bab 2 sakralitas-nasionalisme papua dan fase pergerakannnya
TRANSCRIPT
1
BAB 2
Sakralitas-Nasionalisme Papua dan Fase Pergerakannnya
Tulisan menohok karya Soewardi Soerjaningrat / Ki Hadjar Dewantara
kala itu yang dimuat di Surat Kabar De Ekspress di tahun 1913, berjudul “Als Ik
Eens Nederlander Was” (Kalau saya seorang Belanda) memberikan sumbangsih
penting dalam menciptakan dan menyemaikan Nasionalisme Indonesia. Karya
yang provokatif ini, berisi tentang kritik persuasif terhadap rencana perayaan pesta
megah di Hindia-Belanda untuk memeringati hari lepasnya Belanda dari jajahan
Perancis. Hal ini disebabkan oleh sikap Pemerintah Belanda yang memaksakan
rakyat Hindia-Belanda agar turut membiayai pesta, dengan memungut uang dari
mereka. Tulisan sarkastik ini menyebabkannya ditangkap dan diasingkan ke
Belanda.
Narasi historis ini kemudian memberikan ruang kepada Ben Anderson1
untuk menghasilkan karya yang berjudul Imagined Communities: Reflections on
the Origin and Spread of Nationalism. Ben memulai tesisnya dengan pertanyaan
mengapa di Hindia-Belanda hadir keterikatan di sebuah komunitas, terdiri dari
orang yang tidak saling mengenal, berbeda suku dan dan agama, namun
menyatakan dirinya sebuah bangsa? Kemudian ia menemukan satu kata yaitu
“Nasionalisme” yang telah mengikat mereka sebagai sebuah bangsa. Selanjutnya,
salah satu faktor penting dalam menyemaikan “kesadaran nasional” sebagai
komunitas sebuah bangsa ialah bahasa dan kapitalisme cetak .
Lebih lanjut menurut, produk cetak seperti surat kabar dan novel di awal
abad ke 19 telah memungkinkan kesadaran dominan masyarakat. Pada konteks
1 Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism. New York: Verso, 1983.
2
Indonesia, beberapa karya cetak salah satunya tulisan “Als Ik Eens Nederlander
Was” (Kalau saya seorang Belanda) juga memberikan kesadaran Nasional.
Menurut Ben, ketika membaca dan memahami tulisan ini, secara simultan telah
menghasilkan pola pikir dan kesadaran masyarakat tentang dirinya dan orang lain.
Rasa senasib akibat penjajahan yang sama, kemudian menciptakan komunitas
yang terbayang dan menghasilkan embrio Nation-State yang menyatakan
kecintaan dan pengorbanan sebagai sebuah bangsa yang disebut sebagai Bangsa
Indonesia. Pendekatan yang dilakukan oleh Ben2 sejatinya menawarkan lokus
berbeda dengan konteks wilayah Indonesia lainnya, termasuk Papua. Sepertinya
di tahun 1999 Ben mulai menyadarinya bahwa untuk mengukur Nasionalisme
melalui kerangka “proyek bersama” untuk Papua telah selesai3.
Sejenak bila ditelisik lebih mendalam, saya menemukan indikator-
indikator yang menegaskan historis perbedaannya. Pertama, proses integrasi yang
terlambat dari Papua menjadi Bangsa Indonesia berlangsung di Tahun 1969,
tentunya telah menjauhkan diri dari bayangan sebuah Bangsa yang merdeka di
Tahun 1945. Kedua, merujuk kepada kapitalisme cetak sebagai pendekatan yang
ditawarkan oleh Ben Anderson, telah ada proses kapitalisme cetak di Nederlands
Nieuw Guinea (Papua) saat itu. Namun, beberapa surat kabar seperti De Tifa dan
Triton lebih menekanan narasi kepapuan yang dalam penelitian Bernarda
2 Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism. New York: Verso, 1983. 3 Benedict RO'G Anderson. "Indonesian nationalism today and in the future." . Jakarta:
Tempo, 1999.
3
Meteray4 menyebutkan bahwa salah satunya terbentuk identitas kepapuan berasal
dari kontak budaya dengan kolonialisme.
Ketiga, tidak semua orang di Papua saat itu dapat mengakses surat kabar,
mungkin kita hanya menemukan elite-elite lokal Papua yang dapat mengakses.
Namun sebagian masyarakat lokal belum dapat mengakses surat kabar.
Sebagaimana juga, hanya sebagian dari mereka di sekolah peradaban yang telah
mengakses pendidikan. Maka disangsikan, meraka dapat membaca surat kabar
produk koloni lainnya seperti yang dikembangkan melalui pemikiran5.
Oleh karenanya, bagaimana dengan Nasionalisme Papua? Penelitian ini
menemukan bahwa Nasionalisme dalam konteks Papua berawal dari sebuah
bentuk entitas sakral, yang dalam penelitian Hutubessy6 disebut sebagai
Sakralitas-Nasionalisme Papua. Untuk memahami lebih mendalam konsep
Nasionalisme ini, akan ditampilkan ketiga fase historis perjumpaan dan
pergerakannnya. Sebelum membahas fase dalam tulisan ini, kita perlu untuk
memilah konteks Papua yang bersifat administratif dan non administratif,
sehingga kita tidak terjebak dalam menelisik dan memahami antara pendekatan
secara politis dan apolitis.
2.1. Fase Hibrid Sakralitas-Nasionalisme Papua
2.1.1 Cargo Cult ; Sebuah Basis Sakral dan Dinamikanya
4 Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2012.
5 Anderson, Benedict. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism. New York: Verso, 1983.
6 Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua. Yogyakarta:
Library Universitas Gadjah Mada, 2016.
4
Fase mempertemukan narasi kepercayaan lokal dan narasi kolonial
(Kekristenan). Keduanya saling bernegosiasi antar identitasnya. Menurut Enos
Rumansara, secara antropologi berbagai suku di Papua memiliki beragam
kepercayaan lokal, terintegrasi dalam kosmologinya masing-masing7. Setiap
kepercayaan memiliki konsep dan panggilannya yang berbeda-beda kepada yang
transenden. Misalnya orang Moy di Sorong menyebut dengan sebutan Fun Nah,
orang di Teluk Wondama menyebut dengan sebutan Syen Allah, orang Asmat
menyebut dengan sebutan Alawi, orang Malind Anim menyebut dengan sebutan
Dema, dan orang Biak menyebutnya Manseren Nanggi8. Beberapan penyebutan
kepada yang transenden memiliki hubungan dengan kepercayaan Cargo Cult /
kargoisme yang berkembang kuat di wilayah Melanesia. Mereka memercayai
bahwa yang transenden akan datang dan membawa mereka dari dunia profan
kepada dunia ideal yang memberikan kehidupan yang kekal9.
Bagi masyarakat Biak, Mansren Nanggi merupakan sosok yang
memberikan kehidupan yang Korer (damai)10
.:
Koreri is a word in the Biak language meaning 'We change it' (literally
Ko, We [incl.], rer, change, /, it). Rer means to change skins, and Biak
people liken the Koreri process to a snake or lobster changing its skin.
Two closely related meanings distinguished here are given further
amplification in the two chapters which follow, in the context of mythical
and historical events. In its most well-known meaning among outsiders,
Koreri is renewal made possible by a millenarian myth, the myth of
Manseren, which promises a metamorphosis where the visible and the
invisible, mortals and immortals, endings and beginnings, life and death
are joined together in a terrestrial paradise. From time to time the
pressure of dissonant events gives rise to movements which herald such a
metamorphosis. Characteristically these movements find public expression
7 Enos Rumansara, interview by Fred Keith Hutubessy. Cerita Manarmakeri (Agustus 8,
2015). 8 Agapitus Ezebio Dumatubun, Perspektif Budaya Papua. Jayapura: BPNB Papua, 2012.
9 J.G Sterlan dan J.A Godschalk, Kargoisme di Melanesia. Jayapura: Pusat Studi Irian
Jaya, 1989. 10
Markus Wonggor Kaisiepo dan Nonie Sharp, The Morning Star in Papua Barat. North
carlton: Arena Publications, 1994.
5
in dramatic actions which symbolise the ending of the existing order:
people stop working, gardens and livestock are destroyed, men and
women are gripped by trance and 'possession'.
Koreri memberikan janji pembaharuan yang dimungkinkan oleh mitos
millenarian. Mitos Mansren menjanjikan metamorfosis kepada yang tampak dan
yang tak terlihat, antara manusia dan yang transenden, antara manusia dan
kehidupan abadi, antara akhir dan awal, antara kehidupan dan kematian yang
berintegrasi bersama dalam dunia idealnya. Dari masa ke masa, tekanan disonansi
mengakibatkan gerakan-gerakan massa semakin massif11
.
Karakteristik gerakan-gerakan tampil sebagai ekspresi publik melalui aksi
dramatis yang melambangkan akhir dari sebuah tatanan yang telah ada (Nonie
Sharp, Markus Wonggor Kaisiepo 1994). Kondisi ini sangat jauh dari dunia sakral
yang mereka percaya dan harapkan. Sakralitas Biak terintegrasi dalam narasi
metafisik transenden yang terimplementasi dalam narasi mitos Manarmakeri (J.G
Sterlan dan J.A Godschalk 1989). Bagi orang Biak, sosok ini merupakan
pahlawan yang akan datang dan menyelamatkan mereka dari dunia orang mati,
sehingga menurut Kamma12
, banyak unsur dari cerita rakyat orang Biak selalu
dikaitkan dengan mitos ini.
Cerita Manarmakeri berawal dari Yawi Nushado, seorang yang mengidap
penyakit kudis. Sehari-harinya, orang di kampung Sopen, Biak Barat
memanggilnya Manarmakeri ; Man (manusia), Armakaer, (kudis), dan i berarti
(laki-laki), yang berarti seorang laki-laki dengan penyakit kudis. Menurut
11
Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua. Yogyakarta:
Library Universitas Gadjah Mada, 2016. 12
F.C Kamma, Messianic Movements in The Biak-Numfor Area. The Hague, Martinus
Nijhoff, 1972.
6
Rumansara13
, hingga kini orang memanggilnya dengan beberapa nama seperti
Kayan Byak (kekayaan Biak), Kayan Sanau (kekayaan Kudis), Mansren Koreri
(Tuhan Koreri), Mansren Manggundi (Tuhan Sendiri), dan Mansar Manarmakeri
(Tuan atau yang dituakan). Suatu waktu ketika ia sedang berkebun, seekor babi
memasuki pekarangan dan menghancurkan kebunnya. Kemudian, ia mengambil
Makbak (tombak) dan melemparkannya tepat mengenai babi itu. Manarmaker
berlari mengejar babi dengan Makbak (tombak) yang tertancap ditubuhnya sampai
ke dalam sebuah gua.
Tiba-tiba suara yang tidak berwujud menegurnya. Bersamaan dengan itu,
tampaklah pengelihatan kepadanya tentang saudara dan kerabatnya yang telah
lama meninggal. Dalam pengelihatan itu, mereka hidup bahagia. Peristiwa ini
menjadi tanda baginya untuk mendapatkan kehidupan yang kekal. Seketika ia
berusaha untuk bersama-sama dalam pengelihatan itu. Namun, ia tidak dapat ke
sana karena masih berada di Sasor (dunia nyata). Setelah kejadian itu, ia terus
memikirkan cara untuk memperoleh kehidupan bersama dengan keluarganya.
Suatu ketika, Korano Sopen mengadakan sayembara dengan mengumpulkan
seluruh pemuda. Ia memerintahkan mereka untuk menangkap putri Swandibori
yang tinggal bersama seekor Maswar (kasuari) di hutan bakau.
Korano menjanjikan bahwa siapa yang berhasil menangkap Swandibori,
akan dinikahkan dengan adiknya. Sayembara itu pun dimenangkan oleh
Manarmakeri. Sementara itu, Korano mengingkari janjinya. Sebagai gantinya, ia
memberikan seekor babi. Manarmakeri ditolak oleh karena kudis yang diderita.
13
Enos Rumansara, interview by Fred Keith Hutubessy. Cerita Manarmakeri (Agustus 8,
2015).
7
Saudara-saudaranya datang mengambil babi itu, memotongnya dan mengolahnya
untuk dimakan. Mereka memakannya, namun tidak menyisahkan sepotong olahan
daging pun kepada Manarmakeri. Hal ini membuatnya marah dan pergi dari
Sopen. Ia berjalan melalui Maudori, Samberi, dan selanjutnya beristirahat di
Mokmer. Di sana, ia bertemu dengan Sawakurima Padawakan Rumbiak dan
tinggal bersamanya untuk sementara waktu. Sebelum pergi, Rumbiak memberinya
sebuah kelapa tua dan Wendu sebagai bekal. Ia kemudian melanjutkan perjalanan
ke Meokbundi di kepulauan Padaido. Sesampainya di sana, ia menanam kelapa
itu. Ajaibnya, seketika buah itu tumbuh menjadi pohon kelapa. Kemudian, ia
mengelolanya hasil dari pohon itu menjadi Saguer (minuman lokal), dan
menikmatinya sepanjang hari.
Suatu waktu ketika ia hendak memeriksa tampungan Saguer miliknya,
tampak tempayan penampung telah kosong. Ia mencurigai bahwa ada orang yang
datang dan mencurinya. Untuk memastikannya, Manarmakeri memutuskan untuk
tinggal di atas pohon dan menjaga tampungannya itu. Menjelang pagi, ia melihat
sesosok makhluk yang mecoba mengambil Saguer miliknya. Ternyata, sosok
tersebut berasal dari bintang pagi atau dalam bahasa Biak disebut
Kummeser/Sampari. Menyaksikan itu, ia memutuskan untuk menangkapnya.
Sosok itu memohon kepada Manarmakeri untuk melepaskannya, dan berjanji
akan memberitahukan rahasia Koreri Syaben (kekekalan), seperti peristiwa yang
disaksikan sebelumnya. Sosok ini kemudian memberitahukan kepadanya bahwa ia
harus bertemu dengan seorang perempuan cantik di Meokbundi bernama Insoraki.
Namun sebelumnya, ia harus mencari buah Mares (buah pohon bintanggur) dan
8
melemparkannya melalui air. Buah itu harus tepat mengenai payudara Insoraki
saat mandi di kali.
Manarmakeri melakukan semua yang diperintahkan oleh Kummeser /
Sampari. Sejak peristiwa itu, Insoraki mengandung dan melahirkan seorang anak
laki-laki yang diberi nama Manarbew (Pembawa damai). Kejadian yang dialami
oleh Insoraki membuat kehebohan bagi masyarakat di kampungnya, lebih khusus
keluarganya. Mereka bertanya-tanya, siapa ayah dari anak tersebut?. Untuk
menemukannya ayah dari anak itu, maka diadakan ritual Wor yang wajib diikuti
oleh seluruh laki-laki di Meokbundi. Manarmakeri turut mengambil bagian di
dalamnya. Ketika sampai gilirannya untuk melakukan ritual itu, tiba-tiba
berlarilah Manarbeuw dan memeluknya serta berkata ; „ Yae Isoiwu „ yang berarti
“ Ini ayahku”. Semua orangpun tercengang menyaksikan hal ini. Seketika mereka
merasa jijik dengan peristiwa itu terlebih melihat kondisi tubuh Manarmakeri.
Keluarga Insoraki memutuskan pergi meninggalkan pulau itu, dan hanya
menyisakan Manarmakeri, Insoraki, Manarbeuw dan adik Insoraki. Sepeninggal
mereka Manarmakeri menyiapkan seluruh keperluan mereka termasuk makanan.
Ia juga melakukan beberapa mujizat.
Pada suatu kesempatan, Sampari memberikan petunjuk kepadanya untuk
membuat sebuah api besar. Samoari memerintahkannya untuk masuk ke dalam
api itu. Aneh bin ajaib, seketika kulitnya yang dulu terbakar habis, berubah
menjadi benda-benda bernilai. Manarmakeri berubah menjadi seorang laki-laki
yang tampan. Setelah peristiwa itu, ia dipanggil menjadi Manseren Manggundi
atau “Tuhan sendiri”.
9
Kemudian, Manarmakeri membuat perahu besar dan memboyong mereka
semua untuk berlayar sambil mengejar keluarga istrinya yang telah pergi. Ia
mendapatkan mereka. Ia menceritakan semua hal yang telah terjadi kepadanya
dan menawarkan untuk memeroleh hidup kekal. Akan tetapi, mereka tidak mau
mendengarkannya. Akibat tidak mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah
diberitahukannya, maka keluarga istrinya kehilangan kesempatan untuk
mendapatkan Koreri (Kehidupan Kekal). Ia beserta keluarganya melanjutkan
perjalanannya menuju pantai utara. Dalam pelayarannya, ia menciptakan beberapa
pulau seperti pulau Numfor, empat rumah klen dan keret, serta penghuninya.
Di dalam perjalanannya, ia bertemu dengan sebagian orang dan
menceritakan kisah itu. Mereka juga tidak percaya bahwa ia dapat melakukan
mujizat, salah satunya membangkitkan orang mati tidak. Sebagai akibatnya,
orang-orang yang tidak memercayainya harus mati dan mengusahakan sesuatu
dengan bekerja keras guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Manggundi, kemudian
berangkat ke arah barat dan berjanji untuk kembali setelah keturunan yang ke
delapan. Setelah kedatangannya kembali, ia akan memberikan suasana dan
kehidupan yang Koreri (damai).
Kekuatan yang terkandung dalam mitos ini, menyebabkan lahirlah
sejumlah gerakan penantian. Mereka percaya dan menantikan janji-Nya, untuk
datang dan menyelamatkan mereka dari penderitaan saat itu. Tulisan Sterlan dan
Godschalk14
yang menelisik beberapa catatan dari Kamma15
menjelaskan, terdapat
14
J.G Sterlan dan J.A Godschalk. Kargoisme di Melanesia. Jayapura: Pusat Studi Irian
Jaya, 1989. 15
F.C. Kamma, Messianic Movements in The Biak-Numfor Area. The Hague, Martinus
Nijhoff, 1972.
10
29 gerakan Koreri. Pada tabel 1, tampak beberapa gerakan yang tercatat telah
berkembang dan menyebar di beberapa wilayah.
Tabel 1. Gerakan-gerakan Koreri
Tahun Peristiwa
1855 Banyaknya persembahan yang dibawakan kepan Konoor (Bentara
Manggundi) di Pulau Numfor. Tersiar berita tentang Manggundi yang akan
datang untuk membebaskan mereka dari penjajahan kesultanan Tidore
1860 Dua orang yang berasal dari Numfor yang menyatakan mereka telah ke
surga (terletak di bawah bumi) selama lima hari. Mereka membawa kabar
bahwa orang-orang yang telah mari akan hidup kembali dan mereka yang
hidup akan tetap hidup seterusnya. Sumber makanan akan selalu tersedia.
Gerakan ini ditentang oleh Carl Willem Ottow, salah satu penginjil mula-
mula. Ia menantang Konoor untuk membawanya ke surga jika mereka ke
sana, atau menyebabkannya meninggal. Dua tahun setelah itu ia
meninggal, dan kemudian membuat mereka semakin percaya dengan
gerakan ini.
1861-
1864
Terdapat wabah cacar dan gempa bumi yang menyebabkan banyak orang
meninggal termasuk tiga zending (pekabar injil). Mereka dihidari oleh
masyarakat karena dianggap sebagai pembawa bencana.
1867 Seorang Konoor, memberitakan kabar bahwa ia dapat membangkitkan
orang mati dan menjanjikan hidup yang kekal kepada para orang tua, dan
memberi makan kepada satu kampong. Hal ini semakin memperkuat
perasaan benci terhadap Zending.
1868 Seorang Konoor, hadir di Doreh, Manokwari dan tinggal di sebuah rumah
yang berdekatan dengan zending yang bernama Jimmy Lodwick van
Hasselt. Ia menyatakan dapat membangkitkan kerabatnya yang meninggal
dan menyembuhkan anak lelaki yang sedang sakit. Menurutnya,
Manggundi telah ada bersama-sama dengannya di rumah itu dan
memberikan satu ruang beralaskan tikar untuknya. Beberapa orang datang
ke rumah itu mempersembahkan banyak barang berharga.
1882 Seorang Konoor yang bernama Nungrauwi, di Pulau Mansinam
menyatakan bahwa empat hari ke depan akan ada orang mati yang akan
bangkit. Orang-orang berkumpul dan setiap malam membawa tifa dan
bernyanyi. Situasi ini menyebabkan van Hasselt marah dan menghentikan
upacara tersebut.
1884 Korano Baibo dari Mokmer menyatakan bahwa ia adalah Manggundi yang
datang untuk membawa Koreri. Ia pindah ke Myokbundi agar pemuda-
pemuda di sana menyembahnya. Berita tentangnya membuat beragam
pandangan terhadapnya. Di Wardo, beberapa orang menantangnya untuk
mengubah tempurung kelapa menjadi piring. Anehnya, Korano Baibo
tidak dapat melakukannya, sehingga ia dianggap bukan Manggundi.
1885 Orang-orang Numfor melaporkan bahwa Korano dapat melakukan
mujizat. Menurutnya, akan datang sebuah kapal uap besar dan dan
membawa semua barang-barang yang diinginkan. Mendengar hal itu,
banyak orang yang dating membawa persembahan kepadanya. Kemudian
11
di tahun 1886 sebuah kapal dagang diserang akibat kekecewaan tentang
janjinya yang tak kunjung datang, dan masyarakat yang menyerang diberi
hukuman.
1900-
1908
Sebuah gerakan hadir di pulau Roon oleh seorang Konoor bernama Marisi,
yang adalah anak angkat dari seorang pekabar injil G.L Bink. Ia
mengatakan waktu kedatangan Manggundi sudah dekat dan kedatangannya
membawa kehidupan kepada semua orang serta tidak lagi ada penderitaan.
Sebagai janjinya, semua orang akan mendapatkan kain katun biru dan akan
memiliki semua mata uang perak. Ia melakukan peniruan kepada
sakramen-sakramen Kristen seperti perjamuan kudus, baptisan sebagai
kultus ajarannnya. Hal ini menyebabkan banyak pekabar injil benci
padanya. Selanjutnya di tahun 1907, dalam jumlah yang besar penduduk
Roon menjadi Kristen disebabkan mimpi Jan Ajamiseba tentang ajaran-
ajaran Alikitab yang berbaur dengan mitologi Roon. Marisi kemudian juga
mencalonkan diri untuk di baptis dan kemudian beberapa waktu kemudian
meninggal akibat penyakit cacar.
1908 Seorang bernama Petrus Kafiar, seorang budak dari Biak yang
disekolahkan di Depok kembali ke kampungnya menjadi guru dan
mengajar tentang Kekristenan. Hal ini membuat semua orang di Biak
percaya bahwa Koreri akan segera datang dengan menghubungkan dirinya
dengan Koreri.
1910 Mangginomi dari kampong Bawe di Numfor menyatakan bahwa
Magggundi tampil kepadanya di sungai Mamberamo dan mengharuskan
orang-orang membawa persembahan kepadanya. Perempuan-perempuan
muda yang tampil pada acara-acara tarian malam untuk penantian kedatang
Manggundi dikatakan sebagai makhluk-makhluk surgawi. Hal ini
menyebabkan ia dihukum kerja keras selama lima tahun di Ternate karena
dianggap mengancam banyak orang.
1938-
1943
Berawal dari seorang perempuan yang bernama Angganitha Manufandu
yang menjadi Kristen di Tahun 1932. Suatu ketika, suami dan anaknya
meninggal, dan ia terkenal suatu penyakit kulit. Namun ia disembuhkan
oleh seseorang yang diduga adalah Manarmakeri dan orang itu
memberitahukan kepadanya bahwa ia adalah pembawa Koreri. Berita
tentang kesembuhannya tersebar dan membawa banyak orang yang sakit
ke Insumbabi, tempat Angganitha. Jumlah mereka semakin banyak. Untuk
menyambut kedatangan Koreri, mereka diharuskan berdoa dan menjaga
diri agar tidak bercela dengan menaati sejumlah peraturan. Ajaran mereka
berlangsung selama dua tahun dan menekankan hidup yang damai.
Kemudian ia ditahan tetapi tidak dipenjarakan. Namun, semua rumah di
pulau itu dibakar habis oleh pemerintah koloni saat itu. Di tahun 1941 ia
datang ke Sowek dan disambut oleh banyak orang. Ia lebih menentang
pemerintah dan pekabar injil dengan mengatakan bahwa mereka merobek
satu halaman dari Alkitab yang menjelaskan bahwa Yesus itu adalah Manggundi dan menggangti nama setempat dengan nama yang terdapat
dalam Alikitab. Akibat dari pengalaman-pengalamannya ia diangkat
menjadi seorang Konoor, meskipun ia awalnya tidak menganggap
demikian. Orang-orang semakin banyak berkumpul pada malam penantian
kadang sekitar 6000 orang. Gerakan ini kemudian semakin besar menyebar
12
ke Yapen dan Numfor.
Pada dasarnya, Sterlan dan Godschalk16
menyatakan bahwa gerakan
Koreri Syaben berkaitan erat dengan mitologi yang mendasar di dalamnya.
Mereka bergerak dalam usaha memerjuangkan kesenjangan yang terjadi dalam
dunia sehari-hari untuk meraih dunia ideal. Saya menganalisa bahwa terdapat
narasi hegemoni dari pekabar-pekabar injil di masa perkembangan gerekan-
gerakan saat itu. Secara nyata, mereka memiliki kepentingan untuk memperluas
pekerjaan Zending (pekabar Injil). Oleh karena itu, mereka menolak segala bentuk
kepercayaan lokal dan gerakannya. Namun, dengan menolak kepercayaan ini,
zending-zending di masa awal pelayanannya telah menunjukan
kontraproduktifnya. Bagi saya, pekerjaan dan pelayanan para zending tidak
sejalan antara satu dengan baik. Namun, situasi berbeda akan ditemukan bila kita
menelisik karya dan kerja Izaak Samuel Kijne yang juga adalah produk dari
Zending.
2.1.2. Perjumpaan Hibrid Antara Narasi sakral dan Kekristenan
Sebagian orang Kristen di Papua cukup mengenal Izaak Samuel Kijne
sebagai Nabi orang Papua melalui karya dan kerjanya dalam bidang pendidikan
dan pembentukan identitas kepapuaan17
. Catatan historis Onim dan Wanma18
,
menceritakan pada tahun 1923 di Mansinam tiba beberapa pendeta utusan yakni
16
J.G Sterlan dan J.A Godschalk. Kargoisme di Melanesia. Jayapura: Pusat Studi Irian
Jaya, 1989. 17
Lihat Bilveer Singh, Papua Geopolitics and The quest for Nationhood. New Jersey and
London: Transaction Publisher, 2008 ; Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua.
Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2012. 18
Lihat J.F. Onim, 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua. Jayapura:
GMT, 2004 ; Hanz.Wanma, Cahaya Yang Pudar di Bukit Peradaban Tanah Nieuw Guinea.
Jayapura: Andy Wijaya, 2011 ; Dominee Izaak Samuel Kijne ; Mengenang Hidup dan Karyanya
Untuk Tanah dan Bangsa Papua (Mansinam 23 Juni 1923 - Miei, Medio September 1958.
Yogyakarta: JW Press, 2016.
13
Izaak Samuel Kijne, F.Slump dan J. Eigendaal. Mereka diberikan tugas masing-
masing F. Slump dan J.Eigendaal menempati Resort Fak-fak / Resort Berau,
sedangkan Izaak Samuel Kijne ditugaskan menjadi kepala sekolah guru di
Mansinam. Kesan Kijne ketika menginjakan kaki di Mansinam19
;
Alangkah senangnya kehidupan di Pulau Mansinam. Anak-anak dari seluruh
pelosok bekerja di sekolah dan di halaman. Terdengar nyanyian-nyanyian baru.
Timbul harapan untuk bekerja bagi perkembangan daerahnya sebagaimana yang
dilakukan oleh banyak guru Ambon dan Sangihe. Mereka mau bekerja dan bisa
bekerja. Mereka bisa bernyanyi dan bermain musik. Mereka belajar bermain.
Alangkah indahnya Pulau ini untuk mengadakan penemuan-penemuan baru.
Namun tidak dapat dipungkiri, ia mengalami beberapa masalah berarti saat masa
kepemimpinannya. Misalnya, kurangnya sarana dan pra sarana, seperti asrama
yang kurang memadai untuk ditempati. Asrama ini terbuat dari kayu yang telah
lapuk, juga sulitnya untuk mendapatkan air, akibat sumur yang teramat dalam dan
sering kering, serta tanah yang kurang subur.
Kebutuhan yang mendesak, menyebabkan murid-murid harus menyebrang
dari Teluk Doreri ke Manokwari untuk menjual sagu dan buah kelapa. Seringkali
ketika murid-murid pergi untuk berjualan dan berbelanja di Manokwari, mereka
jarang untuk pulang ke Mansinam. Mereka lebih memilih Pardidu (berpergian
tanpa arah dan tujuan yang jelas), sehingga menyebabkan kurangnya waktu
belajar bagi mereka. Biaya yang mahal untuk mendatangkan barang kebutuhan
dari toko-toko di Manokwari berdampak kepada pendidikan. Belum lagi dominasi
anak-anak Amber (pendatang) terhadap anak-anak di Mansinam yang tinggal dan
bersekolah di sana. Dominasi ini juga merupakan salah satu dasar pembentukan
19
J.F. Onim, 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua. Jayapura: GMT,
2004.
14
konstruksi kelas yang terjadi secara dinamis. Dengan alasan-alasan inilah, ia
mengusulkan kepada badan Zendeling untuk mengatur ulang sistem pendidikan.
D.C. Bout dan D.B. Sttarenburg menyarankannya untuk memindahkan
sekolah pendidikan guru dari Mansinam. Kijne diberikan kesempatan oleh mereka
untuk berkunjung ke beberapa lokasi selama satu bulan di wilayah Wondama. Ia
mengunjung satu kampung ke kampung yang lain untuk mencari tempat terbaik
untuk mendirikan sekolah dan Asrama. Ia memilih kampung Miei sebagai lokasi
untuk ditempati nantinya, Menurutnya, Miei memiliki letak yang indah dan
bersada pada bukit-bukit di kaki gunung Wondiwoi. Tanahnya baik, airnya jernih
mengalir dari sungai yang tidak pernah kering. Di sini tempat untuk suatu
pekerjaan yang berguna, suatu kehidupan yang menyatu secara alamiah dengan
kehidupan di kampung-kampung. Dengan memindahkan sekolah guru dari
Mansinam ke Miei, anak-anak diusahakan untuk dididik hidup secara mandiri,
sehingga mereka dapat berprestasi20
.
Tepatnya 25 Oktober 1925, Izaak Samuel Kijne, Johan Ariks, dan C.M.
Gossal serta 35 orang murid CVO (Cursus Volkschool Onderwijzer) dari
Mansinam, menumpang kapal KPM Belanda (Kapal Pelayaran Nasional Belanda)
ke Miei. Masyarakat menyambut mereka dengan meriah. Mereka menyiapkan
tandu dari bambu dan berencana untuk membopong Kijne. Namun, ia
menolaknya. Ia memilih untuk berjalan bersama dengan rombongan dan
masyarakat hingga sampai ke asrama. Gedung asrama dipersiapkan oleh Bout dan
Starrenburg, dan dirancang khusus oleh seorang Sangihe21
bernama Bastian Lano.
20
Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua. Yogyakarta:
Library Universitas Gadjah Mada, 2016. 21
Sekarang bernama Sangihe Talaud terletak di provinsi Sulawesi Utara.
15
Di sekolah itu, Kijne bekerja sebagai Direktur sekaligus guru. Sekolah itu
disebutnya sebagai sekolah peradaban.
Menariknya sekolah ini berbasis asrama. Kijne ingin membentuk
kepribadian anak-anak yang awalnya bersifat individu menjadi lebih kolektif.
Saya tidak menyangsikan bahwa Kijne turut memelopori kesadaran bersama
menjadi Papua. Kesadaran yang dibentuknya menciptakan identitas baru yang
mempersatukan beragam suku dan bahasa, bahkan agama di dalam satu Asrama.
Kehidupan di asrama sejak awal diorganisir agar dapat terus berlangsung secara
berkesinambungan.
Selain itu mereka diajarkan untuk melakukan pembagian tugas. Beberapa
yang di bagi adalah sebagai berikut22
:
a. Jadwal pelajaran disusun sedemikian rupa sehingga ada pekerjaan di
kebun dan pekarangan pada pagi hari yang dilaksanakan beberapa
hari. Karena itu, beberapa mata pelajaran tidak diberikan pada siang
hari, khususnya Kursus Normaal (Normaal School). Peserta Kursus
Normaal mengadakan praktik lapangan pada Sekolah Rakyat di
Miei.
b. Mata pelajaran untuk nyanyian tidak mengalami perubahan, kecuali bahan
pengajaran dari tahun 1930 yang disusun oleh Tuan Geurts yakni
Inspektur Pengajaran pada tahun 1929 untuk Kursus Normaal, sehingga
dapat mengarah kepada soal-soal ujian yang tidak sesuai dengan keadaan
pendidikan yang sesungguhnya. Soal-soal ujian disusun sendiri oleh
pengajar.
c. Ilmu Bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan dan binatang serta ilmu kesehatan
(hiegene) mendapat perhatian utama, yaitu mengenal lingkungan secara
22
J.F. Onim, 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua. Jayapura: GMT,
2004.
16
praktis. Kemudian ilmu tumbuh-tumbuhan disatukan dengan pelajaran
pertanian.
d. Pelajaran agama secara langusng dipraktikan dari contoh yang di teluk
Wondama dan dengan mendengar apa yang ditemukan oleh murid-murid
itu sendiri. Kijne mengembangkan pola kehidupan religi melalui sikap
Yesus sebagai dasarnya untuk mendidik.
Pembagian tugas gedung-gedung, halaman, kebun dan yang lainnya, diorganisir
oleh beberapa dinas seperti dinas perumahan yang bertugas untuk memelihara dan
membersihkan semua gedung sepanjang minggu, pada jam yang ditetapkan.
Untuk mengepalai setiap dinas, ada satu atau dua orang mandor. Mereka terbagi
dalam 9 kelompok. Murid-murid senior dipilih menjadi pemimpin. Tiap tahun
setelah naik kelas, diadakan pemilihan. Berbagai dinas berkerja bergilir dalam
kelompok. Semuanya mendapat giliran bekerja dalam dinas-dinas dan juga
terlibat dalam pekerjaan masing-masing23
.
Dinas kesehatan bertugas untuk membersihkan kamar mandi dan jamban
(WC), saluran pembuangan dan seluruh kompleks, memungut sampah dapur.
mengosongkan bak-bak sampah serta membuangnya ke muara sungai Miei. Dinas
halaman bertugas memelihara halaman, rumput di bukit-bukit dan taman-taman
bunga adalah tugas dinas ini. Di halaman terdapat banyak pohon kapok yang
berfungsi untuk kasur tidur dan sebagainya. Dinas jalan setapak bertugas
memelihara jalan-jalan setapak dan jembatan- jembatan. Di bukit-bukit, jalan-
jalan setapak ini harus dilindungi dari banjir. Pinggiran jalan harus selalu rapi.
Pos Zending mempunyai satu kebun kelapa yang letaknya di antara
gunung dengan kampung Miei. Hasilnya tidak seberapa dan asrama adalah
23
J.F. Onim, 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua. Jayapura: GMT,
2004.
17
pembeli utama. Seluruh kebun kelapa kemudian diambil alih oleh asrama dan
selanjutnya mengusahakannya oleh dinas kebun kelapa. Kebun kelapa ini
kelihatan bersih dan selalu menyediakan buah-buah kelapa untuk dapur asrama.
Pada awalnya buah kelapa diolah juga menjadi kopra. Tetapi karena harganya
jatuh, maka usaha itu dihentikan. Sebuah lapangan olah raga dibuat di atas
sebidang tanah hutan rawa yang sudah dibeli. Selanjutnya, mereka memiliki
lapangan luas, yang secara teratur dijaga oleh dinas lapangan olah raga. Di sini
tidak berlaku kebiasaan "biarkan semua bertumbuh dulu baru secara bersama-
sama membabatnya". Untuk menjaga supaya rumputnya tetap pendek, juga alang-
alangnya, tidak digunakan mesin babat, melainkan dengan babat-babat dari
belahan-belahan bambu. Organisasi ini memberikan kesempatan untuk mengenal
sernua pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari yang mestinya dijaga24
.
Sagu dan ikan merupakan makanan pokok dari penduduk Wondama dan
banyak terdapat orang yang menjual dengan murah buah-buahan, sayur-mayur
serta umbi-umbian. Pengawas pertanian (opzichter) kemudian melihat bahwa
asrama kami mempunyai suatu potensi ekonomis bagi Wondama, kendatipun
tidak memasukkan lebih banyak uang bagi kas-kas orang-orang papua. Tetapi
sekolah ini menjadikan Wondama lebih populer. Hal ini sangat menyenangkan
karena orang-orang Wondama mendesak untuk membukanya kembali bukan
hanya karena penjualan sagu dan ikan, melainkan karena orang teluk hidup
bersama-sama dengan sekolah dan sekolah ini hidup bersama-sama dengan
mereka. Anak-anak mempunyai kebun-kebun sendiri di daerah perbukitan di
belakang asrama. Mereka menjual ketela pohon (singkong), ubi jalar, keladi,
24
Fred Keith Hutubessy, Memimpin Diri Sendiri: Suatu Studi terhadap Pemaknaan
Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne, (Skripsi). Salatiga: Repository UKSW, 2014.
18
jagung, pisang dan nenas kepada asrama. Juga ada kebun percontohan (proeftuin)
sekolah yang menghasilkan sayur-mayur bagi asrama25
.
Menu makanan sehari-hari terdiri dari : sarapan pagi: sagu lempeng
dengan teh; makan siang : papeda dengan sayur dan ikan; makan malam : tiga kali
seminggu, nasi dengan sayur, ikan dan kacang hijau. Selain itu ditambah pula
dengan jenis makanan lainnya yaitu : ubi jalar (petatas), singkong, pisang, jenis
umbi-umbian lain, jagung dan sebagainya. Makanan yang tersedia cukup
bervariasi. Anak-anak bertumbuh tegap dan kekar, berbeda dengan orang-orang
dewasa di kampung-kampung. Hal ini nampak di dalam pertandingan sepak bola
pada hari-hari raya tertentu. Makanan yang baik juga berfungsi membentuk
inteligensia dan watak. Sagu lempeng dibakar oleh ibu-ibu dari Wasior beberapa
hari dalam seminggu.
Pekerjaan masak-memasak ditugaskan kepada murid-murid dari Sekolah
Sambungan. Regu masak terdiri dari lima orang setiap dua minggu. Inilah
pekerjaan terberat yang membuat mereka harus bangun pagi-pagi dan
mengundang banyak kritik dari teman-teman mereka. Selain ikan, kadang kala
ada juga daging dari sapi potong yang diperoleh dari kawanan lembu Miei, juga
hasil tangkapan dari perburuan anak-anak. Dekat kebun-kebun, mereka pasang
jerat dan sejenis pintu jebakan pada pagar kebun yang di atasnya ditimbun batu-
batu besar yang dapat dengan mudah menimpa babi yang terkurung dalam jerat
itu.
25
Fred Keith Hutubessy,Memimpin Diri Sendiri: Suatu Studi terhadap Pemaknaan
Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne, (Skripsi). Salatiga: Repository UKSW, 2014.
19
Anak-anak di asrama menerima uang sebagai jaminan kebutuhan dirinya
sendiri, seperti pakaian, sabun dan lain-lain. Untuk itu mereka harus mengetahui
tata buku. Mereka tidak menerima uang setiap bulan, tetapi mereka boleh
mengambilnya sesuai kebutuhan masing-masing. Apalagi mereka juga menerima
uang dari penjualan hasil kebunnya kepada asrama. Harganya agak murah
dibandingkan dengan harga yang dibayarkan kepada orang-orang Wondama.
Semua pemasukan tercatat pada kolom rekening koran mereka.
Setiap anak memiliki rekening koran sendiri. Bila ingin mengambil uang,
maka dicatat pada kolom debit. Dengan begitu, mereka dapat melihat praktik
sederhana tentang kredit dan debet, juga apa artinya saldo dan belajar menabung.
Hal ini adalah sarana untuk melatih mereka mengenai pemakaian finansialnya,
penghematan, pertanggung-jawaban dan kerapian dari pakaian mereka. Beberapa
orang dari mereka yang waktu tamat menerima sejumlah uang untuk harta mas
kawinnya atau perlengkapan rumah tangga. Ada pula yang menghabiskan
uangnya. Isi tanaman kebun-kebun mereka ditaksir harganya dan uangnya
dikirimkan kepada mereka26
.
Dinas penerangan dan pertanian pada tahun 1935 menempatkan seorang
pengawas pertanian yang dengan sendirinya dapat menjalankan pendidikan
pertanian. Di sekolah, juga di Sekolah Sambungan, ia memberi pelajaran teoritis
dan semua anak mempraktikkannya empat jam seminggu di kebun percontohan.
Dalam kebun itu dicoba untuk menanam padi dan berbagai jenis sayur. Cara
menanam yang baik dan juga memilih bibit dipraktikkan. Pupuk hijau
dimanfaatkan juga. Orang-orang Papua mengambil banyak pengalaman dari
26
Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua. Yogyakarta:
Library Universitas Gadjah Mada, 2016.
20
kebun itu secara praktis. Pengawas Pertanian juga menjadi juru penerang
pertanian untuk penduduk. Dengan sendirinya sekolah ini mengabdi secara nyata
kepada masyarakat27
.
Nyanyian merupakan hal yang berkembang waktu itu. Kijne membentuk
sebuah paduan suara yang mempunyai makna tersendiri. Nyanyian-nyanyian yang
mereka pelajari tersebar luas di Nieuw Guinea. Selanjutnya ada satu orkes
seruling bambu dari anak-anak. Seruling bambu diambil dari hutan dan pada saat
mereka tamat, mereka membawa pulang berikat-ikat suling bambu, karena ada
beberapa daerah yang tidak mempunyai hutan bambu. Ada sebuah kelompok
musik fanfare yang mempunyai 16 alat musik yang dapat ditiup dengan baik.
Tetapi kelompok ini kurang berprestasi, karena anak-anak belum berlatih dengan
baik untuk menggunakan alat-alat tersebut. Namun, mereka merayakan hari-hari
khusus dan meniup suling bambu serta memainkan alat-alat kelompok musik ini.
Mereka juga melakukan senam yang mengikuti cara latihan sederhana
yang terkenal dari Swedia. Selain itu, mereka diajarkan bermain kasti. Ketika tiba
kapal KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij), yang datang setiap dua bulan
sekali untuk mengantar barang kebutuhan ke Miei dari Makassar, mereka turut
serta membantu untuk membuka peti-peti, memikul karung beras. Hal ini
sekaligus untuk mengukur kekuatan tenaga mereka. Mereka turut menjaga agar
kampung Miei terhindar dari kebanjiran dan mengupayakan agar lapangan bola
tidak tergenang, oleh karena sungai di Miei yang sering banjir. Sabtu malam
menjadi malam luar biasa. Tidak ada pekerjaan rumah, mereka semua ikut
27
J.F. Onim, 87 Tahun Sejarah Pendidikan Teologi di Tanah Papua. Jayapura: GMT,
2004.
21
bermain. Secara bergilir ada kelompok bermain di rumah. Ada yang menonton,
dan juga berkonsultasi pada malam hari di kantor Kijne, khusus bagi mereka yang
dipanggil28
.
Mereka jarang berlibur ke rumah orang tua, disebabkan belum
terhubungnya kapal di Nieuw Guinea yang dapat memudahkan mereka kembali.
Mereka biasanya mengisi waktu libur dengan mengunjungi tempat-tempat
keramat dari mitologi Wondama, ke air terjun atau sumber air panas, ke kebun-
kebun yang baru dibuka milik rakyat, ke pentahbisan gedung-gedung gereja baru
dan lain sebagainya. Anak-anak di asrama dibebaskan untuk berkarya. Mereka
mengenal dan berinteraksi dengan penduduk Miei, dan kampung-kampung
lainnya. Mereka juga selalu mencoba banyak hal baru di berbagai bidang,
sehingga mereka tidak terisolir. Setiap hari mereka menyaksikan jerih dan juang
soal-soal di kampung. Mereka berpartisipasi sebagai peniup seruling di jemaat
Miei dan turut mengambil bagian dalam ibadah.
Seperti yang ditelisik penelitian sebelumnya oleh Singh dan Meteray29
,
Kijne telah menjembatani ruang interaksi yang kuat untuk membentuk identitas
kolektif yang disebut sebagai titik awal pembentukan Nasionalisme Papua. Pola
asrama juga menawarkan keteraturan yang oleh Hutubessy30
, sejatinya
mereproduksi semangat injil, dan implementasinya melalui pendidikan, untuk
menuju jalan menggapai peradaban. Namun, pendekatan yang mereka Singh,
28
Fred Keith Hutubessy, Memimpin Diri Sendiri: Suatu Studi terhadap Pemaknaan
Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne, (Skripsi). Salatiga: Repository UKSW, 2014. 29
Lihat Bilveer Singh, Papua Geopolitics and The quest for Nationhood. New Jersey and
London: Transaction Publisher, 2008 ; Bernarda Meteray, Nasionalisme Ganda Orang Papua.
Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2012. 30
Fred Keith Hutubessy, Memimpin Diri Sendiri: Suatu Studi terhadap Pemaknaan
Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne, (Skripsi). Salatiga: Repository UKSW, 2014.
22
Meteray, dan Hutubessy31
, melupakan beberapa hal, salah satunya konsep
sakralitas juga secara simultan terbangun dan terkonstruksi dalam sekolah
peradaban oleh Kijne.
Faktanya, Zending (Pekabar Injil) di masa lalu selalu menggunakan cara
represif dalam memahami kehidupan sakralitas di Papua. Namun, cara-cara ini
tidak lagi dilakukan oleh Izaak Samuel Kijne di sekolah peradaban. Kijne
menghibriditaskannya dengan cara mewariskan dan memperkenalkan tradisi-
tradisi lokal melalui perkunjungan situs-situs sakral yang selama ini dianggap
sebagai bentuk kekafiran di masa Zending sebelumnya. Selanjutnya, ia membuka
ruang interaksi sosial kepada mereka untuk berjumpa dengan masyarakat sekitar,
membangun model pembelajaran lokal dari alam sekitar dan bahkan dengan
kemampuan sebagai himnolognya, ia menciptakan nyanyian-nyanyian tentang
alam dan lingkungan sekitar serta dinyanyikan secara bersama32
.
Juga menurut Wanma33
, beberapa saat setelah Kijne tiba dan meresmikan
sekolah di Miei, ia bertemu dengan beberapa orang tua di Miei seperti Matirere
Jakonias Sanggemi, Tuani Bernaard Karubuy, Kokor Kambumi Miei Sayori,
Saweri Ayomi, Abraham Payabai Torey dan Marthinus Sawonggai Ramar. Ia
menyatakan niatnya untuk datang ke sebuah batu yang berbentuk meja di kaki
31
Lihat Bilveer Singh, Papua Geopolitics and The quest for Nationhood. New Jersey and
London: Transaction Publisher, 2008 ; Bernarda Meteray, Nasionalisme Ganda Orang Papua.
Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2012 ; Fred Keith Hutubessy, Memimpin Diri Sendiri: Suatu
Studi terhadap Pemaknaan Ungkapan Pdt. Izaak Samuel Kijne, (Skripsi). Salatiga: Repository
UKSW, 2014. 32
Lihat, Hanz Wanma, Cahaya Yang Pudar di Bukit Peradaban Tanah Nieuw Guinea.
Jayapura: Andy Wijaya, 2011 ; Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal
Papua. Yogyakarta: Library Universitas Gadjah Mada, 2016 ; Hanz Wanma, Dominee Izaak
Samuel Kijne ; Mengenang Hidup dan Karyanya Untuk Tanah dan Bangsa Papua (Mansinam 23
Juni 1923 - Miei, Medio September 1958. Yogyakarta: JW Press, 2016. 33
Hanz Wanma, Cahaya Yang Pudar di Bukit Peradaban Tanah Nieuw Guinea.
Jayapura: Andy Wijaya, 2011.
23
bukit Aitumieri untuk berdoa dan menyerahkan seluruh pekerjaan dan
pelayanannya. Batu ini merupakan benda sakral bagi orang Maniwak yang
dipercaya akan membawa kemenangan sebelum berperang. Di malam itu, Kijne
pergi dan berdoa. Beberapa orang tua seperti Yakonias Sanggemi, Saweri Ayomi,
Bernaard Karubuy, Kokor Kambumi, dan Miei Sayori, mendengar doa Kijne di
batu itu ;
“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, Sekalipun orang
memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat tetapi tidak dapat memimpin
bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”.
Pada bulan Agustus 1958, sebelum pulang ke Belanda, Kijne meluangkan
waktu untuk mengunjungi Miei. Di sana, ia bertemu dan menyampaikan pesan
untuk merawat batu tersebut kepada keluarga Karubuy. Batu ini kemudian disebut
sebagai “Batu Peradaban Orang Papua”. Pada masanya di Miei, Kijne
menggunakan batu ini sebagai tempat belajar menulis, membaca dan berhitung,
serta digunakan sebagai mimbar untuk melatih dan berlatih bernyanyi. Menurut
Awom34
, alasan Kijne melatih murid-muridnya agar dapat membaca adalah untuk
dapat membaca Alkitab, dan berhitung ialah untuk dapat menghitung banyak hal,
sehingga di kemudian hari, mereka tidak mudah untuk ditipu. Penyebutan “Batu
Peradaban Orang Papua” mendasarkan pemahaman bahwa pendidikan merupakan
aspek yang sangat penting bagi Orang Papua untuk mengenal dunia selain mereka
dan juga memperkuat kolektivitas identitas mereka, serta nilai peradaban yang
dibentuk oleh Kijne. Hal ini telah menghasilkan ruang “Hibriditas” yang saling
bernegosiasi antara kepercayaan lokal yang sakral dan Kekristenan.
34
Pdt. Herman Awom, interview by Fred Keith Hutubessy. Izaak Samuel Kijne dan
Pelayanannya di Papua (Agustus 16, 2012).
24
Sebelumnya pendekatan hibriditas telah dikembangkan oleh Bhaba35
dengan pertama-tama menggunakan term “melampaui” budaya. Baginya, budaya
merupakan proses yang terjadi di “ruang antara” akibat pelenturan dan
berkolaborasi, serta secara simultan berkontestasi, namun tidak sepenuhnya
bereksklusi dan berinklusi secara penuh tetapi mengalami pelenturan. Fanon dan
Said memengaruhi pikirannya. Fanon36
berperspektif bahwa faktor psikologis
memengaruhi bangsa yang dijajah untuk mengembangkan dirinya dengan
melepaskan “hitam” dan memeroleh hasil didikan “putih”, sedangkan Said37
cenderung mengkristalisasikan bahwa wacana dominan selalu menjadi narasi
kolonial.
Namun bagi Bhaba38
, pemikiran mereka telah membuat jarak dan batas
yang kaku antara penjajah dan yang dijajah, serta cenderung menimbulkan
ambivalensi antara satu dengan lainnya. Praktik hibriditas menurutnya
menghasilkan negosiasi identitas yang resisten di “ruang antara” sehingga
berimplementasi pada relasi sosial di masyarakat. Batasan-batasan budaya pun
tampak menjadi lebih terbuka bahkan tidak akan pernah menuju kepada akhir.
Salah satu juga menurut Bhaba39
, berbagai peniruan atau “mimicry” semakin
menegaskan bahwa bangsa terjajah selalu memiliki kemampuan untuk melakukan
perlawanan dan semakin menegaskan pula bahwa negosiasi identitas selalu terjadi
tanpa adanya batasan serta menjadi sebuah strategi dan siasat untuk melawan
penjajah.
35
Homi K Bhaba, The Location of Culture. New York: Routledge Classic, 1994. 36
Frantz Fanon, Black Skin White Masks: The Experiences of a Black Man in a White
World . New York: Grove Press, 1967. 37
Edward Said, Orientalism. New York: Pantheon Books, 1978. 38
Homi K Bhaba, The Location of Culture. New York: Routledge Classic, 1994. 39
Homi K Bhaba, The Location of Culture. New York: Routledge Classic, 1994.
25
Jika memahami pola karya dan kerja yang dilakukan oleh Kijne dari
kacamata Bhaba40
, konsep hibriditas menjadi acuan teoritis dalam membentuk
Nasionalisme Papua di fase ini. Namun, yang dilupakan Bhaba, bagaimana peran
agensi subjektif yang menjadi inisiator persuasif telah memengaruhi dan
menciptakan “ruang antara”. Meskipun dalam batasan-batasan interaksi memiliki
kepentingannya masing-masing, Izaak Samuel Kijne sebagai subjek koloni, secara
persuasif telah mempelopori ruang hibrid melalui tata cara dan pola
pengajarannya di sekolah peradaban. Sakralitas dalam kepercayaan lokal dan
Kekristenan tampak saling bersinggungan dan bernegosiasi dalam “ruang antara”.
Pada akhirnya, “ruang antara” menjadi basis pembentukan Sakralaitas-
Nasionalisme Papua.
2.2. Fase Transisi Sakralitas-Nasionalisme Papua
Karya dan kerja yang dilakukan oleh Izaak Samuel Kijne sebelumnya
telah menghasilkan siswa-siswa yang nantinya menjadi inisiator dari
pembentukan negara secara De Facto di tahun 1961 dan menjadi modal awal
pembentukan fase transisi. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri selain
berjumpa dengan Kijne di sekolah peradaban, mereka juga melanjutkan sekolah
Besteuur (Sekolah Pamong) dan berjumpa dengan J.P.K Van Eechoed yang
menurut Meteray41
juga turut menyemaikan Nasionalisme Papua. Bagaimanapun
juga, konsep Sakralitas dalam kepercayaan lokal yang bernegosiasi dengan
kekristenan telah menjadi basis penyemaian awal. Saya memahami bahwa
40
Homi K Bhaba, The Location of Culture. New York: Routledge Classic, 1994. 41
Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2012.
26
alasannya, terdapat dalam perjumpaan mereka dengan masyarakat Nieuw Guinea
(Papua). Kijne dan Van Eechoed merupakan produk subjektif koloni dan
bersama-sama membangun Nasionalisme melalui Pendidikan. Namun bagi saya,
karakter dan kesadaran rasional mereka terbentuk kuat melalui perjumpaan di
sekolah peradaban dan pendidikan Besteeur (Sekolah Pamong) bentukan mereka.
Permasalahannya di masa Van Eechoed, konstruksi kelas yang sejak awal
telah terbentuk dalam masyarakat justru semakin meningkat. Menurut Trajanus
Boekorsjom42
, konstruksi dalam masyarakat telah membentuk dan menciptakan
tiga kelas yang menempatkan Belanda sebagai bangsa di posisi pertama, posisi
kedua ditempati oleh orang Maluku, dan posisi ketiga di tempati oleh orang
Papua. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perlawanan dari kelas ketiga kepada
kelas kedua. Menariknya,Van Eechoed menentang konstruksi kelas dengan
mengimplementasikan kebijakannya yang dikenal dengan “Nota Van Eechoud”.
Tujuannya untuk mengakomodir kemampuan orang Papua dari dominasi
pendatang di masa itu.
Van Eechoed kemudian membentuk Papoea Vrijwillingers Korps yang
lebih dikenal dengan Batalyon Papua dan Kursus Bestuurschool Spoed, sekolah
pemerintahan sementara untuk menampung mereka yang tidak dapat melanjutkan
sekolah di Miei akibat penutupan Sekolah oleh Jepang di Tahun 1942. Sekolah ini
menghasilkan elit-elit Papua seperti Nicholaas Jouwe, Markus Kaisiepo, dan
Frans Kaisiepo43
. Di masa itu, Pemerintah Belanda berfokus untuk membangun
42
Leontine E. Visser & Amapon Jos Marey. Bakti Pamong Praja Papua Di Era Transisi
Kekuasaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2008. 43
P. J. Droglever, Tindakan Pilihan Bebas! Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Yogyakarta: Kanisius, 2010.
27
Papua. Tetapi bagi Van Eechoed, perlunya untuk memerhatikan kebudayaan
orang Papua dalam proses pembangunan, sehingga tidak menghasilkan manusia
Papua yang berpatron kepada Belanda, namun menjadi manusia Papua yang siap
menghadapai perubahan.
Selain berupaya untuk fokus membangun identitas kepapuan, Van
Eechoed mengalami tantangan. Ia memercayakan tugas kepada Soegoro
Atmoprasodjo, seorang Nasionalis Indonesia untuk mengajar dan menjadi direktur
di sekolah itu. Soegoro kemudian menyemaikan Nasionalisme Indonesia kepada
beberapa siswanya dengan membentuk kelompok diskusi dan memperkenalkan
lagu kebangsaan Indonesia Raya. Ia juga merencanakan sejumlah pemberontakan
melawan Belanda dengan beberapa muridnya dan kemudian ia dipenjara44
.
Bagi saya, polemik antara Soegoro dan Van Eechoed telah menampikan
perang penyemaian Nasionalisme yang berimplikasi praktis kepada salah satu
permasalahan hingga kini yakni ; terkait Nasionalisme antara Indonesia dan
Papua. Meskipun tidak dapat dipungkiri, seiring berjalannya waktu dan dinamika
di masyarakat, terjadi dualisme dalam memahami Nasionalisme antara Indonesia
dan Papua, yang dalam .pendekatan Meteray45
disebut sebagai “Nasionalisme
Ganda orang Papua”.
2.2.1. Transisi Historis Sebagai Basis Penyemaian Sakralitas
Perjalanan historis ini berlanjut hingga di tahun 1961, tepatnya pada bulan
maret, pemerintah Belanda mengadakan sidang parlemen untuk membahas
44
Lihat Suyatno Hadinoto, Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat. Jakarta: Yayasan
Badan Kontak Keluarga Besar Perintis Irian Barat, 1986 ; Bernarda Meteray, Nasiomalisme
Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2012. 45
Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2012.
28
program kerja 10 Tahun (Luns Plans)46
Pembangunan di Papua. Pada pembahasan
ini juga, pemerintah Belanda menyiapkan pembentukan dewan eksekutif dan
legislatif yang nantinya akan dipimpin oleh kaum elite Papua. Konsep
pembangunan ini disebut sebagai Papuaniserring,47
yang bertujuan agar setiap
orang Papua dapat memimpin di segala bidang secara merata. Pemerintah Belanda
dalam langkah selanjutnya menyetujui usulan dari kaum elite Papua untuk
membentuk partai-partai politik sebagai suatu proses kaderisasi untuk
mempersiapkan negara Papua. Partai-partai yang telah terbentuk antara lain Partai
Kesatuan Nugini yang di pelopori oleh John Ariks, Partai Persatuan yang
dibentuk oleh Lodewijk Mandatjan, dan Partai Nasional (PARNA) yang
memperjuangkan peningkatan taraf hidup melalui sistem perdagangan dan
pembangunan sosial48
.
Pada bulan April 1961, terbentuklah Dewan Nieuw Guinea Raad49
. Proses
pembentukan Nieuw Guinea Raad membutuhkan waktu yang panjang dari waktu
awal yang telah direncanakan. Meteray50
menjelaskan dalam bukunya:
“Pihak Belanda pada 1950 menetapkan bahwa komposisi anggota dewan
New Guinea Raad akan berjumlah 21 0rang yang terdiri dari 10 orang
Papua, 9 Belanda, dan 2 non-Belanda. Yang berhak memilih ialah semua
orang yang ada di Papua, yang berkewarganegaraan Belanda, dan mereka
yang sudah tiga tahun menetap di Papua dan yang berusia 21 Tahun.
Persyaratan ini tidak memperhitungkan faktor pendidikan dan tingkat
penghasilan. Karena berbagai hambatan dan faktor pendidikan orang
46
Program kerja ini dipelopori oleh Joseph Luns, Menteri Luar Negeri Belanda. Luns
melakukan lobi kepada PBB untuk segara menindak lanjuti “Luns Plan” dengan tujuan agar
administrasi sementara dibawah pengwasan internasional untuk mempercepat proses pengalihan
kekuasan terhadap Papua. 47
Papuaniserring merupakan sebuah bentuk pemerataan terhadap orang Papua dalam
segala bidang pekerjaan. 48
Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2012. 49
New Guinea Raad adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk representasi rakyat
Papua dalam Pemerintahan. Dewan ini hadir untuk mempersiapkan kemerdekaan Rakyat Papua. 50
Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2012.
29
Papua yang masih sangat terbatas, sejak 1950 diadakan berbagai upaya
untuk memajukan orang Papua agar mampu menyelengarakan proses
pemilihan Dewan New Guinea Raad”
Pemilihan umum untuk memilih Dewan ini dilakukan dengan dua cara, yakni,
pemilihan langsung51
dan bertangga52
. Hal ini dipilih sebagai pertimbangan atas
keterbatasan sumber daya manusia Papua yang nantinya akan melaksanakan
pemilihan. Selanjutnya, berbagai sosialisasi dilakukan pada masing-masing distrik
serta beberapa surat kabar lokal juga menginformasikan perihal kriteria
pendaftaran pemilih.
Pemilihan Dewan Nieuw Guinea Raad berlangsung dari tanggal 11-17
Januari 1961 di 14 Sub daerah. Pemilihan yang berlangsung di Manokwari dan
Hollandia (Jayapura) dilakukan secara langsung, sedangkan di daerah lainnya
dilakukan secara tidak langsung dengan tulisan dan dengan cara membisikan
nama calon yang akan dipilih. Kemudian di tanggal 5 April 1961, Dewan dilantik
di Hollandia (Jayapura). Rakyat Papua menyambut dengan antusias proses ini dan
menaruh harapan besar kepada mereka. Anggota Dewan New Guinea Raad yang
dilantik berjumlah 28 Anggota, dengan pembagian 16 anggota dihasilkan dari
pemilihan, dan 12 anggota lainnya merupakan hasil penunjukan langsung dari
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda.
Berdasarkan pembagian etnis, jumlah mereka bervariasi. 22 anggota
merupakan orang asli Papua, 1 orang berasal dari suku Kei, dan 5 orang lainnya
51
Pemilihan langsung dilakukan dengan cara, pemilih memilih secara langsung anggota
Dewan New Guinea Raad. 52
Pemilihan bertangga berbeda dengan pemilihan langsung. Model pemilihan bertangga
menggunakan sistem perwaklian dengan memilih wali pemilih, kemudian wali pemilih yang akan
memilih anggota New Guinea Raad.
30
berasal dari Belanda53
. Sumber dalam buku “Nasionalisme Ganda Orang Papua”54
menuliskan data komposisi Dewan New Guinea Raad yaitu :
Sebagai Ketua Dewan adalah J.H.F. Sollewijn Gelpke dengan anggota
yang dipilih : Nicholas Jouwe (Hollandia), M. Suway (Nimboran), Marcus
Kaisiepo (Kepulauan Schouten), B. Mofu (Kepulauan Schouten), M.B
Ramandey (Yapen Waropen), E.J. Bonay (Yapen Waropen), H.W.F.
Gosewich (Manokwari), Penehas Torey (Ransiki), Abdulah Arfan (Raja
Ampat), A.R. van Zeeland (Sorong), A.S. Onim (Teminabuan), D. Deda
(Ajamaru), N. Tanggahama (Fak-Fak), Mohamad Achmad (Kaimana), dan
A.K. Gebze (Merauke). Para Anggota yang ditunjuk adalah, F.K.T. Poana
(Mimika), T. Mezeth (Sarmi), V.P.C Matubongs (Mapi), C. Kiriwaib
(Muju), A. Samkakai (Kepulauan Frederik), D.Walab (Asmat/Pantai
Kasuari), B. Burwos (Manokwari/Steenkool), Dr. F. Chr. Kamma
(Kerom), K. Gobai (Paniai), Dr. L. Jvd Berg (Tigi), H. Womsiwor, dan
seorang perempuan D. Tokoro Hanasbey.
Gambar 1 Anggota Nieuw Guinea Raad
Pembentukan dewan Nieuw Guinea Raad telah membentukan rasa bersama
sebagai basis Nasionalisme Papua. Keterwakilan tiap-tiap anggota dari berbagai
wilayah telah memberikan ruang kesadaran dan kepemilikan bersama sebagai
sebuah bangsa untuk membangun Papua di berbagai bidang. Namun tidak dapat
dipungkiri, dengan membentuk dewan ini, juga telah tercipta basis kekuatan
53
Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua. Yogyakarta:
Library Universitas Gadjah Mada, 2016. 54
Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2012.
31
politik sebagai strategi Belanda menangkal dominasi Indonesia di masa itu untuk
merebut Papua. Oleh karenanya, narasi kepapuan cukup digaungkan di masa itu.
Selanjutnya, fase perpolitikan Papua untuk menentukan nasib sendiri
memasuki babak baru. Pada 19 Oktober 1961, Pemerintah Belanda di masa
pemerintahan Gubernur Plattel membentuk Komite Nasiona Papua (KNP). Komite
ini di pimpin oleh Mr. De Riejke, seorang Indo Belanda yang bertujuan untuk
mempersiapkan kemerdekaan bagi rakyat Papua dengan cepat. Setelah terbentuk,
mereka melaksanakan kongres di Gedung Nieuw Guinea Raad55
. Kongres ini
menghasilkan beberapa ketetapan yakni, memutuskan dan menetapkan bendera
negara, lambang negara, dan lagu kebangsaan yang tercantum dalam surat
manifesto Politik dari Komite Nasional Papua yang berbunyi56
:
The Komite Nasional issued a Manifest Politik that, inter alia, stated:
“On the basis of desire of our people for independence, we urge through the mediation of the
Komite Nasional and our popular representative body, the New Guinea Council, the Governments
of Netherlands New Guinea and The Netherlands so that as of 1 December:
Our flag be flown beside the Netherlands flag;
our national anthem, Hai Tanahku Papua, be sung along with the Wilhelmus;
the name of our land become West Papua;
the name of our people become Papuan.
On this basis we the Papuan people demand to obtain our own place like other free
peoples and amongst nations we the Papuan people wish to contribute to the maintenance of the
freedom of the world.
55
Gedung Nieuw Guine Raad pada masa sekarang menjadi gedung kesenian yang berada
di Kota Jayapura. 56
Richard Chauvel, "Papuan political imaginings of the 1960s: international conflict and
local nationalisms." Victoria Institute, 2005: 46-47.
32
Gambar 2 Atribut negara, lagu kebangsaan dan mata uang Papua Barat
Bendera yang diputuskan ialah The Morning Star Flag (Bendera Bintang Kejora),
lambang negara ialah Burung Mambruk, lagu kebangsaan ialah Hai Tanahku New
Guinea (Papua) dan mata uang yang digunakan ialah Tien Gulden. Pada sidang
itu, Markus Kaisiepo mengusulkan perubahan nama Nederlands Nieuw Guinea di
ubah menjadi Papua Barat57
.
Namun, terdapat beberapa permasalahan terjadi dalam proses pembentukan
Komite Nasionalisme Papua. Permasalahan yang mendasar ialah tidak semua
anggota Dewan Nieuw Guinea Raad hadir dalam proses pembentukannya. A.K.
Gebze utusan asal Merauke, M. Achmad asal Kaimana, B. Burwos asal
Manokwari dan Torey asal Ransiki tidak menghadiri pertemuan ini. Beberapa
protes dilakukan oleh mereka yang tidak dilibatkan. Gebze menyatakan
kekecewaannya dan mengharapkan agar manifesto tidak segera diumumkan. Hal
ini disebabkan oleh banyaknya warga negara yang belum memahami
57
Sharp Nonie, Markus Wonggor Kaisiepo, The Morning Star in Papua Barat. North
carlton: Arena Publications, 1994.
33
ketatanegaraan. Pada hakekatnya ia setuju dengan isi manifesto, namun ia
berpendapat belum saatnya Papua merdeka58
.
Gambar 3 Suasana saat sidang Nieuw Guine Raad
Pendapat yang berbeda juga dikemukakan oleh Th. Meset yang
berpandangan bahwa proses pembentukan Komite Nasional Papua adalah insiatif
untuk menghadirkan upaya kebangsaan dan membentuk sebuah nasionalisme
Papua. Markus Kaisiepo menanggapi keberatan yang dilontarkan oleh Gebze
dengan mengatakan bahwa proses pembentukan komite ini telah dihadiri oleh
perwakilan rakyat Papua dari semua daerah. Pada akhirnya, tanggal 31 Oktober
1961, Dewan Nieuw Guinea Raad yang dibawah pimpinan Markus Kaisiepo
58
Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2012.
34
memutuskan untuk menyerahkan hasil manifesto politik kepada Gubernur Jenderal
Plattel untuk dipertimbangkan dan disahkan.
Selanjutnya, tanggal 18 November 1961 Pemerintah Belanda melalui
Gubernur plattel menetapkan dan mengesahkan adanya bendera Nederlands-
Nieuw Guinea dan cara-cara penggunaannya di samping bendera kerajaan
Belanda. Hal ini ditetapkan dalam Surat Keputusan Gubernur No. 362 dan No. 366
Gouvenemensblad van Nederlands-Nieuw Guinea No.68 dan No. 69 tahun 1961.
Pada hari yang sama juga ditetapkan dan disahkan lagu kebangsaan Papua Barat
melalui surat keputusan No. 364 Gouvenemensblad van Nederlands-Nieuw Guinea
No. 69 tahun 196159
. Terlepas dari pro dan kontra terkait persetujuan Komite
Nasional Papua, mereka tidak mengeleminir simbol dan makna dari manifesto
politik ini
Pada masa sekarang, aktor yang menciptakan bendera ini masih menjadi
kontroversi. Perang klaim pun terjadi dalam menentukan siapa yang menciptakan
bendera Bintang Kejora. Menurut Johannes Djopari60
, Bendera Bintang Kejora
yang dikibarkan pertama kali tanggal 1 Desember 1961 adalah hasil rancang Mr.
De Rijke. Merujuk sumber lainnya61
, menjelaskan bahwa Mr. De Rijke memang
yang memimpin Komite Nasiona Papua dan indikasi ini secara logis dapat
diterima, bahwa Mr. De Rijke yang merancang bendera ini. Sumber lain62
yang
nampaknya lebih aktual juga menyebutkan bahwa Nicholas Jouwe, seorang kaum
terdidik Papua (anggota Nieuw Guinea Raad) yang telah merancang bendera ini.
59
Suryawan, I Ngurah, Jiwa Yang Patah. Yogyakarta: Kepel Press , 2013. 60
Ibid., 153 61
Lihat “JIwa Yang Patah” hal 88. 62
Hasil wawancara dengan Josh Mansoben
35
Terlepas dari persoalan siapa yang merancang bendera ini, faktanya secara
esensi tercermin dalam nilai yang terdapat pada bendera bintang kejora yang
memiliki nilai kesakralan secara historis. Hal ini menurut Markus Wonggor
Kaisiepo63
:
The Morning Star on the flag of Papua Barat is the symbol of Koreri. In 1961,
when representatives from ail the regions of Papua Barat came together to
choose the symbols of their national identity, it was agreed that the Morning
Star should become the central emblem of Papua Barat.
Kedekatan antara mite Manarmakeri dengan simbol bintang (Sampari atau
kummeseri) dalam bendera bintang kejora memberikan warna baru dan dinamisasi
dalam fase pertama menuju kepada fase kedua ini. Hal ini juga bermula dari
pengaruh kepercayaan di masa lalu yang terhibridisasi melalui sekolah peradaban
dan perjumpaan di sekolah pemerintahan sehingga menghasilkan murid-murid
yang menginisiasinya dalam manifesto politik ini. Menurut Nicholas Jouwe
muda64
, cucu dari Nicholas Jouwe mengatakan:
Kalau tete pu cerita itu, tete sengaja angkat bintang dalam bendera ini.
Ada makna dalam bintang ini. Kalau kitong bangun pagi jam 3 ka
setengah 4 itu, tong pasti lihat ada satu bintang yang paling terang di timur
sana. De terang skali.Orang Biak bilang itu Sampari. Tete de bilang, siapa
orang yang bangun pagi, kemudian mengucap syukur dan lihat tanda
kebesaran Tuhan itu, cahayanya itu, de punya kehidupan ke depan akan
diberkati. Itu merupakan sebuah harapan ke depan. Kalau warna merah itu
setiap perjuangan harus ada darah, harga yang harus dibayar.13 strep
(garis) itu adalah wilayah-wilayah yang ada di Papua saat itu di bawah
Keresidenan Belanda.Tete de percaya dengan nilai yang ada dalam
bintang itu, bintang timur yang memberi kehidupan. Setiap orang bangun
pagi, mengucap syukur, de pu kehidupan akan diberkati. Memang pace de
ambil nilainya lihat dari alam dan tidak jauh juga dari Alkitab yang tete
yakini.
63
Sharp Nonie, Markus Wonggor Kaisiepo, The Morning Star in Papua Barat. North
carlton: Arena Publications, 1994. 64
Nicholas Jouwe ialah salah satu tokoh kaum Elite Papua di Tahun 1961. Data ini di
dapat dari sumber kedua yakni Cucu dari Nicholas Jouwe yang juga bernama Nicholas Jouwe,
wawancara dilakukan di kediamanannya, Dok V Bawah Jayapura, tanggal 19 Agustus 2015, pukul
18.25 WIT.
36
Selanjutnya, ia menyebutkan bahwa Nicholas Jouwe yang adalah
tete (kakek) nya, seorang kaum terdidik Papua (anggota Nieuw Guinea
Raad) yang merancang bendera ini. Tete (kakek) nya bercerita
kepadanya65
:
Tete (kakek) yang pelakunya, beliau (Nicholas Jouwe) yang bikin! Tapi sa
kira iamengangkat nilai-nilai ini dari berbagai nilai historis yang ada di
Tanah Papua. Bendera yang sa tahu itu, saat itu nene (istri Nicholas
Jouwe) de yang jahit. Tete cerita waktu itu, sempat ada sayembara, lalu
usulan bendera yang diterima oleh Kerajaan Belanda pada saat itu tete
punya usulan dong terima.Lalu dong ambil kain-kain terus duduk potong
lalu jahit bendera pada saat itu.Waktu buat barang itu (Bintang Kejora),
tete de cerita de tidak sendiri. Ada de pu salah satu teman yang buat sama-
sama dengan tete. Tapi dalam sejarah, nama ini jarang didengar, namanya
Baldus Mofu, tete bilang de lebih tua satu tahun dari tete. Waktu itu
dorang pergi cari ilham, supaya bisa menentukan barang itu.Dong tra bikin
di Jayapura, dong ikut Belanda punya kapal-kapal kayu lalu ke Biak.Tete
de bilang, cucu, waktu itu kitong dua dengan (Baldus Mofu) ada di pasir-
pasir di kepulauan Padaido, kitong gambar saja di pasir, setelah itu ombak
datang hapus.Mungkin Pak Baldus juga ada kasih masukan begitu (cerita
sampari), karena pace de orang Biak toh, jadi mungkin saja ada kaitan
dengan cerita Sampari.
Bagi Josh Mansoben66
, Jouwe pernah berada di Padaido, temapat di mana
mitologi tentang Sampari (bintang) ini berkembang, sehingga Jouwe dapat
mengembangkan mitologi ini dalam membuat bendera. Eksistensi Jouwe dalam
memberikan filosofi terhadap Sampari (bintang) diakuinya dengan memberikan
argumentasi yang sama bahwa bintang itu merupakan produk yang memberikan
kehidupan dan berkat.
Konektivitas warna dari simbol bendera ini dijelaskan lebih lanjut oleh
George Junus Aditjondro67
. Warna merah, putih, dan biru dalam bendera Bintang
Kejora merupakan hasil peniruan dari warna bendera Belanda. George secara
terang-terangan tetap menekankan bahwa bintang yang terdapat dalam bendera
65
Cucu dari Nicholas Jouwe, wawancara di kediamanannya, Dok V Bawah Jayapura,
tanggal 19 Agustus 2015, pukul 18.25 WIT. 66
Wawancara, 11 Agustus 2015 pukul 13.15 67
George Junus Aditjondro, Cahaya Bintang Kejora. Jakarta: Lembaga Studi dan
Advokasi Masyarakat, 2000.
37
Bintang Kejora memberikan unsur “pribumi” pada bendera Papua Barat yang
mengandung makna Koreri sebagai lambang kemakmuran yang dijanjikan.
Sampai saat ini, makna sampari (bintang) bahkan tetap diyakini oleh masyarakat
Papua sebagai bentuk kepercayaan yang hadir dan membentuk sebuah identitas
yang dihayati dan dimaknai sebagai sebuah unsur religius (transenden) antara
manusia dengan Tuhan yang dipercayainya.
Adapun yang disampaikan merujuk kepada arti bendera Bintang Kejora di
atas memiliki kesamaan dengan hasil pembentukan yang dilakukan oleh Komite
Nasional Papua saat itu. Secara garis besar bendera Bintang Kejora memiliki
makna : Bintang, lambang Ketuhanan yang berarti Negara berdasarkan iman akan
Tuhan Yang Esa; warna merah, merupakan simbol darah yang berarti keberanian
dalam merebut dan membentuk Negara; 6 baris putih melambangkan 6 distrik
(Affdeling) Papua pada waktu itu; 7 baris biru melambangkan 7 wilayah suku
bangsa Papua68
(Suryawan 2013). Oleh karenannya, yang ditemukan dalam
bendera Bintang kejora merupakan simbol kesakralan yang terbentuk melalui
komponen yang bersinergi dan menghubungkan antara manusia dan yang
transenden pada fase pertama.
Penjelasan terkait entitas burung mambruk sebagai simbol negara pada
manifesto politik Papua mencerminkan filosofi kultural. Burung ini memiliki
populasi yang tersebar di hutan rawa dan hutan dataran rendah pulau Papua.
Burung mambruk memiliki sarang yang terbuat dari ranting dan dedaunan dari
pohon yang dikumpulkannya. Di provinsi Papua, khususnya di wilayah pulau
68
I Ngurah Suryawan, Jiwa Yang Patah. Yogyakarta: Kepel Press , 2013.
38
Biak, burung ini memiliki nilai yang berharga sebagai simbol cultural. Menurut
Josh Mansoben69
:
Di Papua, khususnya Biak, burung Mambruk itu dianggap sebagai burung
yang memiliki nilai budaya. Memiliki fisik yang besar, kemudian dari
keindahan dia lebih indah dari burung lain dan burung ini juga tidak
sembarangan karena kekhasannya yang teratur. Kalau burung ini hidup
disuatu tempat, dia tidak berpindah-pindah lagi. Meskipun dia ke mana-
mana, tetap ia kembali ke tempatnya atau dahannya itu. Kalau dalam
kebiasaan orang ingin menangkapnya, tidak susah, tinggal mencari jejak-
jejak kotorannya. Nah inilah nilai keteraturan yang dimiliki oleh burung
mambruk.
Lebih lanjut Enos Rumansara70
menjelaskan tentang penggunaan burung
mambruk dalam tradisi adat dengan mengatakan bahwa:
Burung mambruk itu merupakan burung khas yang ada di Papua.Secara
khusus burung dipakai oleh orang di pulau Biak sebagai mahkota
perempuan. Kita dapat memperhatikan, memang orang biak
menggunakan burung cenderawasih, namun tidak lebih berharga dari
burung mambruk. Karena mereka kenal burung mambruk lebih dari
burung cenderawasih. Ini juga dipakai ketika mengantar perempuan atau
sebagai mas kawin. Biasanya mereka membuatnya di assiyou (sisir
bambu) dan merangkainya dengan burung mambruk di situ terutama
mahkota mambruk.Burung mambruk juga merupakan simbol-simbol
perdamaian.Dikatakan demikian dikarenakan terjadinya perkawinan
antara pihak perempuan dan pihak laki-laki, mengakibatkan terciptanya
hubungan kekerabatan antara kedua pihak tersebut. Pada upacara adat,
burung mambruk sebagai simbol dalam kebudayaan mampu menciptakan
sebuah hubungan perdamaian melalui cara ini.
Sumber lain71
yang didapatkan, di masa pemerintahan Belanda, Batalyon Papoea
Vrijwillingers Korps (PVK) menggunakan mambruk sebagai identitasnya.
Mambruk juga pernah digunakan sebagai logo dari sebuah perusahaan
penerbangan. Pesawat komersial pertama waktu zaman belanda yang
menggunakan mambruk pada lambang pesawat adalah pesawat jenis condrive.
Pada masa sekarang, pesawat ini diganti namanya menjadi Merpati. Penerbangan
ini hanya terdapat di Nieuw Guinea (Papua).
69
Ibid., 70
Hasil wawancara di kediamanannya, Kotaraja, tanggal 8 Agustus 2015, 17.20 WIT. 71
Hasil Wawancara dengan Pendeta Herman Saud
39
Dalam kongres Komite Nasional Papua, Nicholas Jouwe mengusulkan
untuk memnggunakan burung mambruk sebagai lambang negara72
. Secara
filosofis, burung hanya berteriak 2 kali sehari, untuk memanggil betina pada pagi
hari ketika hendak turun dari pohon, dan waktu sore hari apabila hendak naik ke
pohon73
:
Tete kasih tahu bahwa mambruk itu rajin, setiap pagi jantan dengan betina
tinggal kasih kode saja dengan suara, wuuuh..wuuuuh... mereka turun dan
langsung pergi cari makan. Begitu pula dengan sore ketika mereka pulang
kembali.Menurut beliau, tipe orang Papua Barat harus seperti itu.Orang
Papua Barat harus bekerja keras di atas tanah ini, karena tanah ini luas
dan butuh orang Papua Barat untuk mengelolahnya.Jangan hanya
bersembunyi seperti burung cendrawasih yang cantik tetapi bodoh,
sehingga orang dengan mudah menangkapnya.
Penjelasan lainnya dalam memaknai burung Mambruk oleh Suryawan74
bahwa
burung Mambruk sebagai simbol negara Papua Barat menjelaskan bahwa buluh
tanduk mambruk yang berjumlah 10 buah melambangkan bulan oktober (1961).
Buluh ekor berjumlah 7 melambangkan wilayah 7 suku bangsa Papua; panah 7
buah melambangkan semangat wilayah perlawanan 7 suku bangsa Papua; tifa 1
buah melambangkan semangat perdamaian dan harapan; sayap di kiri dan kanan
masing-masing 19 buah masing-masing melambangkan tanggal dan tahun kongres
19 Oktober 1961; semboyan “one people one soul” yang terdapat pada burung
mambruk melambangkan persatuan rakyat Papua Barat.
Merujuk pada posisi burung mambruk sebagai hewan endemik, bagi saya,
posisi dari mambruk memiliki netralitas dan mencerminkan filosofis kultural
dalam sub etnis Biak. Hal ini kemudian telah mengalami tendensi politis oleh
karena penggunaannya sebagai simbol negara. Bagaimanapun juga, bentuk dari
72
Cucu dari Nicholas Jouwe, wawancara di kediamanannya, Dok V Bawah Jayapura,
tanggal 19 Agustus 2015, pukul 18.25 WIT. 73
Ibid., 74
I Ngurah Suryawan,.Jiwa Yang Patah. Yogyakarta: Kepel Press , 2013.
40
burung Mambruk yang memiliki keindahan pada mahkotanya, mencerminkan
kejayaan dan juga filosofi yang dipelajari dari aktivitasnya sehari-hari dikenal
sebagai burung yang rajin. Di sinilah letak posisi burung mambruk yang sarat
makna filosofi kultural dan insiasi keteraturan hidup.
Pada manifesto politik yang dipersiapkan oleh Komite Nasional Papua,
terdapat lagu kebangsaan yang merupakan sebuah lagu gubahan Domine Izaak
Samuel Kijne. Lagu ini awalnya terdapat dalam nyanyian Seruling Emas, nomor
dua. Kijne selain dikenal sebagai seorang pendidik, banyak orang mengenalnya
memiliki rasa seni yang tinggi. Apabila menelisik fase hibrid di masa pertama,
kita akan menemukan bagaimana pengenalan identitas kepapuan yang salah
satunya dibentuk melalui musik dan nyanyian. Kijne cenderung menekankan
kontekstualisasi yakni menciptakan ruang imaginer melalui alam Papua dan
memperkenalkannya melalui nyanyian kepada murid-muridnya. Ia biasanya
menggubah lagu-lagu di atas batu yang disebut sebagai batu inspirasi dan batu
peradaban.
Secara historis, lagu Hai Tanahku Papua diciptakan oleh Kijne jauh
sebelum konstalasi politik antara Papua dan Indonesia. Bagi Herman Saud75
:
Lagu hai tanahku Papua, Kijne ciptakan untuk orang Papua agar selalu
mengucap syukur atas tanah yang indah, memiliki keunikan yang sudah
Tuhan ciptakan untuk orang Papua. Lagu ini hanya memiliki makna
rohani. Tidak ada berkaitan memiliki makna politik apapun. Komite
Nasional Papua saat itu menilai ini cocok dan dapat digunakan. Mereka
kemudian menggunakan lagu ini untuk mempersiapkan Papua merdeka.
Akhirnya makna yang tadi dimaksudkan mengalami perubahan. Tetapi
berkaitan dengan soal damai, itukandapat dikatakan demikian, karena hal
itu jika berkaitan dengan iman Kristen, ada 3 dimensi, yakni memuliakan
Tuhan, mengasihi sesama, dan menghargai ciptaan Tuhan. Makanya lagu
ini diciptakan untuk menghargai dan bersyukur kepada alam ini.
75
Wawancara dengan Herman Saud, tanggal 11 Agustus, pukul 21.04 WIT di Abepura
41
Namun jika lebih dalam kita menelisik makna dari lagu ini, Kijne hendak
mengungkapkan semangat identitas orang Papua, menceritakan kekayaan alam
yang dimiliki dan di bagian akhirnya ia mengungkapkan rasa syukur oleh karena
kekayaan alam yang diberikan oleh yang transenden. Kedekatan emosional
melalui perjumpaannya dengan orang Papua di masa itu yang memberikan ruang
bagi Kijne untuk mengaktualisasikannya di dalam karya dan kerjanya, salah
satunya melalui musik dan nyanyian. Bagi saya, aspek Teologis yang difokuskan
oleh Kijne memiliki harapan agar semua rakyat yang berada di Tanah Papua
menjadi saksi akan kebesaran Tuhan kepada semua bangsa di dunia.
Gambar 4 Batu Inspirasi tempat Kijne memikirkan semua hal untuk kemajuan Orang Papua.
Oleh karenanya, ingatan berkesinambungan menjadi alasan bagi Komite
Nasional Papua yang merupakan hasil didikan Kijne telah menginisiasi entitas ini
sebagai salah satu lagu kebangsaan pada manifesto politik Papua. Saya memahami
ini sebagai manifestasi bentuk kesakralan yang berpindah dari fase pertama ke
dalam fase kedua ini.
2.2.2 Akhir Dari Penantian dan Jiwa Yang Remuk; Suatu Dinamika Politik
42
Gambar 5 Markus Kaisiepo bersama Gubernur Jenderal Plattel
Penantian untuk mencapai sebuah kemerdekaan secara de facto pernah
dialami oleh rakyat Nieuw Guinea (Papua). Sejarah mencatat peristiwa yang
membahagiakan bagi rakyat Papua dengan diproklamirkan kemerdekaannya pada
tanggal 1 Desember 1961. Berita tentang kemerdekaan Papua Barat dilaporkan
oleh beberapa media cetak pada saat itu. Surat Kabar Triton76
melaporkan:
Di mana-mana ditanah kita pada tanggal 1 Desember 1961, bendera kita,
bendera negeri Papua Barat dinaikan setjara resmi. Ribuan penduduk
bangsa kita dengan hati penuh sukatjita menjaksikan upatjara resmi itu
dikota-kota pusat onderfardeling, maupun dipelosok-pelosok tanah Papua
Barat. Para anggota NGR pada waktu itu berada ditempat-tempat
pemilihanja masing-masing. Di sana mereka memberi keterangan dan
penerangan tentang hari besar itu. Siapa jang ada pertanjaan untuk mereka
djawabnja diutjapkan pula sehingga umum bersukaria dengan kenaikan
bendera negeri-usaha jang sudah lama ditunggu rakjat. Begitu djuga di
ibukota Hollandia, pagi hari banjak penduduk jang berkumpul dipusat
kota, lapangan IMBY dihadapan gedung NGR jang kami akan didirikan di
sana. Tentara Rakjat Papua, penduduk Belanda pula turut hadir upatjara
kami. Terlihat djuga njonja Plattel jang berdiri ditengah-tengah tempat
bagi pembesar kebesturan setempat., urusan partai-partai politiek,
golongan sosial, para kepala kampong dan district. Begitu djuga jang hadir
tuan Gouveneur Plattel, para kepala dinas, pemimpin angkatan pertahanan,
utusan NGR dan Komite Nasional.
76
Majalah TRITON, 8e Jaargang, Januari 1962, no 1
43
Tepat Pukul 08.00 WIT pagi, semua orang berkumpul untuk menyaksikan bendera
Papua (Bintang Kejora) pertama kali dikibarkan berdampingan dengan bendera
kebangsaan Belanda. Surat Kabar De Tifa77
menceritakan.
Ketika Gubernur Plattel tiba, ia disambut oleh Ketua Komite Nasional
Willem Inauri. Upacara itu juga didukung oleh pasukan kehormatan dari
polisi yang dipimpin oleh Numberi. Ada juga kelompok Paduan suara dari
siswa sekolah perawat rumah sakit di Hollandia. Paduan suara itu
menyanyikan lagu Kebangsaan Belanda, Willhelmus. Kemudian Marcus
Kaisepo masuk mengambil bendera Bintang Kejora yang dibungkus
dengan kain putih dan diserahkan kepada dua orang polisi sebagai
kebangsaan Papua, Hai Tanahku Papua, dalam satu ayat.
Gambar 6 Markus Kaisiepo membawa Bendera Bintang Kejora, 1
Desember 1961
Upacara yang berlangsung pada 1 Desember 1961 tidak hanya berlangsung di
Hollandia, namun juga berlangsung di afdeling diseluruh Papua. Carel Schneider,
seorang kontrolir binnenland bestuur di Wamena menuliskan dalam buku Belanda
di Irian Jaya78
:
77
Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2012. 78
PIM SCHOORL, Belanda di Irian Jaya (Amtenar di Masa Penuh Gejolak). Jakarta:
Garba Budaya, 2001.
44
Pada 1 Desember 1961, ketika anggota Dewan berkumpul di Hollandia
dalam upacara peresmian di depan kantor pemerintah di Wamena, kami
untuk pertama kalinya menaikkan "bendera negara" yang dibuat tergesa-
gesa oleh pemerintah di samping bendera Belanda dengan dikelilingi oleh
orang Papua dan kulit putih. Pidato-pidato oleh bestuursassistent dan saya,
atas instruksi Hollandia, harus "bernada positif'. Kedua bendera yang
berdampingan itu melambangkan kenyataan bahwa mulai sekarang tidak
hanya Belanda, tetapi juga putra-putra daerah sendiri harus mulai bekerja
untuk hari depan mereka, demikian kira-kira amanat kami. Segera setelah
itu di Wamena dan daerah sekitarnya dimulailah pertandingan sepak bola
dan voli yang sudah sangat dinantikan oleh para pengunjung. Ketika saya
dengan anak gadis saya yang masih kecil sedang menyaksikan
pertandingan sepak bola yang bersemangatantara kesebelasan tukang kayu
dan agen-agen polisi, seorangpenerbang MAF menyampaikan secarik
surat dari Hollandia kepadasaya. Surat itu menugaskan saya untuk
memikirkan kemungkinan-kemungkinanmengevakuasi para pegawai
Wamena (dan keluarga mereka) kalau sampai terjadi infiltrasi militer oleh
Indonesia di Centraal Bergland.
Gambar 7 Petugas pengibar bendera Bintang Kejora 1 Desember 1961
Pengibaran bendera pada 1 Desember 1961 di Biak diawali dengan pidato
oleh Baldus Mofu yang merupakan anggota Dewan Nieuw Guinea Raad yang
45
merupakan perwakilan dari afdeling Biak. Pidato yang dibawakan oleh Baldus
Mofu membangkitkan semangat rakyat Papua Barat. Meteray mengatakan79
:
“Dengan pengibaran bendera Papua Barat, kami mengharapkan saatnya
akan datang, bendera ibu ini akan kembali ke tanah airnya sebagai seorang
ibu yang baik. Yang menjadikan batu sandungan adalah Indonesia. Saya
katakan kepada Indonesia bahwa engkau adalah saudara kami, tetapi
sejarah membuktikan bahwa apabila seorang kakak menginjak adiknya,
maka akhirnya akan buruk. Karena itu, saya mohon agar bendera kami
dihormati oleh semua bangsa”.
Pada tanggal yang sama di Raja Ampat, juga berlangsung upacara
pengibaran bendera Bintang Kejora. Friets Veldkamp seorang Hoofd Vaan
Plaatslijk Bestuur (HPB) Onderafdeling80
Raja Ampat menuturkan81
:
Terjadilah suatu peristiwa yang tidak langsung berhubungandengan dewan
daerah, tetapi bagaimanapun menentukan suasana politik. Pada 1
Desember 1961, di depan kantor onderafdeling di samping bendera
Belanda dikibarkan bendera Nugini-Belanda. Sebelum lambang jati diri
Papua yang diberi bentuk bagus itu ditetapkan, saya sudah bertanya-tanya
apakah dalam keadaan seperti itu bijaksana untuk melakukannya.
Bukankah hari depan politik Nugini-Belanda itu tidakdapat diramalkan?
Sewaktu upacara, saya berdiri agak di belakang jugakarena sebetulnya
saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Berbedadengan saya, hadirin
lain tahu, terutama beberapa anak muda mengucapkan pidato yang
nasionalistis dan bersemangat, menyambut gembira lahirnya Irian Barat
yang merdeka. Jelas bahwa langkah pemerintah itu, setidak-tidaknya
untuk banyak orang Papua, telah menyentuh perasaan nasionalisme yang
kuat.
Perjuangan rakyat Papua telah sampai dalam tahap memproklamirkan
sebuah negara merdeka pada 1 Desember 1961. Meskipun secara De Facto,
perasaan sukacita dan kegembiraan atas tahap yang telah berlangsung ini
menjadikan semangat persatuan di kalangan rakyat Papua. Euforia terhadap
kemerdekaan yang sedang terjadi dalam waktu sekejap berakhir. 18 hari setelah
79
Bernarda Meteray, Nasiomalisme Ganda Orang Papua. Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2012. 80
Onderafdeling adalah suatu wilayah administratif yang diperintah oleh seorang kontrolir
(wedana bangsa Belanda) pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sebuah onderfdeling
terdiri atas beberapa landschap (setingkat kecamatan). 81
PIM SCHOORL, Belanda di Irian Jaya (Amtenar di Masa Penuh Gejolak). Jakarta:
Garba Budaya, 2001.
46
mereka memproklamirkan kemerdekaannya, Presiden Soekarno dengan tegas
mengeluarkan “Tri Komando Rakyat” dari Alun-alun utara Yogyakarta untuk
menggagalkan kemerdekaan Papua Barat. Ia melanjutkan desakannya untuk
memperluas wilayah Indonesia secara menyeluruh dari Sabang sampai Merauke
dan menjanjikan hal tersebut dapat segera diwujudkan. Presiden Soekarno dengan
berapi-api mengatakan82
:
”Sekarang saya tanya kepada saudara-saudara, kepada dunia internasional.
Mengapa pihak Belanda menjadikan Irian Barat sebagai satu boneka
Papua. Belanda menghasut rakyat Irian Barat menjalankan satu politik
memecah belah kedaulatan RI dengan mendirikan negara Papua,
mengibarkan bendera Papua, menciptakan lagu kebangsaan. Dengarkan
saudara-saudara, komando saya dengan tegas ialah gagalkan pendirian
negara Papua ini. Apa komando saya lagi, hai seluruh rakyat Indonesia
kibarkanlah bendera Sang Saka Merah Putih di Irian Barat itu.
Isi Trikora
1) Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.
2) Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.
3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air
dan bangsa.83
Pemerintah Indonesia terus berujuang dalam usaha untuk merebut Papua Barat.
Presiden melalui Komando Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD) telah
menyusun rencana militer unutk melawan pemerintah Belanda. Tim ini mengatur
skenario operasi yang disebut “Operasi Mandala” di bawah pimpinan Panglima
Mandala Soeharto.
82
Mustopo, Api perjuangan pembebasan Irian Barat. Jakarta: Yayasan Badan Kontak
Keluarga Besar Perintis Irian, 1986. 83
TRIKORA adalah singkatan dari Tri Komando Rakyat yang dikeluarkan oleh Presiden
Soekarno untuk merebut Papua Barat.
47
Biografi Soeharto berjudul “The Smiling General” yang ditulis oleh O. G.
Roeder84
menjelaskan bahwa sulit untuk mengkoordinasi seluruh kekuatan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Soeharto merencanakan untuk
menyusup ke Papua Barat untuk menghancurkan dan mengusir musuh dan
kemudian mereka akan bergabung dalam pasukan yang lebih besar. Upaya
penyusupan di mulai pada bulan Januari 1962. Tiga kapal patrol Indonesia yang
berlayar dari kepulauan Arafura ke Papua Barat dicegat oleh pasukan Belanda dan
kemudian terjadilah pertempuran. Insiden ini mengakibatkan tenggelamnya KRI
Macan Tutul yang di nakhodai oleh Komodor Laut Yosaphat Sodarso. Ia
meninggal dalam pertempuran yang dikenal dengan “Pertempuran Teluk Aru”.
Peristiwa ini menjadi keprihatinan semua pihak, tidak ketinggalan
Australia dan Amerika. Presiden John F. Kennedy menunjukkan keprihatinannya
dengan meminta Belanda menahan serangannya dan juga meminta Presiden
Soekarno untuk menahan diri untuk tidak terprovokasi dengan pemerintah
Belanda. Pada kesempatan lain, telah terjadi pertemuan rahasia antara Robert
(saudara laki-laki John F. Kennedy) dan Presiden Soekarno di Jakarta. John F.
Kennedy juga berusaha membujuk Belanda di Den Haag untuk melakukan
negosiasi rahasia, namun tidak direalisasikan oleh pihak pemerintah Belanda.
Tercatat telah terjadi dua kali jamuan oleh John F. Kennedy kepada Soekarno di
Washington DC85
.
84
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001. 85
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.
48
Gambar 8 Pertemuan antara John F. Kennedy dan Soekarno di Amerika Serikat
Pada pertemuan ini, Kennedy menilai dirinya berbeda dengan Soekarno. Ia
mengatakan dirinya adalah pemimpin yang bersifat individualistik, berbeda
dengan Soekarno yang lebih memperhatikan kesejahteraan bangsanya.
Maksudnya mengatakan demikian, untuk membujuk Soekarno agar tetap merebut
Papua Barat yang memliki nilai komoditas yang besar, dan nantinya dapat
menguntungkan Amerika Serikat. Pertemuan lainnya terjadi antara John F.
Kennedy dengan pemerintah Belanda. Kennedy menyatakan bahwa Papua bukan
merupakan bagian penting dari dunia, sehingga tidak perlu untuk kekuatan-
kekuatan besar dihadirkan.
Selang 20 Tahun kemudian, mantan Duta Besar Belanda untuk Amerika
Serikat, Van Roijen pada Haagse Post86
edisi 21 Maret 1981 menyatakan,
Kennedy menekankan kewajiban moral Belanda terhadap Papua Barat. Pihak
Belanda merespon dengan menanyakan kepada Kennedy, apakah hal ini sama
dengan perasaan Amerika Serikat kepada rakyat Berlin Barat? Kennedy
menjawab dengan mengatakan:
86
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.
49
“Kedua hal ini merupakan masalah yang jelas-jelas berbeda, ada 21/4
juta
penduduk yang tinggal di sana (Berlin Barat), sedangkan orang Papua
Barat hanya berjumlah 700 ratus orang dan masih hidup di zaman batu”.
Upaya Kennedy untuk mengabaikan Papua Barat dipicu dengan keputusannya
mendukung Soekarno secara penuh. Hal ini berdampak kepada Indonesia yang
semakin menjauh dari kubu Soviet dan Amerika Serikat semakin meningkatkan
pengaruhnya di Jakarta. Seorang sejarawan Australia berhasil mengungkapkan
perilaku Amerika Serikat dalam beberapa memo yang ditulis oleh sejumlah
pejabat tinggi Amerika Serikat dan diterbitkan pada National Times edisi 8
Februari 1985.
Walt Rostow salah seorang staf gedung putih mengatakan, Australia harus
dipaksa untuk bisa mengikuti Amerika untuk menyelesaikan sengketa Indonesia
dengan Belanda. Ini merupakan kepentingan jangka panjang agar Indonesia tidak
jatuh pada pihak komunis. Mendukung pernyataan Rostow, pada bulan November
1961, Robert Komer yang juga adalah staf gedung putih menuliskan
pernyataannya87
:
Tidak dapat dielakan bahwa cepat atau lambat Irian Barat akan beralih ke
Indonesia. Satu-satunya pertanyaan yang muncul adalah : Akankah kita
akan terlibat dalam proses tersebut dan oleh karenanya kita akan
mendapatkan keuntungan? Atau akankah kita biarkan isu tersebut
dimanfaatkan oleh blok lawan kita? Semua bantuan ekonomi dan militer
yang dapat kita berikan kepada Soekarno akan lebih memberikan
keuntungan kepada kita ketimbangan menguntungkan obsesinya yang
menggebu?. Jadi dengan kegagalan strategi kita melalui PBB, maka kita
harus melepaskan cara itu dan mengubah pendirian dengan terang-
terangan memihak Indonesia selagi masih ada kesempatan untuk
mendapatkan keuntungan secara politis dari kasus ini. Kita, Belanda dan
Australia, harus mau menghadapi kenyataan bahwa saat ini kita harus
menghadapi hegemoni Indonesia terhadap Irian Barat, dan kalau perlu
mendukungnya.
87
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.
50
Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, Australia juga berusaha untuk
melakukan sebuah tindakan atas bujukan dari Amerika Serikat. Melalui Menteri
Luar Negeri Australia, Sir Garfield Barwick, Australia meyakini bahwa, inilah saat
terakhir dari masa kejayaan Belanda. Barwick sempat melakukan pembicaraan
dengan Menteri Luar Negeri Belanda, Joseph Luns. Pada pembicaraan ini,
Barwick menyarankan kepada Luns agar memikirkan kembali kebaikan bersama
untuk Indonesia. Maksud dari perkataan Barwick ialah untuk membujuk Joseph
Luns untuk membiarkan Indonesia menguasai Papua Barat.
Pada tanggal 15 Agustus 1962 berlangsung sebuah perjanjian antara
pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda yang diinisiasi oleh PBB di New
York, Amerika Serikat. Perjanjian ini berlangsung atas usulan Elswort Bunker,
salah seorang utusan dari Amerika Serikat di PBB. Bunker mengusulkan sebuah
proposal untuk menyelesaikan sengketa Papua Barat, yang diimplementasikan
dalam NewYork Aggrement. Hasil yang disepakati dalam perjanjian ini adalah
sebagai berikut88
:
1. Apabila PBB telah membenarkan persetujuan atau perjanjian itu
melalui rapat umum, maka Belanda segera menyerahkan kekuasaannya
atas Papua Barat kepada UNTEA89
.
2. Terhitung 1 Mei 1963, UNTEA yang memiliki tanggung jawab
administrasi menyerahkan kepada Indonesia.
88
Johannes Rudolf Gerson Djopari, Pemberontakan organisasi papua merdeka. Jakarta:
Grasindo, 1993. 89
UNTEA adalah sebuah badan pelaksana sementara PBB yang berada di bawah
kekuasaan Sekretaris Jendral PBB. UNTEA dikepalai oleh seorang yang diangkat oleh Sekjen
PBB dengan persetujuan antara Indonesia dan Belanda dan bertugas menjalankan pemerintahan
Irian Barat dalam waktu satu tahun. UNTEA dibentuk karena terjadinya konflik antara Indonesia
dan Belanda dalam permasalahan status Irian Barat, sehingga badan ini merupakan pengawas di
Irian Barat setelah Persetujuan New York.
51
3. Untuk Akhir tahun 1969, di bawah pengawasan Sekertaris Jenderal
PBB, di lakukan Act of Free Choice dalam mana orang Papua Barat
dapat menentukan penggabungan pasti tanah mereka dengan Indonesia,
atau menentukan status/kedudukan yang lain.
4. Indonesia dalam tenggang waktu itu akan
mengembangkan/menggabung kebersamaan orang Papua Barat.
Sehingga orang Papua Barat nantinya akan menentukan status mereka
di tahun 1969.
Tahun 1969 ditetapkan sebagai tahun dilaksanakannya an act of free
choice (penentuan pendapat). Tata cara pemilihan yang ditentukan pada pasal
XXII dalam perjanjian ini “one man, one vote” yakni, satu orang mendapatkan
satu hak suara untuk memilih. Ssaat itu, masyarakat Papua Barat berjumlah sekitar
800.000 orang90
yang nantinya akan siap untuk memilih. Sebelum memasuki
tahun pemilihan, kekuasan sementara diambil alih oleh United Nations Temporary
Executive Authority (UNTEA) dan Belanda diharuskan untuk segera mengangkat
kaki dari Papua Barat. Perlu diingat, pada perjanjian ini tidak ada seorangpun
rakyat Papua Barat yang diikutsertakan sebagai peserta ataupun dalam
pengambilan keputusan.
Kedatangan keamanan UNTEA yang mayoritas berasal dari Pakistan
berjumlah 1537 orang dan Indonesia yang berjumlah 1500 orang, mematahkan
optimisme masyarakat Papua Barat. Mereka yang sebagian besar memeluk agama
Islam, secara langsung mengabaikan pandangan tradisional tentang pentingnya
90
Oktovianus Pogau, "Narasi Sejarah Sosial Papua." In PEPERA 1969 dalam perspektif
kaum muda: Penuh Rekayasa dan mannipulatif, by Oktovianus Pogau, 9. Malang: Intrans
Publishing, 2011.
52
babi bagi masyarakat setempat. Analis politik, Peter Savage menulis, pasukan
gabungan ini juga melakukan kekerasan untuk menghapus semangat Nasionalisme
Papua Barat91
.
Berbagai reaksi bermunculan menanggapi perjanjian New York yang
dianggap secara sepihak diputuskan. Kelompok terpelajar Papua Barat
dikumpulkan oleh ketua partai Parna, Herman Wayoi dan Nicolas Tanggahama,
salah satu anggota Nieuw Guinea Raad. Pertemuan yang menghadirkan 90 orang
peserta (pemimpin politik Papua) ini dengan terpaksa menerima bahwa wilayah
mereka telah dikuasai oleh PBB. Namun, mereka meminta kepada PBB (UNTEA)
untuk menghormati bendera dan lagu kebangsaan mereka serta referendum yang
dituntut harus segera dilakukan pada tahun 1963. Pertemuan yang dilaksanakan ini
murni untuk mempertahankan semangat Nasionalisme Papua Barat tanpa
memikirkan dukungan baik kepada Pemerintah Belanda maupun kepada
pemerintah Indonesia.
Elit Papua pada saat itu merasa telah dikhianati oleh Belanda dan merasa
bahwa Indonesia juga memiliki kepentingan atas mereka.Tetapi pada kenyataanya
permintaan kaum intelektual Papua ini tidak dihiraukan sama sekali oleh UNTEA.
Periode kekuasan sementara oleh UNTEA menjadi kontrol de facto Indonesia92
terhadap Papua Barat. Nasionalisme rakyat Papua Barat perlahan mulai tereduksi.
Jika ada sebuah gerakan di Papua Barat yang menyatakan bentuk
Nasionalismenya, hal ini dianggap sebagai sebuah tindakan yang melanggar
hukum dan harus diproses. Sejak saat itu, bendera bintang kejora yang biasanya
91
Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Internal dan Eksternal Papua, Universitas Gadjah
Mada 2016 92
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.
53
dikibarkan dan lagu Hai, Tanahku Nieuw Guinea yang sering dinyanyikan tidak
lagi berkibar dan terdengar nyanyiannya.
Gambar 9 Belanda meninggalkan Papua Barat
Kontrol de facto dari UNTEA terhadap Papua Barat dimanfaatkan oleh
Indonesia untuk mengirim sejumlah pasukan dengan bekerja sama dengan pasukan
dewan keamanan PBB di bawah pimpinan Jenderal Said Uddin Khan (Pakistan).
Tidak sampai di situ saja, pelbagai jabatan penting di Papua Barat saat itu dikuasai
oleh Pemerintah Indonesia seperti di Kejaksaan, Pengadilan, Komunikasi dan lain
sebagainya. Berbagai departemen dan divisi-divisi diperbantukan oleh orang
Indonesia sebagai deputy director dan deputy resident93
.
Strategi ini digunakan UNTEA agar kelak dapat mempermudah pengalihan
kekuasaan dari UNTEA ke Indonesia. Secara praktis semua pos telah ditempati
oleh orang Indonesia. Setelah, pemerintahan sementara (UNTEA) diberikan
93
Johannes Rudolf Gerson Djopari, Pemberontakan organisasi papua merdeka. Jakarta:
Grasindo, 1993.
54
kepada pemerintah Indonesia, semua partai politik yang didirikan pada zaman
Belanda dibubarkan oleh pemerintah Indonesia. Pembubaran ini juga didukung
oleh beberapa kaum elit Papua Barat yang pernah menjadi pelopor dalam
berdirinya partai-partai tersebut.
Pemerintah Indonesia juga menempatkan beberapa orang Papua Barat pro
Indonesia pada jabatan pemerintahan. Eliezer Jan Bonay ditunjuk sebagai
Gubernur pertama di Irian Barat, Dirk Ajamiseba menjadi wakil ketua DPRD
Provinsi Irian Barat, sementara Silas Papare, Marthen Indey, Lukas Rumkorem
dan Albert Karubuy menjadi utusan Irian Barat di MPR. Gerakan Merah Putih
juga didirikan untuk menggalakan semangat Nasionalisme Indonesia kepada
masyarakat Papua. Semua ini bertujuan menciptakan sebuah kemudahan bagi
Indonesia untuk memenangkan an act of free choice.
Di sisi lain, kaum nasionalis Papua Barat menyadari politik propaganda
yang dilakukan untuk merebut hak-hak mereka. Mereka kemudian mendirikan
berbagai organisasi gerakan perjuangan yang dalam perkembangannya disebut
oleh pemerintah Indonesia dengan sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Sejumlah organisasi ini berdiri di beberapa daerah dan memiliki tujuan yang sama
yakni mendirikan sebuah negara merdeka tanpa intervensi dan memihak kepada
siapapun.
Di Jayapura dibentuklah gerakan yang dinamai “Gerakan Menuju
Kemerdekaan Papua Barat” yang dipimpin oleh Aser Domotekay yang dulu
adalah kepala distrik Demta pada tahun 1963. Tahun 1964 di Manokwari
didirikan “Organisasi dan Perjuangan menuju Kemerdekaan Papua Barat”.
Gerakan ini dianggap sebagai gerakan pengacau keamanan oleh Indonesia.
55
Mereka melakukan berbagai pemberontakan secara radikal dan juga membangun
doktrin ideologi untuk memerdekakan Papua.
Berbagai hal yang sangat tidak terpuji dipertontonkan oleh Indonesia di
Papua Barat. Semua benda peninggalan Belanda seperti motor vespa, wastaffel,
kaca nako, lemari besi, kipas angin, tangga pesawat, sepeda dan lain-lain diangkut
dengan alat transportasi ke daerahnya. Selain itu, pemerintah Indonesia juga
melakukan nasionalisasi rumah milik masyarakat dengan alasan rumah tersebut
bekas peninggalan Belanda dan harus diserahkan kepada pemerintah. Semangat
anti kolonial juga diterapkan dan diimplementasikan Indonesia dengan membakar
dokumen-dokumen penting (buku cetak dan arsip sejarah Papua Barat) dalam
bahasa Belanda. Hal ini berdampak di masa sekarang, literatur tentang Papua sulit
untuk ditemukan di Papua dan hanya dapat ditemukan di negeri Belanda.
Selanjutnya, untuk mendapatkan bahan makanan, aparat keamanan pada
masa itu, kerap kali meneror pemilik usaha dagang (toko dan kios) dengan senjata
agar mendapatkan bahan makanan secara gratis. Berbagai kritikan telah dilakukan
oleh orang asli Papua Barat (pejabat maupun masyarakat) atas sikap aparat
keamanan Indonesia yang dianggap melanggar hukum yang berlaku. Namun, tidak
sedikit dari mereka (Orang Papua Barat) diteror dan diintimidasi akibat kritikan
yang dilontarkan.
J.R.G. Djopari94
dalam tesisnya kemudian menjelaskan:
Sebenarnya Pemerintah Indonesia secara politik dan ideologi telah
berhasil merebut misinya yang berpuncak kepada PEPERA, sekalipun di
sana sini terdapat insiden-insiden maupun ganguan terhadap keamanan
wilayah perwujudan ketidakpuasan sebagian masyarakat Irian Jaya atas
proses integrasi itu. Apalagi ditunjang dengan situasi ekonomi yang sulit,
94
Johannes Rudolf Gerson Djopari, (1991), Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka,
(Studi kasus tentang integrasi politik di Irian Jaya dari tahun 1964 sampai dengan tahun 1984),
Tesis FISIP UI, Jakarta. hal 127.
56
dan perbedaan kultur yang besar, dan sikap oknum-oknum ABRI dan sipil
yang kurang terpuji. Sikap pribadi yang kurang terpuji ini dengan
sendirinya memberi warna dan kesan yang negatif dari masyarakat atau
sebagian besar masyarakat Irian Jaya terhadap Indonesia.
Intisari dari pemikiran Djopari ini secara jelas menggambarkan kekerasan dan
kebohongan secara koorporasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan
PBB dalam Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Situasi ini diperburuk dengan
kekerasan (terror intimidasi dan pembunuhan) oleh aparat keamanan Indonesia.
Salah satu kejadian dilaporkan oleh Wartawan Brian May dalam
Osborne95
, Pada akhir bulan Mei menjelang PEPERA, di sekitar danau Sentani,
seorang Mayor Indonesia bernama Soewondo, mengumpulkan dua ratus kepala
desa dan mengancam akan menembak mati mereka, jika tidak memberi dukungan
kepada Indonesia dalam proses penentuan pendapat tersebut. Ancaman serupa
juga dilontarkan oleh Jenderal Ali Murtopo kepada 1025 orang yang nantinya akan
melakukan proses pemilihan. Jika mereka ingkar janji untuk tidak memberikan
dukungan kepada Indonesia pada saat pemilihan berlangsung, mereka akan
ditembak mati96
.
Fakta sejarah ini mengungkapkan bahwa PEPERA tidak dilakukan sesuai
dengan kesepakatan New York Aggrement. Kesepakatan yang seharusnya one man,
one vote, tetapi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Dari 809.337 rakyat Irian
Barat yang harus memilih, hanya 1025 (dengan ancaman) yang dipilih sebagai
95
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001. 96
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.
57
dewan PEPERA. P.J Droglever dalam bukunya berjudul “Tindakan Pilihan Bebas”
menjelaskan97
(Droglever 2010) :
Pada awalnya orang-orang Papua yang paling sadar politik
menggantungkan harapan pada Tindakan Pemilihan Bebas. Tetapi,
ternyata Indonesia hanya menunjukkan sedikit sekali minat untuk
melaksanakan Tindakan Pemilihan Bebas ini secara benar. Sikap Jakarta
berubah ketika Soeharto memegang tampuk kekuasaan sebagai presiden
Indonesia yang baru. Ketika ia mulai memerintah, negara dalam keadaan
kacau dan ekonomi porak poranda, sementara ia sangat memerlukan kredit
internasional. Untuk itu, Indonesia harus memperoleh respek
internasional. Indonesia harus menunjukkan bahwa ia mampu untuk patuh
kepada ketentuan-ketentuan internasional. Tindakan Pemilihan Bebas,
yang merupakan bagian terakhir dari Persetujuan New York, menawarkan
kesempatan itu. Walaupun begitu, presiden yang baru ini memberikan
syarat bahwa satu-satunya hasil yang bisa diterimanya adalah keputusan
yang berpihak pada Indonesia.
Kedatangan Ortiz Sanz di tahun 1968 sebagai wakil Sekertaris Jenderal
PBB dengan tujuan membantu menyiapkan proses ini. Awalnya Ortiz Sanz
antusias dengan harapan akan mampu menyelenggarakan suatu referendum yang
kredibel sesuai dengan standar-standar internasional. Harapannya diperkuat
dengan sikap Menteri Luar Negeri, Adam Malik yang telah mengunjungi Nieuw
Guinea, berhasil mendesak untuk mengakui bahwa Papua perlu untuk dikelola
dengan serius. Salah satu cara menurutnya dengan mempercepat Penentuan
Pendapat Rakyat98
.
Sementara dipihak lain, rakyat Papua banyak melakukan pendekatan
dengan pihak asing untuk menyampaikan keluhan mereka bahwa Indonesia
bukanlah negara yang baik. Mereka meminta kepada pihak asing untuk
mengatakan permasalahannya kepada dunia. Di sisi lain Ortiz Sanz mendapat
laporan bahwa PBB menerima 179 petisi dari masyarakat Papua Barat. Petisi ini
97
P.J Droglever, Tindakan Pilihan Bebas! "Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri .
Yogyakarta: Kanisius, 2010. 98
Droglever, P.J. Tindakan Pilihan Bebas! "Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri .
Yogyakarta: Kanisius, 2010.
58
berisikan permintaan pembentukan negara Papua Barat dan mengeluhkan tindakan
represif aparat keamanan Indonesia seperti pemenjarahan tahanan politik yang
terus berlanjut, serta pelecehan dalam proses demokrasi99
.
Salah satu petisi disampaikan oleh sekitar 2000 orang demonstran kepada
Ortiz Sanz, 11 April 1969. Namun para demonstran dibubarkan secara paksa oleh
tentara Indonesia. Ortiz Sanz mengalami situasi yang dilematis. Selain itu, ia
mencoba menanggapi serius petisi-petisi ini dan meneruskan ke mitra
Indonesianya, Sudjarwo Tjondronegoro. Ia meminta Sudjarwo mengambil sebuah
tindakan dalam menyelesaikan persoalan dengan referendum. Sudjarwo menyela
dan menganggap permintaan Ortiz Sanz sebagai intervensi yang tidak perlu.
Indonesia menolak bentuk referendum yang disarankan oleh Ortiz Sanz, dan
memilih sistem musyawarah yang dilegitimasi sebagai tradisi Indonesia100
.
Istilah ini yang kemudian merupakan pilihan terakhir dari implementasi
persetujuan New York dan menjadi prinsip utamanya. Di dalam sistem ini,
dimungkinkan hanyalah keputusan kolektif melalui persyaratan konsensus yang
sempurna. Ortiz Sanz merasa jenuh dengan manuver politik yang dilakukan oleh
panitia PEPERA Indonesia. Praktik-praktik lainnya yang dilakukan oleh Indonesia
kepada PBB untuk menghambat proses ini dengan membatasi transportasi,
memanipulasi penerjemah, sampai kepada proses pemilihan. Saat pemilihan
berlangsung, masyarakat secara terpaksa menjawab bahwa mereka tidak ditekan
sebelum memilih101
.
99
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia di
Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001. 100
Fred Keith Hutubessy, Nasionalisme Eksternal dan Internal Papua. Yogyakarta:
Library Universitas Gadjah Mada, 2016. 101
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia
di Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.
59
Namun dalam catatannya, Ortiz Sanz menulis bahwa pemerintah Indonesia
secara nyata melakukan kontrol politik yang ketat dalam proses pemilihan. Hal
tersebut juga dikatakan oleh Bob Hawkins, redaktur Pacific Islands Monthly, yang
saat itu menyaksikan proses PEPERA di Lembah Baliem. Ia mengatakan bahwa
ada petugas Indonesia yang menggunakan rotan tebal untuk memukul orang-orang
Dani yang dikumpulkan dalam sebuah balai pertemuan dengan tujuan agar mereka
memilih bergabung dengan Indonesia102
.
Pada akhirnya, implikasi politis dari musyawarah mufakat yang diterapkan
oleh Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat, berakhir dengan bergabungnya
Irian Barat (Papua) secara utuh ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Gambar 10 Tugu PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Kota Jayapura
102
Robin Osborne, Kibaran sampari "Gerakan Pembebasan OPM, dan Perang Rahasia
di Papua Barat. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi masyarakat (ELSAM), 2001.
60
2.3. Fase Transformasi Sakralitas-Nasionalisme Papua
Setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui tata cara Penentuan
Pendapat Rakyat, aksi protes dengan melakukan sejumlah pengibaran bendera
Bintang Kejora yang melibatkan beberapa kelompok. Mereka tidak menerima
hasil Penentuan Pendapat Rakyat yang dilakukan dalam intervensi dan konrol
politik kepada orang Papua. Meskipun hal lain yang mendasar mereka bergerak
juga berkaitan dengan narasi sakral yang mereka percayai akan mendatangkan
pembebasan dari dunia penderitaan menuju dunia yang ideal. Jangka waktu dari
beberapa pengibaran bendera bintang Kejora tidak jauh dari tahun proses
pemilihan ini. Menariknya, pengibaran bendera ini secara massif terjadi selama
puluhan Tahun di dalam setiap momentum untuk memeringati sebuah peristiwa
bersejarahnya dan sebagai bentuk protes terhadap berbagai situasi yang terjadi di
masa itu.
Pada Tabel 1 akan ditemukan sejumlah gerakan perlawanan secara
presentatif pasca bergabung dengan Indonesia. Mereka mengibarkan bendera
Bintang Kejora sebagai bentuk perlawanan dan presentasi identitas dan perasaan
berbeda dengan Indonesia.
Tabel 2. Daftar Aksi Gerakan Massa di Papua 1971-1999
Aksi Gerakan
Aktor Lokasi Tahun
Proklamasi kemerdekaan Papua dan aksi
protes terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) menjelang Penentuan
Pendapat Rakyat (PEPERA)
Seth Jacob Rumkorem,
Jacob Prai, Dorinus Mauray,
Philemon Tablamelina
Jerisetou Jufuway, Louis
Wajoi
Waris 1971
61
Aksi pengibaran bendera dan rencana
penyerbuan kantor Gubernur
Persila Yakadewa,
Barbalina Ikari, Merry
Yarona, Vonny Yakadewa,
Renny Yakadewa, dan
Dominggas Fisirewa-
Yakadewa
Kantor
Gubernur
1980
Penyerangan dan percobaan pembebasan
tahanan KOPKAMTIB
Tidak diketahui Penjara
Abepura
1981
Mengibarkan bendera bintang kejora dan
membacakan teks proklamasi Papua Barat
9 mahasiswa Universitas
Cenderawasih
Abepura 1982
Pengibaran bendera bintang kejora Elias Warsey, Angitta
Kodam XVII Cenderawasih
Kantor
DPRD
Tingkat 1
1984
Proklamasi OPM dan pengibaran Bendera
Bintang 14
Thomas Wanggai dan 60
orang simpatisan
Jayapua 1988
Pengibaran bendera bintang kejora dan
tuntutan pemisahan diri dari NKRI. Kejadian
ini dikenal dengan Tragedi “Biak Berdarah”
Filep Karma dan simpatisan Biak 1998
Bendera Bintang Kejora dikibarkan
berdampingan dengan bendera Merah Putih
oleh masyarakat Nimboran
Yance Hembring dan
Mesakh Hembring dan
simpatisan
Nimboran 1999
Pengibaran Bendera Bintang Kejora Yoas Yafle, Hans
Kambuaya, Yakomina Isir,
Yance Wabdaron
Sorong 1999
Pengibaran Bendera Bintang Kejora Yosepha Alomang dan Pdt.
Isaac Onawame (tidak
terlibat, namun menyatakan
bertanggung jawab atas aksi
tersebut)
Timika 1999
Pengibaran bendera bintang kejora serentak di
seluruh Tanah Papua dan tuntutan salah
satunya ingin melepaskan diri dari Indonesia.
Theys Hiyo Eluay dan
simpatisan
Jayapura 1999
62
Menurut penelitian Djopari103
, pihak keamanan merespon berbagai aksi
tersebut dengan menangkap dan memenjarakan mereka tanpa melalui prosedur
hukum yang jelas. Belum lagi akumulasi dari pemberontakan di Jayapura dan
Jayawijaya, yang menyerang beberapa pos polisi, gedung-gedung pemerintahan,
fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas di berbagai wilayah di Papua oleh
sejumlah kelompok masa pro kemerdekaan. Namun menariknya, mereka tidak
melakukan penyerangan dan pengerusakan tempat peribadatan salah satunya
gereja. Di samping pada masa itu, aparat keamanan dengan gencarnya melakukan
berbagai operasi militer, yang menurut Rahab104
telah berlangusng lama dan
selalu diingkari perbuatannya oleh Pemerintah Indonesia. Posisi inilah yang
menyebabkan traumatik mendalam terkait ingatan penderitaan akibat kekerasan
yang dialami oleh mereka.
2.3.1 Fashion ; Antara Simbol Identitas dan Perlawanan
103
Johannes Rudolf Gerson Djopari, Pemberontakan organisasi papua merdeka. Jakarta:
Grasindo, 1993. 104
Amiruddin Al Rahab, "OPERASI-OPERASI MILITER DI PAPUA: Pagar makan
tanaman?" Jurnal Penelitian Politik LIPI, 2006: 3.
63
Gambar 11 Seorang Bapak sedang menggunakan Noken (tas) bermotif bendera Bintang
Kejora
Pada sebuah kesempatan mengunjungi kota Jayapura, saya bertemu
dengan seorang ibu yang menjual Noken105
. Rajutannya memiliki motif dan warna
yang variatif. Saya melihat sebuah Noken bermotif Bendera Bintang Kejora.
Kemudian saya bertanya kepada ibu tersebut; Mama, tas ini de (dia) bagus sampe
(sekali), sa (saya) bisa beli yang model begini kah?. Ia menjawab ;Adooh (aduh)
anak, ini su (sudah) ada yang pesan, tapi kalo (kalau) anak ko (kamu) mau seperti
ini, nanti mama buat. Kembali saya bertanya : Mama, kalo (kalau) kitong (kita)
pake (pakai) noken dengan ada motif bendera Bintang Kejora begini, tong (kita)
tra (tidak) dapat tangkap dari polisi dong (mereka) kah? Ibu menjawab: trapapa
(tidak apa) anak, banyak orang juga ada pake (pakai) noken motif bendera, mama
105
Tas kerajinan asal Papua yang terbuat dari anyaman/rajutam anggrek dan akar kayu.
Pada perkembangannya, Noken mengalami modifikasi dengan perubahan bahan dasar benang.
64
juga kemarin lihat ada polisi yang pake (pakai), masa dong (mereka) pake (pakai)
baru dong (mereka) mau tangkap kitong (kita) itu?
Pasca tahun 1999, berbagai aksesoris fashion seperti, tas Noken, gelang,
baju, topi, kostum tarian dan bentuk lainya yang bermotif bendera bintang kejora
massif diproduksi dan dan digunakan di ruang publik. Secara simultan, pihak
keamanan marak melarang penggunaannya. Hal ini dibuktikan dengan penyitaan
dan penangkapan beberapa entitas fashion tersebut106
. Bukan hanya di Papua saja,
melainkan juga terjadi di kota lainnya107
. Cerita di atas merupakan potret
kehidupan masyarakat Papua terkait salah satu dari berbagai cara memahami dan
mengaplikasikan identitas dalam bendera bintang kejora. Perubahan bentuk
bendera bintang kejora telah sampai ke arah yang lebih fashionable. Hal tersebut
ditampilkan oleh masyarakat Papua sebagai praktik dalam aksesoris yang
digunakan. Tas Noken, gelang, baju, stiker, hiasan pada tubuh ketika
membawakan tarian, dan berbagai jenis aksesoris lainnya dengan motif bendera
bintang kejora sering digunakan oleh orang asli Papua, maupun orang non Papua.
106
Lihat,https://kabarmapegaa.com/Artikel/Baca/polisi_sita_noken_motif_bendera_bintan
g_kejora.html ; https://suarapapua.com/2017/11/03/noken-bintang-kejora-dilarang-jual-di-sorong/
; 107
bandingkan, https://regional.kompas.com/read/2019/09/02/17482121/seorang-pemotor-
dihentikan-tni-karena-bawa-tas-bermotif-bendera-bintang ; https://akurat.co/news/id-749749-read-
seorang-pemuda-diamankan-akibat-pakai-noken-motif-bendera-bintang-kejora
65
Gambar 12 Penari Papua menggunakan kostum tarian dengan motif Bintang Kejora
Seorang teman penulis (EA) ketika berulang tahun, ia diberikan kejutan
kue ulang tahun dengan kue bermotif bendera bintang kejora. Sukacita yang
dirasakan ini diabadikan dengan video singkat. Pada rekaman itu, ia
mengatakan108
:
Sa (saya) begitu senang sekali malam ini sudah dapat kue
ulang tahun yang bagus sekali. Sa (saya) cuma mau bilang
dan ajak, siapapun kalau de (dia) merasa orang Papua.
Lakukan hal seperti ini. Ini kitong pu identitas. Mari kitong
sama-sama menghargai nilai yang ada dalam bintang ini.
Gambar 13 Kue dengan motif Bendera Bintang Kejora
108
Data ini didapatkan penulis melalui pengalaman pribadi dari EA (teman penulis), orang
asli Papua, tanggal 5 Oktober 2015, pukul 00.30 WIB.
66
Pernyataan yang bermakna seperti ini bukan saja diungkapkan oleh EA,
namun, pernyataan yang hampir sama juga dilontarkan oleh Filep Karma dalam
bukunya yang berjudul “Seakan Kitorang Setengah Binatang”109
. Ia menilai
bahwa kitorang (kita) tidak boleh takut atau terkungkung dalam ketakutan yang
mendalam. Kita harus bebaskan diri dari rasa ketakutan untuk menyampaikan apa
yang ada dalam nurani kita. Coba Boaz Solossa110
, setelah masukan gol ke
gawang lawan, coba angkat baju di dalamnya ada bendera Papua. “Kitorang (kita)
orang Papua Boaz !” Apa salahnya kalau Boaz lakukan hal ini, itu juga bagian
dari pernyataan jati diri. Pernyataan Filep Karma ini tentunya jika dilihat dari
pandangan berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Filep Karma, tentunya
akan menimbulkan kontroversi.
Penulis berpandangan, mungkin saja, ketika Boaz melakukan hal tersebut
ia akan ditembak mati seketika itu juga karena diangap melawan negara dengan
memunculkan atribut yang menurut Jakarta (negara) melanggar kedaulatan
negara. Tetapi mungkin saja, ketika Boaz melakukan demikian, ia akan mendapat
sanjungan dari rakyat Papua dan memunculkan rasa memiliki identitas bersama,
meskipun Boaz menjadi subjek dari apa yang ia lakukan. Bukan saja contoh
seorang Boaz yang adalah orang asli Papua.Seorang amber (pendatang) juga
terlihat menggunakan gelang dengan bermotifkan bendera bintang kejora di salah
satu jalan dikota Jayapura111
. Awalnya penulis menyangsikan apa yang penulis
109
Filep Karma, Seakan Kitorang Setengah Binatang. Jayapura: Deiyai, 2014. 110
Pemain Persipura Jayapura dan Timnas Indonesia, berasal dari Sorong, Papua
(Ayamaru) 111
Catatan lapangan penulis, 13 Agustus 2015.
67
lihat, setelah mendekat, ternyata semakin membenarkan bahwa yang
digunakannya ialah gelang bermotifkan bendera bintang kejora.
Pada uraian singkat dari sekelumit cerita tentang identitas yang
fashionable, ada duahal yang dimaksudkan pada konteks uraian identitas bintang
kejora dalam bentuk fashionable. Pertama, pada kenyataannya transformasi
bendera bintang kejora ke arah fashionable telah memberikan ruang berekspresi
kepada masyarakat Papua yang memahami tentang makna dari bendera bintang
kejora.Ekspresi yang dimaksud penulis ialah ekspresi yang aman dalam
memperkenalkan dan mematenkan identitas yang dimiliki untuk menghindari
represi terkait perbedaan pandangan yang menimbulkan ketakutan ini.
Kedua, dari transformasi bendera ke arah fashionable, memungkinkan
adanya semangat identitas tanpa dan lintas batas. Maksudnya ialah, siapapun dia,
dari manapun ia berada, ketika ia mengaplikasikan transformasi bendera bintang
kejora yang fashionable dalam aktivitasnya. Secara tidak langsung ia juga
mengakui hal ini sebagai identitasnya. Ketiga, transformasi identitas yang
fashionable dalam bendera bintang kejora juga mengalami kompleksitas
pemahaman. Dengan demikian, stigma dan sterotipe yang membuat kompleksitas
pemahaman ini muncul. Untuk itu, kedua hal ini perlu dihilangkan dalam
kerangka berpikir untuk mengenal secara baik nilai tentang bendera bintang
kejora yang fashionable.