bab 2 landasan teori 2.1 konsep trend pada umumnya 2.1.1...
TRANSCRIPT
7
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Konsep Trend Pada Umumnya
2.1.1 Konsep Trend Mode
Menurut Theories of Fashion Costume and Fashion History dalam Fashion
Era (2007), selama berabad – abad setiap individu atau masyarakat telah
mengenakan pakaian maupun penghias tubuh lainnya sebagai salah satu sarana
komunikasi non – verbal yang menunjukkan profesi, jenis kelamin, status rumah
tangga, kelas sosial, maupun tingkat kekayaan.
Mode itu adalah suatu bentuk kebebasan untuk mengungkapkan pikiran, isi hati dan
juga merupakan bahasa isyarat dan simbol yang secara non – verbal
mengkomunikasikan tentang suatu individu maupun kelompok. Lalu, mode itu adalah
salah satu hal yang membedakan satu individu dengan individu lainnya, karena pakaian,
aksesoris dan penghias tubuh lainnya sangatlah mudah untuk diketahui oleh orang lain
dalam seketika. Pada mulanya, suatu trend mode harus mendapat respon positif dari
masyarakat, kemudian trend mode tersebut dapat mewabah dan ditiru semua orang
karena kompetisi yang secara tidak langsung telah dimunculkan oleh mode tersebut.
Kemudian, pada akhirnya suatu trend mode akan tergantikan oleh trend yang lebih baru
karena trend mode tersebut telah menjadi suatu hal yang terlalu biasa di kalangan
masyarakat dan sudah tidak dapat lagi memenuhi posisinya sebagai sesuatu yang unik.
8
2.1.2 Proses Perubahan Trend Mode
Sesuai dengan artinya, mode itu akan terus berubah. Mode merupakan hal yang
paling cepat berubah dibandingkan unsur kegiatan lainnya yang dilakukan manusia
seperti bahasa, budaya,dan sebagainya. Karena perubahan yang cepat itulah dapat
memicu unsur negatif bagi manusia, yakni salah satunya dengan mengeluarkan uang
secara berlebihan hanya untuk mengikuti trend yang terus berubah, padahal barang –
barang yang dibeli belum tentu sama sekali berguna. Oleh karena itu, perubahan trend
sangatlah memicu semakin tingginya budaya konsumtif di kalangan masyarakat.
Khususnya bagi generasi muda, mereka sangat senang mengikuti perkembangan trend
sebagai salah satu cara untuk mengalami hal baru dan menarik. Oleh karena itu generasi
mudalah yang seringkali menjadi korban dari trend mode yang sedang berlangsung,
dikarenakan kegemaran mereka dalam mencoba hal – hal baru dan tidak ingin tertinggal
oleh teman – teman sebayanya (Sprigman, 2006:18).
Mode berpakaian telah memberi kesempatan kepada setiap individu untuk
mengekspresikan karakter maupun solidaritas terhadap orang lain selama lebih dari
seribu tahun. Umumnya, orang – orang yang berada di posisi khusus yang dipuja atau
kerap kali dijadikan inspirasi oleh masyarakat sekitarnya seringkali memulai suatu trend
baru bilamana orang – orang tersebut memakai pakaian atau berpenampilan yang baru.
Maka dari itu, gaya berpenampilan tersebut akan segera diikuti oleh masyarakat yang
menjadikan mereka sebagai panutan.
Trend mode tentunya berbeda – beda untuk masing – masing lapisan masyarakat
terutama jika dilihat dari segi usia, jenis kelamin, status sosial, profesi, dan letak
geografis, serta seiring dengan berjalannya waktu. Tentu saja jika seseorang yang
berusia lanjut mengikuti trend remaja, maka ia akan terlihat aneh dan bahkan menjadi
9
bahan tertawaan bagi banyak orang. Akan tetapi, tentu saja bukan tidak mungkin jika di
dunia ini tidak diketemukan orang – orang semacam itu yang akhirnya dijuluki ‘korban
mode’.
2.2 Konsep Trend Ganguro
2.2.1 Definisi Ganguro
Secara harafiah ganguro memiliki arti muka hitam, dan memang gadis remaja
Jepang yang mengikuti trend ini sengaja menghitamkan kulitnya dengan berjemur di
matahari atau ke salon khusus tanning, dan bisa juga dengan mengenakan make-up
khusus. Para pengikut trend ini rata – rata adalah gadis remaja Jepang yang duduk di
bangku SMU dan kebanyakan dari mereka bukan merupakan pelajar yang teladan
karena para pengikut ganguro menganut gaya hidup yang bebas tanpa terikat apapun.
Meskipun kata ganguro berarti muka hitam, ada juga pengikut ganguro yang
menyatakan bahwa kata ganguro merupakan kependekan dari kata ganganguro yang
artinya amat sangat hitam. Pusat dari trend ganguro adalah daerah Shibuya dan
Ikebukuro di Tokyo (Klippensteen, 2000:5).
Menurut Klippensteen (2000:6) pengikut trend ganguro terbagi atas beberapa
golongan yakni sebagai berikut:
a. Ganguro, yakni mereka yang memperoleh tanning dari salon
b. Gonguro, yakni mereka yang memiliki kulit gelap dengan make-up.
c. Gal Onesan atau kakak gal yang merupakan pengikut ganguro berusia awal 20
tahunan.
d. Otona Gal atau gal dewasa yang penampilan ganguro-nya terlihat lebih matang.
e. Gal Mama, yakni remaja pengikut ganguro yang sudah mempunyai anak.
10
f. Yamanba, yakni ganguro yang berpenampilan sangat ekstrim lebih – lebih
daripada pengikut ganguro pada umumnya, namun saat ini yamanba yang
terinspirasi dari cerita legenda seorang penyihir yang tinggal di gunung sudah
jarang ditemui. Saat ini penampilan yamanba hanya sering dikenakan untuk
pertunjukkan banci.
Gambar 2.1 Yamanba
Sumber: http://j-walkblog.com (2005).
Definisi yamanba menurut Copeland (2005:21):
Yamanba artinya adalah seorang penyihir yang bermukim di gunung dalam cerita legenda rakyat Jepang. Yamamba memiliki kekuatan gaib yang luar biasa serta seringkali memangsa manusia untuk disantapnya hidup – hidup dan mayoritas dari korbannya adalah laki – laki.
2.2.2 Konsep Gadis Ganguro
Pada awal kemunculan trend ganguro, para gadis remaja Jepang sedikit
menggelapkan kulitnya dan memakai make-up dengan warna – warna terang serta
mengenakan sepatu bersol tebal, namun lama kelamaan penampilan gadis ganguro
semakin berlebihan, yakni sejak musim panas tahun 1998 hingga 1999 warna kulit
mereka semakin gelap dan dandanan yang mereka kenakan semakin menor sehingga
11
bukan lagi tampak modis di mata orang awam melainkan tampak menggelikan seperti
seorang banci.
Gambar 2.2 Ganguro
Sumber: http://www.ruxp.net (2000).
Rata – rata ciri khas penampilan gadis ganguro adalah kulit digelapkan dan kalau
perlu sampai benar – benar berwarna coklat, tingkat ketebalan make-up mereka dapat
mencapai tingkat nega – make atau make-up bak warna negatif film dan juga disebut
panda – make, saking gelapnya kulit mereka. Untuk memperoleh kulit gelap, mereka
mengunjungi salon khusus tanning atau mengenakan tanning lotion yang dapat bertahan
sampai tiga hari. Bagi mereka yang tidak sanggup membiayai fasilitas tanning, mereka
bahkan sampai memaksakan diri untuk menghitamkan kulitnya dengan spidol coklat
(Kinsella, 2005:143).
Selain kulit hitam, ciri khas penampilan mereka adalah rambut yang diwarnai coklat,
pirang bahkan oranye dan perak, serta dandanan yang sangat menor yakni dengan
mengenakan pemulas mata warna putih di sekeliling mata ditambah dengan warna
pemulas mata warna warni, lalu lipstick putih pun tak luput sebagai pelengkap dandanan
12
para gadis ganguro supaya kontras dengan warna kulit mereka. Pelengkap dandanan
yang seringkali mereka kenakan yakni bulu mata palsu berwarna – warni, eyeliner tebal,
dan terkadang memasang glitter maupun stiker di bawah mata mereka. Para gadis
ganguro pada umumnya juga tidak bisa hidup tanpa lensa kotak warna – warni yang
semakin menyemarakkan dandanan mereka.
Gaya berpakaian gadis ganguro tentunya tidak kalah provokatif dengan
dandanannya, dan mereka senang memakai warna – warna yang mencolok dan
cenderung memiliki corak yang bertabrakan. Ciri khas ganguro adalah sepatu bersol
sangat tebal hingga ada yang ketebalannya mencapai dua belas inci dan juga memakai
aksesoris seperti gelang, anting dan kalung yang beraneka ragam dan menumpuk.
Mereka juga sangat menyenangi hiasan bunga sepatu dan di kepala mereka dan juga
motif bunga sepatu pada pakaian sehingga tampak seperti gadis – gadis musim panas di
California. Pakaian yang dikenakannya juga selalu ketat dan minim, seperti rok yang
sangat mini dan hotpants. Mereka juga memiliki istilah – istilah sendiri untuk
mengekspresikan sesuatu dan kebanyakan dari istilah tersebut tidak memiliki arti dan
hanya dipakai di kalangan ganguro, misalnya あがったとめってっご , おっはー
(kependekan dari kata おはよー yang artinya ‘selamat pagi’), ごっつんこっ (ekspresi
penekanan ketika menabrak atau membentur sesuatu), うんばボー, うんこさみいよ
(Suzuki, 2000:166).
13
Gambar 2.3 Para Para
Sumber: Japanese Schoolgirl Inferno (2007).
Salah satu hal yang tidak mungkin luput dari daftar kegemaran para gadis ganguro
adalah menari para para. Pada dasarnya arti kata para para adalah berserakan yang
hubungannya dengan tarian tersebut adalah serangkaian gerakan tangan yang mengikuti
irama musik electro. Sedangkan kakinya hanya digerakkan ke samping, depan dan
belakang sembari mengiringi irama musik. Gerakan tangan tersebut sangatlah bervariasi
dan terkadang cukup rumit, sehingga bagi para gadis ganguro tidak ada hal yang lebih
memalukan daripada gerakan tangan yang salah atau tidak sesuai irama musik
(Klippensteen, 2000:40). Oleh karena itu tidak sedikit gadis ganguro yang
menghabiskan kurang lebih 3800 yen untuk membeli seperangkat video para para agar
sewaktu mereka menari di klub malam, mereka akan merasa lebih percaya diri.
Sedangkan gadis ganguro yang tidak mengikuti maupun menekuni trend para para,
pada umumnya akan merasa rendah diri dan cenderung direndahkan oleh teman – teman
ganguro – nya.
Berfoto juga merupakan salah satu aktivitas sehari – hari yang sangat digemari oleh
para gadis ganguro dan juga remaja putri Jepang pada umumnya, karena teknologi
14
dalam mengambil foto semakin lama semakin maju seiring dengan munculnya kamera
digital, handphone berkamera, kamera polaroid dan juga kamera sekali pakai. Satu hal
dalam berfoto yang sangat mendarah daging di kalangan remaja putri Jepang, khususnya
para kogyaru dan ganguro yakni budaya purikura yang artinya foto berupa stiker yang
dapat dibuat di mesin purikura dan awalnya mesin tersebut dinamakan Print Club.
Hampir di setiap pusat perbelanjaan, stasiun, dan game center pun terdapat mesin
purikura dan banyak remaja putri yang berbondong – bondong berfoto di sana. Remaja
putri sangat menyukai purikura karena setelah berfoto, mereka dapat menambahkan
berbagai macam gambar dan hiasan serta tulisan sesuka hati sehingga foto mereka
tampak lebih lucu dan menarik. Kemudian, mereka akan mengumpulkan foto – foto
purikura dan memasukkannya ke dalam album khusus. Tak lama setelah demam
purikura melanda, banyak di antara mereka yang memiliki pasangan juga sering berfoto
berdua dan foto bersama pasangan tersebut dijuluki rabupuri atau love print club.
Selain berfoto dan menari di klub malam, satu hal yang tidak hanya gadis ganguro
yang menggemari namun hampir seluruh kaum wanita di dunia ini menggemarinya yaitu
berbelanja, dan satu tempat di mana para gadis ganguro atau kogyaru selalu menemukan
barang yang dibutuhkannya yaitu di Shibuya 109 yang tentunya terletak di Shibuya,
daerah berkumpulnya gadis ganguro.
Pendapat Klippensteen (2000:132) mengenai kebiasaan belanja gadis ganguro:
Shibuya 109 merupakan suatu gedung pusat perbelanjaan yang sangat digemari oleh para remaja putri Jepang karena di dalamnya banyak terdapat merek – merek pakaian yang sesuai dengan selera mereka. Bagi pengikut trend ganguro, merek Egoist, Alba Rosa, Cecil Mcbee, Pinky Girls, Sneep Deep, maupun Love Pets merupakan beberapa di antara sekian banyak merek – merek kenamaan yang sangat diminati oleh para gadis ganguro karena menjual berbagai macam pakaian, sepatu dan aksesoris mencolok yang mendukung penampilan gadis ganguro.
15
2.3 Konsep Psikologis Remaja Putri Terhadap Trend
2.3.2 Tanggapan Remaja Putri Terhadap Trend Menurut Teori Psikologis
Penampilan merupakan hal yang sangat penting di kalangan remaja putri dan semua
pertanyaan tentang bagaimana caranya berpenampilan maksimal, telah muncul sejak
duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan terkadang mereka memiliki
pandangan bahwa penampilan luar seseorang mendominasi kualitas keseluruhan orang
tersebut. Penampilan seorang remaja putri juga dianggap lebih penting jika mereka
berada di dalam lingkungan sosial maupun sekolah dibandingkan jika mereka berada di
dalam suasana liburan dan istilah liburan tersebut memiliki maksud secara psikologis
(Daters,1990).
Kaum remaja putri juga memiliki kecenderungan untuk tidak bergantung pada orang
tuanya dan merasa bahwa mereka telah menjadi manusia yang lebih mandiri, oleh
karena itu mereka sendirilah yang memilih pakaian apa yang akan mereka kenakan dan
pakaian apa saja yang akhirnya akan bermukin di dalam lemari baju mereka. Mereka
tidak perlu lagi meminta bantuan orang tua dalam memilihkan pakaian, namun
terkadang mereka masih bergantung pada orang tua dalam hal keuangan untuk membeli
pakaian tersebut. Kaum remaja putri khususnya, juga beranggapan bahwa pakaian yang
modis atau mengikuti trend dapat membantu mereka menghadapi lingkungan sosial dan
segala perubahannya (Holdorf, 2005).
Pendapat Holdorf (2005) mengenai pengikut trend mode:
Biasanya kaum wanita berusia kurang dari 25 tahun cenderung untuk lebih mengikuti trend mode terkini. Oleh karena itu,kebanyakan dari merek – merek busana memproduksi koleksi pakaian yang dititikberatkan bagi kaum wanita berusia di bawah 25 tahun.
16
2.3.3 Latar Belakang Psikologis Remaja Putri Mengikuti Trend
Menurut artikel Clothes Power dalam Psychology Today (1997) pakaian itu adalah
sesuatu yang membuat kita merasa aman, nyaman, dan penting. Kemudian, bukan hanya
itu tetapi juga dapat membantu kita untuk lebih terlihat unik dan tak terlupakan. Kaum
remaja putri yang tumbuh menjadi lebih dewasa, mereka mencoba untuk memperoleh
identitas diri mereka masing – masing dan pengaruh orang tua pun semakin berkurang
terhadap kehidupan mereka, dan teman – teman sebaya serta media massa akan memiliki
pengaruh yang lebih besar terhadap mereka.
Menurut Holdorf (2005:3) pakaian merupakan suatu elemen yang mengandung
makna sosial dan dapat menjadi salah satu cara menunjukkan bahwa seorang remaja
memiliki kekompakan dengan teman – temannya. Seiring dengan masuknya seseorang
ke dalam usia remaja, maka dia akan merasa ingin memberontak dan melawan orang
tuanya untuk membuktikan bahwa dia bukan anak kecil lagi. Dan pakaian yang
dikenakan merupakan salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Pendapat Daters (1990) mengenai pentingnya trend mode bagi kaum remaja:
Suatu pakaian atau trend mode juga dapat menjadi sarana bagi seorang remaja untuk dapat lebih diterima oleh teman – teman sebayanya dan seseorang yang pakaiannya tidak sesuai dengan trend atau tidak sejalan dengan pakaian yang sedang trend dikenakan oleh teman – temannya, maka tidak akan dianggap mampu untuk bersosialisasi. Seorang remaja juga memiliki suatu kebutuhan untuk memiliki suatu kelompok teman dekat tersendiri dan mengenakan pakaian yang sesuai sebagai salah satu bentuk mengekspresikan dirinya.
Manusia semasa tenggang usia remaja, khususnya remaja putri memiliki
kecenderungan untuk berusaha mencari tahu siapakah diri mereka yang sesungguhnya,
lalu di waktu yang sama mereka itu sangatlah kritis dan memiliki kepastian mengenai
siapa saja yang akan mereka pilih untuk dijadikan teman. Oleh karena itu, sangatlah
17
penting bagi mereka untuk berpenampilan sedemikian rupa agar dapat berteman dengan
orang – orang tertentu yang mereka senangi. Suatu jenis pakaian atau trend mode
seringkali dianggap sebagai salah satu sarana komunikasi diri sendiri dan juga salah satu
ekspresi diri dan pembuktian diri terhadap orang lain (Holdorf, 2005:12).
Menurut Teen Market Profile dalam Magazine Publishers of America (2003) kaum
remaja itu lebih cenderung untuk mengikuti trend mode yang sedang berlangsung karena
sebab – sebab berikut ini:
a. Kaum remaja itu merupakan kaum yang realistik dan optimis dengan rasa
individual yang tinggi, namun tidak senang didominasi oleh generasi
sebelumnya.
b. Suka memegang kendali atas hidupnya dan sangat menggemari hal – hal yang
dianggap menarik bagi mereka.
c. Selalu berharap bahwa mereka dapat menjadi pusat perhatian.
Kemudian, semenjak semakin maraknya budaya Barat yang masuk ke Jepang, para
remaja putri di Jepang juga semakin menjauh dari penampilan yang konservatif dan
tradisional karena budaya Barat menunjukkan keterbukaan dan kebebasan dalam
menunjukkan jati diri masing – masing individu, oleh karena itu remaja putri Jepang
yang tentunya sedang mengalami pencarian jati diri akan dengan mudah terpengaruh
oleh apa saja yang bagi mereka menarik atau populer (Macias, 2007:15).
2.3.4 Dampak Psikologis Munculnya Trend Terhadap Remaja Putri
Timbul tenggelamnya suatu trend tentunya membawa dampak – dampak psikologis
terhadap kaum remaja, khususnya remaja putri yang memiliki kecenderungan untuk
mengikuti trend mode. Kebanyakan dari dampak – dampak tersebut cenderung bersifat
negatif dan dapat merusak mental kaum remaja yang sedang dalam masa pertumbuhan
18
baik fisik maupun pertumbuhan psikologis. Menurut Shields (2001) salah satu dampak
buruk yang dapat menimpa kaum remaja putri jika mereka terlalu terpaku pada
perputaran trend adalah mereka akan menjadi manusia yang konsumtif dan materialistis,
karena banyak trend masa kini yang mengacu pada hal – hal yang berbau kepopuleran
dan berharga mahal.
Oleh karena itu, kaum remaja menjadi lebih fanatik akan semua trend yang populer,
apalagi yang harganya cenderung di atas rata – rata. Hal demikianlah yang menjadikan
mereka manusia yang materialistis. Mereka menganggap bahwa memiliki barang yang
sedang populer atau mengikuti trend mode terkini dapat meningkatkan kualitas hidup
dan lebih membahagiakan mereka. Banyak kaum remaja putri yang berpandangan
bahwa benda – benda atau pakaian terkini merupakan sarana untuk dapat mengakrabkan
diri dengan teman – temannya yang populer di sekolah dan agar mereka dapat diterima
oleh teman – teman sebayanya (Shields, 2001).
Perilaku materialistis dapat menjadi suatu masalah besar di kalangan remaja masa
kini, namun itu semua tergantung bagaimana seseorang memandang perilaku demikian.
Banyak juga kaum remaja yang tidak peduli meskipun mereka tidak memiliki pakaian
atau benda – benda mahal, namun mereka lebih mementingkan apakah benda atau
pakaian tersebut sesuai dengan trend yang sedang berlangsung.
Menurut Kessel (2001), seseorang yang memiliki benda atau pakaian mahal hanya
karena mereka memang menyenanginya dan tidak mempergunakannya demi mencapai
kebahagian hidup, maka perilaku tersebut masih dapat diterima, namun apabila mereka
sengaja membeli benda atau pakaian tertentu hanya karena ingin dianggap terpandang
atau diterima oleh kaum sebayanya, maka perilaku tersebut tidak dapat diterima. Salah
satu aspek yang menimbulkan sifat materialistis adalah bahwa kaum remaja masa kini
19
tumbuh di dalam lingkungan yang serba mengidolakan hal – hal berbau materi, dan juga
keinginan untuk diterima di kalangan teman – teman sebayanya.
Jika seorang remaja putri selalu mengenakan pakaian yang sedang trend, maka
remaja putri tersebut cenderung akan memiliki lebih banyak teman dan lebih populer di
kalangan teman sebayanya. Perempuan yang sedang memasuki usia remaja juga
seringkali merasa bahwa dengan memiliki materi tertentu maka mereka akan
memperoleh kepuasan tersendiri dan juga meningkatkan rasa percaya diri dan
penghargaan terhadap diri sendiri, akan tetapi kaum remaja yang tidak mengikuti trend
atau tidak memiliki cukup uang untuk membeli benda – benda yang mahal, umumnya
akan merasa terkucilkan (Melo, 2001).
Menurut Bernstein (2001), kaum remaja putri yang terlalu mengandalkan hidup pada
trend juga akan berakibat buruk pada perkembangan mental mereka, yakni akan
mengakibatkan keinginan yang berlebihan untuk selalu meniru orang lain dan
ketidakmampuan untuk menunjukkan selera maupun jalan pikiran diri sendiri. Bahkan
dengan terlalu mengikuti suatu trend, maka seseorang akan cenderung untuk tidak
mempedulikan kepentingan diri sendiri dan akan menimbulkan perilaku yang
menentang.
Menurut Bernstein (2001), trend itu selalu ada selama kaum remaja ada di dunia ini,
dan karena usia remaja merupakan usia dimana seseorang selalu ingin memberontak dan
tidak pernah puas dengan keadaan dirinya maka kaum remaja selalu mencari kepuasan
batin dengan cara membantah orang tuanya dan menikmati reaksi kemarahan orang
tuanya. Apalagi jika sikap memberontak itu diketahui oleh teman – teman kelompoknya,
maka remaja tersebut akan merasa lebih bangga. Akan tetapi, setiap trend itu tidak akan
bertahan selamanya dan tentu saja tidak semua kaum remaja mau terperangkap dalam
20
pengaruh trend. Pada kenyataannya, semakin mereka memiliki sikap mandiri dan
percaya diri, maka mereka akan semakin sulit untuk dipengaruhi oleh pergerakan trend.
2.4 Teori Kelompok
2.4.1 Konsep Groupisme
Groupisme merupakan suatu hal yang sering ditemukan pada remaja Jepang dan
remaja Jepang seringkali memang terlihat berkelompok dan jarang terlihat sendirian.
Individualisme yang sering nampak pada remaja di Amerika jarang terlihat di kalangan
remaja Jepang (Ortiz, 1997:2).
Kemudian menurut Tobin, Wu dan Davidson (1989) groupisme itu mendukung masa
transisi seorang anak mulai dari kehidupannya di lingkungan keluarga sampai kepada
lingkungan yang lebih rumit seperti sekolah dan masyarakat dengan cara menawarkan
suatu interaksi emosional antar murid dan juga interaksi murid terhadap gurunya, serta
untuk meresmikan suatu hubungan orientasi berkelompok, bukan orientasi invididual.
Dalam masyarakat Jepang kontemporer, kaum muda Jepang mempelajarai hubungan
keluarga di rumah dan hubungan berkelompok di sekolah, lalu peran sekolah adalah
untuk mengubah seorang anak yang tadinya belum mandiri dan juga egois menjadi
kaum muda yang lebih suka berkelompok dan siap untuk berfungsi di dalam kehidupan
berkelompok dan masyarakat (Tobin,1989:70).
Bagi remaja Jepang, kelompoknya tersebut seringkali dijadikan wadah untuk
mencurahkan seluruh isi hati dan tempat untuk memperoleh identitas. Oleh karena itu
remaja Jepang mendambakan teman kelompok yang periang, humoris, setia, ramah,
pintar, adil, dan bertanggung jawab (Kumagai, 1996:78). Kaum remaja Jepang selalu
menemukan kepuasan batin bila sedang bersama dengan teman – temannya, oleh karena
21
itu remaja Jepang rata – rata memiliki kelompok sahabat dekat yang cukup besar
sehingga kehidupan sehari – harinya jadi lebih menyenangkan. Seorang remaja tentunya
sangat takut bila dikucilkan oleh teman – teman kelompoknya, oleh karena itu dia
menjadi sangat intim dan terikat dengan teman – teman kelompoknya.
Menurut Mighwar (2006:42) mengenai kelompok remaja adalah sebagai berikut:
Sahabat karib merupakan kelompok masa remaja yang memiliki ikatan persahabatan yang sangat kuat dan biasanya beranggotakan 2 – 3 remaja dengan jenis kelamin dan minat yang sama. Sedangkan komplotan sahabat biasanya terdiri dari 4 – 5 remaja yang timbul dari penyatuan dua pasang sahabat karib saat tahun – tahun pertama masa remaja awal. Komplotan sahabat ini seringkali melakukan berbagai aktivitas bersama – sama yang cenderung menghabiskan waktu, sehingga sering terjadi konflik dengan orang tua masing – masing. Kemudian, kelompok banyak remaja merupakan sekumpulan banyak remaja dari berbagai jenis kelamin, kemampuan dan minat. Karena besarnya kelompok ini, jarak emosi antar anggota agak renggang, namun mereka tetap memiliki kesamaan yaitu rasa takut diabaikan oleh anggota kelompoknya. Kelompok yang lebih besar lagi yaitu kelompok yang terorganisasi dan geng. Kelompok yang terorganisasi, terdiri dari para remaja, baik yang telah memiliki sahabat dalam kelompok terdahulu maupun belum mempunyai kelompok. Kelompok ini sengaja dibentuk oleh orang dewasa melalui lembaga – lembaga khusus, seperti sekolah dan lembaga keagamaan karena kesadaran orang dewasa akan perlunya para remaja untuk membentuk penyesuaian pribadi dan sosial, penerimaan dan berperan serta dalam suatu kelompok. Sedangkan geng, biasanya terdiri dari remaja dengan berbagai jenis kelamin atau berjenis kelamin sama. Kelompok ini terbentuk dengan sendirinya dan seringkali merupakan akibat pelarian dari empat jenis kelompok sebelumnya. Remaja yang tergabung dalam kelompok ini biasanya adalah remaja yang telah diusir dari kelompok terdahulunya dan bertemu dengan remaja lain yang memiliki nasib serupa, kemudian membentuk suatu kelompok baru yang seringkali berperilaku negatif, seperti mengganggu kelompok lain untuk balas dendam.
2.4.2 Pengaruh Kelompok Terhadap Kehidupan Remaja
Pada dasarnya, sikap remaja yang terlihat menonjol pada awalnya adalah sikap
sosialnya, terutama terhadap teman – teman sebayanya yang memiliki minat dan
perilaku yang serupa sehingga mereka membentuk suatu kelompok sahabat. Bagi
remaja, sikap setia kawan terhadap sesama teman di kelompoknya merupakan suatu hal
22
yang sangat penting dan tidak boleh dilanggar kecuali jika terpaksa. Seorang remaja
selalu berusaha bersikap sesuai dengan norma – norma kelompoknya (Mighwar,
2006:111). Sikap setia kawan itu selalu berusaha dipertahankan meskipun seorang
remaja dapat menghadapi konflik dengan orang tua maupun dengan guru.
Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama tempat remaja
belajar untuk hidup bersama orang lain yang bukan keluarganya. Lingkungan teman
sebaya merupakan suatu kelompok yang memiliki ciri, norma maupun kebiasaan yang
berbeda jauh dengan apa yang biasa dilakukan di dalam lingkungan keluarganya. Di
tengah teman sebaya, remaja dituntut untuk memiliki kemampuan pertama dan baru
dalam menyesuaikan diri dan bisa menjadi landasan untuk menjalin interaksi sosial yang
lebih luas pada masa selanjutnya.
Luasnya pergaulan antar teman sebaya menjadi suatu wadah penyesuaian diri dan
kemudian berkembang menjadi kelompok yang lebih besar yang biasanya memiliki
seorang pemimpin dan unsur kepemimpinan merupakan proses pembentukan,
pemilihan, dan penyesuaian pribadi dan sosial. Pengaruh teman – teman sebaya terhadap
sikap, perilaku, penampilan, gaya bicara dan kebiasaan seorang remaja lebih besar
daripada pengaruh keluarganya. Karena remaja lebih banyak menghabiskan waktu
bersama teman – teman kelompoknya dibandingkan keluarganya, oleh karena itu agar
tidak dijauhi teman – temannya maka mau tidak mau seorang remaja akan mengikuti
gaya penampilan, tingkah laku maupun minat teman – teman kelompoknya.
Dalam kelompok teman sebaya, seorang remaja merumuskan dan memperbaiki
konsep dirinya , karena dia dinilai oleh orang yang sejajar dengan dirinya dan yang tidak
dapat memaksakan sanksi – sanksi dunia dewasa yang justru ingin dihindarinya. Dengan
demikian, dalam masyarakat sebaya, remaja memperoleh dukungan untuk
23
memperjuangkan emansipasi dan menemukan dunia yang memungkinkannya bertindak
sebagai pemimpin bila mampu melakukannya. Di kalangan teman – teman
sekelompoknya, terbentuklah jalinan norma, nilai dan simbol tersendiri yang kuat yang
berbeda dengan apa yang dihadapinya di rumah mereka. Tak jarang suatu kelompok
sahabat menyepakati serangkaian peraturan, dan norma – norma kelompoknya serta
menciptakan kode bahasa rahasia yang tidak dimengerti oleh siapapun selain anggota
kelompok tersebut. Karena pengaruh suatu kelompok terhadap segala tindak tanduk
seorang remaja sangatlah besar, oleh karena itu beruntunglah jika dia masuk ke dalam
kelompok yang positif dan berbudi pekerti baik, dan tentunya akan membuat orang tua
lebih tenang.
Menurut Mighwar (2006:108) mengenai pandangan kaum remaja terhadap tinggi
rendahnya status mereka yakni sebagai berikut:
Tinggi rendahnya status seseorang, yang menjadi ukuran prestisenya, biasanya digambarkan dengan hal – hal yang bersifat simbolik dan bagi remaja, hal – hal yang bersifat simbolik itu menunjukkan status sosial ekonomi yang lebih tinggi daripada teman – teman lain dalam kelompok, dan bahwa dia bergabung dengan kelompok dan merupakan anggota yang diterima kelompok karena penampilan atau perbuatan yang sama dengan anggota kelompok lainnya. Remaja merasa dirinya harus lebih banyak menyesuaikan diri dengan norma – norma kelompok sebaya ketimbang norma – norma orang dewasa atau lembaga, karena mereka ingin dianggap dewasa, bukan anak – anak lagi.
2.5 Konsep Remaja Jepang Masa Kini
2.5.1 Psikologi Perilaku Remaja Pada Umumnya
Menurut Setiono (2002) masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan
manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas.
Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi resmi
24
sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja sebab usia pubertas yang
dahulu terjadi pada akhir usia belasan (15-18) kini terjadi pada awal belasan bahkan
sebelum usia 11 tahun namun tidak berarti ia sudah bisa dikatakan sebagai remaja dan
sudah siap menghadapi dunia orang dewasa. Dalam perkembangannya seringkali
mereka menjadi bingung karena kadang-kadang diperlakukan sebagai anak-anak tetapi
di lain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai
berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi
pembentukan nilai diri mereka. Turiel (1978) menyatakan bahwa para remaja mulai
membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah-masalah populer yang
berkenaan dengan lingkungan mereka. Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran
yang kaku, sederhana, dan absolut yang diberikan pada mereka selama ini tanpa
bantahan. Secara kritis, remaja akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan
membandingkannya dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan
kepadanya. Baginya dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama
jika ia terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral pada remaja berkembang karena mereka
mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka percayai
dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu
mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang
baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja
terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini diterima bulat-bulat. Konflik nilai
dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak
25
menemukan jalan keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-
nilai yang ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat
besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang logis,
apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai tersebut.
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana
hati) bisa berubah dengan sangat cepat. Pernyataan Csikszentmihalyi dan Larson (1984)
mengenai perubahan mood (suasana hati) remaja adalah:
Remaja rata-rata memerlukan hanya 45 menit untuk berubah dari mood “senang luar biasa” ke “sedih luar biasa”, sementara orang dewasa memerlukan beberapa jam untuk hal yang sama. Perubahan mood swing yang drastis pada para remaja ini seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu merupakan gejala atau masalah psikologis.
Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan
yang dramatis dalam kesadaran diri mereka . Mereka sangat rentan terhadap pendapat
orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu
mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka
sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra
yang ditampilkan. Remaja cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan
bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Pada
saat itu, Remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri
dan tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya. Anggapan remaja
bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak
berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk
menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
26
Para remaja juga sering menganggap diri mereka serba mampu, sehingga seringkali
mereka terlihat “tidak memikirkan akibat” dari perbuatan mereka. Remaja yang diberi
kesempatan untuk mempertangung-jawabkan perbuatan mereka, akan tumbuh menjadi
orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung-
jawab. Rasa percaya diri dan rasa tanggung-jawab inilah yang sangat dibutuhkan
sebagai dasar pembentukan jati-diri positif pada remaja. Bimbingan orang yang lebih
tua sangat dibutuhkan oleh remaja sebagai acuan bagaimana menghadapi masalah itu
sebagai “seseorang yang baru”. Remaja akan membayangkan apa yang akan dilakukan
oleh para “idola”nya untuk menyelesaikan masalah seperti itu. Pemilihan idola ini juga
akan menjadi sangat penting bagi remaja.
Pendapat Setiono (2002) mengenai pembentukan jati diri pada kaum remaja adalah
sebagai berikut:
Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan itu sah dan normal adanya karena pada masa ini kesadaran diri mereka sudah mulai berkembang dan mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa mereka bisa berbeda dengan orangtuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada banyak pilihan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin selalu mencoba – baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. Tujuannya hanyalah ingin menemukan jati-diri atau identitasnya sendiri. Banyak orangtua khawatir jika “percobaan peran” ini menjadi berbahaya. Dalam proses “percobaan peran” biasanya orangtua tidak dilibatkan, kebanyakan karena remaja takut jika orangtua mereka tidak menyetujui, tidak menyenangi, atau malah menjadi sangat kuatir. Sebaliknya, orangtua menjadi kehilangan pegangan karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki kontrol terhadap anak remaja mereka. Pada saat inilah, kehilangan komunikasi antara remaja dan orangtuanya mulai terlihat. Orangtua dan remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda sehingga salah paham sangat mungkin terjadi.
27
2.5.2 Konsep Psikologis dan Budaya Masyarakat Jepang Masa Kini
Semenjak mulainya Restorasi Meiji, dimulailah perdagangan bebas di Jepang, dan
kehidupan yang lebih moderen pun mulai bermunculan sehingga budaya Jepang menjadi
lebih berkembang dan semakin unik. Budaya Barat lambat laun merasuki budaya Jepang
dan hal itu mungkin saja dikarenakan rasa ingin tahu dan ketertarikan orang Barat yang
sangat tinggi terhadap budaya Jepang (Matsumoto, 2002:3).
Pendapat Hearn (1894) mengenai masyarakat Jepang yakni:
Masyarakat Jepang itu sederhana, tertutup, dan pada saat mereka menghadapi bahaya, ancaman, kesedihan, maupun masalah lain yang mengecewakan, tetap saja mampu mempertahankan harga diri mereka dan tersenyum.
Menurut Nitobe (1969), unsur bushido juga amat sangat berpengaruh dalam
pembentukan karakter masyarakat Jepang yang dimana bushido ini memiliki beberapa
aspek yaitu keadilan, keberanian, kebajikan, kesopanan, kejujuran, ketulusan, harga diri,
kesetiaan, dan juga pengendalian diri.
Benedict (1946) juga berpendapat bahwa masyarakat Jepang merupakan masyarakat
yang sarat akan “budaya malu”, karena kebanyakan dari mereka sering termotivasi oleh
rasa takut dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya. Kecenderungan sikap ini mengacu
pada nampak jelasnya bahwa masyarakat Jepang hidup dengan rutinitas yang
berorientasi pada kehidupan berkelompok.
Pendapat Nakane (1970) mengenai kehidupan berkelompok masyarakat Jepang:
Kekuatan dan pengaruh kelompok tidak hanya mempengaruhi maupun merasuki perilaku suatu individu; hal itu bahkan mengubah kreativitas dan juga cara berpikirnya. Ada yang merasa bahwa hal ini berbahaya dan pelanggaran terhadap harga diri. Sebaliknya, ada juga yang merasa lebih aman dalam kehidupan berkelompok.
28
2.5.2 Tabiat Remaja Jepang yang Kekanak – kanakan
Kumagai (1996:73) menyatakan bahwa pada umumnya generasi Jepang yang lahir
sesudah tahun 1960 – an memiliki karakteristik dan tabiat yang kurang lebih mirip,
karena sesudah tahun tersebut penduduk Jepang sudah tidak lagi merasakan bencana
kemiskinan maupun kelaparan dikarenakan perekonomiannya yang sudah jauh lebih
baik, maka banyak generasi muda Jepang yang memiliki sifat emosional, banyak tingkah
dan kurang menanggapi segala sesuatu secara serius serta kurang mempedulikan hal –
hal yang tidak menarik atau menyenangkan bagi mereka.
Kaum remaja Jepang juga merupakan kaum yang amat sangat tergantung pada
kehidupan berkelompok dan sangat mudah terpengaruh oleh teman – temannya, oleh
karena itu seringkali mereka terjerat oleh hal – hal yang kurang terpuji karena mereka
sudah terlanjur masuk dalam kelompok yang kurang baik. Kaum remaja di Jepang juga
tidak berbeda jauh dengan kaum remaja di negara lainnya dalam hal sifat kekanak –
kanakan, kurang berkomitmen atau termotivasi dalam melakukan hal – hal tertentu,
terutama dalam hal pelajaran.
Seperti kaum remaja pada umumnya, tentunya remaja Jepang juga terkadang
merasakan ketidak inginan untuk beranjak dewasa. Hal itu seringkali disebabkan oleh
terlalu banyaknya tuntutan dan tekanan yang dirasakan yang berasal dari segala penjuru,
termasuk orang tua, guru dan anggota keluarga lainnya yang sudah lebih dewasa dan
tentunya tuntutan tersebut bisa berupa semakin besarnya tanggung jawab yang harus
dihadapi seiring dengan bertambahnya usia dan kelak cepat atau lambat, mereka tidak
akan bisa merasakan kebebasan sebesar waktu mereka masih remaja.
29
2.5.3 Sifat Remaja Jepang yang Kurang Bermoral
Kaum remaja Jepang masa kini cenderung kurang memperhatikan tata krama dan
norma moral di kalangan masyarakat. Hal tersebut terjadi seiring dengan semakin
moderennya gaya hidup yang sarat akan kebebasan dalam bertingkah laku sehingga
membuat kaum remaja Jepang seringkali lupa akan posisi mereka sebagai orang yang
belum dewasa dan harus menyadari bahwa di atas mereka ada lapisan masyarakat yang
lebih senior dan harus dihormati serta disegani.
Sifat – sifat kaum remaja Jepang masa kini yang sangat kurang adalah tata krama
yang baik, rasa tanggung jawab, toleransi, kesadaran akan masyarakat umum serta
ekonomi, dan juga ketekunan (Matsumoto, 2002:110).
2.5.4 Misi Remaja Jepang Dalam Menunjukkan Jati Diri
Menurut Kumagai (1996:74) kepribadian remaja Jepang masa kini yang ekspresif
dapat dilihat dengan kegemaran mereka tampil menari – nari mengikuti lagu yang
diputar di radio di depan umum, di jalan raya dan tampil sebagai sebuah band musik,
terutama di daerah yang ramai dengan kaum remaja misalnya Shibuya dan Harajuku di
Tokyo. Kegiatan tersebut adalah salah satu cara bagi kaum remaja Jepang untuk
mengekspresikan emosi dan kepribadian mereka masing – masing. Remaja Jepang yang
hidupnya tak menentu dan hanya memikirkan dirinya sendiri ini pada dasarnya sibuk
bergulat dengan kemelut kehidupan di Jepang yang tersohor sebagai negara yang kaya
akan budaya, adat istiadat, dan norma kesopanan. Generasi muda Jepang yang berbeda
cukup jauh dengan generasi sebelumnya dalam segi pandangan hidup tentunya akan
mengalami kesulitan untuk menuai sanjungan dan kesan baik dari generasi yang lebih
tua, khususnya yang sangat memandang adat istiadat asli Jepang sebagai panutan hidup.
30
Seperti contohnya, para kelompok remaja yang berkumpul di Shibuya dan Harajuku
mayoritas memiliki penampilan yang unik dan sangat menarik perhatian. Setiap
kelompok memiliki minat dan cita rasa masing – masing yang menjadikan remaja
Jepang sebagai remaja yang unik dan sering berlebihan dalam mengekspresikan dirinya.
2.5.5 Masalah Remaja di Lingkungan Sekolah
Menurut Kumagai (1996:78) meskipun kaum remaja Jepang menyita sebagian besar
hidupnya untuk bersekolah dan menuntut ilmu, namun banyak di antara mereka yang
sesungguhnya tidak menyukai kehidupan di sekolah yang penuh dengan peraturan dan
mengharuskan mereka untuk belajar serta membatasi ruang gerak mereka. Mereka juga
merasakan kesulitan untuk memiliki hubungan yang akrab selayaknya sahabat dengan
guru – guru di sekolah apalagi menceritakan masalah – masalah pribadinya. Sebagian
besar dari mereka lebih cenderung untuk sekedar berbasa basi dan bersikap formal
terhadap guru – guru mereka. Sedangkan menurut Yoneyama (1999:67) bukan berarti
mereka tidak ingin memiliki hubungan yang akrab dengan guru – guru mereka. Namun,
pada kenyataanya kebanyakan guru – guru sekolah di Jepang jarang mau mendengarkan
masukan maupun pendapat dari muridnya. Padahal, mereka merasa bahwa dengan
dihargainya pendapat mereka, maka hubungan mereka dengan guru – guru pun akan
semakin hangat. Banyak juga murid – murid yang menganggap bahwa guru mereka
tidak peduli apabila muridnya tidak mengerti pelajaran yang diterangkannya, padahal
tidak semua guru berperilaku demikian.
Pada umumnya, satu dari sepuluh pelajar selalu menikmati pelajaran yang sedang
berlangsung, sementara sepertiga di antaranya sama sekali tidak tertarik dengan apa
yang sedang dipelajari dan terkadang menganggap pelajaran tersebut tidak berguna dan
hanya membuang waktu saja.