bab 2 landasan teori - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/ecolls/ethesisdoc/bab2/2007-3-00435-ti...
TRANSCRIPT
22
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengantar
Menurut Teguh Baroto (2002, p14), perencanaan dan pengendalian produksi
(PPC) adalah aktivitas bagaimana mengelola proses produksi tersebut. PPC
merupakan tindakan manajemen yang sifatnya abstrak (tidak dapat dilihat secara
nyata). Sistem komputer barangkali merupakan analogi yang tepat untuk sistem
produksi. Proses produksi adalah perangkat kerasnya (hardware) dan PPC adalah
perangkat lunaknya (software).
Perencanaan dan pengendalian produksi (PPC) pada industri manufaktur apapun
akan memiliki fungsi yang sama. Fungsi atau aktivitas-aktivitas yang ditangani oleh
departemen PPC atau PPIC secara umum adalah sebagai berikut :
1. Mengelola pesanan (order) dari pelanggan. Para pelanggan memasukkan pesanan-
pesanan untuk berbagai produk. Pesanan-pesanan ini dimasukkan dalam jadwal
produksi utama, ini bila jenis produksinya make to order.
2. Meramalkan permintaan. Perusahaan biasanya berusaha memproduksi secara lebih
independent terhadap fluktuasi permintaan. Permintaan ini perlu diramalkan agar
skenario produksi dapat mengantisipasi fluktuasi permintaan tersebut. Permintaan
ini harus dilakukan bila tipe produksinya adalah make to stock.
23
3. Mengelola persediaan. Tindakan pengelolaan persediaan berupa melakukan
transaksi persediaan, membuat kebijakan persediaan pengaman, kebijakan
kuantitas pesanan, dan mengukur performansi keuangan dari kebijakan yang
dibuat.
4. Menyusun rencana agregat (penyesuaian permintaan dengan kapasitas). Pesanan
pelanggan dan atau ramalan permintaan harus dikompromikan dengan sumber
daya perusahaan (fasilitas, mesin, tenaga kerja, keuangan, dan lain-lain). Rencana
agregat bertujuan untuk membuat skenario pembebanan kerja untuk mesin dan
tenaga kerja (reguler,lembur, dan subkontrak) secara optimal untuk keseluruhan
produk dan sumber daya secara terpadu (tidak per produk).
5. Membuat Jadwal Induk Produksi (JIP). JIP adalah suatu rencana terperinci
mengenai apa dan berapa unit yang harus diproduksi pada suatu periode tertentu
untuk setiap item produksi. JIP dibuat dengan cara (salah satunya) memecah
(disagregat) rencana agregat kedalam rencana produksi (apa, kapan, dan berapa)
yang akan direalisasikan JIP ini apabila telah dikoordinasikan dengan seluruh
departemen akan jadi dasar dalam PPC. JIP ini akan di-”review” secara periodik
atau bila ada kasus. JIP ini dapat berubah bila ada hal yang harus
diakomodasikan.
6. Merencanakan kebutuhan. JIP yang telah berisi apa dan berapa yang harus dibuat
selanjutnya harus diterjemahkan ke dalam kebutuhan komponen, sub-assembly,
dan bahan penunjang untuk penyelesaian produk. Perencanaan kebutuhan
material bertujuan untuk menentukan, apa, berapa, dan kapan komponen, sub-
24
assembly, dan bahan penunjang yang harus disiapkan. Untuk membuat
perencanaan kebutuhan diperlukan informasi lain berupa struktur produk (Bill of
Material) dan catatan persediaan. Bila hal ini belum ada, maka tugas departemen
PPC untuk membuatnya.
7. Melakukan penjadwalan pada mesin atau fasilitas produksi. Penjadwalan ini
meliputi urutan pengerjaan, waktu penyelesaian pesanan, kebutuhan waktu
penyelesaian, prioritas pengerjaan, dan lain-lainnya.
8. Monitoring dan pelaporan pembebanan kerja dibanding kapasitas produksi.
Kemajuan tahap demi tahap dimonitor dan dibuat laporannya untuk dianalisis.
Apakah pelaksanaan sesuai rencana yang telah dibuat?
9. Evaluasi skenario pembebanan dan kapasitas. Bila realisasi tidak sesuai rencana,
maka rencana agregat, JIP, dan penjadwalan dapat diubah/disesuaiakan
kebutuhan. Untuk jangka panjang, evaluasi ini dapat digunakan untuk mengubah
(menambah) kapasitas produksi.
Menurut Vincent Gaspersz (2001, p127), dalam sistem manufakturing modern
aktivitas perencanaan prioritas (priority planning) sejajar dengan aktivitas
perencanaan kapasitas, sehingga terdapat suatu hierarki dari rencana-rencana
kapasitas (capacity plans) yang sejajar dan sesuai dengan hierarki dari rencana-
rencana prioritas (priority plans), seperti di tunjukkan pada gambar 2.1.
25
Gambar 2.1 Hierarki Perencanaan Prioritas dan Kapasitas dalam Sistem MRP
26
Pada dasarnya terdapat empat tingkat dalam hierarki perencanaan prioritas dan
kapasitas yang terintegrasi, antara lain :
1. Perencanaan Produksi dan Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya.
Pada dasarnya perencanaan produksi merupakan suatu proses penetepan tingkat
output manufakturing secara keseluruhan guna memenuhi tingkat penjualan yang
direncanakan dan inventori yang diinginkan. Rencana produksi mendefinisikan
tingkat manufakturing, biasanya dinyatakan sebagai tingkat bulanan untuk periode
satu tahun atau lebih, untuk setiap kelompok produk.
Perencanaan Kebutuhan Sumber Daya (RRP) merupakan suatu proses yang
mengevaluasi rencana produksi guna menentukan sumber daya jangka panjang
seperti : tanah, fasilitas, mesin-mesin dan tenaga kerja adalah tersedia.
2. Penjadwalan Produksi Induk (MPS) dan Rough Cut Capacity Planning (RCCP).
MPS menguraikan rencana produksi untuk menunjukkan kuantitas produk akhir
yang akan diproduksi untuk setiap periode waktu sepanjang horizon perencanaan
taktis (biasanya satu tahun). Apabila rencana produksi menunjukkan tingkat produksi
untuk kelompok produk, MPS menjadwalkan kuantitas spesifik dari produk akhir
dalam periode waktu spesifik.
Rough Cut Capacity Planning (RCCP) menentukan apakah sumber daya yang
direncanakan adalah cukup untuk melaksanakan MPS.
27
3. Perencanaan Kebutuhan Material (MRP) dan Perencanaan Kebutuhan Kapasitas
(CRP).
MRP mengembangkan pesanan-pesanan yang direncanakan untuk bahan baku,
komponen, dan subassemblies yang dibutuhkan untuk memenuhi MPS. MRP
menggunakan data inventori dan Bills Of Material (BOM).
Perencanaan Kebutuhan Kapasitas (CRP) membandingkan kapasitas yang
dibutuhkan terhadap projected available capacity untuk open manufacturing orders
dan planned manufacturing orders yang dihasilkan oleh sistem MRP.
4. Pengendalian Aktivitas Produksi (PAC) dan Pengendalian Input/Output serta
Operations Sequencing.
PAC mengembangkan jadwal jangka pendek yang terperinci dengan
menggunakan component due dates dari MRP dan detailed routings.
Pengendalian Input/output memantau kuantitas dari pekerjaan yang datang pada
pusat kerja dan yang meninggalkan pusat kerja itu.
Operations Sequencing merupakan suatu teknik simulasi untuk perencanaan
jangka pendek dan priority dispatching dari pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan
pada setiap pusat kerja, berdasarkan pada kapasitas sekarang, prioritas, routings, dan
informasi lain.
28
2.2 Perencanaan Agregat
Menurut Teguh Baroto (2002, p98) ada beberapa pengertian perencanaan
agregat :
Perencanaan Agregat adalah : perencanaan yang dibuat untuk menentukan
total permintaan dari seluruh elemen produksi dan jumlah tenaga kerja yang
diperlukan.
Perencanaan Agregat adalah : proses perencanaan kuantitas dan pengaturan
waktu keluaran selama periode waktu tertentu (3 bulan sampai 1 tahun) melalui
penyesuaian variabel-variabel tingkat produksi karyawan, persediaan, variabel
yang dapat dikendalikan lainnya.
Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p63), perencanaan produksi sebagai
suatu perencanaan taktis adalah bertujuan memberikan keputusan yang optimum
berdasarkan sumber daya yang dimiliki perusahaan dalam memenuhi permintaan
akan produk yang dihasilkan. Yang dimaksud dengan sumber daya yang dimiliki
adalah kapasitas mesin, tenaga kerja, teknologi yang dimiliki, dan lainnya.
Perencanaan agrerat dibuat untuk menyesuaikan kemampuan produski dalam
menghadapi permintaan pasar yang tidak pasti dengan mengoptimumkan
penggunaan tenaga kerja dan peralatan produksi yang tersedia sehingga ongkos
total produksi dapat ditekan seminim mungkin. Kata agregat tersebut menyatakan
bahwa perencanaan dibuat pada tingkat kasar untuk memenuhi total kebutuhan
29
semua produk yang akan dihasilkan (bukan per-individu produk) dengan
menggunakan sumber daya yang ada.
Menurut Teguh Baroto (2002, p98) Perencanaan Agregat merupakan
perencanaan produksi jangka menengah. Horizon perencanaannya biasanya
berkisar antara 1-24 bulan atau bisa bervariasi dari 1-3 tahun. Horizon tersebut
tergantung pada karakteristik produk dan jangka waktu produksi. Periode
perencanaan disesuaikan dengan periode peramalan, biasanya 1 bulan.
Tujuan perencanaan produksi adalah menyusun suatu rencana produksi untuk
memenuhi permintaan pada waktu yang tepat dengan menggunakan sumber-
sumber atau alternatif-alternatif yang tersedia dengan biaya yang paling minimum
keseluruhan produk. Perencanaan agregat ini merupakan langkah awal aktivitas
perencanaan produksi yang dipakai sebagai pedoman untuk langkah selanjutnya,
yaitu penyusunan jadwal induk produksi (JIP).
Perencanaan agregat adalah suatu langkah pendahuluan perencanaan kapasitas
secara terperinci. Perencanaan agregat merupakan dasar untuk membuat jadwal
induk produksi (JIP). JIP menyajikan rencana produksi detail untuk setiap produk
akhir. Proses penyusunan JIP untuk perusahaan yang ‘Make to Stock’ akan
berbeda dengan perusahaan yang ‘Make to Order’. Hal ini dikarenakan sumber
informasi permintaan atau kebutuhan yang berbeda. Bagi perusahaan yang ‘ Make
to Stock’, informasi permintaan didapat dari hasil peramalan. Bagi perusahaan
yang ‘Make to Order’, informasi permintaan diperoleh dari order-order (pesanan)
yang diterima dari pelanggan.
30
2.2.1 Metode-Metode Perencanaan Agregat
Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan pada perencanaan produksi agregat. Beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut :
- Jumlah Tenaga Kerjanya Tetap dan Struktur Biayanya Linier
• Trial and Error
• Program Linier
• Transportasi
• Programa Dinamis
- Jumlah Tenaga Kerjanya Berubah-ubah dan Struktur Biayanya Linier
• Program Linier
- Jumlah Tenaga Kerjanya Berubah-ubah dan Struktur Biayanya Non Linier
• Linear Desicion Rule
• Heuristic Search
Dalam Tugas Akhir ini metode yang digunakan adalah hanya metode transportasi.
Asumsi metode transportasi adalah sebagai berikut :
1. Kapasitas produksi dan permintaan dinyatakan dalam satuan yang sama
2. Total kapasitas sama dengan total permintaan dalam Horizon yang sama.
Jika keadaan ini tidak terpenuhi, maka harus dibuat kapasitas atau
permintaan buatan atau dummy dengan biaya nol per unit, sehingga sistem
jadi seimbang.
31
3. Semua hubungan biaya linear.
2.2.2 Metode Transportasi
Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p79), perencanaan agregat dapat
menggunakan metode transportasi yang merupakan bagian dari perencanaan
produksi programa linier dengan jumlah tenaga kerja (work-force) tetap. Metode
ini mengijinkan penggunaan produksi reguler, overtime, inventory, backorder,
dan subkontrak. Hasil perencanaan yang diperoleh dapat dijamin optimal dengan
asumsi optimistik bahwa tingkat produksi (yang dipengaruhi oleh hiring dan
training pekerja) dapat dirubah dengan cepat. Agar supaya metode ini dapat
diaplikasikan, kita harus memformulasikan persoalan perencanaan agregat
sehingga:
1. Kapasitas tersedia (supply) dinyatakan dalam unit yang sama dengan
kebutuhan (demand).
2. Total kapasitas untuk horison perencanaan harus sama dengan total peramalan
kebutuhan. Bila tidak sama, kita gunakan variabel bayangan (dummy)
sebanyak jumlah selisih tersebut dengan unit cost = 0.
3. Semua hubungan biaya merupakan hubungan linier.
Berikut Contoh tabel transportasi seperti pada tabel 2.1
32
Tabel 2.1 Contoh Tabel Transportasi
Kapasitas Tak Kapasitas Total Terpakai ( Dummy ) yang tersedia
0 4 8 12
15 19 23 27
17 21 25 29
20 24 28 32
20 15 19 23
22 17 21 25
25 20 24 28
25 20 15 19
27 22 17 21
30 25 20 24
30 25 20 15
32 27 22 17
35 30 25 20
Pasokan Dari
Persediaan Awal
Permintaan UntukPeriode 1 Periode 2 Periode 3 Periode 4
Reguler
Lembur
Subkontrak
Perio
de 1
Lembur
Perio
de 2
Perio
de 3
Lembur
Subkontrak
Reguler
Reguler
Lembur
Subkontrak
Reguler
Subkontrak
Perio
de 4
Permintaan Total
1. Metode NWCR
Menurut (Sri Mulyono, 2007, p116), Metode NWCR adalah metode
yang paling sederhana di antara ketiga metode yang di gunakan yaitu
Least Cost dan Vogel.
Metode NWCR memulai dengan mengalokasikan jumlah maksimum
yang diijinkan oleh penawaran dan permintaan kevariabel yang berada di
sudut barat laut tabel. Kolom/baris yang sudah dipenuhi lalu disilang
untuk menunjukkan bahwa variabel sisanya dalam kolom/baris yang
33
disilang tersebut adalah sama dengan nol. Jika sebuah kolom dan sebuah
baris dipenuhi secara bersamaan, hanya salah satu yang disilang. Kondisi
ini menjamin penentuan variabel dasar nol, jika ada, secara otomatis.
Setelah menyesuaikan jumlah penawaran dan permintaan untuk semua
baris dan kolom yang belum disilang, jumlah maksimum yang layak
dialokasikan ke elemen pertama yang belum disilang di kolom/baris baru.
Proses ini di selesaikan ketika tepat satu baris atau satu kolom belum
disilang. (Taha, 1996, p213-214).
2. Metode Least Cost
Menurut (Sri Mulyono, 2007, p118), metode Least Cost berusaha
mencapai tujuan minimasi biaya dengan alokasi sistematik kepada kotak-
kotak sesuai dengan besarnya biaya transport per unit.
Prosedur dari metode least cost adalah sebagai berikut. Berikan nilai
setinggi mungkin pada variabel dengan biaya unit terkecil dalam
keseluruhan tabel. (Beberapa biaya unit yang sama dipilih secara
sembarang.) Silang baris atau kolom baris yang dipenuhi. (Seperti dalam
metode NWCR, jika baik kolom maupun baris dipenuhi secara
berbarengan, hanya satu yang disilang.) Setelah menyesuaikan penawaran
dan permintaan untuk semua baris dan kolom yang belum disilang, ulangi
proses dengan memberikan nilai setinggi mungkin pada variabel dengan
34
biaya unit terkecil yang belum disilang. Prosedur ini diselesaikan ketika
tepat satu baris atau satu kolom belum disilang. (Taha, 1996, p222).
3. Metode Vogel Approximation Method
Menurut (Sri Mulyono, 2007, p120), metode Vogel selalu memberikan
suatu solusi awal yang lebih baik dibanding metode NWCR dan sering
kali lebih baik daripada metode Least Cost.
Langkah-langkah dari prosedur ini adalah sebagai berikut :
Langkah 1 : Evaluasi penalti untuk setiap baris/kolom dengan
mengurangkan elemen biaya terkecil dalam baris/kolom dari elemen biaya
terkecil berikutnya dalam baris/kolom yang sama.
Langkah 2 : Identifikasi baris/kolom dengan penalti terbesar, pilih nilai
yang sama secara sembarang. Alokasikan sebanyak mungkin pada
variabel dengan biaya terendah dalam baris/kolom yang dipilih. Sesuaikan
penawaran dan permintaan dan silang baris/kolom yang dipenuhi. Jika
sebuah baris/kolom dipenuhi secara bersamaan, hanya satu diantaranya
yang disilang dan baris/kolom sisanya diberikan penawaran/permintaan
nol. Setiap baris/kolom dengan penawaran/permintaan nol tidak boleh
dipergunakan dalam menghitung penalti berikutnya.
Langkah 3 :
a. Jika tepat satu baris/satu kolom yang belum disilang, berhentilah.
35
b. Jika hanya satu baris/kolom dengan penawaran/permintaan positif
yang belum disilang, tentukan variabel dasar dalam baris/kolom
tersebut dengan metode biaya terendah.
c. Jika semua baris dan kolom yang belum disilang memiliki penawaran
dan permintaan nol, tentukan variabel dasar nol berdasarkan metode
biaya terendah. Berhentilah.
d. Jika tidak, hitung ulang penalti untuk baris dan kolom yang belum
disilang, lalu kembali ke langkah 2. Perhatikan bahwa baris dan kolom
dengan penawaran dan permintaan yang diberi nilai nol tidak boleh
dipergunakan dalam menghitung penalti ini. (Taha, 1996, p223-224).
2.3 Bill Of Material (BOM)
Menurut Jay Hezer dan Barry Render (2005, p358), Bill of Material (BOM)
adalah sebuah daftar jumlah komponen, campuran bahan, dan bahan baku yang
diperlukan untuk membuat suatu produk.
Beberapa kegunaan BOM adalah :
- Menentukan komponen–komponen mana saja yang harus dibuat sendiri
atau dibeli.
- Menentukan komponen–komponen dalam daftar pembelian dan pesanan
produksi yang harus dilepas.
36
- Untuk menghitung biaya produk dan harga jual sehingga dapat diketahui
laba dari hasil penjualan produk.
Beberapa macam BOM :
1. Implosion
Merupakan BOM dimana urutan dimulai dari komponen sampai induk
atau level paling atas. Secara singkat BOM jenis ini adalah kebalikan dari
BOM eksplosion.
2. Eksplosion
Merupakan BOM dengan urutan dimulai dari induk sampai komponen
pada level paling bawah. BOM jenis ini menunjukkan komponen yang
membentuk suatu induk dari level teratas sampai level terendah.
2.4 Master Production Schedule (MPS)
Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p95), perencanaan produksi
menyatakan ukuran agregat dan output manufaktur suatu perusahaan.
Implementasi dan perencanaan produksi ini membutuhkan suatu pendisagregasian
perencanaan produksi agregat kedalam perencanaan untuk masing-masing produk
individual. MPS merupakan pernyataan akhir mengenai ”berapa” banyak item-
item akhir yang harus diproduksi dan ”kapan” harus di produksi.
37
2.4.1 Tujuan MPS
Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p96), tujuan dari MPS adalah
mewujudkan perencanaan agregat menjadi suatu perencanaan terpisah untuk
masing-masing item individu. Selain itu, MPS juga dapat mengevaluasi
jadwal-jadwal alternatif dalam hal kebutuhan kapasitas, menyediakan input
untuk sistem MRP dan membantu manajer produksi untuk menghasilkan
prioritas-prioritas untuk penjadwalan produksi.
Berikut contoh tabel MPS seperti yang terlihat pada tabel 2.2 :
Tabel 2.2 Contoh Tabel MPS
PeriodPast Due 1 2 3 4 5 6 7 8 9
ForecastActual OrderProject Available BalanceAvailable To PromiseMaster ScheduleKapasitas Produksi Terpasang (KPT)
Description : Safety Stock :
Planning Time Fences : Demand Time Fences : On Hand :
Lead Time : Item No :
Keterangan untuk tabel MPS di atas adalah sebagai berikut :
1. Item No menyatakan kode komponen atau material yang akan dirakit.
2. Lead time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk me-release atau
memanufaktur suatu end item.
38
3. Safety Stock menyatakan cadangan material yang harus ada di tangan
sebagai antisipasi kebutuhan di masa yang akan datang.
4. Description menyatakan deskripsi material secara umum.
5. On hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa
periode sebelumnya.
6. Demand Time Fences (DTF) merupakan batas waktu penyesuaian pesanan
permintaan. Panjangnya = assy lead time. Projected Available Balance
dihitung dari aktual demand. Disini perubahan demand tidak akan
dilayani.
7. Planning Time Fences (PTF) merupakan batas waktu penyesuaian
pesanan dimana demand masih boleh berubah. Perubahan masih akan
dilayani sepanjang material dan kapasitas tersedia. Panjangnya =
kumulatif lead time antara procurement lead time (waktu untuk
mendapatkan material), fabrication lead time dan assembly lead time.
8. Forecast merupakan hasil peramalan sebelumnya sebagai hasil dari
perencanaan agregat.
9. Actual Order (AO) merupakan jumlah order yang sudah diterima
sebelumnya.
10. Projected Available Balance (PAB) merupakan jumlah perkiraan sisa
produk pada akhir periode. PAB dihitung dengan rumus :
PAB tttDTFt AOMSPAB −+= −≤ 1
39
PAB ttttDTF AOMSPAB −+= −≤ 1 atau F t (pilih yang paling besar)
11. Cumulative Available To Promise (ATP) memberikan informasi berapa
banyak item atau produk tertentu yang dijadwalkan pada periode waktu itu
tersedia untuk pesanan pelanggan, sehingga berdasarkan informasi ini
bagian pemasaran dapat membuat janji yang tepat kepada pelanggan atau
dengan kata lain ATP merupakan jumlah material on hand pada
inventory yang sebenarnya. ATP dapat dihitung dengan menggunakan
rumus :ATP = ATP 1−t + MSt – Actual Order sampai pada periode
yang sudah dijadwalkan pada Master Scheduled .
ATP tidak boleh minus. Jika hal ini terjadi maka akan terjadi lost sales
karena permintaan berarti tidak dapat dipenuhi.
12. Master Schedule (MS) merupakan hasil konversi dari perencanaan agregat
yang akan diproduksi.
13. Kapasitas Produksi Terpasang (KPT) merupakan hasil konversi dari
perencanaan agregat yang akan diproduksi.
2.4.2 Input Sistem MPS
Menurut Vincent Gaspersz (2001, p127), input dari sistem MPS ada
beberapa macam seperti di bawah ini :
40
• Data Permintaan Total merupakan salah satu sumber data bagi proses
penjadwalan produksi induk. Data permintaan total berkaitan dengan ramalan
penjualan (sales forecasts) dan pesanan-pesanan (orders).
• Status inventori berkaitan dengan informasi tentang on-hand inventory, stok
yang dialokasikan untuk penggunaan tertentu (allocated stock), pesanan-
pesanan produksi dan pembelian yang dikeluarkan (released production and
purchase orders), dan firm planned orders. MPS harus mengetahui secara
akurat berapa banyak inventori yang tersedia dan menentukan berapa banyak
yang harus dipesan.
• Rencana Produksi memberikan sekumpulan batasan kepada MPS. MPS harus
menjumlahkannya untuk menentukan tingkat produksi, inventori, dan sumber-
sumber daya lain dalam rencana produksi itu.
• Data perencanaan berkaitan dengan aturan-aturan tentang lot-sizing yang
harus digunakan, shrinkage factor, stok pengaman (safety stock), dan waktu
tunggu (lead time) dari masing-masing item yang biasanya tersedia dalam file
induk dari item (item master file).
• Informasi dari RCCP berupa kebutuhan kapasitas untuk
mengimplementasikan MPS menjadi salah satu input bagi MPS.
41
Dari informasi di atas dapat disimpulkan pada gambar 2.2 :
Gambar 2.2 Proses Penjadwalan Produksi Induk
2.5 Material Requirement Planning (MRP)
Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p127), Teknik Perencanaan
Kebutuhan Material (Material Requirement Planning, MRP) digunakan untuk
perencanaan dan pengendalian item barang (komponen) yang tergantung
(dependent) pada item-item di tingkat (level) yang lebih tinggi. Kebutuhan pada
item-item yang bersifat tergantung merupakan hasil dari kebutuhan yang
disebabkan oleh penggunaan item-item tersebut dalam memproduksi item yang
42
lain, seperti dalam kasus dimana bahan baku dan komponen assembling yang
digunakan untuk memproduksi produk jadi.
Menurut Teguh Baroto (2002, p140) Sistem MRP adalah suatu prosedur logis
berupa aturan keputusan dan teknik transaksi berbasis komputer yang dirancang
untuk menerjemahkan jadwal induk produksi menjadi “kebutuhan bersih” untuk
semua item. Sistem MRP dikembangkan untuk membantu perusahaan manufaktur
mengatasi kebutuhan akan item-item dependent secara lebih baik dan efisien.
Disamping itu, sistem MRP dirancang untuk membuat pesanan-pesanan produksi
dan pembelian untuk mengatur aliran bahan baku dan persediaan dalam proses
sehingga sesuai dengan jadwal produksi untuk produk akhir. Sistem MRP juga
dikenal sebagai perencanaan kebutuhan berdasarkan tahapan waktu (time phase
requirements planning).
2.5.1 Tujuan Sistem MRP
Sistem MRP adalah suatu sistem yang bertujuan untuk menghasilkan
informasi yang tepat untuk melakukan tindakan yang tepat (pembatalan
pesanan, pesan ulang, dan penjadwalan ulang). Tindakan ini juga merupakan
dasar untuk membuat keputusan baru mengenai pembelian atau produksi yang
merupakan perbaikan atas keputusan yang telah dibuat sebelumnya.
Ada 4 tujuan yang menjadi ciri utama sistem MRP, yaitu sebagai berikut :
43
1. Menentukan kebutuhan pada saat yang tepat
Menentukan secara tepat kapan suatu pekerjaan harus selesai atau material
harus tersedia untuk memenuhi permintaan atas produk akhir yang sudah
direncanakan dalam jadwal induk produksi.
2. Menentukan kebutuhan minimal setiap item
Dengan diketahuinya kebutuhan akhir, sistem MRP dapat menentukan
secara tepat sistem penjadwalan (prioritas) untuk memenuhi semua
kebutuhan minimal setiap item.
3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan
Memberikan indikasi kapan pemesanan atau pembatalan pemesanan harus
dilakukan. Pemesanan perlu dilakukan lewat pembelian atau dibuat pada
pabrik sendiri.
4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang
sudah direncanakan.
Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pemesanan yang
dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka sistem MRP dapat
memberikan indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang (jika
mungkin) dengan menentukan prioritas pesanan yang realistik.
2.5.2 Manfaat MRP
Menurut Jay Hezer dan Barry Render (2005, p379), beberapa keuntungan
dari MRP adalah :
44
1. Peningkatan pelayanan dan kepuasan konsumen.
2. Peningkatan pemanfaatan fasilitas dan tenaga kerja.
3. Perencanaan dan penjadwalan persediaan yang lebih baik.
4. Tanggapan yang lebih cepat terhadap perubahan dan pergeseran pasar.
5. Tingkat persediaan menurun tanpa mengurangi pelayanan kepada
konsumen.
2.5.3 Kemampuan Sistem MRP
Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p129), ada empat kemampuan
yang menjadi ciri utama dari sistem MRP, yaitu :
1. Mampu menentukan kebutuhan pada saat yang tepat.
Maksudnya adalah menentukan secara tepat ”kapan” suatu pekerjaan
harus diselesaikan atau ”kapan” material harus tersedia untuk memenuhi
permintaan atas produk akhir yang sudah direncanakan pada Jadwal Induk
Produksi.
2. Membentuk kebutuhan minimal untuk setiap item
Dengan diketahuinya kebutuhan akan produk jadi, MRP dapat
menentukan secara tepat sistem penjadwalan (berdasarkan prioriras) untuk
memenuhi semua kebutuhan minimal setiap item komponen.
3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan
45
Maksudnya adalah memberikan indikasi kapan pemesanan atau
pembatalan terhadap pesanan harus dilakukan, baik pemesanan yang
diperoleh dari luar atau dibuat sendiri.
4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang
sudah direncanakan
Apabila kapasitas yang ada tidak mampu memenuhi pesanan yang
dijadwalkan pada waktu yang diinginkan, maka MRP dapat memberikan
indikasi untuk melakukan rencana penjadwalan ulang dengan menentukan
prioritas pesanan yang realistis. Jika penjadwalan masih tidak
memungkinkan untuk memenuhi pesanan, berarti perusahaan tidak
mampu memenuhi permintaan konsumen, sehingga perlu dilakukan
pembatalan atas pesanan konsumen tersebut.
2.5.4 Input Sistem MRP
Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p131), ada tiga input yang
dibutuhkan oleh sistem MRP, yaitu :
1. Jadwal Induk Produksi
Jadwal Induk Produksi (JIP) didasarkan pada peramalan atas permintaan
dari setiap produk akhir yang akan dibuat. Hasil peramalan (perencanaan
jangka panjang) dipakai untuk membuat rencana produksi (perencanaan
jangka sedang) yang pada akhirnya dipakai untuk membuat JIP
(perencanaan jangka pendek) yang berisi rencana secara mendetail
46
mengenai ”jumlah produksi” yang dibutuhkan untuk setiap produk akhir
beserta ”periode waktunya” untuk suatu jangka perencanaan dengan
memperhatikan kapasitas yang tersedia (pekerja, mesin dan bahan).
2. Catatan Keadaan Persediaan
Catatan Keadaan Persediaan menggambarkan status semua item yang ada
dalam persediaan. Setiap item persediaan harus diidentifikasikan secara
jelas jumlahnya karena transaksi-transaksi yang terjadi, seperti
penerimaan, pengeluaran, produk cacat, dan data-data tentang lead time,
teknik ukuran lot yang dipakai, persediaan pengaman dan sebagainya. Hal
ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam perencanaan.
3. Struktur Produk
Struktur Produk berisi informasi tentang hubungan antara komponen-
komponen dalam suatu proses asembling. Informasi ini dibutuhkan dalam
menentukan kebutuhan kotor dan kebutuhan bersih suatu komponen.
Selain itu, struktur produk juga berisi informasi tentang ”jumlah
kebutuhan komponen” pada setiap tahap asembling dan ”jumlah produk
akhir” yang harus dibuat.
Ketiga input tersebut membentuk arsip-arsip yang saling berhubungan
dengan bagian produksi dan pembelian sehingga dapat menghasilkan
informasi terbaru tentang pemesanan, penerimaan, dan pengeluaran
komponen dari gudang.
47
2.5.5 Output Sistem MRP
Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p132), Output dari perhitungan
MRP adalah penentuan jumlah masing-masing Bill Of Material (BOM) dari
item yang dibutuhkan bersamaan dengan tanggal dibutuhkannya. Informasi ini
digunakan untuk merencanakan pelepasan (order release) untuk pembelian
dan pembuatan sendiri komponen-komponen yang dibutuhkan. Dengan cara
ini, MRP menjadi suatu alat untuk perencanaan operasi bagi manajer
produksi. Berdasarkan uraian diatas, output yang dapat diperoleh dari sistem
MRP dapat kita rangkum sebagai berikut :
1. Memberikan catatan tentang jadwal pemesanan yang harus dilakukan atau
direncanakan, baik dari pabrik sendiri atau dari supplier.
2. Memberikan indikasi bila diperlukan penjadwalan ulang.
3. Memberikan indikasi untuk pembatalan atas pesanan.
4. Memberikan indikasi tentang keadaan dari persediaan.
Input dan output dari sistem MRP di atas dapat disatukan seperti yang
terlihat pada gambar 2.3 :
48
Gambar
2.3 Proses Kerja MRP
2.5.6 Langkah-Langkah Proses Pengolahan MRP
Menurut Arman Hakim Nasution (2003, p136), Sistem MRP memerlukan
syarat pendahuluan dan asumsi-asumsi yang harus dipenuhi. Bila syarat
pendahuluan dan asumsi-asumsi tersebut telah dipenuhi, maka kita bisa
mengolah MRP dengan empat langkah dasar sebagai berikut :
1. Netting (perhitungan kebutuhan bersih). Kebutuhan Bersih (NR) dihitung
sebagai nilai dari Kebutuhan Kotor (GR) minus Jadwal Penerimaan (SR)
minus Persediaan Ditangan (OH). Kebutuhan Bersih dianggap nol bila NR
lebih kecil dari atau sama dengan nol.
49
2. Lotting (Penentuan Ukuran Lot). Langkah ini bertujuan menentukan
besarnya pesanan individu yang optimal berdasarkan hasil dari
perhitungan kebutuhan bersih. Metode yang umum dipakai dalam
prakteknya adalah Lot-for Lot (L-4-L).
3. Offsetting (Penentuan Waktu Pemesanan). Langkah ini bertujuan agar
kebutuhan komponen dapat tersedia tepat pada saat dibutuhkan dengan
memperhitungkan lead time pengadaan komponen tersebut.
4. Explosion. Langkah ini merupakan proses perhitungan kebutuhan kotor
untuk tingkat item (komponen) pada level yang lebih rendah dari struktur
produk yang tersedia.
Berikut Contoh Tabel MRP seperti yang terlihat pada tabel 2.3 :
Tabel 2.3 Contoh Tabel MRP
Part No : BOM UOM : Lead Time : Safety stock :
Period Past Due 1 2 3 4 5 6 7 8 9Gross RequirementScheduled ReceiptsPAB 1Net RequirementPlanned Order ReceiptsPlanned Order ReleasePAB 2
Description :
Order Policy : Lot Size :
On Hand :
50
Keterangan untuk tabel MRP di atas adalah sebagai berikut :
1. Part No menyatakan kode komponen atau material yang akan dirakit.
2. BOM UOM menyatakan satuan komponen atau material yang akan dirakit.
3. Lead time menyatakan waktu yang dibutuhkan untuk me-release atau
memanufaktur suatu komponen.
4. Safety Stock menyatakan cadangan material yang harus ada di tangan sebagai
antisipasi kebutuhan di masa yang akan datang.
5. Description menyatakan deskripsi material secara umum.
6. On Hand menyatakan jumlah material yang ada di tangan sebagai sisa
periode sebelumnya.
7. Order Policy menyatakan jenis pendekatan yang digunakan untuk
menentukan ukuran lot yang dibutuhkan saat memesan barang.
8. Lot size menyatakan penentuan ukuran lot saat memesan barang.
9. Gross Requirement menyatakan jumlah yang akan di produksi atau dipakai
pada setiap periode. Untuk end item (finished product), kuantitas gross
requirement sama dengan Master Production Scheduled (MPS). Untuk
komponen, kuantitas gross requirement diturunkan dari Planned Order
Release induknya.
10. Scheduled Receipts menyatakan material yang dipesan dan akan diterima
pada periode tertentu.
11. Projected Available Balance 1 (PAB 1) menyatakan kuantitas material yang
ada di tangan sebagai persediaan pada awal periode. Projected Available
51
Balance 1 dapat dihitung dengan menambahkan material on hand periode
sebelumnya dengan Scheduled Receipts pada periode itu dan menguranginya
dengan Gross Requirement pada periode yang sama. Atau jika dimasukkan
pada rumus adalah sebagai berikut :
( ) ( ) ( )ttt ceiptsScheduledquirementGrossPABPAB ReRe21 1 +−= −
12. Net Requirement menyatakan jumlah bersih (netto) dari setiap komponen
yang harus disediakan untuk memenuhi induk komponennya atau untuk
memenuhi Master Production Scheduled. Net Requirement = 0 jika
01≥PAB dan ( ) 1Re PABquirementNet −= jika 01≤PAB .
13. Planned Order Receipts menyatakan kuantitas pemesanan yang dibutuhkan
pada suatu periode. Planned Order Receipts muncul pada saat yang sama
dengan Net Requirement, akan tetapi ukuran pemesanannya (lot sizing)
bergantung kepada order policy-nya. Selain itu juga harus
mempertimbangkan Safety Stock juga.
14. Planned Order Release menyatakan kapan suatu order sudah harus di-release
atau dimanufaktur sehingga komponen itu tersedia ketika dibutuhkan oleh
induk item-nya. Kapan suatu order harus di-release ditetapkan dengan
sebelum dibutuhkan.
15. Projected Available Balance 2 (PAB2) menyatakan kuantitas material yang
ada di tangan sebagai persediaan pada akhir periode. Projected Available
52
Balance 2 dapat dihitung dengan cara mengurangkan Planned Order
Receipts pada Net Requirements.
( ) ( ) ( )ttt quirementGrossceiptsScheduledPABPAB ReRe2 1 −+= −
( )tceipterPlannedOrd Re+
atau dapat disingkat :
( ) ( )tt ceipterPlannedOrdPABPAB Re12 +=
2.6 Teknik Pengukuran Lot
Menurut Teguh Baroto (2002, p157), macam-macam teknik pengukuran lot
adalah sebagai berikut :
1. Fixed Order Quantity (FOQ)
Dalam metode FOQ ukuran lot ditentukan secara subyektif. Berapa besarnya
dapat di tentukan berdasarkan pengalaman produksi atau intuisi. Tidak ada
teknik yang dapat dikemukakan untuk menentukan berapa ukuran lot ini.
Kapasitas produksi selama lead time produksi dalam hal ini dapat digunakan
sebagai dasar untuk menentukan besarnya lot. Sekali ukuran lot ditetapkan,
maka lot ini akan digunakan untuk seluruh periode selanjutnya dalam
perencanaan. Berapa pun kebutuhan bersihnya, rencana pesan akan tetap
sebesar lot yang telah ditentukan tersebut. Metode ini dapat ditempuh untuk
item-item yang biaya pemesanannya (ordering cost) sangat mahal. Salah satu
53
ciri dari metode FOQ ini adalah ukuran lot-nya tetap, tetapi periode
pemesannya yang selalu berubah.
2. Economic Order Quantity (EOQ)
Penetapan ukuran lot dengan teknik ini sangat populer sekali dalam sistem
persediaan tradisional. Dalam teknik ini besarnya ukuran lot adalah tetap.
Penentuan lot berdasar biaya pesan dan biaya simpan, dengan formula seperti
berikut :
HDSQ 2
=∗
Di mana : D = pemakaian selama periode perencanaan
S = biaya pemesanan
H = biaya penyimpanan per unit per periode perencanaan
Metode EOQ ini biasanya dipakai untuk horizon perencanaan selama satu
tahun sebesar 12 bulan. Metode EOQ baik digunakan bila semua data konstan
dan perbandingan biaya pesan dan simpan sangat besar.
3. Lot-For-Lot (L-4-L)
Teknik penetapan ukuran lot dilakukan atas dasar pesanan diskrit. Disamping
itu, teknik ini merupakan cara paling sederhana dari semua teknik ukuran lot
yang ada. Teknik ini selalu melakukan perhitungan kembali (bersifat dinamis)
terutama apabila terjadi perubahan pada kebutuhan bersih. Penggunaan teknik
ini bertujuan untuk meminimumkan ongkos simpan menjadi nol. Oleh karena
itu, sering sekali digunakan untuk item-item yang mempunyai biaya simpan
54
perunit sangat mahal. Apabila dilihat dari pola kebutuhan yang mempunyai
sifat diskontinu atau tidak teratur, maka teknik L-4-L ini memiliki
kemampuan yang baik. Disamping itu, teknik ini sering digunakan pada
sistem produksi manufaktur yang mempunyai sifat set-up permanen pada
proses produksinya.
4. Fixed Period Requirement (FPR)
Dalam metode FPR penentuan ukuran lot didasarkan pada periode waktu
tertentu saja. Besarnya jumlah kebutuhan tidak berdasarkan ramalan, tetapi
dengan cara menjumlahkan kebutuhan bersih pada periode yang akan datang.
Bila dalam metode FOQ besarnya jumlah ukuran lot adalah tetap sementara
selang waktu antar pemesanan tidak tetap. Dalam metode FPR ini selang
waktu antar pemesanan dibuat tetap dengan ukuran lot sesuai pada kebutuhan
bersih.
5. Algoritme Wagner-Whitin
Menurut Jay Hezer dan Barry Render (2005, p379), prosedur Wagner-Whitin
ini merupakan model pemrograman dinamis yang menambahkan beberapa
kompleksitas kepada perhitungan ukuran lot. Prosedur ini mengasumsikan
jangka waktu yang tidak pasti, di luar itu tidak ada kebutuhan bahan baku
neto. Meskipun demikian, prosedur ini memberikan hasil yang baik. Teknik
ini jarang digunakan dalam praktik, namun dengan meningkatnya pemahaman
dan keahlian, teknik ini akan lebih banyak diterapkan.