bab 2 kajian pustaka dan kerangka berpikireprints.undip.ac.id/61357/5/bab_2.pdf · 17 tabel 2.1...

77
16 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR 2.1. Industri Jasa Konstruksi Industri jasa konstruksi merupakan salah satu industri yang memberikan kontribusi cukup besar pada PDB, dan pertumbuhannya selalu di atas pertumbuhan ekonomi Indonesia. Industri jasa konstruksi menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak, dan menjadi alternatif pekerjaan bagi petani ketika kegiatan bercocok tanam tengah berada pada masa tunggu. Pekerjaan bidang konstruksi mencakup pembangunan infrastruktur serta pemukiman dan perumahan bagi warga. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 2019 telah ditetapkan target-target pembangunan yang akan dilaksanakan Pemerintah di bidang infrastruktur untuk mendukung Sistem Logistik Nasional (Sislognas). Pembangunan infrastruktur difokuskan pada 35 Wilayah Pengembangan Strategis (WPS) yang tersebar di seluruh Indonesia, yang ditujukan untuk meningkatkan daya saing dan mengurangi disparitas antar wilayah. Pembangunan WPS diintegrasikan dengan pengembangan tol laut untuk mewujudkan konektivitas antar wilayah. Hingga 2015 terdapat 165 pelabuhan yang sudah didukung oleh jalan akses atau sudah terhubung dengan jalan nasional. Pembangunan infra struktur juga dilaksanakan untuk mendukung 25 Kawasan Strategis dan Pariwisata Nasional untuk menarik devisa dari wisatawan luar negeri. Di bidang transportasi darat, akan dibangun 1.000 km jalan bebas hambatan, 2.650 km jalan nasional, dan 47.017 km pemeliharaan jalan nasional. Adapun di sektor sumber daya air akan dibangun 65 waduk yang menghasilkan 67,53 m 3 /detik air baku untuk memenuhi kebutuhan 1 juta irigasi baru dan 3 juta irigasi rehabilitasi (Khalawi, 2016). Hingga tahun 2015 kebutuhan rumah (backlog) di Indonesia adalah sebesar 7,6 juta unit. Rumah tinggal adalah salah satu kebutuhan primer manusia, oleh karena itu Pemerintah telah menyusun perencanaan dan pelaksanaan pengadaan pemukiman dan perumahan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.1. Dengan melihat besarnya jumlah pekerjaan konstruksi tersebut, dapat diprediksi banyaknya tenaga kerja konstruksi yang dibutuhkan.

Upload: lymien

Post on 08-Jun-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

16

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

2.1. Industri Jasa Konstruksi

Industri jasa konstruksi merupakan salah satu industri yang memberikan kontribusi

cukup besar pada PDB, dan pertumbuhannya selalu di atas pertumbuhan ekonomi

Indonesia. Industri jasa konstruksi menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak, dan

menjadi alternatif pekerjaan bagi petani ketika kegiatan bercocok tanam tengah berada

pada masa tunggu. Pekerjaan bidang konstruksi mencakup pembangunan infrastruktur

serta pemukiman dan perumahan bagi warga.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 –

2019 telah ditetapkan target-target pembangunan yang akan dilaksanakan Pemerintah

di bidang infrastruktur untuk mendukung Sistem Logistik Nasional (Sislognas).

Pembangunan infrastruktur difokuskan pada 35 Wilayah Pengembangan Strategis

(WPS) yang tersebar di seluruh Indonesia, yang ditujukan untuk meningkatkan daya

saing dan mengurangi disparitas antar wilayah. Pembangunan WPS diintegrasikan

dengan pengembangan tol laut untuk mewujudkan konektivitas antar wilayah. Hingga

2015 terdapat 165 pelabuhan yang sudah didukung oleh jalan akses atau sudah

terhubung dengan jalan nasional. Pembangunan infra struktur juga dilaksanakan untuk

mendukung 25 Kawasan Strategis dan Pariwisata Nasional untuk menarik devisa dari

wisatawan luar negeri. Di bidang transportasi darat, akan dibangun 1.000 km jalan

bebas hambatan, 2.650 km jalan nasional, dan 47.017 km pemeliharaan jalan nasional.

Adapun di sektor sumber daya air akan dibangun 65 waduk yang menghasilkan 67,53

m3

/detik air baku untuk memenuhi kebutuhan 1 juta irigasi baru dan 3 juta irigasi

rehabilitasi (Khalawi, 2016).

Hingga tahun 2015 kebutuhan rumah (backlog) di Indonesia adalah sebesar 7,6

juta unit. Rumah tinggal adalah salah satu kebutuhan primer manusia, oleh karena itu

Pemerintah telah menyusun perencanaan dan pelaksanaan pengadaan pemukiman dan

perumahan sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2.1. Dengan melihat besarnya jumlah

pekerjaan konstruksi tersebut, dapat diprediksi banyaknya tenaga kerja konstruksi yang

dibutuhkan.

Page 2: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

17

Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016)

No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun Pelaksanaan

2015 2016 2017

1 Pembangunan rumah susun untuk MBR 15.660 10.458 11.400

2 Pembangunan rumah khusus dalam rangka

penanganan paska bencana/konflik,

maritim, daerah tertinggal dan perbatasan

negara

6.713

5.906

1.900

3 Pembangunan rumah swadaya untuk

penurunan backlog dan rumah tidak layak

huni

83.575

94.210

109.500

4 Penyaluran bantuan pembiayaan untuk

pembangunan rumah umum melalui KPR

FLPP

73.416

87.390

375.000

5 Penyaluran bantuan uang muka untuk MBR 400 106.000 124.250

6 Pembangunan SPAM 9.286 ltr/dtk 8.363 ltr/dtk 4.180 ltr/dtk

7 Pembangunan infrastruktur di permukiman

kumuh 2.680 ha 2.161 ha 1.431 ha

8 Pembangunan kawasan perbatasan 7 PLBN 9 PLBN 9 PLBN

9 Pembangunan pengolahan air limbah 549.000 KK 674.290 KK 130.500 KK

10 Pembangunan system penanganan sampah 4.160.440 KK 1.874.996 KK 2.905.400 KK

Selain proyek-proyek infrastruktur dan perumahan, sejumlah proyek besar juga

akan dibangun untuk menyambut Asian Games 2018, yaitu rehabilitasi Komplek

Gelora Bung Karno Senayan dan Wisma Atlet Kemayoran di Jakarta dan Jakabaring

Sport City di Palembang. Semua bangunan venues dan penataan kawasannya harus

memenuhi standar internasional. Akan dilakukan kerjasama dengan asosiasi profesi,

dan untuk pembangunannya dilaksanakan dengan metodologi dan konstruksi tertentu

untuk mencapai efisiensi dan kualitas yang disyaratkan.

2.1.1. Kontribusi Bidang Konstruksi Pada GNP dan PDB

Industri jasa konstruksi menjadi tolok ukur pencapaian kemakmuran baik di negara

berkembang maupun di negara maju. Industri jasa konstruksi menggunakan sejumlah

besar sumber daya nasional, sehingga memberikan sumbangan yang cukup signifikan

bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Aktivitas di bidang konstruksi yang

mencakup pelayanan desain, jasa kontraktor, dan perusahaan material memiliki nilai

sekitar 7% - 10% dari GNP (Gross National Product) di sebagian besar negara industri

(Olomolaiye et al., 1998; Lowe, 2003), sedangkan di negara-negara berkembang output

bidang konstruksi memiliki angka antara 3% hingga 6% dari GNP (Harvey and

Ashworth, 1997 ; Lowe, 2003).

Page 3: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

18

Di Indonesia, pada kurun 2005 – 2013 tingkat pertumbuhan sektor konstruksi

selalu di atas tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, kecuali pada tahun 2011 dimana

pertumbuhan sektor konstruksi sedikit di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik kontribusi bidang konstruksi terhadap PDB

(Produk Domestik Bruto) pada kurun 2005 – 2013 mengalami fluktuasi, namun secara

umum menunjukkan peningkatan. Data pertumbuhan sektor konstruksi, pertumbuhan

ekonomi nasional Indonesia, dan kontribusi bidang konstruksi pada PDB ditampilkan

pada Tabel 2.2. Dari Tabel 2.2 dapat terlihat bahwa kondisi di Indonesia lebih baik

dibandingkan data yang ditampilkan Harvey and Ashwort (1997) dan Lowe (2003).

Tabel 2.2 Pertumbuhan Sektor Konstruksi dan Kontribusi Bidang Konstruksi pada PDB

(Badan Pembinaan Konstruksi, 2014) No Tinjauan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)

1

Pertumbuhan Sektor Konstruksi

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

7,54 8,34 8,53 7,55 7,07 6,95 6,07 7,39 6,57

5,69 5,50 6,35 6,01 4,63 6,22 6,49 6,26 5,78

2 Kontribusi Bidang Konstruksi

pada PDB

7,50 8,30 7,72 8,48 9,90 10,30 10,25 10,45 9,99

2.1.2. Tenaga Kerja Bidang Konstruksi

Tenaga kerja merupakan sumber daya yang mahal, dan merupakan faktor produksi

yang memberikan andil besar pada penyelesaian proyek, karena tenaga kerjalah yang

mengatur dan mengontrol material serta peralatan kerja (Karger and Bayha, 1977).

Merujuk pada Construction Users Roundtable (Tucker, 2003), sekitar 25% dari biaya

konstruksi adalah untuk membayar tenaga kerja. Sedangkan menurut Adrian (1987)

dalam Mc Carthy (2004) tenaga kerja menghabiskan sekitar 40 % dari biaya proyek. Di

Indonesia, upah tenaga kerja mencapai 36% untuk proyek bangunan gedung dan 23%

untuk proyek bangunan sipil (Wibowo, 2004). Merujuk pada Wibowo (2004), maka

peningkatan produktivitas tenaga kerja sebesar 10% akan memberikan tambahan profit

bagi perusahaan sebesar 3,6% - 2,3%, sebuah angka yang cukup signifikan jika

dibandingkan dengan profit perusahaan yang besarnya sekitar 10%, sebagaimana biasa

diperhitungkan dalam RAB.

Data tahun 2005 – 2013 dari Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian

Pekerjaan Umum menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja konstruksi di Indonesia

berkisar antara 4,89% – 6,13% dari seluruh tenaga kerja yang ada. Jumlah tersebut

mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, namun persentasenya terhadap total

Page 4: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

19

jumlah tenaga kerja di Indonesia mengalami fluktuasi sebagaimana ditampilkan pada

Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Jumlah Tenaga Kerja Konstruksi dan Persentasenya terhadap

Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (Badan Pembinaan Konstruksi, 2014) No Tinjauan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

1 Jumlah Tenaga Kerja Konstruksi (juta) 4,56 4,69 5,25 5,44 5,49 5,59 6,34 6,79 6,89

2 Persentase terhadap Total Jumlah

Tenaga Kerja Indonesia (%)

4,89 4,99 5,53 5,45 5,25 5,17 5,78 6,13 6,04

Jumlah tenaga kerja konstruksi di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 6,89

juta orang. Dari jumlah tersebut 10% adalah tenaga ahli, 30% tenaga terampil, dan 60%

tenaga kerja nonterampil. Dari sekitar 689.000 tenaga ahli hanya 48.761 (7,17%) orang

yang memiliki sertifikat dan dari sekitar 2 juta tenaga terampil hanya 109.723 (5,38%)

orang yang bersertifikat (Badan Pembina Konstruksi, 2014).

Jumlah sertifikat tenaga ahli (SKA) adalah sekitar 157.822 dan jumlah sertifikat

tenaga terampil (SKT) adalah sekitar 439.075. Jumlah sertifikat yang dikeluarkan LPJK

tidak identik dengan jumlah orang pemegang sertifikat karena satu orang tenaga kerja

konstruksi dapat memiliki dua bahkan lebih sertifikat. Dilihat dari segi pendidikan,

52% dari jumlah tenaga kerja konstruksi di Indonesia hanya berpendidikan SD , 25%

berpendidikan SMTP, 12% berpendidikan SMTA Umum, 8% berpendidikan SMTA

Kejuruan, 1% berpendidikan Diploma I/II/III/Akademi, dan 3% berpendidikan S1

(Kesai dan Arifin, 2012). Tingkat pendidikan tenaga kerja konstruksi berdasarkan data

BPS untuk kurun 2008 – 2011 ditampilkan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4. Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Konstruksi 2008 – 2011

(Badan Pusat Statistik, 2012)

Tingkat Pendidikan 2008 % 2009 % 2010 % 2011 %

≤ SD 2.915.592 54 2.873.007 52 2.881.885 52 3.293.287 52

SMTP 1.275.429 23 1.331.225 24 1.354.668 24 1.557.475 25

SMTA Umum 636.725 12 616.861 11 650.712 12 750.495 12

SMTA Kejuruan 407.149 7 456.100 8 489.690 9 514.339 8

Diploma I/II/III/Akademi 56.576 1 49.163 1 53.346 1 60.558 1

Universitas 147.494 3 160.461 3 162.596 3 163.627 3

Jumlah 5.438.965 5.486.817 5.592.897 6.339.781

Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2000, kelompok tenaga ahli wajib memiliki

Page 5: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

20

sertifikat SKA dan kelompok tenaga terampil wajib memiliki sertifikat SKT. Sertifikasi

ini berlandaskan pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dan

diberikan kepada tenaga kerja konstruksi melalui uji sertifikasi yang dilaksanakan oleh

Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN).

Peningkatan kemampuan tenaga kerja konstruksi agar dapat mengerjakan

proyek-proyek konstruksi domestik maupun dalam rangka bersaing di pasar global

memerlukan pembinaan melalui pelatihan dan pengujian yang berdasarkan pada

kompetensi. Langkah yang paling tepat adalah menetapkan standar kompetensi kerja

sesuai masing-masing bidang. Penerapan standar kompetensi yang tepat dan terukur

akan memantapkan potensi dan profesionalitas tenaga kerja konstruksi dan mendorong

peningkatan daya saing di pasar kerja (Ahmad dan Nagara, 2007).

Menurut Kesai dan Arifin (2012), untuk mengukur kompetensi tenaga kerja

konstruksi Indonesia baik dalam pelatihan maupun uji kompetensi diperlukan

perangkat kompetensi yang terdiri atas Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia

(SKKNI), Kurikulum Pelatihan Berbasis Kompetensi (KPBK) dan Materi Uji

Kompetensi (MUK), instruktur dan asesor yang kompeten, serta lembaga pelatihan

yang representatif. Pusat Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan Konstruksi (Pus-bin

KPK) Kementerian Pekerjaan Umum telah menghasilkan lebih dari 275 Standar

Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang konstruksi yang

penekanannya pada peningkatan kualitas dan profesionalitas tenaga kerja agar dapat

diserap oleh pasar kerja konstruksi (Kesai dan Arifin, 2012). Kurikulum berbasis kom-

petensi kerja adalah kurikulum yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan

kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar yang

ditetapkan di tempat kerja.

Di samping kompetensi sebagai titik tolak pengukuran kinerja, diperlukan

ukuran kinerja lain yang juga berkaitan dengan keberhasilan kerja, yaitu ukuran standar

produktivitas kerja. Bagaimana seharusnya suatu standar produktivitas ditetapkan

merupakan persoalan tersendiri yang harus dipecahkan bersama (Achmad dan Nagara,

2007).

2.1.3. Produktivitas dan Efisiensi Tenaga Kerja Konstruksi

Manajemen proyek mencakup berbagai aspek antara lain metoda pelaksanaan

konstruksi dan pengaturan tenaga kerja. Metoda pelaksanaan konstruksi yang

Page 6: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

21

diterapkan pada suatu proyek bisa berbasis pada tenaga kerja, pada peralatan, dan/atau

gabungan dari keduanya. Metoda yang dipilih bergantung pada ketersediaan sumber

daya yang ada, kebiasaan dan perilaku masyarakat, serta kondisi ekonomi setempat

(Wibowo and Mawdesley, 2002).

Di negara-negara maju pembangunan proyek konstruksi dilaksanakan dengan

peralatan modern dan hanya melibatkan sedikit tenaga kerja yang bertindak sebagai

operator peralatan, sehingga produktivitas yang dicapai banyak ditentukan oleh

produktivitas peralatan (Thomas et al., 2002). Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di

mana peralatan modern lebih banyak digunakan pada pembangunan gedung tinggi dan

property mewah di kota-kota besar, sedangkan pembangunan rumah tinggal dan

gedung-gedung sederhana pada umumnya masih mengandalkan ketrampilan tenaga

kerja manusia.

Kebutuhan rumah (backlog) di Indonesia pada tahun 2014 diperkirakan

mencapai 7,2 juta unit. Jika kebutuhan rumah tersebut akan dipenuhi sampai tahun

2020, maka kebutuhan rumah per tahun adalah 1,2 juta unit. Selanjutnya jika

diasumsikan bahwa kebutuhan rumah di perkotaan adalah sebesar 40%, maka

kebutuhan rumah di perkotaan setiap tahunnya adalah 480.000 unit. Sesuai dengan

persebaran penduduk, kekurangan rumah sebanyak ini terkonsentrasi di Pulau Jawa,

yaitu sekitar 60% (http://www. portaltataruang.wordpress.com). Kebutuhan rumah

yang sedemikian besar ini sudah pasti diiringi dengan kebutuhan tenaga kerja yang juga

besar.

Ketersediaan tenaga kerja konstruksi di Indonesia cukup besar, namun tenaga

kerja yang terampil jumlahnya terbatas. Selain itu, berdasarkan penelitian-penelitian

yang sudah dilakukan, efisiensi kerja tenaga kerja masih rendah. Menurut Thomas and

Horman (2006) penyebab utama inefisiensi pada pekerja konstruksi adalah :

1. Pengaturan sumber daya (tenaga kerja, material, peralatan, dan informasi)

yang tidak efektif.

2. Kondisi dan pengaturan kerja yang tidak nyaman (terhambatnya pekerjaan

dan urutan pekerjaan yang tidak runtut).

3. Gangguan cuaca.

Inefisiensi tenaga kerja karena sebab-sebab di atas dapat dihitung secara

kuantitatif dengan teknik Method Productivity Delay Model (MPDM) yang

Page 7: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

22

diperkenalkan oleh Halpin dan Riggs (1992). MPDM adalah suatu metoda untuk

menghitung produktivitas tenaga kerja dengan mencatat penundaan-penundaan yang

terjadi karena :

1. Tenaga kerja menghentikan pekerjaannya

2. Ketiadaan atau keterlambatan material

3. Ketiadaan atau kerusakan peralatan

4. Gangguan lingkungan kerja

5. Kesalahan manajemen

Dengan mengetahui sumber penundaan yang paling dominan, dapat dilakukan

tindakan perbaikan untuk menghilangkan atau memperkecil penundaan yang terjadi,

sehingga produktivitas dapat ditingkatkan.

2.1.4. Ergonomi Pada Bidang Konstruksi

Ergonomi adalah pengetahuan mengenai karakter, kapasitas, dan keterbatasan

kemampuan manusia yang diterapkan dalam mendesain tugas, sistem kerja mesin,

ruang untuk tempat tinggal dan melakukan aktivitas keseharian, dan lingkungan,

sedemikian sehingga orang dapat hidup, bermain, dan bekerja secara aman, nyaman,

efisien dan efektif, untuk mencapai produktivitas yang lebih baik (Annis dan

McConville, 1996; Manuaba, 2007). Penerapan ergonomi pada pelaksanaan suatu

pekerjaan ditujukan untuk meningkatkan produktivitas kerja, menurunkan beban kerja,

serta mencegah terjadinya cedera dan penyakit akibat kerja (Chapanis, 1996;

Wignjosoebroto, 2003).

Penyakit akibat kerja yang berkaitan dengan ergonomi adalah musculoskeletal

disorders (MSDs). Dari survey yang sudah dilakukan, 40% pekerja konstruksi

mengeluhkan nyeri otot selama bekerja. Sepertiga dari waktu kerja yang hilang (lost

time injuries) dan setengah dari seluruh klaim kompensasi diakibatkan oleh MSDs di

bidang konstruksi (http://www.lhsfna.org). Pusat Studi Kesehatan dan Ergonomi ITB

telah melakukan penelitian pada tahun 2006 – 2007 dan diperoleh hasil bahwa 40% -

80% pekerja mengalami keluhan musculoskeletal sesudah bekerja (Yassierli, 2008).

Aprilia (2009) menyebutkan bahwa pada pelaksanaan pembangunan Proyek Fasilitas

Rekreasi dan Olahraga Boker Ciracas yang dibangun oleh PT Waskita Karya, keluhan

musculoskeletal dialami oleh 94,7% pekerja. Sementara itu dari penelitian yang

dilakukan oleh Septiawan (2013) diketahui bahwa pekerja perusahaan konstruksi

Page 8: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

23

Mikroland Property Development Semarang mengalami keluhan nyeri punggung

bawah sebanyak 71,4%.

Beberapa penelitian tentang pengaruh penerapan ergonomi pada produktivitas

pekerjaan konstruksi sudah dilakukan, antara lain oleh Sudiajeng (2001) dalam

Tarwaka et al. (2004), yang meneliti pengaruh tinggi landasan molen pengaduk beton

terhadap produktivitas tenaga kerja, dan tinggi anak tangga yang dipakai pada

pengecoran lantai beton. Sudiajeng et al., (2007) juga meneliti pengaruh ergonomi

pada praktek pekerjaan kayu di Politeknik Negeri Denpasar. Dari ketiga penelitian ini

diketahui bahwa perbaikan aspek ergonomi memberikan hasil yang positif pada

peningkatan kinerja tukang.

Di Indonesia prinsip ergonomi sudah banyak diterapkan di bidang industri

manufaktur, namun pada industri konstruksi belum banyak mendapatkan perhatian. Di

dalam SKKNI, pemahaman tentang prinsip-prinsip ergonomi belum dimasukkan

sebagai kompetensi yang disyaratkan di dalam sertifikasi tenaga kerja. Bahkan pada

sertifikasi Ahli K-3 Konstruksi dari 8 elemen kompetensi kerja ergonomi juga tidak

dicantumkan sebagai salah satu elemen yang harus dikuasai.

2.2. Produktivitas

Untuk mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang produktivitas maka perlu

diuraikan tentang proses produksi dan definisi produktivitas. Selanjutnya perlu ditinjau

produktivitas di bidang konstruksi, produktivitas tenaga kerja konstruksi dan faktor-

faktor yang mempengaruhinya.

2.2.1. Proses Produksi

Proses produksi didefinisikan Wignjosoebroto (2003) sebagai “serangkaian aktivitas

yang diperlukan untuk mengolah ataupun mengubah sekumpulan masukan (input)

menjadi sejumlah keluaran (output) yang memiliki nilai tambah (added value)”.

Pengolahan merupakan proses untuk mengubah input secara fisik ataupun non fisik

dalam hal bentuk, dimensi, maupun sifat-sifatnya. Nilai tambah adalah penambahan

nilai output yang mencakup nilai fungsional (kegunaan) dan/atau nilai ekonominya.

Bagan rangkaian proses produksi ditampilkan dalam Gambar 2.1.

Pada rangkaian proses produksi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.1,

diperlihatkan bahwa analisis ergonomi serta analisis studi gerak dan waktu memiliki

Page 9: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

24

Gambar 2.1.Bagan Rangkaian Produksi

(Wignjosoebroto, 2003)

peran penting. Untuk meningkatkan produktivitas, proses produksi harus merupakan

suatu sistem yang memberikan kontribusi maksimal terhadap kegiatan-kegiatan

produktif, untuk memberikan nilai tambah pada output. Kegiatan-kegiatan yang tidak

produktif seperti terhentinya pekerjaan (idle/delay) karena berbagai sebab yang tidak

berkaitan dengan pekerjaan, persiapan pekerjaan, dan pengaturan/pengangkutan

material serta peralatan harus dapat dihindari atau dihilangkan.

2.2.2. Definisi Produktivitas

Kata productivity pertama kali muncul pada tahun 1776 di sebuah artikel yang ditulis

oleh Quesnay. Selanjutnya, definisi produktivitas terus berkembang selama ratusan

tahun dan mengalami penyempurnaan arti. Definisi yang lebih formal diperkenalkan

oleh The Organization for European Economic Cooperation (OECC) pada tahun 1950

sebagai berikut :

“Productivity is the quotient obtained by dividing output by one of the

factors of production. In this way it is possible to speak of the

productivity of capital, investment, or raw materials according to wether

output is being considered in relation to capital, investment or raw

material, etc.”

Nasar (1993) mendefinisikan produktivitas adalah perbandingan (rasio) antara

output dengan input. Sumanth (1984) memberikan batasan yang lebih spesifik untuk

output dan input, yaitu yang bersifat tangible (dapat dihitung). Adapun Thomas dan

Napolitan (1996) mendefinisikan produktivitas sebagai jam kerja dalam satuan waktu

tertentu dibagi dengan banyaknya hasil yang diperoleh dalam satuan waktu yang sama.

Page 10: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

25

Dengan diketahuinya nilai produktivitas, maka akan diketahui seberapa efisien sumber-

sumber daya (input) dapat dihemat (Wignjosoebroto, 2003).

Secara umum, produktivitas didefinisikan sebagai rasio antara keluaran (output)

dan masukan (input). Rasio keluaran dan masukan dapat juga dipakai pada usaha yang

dilakukan oleh manusia. Sebagai ukuran produktivitas kerja manusia, rasio tersebut

dinyatakan dalam bentuk keluaran yang merupakan hasil kerja dibagi dengan jam kerja

(man hours) yang dikontribusikan sebagai masukan, dengan nilai uang atau unit

produksi lainnya sebagai dimensi tolok ukur (Wignjosoebroto, 2003)

Di samping sumber-sumber masukan sebagaimana disebutkan di atas, masih

ada sumber masukan yang tidak bisa atau sulit dinilai besarnya, tetapi berpengaruh

pada tingkat produktivitas. Faktor ini adalah masukan bayangan (invisible input) yang

meliputi tingkat pengetahuan (degree of knowledge), kemampuan teknis (technical

skill), metodologi kerja dan pengaturan organisasi (managerial skill), serta motivasi

kerja. Berdasarkan hal-hal tersebut, produktivitas secara luas dapat diformulasikan

sebagaimana ditampilkan pada Persamaan 2.1 (Wignjosoebroto, 2003) :

Output

Produktivitas = ---------------------------------------------------- (2.1)

Input (Measureable) + Input (Invisible)

Produktivitas dikatakan meningkat apabila (Tarwaka et al., 2004) :

1. Jumlah produksi/keluaran meningkat dengan jumlah masukan/sumberdaya

yang sama.

2. Jumlah produksi/keluaran sama atau meningkat dengan jumlah masukan/

sumberdaya lebih kecil.

3. Jumlah produksi/keluaran meningkat dengan penambahan sumber daya

dalam jumlah kecil.

Menurut Wignjosoebroto (2003), peningkatan produktivitas dapat dicapai

dengan menekan biaya produksi, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan sumber

daya manusia dengan sebaik-baiknya (do the right thing) dan meningkatkan keluaran

sebesar-besarnya (do the thing right). Produktivitas merupakan pencerminan dari

tingkat efisiensi dan efektivitas kerja secara total. Efisiensi adalah seberapa banyak

input bisa dihemat atau dioptimalkan, adapun efektivitas adalah seberapa besar output

bisa memperoleh hasil maksimal.

Page 11: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

26

2.2.3. Produktivitas Pada Proyek Konstruksi

Produktivitas pada proyek konstruksi didefinisikan oleh Oglesby et al. (1989) dari

berbagai aspek. Bagi pemilik bangunan atau properti produktivitas adalah “nilai (uang)

yang dihasilkan oleh fasilitas yang dimiliki”. Bagi kontraktor produktivitas adalah

“persentase biaya di bawah (atau di atas) pembayaran yang diterima dari pemilik

proyek”. Dari dua pendekatan tersebut diperoleh pengertian produktivitas proyek

konstruksi adalah ”Efektivitas manajemen, pekerja, material, peralatan, dan ruang kerja

untuk menghasilkan suatu bangunan atau fasilitas lain dengan biaya yang layak yang

serendah-rendahnya”.

Pada proyek konstruksi, produktivitas merupakan salah satu dari empat elemen

penting yang menentukan kinerja proyek (Oglesby et al., 1989). Keempat elemen

tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan. Keempat elemen tersebut

adalah :

1. Produktivitas.

2. Kualitas.

3. Batas waktu

4. Keselamatan kerja.

Di Indonesia sasaran proyek konstruksi mencakup empat aspek, yaitu (Soeharto, 1997):

1. Biaya.

2. Mutu.

3. Waktu.

4. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Sasaran proyek konstruksi di Indonesia pada hakekatnya sama dengan kinerja

proyek sebagaimana diintroduksi oleh Oglesby et al. (1989). Produktivitas sebagai

elemen pertama yang disebut oleh Oglesby et al. (1989) adalah identik dengan biaya.

Produktivitas tidak disebutkan secara eksplisit pada sasaran proyek konstruksi, namun

demikian produktivitas sangat berpengaruh dan dipengaruhi oleh keempat aspek pada

sasaran proyek konstruksi. Oleh karena itu perlu diketahui hubungan antara

produktivitas dengan keempat aspek pada sasaran proyek konstruksi.

Mutu atau kualitas memiliki dua dimensi yaitu proyek diselesaikan sesuai

keinginan pemilik proyek, dan pekerjaan dilaksanakan dengan baik pada pengerjaan

pertama. Jika pekerjaan tidak dilaksanakan dengan baik, harus dilakukan perbaikan

Page 12: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

27

atau pengerjaan ulang (rework) yang berimplikasi pada waktu dan biaya, juga pada

produktivitas. Pengerjaan ulang membawa pengaruh negatif pada semangat pekerja,

yang akan menurunkan tingkat produktivitas.

Biaya proyek sangat dipengaruhi oleh produktivitas. Biaya akan meningkat jika

produktivitas rendah. Demikian juga waktu penyelesaian proyek sangat dipengaruhi

oleh produktivitas yang dicapai. Dalam hal ini batas waktu penyelesaian proyek

memiliki dua pengertian yaitu :

1. Penyelesaian proyek tepat pada waktunya sehingga pemilik proyek dapat

memperkirakan kapan proyek harus dilaksanakan.

2. Penjadwalan, di mana harus dapat dipastikan bahwa semua pelaksanaan

pekerjaan diselesaikan tepat pada waktunya.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah kondisi dimana tenaga kerja

terlindungi dari penyakit, kecelakaan dan kematian akibat kerja. Kondisi K3

berpengaruh terhadap produktivitas. Tindakan dan kondisi yang tidak aman, meskipun

tidak menimbulkan kecelakaan, akan menggangu serta mengalihkan perhatian pekerja

dari pekerjaannya. K3 yang buruk akan menurunkan produktivitas pekerja, karena

pekerja tidak dapat bekerja dengan aman dan nyaman.

Soeharto (1997) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas

proyek konstruksi adalah :

1. Efektivitas organisasi.

2. Pengelolaan sumber daya (tenaga kerja, peralatan, dan material).

3. Kondisi alam dan lingkungan.

4. Jenis pekerjaankonstruksi.

Adapun menurut Rojas and Aramvareekul (2003), empat faktor yang menentukan

produktivitas di bidang konstruksi sebagaimana ditampilkan pada Gambar 2.2. adalah :

1. Strategi dan sistem manajemen.

2. Tenaga kerja.

3. Lingkungan industri.

4. Kondisi eksternal.

Page 13: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

28

Gambar 2.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas

Proyek Konstruksi (Rojas and Aramvareekul, 2003)

Menurut Cottrell (2006), beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas pada

proyek konstruksi adalah :

1. Manajemen.

2. Tenaga kerja.

3. Teknologi : material, peralatan, dan metoda.

4. Peraturan-peraturan.

Dari tiga pendapat di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas proyek

konstruksi dirangkum dalam Tabel 2.5.

Tabel 2.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Pekerjaan Konstruksi

(Soeharto,1997; Rojas and Aramvareekul, 2003; Cottrell, 2006)

No Soeharto

(1997)

Rojas dan Aramvareekul

(2003)

Cottrell

(2006)

1 Efektivitas organisasi Strategi dan sistem

manajemen

Manajemen

2 Pengelolaan sumber

daya (tenaga kerja,

peralatan, material)

Tenaga kerja

Tenaga kerja

3 Jenis pekerjaan

konstruksi

Lingkungan industri Teknologi (material,

peralatan, metoda)

4 Kondisi alam dan

lingkungan

Kondisi eksternal Peraturan-peraturan

Pada prinsipnya terdapat kesamaan di antara ketiganya, hanya cakupannya yang

berbeda. Pada faktor ke-1 rumusan Rojas and Aramvareekul telah tercakup pemikiran

Soeharto dan Cottrell. Faktor ke-2 rumusan Soeharto memiliki cakupan yang lebih

Page 14: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

29

luas, yaitu sumber daya yang dimaksud bukan hanya tenaga kerja melainkan juga

peralatan dan material. Pada faktor ke-3 lingkungan industri yang disebut oleh Rojas

and Aramvareekul tercakup jenis pekerjaan konstruksi sebagaimana disebut Soeharto

dan teknologi (material, peralatan, dan metoda) yang disebut Cottrell. Kondisi eksternal

yang merupakan rumusan faktor ke-4 oleh Rojas and Aramvareekul juga telah

mencakup faktor kondisi alam dan lingkungan yang disebut oleh Soeharto dan

peraturan-peraturan sebagaimana dinyatakan Cottrell.

Hasil penelitian Rojas and Aramvareekul (2003) dapat dipakai sebagai dasar

dalam upaya perbaikan produktivitas konstruksi. Penelitian Rojas and Aramvareekul

(2003) dilakukan dengan mewawancarai 64 responden yang terdiri atas pemilik proyek

(10%), konsultan (19%), kontraktor umum (29%), kontraktor elektrikal (30%),

kontraktor mekanikal (6%), dan lainnya (6%). Responden yang berasal dari

perusahaan kecil (kurang dari 100 karyawan) sebanyak 51%, dari perusahaan

menengah (100 – 249 karyawan) sebanyak 26%, dan dari perusahaan besar (lebih dari

250 karyawan) sebanyak 23%. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas

pekerjaan konstruksi menurut Rojas and Aramvareekul (2003) adalah:

1) Strategi dan sistem managemen

2) Tenaga kerja

3) Lingkungan industri

4) Kondisi eksternal

1) Strategi dan Sistem Manajemen

Strategi dan sistem manajemen mencakup empat aspek. Bobot dari aspek yang paling

berpengaruh dinyatakan dalam nilai maksimal 100, dan urutannya adalah sebagai

berikut : kemampuan manajemen (100), penjadwalan (100), manajemen material dan

peralatan (79), dan kontrol kualitas (68). Dari keempat aspek ini, kemampuan

manajemen dan penjadwalan merupakan aspek yang memiliki bobot tertinggi.

2) Tenaga Kerja

Terdapat lima aspek yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja dengan masing-

masing bobotnya, yaitu : pengalaman kerja (100), pelatihan (97), pendidikan formal

(85), motivasi (79), dan senioritas (59). Dari kelima aspek ini, pengalaman kerja dan

pelatihan yang pernah diperoleh merupakan aspek yang memiliki bobot tertinggi.

Page 15: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

30

3) Lingkungan Industri

Terdapat lima aspek dari lingkungan industri yang mempengaruhi produktivitas proyek

konstruksi, dengan masing-masing bobotnya yaitu : cuaca buruk (100), keunikan jenis

konstruksi (94), kondisi kerja (94), interaksi aktivitas (84), dan integrasi subkontraktor

(76). Dari kelima aspek ini, cuaca buruk, keunikan jenis konstruksi, dan kondisi kerja

merupakan aspek yang memiliki bobot tertinggi.

4) Kondisi Eksternal

Terdapat empat aspek dari kondisi eksternal yang mempengaruhi produktivitas proyek

konstruksi, dengan masing-masing bobotnya yaitu : perubahan pekerjaan (100),

ekonomi (88), riset dan pengembangan (85), teknologi informasi (75). Dari keempat

aspek ini, perubahan pekerjaan dan kondisi perekonomian merupakan aspek yang

memiliki bobot tertinggi.

Dari 4 faktor yang mempengaruhi produktivitas proyek konstruksi, diperoleh

peringkat bobotnya adalah 4 : sistem manajemen (100), tenaga kerja (91), lingkungan

industri (63), dan kondisi eksternal (41) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3.

Terlihat di sini bahwa dua faktor yang paling berpengaruh pada produktivitas proyek

konstruksi adalah sistem manajemen dan tenaga kerja.

Gambar 2.3. Bobot Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Proyek Konstruksi (Rojas and Aramvareekul, 2003)

Dari hasil penelitian Rojas and Aramvareekul (2003) dikemukakan beberapa langkah

yang paling strategis untuk meningkatkan produktivitas proyek konstruksi, sebagai-

mana ditunjukkan pada Tabel 2.6.

Page 16: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

31

Tabel 2.6. Jenis Perbaikan Produktivitas dan Faktor Terkait

(Rojas and Aramvareekul, 2003)

No Jenis Perbaikan Faktor Terkait

1 Perbaikan metoda kerja

Tenaga Kerja 2 Perbaikan program pelatihan

3 Peningkatan motivasi pekerja

4 Perbaikan manajemen strategi

Manajemen 5 Perbaikan manajemen pengadaan

Dapat dilihat dari Tabel 2.6 bahwa 5 jenis perbaikan yang perlu dilakukan untuk

meningkatkan produktivitas semuanya berkaitan dengan masalah tenaga kerja dan

manajemen. Hal ini masuk akal dan mudah dipahami, mengingat tenaga kerja adalah

pelaku pekerjaan yang paling menentukan tingkat produktivitas pekerjaan. Adapun

manajemen diperlukan untuk mengatur tenaga kerja dan juga sumber daya yang lain,

sehingga manajemen memiliki kontribusi penting pada peningkatan produktivitas.

2.2.4. Produktivitas Tenaga Kerja

Menurut Wignjosoebroto (2003) produktivitas tenaga kerja adalah keluaran (output)

yang dihasilkan oleh sejumlah tenaga kerja. Untuk mengukur produktivitas tenaga kerja

dapat dipakai Persamaan 2.2 :

Total Keluaran Yang Dihasilkan

Produktivitas Tenaga Kerja = -------------------------------------------------- (2.2)

Jumlah Tenaga Kerja Yang Dipekerjakan

Adapun Soeharto (1997) mendefinisikan produktivitas tenaga kerja sebagai “besar

volume pekerjaan yang dihasilkan oleh seorang tenaga kerja atau oleh suatu regu

tenaga kerja selama periode waktu tertentu” sebagaimana ditampilkan pada Persamaan

2.3.

Volume

Produktivitas pekerja = ------------------ (2.3)

Waktu/orang

Definisi yang mirip dengan definisi di atas dikemukakan oleh D‟Onofrio

(2003), juga Halligan et al. (1994) yang mendefinisikan produktivitas tenaga kerja

adalah “banyaknya pekerjaan yang diselesaikan oleh seorang pekerja atau sekelompok

pekerja dalam satu satuan waktu”.

Page 17: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

32

2.2.5. Peringkat Produktivitas Tenaga Kerja

Menurut Oglesby et al. (1989), produktivitas tenaga kerja dapat dikategorikan menjadi

tiga tingkat, yaitu bekerja efektif (effective work), mempersiapkan pekerjaan utama

(essential contributory work), dan menganggur (not useful atau idle).

1. Bekerja efektif adalah segala aktivitas yang secara langsung merupakan

proses nyata dari penambahan unit hasil pekerjaan seperti : memasang bata,

mengecor, menggergaji, mengecat, merangkai besi, atau berjalan dalam

jarak 3 meter dari posisi kerja.

2. Mempersiapkan pekerjaan utama tidak secara langsung memberikan

tambahan hasil pekerjaan, namun diperlukan untuk melaksanakan suatu

pekerjaan, seperti : mempelajari gambar dan instruksi, memasang perancah,

melakukan pengukuran, mempersiapkan material dan tempat kerja, dan

berjalan dalam jarak antara 3 meter sampai 10 meter dari posisi kerja.

3. Menganggur adalah aktivitas yang tidak memberikan tambahan hasil

apapun, seperti : berjalan/bergerak tanpa tujuan, merokok, menunggu mate-

rial, istirahat, memperbaiki kesalahan pekerjaan.

Daftar berbagai jenis pekerjaan dan persentase peringkat produktivitasnya ditampilkan

pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7. Peringkat Produktivitas untuk Beberapa Pekerjaan Konstruksi

(Oglesby et al., 1989)

Trade or Craft Percent of total time in category

Effective Contributory Not Useful

Bricklayer Carpenter

Cement finisher

Electrician

Instrument installer

Insulator

Ironworker

Laborer

Millwright

Equipment operator

Painter Rigger

Sheetmetal

Pipefitter

Teamster

Average of above

42 29

37

28

30

45

31

44

34

38

46 27

38

27

45

36

33 38

41

35

30

28

36

26

36

22

26 57

33

36

16

33

25 33

22

37

40

27

33

30

30

40

28 16

29

37

39

31

Page 18: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

33

Konsep penting yang dikemukakan oleh Oglesby et al. (1989) adalah bahwa

bekerja disebut efektif jika secara langsung memberikan tambahan pada penyelesaian

produk. Oglesby et al. (1989) telah melakukan penelitian pada berbagai jenis pekerjaan

untuk mengetahui persentase tindakan-tindakan yang termasuk dalam kelompok

bekerja efektif, mempersiapkan pekerjaan utama, dan menganggur. Menarik untuk

membandingkan efektivitas pekerjaan menurut Oglesby et al dengan SNI. Efektivitas

pekerjaan pasangan bata menurut Oglesby et al (mencakup effective dan contributory)

adalah 75%, mendekati efektivitas yang ditentukan dalam SNI yaitu 5 jam/7 jam = 71,

43%. Demikian pula efektivitas pekerjaan pengecatan menurut Oglesby et al yaitu

sebesar 72 % hampir sama dengan efektivitas standar SNI yaitu 71,43%.

Tabel 2.8. Jenis Tindakan Dalam Pekerjaan Pasangan Bata, Plesteran,

Pasangan Keramik,dan Pengecatan (Oglesby et al., 1989)

Jenis Pekerjaan Jenis Tindakan

Bekerja Efektif Mempersiapkan

Pekerjaan Utama

Menganggur

Pasangan Bata

Mengambil bata

Memasang bata

Mengambil mortar

Meletakkan mortar

Meratakan mortar

Mengukur

Memeriksa

Mendiskusikan pekerjaan

Mengangkut material

Memasang perancah

Memotong bata

Memasang benang

Mencampur mortar

Merapikan

Menunggu material

Bergerak tanpa

bekerja

Tidak melakukan

apapun

Plesteran Mengambil mortar

Melempar mortar ke

dinding

Menghaluskan

plesteran

Mengukur

Mendiskusikan pekerjaan

Memasang benang

Mencampur mortar

Mengangkut material

Memasang perancah

Menunggu material

Bergerak tanpa

bekerja

Tidak melakukan

apapun

Pasangan

Keramik

Mengambil semen

Meratakan semen

Mengambil keramik

Memasang keramik

Mengisi semen nat

Mengukur

Mendiskusikan pekerjaan

Memasang benang

Merendam keramik

Memotong keramik

Membersihkan sisa semen

pada keramik

Menunggu material

Bergerak tanpa

bekerja

Tidak melakukan

apapun

Pengecatan

Mencelupkan kuas/

rol ke dalam cat

Menyapukan kuas

ke dinding/plafon

Membersihkan dinding

Mencampur cat

Membersihkan kuas

Menunggu material

Bergerak tanpa

bekerja

Tidak melakukan

apapun

Page 19: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

34

Jenis-jenis tindakan pada pekerjaan pasangan bata, plester, pasangan keramik,

dan pengecatan serta peringkat produktivitasnya ditampilkan pada Tabel 2.8 (Oglesby

et al., 1989). Dari Tabel 2.8 dapat dilihat tindakan-tindakan yang termasuk dalam

kelompok bekerja efektif dan tindakan-tindakan yang termasuk dalam kelompok

mempersiapkan pekerjaan utama (contributory) adalah tindakan-tindakan yang tidak

dapat dihilangkan, namun bisa ditingkatkan efektivitasnya. Adapun tindakan-tindakan

yang termasuk dalam kelompok menganggur adalah tindakan-tindakan yang

seharusnya dihilangkan atau dikurangi.

2.2.6. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja

Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja adalah :

1) Etnis

2) Metoda Kerja

3) Ergonomi

4) Faktor-faktor lain

1) Pengaruh Etnisitas Pada Produktivitas

Kaming et al. (1997) melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

produktivitas tenaga kerja. Penelitian dilakukan di tujuh daerah di Indonesia, meliputi

Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Indonesia Barat, dan

Indonesia Timur. Variabel produktivitas yang dibandingkan adalah output produksi,

waktu kerja yang produktif, keterampilan pekerja, motivasi, upah, tingkat pengawasan,

dampak dari adanya problem produktivitas, dan motivasi mandor. Tujuan dari

penelitian ini adalah menetapkan indeks produktivitas untuk tujuh wilayah di

Indonesia.

Kaming et al. (1997) mengambil Yogyakarta sebagai benchmark, dengan

responden sebanyak 20 orang staf manajemen lapangan (site management personel).

Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuisioner dan melakukan wawancara

terhadap ke 20 orang responden. Ada 12 variabel data yang diteliti, yaitu produktivitas

tukang batu, produktivitas tukang kayu, produktivitas tukang rangkai besi, persentase

waktu yang produktif, kemampuan tukang, motivasi tukang, upah tukang, tingkat

pengawasan mandor, motivasi mandor, upah mandor, dan tingkat produktivitas.

Penelitian menghasilkan 78 set data yang kemudian dibandingkan.

Page 20: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

35

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari

berbagai daerah dalam hal output, ketrampilan, motivasi, dan produktivitas tenaga

kerja. Yogyakarta, yang ditetapkan sebagai bench mark, memiliki indeks produktivitas

1. Indeks produktivitas Jakarta adalah yang tertinggi, disusul oleh Jawa Timur, Jawa

Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Indonesia Timur dan Indonesia Barat.

Pada penelitian ini Kaming tidak melakukan pengamatan langsung ataupun

pengukuran produktivitas terhadap pekerja. Data diperoleh dari wawancara terhadap

responden, yaitu staf manajemen lapangan (site management personel) yang pernah

mengerjakan proyek dengan pekerja dari Yogyakarta dan minimal satu dari 7 wilayah

yang diteliti Kaming. Dapat disimpulkan bahwa data yang berupa jawaban kuisioner

hanya didasarkan pada ingatan (atas pekerjaan di proyek pada masa lalu) ataupun

perkiraan responden, sehingga tingkat akurasi data sesungguhnya tidak terlalu tinggi.

2) Pengaruh Metoda Kerja Pada Produktivitas

Karger dan Bayha (1977) menyatakan bahwa produktivitas seseorang bergantung pada

gerakan (metoda kerja) dan waktu yang diperlukan untuk melakukan gerakan tersebut.

Lama waktu yang diperlukan untuk melakukan gerakan kerja dipengaruhi oleh tiga

aspek, yaitu usaha (effort), kemampuan (skill), dan kondisi kerja (conditions).

Frederick Winslow Taylor (1911) dalam Niebel (1976) melakukan penelitian

mengenai pengaruh gerakan kerja pada produktivitas di pabrik baja Betlehem Steel

Company, Philadelphia. Pekerja yang semula mengangkat bijih besi seberat 92 pound

(sekitar 45 kg) dari lantai ke atas mobil, diubah dengan mengangkat bijih besi ke atas

mobil melalui sebuah ramp. Dengan cara ini, produktivitas pekerja bisa ditingkatkan

hampir empat kali lipat, yaitu dari produktivitas semula 12,5 ton per hari menjadi 47,5

ton per hari.

Niebel (1976) menyebutkan bahwa Frank Bunker Gilberth (1868 – 1924) juga

telah melakukan penelitian mengenai gerakan kerja. Gilberth mengamati bahwa tukang

batu bekerja dengan tiga cara yang berbeda. Mereka bekerja dengan cara tertentu jika

harus bekerja cepat, cara yang lain jika harus bekerja lambat, dan cara yang lain lagi

bila harus mengajar calon-calon tukang batu. Gilberth mengkombinasikan ketiga cara

tersebut, menghilangkan gerakan-gerakan yang tidak efisien, menyederhanakan

gerakan, dan menyusun gerakan menjadi lebih teratur.

Page 21: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

36

3) Pengaruh Ergonomi Pada Produktivitas

Menurut Tarwaka et al. (2004), penelitian tentang produktivitas tenaga kerja yang

berkaitan dengan ergonomi telah dilakukan oleh Sudiajeng pada 2004. Sudiajeng

melakukan penelitian tentang peningkatan produktivitas pengadukan beton dengan

merubah ketinggian molen. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Sudiajeng pada

2004 adalah penelitian mengenai tinggi anak tangga pada proses pengecoran beton

pada bangunan bertingkat. Anak tangga yang dipakai untuk mengangkat adukan beton

ke lantai yang ada di atas memiliki tinggi yang berbeda-beda, dan secara ergonomis

tidak sesuai dengan tinggi badan pekerja serta ukuran ember yang digunakan, sehingga

mengakibatkan kelelahan yang berlebihan.

Selanjutnya Sudiajeng et al. pada 2007 melakukan penelitian yang berkaitan

dengan ergonomi pada praktek pekerjaan kayu di Jurusan Teknik Sipil Politeknik

Negeri Bali. Hasil kajian terhadap 8 aspek permasalahan ergonomi memperlihatkan

bahwa kondisi kerja yang diteliti tidak sehat dan tidak aman. Keluhan otot skeletal

terjadi karena adanya sikap tubuh yang tidak alamiah, yang disebabkan oleh tidak

adanya kesesuaian antara dimensi dan desain sarana kerja dengan ukuran tubuh pekerja.

Keluhan otot skeletal juga disebabkan oleh kontraksi otot yang berlebihan akibat

pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang panjang.

4) Faktor-faktor Umum yang Mempengaruhi Produktivitas

Fulenwider et al. (2014) menyatakan bahwa produktivitas tenaga kerja dipengaruhi

oleh tingkat keterampilan, motivasi, dan tekanan jadwal. Tingkat keterampilan bisa

diperoleh dari pengalaman dan dari pendidikan/pelatihan. Motivasi merupakan

dorongan kuat dari dalam diri seseorang, yang akan memacu seseorang untuk bekerja

dengan kemampuan maksimal. Tekanan jadwal untuk menyelesaikan pekerjaan pada

waktu yang telah ditentukan akan membuat seseorang bekerja lebih cepat.

Oglesby et al. (1989) mengelompokkan faktor-faktor yang mempengaruhi

produktivitas tenaga kerja adalah :

1. Kapabilitas sumberdaya : perilaku, budaya, kebiasaan, dan etikakerja.

2. Kelelahan fisik

a. Kelelahan sesaat.

b. Kelelahan harian dan/atau mingguan (pagi-sore).

c. Perilaku diurnal-nocturnal (shift siang-malam).

Page 22: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

37

d. Kelelahan jangka panjang (efek kerja lembur).

3. Kelelahan akibat tekanan atau situasi emosional.

4. Kejemuan.

5. Kondisi kerja.

a. Temperatur dan kelembaban.

b. Kebisingan.

c. Kondisi keamanan.

d. Peralatan bantu.

Sedangkan Soeharto (1997) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

produktivitas tenaga kerja adalah :

1. Kondisi fisik lapangan serta sarana bantu.

2. Supervisi, perencanaan, dan koordinasi.

3. Komposisi kelompok kerja.

4. Kerja lembur.

5. Ukuran besar proyek.

6. Kurva pengalaman (learning curve).

7. Pekerja langsung dan subkontraktor.

8. Kepadatan tenaga kerja.

Sinungan (2000) mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas

tenaga kerja konstruksi adalah sebagai berikut :

1. Jumlah tenaga kerja yang digunakan pada suatu proyek konstruksi.

2. Tingkat keahlian tenaga kerja.

3. Latar belakang kebudayaan dan pendidikan, termasuk pengaruh faktor

lingkungan dan keluarga terhadap pendidikan formal yang diambil oleh

tenaga kerja.

4. Kemampuan tenaga kerja untuk menganalisis situasi yang sedang terjadi

dalam lingkup pekerjaannya dan sikap moral yang diambil pada kondisi

tersebut.

5. Minat tenaga kerja yang tinggi terhadap jenis pekerjaan yang ditekuninya.

6. Struktur pekerjaan, keahlian dan umur (juga jenis kelamin) dari tenaga

kerja.

Page 23: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

38

Menurut D‟Onofrio (2003), beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga

kerja adalah :

1. Lokasi pekerjaan.

2. Kondisi cuaca.

3. Ukuran proyek .

4. Ketinggian lokasi kerja.

5. Kompleksitas pekerjaan.

6. Kemampuan manajerial dan supervise.

7. Keterampilan tenaga kerja.

Adapun Tarwaka et al. (2004) memerinci faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

produktivitas kerja secara umum adalah :

1. Motivasi.

2. Kedisiplinan.

3. Etos kerja.

4. Keterampilan.

5. Pendidikan.

Berbagai faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja sebagaimana

disampaikan oleh Fulenwider et al. (2014), Oglesby et al. (1989), Soeharto (1997),

Sinungan (2000), D‟Onofrio (2003), dan Tarwaka et al. (2004) sesungguhnya identik

dan saling melengkapi.

2.3. Penelitian Kerja

Penelitian kerja (work study) bertujuan mempelajari prinsip-prinsip dan teknik-teknik

untuk mendapatkan rancangan sistem kerja yang terbaik (Wignjosubroto, 2003).

Prinsip-prinsip dan teknik kerja dipakai sebagai dasar untuk mengatur komponen kerja

yang terdiri atas tenaga, peralatan, serta lingkungan kerja untuk mencapai efektivitas

dan efisiensi kerja yang optimal. Efektivitas dan efisiensi kerja diukur dari waktu dan

tenaga yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan serta hasil yang diperoleh

dari pekerjaan tersebut.

2.3.1. Elemen-elemen Dasar Dalam Penelitian Kerja

Wignjosoebroto (2003) menyebutkan bahwa penelitian kerja terdiri atas dua elemen

dasar pemikiran, yaitu :

1. Pemikiran ke arah usaha pencapaian efisiensi kerja.

Page 24: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

39

2. Pemikiran untuk mempertimbangkan perilaku manusia sebagai unsur pokok

suksesnya usaha kerja mereka.

Efisiensi kerja berkaitan dengan metoda dan langkah-langkah kerja yang sistematis

dengan urut-urutan yang logis, adapun perilaku manusia berkaitan dengan faktor-faktor

penyebab perilaku pekerja dalam upaya memenuhi kebutuhannya serta mencapai

kepuasan kerja.

2.3.2. Ruang Lingkup Penelitian Kerja

Ruang lingkup penelitian kerja mencakup dua aspek, yaitu penelitian mengenai

pengaturan metode kerja, dan penelitian mengenai pelaksanaan pengukuran kerja. Dari

kedua aspek ini disusun beberapa alternatif sistem kerja, untuk selanjutnya dipilih

sistem kerja yang terbaik. Skema/langkah-langkah penelitian kerja ditunjukkan pada

Gambar 2.4.

Pengaturan metode kerja adalah pengaturan komponen-komponen sistem kerja

untuk mendapatkan alternatif sistem kerja yang terbaik. Untuk melakukan pengaturan

terhadap pekerja, bahan, peralatan serta lingkungan kerja fisik diperlukan ilmu

ergonomi (human engineering), studi gerakan kerja (motion study) dan studi tentang

ekonomi gerakan (motion economy). Pengukuran kerja (work measurement atau time

study) meliputi pengukuran waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk penyelesaian

suatu pekerjaan, serta dampak psikologis dan sosiologis yang mungkin timbul.

Gambar 2.4. Langkah-langkah Penelitian Kerja (Wignjosoebroto, 2003)

Page 25: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

40

Gambar 2.5. menampilkan secara lebih rinci ruang lingkup penelitian kerja, yang

sasaran akhirnya adalah kenaikan produktivitas.

Gambar 2.5. Ruang Lingkup Penelitian Kerja (Wignjosoebroto, 2003)

Pada penelitian kerja juga dinilai efektivitas dan efisiensi kerja, standar waktu,

standar output, dan delay. Pengukuran waktu bisa dilaksanakan secara langsung dengan

stopwatch atau work sampling, atau secara tidak langsung dengan standard data atau

Predetermined Motion Time Study (PMTS).

2.3.3. Pengaturan Metoda Kerja

Pengaturan metoda kerja mencakup tiga aspek yaitu (Wignjosoebroto, 2003):

1) Ergonomi.

2) Studi gerakan kerja.

3) Ekonomi gerakan.

Ketiga aspek ini memerlukan analisis tersendiri, namun ketiganya saling berkaitan

sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.6.

Page 26: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

41

Gambar 2.6. Aspek-aspek Dalam Metoda Kerja (Wignjosoebroto, 2003)

1) Ergonomi

Ergonomi berasal dari bahasa Yunani ergon yang berarti kerja dan nomos yang berarti

aturan, jadi ergonomi adalah norma dalam sistem kerja (Oborne, 1987; Tayyari F. dan

Smith J., 1997). Ergonomi dapat dipahami sebagai “suatu ilmu, seni dan teknologi yang

berupaya untuk menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan,

kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara

optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya” (Tarwaka et al., 2004).

Disiplin ergonomi secara khusus mempelajari keterbatasan kemampuan

manusia dalam berinteraksi dengan teknologi dan produk-produk buatannya

(Wignjosoebroto, 2003). Istilah ergonomi biasa dipergunakan di Eropa, sedangkan di

Amerika lebih umum digunakan istilah Human Factors Engineering.Tentang ergonomi

akan diuraikan lebih luas dalam Sub-Bab 2.4.

2) Studi Gerakan Kerja

Studi gerakan kerja adalah studi tentang gerakan-gerakan yang dilakukan pekerja untuk

menyelesaikan pekerjaannya. Studi gerakan kerja dilakukan untuk mendapatkan

gerakan-gerakan standar dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, yaitu gerakan yang

efektif dan efisien. Tujuan studi gerakan kerja adalah mengeliminir atau mengurangi

gerakan-gerakan yang tidak efektif, sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan dengan

lebih mudah dan produktivitas dapat ditingkatkan (Wignjosoebroto, 2003).

Frank dan Lillian Gilberth telah mempelajari jenis-jenis gerakan dasar yang

dilakukan oleh manusia dalam bekerja (Niebel and Freivalds, 1999). Gerakan-gerakan

ini dirumuskan menjadi 17 gerakan dasar yang dinamakan gerakan Therblig. Ke 17

elemen Therblig ini dapat diklasifikasikan menjadi elemen efektif dan elemen inefektif.

Elemen efektif Therblig adalah semua elemen dasar yang berkaitan langsung dengan

aktivitas kerja, yang dapat dipersingkat tetapi tidak dapat dihilangkan. Sedangkan

Page 27: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

42

elemen inefektif Therblig adalah elemen yang tidak berhubungan langsung dengan

aktivitas kerja, dan seharusnya dihilangkan untuk membentuk ekonomi gerakan.

3) Ekonomi Gerakan

Prinsip ekonomi gerakan digunakan untuk merancang sistem kerja dengan gerakan-

gerakan kerja yang benar dan ekonomis, dalam arti menghemat tenaga dan waktu,

sehingga diperoleh metoda kerja yang efisien (Wignjosoebroto, 2003). Adapun prinsip-

prinsip ekonomi gerakan adalah sebagai berikut:

(1) Prinsip ekonomi gerakan dihubungkan dengan penggunaan badan/anggota

badan.

(2) Prinsip ekonomi gerakan dihubungkan dengan tempat kerja.

(3) Prinsip ekonomi gerakan dihubungkan dengan peralatan kerja.

(1) Prinsip Ekonomi Gerakan Dihubungkan Dengan Penggunaan Badan/Anggota

Badan :

a. Sedapat mungkin kedua tangan memulai dan menyelesaikan gerakan kerja

dalam waktu yang bersamaan.

b. Kedua tangan tidak menganggur pada waktu yang bersamaan.

c. Gerakan tangan simetris dan berlawanan arah.

d. Hanya bagian-bagian tubuh yang diperlukan saja yang bekerja, agar tidak

terjadi penghamburan tenaga dan kelelahan yang tidak perlu.

e. Pekerjaan diatur sedemikian rupa sehingga gerak mata terbatas pada bidang

yang dikerjakan tanpa perlu sering mengubah fokus.

(2) Prinsip Ekonomi Gerakan Dihubungkan Dengan Tempat Kerja :

a. Peralatan dan bahan ditempatkan pada jarak yang aman dan mudah

dijangkau, sehingga mengurangi usaha mencari-cari.

b. Bahan dan peralatan kerja diatur untuk efisiensi gerakan

c. Tinggi tempat kerja sesuai dengan ukuran tubuh manusia sehingga pekerja

dapat melaksanakan kegiatannya dengan mudah dan nyaman.

d. Kondisi tempat kerja cukup penerangan, temperatur nyaman, ventilasi udara

cukup.

(3) Prinsip Ekonomi Gerakan Dihubungkan Dengan Peralatan Kerja :

a. Mengurangi sebanyak mungkin pelaksanaan pekerjaan secara manual

apabila hal tersebut dapat dilaksanakan dengan peralatan kerja.

Page 28: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

43

b. Menggunakan peralatan kerja yang dapat dipakai untuk melaksanakan

berbagai macam pekerjaan sekaligus, baik yang sejenis maupun berlainan

jenis.

c. Peralatan kerja diatur pada posisi yang dapat diambil dan dipakai tanpa

harus mencari-cari, juga dibuat sedemikain rupa sehingga memberi

kenyamanan genggaman tangan saat digunakan.

Mundel and Danner (1994) membahas dan mensistematisasikan prinsip-prinsip

ekonomi gerakan tersebut mencakup tiga langkah, yaitu :

(1) Eliminasi kegiatan.

(2) Kombinasi gerakan atau aktivitas kerja.

(3) Penyederhanaan kegiatan.

(1) Eliminasi Kegiatan :

a. Eliminasi semua langkah dan gerakan yang tidak perlu.

b. Eliminasi kondisi yang tidak beraturan. Meletakkan segala peralatan dan

material pada tempat yang tetap, sehingga tercipta otomatisasi gerakan.

c. Eliminasi penggunaan tenaga otot untuk melaksanakan kegiatan statis.

d. Eliminasi waktu kosong (idle time) atau waktu menunggu (delay time)

dengan membuat penjadwalan kerja yang baik.

(2) Kombinasi Gerakan atau Aktivitas Kerja :

a. Gerakan-gerakan kerja yang berlangsung pendek atau terputus-putus dan

cenderung berubah-ubah arahnya digantikan dengan sebuah gerakan yang

kontinyu, tidak patah-patah, serta cenderung membentuk sebuah kurva.

b. Kegiatan didistribusikan dengan membuat keseimbangan kerja antara kedua

tangan. Pola gerakan kerja yang simultan dan simetris akan memberi

gerakan yang paling efektif.

(3) Penyederhanaan Kegiatan :

a. Setiap aktivitas kerja dilaksanakan dengan prinsip kebutuhan energi otot

minimal.

b. Kegiatan mencari-cari peralatan kerja dan material dikurangi dengan

meletakkannya pada tempat yang mudah ditemukan.

c. Fasilitas kerja diletakkan dalam jangkauan tangan normal, sehingga gerakan

tangan berada pada jarak yang sependek-pendeknya.

Page 29: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

44

2.3.4. Pengukuran Kerja

Pengukuran kerja merupakan cara yang paling terpercaya untuk memperoleh manfaat

berupa peningkatan produktivitas dengan biaya yang serendah-rendahnya untuk

keuntungan semua pihak (Karger and Bayha, 1977). Pengukuran kerja meliputi

(Wignjosoebroto, 2003) :

1) Pengukuran waktu kerja.

2) Pengukuran tenaga yang dibutuhkan untuk penyelesaian kerja .

3) Dampak psikologis dan sosiologis yang timbul.

Keterkaitan 3 aspek pada pengukuran kerja ditampilkan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Tiga Aspek Dalam Pengukuran Kerja(Wignjosoebroto, 2003)

1) Pengukuran Waktu Kerja

Pengukuran waktu kerja dilakukan untuk mendapatkan waktu baku (standard time)

penyelesaian suatu pekerjaan. Waktu baku adalah waktu yang dibutuhkan oleh seorang

pekerja yang memiliki tingkat kemampuan rata-rata untuk menyelesaikan suatu

pekerjaan. Waktu baku ditentukan dengan memasukkan kelonggaran waktu/allowance

time (Wignjosoebroto, 2003). Waktu baku diperlukan untuk menghitung :

(1) Kebutuhan tenaga kerja.

(2) Estimasi biaya tenaga kerja.

Page 30: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

45

(3) Penjadwalan pekerjaan.

(4) Sistem pemberian bonus/insentif bagi karyawan yang berprestasi.

(5) Indikasi output yang mampu dihasilkan oleh seorang pekerja.

Pengukuran waktu kerja secara langsung dapat dilakukan dengan:

(1) Stop watch

(2) Work sampling

(3) Method Productivity Delay Model (MPDM), merupakan modifikasi dari

metoda stop watch dan work sampling, dikembangkan khusus untuk bidang

teknik sipil.

(1) Pengukuran Waktu Kerja dengan Stop Watch

Pengukuran waktu kerja dengan jam henti (stop watch) banyak diterapkan pada industri

manufaktur yang memiliki karakteristik kerja berulang-ulang, terspesifikasi jelas, dan

menghasilkan output yang relatif sama. Pengukuran waktu kerja dengan jam henti

dapat pula diterapkan pada pekerjaan di sektor jasa (service) yang memiliki kriteria

sama dengan pekerjaan manufaktur (Wignjosoebroto, 2003).

Pada pengukuran waktu kerja dengan stop watch, suatu pekerjaan dibagi

menjadi elemen-elemen kerja dan pengukuran dilakukan terhadap elemen-elemen

tersebut. Ada tiga metoda yang dapat digunakan untuk mengukur elemen-elemen kerja

dengan menggunakan stop watch yaitu pengukuran waktu secara terus-menerus

(continuous timing), pengukuran waktu secara berulang (repetitive timing) dan

pengukuran waktu secara penjumlahan (accumulative timing).

(2) Pengukuran Waktu Kerja Dengan Work Sampling

Metoda pengukuran waktu kerja dengan work sampling efektif dan efisien untuk

meneliti kerja mesin atau operatornya, karena dengan metoda ini dapat ditentukan

waktu longgar (allowance time) yang tersedia untuk suatu pekerjaan, pendayagunaan

mesin yang sebaik-baiknya, dan penetapan waktu baku untuk proses produksi.

Metoda work sampling dikembangkan berdasarkan hukum probabilitas dengan

mengambil sampel secara acak. Work sampling cocok digunakan pada pekerjaan yang

tidak berulang dan memiliki waktu siklus panjang. Pelaksanaannya adalah dengan

melakukan pengamatan pada selang waktu (durasi) yang diambil secara acak terhadap

mesin/pekerja untuk dicatat apakah mesin/pekerja tersebut dalam keadaan bekerja atau

menganggur (idle).

Page 31: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

46

(3) Pengukuran Waktu Kerja Dengan Method Productivity Delay Model (MPDM)

Method Productivity Delay Model (MPDM) merupakan modifikasi dari konsep studi

gerak dan waktu konvensional. Teknik ini dikembangkan agar perusahaan konstruksi

dapat mengukur, memprediksi, dan memperbaiki produktivitas metoda konstruksi

(Halpin and Riggs, 1992). MPDM menggabungkan berbagai elemen yang terdapat

pada teknik-teknik yang lain seperti work samping, production function analysis,

statistical analysis, time study, dan balancing models.

MPDM mengambil data sampel secara menerus dari suatu siklus produksi

pekerjaan konstruksi dan mencatat jumlah serta jenis penundaan (delay) yang terjadi.

Dari data ini dilakukan perhitungan untuk mengetahui efisiensi pelaksanaan pekerjaan

dengan menampilkan efek penundaan yang terjadi terhadap produktivitas pekerjaan

yang diukur. Berdasarkan informasi ini, produktivitas dapat diperbaiki dengan

menghilangkan/mengurangi penundaan yang terjadi. Tujuan MPDM adalah untuk

mengukur, memprediksi, dan memperbaiki produktivitas metoda konstruksi. Mengenai

MPDM dibahas secara lebih rinci pada Sub Bab 2.5.

2) Pengukuran Energi Kerja

Dua parameter yang dapat dipakai untuk mengevaluasi apakah tata cara kerja sudah

dirancang dengan baik adalah waktu dan energi kerja yang dikeluarkan untuk

melaksanakan aktivitas-aktivitas tersebut. Berat/ringannya beban kerja yang dilakukan

pekerja bisa ditentukan dari gejala-gejala perubahan yang tampak dan bisa diukur,

antara lain:

(1) Laju detak jantung.

(2) Tekanan darah.

(3) Temperatur badan.

(4) Laju pengeluaran keringat.

(5) Konsumsi oksigen yang dihirup.

(6) Kandungan kimiawi dalam darah.

Pengukuran laju detak jantung adalah jenis pengukuran yang paling sering

dipakai untuk mengukur beban kerja.Selain mudah, tidak memerlukan peralatan yang

mahal, cara ini juga tidak mengganggu pekerjaan yang sedang dilaksanakan oleh

seorang pekerja (Tarwaka et al., 2004).

Page 32: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

47

Astrand and Rodahl (1977) dan Rodahl (1989) menyatakan bahwa penilaian

beban kerja fisik (kerja yang mempergunakan energi otot manusia sebagai sumber

tenaganya) dapat dilakukan secara langsung, yaitu dengan mengukur energi yang

dikeluarkan melalui asupan oksigen selama bekerja, atau secara tidak langsung, yaitu

dengan menghitung denyut nadi selama kerja. Energi yang dikonsumsi bisa diukur

secara langsung melalui konsumsi oksigen yang dihirup, dengan konversi 1 liter O2 =

4,8 Kcal. Bila seseorang tidak melakukan kegiatan fisik (dalam kondisi istirahat), pulsa

denyut jantung adalah 62 denyut/menit, ekuivalen dengan konsumsi oksigen sebesar

250 ml/menit yang menunjukkan pengeluaran energi 1,2 Kcal/menit. Konsumsi

oksigen tetap diperlukan meskipun orang tidak melakukan aktivitas fisik, disebut

metabolisme basal, di mana energi dari makanan digunakan untuk menjaga suhu badan

tetap 360C. Pekerja laki-laki dewasa dengan berat badan 70 kg memiliki metabolisme

basal sebesar 1,2 Kcal/ menit (Wignjosoebroto, 2003).

Adanya kerja fisik membutuhkan penambahan energi yang disebut dengan

kalori kerja. Dari penelitian mengenai fisiologi kerja diperoleh kesimpulan bahwa 5,2

Kcal/menit adalah maksimum energi yang dikonsumsi untuk melaksanakan kerja fisik

berat/kasar secara terus menerus (Wignjosoebroto, 2003). Nilai kalori kerja 5,2 Kcal ini

akan menyebabkan jantung/nadi berdetak sekitar 120 kali/menit. Tabel 2.9 menun-

jukkan hasil penyelidikan Brouha pada 1954 (dikutip oleh Karger dan Bayha, 1977)

tentang konsumsi oksigen, energi yang dikeluarkan, serta detak jantung untuk berbagai

tingkatan pekerjaan.

Tabel 2.9. Beban Kerja dan Reaksi Fisik Yang Ditimbulkan (Karger dan Bayha, 1977)

Klasifikasi

Beban Kerja

Konsumsi

Oksigen (lt/mnt)

Pengeluaran

Energi (Kcal/mnt)

Frekuensi

Denyut Jantung

Selama Bekerja

(beats/mnt)

Ringan

Sedang

Berat

Sangat Berat

0,5 - 1,0

1,0 - 1,5

1,5 - 2,0

2,0 - 2,5

2,5 - 5,0

5,0 - 7,5

7,5 - 10,0

10,0 - 12,5

60 - 100

100 - 125

125 - 150

150 - 175

Christensen (1991) dan Grandjean (1993) menjelaskan bahwa selain konsumsi

oksigen dan laju detak jantung, beban kerja juga dapat diketahui dari kapasitas ventilasi

paru-paru dan suhu inti tubuh. Dari keempat parameter ini dapat dikategorikan beban

Page 33: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

48

kerja menjadi ringan, sedang, berat, sangat berat, dan sangat berat sekali, sebagaimana

ditunjukkan dalam Tabel 2.10.

Tabel 2.10. Beban Kerja Berdasarkan Metabolisme, Respirasi, Suhu Tubuh,dan

Frekuensi Denyut Jantung (Christensen, 1991)

Kategori

Beban Kerja

Konsumsi

Oksigen (l/mnt)

Ventilasi Paru

(l/mnt)

Suhu Rektal

(0C)

Frekuensi

Denyut Jantung

(denyut/mnt)

Ringan

Sedang

Berat

Sangat berat

Sangat berat

sekali

0,5 – 1,0

1,0 – 1,5

1,5 – 2,0

2,0 – 2,5

2,5 – 4,0

11 – 20

20 – 31

31 – 43

43 – 56

60 – 100

37,5

37,5 – 38,0

38,0 – 38,5

38,5 – 39,0

> 39

75 – 100

100 – 125

125 – 150

150 – 175

> 175

Di Indonesia, Menteri Tenaga Kerja melalui Keputusan Menteri Nomor 51

Tahun 1999 menetapkan kategori beban kerja menurut kebutuhan kalori sebagaimana

ditunjukkan pada Tabel 2.11. Jika dibandingkan dengan Tabel 2.9 (Karger and Bayha,

1977) terlihat bahwa kategori beban kerja menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI

No. 51 Th. 1999 menerapkan standar kebutuhan kalori yang lebih rendah.

Tabel 2.11. Kategori Beban Kerja Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI

No. 51 Th. 1999 (Tarwaka et al., 2004)

Kategori

Beban Kerja

Kebutuhan Kalori

(Kilo Kalori/jam)

Kebutuhan Kalori

(Kilo Kalori/ menit)

Ringan

Sedang

Berat

100 – 200

200 – 350

350 – 500

1,67 – 3,33

3,34 – 5,83

5,84 – 8,33

Otot memerlukan energi pada saat berkontraksi untuk melakukan suatu

pekerjaan. Energi dapat dihasilkan dengan cepat dari adenosine triphosphate (ATP).

Namun sumber energi ini sangat terbatas, yang akan segera digantikan oleh creatine

phospate (CP). Ketersediaan CP juga terbatas, yaitu kurang dari satu menit pada saat

otot melakukan pekerjaan berat. Selanjutnya energi dihasilkan dari metabolisme

makanan yang dikonsumsi berupa karbohidrat, lemak, dan protein melalui proses

aerobic (membutuhkan oksigen) dan anaerobic (tidak membutuhkan oksigen). Proses

metabolisme tubuh ditunjukkan pada Gambar 2.8.

Page 34: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

49

Gambar 2.8. Metabolisme Tubuh Untuk Menghasilkan Energi

(Niebel and Freivalds, 1999)

Metabolisme secara aerobic lebih efisien dan bertahan lama, tetapi memerlukan

waktu lama untuk menghasilkan energi. Sebaliknya metabolisme anaerobic sangat

cepat, tetapi hanya bertahan dalam waktu singkat. Untuk melakukan pekerjaan-

pekerjaan berat sebaiknya didahului dengan pemanasan terlebih dahulu sehingga energi

yang digunakan berasal dari metabolisma aerobic. Dengan demikian pekerja tidak

cepat merasa lelah.

Menurut Wignjosoebroto (2003), kapasitas energi yang mampu dihasilkan oleh

seseorang dipengaruhi antara lain oleh ukuran dan berat badan, jenis kelamin, serta

usia. Tabel 2.12 menampilkan persentase kemampuan energi yang dihasilkan karena

pengaruh usia.

Tabel 2.12. Kapasitas Energi Tenaga Kerja (Wignjosoebroto, 2003)

Usia (tahun) Prosentase

Kemampuan (%)

20 – 30

40

50

60

65

100

96

90

80

75

Adapun menururt Tarwaka et al. (2004), yang mengutip pendapat Astrand and

Rodahl (1977), Grandjean (1993) dan Genaidy (1996), kapasitas fisik seseorang

Page 35: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

50

mencapai puncaknya pada umur 25 tahun. Pada umur 50 – 60 tahun kekuatan otot

menurun sebesar 25%, sedangkan kemampuan sensoris-motoris menurun sebanyak

60%. Selanjutnya kemampuan kerja fisik seseorang yang berumur di atas 60 tahun

tinggal 50% dari orang yang berumur 25 tahun. Bertambahnya umur akan diikuti

penurunan VO2 Max (jumlah maksimum oksigen yang mampu diserap seseorang

ketika bekerja fisik), ketajaman penglihatan, pendengaran, daya ingat jangka pendek,

dan membuat keputusan.

Energi yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu pekerjaan sangat bervariasi,

sesuai dengan jenis pekerjaan, sikap tubuh pada waktu melaksanakan pekerjaan, serta

cara mengangkat beban. Gambar 2.9 menampilkan beberapa jenis pekerjaan serta

besarnya energi yang dibutuhkan.

Gambar 2.9. Beberapa Jenis Pekerjaan dan Besarnya Energi

yang Dibutuhkan(Sanders and McCormick, 1993)

Dari Gambar 2.9 terlihat bahwa pekerjaan pasangan bata membutuhkan energi

sebesar 4,0 Kcal/menit. Jika dibandingkan dengan Tabel 2.9. yang menampilkan beban

Page 36: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

51

kerja dan reaksi fisik yang ditimbulkan, maka beban kerja pekerjaan pasangan bata

termasuk dalam klasifikasi ringan, di mana dalam klasifikasi ini jumlah energi yang

dikeluarkan adalah antara 2,5 – 5,0 Kcal/menit. Namun jika dibandingkan dengan

Tabel 2.11, beban kerja pekerjaan pasangan bata termasuk dalam kategori beban kerja

sedang, yaitu antara 3,34 – 5,83 Kcal/menit.

Kapasitas kerja seseorang juga ditentukan oleh joint flexibility, yaitu

fleksibilitas gerakan bagian-bagian tubuh dari posisi normal (Genaidy, 1996).

Berdasarkan hasil penelitian Tichaeur dalam Grandjean (1993), hasil kerja yang

optimal dengan kebutuhan energi minimal dicapai pada posisi lengan atas membentuk

sudut antara 8o – 23

o dengan badan. Grafik hubungan antara sudut lengan atas, hasil

kerja, dan kebutuhan kalori ditunjukkan pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Grafik Hubungan antara Sudut Lengan,

Hasil Kerja, dan Kebutuhan Kalori(Grandjean, 1993)

2.3.5. Pengukuran Beban Kerja

Menurut Astrand and Rodahl (1977) dan Rodahl (1989), denyut nadi mempunyai

hubungan yang linier dengan asupan oksigen pada waktu kerja. Denyut nadi akan

berubah seirama dengan perubahan pembebanan, baik yang berasal dari pembebanan

mekanik, fisika maupun kimiawi (Kurniawan, 1995). Manuaba and Vanwonterghem

(1996) menentukan klasifikasi beban kerja berdasarkan peningkatan denyut nadi kerja

yang dibandingkan dengan denyut nadi maksimum karena beban kardiovaskuler

(cardio vasculair load = % CVL) yang dihitung dengan Persamaan 2.4 :

100 x (Denyut nadi kerja – Denyut nadi istirahat)

% CVL = --------------------------------------------------------------- (2.4)

Denyut nadi maksimum – Denyut nadi istirahat

Page 37: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

52

Denyut nadi maksimum untuk laki-laki adalah (220 – umur) dan untuk perempuan

adalah (200 – umur). Hasil perhitungan % CVL kemudian dibandingkan dengan

klasifikasi yang sudah ditetapkan sebagai berikut :

< 30% = tidak terjadi kelelahan

30% s.d <60% = diperlukan perbaikan kondisi tubuh

60% s.d. 80% = kerja dalam waktu singkat

80% s.d <100% = diperlukan tindakan segera

> 100% = tidak diperbolehkan beraktivitas

2.3.6. Kerusakan dan Nyeri Otot Akibat Kerja

Nyeri otot/keluhan musculoskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal

yang dirasakan seseorang apabila otot menerima beban statis secara berulang dalam

waktu yang lama. Keluhan bisa berupa nyeri ringan hingga kerusakan pada sendi,

ligamen, dan tendon. Nyeri ringan hingga kerusakan ini disebut dengan musculo-

skeletal disorders atau MSDs (Grandjean, 1993).

Otot skeletal (rangka) meliputi otot leher, bahu, lengan, jari, punggung,

pinggang, dan otot-otot bagian bawah (kaki). Di antara keluhan otot skeletal tersebut,

yang paling banyak dialami oleh pekerja adalah otot bagian pinggang (low back pain /

LBP). Keluhan otot skeletal umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan

akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi pembebanan yang

panjang. Jika kontraksi otot melebihi 20% dari kekuatan otot maksimum, maka

peredaran darah ke otot berkurang sebanding dengan tingkat kontraksi yang

dipengaruhi oleh besarnya tenaga yang dikerahkan. Suplai oksigen ke otot menurun,

proses metabolisme karbohidrat terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan

asam laktat yang menyebabkan timbulnya rasa nyeri otot (Suma‟mur, 1989).

Keluhan musculoskeletal disebabkan oleh tiga hal sebagaimana ditunjukkan pada

Gambar 2.11, yaitu:

1. Peregangan otot yang berlebihan.

2. Aktivitas berulang.

3. Sikap kerja tidak alamiah.

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-

bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, seperti pergerakan tangan terangkat,

punggung membungkuk, kepala terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian

Page 38: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

53

tubuh dari pusat gravitasi tubuh, semakin tinggi pula resiko terjadinya keluhan otot

skeletal.

Gambar 2.11. Faktor-faktor Penyebab Keluhan Musculoskeletal (Tarwakaet al., 2004)

Gambar 2.12. Nordic Body Map (Corlett, 1992)

Salah satu instrumen untuk mengetahui bagian-bagian otot yang mengalami

keluhan musculoskeletal adalah Nordic Body Map/NBM (Corlett, 1992 dalam Tarwaka

et al., 2004) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.12. Pada Nordic Body Map otot-

otot tubuh dibagi berdasarkan otot yang melekat pada rangka tubuh, seperti otot leher

Page 39: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

54

(nomor 1), bahu (nomor 2 dan 3), lengan atas (nomor 4 dan 6), siku (nomor 10 dan 11),

lengan bawah (nomor 12 dan 13), punggung (nomor 5), pinggang atas (nomor 7),

pinggang bawah (nomor 8), pinggul (nomor 9), paha (nomor 18 dan 19), lutut (nomor

20 dan 21), betis (nomor 22 dan 23), pergelangan kaki (nomor 24 dan 25), dan telapak

kaki (nomor 26 dan 27). Dengan melihat dan menganalisa peta tubuh (NBM), dapat

diketahui jenis keluhan otot yang dirasakan pekerja, dan dilakukan tindakan perbaikan.

2.3.7. Kebutuhan Waktu Istirahat

Jika seseorang harus bekerja berat dengan mengkonsumsi energi rata-rata sebesar 5,2

Kcal/menit, ia akan menumpuk kelelahan sampai akhirnya harus berhenti dan

memerlukan istirahat selama beberapa waktu. Untuk mengestimasi jumlah waktu

istirahat yang diperlukan dapat dipakai formula sebagaimana ditampilkan pada

Persamaan 2.5 (Wignjosoebroto, 2003) :

T (K – S)

R = --------------- (menit) (2.5)

K – 1,5

dalam hal ini :

R = waktu istirahat yang diperlukan (menit)

T = total waktu yang dipergunakan untuk kerja (menit)

K = rata-rata energi yang dikonsumsikan untuk kerja (Kcal/menit)

S = standart beban kerja normal yang diaplikasikan (Kcal/menit)

Murrel (1965) memberikan formula yang berbeda untuk menghitung waktu yang

dibutuhkan untuk istirahat, sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan 2.6 :

R = (W – 5,33)/(W – 1,33) (2.6)

dalam hal ini :

R = waktu yang dibutuhkan untuk istirahat, dinyatakan dalam persen

dari total waktu

W = rata-rata energi yang dikeluarkan selama bekerja (Kcal/menit)

Tarwaka et al. (2004) menyebutkan ada empat jenis istirahat yang dilakukan oleh

pekerja selama jam kerja yaitu :

1. Istirahat spontan, yaitu istirahat pendek segera setelah pembebanan kerja.

2. Istirahat curian, terjadi jika beban pekerjaan baik fisik maupun mental lebih

besar dari kemampuan kerja.

Page 40: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

55

3. Istirahat karena proses kerja, ditimbulkan oleh sistem bekerjanya mesin-

mesin, peralatan atau prosedur kerja.

4. Istirahat yang ditetapkan oleh ketentuan perusahaan dan perundang-

undangan yang berlaku.

Pengaturan jadwal waktu istirahat dilakukan dengan dasar pertimbangan

pemakaian energi yang dikonsumsi untuk bekerja, yang menunjukkan kualifikasi

pekerjaan sebagaimana disajikan pada Tabel 2.13.

Tabel 2.13.Waktu Istirahat Berdasarkan Kualifikasi Pekerjaan (Wignjosoebroto, 2003)

Kualifikasi Pekerjaan Istirahat Yang Diperlukan

Ringan/moderat 10 – 15 menit pada pagi atau siang hari di

luar jadwal makan siang

Kerja fisik biasa 15% dari total waktu kerja

Kerja fisik berat 30% dari total waktu kerja

Kegiatan-kegiatan yang dikualifikasikan ringan/moderat memerlukan waktu

istirahat sekitar 10 – 15 menit yang dijadwalkan pada pagi atau siang hari di luar jadwal

istirahat makan siang. Istirahat diperlukan untuk memulihkan kesegaran fisik ataupun

mental pekerja. Untuk kerja fisik biasa jumlah total waktu yang diperlukan untuk

istirahat rata-rata 15% dari total waktu kerja. Untuk kerja fisik berat/kasar, prosentase

waktu istirahat yang diperlukan bisa mencapai 30% (Wignjosoebroto, 2003).

Gambar 2.13. Pengaturan Jadwal Istirahat

dalam Satu Periode Hari Kerja (Wignjosoebroto, 2003)

Page 41: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

56

Pengaturan jadwal kerja 8 jam/hari sudah merupakan hasil yang optimal.

Namun demikian pemberian waktu istirahat masih diperlukan dan bisa disisipkan di

antara kurun waktu 8 jam tersebut, sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 2.13. Dari

Gambar 2.13 terlihat bahwa dengan pengaturan jadwal istirahat yang lebih sering

(Gambar 2.13.b) dibandingkan dengan jadwal istirahat yang jarang (Gambar 2.13.a)

akan dihasilkan total produktivitas rata-rata yang lebih konstan. Dalam penelitian ini

total produktivitas meningkat hingga 11% (Wignjosoebroto, 2003).

Beberapa penelitian membuktikan bahwa pengaturan waktu kerja yang diselingi

dengan beberapa kali waktu istirahat akan menaikkan efisiensi pekerja. Sebagai contoh,

pengurangan waktu kerja dari 8,75 jam/hari menjadi 8 jam/hari menghasilkan pening-

katan prestasi 3% hingga 10% (Wignjosoebroto, 2003).

2.4. Ergonomi

Ergonomi adalah disiplin ilmu yang menempatkan manusia sebagai pusat perhatian

dalam sistem kerja. Metoda kerja dengan pendekatan ergonomi bertujuan untuk

mewujudkan efektivitas, efisiensi, keamanan/keselamatan, kesehatan dan kenyamanan

kerja. Pada skala yang lebih luas, dengan penerapan ergonomi akan dicapai produk-

tivitas yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang lebih baik.

2.4.1. Definisi dan Tujuan Ergonomi

Ergonomi berasal dari bahasa Yunani ergon yang berarti kerja dan nomos yang berarti

aturan, jadi ergonomi adalah norma dalam sistem kerja (Oborne, 1987; Tayyari F. and

Smith J., 1997). Ergonomi dapat dipahami sebagai “suatu ilmu, seni dan teknologi yang

berupaya untuk menyerasikan alat, cara dan lingkungan kerja terhadap kemampuan,

kebolehan dan segala keterbatasan manusia, sehingga manusia dapat berkarya secara

optimal tanpa pengaruh buruk dari pekerjaannya” (Tarwaka et al., 2004). Disiplin

ergonomi secara khusus mempelajari keterbatasan kemampuan manusia dalam

berinteraksi dengan teknologi dan produk-produk buatannya (Wignjosoebroto, 2003).

Istilah ergonomi biasa dipergunakan di Eropa, sedangkan di Amerika lebih umum

digunakan istilah Human Factors Engineering.

International Ergonomic Association (IEA) yang berdiri pada tahun 1959

mendefinisikan ergonomi sebagai berikut :

Page 42: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

57

”Ergonomics is the study of the anatomical, physiological, and

psychological aspects of human in working environment. It is concerned

with optimizing the efficiency, health, safety and comfort of the people at

work,at home and at play. This generally require the study of system in

wich human, machine and the environment interact, with the aim of fitting

the task to the humans”

Beberapa definisi lain dari ergonomi yang berhubungan dengan aktivitas hidup

manusia, tugas, pekerjaan, dan desain diberikan oleh banyak ahli, sebagai berikut :

“Ergonomics is the aplication of scientific information about human being

(and scientific methods of acquiring such information) to the problem

design” (Pheasant, 1988)

“Ergonomics is the study of human abilities and characteristics which

affect the design of equipment, system and job” (Corlett and Clark, 1995)

“Ergonomics is the ability to apply information regarding human

characters, capacities, and limitation to the design of human task,

machine system, living spaces, and environment so that people can live,

work and play safely, comfortably and efficiently” (Annis and

McConville, 1996).

“Ergonomic design is the application of human factors, information to the

design of tools, machines systems, tasks, jobs and environments for

productive, safe, comfortable and effective human functioning” (Manuaba,

1998)

“Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk

menyerasikan atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang

digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan

dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehingga kualitas

hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik”(Tarwaka et al., 2004)

Adapun yang dimaksud dengan kualitas hidup menurut ILO (International Labour

Organisation) adalah :

1. Pekerjaan harus memperhatikan kehidupan dan keselamatan pekerja.

2. Pekerjaan harus memberikan waktu bebas kepada pekerja untuk beristirahat

dan berekreasi.

3. Pekerjaan harus memungkinkan pekerja menjalankan kehidupan sosial dan

mencapai kepuasan dengan pengembangan potensi diri.

Tayyari and Smith (1997) dan Wignjosoebroto (2003) menyatakan bahwa tujuan

pendekatan disiplin ergonomi adalah upaya untuk memperbaiki kinerja manusia

mencakup :

Page 43: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

58

1. Menambah kecepatan kerja.

2. Meningkatkan ketelitian kerja.

3. Memperbaiki keselamatan dan kesehatan kerja.

4. Mengurangi energi kerja yang berlebihan.

5. Mengurangi munculnya kelelahan yang terlalu cepat.

Ergonomi mempelajari akibat-akibat jasmani, kejiwaan, dan sosial dari

teknologi dan pekerjaan terhadap manusia. Oleh karena itu Human Factor Engineering

(Ergonomi) adalah ilmu yang bersifat multidisiplin, didukung oleh ilmu sosial

(psychology), ilmu terapan (engineering), dan ilmu kehayatan (biology/ medicine).

Landasan dan keterkaitan ilmu ergonomi dengan ilmu-ilmu yang lain ditampilkan pada

Gambar 2.14 (Phillips, 2000).

Gambar 2.14. Landasan Ilmu Ergonomi (Phillips,2000)

Page 44: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

59

2.4.2. Konsep Dasar Ergonomi

Phillips (2000) mengatakan bahwa ergonomi didasarkan pada konsep sistem manusia -

teknologi, yang berinteraksi dengan lingkungan dan tugas/pekerjaan, sebagaimana

ditampilkan pada Gambar 2.15.

Gambar 2.15. Interaksi Sistem Manusia – Teknologi Dengan

Lingkungan dan Pekerjaan (Phillips, 2000)

Adapun menurut Tarwaka et al. (2004) dan Manuaba (2000) konsep dasar

ergonomi adalah tercapainya keseimbangan antara tuntutan kerja dengan kapasitas

kerja, sehingga tercapai kinerja yang tinggi (Gambar 2.16).

Gambar 2.16 Konsep Dasar dalam Ergonomi (Manuaba, 2000)

Page 45: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

60

Tuntutan pekerjaan tidak boleh terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh

terlalu berlebihan (overload), karena keduanya akan menyebabkan stress. Tuntutan

pekerjaan yang terlalu rendah akan menyebabkan pekerja bosan, sehingga produktivitas

akan menurun. Sebaliknya, tuntutan tugas yang terlalu berlebihan dan melampaui

kapasitas kerja tidak akan mampu dilaksanakan oleh seorang pekerja dengan optimal.

Tuntutan Kerja tergantung pada (Tarwaka et al., 2004) :

a. Karakteristik material : berbahaya atau aman, mudah atau sulit dikerjakan.

b. Karakteristik pekerjaan dan tempat kerja, antara lain berkaitan dengan

peralatan, mesin, kecepatan.

c. Karakteristik lingkungan, mencakup suhu, kebisingan, penerangan, sosio-

budaya, norma.

d. Karakteristik organisasi, seperti halnya pengaturan jam kerja dan istirahat,

cuti dan libur, manajemen.

Kapasitas Kerja dipengaruhi oleh (Tarwaka et al., 2004) :

a. Kapasitas personal, mencakup usia, jenis kelamin, antropometri, kesehatan,

pendidikan, pengalaman, status sosial.

b. Kapasitas psikologis, yaitu ketahanan mental, kemampuan adaptasi,

stabilitas emosi.

c. Kapasitas biomekanik, berkaitan dengan kekuatan sendi, tendon, tulang.

d. Kapasitas fisiologis, meliputi kemampuan kardio vaskuler, syaraf otot,

panca indera.

Kinerja seseorang tergantung pada rasio antara besarnya tuntutan kerja dan

kapasitas kerja. Bila tuntutan kerja terlalu besar dibanding kapasitas kerja, maka

kinerja yang muncul adalah ketidak nyamanan, tekanan berlebih, kelelahan,

kecelakaan, penyakit, luka, dan produktivitas rendah. Sebaliknya, jika tuntutan tugas

terlalu rendah dibanding kapasitas kerja, maka kinerja yang muncul adalah kebosanan,

kejemuan, lesu, sakit, dan tidak produktif. Kinerja yang maksimal akan tercapai jika

terjadi keseimbangan dinamis antara tuntutan kerja dan kapasitas kerja.

2.4.3. Anthropometri

Anthropometri adalah bagian dari disiplin Ergonomi yang berkaitan dengan dimensi

tubuh manusia. Anthropometri menganalisa, mengevaluasi, dan membakukan jarak

Page 46: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

61

jangkau yang memungkinkan bagi rata-rata orang untuk melaksanakan kegiatannya

dengan mudah dan dengan gerakan-gerakan yang sederhana (Wignjosoebroto, 2003).

Hasil pengukuran terhadap sejumlah tenaga kerja laki-laki (usia rata-rata 31 tahun) dan

perempuan (usia rata-rata 30 tahun) yang dilakukan oleh Pusat Bina Higiene

Perusahaan dan Kesehatan Kerja memberikan hasil bahwa tinggi rata-rata laki-laki

adalah 163,2 cm dan tinggi rata-rata perempuan adalah 156,3 cm (Suma‟mur, 1989).

Adapun tinggi rata-rata laki-laki Amerika adalah 178 cm dan tinggi rata-rata

perempuan Amerika adalah 162,5 cm (Sanders and McCormick, 1987) dalam

Wignjosoebroto (2003).

Pemahaman mengenai anthropometri juga diperlukan untuk mengetahui jarak

jangkauan normal dan jarak jangkauan maksimal yang bisa dilakukan oleh seseorang.

Dimensi-dimensi pada Gambar 2.17 diberikan oleh Barnes (1963) yang dikutip oleh

McCormick (1979), berdasarkan penelitian pada 30 orang. Data ini adalah untuk

ukuran orang Amerika, adapun untuk ukuran orang Asia (Indonesia) sejauh ini belum

diperoleh data yang memadai. Namun demikian dari perbandingan tinggi tubuh antara

orang Amerika dengan orang Asia, dapat didekati angka-angka yang bisa diterima,

dengan asumsi ukuran anggota badan proporsional terhadap tinggi badan.

Gambar 2.17. Jarak Jangkauan Normal dan Maksimum Untuk Bekerja

(McCormick, 1979)

Page 47: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

62

2.4.4. Peralatan Kerja

Peralatan kerja adalah ‟perpanjangan‟ tangan pekerja untuk menyelesaikan suatu

pekerjaan. Peralatan kerja mempengaruhi kinerja, yang akan membuat pekerjaan dapat

diselesaikan secara efisien, sulit, atau bahkan tidak mungkin dilakukan. Peralatan kerja

juga dapat menimbulkan bahaya atau cedera jika tidak didesain dengan memperhatikan

aspek anthropometri dan ergonomi (Tayyari and Smith, 1997).

Salah satu aspek penting dalam desain peralatan kerja adalah kekuatan genggam

(grip strength) dan ketahanan (lama waktu pakai) orang mempergunakan peralatan

tersebut (endurance). Genggaman jari-jari tangan secara normal akan membuat bentuk

ellips dan membentuk sudut terhadap sumbu tangan sebagaimana ditunjukkan pada

Gambar 2.18 (a). Genggaman seperti ini memberikan kekuatan dan ketahanan yang

lebih baik daripada genggaman yang membentuk sudut tegak lurus terhadap sumbu

tangan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.18 (b).

Gambar 2.18. (a) Genggaman Normal, (b) Genggaman Abnormal

(Tayyari and Smith, 1997)

Hasil penelitian Swanson et al. (1970) dalam Tayyari and Smith (1997)

menunjukkan bahwa kekuatan genggam dan ketahanan pakai optimum diperoleh pada

pegangan alat berdiameter 3,8 cm – 6,3 cm. Pegangan alat yang terlalu besar atau

terlalu kecil akan menurunkan kekuatan genggam dan ketahanan pakai. Kekuatan

genggam dan ketahanan pakai tertinggi dicapai pada usia sekitar 20 tahun untuk pria

dan beberapa tahun lebih muda untuk wanita. Pemakaian sarung tangan yang sesuai

akan meningkatkan kekuatan genggam dan juga ketahanan pakai peralatan.

Tayyari and Smith (1997) menyebutkan bahwa pada awal tahun 1970 John

Bennet memperkenalkan desain pegangan peralatan yang membentuk sudut sebesar 19o

terhadap sumbu tangan. Sudut sebesar 19o akan membuat pergelangan tangan tetap

Page 48: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

63

lurus, sehinga pemakai alat dapat melakukan genggaman secara normal sebagaimana

diperlihatkan pada Gambar 2.18 (a). Sudut sebesar 19o ini merupakan sudut yang

dibentuk oleh jari telunjuk dan ibu jari, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.19.

Gambar 2.19. Sudut Antara Jari Telunjuk Gambar 2.20. Pegangan Alat Dengan

dan Ibu Jari (Tayyari and Smith, 1997) BioCurve (Tayyari and Smith, 1997)

Bennet telah mempatenkan desain ini, dan menamakannya desain BioCurve.

Dengan pegangan berbentuk BioCurve, jari tengah akan mengunci pada sudut 19o dan

jari-jari yang lain akan memperkuat genggaman pada pegangan alat sebagaimana

ditunjukkan pada Gambar 2.20 (Tayyari and Smith, 1997). Desain BioCurve juga

membuat pergelangan tangan tetap lurus. Menurut Tichauer (1975), membengkokkan

pergelangan tangan pada arah ulnar (ke luar) ataupun radial (ke dalam) akan

mengurangi kemampuan pergelangan tangan untuk berputar sebesar 50%.

2.4.5. Posisi Tubuh Dalam Kerja

Posisi tubuh dalam bekerja ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakukan. Untuk

pekerjaan di kantor (industri jasa) dan di pabrik (industri manufaktur) posisi tersebut

pada umumnya adalah:

1) Duduk.

2) Berdiri.

3) Duduk-berdiri.

Adapun untuk pekerjaan-pekerjaan di lapangan, termasuk pada proyek konstruksi,

posisi tubuh dalam bekerja bisa beraneka ragam, tidak hanya duduk dan berdiri, tetapi

juga membungkuk dan berjongkok.

1) Posisi Duduk

Grandjean (1993) berpendapat bahwa bekerja dengan posisi duduk mempunyai dua

keuntungan yaitu mengurangi pembebanan pada kaki serta mengurangi pemakaian

Page 49: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

64

energi untuk sirkulasi darah. Namun demikian kerja dengan sikap duduk terlalu lama

dapat menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang melengkung sehingga

cepat lelah (Tarwaka et al., 2004). Pada posisi duduk, otot rangka (musculoskeletal)

dan tulang belakang (vertebra) terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh

sandaran kursi agar terhindar dari nyeri pinggang (back pain). Menurut Nurmianto

(1998) yang dikutip Santoso (2004), tekanan pada tulang belakang akan meningkat

menjadi 140% bila duduk dalam sikap tegang dan kaku, dan 190% bila duduk

dilakukan dengan membungkuk ke depan. Gambar 2.21 menunjukkan posisi duduk

yang benar untuk bekerja.

Gambar 2.21. Posisi Duduk Yang Benar (Tayyari and Smith, 1997)

Clark (1996) menyatakan bahwa posisi duduk mempunyai derajad stabilitas

tubuh yang tinggi, mengurangi kelelahan dan keluhan subjektif bila bekerja lebih dari 2

jam. Di samping itu pekerja juga dapat mengendalikan kaki untuk melakukan gerakan.

Tempat duduk yang dipakai harus memungkinkan perubahan posisi. Fleksi lutut

membentuk sudut 90o dengan telapak kaki bertumpu pada lantai atau injakan kaki

(Pheasant, 1988; Tayyari and Smith, 1997). Jika landasan terlalu rendah, tulang

belakang akan membungkuk ke depan, dan jika terlalu tinggi bahu akan terangkat dari

posisi rileks, sehingga menyebabkan bahu dan leher menjadi tidak nyaman.

2) Posisi Berdiri

Menurut Sutalaksana (2000) yang dikutip Tarwaka et al. (2004), sikap berdiri

merupakan sikap siaga baik fisik maupun mental, sehingga aktivitas kerja yang

Page 50: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

65

dilakukan lebih cepat, kuat, dan teliti. Namun posisi kerja berdiri lebih melelahkan dari

pada duduk, dan energi yang dikeluarkan untuk berdiri lebih banyak 10% - 15%

dibandingkan duduk. Untuk meminimalkan kelelahan, pekerjaan harus didesain agar

tidak terlalu banyak menjangkau, membungkuk, atau melakukan gerakan dengan posisi

kepala yang tidak alamiah.

(a) (b) (c)

Gambar 2.22. Tinggi Landasan Kerja Pada Posisi Berdiri

(a) pekerjaan memerlukan penekanan kuat

(b) pekerjaan memerlukan ketelitian, (c) pekerjaan ringan (Tarwaka et al., 2004)

Manuaba and Vanwonterghem (1996), Sanders and McCormick (1993), Grandjean

(1993) dan Tarwaka et al. (2004) memberikan rekomendasi ergonomi untuk tinggi

landasan kerja pada posisi berdiri didasarkan pada tinggi siku sebagaimana

diperlihatkan pada Gambar 2.22 dengan penjelasan sebagai berikut :

(a) Untuk pekerjaan yang memerlukan penekanan kuat, tinggi landasan kerja

adalah 15 cm – 40 cm di bawah tinggi siku berdiri.

(b) Untuk pekerjaan yang memerlukan ketelitian, tinggi landasan kerja adalah 5

cm – 10 cm di atas tinggi siku berdiri, dengan maksud untuk mengurangi

pembebanan statis pada otot bagian belakang.

Page 51: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

66

(c) Untuk pekerjaan ringan, tinggi landasan kerja adalah 10 cm – 15 cm di

bawah tinggi siku berdiri.

Bekerja dengan posisi berdiri dapat menyebabkan terjadinya penumpukan darah

dan berbagai cairan tubuh pada kaki, dan hal ini akan bertambah jika pekerja tidak

menggunakan sepatu/alas kaki yang bentuk dan ukurannya sesuai (Santoso, 2004). Alas

kaki yang lunak akan mengurangi kelelahan otot kaki akibat tekanan berat tubuh.

3) Posisi Duduk-Berdiri

Das (1991) dan Pulat (1992) dikutip oleh Tarwaka et al., (2004) menyatakan bahwa

posisi duduk-berdiri adalah posisi terbaik untuk bekerja. Posisi duduk-berdiri

memungkinkan pekerja berganti posisi untuk mengurangi kelelahan otot karena sikap

paksa dalam satu posisi kerja. Tinggi landasan kerja dengan kisaran antara 90 cm – 120

cm adalah ketinggian yang paling tepat. Stasiun kerja untuk sikap kerja dinamis (duduk

- berdiri) diilustrasikan pada Gambar 2.23.

Gambar 2.23. Posisi Kerja Dinamis (Duduk-Berdiri)

(Tarwaka et al., 2004)

Menurut Helander (1995) dikutip oleh Tarwaka et al. (2004), posisi duduk-

berdiri mempunyai keuntungan secara biomekanis, di mana tekanan pada tulang

belakang dan pinggang 30% lebih rendah dibandingkan dengan posisi duduk maupun

berdiri terus-menerus.

4) Posisi Jongkok dan Membungkuk

Posisi kerja jongkok dan membungkuk adalah posisi yang tidak alamiah, dan akan

menimbulkan kelelahan yang tinggi karena beban statis yang ditimbulkan oleh posisi

tidak alamiah tersebut. Kerja yang dilakukan dengan posisi badan membungkuk tanpa

penunjang badan akan mengkonsumsi energi fisik sebesar 3 Kcal/menit. Adapun kerja

Page 52: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

67

dengan posisi jongkok ataupun menekuk lutut dengan berat badan sebagian ditunjang

oleh satu tangan memerlukan energi yang lebih kecil, yaitu 2 Kcal/menit (McCormick,

1979; Wignjosoebroto, 2003). Energi yang diperlukan untuk bekerja dengan posisi

tubuh membungkuk dan jongkok ditunjukkan pada Gambar 2.24.

Gambar 2.24. Energi Yang Diperlukan Pada Posisi Kerja Membungkuk

dan Jongkok (McCormick, 1979)

2.4.6. Mengangkat Beban

Pada pekerjaan membawa beban, posisi beban terhadap tubuh akan menentukan

besarnya kalori yang dibutuhkan. Kebutuhan kalori terkecil diperoleh jika beban

diletakkan pada posisi paling dekat dengan titik berat tubuh. Pada Gambar 2.25

diperlihatkan beberapa cara membawa beban serta besarnya kalori yang dibutuhkan

untuk tiap-tiap posisi beban.

(a) (b) (c) (d)

100% 105% 130% 145%

Gambar 2.25 Cara Membawa Beban dan Besar Kalori yang Dibutuhkan

(Wignjosoebroto, 2003)

Page 53: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

68

Pada cara (a) beban diletakkan menempel pada dada dan bahu, dimana cara ini

membutuhkan energi yang terkecil. Dengan mengambil cara (a) sebagai referensi dan

diberi nilai 100%, maka kebutuhan kalori pada cara (b), (c), dan (d) masing-masing

adalah 105%, 130%, dan 145%.

McCormick (1979) menyatakan bahwa kebutuhan energi dan efisiensi

pemakaian energi pengangkatan beban pada berbagai ketinggian adalah berbeda-beda

sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.26.

Gambar 2.26 Energi Yang Dikeluarkan Pada Pengangkatan Beban

(McCormick, 1979)

Energi untuk mengangkat beban dari ketinggian 1 meter menuju ketinggian 1,5

meter adalah paling kecil jika dibandingkan dengan mengangkat beban yang sama dari

lantai menuju ketinggian 0,5 meter, dari ketinggian 0,5 meter menuju ketinggian 1

meter, dan dari ketinggian 1,5 meter menuju ketinggian 2,0 meter (McCormick, 1979;

Oborne, 1987). Adapun energi yang dikeluarkan untuk mengangkat beban dari lantai

(0 m) menuju ketinggian 0,5 meter adalah dua kali lebih besar dari energi yang

dibutuhkan untuk mengangkat beban yang sama dari ketinggian 0,5 meter menuju

ketinggian 1,0 meter. Hal ini disebabkan besarnya energi yang harus dikeluarkan untuk

membungkuk dan menegakkan badan kembali.

Posisi tubuh pada saat mengangkat beban juga menentukan jenis otot yang

bekerja serta cedera yang mungkin terjadi (Oborne, 1987). Pada Gambar 2.27 ditun-

Page 54: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

69

jukkan tiga cara mengangkat beban. Pada gambar (a) dari posisi jongkok beban

diangkat dengan mengangkat kedua paha. Pada gambar (b) dari posisi jongkok

punggung diangkat terlebih dahulu baru beban diangkat. Pada gambar (c) beban

diangkat dari posisi berdiri dengan cara membungkukkan punggung.

Pada cara (a) otot yang paling banyak bekerja adalah otot paha, pada cara (b)

otot paha dan otot punggung bekerja bersama-sama, sedangkan pada cara (c) beban

sepenuhnya ditopang oleh otot punggung.

(a) (b) (c)

Gambar 2.27 Cara-cara Mengangkat Beban (Oborne, 1987)

Cara mengangkat beban yang salah akan mengakibatkan terjadinya nyeri pada

ruas tulang belakang. Bila seseorang mengangkat beban sambil membungkuk, tekanan

yang besar terjadi pada bagian pinggang sebagai akibat terjadinya gaya pengungkit

(Suma‟mur, 1989). Pada aktivitas mengangkat dan mengangkut sebaiknya beban

ditempatkan sedekat mungkin pada garis vertikal gravitasi tubuh. Dengan demikian

tidak terjadi gaya momen pada tubuh serta dapat dihindari aktivitas otot statis yang

tidak perlu.

Salah Benar

Gambar 2.28. Cara Mengangkat Beban dan Pengaruhnya Pada

Penekanan Tulang Belakang (Suma‟mur, 1989)

Page 55: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

70

Beban pada tulang belakang bertambah dari atas ke bawah, dan beban terbesar

terjadi pada ruas-ruas tulang pinggang. Cara mengangkat beban dengan posisi

punggung miring akan menimbulkan tekanan berat pada ruas-ruas tulang belakang,

yang akan mengakibatkan nyeri tulang belakang (back pain). Pengaruh tekanan pada

ruas tulang belakang karena mengangkat beban diilustrasikan pada Gambar 2.28.

Mengangkut dengan memakai gendongan sangat baik. Adapun mengangkut

dengan beban di atas punggung kurang baik karena terjadi kontraksi statis pada otot

perut. Menjinjing beban yang relatif ringan di tangan kanan dan kiri lebih baik dari

pada menjinjing satu beban berat dengan satu tangan. Menjinjing beban berat di kedua

tangan tidak dianjurkan karena akan membuat otot-otot bahu dan lengan atas teregang.

Berat beban yang masih diijinkan untuk pengangkutan secara terus menerus adalah 15 -

18 kg untuk laki-laki dewasa dan 10 kg untuk perempuan dewasa (Suma‟mur, 1989).

2.4.7. Lingkungan Kerja

Pada lingkungan yang panas, misalnya bekerja di bawah paparan terik matahari,

pekerja akan cepat merasa lelah, pengeluaran keringat meningkat, dan denyut jantung

lebih cepat. Paparan panas matahari membuat beban kerja yang diterima pekerja lebih

berat. Selain itu, paparan panas bisa menyebabkan dehidrasi, yaitu kondisi kehilangan

cairan tubuh yang berlebihan akibat penggantian cairan yang tidak cukup. Pada

kehilangan cairan tubuh kurang dari 1,5% gejalanya belum tampak, tetapi kelelahan

muncul lebih awal dan mulut mulai kering. Paparan panas matahari juga bisa

mengakibatkan heat syncope, yang disebabkan aliran darah ke otak tidak cukup karena

sebagian besar aliran darah dibawa ke permukaan kulit atau perifer (Tarwaka et al.,

2004).

Pekerja di lingkungan panas akan beraklimatisasi untuk mengurangi reaksi

tubuh terhadap panas (heat strain). Proses aklimatisasi menyebabkan denyut jantung

lebih rendah dan laju pengeluaran keringat meningkat. Pekerja akan banyak berhenti

dan mengambil waktu istirahat. Pekerja yang belum beraklimatisasi juga bisa

mengalami heat exhaustion, yaitu kondisi ketika tubuh kehilangan terlalu banyak cairan

dan atau kehilangan garam natrium dari tubuh. Gejalanya adalah mulut kering, sangat

haus, lemah, dan merasa kelelahan.

Grandjean (1993) memberikan batas toleransi suhu tinggi untuk bekerja adalah

35oC – 40

oC. Selama pekerja bekerja dalam lingkungan yang panas, tubuh melakukan

Page 56: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

71

metabolisme untuk menyeimbangkan antara panas yang diterima dari luar tubuh

dengan kehilangan panas dari dalam tubuh. Keluarnya keringat adalah proses meta-

bolisme tubuh untuk menurunkan suhu tubuh akibat paparan panas dari luar.

Dari penelitian yang sudah dilakukan, diperoleh hasil bahwa produktivitas kerja

manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur 24oC – 27

oC

(Wignjosoebroto, 2003). Pada suhu sekitar 30oC aktivitas mental dan daya tangkap

mulai menurun dan orang cenderung membuat kesalahan dalam pekerjaan, serta timbul

kelelahan fisik. Menurut hasil penelitian Priatna (1990) yang dikutip Tarwaka et al.

(2004), pekerja yang bekerja selama 8 jam/hari berturut-turut selama 6 minggu pada

ruangan dengan Indeks Suhu Basah Bola (ISBB) antara 32,02oC – 33,01

oC mengalami

penurunan berat badan sebesar 4,23%. Menurut Wignjosoebroto (2003) pada suhu

49oC orang dapat bertahan selama 1 jam, tetapi jauh di atas kemampuan fisik dan

mental. Udara panas juga akan menurunkan kecepatan kerja (Tarwaka et al., 2004).

2.4.8. Prinsip Penerapan Ergonomi

Beberapa pokok kesimpulan mengenai disiplin ergonomi adalah sebagai berikut

(Wignjosoebroto, 2003) :

1) Ergonomi berkaitan erat dengan aspek-aspek manusia di dalam peren-

canaan man-made object dan lingkungan kerja. Pendekatan ergonomi

ditekankan pada keterbatasan kemampuan manusia, baik secara fisik

maupun mental. Rancangan lingkungan kerja yang ergonomis akan

meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja.

2) Pendekatan ergonomis ditujukan untuk memperbaiki performance kerja

manusia (menambah kecepatan kerja, kecermatan, keselamatan, dan

mengurangi energi yang berlebihan dan kelelahan yang terlalu cepat).

3) Pendekatan ergonomi adalah aplikasi sistematis segala informasi yang

berkaitan dengan karakteristik dan perilaku manusia pada perancangan

peralatan, fasilitas, dan lingkungan kerja. Dengan demikian analisis

ergonomi akan meliputi hal-hal yang berkaitan dengan :

(1) Anatomi, fisiologi, dan anthropometri tubuh manusia.

(2) Psikologi dan fisiologi mengenai fungsi otak dan sistem syaraf yang

berperan dalam tingkah laku manusia.

Page 57: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

72

(3) Kondisi-kondisi kerja yang dapat mencederai baik dalam waktu

pendek maupun panjang ataupun membuat celaka manusia.

Untuk menghindari sikap dan posisi kerja yang tidak nyaman, maka perlu

dipertimbangkan aspek-aspek ergonomi. Menurut Grandjean (1998) beberapa petunjuk

ergonomis untuk meminimalkan beban adalah:

1) Menghindari sikap kerja yang tidak alamiah, misalnya posisi badan

membungkuk, berjongkok, kepala menoleh ke samping atau menengadah

dalam waktu yang lama.

2) Menghindari tangan atau lengan terlalu lama pada posisi ke depan, ke

samping, atau ke atas melebihi tinggi bahu.

3) Membatasi bekerja pada posisi duduk dengan kaki menggantung.

4) Membatasi gerakan statis dengan satu tangan/lengan yang menimbulkan

beban otot.

5) Posisi kerja diatur dalam jarak jangkauan normal (prinsip ekonomi gerakan).

2.5. Method Productivity Delay Model (MPDM)

Method Productivity Delay Model (MPDM) adalah salah satu metode untuk mengukur

waktu kerja. Metode ini merupakan modifikasi dari metode time and motion study

(studi gerak dan waktu) yang banyak dipakai untuk mengukur waktu standar.

2.5.1. Konsep Dasar

Method Productivity Delay Model (MPDM) merupakan modifikasi dari konsep studi

gerak dan waktu konvensional (Halpin and Riggs, 1992). Metoda ini menggabungkan

berbagai elemen yang terdapat dalam teknik-teknik yang lain seperti work samping,

production function analysis, statistical analysis, time study, dan balancing models.

MPDM mengambil data sampel secara menerus dari suatu siklus produksi

pekerjaan konstruksi, dan mencatat jumlah serta jenis penundaan (delay) yang terjadi.

Dari data ini, dilakukan perhitungan untuk mengetahui efisiensi pelaksanaan pekerjaan

dengan menampilkan efek penundaan yang terjadi terhadap produktivitas pekerjaan

yang diukur. Berdasarkan informasi ini, produktivitas dapat diperbaiki dengan

mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menghilangkan penundaan yang terjadi.

Penundaan (delay) yang terjadi dibedakan menjadi 5 macam, yaitu yang berkaitan

dengan lingkungan (environment), peralatan (equipment), tenaga kerja (labor), bahan

Page 58: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

73

baku (material), dan manajemen pelaksanaan (management). Pengamatan atas

terjadinya penundaan dilakukan dengan kamera video, dimulai dari saat awal hingga

akhir siklus pekerjaan.

MPDM dilaksanakan melalui lima tahap yaitu :

1. Pengumpulan data di lapangan dengan mengamati pekerjaan yang diteliti

produktivitasnya.

2. Pengolahan/pemrosesan data dengan perhitungan aritmatik.

3. Penyusunan model produktivitas ideal, produktivitas keseluruhan (rata-rata).

4. Penentuan indikator metoda untuk mengetahui variabilitas hasil

pengukuran.

5. Implementasi hasil MPDM.

Tahap pelaksanaan MPDM ditunjukkan pada bagan Gambar 2.29.

Gambar 2.29. Tahapan MPDM

(Halpin and Riggs, 1992)

Page 59: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

74

2.5.2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik Production Cycle Delay Sampling (PCDS),

yang merupakan gabungan dari metoda studi waktu baku dengan stop watch dan work

sampling (Halpin and Riggs, 1992). Sebagaimana metoda stop watch, PCDS mendoku-

mentasikan waktu nyata yang dibutuhkan dalam satu siklus produksi, dan sebagaimana

metoda work sampling, pengamatan dilakukan pada berbagai penggal waktu selama

pekerjaan dilaksanakan. Pengamatan mencakup siklus yang mengalami penundaan

maupun yang tidak mengalami penundaan.

Pada tahap pengumpulan data terdapat tiga konsep dasar MPDM, yaitu :

1) Unit produksi.

2) Siklus produksi.

3) Sumber daya utama.

1) Unit produksi : adalah satuan pekerjaan (work descriptive) yang dapat dengan

mudah diukur secara visual. Penentuan unit produksi penting karena akan

menentukan detail yang digunakan untuk mengukur produktivitas. Konsekuensi

penentuan unit produksi yang terlalu kecil atau terlalu besar akan terkait dengan

elemen-elemen lain dalam model pengukuran.

2) Siklus produksi : adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan satu unit

produksi. Siklus produksi harus merupakan entitas yang dapat diukur dan

merepresentasikan produktivitas unit produksi yang diukur. Penentuan unit

produksi dan siklus produksi sangat berkaitan dengan pengalaman individual

pengamat dengan metoda produktivitas yang dimodelkan.

3) Sumberdaya utama : adalah sumber daya paling pokok yang digunakan pada

metoda konstruksi. Sumber daya ini mempengaruhi produktivitas, yaitu jika sumber

daya ini diganti atau diubah jumlahnya, maka akan mengubah produktivitas

pekerjaan yang berkaitan dengannya.

Ada dua cara untuk mengukur besarnya waktu penundaan (delay times) dengan

PCDS. Metoda yang pertama adalah dengan mencatat lama waktu penundaan untuk

masing-masing jenis penundaan dalam suatu siklus produksi yang juga diukur

waktunya. Metoda yang kedua lebih akurat, yaitu mencatat rata-rata waktu siklus yang

tidak mengalami penundaan, dan mengurangkannya terhadap masing-masing waktu

siklus yang diamati. Nilai yang diperoleh menunjukkan besarnya waktu penundaan.

Page 60: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

75

Jika dalam satu siklus terjadi lebih dari satu tipe penundaan, maka penentuannya adalah

berdasarkan justifikasi pengumpul data. Contoh pencatatan durasi dan jenis penundaan

dalam satu siklus ditampilkan pada Tabel 2.14.

Tabel 2.14. Data Pengamatan MPDM (Halpin and Riggs, 1992)

PENUNDAAN SIKLUS PRODUKSI

Nama : Unit Waktu :

Pekerjaan : Unit Produksi :

Waktu

Penga-

matan

(1)

Waktu

Siklus

Produksi

(detik)

(2)

Penundn

Lingku-

ngan

(detik)

(3)

Penundn

Peraltan

(detik)

(4)

Penundn

Tenaga

Kerja

(detik)

(5)

Penundn

Material

(detik)

(6)

Penundn

Mana-

jemen

(detik)

(7)

Kurang

Rata-

Rata

Waktu

Tanpa

Penundn

(8)

Kete-

rangan

(9)

Keterangan :

Waktu Pengamatan = rentang waktu saat pengamatan dilakukan

Waktu siklus produksi = durasi yang diperlukan untuk menyelesaikan satu

siklus pekerjaan yang diamat.

Penundaan Lingkungan = tertundanya pekerjaan karena kondisi lingkungan

Penundaan Peralatan = tertundanya pekerjaan karena peralatan

Penundaan Tenaga Kerja = tertundanya pekerjaan karena faktor tenaga kerja

Penundaan Material = tertundanya pekerjaan karena masalah material

Penundaan Manajemen = tertundanya pekerjaan disebabkan manajemen

Kurang Rata-rata Waktu Tanpa Penundaan = selisih antara waktu siklus produksi

dengan nilai rata-rata siklus yang tidak mengalami

penundaan

2.5.3. Pemrosesan Data

Data-data pengamatan dimasukkan ke dalam tabel pengolahan data sebagaimana

ditampilkan pada Tabel 2.15. Besaran-besaran yang dihitung adalah siklus produksi

tanpa penundaan (nondelayed production cycle), siklus produksi keseluruhan (overall

production cycle), kejadian (occurences), total tambahan waktu (total added time),

probabilitas kejadian (probability of occurrence), dampak relatif (relative severity), dan

Page 61: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

76

ekspektasi persen penundaan untuk tiap siklus produksi (expected percent delay time

per production cycle).

Tabel 2.15. Pemrosesan MPDM (Halpin and Riggs, 1992)

PEMROSESAN MPDM

Hari/Tgl. : Unit Produksi :

Pekerjaan : Unit Waktu :

Unit

Waktu

Produksi

Total

Jumlah

Siklus

Waktu

Siklus

Rata-Rata

Variasi = ∑|(Wkt

Siklus – Rata-Rata

Wkt Siklus Tanpa

Penundaan)|/N

A) Siklus Produksi

Tanpa Penundaan

B) Siklus Produksi

Keseluruhan

INFORMASI PENUNDAAN

Penundaan

Lingkungan Peralatan Tenaga

Kerja

Material Manajemen

C) Kejadian

D) Total

Tambahan

Waktu

E) Probabilitas

Kejadian *

F) Dampak

Relative **

G) Ekspektasi %

Penundaan

Tiap Siklus

Produksi ***

* Siklus penundaan/jumlah total siklus

** Rata-rata waktu siklus tambahan/rata-rata waktu siklus keseluruhan

= (baris D/baris C)/baris B

*** Baris E x Baris F x 100%

2.5.4. Penyusunan Model

Model produktivitas merupakan persamaan yang menampilkan hubungan produk-

tivitas ideal sebagai fungsi dari berbagai jenis penundaan yang terjadi. Produktivitas

Ideal (ideal productivity) adalah produktivitas yang dapat dicapai jika suatu siklus

pekerjaan tidak mengalami penundaan. Dalam bentuk persamaan, produktivitas ideal

yang dicapai dalam waktu 1 jam dapat ditulis sebagaimana dinyatakan dalam

Persamaan 2.7 (Halpin and Riggs 1992) :

Page 62: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

77

1 jam

Produktivitas Ideal = ------------------------------------------------- x unit produksi (2.7)

Rata-rata waktu siklus tanpa penundaan

Adapun Produktivitas Keseluruhan (overall productivity) adalah produktivitas

yang diperoleh karena adanya penundaan-penundaan dalam pelaksanaan pekerjaan

yang dapat dihitung berdasarkan Persamaan 2.8 berikut :

Produktivitas Keseluruhan = Produktivitas Ideal (1–Een–Eeq–Ela– Emt –Emn) (2.8)

dalam hal ini :

Een = penundaan karena lingkungan

Eeq = penundaan karena peralatan

Ela = penundaan karena tenaga kerja

Emt = penundaan karena material

Emn = penundaan karena manajemen

2.5.5. Indikator Metoda

Analisis selanjutnya dari MPDM adalah penentuan indikator metoda, yaitu variabilitas

metoda produktivitas, yang dipresentasikan melalui variabilitas siklus keseluruhan dan

variabel siklus ideal yang memberikan ukuran variabel dari kedua siklus. Variabilitas

siklus dinyatakan dalam Persamaan 2.9 dan Persamaan 2.10 (Halpin and Rigs, 1992) :

Ukuran Variasi Baris A

Variabilitas Siklus Ideal = --------------------------------------------------- (2.9)

Rata-rata Waktu Siklus Tanpa Penundaan

Ukuran Variasi Baris B

Variabilitas Siklus Keseluruhan = ----------------------------------------------- (2.10)

Rata-rata Waktu Siklus Keseluruhan

Menurut Adrian (1989) dalam Halpin and Riggs (1992), sulit untuk menentukan

batas nilai variabilitas yang dapat diterima secara umum, karena adanya perbedaan

yang beragam dalam metoda konstruksi. Namun demikian nilai variabilitas siklus

keseluruhan yang lebih besar dari 1 harus diartikan bahwa prediksi produktivitas yang

diperoleh harus dipandang dengan hati-hati.

2.5.6. Implementasi Hasil MPDM

Untuk mengimplementasikan MPDM pada prediksi dan perbaikan produktivitas, harus

dilihat apa yang menjadi leading resource dalam pekerjaan yang diamati. Perbaikan

Page 63: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

78

harus dilakukan pada leading resource untuk mengeliminasi penundaan, sebab jika

eliminasi penundaan dilakukan pada supporting resource, maka perbaikan produk-

tivitas yang diharapkan tidak akan terjadi. Setelah dilakukan perbaikan pada leading

resources, maka pengukuran dengan MPDM kembali dilaksanakan untuk menguji

apakah produktivitas mengalami kenaikan atau tidak.

MPDM adalah metoda untuk mengukur, memprediksi, dan memperbaiki

produktivitas. Metoda ini mudah dilaksanakan dan ekonomis oleh karena :

1. Merupakan model analisis produktivitas yang teliti, yang dinyatakan dalam

bentuk fungsi dengan parameter penundaan berbagai sumber daya

2. Mudah diimplementasikan karena sederhana dan tidak membutuhkan

perhitungan statistik yang rumit.

2.5.7. Efisiensi Waktu

Cara yang paling sederhana untuk menghitung efisiensi waktu kerja adalah dengan

membagi waktu baku dengan waktu nyata (Wignjosoebroto, 1992) sebagaimana

dinyatakan dalam Persamaan (2.11). Waktu baku adalah waktu yang seharusnya

diperlukan oleh seorang pekerja untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan, adapun waktu

nyata adalah waktu yang pada kenyataannya diperlukan seorang pekerja untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan.

Waktu Baku (Standard Time)

Efisiensi Waktu = -------------------------------------- (2.11)

Waktu Nyata (Actual Time)

Dalam hal pengukuran produktivitas dengan MPDM, waktu baku adalah waktu

yang diperlukan untuk menyelesaikan satu siklus pekerjaan tanpa penundaan (non-

delay time). Adapun waktu nyata adalah waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan

satu siklus pekerjaan dengan adanya penundaan (delay time). Penundaan-penundaan

yang terjadi dalam pelaksanaan pekerjaan menyebabkan waktu nyata menjadi lebih

panjang dari waktu yang sesungguhnya dibutuhkan, sehingga efisiensi waktu yang

diperoleh menjadi lebih kecil dari satu (< 1). Efisiensi waktu dengan MPDM dinyata-

kan dalam Persamaan 2.12.

Non Delay Time Waktu Siklus Tanpa Penundaan

Efisiensi = ---------------------- = ---------------------------------------- (2.12)

Delay Time Waktu Siklus Rata-rata

Page 64: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

79

Ada 5 faktor penyebab penundaan, yaitu :

1) Faktor lingkungan.

2) Faktor peralatan.

3) Faktor tenaga kerja.

4) Faktor material.

5) Faktor manajemen.

1) Penundaan Karena Faktor Lingkungan

Beberapa faktor yang mempengaruhi lingkungan kerja adalah faktor fisik, faktor kimia,

faktor biologis, dan faktor psikologis (Tarwaka et al., 2004). Pada pekerjaan di bidang

konstruksi, faktor yang paling berpengaruh adalah faktor fisik, yaitu suhu udara,

kebisingan, dan penerangan.

Tarwaka et al. (2004) menyatakan bahwa gangguan kesehatan akibat paparan

suhu lingkungan dengan panas yang berlebihan ada empat macam. Pertama adalah

gangguan perilaku dan performansi kerja, yaitu terjadinya kelelahan sehingga pekerja

sering melakukan istirahat curian. Gangguan ke dua adalah dehidrasi, yaitu kehilangan

cairan tubuh yang berlebihan. Gangguan ke tiga adalah kejang-kejang otot tubuh akibat

keluarnya banyak keringat yang menyebabkan hilangnya garam natrium dari tubuh.

Gangguan ke empat adalah hilangnya kesadaran karena aliran darah ke otak tidak

mencukupi, disebabkan sebagian besar aliran darah dibawa ke permukaan kulit karena

paparan suhu tinggi.

Di negara-negara yang memiliki empat musim, faktor cuaca memberikan

pengaruh besar terhadap efisiensi waktu kerja. Dari penelitian yang dilakukan Thomas

et al. (1999) diperoleh hasil bahwa salju dapat mengakibatkan penurunan efisiensi

hingga 35%, sedangkan udara dingin lebih rendah dari -7o Celcius bisa mengakibatkan

penurunan efisiensi hingga 30%.

Selain suhu, faktor fisik yang bisa mempengaruhi produktivitas pekerja adalah

kebisingan. Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang

bersumber dari alat-alat kerja yang bersifat menganggu pendengaran dan dapat

menurunkan daya dengar (Keputusan Menteri Tenaga Kerja, 1999). Nilai Ambang

Batas (NAB) kebisingan di tempat kerja berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja

No. Kep.51/MEN/1999 yang merupakan pembaharuan dari Surat Edaran Menteri

Page 65: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

80

Tenaga Kerja No. 1/MEN/1978, adalah sebesar 85 dB(A) untuk waktu kerja terus-

menerus tidak lebih dari 8 jam/hari atau 40 jam/minggu.

Menurut Sanders and McCormick (1993), pengaruh kebisingan pada intensitas

yang tinggi (di atas NAB) adalah penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara

maupun bersifat permanen (tuli). Pengaruh kebisingan akan sangat terasa jika jenis

kebisingannya terputus-putus dan sumbernya tidak diketahui. Secara fisiologis,

kebisingan dengan intensitas yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan tekanan

darah dan denyut jantung, peningkatan risiko serangan jantung, dan terjadi gangguan

pencernaan. Adapun pengaruh kebisingan pada intensitas rendah (di bawah NAB)

antara lain stress yang menuju ke arah keadaan cepat marah, sakit kepala, gangguan

tidur, gangguan reaksi psikomotorik, kehilangan konsentrasi, dan penurunan

produktivitas.

Selain suhu dan kebisingan, faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi

produktivitas adalah penerangan. Penerangan yang baik adalah penerangan yang

memungkinkan pekerja melihat obyek-obyek yang dikerjakannya secara jelas, cepat,

dan tanpa upaya-upaya yang tidak perlu (Suma‟mur, 1989). Sanders and McCormick

(1987) menyimpulkan dari hasil penelitiannya pada 15 perusahaan, bahwa penerangan

yang sesuai akan meningkatkan produktivitas antara 4% - 35%.

2) Penundaan Karena Faktor Peralatan

Manajemen peralatan merupakan aspek yang harus diperhatikan dalam pengelolaan

proyek konstruksi. Ketiadaan atau kekurangan peralatan, peralatan yang rusak, dan

peralatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan, akan menyebabkan pekerjaan tertunda

atau terhenti sementara. Jika hal ini terjadi pada peralatan-peralatan kecil, pengaruhnya

tidak begitu terasa, tetapi jika terjadi pada peralatan berat yang memiliki kapasitas

besar, pengaruhnya akan cukup signifikan pada penurunan produktivitas. Manajemen

peralatan tidak saja mengatur tersedianya peralatan pada saat dibutuhkan, tetapi juga

meminimalkan peralatan berat menganggur (idle) di lokasi proyek (Soeharto, 1997).

Ketiadaan peralatan akan menurunkan produktivitas yang mengakibatkan kerugian. Di

sisi lain, menganggurnya peralatan di lokasi proyek juga akan menimbulkan inefisiensi

biaya yang berakibat pada kerugian.

Menurut Soeharto (1997), efektivitas dan efisiensi penggunaan peralatan

terletak pada program pengelolaan dan tingkat disiplin dalam melaksanakan program

Page 66: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

81

tersebut. Adapun di dalam memilih jenis/tipe dan kapasitas peralatan, faktor-faktor

yang harus dikaji adalah :

1. Spesifikasi peralatan.

2. Produktivitas peralatan.

3. Harga pembelian dan biaya perawatan.

4. Umur dan harga jual kembali peralatan.

3) Penundaan Karena Faktor Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan sumber daya yang mahal, dan merupakan faktor produksi

yang memberikan andil besar pada penyelesaian proyek, karena tenaga kerjalah yang

mengatur dan mengontrol material serta peralatan kerja (Karger, 1977). Perhatian

khusus terhadap kecukupan jumlah dan kapasitas kemampuan pekerja harus diberikan

pada pekerjaan-pekerjaan yang penting, memiliki kontribusi besar terhadap produk-

tivitas proyek, dan berkaitan dengan target waktu penyelesaian proyek, yaitu pekerjaan-

pekerjaan yang terdapat pada jalur kritis (critical path). Pekerjaan-pekerjaan pada jalur

kritis adalah pekerjaan-pekerjaan yang pada penjadwalan (schedulling) tidak memiliki

kelonggaran waktu (float), artinya waktu yang tersedia sama besarnya dengan waktu

yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut (Ahuja, 1976; Soeharto,

1997). Jika terjadi penundaan pada pekerjaan-pekerjaan yang memiliki intensitas tinggi

dan tidak memiliki kelonggaran waktu, maka produktivitas akan terganggu secara

signifikan, dan target jadwal penyelesaian proyek akan gagal dicapai.

Ritme kerja pekerja juga dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan karakter

pekerja di suatu daerah, yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Kaming et al. (1997) menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan indeks produktivitas tenaga kerja di tujuh wilayah yang diteliti di Indonesia.

Oleh karena waktu kerja yang diterapkan adalah sama (8 jam per hari), maka perbedaan

indeks produktivitas tersebut juga mencerminkan efisiensi kerja yang berbeda-beda di

tujuh wilayah yang diteliti.

Penelitian Rojas and Aramvareekul (2003) menunjukkan bahwa tenaga kerja

menduduki urutan kedua dari faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas proyek

konstruksi sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3. Adapun aspek-aspek yang

mempengaruhi performance seorang tenaga kerja antara lain pengalaman kerja,

pelatihan, pendidikan, dan motivasi. Pengalaman kerja diperoleh dari kualitas dan jenis

Page 67: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

82

pekerjaan yang pernah dikerjakan, bukan lama waktu bekerja di bidang konstruksi.

Seseorang yang telah bekerja selama puluhan tahun tetapi hanya mengerjakan jenis

pekerjaan yang sama dan berkualitas rendah, tidak akan memiliki kemampuan kerja

yang baik. Sebaliknya, seseorang yang belum terlalu lama bekerja, tetapi telah

mengerjakan berbagai jenis pekerjaan dengan kualitas tinggi, akan memiliki

performance kerja yang bagus.

Kinerja seorang pekerja juga ditentukan oleh pelatihan yang pernah

diperolehnya untuk mengerjakan suatu pekerjaan tertentu. Jika pekerja tidak memiliki

pengalaman mengerjakan suatu jenis pekerjaan, maka pelatihan di lokasi pekerjaan

adalah cara terbaik untuk meningkatkan kinerja mereka. Di sisi lain, pendidikan yang

dimiliki pekerja akan membuat mereka bisa berpikir secara sistematis, sehingga mudah

menerima pelatihan yang diberikan, bisa menerapkan dan mengembangkan pengala-

man-pengalaman yang sudah mereka peroleh dari pekerjaan-pekerjaan terdahulu.

Motivasi adalah hal penting yang bisa mendorong seseorang bekerja lebih baik, namun

demikian motivasi tidak dapat menggantikan pengalaman kerja, pelatihan, serta

pendidikan yang dimiliki seorang pekerja.

Menurut penelitian Rojas and Aramvareekul (2003) motivasi hanya menempati

urutan ke empat dari faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas pekerja, namun

demikian motivasi tetap merupakan faktor penting dalam seluruh aspek pekerjaan

konstruksi (Suelter, 1998). Menumbuhkan motivasi pekerja adalah tugas yang harus

dilakukan oleh supervisor/mandor sebagai pemimpin pekerja di lapangan. Menurut

Theory X yang dikemukakan oleh McGregor (1960) yang dikutip Suelter (1998), pada

dasarnya orang harus diarahkan, didorong, dan dikendalikan untuk melaksanakan suatu

pekerjaan. Sedangkan Theory Y dari McGregor (1960) menyatakan yang sebaliknya,

yaitu pada dasarnya orang suka bekerja, mau belajar, dan menerima tanggungjawab.

Kedua teori ini secara fundamental berlawanan, dan teori yang dianut akan

mempengaruhi manajer/supervisor dalam menjalankan fungsinya memotivasi pekerja

yang ada di bawah tanggung jawabnya (Soeharto, 1997).

Teori motivasi yang juga banyak dianut adalah hirarki kebutuhan (the hierarchy

of needs) dari A. Maslow (Soeharto, 1997; Suelter, 1998). Menurut teori ini, kebutuhan

manusia disusun secara hirarki dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang

paling tinggi. Bila suatu tingkat kebutuhan sudah terpenuhi, maka kebutuhan tersebut

Page 68: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

83

tidak dapat lagi dipakai sebagai motivator, harus digantikan oleh tingkat kebutuhan

yang lebih tinggi. Urutan kebutuhan manusia dari tingkat terendah hingga tingkat

tertinggi adalah :

1. Kebutuhan fisik (physical needs).

2. Kebutuhan akan keamanan (safety).

3. Kebutuhan afiliasi (belonging).

4. Kebutuhan akan penghargaan (prestige).

5. Kebutuhan akan jati diri (self-fulfillment).

4) Penundaan Karena Faktor Material

Thomas et al. (2002) menyatakan bahwa terhambatnya penyediaan material menjadi

penyebab serius menurunnya kinerja dan produktivitas pekerja. Pada penelitiannya

yang mencakup data dari 125 proyek di enam benua, tercatat bahwa penyebab utama

terhentinya pekerjaan adalah berkaitan dengan masalah manajemen material.

Penurunan produktivitas per hari akibat manajemen material yang buruk bisa mencapai

40% (Thomas and Smith, 1992, dikutip Thomas et al., 2005).

Penundaan pekerjaan karena ketiadaan material dapat disebabkan karena

material yang diperlukan belum tersedia di lokasi proyek, atau material sudah tersedia

di lokasi proyek tetapi harus dicari terlebih dahulu dimana material tersebut disimpan

akibat buruknya pengaturan, sehingga pekerja harus menunggu material dipersiapkan

dan dibawa ke lokasi pekerjaan (Barrie and Paulson, 1992). Hal ini menyangkut

masalah manajemen material, pengaturan lokasi kerja, dan jumlah tenaga pembantu

(laden).

Manajemen material mencakup pengiriman, penyimpanan, identifikasi, dan

metoda konstruksi yang dipakai, juga berkaitan dengan jadwal dan jumlah pengiriman

material dari pemasok, serta sistem penyimpanan dan pengambilan material dari tempat

penyimpanan (Barrie and Paulson, 1992). Manajemen material bertujuan untuk

meminimalisir inefisiensi yang disebabkan oleh terhentinya atau terhambatnya

penyediaan material di lokasi kerja (Thomas et al., 2005).

Cara yang aman untuk menjamin ketersediaan material adalah dengan

menyimpan stok dalam jumlah banyak di lokasi proyek. Pembelian material dalam

jumlah sekaligus banyak memiliki keuntungan, yaitu bisa diperolehnya quantity

discount atau price break, sehingga harga per satuan unit material menjadi lebih murah

Page 69: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

84

(Nasution, 2003). Tetapi menyimpan stok material dalam jumlah banyak mengandung

risiko biaya yang harus diperhitungkan, antara lain biaya pengadaan gudang

penyimpanan, biaya perawatan, biaya kerusakan dan penyusutan, dan biaya asuransi.

Oleh karena itu masalah utama dalam penyediaan material adalah menentukan jumlah

pemesanan yang paling ekonomis (Economic Order Quantity) dan jadwal pemesanan

yang akurat sesuai dengan kebutuhan material sehingga dapat meminimalisir ordering

cost dan holding cost (Nasution, 2003).

Sistem Just in Time (JIT), yaitu material didatangkan tepat pada saat diperlukan,

adalah sistem pengadaan material yang sangat baik, karena meniadakan biaya

penyimpanan (pengadaan gudang) dan biaya angkut-bongkar ke tempat penyimpanan

(Barrie and Paulson, 1992). Sistem JIT cocok diterapkan di proyek yang tidak memiliki

lahan cukup luas untuk menyimpan material, pada pengadaan material yang tidak bisa

disimpan lama seperti semen, dan material yang harus langsung dipakai seperti beton

ready-mix. Namun demikian penerapan sistem JIT membutuhkan perencanaan jadwal

yang matang, manajer lapangan yang memiliki disiplin dan kapabilitas tinggi, serta

kerjasama yang baik dengan pemasok (Thomas et al., 2005). Ada tiga hal yang harus

diperhatikan dalam manajemen material, yaitu:

1. Aspek keselamatan (safety) bagi pekerja.

2. Pemenuhan jadwal penyelesaian proyek.

3. Peningkatan produktivitas pekerja.

Ketiga hal ini, yang merupakan sasaran dan ukuran keberhasilan proyek konstruksi,

harus menjadi dasar dalam pengelolaan manajemen material.

Riley and Sanvido (1995) menyatakan bahwa pola area kerja bisa berupa garis

lurus, tersebar tidak beraturan (random), horisontal, vertikal, spiral, dan menghadap ke

arah bangunan. Area yang diperlukan untuk setiap pola berubah sejalan dengan waktu,

dan untuk efektivitas penggunaan sumber daya, area yang diperlukan harus dapat

diperkirakan serta direncanakan secara rasional. Hasil penelitian Thomas and Sanvido

(2000) menunjukkan bahwa manajemen lokasi kerja yang efektif berpengaruh

signifikan pada kinerja jadwal (schedule performance).

5) Penundaan Karena Faktor Manajemen

Dari penelitian yang dilakukan Adrian, J. (http://hilltop.bradley.edu/-jadrian/) di

Hawaii, diperoleh kenyataan bahwa 7% dari kehilangan produktivitas pekerja per hari

Page 70: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

85

disebabkan oleh ketidakjelasan instruksi pelaksanaan pekerjaan dari supervisor.

Instruksi yang tidak jelas menyebabkan pekerja tidak memiliki kepastian dalam

menyelesaikan suatu pekerjaan, bahkan ada kemungkinan salah menafsirkan perintah

yang diterima. Supervisor juga seharusnya memberikan pekerjaan tambahan (second-

ary works tasks) kepada pekerja jika pekerjaan utama mereka sudah selesai.

Peran mandor dan supervisor dalam pelaksanaan pekerjaan di lapangan sangat

besar untuk meningkatkan produktivitas. Sebagai orang yang langsung berhubungan

dengan pekerja, mereka harus menjadi pemimpin (leader) yang bisa mengendalikan

pekerjaan secara efektif dan efisien. Seorang pemimpin harus bisa mengambil

keputusan dengan cepat (decisive) atas masalah-masalah yang muncul di lapangan, taat

azas (consistent) pada target, program, prosedur dan proses yang sudah ditetapkan,

sekaligus luwes (flexible) terhadap modifikasi dan adaptasi/penyesuaian yang diper-

lukan sesuai dengan kondisi yang ada. Seorang pemimpin harus memiliki visi, motiv-

asi, kemampuan membangun tim kerja yang solid, kebanggaan, dan kepercayaan pada

kemampuan pekerja yang dipimpinnya (Adrian, http://hilltop.bradley.edu/-jadrian/).

2.5.8. Peningkatan Produktivitas

Peningkatan produktivitas karena adanya perbaikan metoda kerja dihitung berdasarkan

produktivitas pada kondisi awal dengan Persamaan 2.13.

Produktivitas Perbaikan – Produktivitas Awal

Peningkatan Produktivitas = ----------------------------------------------------------- (2.13)

Produktivitas Awal

Produktivitas perbaikan adalah produktivitas yang diperoleh dengan perbaikan metoda

kerja, di mana perbaikan dilakukan pada dua aspek yaitu aspek tenaga kerja dengan

penerapan prinsip ergonomi dan ekonomi gerakan, dan aspek sistem manajemen

dengan peningkatan efisiensi waktu kerja.

2.6. Analisa Harga Satuan Pekerjaan Berdasarkan SNI

Untuk menghitung kebutuhan bahan dan tenaga kerja pada pembangunan proyek

konstruksi dipakai Analisa Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) 2012 yang diterbitkan oleh

Kementerian Pekerjaan Umum. Pedoman ini merupakan pengembangan dari Panduan

Analisis Harga Satuan (AHS) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Bina Marga

Departemen Pekerjaan Umum No. 008-1/BM./2010 edisi Desember 2010 dan Analisa

Biaya Konstruksi (ABK) oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) Tahun 2008.

Page 71: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

86

Pekerjaan lapangan yang didasarkan atas konsep ABK pada umumnya dilaksanakan

secara manual (menggunakan tenaga manusia), kecuali beberapa pekerjaan yang

memerlukan alat dihitung secara terpisah sesuai dengan spesifikasi teknik dan kontrak

yang disetujui.

Analisis harga satuan ini menguraikan suatu perhitungan harga satuan upah,

tenaga kerja, dan bahan, serta pekerjaan yang secara teknis dirinci secara detail

berdasarkan suatu metode kerja dan asumsi-asumsi yang sesuai dengan yang diuraikan

dalam suatu spesifikasi teknik, gambar desain dan komponen harga satuan. Produksi

suatu jenis pekerjaan yang menggunakan tenaga manusia pada umumnya dilaksanakan

oleh perorangan atau kelompok kerja dilengkapi dengan peralatan yang diperlukan

berdasarkan metode kerja yang ditetapkan yang disebut alat bantu (contoh: sekop, palu,

gergaji) serta bahan yang diolah.

Biaya tenaga kerja dapat dibayar dalam sistem orang hari (oh) atau jam orang

(oj). Besarnya sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dan lokasi pekerjaan. Secara

lebih rinci faktor tersebut dipengaruhi antara lain oleh :

1. Keahlian tenaga kerja.

2. Jumlah tenaga kerja.

3. Faktor kesulitan pekerjaan.

4. Ketersediaan peralatan.

5. Pengaruh lamanya kerja.

6. Pengaruh tingkat persaingan tenaga kerja.

Untuk pekerjaan bangunan gedung yang dilaksanakan secara manual, indeks

atau koefisien bahan dan tenaga kerja sudah tersedia dalam tabel yang dipergunakan

untuk satu satuan volume pekerjaan atau satu satuan pengukuran tertentu. Indeks atau

koefisien ini merupakan dasar untuk menghitung produktivitas tenaga kerja. Untuk

pekerjaan yang dikerjakan oleh sekelompok pekerja yang terdiri atas mandor, tukang,

dan pembantu tukang, produktivitas pekerjaan dihitung berdasarkan produktivitas

tukang.

2.7. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara sebuah penelitian dilakukan. Terdapat banyak jenis

metode penelitian dengan cara penentuan sampel, variabel, dan instrument yang

berbeda.

Page 72: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

87

2.7.1. Jenis Metode Penelitian

Metode penelitian berkaitan erat dengan prosedur, teknik, serta desain penelitian yang

digunakan (Nazir, 2003). Prosedur merupakan urut-urutan pekerjaan yang harus

dilakukan dalam suatu penelitian. Teknik penelitian berkaitan dengan alat-alat yang

diperlukan dalam melakukan pengukuran. Adapun desain atau metode penelitian

adalah urut-urutan suatu penelitian dilakukan, yaitu dengan alat apa dan prosedur

bagaimana suatu penelitian dilakukan. Metode penelitian dapat dikategorikan dalam

lima kelompok umum (Nazir, 2003), yaitu :

1. Metode sejarah.

2. Metode deskripsi/survei.

3. Metode eksperimental.

4. Metode grounded research.

5. Metode penelitian tindakan.

Metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat

(Whitney, 1960, dalam Nazir, 2003). Ditinjau dari jenis masalah yang diselidiki, teknik

yang diterapkan, alat yang digunakan, serta tempat dan waktu penelitian dilakukan,

metode deskriptif dapat dibagi atas beberapa jenis, yaitu :

1. Metode survei.

2. Metode deskriptif berkesinambungan.

3. Metode studi kasus.

4. Metode analisis kerja dan aktivitas.

5. Metode studi komparatif.

6. Metode studi waktu dan gerakan.

Metode analisis kerja dan aktivitas dipakai pada penelitian yang bertujuan untuk

menyelidiki aktivitas dan pekerjaan manusia. Hasil penelitian tersebut dapat menjadi

rekomendasi untuk dipergunakan di masa-masa yang akan datang. Metode studi waktu

dan gerakan adalah penelitian dengan metoda deskriptif untuk menyelidiki efisiensi

produksi dengan melakukan studi yang mendetail tentang penggunaan waktu serta

perilaku pekerja dalam proses produksi. Gerakan pekerja dalam melakukan pekerjaan

diamati serta dianalisis.

Metode eksperimental adalah observasi di bawah kondisi buatan, di mana

kondisi tersebut dibuat dan diatur oleh peneliti. Penelitian eksperimental adalah

Page 73: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

88

penelitian dengan melakukan manipulasi terhadap obyek penelitian disertai kontrol.

Tujuan penelitian eksperimental adalah untuk menyelidiki ada tidaknya hubungan

sebab akibat serta berapa besar hubungan sebab akibat tersebut, dengan cara

memberikan perlakuan-perlakuan tertentu pada beberapa kelompok eksperimen dan

menyediakan kontrol untuk perbandingan.

2.7.2. Sampel Penelitian

Menurut Sugiarto et al. (2003) sampel adalah sebagian anggota populasi yang dipilih

dengan menggunakan prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya. Adapun

menurut Sugiyono (2004), sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang

dimiliki oleh sebuah populasi. Untuk mendapatkan data yang representatif, sampel

harus ditarik secara berimbang, di mana setiap elemen populasinya atau sub-

populasinya diberi kesempatan/peluang yang sama untuk dijadikan anggota sampel

(Djarwanto, 2001). Sampling dapat juga ditarik dengan cara purposive sampling, yaitu

pemilihan sampel dengan batasan-batasan tertentu. Untuk penelitian eksperimen yang

menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, jumlah masing-masing

sampel kelompok adalah antara 10 – 20 (Sugiyono, 2004).

2.7.3. Variabel

Variabel dalam penelitian merupakan suatu atribut dari sekelompok obyek yang diteliti

yang memiliki variasi antara satu obyek dengan obyek yang lain dalam kelompok

tersebut (Sugiarto et al., 2003; Sugiyono, 2004). Dalam kaitan hubungan suatu variabel

dengan variabel lainnya, dikenal adanya bermacam-macam bentuk variabel, yaitu :

1. Variabel independen, yaitu variabel yang menjadi sebab terjadinya variabel

dependen.

2. Variabel dependen, yaitu variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel

independen.

3. Variabel moderator, yaitu variabel yang memperkuat atau memperlemah

hubungan antara variabel dependen dan independen.

4. Variabel intervening, hampir sama dengan variabel moderator, tetapi

nilainya tidak dapat diukur.

5. Variabel kontrol, yaitu variabel yang dapat dikendalikan oleh peneliti.

Page 74: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

89

2.7.4. Data Penelitian

Metoda pengumpulan data adalah cara-cara yang ditempuh untuk memperoleh data

yang dibutuhkan (Sugiarto et al., 2003). Terdapat dua jenis data, yaitu data primer (data

yang didapat dari sumber pertama) dan data sekunder (dokumen atau data yang

diperoleh dari pihak lain). Metoda pengumpulan data primer adalah survai (wawancara,

angket, pooling) dan percobaan. Adapun data sekunder bisa diperoleh dari instansi/

lembaga, atau pihak manapun yang memiliki data tersebut.

2.7.5. Pengujian Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban atas problem secara teoritis, merupakan jawaban sementara

yang masih perlu diuji kebenarannya melalui fakta-fakta (Irianto, 2004). Pengujian

hipotesis berdasarkan fakta memerlukan alat bantu, dan alat bantu yang sering dipakai

adalah analisis statistik.

Terdapat dua macam hipotesis, yaitu Hipotesis Nol (H0) dan Hipotesis

Alternatif (H1). H0 (Hipotesis Nol) adalah pernyataan/prediksi bahwa variabel bebas

tidak mempunyai efek/pengaruh terhadap variabel terikat dalam populasi. H0 juga

memprediksi tidak ada perbedaan antara suatu kondisi dengan kondisi lainnya. Adapun

H1 (Hipotesis Alternatif) memprediksi bahwa variabel bebas mempunyai efek terhadap

variabel terikat dalam populasi. H1 juga memprediksi adanya perbedaan antara suatu

kondisi dengan kondisi lainnya. Pengujian hipotesis dibuat untuk menguji H0,

walaupun hipotesis yang dikembangkan melalui kajian teoritis adalah H1. Jika H0

terbukti benar (diterima) maka H1 ditolak, dan sebaliknya jika H0 terbukti salah

(ditolak) maka H1 diterima.

Jika jumlah sampel kecil dan simpangan baku populasi tidak diketahui, maka

bentuk uji statistik yang dipakai adalah Uji t (t-test) atau Student’s Test (Irianto, 2004).

Uji t dipakai jika data penelitian berupa data rasio, dan bentuk uji hipotesis adalah uji

komparatif dua sampel yang berhubungan (Sugiyono, 2004).

2.8. Kerangka Berpikir

Permasalahan yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah upaya meningkatkan

produktivitas tenaga kerja. Tenaga kerja (manusia) merupakan sumber daya utama pada

pekerjaan konstruksi dan menjadi penentu produktivitas pekerjaan konstruksi.

Produktivitas pekerjaan konstruksi adalah faktor penting yang berpengaruh pada daya

saing industri konstruksi, karena produktivitas berkaitan langsung dengan biaya dan

Page 75: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

90

waktu pelaksanaan. Jika produktivitas yang tinggi dapat dicapai, maka biaya konstruksi

dapat ditekan dan waktu pelaksanaan menjadi lebih cepat. Manfaat yang diperoleh

bukan saja bagi kontraktor tetapi juga bagi pemilik proyek dan konsumen produk

konstruksi (properti).

Kebutuhan tenaga kerja konstruksi di Indonesia sangat besar untuk mengerjakan

proyek-proyek infrastruktur, fasilitas publik, properti, pemukiman dan perumahan.

Pada pembangunan perumahan rakyat, tenaga kerja konstruksi memegang peran utama

karena sebagian besar pekerjaan dilaksanakan secara manual, sehingga produktivitas

yang dicapai lebih banyak dipengaruhi oleh produktivitas tenaga kerja, bukan oleh

produktivitas mesin/peralatan.

Pada penelitian ini dipilih pekerjaan pasangan bata, plester, pasangan keramik,

dan pengecatan. Pemilihan ini berdasarkan pertimbangan bahwa bangunan dengan

dinding bata adalah jenis bangunan yang banyak dibuat baik untuk bangunan publik

maupun rumah tinggal (khususnya di Jawa), sementara pekerjaan keramik dan

pengecatan adalah pekerjaan yang hingga saat ini belum dapat digantikan dengan

mesin. Meskipun penelitian ini hanya mencakup empat jenis pekerjaan, kesimpulan

yang diperoleh dapat mencerminkan tujuan yang lebih luas yaitu perlu dilakukan

peningkatan produktivitas tenaga kerja konstruksi dengan perbaikan metoda kerja.

Secara lebih spesifik tujuan penelitian ini adalah mengetahui seberapa besar

perbaikan metoda kerja dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Perbaikan

produktivitas tenaga kerja dilakukan pada dua aspek, yaitu aspek manajemen kerja dan

aspek metoda kerja. Aspek manajemen kerja dipresentasikan melalui analisis efisiensi

waktu kerja dengan instrumen Method Productivity Delay Model (MPDM) sebagai-

mana diintrodusir oleh Halpin and Riggs (1992). Dengan MPDM dapat diketahui

efisiensi waktu kerja dengan cara menghitung delay-delay yang disebabkan faktor

tenaga kerja, material, peralatan, kondisi lingkungan, dan manajemen lapangan.

Selanjutnya delay-delay tersebut dihilangkan/dikurangi untuk meningkatkan efisiensi

waktu kerja. Pada analisis ini tercakup hal-hal yang berkaitan dengan masalah

manajemen kerja, yaitu :

1. Komposisi/pengaturan tenaga kerja, perbandingan jumlah tukang dan tenaga

pembantu.

2. Ketersediaan serta pengaturan material dan peralatan.

Page 76: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

91

3. Pengaturan lingkungan kerja (site layout)

4. Intervensi manajemen proyek pada pelaksanaan pekerjaan di lapangan.

Dengan MPDM juga dapat dihitung besarnya produktivitas tenaga kerja.

MPDM membedakan produktivitas menjadi dua kriteria, yaitu overall productivity

(produktivitas rata-rata) dan ideal productivity (produktivitas ideal). Produktivitas rata-

rata adalah produktivitas riil yang diperoleh, yaitu produktivitas dengan adanya delay-

delay. Sedangkan produktivitas ideal adalah produktivitas yang dapat diperoleh jika

tidak terjadi delay. Produktivitas yang dipakai sebagai standar, yang dibandingkan

dengan SNI adalah produktivitas rata-rata, karena sangat sulit melaksanakan pekerjaan

di lapangan tanpa terjadi delay.

Perbaikan pada aspek manajemen kerja juga dilakukan dengan pemberian

waktu istirahat di luar istirahat tengah hari, yaitu istirahat singkat di antara pagi dan

siang hari, serta di antara siang dan sore hari. Berdasarkan penelitian, sesudah bekerja

1,5 jam hingga 2 jam secara terus-menerus, orang memerlukan istirahat sejenak untuk

memulihkan staminanya (Wignjosoebroto, 2003). Pengaturan waktu istirahat bukan

bagian dari MPDM, namun mendukung performance tenaga kerja karena akan

mengurangi terjadinya delay yang disebabkan tenaga kerja mengambil istirahat sendiri-

sendiri secara tidak terkontrol. Dengan berkurangnya delay maka efisiensi akan

meningkat. Produktivitas juga meningkat, karena tenaga kerja diberi kesempatan untuk

memulihkan staminanya.

Sedangkan perbaikan pada aspek metoda kerja dipresentasikan dengan pene-

rapan ergonomi, efisiensi/ekonomi gerakan, dan pengukuran beban kerja (Suma‟mur,

1989; Tayyari, 1997; Wignjosoebroto, 2003; dan Tarwaka et al, 2004). Dengan

penerapan ergonomi maka pekerja akan bekerja lebih efisien, lebih nyaman, lebih

aman, dan terhindar dari penyakit yang timbul akibat pekerja bekerja tidak sesuai

dengan kondisi dan kemampuan tubuh. Analisis ergonomi dilakukan pada tiga aspek

yaitu posisi tubuh ketika bekerja, peralatan bantu yang dipakai untuk bekerja, serta

kondisi lingkungan kerja.

Selanjutnya dengan memberikan adjusment berdasarkan penelitian-penelitian

yang sudah dilakukan sebelumnya tentang tingkat produktivitas tenaga kerja di

berbagai wilayah di Indonesia, hasil penelitian dapat dipakai sebagai referensi bagi

penerapan standar produktivitas kerja di daerah lain dan pada etnis selain Jawa (yang

Page 77: BAB 2 KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIReprints.undip.ac.id/61357/5/BAB_2.pdf · 17 Tabel 2.1 Realisasi dan Rencana Pembangunan Perumahan (Khalawi, 2016) No Jenis Pekerjaan Unit/Tahun

92

diambil sebagai obyek penelitian). Oleh karena manusia memiliki variabilitas yang

sangat besar, maka dilakukan pembatasan-pembatasan agar dapat diperoleh hasil

penelitian yang cukup valid. Pembatasan tersebut adalah jenis kelamin, rentang usia,

lokasi penelitian (dalam hal ini berarti etnis pekerja), kondisi fisik, serta pengalaman

kerja.

Untuk memberikan pemahaman yang jelas, kerangka berpikir penelitian ini

ditampilkan pada Gambar 2.30.

Gambar 2.30. Kerangka Berpikir