bab 2 landasan teori - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/2014-2-01288-ar...
TRANSCRIPT
9
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Tinjauan Umum Cagar Budaya
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan “cagar”,
sebagai daerah perlindungan untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan, binatang, dan
sebagainya. Mencagarkan berarti melindungi (tumbuhan, binatang dan sebagainya)
yang diperkirakan akan punah. Pencagaran merupakan proses, cara, perbuatan
mencagarkan. Sedangkan “budaya” menurut KBBI merupakan hasil akal budi
manusia. Dengan demikian cagar budaya adalah benda hasil akal budi manusia yang
perlu diberikan pencagaran, karena jika tidak dilindungi dikhawatirkan akan
mengalami kerusakan dan kepunahan.
Benda Cagar Budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak
bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya,
yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya
yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta
dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
dan benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan (UU No. 5/1992 Pasal 1).
Dalam Perda DKI No. 9 Tahun 1999 bangunan Cagar Budaya adalah
benda/obyek bangunan/lingkungan yang dilindungi dan ditetapkan berdasarkan
kriteria nilai sejarah, umur, keaslian, kelangkaan, landmark/tengaran dan nilai
arsitekturnya. Sedangkan menurut SK Gubernur No. 475 Tahun 1993 bahwa upaya
pelestarian terhadap bangunan bersejarah di Daerah khusus Ibukota Jakarta adalah
untuk menjaga keaslian asrsitektur bangunan, mempertahankan nilai-nilai sejarah
untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta meningkatkan
kesadaraan masyarakat tentang pentingnya arti sejarah nasional dan sejarah
perkembangan kota Jakarta.
Pengertian Benda Cagar Budaya menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 tahun 2010 Pasal 1 (ayat 1) adalah “Warisan budaya yang bersifat
kebendaan, berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar
Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya baik di darat dan /atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
10
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.”
Kriteria umum Cagar Budaya yaitu sebagai berikut:
• Berusia 50 tahun atau lebih
• Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun
• Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
kebudayaan
• Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa
• Berupa benda alam atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan oleh
manusia serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan kegiatan manusia
dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia
• Bersifat bergerak dan tidak bergerak
• Merupakan kesatuan atau kelompok
Bangunan Cagar Budaya adalah sebuah kelompok bangunan bersejarah dan
lingkungannya, yang memiliki nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan nilai sosial
budaya masa kini maupun masa lalu (Burra Charter, 1992: 21).
2.1.2 Upaya Mempertahankan Bangunan Cagar Budaya
Undang-undang No.11 tahun 2010 tentang cagar budaya
Pasal 83
1. Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi
untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:
a) Ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya;
dan/atau
b) Ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau
Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.
2. Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
a) Mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada cagar budaya;
b) Menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan;
c) Mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau
d) Mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika
lingkungan di sekitarnya.
11
2.1.3 Konservasi Arsitektur
Konservasi adalah suatu proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau
obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik.
Yang termasuk cara pemeliharaan dan bila memungkingkan menurut keadaan proses
preservasi, restorasi, rekonstruksi, dan adaptasi, maupun kombinasinya termasuk
kedalam proses konservasi. (Burra Charter, 1999).Konservasi juga merupakan salah
satu pengelolaan sumber budaya.
Konservasi merupakan suatu proses memahami, menjaga, yang juga
mementingkan pemeliharaan, perbaikan, pengembalian, dan adaptasi terhadap aset
sejarah untuk memelihara kepentingan kebudayaan. Konservasi merupakan salah
satu proses pengelolaan yang berkelanjutan terhadap perubahan, yang dalam
prosesnya memperhatikan beberapa pendekatan nilai yaitu nilai umur dan
kelangkaan, nilai arsitektur, nilai artistik, nilai kebudayaan, nilai asosiatif, nilai
ekonomi, nilai pendidikan, nilai emosi, nilai sejarah, nilai landscape, kekhasan
daerah, nilai politik, nilai masyarakat, nilai agama, nilai sosial, nilai simbolik, nilai
teknik, nilai sains, penelitian dan pengetahuan, dan tampilan suatu kota (Orbasli,
2008).
Prinsip-prinsip dasar konservasi, pekerjaan pelestarian bangunan menurut
derajat mempertahankan konsep otensitasnya (Abieta, 2011) meliputi sebagai
berikut:
• Pemugaran bangunan menurut Direktorat Perlindungan dan Pembinaan
Peninggalan Sejarah dan Purbakala (1999/2000) yaitu suatu kegiatan yang
berkenaan dengan penanganan fisik bangunan dalam rangka mengembalikan
keaslian bentuk benda cagar budaya dan memperkuat strukturnya bila
diperlukan yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, historis
dan teknis. Pemugaran dapat diartikan sebagai suatu upaya pelestarian benda
cagar budaya yang sasarannya meliputi perbaikan struktur dan pemulihan
arstitektur yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kerusakan yang
dihadapi.
• Rehabilitasi adalah sebuah tindakan untuk mengembalikan dan memperbaiki
bagian bangunan ke dalam kondisi awalnya tanpa menambahkan sesuatu yang
baru pada bangunan tersebut tanpa melalui proses pembongkaran.
12
• Restorasi atau pemulihan adalah sebuah tindakan untuk mengembalikan suatu
bangunan ke dalam kondisi awalnya tanpa menambahkan sesuatu yang baru
pada bangunan tersebut tanpa melalui proses pembongkaran.
• Rekonstruksi adalah suatu tindakan untuk memperpanjang usia sebuah
bangunan tua dengan cara menambahkan sesuatu yang baru atau lama, dengan
tetap menghormati keasliannya melalui proses pemasangan bahan baru sebagai
pengganti bagian unsur bangunan yang hilang atau rusak.
• Konservasi adalah tindakan untuk mencegah kerusakan dan memperpanjang
usia suatu bangunan tua. Proses konservasi itu sendiri tidak boleh
menyebabkan kesrusakan pada bangunan tadi serta menghancurkan atau
menghilangkan bukti sejarah.
Terminologi konservasi bervariasi sesuai dengan interpretasi perbedaan kultur
dalam suatu komunitas. Dalam buku ini konteks konservasi dapat digunakan sebagai
syarat dan keperluan manajemen untuk menjaga kultural signifikan bangunan
bersejarah dan lingkungannya. (Orbasli, 2008)
• Adaptive reuse/adaptasi
Banyak dari bangunan yang beralih fungsi dengan berkembangnya zaman dan
ini akan membuat layout dalam bangunan dan rangka bangunan berubah.
Memberikan perubahan pada bangunan untuk mengakomodasi fungsi baru
adalah melanjutkan nilai guna bangunan bersejarah. Tetapi integritas fungsi
dan rangka yang baru harus benar-benar dipertimbangkan.
• Konservasi
Konservasi termasuk dalam pengelolaan sumber kultural dan perubahan
pengelolaan.
• Konsolidasi
Intervensi fisik yang dilakukan untuk menghentikan pembusukan lanjut atau
ketidakstabilan stuktural. Beberapa bahan seperti tanah atau lumpur
memerlukan konsolidasi biasa sebagai bahan.
Tujuan dari konservasi menurut Burra Charter (ICOMOS, International
Council on Sites and Monuments) adalah konservasi harus mempertahankan,
memperbaiki, atau memperlihatkan sebanyak mungkin jejak sejarah pada suatu
onjek bersejarah apakah itu bangunan ataupun artefak. Yang juga termasuk dalam
13
tujuan konservasi adalah keamanan, pemeliharaan dan masa depan bagi benda
bersejarah tersebut.
Dalam kegiatan pemugaran versi Burra Charter terdapat istilah-istilah sebagai
berikut:
• Preservasi adalah pemeliharaan suatu tempat persis menjadi seperti aslinya dan
mencegah proses kerusakannya.
• Konservasi adalah semua kegiatan pemeliharaan suatu tempat sedemikian rupa
sehingga mempertahankan nilai kulturalnya.
• Restorasi/Rehabilitasi adalah upaya mengembalikan kondisi fisik bangunan
seperti sediakala dengan membuang elemen-elemen tambahan serta memasang
kembali elemen-elemen orisinil yang telah hilang tanpa menambah bagian baru.
• Renovasi adalah upaya.tindakan mengubah interior bangunan baik itu
sebagian maupun keseluruhan sehubungan dengan adaptasi bangunan tersebut
terhadap penggunaan baru atau konsep modern.
• Rekonstruksi adalah upaya mengembalikan atau membangun kembali semirip
mungkin dengan penampilan orisinil yang diketahui.
• Adaptive Reuse/Adaptif adalah segala upaya untuk mengubah tempat agar
dapat digunakan untuk fungsi yang sesuai.
• Demolisi adalah penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah
rusak atau membahayakan.
Adaptive Reuse/Adaptif
Banyak bangunan yang berubah fungsi sepanjang perjalanan hidupnya, ini
memungkinkan adanya berbagai perubahan dalam layout ruang dan struktur
bangunan. Membuat perubahan dalam bangunan untuk menyediakan fungsi-fungsi
baru di dalamnya merupakan bentuk pemanfaatan berkelanjutan pada gedung
bersejarah. Namun, penyesuaian dalam penggunaan fungsi baru pada struktur
bangunan dan intregritasnya harus benar-benar dipertimbangkan.
Bangunan menjadi terbuang atau tidak terpakai disebabkan oleh berapa hal
diantaranya terjadinya perubahan ekonomi, industri, demografi, dan kenaikan biaya
perawatan bangunan, dan yang paling utama bangunan sudah tidak sesuai dengan
fungsi yang dibutuhkan. Oleh sebab itu agar bangunan dapat memenuhi kebutuhan
14
dari pemiliknya, bangunan mengalami adaptasi dan diperbarui, sementara struktur
utama tetap. (Orbasli, 2008)
Kriteria Bangunan Adaptive Reuse
Kriteria untuk memutuskan apakah bangunan harus dilestarikan dan digunakan
kembali atau hanya dibongkar untuk luas tanah yang didudukinya. Beberapa kriteria
yang menentukan meliputi:
1) Nilai sosial dari situs tertentu, yaitu pentingnya kepada masyarak penggunaan
situs oleh anggota masyarakat atau pengunjung.
2) Potensi penggunaan kembali tapak, kerusakan fisik berkelanjutan ke tapak dan
dukungannya terhadap penggunaan masa depan, karakter tapak yang ada dalam
hal penggunaan kembali diusulkan.
3) Pentingnya sejarah tapak, baik dari segi fisik dari jalan dan daerah, serta peran
tapak dalam pemahaman masyarakat masa lalu.
4) Kondisi ekologi dalam tapak, apakah tapak tersebut secara iklim cocok atau
dapat dapat mendukung lingkungan kerja yang diusulkan diperlukan dalam
tapak.
2.1.4 Sejarah Kota Tua Jakarta
Terbentuknya Kota Tua Jakarta diawali dengan munculnya sebuah kerajaan
yang bernama Padjadjaran, jauh sebelum dikenal Sunda Kalapa. Nama Sunda Kalapa
sendiri merupakan nama resmi tertua dari Kota Jakarta yang terdiri atas dua unsur
yaitu “Sunda” dan “Kalapa”. Nama Sunda dalam Sunda Kalapa baru muncul pada
abad ke 10, disebutkan didalam prasasti Kebon Kopi II yang berangka tahun 854
Saka (932 Masehi). Sekitar abad 15, pelabuhan Sunda Kelapa yang sekarang terletak
di Jakarta Utara menjadi pelabuhan penting di pesisir utara Jawa bagian barat.
Pelabuhan tersebut langsung dapat diakses dari pusat kerajaan Pajajaran, yaitu,
Pakuan (Bogor) melalui Sungai Ciliwung.
Setelah beberapa kali berganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada 22
Juni 1527, pada tahun 1619 kemudian VOC mengubah Jayakarta menjadi Batavia,
dan pada 5 Maret 1942, ketika Jepang masuk dan menguasai Batavia, nama Batavia
kemudian diganti dengan Jakarta. Setelah kemerdekaan Indonesia di proklamirkan,
15
Jakarta menjadi pusat pemerintahan dan Ibukota Indonesia. Jakarta pernah
kehilangan perannya sebagai ibukota Negara saat situasi pra kemerdekaan tidak
kondusif dan ibukota serta pusat pemerintahan terpaksa dipindahkan ke Jogjakarta.
Namun pemindahan ibukota ini tidak permanen, sehingga setelah kondisi aman
Ibukota dan Pusat pemerintahan Indonesia dikembalikan ke Jakarta hingga sekarang.
(Sumber: jeforah.org)
2.1.5 Sejarah Gedung Dharma Niaga
Gedung Dharma Niaga berdiri sejak tahun 1913 ini tepat berada di hook
sebelah Gedung Tjipta Niaga, memiliki alamat di Jalan Pintu Besar No. 5 Kelurahan
Pinagsia, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Memiliki luas mencapai 2028 m²
dengan total 3 lantai. Dahulu bangunan ini memiliki nama lain Koloniale Zee en
Brand Assurantie, merupakan kantor Unie Bank pada masa itu.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu kedua bangunan ini (Tjipta Niaga
dan Dharma Niaga) diberi pintu sebagai akses untuk menuju ke masing-masing
bangunan yang bersebelahan ini. Sehingga banyak orang yang mengenal kedua
bangunan yang menjadi satu ini adalah Gedung Tjipta Niaga.
Gambar 5. Gedung Dharma Niaga Dahulu (Kiri) dan Sekarang (Kanan) Sumber: lipsus,kompas.com, 31 Maret 2015
Bangunan ini memiliki Gaya ArsitekturArt Deco dimana terlihat adanya
pengulangan pada irama jendela, serta adanya pola geometris pada profilan jendela
pada fasad bangunan. Sekarang kondisi bangunan ini telah memprihatinkan karena
atap bangunan yang sudah runtuh sebagian dan di dalamnya terdapat ruang yang
sudah tidak terawat lagi seperti timbulnya semak-semak dan pohon.
16
Gambar 6. Foto Udara Gedung Dharma Niaga (1928) Sumber: Collection Dirk Teeuwen, Holland
Data mengenai Gedung Dharma Niaga tidak cukup banyak ditemukan.
Terdapat beberapa dokumentasi dari udara pada tahun 1928. Gambar tersebut dapat
menunjukan bentuk atap Gedung Dharma Niaga dimana kondisinya sekarang telah
hancur hanya terdapat beberapa sisa rangka yang sudah tidak bisa digunakan lagi.
2.1.6 Arsitektur di Indonesia
a) Awal Kedatangan Belanda ke Indonesia
Arsitektur kolonial adalah arsitektur Eropa terutama Belanda pada masa
penjajahan. Nama tersebut sering digunakan sebagai sebutan untuk bangunan-
bangunan yang memiliki gaya arsitektur pada masa penjajahan dulu. Pada masa
VOC 1602 Belanda mulai membangun pos-pos perdagangan di daerah yang strategis
dan dilindungi oleh benteng, terdiri dari fasilitas-fasilitas perdagangan dan
administrasi, gudang, gereja, rumah sakit dan sebagainya. Pada saat itu dipilih
Jayakarta sebagai pusat pemerintahan, letaknya berada di pantai utara Jawa, yang
kemudian berganti nama menjadi Batavia (1619) pada saat VOC berkuasa oleh
Gubernur Jendral J.P Coen.
Gambar 7. Balai Kota Batavia
Sumber: KITLV, diakses 31 Maret 2015
17
Saat itu dibangun Balai Kota Batavia (1707-1712) yang memperlihatkan Gaya
Arsitektur Kolonial. Gaya arsitektur kolonial terjadi akibat adanya percampuran dari
Arsitektur Eropa dengan Arsitektur Cina (karena adanya pengaruh pekerja dari
Cina). Banyak dari bentuk bangunan yang menerapkan gaya Eropa namun atapnya
diadaptasikan dengan kondisi iklim yang ada di Indonesia, sehingga atapnya banyak
menggunakan atap limasan atau arsitektur lokal.
Kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan pembangunan dikeluarkan
oleh VOC. Pada masa itu VOC memperbolehkan kontraktor dan arsitek dari Eropa
dan Cina untuk membuka usahanya di Batavia. Selain itu VOC membuat sebuah
badan yang mengurus mengenai pembangunan yang diberi namaAmbachtskwatieren
atau semacam Dinas Pekerjaan Umum. Segala hal yang berhubungan dengan
pembangunan dilaksanakan dan diawasi oleh badan ini. VOC sangat ketat dalam
mengawasi proses pembangunan dengan menetapkan standar bahan material untuk
pembangunan. Fungsi dan struktur juga harus sesuai dengan peraturan-peraturan
yang telah ditetapkan oleh VOC.
Pada akhir abad ke-18 VOC mengalami kemunduran yang drastis, sehingga
pemerintahan pada saat itu diambil alih oleh pemerintah Belanda. Pada awal abad
ke-19 orang-orang yang tinggal di dalam benteng Batavia pindah ke luar benteng,
karena kondisi di dalam benteng sudah tidak sehat karena sanitasi yang buruk dan
muncul wabah yang menyebabkan banyak orang yang tinggal di dalam benteng
meninggal dunia.
Pemerintah Belanda kemudian memutuskan untuk membangun pusat
pemerintahan baru yang dinamakan Weltevreden oleh Gubernur Jendral Daendels.
Kota baru ini memiliki fasilitas lengkap dengan gedung pemerintahan, fasilitas
militer, sarana hiburan dan tempat tinggal. Pada saat itu gedung pemerintahan
Weltevredenatau istana Daendels memiliki gaya arsitektur klasik Eropa,
pencampuran antara gaya arsitektur neo klasik yunani dan renaissance.
b) Arsitektur Kolonial; Arsitektur Imperium, Arsitektur Indis, Arsitektur Nieuwe
Bouwen
Arsitektur kolonial memberikan pengaruh terhadap terciptanya arsitektur-
arsitektur baru di Indonesia. Dengan adanya campuran budaya, material, ilmu
pengetahuan (metode struktur, konsep dan sebagainya) menyebabkan arsitektur yang
dibawa oleh penjajah ini berubah menjadi sesuatu yang baru, diantaranya yaitu
Arsitektur Imperium, Arsitektur Indis, Arsitektur Nieuwe Bouwen.
18
• Arsitektur Imperium
Arsitektur Imperium adalah arsitektur yang banyak dipengaruhi oleh arsitektur
neoklasik romawi dan yunani serta renaissance.Arsitektur ini banyak mencerminkan
unsur kekuasaan, kemegahan, kemakmuran, dan kekayaan untuk menunjukkan status
sosial dari pemilik bangunan. Arsitektur ini biasanya dipergunakan pada arsitektur
bangunan pemerintahan dan militer. Contoh bangunan karya Arsitektur Imperium
yaitu Istana Bogor.
Gambar 8. Istana Bogor Sumber: echiryryota.deviantart.com, diakses 31 Maret 2015
Istana Bogor merupakan istana untuk para presiden Indonesia. Dibangun oleh
arsitek bernama Van Imhoff dengan gaya imperium untuk memberikan kesan
monumental dan lambing kekuasaan. Gaya arsitektur neo klasik yunan dan romawi
sangat terasa pada bangunan ini. Penggunaan kolom-kolom ionic dan pediment pada
fasad, penggunaan entablature, cupola dan sebagainya.
• Arsitektur Indis
Arsitektur Indis adalah sebutan untuk arsitektur yang menggabungkan Gaya
Eropa dengan arsitektur tradisional Indonesia. Pencampuran ini dapat ditemukan
pada bangunan yang menggunakan gaya arsitektur neo klasik atau Art Deco namun
diadaptasikan dengan iklim budaya Indonesia. Arsitektur tradisional yang
dipergunakan tidak hanya satu jenis saja tetapi ada juga yang menggabungkan dari
beberapa arsitektur tradisional dengan metode konstruksi Eropa dan material lokal.
Contoh bangunan karya Arsitektur Indis yaitu Gedung Sate.
19
Gambar 9. Gedung Sate Sumber: jotravelguide.com, diakses 31 Maret 2015
Bangunan yang dirancang oleh arsitek bernama J. Gerber pada tahun 1920 ini
merupakan perpaduan antara metode dan konstruksi gaya arsitektur kolonial.
Penggunaan lengkung kolom-kolom dengan iklim dan arsitektur lokal yang terlihat
pada penggunaan atap tumpang.
• Arsitektur Niewe Bouwen
Arsitektur ini telah mendapat pengaruh arsitektur modern, yang terpengaruh
oleh art deco, de stijl, art nouveau, bauhaus dan beberapa pengaruh dari arsitektur
Eropa dan Amerika seperti Le Corbusier dan Frank Lloyd Wright. Bangunan ini
sama seperti sebelumnya telah diadaptasikan dengan iklim dan budaya Indonesia.
Contoh bangunan karya Arsitektur Niewe Bouwen yaitu Villa Isola.
Gambar 10. Villa Isola Sumber: pinterest.com, diakses 31 Maret 2015
Bangunan yang dirancang oleh C.P Wolf Schoemaker pada tahun 1932 ini
memiliki ciri khas seperti adanya irama pada bukaan, permainan komposisi, elemen-
elemen horizontal dan vertikal pada fasad bangunan.
20
2.1.7 Arsitektur Art Deco
a) Pengertian Art Deco
Art deco adalah suatu gaya hias yang lahir setelah Perang Dunia I dan berakhir
sebelum Perang Dunia II yang banyak diterapkan dalam berbagai bidang misalnya
eksterior, interior, mebel, patung, pakaian dan sebagainya dari tahun 1920-1939.
Gerakan ini dalam pengertian tertentu adalah gabungan dari berbagai gaya dan
gerakan pada awal abad ke-20 termasuk konstruksionisme, kubisme, modernisme,
Bauhaus, art nouveau dan futurisme. Popularitasnya memuncak pada tahun 1920-an.
Meskipun banyak gerakan desain mempunyai akar atau maksud politik dan filsafat,
Art Deco murni bersifat dekoratif. Pada masa itu gaya ini dianggap anggun,
fungsional dan ultra modern. (Sumber: wikipedia.org)
Seniman Art Deco banyak bereksperimen dengan memakai teknik baru dan
material baru, misalnya metal, kaca, serta plastik dan menggabungkannya dengan
penemuan-penemuan baru saat itu, lampu misalnya. Karya mereka sering memakai
warna-warna yang kuat serta bentuk abstrak dan geometris tetapi kadang masih
menggunakan motif tumbuhan dan figur. Langgam Art Deco tercipta dari
pencampuran ornamen-ornamen historis, aliran arsitektur sekarang dan muatan lokal.
Setiap negara yang menerima langgam Art Deco mengembangkannya sendiri dan
memberikan sentuhan lokal sehingga Art Deco di suatu tempat akan berbeda dengan
Art Deco di tempat lain.
b) Sejarah Art Deco
Gaya Art Deco lahir pada tahun 1920-an dan berkembang secara mencolok di
Perancis. Pada awalnya karya seni bergaya Art Deco lebih banyak terinspirasi dari
ornamen dekoratif Mesir dan kerajinan suku Maya. Selain itu didominasi oleh
kombinasi warna yang menggunakan material yang mahal. Dari kondisi ini dating
kritikan dari tokoh seni Perancis modern seperti Le Corbusier dan Piere Charen yang
menyatakan bahwa semua orang berhak memperoleh desain yang baik, tidak hanya
eksklusif bagi orang yang kaya. Sehingga lahir dua bentuk karya seni Art Deco yang
bersifat murni dan bersifat komersial (seni terapan).
Dengan adanya Exposition International d’Arts Decoratifs et Industrials
Moderns di Paris, banyak menghasilkan karya seni Art Deco dari industry dengan
ciri bentuk streamline yang berkesan dinamis. Didukung oleh teknologi pengecoran
21
metal, vernikel, perunggu dan penemuan-penemuan baru dalam produk desain
sehingga pada saat itu menjadi tren. Karya Art Deco yang bersifat komersial lebih
banyak memakai unsur kubisme, futurisme, dan ekspresionisme karena adanya
pengaruh dari aliran Bauhaus (1921-1933).
Pada arsitektur, ekspresi Art Deco ditonjolkan dengan pemakaian bahan-bahan
yang mahal, streamline dan pengerjaan yang rinci. Hal ini mungkin karena terapan
dari gaya Art Deco banyak menggunakan bahan bangunan produksi pabrik. Art Deco
memiliki konsep keindahan yang menggabungkan antara kerajinan tangan dan
mesin. Mesin mulai membuat bentuk-bentuk yang dulunya merupakan kerajinan
tangan manusia tetapi dalam wujud yang lebih sederhana dan simple. Sejak itulah
bentuk-bentuk garis mulai digemari dan menjadi sumber keindahan karya Art Deco.
Salah satu contohnya adalah Bank Jabar yang ada di Bandung, bangunan ini
menampilkan gaya arsitektur Art Deco jenis streamlined moderne. Dibangun oleh
arsitek Hindia-Belanda Albert Frederik pada tahun 1935-1936.
Gambar 11. Bank Jabar Sumber: movingcities.org, diakses 31 Maret 2015
c) Karakteristik Arsitektur Art Deco
Pada tahun 1928 seorang pengamat arsitektur modern mendeskripsikan
karakter Art Deco dalam kaitannya dengan tampilan bangunan yaitu adanya
pemakaian garis lurus, geometris dan cenderung mengikuti proporsi kubus yang
dipengaruhi oleh aliran kubisme. (Grange Books, 2002) Garis datar yang sederhana
dan kuar dengan sentuhan dekorasi pada warna, besi tempa dan kaca untuk relief.
Pembagian tren dalam arsitektur Art Deco adalah sebagai berikut:
1. Zig-zag Moderne
22
Banyak digunakan untuk bangunan-bangunan komersial yang mempunyai
gaya eksotik. Ciri utamanya adalah:
• Kekayaan ornament pada eksterior diulang ke dalam interior.
• Ornamen-ornamen yang digunakan adalah motif binatang, sinar matahari,
geometris bentuk zig-zag, segitiga, garis, lingkaran, bersegmen dan spiral,
bentuk ziggurat (mengecil di puncak), air mancur berbentuk mozaik, dan motif
tanaman abstrak.
• Pengaruh budaya Yunani, Aztek, Assyria, Maya dan Mesir dengan abstraksi,
adaptasi dan rekombinasi.
• Penggunaan warna yang menyala.
Gambar 12.Pintu Masuk Hoover Factory, United Kingdom Sumber: e-architect.co.uk, diakses 15 April 2015
Pengaruh budaya Mesir terlihat pada dekorasi pintu masuk gedung Hoover
Factory di UK.
2. Classical Moderne
Tren ini muncul sebagai perwujudan keinginan untuk menghidupkan kembali
gaya historik dan penyederhanaan bentuk-bentuk klasik yang pada umumnya rumit.
Ciri utamanya adalah:
• Massa simetris.
• Menara pusat dengan puncak datar.
• Unsur horizontal kuat.
• Ada dekorasi diatas pintu masuk.
• Menara sebagai klimaks bangunan.
• Permukaan dinding sederhana sebagai ganti dari kolom-kolom klasik.
• Tembok vertikal datar.
23
• Mempunyai kesan permanen pada eksterior dihiasi relief atau patung yang
berdiri sendiri.
• Pada eksterior dihiasi relief atau patung yang berdiri sendiri.
• Gambaran karya seni yang mempunyai simbol fungsi bangunan atau
masyarakat lokal.
• Gabungan gaya zig-zag dan vertikal yang kaya dengan ornament streamline
yang simbolik dan relatif sederhana dengan bentuk aerodinamis.
Gambar 13.Niagara Hudson, New York Sumber: retroroadmap.com, diakses 15 April 2015
Komposisi massa simetris dengan klimaks menara, penggunaan kolom-kolom
pada dinding. Garis vertikal kuat ditunjukkan dengan permainan besaran garis.
Sculpture pada bagian menara menunjukkan kemegahan dan dekorasi.
3. Streamline Moderne
Tren yang menggunakan kekuatan garis sebagai pembentuk ekspresi. Ciri-
cirinya dalah sebagai berikut:
• Orientasi horisontal.
• Atap datar.
• Bentuk aerodinamik pada garis kurva.
• Setback tiga dimensional.
• Banyak menggunakan kaca dan jendela.
• Kaya warna.
• Menggunakan baja atau logam sebagai penguat railing.
• Merupakan perkembangan dari zig-zag modern.
24
Gambar 14.Gustaf Fassin House, New York Sumber: The National trust guide to Art Deco in America, diakses 15 April 2015
Jendela yang berorientasi secara horizontal, bentuk kurva lengkung pada pintu
masuk dan menggunakan bahan metal untuk railing dan tangga.
4. Tropical Deco
Gaya ini merupakan cabang dari tren streamline yang muncul karena adanya
adaptasi terhadap iklim tropis pada sebuah negara. Ciri-cirinya adalah:
• Horisontal dan bergaris gaya streamline.
• Ornament menggunakan gaya organik dan klasik.
• Balkon berbentuk dek.
• Jendela berbentuk persegi delapan atau lubang Meriam.
• Yang paling menonjol yaitu adanya profilan penahan sinar matahari dan air
hujan atau set-back jendela.
• Asimetris dan garis kurva.
• Material metal dan kaca sebagai pembentuk garis lurus yang tajam.
Gambar 15. Palmer House, Miami Beach Sumber: bobmiami.com, diakses 15 April 2015
25
Garis streamline horizontal yang kuat pada bukaan, unsur vertikal dipadukan
dengan unsur horizontal dari profilan penahan matahari.
Arsitektur Art Deco menampilkan bentuk-bentuk sederhana dengan elemen
geometris yang simetris dan lebih menekankan pada dekorasi atau menghias
tampilan bangunan (fasad). Fasad Art Deco memiliki kelebihan pada penggunaan
dekorasinya yaitu penggabungan bahan bangunan (kaca, besi, tempa, beton, bata
merah), penambahan elemen logo/tulisan, menara, patung, relief, tiang dan penahan
sinar matahari bila diperhatikan biasanya merupakan unsur garis pada fasad
bangunan.
d) Karakteristik Interior Art Deco
Langgam Art Deco memiliki karakteristik dengan pemakaian garis lurus,
geometris dan cenderung mengikuti proporsi kubus yang dipengaruhi oleh aliran
kubisme. Ciri-cirinya adalah:
1. Furniture memiliki bentuk yang tidak biasa.
2. Tidak fungsional seperti gaya modern.
3. Desain lighting yang sangat mencolok.
4. Terdapat ornamen yang menyesuaikan dengan ornamen lokal.
5. Ada pula yang menjadikan sculpture sebagai elemen interior.
6. Tidak berhubungan dengan gaya-gaya yang sebelumnya.
7. Murni memiliki bentuk dan pola yang geometri.
8. Warna yang digunakan cenderung warna netral namun tetap memberikan
sentuhan warna-warna cerah.
9. Berpusat di Perancis.
10. Menggunakan kayu-kayuan seperti eboni dan zebrawood.
11. Menggunakan material metal yang dipoles.
12. Banyak menggunakan kaca.
13. Streamlined.
14. Awal terbentuknya Industrial Design.
Ciri interior Art Deco menurut (Miller, 2005) yaitu:
1. Desain interiorArt Deco adalah lambanga kemewahan, elegan dan glamor
2. Penggunaan lantai kayu yang mengkilap, bermotif dengan pola geometris,
furniture dengan material kayu eboni dan mahoni yang di veneer
26
3. Penggunaan material kaca-kaca berkilau pada lampu dekoratif dan partisi
4. Karpet dan tekstil berwarna cerah dengan motif zigzag, sunburst dan gemoetris
5. Penggunaan funriture dicirikan oleh konsekuensi terhadap tebalnya bentuk yang
digunakan
6. Detail dekoratif tidak berlebihan, sebatas pada estetika dan fungsional
7. Hanya menggunakan pola-pola dasar seperti garis geometris
Gambar 16.Ciri Furniture Art Deco Sumber: Art Deco Collector’s Guide
Gaya baru dalam Art Deco siap untuk mendominasi desain interior saat ini.
Gaya ini cepat untuk menjadi ide yang tidak biasa dalam mendesain interior modern
(Du, 2011). Ciri-cirinya yaitu sebagai berikut:
1. Terinspirasi dari perpaduan alam dan tradisi lokal
2. Memberikan kesan maksimalis dengan permainan pola, tekstur, dan layering
3. Penggunaan dekorasi pada ruang, mampu memberikan efek humanis pada ruang
dan efek naungan pada interior
4. Dekorasi yang digunakan biasanya pada dinding, lampu dekoratif dengan skala
yang besar, tirai dekoratif
5. Menggunakan perpaduan warna netral dengan warna-warna cerah sebagai
pemanis dan penyeimbang ruang
6. “More is more” dengan menciptakan ruang yang lebih menyenangkan dan
memberikan emosi ruang
New Art Deco adalah interpretasi dari Gaya Art Deco, semua elemen yang
digunakan mirip namun lebih kerarah kontemporer.
27
2.2 Hipotesis dan Kerangka Berpikir
2.2.1 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara atas permasalahan yang sebenarnya, yang
kebenarannya harus diuji. Berdasarkan permasalahan di atas maka sebagai jawaban
sementara penulis membuat hipotesa yaitu, Adaptive Reuse pada Gedung Dharma
Niaga yang fungsinya sebagai pusat kesenian di Kawasan Kota Tua Jakarta dengan
merancang interior bangunan dengan langgam Art Deco.
28
2.2.2 Kerangka Berpikir
Gambar 17.Kerangka Berpikir Sumber: Olah Pribadi
29
2.3 Novelty
Mengadaptif kembali bangunan Gedung Dharma Niaga yang kosong dan
kondisinya terbengkalai, sebagai pusat kegiatan kesenian dengan mendesain interior
bangunan langgam Art Deco, yang memperhatikan unsur material dan finishing,
skema dekoratif, furniture, warna dan lighting.
30