bab 2 kajian pustaka dan kerangka berpikireprints.undip.ac.id/61357/5/bab_2.pdf · 17 tabel 2.1...
TRANSCRIPT
16
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
2.1. Industri Jasa Konstruksi
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu industri yang memberikan kontribusi
cukup besar pada PDB, dan pertumbuhannya selalu di atas pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Industri jasa konstruksi menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak, dan
menjadi alternatif pekerjaan bagi petani ketika kegiatan bercocok tanam tengah berada
pada masa tunggu. Pekerjaan bidang konstruksi mencakup pembangunan infrastruktur
serta pemukiman dan perumahan bagi warga.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 –
2019 telah ditetapkan target-target pembangunan yang akan dilaksanakan Pemerintah
di bidang infrastruktur untuk mendukung Sistem Logistik Nasional (Sislognas).
Pembangunan infrastruktur difokuskan pada 35 Wilayah Pengembangan Strategis
(WPS) yang tersebar di seluruh Indonesia, yang ditujukan untuk meningkatkan daya
saing dan mengurangi disparitas antar wilayah. Pembangunan WPS diintegrasikan
dengan pengembangan tol laut untuk mewujudkan konektivitas antar wilayah. Hingga
2015 terdapat 165 pelabuhan yang sudah didukung oleh jalan akses atau sudah
terhubung dengan jalan nasional. Pembangunan infra struktur juga dilaksanakan untuk
mendukung 25 Kawasan Strategis dan Pariwisata Nasional untuk menarik devisa dari
wisatawan luar negeri. Di bidang transportasi darat, akan dibangun 1.000 km jalan
bebas hambatan, 2.650 km jalan nasional, dan 47.017 km pemeliharaan jalan nasional.
Adapun di sektor sumber daya air akan dibangun 65 waduk yang menghasilkan 67,53
m3
/detik air baku untuk memenuhi kebutuhan 1 juta irigasi baru dan 3 juta irigasi
rehabilitasi (Khalawi, 2016).
Hingga tahun 2015 kebutuhan rumah (backlog) di Indonesia adalah sebesar 7,6
juta unit. Rumah tinggal adalah salah satu kebutuhan primer manusia, oleh karena itu
Pemerintah telah menyusun perencanaan dan pelaksanaan pengadaan pemukiman dan
perumahan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.1. Dengan melihat besarnya jumlah
pekerjaan konstruksi tersebut, dapat diprediksi banyaknya tenaga kerja konstruksi yang
dibutuhkan.
17
Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016)
No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun Pelaksanaan
2015 2016 2017
1 Pembangunan rumah susun untuk MBR 15.660 10.458 11.400
2 Pembangunan rumah khusus dalam rangka
penanganan paska bencana/konflik,
maritim, daerah tertinggal dan perbatasan
negara
6.713
5.906
1.900
3 Pembangunan rumah swadaya untuk
penurunan backlog dan rumah tidak layak
huni
83.575
94.210
109.500
4 Penyaluran bantuan pembiayaan untuk
pembangunan rumah umum melalui KPR
FLPP
73.416
87.390
375.000
5 Penyaluran bantuan uang muka untuk MBR 400 106.000 124.250
6 Pembangunan SPAM 9.286 ltr/dtk 8.363 ltr/dtk 4.180 ltr/dtk
7 Pembangunan infrastruktur di permukiman
kumuh 2.680 ha 2.161 ha 1.431 ha
8 Pembangunan kawasan perbatasan 7 PLBN 9 PLBN 9 PLBN
9 Pembangunan pengolahan air limbah 549.000 KK 674.290 KK 130.500 KK
10 Pembangunan system penanganan sampah 4.160.440 KK 1.874.996 KK 2.905.400 KK
Selain proyek-proyek infrastruktur dan perumahan, sejumlah proyek besar juga
akan dibangun untuk menyambut Asian Games 2018, yaitu rehabilitasi Komplek
Gelora Bung Karno Senayan dan Wisma Atlet Kemayoran di Jakarta dan Jakabaring
Sport City di Palembang. Semua bangunan venues dan penataan kawasannya harus
memenuhi standar internasional. Akan dilakukan kerjasama dengan asosiasi profesi,
dan untuk pembangunannya dilaksanakan dengan metodologi dan konstruksi tertentu
untuk mencapai efisiensi dan kualitas yang disyaratkan.
2.1.1. Kontribusi Bidang Konstruksi Pada GNP dan PDB
Industri jasa konstruksi menjadi tolok ukur pencapaian kemakmuran baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Industri jasa konstruksi menggunakan sejumlah
besar sumber daya nasional, sehingga memberikan sumbangan yang cukup signifikan
bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Aktivitas di bidang konstruksi yang
mencakup pelayanan desain, jasa kontraktor, dan perusahaan material memiliki nilai
sekitar 7% - 10% dari GNP (Gross National Product) di sebagian besar negara industri
(Olomolaiye et al., 1998; Lowe, 2003), sedangkan di negara-negara berkembang output
bidang konstruksi memiliki angka antara 3% hingga 6% dari GNP (Harvey and
Ashworth, 1997 ; Lowe, 2003).
18
Di Indonesia, pada kurun 2005 – 2013 tingkat pertumbuhan sektor konstruksi
selalu di atas tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, kecuali pada tahun 2011 dimana
pertumbuhan sektor konstruksi sedikit di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik kontribusi bidang konstruksi terhadap PDB
(Produk Domestik Bruto) pada kurun 2005 – 2013 mengalami fluktuasi, namun secara
umum menunjukkan peningkatan. Data pertumbuhan sektor konstruksi, pertumbuhan
ekonomi nasional Indonesia, dan kontribusi bidang konstruksi pada PDB ditampilkan
pada Tabel 2.2. Dari Tabel 2.2 dapat terlihat bahwa kondisi di Indonesia lebih baik
dibandingkan data yang ditampilkan Harvey and Ashwort (1997) dan Lowe (2003).
Tabel 2.2 Pertumbuhan Sektor Konstruksi dan Kontribusi Bidang Konstruksi pada PDB
(Badan Pembinaan Konstruksi, 2014) No Tinjauan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
1
Pertumbuhan Sektor Konstruksi
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
7,54 8,34 8,53 7,55 7,07 6,95 6,07 7,39 6,57
5,69 5,50 6,35 6,01 4,63 6,22 6,49 6,26 5,78
2 Kontribusi Bidang Konstruksi
pada PDB
7,50 8,30 7,72 8,48 9,90 10,30 10,25 10,45 9,99
2.1.2. Tenaga Kerja Bidang Konstruksi
Tenaga kerja merupakan sumber daya yang mahal, dan merupakan faktor produksi
yang memberikan andil besar pada penyelesaian proyek, karena tenaga kerjalah yang
mengatur dan mengontrol material serta peralatan kerja (Karger and Bayha, 1977).
Merujuk pada Construction Users Roundtable (Tucker, 2003), sekitar 25% dari biaya
konstruksi adalah untuk membayar tenaga kerja. Sedangkan menurut Adrian (1987)
dalam Mc Carthy (2004) tenaga kerja menghabiskan sekitar 40 % dari biaya proyek. Di
Indonesia, upah tenaga kerja mencapai 36% untuk proyek bangunan gedung dan 23%
untuk proyek bangunan sipil (Wibowo, 2004). Merujuk pada Wibowo (2004), maka
peningkatan produktivitas tenaga kerja sebesar 10% akan memberikan tambahan profit
bagi perusahaan sebesar 3,6% - 2,3%, sebuah angka yang cukup signifikan jika
dibandingkan dengan profit perusahaan yang besarnya sekitar 10%, sebagaimana biasa
diperhitungkan dalam RAB.
Data tahun 2005 – 2013 dari Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian
Pekerjaan Umum menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja konstruksi di Indonesia
berkisar antara 4,89% – 6,13% dari seluruh tenaga kerja yang ada. Jumlah tersebut
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun persentasenya terhadap total
19
jumlah tenaga kerja di Indonesia mengalami fluktuasi sebagaimana ditampilkan pada
Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Jumlah Tenaga Kerja Konstruksi dan Persentasenya terhadap
Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (Badan Pembinaan Konstruksi, 2014) No Tinjauan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
1 Jumlah Tenaga Kerja Konstruksi (juta) 4,56 4,69 5,25 5,44 5,49 5,59 6,34 6,79 6,89
2 Persentase terhadap Total Jumlah
Tenaga Kerja Indonesia (%)
4,89 4,99 5,53 5,45 5,25 5,17 5,78 6,13 6,04
Jumlah tenaga kerja konstruksi di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 6,89
juta orang. Dari jumlah tersebut 10% adalah tenaga ahli, 30% tenaga terampil, dan 60%
tenaga kerja nonterampil. Dari sekitar 689.000 tenaga ahli hanya 48.761 (7,17%) orang
yang memiliki sertifikat dan dari sekitar 2 juta tenaga terampil hanya 109.723 (5,38%)
orang yang bersertifikat (Badan Pembina Konstruksi, 2014).
Jumlah sertifikat tenaga ahli (SKA) adalah sekitar 157.822 dan jumlah sertifikat
tenaga terampil (SKT) adalah sekitar 439.075. Jumlah sertifikat yang dikeluarkan LPJK
tidak identik dengan jumlah orang pemegang sertifikat karena satu orang tenaga kerja
konstruksi dapat memiliki dua bahkan lebih sertifikat. Dilihat dari segi pendidikan,
52% dari jumlah tenaga kerja konstruksi di Indonesia hanya berpendidikan SD , 25%
berpendidikan SMTP, 12% berpendidikan SMTA Umum, 8% berpendidikan SMTA
Kejuruan, 1% berpendidikan Diploma I/II/III/Akademi, dan 3% berpendidikan S1
(Kesai dan Arifin, 2012). Tingkat pendidikan tenaga kerja konstruksi berdasarkan data
BPS untuk kurun 2008 – 2011 ditampilkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Konstruksi 2008 – 2011
(Badan Pusat Statistik, 2012)
Tingkat Pendidikan 2008 % 2009 % 2010 % 2011 %
≤ SD 2.915.592 54 2.873.007 52 2.881.885 52 3.293.287 52
SMTP 1.275.429 23 1.331.225 24 1.354.668 24 1.557.475 25
SMTA Umum 636.725 12 616.861 11 650.712 12 750.495 12
SMTA Kejuruan 407.149 7 456.100 8 489.690 9 514.339 8
Diploma I/II/III/Akademi 56.576 1 49.163 1 53.346 1 60.558 1
Universitas 147.494 3 160.461 3 162.596 3 163.627 3
Jumlah 5.438.965 5.486.817 5.592.897 6.339.781
Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2000, kelompok tenaga ahli wajib memiliki
20
sertifikat SKA dan kelompok tenaga terampil wajib memiliki sertifikat SKT. Sertifikasi
ini berlandaskan pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dan
diberikan kepada tenaga kerja konstruksi melalui uji sertifikasi yang dilaksanakan oleh
Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN).
Peningkatan kemampuan tenaga kerja konstruksi agar dapat mengerjakan
proyek-proyek konstruksi domestik maupun dalam rangka bersaing di pasar global
memerlukan pembinaan melalui pelatihan dan pengujian yang berdasarkan pada
kompetensi. Langkah yang paling tepat adalah menetapkan standar kompetensi kerja
sesuai masing-masing bidang. Penerapan standar kompetensi yang tepat dan terukur
akan memantapkan potensi dan profesionalitas tenaga kerja konstruksi dan mendorong
peningkatan daya saing di pasar kerja (Ahmad dan Nagara, 2007).
Menurut Kesai dan Arifin (2012), untuk mengukur kompetensi tenaga kerja
konstruksi Indonesia baik dalam pelatihan maupun uji kompetensi diperlukan
perangkat kompetensi yang terdiri atas Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia
(SKKNI), Kurikulum Pelatihan Berbasis Kompetensi (KPBK) dan Materi Uji
Kompetensi (MUK), instruktur dan asesor yang kompeten, serta lembaga pelatihan
yang representatif. Pusat Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan Konstruksi (Pus-bin
KPK) Kementerian Pekerjaan Umum telah menghasilkan lebih dari 275 Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang konstruksi yang
penekanannya pada peningkatan kualitas dan profesionalitas tenaga kerja agar dapat
diserap oleh pasar kerja konstruksi (Kesai dan Arifin, 2012). Kurikulum berbasis kom-
petensi kerja adalah kurikulum yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan
kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar yang
ditetapkan di tempat kerja.
Di samping kompetensi sebagai titik tolak pengukuran kinerja, diperlukan
ukuran kinerja lain yang juga berkaitan dengan keberhasilan kerja, yaitu ukuran standar
produktivitas kerja. Bagaimana seharusnya suatu standar produktivitas ditetapkan
merupakan persoalan tersendiri yang harus dipecahkan bersama (Achmad dan Nagara,
2007).
2.1.3. Produktivitas dan Efisiensi Tenaga Kerja Konstruksi
Manajemen proyek mencakup berbagai aspek antara lain metoda pelaksanaan
konstruksi dan pengaturan tenaga kerja. Metoda pelaksanaan konstruksi yang
21
diterapkan pada suatu proyek bisa berbasis pada tenaga kerja, pada peralatan, dan/atau
gabungan dari keduanya. Metoda yang dipilih bergantung pada ketersediaan sumber
daya yang ada, kebiasaan dan perilaku masyarakat, serta kondisi ekonomi setempat
(Wibowo and Mawdesley, 2002).
Di negara-negara maju pembangunan proyek konstruksi dilaksanakan dengan
peralatan modern dan hanya melibatkan sedikit tenaga kerja yang bertindak sebagai
operator peralatan, sehingga produktivitas yang dicapai banyak ditentukan oleh
produktivitas peralatan (Thomas et al., 2002). Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di
mana peralatan modern lebih banyak digunakan pada pembangunan gedung tinggi dan
property mewah di kota-kota besar, sedangkan pembangunan rumah tinggal dan
gedung-gedung sederhana pada umumnya masih mengandalkan ketrampilan tenaga
kerja manusia.
Kebutuhan rumah (backlog) di Indonesia pada tahun 2014 diperkirakan
mencapai 7,2 juta unit. Jika kebutuhan rumah tersebut akan dipenuhi sampai tahun
2020, maka kebutuhan rumah per tahun adalah 1,2 juta unit. Selanjutnya jika
diasumsikan bahwa kebutuhan rumah di perkotaan adalah sebesar 40%, maka
kebutuhan rumah di perkotaan setiap tahunnya adalah 480.000 unit. Sesuai dengan
persebaran penduduk, kekurangan rumah sebanyak ini terkonsentrasi di Pulau Jawa,
yaitu sekitar 60% (http://www. portaltataruang.wordpress.com). Kebutuhan rumah
yang sedemikian besar ini sudah pasti diiringi dengan kebutuhan tenaga kerja yang juga
besar.
Ketersediaan tenaga kerja konstruksi di Indonesia cukup besar, namun tenaga
kerja yang terampil jumlahnya terbatas. Selain itu, berdasarkan penelitian-penelitian
yang sudah dilakukan, efisiensi kerja tenaga kerja masih rendah. Menurut Thomas and
Horman (2006) penyebab utama inefisiensi pada pekerja konstruksi adalah :
1. Pengaturan sumber daya (tenaga kerja, material, peralatan, dan informasi)
yang tidak efektif.
2. Kondisi dan pengaturan kerja yang tidak nyaman (terhambatnya pekerjaan
dan urutan pekerjaan yang tidak runtut).
3. Gangguan cuaca.
Inefisiensi tenaga kerja karena sebab-sebab di atas dapat dihitung secara
kuantitatif dengan teknik Method Productivity Delay Model (MPDM) yang
22
diperkenalkan oleh Halpin dan Riggs (1992). MPDM adalah suatu metoda untuk
menghitung produktivitas tenaga kerja dengan mencatat penundaan-penundaan yang
terjadi karena :
1. Tenaga kerja menghentikan pekerjaannya
2. Ketiadaan atau keterlambatan material
3. Ketiadaan atau kerusakan peralatan
4. Gangguan lingkungan kerja
5. Kesalahan manajemen
Dengan mengetahui sumber penundaan yang paling dominan, dapat dilakukan
tindakan perbaikan untuk menghilangkan atau memperkecil penundaan yang terjadi,
sehingga produktivitas dapat ditingkatkan.
2.1.4. Ergonomi Pada Bidang Konstruksi
Ergonomi adalah pengetahuan mengenai karakter, kapasitas, dan keterbatasan
kemampuan manusia yang diterapkan dalam mendesain tugas, sistem kerja mesin,
ruang untuk tempat tinggal dan melakukan aktivitas keseharian, dan lingkungan,
sedemikian sehingga orang dapat hidup, bermain, dan bekerja secara aman, nyaman,
efisien dan efektif, untuk mencapai produktivitas yang lebih baik (Annis dan
McConville, 1996; Manuaba, 2007). Penerapan ergonomi pada pelaksanaan suatu
pekerjaan ditujukan untuk meningkatkan produktivitas kerja, menurunkan beban kerja,
serta mencegah terjadinya cedera dan penyakit akibat kerja (Chapanis, 1996;
Wignjosoebroto, 2003).
Penyakit akibat kerja yang berkaitan dengan ergonomi adalah musculoskeletal
disorders (MSDs). Dari survey yang sudah dilakukan, 40% pekerja konstruksi
mengeluhkan nyeri otot selama bekerja. Sepertiga dari waktu kerja yang hilang (lost
time injuries) dan setengah dari seluruh klaim kompensasi diakibatkan oleh MSDs di
bidang konstruksi (http://www.lhsfna.org). Pusat Studi Kesehatan dan Ergonomi ITB
telah melakukan penelitian pada tahun 2006 – 2007 dan diperoleh hasil bahwa 40% -
80% pekerja mengalami keluhan musculoskeletal sesudah bekerja (Yassierli, 2008).
Aprilia (2009) menyebutkan bahwa pada pelaksanaan pembangunan Proyek Fasilitas
Rekreasi dan Olahraga Boker Ciracas yang dibangun oleh PT Waskita Karya, keluhan
musculoskeletal dialami oleh 94,7% pekerja. Sementara itu dari penelitian yang
dilakukan oleh Septiawan (2013) diketahui bahwa pekerja perusahaan konstruksi
23
Mikroland Property Development Semarang mengalami keluhan nyeri punggung
bawah sebanyak 71,4%.
Beberapa penelitian tentang pengaruh penerapan ergonomi pada produktivitas
pekerjaan konstruksi sudah dilakukan, antara lain oleh Sudiajeng (2001) dalam
Tarwaka et al. (2004), yang meneliti pengaruh tinggi landasan molen pengaduk beton
terhadap produktivitas tenaga kerja, dan tinggi anak tangga yang dipakai pada
pengecoran lantai beton. Sudiajeng et al., (2007) juga meneliti pengaruh ergonomi
pada praktek pekerjaan kayu di Politeknik Negeri Denpasar. Dari ketiga penelitian ini
diketahui bahwa perbaikan aspek ergonomi memberikan hasil yang positif pada
peningkatan kinerja tukang.
Di Indonesia prinsip ergonomi sudah banyak diterapkan di bidang industri
manufaktur, namun pada industri konstruksi belum banyak mendapatkan perhatian. Di
dalam SKKNI, pemahaman tentang prinsip-prinsip ergonomi belum dimasukkan
sebagai kompetensi yang disyaratkan di dalam sertifikasi tenaga kerja. Bahkan pada
sertifikasi Ahli K-3 Konstruksi dari 8 elemen kompetensi kerja ergonomi juga tidak
dicantumkan sebagai salah satu elemen yang harus dikuasai.
2.2. Produktivitas
Untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang produktivitas maka perlu
diuraikan tentang proses produksi dan definisi produktivitas. Selanjutnya perlu ditinjau
produktivitas di bidang konstruksi, produktivitas tenaga kerja konstruksi dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya.
2.2.1. Proses Produksi
Proses produksi didefinisikan Wignjosoebroto (2003) sebagai “serangkaian aktivitas
yang diperlukan untuk mengolah ataupun mengubah sekumpulan masukan (input)
menjadi sejumlah keluaran (output) yang memiliki nilai tambah (added value)”.
Pengolahan merupakan proses untuk mengubah input secara fisik ataupun non fisik
dalam hal bentuk, dimensi, maupun sifat-sifatnya. Nilai tambah adalah penambahan
nilai output yang mencakup nilai fungsional (kegunaan) dan/atau nilai ekonominya.
Bagan rangkaian proses produksi ditampilkan dalam Gambar 2.1.
Pada rangkaian proses produksi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1,
diperlihatkan bahwa analisis ergonomi serta analisis studi gerak dan waktu memiliki
24
Gambar 2.1.Bagan Rangkaian Produksi
(Wignjosoebroto, 2003)
peran penting. Untuk meningkatkan produktivitas, proses produksi harus merupakan
suatu sistem yang memberikan kontribusi maksimal terhadap kegiatan-kegiatan
produktif, untuk memberikan nilai tambah pada output. Kegiatan-kegiatan yang tidak
produktif seperti terhentinya pekerjaan (idle/delay) karena berbagai sebab yang tidak
berkaitan dengan pekerjaan, persiapan pekerjaan, dan pengaturan/pengangkutan
material serta peralatan harus dapat dihindari atau dihilangkan.
2.2.2. Definisi Produktivitas
Kata productivity pertama kali muncul pada tahun 1776 di sebuah artikel yang ditulis
oleh Quesnay. Selanjutnya, definisi produktivitas terus berkembang selama ratusan
tahun dan mengalami penyempurnaan arti. Definisi yang lebih formal diperkenalkan
oleh The Organization for European Economic Cooperation (OECC) pada tahun 1950
sebagai berikut :
“Productivity is the quotient obtained by dividing output by one of the
factors of production. In this way it is possible to speak of the
productivity of capital, investment, or raw materials according to wether
output is being considered in relation to capital, investment or raw
material, etc.”
Nasar (1993) mendefinisikan produktivitas adalah perbandingan (rasio) antara
output dengan input. Sumanth (1984) memberikan batasan yang lebih spesifik untuk
output dan input, yaitu yang bersifat tangible (dapat dihitung). Adapun Thomas dan
Napolitan (1996) mendefinisikan produktivitas sebagai jam kerja dalam satuan waktu
tertentu dibagi dengan banyaknya hasil yang diperoleh dalam satuan waktu yang sama.
25
Dengan diketahuinya nilai produktivitas, maka akan diketahui seberapa efisien sumber-
sumber daya (input) dapat dihemat (Wignjosoebroto, 2003).
Secara umum, produktivitas didefinisikan sebagai rasio antara keluaran (output)
dan masukan (input). Rasio keluaran dan masukan dapat juga dipakai pada usaha yang
dilakukan oleh manusia. Sebagai ukuran produktivitas kerja manusia, rasio tersebut
dinyatakan dalam bentuk keluaran yang merupakan hasil kerja dibagi dengan jam kerja
(man hours) yang dikontribusikan sebagai masukan, dengan nilai uang atau unit
produksi lainnya sebagai dimensi tolok ukur (Wignjosoebroto, 2003)
Di samping sumber-sumber masukan sebagaimana disebutkan di atas, masih
ada sumber masukan yang tidak bisa atau sulit dinilai besarnya, tetapi berpengaruh
pada tingkat produktivitas. Faktor ini adalah masukan bayangan (invisible input) yang
meliputi tingkat pengetahuan (degree of knowledge), kemampuan teknis (technical
skill), metodologi kerja dan pengaturan organisasi (managerial skill), serta motivasi
kerja. Berdasarkan hal-hal tersebut, produktivitas secara luas dapat diformulasikan
sebagaimana ditampilkan pada Persamaan 2.1 (Wignjosoebroto, 2003) :
Output
Produktivitas = ---------------------------------------------------- (2.1)
Input (Measureable) + Input (Invisible)
Produktivitas dikatakan meningkat apabila (Tarwaka et al., 2004) :
1. Jumlah produksi/keluaran meningkat dengan jumlah masukan/sumberdaya
yang sama.
2. Jumlah produksi/keluaran sama atau meningkat dengan jumlah masukan/
sumberdaya lebih kecil.
3. Jumlah produksi/keluaran meningkat dengan penambahan sumber daya
dalam jumlah kecil.
Menurut Wignjosoebroto (2003), peningkatan produktivitas dapat dicapai
dengan menekan biaya produksi, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan sumber
daya manusia dengan sebaik-baiknya (do the right thing) dan meningkatkan keluaran
sebesar-besarnya (do the thing right). Produktivitas merupakan pencerminan dari
tingkat efisiensi dan efektivitas kerja secara total. Efisiensi adalah seberapa banyak
input bisa dihemat atau dioptimalkan, adapun efektivitas adalah seberapa besar output
bisa memperoleh hasil maksimal.
26
2.2.3. Produktivitas Pada Proyek Konstruksi
Produktivitas pada proyek konstruksi didefinisikan oleh Oglesby et al. (1989) dari
berbagai aspek. Bagi pemilik bangunan atau properti produktivitas adalah “nilai (uang)
yang dihasilkan oleh fasilitas yang dimiliki”. Bagi kontraktor produktivitas adalah
“persentase biaya di bawah (atau di atas) pembayaran yang diterima dari pemilik
proyek”. Dari dua pendekatan tersebut diperoleh pengertian produktivitas proyek
konstruksi adalah ”Efektivitas manajemen, pekerja, material, peralatan, dan ruang kerja
untuk menghasilkan suatu bangunan atau fasilitas lain dengan biaya yang layak yang
serendah-rendahnya”.
Pada proyek konstruksi, produktivitas merupakan salah satu dari empat elemen
penting yang menentukan kinerja proyek (Oglesby et al., 1989). Keempat elemen
tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan. Keempat elemen tersebut
adalah :
1. Produktivitas.
2. Kualitas.
3. Batas waktu
4. Keselamatan kerja.
Di Indonesia sasaran proyek konstruksi mencakup empat aspek, yaitu (Soeharto, 1997):
1. Biaya.
2. Mutu.
3. Waktu.
4. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Sasaran proyek konstruksi di Indonesia pada hakekatnya sama dengan kinerja
proyek sebagaimana diintroduksi oleh Oglesby et al. (1989). Produktivitas sebagai
elemen pertama yang disebut oleh Oglesby et al. (1989) adalah identik dengan biaya.
Produktivitas tidak disebutkan secara eksplisit pada sasaran proyek konstruksi, namun
demikian produktivitas sangat berpengaruh dan dipengaruhi oleh keempat aspek pada
sasaran proyek konstruksi. Oleh karena itu perlu diketahui hubungan antara
produktivitas dengan keempat aspek pada sasaran proyek konstruksi.
Mutu atau kualitas memiliki dua dimensi yaitu proyek diselesaikan sesuai
keinginan pemilik proyek, dan pekerjaan dilaksanakan dengan baik pada pengerjaan
pertama. Jika pekerjaan tidak dilaksanakan dengan baik, harus dilakukan perbaikan
27
atau pengerjaan ulang (rework) yang berimplikasi pada waktu dan biaya, juga pada
produktivitas. Pengerjaan ulang membawa pengaruh negatif pada semangat pekerja,
yang akan menurunkan tingkat produktivitas.
Biaya proyek sangat dipengaruhi oleh produktivitas. Biaya akan meningkat jika
produktivitas rendah. Demikian juga waktu penyelesaian proyek sangat dipengaruhi
oleh produktivitas yang dicapai. Dalam hal ini batas waktu penyelesaian proyek
memiliki dua pengertian yaitu :
1. Penyelesaian proyek tepat pada waktunya sehingga pemilik proyek dapat
memperkirakan kapan proyek harus dilaksanakan.
2. Penjadwalan, di mana harus dapat dipastikan bahwa semua pelaksanaan
pekerjaan diselesaikan tepat pada waktunya.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah kondisi dimana tenaga kerja
terlindungi dari penyakit, kecelakaan dan kematian akibat kerja. Kondisi K3
berpengaruh terhadap produktivitas. Tindakan dan kondisi yang tidak aman, meskipun
tidak menimbulkan kecelakaan, akan menggangu serta mengalihkan perhatian pekerja
dari pekerjaannya. K3 yang buruk akan menurunkan produktivitas pekerja, karena
pekerja tidak dapat bekerja dengan aman dan nyaman.
Soeharto (1997) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas
proyek konstruksi adalah :
1. Efektivitas organisasi.
2. Pengelolaan sumber daya (tenaga kerja, peralatan, dan material).
3. Kondisi alam dan lingkungan.
4. Jenis pekerjaankonstruksi.
Adapun menurut Rojas and Aramvareekul (2003), empat faktor yang menentukan
produktivitas di bidang konstruksi sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2.2. adalah :
1. Strategi dan sistem manajemen.
2. Tenaga kerja.
3. Lingkungan industri.
4. Kondisi eksternal.
28
Gambar 2.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas
Proyek Konstruksi (Rojas and Aramvareekul, 2003)
Menurut Cottrell (2006), beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas pada
proyek konstruksi adalah :
1. Manajemen.
2. Tenaga kerja.
3. Teknologi : material, peralatan, dan metoda.
4. Peraturan-peraturan.
Dari tiga pendapat di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas proyek
konstruksi dirangkum dalam Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Pekerjaan Konstruksi
(Soeharto,1997; Rojas and Aramvareekul, 2003; Cottrell, 2006)
No Soeharto
(1997)
Rojas dan Aramvareekul
(2003)
Cottrell
(2006)
1 Efektivitas organisasi Strategi dan sistem
manajemen
Manajemen
2 Pengelolaan sumber
daya (tenaga kerja,
peralatan, material)
Tenaga kerja
Tenaga kerja
3 Jenis pekerjaan
konstruksi
Lingkungan industri Teknologi (material,
peralatan, metoda)
4 Kondisi alam dan
lingkungan
Kondisi eksternal Peraturan-peraturan
Pada prinsipnya terdapat kesamaan di antara ketiganya, hanya cakupannya yang
berbeda. Pada faktor ke-1 rumusan Rojas and Aramvareekul telah tercakup pemikiran
Soeharto dan Cottrell. Faktor ke-2 rumusan Soeharto memiliki cakupan yang lebih
29
luas, yaitu sumber daya yang dimaksud bukan hanya tenaga kerja melainkan juga
peralatan dan material. Pada faktor ke-3 lingkungan industri yang disebut oleh Rojas
and Aramvareekul tercakup jenis pekerjaan konstruksi sebagaimana disebut Soeharto
dan teknologi (material, peralatan, dan metoda) yang disebut Cottrell. Kondisi eksternal
yang merupakan rumusan faktor ke-4 oleh Rojas and Aramvareekul juga telah
mencakup faktor kondisi alam dan lingkungan yang disebut oleh Soeharto dan
peraturan-peraturan sebagaimana dinyatakan Cottrell.
Hasil penelitian Rojas and Aramvareekul (2003) dapat dipakai sebagai dasar
dalam upaya perbaikan produktivitas konstruksi. Penelitian Rojas and Aramvareekul
(2003) dilakukan dengan mewawancarai 64 responden yang terdiri atas pemilik proyek
(10%), konsultan (19%), kontraktor umum (29%), kontraktor elektrikal (30%),
kontraktor mekanikal (6%), dan lainnya (6%). Responden yang berasal dari
perusahaan kecil (kurang dari 100 karyawan) sebanyak 51%, dari perusahaan
menengah (100 – 249 karyawan) sebanyak 26%, dan dari perusahaan besar (lebih dari
250 karyawan) sebanyak 23%. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas
pekerjaan konstruksi menurut Rojas and Aramvareekul (2003) adalah:
1) Strategi dan sistem managemen
2) Tenaga kerja
3) Lingkungan industri
4) Kondisi eksternal
1) Strategi dan Sistem Manajemen
Strategi dan sistem manajemen mencakup empat aspek. Bobot dari aspek yang paling
berpengaruh dinyatakan dalam nilai maksimal 100, dan urutannya adalah sebagai
berikut : kemampuan manajemen (100), penjadwalan (100), manajemen material dan
peralatan (79), dan kontrol kualitas (68). Dari keempat aspek ini, kemampuan
manajemen dan penjadwalan merupakan aspek yang memiliki bobot tertinggi.
2) Tenaga Kerja
Terdapat lima aspek yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dengan masing-
masing bobotnya, yaitu : pengalaman kerja (100), pelatihan (97), pendidikan formal
(85), motivasi (79), dan senioritas (59). Dari kelima aspek ini, pengalaman kerja dan
pelatihan yang pernah diperoleh merupakan aspek yang memiliki bobot tertinggi.
30
3) Lingkungan Industri
Terdapat lima aspek dari lingkungan industri yang mempengaruhi produktivitas proyek
konstruksi, dengan masing-masing bobotnya yaitu : cuaca buruk (100), keunikan jenis
konstruksi (94), kondisi kerja (94), interaksi aktivitas (84), dan integrasi subkontraktor
(76). Dari kelima aspek ini, cuaca buruk, keunikan jenis konstruksi, dan kondisi kerja
merupakan aspek yang memiliki bobot tertinggi.
4) Kondisi Eksternal
Terdapat empat aspek dari kondisi eksternal yang mempengaruhi produktivitas proyek
konstruksi, dengan masing-masing bobotnya yaitu : perubahan pekerjaan (100),
ekonomi (88), riset dan pengembangan (85), teknologi informasi (75). Dari keempat
aspek ini, perubahan pekerjaan dan kondisi perekonomian merupakan aspek yang
memiliki bobot tertinggi.
Dari 4 faktor yang mempengaruhi produktivitas proyek konstruksi, diperoleh
peringkat bobotnya adalah 4 : sistem manajemen (100), tenaga kerja (91), lingkungan
industri (63), dan kondisi eksternal (41) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3.
Terlihat di sini bahwa dua faktor yang paling berpengaruh pada produktivitas proyek
konstruksi adalah sistem manajemen dan tenaga kerja.
Gambar 2.3. Bobot Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Proyek Konstruksi (Rojas and Aramvareekul, 2003)
Dari hasil penelitian Rojas and Aramvareekul (2003) dikemukakan beberapa langkah
yang paling strategis untuk meningkatkan produktivitas proyek konstruksi, sebagai-
mana ditunjukkan pada Tabel 2.6.
31
Tabel 2.6. Jenis Perbaikan Produktivitas dan Faktor Terkait
(Rojas and Aramvareekul, 2003)
No Jenis Perbaikan Faktor Terkait
1 Perbaikan metoda kerja
Tenaga Kerja 2 Perbaikan program pelatihan
3 Peningkatan motivasi pekerja
4 Perbaikan manajemen strategi
Manajemen 5 Perbaikan manajemen pengadaan
Dapat dilihat dari Tabel 2.6 bahwa 5 jenis perbaikan yang perlu dilakukan untuk
meningkatkan produktivitas semuanya berkaitan dengan masalah tenaga kerja dan
manajemen. Hal ini masuk akal dan mudah dipahami, mengingat tenaga kerja adalah
pelaku pekerjaan yang paling menentukan tingkat produktivitas pekerjaan. Adapun
manajemen diperlukan untuk mengatur tenaga kerja dan juga sumber daya yang lain,
sehingga manajemen memiliki kontribusi penting pada peningkatan produktivitas.
2.2.4. Produktivitas Tenaga Kerja
Menurut Wignjosoebroto (2003) produktivitas tenaga kerja adalah keluaran (output)
yang dihasilkan oleh sejumlah tenaga kerja. Untuk mengukur produktivitas tenaga kerja
dapat dipakai Persamaan 2.2 :
Total Keluaran Yang Dihasilkan
Produktivitas Tenaga Kerja = -------------------------------------------------- (2.2)
Jumlah Tenaga Kerja Yang Dipekerjakan
Adapun Soeharto (1997) mendefinisikan produktivitas tenaga kerja sebagai “besar
volume pekerjaan yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja atau oleh suatu regu
tenaga kerja selama periode waktu tertentu” sebagaimana ditampilkan pada Persamaan
2.3.
Volume
Produktivitas pekerja = ------------------ (2.3)
Waktu/orang
Definisi yang mirip dengan definisi di atas dikemukakan oleh D‟Onofrio
(2003), juga Halligan et al. (1994) yang mendefinisikan produktivitas tenaga kerja
adalah “banyaknya pekerjaan yang diselesaikan oleh seorang pekerja atau sekelompok
pekerja dalam satu satuan waktu”.
32
2.2.5. Peringkat Produktivitas Tenaga Kerja
Menurut Oglesby et al. (1989), produktivitas tenaga kerja dapat dikategorikan menjadi
tiga tingkat, yaitu bekerja efektif (effective work), mempersiapkan pekerjaan utama
(essential contributory work), dan menganggur (not useful atau idle).
1. Bekerja efektif adalah segala aktivitas yang secara langsung merupakan
proses nyata dari penambahan unit hasil pekerjaan seperti : memasang bata,
mengecor, menggergaji, mengecat, merangkai besi, atau berjalan dalam
jarak 3 meter dari posisi kerja.
2. Mempersiapkan pekerjaan utama tidak secara langsung memberikan
tambahan hasil pekerjaan, namun diperlukan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan, seperti : mempelajari gambar dan instruksi, memasang perancah,
melakukan pengukuran, mempersiapkan material dan tempat kerja, dan
berjalan dalam jarak antara 3 meter sampai 10 meter dari posisi kerja.
3. Menganggur adalah aktivitas yang tidak memberikan tambahan hasil
apapun, seperti : berjalan/bergerak tanpa tujuan, merokok, menunggu mate-
rial, istirahat, memperbaiki kesalahan pekerjaan.
Daftar berbagai jenis pekerjaan dan persentase peringkat produktivitasnya ditampilkan
pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7. Peringkat Produktivitas untuk Beberapa Pekerjaan Konstruksi
(Oglesby et al., 1989)
Trade or Craft Percent of total time in category
Effective Contributory Not Useful
Bricklayer Carpenter
Cement finisher
Electrician
Instrument installer
Insulator
Ironworker
Laborer
Millwright
Equipment operator
Painter Rigger
Sheetmetal
Pipefitter
Teamster
Average of above
42 29
37
28
30
45
31
44
34
38
46 27
38
27
45
36
33 38
41
35
30
28
36
26
36
22
26 57
33
36
16
33
25 33
22
37
40
27
33
30
30
40
28 16
29
37
39
31
33
Konsep penting yang dikemukakan oleh Oglesby et al. (1989) adalah bahwa
bekerja disebut efektif jika secara langsung memberikan tambahan pada penyelesaian
produk. Oglesby et al. (1989) telah melakukan penelitian pada berbagai jenis pekerjaan
untuk mengetahui persentase tindakan-tindakan yang termasuk dalam kelompok
bekerja efektif, mempersiapkan pekerjaan utama, dan menganggur. Menarik untuk
membandingkan efektivitas pekerjaan menurut Oglesby et al dengan SNI. Efektivitas
pekerjaan pasangan bata menurut Oglesby et al (mencakup effective dan contributory)
adalah 75%, mendekati efektivitas yang ditentukan dalam SNI yaitu 5 jam/7 jam = 71,
43%. Demikian pula efektivitas pekerjaan pengecatan menurut Oglesby et al yaitu
sebesar 72 % hampir sama dengan efektivitas standar SNI yaitu 71,43%.
Tabel 2.8. Jenis Tindakan Dalam Pekerjaan Pasangan Bata, Plesteran,
Pasangan Keramik,dan Pengecatan (Oglesby et al., 1989)
Jenis Pekerjaan Jenis Tindakan
Bekerja Efektif Mempersiapkan
Pekerjaan Utama
Menganggur
Pasangan Bata
Mengambil bata
Memasang bata
Mengambil mortar
Meletakkan mortar
Meratakan mortar
Mengukur
Memeriksa
Mendiskusikan pekerjaan
Mengangkut material
Memasang perancah
Memotong bata
Memasang benang
Mencampur mortar
Merapikan
Menunggu material
Bergerak tanpa
bekerja
Tidak melakukan
apapun
Plesteran Mengambil mortar
Melempar mortar ke
dinding
Menghaluskan
plesteran
Mengukur
Mendiskusikan pekerjaan
Memasang benang
Mencampur mortar
Mengangkut material
Memasang perancah
Menunggu material
Bergerak tanpa
bekerja
Tidak melakukan
apapun
Pasangan
Keramik
Mengambil semen
Meratakan semen
Mengambil keramik
Memasang keramik
Mengisi semen nat
Mengukur
Mendiskusikan pekerjaan
Memasang benang
Merendam keramik
Memotong keramik
Membersihkan sisa semen
pada keramik
Menunggu material
Bergerak tanpa
bekerja
Tidak melakukan
apapun
Pengecatan
Mencelupkan kuas/
rol ke dalam cat
Menyapukan kuas
ke dinding/plafon
Membersihkan dinding
Mencampur cat
Membersihkan kuas
Menunggu material
Bergerak tanpa
bekerja
Tidak melakukan
apapun
34
Jenis-jenis tindakan pada pekerjaan pasangan bata, plester, pasangan keramik,
dan pengecatan serta peringkat produktivitasnya ditampilkan pada Tabel 2.8 (Oglesby
et al., 1989). Dari Tabel 2.8 dapat dilihat tindakan-tindakan yang termasuk dalam
kelompok bekerja efektif dan tindakan-tindakan yang termasuk dalam kelompok
mempersiapkan pekerjaan utama (contributory) adalah tindakan-tindakan yang tidak
dapat dihilangkan, namun bisa ditingkatkan efektivitasnya. Adapun tindakan-tindakan
yang termasuk dalam kelompok menganggur adalah tindakan-tindakan yang
seharusnya dihilangkan atau dikurangi.
2.2.6. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja
Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja adalah :
1) Etnis
2) Metoda Kerja
3) Ergonomi
4) Faktor-faktor lain
1) Pengaruh Etnisitas Pada Produktivitas
Kaming et al. (1997) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas tenaga kerja. Penelitian dilakukan di tujuh daerah di Indonesia, meliputi
Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Indonesia Barat, dan
Indonesia Timur. Variabel produktivitas yang dibandingkan adalah output produksi,
waktu kerja yang produktif, keterampilan pekerja, motivasi, upah, tingkat pengawasan,
dampak dari adanya problem produktivitas, dan motivasi mandor. Tujuan dari
penelitian ini adalah menetapkan indeks produktivitas untuk tujuh wilayah di
Indonesia.
Kaming et al. (1997) mengambil Yogyakarta sebagai benchmark, dengan
responden sebanyak 20 orang staf manajemen lapangan (site management personel).
Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuisioner dan melakukan wawancara
terhadap ke 20 orang responden. Ada 12 variabel data yang diteliti, yaitu produktivitas
tukang batu, produktivitas tukang kayu, produktivitas tukang rangkai besi, persentase
waktu yang produktif, kemampuan tukang, motivasi tukang, upah tukang, tingkat
pengawasan mandor, motivasi mandor, upah mandor, dan tingkat produktivitas.
Penelitian menghasilkan 78 set data yang kemudian dibandingkan.
35
Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari
berbagai daerah dalam hal output, ketrampilan, motivasi, dan produktivitas tenaga
kerja. Yogyakarta, yang ditetapkan sebagai bench mark, memiliki indeks produktivitas
1. Indeks produktivitas Jakarta adalah yang tertinggi, disusul oleh Jawa Timur, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Indonesia Timur dan Indonesia Barat.
Pada penelitian ini Kaming tidak melakukan pengamatan langsung ataupun
pengukuran produktivitas terhadap pekerja. Data diperoleh dari wawancara terhadap
responden, yaitu staf manajemen lapangan (site management personel) yang pernah
mengerjakan proyek dengan pekerja dari Yogyakarta dan minimal satu dari 7 wilayah
yang diteliti Kaming. Dapat disimpulkan bahwa data yang berupa jawaban kuisioner
hanya didasarkan pada ingatan (atas pekerjaan di proyek pada masa lalu) ataupun
perkiraan responden, sehingga tingkat akurasi data sesungguhnya tidak terlalu tinggi.
2) Pengaruh Metoda Kerja Pada Produktivitas
Karger dan Bayha (1977) menyatakan bahwa produktivitas seseorang bergantung pada
gerakan (metoda kerja) dan waktu yang diperlukan untuk melakukan gerakan tersebut.
Lama waktu yang diperlukan untuk melakukan gerakan kerja dipengaruhi oleh tiga
aspek, yaitu usaha (effort), kemampuan (skill), dan kondisi kerja (conditions).
Frederick Winslow Taylor (1911) dalam Niebel (1976) melakukan penelitian
mengenai pengaruh gerakan kerja pada produktivitas di pabrik baja Betlehem Steel
Company, Philadelphia. Pekerja yang semula mengangkat bijih besi seberat 92 pound
(sekitar 45 kg) dari lantai ke atas mobil, diubah dengan mengangkat bijih besi ke atas
mobil melalui sebuah ramp. Dengan cara ini, produktivitas pekerja bisa ditingkatkan
hampir empat kali lipat, yaitu dari produktivitas semula 12,5 ton per hari menjadi 47,5
ton per hari.
Niebel (1976) menyebutkan bahwa Frank Bunker Gilberth (1868 – 1924) juga
telah melakukan penelitian mengenai gerakan kerja. Gilberth mengamati bahwa tukang
batu bekerja dengan tiga cara yang berbeda. Mereka bekerja dengan cara tertentu jika
harus bekerja cepat, cara yang lain jika harus bekerja lambat, dan cara yang lain lagi
bila harus mengajar calon-calon tukang batu. Gilberth mengkombinasikan ketiga cara
tersebut, menghilangkan gerakan-gerakan yang tidak efisien, menyederhanakan
gerakan, dan menyusun gerakan menjadi lebih teratur.
36
3) Pengaruh Ergonomi Pada Produktivitas
Menurut Tarwaka et al. (2004), penelitian tentang produktivitas tenaga kerja yang
berkaitan dengan ergonomi telah dilakukan oleh Sudiajeng pada 2004. Sudiajeng
melakukan penelitian tentang peningkatan produktivitas pengadukan beton dengan
merubah ketinggian molen. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Sudiajeng pada
2004 adalah penelitian mengenai tinggi anak tangga pada proses pengecoran beton
pada bangunan bertingkat. Anak tangga yang dipakai untuk mengangkat adukan beton
ke lantai yang ada di atas memiliki tinggi yang berbeda-beda, dan secara ergonomis
tidak sesuai dengan tinggi badan pekerja serta ukuran ember yang digunakan, sehingga
mengakibatkan kelelahan yang berlebihan.
Selanjutnya Sudiajeng et al. pada 2007 melakukan penelitian yang berkaitan
dengan ergonomi pada praktek pekerjaan kayu di Jurusan Teknik Sipil Politeknik
Negeri Bali. Hasil kajian terhadap 8 aspek permasalahan ergonomi memperlihatkan
bahwa kondisi kerja yang diteliti tidak sehat dan tidak aman. Keluhan otot skeletal
terjadi karena adanya sikap tubuh yang tidak alamiah, yang disebabkan oleh tidak
adanya kesesuaian antara dimensi dan desain sarana kerja dengan ukuran tubuh pekerja.
Keluhan otot skeletal juga disebabkan oleh kontraksi otot yang berlebihan akibat
pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang panjang.
4) Faktor-faktor Umum yang Mempengaruhi Produktivitas
Fulenwider et al. (2014) menyatakan bahwa produktivitas tenaga kerja dipengaruhi
oleh tingkat keterampilan, motivasi, dan tekanan jadwal. Tingkat keterampilan bisa
diperoleh dari pengalaman dan dari pendidikan/pelatihan. Motivasi merupakan
dorongan kuat dari dalam diri seseorang, yang akan memacu seseorang untuk bekerja
dengan kemampuan maksimal. Tekanan jadwal untuk menyelesaikan pekerjaan pada
waktu yang telah ditentukan akan membuat seseorang bekerja lebih cepat.
Oglesby et al. (1989) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas tenaga kerja adalah :
1. Kapabilitas sumberdaya : perilaku, budaya, kebiasaan, dan etikakerja.
2. Kelelahan fisik
a. Kelelahan sesaat.
b. Kelelahan harian dan/atau mingguan (pagi-sore).
c. Perilaku diurnal-nocturnal (shift siang-malam).
37
d. Kelelahan jangka panjang (efek kerja lembur).
3. Kelelahan akibat tekanan atau situasi emosional.
4. Kejemuan.
5. Kondisi kerja.
a. Temperatur dan kelembaban.
b. Kebisingan.
c. Kondisi keamanan.
d. Peralatan bantu.
Sedangkan Soeharto (1997) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas tenaga kerja adalah :
1. Kondisi fisik lapangan serta sarana bantu.
2. Supervisi, perencanaan, dan koordinasi.
3. Komposisi kelompok kerja.
4. Kerja lembur.
5. Ukuran besar proyek.
6. Kurva pengalaman (learning curve).
7. Pekerja langsung dan subkontraktor.
8. Kepadatan tenaga kerja.
Sinungan (2000) mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas
tenaga kerja konstruksi adalah sebagai berikut :
1. Jumlah tenaga kerja yang digunakan pada suatu proyek konstruksi.
2. Tingkat keahlian tenaga kerja.
3. Latar belakang kebudayaan dan pendidikan, termasuk pengaruh faktor
lingkungan dan keluarga terhadap pendidikan formal yang diambil oleh
tenaga kerja.
4. Kemampuan tenaga kerja untuk menganalisis situasi yang sedang terjadi
dalam lingkup pekerjaannya dan sikap moral yang diambil pada kondisi
tersebut.
5. Minat tenaga kerja yang tinggi terhadap jenis pekerjaan yang ditekuninya.
6. Struktur pekerjaan, keahlian dan umur (juga jenis kelamin) dari tenaga
kerja.
38
Menurut D‟Onofrio (2003), beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga
kerja adalah :
1. Lokasi pekerjaan.
2. Kondisi cuaca.
3. Ukuran proyek .
4. Ketinggian lokasi kerja.
5. Kompleksitas pekerjaan.
6. Kemampuan manajerial dan supervise.
7. Keterampilan tenaga kerja.
Adapun Tarwaka et al. (2004) memerinci faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
produktivitas kerja secara umum adalah :
1. Motivasi.
2. Kedisiplinan.
3. Etos kerja.
4. Keterampilan.
5. Pendidikan.
Berbagai faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja sebagaimana
disampaikan oleh Fulenwider et al. (2014), Oglesby et al. (1989), Soeharto (1997),
Sinungan (2000), D‟Onofrio (2003), dan Tarwaka et al. (2004) sesungguhnya identik
dan saling melengkapi.
2.3. Penelitian Kerja
Penelitian kerja (work study) bertujuan mempelajari prinsip-prinsip dan teknik-teknik
untuk mendapatkan rancangan sistem kerja yang terbaik (Wignjosubroto, 2003).
Prinsip-prinsip dan teknik kerja dipakai sebagai dasar untuk mengatur komponen kerja
yang terdiri atas tenaga, peralatan, serta lingkungan kerja untuk mencapai efektivitas
dan efisiensi kerja yang optimal. Efektivitas dan efisiensi kerja diukur dari waktu dan
tenaga yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan serta hasil yang diperoleh
dari pekerjaan tersebut.
2.3.1. Elemen-elemen Dasar Dalam Penelitian Kerja
Wignjosoebroto (2003) menyebutkan bahwa penelitian kerja terdiri atas dua elemen
dasar pemikiran, yaitu :
1. Pemikiran ke arah usaha pencapaian efisiensi kerja.
39
2. Pemikiran untuk mempertimbangkan perilaku manusia sebagai unsur pokok
suksesnya usaha kerja mereka.
Efisiensi kerja berkaitan dengan metoda dan langkah-langkah kerja yang sistematis
dengan urut-urutan yang logis, adapun perilaku manusia berkaitan dengan faktor-faktor
penyebab perilaku pekerja dalam upaya memenuhi kebutuhannya serta mencapai
kepuasan kerja.
2.3.2. Ruang Lingkup Penelitian Kerja
Ruang lingkup penelitian kerja mencakup dua aspek, yaitu penelitian mengenai
pengaturan metode kerja, dan penelitian mengenai pelaksanaan pengukuran kerja. Dari
kedua aspek ini disusun beberapa alternatif sistem kerja, untuk selanjutnya dipilih
sistem kerja yang terbaik. Skema/langkah-langkah penelitian kerja ditunjukkan pada
Gambar 2.4.
Pengaturan metode kerja adalah pengaturan komponen-komponen sistem kerja
untuk mendapatkan alternatif sistem kerja yang terbaik. Untuk melakukan pengaturan
terhadap pekerja, bahan, peralatan serta lingkungan kerja fisik diperlukan ilmu
ergonomi (human engineering), studi gerakan kerja (motion study) dan studi tentang
ekonomi gerakan (motion economy). Pengukuran kerja (work measurement atau time
study) meliputi pengukuran waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk penyelesaian
suatu pekerjaan, serta dampak psikologis dan sosiologis yang mungkin timbul.
Gambar 2.4. Langkah-langkah Penelitian Kerja (Wignjosoebroto, 2003)
40
Gambar 2.5. menampilkan secara lebih rinci ruang lingkup penelitian kerja, yang
sasaran akhirnya adalah kenaikan produktivitas.
Gambar 2.5. Ruang Lingkup Penelitian Kerja (Wignjosoebroto, 2003)
Pada penelitian kerja juga dinilai efektivitas dan efisiensi kerja, standar waktu,
standar output, dan delay. Pengukuran waktu bisa dilaksanakan secara langsung dengan
stopwatch atau work sampling, atau secara tidak langsung dengan standard data atau
Predetermined Motion Time Study (PMTS).
2.3.3. Pengaturan Metoda Kerja
Pengaturan metoda kerja mencakup tiga aspek yaitu (Wignjosoebroto, 2003):
1) Ergonomi.
2) Studi gerakan kerja.
3) Ekonomi gerakan.
Ketiga aspek ini memerlukan analisis tersendiri, namun ketiganya saling berkaitan
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.6.
41
Gambar 2.6. Aspek-aspek Dalam Metoda Kerja (Wignjosoebroto, 2003)
1) Ergonomi
Ergonomi berasal dari bahasa Yunani ergon yang berarti kerja dan nomos yang berarti
aturan, jadi ergonomi adalah norma dalam sistem kerja (Oborne, 1987; Tayyari F. dan
Smith J., 1997). Ergonomi dapat dipahami sebagai “suatu ilmu, seni dan teknologi yang
berupaya untuk menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan,
kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara
optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya” (Tarwaka et al., 2004).
Disiplin ergonomi secara khusus mempelajari keterbatasan kemampuan
manusia dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk-produk buatannya
(Wignjosoebroto, 2003). Istilah ergonomi biasa dipergunakan di Eropa, sedangkan di
Amerika lebih umum digunakan istilah Human Factors Engineering.Tentang ergonomi
akan diuraikan lebih luas dalam Sub-Bab 2.4.
2) Studi Gerakan Kerja
Studi gerakan kerja adalah studi tentang gerakan-gerakan yang dilakukan pekerja untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Studi gerakan kerja dilakukan untuk mendapatkan
gerakan-gerakan standar dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, yaitu gerakan yang
efektif dan efisien. Tujuan studi gerakan kerja adalah mengeliminir atau mengurangi
gerakan-gerakan yang tidak efektif, sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan dengan
lebih mudah dan produktivitas dapat ditingkatkan (Wignjosoebroto, 2003).
Frank dan Lillian Gilberth telah mempelajari jenis-jenis gerakan dasar yang
dilakukan oleh manusia dalam bekerja (Niebel and Freivalds, 1999). Gerakan-gerakan
ini dirumuskan menjadi 17 gerakan dasar yang dinamakan gerakan Therblig. Ke 17
elemen Therblig ini dapat diklasifikasikan menjadi elemen efektif dan elemen inefektif.
Elemen efektif Therblig adalah semua elemen dasar yang berkaitan langsung dengan
aktivitas kerja, yang dapat dipersingkat tetapi tidak dapat dihilangkan. Sedangkan
42
elemen inefektif Therblig adalah elemen yang tidak berhubungan langsung dengan
aktivitas kerja, dan seharusnya dihilangkan untuk membentuk ekonomi gerakan.
3) Ekonomi Gerakan
Prinsip ekonomi gerakan digunakan untuk merancang sistem kerja dengan gerakan-
gerakan kerja yang benar dan ekonomis, dalam arti menghemat tenaga dan waktu,
sehingga diperoleh metoda kerja yang efisien (Wignjosoebroto, 2003). Adapun prinsip-
prinsip ekonomi gerakan adalah sebagai berikut:
(1) Prinsip ekonomi gerakan dihubungkan dengan penggunaan badan/anggota
badan.
(2) Prinsip ekonomi gerakan dihubungkan dengan tempat kerja.
(3) Prinsip ekonomi gerakan dihubungkan dengan peralatan kerja.
(1) Prinsip Ekonomi Gerakan Dihubungkan Dengan Penggunaan Badan/Anggota
Badan :
a. Sedapat mungkin kedua tangan memulai dan menyelesaikan gerakan kerja
dalam waktu yang bersamaan.
b. Kedua tangan tidak menganggur pada waktu yang bersamaan.
c. Gerakan tangan simetris dan berlawanan arah.
d. Hanya bagian-bagian tubuh yang diperlukan saja yang bekerja, agar tidak
terjadi penghamburan tenaga dan kelelahan yang tidak perlu.
e. Pekerjaan diatur sedemikian rupa sehingga gerak mata terbatas pada bidang
yang dikerjakan tanpa perlu sering mengubah fokus.
(2) Prinsip Ekonomi Gerakan Dihubungkan Dengan Tempat Kerja :
a. Peralatan dan bahan ditempatkan pada jarak yang aman dan mudah
dijangkau, sehingga mengurangi usaha mencari-cari.
b. Bahan dan peralatan kerja diatur untuk efisiensi gerakan
c. Tinggi tempat kerja sesuai dengan ukuran tubuh manusia sehingga pekerja
dapat melaksanakan kegiatannya dengan mudah dan nyaman.
d. Kondisi tempat kerja cukup penerangan, temperatur nyaman, ventilasi udara
cukup.
(3) Prinsip Ekonomi Gerakan Dihubungkan Dengan Peralatan Kerja :
a. Mengurangi sebanyak mungkin pelaksanaan pekerjaan secara manual
apabila hal tersebut dapat dilaksanakan dengan peralatan kerja.
43
b. Menggunakan peralatan kerja yang dapat dipakai untuk melaksanakan
berbagai macam pekerjaan sekaligus, baik yang sejenis maupun berlainan
jenis.
c. Peralatan kerja diatur pada posisi yang dapat diambil dan dipakai tanpa
harus mencari-cari, juga dibuat sedemikain rupa sehingga memberi
kenyamanan genggaman tangan saat digunakan.
Mundel and Danner (1994) membahas dan mensistematisasikan prinsip-prinsip
ekonomi gerakan tersebut mencakup tiga langkah, yaitu :
(1) Eliminasi kegiatan.
(2) Kombinasi gerakan atau aktivitas kerja.
(3) Penyederhanaan kegiatan.
(1) Eliminasi Kegiatan :
a. Eliminasi semua langkah dan gerakan yang tidak perlu.
b. Eliminasi kondisi yang tidak beraturan. Meletakkan segala peralatan dan
material pada tempat yang tetap, sehingga tercipta otomatisasi gerakan.
c. Eliminasi penggunaan tenaga otot untuk melaksanakan kegiatan statis.
d. Eliminasi waktu kosong (idle time) atau waktu menunggu (delay time)
dengan membuat penjadwalan kerja yang baik.
(2) Kombinasi Gerakan atau Aktivitas Kerja :
a. Gerakan-gerakan kerja yang berlangsung pendek atau terputus-putus dan
cenderung berubah-ubah arahnya digantikan dengan sebuah gerakan yang
kontinyu, tidak patah-patah, serta cenderung membentuk sebuah kurva.
b. Kegiatan didistribusikan dengan membuat keseimbangan kerja antara kedua
tangan. Pola gerakan kerja yang simultan dan simetris akan memberi
gerakan yang paling efektif.
(3) Penyederhanaan Kegiatan :
a. Setiap aktivitas kerja dilaksanakan dengan prinsip kebutuhan energi otot
minimal.
b. Kegiatan mencari-cari peralatan kerja dan material dikurangi dengan
meletakkannya pada tempat yang mudah ditemukan.
c. Fasilitas kerja diletakkan dalam jangkauan tangan normal, sehingga gerakan
tangan berada pada jarak yang sependek-pendeknya.
44
2.3.4. Pengukuran Kerja
Pengukuran kerja merupakan cara yang paling terpercaya untuk memperoleh manfaat
berupa peningkatan produktivitas dengan biaya yang serendah-rendahnya untuk
keuntungan semua pihak (Karger and Bayha, 1977). Pengukuran kerja meliputi
(Wignjosoebroto, 2003) :
1) Pengukuran waktu kerja.
2) Pengukuran tenaga yang dibutuhkan untuk penyelesaian kerja .
3) Dampak psikologis dan sosiologis yang timbul.
Keterkaitan 3 aspek pada pengukuran kerja ditampilkan pada Gambar 2.7.
Gambar 2.7. Tiga Aspek Dalam Pengukuran Kerja(Wignjosoebroto, 2003)
1) Pengukuran Waktu Kerja
Pengukuran waktu kerja dilakukan untuk mendapatkan waktu baku (standard time)
penyelesaian suatu pekerjaan. Waktu baku adalah waktu yang dibutuhkan oleh seorang
pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan. Waktu baku ditentukan dengan memasukkan kelonggaran waktu/allowance
time (Wignjosoebroto, 2003). Waktu baku diperlukan untuk menghitung :
(1) Kebutuhan tenaga kerja.
(2) Estimasi biaya tenaga kerja.
45
(3) Penjadwalan pekerjaan.
(4) Sistem pemberian bonus/insentif bagi karyawan yang berprestasi.
(5) Indikasi output yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja.
Pengukuran waktu kerja secara langsung dapat dilakukan dengan:
(1) Stop watch
(2) Work sampling
(3) Method Productivity Delay Model (MPDM), merupakan modifikasi dari
metoda stop watch dan work sampling, dikembangkan khusus untuk bidang
teknik sipil.
(1) Pengukuran Waktu Kerja dengan Stop Watch
Pengukuran waktu kerja dengan jam henti (stop watch) banyak diterapkan pada industri
manufaktur yang memiliki karakteristik kerja berulang-ulang, terspesifikasi jelas, dan
menghasilkan output yang relatif sama. Pengukuran waktu kerja dengan jam henti
dapat pula diterapkan pada pekerjaan di sektor jasa (service) yang memiliki kriteria
sama dengan pekerjaan manufaktur (Wignjosoebroto, 2003).
Pada pengukuran waktu kerja dengan stop watch, suatu pekerjaan dibagi
menjadi elemen-elemen kerja dan pengukuran dilakukan terhadap elemen-elemen
tersebut. Ada tiga metoda yang dapat digunakan untuk mengukur elemen-elemen kerja
dengan menggunakan stop watch yaitu pengukuran waktu secara terus-menerus
(continuous timing), pengukuran waktu secara berulang (repetitive timing) dan
pengukuran waktu secara penjumlahan (accumulative timing).
(2) Pengukuran Waktu Kerja Dengan Work Sampling
Metoda pengukuran waktu kerja dengan work sampling efektif dan efisien untuk
meneliti kerja mesin atau operatornya, karena dengan metoda ini dapat ditentukan
waktu longgar (allowance time) yang tersedia untuk suatu pekerjaan, pendayagunaan
mesin yang sebaik-baiknya, dan penetapan waktu baku untuk proses produksi.
Metoda work sampling dikembangkan berdasarkan hukum probabilitas dengan
mengambil sampel secara acak. Work sampling cocok digunakan pada pekerjaan yang
tidak berulang dan memiliki waktu siklus panjang. Pelaksanaannya adalah dengan
melakukan pengamatan pada selang waktu (durasi) yang diambil secara acak terhadap
mesin/pekerja untuk dicatat apakah mesin/pekerja tersebut dalam keadaan bekerja atau
menganggur (idle).
46
(3) Pengukuran Waktu Kerja Dengan Method Productivity Delay Model (MPDM)
Method Productivity Delay Model (MPDM) merupakan modifikasi dari konsep studi
gerak dan waktu konvensional. Teknik ini dikembangkan agar perusahaan konstruksi
dapat mengukur, memprediksi, dan memperbaiki produktivitas metoda konstruksi
(Halpin and Riggs, 1992). MPDM menggabungkan berbagai elemen yang terdapat
pada teknik-teknik yang lain seperti work samping, production function analysis,
statistical analysis, time study, dan balancing models.
MPDM mengambil data sampel secara menerus dari suatu siklus produksi
pekerjaan konstruksi dan mencatat jumlah serta jenis penundaan (delay) yang terjadi.
Dari data ini dilakukan perhitungan untuk mengetahui efisiensi pelaksanaan pekerjaan
dengan menampilkan efek penundaan yang terjadi terhadap produktivitas pekerjaan
yang diukur. Berdasarkan informasi ini, produktivitas dapat diperbaiki dengan
menghilangkan/mengurangi penundaan yang terjadi. Tujuan MPDM adalah untuk
mengukur, memprediksi, dan memperbaiki produktivitas metoda konstruksi. Mengenai
MPDM dibahas secara lebih rinci pada Sub Bab 2.5.
2) Pengukuran Energi Kerja
Dua parameter yang dapat dipakai untuk mengevaluasi apakah tata cara kerja sudah
dirancang dengan baik adalah waktu dan energi kerja yang dikeluarkan untuk
melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut. Berat/ringannya beban kerja yang dilakukan
pekerja bisa ditentukan dari gejala-gejala perubahan yang tampak dan bisa diukur,
antara lain:
(1) Laju detak jantung.
(2) Tekanan darah.
(3) Temperatur badan.
(4) Laju pengeluaran keringat.
(5) Konsumsi oksigen yang dihirup.
(6) Kandungan kimiawi dalam darah.
Pengukuran laju detak jantung adalah jenis pengukuran yang paling sering
dipakai untuk mengukur beban kerja.Selain mudah, tidak memerlukan peralatan yang
mahal, cara ini juga tidak mengganggu pekerjaan yang sedang dilaksanakan oleh
seorang pekerja (Tarwaka et al., 2004).
47
Astrand and Rodahl (1977) dan Rodahl (1989) menyatakan bahwa penilaian
beban kerja fisik (kerja yang mempergunakan energi otot manusia sebagai sumber
tenaganya) dapat dilakukan secara langsung, yaitu dengan mengukur energi yang
dikeluarkan melalui asupan oksigen selama bekerja, atau secara tidak langsung, yaitu
dengan menghitung denyut nadi selama kerja. Energi yang dikonsumsi bisa diukur
secara langsung melalui konsumsi oksigen yang dihirup, dengan konversi 1 liter O2 =
4,8 Kcal. Bila seseorang tidak melakukan kegiatan fisik (dalam kondisi istirahat), pulsa
denyut jantung adalah 62 denyut/menit, ekuivalen dengan konsumsi oksigen sebesar
250 ml/menit yang menunjukkan pengeluaran energi 1,2 Kcal/menit. Konsumsi
oksigen tetap diperlukan meskipun orang tidak melakukan aktivitas fisik, disebut
metabolisme basal, di mana energi dari makanan digunakan untuk menjaga suhu badan
tetap 360C. Pekerja laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg memiliki metabolisme
basal sebesar 1,2 Kcal/ menit (Wignjosoebroto, 2003).
Adanya kerja fisik membutuhkan penambahan energi yang disebut dengan
kalori kerja. Dari penelitian mengenai fisiologi kerja diperoleh kesimpulan bahwa 5,2
Kcal/menit adalah maksimum energi yang dikonsumsi untuk melaksanakan kerja fisik
berat/kasar secara terus menerus (Wignjosoebroto, 2003). Nilai kalori kerja 5,2 Kcal ini
akan menyebabkan jantung/nadi berdetak sekitar 120 kali/menit. Tabel 2.9 menun-
jukkan hasil penyelidikan Brouha pada 1954 (dikutip oleh Karger dan Bayha, 1977)
tentang konsumsi oksigen, energi yang dikeluarkan, serta detak jantung untuk berbagai
tingkatan pekerjaan.
Tabel 2.9. Beban Kerja dan Reaksi Fisik Yang Ditimbulkan (Karger dan Bayha, 1977)
Klasifikasi
Beban Kerja
Konsumsi
Oksigen (lt/mnt)
Pengeluaran
Energi (Kcal/mnt)
Frekuensi
Denyut Jantung
Selama Bekerja
(beats/mnt)
Ringan
Sedang
Berat
Sangat Berat
0,5 - 1,0
1,0 - 1,5
1,5 - 2,0
2,0 - 2,5
2,5 - 5,0
5,0 - 7,5
7,5 - 10,0
10,0 - 12,5
60 - 100
100 - 125
125 - 150
150 - 175
Christensen (1991) dan Grandjean (1993) menjelaskan bahwa selain konsumsi
oksigen dan laju detak jantung, beban kerja juga dapat diketahui dari kapasitas ventilasi
paru-paru dan suhu inti tubuh. Dari keempat parameter ini dapat dikategorikan beban
48
kerja menjadi ringan, sedang, berat, sangat berat, dan sangat berat sekali, sebagaimana
ditunjukkan dalam Tabel 2.10.
Tabel 2.10. Beban Kerja Berdasarkan Metabolisme, Respirasi, Suhu Tubuh,dan
Frekuensi Denyut Jantung (Christensen, 1991)
Kategori
Beban Kerja
Konsumsi
Oksigen (l/mnt)
Ventilasi Paru
(l/mnt)
Suhu Rektal
(0C)
Frekuensi
Denyut Jantung
(denyut/mnt)
Ringan
Sedang
Berat
Sangat berat
Sangat berat
sekali
0,5 – 1,0
1,0 – 1,5
1,5 – 2,0
2,0 – 2,5
2,5 – 4,0
11 – 20
20 – 31
31 – 43
43 – 56
60 – 100
37,5
37,5 – 38,0
38,0 – 38,5
38,5 – 39,0
> 39
75 – 100
100 – 125
125 – 150
150 – 175
> 175
Di Indonesia, Menteri Tenaga Kerja melalui Keputusan Menteri Nomor 51
Tahun 1999 menetapkan kategori beban kerja menurut kebutuhan kalori sebagaimana
ditunjukkan pada Tabel 2.11. Jika dibandingkan dengan Tabel 2.9 (Karger and Bayha,
1977) terlihat bahwa kategori beban kerja menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI
No. 51 Th. 1999 menerapkan standar kebutuhan kalori yang lebih rendah.
Tabel 2.11. Kategori Beban Kerja Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI
No. 51 Th. 1999 (Tarwaka et al., 2004)
Kategori
Beban Kerja
Kebutuhan Kalori
(Kilo Kalori/jam)
Kebutuhan Kalori
(Kilo Kalori/ menit)
Ringan
Sedang
Berat
100 – 200
200 – 350
350 – 500
1,67 – 3,33
3,34 – 5,83
5,84 – 8,33
Otot memerlukan energi pada saat berkontraksi untuk melakukan suatu
pekerjaan. Energi dapat dihasilkan dengan cepat dari adenosine triphosphate (ATP).
Namun sumber energi ini sangat terbatas, yang akan segera digantikan oleh creatine
phospate (CP). Ketersediaan CP juga terbatas, yaitu kurang dari satu menit pada saat
otot melakukan pekerjaan berat. Selanjutnya energi dihasilkan dari metabolisme
makanan yang dikonsumsi berupa karbohidrat, lemak, dan protein melalui proses
aerobic (membutuhkan oksigen) dan anaerobic (tidak membutuhkan oksigen). Proses
metabolisme tubuh ditunjukkan pada Gambar 2.8.
49
Gambar 2.8. Metabolisme Tubuh Untuk Menghasilkan Energi
(Niebel and Freivalds, 1999)
Metabolisme secara aerobic lebih efisien dan bertahan lama, tetapi memerlukan
waktu lama untuk menghasilkan energi. Sebaliknya metabolisme anaerobic sangat
cepat, tetapi hanya bertahan dalam waktu singkat. Untuk melakukan pekerjaan-
pekerjaan berat sebaiknya didahului dengan pemanasan terlebih dahulu sehingga energi
yang digunakan berasal dari metabolisma aerobic. Dengan demikian pekerja tidak
cepat merasa lelah.
Menurut Wignjosoebroto (2003), kapasitas energi yang mampu dihasilkan oleh
seseorang dipengaruhi antara lain oleh ukuran dan berat badan, jenis kelamin, serta
usia. Tabel 2.12 menampilkan persentase kemampuan energi yang dihasilkan karena
pengaruh usia.
Tabel 2.12. Kapasitas Energi Tenaga Kerja (Wignjosoebroto, 2003)
Usia (tahun) Prosentase
Kemampuan (%)
20 – 30
40
50
60
65
100
96
90
80
75
Adapun menururt Tarwaka et al. (2004), yang mengutip pendapat Astrand and
Rodahl (1977), Grandjean (1993) dan Genaidy (1996), kapasitas fisik seseorang
50
mencapai puncaknya pada umur 25 tahun. Pada umur 50 – 60 tahun kekuatan otot
menurun sebesar 25%, sedangkan kemampuan sensoris-motoris menurun sebanyak
60%. Selanjutnya kemampuan kerja fisik seseorang yang berumur di atas 60 tahun
tinggal 50% dari orang yang berumur 25 tahun. Bertambahnya umur akan diikuti
penurunan VO2 Max (jumlah maksimum oksigen yang mampu diserap seseorang
ketika bekerja fisik), ketajaman penglihatan, pendengaran, daya ingat jangka pendek,
dan membuat keputusan.
Energi yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan sangat bervariasi,
sesuai dengan jenis pekerjaan, sikap tubuh pada waktu melaksanakan pekerjaan, serta
cara mengangkat beban. Gambar 2.9 menampilkan beberapa jenis pekerjaan serta
besarnya energi yang dibutuhkan.
Gambar 2.9. Beberapa Jenis Pekerjaan dan Besarnya Energi
yang Dibutuhkan(Sanders and McCormick, 1993)
Dari Gambar 2.9 terlihat bahwa pekerjaan pasangan bata membutuhkan energi
sebesar 4,0 Kcal/menit. Jika dibandingkan dengan Tabel 2.9. yang menampilkan beban
51
kerja dan reaksi fisik yang ditimbulkan, maka beban kerja pekerjaan pasangan bata
termasuk dalam klasifikasi ringan, di mana dalam klasifikasi ini jumlah energi yang
dikeluarkan adalah antara 2,5 – 5,0 Kcal/menit. Namun jika dibandingkan dengan
Tabel 2.11, beban kerja pekerjaan pasangan bata termasuk dalam kategori beban kerja
sedang, yaitu antara 3,34 – 5,83 Kcal/menit.
Kapasitas kerja seseorang juga ditentukan oleh joint flexibility, yaitu
fleksibilitas gerakan bagian-bagian tubuh dari posisi normal (Genaidy, 1996).
Berdasarkan hasil penelitian Tichaeur dalam Grandjean (1993), hasil kerja yang
optimal dengan kebutuhan energi minimal dicapai pada posisi lengan atas membentuk
sudut antara 8o – 23
o dengan badan. Grafik hubungan antara sudut lengan atas, hasil
kerja, dan kebutuhan kalori ditunjukkan pada Gambar 2.10.
Gambar 2.10 Grafik Hubungan antara Sudut Lengan,
Hasil Kerja, dan Kebutuhan Kalori(Grandjean, 1993)
2.3.5. Pengukuran Beban Kerja
Menurut Astrand and Rodahl (1977) dan Rodahl (1989), denyut nadi mempunyai
hubungan yang linier dengan asupan oksigen pada waktu kerja. Denyut nadi akan
berubah seirama dengan perubahan pembebanan, baik yang berasal dari pembebanan
mekanik, fisika maupun kimiawi (Kurniawan, 1995). Manuaba and Vanwonterghem
(1996) menentukan klasifikasi beban kerja berdasarkan peningkatan denyut nadi kerja
yang dibandingkan dengan denyut nadi maksimum karena beban kardiovaskuler
(cardio vasculair load = % CVL) yang dihitung dengan Persamaan 2.4 :
100 x (Denyut nadi kerja – Denyut nadi istirahat)
% CVL = --------------------------------------------------------------- (2.4)
Denyut nadi maksimum – Denyut nadi istirahat
52
Denyut nadi maksimum untuk laki-laki adalah (220 – umur) dan untuk perempuan
adalah (200 – umur). Hasil perhitungan % CVL kemudian dibandingkan dengan
klasifikasi yang sudah ditetapkan sebagai berikut :
< 30% = tidak terjadi kelelahan
30% s.d <60% = diperlukan perbaikan kondisi tubuh
60% s.d. 80% = kerja dalam waktu singkat
80% s.d <100% = diperlukan tindakan segera
> 100% = tidak diperbolehkan beraktivitas
2.3.6. Kerusakan dan Nyeri Otot Akibat Kerja
Nyeri otot/keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal
yang dirasakan seseorang apabila otot menerima beban statis secara berulang dalam
waktu yang lama. Keluhan bisa berupa nyeri ringan hingga kerusakan pada sendi,
ligamen, dan tendon. Nyeri ringan hingga kerusakan ini disebut dengan musculo-
skeletal disorders atau MSDs (Grandjean, 1993).
Otot skeletal (rangka) meliputi otot leher, bahu, lengan, jari, punggung,
pinggang, dan otot-otot bagian bawah (kaki). Di antara keluhan otot skeletal tersebut,
yang paling banyak dialami oleh pekerja adalah otot bagian pinggang (low back pain /
LBP). Keluhan otot skeletal umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan
akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang
panjang. Jika kontraksi otot melebihi 20% dari kekuatan otot maksimum, maka
peredaran darah ke otot berkurang sebanding dengan tingkat kontraksi yang
dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang dikerahkan. Suplai oksigen ke otot menurun,
proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan
asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Suma‟mur, 1989).
Keluhan musculoskeletal disebabkan oleh tiga hal sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 2.11, yaitu:
1. Peregangan otot yang berlebihan.
2. Aktivitas berulang.
3. Sikap kerja tidak alamiah.
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-
bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, seperti pergerakan tangan terangkat,
punggung membungkuk, kepala terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian
53
tubuh dari pusat gravitasi tubuh, semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot
skeletal.
Gambar 2.11. Faktor-faktor Penyebab Keluhan Musculoskeletal (Tarwakaet al., 2004)
Gambar 2.12. Nordic Body Map (Corlett, 1992)
Salah satu instrumen untuk mengetahui bagian-bagian otot yang mengalami
keluhan musculoskeletal adalah Nordic Body Map/NBM (Corlett, 1992 dalam Tarwaka
et al., 2004) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.12. Pada Nordic Body Map otot-
otot tubuh dibagi berdasarkan otot yang melekat pada rangka tubuh, seperti otot leher
54
(nomor 1), bahu (nomor 2 dan 3), lengan atas (nomor 4 dan 6), siku (nomor 10 dan 11),
lengan bawah (nomor 12 dan 13), punggung (nomor 5), pinggang atas (nomor 7),
pinggang bawah (nomor 8), pinggul (nomor 9), paha (nomor 18 dan 19), lutut (nomor
20 dan 21), betis (nomor 22 dan 23), pergelangan kaki (nomor 24 dan 25), dan telapak
kaki (nomor 26 dan 27). Dengan melihat dan menganalisa peta tubuh (NBM), dapat
diketahui jenis keluhan otot yang dirasakan pekerja, dan dilakukan tindakan perbaikan.
2.3.7. Kebutuhan Waktu Istirahat
Jika seseorang harus bekerja berat dengan mengkonsumsi energi rata-rata sebesar 5,2
Kcal/menit, ia akan menumpuk kelelahan sampai akhirnya harus berhenti dan
memerlukan istirahat selama beberapa waktu. Untuk mengestimasi jumlah waktu
istirahat yang diperlukan dapat dipakai formula sebagaimana ditampilkan pada
Persamaan 2.5 (Wignjosoebroto, 2003) :
T (K – S)
R = --------------- (menit) (2.5)
K – 1,5
dalam hal ini :
R = waktu istirahat yang diperlukan (menit)
T = total waktu yang dipergunakan untuk kerja (menit)
K = rata-rata energi yang dikonsumsikan untuk kerja (Kcal/menit)
S = standart beban kerja normal yang diaplikasikan (Kcal/menit)
Murrel (1965) memberikan formula yang berbeda untuk menghitung waktu yang
dibutuhkan untuk istirahat, sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan 2.6 :
R = (W – 5,33)/(W – 1,33) (2.6)
dalam hal ini :
R = waktu yang dibutuhkan untuk istirahat, dinyatakan dalam persen
dari total waktu
W = rata-rata energi yang dikeluarkan selama bekerja (Kcal/menit)
Tarwaka et al. (2004) menyebutkan ada empat jenis istirahat yang dilakukan oleh
pekerja selama jam kerja yaitu :
1. Istirahat spontan, yaitu istirahat pendek segera setelah pembebanan kerja.
2. Istirahat curian, terjadi jika beban pekerjaan baik fisik maupun mental lebih
besar dari kemampuan kerja.
55
3. Istirahat karena proses kerja, ditimbulkan oleh sistem bekerjanya mesin-
mesin, peralatan atau prosedur kerja.
4. Istirahat yang ditetapkan oleh ketentuan perusahaan dan perundang-
undangan yang berlaku.
Pengaturan jadwal waktu istirahat dilakukan dengan dasar pertimbangan
pemakaian energi yang dikonsumsi untuk bekerja, yang menunjukkan kualifikasi
pekerjaan sebagaimana disajikan pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13.Waktu Istirahat Berdasarkan Kualifikasi Pekerjaan (Wignjosoebroto, 2003)
Kualifikasi Pekerjaan Istirahat Yang Diperlukan
Ringan/moderat 10 – 15 menit pada pagi atau siang hari di
luar jadwal makan siang
Kerja fisik biasa 15% dari total waktu kerja
Kerja fisik berat 30% dari total waktu kerja
Kegiatan-kegiatan yang dikualifikasikan ringan/moderat memerlukan waktu
istirahat sekitar 10 – 15 menit yang dijadwalkan pada pagi atau siang hari di luar jadwal
istirahat makan siang. Istirahat diperlukan untuk memulihkan kesegaran fisik ataupun
mental pekerja. Untuk kerja fisik biasa jumlah total waktu yang diperlukan untuk
istirahat rata-rata 15% dari total waktu kerja. Untuk kerja fisik berat/kasar, prosentase
waktu istirahat yang diperlukan bisa mencapai 30% (Wignjosoebroto, 2003).
Gambar 2.13. Pengaturan Jadwal Istirahat
dalam Satu Periode Hari Kerja (Wignjosoebroto, 2003)
56
Pengaturan jadwal kerja 8 jam/hari sudah merupakan hasil yang optimal.
Namun demikian pemberian waktu istirahat masih diperlukan dan bisa disisipkan di
antara kurun waktu 8 jam tersebut, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.13. Dari
Gambar 2.13 terlihat bahwa dengan pengaturan jadwal istirahat yang lebih sering
(Gambar 2.13.b) dibandingkan dengan jadwal istirahat yang jarang (Gambar 2.13.a)
akan dihasilkan total produktivitas rata-rata yang lebih konstan. Dalam penelitian ini
total produktivitas meningkat hingga 11% (Wignjosoebroto, 2003).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa pengaturan waktu kerja yang diselingi
dengan beberapa kali waktu istirahat akan menaikkan efisiensi pekerja. Sebagai contoh,
pengurangan waktu kerja dari 8,75 jam/hari menjadi 8 jam/hari menghasilkan pening-
katan prestasi 3% hingga 10% (Wignjosoebroto, 2003).
2.4. Ergonomi
Ergonomi adalah disiplin ilmu yang menempatkan manusia sebagai pusat perhatian
dalam sistem kerja. Metoda kerja dengan pendekatan ergonomi bertujuan untuk
mewujudkan efektivitas, efisiensi, keamanan/keselamatan, kesehatan dan kenyamanan
kerja. Pada skala yang lebih luas, dengan penerapan ergonomi akan dicapai produk-
tivitas yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang lebih baik.
2.4.1. Definisi dan Tujuan Ergonomi
Ergonomi berasal dari bahasa Yunani ergon yang berarti kerja dan nomos yang berarti
aturan, jadi ergonomi adalah norma dalam sistem kerja (Oborne, 1987; Tayyari F. and
Smith J., 1997). Ergonomi dapat dipahami sebagai “suatu ilmu, seni dan teknologi yang
berupaya untuk menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan,
kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara
optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya” (Tarwaka et al., 2004). Disiplin
ergonomi secara khusus mempelajari keterbatasan kemampuan manusia dalam
berinteraksi dengan teknologi dan produk-produk buatannya (Wignjosoebroto, 2003).
Istilah ergonomi biasa dipergunakan di Eropa, sedangkan di Amerika lebih umum
digunakan istilah Human Factors Engineering.
International Ergonomic Association (IEA) yang berdiri pada tahun 1959
mendefinisikan ergonomi sebagai berikut :
57
”Ergonomics is the study of the anatomical, physiological, and
psychological aspects of human in working environment. It is concerned
with optimizing the efficiency, health, safety and comfort of the people at
work,at home and at play. This generally require the study of system in
wich human, machine and the environment interact, with the aim of fitting
the task to the humans”
Beberapa definisi lain dari ergonomi yang berhubungan dengan aktivitas hidup
manusia, tugas, pekerjaan, dan desain diberikan oleh banyak ahli, sebagai berikut :
“Ergonomics is the aplication of scientific information about human being
(and scientific methods of acquiring such information) to the problem
design” (Pheasant, 1988)
“Ergonomics is the study of human abilities and characteristics which
affect the design of equipment, system and job” (Corlett and Clark, 1995)
“Ergonomics is the ability to apply information regarding human
characters, capacities, and limitation to the design of human task,
machine system, living spaces, and environment so that people can live,
work and play safely, comfortably and efficiently” (Annis and
McConville, 1996).
“Ergonomic design is the application of human factors, information to the
design of tools, machines systems, tasks, jobs and environments for
productive, safe, comfortable and effective human functioning” (Manuaba,
1998)
“Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk
menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang
digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan
dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas
hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik”(Tarwaka et al., 2004)
Adapun yang dimaksud dengan kualitas hidup menurut ILO (International Labour
Organisation) adalah :
1. Pekerjaan harus memperhatikan kehidupan dan keselamatan pekerja.
2. Pekerjaan harus memberikan waktu bebas kepada pekerja untuk beristirahat
dan berekreasi.
3. Pekerjaan harus memungkinkan pekerja menjalankan kehidupan sosial dan
mencapai kepuasan dengan pengembangan potensi diri.
Tayyari and Smith (1997) dan Wignjosoebroto (2003) menyatakan bahwa tujuan
pendekatan disiplin ergonomi adalah upaya untuk memperbaiki kinerja manusia
mencakup :
58
1. Menambah kecepatan kerja.
2. Meningkatkan ketelitian kerja.
3. Memperbaiki keselamatan dan kesehatan kerja.
4. Mengurangi energi kerja yang berlebihan.
5. Mengurangi munculnya kelelahan yang terlalu cepat.
Ergonomi mempelajari akibat-akibat jasmani, kejiwaan, dan sosial dari
teknologi dan pekerjaan terhadap manusia. Oleh karena itu Human Factor Engineering
(Ergonomi) adalah ilmu yang bersifat multidisiplin, didukung oleh ilmu sosial
(psychology), ilmu terapan (engineering), dan ilmu kehayatan (biology/ medicine).
Landasan dan keterkaitan ilmu ergonomi dengan ilmu-ilmu yang lain ditampilkan pada
Gambar 2.14 (Phillips, 2000).
Gambar 2.14. Landasan Ilmu Ergonomi (Phillips,2000)
59
2.4.2. Konsep Dasar Ergonomi
Phillips (2000) mengatakan bahwa ergonomi didasarkan pada konsep sistem manusia -
teknologi, yang berinteraksi dengan lingkungan dan tugas/pekerjaan, sebagaimana
ditampilkan pada Gambar 2.15.
Gambar 2.15. Interaksi Sistem Manusia – Teknologi Dengan
Lingkungan dan Pekerjaan (Phillips, 2000)
Adapun menurut Tarwaka et al. (2004) dan Manuaba (2000) konsep dasar
ergonomi adalah tercapainya keseimbangan antara tuntutan kerja dengan kapasitas
kerja, sehingga tercapai kinerja yang tinggi (Gambar 2.16).
Gambar 2.16 Konsep Dasar dalam Ergonomi (Manuaba, 2000)
60
Tuntutan pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh
terlalu berlebihan (overload), karena keduanya akan menyebabkan stress. Tuntutan
pekerjaan yang terlalu rendah akan menyebabkan pekerja bosan, sehingga produktivitas
akan menurun. Sebaliknya, tuntutan tugas yang terlalu berlebihan dan melampaui
kapasitas kerja tidak akan mampu dilaksanakan oleh seorang pekerja dengan optimal.
Tuntutan Kerja tergantung pada (Tarwaka et al., 2004) :
a. Karakteristik material : berbahaya atau aman, mudah atau sulit dikerjakan.
b. Karakteristik pekerjaan dan tempat kerja, antara lain berkaitan dengan
peralatan, mesin, kecepatan.
c. Karakteristik lingkungan, mencakup suhu, kebisingan, penerangan, sosio-
budaya, norma.
d. Karakteristik organisasi, seperti halnya pengaturan jam kerja dan istirahat,
cuti dan libur, manajemen.
Kapasitas Kerja dipengaruhi oleh (Tarwaka et al., 2004) :
a. Kapasitas personal, mencakup usia, jenis kelamin, antropometri, kesehatan,
pendidikan, pengalaman, status sosial.
b. Kapasitas psikologis, yaitu ketahanan mental, kemampuan adaptasi,
stabilitas emosi.
c. Kapasitas biomekanik, berkaitan dengan kekuatan sendi, tendon, tulang.
d. Kapasitas fisiologis, meliputi kemampuan kardio vaskuler, syaraf otot,
panca indera.
Kinerja seseorang tergantung pada rasio antara besarnya tuntutan kerja dan
kapasitas kerja. Bila tuntutan kerja terlalu besar dibanding kapasitas kerja, maka
kinerja yang muncul adalah ketidak nyamanan, tekanan berlebih, kelelahan,
kecelakaan, penyakit, luka, dan produktivitas rendah. Sebaliknya, jika tuntutan tugas
terlalu rendah dibanding kapasitas kerja, maka kinerja yang muncul adalah kebosanan,
kejemuan, lesu, sakit, dan tidak produktif. Kinerja yang maksimal akan tercapai jika
terjadi keseimbangan dinamis antara tuntutan kerja dan kapasitas kerja.
2.4.3. Anthropometri
Anthropometri adalah bagian dari disiplin Ergonomi yang berkaitan dengan dimensi
tubuh manusia. Anthropometri menganalisa, mengevaluasi, dan membakukan jarak
61
jangkau yang memungkinkan bagi rata-rata orang untuk melaksanakan kegiatannya
dengan mudah dan dengan gerakan-gerakan yang sederhana (Wignjosoebroto, 2003).
Hasil pengukuran terhadap sejumlah tenaga kerja laki-laki (usia rata-rata 31 tahun) dan
perempuan (usia rata-rata 30 tahun) yang dilakukan oleh Pusat Bina Higiene
Perusahaan dan Kesehatan Kerja memberikan hasil bahwa tinggi rata-rata laki-laki
adalah 163,2 cm dan tinggi rata-rata perempuan adalah 156,3 cm (Suma‟mur, 1989).
Adapun tinggi rata-rata laki-laki Amerika adalah 178 cm dan tinggi rata-rata
perempuan Amerika adalah 162,5 cm (Sanders and McCormick, 1987) dalam
Wignjosoebroto (2003).
Pemahaman mengenai anthropometri juga diperlukan untuk mengetahui jarak
jangkauan normal dan jarak jangkauan maksimal yang bisa dilakukan oleh seseorang.
Dimensi-dimensi pada Gambar 2.17 diberikan oleh Barnes (1963) yang dikutip oleh
McCormick (1979), berdasarkan penelitian pada 30 orang. Data ini adalah untuk
ukuran orang Amerika, adapun untuk ukuran orang Asia (Indonesia) sejauh ini belum
diperoleh data yang memadai. Namun demikian dari perbandingan tinggi tubuh antara
orang Amerika dengan orang Asia, dapat didekati angka-angka yang bisa diterima,
dengan asumsi ukuran anggota badan proporsional terhadap tinggi badan.
Gambar 2.17. Jarak Jangkauan Normal dan Maksimum Untuk Bekerja
(McCormick, 1979)
62
2.4.4. Peralatan Kerja
Peralatan kerja adalah ‟perpanjangan‟ tangan pekerja untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan. Peralatan kerja mempengaruhi kinerja, yang akan membuat pekerjaan dapat
diselesaikan secara efisien, sulit, atau bahkan tidak mungkin dilakukan. Peralatan kerja
juga dapat menimbulkan bahaya atau cedera jika tidak didesain dengan memperhatikan
aspek anthropometri dan ergonomi (Tayyari and Smith, 1997).
Salah satu aspek penting dalam desain peralatan kerja adalah kekuatan genggam
(grip strength) dan ketahanan (lama waktu pakai) orang mempergunakan peralatan
tersebut (endurance). Genggaman jari-jari tangan secara normal akan membuat bentuk
ellips dan membentuk sudut terhadap sumbu tangan sebagaimana ditunjukkan pada
Gambar 2.18 (a). Genggaman seperti ini memberikan kekuatan dan ketahanan yang
lebih baik daripada genggaman yang membentuk sudut tegak lurus terhadap sumbu
tangan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.18 (b).
Gambar 2.18. (a) Genggaman Normal, (b) Genggaman Abnormal
(Tayyari and Smith, 1997)
Hasil penelitian Swanson et al. (1970) dalam Tayyari and Smith (1997)
menunjukkan bahwa kekuatan genggam dan ketahanan pakai optimum diperoleh pada
pegangan alat berdiameter 3,8 cm – 6,3 cm. Pegangan alat yang terlalu besar atau
terlalu kecil akan menurunkan kekuatan genggam dan ketahanan pakai. Kekuatan
genggam dan ketahanan pakai tertinggi dicapai pada usia sekitar 20 tahun untuk pria
dan beberapa tahun lebih muda untuk wanita. Pemakaian sarung tangan yang sesuai
akan meningkatkan kekuatan genggam dan juga ketahanan pakai peralatan.
Tayyari and Smith (1997) menyebutkan bahwa pada awal tahun 1970 John
Bennet memperkenalkan desain pegangan peralatan yang membentuk sudut sebesar 19o
terhadap sumbu tangan. Sudut sebesar 19o akan membuat pergelangan tangan tetap
63
lurus, sehinga pemakai alat dapat melakukan genggaman secara normal sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 2.18 (a). Sudut sebesar 19o ini merupakan sudut yang
dibentuk oleh jari telunjuk dan ibu jari, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.19.
Gambar 2.19. Sudut Antara Jari Telunjuk Gambar 2.20. Pegangan Alat Dengan
dan Ibu Jari (Tayyari and Smith, 1997) BioCurve (Tayyari and Smith, 1997)
Bennet telah mempatenkan desain ini, dan menamakannya desain BioCurve.
Dengan pegangan berbentuk BioCurve, jari tengah akan mengunci pada sudut 19o dan
jari-jari yang lain akan memperkuat genggaman pada pegangan alat sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 2.20 (Tayyari and Smith, 1997). Desain BioCurve juga
membuat pergelangan tangan tetap lurus. Menurut Tichauer (1975), membengkokkan
pergelangan tangan pada arah ulnar (ke luar) ataupun radial (ke dalam) akan
mengurangi kemampuan pergelangan tangan untuk berputar sebesar 50%.
2.4.5. Posisi Tubuh Dalam Kerja
Posisi tubuh dalam bekerja ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Untuk
pekerjaan di kantor (industri jasa) dan di pabrik (industri manufaktur) posisi tersebut
pada umumnya adalah:
1) Duduk.
2) Berdiri.
3) Duduk-berdiri.
Adapun untuk pekerjaan-pekerjaan di lapangan, termasuk pada proyek konstruksi,
posisi tubuh dalam bekerja bisa beraneka ragam, tidak hanya duduk dan berdiri, tetapi
juga membungkuk dan berjongkok.
1) Posisi Duduk
Grandjean (1993) berpendapat bahwa bekerja dengan posisi duduk mempunyai dua
keuntungan yaitu mengurangi pembebanan pada kaki serta mengurangi pemakaian
64
energi untuk sirkulasi darah. Namun demikian kerja dengan sikap duduk terlalu lama
dapat menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang melengkung sehingga
cepat lelah (Tarwaka et al., 2004). Pada posisi duduk, otot rangka (musculoskeletal)
dan tulang belakang (vertebra) terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh
sandaran kursi agar terhindar dari nyeri pinggang (back pain). Menurut Nurmianto
(1998) yang dikutip Santoso (2004), tekanan pada tulang belakang akan meningkat
menjadi 140% bila duduk dalam sikap tegang dan kaku, dan 190% bila duduk
dilakukan dengan membungkuk ke depan. Gambar 2.21 menunjukkan posisi duduk
yang benar untuk bekerja.
Gambar 2.21. Posisi Duduk Yang Benar (Tayyari and Smith, 1997)
Clark (1996) menyatakan bahwa posisi duduk mempunyai derajad stabilitas
tubuh yang tinggi, mengurangi kelelahan dan keluhan subjektif bila bekerja lebih dari 2
jam. Di samping itu pekerja juga dapat mengendalikan kaki untuk melakukan gerakan.
Tempat duduk yang dipakai harus memungkinkan perubahan posisi. Fleksi lutut
membentuk sudut 90o dengan telapak kaki bertumpu pada lantai atau injakan kaki
(Pheasant, 1988; Tayyari and Smith, 1997). Jika landasan terlalu rendah, tulang
belakang akan membungkuk ke depan, dan jika terlalu tinggi bahu akan terangkat dari
posisi rileks, sehingga menyebabkan bahu dan leher menjadi tidak nyaman.
2) Posisi Berdiri
Menurut Sutalaksana (2000) yang dikutip Tarwaka et al. (2004), sikap berdiri
merupakan sikap siaga baik fisik maupun mental, sehingga aktivitas kerja yang
65
dilakukan lebih cepat, kuat, dan teliti. Namun posisi kerja berdiri lebih melelahkan dari
pada duduk, dan energi yang dikeluarkan untuk berdiri lebih banyak 10% - 15%
dibandingkan duduk. Untuk meminimalkan kelelahan, pekerjaan harus didesain agar
tidak terlalu banyak menjangkau, membungkuk, atau melakukan gerakan dengan posisi
kepala yang tidak alamiah.
(a) (b) (c)
Gambar 2.22. Tinggi Landasan Kerja Pada Posisi Berdiri
(a) pekerjaan memerlukan penekanan kuat
(b) pekerjaan memerlukan ketelitian, (c) pekerjaan ringan (Tarwaka et al., 2004)
Manuaba and Vanwonterghem (1996), Sanders and McCormick (1993), Grandjean
(1993) dan Tarwaka et al. (2004) memberikan rekomendasi ergonomi untuk tinggi
landasan kerja pada posisi berdiri didasarkan pada tinggi siku sebagaimana
diperlihatkan pada Gambar 2.22 dengan penjelasan sebagai berikut :
(a) Untuk pekerjaan yang memerlukan penekanan kuat, tinggi landasan kerja
adalah 15 cm – 40 cm di bawah tinggi siku berdiri.
(b) Untuk pekerjaan yang memerlukan ketelitian, tinggi landasan kerja adalah 5
cm – 10 cm di atas tinggi siku berdiri, dengan maksud untuk mengurangi
pembebanan statis pada otot bagian belakang.
66
(c) Untuk pekerjaan ringan, tinggi landasan kerja adalah 10 cm – 15 cm di
bawah tinggi siku berdiri.
Bekerja dengan posisi berdiri dapat menyebabkan terjadinya penumpukan darah
dan berbagai cairan tubuh pada kaki, dan hal ini akan bertambah jika pekerja tidak
menggunakan sepatu/alas kaki yang bentuk dan ukurannya sesuai (Santoso, 2004). Alas
kaki yang lunak akan mengurangi kelelahan otot kaki akibat tekanan berat tubuh.
3) Posisi Duduk-Berdiri
Das (1991) dan Pulat (1992) dikutip oleh Tarwaka et al., (2004) menyatakan bahwa
posisi duduk-berdiri adalah posisi terbaik untuk bekerja. Posisi duduk-berdiri
memungkinkan pekerja berganti posisi untuk mengurangi kelelahan otot karena sikap
paksa dalam satu posisi kerja. Tinggi landasan kerja dengan kisaran antara 90 cm – 120
cm adalah ketinggian yang paling tepat. Stasiun kerja untuk sikap kerja dinamis (duduk
- berdiri) diilustrasikan pada Gambar 2.23.
Gambar 2.23. Posisi Kerja Dinamis (Duduk-Berdiri)
(Tarwaka et al., 2004)
Menurut Helander (1995) dikutip oleh Tarwaka et al. (2004), posisi duduk-
berdiri mempunyai keuntungan secara biomekanis, di mana tekanan pada tulang
belakang dan pinggang 30% lebih rendah dibandingkan dengan posisi duduk maupun
berdiri terus-menerus.
4) Posisi Jongkok dan Membungkuk
Posisi kerja jongkok dan membungkuk adalah posisi yang tidak alamiah, dan akan
menimbulkan kelelahan yang tinggi karena beban statis yang ditimbulkan oleh posisi
tidak alamiah tersebut. Kerja yang dilakukan dengan posisi badan membungkuk tanpa
penunjang badan akan mengkonsumsi energi fisik sebesar 3 Kcal/menit. Adapun kerja
67
dengan posisi jongkok ataupun menekuk lutut dengan berat badan sebagian ditunjang
oleh satu tangan memerlukan energi yang lebih kecil, yaitu 2 Kcal/menit (McCormick,
1979; Wignjosoebroto, 2003). Energi yang diperlukan untuk bekerja dengan posisi
tubuh membungkuk dan jongkok ditunjukkan pada Gambar 2.24.
Gambar 2.24. Energi Yang Diperlukan Pada Posisi Kerja Membungkuk
dan Jongkok (McCormick, 1979)
2.4.6. Mengangkat Beban
Pada pekerjaan membawa beban, posisi beban terhadap tubuh akan menentukan
besarnya kalori yang dibutuhkan. Kebutuhan kalori terkecil diperoleh jika beban
diletakkan pada posisi paling dekat dengan titik berat tubuh. Pada Gambar 2.25
diperlihatkan beberapa cara membawa beban serta besarnya kalori yang dibutuhkan
untuk tiap-tiap posisi beban.
(a) (b) (c) (d)
100% 105% 130% 145%
Gambar 2.25 Cara Membawa Beban dan Besar Kalori yang Dibutuhkan
(Wignjosoebroto, 2003)
68
Pada cara (a) beban diletakkan menempel pada dada dan bahu, dimana cara ini
membutuhkan energi yang terkecil. Dengan mengambil cara (a) sebagai referensi dan
diberi nilai 100%, maka kebutuhan kalori pada cara (b), (c), dan (d) masing-masing
adalah 105%, 130%, dan 145%.
McCormick (1979) menyatakan bahwa kebutuhan energi dan efisiensi
pemakaian energi pengangkatan beban pada berbagai ketinggian adalah berbeda-beda
sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.26.
Gambar 2.26 Energi Yang Dikeluarkan Pada Pengangkatan Beban
(McCormick, 1979)
Energi untuk mengangkat beban dari ketinggian 1 meter menuju ketinggian 1,5
meter adalah paling kecil jika dibandingkan dengan mengangkat beban yang sama dari
lantai menuju ketinggian 0,5 meter, dari ketinggian 0,5 meter menuju ketinggian 1
meter, dan dari ketinggian 1,5 meter menuju ketinggian 2,0 meter (McCormick, 1979;
Oborne, 1987). Adapun energi yang dikeluarkan untuk mengangkat beban dari lantai
(0 m) menuju ketinggian 0,5 meter adalah dua kali lebih besar dari energi yang
dibutuhkan untuk mengangkat beban yang sama dari ketinggian 0,5 meter menuju
ketinggian 1,0 meter. Hal ini disebabkan besarnya energi yang harus dikeluarkan untuk
membungkuk dan menegakkan badan kembali.
Posisi tubuh pada saat mengangkat beban juga menentukan jenis otot yang
bekerja serta cedera yang mungkin terjadi (Oborne, 1987). Pada Gambar 2.27 ditun-
69
jukkan tiga cara mengangkat beban. Pada gambar (a) dari posisi jongkok beban
diangkat dengan mengangkat kedua paha. Pada gambar (b) dari posisi jongkok
punggung diangkat terlebih dahulu baru beban diangkat. Pada gambar (c) beban
diangkat dari posisi berdiri dengan cara membungkukkan punggung.
Pada cara (a) otot yang paling banyak bekerja adalah otot paha, pada cara (b)
otot paha dan otot punggung bekerja bersama-sama, sedangkan pada cara (c) beban
sepenuhnya ditopang oleh otot punggung.
(a) (b) (c)
Gambar 2.27 Cara-cara Mengangkat Beban (Oborne, 1987)
Cara mengangkat beban yang salah akan mengakibatkan terjadinya nyeri pada
ruas tulang belakang. Bila seseorang mengangkat beban sambil membungkuk, tekanan
yang besar terjadi pada bagian pinggang sebagai akibat terjadinya gaya pengungkit
(Suma‟mur, 1989). Pada aktivitas mengangkat dan mengangkut sebaiknya beban
ditempatkan sedekat mungkin pada garis vertikal gravitasi tubuh. Dengan demikian
tidak terjadi gaya momen pada tubuh serta dapat dihindari aktivitas otot statis yang
tidak perlu.
Salah Benar
Gambar 2.28. Cara Mengangkat Beban dan Pengaruhnya Pada
Penekanan Tulang Belakang (Suma‟mur, 1989)
70
Beban pada tulang belakang bertambah dari atas ke bawah, dan beban terbesar
terjadi pada ruas-ruas tulang pinggang. Cara mengangkat beban dengan posisi
punggung miring akan menimbulkan tekanan berat pada ruas-ruas tulang belakang,
yang akan mengakibatkan nyeri tulang belakang (back pain). Pengaruh tekanan pada
ruas tulang belakang karena mengangkat beban diilustrasikan pada Gambar 2.28.
Mengangkut dengan memakai gendongan sangat baik. Adapun mengangkut
dengan beban di atas punggung kurang baik karena terjadi kontraksi statis pada otot
perut. Menjinjing beban yang relatif ringan di tangan kanan dan kiri lebih baik dari
pada menjinjing satu beban berat dengan satu tangan. Menjinjing beban berat di kedua
tangan tidak dianjurkan karena akan membuat otot-otot bahu dan lengan atas teregang.
Berat beban yang masih diijinkan untuk pengangkutan secara terus menerus adalah 15 -
18 kg untuk laki-laki dewasa dan 10 kg untuk perempuan dewasa (Suma‟mur, 1989).
2.4.7. Lingkungan Kerja
Pada lingkungan yang panas, misalnya bekerja di bawah paparan terik matahari,
pekerja akan cepat merasa lelah, pengeluaran keringat meningkat, dan denyut jantung
lebih cepat. Paparan panas matahari membuat beban kerja yang diterima pekerja lebih
berat. Selain itu, paparan panas bisa menyebabkan dehidrasi, yaitu kondisi kehilangan
cairan tubuh yang berlebihan akibat penggantian cairan yang tidak cukup. Pada
kehilangan cairan tubuh kurang dari 1,5% gejalanya belum tampak, tetapi kelelahan
muncul lebih awal dan mulut mulai kering. Paparan panas matahari juga bisa
mengakibatkan heat syncope, yang disebabkan aliran darah ke otak tidak cukup karena
sebagian besar aliran darah dibawa ke permukaan kulit atau perifer (Tarwaka et al.,
2004).
Pekerja di lingkungan panas akan beraklimatisasi untuk mengurangi reaksi
tubuh terhadap panas (heat strain). Proses aklimatisasi menyebabkan denyut jantung
lebih rendah dan laju pengeluaran keringat meningkat. Pekerja akan banyak berhenti
dan mengambil waktu istirahat. Pekerja yang belum beraklimatisasi juga bisa
mengalami heat exhaustion, yaitu kondisi ketika tubuh kehilangan terlalu banyak cairan
dan atau kehilangan garam natrium dari tubuh. Gejalanya adalah mulut kering, sangat
haus, lemah, dan merasa kelelahan.
Grandjean (1993) memberikan batas toleransi suhu tinggi untuk bekerja adalah
35oC – 40
oC. Selama pekerja bekerja dalam lingkungan yang panas, tubuh melakukan
71
metabolisme untuk menyeimbangkan antara panas yang diterima dari luar tubuh
dengan kehilangan panas dari dalam tubuh. Keluarnya keringat adalah proses meta-
bolisme tubuh untuk menurunkan suhu tubuh akibat paparan panas dari luar.
Dari penelitian yang sudah dilakukan, diperoleh hasil bahwa produktivitas kerja
manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur 24oC – 27
oC
(Wignjosoebroto, 2003). Pada suhu sekitar 30oC aktivitas mental dan daya tangkap
mulai menurun dan orang cenderung membuat kesalahan dalam pekerjaan, serta timbul
kelelahan fisik. Menurut hasil penelitian Priatna (1990) yang dikutip Tarwaka et al.
(2004), pekerja yang bekerja selama 8 jam/hari berturut-turut selama 6 minggu pada
ruangan dengan Indeks Suhu Basah Bola (ISBB) antara 32,02oC – 33,01
oC mengalami
penurunan berat badan sebesar 4,23%. Menurut Wignjosoebroto (2003) pada suhu
49oC orang dapat bertahan selama 1 jam, tetapi jauh di atas kemampuan fisik dan
mental. Udara panas juga akan menurunkan kecepatan kerja (Tarwaka et al., 2004).
2.4.8. Prinsip Penerapan Ergonomi
Beberapa pokok kesimpulan mengenai disiplin ergonomi adalah sebagai berikut
(Wignjosoebroto, 2003) :
1) Ergonomi berkaitan erat dengan aspek-aspek manusia di dalam peren-
canaan man-made object dan lingkungan kerja. Pendekatan ergonomi
ditekankan pada keterbatasan kemampuan manusia, baik secara fisik
maupun mental. Rancangan lingkungan kerja yang ergonomis akan
meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja.
2) Pendekatan ergonomis ditujukan untuk memperbaiki performance kerja
manusia (menambah kecepatan kerja, kecermatan, keselamatan, dan
mengurangi energi yang berlebihan dan kelelahan yang terlalu cepat).
3) Pendekatan ergonomi adalah aplikasi sistematis segala informasi yang
berkaitan dengan karakteristik dan perilaku manusia pada perancangan
peralatan, fasilitas, dan lingkungan kerja. Dengan demikian analisis
ergonomi akan meliputi hal-hal yang berkaitan dengan :
(1) Anatomi, fisiologi, dan anthropometri tubuh manusia.
(2) Psikologi dan fisiologi mengenai fungsi otak dan sistem syaraf yang
berperan dalam tingkah laku manusia.
72
(3) Kondisi-kondisi kerja yang dapat mencederai baik dalam waktu
pendek maupun panjang ataupun membuat celaka manusia.
Untuk menghindari sikap dan posisi kerja yang tidak nyaman, maka perlu
dipertimbangkan aspek-aspek ergonomi. Menurut Grandjean (1998) beberapa petunjuk
ergonomis untuk meminimalkan beban adalah:
1) Menghindari sikap kerja yang tidak alamiah, misalnya posisi badan
membungkuk, berjongkok, kepala menoleh ke samping atau menengadah
dalam waktu yang lama.
2) Menghindari tangan atau lengan terlalu lama pada posisi ke depan, ke
samping, atau ke atas melebihi tinggi bahu.
3) Membatasi bekerja pada posisi duduk dengan kaki menggantung.
4) Membatasi gerakan statis dengan satu tangan/lengan yang menimbulkan
beban otot.
5) Posisi kerja diatur dalam jarak jangkauan normal (prinsip ekonomi gerakan).
2.5. Method Productivity Delay Model (MPDM)
Method Productivity Delay Model (MPDM) adalah salah satu metode untuk mengukur
waktu kerja. Metode ini merupakan modifikasi dari metode time and motion study
(studi gerak dan waktu) yang banyak dipakai untuk mengukur waktu standar.
2.5.1. Konsep Dasar
Method Productivity Delay Model (MPDM) merupakan modifikasi dari konsep studi
gerak dan waktu konvensional (Halpin and Riggs, 1992). Metoda ini menggabungkan
berbagai elemen yang terdapat dalam teknik-teknik yang lain seperti work samping,
production function analysis, statistical analysis, time study, dan balancing models.
MPDM mengambil data sampel secara menerus dari suatu siklus produksi
pekerjaan konstruksi, dan mencatat jumlah serta jenis penundaan (delay) yang terjadi.
Dari data ini, dilakukan perhitungan untuk mengetahui efisiensi pelaksanaan pekerjaan
dengan menampilkan efek penundaan yang terjadi terhadap produktivitas pekerjaan
yang diukur. Berdasarkan informasi ini, produktivitas dapat diperbaiki dengan
mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menghilangkan penundaan yang terjadi.
Penundaan (delay) yang terjadi dibedakan menjadi 5 macam, yaitu yang berkaitan
dengan lingkungan (environment), peralatan (equipment), tenaga kerja (labor), bahan
73
baku (material), dan manajemen pelaksanaan (management). Pengamatan atas
terjadinya penundaan dilakukan dengan kamera video, dimulai dari saat awal hingga
akhir siklus pekerjaan.
MPDM dilaksanakan melalui lima tahap yaitu :
1. Pengumpulan data di lapangan dengan mengamati pekerjaan yang diteliti
produktivitasnya.
2. Pengolahan/pemrosesan data dengan perhitungan aritmatik.
3. Penyusunan model produktivitas ideal, produktivitas keseluruhan (rata-rata).
4. Penentuan indikator metoda untuk mengetahui variabilitas hasil
pengukuran.
5. Implementasi hasil MPDM.
Tahap pelaksanaan MPDM ditunjukkan pada bagan Gambar 2.29.
Gambar 2.29. Tahapan MPDM
(Halpin and Riggs, 1992)
74
2.5.2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik Production Cycle Delay Sampling (PCDS),
yang merupakan gabungan dari metoda studi waktu baku dengan stop watch dan work
sampling (Halpin and Riggs, 1992). Sebagaimana metoda stop watch, PCDS mendoku-
mentasikan waktu nyata yang dibutuhkan dalam satu siklus produksi, dan sebagaimana
metoda work sampling, pengamatan dilakukan pada berbagai penggal waktu selama
pekerjaan dilaksanakan. Pengamatan mencakup siklus yang mengalami penundaan
maupun yang tidak mengalami penundaan.
Pada tahap pengumpulan data terdapat tiga konsep dasar MPDM, yaitu :
1) Unit produksi.
2) Siklus produksi.
3) Sumber daya utama.
1) Unit produksi : adalah satuan pekerjaan (work descriptive) yang dapat dengan
mudah diukur secara visual. Penentuan unit produksi penting karena akan
menentukan detail yang digunakan untuk mengukur produktivitas. Konsekuensi
penentuan unit produksi yang terlalu kecil atau terlalu besar akan terkait dengan
elemen-elemen lain dalam model pengukuran.
2) Siklus produksi : adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan satu unit
produksi. Siklus produksi harus merupakan entitas yang dapat diukur dan
merepresentasikan produktivitas unit produksi yang diukur. Penentuan unit
produksi dan siklus produksi sangat berkaitan dengan pengalaman individual
pengamat dengan metoda produktivitas yang dimodelkan.
3) Sumberdaya utama : adalah sumber daya paling pokok yang digunakan pada
metoda konstruksi. Sumber daya ini mempengaruhi produktivitas, yaitu jika sumber
daya ini diganti atau diubah jumlahnya, maka akan mengubah produktivitas
pekerjaan yang berkaitan dengannya.
Ada dua cara untuk mengukur besarnya waktu penundaan (delay times) dengan
PCDS. Metoda yang pertama adalah dengan mencatat lama waktu penundaan untuk
masing-masing jenis penundaan dalam suatu siklus produksi yang juga diukur
waktunya. Metoda yang kedua lebih akurat, yaitu mencatat rata-rata waktu siklus yang
tidak mengalami penundaan, dan mengurangkannya terhadap masing-masing waktu
siklus yang diamati. Nilai yang diperoleh menunjukkan besarnya waktu penundaan.
75
Jika dalam satu siklus terjadi lebih dari satu tipe penundaan, maka penentuannya adalah
berdasarkan justifikasi pengumpul data. Contoh pencatatan durasi dan jenis penundaan
dalam satu siklus ditampilkan pada Tabel 2.14.
Tabel 2.14. Data Pengamatan MPDM (Halpin and Riggs, 1992)
PENUNDAAN SIKLUS PRODUKSI
Nama : Unit Waktu :
Pekerjaan : Unit Produksi :
Waktu
Penga-
matan
(1)
Waktu
Siklus
Produksi
(detik)
(2)
Penundn
Lingku-
ngan
(detik)
(3)
Penundn
Peraltan
(detik)
(4)
Penundn
Tenaga
Kerja
(detik)
(5)
Penundn
Material
(detik)
(6)
Penundn
Mana-
jemen
(detik)
(7)
Kurang
Rata-
Rata
Waktu
Tanpa
Penundn
(8)
Kete-
rangan
(9)
Keterangan :
Waktu Pengamatan = rentang waktu saat pengamatan dilakukan
Waktu siklus produksi = durasi yang diperlukan untuk menyelesaikan satu
siklus pekerjaan yang diamat.
Penundaan Lingkungan = tertundanya pekerjaan karena kondisi lingkungan
Penundaan Peralatan = tertundanya pekerjaan karena peralatan
Penundaan Tenaga Kerja = tertundanya pekerjaan karena faktor tenaga kerja
Penundaan Material = tertundanya pekerjaan karena masalah material
Penundaan Manajemen = tertundanya pekerjaan disebabkan manajemen
Kurang Rata-rata Waktu Tanpa Penundaan = selisih antara waktu siklus produksi
dengan nilai rata-rata siklus yang tidak mengalami
penundaan
2.5.3. Pemrosesan Data
Data-data pengamatan dimasukkan ke dalam tabel pengolahan data sebagaimana
ditampilkan pada Tabel 2.15. Besaran-besaran yang dihitung adalah siklus produksi
tanpa penundaan (nondelayed production cycle), siklus produksi keseluruhan (overall
production cycle), kejadian (occurences), total tambahan waktu (total added time),
probabilitas kejadian (probability of occurrence), dampak relatif (relative severity), dan
76
ekspektasi persen penundaan untuk tiap siklus produksi (expected percent delay time
per production cycle).
Tabel 2.15. Pemrosesan MPDM (Halpin and Riggs, 1992)
PEMROSESAN MPDM
Hari/Tgl. : Unit Produksi :
Pekerjaan : Unit Waktu :
Unit
Waktu
Produksi
Total
Jumlah
Siklus
Waktu
Siklus
Rata-Rata
Variasi = ∑|(Wkt
Siklus – Rata-Rata
Wkt Siklus Tanpa
Penundaan)|/N
A) Siklus Produksi
Tanpa Penundaan
B) Siklus Produksi
Keseluruhan
INFORMASI PENUNDAAN
Penundaan
Lingkungan Peralatan Tenaga
Kerja
Material Manajemen
C) Kejadian
D) Total
Tambahan
Waktu
E) Probabilitas
Kejadian *
F) Dampak
Relative **
G) Ekspektasi %
Penundaan
Tiap Siklus
Produksi ***
* Siklus penundaan/jumlah total siklus
** Rata-rata waktu siklus tambahan/rata-rata waktu siklus keseluruhan
= (baris D/baris C)/baris B
*** Baris E x Baris F x 100%
2.5.4. Penyusunan Model
Model produktivitas merupakan persamaan yang menampilkan hubungan produk-
tivitas ideal sebagai fungsi dari berbagai jenis penundaan yang terjadi. Produktivitas
Ideal (ideal productivity) adalah produktivitas yang dapat dicapai jika suatu siklus
pekerjaan tidak mengalami penundaan. Dalam bentuk persamaan, produktivitas ideal
yang dicapai dalam waktu 1 jam dapat ditulis sebagaimana dinyatakan dalam
Persamaan 2.7 (Halpin and Riggs 1992) :
77
1 jam
Produktivitas Ideal = ------------------------------------------------- x unit produksi (2.7)
Rata-rata waktu siklus tanpa penundaan
Adapun Produktivitas Keseluruhan (overall productivity) adalah produktivitas
yang diperoleh karena adanya penundaan-penundaan dalam pelaksanaan pekerjaan
yang dapat dihitung berdasarkan Persamaan 2.8 berikut :
Produktivitas Keseluruhan = Produktivitas Ideal (1–Een–Eeq–Ela– Emt –Emn) (2.8)
dalam hal ini :
Een = penundaan karena lingkungan
Eeq = penundaan karena peralatan
Ela = penundaan karena tenaga kerja
Emt = penundaan karena material
Emn = penundaan karena manajemen
2.5.5. Indikator Metoda
Analisis selanjutnya dari MPDM adalah penentuan indikator metoda, yaitu variabilitas
metoda produktivitas, yang dipresentasikan melalui variabilitas siklus keseluruhan dan
variabel siklus ideal yang memberikan ukuran variabel dari kedua siklus. Variabilitas
siklus dinyatakan dalam Persamaan 2.9 dan Persamaan 2.10 (Halpin and Rigs, 1992) :
Ukuran Variasi Baris A
Variabilitas Siklus Ideal = --------------------------------------------------- (2.9)
Rata-rata Waktu Siklus Tanpa Penundaan
Ukuran Variasi Baris B
Variabilitas Siklus Keseluruhan = ----------------------------------------------- (2.10)
Rata-rata Waktu Siklus Keseluruhan
Menurut Adrian (1989) dalam Halpin and Riggs (1992), sulit untuk menentukan
batas nilai variabilitas yang dapat diterima secara umum, karena adanya perbedaan
yang beragam dalam metoda konstruksi. Namun demikian nilai variabilitas siklus
keseluruhan yang lebih besar dari 1 harus diartikan bahwa prediksi produktivitas yang
diperoleh harus dipandang dengan hati-hati.
2.5.6. Implementasi Hasil MPDM
Untuk mengimplementasikan MPDM pada prediksi dan perbaikan produktivitas, harus
dilihat apa yang menjadi leading resource dalam pekerjaan yang diamati. Perbaikan
78
harus dilakukan pada leading resource untuk mengeliminasi penundaan, sebab jika
eliminasi penundaan dilakukan pada supporting resource, maka perbaikan produk-
tivitas yang diharapkan tidak akan terjadi. Setelah dilakukan perbaikan pada leading
resources, maka pengukuran dengan MPDM kembali dilaksanakan untuk menguji
apakah produktivitas mengalami kenaikan atau tidak.
MPDM adalah metoda untuk mengukur, memprediksi, dan memperbaiki
produktivitas. Metoda ini mudah dilaksanakan dan ekonomis oleh karena :
1. Merupakan model analisis produktivitas yang teliti, yang dinyatakan dalam
bentuk fungsi dengan parameter penundaan berbagai sumber daya
2. Mudah diimplementasikan karena sederhana dan tidak membutuhkan
perhitungan statistik yang rumit.
2.5.7. Efisiensi Waktu
Cara yang paling sederhana untuk menghitung efisiensi waktu kerja adalah dengan
membagi waktu baku dengan waktu nyata (Wignjosoebroto, 1992) sebagaimana
dinyatakan dalam Persamaan (2.11). Waktu baku adalah waktu yang seharusnya
diperlukan oleh seorang pekerja untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan, adapun waktu
nyata adalah waktu yang pada kenyataannya diperlukan seorang pekerja untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan.
Waktu Baku (Standard Time)
Efisiensi Waktu = -------------------------------------- (2.11)
Waktu Nyata (Actual Time)
Dalam hal pengukuran produktivitas dengan MPDM, waktu baku adalah waktu
yang diperlukan untuk menyelesaikan satu siklus pekerjaan tanpa penundaan (non-
delay time). Adapun waktu nyata adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
satu siklus pekerjaan dengan adanya penundaan (delay time). Penundaan-penundaan
yang terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan menyebabkan waktu nyata menjadi lebih
panjang dari waktu yang sesungguhnya dibutuhkan, sehingga efisiensi waktu yang
diperoleh menjadi lebih kecil dari satu (< 1). Efisiensi waktu dengan MPDM dinyata-
kan dalam Persamaan 2.12.
Non Delay Time Waktu Siklus Tanpa Penundaan
Efisiensi = ---------------------- = ---------------------------------------- (2.12)
Delay Time Waktu Siklus Rata-rata
79
Ada 5 faktor penyebab penundaan, yaitu :
1) Faktor lingkungan.
2) Faktor peralatan.
3) Faktor tenaga kerja.
4) Faktor material.
5) Faktor manajemen.
1) Penundaan Karena Faktor Lingkungan
Beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja adalah faktor fisik, faktor kimia,
faktor biologis, dan faktor psikologis (Tarwaka et al., 2004). Pada pekerjaan di bidang
konstruksi, faktor yang paling berpengaruh adalah faktor fisik, yaitu suhu udara,
kebisingan, dan penerangan.
Tarwaka et al. (2004) menyatakan bahwa gangguan kesehatan akibat paparan
suhu lingkungan dengan panas yang berlebihan ada empat macam. Pertama adalah
gangguan perilaku dan performansi kerja, yaitu terjadinya kelelahan sehingga pekerja
sering melakukan istirahat curian. Gangguan ke dua adalah dehidrasi, yaitu kehilangan
cairan tubuh yang berlebihan. Gangguan ke tiga adalah kejang-kejang otot tubuh akibat
keluarnya banyak keringat yang menyebabkan hilangnya garam natrium dari tubuh.
Gangguan ke empat adalah hilangnya kesadaran karena aliran darah ke otak tidak
mencukupi, disebabkan sebagian besar aliran darah dibawa ke permukaan kulit karena
paparan suhu tinggi.
Di negara-negara yang memiliki empat musim, faktor cuaca memberikan
pengaruh besar terhadap efisiensi waktu kerja. Dari penelitian yang dilakukan Thomas
et al. (1999) diperoleh hasil bahwa salju dapat mengakibatkan penurunan efisiensi
hingga 35%, sedangkan udara dingin lebih rendah dari -7o Celcius bisa mengakibatkan
penurunan efisiensi hingga 30%.
Selain suhu, faktor fisik yang bisa mempengaruhi produktivitas pekerja adalah
kebisingan. Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang
bersumber dari alat-alat kerja yang bersifat menganggu pendengaran dan dapat
menurunkan daya dengar (Keputusan Menteri Tenaga Kerja, 1999). Nilai Ambang
Batas (NAB) kebisingan di tempat kerja berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja
No. Kep.51/MEN/1999 yang merupakan pembaharuan dari Surat Edaran Menteri
80
Tenaga Kerja No. 1/MEN/1978, adalah sebesar 85 dB(A) untuk waktu kerja terus-
menerus tidak lebih dari 8 jam/hari atau 40 jam/minggu.
Menurut Sanders and McCormick (1993), pengaruh kebisingan pada intensitas
yang tinggi (di atas NAB) adalah penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara
maupun bersifat permanen (tuli). Pengaruh kebisingan akan sangat terasa jika jenis
kebisingannya terputus-putus dan sumbernya tidak diketahui. Secara fisiologis,
kebisingan dengan intensitas yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan tekanan
darah dan denyut jantung, peningkatan risiko serangan jantung, dan terjadi gangguan
pencernaan. Adapun pengaruh kebisingan pada intensitas rendah (di bawah NAB)
antara lain stress yang menuju ke arah keadaan cepat marah, sakit kepala, gangguan
tidur, gangguan reaksi psikomotorik, kehilangan konsentrasi, dan penurunan
produktivitas.
Selain suhu dan kebisingan, faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi
produktivitas adalah penerangan. Penerangan yang baik adalah penerangan yang
memungkinkan pekerja melihat obyek-obyek yang dikerjakannya secara jelas, cepat,
dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu (Suma‟mur, 1989). Sanders and McCormick
(1987) menyimpulkan dari hasil penelitiannya pada 15 perusahaan, bahwa penerangan
yang sesuai akan meningkatkan produktivitas antara 4% - 35%.
2) Penundaan Karena Faktor Peralatan
Manajemen peralatan merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam pengelolaan
proyek konstruksi. Ketiadaan atau kekurangan peralatan, peralatan yang rusak, dan
peralatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, akan menyebabkan pekerjaan tertunda
atau terhenti sementara. Jika hal ini terjadi pada peralatan-peralatan kecil, pengaruhnya
tidak begitu terasa, tetapi jika terjadi pada peralatan berat yang memiliki kapasitas
besar, pengaruhnya akan cukup signifikan pada penurunan produktivitas. Manajemen
peralatan tidak saja mengatur tersedianya peralatan pada saat dibutuhkan, tetapi juga
meminimalkan peralatan berat menganggur (idle) di lokasi proyek (Soeharto, 1997).
Ketiadaan peralatan akan menurunkan produktivitas yang mengakibatkan kerugian. Di
sisi lain, menganggurnya peralatan di lokasi proyek juga akan menimbulkan inefisiensi
biaya yang berakibat pada kerugian.
Menurut Soeharto (1997), efektivitas dan efisiensi penggunaan peralatan
terletak pada program pengelolaan dan tingkat disiplin dalam melaksanakan program
81
tersebut. Adapun di dalam memilih jenis/tipe dan kapasitas peralatan, faktor-faktor
yang harus dikaji adalah :
1. Spesifikasi peralatan.
2. Produktivitas peralatan.
3. Harga pembelian dan biaya perawatan.
4. Umur dan harga jual kembali peralatan.
3) Penundaan Karena Faktor Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan sumber daya yang mahal, dan merupakan faktor produksi
yang memberikan andil besar pada penyelesaian proyek, karena tenaga kerjalah yang
mengatur dan mengontrol material serta peralatan kerja (Karger, 1977). Perhatian
khusus terhadap kecukupan jumlah dan kapasitas kemampuan pekerja harus diberikan
pada pekerjaan-pekerjaan yang penting, memiliki kontribusi besar terhadap produk-
tivitas proyek, dan berkaitan dengan target waktu penyelesaian proyek, yaitu pekerjaan-
pekerjaan yang terdapat pada jalur kritis (critical path). Pekerjaan-pekerjaan pada jalur
kritis adalah pekerjaan-pekerjaan yang pada penjadwalan (schedulling) tidak memiliki
kelonggaran waktu (float), artinya waktu yang tersedia sama besarnya dengan waktu
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut (Ahuja, 1976; Soeharto,
1997). Jika terjadi penundaan pada pekerjaan-pekerjaan yang memiliki intensitas tinggi
dan tidak memiliki kelonggaran waktu, maka produktivitas akan terganggu secara
signifikan, dan target jadwal penyelesaian proyek akan gagal dicapai.
Ritme kerja pekerja juga dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan karakter
pekerja di suatu daerah, yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Kaming et al. (1997) menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan indeks produktivitas tenaga kerja di tujuh wilayah yang diteliti di Indonesia.
Oleh karena waktu kerja yang diterapkan adalah sama (8 jam per hari), maka perbedaan
indeks produktivitas tersebut juga mencerminkan efisiensi kerja yang berbeda-beda di
tujuh wilayah yang diteliti.
Penelitian Rojas and Aramvareekul (2003) menunjukkan bahwa tenaga kerja
menduduki urutan kedua dari faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas proyek
konstruksi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3. Adapun aspek-aspek yang
mempengaruhi performance seorang tenaga kerja antara lain pengalaman kerja,
pelatihan, pendidikan, dan motivasi. Pengalaman kerja diperoleh dari kualitas dan jenis
82
pekerjaan yang pernah dikerjakan, bukan lama waktu bekerja di bidang konstruksi.
Seseorang yang telah bekerja selama puluhan tahun tetapi hanya mengerjakan jenis
pekerjaan yang sama dan berkualitas rendah, tidak akan memiliki kemampuan kerja
yang baik. Sebaliknya, seseorang yang belum terlalu lama bekerja, tetapi telah
mengerjakan berbagai jenis pekerjaan dengan kualitas tinggi, akan memiliki
performance kerja yang bagus.
Kinerja seorang pekerja juga ditentukan oleh pelatihan yang pernah
diperolehnya untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Jika pekerja tidak memiliki
pengalaman mengerjakan suatu jenis pekerjaan, maka pelatihan di lokasi pekerjaan
adalah cara terbaik untuk meningkatkan kinerja mereka. Di sisi lain, pendidikan yang
dimiliki pekerja akan membuat mereka bisa berpikir secara sistematis, sehingga mudah
menerima pelatihan yang diberikan, bisa menerapkan dan mengembangkan pengala-
man-pengalaman yang sudah mereka peroleh dari pekerjaan-pekerjaan terdahulu.
Motivasi adalah hal penting yang bisa mendorong seseorang bekerja lebih baik, namun
demikian motivasi tidak dapat menggantikan pengalaman kerja, pelatihan, serta
pendidikan yang dimiliki seorang pekerja.
Menurut penelitian Rojas and Aramvareekul (2003) motivasi hanya menempati
urutan ke empat dari faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas pekerja, namun
demikian motivasi tetap merupakan faktor penting dalam seluruh aspek pekerjaan
konstruksi (Suelter, 1998). Menumbuhkan motivasi pekerja adalah tugas yang harus
dilakukan oleh supervisor/mandor sebagai pemimpin pekerja di lapangan. Menurut
Theory X yang dikemukakan oleh McGregor (1960) yang dikutip Suelter (1998), pada
dasarnya orang harus diarahkan, didorong, dan dikendalikan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan. Sedangkan Theory Y dari McGregor (1960) menyatakan yang sebaliknya,
yaitu pada dasarnya orang suka bekerja, mau belajar, dan menerima tanggungjawab.
Kedua teori ini secara fundamental berlawanan, dan teori yang dianut akan
mempengaruhi manajer/supervisor dalam menjalankan fungsinya memotivasi pekerja
yang ada di bawah tanggung jawabnya (Soeharto, 1997).
Teori motivasi yang juga banyak dianut adalah hirarki kebutuhan (the hierarchy
of needs) dari A. Maslow (Soeharto, 1997; Suelter, 1998). Menurut teori ini, kebutuhan
manusia disusun secara hirarki dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang
paling tinggi. Bila suatu tingkat kebutuhan sudah terpenuhi, maka kebutuhan tersebut
83
tidak dapat lagi dipakai sebagai motivator, harus digantikan oleh tingkat kebutuhan
yang lebih tinggi. Urutan kebutuhan manusia dari tingkat terendah hingga tingkat
tertinggi adalah :
1. Kebutuhan fisik (physical needs).
2. Kebutuhan akan keamanan (safety).
3. Kebutuhan afiliasi (belonging).
4. Kebutuhan akan penghargaan (prestige).
5. Kebutuhan akan jati diri (self-fulfillment).
4) Penundaan Karena Faktor Material
Thomas et al. (2002) menyatakan bahwa terhambatnya penyediaan material menjadi
penyebab serius menurunnya kinerja dan produktivitas pekerja. Pada penelitiannya
yang mencakup data dari 125 proyek di enam benua, tercatat bahwa penyebab utama
terhentinya pekerjaan adalah berkaitan dengan masalah manajemen material.
Penurunan produktivitas per hari akibat manajemen material yang buruk bisa mencapai
40% (Thomas and Smith, 1992, dikutip Thomas et al., 2005).
Penundaan pekerjaan karena ketiadaan material dapat disebabkan karena
material yang diperlukan belum tersedia di lokasi proyek, atau material sudah tersedia
di lokasi proyek tetapi harus dicari terlebih dahulu dimana material tersebut disimpan
akibat buruknya pengaturan, sehingga pekerja harus menunggu material dipersiapkan
dan dibawa ke lokasi pekerjaan (Barrie and Paulson, 1992). Hal ini menyangkut
masalah manajemen material, pengaturan lokasi kerja, dan jumlah tenaga pembantu
(laden).
Manajemen material mencakup pengiriman, penyimpanan, identifikasi, dan
metoda konstruksi yang dipakai, juga berkaitan dengan jadwal dan jumlah pengiriman
material dari pemasok, serta sistem penyimpanan dan pengambilan material dari tempat
penyimpanan (Barrie and Paulson, 1992). Manajemen material bertujuan untuk
meminimalisir inefisiensi yang disebabkan oleh terhentinya atau terhambatnya
penyediaan material di lokasi kerja (Thomas et al., 2005).
Cara yang aman untuk menjamin ketersediaan material adalah dengan
menyimpan stok dalam jumlah banyak di lokasi proyek. Pembelian material dalam
jumlah sekaligus banyak memiliki keuntungan, yaitu bisa diperolehnya quantity
discount atau price break, sehingga harga per satuan unit material menjadi lebih murah
84
(Nasution, 2003). Tetapi menyimpan stok material dalam jumlah banyak mengandung
risiko biaya yang harus diperhitungkan, antara lain biaya pengadaan gudang
penyimpanan, biaya perawatan, biaya kerusakan dan penyusutan, dan biaya asuransi.
Oleh karena itu masalah utama dalam penyediaan material adalah menentukan jumlah
pemesanan yang paling ekonomis (Economic Order Quantity) dan jadwal pemesanan
yang akurat sesuai dengan kebutuhan material sehingga dapat meminimalisir ordering
cost dan holding cost (Nasution, 2003).
Sistem Just in Time (JIT), yaitu material didatangkan tepat pada saat diperlukan,
adalah sistem pengadaan material yang sangat baik, karena meniadakan biaya
penyimpanan (pengadaan gudang) dan biaya angkut-bongkar ke tempat penyimpanan
(Barrie and Paulson, 1992). Sistem JIT cocok diterapkan di proyek yang tidak memiliki
lahan cukup luas untuk menyimpan material, pada pengadaan material yang tidak bisa
disimpan lama seperti semen, dan material yang harus langsung dipakai seperti beton
ready-mix. Namun demikian penerapan sistem JIT membutuhkan perencanaan jadwal
yang matang, manajer lapangan yang memiliki disiplin dan kapabilitas tinggi, serta
kerjasama yang baik dengan pemasok (Thomas et al., 2005). Ada tiga hal yang harus
diperhatikan dalam manajemen material, yaitu:
1. Aspek keselamatan (safety) bagi pekerja.
2. Pemenuhan jadwal penyelesaian proyek.
3. Peningkatan produktivitas pekerja.
Ketiga hal ini, yang merupakan sasaran dan ukuran keberhasilan proyek konstruksi,
harus menjadi dasar dalam pengelolaan manajemen material.
Riley and Sanvido (1995) menyatakan bahwa pola area kerja bisa berupa garis
lurus, tersebar tidak beraturan (random), horisontal, vertikal, spiral, dan menghadap ke
arah bangunan. Area yang diperlukan untuk setiap pola berubah sejalan dengan waktu,
dan untuk efektivitas penggunaan sumber daya, area yang diperlukan harus dapat
diperkirakan serta direncanakan secara rasional. Hasil penelitian Thomas and Sanvido
(2000) menunjukkan bahwa manajemen lokasi kerja yang efektif berpengaruh
signifikan pada kinerja jadwal (schedule performance).
5) Penundaan Karena Faktor Manajemen
Dari penelitian yang dilakukan Adrian, J. (http://hilltop.bradley.edu/-jadrian/) di
Hawaii, diperoleh kenyataan bahwa 7% dari kehilangan produktivitas pekerja per hari
85
disebabkan oleh ketidakjelasan instruksi pelaksanaan pekerjaan dari supervisor.
Instruksi yang tidak jelas menyebabkan pekerja tidak memiliki kepastian dalam
menyelesaikan suatu pekerjaan, bahkan ada kemungkinan salah menafsirkan perintah
yang diterima. Supervisor juga seharusnya memberikan pekerjaan tambahan (second-
ary works tasks) kepada pekerja jika pekerjaan utama mereka sudah selesai.
Peran mandor dan supervisor dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan sangat
besar untuk meningkatkan produktivitas. Sebagai orang yang langsung berhubungan
dengan pekerja, mereka harus menjadi pemimpin (leader) yang bisa mengendalikan
pekerjaan secara efektif dan efisien. Seorang pemimpin harus bisa mengambil
keputusan dengan cepat (decisive) atas masalah-masalah yang muncul di lapangan, taat
azas (consistent) pada target, program, prosedur dan proses yang sudah ditetapkan,
sekaligus luwes (flexible) terhadap modifikasi dan adaptasi/penyesuaian yang diper-
lukan sesuai dengan kondisi yang ada. Seorang pemimpin harus memiliki visi, motiv-
asi, kemampuan membangun tim kerja yang solid, kebanggaan, dan kepercayaan pada
kemampuan pekerja yang dipimpinnya (Adrian, http://hilltop.bradley.edu/-jadrian/).
2.5.8. Peningkatan Produktivitas
Peningkatan produktivitas karena adanya perbaikan metoda kerja dihitung berdasarkan
produktivitas pada kondisi awal dengan Persamaan 2.13.
Produktivitas Perbaikan – Produktivitas Awal
Peningkatan Produktivitas = ----------------------------------------------------------- (2.13)
Produktivitas Awal
Produktivitas perbaikan adalah produktivitas yang diperoleh dengan perbaikan metoda
kerja, di mana perbaikan dilakukan pada dua aspek yaitu aspek tenaga kerja dengan
penerapan prinsip ergonomi dan ekonomi gerakan, dan aspek sistem manajemen
dengan peningkatan efisiensi waktu kerja.
2.6. Analisa Harga Satuan Pekerjaan Berdasarkan SNI
Untuk menghitung kebutuhan bahan dan tenaga kerja pada pembangunan proyek
konstruksi dipakai Analisa Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) 2012 yang diterbitkan oleh
Kementerian Pekerjaan Umum. Pedoman ini merupakan pengembangan dari Panduan
Analisis Harga Satuan (AHS) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga
Departemen Pekerjaan Umum No. 008-1/BM./2010 edisi Desember 2010 dan Analisa
Biaya Konstruksi (ABK) oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) Tahun 2008.
86
Pekerjaan lapangan yang didasarkan atas konsep ABK pada umumnya dilaksanakan
secara manual (menggunakan tenaga manusia), kecuali beberapa pekerjaan yang
memerlukan alat dihitung secara terpisah sesuai dengan spesifikasi teknik dan kontrak
yang disetujui.
Analisis harga satuan ini menguraikan suatu perhitungan harga satuan upah,
tenaga kerja, dan bahan, serta pekerjaan yang secara teknis dirinci secara detail
berdasarkan suatu metode kerja dan asumsi-asumsi yang sesuai dengan yang diuraikan
dalam suatu spesifikasi teknik, gambar desain dan komponen harga satuan. Produksi
suatu jenis pekerjaan yang menggunakan tenaga manusia pada umumnya dilaksanakan
oleh perorangan atau kelompok kerja dilengkapi dengan peralatan yang diperlukan
berdasarkan metode kerja yang ditetapkan yang disebut alat bantu (contoh: sekop, palu,
gergaji) serta bahan yang diolah.
Biaya tenaga kerja dapat dibayar dalam sistem orang hari (oh) atau jam orang
(oj). Besarnya sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dan lokasi pekerjaan. Secara
lebih rinci faktor tersebut dipengaruhi antara lain oleh :
1. Keahlian tenaga kerja.
2. Jumlah tenaga kerja.
3. Faktor kesulitan pekerjaan.
4. Ketersediaan peralatan.
5. Pengaruh lamanya kerja.
6. Pengaruh tingkat persaingan tenaga kerja.
Untuk pekerjaan bangunan gedung yang dilaksanakan secara manual, indeks
atau koefisien bahan dan tenaga kerja sudah tersedia dalam tabel yang dipergunakan
untuk satu satuan volume pekerjaan atau satu satuan pengukuran tertentu. Indeks atau
koefisien ini merupakan dasar untuk menghitung produktivitas tenaga kerja. Untuk
pekerjaan yang dikerjakan oleh sekelompok pekerja yang terdiri atas mandor, tukang,
dan pembantu tukang, produktivitas pekerjaan dihitung berdasarkan produktivitas
tukang.
2.7. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara sebuah penelitian dilakukan. Terdapat banyak jenis
metode penelitian dengan cara penentuan sampel, variabel, dan instrument yang
berbeda.
87
2.7.1. Jenis Metode Penelitian
Metode penelitian berkaitan erat dengan prosedur, teknik, serta desain penelitian yang
digunakan (Nazir, 2003). Prosedur merupakan urut-urutan pekerjaan yang harus
dilakukan dalam suatu penelitian. Teknik penelitian berkaitan dengan alat-alat yang
diperlukan dalam melakukan pengukuran. Adapun desain atau metode penelitian
adalah urut-urutan suatu penelitian dilakukan, yaitu dengan alat apa dan prosedur
bagaimana suatu penelitian dilakukan. Metode penelitian dapat dikategorikan dalam
lima kelompok umum (Nazir, 2003), yaitu :
1. Metode sejarah.
2. Metode deskripsi/survei.
3. Metode eksperimental.
4. Metode grounded research.
5. Metode penelitian tindakan.
Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat
(Whitney, 1960, dalam Nazir, 2003). Ditinjau dari jenis masalah yang diselidiki, teknik
yang diterapkan, alat yang digunakan, serta tempat dan waktu penelitian dilakukan,
metode deskriptif dapat dibagi atas beberapa jenis, yaitu :
1. Metode survei.
2. Metode deskriptif berkesinambungan.
3. Metode studi kasus.
4. Metode analisis kerja dan aktivitas.
5. Metode studi komparatif.
6. Metode studi waktu dan gerakan.
Metode analisis kerja dan aktivitas dipakai pada penelitian yang bertujuan untuk
menyelidiki aktivitas dan pekerjaan manusia. Hasil penelitian tersebut dapat menjadi
rekomendasi untuk dipergunakan di masa-masa yang akan datang. Metode studi waktu
dan gerakan adalah penelitian dengan metoda deskriptif untuk menyelidiki efisiensi
produksi dengan melakukan studi yang mendetail tentang penggunaan waktu serta
perilaku pekerja dalam proses produksi. Gerakan pekerja dalam melakukan pekerjaan
diamati serta dianalisis.
Metode eksperimental adalah observasi di bawah kondisi buatan, di mana
kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh peneliti. Penelitian eksperimental adalah
88
penelitian dengan melakukan manipulasi terhadap obyek penelitian disertai kontrol.
Tujuan penelitian eksperimental adalah untuk menyelidiki ada tidaknya hubungan
sebab akibat serta berapa besar hubungan sebab akibat tersebut, dengan cara
memberikan perlakuan-perlakuan tertentu pada beberapa kelompok eksperimen dan
menyediakan kontrol untuk perbandingan.
2.7.2. Sampel Penelitian
Menurut Sugiarto et al. (2003) sampel adalah sebagian anggota populasi yang dipilih
dengan menggunakan prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya. Adapun
menurut Sugiyono (2004), sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh sebuah populasi. Untuk mendapatkan data yang representatif, sampel
harus ditarik secara berimbang, di mana setiap elemen populasinya atau sub-
populasinya diberi kesempatan/peluang yang sama untuk dijadikan anggota sampel
(Djarwanto, 2001). Sampling dapat juga ditarik dengan cara purposive sampling, yaitu
pemilihan sampel dengan batasan-batasan tertentu. Untuk penelitian eksperimen yang
menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, jumlah masing-masing
sampel kelompok adalah antara 10 – 20 (Sugiyono, 2004).
2.7.3. Variabel
Variabel dalam penelitian merupakan suatu atribut dari sekelompok obyek yang diteliti
yang memiliki variasi antara satu obyek dengan obyek yang lain dalam kelompok
tersebut (Sugiarto et al., 2003; Sugiyono, 2004). Dalam kaitan hubungan suatu variabel
dengan variabel lainnya, dikenal adanya bermacam-macam bentuk variabel, yaitu :
1. Variabel independen, yaitu variabel yang menjadi sebab terjadinya variabel
dependen.
2. Variabel dependen, yaitu variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel
independen.
3. Variabel moderator, yaitu variabel yang memperkuat atau memperlemah
hubungan antara variabel dependen dan independen.
4. Variabel intervening, hampir sama dengan variabel moderator, tetapi
nilainya tidak dapat diukur.
5. Variabel kontrol, yaitu variabel yang dapat dikendalikan oleh peneliti.
89
2.7.4. Data Penelitian
Metoda pengumpulan data adalah cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh data
yang dibutuhkan (Sugiarto et al., 2003). Terdapat dua jenis data, yaitu data primer (data
yang didapat dari sumber pertama) dan data sekunder (dokumen atau data yang
diperoleh dari pihak lain). Metoda pengumpulan data primer adalah survai (wawancara,
angket, pooling) dan percobaan. Adapun data sekunder bisa diperoleh dari instansi/
lembaga, atau pihak manapun yang memiliki data tersebut.
2.7.5. Pengujian Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban atas problem secara teoritis, merupakan jawaban sementara
yang masih perlu diuji kebenarannya melalui fakta-fakta (Irianto, 2004). Pengujian
hipotesis berdasarkan fakta memerlukan alat bantu, dan alat bantu yang sering dipakai
adalah analisis statistik.
Terdapat dua macam hipotesis, yaitu Hipotesis Nol (H0) dan Hipotesis
Alternatif (H1). H0 (Hipotesis Nol) adalah pernyataan/prediksi bahwa variabel bebas
tidak mempunyai efek/pengaruh terhadap variabel terikat dalam populasi. H0 juga
memprediksi tidak ada perbedaan antara suatu kondisi dengan kondisi lainnya. Adapun
H1 (Hipotesis Alternatif) memprediksi bahwa variabel bebas mempunyai efek terhadap
variabel terikat dalam populasi. H1 juga memprediksi adanya perbedaan antara suatu
kondisi dengan kondisi lainnya. Pengujian hipotesis dibuat untuk menguji H0,
walaupun hipotesis yang dikembangkan melalui kajian teoritis adalah H1. Jika H0
terbukti benar (diterima) maka H1 ditolak, dan sebaliknya jika H0 terbukti salah
(ditolak) maka H1 diterima.
Jika jumlah sampel kecil dan simpangan baku populasi tidak diketahui, maka
bentuk uji statistik yang dipakai adalah Uji t (t-test) atau Student’s Test (Irianto, 2004).
Uji t dipakai jika data penelitian berupa data rasio, dan bentuk uji hipotesis adalah uji
komparatif dua sampel yang berhubungan (Sugiyono, 2004).
2.8. Kerangka Berpikir
Permasalahan yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah upaya meningkatkan
produktivitas tenaga kerja. Tenaga kerja (manusia) merupakan sumber daya utama pada
pekerjaan konstruksi dan menjadi penentu produktivitas pekerjaan konstruksi.
Produktivitas pekerjaan konstruksi adalah faktor penting yang berpengaruh pada daya
saing industri konstruksi, karena produktivitas berkaitan langsung dengan biaya dan
90
waktu pelaksanaan. Jika produktivitas yang tinggi dapat dicapai, maka biaya konstruksi
dapat ditekan dan waktu pelaksanaan menjadi lebih cepat. Manfaat yang diperoleh
bukan saja bagi kontraktor tetapi juga bagi pemilik proyek dan konsumen produk
konstruksi (properti).
Kebutuhan tenaga kerja konstruksi di Indonesia sangat besar untuk mengerjakan
proyek-proyek infrastruktur, fasilitas publik, properti, pemukiman dan perumahan.
Pada pembangunan perumahan rakyat, tenaga kerja konstruksi memegang peran utama
karena sebagian besar pekerjaan dilaksanakan secara manual, sehingga produktivitas
yang dicapai lebih banyak dipengaruhi oleh produktivitas tenaga kerja, bukan oleh
produktivitas mesin/peralatan.
Pada penelitian ini dipilih pekerjaan pasangan bata, plester, pasangan keramik,
dan pengecatan. Pemilihan ini berdasarkan pertimbangan bahwa bangunan dengan
dinding bata adalah jenis bangunan yang banyak dibuat baik untuk bangunan publik
maupun rumah tinggal (khususnya di Jawa), sementara pekerjaan keramik dan
pengecatan adalah pekerjaan yang hingga saat ini belum dapat digantikan dengan
mesin. Meskipun penelitian ini hanya mencakup empat jenis pekerjaan, kesimpulan
yang diperoleh dapat mencerminkan tujuan yang lebih luas yaitu perlu dilakukan
peningkatan produktivitas tenaga kerja konstruksi dengan perbaikan metoda kerja.
Secara lebih spesifik tujuan penelitian ini adalah mengetahui seberapa besar
perbaikan metoda kerja dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Perbaikan
produktivitas tenaga kerja dilakukan pada dua aspek, yaitu aspek manajemen kerja dan
aspek metoda kerja. Aspek manajemen kerja dipresentasikan melalui analisis efisiensi
waktu kerja dengan instrumen Method Productivity Delay Model (MPDM) sebagai-
mana diintrodusir oleh Halpin and Riggs (1992). Dengan MPDM dapat diketahui
efisiensi waktu kerja dengan cara menghitung delay-delay yang disebabkan faktor
tenaga kerja, material, peralatan, kondisi lingkungan, dan manajemen lapangan.
Selanjutnya delay-delay tersebut dihilangkan/dikurangi untuk meningkatkan efisiensi
waktu kerja. Pada analisis ini tercakup hal-hal yang berkaitan dengan masalah
manajemen kerja, yaitu :
1. Komposisi/pengaturan tenaga kerja, perbandingan jumlah tukang dan tenaga
pembantu.
2. Ketersediaan serta pengaturan material dan peralatan.
91
3. Pengaturan lingkungan kerja (site layout)
4. Intervensi manajemen proyek pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan.
Dengan MPDM juga dapat dihitung besarnya produktivitas tenaga kerja.
MPDM membedakan produktivitas menjadi dua kriteria, yaitu overall productivity
(produktivitas rata-rata) dan ideal productivity (produktivitas ideal). Produktivitas rata-
rata adalah produktivitas riil yang diperoleh, yaitu produktivitas dengan adanya delay-
delay. Sedangkan produktivitas ideal adalah produktivitas yang dapat diperoleh jika
tidak terjadi delay. Produktivitas yang dipakai sebagai standar, yang dibandingkan
dengan SNI adalah produktivitas rata-rata, karena sangat sulit melaksanakan pekerjaan
di lapangan tanpa terjadi delay.
Perbaikan pada aspek manajemen kerja juga dilakukan dengan pemberian
waktu istirahat di luar istirahat tengah hari, yaitu istirahat singkat di antara pagi dan
siang hari, serta di antara siang dan sore hari. Berdasarkan penelitian, sesudah bekerja
1,5 jam hingga 2 jam secara terus-menerus, orang memerlukan istirahat sejenak untuk
memulihkan staminanya (Wignjosoebroto, 2003). Pengaturan waktu istirahat bukan
bagian dari MPDM, namun mendukung performance tenaga kerja karena akan
mengurangi terjadinya delay yang disebabkan tenaga kerja mengambil istirahat sendiri-
sendiri secara tidak terkontrol. Dengan berkurangnya delay maka efisiensi akan
meningkat. Produktivitas juga meningkat, karena tenaga kerja diberi kesempatan untuk
memulihkan staminanya.
Sedangkan perbaikan pada aspek metoda kerja dipresentasikan dengan pene-
rapan ergonomi, efisiensi/ekonomi gerakan, dan pengukuran beban kerja (Suma‟mur,
1989; Tayyari, 1997; Wignjosoebroto, 2003; dan Tarwaka et al, 2004). Dengan
penerapan ergonomi maka pekerja akan bekerja lebih efisien, lebih nyaman, lebih
aman, dan terhindar dari penyakit yang timbul akibat pekerja bekerja tidak sesuai
dengan kondisi dan kemampuan tubuh. Analisis ergonomi dilakukan pada tiga aspek
yaitu posisi tubuh ketika bekerja, peralatan bantu yang dipakai untuk bekerja, serta
kondisi lingkungan kerja.
Selanjutnya dengan memberikan adjusment berdasarkan penelitian-penelitian
yang sudah dilakukan sebelumnya tentang tingkat produktivitas tenaga kerja di
berbagai wilayah di Indonesia, hasil penelitian dapat dipakai sebagai referensi bagi
penerapan standar produktivitas kerja di daerah lain dan pada etnis selain Jawa (yang
92
diambil sebagai obyek penelitian). Oleh karena manusia memiliki variabilitas yang
sangat besar, maka dilakukan pembatasan-pembatasan agar dapat diperoleh hasil
penelitian yang cukup valid. Pembatasan tersebut adalah jenis kelamin, rentang usia,
lokasi penelitian (dalam hal ini berarti etnis pekerja), kondisi fisik, serta pengalaman
kerja.
Untuk memberikan pemahaman yang jelas, kerangka berpikir penelitian ini
ditampilkan pada Gambar 2.30.
Gambar 2.30. Kerangka Berpikir