan historis ini berlanjut hingga di tahun 1961, tepatnya pada bulan

maret, pemerintah Belanda mengadakan sidang parlemen untuk membahas

44

Lihat Suyatno Hadinoto, Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat. Jakarta: Yayasan

Badan Kontak Keluarga Besar Perintis Irian Barat, 1986 ; Bernarda Meteray, Nasiomalisme

Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2012. 45

Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2012.

28

program kerja 10 Tahun (Luns Plans)46

Pembangunan di Papua. Pada pembahasan

ini juga, pemerintah Belanda menyiapkan pembentukan dewan eksekutif dan

legislatif yang nantinya akan dipimpin oleh kaum elite Papua. Konsep

pembangunan ini disebut sebagai Papuaniserring,47

yang bertujuan agar setiap

orang Papua dapat memimpin di segala bidang secara merata. Pemerintah Belanda

dalam langkah selanjutnya menyetujui usulan dari kaum elite Papua untuk

membentuk partai-partai politik sebagai suatu proses kaderisasi untuk

mempersiapkan negara Papua. Partai-partai yang telah terbentuk antara lain Partai

Kesatuan Nugini yang di pelopori oleh John Ariks, Partai Persatuan yang

dibentuk oleh Lodewijk Mandatjan, dan Partai Nasional (PARNA) yang

memperjuangkan peningkatan taraf hidup melalui sistem perdagangan dan

pembangunan sosial48

.

Pada bulan April 1961, terbentuklah Dewan Nieuw Guinea Raad49

. Proses

pembentukan Nieuw Guinea Raad membutuhkan waktu yang panjang dari waktu

awal yang telah direncanakan. Meteray50

menjelaskan dalam bukunya:

“Pihak Belanda pada 1950 menetapkan bahwa komposisi anggota dewan

New Guinea Raad akan berjumlah 21 0rang yang terdiri dari 10 orang

Papua, 9 Belanda, dan 2 non-Belanda. Yang berhak memilih ialah semua

orang yang ada di Papua, yang berkewarganegaraan Belanda, dan mereka

yang sudah tiga tahun menetap di Papua dan yang berusia 21 Tahun.

Persyaratan ini tidak memperhitungkan faktor pendidikan dan tingkat

penghasilan. Karena berbagai hambatan dan faktor pendidikan orang

46

Program kerja ini dipelopori oleh Joseph Luns, Menteri Luar Negeri Belanda. Luns

melakukan lobi kepada PBB untuk segara menindak lanjuti “Luns Plan” dengan tujuan agar

administrasi sementara dibawah pengwasan internasional untuk mempercepat proses pengalihan

kekuasan terhadap Papua. 47

Papuaniserring merupakan sebuah bentuk pemerataan terhadap orang Papua dalam

segala bidang pekerjaan. 48

Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2012. 49

New Guinea Raad adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk representasi rakyat

Papua dalam Pemerintahan. Dewan ini hadir untuk mempersiapkan kemerdekaan Rakyat Papua. 50

Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2012.

29

Papua yang masih sangat terbatas, sejak 1950 diadakan berbagai upaya

untuk memajukan orang Papua agar mampu menyelengarakan proses

pemilihan Dewan New Guinea Raad”

Pemilihan umum untuk memilih Dewan ini dilakukan dengan dua cara, yakni,

pemilihan langsung51

dan bertangga52

. Hal ini dipilih sebagai pertimbangan atas

keterbatasan sumber daya manusia Papua yang nantinya akan melaksanakan

pemilihan. Selanjutnya, berbagai sosialisasi dilakukan pada masing-masing distrik

serta beberapa surat kabar lokal juga menginformasikan perihal kriteria

pendaftaran pemilih.

Pemilihan Dewan Nieuw Guinea Raad berlangsung dari tanggal 11-17

Januari 1961 di 14 Sub daerah. Pemilihan yang berlangsung di Manokwari dan

Hollandia (Jayapura) dilakukan secara langsung, sedangkan di daerah lainnya

dilakukan secara tidak langsung dengan tulisan dan dengan cara membisikan

nama calon yang akan dipilih. Kemudian di tanggal 5 April 1961, Dewan dilantik

di Hollandia (Jayapura). Rakyat Papua menyambut dengan antusias proses ini dan

menaruh harapan besar kepada mereka. Anggota Dewan New Guinea Raad yang

dilantik berjumlah 28 Anggota, dengan pembagian 16 anggota dihasilkan dari

pemilihan, dan 12 anggota lainnya merupakan hasil penunjukan langsung dari

Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.

Berdasarkan pembagian etnis, jumlah mereka bervariasi. 22 anggota

merupakan orang asli Papua, 1 orang berasal dari suku Kei, dan 5 orang lainnya

51

Pemilihan langsung dilakukan dengan cara, pemilih memilih secara langsung anggota

Dewan New Guinea Raad. 52

Pemilihan bertangga berbeda dengan pemilihan langsung. Model pemilihan bertangga

menggunakan sistem perwaklian dengan memilih wali pemilih, kemudian wali pemilih yang akan

memilih anggota New Guinea Raad.

30

berasal dari Belanda53

. Sumber dalam buku “Nasionalisme Ganda Orang Papua”54

menuliskan data komposisi Dewan New Guinea Raad yaitu :

Sebagai Ketua Dewan adalah J.H.F. Sollewijn Gelpke dengan anggota

yang dipilih : Nicholas Jouwe (Hollandia), M. Suway (Nimboran), Marcus

Kaisiepo (Kepulauan Schouten), B. Mofu (Kepulauan Schouten), M.B

Ramandey (Yapen Waropen), E.J. Bonay (Yapen Waropen), H.W.F.

Gosewich (Manokwari), Penehas Torey (Ransiki), Abdulah Arfan (Raja

Ampat), A.R. van Zeeland (Sorong), A.S. Onim (Teminabuan), D. Deda

(Ajamaru), N. Tanggahama (Fak-Fak), Mohamad Achmad (Kaimana), dan

A.K. Gebze (Merauke). Para Anggota yang ditunjuk adalah, F.K.T. Poana

(Mimika), T. Mezeth (Sarmi), V.P.C Matubongs (Mapi), C. Kiriwaib

(Muju), A. Samkakai (Kepulauan Frederik), D.Walab (Asmat/Pantai

Kasuari), B. Burwos (Manokwari/Steenkool), Dr. F. Chr. Kamma

(Kerom), K. Gobai (Paniai), Dr. L. Jvd Berg (Tigi), H. Womsiwor, dan

seorang perempuan D. Tokoro Hanasbey.

Gambar 1 Anggota Nieuw Guinea Raad

Pembentukan dewan Nieuw Guinea Raad telah membentukan rasa bersama

sebagai basis Nasionalisme Papua. Keterwakilan tiap-tiap anggota dari berbagai

wilayah telah memberikan ruang kesadaran dan kepemilikan bersama sebagai

sebuah bangsa untuk membangun Papua di berbagai bidang. Namun tidak dapat

dipungkiri, dengan membentuk dewan ini, juga telah tercipta basis kekuatan

53

Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua. Yogyakarta:

Library Universitas Gadjah Mada, 2016. 54

Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2012.

31

politik sebagai strategi Belanda menangkal dominasi Indonesia di masa itu untuk

merebut Papua. Oleh karenanya, narasi kepapuan cukup digaungkan di masa itu.

Selanjutnya, fase perpolitikan Papua untuk menentukan nasib sendiri

memasuki babak baru. Pada 19 Oktober 1961, Pemerintah Belanda di masa

pemerintahan Gubernur Plattel membentuk Komite Nasiona Papua (KNP). Komite

ini di pimpin oleh Mr. De Riejke, seorang Indo Belanda yang bertujuan untuk

mempersiapkan kemerdekaan bagi rakyat Papua dengan cepat. Setelah terbentuk,

mereka melaksanakan kongres di Gedung Nieuw Guinea Raad55

. Kongres ini

menghasilkan beberapa ketetapan yakni, memutuskan dan menetapkan bendera

negara, lambang negara, dan lagu kebangsaan yang tercantum dalam surat

manifesto Politik dari Komite Nasional Papua yang berbunyi56

:

The Komite Nasional issued a Manifest Politik that, inter alia, stated:

“On the basis of desire of our people for independence, we urge through the mediation of the

Komite Nasional and our popular representative body, the New Guinea Council, the Governments

of Netherlands New Guinea and The Netherlands so that as of 1 December:

Our flag be flown beside the Netherlands flag;

our national anthem, Hai Tanahku Papua, be sung along with the Wilhelmus;

the name of our land become West Papua;

the name of our people become Papuan.

On this basis we the Papuan people demand to obtain our own place like other free

peoples and amongst nations we the Papuan people wish to contribute to the maintenance of the

freedom of the world.

55

Gedung Nieuw Guine Raad pada masa sekarang menjadi gedung kesenian yang berada

di Kota Jayapura. 56

Richard Chauvel, "Papuan political imaginings of the 1960s: international conflict and

local nationalisms." Victoria Institute, 2005: 46-47.

32

Gambar 2 Atribut negara, lagu kebangsaan dan mata uang Papua Barat

Bendera yang diputuskan ialah The Morning Star Flag (Bendera Bintang Kejora),

lambang negara ialah Burung Mambruk, lagu kebangsaan ialah Hai Tanahku New

Guinea (Papua) dan mata uang yang digunakan ialah Tien Gulden. Pada sidang

itu, Markus Kaisiepo mengusulkan perubahan nama Nederlands Nieuw Guinea di

ubah menjadi Papua Barat57

.

Namun, terdapat beberapa permasalahan terjadi dalam proses pembentukan

Komite Nasionalisme Papua. Permasalahan yang mendasar ialah tidak semua

anggota Dewan Nieuw Guinea Raad hadir dalam proses pembentukannya. A.K.

Gebze utusan asal Merauke, M. Achmad asal Kaimana, B. Burwos asal

Manokwari dan Torey asal Ransiki tidak menghadiri pertemuan ini. Beberapa

protes dilakukan oleh mereka yang tidak dilibatkan. Gebze menyatakan

kekecewaannya dan mengharapkan agar manifesto tidak segera diumumkan. Hal

ini disebabkan oleh banyaknya warga negara yang belum memahami

57

Sharp Nonie, Markus Wonggor Kaisiepo, The Morning Star in Papua Barat. North

carlton: Arena Publications, 1994.

33

ketatanegaraan. Pada hakekatnya ia setuju dengan isi manifesto, namun ia

berpendapat belum saatnya Papua merdeka58

.

Gambar 3 Suasana saat sidang Nieuw Guine Raad

Pendapat yang berbeda juga dikemukakan oleh Th. Meset yang

berpandangan bahwa proses pembentukan Komite Nasional Papua adalah insiatif

untuk menghadirkan upaya kebangsaan dan membentuk sebuah nasionalisme

Papua. Markus Kaisiepo menanggapi keberatan yang dilontarkan oleh Gebze

dengan mengatakan bahwa proses pembentukan komite ini telah dihadiri oleh

perwakilan rakyat Papua dari semua daerah. Pada akhirnya, tanggal 31 Oktober

1961, Dewan Nieuw Guinea Raad yang dibawah pimpinan Markus Kaisiepo

58

Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2012.

34

memutuskan untuk menyerahkan hasil manifesto politik kepada Gubernur Jenderal

Plattel untuk dipertimbangkan dan disahkan.

Selanjutnya, tanggal 18 November 1961 Pemerintah Belanda melalui

Gubernur plattel menetapkan dan mengesahkan adanya bendera Nederlands-

Nieuw Guinea dan cara-cara penggunaannya di samping bendera kerajaan

Belanda. Hal ini ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur No. 362 dan No. 366

Gouvenemensblad van Nederlands-Nieuw Guinea No.68 dan No. 69 tahun 1961.

Pada hari yang sama juga ditetapkan dan disahkan lagu kebangsaan Papua Barat

melalui surat keputusan No. 364 Gouvenemensblad van Nederlands-Nieuw Guinea

No. 69 tahun 196159

. Terlepas dari pro dan kontra terkait persetujuan Komite

Nasional Papua, mereka tidak mengeleminir simbol dan makna dari manifesto

politik ini

Pada masa sekarang, aktor yang menciptakan bendera ini masih menjadi

kontroversi. Perang klaim pun terjadi dalam menentukan siapa yang menciptakan

bendera Bintang Kejora. Menurut Johannes Djopari60

, Bendera Bintang Kejora

yang dikibarkan pertama kali tanggal 1 Desember 1961 adalah hasil rancang Mr.

De Rijke. Merujuk sumber lainnya61

, menjelaskan bahwa Mr. De Rijke memang

yang memimpin Komite Nasiona Papua dan indikasi ini secara logis dapat

diterima, bahwa Mr. De Rijke yang merancang bendera ini. Sumber lain62

yang

nampaknya lebih aktual juga menyebutkan bahwa Nicholas Jouwe, seorang kaum

terdidik Papua (anggota Nieuw Guinea Raad) yang telah merancang bendera ini.

59

Suryawan, I Ngurah, Jiwa Yang Patah. Yogyakarta: Kepel Press , 2013. 60

Ibid., 153 61

Lihat “JIwa Yang Patah” hal 88. 62

Hasil wawancara dengan Josh Mansoben

35

Terlepas dari persoalan siapa yang merancang bendera ini, faktanya secara

esensi tercermin dalam nilai yang terdapat pada bendera bintang kejora yang

memiliki nilai kesakralan secara historis. Hal ini menurut Markus Wonggor

Kaisiepo63

:

The Morning Star on the flag of Papua Barat is the symbol of Koreri. In 1961,

when representatives from ail the regions of Papua Barat came together to

choose the symbols of their national identity, it was agreed that the Morning

Star should become the central emblem of Papua Barat.

Kedekatan antara mite Manarmakeri dengan simbol bintang (Sampari atau

kummeseri) dalam bendera bintang kejora memberikan warna baru dan dinamisasi

dalam fase pertama menuju kepada fase kedua ini. Hal ini juga bermula dari

pengaruh kepercayaan di masa lalu yang terhibridisasi melalui sekolah peradaban

dan perjumpaan di sekolah pemerintahan sehingga menghasilkan murid-murid

yang menginisiasinya dalam manifesto politik ini. Menurut Nicholas Jouwe

muda64

, cucu dari Nicholas Jouwe mengatakan:

Kalau tete pu cerita itu, tete sengaja angkat bintang dalam bendera ini.

Ada makna dalam bintang ini. Kalau kitong bangun pagi jam 3 ka

setengah 4 itu, tong pasti lihat ada satu bintang yang paling terang di timur

sana. De terang skali.Orang Biak bilang itu Sampari. Tete de bilang, siapa

orang yang bangun pagi, kemudian mengucap syukur dan lihat tanda

kebesaran Tuhan itu, cahayanya itu, de punya kehidupan ke depan akan

diberkati. Itu merupakan sebuah harapan ke depan. Kalau warna merah itu

setiap perjuangan harus ada darah, harga yang harus dibayar.13 strep

(garis) itu adalah wilayah-wilayah yang ada di Papua saat itu di bawah

Keresidenan Belanda.Tete de percaya dengan nilai yang ada dalam

bintang itu, bintang timur yang memberi kehidupan. Setiap orang bangun

pagi, mengucap syukur, de pu kehidupan akan diberkati. Memang pace de

ambil nilainya lihat dari alam dan tidak jauh juga dari Alkitab yang tete

yakini.

63

Sharp Nonie, Markus Wonggor Kaisiepo, The Morning Star in Papua Barat. North

carlton: Arena Publications, 1994. 64

Nicholas Jouwe ialah salah satu tokoh kaum Elite Papua di Tahun 1961. Data ini di

dapat dari sumber kedua yakni Cucu dari Nicholas Jouwe yang juga bernama Nicholas Jouwe,

wawancara dilakukan di kediamanannya, Dok V Bawah Jayapura, tanggal 19 Agustus 2015, pukul

18.25 WIT.

36

Selanjutnya, ia menyebutkan bahwa Nicholas Jouwe yang adalah

tete (kakek) nya, seorang kaum terdidik Papua (anggota Nieuw Guinea

Raad) yang merancang bendera ini. Tete (kakek) nya bercerita

kepadanya65

:

Tete (kakek) yang pelakunya, beliau (Nicholas Jouwe) yang bikin! Tapi sa

kira iamengangkat nilai-nilai ini dari berbagai nilai historis yang ada di

Tanah Papua. Bendera yang sa tahu itu, saat itu nene (istri Nicholas

Jouwe) de yang jahit. Tete cerita waktu itu, sempat ada sayembara, lalu

usulan bendera yang diterima oleh Kerajaan Belanda pada saat itu tete

punya usulan dong terima.Lalu dong ambil kain-kain terus duduk potong

lalu jahit bendera pada saat itu.Waktu buat barang itu (Bintang Kejora),

tete de cerita de tidak sendiri. Ada de pu salah satu teman yang buat sama-

sama dengan tete. Tapi dalam sejarah, nama ini jarang didengar, namanya

Baldus Mofu, tete bilang de lebih tua satu tahun dari tete. Waktu itu

dorang pergi cari ilham, supaya bisa menentukan barang itu.Dong tra bikin

di Jayapura, dong ikut Belanda punya kapal-kapal kayu lalu ke Biak.Tete

de bilang, cucu, waktu itu kitong dua dengan (Baldus Mofu) ada di pasir-

pasir di kepulauan Padaido, kitong gambar saja di pasir, setelah itu ombak

datang hapus.Mungkin Pak Baldus juga ada kasih masukan begitu (cerita

sampari), karena pace de orang Biak toh, jadi mungkin saja ada kaitan

dengan cerita Sampari.

Bagi Josh Mansoben66

, Jouwe pernah berada di Padaido, temapat di mana

mitologi tentang Sampari (bintang) ini berkembang, sehingga Jouwe dapat

mengembangkan mitologi ini dalam membuat bendera. Eksistensi Jouwe dalam

memberikan filosofi terhadap Sampari (bintang) diakuinya dengan memberikan

argumentasi yang sama bahwa bintang itu merupakan produk yang memberikan

kehidupan dan berkat.

Konektivitas warna dari simbol bendera ini dijelaskan lebih lanjut oleh

George Junus Aditjondro67

. Warna merah, putih, dan biru dalam bendera Bintang

Kejora merupakan hasil peniruan dari warna bendera Belanda. George secara

terang-terangan tetap menekankan bahwa bintang yang terdapat dalam bendera

65

Cucu dari Nicholas Jouwe, wawancara di kediamanannya, Dok V Bawah Jayapura,

tanggal 19 Agustus 2015, pukul 18.25 WIT. 66

Wawancara, 11 Agustus 2015 pukul 13.15 67

George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan

Advokasi Masyarakat, 2000.

37

Bintang Kejora memberikan unsur “pribumi” pada bendera Papua Barat yang

mengandung makna Koreri sebagai lambang kemakmuran yang dijanjikan.

Sampai saat ini, makna sampari (bintang) bahkan tetap diyakini oleh masyarakat

Papua sebagai bentuk kepercayaan yang hadir dan membentuk sebuah identitas

yang dihayati dan dimaknai sebagai sebuah unsur religius (transenden) antara

manusia dengan Tuhan yang dipercayainya.

Adapun yang disampaikan merujuk kepada arti bendera Bintang Kejora di

atas memiliki kesamaan dengan hasil pembentukan yang dilakukan oleh Komite

Nasional Papua saat itu. Secara garis besar bendera Bintang Kejora memiliki

makna : Bintang, lambang Ketuhanan yang berarti Negara berdasarkan iman akan

Tuhan Yang Esa; warna merah, merupakan simbol darah yang berarti keberanian

dalam merebut dan membentuk Negara; 6 baris putih melambangkan 6 distrik

(Affdeling) Papua pada waktu itu; 7 baris biru melambangkan 7 wilayah suku

bangsa Papua68

(Suryawan 2013). Oleh karenannya, yang ditemukan dalam

bendera Bintang kejora merupakan simbol kesakralan yang terbentuk melalui

komponen yang bersinergi dan menghubungkan antara manusia dan yang

transenden pada fase pertama.

Penjelasan terkait entitas burung mambruk sebagai simbol negara pada

manifesto politik Papua mencerminkan filosofi kultural. Burung ini memiliki

populasi yang tersebar di hutan rawa dan hutan dataran rendah pulau Papua.

Burung mambruk memiliki sarang yang terbuat dari ranting dan dedaunan dari

pohon yang dikumpulkannya. Di provinsi Papua, khususnya di wilayah pulau

68

I Ngurah Suryawan, Jiwa Yang Patah. Yogyakarta: Kepel Press , 2013.

38

Biak, burung ini memiliki nilai yang berharga sebagai simbol cultural. Menurut

Josh Mansoben69

:

Di Papua, khususnya Biak, burung Mambruk itu dianggap sebagai burung

yang memiliki nilai budaya. Memiliki fisik yang besar, kemudian dari

keindahan dia lebih indah dari burung lain dan burung ini juga tidak

sembarangan karena kekhasannya yang teratur. Kalau burung ini hidup

disuatu tempat, dia tidak berpindah-pindah lagi. Meskipun dia ke mana-

mana, tetap ia kembali ke tempatnya atau dahannya itu. Kalau dalam

kebiasaan orang ingin menangkapnya, tidak susah, tinggal mencari jejak-

jejak kotorannya. Nah inilah nilai keteraturan yang dimiliki oleh burung

mambruk.

Lebih lanjut Enos Rumansara70

menjelaskan tentang penggunaan burung

mambruk dalam tradisi adat dengan mengatakan bahwa:

Burung mambruk itu merupakan burung khas yang ada di Papua.Secara

khusus burung dipakai oleh orang di pulau Biak sebagai mahkota

perempuan. Kita dapat memperhatikan, memang orang biak

menggunakan burung cenderawasih, namun tidak lebih berharga dari

burung mambruk. Karena mereka kenal burung mambruk lebih dari

burung cenderawasih. Ini juga dipakai ketika mengantar perempuan atau

sebagai mas kawin. Biasanya mereka membuatnya di assiyou (sisir

bambu) dan merangkainya dengan burung mambruk di situ terutama

mahkota mambruk.Burung mambruk juga merupakan simbol-simbol

perdamaian.Dikatakan demikian dikarenakan terjadinya perkawinan

antara pihak perempuan dan pihak laki-laki, mengakibatkan terciptanya

hubungan kekerabatan antara kedua pihak tersebut. Pada upacara adat,

burung mambruk sebagai simbol dalam kebudayaan mampu menciptakan

sebuah hubungan perdamaian melalui cara ini.

Sumber lain71

yang didapatkan, di masa pemerintahan Belanda, Batalyon Papoea

Vrijwillingers Korps (PVK) menggunakan mambruk sebagai identitasnya.

Mambruk juga pernah digunakan sebagai logo dari sebuah perusahaan

penerbangan. Pesawat komersial pertama waktu zaman belanda yang

menggunakan mambruk pada lambang pesawat adalah pesawat jenis condrive.

Pada masa sekarang, pesawat ini diganti namanya menjadi Merpati. Penerbangan

ini hanya terdapat di Nieuw Guinea (Papua).

69

Ibid., 70

Hasil wawancara di kediamanannya, Kotaraja, tanggal 8 Agustus 2015, 17.20 WIT. 71

Hasil Wawancara dengan Pendeta Herman Saud

39

Dalam kongres Komite Nasional Papua, Nicholas Jouwe mengusulkan

untuk memnggunakan burung mambruk sebagai lambang negara72

. Secara

filosofis, burung hanya berteriak 2 kali sehari, untuk memanggil betina pada pagi

hari ketika hendak turun dari pohon, dan waktu sore hari apabila hendak naik ke

pohon73

:

Tete kasih tahu bahwa mambruk itu rajin, setiap pagi jantan dengan betina

tinggal kasih kode saja dengan suara, wuuuh..wuuuuh... mereka turun dan

langsung pergi cari makan. Begitu pula dengan sore ketika mereka pulang

kembali.Menurut beliau, tipe orang Papua Barat harus seperti itu.Orang

Papua Barat harus bekerja keras di atas tanah ini, karena tanah ini luas

dan butuh orang Papua Barat untuk mengelolahnya.Jangan hanya

bersembunyi seperti burung cendrawasih yang cantik tetapi bodoh,

sehingga orang dengan mudah menangkapnya.

Penjelasan lainnya dalam memaknai burung Mambruk oleh Suryawan74

bahwa

burung Mambruk sebagai simbol negara Papua Barat menjelaskan bahwa buluh

tanduk mambruk yang berjumlah 10 buah melambangkan bulan oktober (1961).

Buluh ekor berjumlah 7 melambangkan wilayah 7 suku bangsa Papua; panah 7

buah melambangkan semangat wilayah perlawanan 7 suku bangsa Papua; tifa 1

buah melambangkan semangat perdamaian dan harapan; sayap di kiri dan kanan

masing-masing 19 buah masing-masing melambangkan tanggal dan tahun kongres

19 Oktober 1961; semboyan “one people one soul” yang terdapat pada burung

mambruk melambangkan persatuan rakyat Papua Barat.

Merujuk pada posisi burung mambruk sebagai hewan endemik, bagi saya,

posisi dari mambruk memiliki netralitas dan mencerminkan filosofis kultural

dalam sub etnis Biak. Hal ini kemudian telah mengalami tendensi politis oleh

karena penggunaannya sebagai simbol negara. Bagaimanapun juga, bentuk dari

72

Cucu dari Nicholas Jouwe, wawancara di kediamanannya, Dok V Bawah Jayapura,

tanggal 19 Agustus 2015, pukul 18.25 WIT. 73

Ibid., 74

I Ngurah Suryawan,.Jiwa Yang Patah. Yogyakarta: Kepel Press , 2013.

40

burung Mambruk yang memiliki keindahan pada mahkotanya, mencerminkan

kejayaan dan juga filosofi yang dipelajari dari aktivitasnya sehari-hari dikenal

sebagai burung yang rajin. Di sinilah letak posisi burung mambruk yang sarat

makna filosofi kultural dan insiasi keteraturan hidup.

Pada manifesto politik yang dipersiapkan oleh Komite Nasional Papua,

terdapat lagu kebangsaan yang merupakan sebuah lagu gubahan Domine Izaak

Samuel Kijne. Lagu ini awalnya terdapat dalam nyanyian Seruling Emas, nomor

dua. Kijne selain dikenal sebagai seorang pendidik, banyak orang mengenalnya

memiliki rasa seni yang tinggi. Apabila menelisik fase hibrid di masa pertama,

kita akan menemukan bagaimana pengenalan identitas kepapuan yang salah

satunya dibentuk melalui musik dan nyanyian. Kijne cenderung menekankan

kontekstualisasi yakni menciptakan ruang imaginer melalui alam Papua dan

memperkenalkannya melalui nyanyian kepada murid-muridnya. Ia biasanya

menggubah lagu-lagu di atas batu yang disebut sebagai batu inspirasi dan batu

peradaban.

Secara historis, lagu Hai Tanahku Papua diciptakan oleh Kijne jauh

sebelum konstalasi politik antara Papua dan Indonesia. Bagi Herman Saud75

:

Lagu hai tanahku Papua, Kijne ciptakan untuk orang Papua agar selalu

mengucap syukur atas tanah yang indah, memiliki keunikan yang sudah

Tuhan ciptakan untuk orang Papua. Lagu ini hanya memiliki makna

rohani. Tidak ada berkaitan memiliki makna politik apapun. Komite

Nasional Papua saat itu menilai ini cocok dan dapat digunakan. Mereka

kemudian menggunakan lagu ini untuk mempersiapkan Papua merdeka.

Akhirnya makna yang tadi dimaksudkan mengalami perubahan. Tetapi

berkaitan dengan soal damai, itukandapat dikatakan demikian, karena hal

itu jika berkaitan dengan iman Kristen, ada 3 dimensi, yakni memuliakan

Tuhan, mengasihi sesama, dan menghargai ciptaan Tuhan. Makanya lagu

ini diciptakan untuk menghargai dan bersyukur kepada alam ini.

75

Wawancara dengan Herman Saud, tanggal 11 Agustus, pukul 21.04 WIT di Abepura

41

Namun jika lebih dalam kita menelisik makna dari lagu ini, Kijne hendak

mengungkapkan semangat identitas orang Papua, menceritakan kekayaan alam

yang dimiliki dan di bagian akhirnya ia mengungkapkan rasa syukur oleh karena

kekayaan alam yang diberikan oleh yang transenden. Kedekatan emosional

melalui perjumpaannya dengan orang Papua di masa itu yang memberikan ruang

bagi Kijne untuk mengaktualisasikannya di dalam karya dan kerjanya, salah

satunya melalui musik dan nyanyian. Bagi saya, aspek Teologis yang difokuskan

oleh Kijne memiliki harapan agar semua rakyat yang berada di Tanah Papua

menjadi saksi akan kebesaran Tuhan kepada semua bangsa di dunia.

Gambar 4 Batu Inspirasi tempat Kijne memikirkan semua hal untuk kemajuan Orang Papua.

Oleh karenanya, ingatan berkesinambungan menjadi alasan bagi Komite

Nasional Papua yang merupakan hasil didikan Kijne telah menginisiasi entitas ini

sebagai salah satu lagu kebangsaan pada manifesto politik Papua. Saya memahami

ini sebagai manifestasi bentuk kesakralan yang berpindah dari fase pertama ke

dalam fase kedua ini.

2.2.2 Akhir Dari Penantian dan Jiwa Yang Remuk; Suatu Dinamika Politik

42

Gambar 5 Markus Kaisiepo bersama Gubernur Jenderal Plattel

Penantian untuk mencapai sebuah kemerdekaan secara de facto pernah

dialami oleh rakyat Nieuw Guinea (Papua). Sejarah mencatat peristiwa yang

membahagiakan bagi rakyat Papua dengan diproklamirkan kemerdekaannya pada

tanggal 1 Desember 1961. Berita tentang kemerdekaan Papua Barat dilaporkan

oleh beberapa media cetak pada saat itu. Surat Kabar Triton76

melaporkan:

Di mana-mana ditanah kita pada tanggal 1 Desember 1961, bendera kita,

bendera negeri Papua Barat dinaikan setjara resmi. Ribuan penduduk

bangsa kita dengan hati penuh sukatjita menjaksikan upatjara resmi itu

dikota-kota pusat onderfardeling, maupun dipelosok-pelosok tanah Papua

Barat. Para anggota NGR pada waktu itu berada ditempat-tempat

pemilihanja masing-masing. Di sana mereka memberi keterangan dan

penerangan tentang hari besar itu. Siapa jang ada pertanjaan untuk mereka

djawabnja diutjapkan pula sehingga umum bersukaria dengan kenaikan

bendera negeri-usaha jang sudah lama ditunggu rakjat. Begitu djuga di

ibukota Hollandia, pagi hari banjak penduduk jang berkumpul dipusat

kota, lapangan IMBY dihadapan gedung NGR jang kami akan didirikan di

sana. Tentara Rakjat Papua, penduduk Belanda pula turut hadir upatjara

kami. Terlihat djuga njonja Plattel jang berdiri ditengah-tengah tempat

bagi pembesar kebesturan setempat., urusan partai-partai politiek,

golongan sosial, para kepala kampong dan district. Begitu djuga jang hadir

tuan Gouveneur Plattel, para kepala dinas, pemimpin angkatan pertahanan,

utusan NGR dan Komite Nasional.

76

Majalah TRITON, 8e Jaargang, Januari 1962, no 1

43

Tepat Pukul 08.00 WIT pagi, semua orang berkumpul untuk menyaksikan bendera

Papua (Bintang Kejora) pertama kali dikibarkan berdampingan dengan bendera

kebangsaan Belanda. Surat Kabar De Tifa77

menceritakan.

Ketika Gubernur Plattel tiba, ia disambut oleh Ketua Komite Nasional

Willem Inauri. Upacara itu juga didukung oleh pasukan kehormatan dari

polisi yang dipimpin oleh Numberi. Ada juga kelompok Paduan suara dari

siswa sekolah perawat rumah sakit di Hollandia. Paduan suara itu

menyanyikan lagu Kebangsaan Belanda, Willhelmus. Kemudian Marcus

Kaisepo masuk mengambil bendera Bintang Kejora yang dibungkus

dengan kain putih dan diserahkan kepada dua orang polisi sebagai

kebangsaan Papua, Hai Tanahku Papua, dalam satu ayat.

Gambar 6 Markus Kaisiepo membawa Bendera Bintang Kejora, 1

Desember 1961

Upacara yang berlangsung pada 1 Desember 1961 tidak hanya berlangsung di

Hollandia, namun juga berlangsung di afdeling diseluruh Papua. Carel Schneider,

seorang kontrolir binnenland bestuur di Wamena menuliskan dalam buku Belanda

di Irian Jaya78

:

77

Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2012. 78

PIM SCHOORL, Belanda di Irian Jaya (Amtenar di Masa Penuh Gejolak). Jakarta:

Garba Budaya, 2001.

44

Pada 1 Desember 1961, ketika anggota Dewan berkumpul di Hollandia

dalam upacara peresmian di depan kantor pemerintah di Wamena, kami

untuk pertama kalinya menaikkan "bendera negara" yang dibuat tergesa-

gesa oleh pemerintah di samping bendera Belanda dengan dikelilingi oleh

orang Papua dan kulit putih. Pidato-pidato oleh bestuursassistent dan saya,

atas instruksi Hollandia, harus "bernada positif'. Kedua bendera yang

berdampingan itu melambangkan kenyataan bahwa mulai sekarang tidak

hanya Belanda, tetapi juga putra-putra daerah sendiri harus mulai bekerja

untuk hari depan mereka, demikian kira-kira amanat kami. Segera setelah

itu di Wamena dan daerah sekitarnya dimulailah pertandingan sepak bola

dan voli yang sudah sangat dinantikan oleh para pengunjung. Ketika saya

dengan anak gadis saya yang masih kecil sedang menyaksikan

pertandingan sepak bola yang bersemangatantara kesebelasan tukang kayu

dan agen-agen polisi, seorangpenerbang MAF menyampaikan secarik

surat dari Hollandia kepadasaya. Surat itu menugaskan saya untuk

memikirkan kemungkinan-kemungkinanmengevakuasi para pegawai

Wamena (dan keluarga mereka) kalau sampai terjadi infiltrasi militer oleh

Indonesia di Centraal Bergland.

Gambar 7 Petugas pengibar bendera Bintang Kejora 1 Desember 1961

Pengibaran bendera pada 1 Desember 1961 di Biak diawali dengan pidato

oleh Baldus Mofu yang merupakan anggota Dewan Nieuw Guinea Raad yang

45

merupakan perwakilan dari afdeling Biak. Pidato yang dibawakan oleh Baldus

Mofu membangkitkan semangat rakyat Papua Barat. Meteray mengatakan79

:

“Dengan pengibaran bendera Papua Barat, kami mengharapkan saatnya

akan datang, bendera ibu ini akan kembali ke tanah airnya sebagai seorang

ibu yang baik. Yang menjadikan batu sandungan adalah Indonesia. Saya

katakan kepada Indonesia bahwa engkau adalah saudara kami, tetapi

sejarah membuktikan bahwa apabila seorang kakak menginjak adiknya,

maka akhirnya akan buruk. Karena itu, saya mohon agar bendera kami

dihormati oleh semua bangsa”.

Pada tanggal yang sama di Raja Ampat, juga berlangsung upacara

pengibaran bendera Bintang Kejora. Friets Veldkamp seorang Hoofd Vaan

Plaatslijk Bestuur (HPB) Onderafdeling80

Raja Ampat menuturkan81

:

Terjadilah suatu peristiwa yang tidak langsung berhubungandengan dewan

daerah, tetapi bagaimanapun menentukan suasana politik. Pada 1

Desember 1961, di depan kantor onderafdeling di samping bendera

Belanda dikibarkan bendera Nugini-Belanda. Sebelum lambang jati diri

Papua yang diberi bentuk bagus itu ditetapkan, saya sudah bertanya-tanya

apakah dalam keadaan seperti itu bijaksana untuk melakukannya.

Bukankah hari depan politik Nugini-Belanda itu tidakdapat diramalkan?

Sewaktu upacara, saya berdiri agak di belakang jugakarena sebetulnya

saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Berbedadengan saya, hadirin

lain tahu, terutama beberapa anak muda mengucapkan pidato yang

nasionalistis dan bersemangat, menyambut gembira lahirnya Irian Barat

yang merdeka. Jelas bahwa langkah pemerintah itu, setidak-tidaknya

untuk banyak orang Papua, telah menyentuh perasaan nasionalisme yang

kuat.

Perjuangan rakyat Papua telah sampai dalam tahap memproklamirkan

sebuah negara merdeka pada 1 Desember 1961. Meskipun secara De Facto,

perasaan sukacita dan kegembiraan atas tahap yang telah berlangsung ini

menjadikan semangat persatuan di kalangan rakyat Papua. Euforia terhadap

kemerdekaan yang sedang terjadi dalam waktu sekejap berakhir. 18 hari setelah

79

Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media

Nusantara, 2012. 80

Onderafdeling adalah suatu wilayah administratif yang diperintah oleh seorang kontrolir

(wedana bangsa Belanda) pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sebuah onderfdeling

terdiri atas beberapa landschap (setingkat kecamatan). 81

PIM SCHOORL, Belanda di Irian Jaya (Amtenar di Masa Penuh Gejolak). Jakarta:

Garba Budaya, 2001.

46

mereka memproklamirkan kemerdekaannya, Presiden Soekarno dengan tegas

mengeluarkan “Tri Komando Rakyat” dari Alun-alun utara Yogyakarta untuk

menggagalkan kemerdekaan Papua Barat. Ia melanjutkan desakannya untuk

memperluas wilayah Indonesia secara menyeluruh dari Sabang sampai Merauke

dan menjanjikan hal tersebut dapat segera diwujudkan. Presiden Soekarno dengan

berapi-api mengatakan82

:

”Sekarang saya tanya kepada saudara-saudara, kepada dunia internasional.

Mengapa pihak Belanda menjadikan Irian Barat sebagai satu boneka

Papua. Belanda menghasut rakyat Irian Barat menjalankan satu politik

memecah belah kedaulatan RI dengan mendirikan negara Papua,

mengibarkan bendera Papua, menciptakan lagu kebangsaan. Dengarkan

saudara-saudara, komando saya dengan tegas ialah gagalkan pendirian

negara Papua ini. Apa komando saya lagi, hai seluruh rakyat Indonesia

kibarkanlah bendera Sang Saka Merah Putih di Irian Barat itu.

Isi Trikora

1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.

2) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.

3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air

dan bangsa.83

Pemerintah Indonesia terus berujuang dalam usaha untuk merebut Papua Barat.

Presiden melalui Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) telah

menyusun rencana militer unutk melawan pemerintah Belanda. Tim ini mengatur

skenario operasi yang disebut “Operasi Mandala” di bawah pimpinan Panglima

Mandala Soeharto.

82

Mustopo, Api perjuangan pembebasan Irian Barat. Jakarta: Yayasan Badan Kontak

Keluarga Besar Perintis Irian, 1986. 83

TRIKORA adalah singkatan dari Tri Komando Rakyat yang dikeluarkan oleh Presiden

Soekarno untuk merebut Papua Barat.

47

Biografi Soeharto berjudul “The Smiling General” yang ditulis oleh O. G.

Roeder84

menjelaskan bahwa sulit untuk mengkoordinasi seluruh kekuatan

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Soeharto merencanakan untuk

menyusup ke Papua Barat untuk menghancurkan dan mengusir musuh dan

kemudian mereka akan bergabung dalam pasukan yang lebih besar. Upaya

penyusupan di mulai pada bulan Januari 1962. Tiga kapal patrol Indonesia yang

berlayar dari kepulauan Arafura ke Papua Barat dicegat oleh pasukan Belanda dan

kemudian terjadilah pertempuran. Insiden ini mengakibatkan tenggelamnya KRI

Macan Tutul yang di nakhodai oleh Komodor Laut Yosaphat Sodarso. Ia

meninggal dalam pertempuran yang dikenal dengan “Pertempuran Teluk Aru”.

Peristiwa ini menjadi keprihatinan semua pihak, tidak ketinggalan

Australia dan Amerika. Presiden John F. Kennedy menunjukkan keprihatinannya

dengan meminta Belanda menahan serangannya dan juga meminta Presiden

Soekarno untuk menahan diri untuk tidak terprovokasi dengan pemerintah

Belanda. Pada kesempatan lain, telah terjadi pertemuan rahasia antara Robert

(saudara laki-laki John F. Kennedy) dan Presiden Soekarno di Jakarta. John F.

Kennedy juga berusaha membujuk Belanda di Den Haag untuk melakukan

negosiasi rahasia, namun tidak direalisasikan oleh pihak pemerintah Belanda.

Tercatat telah terjadi dua kali jamuan oleh John F. Kennedy kepada Soekarno di

Washington DC85

.

84

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001. 85

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.

48

Gambar 8 Pertemuan antara John F. Kennedy dan Soekarno di Amerika Serikat

Pada pertemuan ini, Kennedy menilai dirinya berbeda dengan Soekarno. Ia

mengatakan dirinya adalah pemimpin yang bersifat individualistik, berbeda

dengan Soekarno yang lebih memperhatikan kesejahteraan bangsanya.

Maksudnya mengatakan demikian, untuk membujuk Soekarno agar tetap merebut

Papua Barat yang memliki nilai komoditas yang besar, dan nantinya dapat

menguntungkan Amerika Serikat. Pertemuan lainnya terjadi antara John F.

Kennedy dengan pemerintah Belanda. Kennedy menyatakan bahwa Papua bukan

merupakan bagian penting dari dunia, sehingga tidak perlu untuk kekuatan-

kekuatan besar dihadirkan.

Selang 20 Tahun kemudian, mantan Duta Besar Belanda untuk Amerika

Serikat, Van Roijen pada Haagse Post86

edisi 21 Maret 1981 menyatakan,

Kennedy menekankan kewajiban moral Belanda terhadap Papua Barat. Pihak

Belanda merespon dengan menanyakan kepada Kennedy, apakah hal ini sama

dengan perasaan Amerika Serikat kepada rakyat Berlin Barat? Kennedy

menjawab dengan mengatakan:

86

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.

49

“Kedua hal ini merupakan masalah yang jelas-jelas berbeda, ada 21/4

juta

penduduk yang tinggal di sana (Berlin Barat), sedangkan orang Papua

Barat hanya berjumlah 700 ratus orang dan masih hidup di zaman batu”.

Upaya Kennedy untuk mengabaikan Papua Barat dipicu dengan keputusannya

mendukung Soekarno secara penuh. Hal ini berdampak kepada Indonesia yang

semakin menjauh dari kubu Soviet dan Amerika Serikat semakin meningkatkan

pengaruhnya di Jakarta. Seorang sejarawan Australia berhasil mengungkapkan

perilaku Amerika Serikat dalam beberapa memo yang ditulis oleh sejumlah

pejabat tinggi Amerika Serikat dan diterbitkan pada National Times edisi 8

Februari 1985.

Walt Rostow salah seorang staf gedung putih mengatakan, Australia harus

dipaksa untuk bisa mengikuti Amerika untuk menyelesaikan sengketa Indonesia

dengan Belanda. Ini merupakan kepentingan jangka panjang agar Indonesia tidak

jatuh pada pihak komunis. Mendukung pernyataan Rostow, pada bulan November

1961, Robert Komer yang juga adalah staf gedung putih menuliskan

pernyataannya87

:

Tidak dapat dielakan bahwa cepat atau lambat Irian Barat akan beralih ke

Indonesia. Satu-satunya pertanyaan yang muncul adalah : Akankah kita

akan terlibat dalam proses tersebut dan oleh karenanya kita akan

mendapatkan keuntungan? Atau akankah kita biarkan isu tersebut

dimanfaatkan oleh blok lawan kita? Semua bantuan ekonomi dan militer

yang dapat kita berikan kepada Soekarno akan lebih memberikan

keuntungan kepada kita ketimbangan menguntungkan obsesinya yang

menggebu?. Jadi dengan kegagalan strategi kita melalui PBB, maka kita

harus melepaskan cara itu dan mengubah pendirian dengan terang-

terangan memihak Indonesia selagi masih ada kesempatan untuk

mendapatkan keuntungan secara politis dari kasus ini. Kita, Belanda dan

Australia, harus mau menghadapi kenyataan bahwa saat ini kita harus

menghadapi hegemoni Indonesia terhadap Irian Barat, dan kalau perlu

mendukungnya.

87

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.

50

Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, Australia juga berusaha untuk

melakukan sebuah tindakan atas bujukan dari Amerika Serikat. Melalui Menteri

Luar Negeri Australia, Sir Garfield Barwick, Australia meyakini bahwa, inilah saat

terakhir dari masa kejayaan Belanda. Barwick sempat melakukan pembicaraan

dengan Menteri Luar Negeri Belanda, Joseph Luns. Pada pembicaraan ini,

Barwick menyarankan kepada Luns agar memikirkan kembali kebaikan bersama

untuk Indonesia. Maksud dari perkataan Barwick ialah untuk membujuk Joseph

Luns untuk membiarkan Indonesia menguasai Papua Barat.

Pada tanggal 15 Agustus 1962 berlangsung sebuah perjanjian antara

pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda yang diinisiasi oleh PBB di New

York, Amerika Serikat. Perjanjian ini berlangsung atas usulan Elswort Bunker,

salah seorang utusan dari Amerika Serikat di PBB. Bunker mengusulkan sebuah

proposal untuk menyelesaikan sengketa Papua Barat, yang diimplementasikan

dalam NewYork Aggrement. Hasil yang disepakati dalam perjanjian ini adalah

sebagai berikut88

:

1. Apabila PBB telah membenarkan persetujuan atau perjanjian itu

melalui rapat umum, maka Belanda segera menyerahkan kekuasaannya

atas Papua Barat kepada UNTEA89

.

2. Terhitung 1 Mei 1963, UNTEA yang memiliki tanggung jawab

administrasi menyerahkan kepada Indonesia.

88

Johannes Rudolf Gerson Djopari, Pemberontakan organisasi papua merdeka. Jakarta:

Grasindo, 1993. 89

UNTEA adalah sebuah badan pelaksana sementara PBB yang berada di bawah

kekuasaan Sekretaris Jendral PBB. UNTEA dikepalai oleh seorang yang diangkat oleh Sekjen

PBB dengan persetujuan antara Indonesia dan Belanda dan bertugas menjalankan pemerintahan

Irian Barat dalam waktu satu tahun. UNTEA dibentuk karena terjadinya konflik antara Indonesia

dan Belanda dalam permasalahan status Irian Barat, sehingga badan ini merupakan pengawas di

Irian Barat setelah Persetujuan New York.

51

3. Untuk Akhir tahun 1969, di bawah pengawasan Sekertaris Jenderal

PBB, di lakukan Act of Free Choice dalam mana orang Papua Barat

dapat menentukan penggabungan pasti tanah mereka dengan Indonesia,

atau menentukan status/kedudukan yang lain.

4. Indonesia dalam tenggang waktu itu akan

mengembangkan/menggabung kebersamaan orang Papua Barat.

Sehingga orang Papua Barat nantinya akan menentukan status mereka

di tahun 1969.

Tahun 1969 ditetapkan sebagai tahun dilaksanakannya an act of free

choice (penentuan pendapat). Tata cara pemilihan yang ditentukan pada pasal

XXII dalam perjanjian ini “one man, one vote” yakni, satu orang mendapatkan

satu hak suara untuk memilih. Ssaat itu, masyarakat Papua Barat berjumlah sekitar

800.000 orang90

yang nantinya akan siap untuk memilih. Sebelum memasuki

tahun pemilihan, kekuasan sementara diambil alih oleh United Nations Temporary

Executive Authority (UNTEA) dan Belanda diharuskan untuk segera mengangkat

kaki dari Papua Barat. Perlu diingat, pada perjanjian ini tidak ada seorangpun

rakyat Papua Barat yang diikutsertakan sebagai peserta ataupun dalam

pengambilan keputusan.

Kedatangan keamanan UNTEA yang mayoritas berasal dari Pakistan

berjumlah 1537 orang dan Indonesia yang berjumlah 1500 orang, mematahkan

optimisme masyarakat Papua Barat. Mereka yang sebagian besar memeluk agama

Islam, secara langsung mengabaikan pandangan tradisional tentang pentingnya

90

Oktovianus Pogau, "Narasi Sejarah Sosial Papua." In PEPERA 1969 dalam perspektif

kaum muda: Penuh Rekayasa dan mannipulatif, by Oktovianus Pogau, 9. Malang: Intrans

Publishing, 2011.

52

babi bagi masyarakat setempat. Analis politik, Peter Savage menulis, pasukan

gabungan ini juga melakukan kekerasan untuk menghapus semangat Nasionalisme

Papua Barat91

.

Berbagai reaksi bermunculan menanggapi perjanjian New York yang

dianggap secara sepihak diputuskan. Kelompok terpelajar Papua Barat

dikumpulkan oleh ketua partai Parna, Herman Wayoi dan Nicolas Tanggahama,

salah satu anggota Nieuw Guinea Raad. Pertemuan yang menghadirkan 90 orang

peserta (pemimpin politik Papua) ini dengan terpaksa menerima bahwa wilayah

mereka telah dikuasai oleh PBB. Namun, mereka meminta kepada PBB (UNTEA)

untuk menghormati bendera dan lagu kebangsaan mereka serta referendum yang

dituntut harus segera dilakukan pada tahun 1963. Pertemuan yang dilaksanakan ini

murni untuk mempertahankan semangat Nasionalisme Papua Barat tanpa

memikirkan dukungan baik kepada Pemerintah Belanda maupun kepada

pemerintah Indonesia.

Elit Papua pada saat itu merasa telah dikhianati oleh Belanda dan merasa

bahwa Indonesia juga memiliki kepentingan atas mereka.Tetapi pada kenyataanya

permintaan kaum intelektual Papua ini tidak dihiraukan sama sekali oleh UNTEA.

Periode kekuasan sementara oleh UNTEA menjadi kontrol de facto Indonesia92

terhadap Papua Barat. Nasionalisme rakyat Papua Barat perlahan mulai tereduksi.

Jika ada sebuah gerakan di Papua Barat yang menyatakan bentuk

Nasionalismenya, hal ini dianggap sebagai sebuah tindakan yang melanggar

hukum dan harus diproses. Sejak saat itu, bendera bintang kejora yang biasanya

91

Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Internal dan Eksternal Papua, Universitas Gadjah

Mada 2016 92

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.

53

dikibarkan dan lagu Hai, Tanahku Nieuw Guinea yang sering dinyanyikan tidak

lagi berkibar dan terdengar nyanyiannya.

Gambar 9 Belanda meninggalkan Papua Barat

Kontrol de facto dari UNTEA terhadap Papua Barat dimanfaatkan oleh

Indonesia untuk mengirim sejumlah pasukan dengan bekerja sama dengan pasukan

dewan keamanan PBB di bawah pimpinan Jenderal Said Uddin Khan (Pakistan).

Tidak sampai di situ saja, pelbagai jabatan penting di Papua Barat saat itu dikuasai

oleh Pemerintah Indonesia seperti di Kejaksaan, Pengadilan, Komunikasi dan lain

sebagainya. Berbagai departemen dan divisi-divisi diperbantukan oleh orang

Indonesia sebagai deputy director dan deputy resident93

.

Strategi ini digunakan UNTEA agar kelak dapat mempermudah pengalihan

kekuasaan dari UNTEA ke Indonesia. Secara praktis semua pos telah ditempati

oleh orang Indonesia. Setelah, pemerintahan sementara (UNTEA) diberikan

93

Johannes Rudolf Gerson Djopari, Pemberontakan organisasi papua merdeka. Jakarta:

Grasindo, 1993.

54

kepada pemerintah Indonesia, semua partai politik yang didirikan pada zaman

Belanda dibubarkan oleh pemerintah Indonesia. Pembubaran ini juga didukung

oleh beberapa kaum elit Papua Barat yang pernah menjadi pelopor dalam

berdirinya partai-partai tersebut.

Pemerintah Indonesia juga menempatkan beberapa orang Papua Barat pro

Indonesia pada jabatan pemerintahan. Eliezer Jan Bonay ditunjuk sebagai

Gubernur pertama di Irian Barat, Dirk Ajamiseba menjadi wakil ketua DPRD

Provinsi Irian Barat, sementara Silas Papare, Marthen Indey, Lukas Rumkorem

dan Albert Karubuy menjadi utusan Irian Barat di MPR. Gerakan Merah Putih

juga didirikan untuk menggalakan semangat Nasionalisme Indonesia kepada

masyarakat Papua. Semua ini bertujuan menciptakan sebuah kemudahan bagi

Indonesia untuk memenangkan an act of free choice.

Di sisi lain, kaum nasionalis Papua Barat menyadari politik propaganda

yang dilakukan untuk merebut hak-hak mereka. Mereka kemudian mendirikan

berbagai organisasi gerakan perjuangan yang dalam perkembangannya disebut

oleh pemerintah Indonesia dengan sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Sejumlah organisasi ini berdiri di beberapa daerah dan memiliki tujuan yang sama

yakni mendirikan sebuah negara merdeka tanpa intervensi dan memihak kepada

siapapun.

Di Jayapura dibentuklah gerakan yang dinamai “Gerakan Menuju

Kemerdekaan Papua Barat” yang dipimpin oleh Aser Domotekay yang dulu

adalah kepala distrik Demta pada tahun 1963. Tahun 1964 di Manokwari

didirikan “Organisasi dan Perjuangan menuju Kemerdekaan Papua Barat”.

Gerakan ini dianggap sebagai gerakan pengacau keamanan oleh Indonesia.

55

Mereka melakukan berbagai pemberontakan secara radikal dan juga membangun

doktrin ideologi untuk memerdekakan Papua.

Berbagai hal yang sangat tidak terpuji dipertontonkan oleh Indonesia di

Papua Barat. Semua benda peninggalan Belanda seperti motor vespa, wastaffel,

kaca nako, lemari besi, kipas angin, tangga pesawat, sepeda dan lain-lain diangkut

dengan alat transportasi ke daerahnya. Selain itu, pemerintah Indonesia juga

melakukan nasionalisasi rumah milik masyarakat dengan alasan rumah tersebut

bekas peninggalan Belanda dan harus diserahkan kepada pemerintah. Semangat

anti kolonial juga diterapkan dan diimplementasikan Indonesia dengan membakar

dokumen-dokumen penting (buku cetak dan arsip sejarah Papua Barat) dalam

bahasa Belanda. Hal ini berdampak di masa sekarang, literatur tentang Papua sulit

untuk ditemukan di Papua dan hanya dapat ditemukan di negeri Belanda.

Selanjutnya, untuk mendapatkan bahan makanan, aparat keamanan pada

masa itu, kerap kali meneror pemilik usaha dagang (toko dan kios) dengan senjata

agar mendapatkan bahan makanan secara gratis. Berbagai kritikan telah dilakukan

oleh orang asli Papua Barat (pejabat maupun masyarakat) atas sikap aparat

keamanan Indonesia yang dianggap melanggar hukum yang berlaku. Namun, tidak

sedikit dari mereka (Orang Papua Barat) diteror dan diintimidasi akibat kritikan

yang dilontarkan.

J.R.G. Djopari94

dalam tesisnya kemudian menjelaskan:

Sebenarnya Pemerintah Indonesia secara politik dan ideologi telah

berhasil merebut misinya yang berpuncak kepada PEPERA, sekalipun di

sana sini terdapat insiden-insiden maupun ganguan terhadap keamanan

wilayah perwujudan ketidakpuasan sebagian masyarakat Irian Jaya atas

proses integrasi itu. Apalagi ditunjang dengan situasi ekonomi yang sulit,

94

Johannes Rudolf Gerson Djopari, (1991), Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka,

(Studi kasus tentang integrasi politik di Irian Jaya dari tahun 1964 sampai dengan tahun 1984),

Tesis FISIP UI, Jakarta. hal 127.

56

dan perbedaan kultur yang besar, dan sikap oknum-oknum ABRI dan sipil

yang kurang terpuji. Sikap pribadi yang kurang terpuji ini dengan

sendirinya memberi warna dan kesan yang negatif dari masyarakat atau

sebagian besar masyarakat Irian Jaya terhadap Indonesia.

Intisari dari pemikiran Djopari ini secara jelas menggambarkan kekerasan dan

kebohongan secara koorporasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan

PBB dalam Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Situasi ini diperburuk dengan

kekerasan (terror intimidasi dan pembunuhan) oleh aparat keamanan Indonesia.

Salah satu kejadian dilaporkan oleh Wartawan Brian May dalam

Osborne95

, Pada akhir bulan Mei menjelang PEPERA, di sekitar danau Sentani,

seorang Mayor Indonesia bernama Soewondo, mengumpulkan dua ratus kepala

desa dan mengancam akan menembak mati mereka, jika tidak memberi dukungan

kepada Indonesia dalam proses penentuan pendapat tersebut. Ancaman serupa

juga dilontarkan oleh Jenderal Ali Murtopo kepada 1025 orang yang nantinya akan

melakukan proses pemilihan. Jika mereka ingkar janji untuk tidak memberikan

dukungan kepada Indonesia pada saat pemilihan berlangsung, mereka akan

ditembak mati96

.

Fakta sejarah ini mengungkapkan bahwa PEPERA tidak dilakukan sesuai

dengan kesepakatan New York Aggrement. Kesepakatan yang seharusnya one man,

one vote, tetapi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Dari 809.337 rakyat Irian

Barat yang harus memilih, hanya 1025 (dengan ancaman) yang dipilih sebagai

95

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001. 96

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.

57

dewan PEPERA. P.J Droglever dalam bukunya berjudul “Tindakan Pilihan Bebas”

menjelaskan97

(Droglever 2010) :

Pada awalnya orang-orang Papua yang paling sadar politik

menggantungkan harapan pada Tindakan Pemilihan Bebas. Tetapi,

ternyata Indonesia hanya menunjukkan sedikit sekali minat untuk

melaksanakan Tindakan Pemilihan Bebas ini secara benar. Sikap Jakarta

berubah ketika Soeharto memegang tampuk kekuasaan sebagai presiden

Indonesia yang baru. Ketika ia mulai memerintah, negara dalam keadaan

kacau dan ekonomi porak poranda, sementara ia sangat memerlukan kredit

internasional. Untuk itu, Indonesia harus memperoleh respek

internasional. Indonesia harus menunjukkan bahwa ia mampu untuk patuh

kepada ketentuan-ketentuan internasional. Tindakan Pemilihan Bebas,

yang merupakan bagian terakhir dari Persetujuan New York, menawarkan

kesempatan itu. Walaupun begitu, presiden yang baru ini memberikan

syarat bahwa satu-satunya hasil yang bisa diterimanya adalah keputusan

yang berpihak pada Indonesia.

Kedatangan Ortiz Sanz di tahun 1968 sebagai wakil Sekertaris Jenderal

PBB dengan tujuan membantu menyiapkan proses ini. Awalnya Ortiz Sanz

antusias dengan harapan akan mampu menyelenggarakan suatu referendum yang

kredibel sesuai dengan standar-standar internasional. Harapannya diperkuat

dengan sikap Menteri Luar Negeri, Adam Malik yang telah mengunjungi Nieuw

Guinea, berhasil mendesak untuk mengakui bahwa Papua perlu untuk dikelola

dengan serius. Salah satu cara menurutnya dengan mempercepat Penentuan

Pendapat Rakyat98

.

Sementara dipihak lain, rakyat Papua banyak melakukan pendekatan

dengan pihak asing untuk menyampaikan keluhan mereka bahwa Indonesia

bukanlah negara yang baik. Mereka meminta kepada pihak asing untuk

mengatakan permasalahannya kepada dunia. Di sisi lain Ortiz Sanz mendapat

laporan bahwa PBB menerima 179 petisi dari masyarakat Papua Barat. Petisi ini

97

P.J Droglever, Tindakan Pilihan Bebas! "Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri .

Yogyakarta: Kanisius, 2010. 98

Droglever, P.J. Tindakan Pilihan Bebas! "Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri .

Yogyakarta: Kanisius, 2010.

58

berisikan permintaan pembentukan negara Papua Barat dan mengeluhkan tindakan

represif aparat keamanan Indonesia seperti pemenjarahan tahanan politik yang

terus berlanjut, serta pelecehan dalam proses demokrasi99

.

Salah satu petisi disampaikan oleh sekitar 2000 orang demonstran kepada

Ortiz Sanz, 11 April 1969. Namun para demonstran dibubarkan secara paksa oleh

tentara Indonesia. Ortiz Sanz mengalami situasi yang dilematis. Selain itu, ia

mencoba menanggapi serius petisi-petisi ini dan meneruskan ke mitra

Indonesianya, Sudjarwo Tjondronegoro. Ia meminta Sudjarwo mengambil sebuah

tindakan dalam menyelesaikan persoalan dengan referendum. Sudjarwo menyela

dan menganggap permintaan Ortiz Sanz sebagai intervensi yang tidak perlu.

Indonesia menolak bentuk referendum yang disarankan oleh Ortiz Sanz, dan

memilih sistem musyawarah yang dilegitimasi sebagai tradisi Indonesia100

.

Istilah ini yang kemudian merupakan pilihan terakhir dari implementasi

persetujuan New York dan menjadi prinsip utamanya. Di dalam sistem ini,

dimungkinkan hanyalah keputusan kolektif melalui persyaratan konsensus yang

sempurna. Ortiz Sanz merasa jenuh dengan manuver politik yang dilakukan oleh

panitia PEPERA Indonesia. Praktik-praktik lainnya yang dilakukan oleh Indonesia

kepada PBB untuk menghambat proses ini dengan membatasi transportasi,

memanipulasi penerjemah, sampai kepada proses pemilihan. Saat pemilihan

berlangsung, masyarakat secara terpaksa menjawab bahwa mereka tidak ditekan

sebelum memilih101

.

99

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di

Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001. 100

Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua. Yogyakarta:

Library Universitas Gadjah Mada, 2016. 101

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia

di Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.

59

Namun dalam catatannya, Ortiz Sanz menulis bahwa pemerintah Indonesia

secara nyata melakukan kontrol politik yang ketat dalam proses pemilihan. Hal

tersebut juga dikatakan oleh Bob Hawkins, redaktur Pacific Islands Monthly, yang

saat itu menyaksikan proses PEPERA di Lembah Baliem. Ia mengatakan bahwa

ada petugas Indonesia yang menggunakan rotan tebal untuk memukul orang-orang

Dani yang dikumpulkan dalam sebuah balai pertemuan dengan tujuan agar mereka

memilih bergabung dengan Indonesia102

.

Pada akhirnya, implikasi politis dari musyawarah mufakat yang diterapkan

oleh Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat, berakhir dengan bergabungnya

Irian Barat (Papua) secara utuh ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI).

Gambar 10 Tugu PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Kota Jayapura

102

Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia

di Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.

60

2.3. Fase Transformasi Sakralitas-Nasionalisme Papua

Setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui tata cara Penentuan

Pendapat Rakyat, aksi protes dengan melakukan sejumlah pengibaran bendera

Bintang Kejora yang melibatkan beberapa kelompok. Mereka tidak menerima

hasil Penentuan Pendapat Rakyat yang dilakukan dalam intervensi dan konrol

politik kepada orang Papua. Meskipun hal lain yang mendasar mereka bergerak

juga berkaitan dengan narasi sakral yang mereka percayai akan mendatangkan

pembebasan dari dunia penderitaan menuju dunia yang ideal. Jangka waktu dari

beberapa pengibaran bendera bintang Kejora tidak jauh dari tahun proses

pemilihan ini. Menariknya, pengibaran bendera ini secara massif terjadi selama

puluhan Tahun di dalam setiap momentum untuk memeringati sebuah peristiwa

bersejarahnya dan sebagai bentuk protes terhadap berbagai situasi yang terjadi di

masa itu.

Pada Tabel 1 akan ditemukan sejumlah gerakan perlawanan secara

presentatif pasca bergabung dengan Indonesia. Mereka mengibarkan bendera

Bintang Kejora sebagai bentuk perlawanan dan presentasi identitas dan perasaan

berbeda dengan Indonesia.

Tabel 2. Daftar Aksi Gerakan Massa di Papua 1971-1999

Aksi Gerakan

Aktor Lokasi Tahun

Proklamasi kemerdekaan Papua dan aksi

protes terhadap pelanggaran Hak Asasi

Manusia (HAM) menjelang Penentuan

Pendapat Rakyat (PEPERA)

Seth Jacob Rumkorem,

Jacob Prai, Dorinus Mauray,

Philemon Tablamelina

Jerisetou Jufuway, Louis

Wajoi

Waris 1971

61

Aksi pengibaran bendera dan rencana

penyerbuan kantor Gubernur

Persila Yakadewa,

Barbalina Ikari, Merry

Yarona, Vonny Yakadewa,

Renny Yakadewa, dan

Dominggas Fisirewa-

Yakadewa

Kantor

Gubernur

1980

Penyerangan dan percobaan pembebasan

tahanan KOPKAMTIB

Tidak diketahui Penjara

Abepura

1981

Mengibarkan bendera bintang kejora dan

membacakan teks proklamasi Papua Barat

9 mahasiswa Universitas

Cenderawasih

Abepura 1982

Pengibaran bendera bintang kejora Elias Warsey, Angitta

Kodam XVII Cenderawasih

Kantor

DPRD

Tingkat 1

1984

Proklamasi OPM dan pengibaran Bendera

Bintang 14

Thomas Wanggai dan 60

orang simpatisan

Jayapua 1988

Pengibaran bendera bintang kejora dan

tuntutan pemisahan diri dari NKRI. Kejadian

ini dikenal dengan Tragedi “Biak Berdarah”

Filep Karma dan simpatisan Biak 1998

Bendera Bintang Kejora dikibarkan

berdampingan dengan bendera Merah Putih

oleh masyarakat Nimboran

Yance Hembring dan

Mesakh Hembring dan

simpatisan

Nimboran 1999

Pengibaran Bendera Bintang Kejora Yoas Yafle, Hans

Kambuaya, Yakomina Isir,

Yance Wabdaron

Sorong 1999

Pengibaran Bendera Bintang Kejora Yosepha Alomang dan Pdt.

Isaac Onawame (tidak

terlibat, namun menyatakan

bertanggung jawab atas aksi

tersebut)

Timika 1999

Pengibaran bendera bintang kejora serentak di

seluruh Tanah Papua dan tuntutan salah

satunya ingin melepaskan diri dari Indonesia.

Theys Hiyo Eluay dan

simpatisan

Jayapura 1999

62

Menurut penelitian Djopari103

, pihak keamanan merespon berbagai aksi

tersebut dengan menangkap dan memenjarakan mereka tanpa melalui prosedur

hukum yang jelas. Belum lagi akumulasi dari pemberontakan di Jayapura dan

Jayawijaya, yang menyerang beberapa pos polisi, gedung-gedung pemerintahan,

fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas di berbagai wilayah di Papua oleh

sejumlah kelompok masa pro kemerdekaan. Namun menariknya, mereka tidak

melakukan penyerangan dan pengerusakan tempat peribadatan salah satunya

gereja. Di samping pada masa itu, aparat keamanan dengan gencarnya melakukan

berbagai operasi militer, yang menurut Rahab104

telah berlangusng lama dan

selalu diingkari perbuatannya oleh Pemerintah Indonesia. Posisi inilah yang

menyebabkan traumatik mendalam terkait ingatan penderitaan akibat kekerasan

yang dialami oleh mereka.

2.3.1 Fashion ; Antara Simbol Identitas dan Perlawanan

103

Johannes Rudolf Gerson Djopari, Pemberontakan organisasi papua merdeka. Jakarta:

Grasindo, 1993. 104

Amiruddin Al Rahab, "OPERASI-OPERASI MILITER DI PAPUA: Pagar makan

tanaman?" Jurnal Penelitian Politik LIPI, 2006: 3.

63

Gambar 11 Seorang Bapak sedang menggunakan Noken (tas) bermotif bendera Bintang

Kejora

Pada sebuah kesempatan mengunjungi kota Jayapura, saya bertemu

dengan seorang ibu yang menjual Noken105

. Rajutannya memiliki motif dan warna

yang variatif. Saya melihat sebuah Noken bermotif Bendera Bintang Kejora.

Kemudian saya bertanya kepada ibu tersebut; Mama, tas ini de (dia) bagus sampe

(sekali), sa (saya) bisa beli yang model begini kah?. Ia menjawab ;Adooh (aduh)

anak, ini su (sudah) ada yang pesan, tapi kalo (kalau) anak ko (kamu) mau seperti

ini, nanti mama buat. Kembali saya bertanya : Mama, kalo (kalau) kitong (kita)

pake (pakai) noken dengan ada motif bendera Bintang Kejora begini, tong (kita)

tra (tidak) dapat tangkap dari polisi dong (mereka) kah? Ibu menjawab: trapapa

(tidak apa) anak, banyak orang juga ada pake (pakai) noken motif bendera, mama

105

Tas kerajinan asal Papua yang terbuat dari anyaman/rajutam anggrek dan akar kayu.

Pada perkembangannya, Noken mengalami modifikasi dengan perubahan bahan dasar benang.

64

juga kemarin lihat ada polisi yang pake (pakai), masa dong (mereka) pake (pakai)

baru dong (mereka) mau tangkap kitong (kita) itu?

Pasca tahun 1999, berbagai aksesoris fashion seperti, tas Noken, gelang,

baju, topi, kostum tarian dan bentuk lainya yang bermotif bendera bintang kejora

massif diproduksi dan dan digunakan di ruang publik. Secara simultan, pihak

keamanan marak melarang penggunaannya. Hal ini dibuktikan dengan penyitaan

dan penangkapan beberapa entitas fashion tersebut106

. Bukan hanya di Papua saja,

melainkan juga terjadi di kota lainnya107

. Cerita di atas merupakan potret

kehidupan masyarakat Papua terkait salah satu dari berbagai cara memahami dan

mengaplikasikan identitas dalam bendera bintang kejora. Perubahan bentuk

bendera bintang kejora telah sampai ke arah yang lebih fashionable. Hal tersebut

ditampilkan oleh masyarakat Papua sebagai praktik dalam aksesoris yang

digunakan. Tas Noken, gelang, baju, stiker, hiasan pada tubuh ketika

membawakan tarian, dan berbagai jenis aksesoris lainnya dengan motif bendera

bintang kejora sering digunakan oleh orang asli Papua, maupun orang non Papua.

106

Lihat,https://kabarmapegaa.com/Artikel/Baca/polisi_sita_noken_motif_bendera_bintan

g_kejora.html ; https://suarapapua.com/2017/11/03/noken-bintang-kejora-dilarang-jual-di-sorong/

; 107

bandingkan, https://regional.kompas.com/read/2019/09/02/17482121/seorang-pemotor-

dihentikan-tni-karena-bawa-tas-bermotif-bendera-bintang ; https://akurat.co/news/id-749749-read-

seorang-pemuda-diamankan-akibat-pakai-noken-motif-bendera-bintang-kejora

65

Gambar 12 Penari Papua menggunakan kostum tarian dengan motif Bintang Kejora

Seorang teman penulis (EA) ketika berulang tahun, ia diberikan kejutan

kue ulang tahun dengan kue bermotif bendera bintang kejora. Sukacita yang

dirasakan ini diabadikan dengan video singkat. Pada rekaman itu, ia

mengatakan108

:

Sa (saya) begitu senang sekali malam ini sudah dapat kue

ulang tahun yang bagus sekali. Sa (saya) cuma mau bilang

dan ajak, siapapun kalau de (dia) merasa orang Papua.

Lakukan hal seperti ini. Ini kitong pu identitas. Mari kitong

sama-sama menghargai nilai yang ada dalam bintang ini.

Gambar 13 Kue dengan motif Bendera Bintang Kejora

108

Data ini didapatkan penulis melalui pengalaman pribadi dari EA (teman penulis), orang

asli Papua, tanggal 5 Oktober 2015, pukul 00.30 WIB.

66

Pernyataan yang bermakna seperti ini bukan saja diungkapkan oleh EA,

namun, pernyataan yang hampir sama juga dilontarkan oleh Filep Karma dalam

bukunya yang berjudul “Seakan Kitorang Setengah Binatang”109

. Ia menilai

bahwa kitorang (kita) tidak boleh takut atau terkungkung dalam ketakutan yang

mendalam. Kita harus bebaskan diri dari rasa ketakutan untuk menyampaikan apa

yang ada dalam nurani kita. Coba Boaz Solossa110

, setelah masukan gol ke

gawang lawan, coba angkat baju di dalamnya ada bendera Papua. “Kitorang (kita)

orang Papua Boaz !” Apa salahnya kalau Boaz lakukan hal ini, itu juga bagian

dari pernyataan jati diri. Pernyataan Filep Karma ini tentunya jika dilihat dari

pandangan berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Filep Karma, tentunya

akan menimbulkan kontroversi.

Penulis berpandangan, mungkin saja, ketika Boaz melakukan hal tersebut

ia akan ditembak mati seketika itu juga karena diangap melawan negara dengan

memunculkan atribut yang menurut Jakarta (negara) melanggar kedaulatan

negara. Tetapi mungkin saja, ketika Boaz melakukan demikian, ia akan mendapat

sanjungan dari rakyat Papua dan memunculkan rasa memiliki identitas bersama,

meskipun Boaz menjadi subjek dari apa yang ia lakukan. Bukan saja contoh

seorang Boaz yang adalah orang asli Papua.Seorang amber (pendatang) juga

terlihat menggunakan gelang dengan bermotifkan bendera bintang kejora di salah

satu jalan dikota Jayapura111

. Awalnya penulis menyangsikan apa yang penulis

109

Filep Karma, Seakan Kitorang Setengah Binatang. Jayapura: Deiyai, 2014. 110

Pemain Persipura Jayapura dan Timnas Indonesia, berasal dari Sorong, Papua

(Ayamaru) 111

Catatan lapangan penulis, 13 Agustus 2015.

67

lihat, setelah mendekat, ternyata semakin membenarkan bahwa yang

digunakannya ialah gelang bermotifkan bendera bintang kejora.

Pada uraian singkat dari sekelumit cerita tentang identitas yang

fashionable, ada duahal yang dimaksudkan pada konteks uraian identitas bintang

kejora dalam bentuk fashionable. Pertama, pada kenyataannya transformasi

bendera bintang kejora ke arah fashionable telah memberikan ruang berekspresi

kepada masyarakat Papua yang memahami tentang makna dari bendera bintang

kejora.Ekspresi yang dimaksud penulis ialah ekspresi yang aman dalam

memperkenalkan dan mematenkan identitas yang dimiliki untuk menghindari

represi terkait perbedaan pandangan yang menimbulkan ketakutan ini.

Kedua, dari transformasi bendera ke arah fashionable, memungkinkan

adanya semangat identitas tanpa dan lintas batas. Maksudnya ialah, siapapun dia,

dari manapun ia berada, ketika ia mengaplikasikan transformasi bendera bintang

kejora yang fashionable dalam aktivitasnya. Secara tidak langsung ia juga

mengakui hal ini sebagai identitasnya. Ketiga, transformasi identitas yang

fashionable dalam bendera bintang kejora juga mengalami kompleksitas

pemahaman. Dengan demikian, stigma dan sterotipe yang membuat kompleksitas

pemahaman ini muncul. Untuk itu, kedua hal ini perlu dihilangkan dalam

kerangka berpikir untuk mengenal secara baik nilai tentang bendera bintang

kejora yang fashionable.