bab 2 landasan teori - library & knowledge...

66
7 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1.Tinjauan mengenai konservasi 2.1.1. Dasar hukum kegiatan pelestarian / konservasi Dasar hukum kegiatan pelestarian / konservasi adalah sebagai berikut : 1. Secara umum, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 menegaskan bahwa “ Pemerintah memajukan kebudayaan Nasional Indonesia”. Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan bahwa “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan, dan dengan tidak menolak bahan-bahan baru kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan Bangsa Indonesia”. 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor II/MPR/1988 tentang Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menegaskan bahwa “Kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa, harus dipelihara, dibina dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan kebangsaan nasional, memperkokoh jiwa persatuan dan kesatuan Bangsa serta mampu menjadi penggerak bagi perwujudan cita-cita bangsa di masa depan. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar Budaya disebutkan bahwa : a. Benda Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional. b. Untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah-langkah pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan benda cagar budaya. 4. Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 1993, tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1992.

Upload: trannguyet

Post on 02-May-2018

234 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

7

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1.Tinjauan mengenai konservasi

2.1.1. Dasar hukum kegiatan pelestarian / konservasi

Dasar hukum kegiatan pelestarian / konservasi adalah sebagai berikut :

1. Secara umum, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 menegaskan bahwa “

Pemerintah memajukan kebudayaan Nasional Indonesia”. Kemudian dalam

penjelasannya dinyatakan bahwa “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah

kemajuan adab, budaya dan persatuan, dan dengan tidak menolak bahan-bahan

baru kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya

kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan Bangsa

Indonesia”.

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor II/MPR/1988 tentang

Garis - Garis Besar Haluan Negara (GBHN) menegaskan bahwa “Kebudayaan

Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa, harus dipelihara, dibina

dan dikembangkan guna memperkuat penghayatan dan pengamalan Pancasila,

meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa

harga diri dan kebangsaan nasional, memperkokoh jiwa persatuan dan kesatuan

Bangsa serta mampu menjadi penggerak bagi perwujudan cita-cita bangsa di

masa depan.

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992, tentang Benda Cagar

Budaya disebutkan bahwa :

a. Benda Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting

artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan dan

kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan

kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan nasional.

b. Untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya diperlukan langkah-langkah

pengaturan bagi penguasaan, pemilikan, penemuan, pencarian,

perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pengawasan

benda cagar budaya.

4. Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 1993, tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1992.

8

5. Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 087/U/1993,

tentang Pendaftaran Benda Cagar Budaya.

6. Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 062/U/1995,

tentang Pemilikan, Penguasaan, Pengalihan dan Penghapusan Benda Cagar

Budaya dan atau Situs.

7. Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 063/U/1995,

tentang Perlindungan dan Pemeliharaan Benda Cagar Budaya dan atau Situs.

8. Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan nomor 064/U/1995,

tentang Penelitian dan Penetapan Benda Cagar Budaya dan atau Situs.

2.1.2. Obyek peninggalan sejarah yang perlu dilestarikan

Berdasarkan Piagam Burra Charter, 1981 beberapa obyek peninggalan

bersejarah yang perlu dilestarikan adalah sebagai berikut :

1. Benda Cagar Budaya :

a. Adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa

kesatuan atau kelompok atau bagian - bagiannya atau sisa - sisanya, yang

berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun atau mewakili masa

gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima

puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai-nilai penting bagi sejarah,

ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta perkembangannya dalam lingkup

yang lebih luas.

b. Adalah benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah,

ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

2. Situs :

Adalah lokasi yang menjadi tempat ditemukannya atau diduga sebagai tempat

ditemukannya benda cagar budaya, baik yang berada di daratan maupun di

bawah permukaan air, termasuk lingkunganya yang diperlukan bagi

pengamanannya.

3. Kawasan Cagar Budaya

Selanjutnya disebut kawasan adalah satuan ruang geografis yang memiliki

sejumlah situs berdekatan dan memperlihatkan adanya keterkaitan yang

ditetapkan dengan fungsi melindungi kelestarian benda cagar budaya dan situs

untuk kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

9

2.1.3. Pengertian konservasi dan bentuk – bentuk dari kegiatan konservasi

Berbicara mengenai upaya konservasi, prinsip utama kegiatan bertumpu pada

empat hal utama, yaitu : pelestarian, perlindungan, pemeliharaan dan pengelolaan.

Berdasarkan pengertian menurut Piagam Burra Charter, 1981 pengertian dari

kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pelestarian

a. Adalah segala upaya untuk memperpanjang usia benda cagar budaya, situs

atau kawasan peninggalan bersejarah dengan cara perlindungan dan

pemeliharaan.

b. Merupakan upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian,

perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan atau pengembangan secara

selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian dan daya dukungnya

dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan yang

berkualitas.

2. Perlindungan

Adalah upaya mencegah dan menanggulangi segala gejala atau akibat yang

disebabkan oleh perbuatan manusia atau proses alam, yang dapat menimbulkan

kerugian atau kemusnahan bagi nilai manfaat dan keutuhan benda cagar budaya,

situs dan kawasan dengan cara Penyelamatan, Pengamanan dan Penertiban, yaitu

:

a. Penyelamatan : adalah suatu upaya perlindungan terhadap benda cagar

budaya dan atau situs serta kawasan bersejarah yang secara teknis

dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi dari ancaman, kerusakan

dan atau kemusnahan yang ditimbulkan baik oleh alam maupun manusia.

b. Pengamanan : adalah salah satu upaya perlindungan benda cagar budaya,

situs dan kawasan dengan cara menjaga, mencegah dan menanggulangi hal-

hal yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia yang dapat merugikan

kelestarian dan kekayaan benda cagar budaya tersebut.

3. Pemeliharaan

Adalah upaya melestarikan benda cagar budaya, situs dan kawasan dari

kerusakan yang diakibatkan oleh faktor manusia, alam dan hayati dengan cara

Pemugaran dan Pemanfaatan, sebagai berikut :

a. Pemugaran : adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk

melestarikan benda cagar budaya, situs dan kawasan dan atau

10

pemanfaatannya dengan cara mempertahankan keasliannya berdasarkan

data yang ada dan memperkuat strukturnya bila diperlukan, yang dapat

dipertanggung jawabkan dari segi arkeologis, historis dan teknis.

b. Pemanfaatan : adalah segala upaya untuk meberdayakan benda cagar

budaya, situs dan kawasan sebagai aset budaya untuk berbagai kepentingan

yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pelestariaannya.

4. Pengelolaan

Adalah segala upaya terpadu untuk melestarikan dan memanfaatkan benda cagar

budaya, situs dan kawasan melalui kebijaksanaan pengaturan perencanaan,

perlindungan, pemeliharaan, pemugaran, pemanfaatan dan pengendalian.

Bentuk-bentuk dari kegiatan konservasi menurut (UNESCO.P.36/2005)

adalah :

1. Restorasi ialah kegiatan pemugaran untuk mengembalikan bangunan dan

lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan

data pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal

tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (UNESCO.P.

36/2005).

2. Preservasi ialah bagian dari perawatan dan pemeliharaan yang intinya adalah

mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan cagar

budaya agar kelayakan fungsinya terjaga baik (UNESCO.P. 36/2005).

3. Konservasi ialah semua proses pengelolaan suatu tempat hingga terjaga

signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena

kondisinya) termasuk tindakan preservasi, restorasi, rekonstruksi,

konsoilidasi serta revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi

dari beberapa tindakan tersebut (UNESCO.P. 36/2005).

4. Rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan

memperbaiki seakurat mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat

bencana alam, bencana lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan

pindah lokasi karena salah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan

bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan

baru dan menjadikan bangunan tersebut layak fungsi dan memenuhi

persyaratan teknis. (UNESCO.P. 36/2005).

11

5. Revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan

nilai tambah yang optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam

pemanfaatan bangunan dan lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai

bagian dari revitalisasi kawasan kota lama untuk mencegah hilangnya asset -

aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut mengalami

penurunan produktivitas. (UNESCO.P.36/2005, Ditjen PU-Ditjen Tata

Perkotaan dan Tata Pedesaan).

2.1.4. Kriteria, tujuan, prinsip dan syarat pelestarian peninggalan bersejarah

menurut Piagam Burra Charter, 1981

1. Menurut Piagam Burra Charter, 1981 kriteria yang ditetapkan terhadap

peninggalan bersejarah yang dilestarikan adalah : tempat, tapak, area, bangunan

atau karya lain, kelompok bangunan bersama dengan isi di sekitarnya yang

terkait baik yang bersifat fisik maupun non fisik, dimana obyek pelestarian

tersebut telah memenuhi ketentuan sebagai berikut :

a. Memiliki usia minimal 50 tahun

b. Mewakili masa gaya yang khas dan mewakili gaya sekurang-kurangnya

berusia 50 tahun.

c. Mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan

atau mempengaruhi perkembangannya.

2. Tujuan Pelestarian / konservasi adalah : untuk mempertahankan signifikansi

budaya (berupa nilai - nilai estetika, kesejarahan, keilmuan atau sosial dari masa

lampau) dari tempat dan harus mencakup perlindungan, pemeliharaan dan masa

depannya.

3. Beberapa pertimbangan yang dapat mempengaruhi kriteria dan tujuan pelestarian

/ konservasi adalah sebagai berikut :

a. Menentukan nilai sejarah dan usia peninggalan bersejarah tersebut.

b. Persepsi yang berbeda-beda dari masyarakat tentang pelestarian tersebut

yang berakar dalam benak masyarakat setempat.

c. Asas kepatutan

d. Terjadinya penggantian bahan dan perubahan ruang yang telah dilakukan

sebelumnya pada obyek yang akan dilestarikan.

12

e. Mengacu pada tujuan pelestarian berkaitan dengan Undang - Undang atau

Perda setempat, agar dapat dijelaskan kesatuan bangunan dengan isi dan

sekelilingnya.

f. Berkaitan dengan obyek yang harus dilestarikan agar dapat berinteraksi

dengan bangunan-bangunan baru di sekelilingnya sehingga tidak ada

sesuatu yang sangat kontras antara langgam kesejamanan dengan

lingkungan yang baru / kekinian.

4. Prinsip-prinsip Konservasi :

a. Konservasi dilandasi atas dasar penghargaan terhadap keadaan semula dari

peninggalan bersejarah, yang meliputi : bentuk, makna, filosofi.

b. Konservasi sedapat mungkin tidak mengubah atau menghilangkan bukti-

bukti kesejarahan yang dimilikinya.

c. Melalui upaya konservasi, dijamin keamanan dan pemeliharaan

peninggalan bersejarah di masa yang akan datang, sehingga makna

kulturalnya tidak akan hilang dan tetap akan terpelihara.

5. Syarat-syarat konservasi :

a. Peninggalan bersejarah harus tetap terletak pada lokasi historisnya.

b. Tidak diperkenankan untuk memindah sebagian atau seluruhnya atas

peninggalan bersejarah tersebut, kecuali merupakan satu-satunya cara untuk

menjamin kelestariannya.

c. Dalam upaya konservasi ini wajib dijamin terpeliharanya latar belakang

visual dan estetis yang cocok seperti bentuk, skala, warna, tekstur dan

bahan bangunan, sehingga perubahan baru yang berdampak negatif

terhadap latar belakang visual dan estetis tersebut harus dicegah

semaksimal mungkin.

2.1.5. Proses konservasi

Menurut Piagam Burra Charter, 1981, proses konservasi dapat digolongkan

kedalam beberapa pasal, yaitu :

• Pasal 14. Proses konservasi : bergantung pada keadaan, konservasi dapat

meliputi proses : mempertahankan dan memperkenalkan kembali sebuah

fungsi; mempertahankan asosiasi dan makna; pemeliharaan, preservasi,

restorasi, rekonstruksi, adaptasi, dan interpretasi; dan biasanya akan

mencakup kombinasi dari beberapa hal tersebut.

13

• Pasal 15. Perubahan :

15.1. Perubahan mungkin diperlukan untuk mempertahankan signifikasi

budaya , tetapi tidak diinginkan bila mengurangi signifikasi budaya.

15.2. Perubahan yang mengurangi signifikasi budaya harus bersifat sementara

dan dikembalikan seperti semula apabila keadaan diijinkan.

15.3. Penghancuran bahan yang signifikan pada suatu tempat, secara umum

tidak dapat diterima, namun dalam beberapa kasus penghancuran minor

mungkin layak dilakukan sebagai bagian dari konservasi.

15.4. Kontribusi semua aspek pada signifikasi budaya sebuah tempat harus

dihargai. Jika sebuah tempat mencakup bahan, fungsi, asosiasi atau makna

dari beberapa periode, atau beberapa aspek signifikasi budaya, maka

penekanan atau interpretasi satu periode atau aspek tertentu dengan

mengorbankan yang lain hanya dapat dibenarkan apabila apa yang

ditinggalkan, dihilangkan, atau diganti mempunyai signifikasi budaya yang

kecil, dan apa yang ditekankan atau diinterpretasikan memang mempunyai

signifikasi budaya yang lebih besar.

• Pasal 16. Pemeliharaan : bersifat fundamental dalam konservasi dan harus

dilakukan apabila bahan mempunyai signifikasi budaya dan pemeliharaanya

diperlukan demi mempertahankan signifikasi budaya tersebut.

• Pasal 17. Preservasi : layak dilakukan apabila bahan yang ada atau

kondisinya menjadi bukti signifikasi budaya. Apabila bukti yang ada tidak

memadai maka diperbolehkan dilakukan proses konservasi yang lain.

• Pasal 18. Restorasi dan rekonstruksi : harus menguak aspek – aspek budaya

yang signifikan dari sebuah tempat.

• Pasal 19. Restorasi : layak dilakukan hanya apabila bukti – bukti yang

memadai tentang keadaan awal suatu bahan.

• Pasal 20. Rekonstruksi :

20.1. Rekonstruksi layak dilakukan apabila sebuah tempat tidak utuh lagi

dikarenakan musibah atau perubahan, dan hanya apabila terdapat bukti –

bukti yang memadai untuk menghasilkan kembali bahan sebagaimana

keadaan awalnya. Pada kasus – kasus yang jaarang terjaadi, rekonstruksi juga

layak dilakukan sebagai bagian dari sebuah fungsi atau kegiatan yang

mempertahankan signifikasi budaya tempat tersebut.

14

20.2. Rekonstruksi harus dapat diidentifikasi dalam pemeriksaan jarak dekat

atau melalui interpretasi tambahan.

• Pasal 21. Adaptasi :

21.1. Adaptasi hanya dapat diterima apabila adaptasi tersebut memiliki

dampak yang minimal pada signifikasi budaya sebuah tempat.

21.2. Adaptasi harus menimbulkan perubahan seminimal mungkin pada

bahan yang signifikan, dipergunakan hanya apabila telah mempertimbangkan

beberapa alternative.

• Pasal 22. Kontruksi baru :

22.1. Kontruksi baru seperti penambahan pada suatu tempat dapat diterima

apabila tidak merusak atau mengaburkan signifikasi budaya tempat tersebut,

atau menjauh dari interpretasi dan apresiasinya.

22.2. Konstruksi baru harus dapat langsung diidentifikasi.

• Pasal 23. Melestarikan fungsi : melanjutkan, memodifikasi, atau

mengembalikan sebuah fungsi yang signifikan adalah bentuk konservasi yang

sesuai dan diutamakan.

• Pasal 24. Mempertahankan asosiasi dan makna :

24.1. Asosiasi yang signifikan antara manusia dan sebuah tempat harsu

dihargai, dipertahankan, dan tidak dikaburkan. Peluang – peluang untuk

interpretasi, peringatan, dan perayaan berbagai asosiasi tersebut harus

diinvestigasi dan diimplementasikan.

24.2. Makna yang signifikan, termasuk nilai – nilai spiritual sebuah tempat

harus dihargai. Peluang – peluang untuk kesinambungan atau kebangkitan

berbagai makna tersebut harus diinvestigasi dan diimplementasikan.

• Pasal 25. Interpretasi : signifikan budaya beberapa tempat tampak tidak jelas,

dan harus dijelaskan melalui interpretasi. Interpretasi harus meningkatkan

pemahaman dan kecintaan, serta layak secara budaya.

2.1.6. Kriteria pemilihan obyek kawasan bersejarah

Menurut Catanesse, kriteria pemilihan objek kawasan bersejarah yang dapat

di konservasi adalah sebagai berikut :

a. Kriteria estetika atau keindahan, yaitu yang berkaitan dengan keindahan nilai

arsitektural dan beberapa massa.

15

b. Kriteria kekhasan, yaitu bangunan – bangunan yang merupakan wakil dari

kelas atau tipe bangunan tertentu.

c. Kriteria kelangkaan, yaitu kriteria yang merupakan bangunan terakhir yang

tinggal atau merupakan peninggaalan terakhir dari gaya yang mewakili

zamannya.

d. Kriteria keluarbiasaan, yaitu kriteria yang dilihat berdasarkan bangunan yang

paling menonjol, besar, tinggi, dan sebagainya.

e. Kriteria peran sejarah, yaitu kriteria berdasarkan peran dimana sebuah

bangunan ataupun lingkungan mempunyai peran dalam peristiwa – peristiwa

sejarah sebagai ikatan simbolis antara peristiwa yang lalu dengan peristiwa

yang ada sekarang.

Acuan dalam menentukan intensitas pelestarian berdasarkan jenis bangunan,

dapat dilihat pada tabel :

Tabel 2.1. Intensitas Pelestarian Berdasarkan Jenis Bangunan

Level konservasi Kategori bangunan konservasi

Perilaku yang dapat diterapkan

I (pelestarian kuat) Bangunan inti / core Tidak diperbolehkan untuk diubah.

II (pelestarian sedang) Bangunan periferi Dimungkinkan untuk diubah dengan segala perubahan kecil.

III (pelestarian lemah) Bangunan pelengkap Dibolehkan untuk diubah dengan segala perubahan sedang.

IV (boleh dibongkar) Bangunan budidaya Dibolehkan untuk diubah dengan segala perubahan besar.

Sumber : (Insertion, p8, 2009)

Berdasarkan teori diatas, maka pemilihan kawasan Kota Tua sebagai kawasan

bersejarah yang dapat di konservasi sudah tepat karena telah memenuhi semua

kriteria diatas, dan di kawasan Kota Tua ini memiliki bangunan dengan level

konservasi I, II, dan III.

16

2.2. Tinjauan mengenai revitalisasi

2.2.1. Definisi revitalisasi

Usaha konservasi tidak terlepas dari revitalisasi. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI), revitalisasi berarti proses, cara, dan perbuatan

menghidupkan kembali suatu hal yang sebelumnya kurang terberdaya. Sebenarnya

revitalisasi berarti menjadikan sesuatu atau perbuatan menjadi vital. Sedangkan kata

vital mempunyai arti sangat penting atau perlu sekali (untuk kehidupan dan

sebagainya). Atau lebih jelas revitalisasi itu adalah membangkitkan kembali vitalitas.

Jadi, pengertian revitalisasi ini secara umum adalah usaha - usaha untuk menjadikan

sesuatu itu menjadi penting dan perlu sekali.

Secara lebih detail, pengertian revitalisasi semakin berkembang tergantung

definisinya, yaitu :

1. Upaya untuk menghidupkan kembali kawasan, bangunan-bangunan, jalan-jalan

dan lingkungan kuno dengan menerapkan fungsi baru dalam penetapan

Arsitektural aslinya untuk meningkatkan kegiatan ekonomi, sosial, pariwisata

dan budaya. (Perda Kota Semarang Tentang RTBL Kawasan Kota Lama

Semarang, 1997)

2. Upaya untuk menghidupkan kembali distrik atau kawasan kota yang telah

mengalami degradasi lingkungan, baik dalam lingkup ekonomi, sosial budaya,

makna dan citra kawasan hingga tampilan visual, sehingga untuk menghidupkan

kembali kawasan tersebut perlu dilakukan kegiatan melalui intervensi yang

bersifat fisik dan non fisik. (Widjaja Martokusumo, 2001)

3. Upaya menghidupkan dan menggiatkan kembali faktor-faktor bangunan (tanah,

tenaga kerja, modal, ketrampilan, kewirausahaan, kelembagaan keuangan,

birokrasi serta dukungan prasarana dan sarana fisik) dan para pelaku

pembangunan (masyarakat dan seluruh stakeholder) untuk mengakomodasikan

secara struktural dan fungsional disesuaikan tantangan yang ada, potensi,

permasalahan dan kebutuhan baru pada daerah setempat. (Sri Edi Swasono,

2002)

4. Upaya untuk peningkatan kondisi ekonomi untuk warga setempat dan

pengintegrasian kembali lingkungan / kawasan ke dalam sistem pasar.

(Zielenbach, 2000)

5. Upaya untuk menghidupkan kembali makna kultural dan legenda yang pernah

hidup pada jamannya, yang saat ini berangsur-angsur telah hilang / tidak dikenal

17

kembali keberadaan kulturalnya guna meningkatkan kembali peran dan potensi

kawasan untuk dikembangkan sesuai faktor kesejarahan yang pernah ada dan

penataan kembali kawasan untuk mengembangkan sektor ekonomi guna

peningkatan taraf hidup masyarakat. (Dinas Kimpraswil Bagian Proyek

Peningkatan Kualitas Lingkungan, 2003)

Berdasarkan definisi – definisi revitalisasi diatas, maka dalam proyek

perancangan hotel butik ini menerapkan teori nomor 5, yaitu upaya untuk

menghidupkan kembali makna kultural dan legenda yang pernah hidup pada

jamannya, yang saat ini berangsur-angsur telah hilang / tidak dikenal kembali

keberadaan kulturalnya guna meningkatkan kembali peran dan potensi kawasan

untuk dikembangkan sesuai faktor kesejarahan yang pernah ada dan penataan

kembali kawasan untuk mengembangkan sektor ekonomi guna peningkatan taraf

hidup masyarakat. (Dinas Kimpraswil Bagian Proyek Peningkatan Kualitas

Lingkungan, 2003).

Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini, yaitu membangun suatu hotel butik

dengan langgam Neo Klasik, yang menurut perjalanan sejarah Kota Tua, langgam

tersebut mencerminkan masa kejayaan Batavia pada tahun 1870 (akan dibahas pada

sejarah Kota Tua), sehingga tujuan penelitian disini ingin menghadirkan kembali

langgam dimana saat Batavia sedang berjaya, pada bangunan hotel butik ini. Dan

dengan pembangunan hotel butik ini, diharapkan dapat meningkatkan sektor

ekonomi Kota Tua, dengan menarik wisatawan asing dan lokal untuk menikmati

fasilitas yang ada di hotel butik tersebut.

2.2.2. Lingkup revitalisasi

Lingkup revitalisasi menurut Dinas Kimpraswil Bagian Proyek Peningkatan

Kualitas Lingkungan, 2003, dibagi menjadi 3 satuan, yaitu :

1. Satuan areal

Satuan areal lingkup revitalisasi, dimaksudkan areal obyek Revitalisai masih

menjadi bagian dari wilayah kota / sub kota yang dipandang mempunyai ciri-ciri

atau nilai khas kota bersangkutan atau daerah dimana kota itu berada, dan

diharapkan makna kultural, legenda atau sejarah yang pernah hidup di sekitar

lokasi setempat tidak hanya dikenal di lokasi setempat saja, tetapi juga dikenal di

beberapa wilayah disekitarnya.

2. Satuan visual atau lansekap

18

Lingkup satuan visual atau lansekap yang ditentukan dalam lingkup revitalisasi

ini dapat berupa aspek visual yang dapat memberi bayangan citra atau image

yang khas tentang suatu lingkungan. Termasuk dalam hal ini adalah jaringan

fungsional rute sejarah atau jalur angkutan tradisional. Diharapkan dengan

konsep Revitalisasi yang diterapkan, keberadaan eksisting kawasan / lingkungan

tidak hanya akan terjaga kondisinya, tetapi keberadaannya juga akan bertambah

indah dengan sentuhan arsitektur lansekap yang menyatu dengan kondisi alam

setempat.

3. Satuan fisik

Satuan fisik yang disyaratkan dalam lingkup revitalisasi ini adalah sesuatu yang

berujud bangunan, kelompok atau daerah bangunan - bangunan, rangkaian

bangunan yang membentuk suatu ruang umum. Apabila dikehendaki lebih jauh,

hal ini bisa diperinci sampai kepada unsur - unsur bangunan, baik fungsional,

struktur / estetis ornamen. Sedangkan secara umum, bentuk revitalisasi meliputi

kota dan desa, distrik lingkungan perumahan dan permukiman. Diharapkan

dengan adanya kegiatan revitalisasi ini, akan dapat ditempatkan sejumlah

bangunan berupa fasilitas umum yang mendukung keberadaan kawasan sebagai

fungsi tertentu. Beberapa konsep kultural yang pernah hidup / dikenal masyarakat

setempat akan coba diaplikasikan ke dalam bentuk-bentuk fisik bangunan dan

detail ornamen yang ada.

2.2.3. Sasaran revitalisasi

Menurut Dinas Kimpraswil Bagian Proyek Peningkatan Kualitas Lingkungan,

2003, sasaran revitalisasi yang dapat diterapkan dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

1. Memanfaatkan peninggalan obyek pelestarian yang ada untuk menunjang

kehidupan masa kini. Dalam hal ini areal / kawasan yang di revitalisasi di

kembalikan fungsinya sesuai struktur kawasan semula.

2. Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan

masa lalu yang tercermin dalam obyek pelestarian. Dalam hal ini banyak sekali

kawasan perumahan dan permukiman di Indonesia yang konsep penataannya

berdasarkan konsep tradisional yang ada di sekitarnya, sehingga tidak akan

muncul bentuk-bentuk baru yang tidak dikenali oleh kawasan setempat, yang

akan menghilangkan citra yang sudah ada.

19

3. Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan dalam wujud fisik tiga dimensi.

Kondisi ini akan ditampilkan kembali melalui bentuk - bentuk fisik bangunan dan

detail - detail ornamen yang mengikutinya, yang mengaplikasikan bentuk -

bentuk kultural dan legenda yang pernah hidup sebelumnya.

Jadi, upaya revitalisasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah salah

satunya dengan menghadirkan kembali gaya arsitektur (makna kultural dan legenda)

yang pernah hidup sebelumnya yang akan ditampilkan kembali melalui bentuk –

bentuk fisik bangunan dan detail ornament yang mengikutinya, serta menghidupkan

dan meningkatkan fungsi kawasan sekitar tapak dalam segi ekonomi, sosial, dan

budaya agar memliki nilai tambah yang optimal.

2.2.4. Contoh studi kasus revitalisasi

• Kreta Ayer Road, Singapore

Kreta Ayer Road merupakan sebuah jalan di kawasan Chinatown yang

menghubungkan Neil Road dengan New Bridge Road. Kreta Ayer Road merupakan

suatu kawasan revitalisasi yang memiliki nilai historis yang tinggi bagi Singapura.

Pada abad ke-19, Kreta Ayer pernah mendapat sebutan “Greater Town District”, dan

merupakan warisan sejarah yang penting karena pernah menjadi hampir sebagian

kemakmuran Singapura.

Jalan ini merupakan salah satu area konservasi Singapura yang terdapat di

kawasan Chinatown. Kawasan ini merupakan salah satu daerah komersil yang

direvitalisasi dengan tetap mempertahankan bangunan bersejarahnya. Fungsi – fungsi

seperti tempat perbelanjaan, wisata kuliner, fasilitas umum, serta permukiman

terdapat di kawasan ini. Kondisi bangunan peninggalan sejarah terawat dengan baik.

Selain itu, pedestrian yang sangat bersih dengan penataan vegetasi yang baik juga

menambah keindahan kawasan ini.

Gambar 2.1. Kreta Ayer Road Singapore Sumber : Google Image Search

Diakses : 10 Mei 2014

20

Kesimpulan dari studi kasus Kreta Ayer Road Singapore ini adalah

revitalisasi kawasan Kreta Ayer Road ini menitikberatkan pada perlindungan warisan

sejarah Singapura, terbukti dengan terjaganya bangunan - bangunan bersejarah.

Selain itu, kawasan ini juga direncanakan sebagai tempat pariwisata kota tua

Singapura di kawasan pecinan.

• Paris Van Java Mall, Bandung

Paris van Java 10 Resort Lifestyle Place (juga dikenal dengan nama Paris

van Java Mall) adalah sebuah pusat perbelanjaan yang terletak di Bandung, Jawa

Barat. Mall yang diresmikan pada bulan Juli 2006 ini dirancang dengan nuansa open

air yang alami serta pemandangan burung-burung merpati hias yang berterbangan

bebas. Faktor lain yang menjadi daya tariknya adalah konsep bangunan yang kental

dengan desain Eropa.

Paris van Java dibangun diatas kawasan bersejarah. Namun perencanaan

proyek ini tidak melibatkan bangunan eksisting, melainkan membuat bangunan baru

dengan tema kolonial. Fungsi utamanya adalah shopping center, pusat wisata kuliner,

serta fungsi lifestyle masyarakat kota.

Konsep shopping mall terbuka dengan bangunan bergaya kolonial membuat

suasana kolonialnya kian terasa. Suasana berjalan dibawah arcade diantara bangunan

kolonial dapat dirasakan disini.

Gambar 2.2. Suasana Kolonial Paris van Java Mall Sumber : bintangpsari.wordpress.com

Diakses : 10 Mei 2014

Kesimpulan dari studi kasus Paris Van Java Mall ini adalah konsep open

shopping mall pada Paris Van Java Mall ini memunculkan suasana alami bagi

pengunjungnya. Selain itu, bentuk revitalisasi dari kawasan ini adalah membangun

21

bangunan baru yang di desain dengan gaya kolonial sehingga memunculkan kembali

nilai sejarah di kawasan ini meskipun bukan bangunan peninggalan sejarah.

2.3. Tinjauan mengenai rekonstruksi

2.3.1. Definisi rekonstruksi

Menurut Guidelines for Recontructing Historic Buildings, rekonstruksi di

definisikan sebagai tindakan atau proses yang menggambarkan dengan cara

konstruksi baru, bentuk, fitur, dan mendetailkan dari sebuah lokasi, landscape,

bangunan, struktur atau objek yang sudah tidak hidup lagi (mati / hancur) untuk

tujuan mereplikasikan penampilan di jangka waktu tertentu dan di lokasi yang

bersejarah. Rekonstruksi diidentitaskan sebagai penciptaan kembali kontemporer.

Definisi rekonstruksi menurut kamus Oxford, rekonstruksi adalah sebuah

kesan, model, atau berlakunya kembali peristiwa masa lalu yang terbentuk dari bukti

yang ada.

2.3.2. Contoh kasus rekonstruksi

• Rekonstruksi arsitektur Majapahit

Rekonstruksi arsitektur Majapahit dilakukan oleh seorang arsitek yang

menekuni dunia arkeologi, yaitu Osrifoel Oesman pada tahun 1990-an. Untuk

merekonstruksi arsitektur Majapahit yang telah hilang oleh perkembangan jaman,

maka dilakukan penelusuran bentuk – bentuk arsitektur pada relief – relief candi

Majapahit. Berdasarkan paparan relief – relief candi yang melukiskan rumah - rumah

masa Majapahit, Osrifoel bisa membayangkan seperti apa permukiman kota

Majapahit. Ibarat kembali ke masa lalu kemudian membangunnya kembali di masa

kini, menurutnya, permukiman masa Majapahit itu seperti kaveling yang terdiri atas

kelompok rumah-rumah dalam satu tembok keliling. Juga, adanya pengelompokkan

rumah besar, rumah sedang, dan rumah kecil.

Arsitektur Majapahit ini masih bisa ditemui padanannya dengan rumah -

rumah tradisi di Bali. “Bukan Majapahit yang mirip Bali, tapi Bali-lah yang mirip

Majapahit,” ungkap Osrifoel.

Dilansir dari website nationalgeographic.co.id, dinyatakan bahwa Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono pun turut hadir dalam pameran rekonstruksi arsitektur

Majapahit tersebut, dan turut masuk kedalam rumah Majapahit tersebut yang telah

direkonstruksi dengan skala 1:1.

22

Gambar 2.3. Rekonstruksi arsitektur Majapahit Sumber : nationalgeographic.co.id

Diakses : 31 Juli 2014

2.4. Tinjauan hotel

2.4.1. Definisi hotel

Kata hotel berasal dari Bahasa Yunani, Hosteis yang berarti memberi tempat

perlindungan pada pengunjung yang memberi upah atau hadiah kepada pemiliknya.

Beberapa pengertian hotel :

• Dari sudut arsitektur, menurut pendapat Prof. Fred Lawson : “hotel is defined

a public establishment offering travelers, against payment, two basic services

accomodation and catering”. (Hotel adalah sebuah perusahaan yang bergerak

di bidang jasa akomodasi serta pelayanan makan dan minum bagi para

pelancong dengan imbalan pembayaran).

• Menurut kamus Oxford, The advance learned’s Dictionary adalah “Building

where meals and rooms are provided for travelers.” (bangunan fisik) yang

menyediakan layanan kamar, makananan, dan minuman bagi tamu.)

• Menurut SK Menparpostel no.KM37/PW.340/MPPT-86 tentang peraturan

usaha dan pengelolaan hotel menyebutkan bahwa hotel adalah suatu jenis

akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan yang

menyediakan jasa penginapan, makanan dan minuman serta jasa penunjang

lainnya bagi umum yang dikelola secara komersial

• Menurut The American Hotel and Motel Association (AHMA) sebagaimana

dikutip oleh Steadmon dan Kasavana : A hotel may be defined an

estiblishment whose primary business is providing lodging facilities for the

general public and which furnishes one or more of the followingservices,

uniformed services, Laundering of linens and use of furnitures. ( Hotel dapat

didefinisikan sebagai sebuah bangunan yang dikelola secara komersial

dengan memberikan fasilitas penginapan untuk umum dengan fasilitas

23

pelayanan makan dan minum, pelayanan kamar, pelayanan barang bawaan,

pencucian pakaian dan dapat menggunakan fasilitas atau perabotan dan dapat

menikmati hiasan-hiasan yang ada di dalamnya.)

• Menurut Webster, hotel adalah suatu bangunan atau suatu lembaga yang

menyediakan kamar untuk menginap, makan dan minum, serta pelayanan

lainnya untuk umum.

• Menurut Dictionary of Architecture and Building Construction (Davies and

Jokiniemi, 2008, p193), hotel is establishment providing temporary

residential accomodation and communal facilities, primarity for travelers,

tourists, and those on holiday or bussiness. Dapat diartikan sebagai hotel

adalah sebuah tempat usaha yang menyediakan akomodasi hunian bersifat

sementara dan fasilitas bersama, terutama bagi orang – orang dalam

perjalanan, wisatawan, dan mereka yang sedang berlinur dan berbisnis.

Berdasarkan beberapa pengertian menurut berbagai sumber yang berbeda

dapat disimpulkan bahwa hotel merupakan bangunan fisik yang menyediakan jasa

penginapan, makanan, dan minuman serta jasa lainnya, diperuntukan bagi umum,

serta dikelola secara komersial.

2.4.2. Sejarah hotel

Hotel mulai dikenal sejak permulaan abad masehi dengan adanya usaha

penyewaan kamar untuk orang yang melakukan perjalanan. Hotel sebagaimana jenis

akomodasi lain berasal dari kata “Inn” yang dapat diartikan sebagai usaha

menyewakan sebagian dari rumahnya kepada orang lain yang memerlukan kamar

untuk menginap. Pada umumnya kamar yang disewakan dihuni oleh beberapa orang

secara bersama - sama. Pada mulanya inn, sering juga disebut dengan lodge yang

hanya menyediakan tempat beristirahat bagi mereka yang melakukan perjalanan,

karena sudah larut malam terpaksa tidak dapat melanjutkan

perjalanannya. Kemudian peradaban semakin maju maka terdapat berbagai

peningkatan dengan menambahkan fasilitas penyediaan bak air untuk mandi yang

kemudian disusul dengan penyediaan makanan dan minuman walaupun masih

dalam tahap yang sangat sederhana

Pada tahun 1829 dibangun Hotel dengan nama ”The Tremont House” yang

kemudian oleh sebagian para ahli dianggap sebagai cikal bakalnya perhotelan

modern. Hotel tersebutlah yang pertama kali memperkenalkan jenis-jenis kamar

24

single dan double, yang pada setiap kamar dilengkapi kunci masing-masing, air

minum di setiap kamar, pelayanan oleh bellboy serta memperkenalkan masakan

Perancis ke dunia perhotelan. Hotel inipun menjadi sangat terkenal dan menjadi

tempat persinggahan yang sangat ramai. Yang terpenting mulai disadari bahwa

Industri Hotel adalah industri penjualan jasa.

The Tremont House adalah hotel pertama yang memberikan pendidikan dan

menyeleksi karyawannya untuk lebih meningkatkan mutu dalam upaya memberikan

pelayanan yang memuaskan kepada tamunya. Pada saat itu hotel belum menyediakan

layanan kamar mandi dan pendingin atau penghangat untuk setiap kamarnya. Saat

sekarang ini hal tersebut sudah menjadi suatu keharusan. Setelah 20 tahun beroperasi

hotel ini kemudian ditutup untuk diperbarui. Tidak disangsikan lagi bahwa

keberasilan The Tremont House telah mendorong lahirnya hotel-hotel baru yang

kemudian saling bersaing dalam meningkatkan mutu baik pelayanannya maupun

fasilitas – fasilitasnya

Gambar 2.4. The Tremont House

Sumber : Akomodasi Perhotelan Jilid 1 (2014)

2.4.3. Klasifikasi hotel

Pada golongan hotel berbintang, terdapat klasifikasi pembagian kamar yang

merupakan area privat dan utama bagi tamu. Pembagian tersebut dibedakan menjadi

beberapa tipe kamar yakni :

• Single room, kamar yang memiliki satu tempat tidur untuk satu orang tamu.

• Twin room, kamar yang memiliki dua tempat tidur untuk dua orang tamu.

• Double room, kamar yang memiliki satu tempat tidur untuk dua orang tamu.

• Triple room, kamar yang memiliki double bed untuk dua orang ditambah

dengan extra bed.

25

• Junior room, sebuah kamar besar yang terdiri dari ruang tidur dan ruang

tamu.

• Suite room, kamar yang terdiri dari dua kamar tidur untuk dua orang

ditambah ruang tamu, ruang makan, dan sebuah dapur kecil.

• President room, kamar yang terdiri dari tiga kamar besar, yakni kamar tidur,

kamar tamu, ruang makan, dan sebuah dapur kecil.

Kamar menurut letak dan fasilitas :

• Connecting room, kamar yang terdiri dari dua buah kamar berdekatan, antara

kamar yang satu dengan yang lain dan dihubungkan oleh sebuah pintu.

• Adjoining room, dua kamar yang berdekatan dan tidak mempunyai pintu

penghubung.

• Inside room, kamar-kamar yang menghadap ke bagian belakang hotel (facing

the back).

• Outside room, kamar-kamar yang menghadap ke jalan raya (facing the

street).

• Lanais, kamar-kamar dengan teras / balkon yang berlokasi menghadap ke

kolam atau kebun.

• Cabana, kamar-kamar yang berlokasi di kawasan pantai atau kolam renang,

Kamar ini dilengkapi dengan atau tanpa tempat tidur. Lokasi kamar ini

biasanya terpisah dari gedung utama.

• House use room, kamar yang diperuntukan bagi staff hotel yang mempunyai

otoritas dan digunakan untuk tempat tinggal dalam jangka waktu tertentu

karena dinas.

Berikut akan ditampilkan tabel klasifikasi hotel beserta ketetapan jumlah

minimal kamar dan standard hotel sesuai dengan klasifikasinya :

Tabel 2.2. klasifikasi hotel beserta ketetapan jumlah minimal kamar dan standard

hotel sesuai dengan klasifikasinya

NO KLASIFIKASI

JUMLAH KAMAR SYARAT PERATURAN

HOTEL MINIMAL

1 Melati Satu 5 kamar standard – Fisik lokasi & bangunan Perda no.6 th. 1988

– Taman tentang Perubahan

– Tempat parkir Pertama Perda Prop

– Bangunan Dati 1 Bal no 04 th 1985

26

– Kamar tentang Usaha

– Lobby Losmen dan

– Front office Keputusan

– Kantor pengelola Gubernur no

– Ruang tamu 338 tentang

– Gudang Perubahan

– Organisani manadeen Istilah Resmi

– Tenaga kerja menjadi Hotel

– House keeping dengan tanda

– Keamanan Bunga Melati

– Kebersihan

– Pelayanan makanan &

minuman

2 Melati Dua 10 kamar standard Sama dengansyarat hotel Sama dengan melati satu

melati satu plus fasilita riil

di lapangan kualitas lebih

baik dari melati satu.

3 Melati Tiga 15 kamar standard Sama dengan syarat hotel Sama dengan melati satu

melati satu plus fasilitas real

di lapangan kualitas lebih

baik dari melati dua

–– Kolam renang

––Kamar mandi, bath up

–– AC

–– TV

–– Kulkas

4 Bintang 1 (*) 15 kamar standard – Lokasi & Lingkungan Kep Dirjen

Luas kamar 18 –

20 M2 – Taman Pariwisata no

– Tempat parkir 14/U.II.88 tgl

– Olah raga 25-Feb-88

– bangunan

– Kamar tamu

– Ruang makan

– Bar

– Lobby

– Telepon

– Toilet umum

– Koridor

– Ruang disewakan – Dapur

27

– Area administrasi

– Front office

– Kantor pengola hotel

– Area tata graha

– Ruang binatu

– Gudang

– Ruang karyawan

– Oprasional manajemen

– Food and beverage

– Keamanan

– Olahraga rekreasi

– Pelayanan

5 Bintang 2 (**) 20 kamar standard Sama dengan fasilitas hotel Kep Direjen (+) 1 kamar suite bintang 1 (*) Pariwisata no

Luas kamar 18 –

24 M2 14/U/II/88 tgl

25-Feb-88

6 Bintang 3 (***) 30 kamar standard Sama dengan fasilitas Kep Direjen (+) 2 kamar suite hotel bintang satu (*) plus Pariwisata no

Luas kamar 18 –

26 M2 – 2 buah restoran / lebih 14/U/II/88 tgl

– Parkir luas 25-Feb-88

– 2 kolam renang / lebih

– Fasilitas penunjang :

tenis, fitness, spa &sauna

7 Bintang 4 50 kamar standard Sama dengan fasilitas Kep Direjen (****) (+) 3 kamar suite hotel bintang tiga (***) Pariwisata no

Luas kamar 18 –

28 M2 14/U/II/88 tgl 25-Feb-88

8 Bintang 5 100 kamar standard Sama dengan fasilitas Kep Direjen

(*****) (+) 4 kamar suite hotel bintang tiga (***) Pariwisata no

Luas kamar 20 –

28 M2 14/U/II/88 tgl 25-Feb-88

9 Bintang 5 plus 100 kamar standard Sama dengan fasilitas Kep Direjen

(*****) plus (+) 4 kamar suite hotel bintang dua (**) Pariwisata no – Pasar malam 14/U/II/88 tgl – Galeri 25-Feb-88 – Ruang konfrensi

28

Sumber : Direktorat Jendral Pariwisata (2014)

2.4.4. Jenis hotel

Pengelompokan hotel berdasarkan target pemasaran yaitu :

• Commercial Hotels. Ditujukan pada orang yang pekerjaannya berhubungan

dengan bepergian seperti bisnis manajes, kelompok meeting dan seminar.

Tipe hotel komersial merupakan tipe hotel terbesar dan fungsi utamanya

adalah untuk melayani klien bisnis.

• Airport Hotels. Hotel bandara terkenal karena kedekatannya dengan pusat

perjalanan terbesar. Hotel bandara merupakan hotel yang memiliki ukuran

pelatanan yang luas. Ditujukan kepada klien bisnis, penumpang pesawat

dengan penerbangan malam atau pembatalan penerbangan dan pegawai

perusahaan penerbangan. Hotel ini memiliki limousine dan van yang banyak

dimanfaatkan untuk mengantar dan menjemput tamu antara hotel dengan

bandara. Beberapa hotel bandara menyediakan fasilitas ruang pertemuan bagi

tamu yang datang dengan pesawat terbang dan hendak melakukan sebuah

pertemuan. Menurut Sugiarto (1996) “Hotel Bandara adalah hotel yang

terletak satu kompleks bangunan dengan lapangan udara atau berada di

sekitar bandara. Target market dari jenis tamu hotel ini adalah para usahawan

atau penumpang pesawat yang pesawatnya mengalami penundaan

penerbangan, juga para kru pesawat.” (p.27).

• Suite Hotels. Hotel ini ditujukan untuk keluarga yang berlibur dan seseorang

yang ingin menikmati kenyamanan saat bepergian jauh dari rumah. Hotel ini

dimanfaatkan pula oleh para profesionalisme seperti akuntan, pengacara, para

10 Pondok wisata Maksimal kamar – IMB rumah tinggal Perda O 13 th

merupakan sebagian – HO

1090 tentang

rumah tinggal

yang – SITU pondok wisata Usaha Pondok

disewakan – Kamar mandi Wisata

– Lain-Lain Keputusan

Gubernur no.

391 thn 1991 tentang Juklak

11 Hotel butik Belum ada ketentuan yang mengatur

29

executive karena salah satu keistimewaan yang dimiliki adalah kamar mandi

yang terpisah. Adanya ruang kerja yang terpisah dengan kamar memberikan

kenyamanan bagi para profesional ini dalam bekerja.

• Extended Stay Hotels. Hotel ini didirikan untuk menyediakan layanan bagi

tamu yang datang dengan tujuan untuk tinggal selama lima hari atau waktu

yang lebih lama. Tamu yang menginap di hotel ini biasanya tidak terlalu

membutuhkan layanan dari hotel. Tidak seperti tipe hotel lainnya, tarif kamar

ditentukan dari lamanya tamu tinggal di hotel tersebut. Jenis hotel ini

memiliki kesamaan dengan suite hotels, hotel ini menyediakan kebutuhan

dapur dalam kamar diamana suite hotels tidak menyediakan.

• Residential Hotels. Ditujukan pada tamu yang ingin tinggal di hotel dalam

jangka waktu yang panjang dengan melakukan kontrak tinggal terlebih

dahulu. Kamar akomodasi dengan kamar mandi dan ruang tamu terpisah, tipe

kamarnya seperti kamar suite. Jenis akomodasi ini disediakan untuk orang

yang berada di pinggiran kota, bersifat permanen atau jangka panjang.

• Leisure Market (Resort Hotels). Hotel ini ditujukan untuk orang yang

bepergian, rekreasi, olahraga, atau untuk hiburan. Hotel ini bersifat musiman

pada saat high season aktivitas hotel tinggi dan sebaliknya.

• Bed and Breakfast Hotels. Sebuah hotel yang terdiri dari 20-30 kamar.

dengan memberikan penawaran kamar dan makan pagi. Pemilik hotel ini

biasanya tinggal didalam hotel ini dan bertanggung jawab kepada penyediaan

makan pagi tamu.

• Casino Hotels. Sebuah hotel yang fungsi utamanya adalah sebagai

pendamping dari sebuah casino. Layanan didalam kamar, makanan, dan

minuman bukanlah merupakan tujuan utama untuk memperoleh keuntungan.

Tamu yang ingin mencari kesenangan dan melakukan perjalanan berlibur

untuk menggunakan fasilitas casino di hotel ini.

• Coference Hotels. Didesain untuk kelompok meeting dan hampir keseluruhan

pelayanan hotel ini menawarkan akomodasi bermalam selama meeting

diadakan. Hotel ini menekankan pada penyediaan layanan dan peralatan yang

dibutuhkan untuk kelancaran jalanya meeting.

• Convention Hotels. Menawarkan lebih dari dua ribu kamar. Fasilitas hotel ini

didesain untuk mengakomodasi rapat besar. Selanjutnya dijelaskan oleh

30

United State Lodging Industry bahwa , convention hotel terbagi menjadi tiga

jenis yaitu :

� Transit Hotel , adalah hotel yang letak / lokasinya di tengah kota

dengan jenis tamu yang menginap sebagian besar adalah untuk urusan

bisnis dan turis.

� Residential Hotel, adalah hotel yang pada dasarnya merupakan rumah

– rumah berbentuk apartemen dengan kamar - kamarnya, dan

disewakan secara bulanan atau tahunan. Residential Hotel juga

menyediakan kemudahan - kemudahan seperti layaknya hotel, seperti

restoran, pelayanan makanan yang diantar ke kamar, dan pelayanan

kebersihan kamar

� Resort Hotel adalah hotel yang pada umumnya berlokasi di tempat –

tempat wisata dan menyediakan tempat - tempat rekreasi dan juga

ruang serta fasilitas konferensi untuk tamu – tamunya.

Pengelompokan hotel menurut lokasi yaitu :

� City Hotel atau Business Hotel merupakan hotel yang terletak di

tengah kota.

� Highway hotel atau motor hotel merupakan hotel yang berada di jalur

highway.

� Mountain hotel merupakan hotel yang berada di daerah pegunungan

� Resort hotel merupakan hotel yang berada di daerah rekreasi atau

peristirahatan.

Pengelompokan Hotel berdasarkan Kemewahan, yaitu :

� Luxurious hotel adalah hotel mewah. Dilihat dari arsitek

bangunannya, fasilitas dan kelengkapannya yang ada di dalamnya,

semuanya serba mewah dan besar. Ukuran kamar, lobby dan kualitas

restoran serta gedung atau ruang pertemuan, semua luas dan mewah.

� Boutique hotel adalah hotel yang mewah, walaupun belum tentu

memiliki kamar yang banyak. Hotel ini bisa berbintang 3, 4 atau 5.

Mewah dalam hal fasilitas dan kelengkapan hotel, baik di lobby,

kamar, restoran maupun gedung pertemuan. Dapat juga berupa hotel

dengan tipe gedung antik, bersejarah dengan peralatan yang serba

mewah.

31

� Normal hotel merupakan tipe hotel kebanyakan, baik di kota maupun

di daerah tujuan wisata. Kemewahan dan kelengkapan fasilitasnya

didasarkan atas bintang yang disandang hotel tersebut. Hotel bintang

empat logikanya lebih lengkap dan mewah dari hotel bintang tiga, dan

hotel berbintang lima lebih mewah dari hotel bintang empat.

Tujuan dari pada penggolongan klasifikasi hotel antara lain :

• Menjadi pedoman teknis bagi calon investor dibidang usaha perhotelan.

• Agar calon penghuni hotel dapat mengetahui fasilitas dan pelay anan y ang akan

diperoleh pada suatu hotel sesuai dengan klasifikasi hotelnya.

2.4.5. Pengertian Hotel Butik

Seperti yang sebelumnya telah dijelaskan bahwa pengertian hotel adalah

suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan untuk

menyediakan jasa penginapan, makan dan minum serta jasa lainnya bagi umum,

yang dikelola secara komersial serta memenuhi ketentuan persyaratan yang

ditetapkan dalam keputusan pemerintah. Sedangkan butik mempunyai definisi

sebuah toko kecil, yang khusus menjual barang-barang tertentu yang mewah dan

mengikuti tren seperti pakaian dan perhiasan. Dari pengertian hotel dan butik diatas,

dapat disimpulkan bahwa hotel butik memberikan konsep penginapan yang berbeda

dari hotel biasanya, dengan keunikan dan kemewahan ini menjadikan hotel butik

sebagai hotel non bintang dengan kualitas hotel bintang.

Boutique hotel memiliki pengertian (The Defenition of Boutique Hotels in

Recent Years – Lucienne Anhar) yakni:

� Kecil: memiliki kapasitas 50 kamar (didaerah pinggiran) atau 150 kamar

(didaerah perkotaan)

� Orisinalitas : kebanyakan butik hotel memiliki konsep yang jauh berbeda dari

hotel - hotel bintang lima, sehingga sebuah hotel butik memiliki identitas

yang kuat, misalnya hotel tersebut memiliki dekorasi layaknya galeri, barang

antik bahkan ada juga yang mendekorasi layaknya tempat-temoat tinggal di

perkampungan yang sangat sederhana.

� Karya arsitektur yang sustainable :material yang digunakan bervariasi dan

kebanyakan konsep dasarnya selaras dengan alam dan perkembangan budaya

di sekitar site. Juga memperhatikan manajemen pembuangan atau sisa dan

keefisienan penggunaan energi.

32

� Mewah : sebuah butik hotel mempunyai pedoman utama yang berbunyi

“Kualitas, Berapapun Harganya” namun hal ini tidak diterapkan dalam

pemilihan material, akan tetapi dalam segi pelayanan dan keramahan yaitu

menempatkan keinginan individu di atas segalanya.

� Low profile : butik hotel tidak mengiklankan diri sendiri, mereka

berkenyakinan bahwa para turis akan mencari keberadaan mereka.

Hotel butik memiliki komponen – komponen sebagai berikut :

o Arsitektur dan desain.

Tema keunikan, dan keramahan serta keakraban merupakan peran utama di

dalam mendesain suatu hotel butik, yang mana pada akhirnya dapat menarik

perhatian turis yang berkunjung ke suatu daerah. Selain itu, pihak hotel

cenderung lebih akrab dengan tamu-tamu hotelnya dan berusaha memenuhi

kebutuhan individu dari tamu hotelnya. Hotel butik tidak memiliki standar

tertentu. Konsep dan tema yang digunakan diterapkan pada keseluruhan

bangunan hal ini yang membuat tamu hotel tertarik untuk datang.

o Pelayanan (service).

Perbedaan mendasar antara hotel butik dengan hotel standar adalah tamu-

tamu hotel yang memiliki hubungan baik dengan anggota staf hotel. Para staf

hotel butik mengenal dengan baik tamu yang pernah menginap. Kebanyakan

hotel butik memiliki kamar yang relatif sedikit. Hal ini disepakati agar

pelayanan yang diberikan oleh para staf hotel dapat maksimal.

o Target pemasaran.

Target konsumen hotel butik umumnya adalah konsumen yang

berpenghasilan menengah ke atas. Keberhasilan hotel butik didasari oleh

pemilihan lokasi. Kualitas yang diberikan permintaan pasar, pendekatan

pemasaran dan penanganan distribusi dan reservasi yan efektif.

Prinsip Hotel butik :

o Penggunaan elemen elemen perancangan yang tidak biasa seperti garis,

warna, bentuk, tekstur, pola, ruang dan cahaya.

o Langgam arsitektur yang berbeda dari lingkungan di sekitarnya.

o Hotel berskala kecil yang memiliki style dan ciri khas tersendiri.

o Fokus terhadap style yang eksotis, keramahan dari keakraban serta pelayanan

yang memuaskan.

33

2.4.6. Studi hotel

2.4.6.1. Studi banding

1. Hotel Batavia

Studi banding terhadap hotel di Kota Tua

Gambar 2.5. Hotel Batavia Sumber : Google Image Search

Diakses 11 Mei 2014

• Lokasi : Jalan Kali Besar Barat 46, Jakarta

• Gaya arsitektur : Kolonial

• Klasifikasi : Bintang 4 (****)

• Jumlah lantai : 9 lantai

• Konsep hotel Batavia : Terletak di kawasan Kota Tua, dibangun pada

tahun 1995 dengan konsep arsitektur kolonial. Konsep ini diterapkan

pada tampilan fasad bangunan maupun interior hotel. Hal ini yang

membuat hotel kelihatan mewah dan megah, ditambah dengan

tersedianya berbagai jenis kamar dan fasilitas yang membuat hotel ini

menjadi hotel bintang 4.

Tabel 2.3. Rekapitulasi Jenis Kamar Hotel Batavia

Room Type Total Harga Foto

Batavia Apartment 1 USD $220.00

Club Suite 2 USD $220.00

34

Deluxe Twin/King 26 USD $ 63.00

Junior Suite 4 USD $ 85.00

President Suite 1 USD $250.00

Residential Apartement Twin/King

2 USD $120.00

Residential Deluxe Garden Twin/King

14 USD $ 73.00

Residential Deluxe Twin/King

10 USD $ 69.00

Superior Twin/King 205 USD $ 53.00

Harga belum termasuk servis 11% dan pajak 10%

Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com

Tabel 2.4. Meeting Room & Conference

Batavia Ballroom Terletak di lantai 2 dengan interior bergaya kolonial Belanda dan berkapasitas hingga 1000 orang.

Free Function Area Ruang pendukung Batavia Ballroom berkapasitas hingga 500 orang.

35

Sunda Room Terletak di lantai 2 dengan interior kolonial dan berkapasitas hingga 300 orang

Island Room Ruang meeting Java, Sumatera, Sulawesi, dan Bali

VIP Room Terletak di super star restaurant lantai 2

Rotterdamsche Room

Boadroom pada lobby dengan kapasitas 15 orang untuk private meeting. Tersedia juga untuk disewakan sebagai kantor

Batavia Function Hall

Function Room dengan kapasitas 300 orang, terletak di lantai 2

Business Center Terletak pada lantai 9, merupakan continental room dan pusat fasilitas bisnis

Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com

Tabel 2.5. Kapasitas Dan Ukuran Ruang Banquet

Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com

36

Gambar 2.6. denah Meeting Room & Conference Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com

Diakses 11 Mei 2014

Tabel 2.6. Fasilitas Dining & Entertainment Pool Deck Grill

& Bar Third Floor

80 persons (seating) / 300 persons (standing)

Dapoer Roti Batavia

First Floor 25 persons

Pasar Rempah Restaurant

First Floor 120 persons

37

Super Star Restaurant

Second Floor 180 Persons

Batavia Bar and Lounge

FourthFloor FourthFloor

Batavia Karaoke FourthFloor 28 Rooms

Swimming Pool Third floor

Fitness Center Third floor

Sumber : www.bataviahotel-jakarta.com

Berikut foto – foto interior dan eksterior dari hotel Batavia :

38

Gambar 2.7. Suasana Eksterior Hotel batavia Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar 2.8. Entrance & Drop Off

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Gambar 2.9. Suasana Interior Hotel Batavia

Sumber : Dokumentasi Pribadi

39

Gambar 2.10. Detail & Servis Sumber : Dokumentasi Pribadi

Tabel 2.7. Kesimpulan

Kelebihan Kekurangan

Fasilitas bisnis baik dan ramah Tidak ada fasilitas penunjang di sekitar

Zoning kamar dan fasilitas cukup baik Keamanan kurang

Tampak dan bentuk bangunan baik Harga kamar mahal dilihat dari lokasi

Tidak semua fasilitas aktif dan kurang

Tampak depan tidak terawat

Sumber : Olahan Pribadi

2. 1001 Hotel & Colosseum Club

Hotel 1001 merupakan salah satu contoh hotel yang menerapkan

tema desain kolonial untuk fasadnya, meskipun untuk interiornya bergaya

minimalis modern. Fasae bangunan bergaya Art Deco dapat dilihat ornamen

dekorasinya yang sederhana, penggunaan menara dan masa bangunan yang

terkesan massif. Bukan hanya itu, hotel 1001 ini dijadikan sebagai salah

satu bangunan cagar budaya Golongan B.

40

Gambar 2.11. 1001 Hotel & Colosseum Club Sumber : Google Image Search

Diakses : 11 Mei 2014

Merupakan hotel bintang 4 dan dapat digolongkan sebagai turis hotel karena

banyak fasilitas hiburannya.

Lokasi = Jalan Kunir No. 7, Kota Tua – Jakarta Barat

Luas bangunan = 15,755.6 m2

Kapasitas pengunjung = 6100 orang

Tabel 2.8. Fasilitas Hiburan

Terrace Garden 500 orang - Ibiza Club 300-800 orang

Café Restaurant 75 seats

41

Bar Lounge 25 seats

Colosseum Discotheque Hall

2000 orang

Karaoke 40 ruang � 50– 80 orang

Piano Lounge 75 orang

Sumber : www.jakarta100bars.com

Tabel 2.9. Rekapitulasi Jenis Kamar

Jenis kamar Jumlah Harga (Full) Harga (4 H) Fasilitas Pesident suite 1 Rp. 900.000 Rp. 575.000 Room service 24 H, hot & cold

water, free parking, tv cable, free hot spot,mini refrigiator, dan safe deposit box

Junior suite 1 Rp. 800.000 Rp. 500.000 Deluxe 8 Rp. 575.000 Rp. 375.000 Standard 24 Rp. 475.000 Rp. 300.000 Jumlah 34 Jumlah parkir 700 lots

Sumber : www.jakarta100bars.com

Gambar 2.12. Eksterior & Interior 1001 Hotel Sumber : www.jakarta100bars.com

Diakses : 11 Mei 2014

42

Gambar 2.13. Entrance & Parkir Sumber : www.jakarta100bars.com

Diakses : 11 Mei 2014

Gambar 2.14. Suasana Interior Ruang Penerima Ibiza Club Sumber : www.jakarta100bars.com

Diakses : 11 Mei 2014

Tabel 2.10. Kesimpulan

Kelebihan Kekurangan

Fasilitas hiburan baik sekali dan menarik Jumlah kamar sedikit

Harga kamar lebih murah Hanya aktif/ramai mulai malam hari

Tampak bangunan sederhana namun unik

Interior nyaman dan mewah

Keamanan dan kebersihan baik

Parkir luas

Sumber : Olahan Pribadi

43

2.4.6.2. Studi literatur

1. Hotel Raffles Singapura

Studi liteartur terhadap hotel dengan gaya Neo Klasik

Gambar 2.15. Hotel Raffles Singapura Sumber : Google Image Search

Diakses : 11 Mei 2014

• Lokasi : 1 Beach Road, Singapore

• Berdiri tahun : 1887

• Gaya arsitektur : Neo Klasik

• Kualitas : Bintang 5 (*****)

• Jumlah lantai : 3 lantai

• Layanan & fasilitas yang ada di hotel Raffles :

o Fasilitas kamar terdiri dari 103 unit

o Fasilitas hotel dan pelayanan :

� Restaurant & bar

� Raffles Amrita Spa

� Outdoor swimming pool & bar

� Raffles Hotel Arcade

� Emipre Café

� Ah Teng’s bakery

� Long Bar

� Bar & Billiard Room

� The ballroom

� Raffles hotel museum

� Raffless hotel shop

� Jubilee Hall Theatre Playhouse

� Garden tour

44

� 24 hours Raffles butler service

� Gymnasium

• Konsep hotel Rafless : merupakan hotel yang paling terkenal di Singapura,

dibangun tahun 1887. Gaya Neo Klasik menjadi konsep dari hotel ini. Hotel

ini terletak di pusat kota, memberikan kemudahan bagi pengunjung hotel

sehingga dapat menikmati makanan dan berbelanja dengan nyaman.

Tiap unit kamar pada hotel ini memiliki gaya yang elegan, yaitu penggunaan

furniture antik, karpet bergaya Persia, dan berbagai unsur dekoratif Neo

Klasik. Hotel ini juga memiliki museum yang bernama National Museum of

Singapore. Museum ini merupakan museum tertua di Singapura, dimana

didaalamnya menghadirkan berbagai cara inovatif dalam menjelaskan sejarah

sehingga memberikan pengalaman baru bagi para pengunjung.

Gambar 2.16. Eksterior & Interior Hotel Raffles Singapura Sumber : www.raffles.com

Diakses : 11 Mei 2014

Gambar 2.27. Fasilitas Hotel Raffles Singapura Sumber : www.raffles.com

Diakses : 11 Mei 2014

45

2. The Scarlet Hotel Singapura

Studi banding terhadap hotel butik

The Scarlet Hotel ini merupakan proyek konservasi bangunan tua yang

disesuaikan dengan fungsi baru dan hasilnya cukup baik.

The Scarlet Hotel yang memiliki 84 kamar terletak di sudut Erskine Road,

membentang sepanjang 12 ruko yang di restorasi, termasuk satu bangunan bergaya

Art Deco dari tahun 1924. Hotel dengan konsep boutique hotel berbintang lima ini

didesain amat mewah dengan furniture dan elemen dekorasi berkelas.

Gambar 2.18. Exterior dan Lobby The Scarlet Hotel Sumber : www.thescarlethotel.com

Diakses 12 Maret 2014

The Scarlet memiliki 5 suite yang masing – masing di desain dengan tema,

skema warna, dan gaya tersindiri : Splendour, Passion, Opulent, Lavish, dan Swank.

Gambar 2.19. Swank Dan Opulent

Sumber : www.thescarlethotel.com Diakses 12 Maret 2014

Konfigurasi ruangannya sebagai berikut :

46

Tabel 2.11. Tipe Kamar Hotel Scarlet

Sumber : www.thescarlethotel.com (2014)

The Scarlet memiliki 3 restaurant dan bar : Bold, Desire, dan rooftop

restaurant bertajuk Breeze. Juga terdapat 2 fasilitas kesehatan : Soda Spa dan Flaunt

Fitness, dan satu ruang pertemuan yaitu The Sanctum. Semua fasilitas ini

menerapkan desain interior yang menawan, kuliner kelas satu, dan fasilitas lengkap.

Sumber : www.thescarlethotel.com (2014)

Gambar 2.20. Restaurant & Bar Desire, Bold, & Breeze Sumber : www.thescarlethotel.com

Diakses 12 Maret 2014

Gambar 2.21. Spa Soda, Fitness Flaunt, The Scantum Sumber : www.thescarlethotel.com

Diakses 12 Maret 2014

47

Fasilitas yang dimliki The Scarlet boleh jadi relatif sedikit dari segi kuantitas

tapi sangat maksimal dari segi kualitas, selain aspek sejarah dan lokasinya yang

strategis. Inilah yang menyebabkan hotel ini diklasifikasikan sebagai hotel bintang

lima.

Setelah membandingkan hasil survey literatur dan survey lapangan, maka

dapat disimpulkan bahwa sebuah hotel hendaknya :

- Berlokasi strategis dengan pencapaian mudah dari segala arah.

- Memperhatikan efisiensi penggunaan lahan dan berfasilitas lengkap atau

memiliki fasilitas penunjang disekitarnya sehingga dapat mencapai

occupancy yang lebih tinggi.

- Unsur – unsur perwadahan / peruangan dalam hotel wajib memenuhi

ketentuan yang berlaku seperti ukuran standar ruang – ruang yang ada

didalam hotel, dll.

- Setiap hotel memiliki spesifikasi berbeda – beda sehingga kelas maupun tariff

hotel yang ditawarkan mengikuti spesifikasi tersebut.

- Konsep desain pada suatu hotel menjadi suatu gaya dan karakteristik hotel

tersebut.

2.5. Tinjauan Kota Tua

2.5.1. Sejarah Kota Tua Jakarta

Kota Jakarta pertama kali dikenal sebagai suatu pelabuhan kerjaan Sunda

yang bernama Sunda Kelapa yang berlokasi di muara sungai Ciliwung antara tahun

397 s/d 1527. Kota ini kemudian diserang oleh Fatahillah pada tahun 1527 yang

kemudian mengganti nama menjadi Jayakarta. Kemudian, VOC datang ke Jayakarta

pada akhir abad ke 16. Pada tahun 1620, VOC berhasil menaklukan Jayakarta dan

mengubah namanya menjadi Batavia. Batavia kemudian dijadikan pusat

pemerintahan kolonial Belanda karena potensi topografis antara lain adanya sungai

Ciliwung yang menghubungkannya dengan wilayah pedalaman dan secara regional

menjadi pelabuhan di nusantara karena letak geografisnya sangat strategis, bahkan

secar a internasional hingga sek aran g menjadi kota Jakarta.

Kota Batavia dirancang dan dibangun dengan pola kotak – kotak yang

dibentuk kanal – kanal melintang dan membujur tegak lurus. Pembagian kavling

kota juga kotak – kotak dan dibentuk oleh jalan – jalan. Sungai Ciliwung kemudian

48

diluruskan, dan membagi kota menjadi dua bagian timur dan barat.

Gambar 2.22. Pola Grid Kota Batavia Sumber : www.indahnesia.com Diakses tanggal 21 Maret 2014

Batavia timur dihuni oleh orang – orang Belanda dan etnis lainnya sedangkan

Batavia barat dihuni oleh orang – orang Portugis dan Cina. Namun, setelah peristiwa

pembantaian massal orang – orang Cina pindah ke luar bagian Selatan dan

berkembang menjadi Kampung Cina.

Menurut Alwishahab (2008), Kota Tua mencapai puncak kejayaannya pada

tahun 1870, karena pada saat itu Batavia menjadi pusat administratif Hindia Belanda,

dan bagian dari Batavia yaitu Kali Besar terletak di dekat muara sungai Ciliwung dan

Bandar Sunda Kalapa.

Kali Besar pada tahun 1870 berdekatan dengan pelabuan Sunda Kalapa yang

pada saat itu merupakan pusat kegiatan perdagangan yang menjadi rebutan antara

Portugis, Belanda, dan Inggris. Di depan muara Ciliwung terdapat jembatan Kota

Intan yang membuka lebar daun - daun jembatannya, membiarkan perahu dan kapal

dagang mancanegara mengangkut rempah-rempah negeri tropis yang laku keras di

pasaran dunia.

Di Jakarta tempo doeloe ini para mevrouw (nyonya besar) kompeni serta

nyai-nyai Belanda, bergaun serba mewah dengan rok bertingkat seperti kurungan

ayam dengan berkereta disertai budak - budak mengelilingi kota yang kala itu hanya

beberapa mil persegi. Mereka tinggal di sepanjang Kali Besar Barat dan Timur serta

di tepi - tepi kanal yang mengelilingi kampung-kampung dan rumah - rumah

kompeni.

Melalui perahu - perahu yang selalu siap di depan kediamannya para meener

(tuan) dan mevrouw saling mengunjungi. Sementara sinyo (pemuda) dan noni

(pemudi) dua sejoli yang tengah pacaran di malam yang cerah sambil memetik gitar

49

saling menumpahkan kasih sayang sambil bersumpah untuk saling setia. Betapa

mentereng gaya hidup VIP di sekitar Kota Tua saat kejayaan VOC.

Pada akhir abad ke-19 Bandar Sunda Kalapa telah dipindahkan ke Tanjung

Priok, tapi kawasan Kali Besar, Batavia, masih menunjukkan pamornya. Bahkan

pada awal abad ke-20, ketika kota Batavia makin berkembang, beberapa perkantoran

telah diperbaharui dengan gaya modern, seperti yang dapat kita saksikan sisa -

sisanya sekarang ini. Sayangnya gedung-gedung di sekitar Kota Tua yang berasal

dari abad ke-18 dan 19, yang dulu sangat terpelihara sekarang keadaannya tidak

terawat / hancur.

2.5.2. Tinjauan regulasi pemerintah untuk kawasan Kota Tua

Merajuk pada Guidelines Kota Tua (2007) di Jakarta terdapat 4 kawasan

cagar budaya, yaitu : Kota Tua, Menteng, Kebayoran Baru, dan Situ Babakan.

Didalam kawasan - kawasan cagar budaya ini, terdapat arsitektur kota dan bangunan

- bangunan yang harus dilestarikan.

Kota Tua saat ini menjadi kawasan cagar budaya. Pola kota kawasan Kota

Tua masih sama yaitu kotak - kotak hanya saja sekarang sudah tidak dibatasi oleh

kanal, melainkan dibatasi oleh jalan - jalan.

Kawasan cagar budaya Kota Tua ini memiliki luas sekitar 846 Ha yang

terletak di Kotamadya Jakarta Utara dan Kotamadya Jakarta Barat (Guidelines Kota

Tua, 2007). Berdasarkan Rencana Induk Kota Tua Jakarta (DTK, 2007), di tengah -

tengah kawasan cagar budaya Kota Tua terdapat zona inti, yaitu area yang memiliki

nilai sejarah yang lebih bernilai, yang dahulunya sebagian besar adalah kota didalam

dinding. Kawasan cagar budaya Kota Tua dibagi menjadi 5 zona, yaitu : kawasan

Sunda Kelapa, kawasan Fatahillah, kawasan Pecinan, kawasan Pekojan, dan kawasan

Peremajaan.

Gambar 2.23. Kawasan Inti Kota Tua Sumber : Guidelines Kota Tua, 2007 (2014)

50

Berdasarkan kepada beberapa kriteria yang ada di Peraturan Daerah No.5

Tahun 1999, kawasan cagar budaya Kota Tua dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

• Golongan I : disekitar Taman Fatahillah dan Jalan Cengkeh.

• Golongan II : disepanjang Kali Besar, Jalan Pintu Besar Utara, dan disekitar

Taman Beos.

• Golongan III : area yang berdekatan dengan Sungai Ciliwung di sisi timur

dan area di dekat Sungai Krukut (Jelakeng) di sisi barat.

Gambar 2.24.Pembagian Golongan Cagar Budaya Kota Tua Sumber : Guidelines Kota Tua, 2007 (2014)

Penataan bangunan pada zona inti, terbagi menjadi 3 kategori, yaitu renovasi berat /

pembangunan baru, renovasi sedang, dan renovasi ringan. Untuk membantu dalam

penenntuan tapak dan pendekatan desain, maka berikut ini digambarkan area mana saja yang

termasuk dalam kategori diatas :

Gambar 2.25.Pembagian Golongan Cagar Budaya Kota Tua Sumber : Guidelines Kota Tua, 2007 (2014)

51

Bangunan - bangunan di kawasan cagar budaya Kota Tua saat ini terdiri dari

3 tipe, yaitu : bangunan besar yang berdiri sendiri pada satu blok kota atau lebih dari

setengah blok kota, bangunan di kavling pojok, dan bangunan - bangunan deret yang

bersama - sama membentuk satu blok kota. Bangunan - bangunan ini tingginya

sekitar 2 s/d 3 lantai dengan jarak dari lantai ke lantai sekitar 4 meter. Keunikan

arsitektur kota kawasan ini adalah letak bangunan yang menempel langsung ke jalan

atau ruang terbuka / taman / plaza.

Gambar 2.26. Batas Bangunan dan Jalan Sumber : Skripsi Fanny Wirawan (2010)

Dikawasan yang dikaji ini dapat disimpulkan terdapat 4 tipologi bangunan

yang dibedakan sesuai masyarakat dan zamannya, yaitu :

1. Bangunan masyarakat kolonial Eropa (Colonial Indische, Neo-Klasik

Eropa, Art Deco, dan Art Nouveau).

2. Bangunan masyarakat Cina (Gaya Cina Selatan dan campuran dengan

gaya Kolonial Eropa).

3. Bangunan masyarakat pribumi (Colonial Indische).

4. Bangunan modern Indonesia (International Style).

Gambar 2.27. Berbagai Gaya Arsitektur Kota Tua Sumber : Guidelines Kota Tua, 2007 (2014)

52

Merajuk pada Guidelines Kota Tua, 2007, kawasan cagar budaya Kota Tua

direncanakan sebgai sebuah living heritage dan sebagai kawasan revitalisasi, yaitu

sebagai kawasan yang diproyeksikan menjadi salah satu tempat kegiatan utama skala

kota bagi warga DKI Jakarta untuk berekreasi, berbudaya, bertinggal, dan bekerja

dengan tetap menjaga kelestarian kawasan sebagai kawasan cagar budaya.

2.6. Tinjauan arsitektur kolonial

2.6.1. Arsitektur kolonial di Jakarta

Pada masa penjajahan Belanda, Indonesia mengalami pengaruh Occidental

(Barat) dalam berbagai segi kehidupan termasuk dalam tata kota dan bangunan. Para

pengelola kota dan arsitek Belanda banyak menerapkan konsep lokal atau tradisional

dalam perencanaan dan pengembangan kota, permukiman dan bangunan-bangunan.

(Wardani, 2009).

(Wardani, 2009) menyatakan bahwa adanya pencampuran budaya, membuat

arsitektur kolonial di Jakarta menjadi fenomena budaya yang unik. Arsitektur

kolonial di berbagai tempat di Jakarta apabila diteliti lebih jauh, mempunyai

perbedaan-perbedaan dan ciri tersendiri antara tempat yang satu dengan yang lain.

Arsitektur kolonial merupakan arsitektur yang memadukan antara budaya

Barat dan Timur. Arsitektur ini hadir melalui karya arsitek Belanda dan

diperuntukkan bagi bangsa Belanda yang tinggal di jakarta, pada masa sebelum

kemerdekaan.

Arsitektur klonial Belanda adalah gaya desain yang cukup popular di

Netherland tahun 1624 - 1820. Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari

negeri induknya Eropa kedaerah jajahannya, Arsitektur kolonial Belanda adalah

arsitektur Belanda yang dikembangkan di Jakarta, selama Indonesia masih dalam

kekuasaan Belanda sekitar awal abad 17 sampai tahun 1942 (Soekiman, 2011).

Kartono (2004) mengatakan bahwa sistem budaya, sistem sosial, dan sistem

teknologi dapat mempengaruhi wujud arsitektur. Perubahan wujud arsitektur

dipengaruhi oleh banyak aspek, akan tetapi perubahan salah satu aspek saja dalam

kehidupan masyarakat dapat mempengaruhi wujud arsitektur.

Arsitektur kolonial Belanda merupakan bangunan peninggalan pemerintah

Belada dan bagian kebudayaan bangsa Indonesia yang merupakan aset besar dalam

perjalanan sejarah bangsa. (Handinoto, 1996) membagi periodisasi perkembangan

53

arsitektur kolonial Belanda di Jakarta dari abad ke 16 sampai tahun 1940-an menjadi

empat bagian, yaitu:

1. Abad 16 sampai tahun 1800-an

Pada waktu ini Indonesia masih disebut sebagai Nederland Indische (Hindia

Belanda) di bawah kekuasaan perusahaan dagang Belanda yang bernama

VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Selama periode ini arsitektur

kolonial Belanda kehilangan orientasinya pada bangunan tradisional di

Indonesia serta tidak mempunyai suatu orientasi bentuk yang jelas. Yang

lebih buruk lagi, bangunan-bangunan tersebut tidak diusahakan untuk

beradaptasi dengan iklim dan lingkungan setempat.

2. Tahun 1800-an sampai tahun 1902

Ketika pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari perusahaan

dagang VOC. Setelah pemerintahan Inggris yang singkat pada tahun 1811-

1815. Hindia Belanda kemudian sepenuhnya dikuasai oleh Belanda.

Indonesia waktu itu diperintah dengan tujuan untuk memperkuat kedudukan

ekonomi negeri Belanda. Oleh sebab itu, Belanda pada abad ke-19 harus

memperkuat statusnya sebagai kaum kolonialis dengan membangun gedung-

gedung yang berkesan grandeur (megah). Bangunan gedung dengan gaya

megah ini disebut gaya arsitektur Neo Klasik.

3. Tahun 1902-1920-an

Antara tahun 1902 kaum liberal di negeri Belanda mendesak apa yang

dinamakan politik etis untuk diterapkan di tanah jajahan. Sejak itu,

pemukiman orang Belanda tumbuh dengan cepat. Dengan adanya suasana

tersebut, maka “indische architecture” menjadi terdesak dan hilang. Sebagai

gantinya, muncul standar arsitektur yang berorientasi ke Belanda. Pada 20

tahun pertama inilah terlihat gaya arsitektur modern yang berorientasi ke

negeri Belanda.

4. Tahun 1920 sampai tahun 1940-an

Pada tahun ini muncul gerakan pembaruan dalam arsitektur, baik nasional

maupun internasional di Belanda yang kemudian mempengaruhi arsitektur

kolonial di Indonesia. Hanya saja arsitektur baru tersebut kadang-kadang

diikuti secara langsung, tetapi kadang-kadang juga muncul gaya yang disebut

sebagai ekletisisme (gaya campuran). Pada masa tersebut muncul arsitek

Belanda yang memandang perlu untuk memberi ciri khas pada arsitektur

54

Hindia Belanda. Mereka ini menggunakan kebudayaan arsitektur tradisional

Indonesia sebagai sumber pengembangannya.

Tabel 2.12. Periode Perkembangan Arsitektur Kolonial Di Jakarta

TAHUN GAYA ARSITEKTUR

Abad 16 – 1800-an Selama periode ini arsitektur kolonial

Belanda kehilangan orientasinya pada

bangunan tradisional di Indonesia serta

tidak mempunyai suatu orientasi bentuk

yang jelas. Yang lebih buruk lagi,

bangunan-bangunan tersebut tidak

diusahakan untuk beradaptasi dengan

iklim dan lingkungan setempat.

Tahun 1800-an - 1902 Belanda pada abad ke-19 harus

memperkuat statusnya sebagai kaum

kolonialis dengan membangun gedung-

gedung yang berkesan grandeur

(megah). Bangunan gedung dengan gaya

megah ini disebut gaya arsitektur Neo

Klasik.

Tahun 1902 – 1920-an Pada 20 tahun pertama inilah terlihat

gaya arsitektur modern yang berorientasi

ke negeri Belanda.

Tahun 1920 – 1940 muncul gaya yang disebut sebagai

ekletisisme (gaya campuran).

Sumber : (Handinoto, 1996)

2.6.2. Perkembangan langgam arsitektur kolonial di kawasan Kota Tua Jakarta

Batavia mencapai puncak kejayaannya pada abad 19 tepatnya pada tahun

1870 (Alwishahab, 2008). Pada saat itu, bagian dari Batavia, yaitu Kali Besar yang

saat itu berdekatan dengan pelabuan Sunda Kalapa yang merupakan pusat kegiatan

perdagangan yang menjadi rebutan antara Portugis, Belanda, dan Inggris. Sehingga

pada saat itu, perdagangan di kawasan batavia ini maju pesat. Di depan muara

55

Ciliwung terdapat jembatan Kota Intan yang membuka lebar daun - daun

jembatannya, membiarkan perahu dan kapal dagang mancanegara mengangkut

rempah - rempah negeri tropis yang laku keras di pasaran dunia.

Menurut data – data yang ditemukan, langgam arsitektur kolonial pada tahun

1870 adalah langgam arsitektur Neo Klasik (sesuai dengan pembagian periode pada

tabel atas). Bangunan tua di kawasan Kota Tua menjadi suatu bangunan peninggalan

kolonial Belanda, dimana pengaruh arsitektur Eropa sangat melekat pada bangunan –

bangunan di kawasan Kota Tua, sehingga bangunan – bangunan tua ini menjadi cirri

khas pembentuk identitas kawasan Kota Tua.

Di kawasan Kota Tua terdapat beberapa bangunan asli yaitu gedung Charterd

Bank India, Australia, and China yang sekarang bernama Bank Bumi Daya (abad

19), Javasche Bank yang sekarang bernama Museum Bank Indonesia (1828),

Museum Seni Rupa dan Keramik (1870), dan Bank Dagang Negara (1887).

Bangunan – bangunan tersebut memiliki gaya arsitektur Neo Klasik (sesuai dengan

tahun berdirinya).

2.6.3. Arsitektur langgam Neo Klasik

Gerakan pada akhir abad 18 dikenal dengan Neo Klasik. Bentuk arsitektur

yang dianggap ideal kemudian diwujudkan kedalam bentukan berkonstruksi kolom

dan balok dan tidak hanya bentukan dari konstruksi dinding pemikul. Wujud

arsitekturnya juga dapat ditandai dengan munculnya unsur - unsur dekoratif seperti

pediment, pedestal, entablature terpotong dan sebagainya.

Gaya ini merupakan gaya anti rokoko yang dapat ditemukan pada beberapa

gaya arsitektur Eropa pada awal abad ke 18, dengan jelas diwakili dalam arsitektur

Palladian di Georgia inggris dan Ireland, selain itu juga dapat ditemui dalam lapisan

klasifikasi akhir gaya barok di Paris, di Berlin, dan bahkan di Roma, Alessandro

Galilei pada bagian muka dari gadeung Giovanni di Laterano

Gambar 2.28.Royal Scottish Academy, Edinburgh Sumber : rurucoret.blogspot.com

Diakses tanggal 16 Maret 2014

56

Di Indonesia, arsitektur Neo Klasik ini diperkenalkan oleh Herman Willen

Daendels saat dia bertugas sebagai gubernur jendral hindia belanda (1808-1811).

Daendels saat itu merupakan bekas perwira Louis Napoleon dari Perancis (saat itu

Belanda dikuasai Perancis). setelah revolusi Perancis, timbul gerakan baru neo klasik

di Perancis yang disebut dengan "Empire Style". Jadi saat Daendels datang ke Hindia

Belanda, ia langsung menerapkan dan mengubah bangunan - bangunan indische

menjadi bangunan yang dikenal dengan sebutan "Indische Empire Style".

Agaknya gaya "Indische Stijl" yang lebih dulu eksis (telah menyesuaikan

dengan filosofi Jawa), dinilai kurang mencerminkan keangkuhan dan kekuasaan,

oleh karena itu diambillah gaya Empire ke Hindia Belanda oleh Daendels.

Langgam arsitektur Neo Klasik ini memiliki ciri - ciri yang khas, diantaranya

adalah :

• Penerapan konsep simetris pada fasad dan bentuk denah.

Gambar 2.29. Konsep Simetris Pada Denah dan Fasad Sumber : (Watkin, David, 1996) (2014)

• Deretan kolom silindris (order kolom dalam arsitektur Yunani Kuno) yang

besar pada fasad dan berdiri bebas, terbagi menjadi 3 jenis kolom :

1. Doric

2. Ionic

3. Corinthian

Gambar 2.30. Jenis – Jenis Kolom Sumber : Dictionary of Architecture and Building Construction (2014)

57

• Atap (kubah) dihiasi ornamen seperti :

Sumber : (Watkin, David, 1996) (2014)

Gambar 2.31. Jenis – Jenis Ornamen Pada Atap Sumber : (Watkin, David, 1996) (2014)

• Terdapat pedimen segitiga

Gambar 2.32. Jenis – Jenis Pedimen Pada Arsitektur Neo Klasik Sumber : (Watkin, David, 1996) (2014)

• Penerapan elemen horizontal dan lengkung pada bidang datar.

• Secara umum memiliki atap tidak terlalu curam, jendela berukuran besar,

memiliki portico di bagian depan dan selasar yang cukup luas di bagian

belakang bangunan, biasanya bangunan berwarna putih untuk memberi kesan

megah pada bangunan.

Dari data diatas, maka dapat disimpulkan :

Tabel 2.13. Ciri - Ciri Arsitektur Neo Klasik

ELEMEN NEO KLASIK

Fasad dan denah Simetris

58

Kolom Corinthian

Ionic

Doric

Atap Kubah dihiasi ornamen :

Perdimen Segitiga

59

Sumber : Olahan pribadi

Perbandingan jenis kolom yang digunakan pada arsitektur Neo Klasik :

Terdapat 3 jenis kolom Yunani yang terdapat pada arsitektur Neo Klasik

yaitu : kolom order Doric, Ionic, dan Corinthian. Perbedaan tiga tipe ini terletak pada

bentuk dan proporsi dasar (base), tubuh (shaft), dan kepala (capital) pada kolom.

Kolom order gaya Doric adalah gaya yang tertua dan paling sederhana, gaya Ionic

dam Corinthian menambahkan dasar pada kolom dan mengembangkan desain yang

lebih rumit dan indah pada puncak kolom (capital). Entablature (bagian yang

terletak diatas kolom) juga bebeda pada setiap gaya.

Gambar 2.33. Jenis Kolom Yunani Sumber : atpic.wordpress.com

Diakses tanggal 10 April 2014

60

1. Kolom Order Doric

Gambar 2.34. Kolom Doric Sumber : atpic.wordpress.com Diakses tanggal 10 April 2014

• Tipe yang paling masif / berat, tidak mempunyai base / dasar. Jadi, badan

kolom / shaft langsung diletakan diatas stylobate. Alur relief pada kolom ini

berujung tajam.

• Architrave ada yang kosong, ada yang berukiran barisan segitiga.

• Frieze juga didekorasi dengan ukiran – ukiran.

2. Kolom Order Ionic

Gambar 2.35. Kolom Ionic

Sumber : atpic.wordpress.com Diakses tanggal 10 April 2014

61

• Tipe ini lebih tinggi dan lebih langsing daripada Doric. Alur relief kolom

tidak tajam.

• Kadang – kadang shaft digantikan oleh patung figure wanita (caryatids).

• Pada capital terdapat sepasang bentuk spiral, berbentuk mirip gulungan

kertas.

• Architrave terdiri dari tiga bidang horizontal.

• Frieze ada yang kosong, ada yang di dekorasi

• Cornice sering mempunyai dekorasi dengan barisan kotak kecil yang

mirip susunan gigi dan disebut dental.

3. Kolom Order Corinthian

Gambar 2.36. Kolom Corinthian Sumber : atpic.wordpress.com Diakses tanggal 10 April 2014

• Mirip dengan Ionic.

• Perbedaan utama terdapat pada capital yang sangat lebih banyak

dekorasi.

• Capital biasanya didekorasi oleh ukiran daun Acanthus.

Perbandingan jarak antar kolom pada arsitektur Neo Klasik

Menurut buku Ten Books on Architecture, Book 3 : Temple karangan

Vitruvius (1914) menjelaskan mengenai proporsi sebuah temple Yunani. Prinsip

tersebut berdasarkan pada penemuan bahwa tubuh manusia diciptakan dengan

62

perbandingan yang sama antar tiap bagian dan keseluruhannya sehingga tercapai

suatu sistem yang seimbang (kerap disebut Golden Section), maka pembuatan

elemen-elemen sebuah temple pun sewajarnya didasari pada perbandingan tersebut.

“… if Nature has composed the human body so that in its proportions the

separate individual elements answer to the total form, then the ancients seem to have

had reason to decide that bringing their creations to full completion likewise

required a correspondence between the measure of individual elements and the

appearance of the work as a whole. … They did so especially for the sacred

dwellings of the gods.” (Vitruvius, 30-20 B.C.)

Proporsi tersebut diterapkan antara lain pada jarak antar kolom

(intercolumniation), yang diatur harus seragam, memenuhi sepersekian kali dari

diameter kolomnya. Jarak sepersekian tersebut bervariasi besarnya, tergantung pada

spesi temple yang dibangun: pycnostyle, systyle, diastyle, araeostyle, atau eustyle.

Gambar 2.37. Jarak Antar Kolom Sumber : Ten Books on Architecture (1914)

63

Gambar 2.38. Jarak Antar Kolom

Sumber : Ten Books on Architecture (1914)

Ciri khas gaya Neo Klasik Eropa pada elemen interior bangunan menurut buku The

Element of Style :

- Lantai : material marmer dengan berbagai motif :

Gambar 2.39. Motif Lantai Sumber : di.unikom.ac.id

Diakses : 8 Mei 2014

- Dinding

Gambar 2.40. Motif Pada Dinding Sumber : di.unikom.ac.id

Diakses : 8 Mei 2014

64

- Langit – langit

Gambar 2.41. Motif Pada Langit - Langit Sumber : di.unikom.ac.id

Diakses : 8 Mei 2014

- Jendela

Gambar 2.42. Jenis Jendela Sumber : di.unikom.ac.id

Diakses : 8 Mei 2014

- Pintu

Gambar 2.43. Jenis Jendela Sumber : di.unikom.ac.id

Diakses : 8 Mei 2014

- Lampu

Gambar 2.44. Jenis Lampu Sumber : di.unikom.ac.id

Diakses : 8 Mei 2014

65

2.6.4. Teori Golden section

Dalam proyek hotel butik ini, akan memakai teori golden section sebagai

acuan untuk ukuran proporsi kolom – kolom order Yunani yang akan digunakan

pada perancangan hotel ini.

Sistem – sistem proporsi matematis awalnya berasal dari konsep phytagoras

tentang “semua adalah angka” serta keyakinan bahwa hubungan – hubungan

numertik tertentu memanifestasi struktur harmoni alam semesta. Salah satu dari

hubungan ini yang digunakan sejak zaman purbakala adalah penampang emas

(golden section). Bangsa Yunani menyadari peran dominan golden section ini dalam

proporsi tubuh manusia.

Golden section dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara dua buah

penampang garis, atau dua buah dimensi suatu sosok bidang, dimana bagian yang

lebih kecil dari keduanya berbanding dengan yang lebih besar, sementara bagian

yang lebih besar tersebut berbanding dengan jumlah keduanya.

Berikut akan dijabarkan penerapan teori golden section pada arsitektur Neo

Klasik dalam perbandingan proporsi kolom order Yunani.

Gambar 2.45. Perbandingan Proporsi Kolom Order Yunani Sumber : Bentuk, Ruang, dan Tatanan

Dari gambar diatas dapat diketahui banhwa tinggi kolom order Doric adalah

221/6 meter, kolom order Ionic 261/5 meter, dan kolom order Corinthian adalah 281/2

meter.

66

1. Kolom Order Doric

Gambar 2.46. Perbandingan Tinggi dan Lebar Kolom Doric Sumber : Bentuk, Ruang, dan Tatanan

Dari gambar diatas dapat terlihat perbandingan lebar dan tinggi kolom Doric,

dimana D (diameter) merupakan diameter capital dari kolom Doric tersebut.

Diameter didapatkan sesuai kebutuhan beban dan tinggi bagian – bagian kolom

tersebut akan mengikuti diameter capital tersebut sehingga tercipta proporsi yang

indah.

2. Kolom Order Ionic

Gambar 2.47. Perbandingan Tinggi dan Lebar Kolom Ionic Sumber : Bentuk, Ruang, dan Tatanan

Dari gambar diatas dapat terlihat perbandingan lebar dan tinggi kolom Ionic,

dimana D (diameter) merupakan diameter capital dari kolom Ionic tersebut.

Diameter didapatkan sesuai kebutuhan beban dan tinggi bagian – bagian kolom

67

tersebut akan mengikuti diameter capital tersebut sehingga tercipta proporsi yang

indah.

3. Kolom Order Corinthian

Gambar 2.48. Perbandingan Tinggi dan Lebar Kolom Corinthian Sumber : Bentuk, Ruang, dan Tatanan

Dari gambar diatas dapat terlihat perbandingan lebar dan tinggi kolom

Corinthian, dimana D (diameter) merupakan diameter capital dari kolom Corinthian

tersebut. Diameter didapatkan sesuai kebutuhan beban dan tinggi bagian – bagian

kolom tersebut akan mengikuti diameter capital tersebut sehingga tercipta proporsi

yang indah.

2.7. Tinjauan lokasi tapak

2.7.1. Tinjauan terhadap peraturan bangunan di Kota Tua

Tapak terletak di daerah Taman Sari, yaitu berada di lingkungan cagar

budaya golongan III zona 2 (kawasan Fatahillah) kawasan cagar budaya Kota Tua.

Berdasarkan guidelines Kota Tua, 2007, kawasan lingkungan cagar budaya golongan

III merupakan golongan dimana bangunan di kawasan ini adalah bangunan bukan

cagar budaya.

Peruntukan makronya aalah untuk kegiatan campuran yang dapat berupa

hunian apartemen / hotel untuk masyarakat golongan menengah keatas yang

bercampur dengan fungsi komersial kantor, jasa, dan pendidikan terbatas

seperti pendidikan tinggi dan kursus – kursus. Peruntukan mikronya, khususnya

68

untuk pemanfaatan lantai atas adalah untuk kegiatan – kegiatan yang berdifat

semi – publik dan privat seperti hunian, perkantoran, dan pendidikan.

Bangunan - bangunan yang ada di tapak ini digunakan sebagai ruko dengan

jumlah lantai bangunan sekitar 3 - 4 lantai. Bentuk fasad bangunan tersebut juga

sudah mengalami pencampuran dan tidak mengikuti pola bentuk fisik lingkungan

sekitar tapak, tetapi bangunan cagar budaya dengan bentuk karakteristiknya yang

khas masih ada di sekitar tapak.

Untuk itu, penulis memilih untuk tidak mempertahankan bangunan yang ada

di atas tapak ini, karena bangunan – bangunan tersebut tidak memiliki ciri khas

karakteristik Kota Tua, dan tidak ada yang istimewa pada bangunan – bangunan

tersebut, serta pada lokasi ini memiliki berpotensi untuk mengubah bangunannya

menjadi langgam arsitektur kolonial.

2.7.2. Kriteria pemilihan tapak

Dasar - dasar pertimbangan pemilihan lokasi tapak adalah :

• Mencari tapak dikawasan golongan III pada zona inti Kota Tua (kawasan

Fatahillah).

• Memiliki lokasi yang strategis dan mudah di jangkau oleh tamu serta

potensial untuk menciptakan kegiatan komersil.

• Lokasi tersebut merupakan kawasan untuk komersil atau perdagangan yang

masih berpotensi untuk di kembangkan baik yang menurun vitalitasnya

maupun yang sudah maju.

• Dekat dengan objek wisata Kota Tua dan dalam jangkauan dekat dengan

stasiun kota dan halte busway dalam radius km.

• Berada dekat dengan jalan - jalan utama dengan kondisi jalan baik, cukup

lebar, dan tidak dekat dengan sumber kemacetan.

• Tapak memiliki 2 bukaan jalan sebagai strategi pemisah akses masuk dan

keluar bangunan serta sebagai akses masuk bagian servis.

69

2.7.3. Data tapak

Gambar 2.49. Lokasi Tapak Sumber : Google Map

• Lokasi tapak : Jalan Kemukus, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari,

Jakarta Barat 11110

• Luas tapak : 5000 m2

• Peruntukan lahan : Wdg (wisma perdagangan)

• Koefisien Dasar Bangunan (KDB) : 75% x 5000 = 3750 m2

• Koefisien Lantai Bangunan (KLB) : 3 x 5000 = 15000 m2

• Jumlah lantai maksimal : 4 lantai

• Garis Sepadan Bangunan (GSB) : 10 m (utara) dan 5m (barat)

70

Gambar 2.50. LRK Kecamatan Taman Sari Sumber : www.lrk.tatakota-jakartaku.net

• Batas tapak :

Gambar 2.51. Peta Lokasi Sumber : Google Map

Keterangan :

Utara tapak : Jl. Kunir, Jl. Kp. Bandan Raya, bangunan tua, kantor

Selatan tapak : Pemadam kebakaran dan kantor camat

Timur tapak : Kali Ciliwung dan pemukiman penduduk yang kumuh

Barat tapak : Jl. Kemukus, Museum Seni Rupa dan Keramik, pertokoan

• Aksesbilitas sekitar tapak :

71

Lokasinya yang strategis memudahkan menuju area ini dan tempat

lain karena terletak di kawasan inti Kota Tua sehingga mudah dicapai dan

dikenali oleh masyarakat. Kepadatan lalu lintas juga cukup baik karena jarang

terjadi kemacetan baik di hari libur maupun di hari kerja.

Untuk mencapai lokasi ini bisa menggunakan alternatif seperti

kendaraan pribadi, busway, taksi, bajaj, sepeda ontel, kereta api (stasiun

Beos), atau kendaraan umum dengan nomor dan rute kendaraan sebagai

berikut :

o M15 : Ancol - Tj. Priuk - Kp. Bandan

o M12 : Senen - Kota

o M08 : Tanah Abang - Kota

o U10 : Sunter - Mangga Dua

o M39 : Pademangan - Kota

o Kopami02 : Senen - Beos

o Kopaja86 : Lebak Bulus - Kota

Gambar 2.52. Aksesbilitas Tapak Sumber : Olahan Pribadi

• Bangunan sekitar tapak

72

Gambar 2.53. Bangunan Sekitar Tapak Sumber : Olahan Pribadi

• Deskripsi Tapak

Pada jaman pemerintahan Belanda, area ini merupakan batas pinggir

kota Batavia yang dibatasi oleh dinding benteng dan kali Ciliwung.

Sekarang dibangun kompleks ruko terdiri dari 3 blok dengan presentase

penggunaan yaitu:

o 40% ruko masih aktif digunakan untuk toko / kantor.

o 20% ruko digunakan sebagai tempat tinggal.

o 40% ruko kosong/tidak terawat / ingin dijual.

Gambar 2.54. Bangunan Diatas Tapak Sumber : Dokumentasi Pribadi