bab 2 kerangka teoretis - lontar.ui.ac.id 27943-konstruksi... · gambar, cetakan dan foto), dan...

36
Universitas Indonesia BAB 2 KERANGKA TEORETIS Museum kota dapat disebut sebagai jenis museum yang relatif muncul lebih akhir. Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa perkembangan permuseuman, khususnya tentang museum kota tidak seiring dengan perkembangan jenis museum lain di Indonesia. Direktorat Museum sebagai lembaga pemerintah yang mengurus bidang permuseuman misalnya kurang memberi perhatian terhadap perkembangan museum kota di Indonesia. Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah tidak adanya sebuah kebijakan khusus tentang pedoman pelaksanaan pengelolaan museum kota sebagaimana telah diterbitkannya sebuah kebijakan tentang pengelolaan museum situs cagar budaya. Sebelum pemahaman tentang konsep tematik pameran museum kota sebagaimana fokus permasalahan pada penelitian ini terlebih dahulu diuraikan tentang konsep museum kota. Uraian tentang konsep museum kota dibagi atas empat, yaitu: sejarah perkembangan museum kota, pengertian dan kerangka kerja museum kota, peran museum kota, dan contoh konsep tematik yang dikembangkan pada museum kota di luar negeri. Diharapkan dari keempat uraian tersebut dapat menghasilkan sebuah kesimpulan tentang unsur tema pameran yang dapat ditampilkan oleh museum kota. Kerangka teoretis ini diakhiri dengan sebuah kesimpulan tentang konsep tematik pameran museum, serta pembahasan tentang konsep penyajian pameran. 2.1 Konsep Museum Kota Dalam perkembangannya museum kota tidak terlepas dari perkembangan jenis museum lain pada umumnya. Konsep museum kota itu sendiri berkembang terus menerus sehingga berperan sangat signifikan bagi kota itu sendiri. Oleh karena itu, perlu pemahaman tentang sejarah perkembangan museum kota, pengertian dan kerangka kerja museum kota, pembahasan tentang peran museum kota, serta contoh konsep tematik pameran yang dikembangkan oleh museum kota Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

Upload: vudat

Post on 03-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Universitas Indonesia

BAB 2 KERANGKA TEORETIS

Museum kota dapat disebut sebagai jenis museum yang relatif muncul

lebih akhir. Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa

perkembangan permuseuman, khususnya tentang museum kota tidak seiring

dengan perkembangan jenis museum lain di Indonesia. Direktorat Museum

sebagai lembaga pemerintah yang mengurus bidang permuseuman misalnya

kurang memberi perhatian terhadap perkembangan museum kota di Indonesia.

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah tidak adanya sebuah kebijakan

khusus tentang pedoman pelaksanaan pengelolaan museum kota sebagaimana

telah diterbitkannya sebuah kebijakan tentang pengelolaan museum situs cagar

budaya.

Sebelum pemahaman tentang konsep tematik pameran museum kota

sebagaimana fokus permasalahan pada penelitian ini terlebih dahulu diuraikan

tentang konsep museum kota. Uraian tentang konsep museum kota dibagi atas

empat, yaitu: sejarah perkembangan museum kota, pengertian dan kerangka kerja

museum kota, peran museum kota, dan contoh konsep tematik yang

dikembangkan pada museum kota di luar negeri. Diharapkan dari keempat uraian

tersebut dapat menghasilkan sebuah kesimpulan tentang unsur tema pameran yang

dapat ditampilkan oleh museum kota. Kerangka teoretis ini diakhiri dengan

sebuah kesimpulan tentang konsep tematik pameran museum, serta pembahasan

tentang konsep penyajian pameran.

2.1 Konsep Museum Kota

Dalam perkembangannya museum kota tidak terlepas dari perkembangan

jenis museum lain pada umumnya. Konsep museum kota itu sendiri berkembang

terus menerus sehingga berperan sangat signifikan bagi kota itu sendiri. Oleh

karena itu, perlu pemahaman tentang sejarah perkembangan museum kota,

pengertian dan kerangka kerja museum kota, pembahasan tentang peran museum

kota, serta contoh konsep tematik pameran yang dikembangkan oleh museum kota

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

22

Universitas Indonesia

yang ada di luar negeri. Uraian berikut ini dibagi atas empat pokok pembahasan

tersebut.

2.1.1 Sejarah Perkembangan Konsep Museum Kota

Pada abad ke-19 hingga abad ke-20, museum-museum baru banyak

didirikan di belahan dunia. Pendirian museum-museum baru ini tidak terlepas dari

timbulnya kesadaran akan pentingnya pelestarian warisan budaya dan alam serta

tingginya tingkat keingintahuan masyarakat terhadap masa lalu. Pada tahun 1808

di British Museum misalnya terjadi peningkatan pembatasan jumlah pengunjung

dari sebelumnya hanya 6 orang perhari menjadi 120 orang perhari. Selanjutnya,

pada tahun 1810 setiap orang yang berpakaian rapi diperbolehkan mengunjungi

museum (Hudson, 1987: 23). Meningkatnya pembatasan pengunjung ini

menunjukkan bahwa masyarakat Inggris saat itu telah memperlihatkan animo

yang besar untuk mengunjungi museum sehingga menuntut pengelola museum

untuk lebih terbuka bagi masyarakat. Alasan pendirian lain adalah guna

kepentingan ilmiah, baik itu merupakan objek-objek yang berkenaan dengan

sejarah, seni, alam atau ilmu pengetahuan (Noerhadi Magetsari, 2008: 5).

Tuntutan masyarakat terhadap pengelola museum sekaligus menjadi tuntutan

untuk mendirikan museum di berbagai belahan dunia.

Museum-museum baru kemudian banyak didirikan di kota-kota besar di

Eropa maupun Amerika. Pendirian museum di kota-kota inilah kemudian menjadi

embrio munculnya sebuah jenis museum baru yaitu museum kota. Disebut

demikian karena sebuah museum telah diberi nama sesuai dengan kota dimana

museum tersebut berada (Jhonson, 1995: 4).

Awal abad ke-duapuluh, dianggap sebagai gelombang awal perkembangan

museum kota terutama di Eropa dan Amerika Utara. Perkembangan awal yang

terjadi di Eropa pada saat itu adalah dengan bermunculannya organisasi

kemasyarakatan yang tertarik pada benda-benda arkeologi dan sejarah lokal dan

regional. Sementara itu, di Amerika, masyarakat yang tertarik pada sejarah lokal

bermunculan di kota-kota kecil dan kota-kota yang berkembang dengan cepat.

Ketertarikan masyarakat terhadap sejarah lokal ini dilandasi atas semangat

kebanggaan untuk mengetahui keberadaan mereka yang kemudian berusaha

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

23

Universitas Indonesia

merekonstruksi sejarah baru di sekitar mereka. Dengan demikian, organisasi

kemasyarakatan yang tertarik terhadap sejarah lokal dan upaya merekonstruksi

sejarah lokal menjadi langkah awal ke arah terbentuknya jenis museum baru yaitu

museum kota. Pada belahan dunia lain, organisasi kemasyarakatan seperti itu terus

tumbuh dengan subur bersamaan dengan pendirian museum-museum kota yang

lebih baru (Jhonson, 1995: 4).

Dalam lingkup internasional, perhatian terhadap pentingnya peran museum

kota diawali dengan diselenggarakannya sebuah simposium internasional yang

bertemakan “Reflecting Cities” pada tahun 1993 di “The Museum of London”.

Max Hebditch (1995), menyebut bahwa simposium ini adalah yang pertama

diselenggarakan oleh museum-museum yang memiliki perhatian khusus pada

koleksi yang berhubungan dengan sejarah kota. Salah satu wacana yang mendapat

perhatian khusus dalam diskusi tersebut, bahwa hal penting pertama harus

dilakukan untuk menjadi sebuah museum kota adalah mendefinisikan kota

tersebut (Hebditch, 1995: 7). Selanjutnya, pada Konferensi ICOM tahun 2004

yang diselenggarakan di Seoul pada bulan Oktober dibentuk sebuah komite

khusus yaitu Comitte for Collections and Activities of Museum of Cities

(CAMOC), komite yang terdiri atas museum-museum kota yang berasal dari 40

negara di antaranya Eropa, Asia dan Amerika (ICOM, 2010)

Berdasarkan sejarah perkembangannya, latar belakang pentingnya

pendirian museum kota pada awalnya terbatas pada ketertarikan masyarakat

terhadap benda-benda arkeologi dan sejarah lokal di sekitar mereka. Alasan lain

adalah pentingnya pelestarian kota sebagai produk peradaban manusia.

Perkembangan selanjutnya pada dekade tahun 1990-an, museum kota dirancang

untuk mengkaji dan menginterpretasikan sebuah kota. Museum kota kemudian

mendapat perhatian khusus mengingat perkembangan kota yang berlangsung

sangat cepat baik dari segi demografi, lingkungan alami, bentang alam, bangunan

serta keragaman kebudayaan (Hebditch, 1995: 7). Perkembangan tersebut

tentunya berdampak terhadap kondisi sosial, budaya maupun fisik kota. Kondisi

inilah yang kemudian menjadi titik awal pentingnya peran museum kota.

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

24

Universitas Indonesia

2.1.2 Pengertian dan Kerangka Kerja Museum Kota

Museum kota sering dianggap sebagai album sebuah kota, cermin sebuah

kota, atau miniatur sebuah kota. Hal ini karena museum kota dianggap memuat

tentang memori sebuah kota, dapat merefleksikan konteks kekinian budaya kota,

dan diharapkan mampu menampilkan keseluruhan aspek yang berkaitan dengan

kota.

Pemahaman tersebut terkait erat dengan keunikan museum kota karena

definisi yang diemban oleh kota itu sendiri. Definisi kota telah banyak

dikemukakan oleh para ahli yang mengkaji tentang kota, akan tetapi secara umum

kota dapat didefinisikan dari aspek fisik maupun sosialnya. Istilah yang sering

digunakan untuk menyebut aspek fisik adalah “kota” (city), dan “urban” yang

mengandung pengertian sosial dan budaya (Hariyono, 2007: 16-17). Dengan

demikian, kota juga dapat dipandang dari aspek kebudayaan yang diwujudkan

dalam tiga hal, yaitu: ide, perilaku, dan hasil karya atau kebudayaan materi.

Pendapat yang sama dikemukakan oleh Hebditch (1995), bahwa terdapat

konsensus di antara para ilmuwan yang mengkaji perkotaan. Konsensus tersebut

menyatakan bahwa ada dua pendekatan untuk mengidentifikasi “sebuah kota”.

Pertama, pendekatan yang menekankan kepada aspek geografis, administratif dan

wilayah kota yang dibangun yang membentuk sebuah kota dan membedakannya

dengan wilayah pedesaan. Pendekatan kedua menekankan kepada bagaimana cara

masyarakat kota mengorganisir diri mereka sendiri dan hal tersebut membedakan

masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan (Hebditch, 1995: 7). Pada

dasarnya, bentuk pendekatan pertama mengandung pengertian aspek fisik kota

sedang bentuk pendekatan kedua memberikan pemahaman tentang aspek sosial-

budaya.

Definisi museum sendiri mengalami perkembangan dengan adanya

perbedaan rumusan tentang definisi museum yang ditetapkan oleh International

Council of Museum (ICOM). Berdasarkan rumusan ICOM yang dideklarasikan

tahun 1974 di Copenhagen, Denmark menyebutkan :

A museum is a non-profit-making, permanent institution in the service of

society and its development, and open to the public, which acquires,

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

25

Universitas Indonesia

conserve, communicates and exhibits, for the purposes of study, education

and enjoyment, material evidence of man and its environment.

Sementara itu, rumusan tentang definisi museum sebagaimana ditetapkan

oleh ICOM pada konfrensi tahun 2004 di Seoul, Korea Selatan menyebutkan:

A museum is a non-profit-making, permanent institution in the service of

society and its development, and open to the public, which acquires,

conserve, researches, communicates and exhibits, for purposes of study,

education and enjoyment, the tangible and intangible evidence and their

environment.

Berdasarkan kedua rumusan tersebut, terdapat penambahan kata

“researches” dan “the tangible and intangible” pada rumusan ICOM yang

terakhir. Meski demikian sebelum penetapan tersebut sesungguhnya dalam praktik

pengelolaannya, museum sekaligus telah berfungsi sebagai lembaga penelitian.

Demikian halnya kata “the tangible and intangible”, merupakan penekanan

tentang aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya pelestarian bukti-bukti

manusia dan lingkungannya.

Mengadaptasi definisi museum yang telah ditetapkan oleh ICOM,

Amarezwar Galla (1995), mendefinisikan museum kota, yaitu:

A city museum is a non profit-making, dynamic and evolving permanent

institution or cultural mechanism in the service of the urban society and

its development, and open to the public, which co-ordinates, acquires,

conserves, researches, communicates and exhibits, for purposes of study,

education, reconciliation of communities and enjoyment, the tangible and

intangible, movable and immovable heritage evidence of diverse peoples

and their environment (Galla, 1995: 41).

Dalam pengertian tersebut, selain mendefinisikan museum dalam ruang

lingkup kota dan warganya sekaligus memposisikan museum kota sebagai sebuah

lembaga yang dinamis atau mekanisme kultural dalam melayani warga kota

beserta pengembangannya. Mekanisme kultural dalam hal ini, sebagaimana

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

26

Universitas Indonesia

disebutkan oleh Homer dan Swarbrooke (1996), bahwa museum harus berperan

sebagai sebuah forum, tempat terjadinya perdebatan dan kontroversi mengenai

materi dan muatan yang disajikan (Dananjaya Axioma, 2006: 14-15). Penekanan

lain pada definisi tersebut adalah museum berperan dalam pemulihan keragaman

warga kota.

Terkait dengan peran mekanisme kultural bagi museum kota dimaksudkan

sebagai pusat aktivitas yang terkoordinasi bagi representasi kebudayaan populasi

kota. Oleh karena itu, museum kota harus menyambut dan membuat pengunjung

dapat berpartisipasi dengan cara yang lebih mudah diakses, serbaguna dan penuh

informasi. Dalam konteks ini, museum kota bekerja sebagai fasilitator dan bekerja

sama dengan perorangan, kelompok, pihak pemerintah, swasta maupun

komunitas-komunitas budaya. Aspek-aspek yang terkait dengan peran museum

sebagai pusat aktivitas, mencakup: a) pergerakan seni kontemporer; b) festival dan

acara-acara yang signifikan; c) pemeliharaan yang berkelanjutan terhadap warisan

budaya; d) suara-suara, nilai-nilai dan tradisi-tradisi dari komunitas; dan e)

lingkungan yang lebih luas dengan mengembangkan sistem kebudayaan yang

berkelanjutan (Galla, 1995: 41, 42 dan 43). Dalam konteks inilah mekanisme

kultural museum kota diharapkan mampu berperan pada perkembangan kota

dalam sistem kebudayaan.

Sementara itu, kerangka kerja untuk menjawab pertanyaan tentang

bagaimana museum dapat menampilkan kota berikut penduduk, sejarah dan

warisan kota, serta apa yang dapat diperbuat museum untuk mengidentifikasi dan

menjelaskan fenomena sosial perkotaan yang semakin kompleks (Hebditch,

1995: 7). Lebih lanjut, disebutkan bahwa jenis-jenis koleksi yang dapat digunakan

oleh museum kota untuk mengamati fenomena kota, terdiri atas:

a. Artefak, adalah salah satu dari jenis utama yang diciptakan dan/atau

dipergunakan oleh sebuah kota. Artefak dalam hal ini memiliki konteks

fungsional dan fitur yang memiliki konteks yang lebih spesifik bagi kota,

misalnya ruangan-ruangan atau bangunan-bangunan tertentu dengan ciri khas

masa tertentu. Jenis-jenis tersebut dapat diasosiasikan untuk membentuk

kelompok data – atau semacam kapsul waktu – istilah populernya.

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

27

Universitas Indonesia

b. Bukti-bukti lingkungan. Museum dapat menyimpan dan mengkaji bukti-bukti

dampak kehadiran manusia dan eksploitasi yang dilakukan terhadap

lingkungan alami, baik sekarang maupun di masa lalu. Bukti-bukti yang dapat

dikumpulkan tersebut terdiri atas tinggalan-tinggalan flora maupun fauna,

serta material-material tulang manusia. Bukti-bukti ini dapat menunjukkan

relevansinya dengan isu-isu kajian lingkungan jaman sekarang dalam konteks

historis dan dapat ditangani oleh museum kota.

c. Catatan tentang tempat dan aktivitas. Penelitian dan pengumpulan data berupa

peta-peta historis dan rancangan kota serta bangunan kota, dan catatan-catatan

lain dari masa lalu adalah bagian dari penelitian museum dan proses

pengumpulan yang dilakukan oleh museum kota. Penelitian dan pengumpulan

data adalah cara terbaik untuk mengaitkan artefak “luar museum” dengan

artefak dan objek-objek lainnya yang dapat dikoleksi oleh museum. Data

seperti itu sangat penting untuk memahami distribusi spasial dalam kota, yang

dapat memberikan informasi tentang isu-isu seperti migrasi, perubahan

struktur sosial dan penggunaan lahan serta aktivitas ekonomi.

d. Testimoni. Ada dua bentuk pada jenis koleksi ini yaitu gambar (lukisan,

gambar, cetakan dan foto), dan testimoni dalam bentuk kesaksian lisan.

Informasi objektif tentang konteks fisik maupun sosial dari artefak yang

dimiliki museum dapat dideduksi dari kedua tipe tersebut, meski demikian

sejumlah besar nilai yang dimiliki testimoni tersebut terkandung dalam

interpretasi subjektif dari kota oleh pembuat testimoni serta perasaan yang

diekspresikan oleh orang yang mencatat tentang pendapat/kesan yang mereka

miliki tentang pekerjaan dan kehidupan mereka. Karya-karya penulisan juga

dapat berkontribusi terhadap bagian dari testimoni tentang sebuah kota namun

tidak selalu dapat dikumpulkan oleh museum (Hebditch, 1995: 8-9).

Keempat jenis koleksi tersebut saling melengkapi dalam memberikan

informasi tentang fenomena-fenomena perkotaan kepada pengunjung museum.

Hal terpenting adalah profesional museum harus melakukan interpretasi terhadap

jenis-jenis koleksi tersebut terlebih dahulu agar pengunjung dapat memperoleh

informasi yang utuh tentang pameran yang ditampilkan. Kerangka kerja seperti

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

28

Universitas Indonesia

ini, museum kota akan mampu menginterpretasi dan menjelaskan masyarakat kota

serta proses perubahan yang berlangsung dalam masyarakat. Dalam hal ini, peran

profesional museum adalah merangsang dan mensitesakan hasil pekerjaan dari

berbagai disiplin ilmu (Hebditch, 1995: 9). Dengan demikian, interpretasi yang

disampaikan pada akhirnya merupakan hasil interpretasi terhadap informasi

kontekstual perkotaan.

Pendapat yang sama dikemukakan Anne Marie Collins (1995), bahwa

museum dapat membuat pengunjung menyadari aspek-aspek yang beragam secara

aktif dengan menyampaikan pesan secara orisinal. Oleh karena itu, sumber-

sumber berupa perekaman suara dan latar dekorasi dapat menciptakan suasana

dimana elemen-elemen visual dan tekstual dapat dieksplorasi. Sementara itu,

rekaman visual, slide dan peralatan yang interaktif membuat pengunjung dapat

menyentuh, merasakan dan melihat, untuk mengenali diri mereka sendiri dan

untuk menanyakan sejumlah pertanyaan pada diri mereka ketika berhubungan

dengan kenyataan kota yang berbeda (Collins, 1995: 32).

2.1.3 Peran Museum Kota

Secara umum fungsi utama museum sebagaimana definisi yang ditetapkan

oleh ICOM adalah mengumpulkan, melestarikan, melindungi, meneliti,

mengkomunikasikan dan memamerkan bukti-bukti bendawi manusia dan

lingkungannya. Sementara itu, peran museum diarahkan pada upaya pengkajian

dan penelitian tentang bukti-bukti manusia dan lingkungannya. Dengan demikian,

museum berperan sebagai pusat informasi berdasarkan kajian dan penelitian yang

dilakukannya.

Dalam kaitannya dengan peran museum kota, UNESCO dalam jurnal

“Museum International” yang membahas khusus tentang “City Museum”,

menyebutkan bahwa:

City museums are part and parcel of this volatile urban landscape and, as

the articles in this issue’s dossier reveal, they are striving to come to terms

with their new mandate and their new publics. The museum that speaks of

the city must now also speak to the city (UNESCO, 1995: 3).

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

29

Universitas Indonesia

Demikianlah, museum kota mengemban tugas baru yaitu sebagai bagian

dan bidang dari perubahan lansekap perkotaan. Dalam konteks ini, memberi

pemahaman bahwa museum kota hadir sebagai sebuah pendekatan baru sebagai

“urban advocacy”. Oleh karena itu, museum kota tidak hanya bicara tentang kota

akan tetapi saat ini harus bicara untuk kota.

Sementara itu, menurut Anne Marie Collins (1995), bahwa tugas utama

museum kota adalah untuk menyajikan sejarah dan evolusi kota baik kepada

masyarakat kota maupun kepada para pengunjung. Lebih lanjut, bahwa tugas

museum kota adalah memperkenalkan publik pada aspek-aspek kota yang

berbeda-beda sebagaimana kota itu sebenarnya, menempatkan konteks-konteks

urban, ekonomi, arsitektur, sosial dan budaya dari tiap-tiap periode sejarah ke

dalam perspektif dengan menggunakan segala jenis kegiatan promosi (Collins,

1995: 30). Oleh karena itu, museum kota merupakan titik awal bagi tur kota yang

aktual. Tema-tema yang diwakili dalam pameran tetap menjadi titik awal bagi

profesional museum untuk mengajak pengunjung mengenali karakteristik warna

dan atmosfer dari periode bersejarah kota dengan bentuk-bentuk yang berbeda.

Ditambahkan lagi bahwa tema-tema pameran tetap akan mengajak pengunjung

untuk mengeksplorasi tempat-tempat atau wilayah-wilayah tertentu (Collins,

1995: 30) yang memiliki ciri khas bagi kota. Dengan demikian, museum kota

mengemban peran dalam penyebarluasan informasi sejarah, mendidik publik

untuk menumbuhkan kesadaran baru tentang karakter sejarah lingkungan,

bergerak keluar daerah institusinya dan berbaur dengan masyarakat dimana

mereka tinggal, bekerja atau mencari hiburan. Terakhir adalah berkolaborasi

dengan badan-badan lingkungan lain yang berpartisipasi dalam membawa dan

mempromosikan proyek ini untuk meningkatkan warisan budaya masa lalu dan

warisan budaya dalam pembuatannya (Collins, 1995: 34).

Pada dasarnya, peran museum kota telah tergambar pada pengertian

museum kota sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Bagian ini

dimaksudkan untuk menguraikan lebih jelas tentang peran museum kota. Lebih

khusus dapat disebut bahwa bagian ini akan menjelaskan peran museum kota

berdasarkan pandangan beberapa ahli. Uraian berikut ini disarikan dari beberapa

artikel dari jurnal Museum International yang membahas tentang peran museum

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

30

Universitas Indonesia

kota di antaranya: “Museums of Cities and Urban Futures: new approaches to

urban planning and the opportunities for museums of cities” oleh Duncan

Grewcock; “City Museums: do we have a role in shaping the global community?”

oleh Jack Lohman; dan “The City Museum and its Values” oleh Tatiana

Gorbacheva.

Dijelaskan oleh Duncan Grewcock (2006), bahwa museum kota dapat

berperan sebagai pendekatan baru dalam perencanaan kota. Masa depan museum

kota tidak dapat dilepaskan dengan masa depan kota itu sendiri. Oleh karena itu,

museum kota seharusnya dapat memberikan kontribusi yang dapat bertahan,

inklusif serta imajinatif dalam perencanaan dan rancangan pembangunan wilayah

perkotaan serta penempatan dan tata ruang kota (Grewcock, 2006: 33). Dalam hal

ini, Duncan Grewcock, menekankan tiga hal penting bagi peran museum dalam

perencanaan kota, yaitu: pertama, bahwa mempromosikan peran dari museum

kota dalam perencanaan pembangunan kota sebenarnya adalah salah satu bentuk

menghidupkan kembali serta memperbaharui peran museum itu sendiri dan bukan

merupakan bentuk atau peran baru dari museum; kedua, bahwa kultur serta

perencanaan pembangunan kota adalah perubahan yang menarik dan relevan

dengan tujuan dari museum itu sendiri; serta, ketiga, dalam banyak hal, museum

serta perencanaan pembangunan kota adalah bidang yang saling melengkapi

(Grewcock, 2006: 33).

Grewcock juga menjelaskan bahwa perubahan dalam perencanaan

pengembangan kota dapat dilihat dan dipahami secara lebih baik sebagai sebuah

re-evaluasi dari sudut sosial dan spasial kota, sifat-sifat sosial dan fisik dari

sebuah kota. Perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan

pengaruh lingkungan; termasuk pengaruh-pengaruh sosial, partisipasi masyarakat,

demokrasi dan kekuasaan, masyarakat sipil, kesetaraan, identitas, masyarakat dan

kepemilikannya; spasial maupun akomodasi-akomodasi fisik lainnya dalam

kebutuhan sosial. Penjelasan atas perubahan-perubahan tersebut, Grewcock

mengambil contoh perubahan yang terjadi di Inggris dan menyebutkan bahwa

terdapat tiga contoh perubahan dalam perencanaan pengembangan kota. Pertama

adalah perubahan secara teoretis, yang ditarik dari berbagai pemicu sosial, kedua

adalah perubahan kebijakan dan ketiga perubahan dalam praktik-praktik yang

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

31

Universitas Indonesia

berkaitan dengan pengembangan yang mencoba untuk menciptakan hubungan

antara kebutuhan sosial dengan bentuk-bentuk spasial (Grewcock, 2006: 35).

Dalam kaitannya dengan contoh perubahan pertama, Grewcock mengutip

pendapat Sanderock tentang ringkasan analisisnya dan relevansi pandangan

tersebut dengan museum, sebagai berikut:

What the above discussion suggests is the need for a diversity of spaces

and places in the city: places loaded with visual stimulation, but also

places of quiet contemplation, uncontaminated by commerce, where the

deafening noise of the city can be kept out so that we can listen to the

‘noise of the stars’ or the wind and water, and the voice(s) within

ourselves. An essential ingredient of planning beyond the modernist

paradigm is a reinstatement of inquiry about the recognition of the

importance of memory, desire, and spirit, as vital dimensions of healthy

human settlements, and a sensitivity to cultural differences in the

expressions of each (Grewcock, 2006: 36).

Penjelasan atas contoh perubahan kedua, Grewcock mengambil kebijakan

pemerintah Inggris yaitu “The Thames Gateway”. Pada kebijakan tersebut,

perencanaan kota memiliki premis dasar yaitu keharusan untuk memindahkan

mobilitas pengembangan spasial dan ekonomi kota London ke wilayah lebih ke

timur, sepanjang sungai Thames. Dasar premis ini sendiri adalah upaya Inggris

dalam menghadapi Olimpiade London 2012. Unsur utama kedua adalah perluasan

pembangunan di sepanjang wilayah Inggris Selatan. Perluasan pembangunan ini

berupaya mengintegrasikan dengan konsep masyarakat mandiri atas pertumbuhan

perumahan yang kurang di wilayah tenggara Inggris. Dalam konteks yang lebih

luas kebijakan tersebut berdampak besar terhadap konsepsi ruang, masyarakat,

identitas serta kepemilikan. Dalam konteks museum, konsep masyarakat mandiri

ini mampu memberikan konteks baru dalam memahami dan mengadvokasi

konstribusi museum terhadap masyarakat. Perencanaan tersebut juga memberikan

kesempatan baru bagi museum untuk secara formal lebih menghubungkan diri

dengan pengembangan dan pembangunan dalam konteks perencanaan perkotaan.

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

32

Universitas Indonesia

Perubahan ketiga adalah terjadinya transformasi dalam kebudayaan serta

praktik perencanaan pengembangan perkotaan di Inggris dalam bentuk

perencanaan spasial. Proses transformasi yang terjadi dalam praktik perencanaan

berdampak pada dimulainya kebijakan perencanaan regional di wilayah Eropa.

Dalam pandangan Grewcock, ada beberapa bahaya yang muncul sebagai akibat,

yaitu tanpa visi, koordinasi serta advokasi yang kuat, maka museum akan

mengalami marjinalisasi sebagai dampak dari pendekatan ini, atau kontribusi

potensial dari museum terhadap masyarakat akan keluar dari perencanaan

kultural.

Pada dasarnya, penjelasan atas beberapa contoh yang dikemukakan di atas,

Grewcock mengusulkan bahwa sesungguhnya bidang-bidang yang terlibat dalam

perencanaan perkotaan dapat saling mendukung untuk menggeser batas-batas dan

bekerjasama dalam batas-batas tersebut. Dengan perkataan lain, bidang-bidang

terkait dapat mengambil perannya masing-masing. Dalam konteks museum, hal

ini akan semakin membuka peluang museum kota untuk berkaitan langsung

dengan perencanaan tersebut dalam cara yang lebih formal dan lebih kreatif.

Tema kebersamaan dan keterkaitan antara pembangunan museum dengan

pengembangan perencanaan perkotaan dapat berupa tujuan yang lebih luas atau

integrasi, partisipasi dan tindakan bersama, yang berkaitan dengan pengembangan

atau pemberdayaan sebuah lokasi atau tempat.

Museum-museum kota, dalam bentuk paling idealnya, tidak lain

merupakan sebuah museum tempat. Dalam pengertian bahwa sebuah tempat harus

dipahami secara holistik, sebagai pembentuk masyarakat, baik pembentuk sosial

maupun kultural, memberikan makna yang signifikansinya yang sangat besar

terhadap masyarakat, dan oleh karena itu saling memiliki keterkaitan dan

ketergantungan dengan masyarakat (Grewcock, 2006: 39). Dalam hal ini, tempat

dipandang sebagai sebuah memori kolektif dimana museum dapat mengambil

peran untuk menjaga dan melestarikannya sebagai memori kolektif warga kota.

Kevin Lynch (1972), dalam karyanya What Time is this Place?,

memetakan dengan singkat peran dari museum dalam perencanaan perkotaan,

yaitu sarana untuk menampilkan perubahan masa kini yang dapat ditelaah,

perubahan masa lalu yang dapat dijelaskan dalam tempat-tempat tertentu, dengan

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

33

Universitas Indonesia

menggunakan kalimat “pada suatu masa”, sebuah tempat dimana kontinuitas

dengan masa depan berada, bentuk eksperimen diri, dan “museum masa depan”

dapat dikembangkan dari pilihan-pilihan di atas (Grewcock, 2006: 39).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peran museum dalam

perencanaan kota adalah museum mampu menampilkan perubahan-perubahan

fisik yang terjadi serta faktor yang mempengaruhinya, sehingga publik mampu

melihat dan memahami perubahan tersebut dalam sudut pandang yang lebih luas.

Dalam hal ini, museum menjadi media yang mampu menjelaskan perubahan kota

dengan bantuan berbagai disiplin untuk kemudian dapat dipahami oleh publik.

Demikianlah, sebagaimana dijelaskan oleh Grewcock bahwa museologi dapat

bekerja sama dengan berbagai disiplin yang mengkaji perubahan kota.

Pandangan yang dikemukakan oleh Jack Lohman (2006), menyebutkan

bahwa museum kota dapat mengambil peran dalam membentuk masyarakat

global. Dalam perspektif ini, Lohman mengemukakan bahwa museum kota tidak

lepas dari peran sebagai pencari-jiwa manusia, sebagai cara untuk mencari makna

dan peran manusia dalam kehidupan. Lohman mengemukakan pandangan bahwa

identitas politik merupakan bentuk kepentingan yang saling bertikai, dan

merupakan penyerap dan juga dapat terserap oleh kebudayaan lain yang dominan

yang pada akhirnya menjadi bentuk pertikaian antar kekuatan politik (Lohman,

2006: 16).

Lohman dalam menjelaskan isu globalisasi mengutip pandangan Parker

bahwa tidak seperti apa yang kita yakini bahwa kita hidup dalam periode yang

khusus dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Namun,

dalam kenyataannya, dapat dicari ke dalam sejarah apa yang disebut Parker

sebagai “patterns and connections… trends and similarities”. Dengan demikian,

dapat disebut bahwa kenyataan yang ada saat ini dapat dihubungkan dengan

beragam kekayaan masa lalu manusia, cita-cita membentuk peradaban manusia

sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh nenek moyang manusia sejak dahulu

(Lohman, 2006: 17).

Selanjutnya, Lohman mengemukakan bahwa meningkatnya keragaman

dan konflik yang terjadi harus dihadapi dengan adanya dialog budaya.

Kebudayaan bukan hanya merupakan masalah identifikasi dan penyelamatan serta

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

34

Universitas Indonesia

menjaga setiap kebudayaan dalam bentuk isolasi saja, namun sebaliknya bentuk

perkembangan yang dimaksud adalah melakukan revitalisasi terhadap seluruh

kebudayaan untuk dapat menghindari terjadinya segresi dan mencegah terjadinya

konflik antar kebudayaan (Lohman, 2006:17). Hal ini sesuai dengan pernyataan

UNESCO dan posisinya dalam keragaman budaya bahwa “This cultural dialogue

has taken on a new meaning in the context of globalization and of the current

international political climate. Thus it is becoming a vital means of maintaining

peace and world unity” (Lohman, 2006: 17).

Dalam konteks keragaman, Lohman kembali mengutip pernyataan

UNESCO, bahwa “A museum works for the endogenous development of social

communities whose testimonies it conserves while lending a voice to their cultural

aspirations. Resolutely turned towards its public, community museums are

attentive to social and cultural change and help us to present our identity and

diversity in an ever changing world” (Lohman, 2006: 18). Lebih lanjut, Lohman

berpendapat bahwa terjadi perubahan peran museum berdasarkan definisi museum

yang terakhir, bahwa museum harus merubah perannya dari hanya sekedar

“stage” menjadi “actors”. Museum adalah bagian dari deretan “actors” yang lebih

besar dan menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, museum

tidak hanya sekedar “actors”, tetapi adalah “interactors” yang menampilkan

interaksi yang beragam dan majemuk antara alam, kebudayaan, sejarah, seni,

kerajinan serta apa saja yang membentuk manusia seperti sekarang ini (Lohman

2006: 18).

Penjelasan tentang peran museum sebagaimana dikemukakan oleh Jack

Lohman adalah menghadapi isu keragaman dan konflik budaya. Dalam hal ini,

museum kota harus dipandang sebagai mekanisme kultural untuk mengelola isu

tersebut untuk kemudian diarahkan pada isu kebersaman.

Perspektif yang berbeda dikemukakan oleh Tatiana Gorbacheva (2006),

bahwa museum kota harus mengedepankan pendekatan program dan berbagai

aktivitas agar museum kota dapat lebih berperan dalam hubungannya dengan

warga kota. Dalam hal ini, aktivitas kontemporer dari “The Moscow City

Museum”, diambil sebagai contoh untuk menjelaskan peran museum kota.

Gorbacheva kemudian membahas tiga aspek dari aktivitas museum tersebut,

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

35

Universitas Indonesia

yaitu: pertama, adalah aspek hubungan antara museum dengan lingkungan

perkotaan di sekitarnya, kedua, perubahan yang terjadi pada kota-kota sepanjang

waktu, dan ketiga, hubungan antara museum dan masyarakat pada jaman

sekarang.

Dalam kaitannya dengan aspek pertama, museum kota tidak lagi tetap

berada dalam kungkungan aktivitas tradisional yaitu museum hanya ditempatkan

pada sebuah gedung atau sebuah kompleks gedung yang terletak di pusat kota dan

menjadi basis bagi pameran-pameran artefak museum. Dalam hal ini, museum

baru didasarkan pada bekerja dengan ruang lebih luas yang berarti bahwa akan

banyak museum kota yang kini memiliki struktur yang kompleks terdiri dari

bukan hanya bangunanan-bangunan individual saja, melainkan terdiri dari

keseluruhan wilayah kota. Berdasarkan konsep kontemporer ini, “The Moscow

City Museum” kemudian membuka tujuh cabang aktivitas, beberapa di antaranya

berkembang pada wilayah yang jauh dari pusat kota historis (Gorbacheva,

2006: 51). Dalam hal ini, cabang-cabang aktivitas berada pada wilayah-wilayah

berdasarkan pada perkembangan kota, sehingga museum kota mampu mencapai

wilayah-wilayah yang berkembang lebih akhir dan menjadi pusat informasi bagi

wilayah-wilayah tersebut.

Pembentukan “The Museum of Culture at the Kuzminki Country Estate”

adalah salah satu contohnya. Sesuai dengan konsep kontemporer dari

pengembangan museum, “The Moscow City Museum” kemudian membentuk

pusat museum yang mengembangkan seluruh bentuk non-tradisional dari segala

kerja museum, berdasarkan pada upaya untuk menghidupkan kembali tradisi

kehidupan perumahan elit serta budayanya dan melibatkan museum dalam

kehidupan sosial kontemporer. Pameran-pameran dikhususkan untuk

menampilkan sejarah, etnografi serta kehidupan sehari-hari dapat dilihat dalam

pengelolaan Kuzminki. Program lain adalah dengan adanya festival tahunan untuk

taman bunga dan festival musik internasional, “Music of Noble Estates” yang

mengarah kepada konsep “Park of Historical Entertainment” serta menghidupkan

kembali “The Russian School of Riding” di istal-istal pada perumahan tersebut

(Gorbacheva, 2006: 51).

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

36

Universitas Indonesia

Pada uraian akhir tentang aspek hubungan antara museum dengan

lingkungan perkotaan, Gorbacheva memberi kesimpulan bahwa:

This museum reveals a specific trend in the development of museums: the

structure of museums has become complex and composite, and they are no

longer composed of buildings and artefacts, but encompass heritage as a

whole. The museum interpretation of space provides new value to the

sense of the place and of inhabiting it (Gorbacheva, 2006: 52).

Dengan demikian, konsep ini memberi pemahaman tentang adanya

kesamaan antara konsep museum kota dengan konsep museum situs. Dalam hal

ini, bangunan museum hanya berfungsi sebagai pusat informasi, koleksi museum

adalah kota itu sendiri.

Aspek kedua berpandangan bahwa kota berkembang seiring dengan

waktu, untuk itu dalam kategori filosofis akan mempengaruhi segala aktivitas dari

museum kota. Museum adalah refleksi dari masa lalu, kini dan masa depan

perkembangan kota itu sendiri beserta masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan

refleksi tersebut, lingkungan perkotaan dan kehidupan kota, waktu tidak dibagi

menjadi masa lalu, kini, dan masa depan namun disatukan. Saat ini, warisan,

kehidupan kontemporer serta titik-titik kehidupan modern diperlihatkan dalam

kehidupan kota. Kantor-kantor modern, bank serta pertokoan terletak dan

ditempatkan pada kompleks-kompleks bangunan tua dimana secara bersama-sama

beroperasi dengan museum kota (Gorbacheva, 2006: 52).

Demikian halnya dalam menghadapi isu-isu publik, “The Moscow City

Museum”, pada tahun 2001 melaksanakan pameran ilmiah berskala internasional,

disebut dengan “The Moscow International Museum Forum” yang dijadwalkan

secara periodik. Pada tahun 2005 “The Moscow City Museum” mengadakan

proyek pameran “The World After the War”. Pameran ini tidak merefleksikan

kejadian perang tersebut, namun memperlihatkan konsekuensi perang terhadap

kota Moskow serta terhadap negara secara keseluruhan, berkaitan dengan

perkembangan dari negara-negara di Eropa serta perubahan dalam kebijakan

global. Lebih dari duapuluh museum di Moskow, Rusia dan Eropa berpartisipasi

dalam forum ini. Sebelas pameran dilakukan dalam waktu satu bulan, bersama-

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

37

Universitas Indonesia

sama dengan konferensi ilmiah serta acara-acara publik lainnya (Gorbacheva,

2006: 52).

Sementara itu, penekanan pada aspek ketiga adalah bahwa kompleksitas

permasalahan perkotaan khususnya aspek sosial menyebabkan fokus museum

kota sekaligus memperhitungkan masalah-masalah sosial dan moral dalam

perkembangan kota. Oleh karena itu, masalah-masalah seperti kriminalitas,

sektarian, dan ketegangan antar etnis atau terorisme harus dijadikan sebagai tema

pameran bagi museum kota. Dengan demikian, misi sosial dari museum adalah

bagaimana memperluas nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat

kota. Bentuk-bentuk program yang ditampilkan oleh “The Moscow City Museum”,

menghadapi tantangan ini adalah dengan berpartisipasi aktif dalam “City Days”

dan di “Moscow’s Historical and Cultural Heritage Days”. Dalam konteks ini,

museum kota dapat mewujudkan sebuah misi yaitu membantu masyarakat dalam

mengekspresikan diri sendiri serta untuk merawat dan mempertahankan artefak-

artefak material dan kebudayaan masyarakat dalam bentuk koleksi museum

(Gorbacheva, 2006: 52-53).

Berdasarkan uraian ketiga pandangan yang telah dikemukakan di atas,

dapat disimpulkan bahwa peran museum kota adalah sebagai mekanisme kultural

dalam merubah wajah fisik, sosial, maupun budaya perkotaan. Peran mekanisme

kultural ini dapat dilakukan dengan adanya keterlibatan antara museum dan

masyarakat sekitarnya.

Pandangan Duncan Grewcock misalnya, menekankan pada keterlibatan

museum dalam merubah wajah fisik perkotaan. Dalam hal ini, museum kota dapat

terlibat dalam perencanaan pengembangan kota yaitu sebagai media yang

menampilkan perubahan bentang alam perkotaan. Dalam uraian tentang

pandangan tersebut, Duncan Grewcock berkesimpulan bahwa:

….That is, as an open-ended, trusted democratic space, that can be

physically experienced as a quarter of the city, but also used as a site for

debate, discussion and experimentation on urban issues within the context

of a city’s past, present and future. This would see museums of cities as a

key element in the narrative of the city and as part of its ongoing story of

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

38

Universitas Indonesia

becoming: the museum as a networked, distributed conversation rather

than an inward-looking institution (Grewcock, 2006: 40).

Dalam konteks ini, peran museum kota disejajarkan dengan institusi yang

berperan dalam perencanaan dan pengembangan fisik perkotaan. Oleh karena itu,

titik awal untuk mengarahkan peran tersebut adalah menampilkan perubahan tata

ruang kota serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Dengan

demikian, titik awal ini memberi peluang bagi museum kota untuk membuka

ruang demokratis bagi warga kota dalam bentuk penyusunan program yang

bertujuan sebagai forum perdebatan ilmiah atau diskusi yang membahas

perubahan-perubahan tata ruang perkotaan. Hasil pembahasan tersebut dapat

dijadikan rekomendasi untuk diajukan kepada stakeholder lain dalam kaitan

perencanaan pengembangan tata ruang kota.

Pandangan Jack Lohman lebih mengarahkan peran sosial museum kota,

peran tersebut dalam rangka menghadapi isu keragaman warga kota. Dalam hal

ini, museum kota dianggap mampu memberi pencerahan terhadap isu-isu yang

mengarah pada konflik budaya. Dalam uraian tentang pandangan tersebut, Jack

Lohman berkesimpulan bahwa:

…The challenge to museums to engage in issues such as the building of

national identity out of the fragments of diverse groups, to be agents for

change and peacebuilding, and help to address the challenge of poverty

reduction are all part of a brief which some would consider beyond our

ambit and capability (Lohman, 2006: 19).

Dalam konteks ini, peran museum kota diarahkan pada sebuah institusi

yang mampu memediasi dan memberi advokasi terhadap isu-isu konflik

keragaman warga kota. Oleh karena itu, titik awal untuk mengarahkan peran

tersebut adalah menampilkan dampak negatif dari konflik atau peristiwa masa

lalu. Dampak negatif dari peristiwa tersebut harus dimaknai sebagai pengalaman

sekaligus menjadi pelajaran dalam menghadapi isu-isu yang sama di masa yang

akan datang. Dengan demikian, titik awal ini memberi peluang bagi museum kota

untuk menyusun program kegiatan yang berkaitan dengan upaya mediasi dan

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

39

Universitas Indonesia

advokasi terhadap konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana

disebut sebagai ruang dialog. Peran seperti ini sekaligus memberi ruang bagi

museum kota dalam menghadapi isu-isu kekinian khususnya pada isu-isu sosial

perkotaan.

Pandangan Tatiana Gorbacheva lebih mengarahkan peran museum kota

dalam bentuk program kegiatan sebagai langkah konkret atau wujud aksi nyata

museum dalam menampilkan perannya kepada masyarakat. Titik perhatian pada

pandangan yang dikemukakan tersebut adalah peran museum kota dalam

melestarikan warisan budaya baik wujud artefak maupun tradisi-tradisi yang

tumbuh dan berkembang yang mengiringi perkembangan kota. Dalam uraian

tentang pandangan tersebut, Tatiana Gorbacheva mengemukan kesimpulan

bahwa:

…the city museum is currently developing into a complex structure,

including different objects and urban spaces. The dialogue of the museum

with the city community, and conducting large-scale social programmes

and projects has become the main task of museum activities, which are

based on humanitarian values and resist ideas of destruction and violence.

Museums change traditional methods of work, transforming into public

museums centres of social life and culture. And this evolution of our

museum practice is caused by the very dynamism of city life (Gorbacheva,

2006: 54).

Pandangan ini sekaligus menjadi kesimpulan dari ketiga pandangan yang

telah dikemukakan bahwa museum kota harus mengubah metode kerja tradisional

dan bertransformasi menjadi museum publik serta menjadi pusat dari kehidupan

dan kebudayaan kota. Peran tersebut, setidaknya dapat diwujudkan oleh museum

kota melalui pameran yang ditampilkan, sehingga membuka peluang bagi

museum untuk mengarahkan program kegiatannya pada peran mekanisme

kultural.

Dengan demikian, konsep museum kota yang dimaksudkan pada

penelitian ini diperoleh dari beberapa pendapat yang dikemukakan sebelumnya,

sehingga diperoleh pemahaman khusus tentang konsep pameran pada jenis

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

40

Universitas Indonesia

museum kota. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, konsep museum kota yang

terdiri atas pengertian dan kerangka kerja memberi pemahaman tentang aspek

yang menjadi fokus sebuah museum kota. Berdasarkan pada pengertiannya,

sebagaimana dikemukakan oleh Amareswar Galla (1995), bahwa museum kota

hadir untuk merepresentasikan bukti-bukti tinggalan manusia dan lingkungan

dalam ruang lingkup kota tertentu. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa museum kota

hadir untuk melayani masyarakat perkotaan dan pengembangannya. Aspek

penting lain dalam hal pameran museum kota, adalah aspek yang berkaitan

dengan pendekatan yang dilakukan oleh disiplin ilmu yang mengkaji sebuah kota

yaitu aspek fisik dan sosial. Dalam hal ini, aspek fisik dapat dilihat pada

pandangan yang dikemukakan oleh Duncan Grewcock bahwa museum dapat

berperan sebagai pendekatan baru dalam perencanaan kota. Arah peran museum

pada aspek tersebut, dapat diwujudkan melalui pameran sehingga masyarakat

memperoleh pemahaman tentang perubahan fisik kota. Sementara itu, aspek sosial

dapat dilihat pada pandangan yang dikemukakan oleh Jack Lohman bahwa

museum dapat berperan sebagai mediator dalam menghadapi konflik keragaman

warga kota. Arah peran museum pada aspek ini, dapat diwujudkan melalui

pameran sehingga masyarakat memperoleh pemahaman tentang keragaman warga

kota. Dengan demikian, titik perhatian museum kota dalam menjelaskan

perubahan kota adalah pada aspek perubahan fisik dan perubahan sosial.

Pandangan lain dikemukakan oleh Tatiana Gorbacheva, bahwa museum kota

harus aktif dalam upaya mendekatkan diri pada komunitas yaitu warga kota

berupa bentuk-bentuk program untuk melestarikan warisan budaya baik wujud

artefak maupun tradisi-tradisi. Demikian halnya dikemukakan oleh Max Hebditch

tentang kerangka kerja museum kota memberi pemahaman bahwa museum kota

dapat menjelaskan perubahan kota melalui objek yang ditampilkan, yaitu artefak,

bukti-bukti lingkungan, catatan tentang tempat, dan testimoni. Melalui objek-

objek tersebut, museum kota dapat melakukan interpretasi kemudian

menampilkan kepada masyarakat. Pemahaman inilah yang kemudian dijadikan

sebagai landasan konsep untuk menghasilkan sebuah konsep ideal tentang

pameran museum kota.

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

41

Universitas Indonesia

Selanjutnya untuk melengkapi landasan konsep sebagaimana dikemukakan

di atas, diperlukan sebuah perbandingan tentang konsep pameran yang telah

dikembangkan oleh museum kota. Dalam hal ini, konsep pameran dimaksud

adalah konsep pameran pada “The Museum of London”, salah satu museum kota

yang ada di Inggris.

2.1.4 Konsep Pameran “The Museum of London”

Pembahasan ini dimaksudkan untuk memberikan uraian tentang konsep

pameran yang diterapkan oleh salah satu museum kota yaitu “The Museum of

London” (The Museum of London, 2010). Pilihan terhadap konsep pameran “The

Museum of London”, karena beberapa pertimbangan, yaitu; museum ini dianggap

berhasil dalam mengembangkan konsep pameran sebuah museum kota khususnya

tentang aspek masa lalu dan kontemporer perkembangan kota; beberapa

pandangan para ahli yang telah dikemukakan sebelumnya adalah para profesional

yang bekerja di museum ini sehingga dapat dikatakan bahwa museum ini adalah

pelopor bagi konsep ideal museum kota; dan museum ini memberi perhatian

terhadap perkembangan permuseuman khususnya museum kota, salah satu yang

dapat dikemukakan adalah merintis dan menyelenggarakan sebuah simposium

bertaraf international untuk pertama kalinya dengan tema “Reflecting the City”.

Konsep pameran “The Museum of London” terbagi atas dua yaitu pameran

fisik dan pameran virtual. Pameran fisik terbagi atas; Pameran Tetap (Permanent

Exhibition), Pameran Khusus (Special Exhibition), dan Community Exhibition and

Project. Sementara pameran virtual dikhususkan untuk menampilkan pameran

berbasis web. Konsep lain yang ditampilkan museum ini adalah sebuah pameran

yang menghadirkan keterlibatan masyarakat pada pameran yang disebut

“Community Exhibition and Project”. Konsep pameran museum ini berdasarkan

pada misi, yaitu: menginspirasi sebuah semangat bagi London melalui:

a. Menghubungkan sejarah London, arkeologi, dan budaya kontemporer dengan

dunia yang lebih luas;

b. Mengambil bagian dalam diskusi tentang London; dan

c. Memfasilitasi dan memberi konstribusi pada budaya luar dan jaringan

pendidikan London (The Museum of London, 2010).

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

42

Universitas Indonesia

Pada pameran tetap “The Museum of London”, di antaranya menampilkan

tema yang memuat tentang:

a. London before London, tema ini mengeksplorasi kehidupan Lembah Thames

dan sepanjang sungai Thames hingga terbentuknya London pada 50 M.

Informasi yang ditampilkan adalah hubungan antara masyarakat dan

lingkungannya, terdapat lebih dari 300 koleksi yang ditampilkan dan terbuat

dari perunggu dan besi. Salah satu koleksi yang ditampilkan adalah kerangka

yang berumur 5.640 dan 5.100 tahun serta sebuah rekonstruksi wajah

berdasarkan kerangka tersebut.

b. London Romawi, tema ini menampilkan kisah tentang terbentuknya kota

London pada jaman Romawi, di antaranya pembangunan jembatan sungai

Thames serta jaringan jalan yang menghubungkan dengan wilayah sekitarnya.

Tema ini menampilkan sejarah kota London sekitar 50 M hingga 410 M, pada

periode inilah awal munculnya kerajaan Britannia yang dipimpin oleh Ratu

Elizabeth I. Koleksi yang ditampilkan di antaranya ratusan alat kerajinan,

gerabah dan kapal kaca. Pada tema ini ditampilkan sebuah kamar yang

direkonstruksi dan menggambarkan kehidupan warga London. Koleksi yang

ditampilkan pada tema ini adalah sebuah patung marmer dari Kuil Mithras,

salah satu karya seni terbaik yang ditemukan pada masa Britania.

c. Medieval London, tema ini menampilkan kehidupan abad pertengahan kota

London, sekitar 410 hingga 1558 M. Tema ini sekaligus menampilkan kisah

penyerangan orang-orang Viking dan Penaklukan Norma pada 1066 M.

Koleksi yang ditampilkan di antaranya barang-barang kerajinan abad

pertengahan dan barang hasil perdagangan luar negeri, di antaranya bros, ikat

pinggang, lencana dan sepatu kulit. Koleksi-koleksi tersebut menjadikan tema

ini sebagai galeri untuk mempelajari kostum dan gaya populer abad

pertengahan.

d. Expanding City: 1660-1850s, tema ini mengeksplorasi kisah pembangunan

kembali kota London setelah peristiwa kebakaran. Tema ini sekaligus

menampilkan informasi tentang masa kejayaan Britania dengan pengaruh

global. Koleksi-koleksi yang ditampilkan di antaranya barang-barang dari

Kashmir (India) dan China. Periode ini juga merupakan periode kedatangan

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

43

Universitas Indonesia

para imigran dengan keterampilan baru yang mendukung perkembangan

bisnis dan budaya kota.

e. People’s City: 1850s-1940s, tema ini menampilkan kehidupan kota London

dimana pertumbuhan penduduk menciptakan pemisahan antara penduduk

yang miskin dan kaya. Periode ini menciptakan kota London yang kaya, dan

di sisi lain mengorbankan penduduknya sehingga menciptakan kesenjangan

sosial. Tema ini menggambarkan kehidupan kontras penduduk kota London,

sebuah peta yang mem-visualisasi-kan peta kemiskinan yang dibuat oleh

Charles Booth ditampilkan pada tema ini. Tema ini sekaligus

menggambarkan kisah saat konflik sosial terjadi di kota London, dimana para

pekerja bersatu untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

f. World City: 1950s-today, tema ini menampilkan periode peremajaan kota

London menuju kota modern. Periode ini menggambarkan pencapaian

teknologi di kota London di antaranya bidang kelistrikan, telekomunikasi, dan

otomotif. Tema ini sekaligus menampilkan perubahan bentuk-bentuk rumah

dan jalan-jalan kota. Periode ini juga menggambarkan heterogenitas kota,

dimana pada akhir abad ke-20 kota London merupakan kota yang

multikultural dan disatukan oleh identitas London. Tema ini diakhiri sebuah

gambar besar yang memberikan bayangan tentang London di masa depan.

g. The City Galery, Tema ini berada pada ruang khusus yang menyediakan

sebuah jendela besar yang memungkinkan pengunjung melihat ke arah luar

yaitu panorama kota London. Galeri ini juga menampilkan display yang

menggambarkan karakter unik kontemporer. Kehidupan masyarakat kota dan

kegiatan yang terkait dengan bagian dapat dilihat pada beberapa koleksi yang

ditampilkan di antaranya seragam polisi, lencana sherif dan topi sekolah yang

dikenakan di asrama Freemen’s School 1945-1952. Galeri ini sekaligus

digunakan untuk menampilkan pameran khusus yang ditampilkan “The

Museum of London”.

h. The Sackler Hall, adalah sebuah aula besar sebagai tempat istirahat yang

menampilkan beberapa koleksi lukisan dan karya seni. Sebuah layar besar

dipasang pada ruangan ini untuk memutar film-film tentang kehidupan kota

London. Karya seni elektronik ini berupa layar berbentuk bulat panjang,

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

44

Universitas Indonesia

sehingga membentuk patung instalasi yang mengesankan dan menjadi ruang

media yang dinamis dalam museum, media elektronik ini sekaligus

dihubungkan dengan jaringan internet. Ruangan ini sekaligus merupakan

media untuk menampilkan pameran khusus yang berubah sepanjang tahun.

i. War, Plague and Fire, tema menampilkan kisah tentang dampak Perang Sipil

Inggris dan dampak bencana serta wabah besar pada tahun 1665 serta

kebakaran besar pada tahun 1666 (The Museum of London, 2010).

Pameran khusus (Special Exhibition) “The Museum of London”,

menampilkan beragam tema yang berubah secara teratur setiap tahun. Tema

berikut adalah uraian tema yang ditampilkan “The Museum of London” saat ini.

Tema-tema yang ditampilkan di antaranya;

a. Thomson and Craighead, adalah sebuah instalasi interaktif karya seniman

digital Thomson & Craighead yang ditempatkan di London Wall yang

memuat kolase kata-kata dan gambar tentang kota London. Instalasi interaktif

ini terinspirasi oleh jaringan global sebuah media baru untuk membuat seni

berbassi web seperti internet yang mampu mengubah cara pandang terhadap

dunia.

b. LDN24 by The Light Surgeons, tema ini ditampilkan di The Sackler Hall,

yaitu pemutaran film yang menggambarkan kehidupan kota London. Film-

film yang diputar adalah pemenang dari kompetisi film yang diselenggarakan

oleh museum untuk memberi kesempatan seniman multimedia paling

inovatif.

c. The Singh Twins, tema ini menampilkan karya seniman kembar keturunan

India (Amrit dan Rabindra Singh). Karya yang ditampilkan adalah sebuah

lukisan dengan campuran sejarah dan kontemporer yang mengembangkan

citra dan tokoh-tokoh terkenal yang menyentuh diaspora India di daratan

Inggris.

d. Copper and Silk: Prints by Keith Coventry, tema ini menampilkan karya

Keith Coventry seorang seniman di pusat seni rupa kontemporer di London.

Karya seniman ini fokus pada hasil cetakan pada bahan tembaga sutra. Salah

satu karya yang ditampilkan adalah sebuah sketsa abstrak yang berasal

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

45

Universitas Indonesia

sebuah peta yang ditemukan di perkebunan di kota London (The Museum of

London, 2010).

Bentuk lain dari pameran “The Museum of London” adalah proyek

pameran yang melibatkan warga kota. Salah satu tema yang ditampilkan adalah

“Brixton Riots”, yang menggambarkan sebuah peristiwa kerusuhan yang terjadi di

kota London pada April 1981. Pameran dirancang untuk menampilkan kesaksian-

kesaksian dalam bentuk audio-visual yang mengisahkan dan menggambarkan

peristiwa tersebut. Pada proyek pameran ini, penduduk kota London diberi

kesempatan untuk memberi kesaksian tentang peristiwa tersebut yang kemudian

direkam, hasil dari rekaman tersebut sekaligus ditampilkan sebagai koleksi

museum (The Museum of London, 2010).

Berdasarkan uraian tentang konsep pameran “The Museum of London”

tampak bahwa pameran yang ditampilkan pada pameran tetap dikhususkan pada

tema sejarah pertumbuhan kota baik aspek sosial, budaya maupun fisik.

Sementara pada pameran khusus, tema yang ditampilkan lebih kepada fungsi

fasilitator museum terhadap seni-seni kontemporer. Konsep lain adalah dengan

ditampilkannya sebuah pameran yang melibatkan warga kota khususnya pada isu-

isu yang akrab bagi warga kota. Dengan demikian, konsep pameran sebagaimana

yang dilakukan oleh “The Museum of London”, dapat dijadikan acuan konsep

karena berbagai hal, di antaranya:

a. Khusus pada konsep pameran tetap, museum menampilkan sejarah

pertumbuhan kota secara diakronik sehingga dapat menjelaskan proses

pertumbuhan kota berdasarkan aspek fisik dan sosial;

b. Melalui pameran khusus, museum mampu menampilkan konteks kontemporer

sebuah kota khususnya pada bidang seni;

c. Melalui proyek pameran komunitas, museum melakukan kerja sama dengan

melibatkan masyarakat.

d. Konsep pameran tersebut menjadikan museum sebagai mekanisme kultural

bagi pengembangan masyarakat.

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

46

Universitas Indonesia

2.2 Konsep Tematik Pameran Museum Kota

Berikut ini adalah uraian tentang konsep tematik pameran museum kota,

uraian ini didasarkan pada pembahasan sebelumnya tentang konsep museum kota.

Pembahasan tentang pameran menjadi penting karena pameran adalah salah satu

produk museum dalam memberikan beragam pengalaman yang dapat memenuhi

suatu kebutuhan manusia akan pengetahuan dan rekreasi. Wujud produk museum

yang lain adalah seminar, tur, maupun program-program kegiatan lainnya.

Melalui produk inilah museum berupaya untuk mencapai tujuan pendiriannya,

sementara itu, tujuan pendirian sangat tergantung pada jenis serta visi dan misi

museum. Dengan demikian, dapat disebutkan bahwa pameran adalah salah satu

instrumen penting bagi museum, dan tema pameran yang ditampilkan merupakan

titik awal pengembangan produk-produk lainnya.

Dalam kaitannya dengan pameran, terdapat perbedaan pendekatan antara

new museum konsep yang berorientasi kepada educational exhibition dengan

konsep museum tradisional yang lebih berorientasi kepada objek dan unsur

estetika (Wanny Rahardjo dan Irmawati Johan, 2009: 106). Konsep museum baru

lebih terpusat pada pendekatan tematik yang akan dimunculkan dalam bentuk

“ingatan kolektif” masyarakat bagi keperluan kontemporer (Hauenschild,

1988: 13). Hal inilah yang kemudian dijadikan sebagai pemahaman awal bagi

profesional yang bekerja di museum untuk menentukan apa yang pantas untuk

ditampilkan di museum. Oleh karena itu, pada tataran bagaimana pameran dapat

memengaruhi pengalaman pengunjung, dilakukan kajian museologi tentang tema-

tema apa yang seharusnya ditampilkan oleh museum. Dengan demikian, makna

museum menurut pandangan museologi diukur dari manfaat intelektual dan

psikologis yang mampu disampaikan kepada masyarakat (Noerhadi Magetsari,

2009: 3).

Konsep museum baru pada akhirnya menjadi pedoman dalam pengelolaan

museum, dan konsep ini diterapkan dengan memerhatikan jenis dan bentuk

museum itu sendiri. Jika konsep museum baru hendak dibawa ke dalam konteks

museum kota, maka fungsi museum bagi warga kota masih harus terus

dikembangkan. Harapan masyarakat terhadap museum kota mampu menjadi

ruang yang mempertemukan sejarah dan identitas kota dengan kesadaran

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

47

Universitas Indonesia

warganya, tidak hanya tentang masa lalu tetapi juga identitas kekinian. Dalam

konteks ini, museum hendaknya menyimpan berbagai jejak masa lalu ihwal

sejarah perjalanan kota, bersama warga kota di dalamnya (Pikiran Rakyat, 2009).

Demikian, berdasarkan uraian sebelumnya tentang konsep museum kota

serta pentingnya pendekatan tematik bagi pameran museum, maka perlu

dirumuskan tentang unsur tema pameran museum kota. Unsur tema dimaksud di

antaranya terkait dengan; awal pertumbuhan kota, identitas masyarakat dan kota,

aspek budaya dan sosial perkotaan, dan struktur tata ruang kota.

2.2.1 Awal Pertumbuhan Kota

Tema yang terkait dengan sejarah terbentuknya kota adalah unsur penting

yang harus ditampilkan museum kota. Unsur ini dimaksudkan untuk memberi

pemahaman tentang bagaimana sebuah kota terbentuk serta informasi tentang

sejarah yang melatarinya. Setiap kota tentunya memiliki sejarah tersendiri yang

berbeda dengan sejarah kota yang lain. Unsur tema ini sekaligus menjadi sebuah

pengantar bagi pengunjung museum untuk memahami awal terbentuknya sebuah

kota.

Pemahaman tentang sejarah terbentuknya kota mampu membentuk

kesadaran sehingga persoalan kota dapat dipahami sebagai sebuah proses.

Kesadaran bahwa kota mempunyai semacam ciri khas akan semakin jelas ketika

memperoleh pemahaman tentang komparasi berbagai tipe kota serta persoalan

peradaban sebuah kota (Paulus Haryono, 2007: 41). Dalam konteks museum,

informasi tersebut dapat ditampilkan kepada pengunjung untuk kemudian

memperoleh pemahaman sejarah pertumbuhan dan perkembangan sebuah kota.

Pemahaman lain yang diharapkan dengan menampilkan unsur tema sejarah

terbentuknya kota dapat memberi kesadaran kepada masyarakat pentingnya

pelestarian warisan budaya dari sebuah kota.

2.2.2 Identitas Masyarakat Kota

Pemahamana tentang pengertian identitas dikemukakan oleh Alo Liliweri

(2007), dengan mengutip Webster New World Dictionary menyebutkan bahwa

kata identitas berasal dari kata Identity, yang berarti (1) kondisi atau kenyataan

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

48

Universitas Indonesia

tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu sama lain; (2) kondisi

atau fakta tentang sesuatu yang sama di antara dua orang atau dua benda; (3)

kondisi atau fakta yang menggambarkan sesuatu yang sama di antara dua orang

atau dua kelompok atau benda; (4) pada tataran teknis. Dengan demikian,

pengertian ini hanya sekedar menunjukkan tentang suatu kebiasaan untuk

memahami identitas dengan kata “identik” (Liliweri, 2002: 69). Selanjutnya,

disebutkan bahwa pengertian identitas pada tataran hubungan antarmanusia akan

memberikan pemahaman tentang sesuatu yang lebih konseptual. Oleh karena itu,

pada tataran ini, identitas harus dipahami sebagai cara mengidentifikasi, atau

merinci sesuatu yang dilihat, didengar, diketahui, atau yang digambarkan,

termasuk mengidentifikasi sebuah spesimen biologis, bahkan mengidentifikasi

pikiran seseorang dengan madzhab yang mempengaruhi, merinci aspek-aspek

psikologis (Liliweri, 2002: 70).

Demikianlah, uraian di atas memberikan pemahaman bahwa konsep

identitas berada pada dua tataran yaitu pada tataran teknis yang sering dipahami

sebagai sesuatu yang mirip dengan menggunakan kata identik. Sementara itu,

tataran yang lebih konseptual bahwa identitas adalah upaya untuk

mengidentifikasi sesuatu. Dengan demikian, kaitan dengan identitas kota, konsep

identitas memberikan dua pemahaman yaitu; pertama, apa yang harus

diidentikkan dengan kota, dan kedua, bagaimana mengidentifikasi kota.

Selanjutnya, dapat dijelaskan bahwa identitas kota pada pemahaman

pertama dapat berupa wujud fisik dan sesuatu yang abstrak pada pemahaman yang

kedua. Manneke Budiman (2009), menjelaskan bahwa bangunan, desain dan

infrastruktur dapat dikaitkan dengan konstruksi identitas dan memori kolektif

(Abidin Kusno, 2009: xx). Dengan demikian, wujud fisik identitas kota dapat

dilihat pada bangunan, desain dan infrastruktur, sementara itu, hal yang abstrak

adalah makna dari wujud fisik tersebut. Demikianlah, identitas kota yang

dimaksud dalam hal ini adalah apa dan bagaimana kota dapat diidentifikasi oleh

pihak luar.

Kaitannya dengan museum kota, ruang lingkup selanjutnya adalah warga

kota itu sendiri, dengan demikian, identitas warga kota harus ikut ditampilkan.

Pemahaman ini berlandaskan pada masyarakat kota yang heterogen, multietnis

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

49

Universitas Indonesia

dan multikultur. Dalam hal ini, identitas warga kota yang dimaksud adalah

identitas berdasarkan etnis, agama, dan budaya.

Berdasarkan uraian di atas, aspek penting yang menjadi perhatian terhadap

unsur tema ini adalah:

a. Kaitan dengan identitas pada tataran teknis bahwa kota sering “di-

identik-kan” dengan ruang (bangunan maupun landmark). Sementara itu, pada

tataran kontekstual identitas kota dapat dilihat pada wujud bangunan karena

dibalik wujud fisiknya terdapat sebuah konsep atau makna simbolis yang

melatari pendirian bangunan tersebut.

b. Aspek lain adalah identitas masyarakat kota. Aspek ini menjadi penting ketika

peran museum kota dihadapkan pada kenyataan masyarakat kota yang

heterogen. Oleh karena itu, identitas yang terkait dengan budaya, etnis,

maupun keagamaan adalah unsur tema yang penting untuk ditampilkan oleh

museum kota.

2.2.3 Aspek Budaya dan Sosial Perkotaan

Konsep kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1990), berarti keseluruhan

gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta

keseluruhan dari hasil budi dan karyanya. Sementara itu, kata “kebudayaan”

berasal dari kata Sansekerta buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang

berarti “budi” atau “akal”, sehingga kebudayaan diartikan “hal-hal yang

bersangkutan dengan budi dan akal”. Dalam bahasa Inggris kebudayaan berasal

dari kata Latin Colere, yang berarti “mengolah, mengerjakan”, sehingga

berkembang arti culture, sebagai segala daya dan usaha manusia merubah alam.

Lebih lanjut, disebutkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, yaitu: pertama,

sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan

dan sebagainya; kedua, sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari

manusia dalam masyarakat; dan ketiga, sebagai benda-benda hasil karya manusia

(Koentjaraningrat, 1990: 9 dan 5). Dengan demikian, dapat disebut bahwa

kebudayaan adalah sistem dimana wujud ide berpengaruh pada wujud sosial, dan

kedua wujud tersebut berpengaruh pada wujud fisik. Kaitan dengan budaya kota

maka dapat disimpulkan bahwa budaya kota adalah keseluruhan sistem dimana

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

50

Universitas Indonesia

wujud ide berpengaruh pada aktivitas sosial warga kota dan kemudian

memengaruhi wujud fisik kota. Demikian halnya wujud fisik dapat memengaruhi

wujud perilaku warga kota.

Demikian, maka kota menyerupai suatu sistem, saling berkaitan dan

berpengaruh. Misalnya, masyarakat kota cenderung memiliki lebih banyak

kebutuhan sehingga di kota akan lebih banyak (jenis) pekerjaan sehingga terdapat

ragam profesi, pusat perbelanjaan, dan fasilitas kota untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat (Paulus Hariyono, 2007: 16). Sistem inilah kemudian yang

membentuk budaya kota.

Budaya kota seringpula dikaitkan dengan peradaban dimana pembangunan

fisik diikuti dengan pembangunan mental warga kota. Peradaban itu sendiri

menjadi ciri kota dengan adanya perkembangan sosio-kultural, teknologi dan

modernisasi. Dalam pengertian yang berbeda, budaya kota dikaitkan dengan

istilah urbanisasi yang memiliki pengertian pokok adalah apakah warganya

mampu memiliki ciri-ciri sebagai warga kota, menyesuaikan dengan kebudayaan

kota dengan pola-pola tertentu dalam memanfaatkan suatu ruang, sarana dan

prasarana kota (Paulus Hariyono, 2007: 89-93).

Dalam hal ini, museum kota diharapkan mampu membaca budaya kota

sebagai teks yang dapat di-narasi-kan dan kemudian ditampilkan. Kajian cultural

studies dalam hal ini menyebutkan bahwa:

konsep teks bukan hanya mengacu pada kata tertulis, meski ini adalah

salah satu dari kata itu, melainkan semua praktik yang mengacu pada

makna (to signify). Termasuk pembentukan makna melalui berbagai citra,

bunyi, objek, dan aktivitas. Karena citra, bunyi, objek dan praktik

merupakan sistem tanda, yang mengacu pada suatu makna dengan

mekanisme yang sama dengan bahasa, maka semua itu dapat disebut

dengan teks kultural (Barker, 2008: 12).

Penjelasan lebih lanjut bahwa hal yang sangat penting adalah makna

diproduksi dalam interaksi antara teks dan pembacanya sehingga momen

konsumsi juga merupakan momen produksi yang penuh makna (Barker,

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

51

Universitas Indonesia

2008: 12). Dalam konteks museologi dapat dijelaskan sebagai proses interpretasi

atas interpretasi yang disampaikan museum.

Aspek lain pada unsur tema ini adalah sosial perkotaan. Istilah sosial

perkotaan dikaitkan dengan permasalahan sosial yang timbul akibat hubungan

sosial antar warga kota. Oleh karena itu, muncul pula istilah isu-isu sosial

perkotaan yang dikaitkan dengan kemiskinan, kriminalitas dan kekerasan. Aspek

ini menjadi penting ketika museum kota dihadapkan pada peran sosial bahwa

museum kota diharapkan mampu melakukan advokasi dan memediasi konflik

sosial maupun konflik budaya.

2.2.4 Struktur Tata Ruang Kota

Sebagaimana telah disebutkan bahwa kajian terhadap kota membahas dua

aspek penting yaitu; aspek sosial-budaya dan aspek fisik. Istilah struktur tata

ruang kota sendiri mengandung aspek sosial (mis: dengan adanya istilah ruang

sosial) dan aspek fisik (yang nampak pada wujud fisik kota, mis: bangunan,

jaringan jalan, taman, dll). Pemahaman lain terhadap struktur tata ruang kota

adalah pemanfaatan ruang yang terbentuk akibat perubahan fisik yang terjadi pada

perkembangan kota. Dalam hal ini, unsur tema struktur tata ruang kota lebih

dimaksudkan pada aspek fisik perkembangan kota.

Wujud fisik kota pada dasarnya terbentuk dari hasil interaksi manusia

terhadap lingkungan alam maupun lingkungan sosial. Demikian halnya, bahwa

pembangunan fisik kota dimaksudkan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan

warganya. Aspek lain bahwa perubahan-perubahan fisik kota memberikan

dampak signifikan terhadap perkembangan kota. Konteks ini memberikan

pemahaman bahwa kota adalah “artefak peradaban terbesar”, hal ini memberi

kesempatan kepada museum kota bahkan tanggung jawab untuk terlibat dan

membantu masyarakat memahami serta secara aktif merubah bentuk lingkungan

perkotaan (Grewcock, 2006: 32-33). Dengan demikian, unsur tema tentang

struktur tata ruang kota penting ditampilkan ketika museum kota dihadapkan pada

perannya dalam perencanaan dan pengembangan kota.

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

52

Universitas Indonesia

2.3 Konsep Penyajian Pameran

Museologi sebagai payung teori dalam pekerjaan permuseuman,

membawa konsekuensi terhadap pelaksanaan pekerjaan permuseuman, di

antaranya; terhadap ahli museologi, terhadap bentuk museum, dan terhadap

pameran (Noerhadi Magetsari, 2009: 7). Oleh karena fokus penelitian mengkaji

tentang pameran museum maka uraian berikut ini hanya membahas tentang

konsekuensi penerapan museologi terhadap pameran.

Pameran menurut Gary Edson dan David Dean (1996), dapat disusun

berdasarkan tujuan dan maksudnya, sekaligus merupakan wujud penafsiran

dengan presentasi yang lengkap, tidak hanya objek tetapi juga konteks,

maksud/arti, sejarah-sejarah, arti penting dan lain-lain (Edson dan Dean, 1996:

149). Dalam wacana cultural studies representasi dan makna kultural memiliki

materialitas tertentu yang diproduksi, ditampilkan, digunakan dan dipahami dalam

konteks sosial tertentu pula (Barker, 2008: 9). Dengan demikian, pameran tidak

sekadar menampilkan benda mati yang tanpa makna, akan tetapi harus

menampilkan koleksi yang sebelumnya telah dilakukan proses pemaknaan koleksi

yang disebut dengan proses musealisasi. Dalam konteks ini, Umberto Eco dalam

Travels in Hyperreality menyebut bahwa pameran selain sebagai acara

pengumpulan barang dan koleksi objek-objek simbolis, juga merupakan

instrumen pendidikan, termasuk memperjelas hal-hal yang ilmiah (Mikke

Susanto, 2004:8). Terdapat dua tipe atau gaya pendekatan utama berdasarkan

karya dari suatu pameran, yaitu:

a. Tipe/gaya dengan pendekatan yang estetik merupakan pameran yang

berkonsentrasi pada pandangan bahwa objek memiliki nilai yang intrinsik

yang dengan sendirinya berbicara untuk dirinya sendiri.

b. Tipe/gaya dengan pendekatan rekonstruktif, adalah suatu pendekatan yang

menghadirkan objek sebagai suatu yang memiliki arti secara etnografi dan

berusaha untuk menginformasikan budaya latarnya (Mikke Susanto, 2004:

45-46).

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

53

Universitas Indonesia

Sementara itu, pameran didefinisikan oleh Verhaar dan Meeter,

sebagaimana yang disebutkan dalam bukunya Project Model Exhibition,

mengatakan bahwa:

Sebuah pameran adalah alat komunikasi yang mengarah kepada kelompok

publik yang lebih besar, dengan metode yang khusus bersifat visual dan

dipajang dalam ruangan, dapat menyampaikan berbagai informasi, gagasan,

dan perasaan yang berhubungan dengan kesaksian materi yang terdapat pada

manusia dan lingkungannya (Verhaar dan Meeter, 1989: 32).

Dijelaskan lebih lanjut oleh Verhaar dan Meeter, bahwa kata komunikasi

diartikan sebagai pengiriman informasi dan gagasan dengan tekad sadar untuk

menyebabkan terjadinya perubahan tertentu sesuai dengan keinginan si pengirim,

dalam diri si penerima, khususnya dalam pengetahuannya, pendapatnya, sikap

dan/atau tingkah lakunya (Verhaar dan Meeter, 1982: 32). Lebih lanjut,

dikemukakan bahwa tipe pameran dapat digambarkan dalam bentuk skala

perbandingan objek dan informasi, sebagaimana tampak pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Skala Perbandingan Objek dan Informasi

Sumber: Verhaar dan Meeter, 1989.

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

54

Universitas Indonesia

Berdasarkan skala perbandingan ini hubungan antara objek dan informasi

dapat dibedakan dalam dua hal, yaitu:

a. Pameran yang terarah pada objek, yang menjadi pusat ialah objeknya. Jenis ini

khususnya didapatkan dalam museum benda seni dan di beberapa museum

yang lebih tradisional di bidang sejarah dan pengetahuan.

b. Pameran yang terarah pada konsep, yang menjadi pusat ialah “ceritanya”,

yaitu penyampaian informasi. Untuk penyampaian “cerita” itu lewat objek,

dapat menggunakan sarana bantu seperti teks, media audio-visual, teori teknis

mengenai komposisi, dan sebagainya (Verhaar dan Meeter, 1989: 34).

Lebih lanjut, Verhaar dan Meeter, menjelaskan pada skala tersebut bahwa

perbedaan di antara keduanya tidak besar, yang terpenting adalah bahwa pilihan

ditentukan secara sadar, tergantung dari apa yang ingin dicapai pada masyarakat

(Verhaar dan Meeter, 1989: 34-35). Meski demikian, dalam perkembangan yang

lebih akhir sebagaimana konsep museum baru, bentuk penyajian informasi lebih

dikedepankan sebagai upaya peningkatan pelayanan yaitu memberi pengetahuan

kepada publik.

Selain tipe dan jenis pameran sebagaimana dijelaskan di atas, Noerhadi

Magetsari (2009), mengemukakan bahwa terdapat tiga pilihan sudut pandang

dalam penerapan museologi dalam penyajian pameran, yaitu:

a. Positivistik. Sudut pandang ini memberi alternatif kepada ahli museologi

untuk menyajikan message-nya dengan metode dedaktik. Dalam hal ini,

pengunjung diatur untuk bergerak mengikuti alur “cerita”. Alur ini disajikan

secara urut sehingga memungkinkan pengunjung untuk memperoleh sebuah

pengetahuan yang menyeluruh tentang sajian tersebut. Sudut pandang ini

memberikan pengetahuan kepada pengunjung melalui berbagai sajian yang

disampaikan secara sistematis.

b. Interpretatif. Sudut pandang ini mengundang kepada pengunjung untuk

melakukan sendiri interaksi dengan berbagai sajian yang ditampilkan. Metode

interpretasi, di luar masalah label, merangsang pengunjung untuk berpikir

tentang makna, simbolisme, dan informasi faktual tentang apa yang

dipamerkan.

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

55

Universitas Indonesia

c. Emansipatoris. Menurut sudut pandang ini pengunjung dibentuk persepsinya

melalui sajian yang ditampilkan, khususnya yang berkaitan dengan fenomena

sosial yang berkenaan dengan ketidakadilan atau ketidaksetaraan. Ditinjau dari

kerangka berpikir ini, maka yang disajikan bukan lagi objek, melainkan

maknanya yang ditampilkan secara logis sehingga makna itu pada gilirannya

dapat ditangkap dan dimengerti pengunjung. Dengan demikian, maka pameran

museum di satu pihak menantang dan merangsang pengunjung dengan cara

yang menggairahkan tetapi juga menyenangkan, sedangkan di lain pihak juga

sekaligus membantu membentuk kesadaran pengunjung (Noerhadi Magetsari,

2009: 12-13).

Demikian, akhir dari pembahasan pada bab ini memberi pemahaman baru

tentang konsep museum kota, yaitu: sejarah perkembangan konsep museum kota,

pengertian dan kerangka kerja museum kota, serta pandangan tentang peran

museum kota. Berdasarkan pada uraian tentang konsep museum kota, maka

diperoleh sebuah landasan konsep tentang pameran museum kota. Landasan

konsep tersebut, di antaranya: pameran museum kota hadir untuk menampilkan

bukti-bukti manusia dan lingkungan dalam ruang lingkup kota; pameran museum

kota menampilkan perubahan kota berikut manusia yang ada di dalamnya; titik

perhatian pameran museum kota adalah perubahan aspek fisik dan sosial

perkotaan; agar dapat menjelaskan proses perubahan kota, museum kota harus

melakukan interpretasi terhadap berbagai objek yang dapat dipamerkan yaitu

artefak, bukti-bukti lingkungan, catatan tentang tempat dan aktivitas, serta

testimoni. Selanjutnya, berdasarkan konsep pameran pada salah satu museum kota

yaitu “Museum of London”, diperoleh pemahaman bahwa pameran museum kota

harus menjelaskan perubahan kota secara diakronik, museum kota menampilkan

konteks kontemporer melalui pameran khusus, serta museum bekerja sama

dengan masyarakat melalui pameran komunitas. Berdasarkan landasan konsep

tersebut, selanjutnya diperoleh pemahaman lain tentang unsur-unsur tema yang

dapat ditampilkan oleh museum kota, yaitu: awal pertumbuhan kota, identitas

masyarakat kota, aspek budaya dan sosial perkotaan, serta struktur tata ruang kota.

Pemahaman lain, bahwa konsep pameran berorientasi pada educational

exhibition, yaitu pameran yang informatif sehingga diperoleh manfaat intelektual

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.

56

Universitas Indonesia

dan psikologis. Pemahaman terhadap konsep pameran informatif, membawa

konsekuensi pada penyajian pameran yaitu pameran adalah wujud penafsiran

dengan presentasi kontekstual yaitu maksud, sejarah, arti penting dan lain-lain.

Oleh karena itu, berkaitan dengan penelitian ini maka diperlukan sebuah evaluasi

terhadap Museum Kota Makassar sebagai studi kasus pada penelitian ini.

Konstruksi baru..., Syahruddin Mansyur, FIB UI, 2010.