bab-18-1995-cek__20090203102309__1784__17
DESCRIPTION
pesTRANSCRIPT
KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL
DAN PENANGGULANGAN BENCANA,
KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA
SEJAHTERA
BAB XVIII
KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL DAN
PENANGGULANGAN BENCANA, KEPENDUDUKAN
DAN KELUARGA SEJAHTERA
A. PENDAHULUAN
Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 negara Kesatuan Republik Indonesia
dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa , dan
ikut melaksanakan keter t iban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut diselenggarakan
pembangunan nasional di semua bidang kehidupan secara
berkesinambungan yang merupakan suatu rangkaian
pembangunan yang menyeluruh, terpadu dan terarah.
Adapun hakikat pembangunan nasional adalah pem-
XVIII/3
bangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat
Indonesia seluruhnya, dengan Pancasila sebagai dasar, tujuan
dan pedoman pembangunan nasional. Dalam mewujudkan
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat
Indonesia seluruhnya tersebut, telah diupayakan berbagai
kegiatan pembangunan kesejahteraan rakyat yang antara lain
menyangkut bidang-bidang kesehatan, kesejahteraan sosial dan
penanggulangan bencana, serta kependudukan dan keluarga
sejahtera, yang dilaksanakan secara serasi dengan pembangunan
bidang lainnya.
Di bidang kesehatan, sejak awal kemerdekaan pelayanan
kesehatan meskipun masih sangat terbatas, telah diupayakan
dengan dititik-beratkan pada pencegahan dan pemberantasan
penyakit menular seperti penyakit , cacar, malaria, tuberkulosis
paru, frambusia, pes, kusta dan penyakit kelamin. Juga dirintis
upaya penanggulangan masalah kelaparan dan perbaikan gizi
masyarakat. Upaya pelayanan pengobatan dan perawatan
kesehatan juga telah dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan
di rumah-rumah sakit yang pada waktu itu kemampuannya
masih sangat terbatas.
Untuk mengatasi kekurangan tenaga kesehatan, dirintis
pendidikan tenaga medik dan non medik dalam berbagai
XVIII/4
jenjang pendidikan. Di samping perguruan tinggi kedokteran
yang telah ada pada masa penjajahan, pada tahun 1949 didirikan
fakultas kedokteran di Universitas Gadjah Mada. Sekolah
paramedik untuk jurusan gizi, kesehatan lingkungan, kesehatan
gigi, kebidanan dan fisioterapi didirikan baik di pusat maupun
di daerah.
Konsep pembangunan jangka panjang di bidang kesehatan
yang terpadu diletakkan untuk pertama kali pada tahun 1951,
disebut dengan "Bandung Plan". Melalui konsep ini
pembangunan kesehatan diarahkan pada pembinaan kesehatan
ibu dan anak (KIA), usaha kesehatan masyarakat desa,
pembuatan obat, vaksin dan sera,
perbaikan gizi, pendidikan tenaga paramedik serta
pemberantasan penyakit menular. Dalam perkembangan
selanjutnya konsep ini menjadi dasar bagi pelayanan kesehatan
masyarakat (community health) yang dilaksanakan sekarang
melalui pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan
jaringannya.
Untuk mendukung pelayanan kesehatan, pada periode
tahun 1950-1959 didirikan lembaga-lembaga penelitian
kesehatan, antara lain Lembaga Malaria (Lampung dan
Surabaya), Lembaga Pencegahan Pemberantasan dan
Pembasmian Penyakit Kelamin (Surabaya), Lembaga Kusta
(Tangerang), Lembaga Rehabilitasi/Orthopedi (Solo), serta
Lembaga Gizi (Bogor). Beberapa perguruan tinggi, seperti
Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga dan
Universitas Indonesia juga berperan penting dalam kegiatan
penelitian di bidang kedokteran dan kesehatan masyarakat.
Berbagai hasil penelitian yang dilaksanakan oleh lembaga-
lembaga tersebut telah dimanfaatkan untuk meningkatkan
pelayanan kesehatan masyarakat. Salah satu yang menonjol
adalah keberhasilan Dr. Kodyat dalam mengembangkan sistem
pemberantasan penyakit frambusia (patek) yang mendapat
penghargaan Magsaysay Award dari pemerintah Philipina pada
tahun 1961.
Melalui berbagai upaya pelayanan kesehatan yang di-
kembangkan sejak proklamasi kemerdekaan, meskipun terputus-
putus oleh berbagai perjuangan untuk mempertahankan
kemerdekaan dan persatuan, kesatuan serta ideologi negara,
sampai dengan awal pembangunan jangka panjang pertama
(PJP I) keadaan kesehatan masyarakat meningkat lebih baik.
Angka kematian bayi (AKB) yang pada tahun 1945
diperkirakan sebesar 166 per 1.000 kelahiran hidup turun
menjadi 145 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1967. Begitu
pula dengan angka harapan hidup, meningkat dari 42,5 tahun
menjadi 45,7 tahun pada kurun waktu yang sama.
XVIII/5
Berbagai peraturan perundang-undangan yang mendasar
telah ditetapkan seperti Undang-Undang tentang pokok-pokok
kesehatan, dan peraturan yang mengatur mengenai karantina,
wabah, farmasi, tenaga kesehatan, wajib kerja sarjana, wajib
kerja tenaga paramedik, kesehatan jiwa dan tentang hygiene
(kesehatan perorangan).
Memasuki PJP I, upaya peningkatan kesehatan masyarakat
direncanakan dan dilaksanakan dengan lebih terarah, teratur dan
berkesinambungan. Salah satu hasil penting yang dicapai pada
awal PJP I adalah dinyatakannya oleh world Health Organization
(WHO) bahwa pada tahun 1974 Indonesia sudah termasuk salah
satu negara yang telah bebas dari penyakit cacar. Hasil lain yang
memperoleh pengakuan internasional, adalah tergalangnya peran
serta masyarakat dalam pengelolaan pos pelayanan terpadu
(posyandu) terutama oleh kelompok wanita dalam organisasi
Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), yang diakui oleh
dunia sehingga Indonesia menerima Sasakawa Award dari WHO
dan Maurice Pate Award dari UNICEF pada tahun 1988. Sasaran
imunisasi universal pada anak (Universal Child Immunization/U
CI) yang ditetapkan oleh WHO telah dilampaui pada tahun
1990/91. Di samping itu dalam rangka menanggulangi masalah
gizi Indonesia telah berhasil menanggulangi masalah kebutaan
XVIII/6
akibat kurang vitamin A. Sejak tahun 1992 kebutaan akibat
kurang vitamin A bukan lagi menjadi.masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Atas keberhasilan tersebut, pada tahun
1994 Presiden Soeharto mendapat penghargaan Hellen Keller
International.
Secara keseluruhan, pembangunan kesehatan dalam PJP I
hasilnya ditunjukkan oleh berbagai indikator. Antara lain, angka
kematian bayi (AKB) dapat diturunkan dengan laju ,penurunan
rata-rata 3,4 persen setiap tahunnya. Jika pada tahun 1967 AKB
di Indonesia masih berkisar sekitar 145 per 1.000 kelahiran hidup,
maka pada tahun 1993 yang merupakan tahun akhir PJP I
telah ditekan
menjadi sekitar 58 per 1.000 kelahiran hidup. Angka harapan
hidup waktu lahir penduduk Indonesia terus meningkat dari rata-
rata 45,7 tahun pada tahun 1967 meningkat menjadi 62,7 tahun
pada tahun 1993. Perbaikan derajat kesehatan masyarakat itu
dimungkinkan berkat peningkatan jumlah sarana pelayanan
kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit serta
penyebarannya yang makin merata. Pertambahan sarana ini
didukung pula dengan peningkatan jumlah tenaga kesehatan
terutama tenaga dokter, dokter gigi, tenaga paramedik dan
bidan, termasuk di desa-desa.
Di bidang kesejahteraan sosial, sejak awal kemerdekaan
telah dilakukan berbagai kegiatan, antara lain pemberian
bantuan terhadap penyandang masalah sosial khususnya bagi
korban revolusi fisik dalam rangka mempertahankan
kemerdekaan. Kegiatan lainnya juga telah dirintis, meskipun
masih sangat terbatas, seperti penanganan masalah fakir miskin,
yatim piatu, korban bencana alam, pengungsi dan korban
pertempuran yang cacat serta para janda pejuang kemerdekaan.
Salah satu kegiatan kesejahteraan sosial yang dimulai pada
masa perang kemerdekaan adalah kegiatan rehabilitasi sosial
yang dipelopori oleh almarhum Prof.Dr. Soeharso dan R.
Soeroto Reksopranoto pada tahun 1946 di Surakarta.
Kegiatannya berawal dari upaya merehabilitasi penderita cacat
korban perang kemerdekaan. Dalam perkembangan selanjutnya
kegiatan rehabilitasi ini dilembagakan menjadi Pusat
Rehabilitasi Penyandang Cacat Tubuh Prof.Dr. Soeharso di
Surakarta. Kemudian berkembang juga kegiatan rehabilitasi
sosial bagi anak cacat yang dikembangkan oleh masyarakat
melalui Yayasan Pemeliharaan Anak Cacat (YPAC) di
Surakarta, yang didirikan pada tahun 1953. Dalam
perkembangannya YPAC telah mendirikan cabang di berbagai
kota di 12 propinsi.
XVIII/7
Salah satu kegiatan awal dari upaya mewujudkan
kesejahteraan sosial adalah digalangnya partisipasi masyarakat
desa dalam wadah Lembaga Sosial Desa (LSD) yang dirintis oleh
Bupati Pemalang pada tahun 1952. Sampai tahun 1971, LSD
dikembangkan dan dibina oleh Departemen Sosial, dan
selanjutnya dipindahkan ke Departemen Dalam Negeri.
Selanjutnya LSD berkembang menjadi Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD) yang dikenal sampai sekarang. Pada
saat dialihkan ke Departemen Dalam Negeri, jumlah LSD telah
mencapai lebih dari 39.000. Kegiatan peran serta masyarakat
lain adalah dibentuknya wadah kegiatan pemuda karang taruna
yang kemudian dikembangkan menjadi salah satu program
nasional dalam pembangunan kesejahteraan sosial. Pembentukan
karang taruna dirintis pada tahun 1959 melalui kegiatan
pelayanan sosial bagi anak yatim piatu yang diselenggarakan
oleh Yayasan Perawatan Anak Yatim (YPAY).
Kegiatan kesejahteraan sosial lainnya yang dirintis pada
masa awal kemerdekaan adalah kegiatan penelitian sosial di
Yogyakarta pada tahun 1950 oleh suatu lembaga penelitian
sosial yang diberi nama Balai Persiapan Pekerjaan Sosial. Pada
tahun 1961 Balai terse-but menjadi Balai Penelitian dan
Peninjauan Sosial (BPPS). Dalam perkembangan selanjutnya
XVIII/8
BPPS menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pelayanan Kesejahteraan Sosial (BBPPPKS) sampai sekarang.
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan, kondisi
kesejahteraan sosial memasuki PJP I masih memprihatinkan.
Partisipasi sosial masyarakat masih sangat terbatas, demikian
pula jumlah serta mutu tenaga pelaksana pembangunan
kesejahteraan sosial, sehingga pelayanan sosial juga belum dapat
menjangkau masyarakat secara luas. Dalam PJP I usaha
kesejahteraan sosial diarahkan untuk mengatasi hal-hal tersebut.
Pembangunan kesejahteraan sosial dalam PJP I telah mening-
katkan kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial di
masyarakat dalam menghadapi masalah sosial pada umumnya dan
masalah kesejahteraan sosial khususnya. Perkembangan ini menum-
buhkan iklim yang mendorong peran serta masyarakat dalam
pelayanan sosial, sebagai pekerja sosial masyarakat, relawan sosial,
anggota karang taruna, dan pendukung dana untuk upaya
kesejahteraan sosial. Mutu dan cakupan pelayanan sosial bagi fakir
miskin, anak dan lanjut usia terlantar; penyandang cacat, korban
penyalahgunaan obat, zat adiktif dan narkotika, korban bencana,
masyarakat terasing dan masyarakat lain yang kurang beruntung
juga telah meningkat dan makin luas menjangkau masyarakat
sampai di pelosok-pelosok tanah air.
Di bidang penanggulangan bencana, upaya pada awal
kemerdeka- an masih terbatas pada pemberian pertolongan pertama
yang dilaku- kan oleh Palang Merah Indonesia (PMI) yang
dibentuk pada tahun 1945. Selain itu juga ada penyediaan
dapur umum dan bantuan darurat secara terbatas. Dalam masa
pembangunan selama PJP I, kemampuan masyarakat dalam
penanggulangan bencana yang mencakup kemampuan
kesiapsiagaan, pencarian dan penyelamatan, rehabilitasi
dan rekonstruksi, serta pemantapan kelembagaan telah semakin
meningkat. Peningkatan kemampuan kesiapsiagaan diperoleh
melalui pelatihan kesiapsiagaan bagi petugas dari berbagai instansi
dan masyarakat, pemetaan daerah-daerah rawan bencana,
pemantauan secara terus menerus terhadap gunung api yang
masih aktif, pembangunan check dam, serta pembuatan terowongan
di gunung Galunggung, Merapi dan gunung Kelud. Kemampuan
dan fasilitas serta sistem dan peralatan telah meningkat pula
dalam memenuhi berbagai persyaratan keselamatan pelayaran dan
penerbangan, serta pengamanan daerah-daerah produksi pertanian,
permukiman dan bangunan umum lainnya dari bahaya
banjir. Dalam rangka ini
XVIII/9
kemampuan Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas)
terus menerus ditingkatkan. Bersamaan dengan upaya
membangun kesiagaan masyarakat dan aparat pemerintah, telah
diselenggarakan pula upaya rehabilitasi sosial dan bantuan bagi
para korban bencana, antara lain melalui penyediaan bangunan
rumah dan bantuan darurat lainnya.
Di bidang kependudukan clan keluarga sejahtera, keadaan
sosial politik dan ekonomi pada awal kemerdekaan
mempengaruhi pola perkembangan penduduk dalam dasawarsa
limapuluhan. Jumlah penduduk yang besar dengan laju
pertumbuhan yang tinggi pada masa itu belum dianggap sebagai
kendala dan hambatan bagi pembangunan.
Pada tahun 1945, penduduk Indonesia berjumlah sekitar 73
juta jiwa dan hampir 71 persen bertempat tinggal di pulau Jawa.
Sampai awal PJP I, jumlah penduduk Indonesia bertambah
dengan 42 juta orang atau tumbuh rata-rata 1,98 persen per
tahun. Pada saat itu upaya pemerintah untuk mengendalikan
pertumbuhan penduduk sangat terbatas. Beberapa kelompok
masyarakat telah merintis upaya pengendalian jumlah penduduk
dengan mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK)
pada tahun 1952 dan Perkumpulan Keluarga Berencana
XVIII/10
Indonesia (PKBI) pada tahun 1957. Partisipasi organisasi
masyarakat tersebut kemudian didukung oleh pemerintah dengan
dibentuknya wadah kerjasama antara pemerintah dan organisasi
masyarakat dalam bidang keluarga berencana (KB) yaitu
lembaga keluarga berencana nasional (LKBN) pada tahun 1968.
Guna lebih memantapkan pelaksanaan KB, maka pada tahun
1970 didirikan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN). Badan tersebut mempunyai tugas pokok
mengkoordinasikan program KB secara nasional dengan tujuan
menurunkan angka kelahiran dan meningkatkan kesejahteraan
para ibu.
Guna mengatasi ketimpangan jumlah penduduk antara pulau
Jawa dan luar Pulau Jawa, sebelum masa PJP I secara terbatas
telah dimulai kegiatan transmigrasi, terutama dari pulau Jawa ke
Sumatera.
Dalam PJP I pembangunan di bidang kependudukan dan
keluarga berencana mendapat prioritas tinggi, dan dilakukan
secara terarah dan merata di seluruh lapisan masyarakat sehingga
pada akhir Repelita V (1993) laju pertumbuhan penduduk
berhasil ditekan menjadi 1,66 persen, dan angka kematian kasar
menurun menjadi 7,9 per seribu penduduk. Di samping itu,
kesejahteraan penduduk diukur dari tingkat pendidikan, kesehatan
dan keadaan gizi juga terus membaik. Penurunan laju
pertumbuhan penduduk erat kaitannya dengan keberhasilan
program KB yang berdampak pada penurunan angka kelahiran
kasar dari 44,0 kelahiran per seribu penduduk pada tahun 1971
menjadi 24,5 kelahiran per seribu penduduk pada tahun 1993.
Penduduk Indonesia pada tahun 1994 diperkirakan telah
mencapai 192,2 juta orang, yang terdiri atas 95,8 juta orang laki-
laki dan 96,4 juta orang perempuan. Adapun jumlah anak balita
pada tahun 1994 tercatat sekitar 21,7 juta anak, yang terdiri atas
11,0 juta anak laki-laki dan 10,7 juta anak perempuan.
XVIII/11
Sementara itu, jumlah penduduk usia lanjut yaitu penduduk usia
lebih dari 60 tahun telah mencapai sekitar 12,2 juta orang pada
tahun 1994, yang terdiri atas 5,7 juta orang laki-laki dan 6,5 juta
orang perempuan. Pada tahun 1994 jumlah penduduk daerah
perdesaan dan perkotaan masing-masing adalah 124,8 juta orang
(65,0 persen) dan 67,4 juta orang (35,0 persen). Selanjutnya,
pada tahun yang sama jumlah penduduk Pulau Jawa adalah
113,6 juta orang, atau sekitar 59,1 persen dari total penduduk
tahun 1994.
Keberhasilan program kependudukan dan KB di Indonesia
diakui oleh dunia internasional dan mendapat penghargaan dari
PBB berupa
The United Nations Population Award pada tahun 1989 yang
diterima oleh Kepala Negara. Keberhasilan Indonesia dalam
menjalankan program kependudukan dan KB telah menarik
perhatian dan minat berbagai negara untuk mempelajarinya.
Sejak tahun 1987 telah diselenggarakan pelatihan bagi peserta
dari luar negeri melalui International Training Program (ITP).
Sampai dengan akhir Repelita V telah dilatih sebanyak 1.872
orang tenaga-tenaga ahli kependudukan dan KB dari 73 negara.
B. KESEHATAN
1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI
Sasaran pembangunan kesehatan dalam Repelita VI adalah
meningkatnya derajat kesehatan melalui peningkatan kualitas
dan pelayanan kesehatan yang makin menjangkau seluruh
lapisan masyarakat. Dalam rangka itu, sasaran yang akan
dicapai adalah meningkatnya angka harapan hidup waktu lahir
menjadi sekitar 64,6 tahun, menurunnya angka kematian kasar
menjadi sekitar 7,5 per 1.000 penduduk; menurunnya angka
kematian bayi menjadi 50 per 1.000 kelahiran hidup; dan
menurunnya angka kematian ibu melahirkan menjadi 225 per
XVIII/12
100.000 kelahiran hidup.
Sasaran keadaan gizi masyarakat pada akhir Repelita VI
adalah menurunnya prevalensi empat masalah gizi kurang, yaitu
gangguan akibat kurang iodium menjadi 18 persen; anemia gizi
besi pada ibu hamil menjadi 40 persen, balita menjadi 40 persen
dan tenaga kerja wanita menjadi 20 persen; kurang energi
protein menjadi 30 persen; dan kurang vitamin A pada anak
balita menjadi 0,1 persen.
Dalam rangka mencapai sasaran tersebut di atas, pokok
kebijaksanaan pembangunan kesehatan dalam Repelita VI yang
terpenting adalah meningkatkan mutu dan pemerataan pelayanan
kesehatan; meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan untuk
penduduk miskin dan desa tertinggal; meningkatkan status gizi
masyarakat; meningkatkan upaya pelayanan kesehatan pada
tenaga kerja; meningkatkan penyuluhan kesehatan masyarakat;
mengembangkan peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
mendukung pelayanan kesehatan dan gizi yang bermutu;
meningkatkan peran serta masyarakat dan organisasi profesi;
meningkatkan mobilisasi dana masyarakat untuk pembiayaan
kesehatan; meningkatkan manajemen upaya kesehatan; serta
mengoptimasikan penyediaan, pengelolaan, dan pendayagunaan
tenaga kesehatan.
Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas
digariskan tujuh program pokok yang meliputi: program
penyuluhan kesehatan masyarakat; pelayanan kesehatan
masyarakat; pelayanan kesehatan rujukan dan rumah sakit;
pencegahan dan pemberantasan penyakit; perbaikan gizi;
pengawasan obat dan makanan; dan pembinaan pengobatan
tradisional. Program-program tersebut didukung oleh beberapa
program penunjang, yang dilaksanakan secara terkoordinasi
dengan program pembangunan bidang lainnya serta XVIII/13
mengikutsertakan masyarakat dan dunia usaha.
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun
Pertama Repelita VI
Pembangunan kesehatan pada tahun pertama Repelita VI
(1994/95) yang merupakan kelanjutan, perluasan dan
peningkatan pelaksanaan program dari Repelita-repelita
sebelumnya, adalah untuk meningkatkan keadaan kesehatan dan
gizi masyarakat melalui upaya pemerataan sarana pelayanan
kesehatan dasar dan rumah sakit,
didukung oleh peningkatan jumlah dan jenis tenaga kesehatan,
peningkatan mutu pelayanan kesehatan, serta peningkatan peran
serta masyarakat, dunia usaha dan organisasi profesi. Upaya
tersebut dilaksanakan melalui program-program sebagai
berikut.
a. Program Pokok
1) Program Penyuluhan Kesehatan Masyarakat
Tujuan program penyuluhan kesehatan masyarakat adalah
meningkatnya pengetahuan, kesadaran, kemauan dan
kemampuan masyarakat untuk hidup bersih dan sehat serta
meningkatnya peran serta aktif masyarakat termasuk dunia
usaha, dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan pokok yang
dilaksanakan antara lain meliputi penyebarluasan informasi
kesehatan, pengembangan potensi swadaya masyarakat di
bidang kesehatan dan pengembangan penyelenggara
penyuluhan.
Dalam tahun pertama Repelita VI kegiatan penyebarluasan
informasi kesehatan telah dilaksanakan melalui siaran radio
XVIII/14
sebanyak 81.803 kali dalam bentuk obrolan, sandiwara,
wawancara dan radio spot. Kegiatan selanjutnya berupa siaran
televisi sebanyak 863 kali baik di TVRI Pusat maupun propinsi,
disamping memanfaatkan siaran televisi swasta seperti TPI,
RCTI, SCTV dan AN-TV dalam bentuk wawancara, penyiaran
filler, fragmen atau sandiwara, sinetron dan siaran
pembangunan. Di samping itu telah dilaksanakan pameran dan
pemutaran film di sejumlah propinsi dan daerah tingkat II.
Untuk penyebarluasan informasi telah diadakan dan disebarkan
berbagai media penyuluhan kesehatan antara lain berbentuk
poster, leaflet, buku pedoman, dan kartu konsultasi sebanyak
sekitar 1,7 juta lembar. Untuk tingkat propinsi dan kabupaten,
telah disediakan sarana penyuluhan berupa 1.050 paket
peralatan. Dibanding dengan tahun
1993/94, penyediaan sarana paket penyuluhan meningkat cukup
besar, dimana pada tahun yang bersangkutan hanya sebanyak
291 paket peralatan penyuluhan.
Kegiatan bagi penyelenggara penyuluhan pada tahun
1994/95 antara lain berupa pelatihan, orientasi, pengumpulan
data sosial budaya serta pelaksanaan studi yang berkaitan
dengan penyuluhan kesehatan masyarakat. Jumlah petugas
kesehatan yang mendapatkan latihan penyuluhan baik di tingkat
propinsi, Dati II maupun puskesmas adalah sebanyak 324 orang.
Untxk meningkatkan kemampuan petugas dalam pembuatan
media dan pemeliharaan peralatan penyuluhan telah
dilaksanakan pelatihan di 7 propinsi. Dalam upaya
meningkatkan kegiatan penyuluhan kesehatan di rumah sakit
telah dilaksanakan penyuluhan kesehatan masyarakat rumah sakit
(PKMRS) mencakup 452 rumah sakit, sedangkan tahun
sebelumnya mencakup 338 rumah sakit. Di tingkat masyarakat
telah dilaksanakan penyuluhan melalui posyandu yang
materinya lebih dititik beratkan pada upaya pencegahan
penyakit. Khusus dalam upaya pencegahan dan penanggulangan
penyakit Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) telah
dilaksanakan studi pengembangan strategi penyuluhan AIDS di
tingkat propinsi.
Kegiatan pengembangan potensi swadaya masyarakat antara
lain dilaksanakan melalui pelaksanaan orientasi bagi organisasi
wanita, pemuda, keagamaan dan guru-guru baik di tingkat pusat,
propinsi, Dati II, maupun puskesmas. Pada tahun 1994/95
kegiatan tersebut dilaksanakan sebanyak 24.557 kali, sedangkan
pada tahun sebelumnya baru mencapai 5.733 kali. Kegiatan
lainnya berupa pengembangan dana sehat melalui jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat (JPKM) yang mencakup
900 kelompok di 27 propinsi. Di samping itu telah dibentuk pula
forum komunikasi LSM dan diadakan kerjasama
XVIII/15
dengan ABRI dalam bentuk manunggal ABRI Masuk Desa
(AMD) di 27 propinsi.
2) Program Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Program pelayanan kesehatan masyarakat bertujuan untuk
lebih memperluas cakupan dan sekaligus meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan dasar serta menumbuhkembangkan sikap
dan kemandirian dalam pemeliharaan kesehatan di lingkungan
keluarga dan masya-rakat. Program ini merupakan program
pelayanan dasar terpadu yang dilaksanakan melalui puskesmas
dan jaringannya yaitu puskesmas pembantu, puskesmas keliling
dan bidan di desa. Kegiatan pokok dari program ini meliputi
pelayanan kesehatan keluarga, kesehatan sekolah dan remaja,
kesehatan kerja, penyembuhan dan pemulihan, kesehatan olah
raga, kesehatan matra, pelayanan laboratorium dan penyuluhan
kesehatan masyarakat serta pembinaan peran serta masyarakat.
Dalam rangka memperluas jangkauan dan pemerataan
pelayanan kesehatan, pada tahun 1994/95, melalui program
INPRES Sarana Kesehatan telah dibangun puskesmas baru
sebanyak 30 unit, puskesmas pembantu 500 unit, dan rumah
dokter 230 unit (Tabel XVIII-1A). Dengan demikian sampai
XVIII/16
dengan tahun 1994/95 secara kumulatif telah tersedia sebanyak
6.984 buah puskesmas, 20.477 puskesmas pembantu, dan 3.794
buah rumah dokter (Tabel XVIII-1B). Untuk melengkapi sarana
pelayanan kesehatan yang telah ada, dilaksanakan pengadaan
peralatan antara lain meliputi peralatan medis untuk puskesmas
sebanyak 30 set, puskesmas pembantu 500 set, dan puskesmas
keliling 358 set. Selain itu untuk meningkatkan mobilitas
pelayanan dalam rangka meningkatkan cakupan kegiatan
program telah dilaksanakan pengadaan 528 buah puskesmas
keliling, dengan kendaraan bermotor roda empat sebanyak
498 buah dan perahu
bermotor 30 buah. Di samping itu dilaksanakan pula pengadaan
sepeda motor sebanyak 1.500 buah.
Bagi sarana pelayanan kesehatan yang mengalami
kerusakan, telah dilaksanakan kegiatan perbaikan terhadap
1.168 buah puskesmas, termasuk 398 buah puskesmas
perawatan, 2.931 buah puskesmas pembantu, dan 528 buah
puskesmas keliling. Dalam rangka pemerataan dan peningkatan
mutu pelayanan kesehatan, melalui INPRES Sarana Kesehatan,
pemberian bantuan obat per kapita disempurnakan dengan cara
memberikan bantuan yang lebih besar terhadap penduduk di
desa tertinggal. Untuk itu, bantuan obat ditingkatkan dari Rp
625 per kapita pada tahun 1993/94 menjadi Rp 725 per kapita
pada tahun 1994/95. Kegiatan lainnya untuk meningkatkan
pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan dilakukan melalui
percepatan penempatan tenaga dokter, dokter gigi dan bidan
dengan pola pegawai tidak tetap (PTT). Dengan pola penempatan
PTT ini maka penyebaran tenaga bagi daerah terpencil dapat
lebih cepat dan merata, karena kepada mereka diberikan
tunjangan khusus sesuai dengan tingkat keterpencilannya. Pada
tahun 1994/95 telah ditempatkan sebanyak 3.316 orang dokter
PTT dan 896 dokter gigi PTT. Jumlah dokter PTT dan dokter
gigi PTT yang ditempatkan tersebut meningkat dari tahun
1993/94 yang berjumlah masing-masing sebanyak 1.700 orang XVIII/17
dan 336 orang.
Salah satu kegiatan program pelayanan kesehatan
masyarakat adalah pelayanan kesehatan keluarga. Prioritas
pelayanan kesehatan keluarga diarahkan terhadap pelayanan
kesehatan ibu dan anak termasuk pelayanan kontrasepsi,
pemeliharaan anak dan ibu sesudah persalinan, perbaikan gizi
dan pemberian imunisasi serta pelayanan kesehatan bagi
kelompok usia lanjut. Melalui pelayanan kesehatan keluarga,
telah dilaksanakan peningkatan pelayanan kontrasepsi
dengan metode efektif dengan cakupan sekitar 66 persen
dari
pasangan usia subur. Pencapaian ini telah mendekati sasaran
yang ditetapkan pada tahun pertama Repelita VI yaitu sekitar 67
persen. Selain itu telah dilaksanakan pula kegiatan simulasi
pengayoman metode kontrasepsi efektif yang telah mencakup 18
propinsi yang bertujuan untuk melestarikan pemakaian
kontrasepsi efektif. Untuk mengetahui kemungkinan terjadinya
masalah kesehatan pada ibu usia subur, dilaksanakan deteksi
secara dini kelainan reproduksi yang telah dilaksanakan di 23
propinsi. Selain tenaga dokter, pelaksana utama kegiatan
pelayanan kesehatan keluarga adalah tenaga bidan yang telah
tersebar di desa-desa. Bidan di desa berperanan besar dalam
kegiatan pelayanan kesehatan terutama pemeliharaan kesehatan
ibu dan anak, imunisasi, perbaikan gizi di perdesaan, yang
dampaknya diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu
melahirkan dan angka kematian bayi dan anak. Pada tahun
1994195 telah ditempatkan sebanyak 9.464 bidan PTT di desa.
Untuk mendukung kegiatan mereka diberikan bantuan alat
transpor, biaya pemondokan, biaya operasional dan peralatan
untuk bidan.
Untuk meningkatkan keterampilan petugas dalam
memberikan pelayanan kesehatan kepada ibu, telah dilaksanakan
pelatihan petugas di 15 propinsi. Dalam pelayanan kesehatan
ibu, selain tenaga bidan peranan dukun bayi juga cukup penting. XVIII/18
Melalui pelatihan dan pembinaan secara terus menerus, tenaga
tersebut sangat membantu meningkatkan cakupan pelayanan
kesehatan terhadap ibu hamil dan ibu melahirkan. Jumlah dukun.
bayi yang telah dibina pada tahun 1994/95 sebanyak 18.676
orang, sedangkan dukun bayi yang dilatih mencakup 1.454
orang. Dibandingkan dengan jumlah dukun bayi yang dibina
pada tahun 1993/94 sebanyak 15.337 orang, maka terjadi
peningkatan sekitar 3.000 orang lebih. Sebagai dampak dari
bertambahnya tenaga bidan di desa dan makin intensifnya
pembinaan dukun bayi maka cakupan pelayanan kepada ibu
hamil pada tahun 1994/95 telah mencapai 70 persen.
Sasaran pelayanan lainnya dari kesehatan keluarga adalah
anak balita dan anak pra sekolah di taman kanak-kanak (TK).
Kunjungan anak balita ke sarana pelayanan kesehatan dasar dan
pos pelayanan terpadu (posyandu) pada tahun 1994/95 telah
mencakup 75 persen, sama dengan tahun sebelumnya. Di
taman kanak-kanak telah dilaksanakan pemeriksaan kesehatan
(skrining) yang dilaksanakan oleh guru-guru TK yang sebelumnya
mendapatkan pelatihan. Pelayanan kesehatan bagi usia lanjut,
merupakan kegiatan baru yang mulai dikembangkan dalam
Repelita VI. Kegiatannya meliputi pendataan dan penjaringan
kesehatan yang telah dilaksanakan sebanyak 18 kali, pelatihan
petugas dan evaluasi kegiatan untuk perumusan kegiatan ditahun
yang akan datang.
Kegiatan lainnya adalah pelayanan kesehatan anak sekolah
dan remaja. Kegiatannya diselenggarakan melalui wadah usaha
kesehatan sekolah (UKS), meliputi penjaringan anak sekolah,
pelayanan kesehatan bagi anak luar biasa (anak berkelainan)
dan pelayanan kesehatan bagi remaja. Pada tahun 1994/95 jumlah
sekolah yang telah tercakup oleh kegiatan penjaringan kesehatan
adalah sebanyak 25.000 sekolah, sedikit meningkat bila
dibandingkan dengan tahun 1993/94 yang berjumlah 24.218
sekolah.
Pelayanan kesehatan bagi anak luar biasa telah dilaksanakan
oleh 567 puskesmas di 13 propinsi, sama jumlahnya dengan
kegiatan yang dilaksanakan tahun sebelumnya. Dengan
diketahuinya kelainan yang diderita oleh anak sekolah tersebut,
maka guru, orang tua dan petugas puskesmas akan bekerjasama
untuk menanggulangi kelainan tersebut. Pelayanan kesehatan
terhadap remaja dilaksanakan melalui pelak-sanaan konseling
kesehatan, penyuluhan dan pelatihan petugas yang telah
dilaksanakan di 23 propinsi.
XVIII/19
Penyembuhan dan pemulihan kesehatan merupakan kegiatan
yang dilaksanakan oleh puskesmas dan jaringannya. Kegiatan
rawat jalan merupakan kegiatan pokok dari pelayanan
penyembuhan dan pemulihan. Selain itu di puskesmas yang
dilengkapi dengan tempat tidur (puskesmas perawatan)
dilaksanakan pula perawatan penderita. Pada tahun 1994/95 telah
tersedia 1.371 puskesmas perawatan dengan kapasitas tempat
tidur rata-rata 5-10 tempat tidur per puskesmas. Bagi penduduk
miskin terutama di desa tertinggat, mulai tahun 1994/95 di
berikan "kartu sehat" yang dapat dipergunakan untuk
mendapatkan pelayanan penyembuhan dan pemulihan kesehatan
di puskesmas dan/atau rumah sakit secara cuma-cuma.
Pemberian kartu sehat ini tidak hanya untuk berobat saja, namun
menggugah mereka yang menerimanya untuk lebih banyak
memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya.
Dalam upaya peningkatan kesehatan mata, telah
dilaksanakan pelayanan kesehatan mata di sekitar 1.000
puskesmas. Untuk meningkatkan kesegaran jasmani masyarakat
terutama golongan usia sekolah, usia produktif, atlit dan
golongan usia lanjut, dilaksanakan kesehatan olah raga.
Kegiatannya berupa penyuluhan kesehatan olah raga yang
dilaksanakan oleh petugas puskesmas. Selain itu dilaksanakan
pula pelatihan bagi petugas yang akan menangani kesehatan olah XVIII/20
raga baik di tingkat pusat maupun di daerah. Untuk
meningkatkan prestasi atlit, maka ditingkat pusat telah
dilaksanakan pembinaan kesehatan bagi para atlit bekerjasama
dengan KONI pusat.
3) Program Kesehatan Rujukan dan Rumah Sakit
Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu, cakupan,
dan efisiensi pelayanan kesehatan di rumah-rumah sakit serta
memantapkan sistem pelayanan rujukan dari puskesmas ke
rumah sakit kabupaten, rumah sakit propinsi dan rumah sakit di
tingkat pusat.
Kegiatan peningkatan pelayanan kesehatan rujukan dan rumah
sakit yang telah dilaksanakan antara lain meliputi: pembangunan
dan rehabilitasi gedung rumah sakit; perbaikan dan penggantian
serta pengadaan peralatan medis berdasarkan standar pelayanan di
masingmasing rumah sakit; penambahan dan pemerataan
persebaran tenaga dokter ahli; penyediaan bantuan obat-obatan; dan
peningkatan biaya operasional serta pemeliharaan rumah sakit.
Selain itu dilaksanakan pula peningkatan keterampilan
petugas di berbagai bidang pelayanan di semua unit
pelayanan rujukan, dimulai dari tingkat kabupaten dengan
rumah sakit kelas D, C, serta rumah sakit kelas B dan A yang pada
umumnya terletak di tingkat propinsi dan pusat.
Secara keseluruhan jumlah rumah sakit pada tahun 1994/95
tercatat sebanyak 1.741 buah dengan 128.708 tempat tidur yang
terdiri dari: 835 rumah sakit umum (RSU) dengan 98.952 tempat
tidur dan 906 rumah sakit khusus (RSK) dengan 29.756 tempat
tidur (Tabel XVIII-2). Hal ini menunjukkan adanya penambahan
jumlah sebanyak 68 rumah sakit dengan 2.727 tempat tidur jika
dibandingkan dengan tahun 1993/94.
Untuk meningkatkan jenis dan mutu pelayanan di rumah sakit
dilakukan penempatan 409 tenaga dokter ahli dari empat keahlian
dasar yaitu ahli bedah, ahli anak, ahli penyakit dalam dan ahli
kebidanan dan kandungan di berbagai rumah sakit terutama di
rumah sakit kelas D dan C. Selain itu, untuk mempercepat
penempatan dokter ahli di rumah sakit kabupaten di daerah
terpencil telah disedia- kan beasiswa untuk mengikuti pendidikan
dokter ahli, khususnya 4 keahlian dasar tersebut. Setelah lulus
pendidikan mereka diwajibkan untuk menjalankan masa baktinya
di rumah sakit kabupaten. Guna memfungsikan para dokter ahli
tersebut secara optimal, disediakan pula 441 paket peralatan
dokter spesialis, 145 paket peralatan keahlian
XVIII/21
dasar, dan 125 paket peralatan untuk tiga keahlian penunjang
(ahli anestesi, ahli radiologi dan ahli laboratorium). Untuk
meningkatkan kemampuan pelayanan di berbagai rumah sakit
diadakan 1.652 unit peralatan medik, 1.884 unit peralatan
nonmedik dan 36 unit kendaraan/ambulans. Selain itu diberikan
pula bantuan obat-obatan dan peralatan medik kepada 23 rumah
sakit swasta, terutama yang berlokasi di propinsi-propinsi di luar
pulau Jawa dan Bali.
Sejak tahun 1990/91, disediakan biaya operasional dan
pemeliharaan rumah sakit (OPRS) dengan tujuan untuk
meningkatkan penampilan fisik rumah sakit dan mutu pelayanati
seluruh rumah sakit pemerintah baik pusat maupun daerah. Pada
tahun 1994/95 telah disediakan biaya OPRS bagi 405 rumah sakit
sebesar Rp 57,9 milyar.
Salah satu alternatif untuk mewujudkan kemandirian rumah
sakit adalah melalui unit swadana. Dengan unit swadana
dimungkinkan terjadinya subsidi silang kepada rumah sakit yang
lemah, sedangkan rumah sakit yang telah mandiri dapat
meningkatkan mutu pelayanannya. Demikian pula di rumah sakit
unit swadana dimungkinkan subsidi silang antara penderita yang
mampu kepada yang kurang mampu. Sampai dengan tahun 1994?
telah terdaftar sebanyak 10 rumah sakit vertikal yang menjadi XVIII/22
unit swadana.
Pada tahun 1994/95 penyelesaian pembangunan RS Dr.
Wahidin Soediro Husodo di Ujung Pandang, RS Malalayang
Manado dan RS Adam Malik Medan terus dilanjutkan.
Sedangkan RS Purwokerto dan RS Muwardi Solo baru memasuki
tahap akhir penyelesaian pembangunan gedungnya. Di samping
itu telah diselesaikan rehabilitasi/renovasi serta penambahan
bangunan untuk 147 RS dimana 17 RS terdapat di Propinsi
Kalimantan Tengah, Jambi, dan Maluku. Penambahan peralatan
medik dan non medik serta perbaikan peralatan
dilaksanakan pula pada 20 rumah sakit di propinsi Sumatera
Utara, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan.
Dalam rangka peningkatan kelas rumah sakit dari kelas D
menjadi kelas C, dilaksanakan studi kelayakan terhadap 10
rumah sakit, dan penyusunan rencana induk (master plan) bagi
8 rumah sakit. Sedangkan untuk lebih meningkatkan kualitas
kesehatan lingkungan di rumah sakit, telah dilaksanakan pula
pembangunan instalasi air limbah bagi 8 rumah sakit.
Untuk pelayanan penderita kusta telah dilaksanakan
rujukan dokter ahli bedah kusta guna memberikan pelayanan
bedah rekonstruksi di 10 rumah sakit kusta binaan. Di samping
itu diadakan juga pelatihan paramedis bidang pelayanan penyakit
kusta, rehabilitasi gedung dan prasarana lingkungan, serta
pengadaan peraratan di RS Kusta Sitanala, RS Kusta Sungai
Kundur dan RS Kusta Ujung Pandang.
4) Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit
Tujuan dari program pencegahan dan pemberantasan
penyakit adalah menurunkan angka kematian dan angka
kesakitan serta rnengurangi akibat buruk penyakit, baik yang
menular maupun tidak menular. Kegiatan pokok dari program
ini meliputi pengamatan penyakit, pengobatan penderita,
pemberantasan vektor penyakit, imunisasi dan penanggulangan
kejadian luar biasa dan wabah penyakit. Kegiatan pokok tersebut
dilaksanakan secara terpadu dengan program kesehatan lainnya,
terutama dengan program pelayanan kesehatan masyarakat
yang didukung oleh partisipasi masyarakat, termasuk dunia
usaha. Beberapa kegiatan program pencegahan dan
pemberantasan penyakit pada tahun pertama Repelita VI adalah
sebagai berikut.
XVIII/23
Upaya pemberantasan penyakit malaria meliputi penemuan
dan pengobatan penderita yang telah dilaksanakan terhadap
sekitar 5,7 juta penderita. Selain itu telah dilaksanakan
penyemprotan rumah penduduk dengan insektisida jenis
Fenetrothion yang mencakup sekitar 1,7 juta rumah (Tabel
XVIII-3). Jumlah rumah yang disemprot pada tahun 1994/95
meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu lebih dari 200 ribu
rumah. Penyemprotan rumah di daerah rawan penyakit malaria
di Jawa dan Bali, yang semula menggunakan jenis insektisida
DDT, diganti oleh jenis insektisida yang mudah terurai yaitu
Fenetrothion, Karbamat dan L-Sihalothrin. Tujuan penggantian
ini untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan DDT
terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Peningkatan
kegiatan penyemprotan dan pengobatan penderita telah berhasil
menurunkan angka kesakitan penyakit malaria di Jawa dan Bali
menjadi 0,17 per 1.000 penduduk pada tahun 1994/95. Angka
kesakitan ini lebih rendah dari angka tahun sebelumnya yaitu
0,19 per 1.000 penduduk. Namun demikian penyakit ini masih
merupakan masalah di luar Jawa dan Bali, sehingga
pemberantasannya perlu terus ditingkatkan.
Penyakit menular lainnya yang perlu ditingkatkan
pemberantasannya adalah penyakit demam berdarah dengue
(DBD). Penyakit ini dari tahun ke tahun penyebarannya makin XVIII/24
meluas. Sejak pertama kali dilaporkan tahun 1968 di Surabaya
dan Jakarta, sampai pada akhir Repelita V penyakit ini telah
menyebar ke 20 propinsi dan mencakup 170 Dati II. Pada tahun
1994/95 penyebarannya meluas lagi sehingga semua propinsi
telah terjangkit dan mencakup 217 Dati II. Meluasnya
penyebaran penyakit ini sejalan dengan meningkatnya arus
transportasi antar wilayah dan makin padatnya jumlah penduduk
serta belum baiknya kesehatan lingkungan. Untuk
menanggulangi penyakit ini upaya yang dilakukan antara lain
berupa abatisasi dan penyemprotan masal di tempat-tempat
pembiakan nyamuk Aedes
Aegypti serta pengasapan (fogging) di rumah-rumah yang
tersangka menjadi sarang nyamuk. Pada tahun 1994/95, kegiatan
abatisasi masal telah dilaksanakan terhadap sekitar 2,5 juta
rumah, dan pengasapan terhadap sekitar 5,5 juta rumah (Tabel
XVIII-3). Kegiatan pengasapan ini, meningkat dari tahun 1993/94
yang mencakup sekitar 2,6 juta rumah. Peningkatan ini
dilaksanakan untuk mengantisipasi perluasan penyebaran penyakit
menurut siklus empat tahunan. Angka kesakitan DBD pada tahun
1994/95 masih cukup tinggi yaitu sekitar 9,7 per 100.000
penduduk, yang berarti upaya pemberantasannya perlu terus
ditingkatkan.
Di samping penyakit malaria dan DBD, penyakit tuberkulosa
paru (TB-Paru), merupakan penyakit menular yang banyak
diderita oleh masyarakat terutama penduduk miskin. Pada
pertengahan Repelita V perhatian WHO terhadap penyakit ini
meningkat. Hal ini sejalan dengan meluasnya penyebaran penyakit
AIDS yang berdampak menurunkan daya tahan tubuh sehingga
penderita lebih mudah terjangkit penyakit tuberkulosa paru.
Untuk itu WHO telah menetapkan strategi global pemberantasan
penyakit TB-Paru. Dalam strategi tersebut ditetapkan target
cakupan penanggulangan TB-Paru sebesar 70 persen dengan
angka kesembuhan sebesar 85 persen. Sejalan dengan strategi
tersebut, maka mulai tahun 1994/95 telah dilaksanakan perbaikan
dalam penanggulangan penyakit ini yang meliputi cara
menemukan penderita, dan cara pengobatannya. Peralatan untuk
diagnosa penderita yang sebelumnya menggunakan mikroskop
monokuler, diganti menjadi mikroskop binokuler. Pengawasan
atas keteraturan minum obat diperketat sehingga diharapkan
angka kesembuhan dapat ditingkatkan, sesuai pedoman
pemakaian obat yang dianjurkan WHO. Pada tahun 1994/95 telah
dilaksanakan pemeriksaan terhadap sekitar 292 ribu sediaan dahak
dan pengobatan terhadap sekitar 26,6 ribu penderita (Tabel
XVIII-3). Jumlah penderita yang diobati ini lebih kecil dari tahun
1993/94 yang
XVIII/25
berjumlah sekitar 68 ribu penderita. Penurunan ini antara lain
disebabkan karena cara diagnosa yang lebih baik dan dengan
memperhitungkan kemampuan sarana, tenaga pelaksana,
kelengkapan alat, dan pengawasan yang lebih ketat terhadap
keteraturan minum obat sehingga dapat menghasilkan tingkat
kesembuhan di atas 85 persen. Upaya pemberantasan TB-Paru
diintegrasikan dengan upaya yang dilaksanakan di balai
pengobatan penyakit paru (BP4) dan rumah sakit. Selain itu
kerjasama dengan perkumpulan pemberantasan tuberkulosa
Indonesia (PPTI) terus ditingkatkan.
Penyakit menular lainnya yang penting ditanggulangi
adalah infeksi saluran nafas akut (ISPA), yang mencakup
saluran nafas bagian atas dan bagian bawah. Penyakit ini
merupakan penyebab utama tingginya angka kesakitan dan
kematian bayi dan anak. Kegiatannya meliputi penemuan dan
pengobatan penderita yang dilaksanakan melalui puskesmas
dan jaringannya. Untuk penanganan kasus ISPA yang berat,
dilaksanakan kegiatan rujukan ke rumah sakit. Jumlah penderita
yang ditemukan dan diobati pada tahun 1994/95 sekitar
572.477 ribu orang.
Seperti halnya penyakit ISPA, penyakit diare merupakan
penyakit menular yang menyebabkan tingginya angka kematian XVIII/26
bayi dan anak. Penyebab penyakit diare berkaitan erat dengan
keadaan kesehatan lingkungan yang masih rendah dan perilaku
masyarakat yang kurang mendukung hidup sehat. Kegiatan
pemberantasan penyakit ini meliputi penyuluhan kesehatan dan
penemuan serta pengobatan penderita. Penyuluhan
dilaksanakan terutama melalui puskesmas dan jaringannya serta
posyandu dengan penekanan pada upaya pencegahan seperti
membiasakan minum air yang telah dimasak, cara
menggunakan oralit, cara membuat larutan gula garam sebagai
pengganti oralit, dan cara memelihara lingkungan yang sehat.
Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan penemuan dan
pengobatan
terhadap sekitar 2,6 juta penderita diare. Jumlah ini lebih rendah
dari tahun 1993/94 yaitu sekitar 4,1 juta orang penderita.
Menurunnya jumlah penderita yang ditemukan dan diobati,
antara lain berkaitan dengan makin meningkatnya kesadaran
masyarakat terhadap upaya pencegahan penyakit ini.
Penyakit menular yang menunjukkan kecenderungan meluas
penyebarannya adalah penyakit AIDS. Sejak ditemukan pertama
kali di Indonesia pada tahun 1987 sampai dengan 31 Maret 1995,
tercatat sebanyak 218 orang penderita terinfeksi virus penyebab
penyakit ini (virus HIV) dan 70, orang menderita AIDS di
Indonesia. Kegiatan penanggulangan AIDS diintegrasikan dengan
pemberantasan penyakit kelamin. Kegiatannya antara lain
meliputi sero survai AIDS dan sifilis serta pemeriksaan
(skrining) donor darah. Di samping itu kegiatan penyuluhan
tentang upaya pencegahan AIDS melalui media massa terus
diintensifkan. Pada tahun 1994/95, kegiatan sero survai AIDS
dan sifilis mencakup 52.825 sampel. Selain itu telah
dilaksanakan pula pemeriksaaan (skrining) terhadap 703.369 kolf
darah yang akan ditransfusikan. Dengan demikian darah yang
akan ditransfusikan dijaga agar terbebas dari virus HIV. Kegiatan
pemeriksaan darah ini meningkat dari tahun 1993/94 yaitu
sebanyak 669.951 kolf darah. Dalam upaya penanggulangan AIDS
secara lintas sektor, telah dibentuk komisi penanggulangan AIDS
yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 36 tahun
1994. Atas dasar Keppres tersebut telah disusun Program
Nasional Penanggulangan HIV/AIDS Repelita VI, yang akan
merupakan landasan/pedoman bagi semua instansi pemerintah
maupun swasta serta organisasi masyarakat dalam upaya
penanggulangan HIV/AIDS.
Kegiatan imunisasi merupakan kegiatan penting dibidang
pencegahan dan pemberantasan penyakit dalam upaya
mempercepat
XVIII/27
penurunan angka kesakitan, kematian bayi dan anak. Sasaran
cakupan imunisasi dasar (BCG, DPT, polio, campak) secara
internasional telah ditetapkan pada konferensi tingkat tinggi anak
sedunia (World Summit for Children). Pada konferensi tersebut
ditetapkan bahwa sasaran imunisasi dasar minimal harus
mencakup 80 persen dari sasaran, dikenal dengan sasaran
Universal Child Immunization (UCI). Pada tahun 1994/95 rata-
rata pencapaian sasaran nasional kegiatan imunisasi campak
lengkap pada bayi sebesar 92 persen. Hal ini berarti secara
nasional, sasaran UCI telah dilampaui. Untuk meningkatkan
cakupan dan mutu kegiatan imunisasi, maka dukungan peralatan,
vaksin, pelatihan petugas dan kegiatan operasional terus
ditingkatkan.
Upaya pemberantasan penyakit menular lainnya seperti
penyakit kaki gajah (filariasis), demam keong (schistosomiasis),
gila anjing (rabies), pes, kusta, patek (frambusia) dilanjutkan
dan ditingkatkan. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan
pengobatan masal terhadap sekitar 190 ribu penderita kaki gajah.
Di Lembah Lindu dan Napu, propinsi Sulawesi Tenggara telah
dilaksanakan pengobatan masal terhadap 2.075 penderita demam
keong, selama 6 bulan dengan praziquantel. Selain itu
dilaksanakan pula kegiatan penyuluhan, penyediaan sarana air
bersih dan jamban serta pemberantasan fokusfokus keong XVIII/28
penular. Kegiatan penanggulangan rabies dilaksanakan melalui
vaksinasi hewan sebanyak 716.940 ekor dan vaksinasi pada
manusia sebanyak 7.059 orang. Pemberantasan penyakit rabies,
dilaksanakan secara terpadu melibatkan unsur Departemen
Dalam Negeri, Departemen Kesehatan dan Departemen
Pertanian Ditjen. Peternakan. Pemberantasan penyakit pes hanya
dilaksanakan di daerah fokus pes yaitu di kabupaten-kabupaten
Boyolali, Pasuruan dan Sleman. Kegiatannya meliputi
pengumpulan sediaan (spesimen) dan pengobatan terhadap
tersangka.
5) Program Perbaikan Gizi
Tujuan dari program perbaikan gizi adalah meningkatkan
mutu gizi konsumsi pangan sehingga berdampak pada perbaikan
keadaan gizi masyarakat. Kegiatan utama program ini meliputi
penyuluhan gizi masyarakat, usaha perbaikan gizi keluarga
(UPGK), upaya perbaikan gizi institusi dan peningkatan
penerapan sistem kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG).
Penyuluhan gizi masyarakat bertujuan untuk
memasyarakatkan pengetahuan gizi secara luas, guna
menanamkan sikap dan perilaku yang mendukung kebiasaan
hidup sehat dengan makanan yang bermutu gizi seimbang bagi
masyarakat. Untuk melaksanakan penyuluhan gizi telah disusun
pedoman umum gizi seimbang (PUGS). Pedoman ini merupakan
pegangan bagi petugas kesehatan dan petugas sektor terkait lainnya
serta masyarakat luas tentang perilaku konsumsi makanan yang
sesuai dengan kaidah umum gizi.
Untuk menyebarluaskan informasi tentang PUGS, dalam
tahun 1994/95 telah dilaksanakan pelatihan untuk pelatih sebanyak
52 orang. Selain itu telah dilaksanakan pula pelatihan tentang
peningkatan penggunaan air susu ibu (ASI) secara eksklusif
terhadap 268 orang petugas.
Kegiatan lainnya berupa pelatihan bagi petugas gizi di daerah
termasuk organisasi wanita dan lembaga swadaya masyarakat
(LSM). Materi pelatihan antara lain meliputi: PUGS, hidangan
bergizi spesifik daerah, peningkatan penggunaan ASI, teknologi
tepat guna pengolahan pangan dan komunikasi informasi dan
edukasi (KIE) gizi. Untuk mendukung kegiatan penyuluhan gizi
telah dilaksanakan pengadaan dan distribusi materi penyuluhan
gizi berupa media cetak
XVIII/29
(leaflet, booklet, poster) maupun media elektronik (video, filler,
radiospot,.kaset dan sebagainya).
Penyebarluasan informasi dilaksanakan melalui penayangan
di TVRI sebanyak 46 kali dan drama seri di RRI dan kuis
sebanyak 46 kali. Di samping itu telah pula dikembangkan
kegiatan pemasaran sosial tentang pemanfaatan garam
beriodium, peningkatan konsumsi makanan sumber vitamin A
dan zat besi serta peningkatan penggunaan ASI secara eksklusif.
Usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) merupakan gerakan
sadar gizi masyarakat, bertujuan memacu upaya masyarakat agar
mampu memenuhi kebutuhan gizinya, melalui pemanfaatan
aneka ragam pangan sesuai dengan kemampuan ekonomi
keluarga dan lingkungan masyarakat setempat. Kegiatannya
meliputi penyuluhan gizi masyarakat perdesaan, pelayanan gizi
di posyandu dan peningkatan pemanfaatan lahan pekarangan.
Penyuluhan gizi masyarakat pedesaan dilaksanakan di
posyandu yang tersebar di seluruh desa. Pada tahun 1994/95
jumlah posyandu yang melaksanakan penyuluhan gizi adalah
sebanyak 250.262 posyandu, meningkat dari keadaan tahun
1993/94 yaitu sebanyak 244.843 posyandu. Sasaran penyuluhan
adalah ibu balita, ibu hamil dan ibu menyusui serta wanita usia XVIII/30
subur yang datang ke posyandu. Pelaksana penyuluhan adalah
para kader di bawah bimbingan petugas kesehatan dan petugas
sektor lainnya seperti petugas pertanian, BKKBN, agama,
pamong desa dan penggerak PKK. Selain di posyandu,
penyuluhan gizi juga dilaksanakan di luar posyandu dengan
menggunakan pendekatan kelompok antara lain melalui
kelompok pengajian, arisan, kelompok wanita tani, PKK dan
kelompok pendengar, pembaca dan pemirsa (Kelompencapir).
Pelayanan gizi di posyandu, terutama ditujukan kepada
kelompok masyarakat yang rawan gizi yaitu wanita pranikah, ibu
hamil, ibu menyusui, bayi dan anak balita. Posyandu merupakan
ujung tombak dalam penanggulangan masalah gizi kurang seperti
kurang vitamin A (KVA), gangguan akibat kurang iodium
(GAKI), anemia gizi besi (AGB) dan kurang energi protein
(KEP). Kegiatan pemantauan pelayanan gizi di posyandu antara
lain meliputi pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak,
pemberian paket pelayanan gizi, pemberian makanan tambahan
dan pemantauan dini terhadap perkembangan kehamilan.
Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak,
dilaksanakan melalui penimbangan berat badan bayi dan balita
secara teratur sekali sebulan, yang hasilnya dapat diamati melalui
kartu menuju sehat (KMS). Pemberian paket pertolongan gizi
antara lain berupa pemberian kapsul iodium terhadap sekitar
12,4 juta penduduk terutama yang bertempat tinggal di desa
endemik berat dan sedang. Selain itu dilaksanakan pula
penyuluhan gizi untuk meningkatkan konsumsi garam beriodium.
Dalam upaya menanggulangi masalah AGB pada ibu hamil telah
didistribusikan tablet besi kepada sekitar 2,4 juta ibu hamil.
Prioritas pemberian tablet besi diberikan terhadap ibu hamil yang
mempunyai risiko tinggi di desa tertinggal. Selain itu telah
dilaksanakan pula kegiatan pemasaran sosial untuk meningkatkan XVIII/31
konsumsi bahan makanan sumber zat besi.
Walaupun masalah KVA yang diukur dengan besarnya
prevalensi Xerophthalmia sudah sangat rendah, namun prevalensi
KVA diukur dari kadar serum vitamin A yang rendah masih
memprihatinkan yang akan rnengancam keberhasilan
penanggulangan Xerophthalmia. Untuk mempertahankan
keberhasilan tersebut, masih diperlukan pemberian kapsul vitamin
A dosis tinggi terhadap anak balita dan ibu nifas. Pada
tahun 1994/95 telah didistribusikan kapsul vitamin A kepada
sekitar 11,8 juta anak balita.
Pemberian makanan tambahan untuk anak balita yang
menderita KEP, kegiatannya dikaitkan dengan pemanfaatan
lahan pekarangan melalui program diversifikasi pangan dan gizi
dari sektor pertanian. Kegiatan pemberian makanan tambahan
diupayakan menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat
setempat.
Kegiatan utama lainnya dari program perbaikan gizi adalah
usaha perbaikan gizi institusi (UPGI). Kegiatan ini bertujuan
untuk meningkatkan keadaan gizi kelompok masyarakat yang
berada di suatu lembaga atau institusi tertentu. Institusi yang
dimaksud adalah yang mengelola dan melaksanakan pelayanan
gizi bagi warganya. Perhatian diberikan terutama kepada lembaga
pendidikan, khususnya SD termasuk pesantren di daerah miskin,
dan panti-panti sosial. Kegiatan UPGI antara lain meliputi
pembinaan teknis, pelatihan, penyuluhan dan intervensi gizi.
Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pemberian makanan
tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS) di 891 buah sekolah dasar
dan madrasah ibtidaiyah, di semua propinsi, kecuali DKI Jakarta
yang mencakup sekitar 42,3 ribu anak. PMT-AS XVIII/32
diselenggarakan oleh petugas kesehatan dan pendidikan bekerja
sama dengan orang tua murid dan masyarakat. Dalam paket
PMT-AS, selain pengadaan bahan makanan diberikan pula obat
cacing dan tablet besi. Has i l evaluasi sementara dari PMT-AS
antara lain menyimpulkan bahwa keadaan gizi anak sekolah
telah makin baik yang ditunjukkan oleh meningkatnya berat
badan dan tinggi badan anak, menurunnya prevalensi cacingan
dari 67 persen menjadi 40 persen, dan meningkatnya prestasi
belajar.
Pelatihan UPGI telah diikuti oleh 60 orang pengelola gizi
perusahaan, 30 orang petugas pusat latihan olah raga, 120 orang
petugas rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan, 60 orang
petugas panti sosial, 45 orang petugas jasa boga dan 60 orang
petugas pesantren. Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan
UPGI, telah disusun berbagai buku pedoman dan materi gizi
lainnya.
Kegiatan program perbaikan gizi .lainnya adalah sistem
kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG). Di sektor kesehatan
kegiatan SKPG meliputi pemantauan status gizi (PSG) balita
sekali setahun, pengukuran tinggi badan anak baru sekolah
(TBABS), pemantauan konsumsi masyarakat tingkat kecamatan
dan jaringan informasi pangan dan gizi (JIPG).
Kegiatan PSG di posyandu telah diujicobakan pada tahun
1992/93 di 6 propinsi yaitu Jawa Timur, Bali, NTB, NTT,
Sulawesi Utara dan Kalimantan Barat. Uji coba tersebut
menunjukkan bahwa PSG di posyandu dapat memberikan
gambaran keadaan gizi anak balita di tingkat kecamatan. Pada
tahun 1994/95 PSG di Posyandu telah dilaksanakan di seluruh
kecamatan di 27 propinsi. Salah satu cara untuk mengetahui
perkembangan dan pertumbuhan fisik penduduk adalah melalui
pengukuran TBABS. Pada tahun 1994/95 pengukuran TBABS
telah dilaksanakan di 18.224 sekolah dasar dan madrasah di
seluruh Indonesia. Sebanyak 77,5 persen anak masuk sekolah
berumur 6-7 tahun. Secara umum tinggi badan rata-rata anak laki-
laki adalah 114,9 cm dan perempuan 114,0 cm. Tinggi badan
rata-rata anak laki-laki baru masuk sekolah mencapai 91 persen
dan anak perempuan sebesar 90,6 persen dari masing-masing
bahan rujukan NCHS-WHO. Pada umumnya anak yang tinggal di
perkotaan mempunyai tinggi badan yang lebih baik
dibandingkan dengan anak yang tinggal di daerah perdesaan.
Prevalensi gangguan pertumbuhan
XVIII//33
pada anak sekolah adalah 18 persen di perkotaan dan 32 persen
di perdesaan.
6) Program Pengawasan Obat dan Makanan
Program ini bertujuan: pertama, tersedianya obat dan alat
kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat yang
didukung oleh industri farmasi dan alat kesehatan yang maju dan
mandiri; kedua, terlindungnya masyarakat dari penggunaan
sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang tidak
memenuhi ketentuan standar dan persyaratan kesehatan lainnya;
ketiga, terlindungnya masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
dan kesalahgunaan obat, narkotik, dan zat adiktif, serta bahan
berbahaya lainnya; dan keempat, meningkatnya penggunaan obat
tradisional yang terbukti bermanfaat untuk pelayanan kesehatan
sejalan dengan program pengembangan pengobatan tradisional.
Dalam upaya menyediakan obat yang makin merata, bermutu
dan terjamin khasiatnya serta terjangkau harganya oleh
masyarakat luas pemanfaatan obat generik dilanjutkan dan
ditingkatkan. Pada tahun 1994/95 penjualan obat generik pada
sektor swasta telah meningkat menjadi 70 persen dari total
penjualan obat generik secara nasional. Nilai penjualan obat
generik pada tahun 1994/95 mencapai sekitar Rp 81,12 milyar, XVIII//34
jauh meningkat bila dibandingkan nilai pada tahun 1993/94
sekitar Rp 63,9 milyar.
Guna meningkatkan kemampuan pengelolaan obat di Dati II
dan puskesmas telah dilaksanakan peningkatan sarana, prasarana
dan sumber daya manusianya. Pada tahun 1994/95 telah
dibangun 1 gudang farmasi di Kodya Denpasar. Di camping itu
telah dilaksanakan pelatihan tenaga pengelola obat di Gudang
Farmasi Kabupaten (GFK) dan puskesmas sebanyak 1.049 orang.
Untuk melindungi masyarakat dari bahaya produk obat,
makanan, kosmetika, alat kesehatan dan obat tradisional yang
tidak memenuhi syarat kesehatan maka dilakukan pengendalian
mutu secara menyeluruh. Pengendalian mutu tersebut mencakup
cara pembuatan yang baik, penilaian produk sebelum dan
sesudah beredar, penetapan standar mutu, pengujian
laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi. Pada
tahun 1994/95 semua obat yang diproduksi di Indonesia hams
memenuhi persyaratan cara-cara pembuatan obat yang baik
(CPOB). Penilaian data teknis pendaftaran telah dilakukan
terhadap 1482 jenis obat, 4.384 jenis makanan, 1.282 jenis alat
kesehatan dan 1.272 jenis obat tradisional. Sebagai standar
dalam upaya pengendalian mutu telah disusun buku persyaratan
mutu mencakup 959 monografi obat, 200 monografi bahan
makanan tambahan, 208 monografi kosmetika dan 60
monografi obat tradisional.
Pengujian laboratorium terhadap obat, makanan, bahan dan
alat kesehatan dilakukan di Balai Pengawasan Obat dan
Makanan (Balai POM) di 27 propinsi dan Pusat Pengawasan
Obat dan Makanan (PPOM). Pengujian itu dilakukan untuk
memastikan apakah produk yang beredar telah memenuhi
persyaratan yang ditetapkan. Bagi produk yang sampelnya tidak
XVIII//35
memenuhi persyaratan, dilakukan penarikan kembali dari
peredaran untuk selanjutnya dimusnahkan. Pada tahun 1994/95
telah dilakukan pengujian terhadap 15.881 sampel obat, 1.167
sampel makanan dan minuman, 6.431 sampel kosmetika dan alat
kesehatan serta 5.579 sampel obat tradisional. Kegiatan
pengujian ini meningkat dari tahun 1993/94 yang baru
mencakup 1.710 sampel obat, 2.600 sampel kosmetika dan alat
kesehatan serta 250 sampel obat tradisional.
Pemeriksaan sarana produksi dan distribusi dilakukan oleh
tenaga pemeriksa untuk memastikan apakah ketentuan yang
berlaku dilaksanakan secara tertib. Pada tahun 1994/95 telah
dilaksanakan pemeriksaan terhadap 3.394 sarana poduksi dan
distribusi obat, 1.032 sarana produksi dan distribusi kosmetika
dan alat kesehatan serta 653 sarana produksi dan distribusi obat
tradisional. Atas dasar pemeriksaan tersebut telah dilaksanakan
penyidikan 444 kasus dibidang obat dan makanan, dan 13 kasus
diantaranya telah diputuskan oleh pengadilan. Jumlah kasus yang
disidik meningkat dari tahun 1993/94 yang mencakup 312 kasus.
Pembinaan dan pengembangan dimensi ekonomi industri
farmasi terus ditingkatkan untuk menunjang pembangunan
sektor ekonomi. Pada tahun 1994/95 tercatat sebanyak 224
industri farmasi dan 1.355 pedagang besar farmasi (PBF). Nilai
ekspor obat telah mencapai lebih dari 43 juta dollar AS. Untuk
memperkuat struktur industri farmasi dalam negeri, telah
dilaksanakan produksi bahan baku obat di dalam negeri dengan
ilai produksi sekitar 10,1 persen dari nilai kebutuhan bahan baku
nasional.
7) Program Pembinaan Pengobatan Tradisional
Program ini bertujuan untuk menggali dan meningkatkan XVIII//36
pendayagunaan obat dan cara pengobatan tradisional, baik
secara tersendiri atau terpadu dalam pelayanan kesehatan
paripurna guna mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
optimal. Program ini baru dilaksanakan pada Repelita VI,
dengan demikian kegiatannya masih terbatas. Pada tahun
1994/95 telah dibentuk satu sentra pengembangan dan penerapan
pengobatan tradisional (Sentra P3T) di Surabaya. Kegiatannya
antara lain mencakup renovasi gedung, pengadaan peralatan,
pelatihan tenaga dan pengkajian metode pengobatan tradisional.
Dalam rangka penyusunan pola pembinaan
pengobatan tradisional, telah dilaksanakan pertemuan
konsultasi pengelola program di 27 propinsi dan pembentukan
forum komunikasi lintas program dan lintas sektor baik di
tingkat pusat maupun di propinsi.
Untuk mengetahui potensi tenaga pengobat tradisional,
telah dilaksanakan inventarisasi tenaga pengobat tradisional di
3.625 wilayah kerja puskesmas yang tersebar di seluruh
Indonesia. Melalui inventarisasi tersebut, telah tercatat 184.818
tenaga pengobat tradisional. Selanjutnya kepada tenaga tersebut
secara bertahap dilaksanakan pembinaan langsung melalui
serangkaian sarasehan, yang jumlahnya telah mencakup 4.500
orang tenaga pengobat tradisional di 300 kecamatan dari 300
daerah tingkat dua (Dati II). Kegiatan lainnya adalah
pelaksanaan penggalian dan dokumentasi pengobatan
tradisional warisan pusaka Nusantara yang telah dilaksanakan di
3 propinsi yaitu Irian Jaya, Sumatera Utara dan Jawa Tengah.
Dalam upaya meningkatkan kemandirian hidup sehat, telah
dilaksanakan pelatihan akupresur bagi 80 orang kader di
propinsi Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Dalam
program ini, kegiatan penyebarluasan informasi mempunyai
peranan penting, dan untuk itu telah diadakan dan
disebarluaskan buku pedoman petugas "Pembinaan Pengobatan
Tradisional" dan buku "Peningkatan Peran Pengobat Tradisional
dalam Pembangunan Kesehatan" masing-masing sebanyak 2.500
buah buku.
b. Program Penunljang
1) Program Penyediaan dan Pengelolaan Air Bersih
Di sektor kesehatan program ini bertujuan meningkatkan
pengamanan kualitas air bagi berbagai kebutuhan dan
kehidupan penduduk, baik yang berada di perdesaan
maupun di perkotaan.
XVIII//37
Kegiatan pokok dari program ini meliputi pembakuan dan
pengaturan kualitas air, pengawasan kualitas air, perbaikan
kualitas air, dan pembinaan pemakai air serta kegiatan
pendukung.
Kegiatan pengawasan kualitas air bertujuan untuk
mengetahui gambaran keadaan sanitasi sarana dan kualitas air
sebagai data dasar untuk rekomendasi dalam pengamanan
kualitas air. Hasil pemeriksaan sanitasi pada tahun 1994/95
menunjukkan bahwa sarana air bersih dengan tingkat resiko
pencemaran amat tinggi adalah sebesar 8,2 persen, tinggi 22,8
persen, sedang 37,2 persen dan rendah 31,7 persen. Untuk
mengetahui kualitas air secara sederhana yang mencakup aspek
fisik dan kimia di lapangan telah digunakan alat uji kualitas air
sederhana. Sedangkan untuk pemeriksaan lengkap dilakukan di
laboratorium pemeriksaan kualitas air di Dati II, di Balai
Laboratorium Kesehatan Propinsi dan di Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan (BTKL). Pada tahun 1994/95 telah
dilaksanakan pengadaan alat pemeriksaan kualitas bakteriologis
air (Paket A) sebanyak 86 paket dan alat uji kualitas air untuk
puskesmas di daerah terpencil sebanyak 116 paket. Untuk
melaksanakan kegiatan pemeriksaan kualitas air telah dilatih
sebanyak 240 orang tenaga. Dari hasil analisis bakteriologis
terhadap sejumlah sampel air diketemukan bahwa air yang XVIII//38
memenuhi syarat kesehatan sebanyak 53,5 persen dan kualitas
bakteriologis air minum yang memenuhi syarat sebesar 61,7
persen.
Pembinaan pemakai air bertujuan untuk meningkatkan
pengertian dan kesadaran serta kemampuan masyarakat untuk
melakukan upaya pengawasan kualitas air. Kegiatannya meliputi
penyuluhan penyehatan air, pembinaan kelompok pemakai air
dan pembentukan Desa Percontohan Kesehatan Lingkungan
(DPKL). Pada tahun 1994/95 penyuluhan penyehatan air telah
dilaksanakan di 697 desa, sesuai dengan jumlah desa yang
melaksanakan perbaikan kualitas air. Pembentukan kelompok
pemakai air (Pokmair) merupakan wadah peran
serta masyarakat dalam pembangunan, pemanfaatan,
pemeliharaan dan pengembangan sarana penyediaan air bersih.
Pada tahun 1994/95 telah dibentuk Pokmair di 697 desa,
sedangkan DPKL sebanyak 149 desa.
2) Program Penyehatan Lingkungan Permukiman
Program ini bertujuan untuk mewujudkan lingkungan yang
lebih sehat agar dapat melindungi masyarakat dari segala
kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan dan
atau bahaya kesehatan menuju derajat kesehatan keluarga dan
masyarakat yang lebih baik. Kegiatannya meliputi penetapan
standar kesehatan lingkungan, pemantauan dan pengendalian
kualitas lingkungan, pemeliharaan kualitas lingkungan, dan
peningkatan sarana fasilitas Balai Tehnik Kesehatan
Lingkungan (BTKL).
Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pengawasan
kualitas lingkungan mencakup 17.098 sarana di 138 kabupaten.
Sarana yang dimaksud antara lain meliputi tempat pengelolaan
makanan, pengelolaan pestisida, tempat pembuangan sampah,
sarana angkutan umum dan kawasan industri. Pembinaan
kesehatan lingkungan dilaksanakan melalui penyuluhan yang
telah dilaksanakan di 990 lokasi antara lain mencakup daerah
kumuh perkotaan, daerah transmigrasi, masyarakat terasing,
daerah nelayan, desa pengrajin makanan. Selain itu telah
dilaksanakan pula "Gerakan Jumat Bersih" yang merupakan
upaya masyarakat untuk menciptakan lingkungan bersih dan
sehat yang diprakarsai oleh tuan guru dan tokoh masyarakat di
Nusa Tenggara Barat. “Gerakan jumat bersih” ini menyebar ke
berbagai daerah di Indonesia setelah dicanangkan oleh Bapak
Presiden pada tahun 1994 dengan pernyataan "hidup bersih
adalah ajaran semua agama dan merupakan cermin budaya
bangsa".
XVIII//39
Pemantauan dan pengendalian kualitas lingkungan telah
dilaksanakan di 635 lokasi berupa pemantauan pemaparan,
pengendalian akibat pencemaran pestisida, pengawasan
makanan di rumah sakit dan daerah industri. Selain itu telah
dilaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
di 5 propinsi mencakup 17 kabupaten. Upaya peningkatan BTKL
dilaksanakan antara lain dengan melengkapi peralatan dan
pelatihan petugas sehingga balai tersebut dapat meningkatkan
fungsinya. Pada tahun 1994/95 jumlah sampel yang diperiksa di
BTKL sebanyak 2.500 sampel.
3) Program Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan
Program ini terdiri atas dua komponen yaitu pendidikan
kedinasan dan pelatihan tenaga kesehatan. Tujuan dari
pendidikan kedinasan adalah menyediakan tenaga kesehatan
dalam jumlah, jenis dan kualitas yang sesuai dengan kebutuhan
program kesehatan. Sedangkan pelatihan tenaga kesehatan
bertujuan meningkatkan mutu sumber daya dibidang kesehatan
agar dapat meningkatkan hasil kerjanya dalam menunjang mutu
pelayanan kesehatan, memperkuat tim kerja serta menunjang
pengembangan karier.
Kegiatan pokok pendidikan kedinasan antara lain meliputi
XVIII/40
penyelenggaraan pendidikan kedinasan bidang kesehatan di
berbagai jenis dan jenjang pendidikan, peningkatan kesempatan
belajar (karya siswa), dan peningkatan mutu pendidikan
kedinasan. Pada tahun 1994/95 dilaksanakan pendidikan tenaga
bidan melalui program A (lulusan SPK ditambah pendidikan
bidan 1 tahun) sebanyak 8.400 orang, program B (pendidikan
guru bidan yaitu lulusan Akademi Perawat ditambah pendidikan
1 tahun) sebanyak 200 orang, dan program C (lulusan SLTP
dididik pendidikan bidan 3 tahun) sebanyak 6.514 orang. Untuk
meningkatkan mutu pendidikan kedinasan, pada tahun 1994/95
telah diselenggarakan pelatihan guru, termasuk guru
bidan dan instruktur klinis sebanyak 2.627 orang, pendidikan
AKTA III dan IV sebanyak 240 orang, serta penyediaan peralatan
pendidikan bidan sebanyak 306 set, dan peralatan pendidikan
lainnya sebanyak 38 set. Di samping pendidikan tenaga bidan
dan perawat, juga dididik berbagai tenaga kesehatan lainnya
pada tingkat D-I dan D-III untuk jurusan gizi, sanitasi,
fisioterapi, radiodiagnostik dan radioterapi serta teknik
elektromedik.
Kegiatan pokok pelatihan tenaga kesehatan antara lain
meliputi pengembangan institusi pendidikan dan pelatihan
(diktat), pengembangan sumber daya, pengembangan
metodologi diktat dan pengembangan sistem diklat. Dalam
rangka pengembangan institusi diktat pada tahun 1994/95 antara
lain dibangun dua balai pelatihan kesehatan (Bapelkes) yaitu di
Dili dan Padang. Selain itu telah dibuat tiga rencana induk
pembangunan Bapelkes yaitu di Pakanbaru, Jambi, dan
Palangkaraya. Untuk melengkapi fasilitas Bapelkes yang telah ada
diadakan 6 paket peralatan pendidikan bagi Bapelkes Gombong,
Padang, Pontianak, Pakanbaru, Palangkaraya, dan Ambon.
Bapelkes ini berfungsi sebagai lembaga penyelenggara pelatihan
tenaga kesehatan. Jumlah tenaga kesehatan yang dilatih baik di
pusat maupun di daerah pada tahun 1994/95 adalah sebanyak
48.654 orang terdiri dari pelatihan prajabatan sebanyak 19.943
XVIII/41
orang, pelatihan penjenjangan 528 orang, pelatihan teknis
fungsional 4.434 orang dan pelatihan teknis manajemen
sebanyak 23.749 orang. Jumlah tenaga yang dilatih ini
meningkat dari tahun 1993/94 sebanyak 23.698 orang. Kegiatan
pengembangan metodologi dan sistem diklat antara lain meliputi
penyusunan modul pelatihan sebanyak 6 paket, penyusunan
konsep laboratorium kelas dan lapangan urituk 4 Bapelkes,
penyusunan pedoman akreditasi pelatihan dan pelaksanaan
diktat kalakarya (in house training) di 3 Bapelkes. Kegiatan
lainnya berupa pengembangan kemampuan widyaiswara yang
mencakup pendidikan S I dan S2 sebanyak 13 orang.
Untuk lebih memeratakan penyebaran tenaga kesehatan,
pada tahun 1994/95 telah ditempatkan sekitar 20.054 orang
tenaga kesehatan, yang terdiri dari 3.316 orang dokter PTT,
896 orang dokter gigi PTT, 12.241 orang tenaga paramedis
perawatan termasuk di dalamnya 9.464 orang bidan PTT, 1.531
paramedis non perawatan, dan 2.070 tenaga sarjana dan
diploma bidang kesehatan (Tabel XVIII-4).
4) Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Program ini bertujuan untuk menunjang pembangunan
kesehatan secara optimal khususnya yang menyangkut
peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan pengembangan
ilmu kedokteran bagi kepentingan masyarakat banyak. Di
samping itu, program ini ditujukan untuk memantapkan dan
mengembangkan kemampuan institusional penelitian dan
pengembangan kesehatan.
Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan 82 kegiatan
penelitian yang meliputi penelitian di bidang pelayanan
kesehatan, penyakit menular dan tidak menular, ekologi
kesehatan, farmasi, gizi, dan pengkajian sumber daya
kesehatan. Salah satu kegiatan penelitian yang penting adalah
survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1994. Untuk XVIII/42
meningkatkan jaringan kerjasama penelitian antar instansi di
bidang kesehatan, telah dilaksanakan kerjasama ilmiah baik
ditingkat nasional maupun internasional, dengan melengkapi
jaringan iptek kesehatan dengan jaringan iptek Dewan Riset
Nasional (DRN), serta publikasi hasil-hasil penelitian.
5) Program Pengembangan Informasi Kesehatan
Program ini bertujuan untuk meningkatkan, mengembangkan
dan
TABEL XVIII — IA
PERKEMBANGAN PELAKSANAAN PEMBANGUNAN PUSKESMAS 1)
1969/10,1989/90 - 1993/94, 1994/95
Awal Repel Repelita No. Jenis Kegiatan Satuan PJP—I 1989/9
0
1990/
91
1991)9
2
1992/9
3
1993/
94
1994/
951. Pembangunan
Puskesmas
unit 100 169 166 140 30
2. Pembangunan
Puskesmas Pembantu
gedun
g
- 976 1.80
5
1.492 1545 1387 5003. Pembangunan Rumah
Dokter
runiah - 203 393 423 300 2304. Perbaikan Puskesmas gedun
g
- 606 844 2390 1.94
3
1.57
5
1.1685. Perbaikan Puskesmas
Pembantu
gedun
g
- 601 1.09
6
5.179 3.08
8
2.90
0
2.9316. Pengadaan Puskesmas
Keliling
unit - 300 599 595 578 720 5281) Angka tahunanX
VIII/43
TABEL XVIII - 1B
P E R K E M B A N G A N J U M L A H P E M B A N G U N A N PUSKESMAS 1)
1968, 1989/90 -
1993/94,
1994/9
5Awal Repelit RepelitNo. Jenis Kegiatan Satuan PJP-I 1989/901990/9
1
1991/9
2
1992/
93
1993/
94
1994/
951.
PembangunanPuskesma
unit 1.227 5.742 6.021 6.390 6.588 6.954 6.984
2. Pembangunan
Puskesmas Pembantu
gedung - 18.389 20.124 21.416 18.81
6
19.97
7
20.4773. Pembangunan
Rumah Dokter
rumah 2.044 2.448 2.841 3.2642) 3.5642
)
3.794. Perbaikan Puskesmas gedung - 4.957 5.801 8.191 13.03
8
14.61
3
15.781
5. PerbaikanPuskesmas
Pembantu
gedung
-
6.324 7.420 12.599 15.63
9
1833
9
21.470
XV
III/44
6. Pengadaan
Puskesmas Keliling
unit - 3.821 4.420 5.051 5.285 6.024 6.552
1) Angka kumulatif
GRAFIK XVIII - 1
PERKEMBANGAN JUMLAH PEMBANGUNAN
PUSKESMAS
1968, 1989/90 - 1993/94, 1994/95
(rlbu unit)
1988 1989/901990/911991/921992/99 1993/94
1994/95 Awal
PJP I
Pembangunan Pemb.
Puskesmas
Puskesmas Pembantu
Pembangunan Rumah Dokter
XVIII/45
Perbaikan Perbaikan Puskes-
Puskesmas mas Pembantu
GRAFIK XVIII - 2
PERKEMBANGAN JUMLAH RUMAH SAKIT (RS)
1968, 1989/90 - 1993/94, 1994/95
XVIII/47
TABEL XVIII - 4
PERKEMBANGAN JUM LAH BEBERAPA JENIS TENAGA KESEHATAN ¹)
1968,
1989/90
- 1993/94, 1994/95 .
Awal Repelita
V
Repelita
VIJenis Tenaga PJP-I 1989/9
0
1990/91 1991/9
2
1992/93 1993/94 1994/95
1. Dokter 5.000 1.632 1.096 924 2.604 1.700 3.316
2. Dokter Gigi 346 263 622 520 336 896
3. Perawat ) 2) 3.767) Perawat 10.840 11.003 7.090 9.655 4.490 12.241
4. Bidan ) 3.8635. Paramedis Non Perawat
dan
2.085 5.145 4.983 3.199 1.904 3.803 1.531Pekarya Kesehatan
6. Tenaga akademis
1.182 1.251 1.605 1.560 1.367 605 2.070
kesehatan
Jumlah 15.897 19.214 18.950 13.395 16.050 10.934 20.054
1) Angka kumulatif untuk tahun 1968, yang lain angka tahunan
XV
III/49
2) Mulai tahun 1976/77 Perawat dan Bidan ditingkatkan menjadi tenaga Perawat Kesehatan
memantapkan sistem informasi kesehatan agar mampu
memberikan data yang tepat waktu dan akurat bagi perencanaan
dan pelaksanaan pelayanan kesehatan.
Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan kegiatan penyusunan
302 profit kesehatan kabupaten/kotamadya, 27 profil kesehatan
propinsi, dan 27 informasi tenaga kesehatan. Untuk
meningkatkan kemampuan tenaga pengelola data dan informasi
telah dilaksanakan kegiatan pelatihan bagi 20 orang tenaga
statistik kesehatan, 20 orang pengolahan data kesehatan, 23
orang calon pelatih untuk menyusun profit kesehatan, dan
pendidikan S2 untuk 5 orang, serta pendidikan S I dan D-III di
bidang informasi dan statistik. Selain itu untuk menunjang
pengembangan sistem informasi dilaksanakan pula pengadaan
peralatan komputer sebanyak 206 set dan perangkat lunak
sebanyak 6 paket. Berbagai upaya tersebut telah menambah
ketersediaan data yang akurat dan tepat waktu, sehingga
kemampuan perencanaan, pengelolaan dan pengawasan
pembangunan kesehatan pada berbagai tingkat administrasi
makin meningkat.
C. KESEJAHTERAAN SOSIAL
XVIII/50
1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI
Sasaran pembangunan kesejahteraan sosial dalam Repelita
VI adalah terlayaninya 225 ribu orang lanjut usia; terlayani dan
terehabilitasinya 230 ribu orang penyandang cacat; terbinanya
450 ribu orang anak yang terlantar, 23 ribu karang taruna, 4.100
organisasi sosial, 62 ribu tenaga kesejahteraan sosial, 48,3 ribu
kepala keluarga (KK) masyarakat terasing, dan 202,3 ribu KK
fakir miskin. Di samping itu, terlayani dan terehabilitasinya 15
ribu orang anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika
serta 31 ribu orang
tunasosial. Meningkatnya jumlah dan kualitas tempat penitipan
anak dan balita yang ibunya bekerja juga merupakan sasaran yang
akan diupayakan. Sasaran lainnya adalah meningkatnya nilai-nilai
kepeloporan, keperintisan dan kepahlawanan.
Untuk mencapai sasaran tersebut, ditempuh berbagai ke-
bijaksanaan, antara lain meningkatkan penyuluhan dan
pembimbingan sosial, meningkatkan pembinaan kesejahteraan
sosial anak terlantar, meningkatkan pembinaan kesejahteraan
sosial lanjut usia, meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial
penyandang cacat, meningkatkan pelayanan dan rehabilitasi sosial
anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika, meningkatkan
upaya penanggulangan bencana, melakukan pembinaan
kesejahteraan sosial masyarakat terasing dan terpencil, dan
meningkatkan peranan organisasi sosial serta pelayanan dan
rehabilitasi sosial tunasosial.
Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas
digariskan tiga program pokok yang meliputi program pembinaan
kesejahteraan sosial; program pelayanan dan rehabilitasi sosial;
dan program peningkatan partisipasi sosial masyarakat. Ketiga
program pokok tersebut didukung oleh beberapa program
penunjang yang dilaksanakan secara terpadu dengan program
pembangunan bidang lainnya serta mengikutsertakan masyarakat.
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun
Pertama Repelita VI
Pembangunan kesejahteraan sosial pada tahun pertama Repe-
lita VI (1994/95), berupaya untuk meningkatkan mutu,
profesionalitas dan cakupan pelayanan sosial, serta meningkatkan
kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial masyarakat
dalam menghadapi masalah-masalah sosial, dengan
menumbuhkan iklim
XVIII/
51
yang mendorong peran serta masyarakat dalam
menyelenggarakan pelayanan sosial.
a. Program Pokok
1) Program Pembinaan Kesejahteraan Sosial
Program ini bertujuan untuk .meningkatkan taraf
kesejahteraan sosial masyarakat, khususnya penyandang
masalah sosial, dan mewujudkan kondisi sosial masyarakat
yang dinamis untuk mendukung berkembangnya
kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial masyarakat.
Kegiatan pokok program ini meliputi pembinaan kesejahteraan
sosial masyarakat terasing, pembinaan kesejahteraan sosial
fakir miskin, pembinaan nilai-nilai kepeloporan, keperintisan,
kepahlawanan, serta pembinaan kesejahteraan sosial para lanjut
usia, dan pembinaan kesejahteraan sosial anak yang terlantar.
a) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat
Terasing
Pembinaan kesejahteraan sosial masyarakat terasing
bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat serta taraf
kehidupan masyarakat terasing kearah yang lebih maju seperti XVIII/52
yang telah dimiliki oleh masyarakat di desa-desa sekitarnya.
Kegiatan yang dilaksanakan berupa penyuluhan dan bimbingan
sosial, penataan dan pembangunan permukiman yang
dilengkapi dengan penyediaan lahan, jaminan hidup,
pemberian bimbingan keterampilan seperti pertanian dan
peternakan termasuk pemberian bermacam bibit. Pembinaan
bagi mereka dilakukan secara terpadu oleh berbagai sektor
pembangunan lainnya seperti kesehatan, pendidikan, agama,
pertanian, kehutanan, transmigrasi, dan terutama dengan
pemerintah daerah. Di samping itu organisasi sosial (orsos),
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan organisasi
keagamaan juga berperan serta dalam pembinaan
kesejahteraan sosial masyarakat terasing. Pembinaan
masyarakat terasing merupakan bagian yang penting pula
dalam upaya penanggulangan kemiskinan.
Pada tahun 1994/95 masyarakat terasing yang dibina
seluruhnya secara kumulatif berjumlah 6.500 KK, termasuk
tambahan baru dari tahun sebelumnya sebanyak 1.214 KK, atau
meningkat 23 persen dari tahun 1993/94 (Tabel XVIII-5).
Beberapa contoh pembinaan yang berhasil dapat
dikemukakan disini. Pembinaan masyarakat terasing di
permukiman Blang Tripa Propinsi D.I Aceh telah menghasilkan
padi dan palawija melalui persawahan dengan sistem irigasi.
Permukiman Bagandah Propinsi Kalimantan Selatan
merupakan percontohan di bidang pertanian pangan yang tidak
saja dapat memenuhi kebutuhan desa sendiri, tetapi untuk desa
lain. Permukiman Petanggis Propinsi Kalimantan Timur
berhasil dalam program perkebunan inti rakyat (PIR) kelapa
sawit. Permukiman Wamana Barru di Propinsi Maluku
bekerjasama dengan Yayasan Papeda telah menghasilkan
minyak kayu putih dan tanaman pangan. Permukiman
Kanggime di Propinsi Irian Jaya bekerjasama dengan LSM
berhasil mengembangkan ternak sapi.
XVIII/53
b) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Fakir Miskin
Meskipun jumlah penduduk miskin sudah dapat dikurangi
dengan nyata, namun pada awal Repelita VI masih terdapat
sekitar 25,9 juta orang miskin, diantaranya ada yang sangat
miskin, sehingga memerlukan perhatian khusus antara lain
melalui pembinaan kesejahteraan sosial fakir miskin. Upaya
pembinaan kesejahteraan sosial fakir miskin bertujuan untuk
membantu meningkatkan taraf hidup melalui penyuluhan dan
bimbingan sosial, disertai dengan pelatihan keterampilan.
Dalam pelaksanaannya, di masing-masing
desa disantun rata-rata 3-5 kelompok usaha bersama (KUB)
yang masing-masing kelompok terdiri dari 10 kepala keluarga.
Upaya tersebut dilaksanakan dengan mengikutsertakan fakir
miskin untuk memahami sebab-sebab kemiskinan mereka serta
cara-cara penanggulangannya. Untuk lebih meningkatkan hasil
pembinaan dari tahun-tahun sebelumnya, mulai tahun 1994/95
dilakukan lomba keberhasilan KUB, dari tingkat kecamatan
sampai propinsi yang dilaksanakan bersama dengan pemerintah
daerah dan instansl terkait.
Pembinaan kesejahteraan sosial fakir. miskin terutama,
dilakukan pada kantong-kantong kemiskinan di luar desa . yang
telah dibina melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT).
Pada tahun 1994/95 keluarga miskin yang telah dibantu
berjumlah kurang lebih 21.740 kepala keluarga, tersebar di 592
desa di luar desa IDT di seluruh propinsi (Tabel XVIII-6).
Dibanding dengan tahun 1993/94 jumlah kepala keluarga yang
dibantu tidak banyak berbeda, tetapi jumlah desa yang tercakup
pada tahun 1994/95 lebih banyak, antara lain karena
menyesuaikan dengan penyebaran desa-desa IDT. Untuk
mendukung pelaksanaan program IDT, pada tahun 1994/95
telah dilatih dan ditempatkan 718 orang petugas sosial
kecamatan (PSK) di desa-desa miskin yang membutuhkan
penanganan khusus. Mereka bertugas sebagai pendamping XVIII/54
purna waktu bagi kelompok masyarakat yang memperoleh
bantuan program IDT.
Keberhasilan pembinaan kesejahteraan sosial fakir miskin
antara lain dapat dilihat di desa Kemejing kecamatan
Wadaslintang, kabupaten Wonosobo (Jawa Tengah) dan di desa
Tenjolaya kecamantan Pasir Jambu kabupaten Bandung (Jawa
Barat). Bantuan ternak sapi dan kambing yang diberikan pada
tahun 1992 telah berkembang jumlahnya dan pada tahun
1994/95 telah dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
penghasilan dan membiayai sekolah anak-anak mereka. Di
samping itu bantuan modal usaha telah dimanfaatkan juga
untuk
mengembangkan kegiatan simpan pinjam bagi anggota
kelompok, dan kegiatan arisan untuk merehabilitasi dan
menyehatkan rumah, serta menggulirkan bantuan untuk
keluarga miskin lainnya.
c) Pembinaan Nilai-nilai Kepeloporan, Keperintisan
dan Kepahlawanan
Kegiatan ini bertujuan untuk memelihara dan melestarikan
nilainilai kepeloporan, keperintisan dan kepahlawanan pada
semua lapisan masyarakat, terutama generasi muda sebagai
penerus bangsa. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan
pembangunan dan pemugaran taman makam pahlawan, makam
pahlawan nasional, makam perintis kemerdekaan dan upaya-
upaya penanaman dan penyebarluasan nilai-nilai perjuangan
tersebut. Di samping itu untuk memberikan penghargaan dan
terima kasih atas jasa, pengorbanan dan perjuangan yang telah
diberikan kepada nusa, bangsa dan negara, diberikan bantuan
sosial kepada keluarga para pahlawan nasional dan pejuang
keperintisan yang kurang mampu.
Dalam tahun 1994/95 dilaksanakan pemugaran 32 taman
makam pahlawan yang tersebar di 25 propinsi dan 4 buah
makam pahlawan nasional serta 73 makam perintis
kemerdekaan. Di samping itu telah diberikan bantuan
perbaikan rumah perintis kemerdekaan dan keluarganya bagi
208 orang. Untuk melestarikan dan menanamkan nilai-nilai
kepeloporan, keperintisan dan kepahlawanan bagi pelajar
SLTA, organisasi pemuda dan mahasiswa telah diadakan
sarasehan yang diselenggarakan bertepatan dengan Hari
Pahlawan.
d) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia
Pelayanan sosial bagi para lanjut usia diberikan pada
lanjut usia yang terlantar yaitu lanjut usia yang sudah tidak
diketahui lagi
XVIII/
55
keluarganya atau keluarganya sendiri tidak mampu
memelihara mereka. Pelayanan sosial bagi mereka
dilaksanakan dengan memberikan bimbingan mental dan
sosial, pelayanan kesehatan, kegiatan keagamaan, rekreasi,
bimbingan keterampilan kerja, dan bantuan modal usaha bagi
yang masih potensial untuk berusaha dan berkarya. Kegiatan
tersebut dilakukan baik di dalam maupun di luar panti.
Pada tahun 1994/95 telah diberikan bantuan bagi 43.473
orang lanjut usia yang tidak mampu dan merehabilitasi 30
panti lanjut usia (Sasana Tresna Werdha) milik pemerintah
dan masyarakat. Jumlah bantuan yang diberikan ini meningkat
sebanyak 3.329 orang bila dibandingkan dengan bantuan pada
tahun sebelumnya, (Tabel XVIII-7).
e) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak yang
Terlantar
Pelayanan sosial bagi anak terlantar terutama diberikan
kepada yatim piatu, yaitu anak-anak yang orang tuanya tidak
mampu memelihara mereka karena miskin atau karena masalah
keluarga, dan kepada anak-anak yang mengalami hambatan
untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Pelayanan sosial
bagi mereka dilakukan baik di dalam maupun luar panti.
XVIII/56
Pelayanan sosial bagi yatim piatu di panti asuhan (Sasana
Penyantunan Anak) dilakukan dengan memberikan kesempatan
belajar serta jaminan hidup disertai bimbingan mental dan sosial.
Untuk anak terlantar yang putus sekolah, pelayanan sosial
dilakukan di panti penyantunan anak dengan memberikan
keteram-pilan dan bimbingan mental dan sosial, serta bantuan
modal usaha sesuai dengan keterampilan yang dipelajari.
Pelatihan keterampilan bagi mereka dilaksanakan bekerjasama
antara lain dengan Balai Latihan Kerja (BLK) dan Balai Latihan
Pertanian yang ada disekitar panti. Agar mereka dapat
menerapkan keterampilan yang dipelajari, diberikan pula
kesempatan untuk mengikuti praktek kerja di perusahaan-
perusahaan. Sementara itu bagi anak-anak yang dibina di
luar panti pembinaannya dilakukan melalui keluarga asuh.
Kepada mereka diberikan bantuan sarana belajar disertai dengan
pembinaan dan pengawasan.
Dalam tahun 1994/95 telah diberikan pelayanan bagi
202.441 orang anak terlantar baik yang dilaksanakan oleh
pemerintah maupun masyarakat. Jumlah ini meningkat sebesar
70 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Tabel
XIII-7). Peningkatan jangkauan pelayanan ini terjadi karena
peran serta masyarakat meningkat secara pesat. Hal ini
menunjukkan semakin besarnya rasa kesetiakawanan dan
tanggung jawab sosial di kalangan masyarakat dalam
menyelesaikan masalah-masalah sosial. Pada tahun 1994/95 telah
diupayakan untuk memperbaiki dan menyempurnakan 50 buah
panti pemerintah dan masyarakat, serta pelatihan bagi para
petugas pelayanan panti masyarakat.
2) Program Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Tujuan program pelayanan dan rehabilitasi sosial adalah
mengembalikan dan meningkatkan kemampuan warga
masyarakat, baik perseorangan, keluarga maupun kelompok
penyandang masalah kesejahteraan sosial sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dan dapat hidup
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya. Sasaran
program ini meliputi para penyandang cacat, anak nakal, dan
XVIII/57
korban penyalahgunaan narkotika, serta tunasosial.
Pelayanan sosial bagi para penyandang cacat diberikan
kepada cacat veteran, cacat tubuh, cacat netra, cacat rungu
wicara, cacat mental dan bekas penyandang penyakit kronis.
Kegiatan ini bertujuan untuk memulihkan fungsi sosial dan
meningkatkan kesejahteraan sosial mereka agar dapat menjadi
manusia yang produktif. Kegiatan
yang dilakukan meliputi bimbingan dan penyuluhan, rehabilitasi
fisik, mental dan sosial, pelatihan keterampilan kerja yang
diikuti dengan pemberian bantuan modal usaha, dan pemberian
kesempatan praktek belajar kerja pada perusahaan, serta
penyaluran mereka untuk bekerja di perusahaan-perusahaan.
Kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan melalui sistem di dalam
maupun luar panti dengan mengikutsertakan peran aktif
keluarga dan masyarakat. Di samping itu diupayakan pula
penyelenggaraan asrama bagi murid-murid sekolah luar biasa
(SLB).
Pada tahun 1994/95 pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada
penyandang cacat ditingkatkan kualitasnya antara lain melalui
pemberian paket praktek belajar kerja yang lebih lengkap di
perusahaan-perusahaan baik milik swasta maupun pemerintah.
Dengan cara ini diharapkan kesempatan bagi para penyandang
cacat untuk dapat bekerja menjadi lebih besar. Penyandang cacat
yang dilayani dan direhabilitasi pada tahun 1994/95 berjumlah
43.946 orang (Tabel XVIII-8), hampir sama bila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.
Pada tahun 1994/95 telah diberikan bantuan biaya asrama
bagi 3.617 murid Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) di 186
SDLB milik pemerintah daerah. Di samping itu telah XVIII/58
dilaksanakan pula rehabilitasi dan penyempurnaan 18 panti
rehabilitasi sosial cacat milik pemerintah dan masyarakat untuk
meningkatkan mutu pelayanan di dalam panti. Sedangkan untuk
pelayanan di luar panti telah direhabilitasi 15 Loka Bina Karya
(LBK) dan diadakan 10 buah mobil unit rehabilitasi sosial
keliling (URSK). Untuk menyempurnakan pelayanan sosial bagi
penyandang cacat tubuh telah dilakukan peningkatan mutu
pelatihan keterampilan bagi para penyandang cacat tubuh di
Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof.Dr. Soeharso di
Surakarta.
Pembinaan bagi penyandang cacat yang berhasil antara lain
di Pusat Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Bangil (Jawa Timur)
dan Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) di Bandung. Pada
tahun 1994/95 penyandang cacat di panti sosial Bangil telah
berhasil memproduksi kerajinan rotan dan kain sulaman untuk
ekspor ke Jepang dan Malaysia. Pada tahun sebelumnya hasil
produksi tersebut masih terbatas untuk pasaran dalam negeri.
Sedangkan BPBI telah berhasil mengembangkan produksi
bukan hanya buku-buku Braille, tetapi juga kaset rekaman ilmu
pengetahuan umum dan kesenian yang telah dimanfaatkan oleh
panti cacat netra di berbagai daerah.
Sasaran pelayanan dan rehabilitasi sosial anak nakal dan
korban penyalahgunaan narkotika adalah anak nakal yang belum
sampai pada tindak pidana, termasuk korban penyalahgunaan
narkotika, bahan adiktif lainnya, dan minuman keras. Kegiatan
ini bertujuan untuk mengembalikan mereka menjadi anggota
masyarakat yang hidup secara baik dan layak. Kegiatan yang
dilaksanakan meliputi bimbingan sosial, rehabilitasi, pelatihan
keterampilan, dan pemberian bantuan modal usaha. Kegiatan
tersebut dilaksanakan melalui koordinasi dan keterpaduan lintas
sektor yang tergabung dalam BAKOLAK INPRES Nomor 6
Tahun 1971, serta peran aktif keluarga dan masyarakat. Dalam
kegiatan bimbingan sosial mulai tahun 1994/95, dimasukkan
XVIII/59
pula penyuluhan tentang bahaya dan pencegahan penyakit
AIDS. Jumlah anak nakal dan korban penyalahgunaan narkotika
yang diberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial pada tahun
1994/95 tercatat 2.705 orang anak, 12 persen lebih banyak dari
yang dilayani tahun 1993/94.
Upaya rehabilitasi yang berhasil dapat diambil sebagai
contoh adalah upaya di Panti Teratai dan Yayasan Harapan Ibu
yang keduanya berlokasi di Jawa Timur. Kedua panti ini telah
memperoleh pesanan untuk barang-barang industri rotan, kulit,
sepatu dan tas yang
dihasilkan oleh anak-anak yang dibina dalam kedua panti
tersebut. Di samping itu panti sosial bekas korban
penyalahgunaan narkotika khusus puteri di Lembang (Jawa
Barat) telah pula menjalin kerjasama dengan pengusaha
pakaian jadi yang berdekatan lokasinya dan sebagian besar
anak-anak binaannya telah disalurkan untuk bekerja pada
perusahaan tersebut.
Sasaran pelayanan dan rehabilitasi tunasosial adalah para
gelandangan dan pengemis, tuna susila dan bekas narapidana.
Untuk mengembalikan kemauan dan kemampuan mereka
untuk hidup sebagai warga masyarakat yang berguna,
berkualitas dan produktif dilakukan kegiatan bimbingan,
rehabilitasi, dan pelatihan keterampilan berusaha yang disertai
dengan bantuan modal usaha. Di samping itu bagi mereka
diberikan pula penyuluhan dan bimbingan tentang bahaya
penyakit AIDS serta upaya-upaya pencegahan dan penang-
gulangannya. Kegiatan tersebut dilaksanakan dengan mengikut-
sertakan berbagai sektor terkait, keluarga dan masyarakat. Dalam
tahun 1994/95 telah direhabilitasi dan diresosialisasikan sebanyak
3.943 orang tunasosial yang terdiri dari 1.368 orang tuna susila,
1.400 orang gelandangan dan pengemis, dan 1.175 orang bekas
narapidana. Jumlah tersebut lebih besar dari jumlah yang dibina
tahun 1993/94 sebanyak 3.830 orang.XVIII/60
3) Program Peningkatan Partisipasi Sosial Masyarakat
Tujuan program ini adalah meningkatkan dan
mengembangkan peran serta masyarakat dalam kegiatan
pembangunan kesejahteraan sosial secara melembaga dan
terorganisasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan yang
dilakukan diarahkan pada upaya meningkatkan kepedulian dan
kepekaan masyarakat terhadap permasalahan sosial dan
lingkungannya, meningkatkan mutu pelayanan sosial secara
profesional, dan mendorong golongan mampu untuk ikut
berperan
dalam pembangunan kesejahteraan sosial sebagai perwujudan
kesadaran, kesetiakawanan dan tanggung jawab sosial serta
membantu meningkatkan kesejahteraan sosial warga masyarakat
yang tergolong rawan sosial ekonomi. Kegiatan pokok program
ini meliputi penyuluhan dan bimbingan sosial pada masyarakat,
pembinaan organisasi sosial, dan pembinaan tenaga
kesejahteraan sosial masyarakat.
Sasaran kegiatan penyuluhan dan bimbingan sosial adalan
seluruh warga masyarakat, termasuk golongan masyarakat
mampu terutama di wilayah yang rawan permasalahan sosial.
Untuk menciptakan iklim dan suasana yang mendukung bagi
peningkatan peran serta masyarakat pada tahun 1994/95 telah
dilaksanakan penyuluhan dan bimbingan sosial di 6.462
desa/kelurahan yang tersebar di semua propinsi yang diikuti
oleh organisasi sosial, LSM, tokoh masyarakat, pemuda dan
wanita, pemimpin formal dan informal dengan memanfaatkan
berbagai media massa.
Guna meningkatkan kemampuan organisasi sosial (orsos),
yayasan dan lembaga sosial, termasuk LSM dan organisasi
keagamaan, dalam kegiatan pelayanan sosial, dalam tahun
1994/95 telah dilakukan pembinaan bagi 2.575 orsos berupa
pelatihan manajemen dan profesi pekerja sosial bagi 1.845 orsos
dan pembinaan bantuan pengembangan organisasi dan XVIII/61
pelayanan sosial bagi 730 orsos. Di samping itu
dikembangkan pula forum komunikasi antar orsos kuat dan
lemah di 10 propinsi dan forum komunikasi antara orsos
lemah dengan golongan masyarakat mampu di 5 propinsi.
Pada tahun 1994/95 tercatat sejumlah 5.878 orsos yang
bergerak di bidang pembangunan kesejahteraan sosial, yang telah
mampu memberikan pelayanan sosial khususnya kepada yatim
piatu dan lanjut usia sebanyak 365.651 orang di panti-panti
sosial, dan sebanyak
290.442 orang di luar panti. Di samping itu melalui kerjasama
orsos internasional telah pula diberikan pelayanan bagi 913.751
orang yang menyandang berbagai masalah sosial. Dibandingkan
dengan tahun 1993/94 peran orsos dalam pelayanan sosial lebih
meningkat pada tahun 1994/95.
Pekerja sosial masyarakat (PSM) yang ada di setiap
desa/kelurahan, adalah tenaga yang diandalkan untuk
membantu pemberian pelayanan sosial bagi masyarakat.
Selain PSM juga ada tenaga relawan sosial termasuk yang
berasal dari golongan masyarakat mampu baik di desa maupun
di kota. Melalui kegiatan pembinaan tenaga kesejahteraan
sosial masyarakat, pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan
forum komunikasi dan konsultasi, serta pelatihan manajemen
usaha kesejahteraan sosial bagi 6.390 orang PSM (Tabel
XVIII-9). Selain itu pada tahun 1994/95, telah diberikan juga
pelatihan manajemen usaha kesejahteraan sosial kepada 870
orang relawan sosial. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan
pelatihan penyegaran bagi sebanyak 950 orang PSM yang
ditugaskan di daerah-daerah terpencil dan di permukiman
masyarakat terasing, yang dikenal sebagai PSM SATGASOS
(Satuan Tugas Sosial), yang diselenggarakan di 14 propinsi.
XVIII/62
b. Program Penunjang
1) Program Pembinaan Generasi Muda
Pembinaan generasi muda-dalam pembangunan
kesejahteraan sosial dalam Repelita VI ditekankan pada
pembinaan karang taruna yang terbukti telah ikut berperan
serta dalam pembinaan pemuda di perdesaan dan
perkampungan termasuk yang putus sekolah dan
pengangguran. Di samping itu karang taruna juga aktif ikut
mencegah
kenakalan remaja dan penyalahgunaan narkotika, dan ikut
berperan aktif dalam menegakkan ketertiban dan keamanan
lingkungan.
Untuk meningkatkan kemampuan maiiajemen dan organisasi
serta bekal untuk memperoleh lapangan kerja, pada tahun 1994/95
telah dilaksanakan pelatihan dan pemberian bantuan modal kerja
kepada 2.890 buah karang taruna di seluruh Indonesia (Tabel
XVIII-10). Pelatihan keterampilan berusaha meliputi pelatihan
peternakan dan pertanian terpadu di Tapos, pelatihan pertanian di
Balai Pelatihan Pertanian Ciawi, pembudidayaan udang windu di
Jepara, kerajinan kayu di Ubud dan kerajinan rotan dan kulit di
Sidoarjo. Di samping itu telah pula dilaksanakan bhakti sosial
dan tukar menukar informasi dan pengalaman antar karang taruna
di berbagai propinsi.
Pembinaan karang taruna yang berhasil antara lain dapat
dilihat di desa Labulu Bulu kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara
yang telah melaksanakan kegiatan pertanian padi, jagung dan
kedelai seluas masing-masing 200 ha, dan pengembangan
peternakan kepiting. Di samping itu karang taruna di desa Naluk
kabupaten Sumedang telah berhasil dalam peternakan kambing,
kegiatan sablon dan pembinaan bagi anak-anak penyandang cacat
melalui pendirian Sekolah Luar Biasa. Sementara itu, karang
taruna di desa Tanjung Buitang, Lampung Selatan telah
berhasil pula dalam pembuatan alat-alat pertanian, bantalan rel
kereta api dan pencacahan pisang.
2) Program Penelitian dan Pengembangan Sosial
Tujuan program penelitian dan pengembangan sosial adalah
untuk menunjang perumusan kebijaksanaan dan meningkatkan
kualitas perencanaan program pembangunan kesejahteraan sosial.
Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan 5 buah penelitian
mengenai pembinaan masyarakat terasing, pembinaan anak dan
remaja di tempat penitipan
XVIII/63
TABEL XVIII — 5
PEMBINAAN KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT TERASING
MENURUT DAERAII TINGKAT I
1973/74;1989/90
—
1994/9
5Akh Repelit RepeliN
o.
Daerah
Tingkat 1/
Repelit
a I
1991/
92
1992/
93
1993
/94
1994/
95 ²)1. JawaBarat — — — 25 100 802. D.I. Aceh 40 150 190 246 2863. Sumatera — 45 45 45. — —4. Sumatera 150 75 213 .263 238 3135. R i a u 400 225 351 425 352 4526. Jambi 700 70 70 115 317 3177. Sumatera 2.400 47 91 191 187 2278. Bengkulu — — — — — —9. Kalimantan 400 300 496 536 586 686'1 Kalimantan — 50 101 153 210 2901 Kalimantan 220 87 134 186 192 2601 Kalimantan 600 120 353 478 525 7451 Sulawesi — 50 50 50 — —1 SulawesiTe 415 131 230 280 232 2901 Sulawesi 600 — 98 140 180 2401 SulawesiT — 45 141 191 247 3221 Maluku 150 100 201 246 203 2831 Nusa — — — — — —1 Nusa 1.000 50 145 204 259 3392
0.
Irian Jaya — 665 1.115 1.25
2
1.21
2
1.370Jumlah 7.035 2.050 3.984 4.97 5.28 6.5001) Angka kumulalif lima tahun untuk
kolom yang bertuliakan Akhir
Repelita. 2) Angka kumulatif
sejak tahun 1989/90
XVIII/64
TABEL XVIII - 8
PELAKSANAAN
PENYANTUNAN DAN
PENGENTASAN PARA CACAT
MENURUT DAERAH TINGKAT I 1)
1968, 1989/90-1993/94, 1994/95
(orang)
Awa Repeli RepeliN
o.
Daerah
Tingkat I/
PJP-
-I
1989190. 1991/
92
1992/
93
199
3/94
1994
/951.DKI Jakarta 1.21 525 1.76 1.300 965 L50 1.5652.Jawa Barat 735 1.571 2.26 1.900 1.921 3.100 2.8203.Jawa Tengah 1.30 2.124 1.59 1.707 2.585 4.107 2.8954.D.I. Yogyakarta 525 312 1.14 1.115 890 1.263 1.2405.Jawa Timur 830 1.435 2.09 2.160 2.185 3.810 3.1006.D.I. Aceh 210 240 1.10 1.025 1.050 1.785 1.8707.Sumatera Utara 620 1.380 1.30 1.405 1.705 2.144 2.4608.Sumatera Barat 120 490 985 850 1.155 1.920 1.9859.R i a u 120 134 409 524 505 1.075 1.1201 Jambi 120 177 172 495 490 910 9571 Sumatera 520 781 1.18 1.278 1.545 2.570 1.9801 Bengkulu 210 180 198 371 730 1.753 1.4601 Lampung 220 435 335 1.040 975 1.180 1.4851 Kalimantan 120 114 264 630 845 995 1.2801 KalimantanTeng 80 285 240 465 565 1.525 1.0351 Kalimantan 520 444 1.07 1.075 835 1.228 1.4151 Kalimantan 80 154 1.28 850 710 1.190 1.6451 Sulawesi Utara 420 736 1.55 900 760 905 1.0901 Sulawesi 220 305 275 590 610 2.540 1.2052 Sulawesi Selatan 420 402 462 750 1.450 990 2.1352 Sulawesi 120 184 539 520 710 1.215 1.2302 Maluku 120 239 714 715 990 0 1.0552 B a l i 430 310 345 524 865 1.607 8542 Nusa Tenggara 420 167 632 662 1.121 1.400 1.5452 Nusa Tenggara 310 210 445 700 840 1.005 1.8602 Irian Jaya - 200 290 335 565 1.015 1.4602 Timor Timur - 190 405 300 475 1.085 1.200
Jumlah 10.0 13.724 23.0 24.18 28.04 44.70 43.94I) Angka tahunan
XVIII/67
TABEL XVIII — 9
PEMBINAAN PEKERJA
SOSIAL
MASYARAKAT (PSM)
MENURUT DAERAH TINGKAT
I ¹)
1973/74„ 1989/90 — 1993/94,
1994/95
(orang)
Akhir Repel RepelNo
.
Daerah
Tingkat 1/.
Repelita
I
1989/9
0
1990
/91
19911
92
1992/
93
1993/
94
1994/
95.1. DKI Jakarta 90 360 380 300 300 15 1802. Jawa Barat 330 420 600 720 600 1.260 6003. Jawa 360 510 875 900 780 1.590 7204. D.I. 180 360 240 300 330 30 1205. Jawa Timur 390 600 925 930 900 1.110 6006. D.I. Aceh 60 450 600 540 780 63 3007. Sumatera 60 600 600 510 600 72 3608. Sumatera 60 540 300 420 450 69 3009. R i a u 60 300 210 210 330 21 150
10. Jambi 60 360 180 360 300 24 15011. Sumatera 60 300 240 690 720 51 27012. Bengkulu 60 180 240 510 450 30 15013. Lampung 180 130 210 390 360 60 15014. Kalimantan 60 300 480 270 '510 24 27015. Kalimantan 30 270 300 270 390 48 15016. Kalimantan 60 210 540 660 600 24 24017. ICalimantan 60 300 480 510 390 36 15018. Sulawesi 90 300 600 390 540 24 15019. Sulawesi 90 270 420 480 360 48 15020. Sulawesi 180 600 690 1.020 810 21 15021. Sulawesi 90 210 180 240 420 27 15022. Maluku 120 360 240 330 300 54 18023. B a l i 90 300 240 600 450 18 15024. Nusa 120 390 180 510 300 60 21025. Nusa 90 450 300 390 360 18 15026. Irian Jaya - 750 540 270 180 27 15027. Timor - 180 210 270 390 15 9
Jumlah 3.030 10.00 11.0 12.99 12.9 12.75 6.391) Angka kumulatif lima tahun untuk kolom
bertuliskanAkhir Repelita, yang lain adalah angka XVIII/68
tahunan
TABEL XVIII—10
BANTUAN PAKET SARANA
USAHA KARANG TARUNA MENURUT DAERAH
TINGKAT I 1)
1968, 1989/90 — 1993/94,1994/95
(Karang Taruna)
1) Angka tahunan
2) Bantuan paket sarana usaha karang taruna dimulai pada
tahun 1989/90
XVIII/69
anak (TPA) dan kelompok bermain, efektivitas deteksi dini
kecacatan di desa-desa oleh unit rehabilitasi sosial keliling
(URSK), dan efektivitas Lembaga Konsultasi Kesejahteraan
Keluarga (LK3) di perdesaan.
3) Program Pendidikan dan Pelatihan Sosial
Tujuan program ini adalah meningkatkan jumlah dan mutu
tenaga kesejahteraan sosial baik yang berasal dari pemerintah
maupun masyarakat sebagai pelaksana pembangunan
kesejahteraan sosial. Kegiatan yang dilaksanakan adalah
pemberian. kesempatan belajar untuk pendidikan D-IV, S1, S2
dan S3, serta pelatihan administrasi dan profesi pekerjaan
sosial. Pada tahun 1994/95 telah dilaksanakan pendidikan S2 di
dalam negeri untuk bidang ilmu kesejahteraan sosial bagi 12 orang
dan pendidikan S3 di dala. m negeri untuic bidang ilmu sosiologi
bagi 2 orang. Selanjutnya, untuk meningkatkan kemampuan
tenaga perencana pembangunan kesejahteraan sosial di daerah
tingkat II telah dilakukan pelatihan perencanaan pembangunan
bagi 366 orang dan komputerisasi data penyandang masalah dan
potensi kesejahteraan sosial bagi 501 orang.
D. PENANGGULANGAN BENCANAXVIII/70
1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI
Sasaran penanggulangan bencana pada akhir Repelita VI
adalah meningkatnya kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat
dalam penanggulangan bencana dan musibah lainnya. Selain itu,
penguasaan teknologi penanggulangan bencana yang didukung oleh
peralatan yang andal, serta jumlah dan mutu tenaga pelaksana akan
meningkat pula. Di samping itu, pemetaan daerah rawan
bencana dilanjutkan dan
informasi mengenai kerawanan suatu daerah telah dimanfaatkan
secara optimal untuk penyusunan rencana umum tata ruang
pada setiap tingkat pemerintahan. Sasaran selanjutnya adalah
terlaksananya koordinasi yang makin meningkat dan mantap
dalam menanggulangi bencana melalui penyusunan sistem dan
satuan perlindungan masyarakat (linmas) serta mekanisme
penanggulangan bencana secara nasional yang menyeluruh dan
terpadu. Pada Repelita VI dapat terwujud satuan-satuan linmas
di tingkat kecamatan dan ruang data pusat pengendalian
operasional penanggulangan bencana di tingkat pusat. Undang-
undang linmas diharapkan telah dapat diundangkan pada akhir
Repelita VI.
Untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan
dalam Repelita VI, disusun kebijaksanaan sebagai berikut.
Dalam upaya penanggulangan bencana, prioritas tinggi
diberikan kepada peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan
masyarakat dan jajaran pemerintah daerah setempat, khususnya
di daerah rawan bencana dalam menghadapi terjadinya bencana.
Dalam upaya pencarian, penyelamatan dan pemberian
pengobatan serta perawatan korban, kemampuan petugas dan
masyarakat ditingkatkan baik dalam kecepatan maupun ketepatan
waktu penyelamatan dengan dukungan peralatan yang
memadai.
XVIII/71
Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan yang ditetapkan
dalam Repelita VI, maka upaya penanggulangan bencana
dilaksanakan secara lintas bidang dan lintas sektor melalui
satu program yaitu program penanggulangan bencana yang
dilaksanakan oleh pemerintah bersama masyarakat.
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun
Pertama Repelita VI
Tujuan program penanggulangan bencana adalah
meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam
menghadapi bencana, serta meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam menanggulangi akibat bencana, sehingga
mengurangi jumlah korban serta kerugian materi. Di samping itu,
program ini juga bertujuan menolong dan menyelamatkan para
korban bencana melalui bantuan darurat dan memulihkan kembali
fungsi sosial perorangan, keluarga dan masyarakat korban
bencana untuk hidup secara normal. Untuk itu sasaran program ini
adalah masyarakat di daerah rawan bencana dan para korban
bencana serta tenaga-tenaga di bidang penanggulangan bencana.
Kegiatan pokok dalam penanggulangan bencana meliputi
kesiapsiagaan menghadapi bencana, tanggap darurat terhadap
kejadian bencana, serta rehabilitasi dan rekonstruksi akibat
bencana, yang pelaksanaannya melibatkan berbagai instansi
terkait seperti Departemen Sosial, Dalam Negeri, Kesehatan,
Pekerjaan Umum, Perhubungan, ABRI, dan Pemerintah Daerah,
dibawah koordinasi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana (Bakornas PB).
XVIII/72
Pada tahun 1994/95 tercatat serangkaian bencana alam yang
relatif besar seperti bencana tsunami yang terjadi di Banyuwangi
(Jawa Timur), gempa bumi di Maluku Utara, letusan Gunung
Merapi di Jawa Tengah, dan bencana banjir di kabupaten
Pasaman (Sumatera Barat). Dalam rangka membantu para korban
bencana alam tersebut, telah diberikan pelayanan gawat darurat
berupa pertolongan pertama pada saat awal terjadinya bencana,
pemberian bantuan.darurat obat dan bahan kesehatan
lainnya, pengobatan dan perawatan kesehatan
baik di sekitar lokasi kejadian, di puskesmas-puskesmas
terdekat maupun di rumah-rumah sakit bagi korban yang
memerlukan perawatan khusus dokter ahli, serta pengungsian
dan penampungan korban bencana di tempat yang lebih aman
dengan didukung penyediaan dapur umum. Di samping itu,
diberikan pula bantuan rehabilitasi dan pembangunan rumah
serta sarana umum yang rusak akibat bencana.
Kegiatan kesiapsiagaan menghadapi bencana meliputi
penelitian dan pemetaan daerah rawan bencana, penyuluhan,
pendidikan dan pelatihan bagi petugas maupun masyarakat, dan
pengembangan sistem informasi penanggulangan bencana.
Dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi
bencana alam geologis telah dilakukan kegiatan pemetaan,
identifikasi, dan penyelidikan daerah-daerah rawan bencana.
Pada tahun 1994/95 telah diselesaikan pemetaan seismik daerah
rawan gempa berskala 1:250.000 sebanyak 8 lembar; pemetaan
geologi gunung api skala 1:50.000 sebanyak 38 peta; pemetaan
daerah bahaya gunung api skala 1:50.000 sebanyak 91 peta;
pemetaan topografi puncak gunung api skala 1:10.000
sebanyak 34 peta; pemetaan topografi aliran lahar skala
1.:10.000 sebanyak 20 peta; pemetaan kerentanan gerakan tanah
skala 1:100.000 sebanyak 13 peta; identifikasi 20 daerah sesar
aktif yang terbagi dalam 130 bagian sesar; pengamatan gunung
api secara terus menerus di 59 gunung api; pemantauan daerah
rawan longsor di 5 lokasi; dan penyelidikan di berbagai gunung
api yang meliputi penyelidikan potensi lahar/bahaya letusan,
penyelidikan kimia pada 24 gunung api, penyelidikan fisika,
penyelidikan penginderaan jauh, dan penyelidikan seismik pada
18 gunung api.
Guna melindungi dan mengamankan daerah produksi
pertanian dan permukiman dari daya rusak air dan bahaya
banjir, pada tahun
XVIII/
73
1994/95 dilakukan perbaikan dan pengendalian alur sungai di
beberapa ruas sungai yang dianggap kritis sepanjang 401
kilometer. Kegiatan perbaikan dan pengendalian tersebut
antara lain meliputi pembangunan prasarana pada ruas
sungai, waduk tunggu, tanggul, perbaikan alur, perkuatan
tebing, saluran banjir, dan rumah pompa. Kegiatan-kegiatan
tersebut diharapkan dapat melindungi dari bahaya banjir areal
sekitar 45.019 hektar di daerah produksi pertanian sepanjang
sungai Bengawan Solo, Brantas, Citanduy, Cimanuk, Indragiri,
dan Batanghari, dan daerah permukiman di perkotaan seperti
Jakarta, Semarang, Surabaya dan Bandung. Sementara itu, dalam
upaya mengamankan sungai dan daerah sekitarnya dari daya
rusak yang ditimbulkan oleh lahar gunung api, di sekitar daerah
Gunung Merapi dan Gunung Semeru telah dibangun 6 unit
bangunan pengendali dan kantong-kantong lahar.
Dalam rangka menunjang dan meningkatkan keselamatan
penerbangan yang memenuhi syarat penerbangan, kondisi dan
jumlah peralatan keselamatan penerbangan juga ditingkatkan.
Pada tahun 1994/95 telah dipasang alat bantu navigasi
penerbangan (Non Directional Beacon/NDB) di 3 lokasi, alat
komunikasi dari darat ke pesawat berupa Very High Frequency-
Extended Range (VHF-ER) di 5 lokasi, Aeronautical Fixed
System High Frequency Communication System (AFS-HF XVIII/74
Communication System) di 10 lokasi, Aeronautical Fixed System
- Leased Channel (AFS-Leased Channel) di 1 lokasi, peralatan
komunikasi yang digunakan pada jalur penerbangan domestik
(Regional-Domestic Air Route Area/R-DARA) di 1 lokasi, dan
peralatan untuk mendistribusikan berita secara otomatis
(Automatic Messages Swicthing Centre/AMSC) di 1 lokasi.
Dengan dipasangnya peralatan tersebut, maka peralatan navigasi
udara, yang berupa NDB telah meningkat menjadi 238 unit.
Peralatan komunikasi dari darat ke pesawat yang terdiri dari
VHF-ER, AFS-HF Communication System dan AFS-Leased
Channel meningkat dari 337
unit pada tahun 1993/94 menjadi 353 unit pada tahun
1994/95. Alat komunikasi berupa R-DARA meningkat dari 16
lokasi pada tahun 1993/94 menjadi 17 lokasi pada tahun
1994/95. Peralatan untuk mendistribusikan berita secara
otomatis (AMSC) pada tahun 1994/95 secara keseluruhan telah
digunakan di 19 lokasi.
Sementara itu, keselamatan pelayaran juga ditingkatkan
antara lain dengan menyediakan fasilitas keselamatan seperti
fasilitas navigasi, kesyahbandaraan dan penjagaan keamanan
pantai yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan
keselamatan pelayaran. Pada tahun 1994/95 telah dibangun
fasilitas sarana bantu navigasi berupa pembangunan 4 menara
suar dan 105 rambu suar, serta disediakan kapal bandar sebanyak
31 kapal untuk fasilitas kesyahbandaraan. Di samping itu untuk
pemeliharaan alur pelayaran telah dikeruk sebanyak 10,6 juta m³
lumpur.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan tenaga pertahanan
sipil (hansip) dan satuan perlindungan masyarakat (linmas)
dalam penanggulangan bencana, pada tahun 1994/95 telah
dilaksanakan pelatihan kepada aparat markas wilayah (Mawil)
Hansip di beberapa propinsi rawan bencana alam seperti Jawa
Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Irian Jaya. XVIII/75
Untuk memelihara kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat
dalam menghadapi bencana, terutama para petugas
penanggulangan bencana, pada tahun 1994/95 telah dilatih
sebanyak 200 orang instruktur penanggulangan bencana, 680
orang satuan tugas sosial penanggulangan bencana (SATGASOS
PB), dan pelatihan penyegaran bagi 280 orang Satgasos PB yang
telah berada di masyarakat.
Kegiatan tanggap darurat terhadap kejadian bencana
ditujukan untuk meningkatkan kemampuan penanggulangan
ketika terjadi bencana yang dilakukan melalui: pertama,
peningkatan kemampuan
sumber daya manusia dan pembinaan fungsi satuan tugas
pelaksana dalam pengelolaan dan koordinasi bantuan darurat;
kedua, penyediaan sarana dan prasarana untuk melakukan
pencarian, penyelamatan, dan pelayanan kesehatan serta
pelayanan sosial terhadap korban bencana; dan ketiga
meningkatkan kemampuan masyarakat dan petugas dalam
mengkonsolidasi diri segera sesudah terjadi bencana melalui
penyediaan sarana dan prasarana darurat agar akibat bencana
tidak meluas dan berkepanjangan.
Pada tahun 1994/95 fasilitas pencarian dan penyelamatan
ditingkatkan antara lain melalui penambahan 4 buah helikopter
SAR, pengembangan satulit komunikasi SAR dan unit sistem
informasi operasional SAR (SAROIMS) di 19 lokasi, pengadaan
2 unit perahu penyelamatan yang dilengkapi dengan peralatan
medis, 3 unit hydrolic rescue pump dan 2 unit lifting bag untuk
pengangkatan pesawat maupun pertolongan bencana alam, dan
pengadaan 2 set peralatan pendakian, serta 36 buah baju tahan
api. Dengan peningkatan fasilitas tersebut maka tingkat
keberhasilan penyelamatan korban musibah pelayaran dan
penerbangan semakin meningkat. Pada tahun 1994/95 tercatat
sebanyak 1.070 orang dari 1.439 orang terkena musibah (74,3%)
yang berhasil dapat diselamatkan.
XVIII/76
Kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana
bertujuan untuk memperbaiki dan membangun kembali sarana
dan prasarana di lokasi bencana agar segera berfungsi kembali,
dan memulihkan tata kehidupan dan penghidupan serta
kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana
berdasarkan azas kemandirian. Kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi antara lain meliputi peningkatan pelayanan sosial
terhadap korban bencana melalui pemberian bantuan dan
rehabilitasi permukiman serta sarana umum lainnya seperti
tempat ibadah, gedung, sekolah, pasar dan air bersih. Kepada
para korban diberikan bimbingan dan penyuluhan untuk
mempercepat pemulihan
kehidupan dan penghidupan mereka didukung dengan
pemberian bantuan sarana usaha. Selanjutnya dilakukan
perbaikan sarana dan prasarana dasar serta dalam keadaan
tertentu pemindahan permukiman secara darurat maupun
pemindahan penduduk secara permanen ke tempat atau daerah
yang lebih aman baik secara lokal maupun melalui
transmigrasi.
Dalam rangka membantu korban bencana alam yang terjadi
pada tahun 1994/95, disamping diberikan bantuan pelayanan
kesehatan dan sosial seperti diuraikan di atas, juga diberikan
bantuan rehabilitasi dan pembangunan rumah serta sarana umum
yang rusak akibat bencana. Bagi korban bencana tsunami di
Banyuwangi, telah diberikan bantuan darurat dan pembangunan
794 unit rumah baru, rehabilitasi 121 unit rumah, serta bantuan
sarana penangkapan ikan sebanyak 286 unit. Bagi korban
bencana gempa bumi di Maluku Utara telah diberikan bantuan
darurat dan pembangunan 1.000 unit rumah baru. Bagi
masyarakat yang bertempattinggal di daerah bahaya letusan
gunung Merapi seperti di dusun Sudimoro dan Pelem desa
Girikerto kecamatan Turi kabupaten Sleman telah diberikan
bantuan darurat dan permukiman kembali 180 unit rumah.
Sementara itu bagi korban bencana banjir di Sumatera Barat,
telah diberikan bantuan darurat, dan rehabilitasi 362 unit XVIII/77
rumah. Kesemuanya dilakukan bersama bantuan dari
masyarakat.
Pada tahun 1994/95 telah diberikan bantuan rehabilitasi
4.457 unit rumah korban bencana alam lainnya di 19 propinsi,
dan rehabilitasi serta rekonstruksi prasarana jalan yang rusak
akibat gempa bumi dan gelombang pasang (tsunami) di Alor,
Flores (Nusa Tenggara Timur), Ternate (Maluku) dan di
Liwa (Lampung).
E. KEPENDUDUKAN
1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI
Sasaran pembangunan kependudukan pada akhir Repelita VI
adalah menurunnya laju pertumbuhan penduduk dari 1,66 persen
pada tahun 1993 menjadi 1,51 persen pada tahun 1998 sehingga
jumlah penduduk mencapai 204,4 juta; meningkatnya angka
harapan hidup menjadi sekitar 64,6 tahun; dan menurunnya angka
kematian bayi menjadi sekitar 50 kematian per seribu kelahiran
hidup.
Dalam rangka mencapai sasaran pembangunan kependudukan,
ditempuh berbagai kebijaksanaan untuk meningkatkan kualitas
penduduk agar potensi penduduk dapat dikembangkan secara
optimal; mengendalikan pertumbuhan dan kuantitas penduduk
melalui gerakan keluarga berencana; mengarahkan persebaran dan
mobilitas penduduk sesuai dengan daya dukung lingkungan dan
kebutuhan tenaga kerja; menyempurnakan sistem informasi
kependudukan agar dapat meningkatkan mutu dan liputan data
kependudukan; serta meningkatkan daya guna dan
kesejahteraan penduduk usia lanjut dengan tetap mengutamakan
peran keluarga dalam masyarakat.
XVIII/78
Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas,
pembangunan kependudukan dalam Repelita VI dilaksanakan
melalui satu program yaitu program kependudukan yang
bersifat lintas bidang dan lintas sektor, yang pelaksanaannya
didukung secara terpadu oleh berbagai program di bidang
pembangunan lainnya serta didukung oleh peran serta masyarakat.
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama
Repelita VI
Pembangunan kependudukan telah berhasil menurunkan laju per-
tumbuhan penduduk secara bermakna sehingga diproyeksikan menjadi
1,63 persen pada tahun 1994. Penurunan laju pertumbuhan penduduk
merupakan dampak dari penurunan angka kelahiran kasar dan angka
kelahiran total. Penurunan pertumbuhan penduduk tersebut membawa
dampak pada peningkatan kualitas penduduk yang ditandai oleh
semakin menurunnya angka kematian bayi dan angka kematian kasar
serta meningkatnya rata-rata harapan hidup penduduk. Di samping
itu, persebaran penduduk antara lain melalui transmigrasi dan
persebaran tenaga kerja telah makin menyeimbangkan persebaran
penduduk di daerah luar Pulau Jawa. Kegiatan registrasi penduduk
yang merupakan bagian dari sistem informasi kependudukan
ditingkatkan mutu dan cakupannya.
a. Peningkatan Kualitas Penduduk
Dalam rangka peningkatan kualitas penduduk berbagai kegiatan
pembangunan yang berorientasi pada peningkatan sumber daya
manusia terus ditingkatkan dan dimantapkan. Kegiatan peningkatan
kualitas penduduk merupakan kegiatan pembangunan yang
dilaksanakan secara lintas bidang, lintas sektor, dan lintas program. XVIII/79.
Kegiatan tersebut dilakukan antara lain melalui peningkatan iman dan
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta pendidikan P4,
peningkatan kualitas pendidikan baik pendidikan sekolah maupun
pendidikan luar sekolah, peningkatan cakupan dan mutu pelayanan
kesehatan, dan peningkatan peranan wanita. Secara lebih rinci dapat
diikuti pada laporan di berbagai sektor tersebut.
b. Pengendalian Pertumbuhan dan Kuantitas Penduduk
Pengendalian pertumbuhan dan kuantitas penduduk ditujukan
untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk sehingga tercipta
keseimbangan antara jumlah penduduk dengan daya dukung dan
daya tampung lingkungannya. Kegiatan-kegiatan untuk
mengendalikan pertumbuhan dan jumlah penduduk dilaksanakan
terutama melalui kegiatan-kegiatan dalam program keluarga
berencana (KB) yang terdiri dari komunikasi, informasi, dan
edukasi (KIE), pelayanan KB, dan pemantapan kelembagaan
dan pengelolaan program; serta berbagai kegiatan di
berbagai bidang dan sektor.
Pada awal Repelita VI (1994) jumlah penduduk Indonesia
diproyeksikan telah mencapai sekitar 192,2 juta orang terdiri dari
95,8 juta penduduk laki-laki dan 96,4 penduduk perempuan.
Dibandingkan dengan perkiraan jumlah penduduk pada tahun 1993,
terdapat pertambahan penduduk sekitar 3,1 juta orang. Meskipun
jumlah penduduk terus menunjukkan peningkatan, tetapi laju
pertumbuhannya terus mengalami penurunan. Pada tahun pertama
Repelita VI (1994) diperkirakan laju pertumbuhan penduduk adalah
1,63 persen, sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan laju
pertumbuhan penduduk pada tahun 1993 yaitu 1,66 persen.
XVIII/80
c. Pengarahan Persebaran dan Mobilitas Penduduk
Upaya untuk menciptakan keseimbangan persebaran antara
jumlah penduduk dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungannya antara lain dilakukan dalam berbagai program,
seperti program transmigrasi dan penciptaan kesempatan kerja baik
antardaerah, antarpropinsi maupun antarnegara. Laporan yang rinci
mengenai kegiatan-kegiatan dalam berbagai program tersebut dapat
dilihat pada uraian di sektor yang bersangkutan.
d. Penyempurnaan Sistem Informasi Kependudukan
Salah satu kendala pembangunan kependudukan adalah masih
langkanya data dan informasi kependudukan, padahal dukungan
informasi kependudukan diperlukan dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi pembangunan.
Dalam upaya menciptakan suatu sistem informasi kependudukan
pada tahun 1994/95 telah disusun rancangan kebijaksanaan Sistem
Informasi Kependudukan dan Keluarga (SIDUGA) dengan
melibatkan 15 instansi pemerintah. Melalui sistem informasi
tersebut diharapkan seluruh data dan informasi mengenai
kependudukan dan keluarga di setiap instansi/departemen dapat
didayagunakan melalui suatu jaringan komunikasi data yang dikelola
dengan azas kemitraan.
Penyempurnaan sistem informasi kependudukan juga
dilaksanakan melalui penataan administrasi registrasi penduduk.
Pelaksanaan registrasi penduduk yang dilakukan oleh aparat
pemerintah daerah di setiap propinsi meliputi kegiatan pencatatan dan
pelaporan data kependudukan yang terdiri dari kelahiran, kematian,
petpindahan dan data statistik kependudukan lainnya yang dilakukan
mulai dari tingkat desa/kelurahan hingga tingkat propinsi. Pada
tahun 1994/95 telah dilakukan pelatihan pencatatan dan pelaporan
XVIII/81
registrasi penduduk bagi sekitar 400 orang aparat pemerintah daerah
di 5 propinsi, baik yang berada di tingkat desa/kelurahan, tingkat
kecamatan, tingkat kabupaten, maupun tingkat propinsi. Secara
keseluruhan sejak tahun 1989/90 sampai dengan tahun 1994/95 telah
dilatih lebih dari 16.000 orang aparat petugas registrasi penduduk di
20 propinsi.
e. Pendayagunaan dan Kesejahteraan Penduduk Usia
Lanjut
Program pendayagunaan dan kesejahteraan penduduk usia lanjut
dimaksudkan untuk mendorong dan mendayagunakan penduduk usia
lanjut yang produktif sesuai dengan kemampuan, kearifan, peng-
alaman dan keahliannya; menyedialcan sarana dan fasilitas
pelayanan khusus bagi para lanjut usia yang lemah fisik dan mental;
serta meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap penduduk usia
lanjut yang memerlukan pertolongan. Upaya tersebut
diselenggarakan melalui kegiatan-kegiatan pembangunan di
bidang kesehatan, kesejahteraan sosial, pendidikan, dan tenaga
kerja.
Semakin meningkatnya rata-rata harapan hidup memberikan
dampak pada semakin meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut.
Di samping itu peningkatan jumlah penduduk usia lanjut juga
terjadi karena terdapat perubahan demografis dan
pergeseran struktur penduduk Indonesia dari usia muda ke
arah usia produktif dan usia lanjut yang dihasilkan oleh
kemajuan pembangunan selama ini. Jika pada tahun 1993
penduduk usia lanjut berjumlah sekitar 11,7 juta orang atau
6,2 persen dari total penduduk tahun 1993, pada tahun 1994
jumlahnya telah meningkat menjadi sekitar 12,2 juta orang atau XVIII/82
6,4 persen dari total penduduk tahun 1994. Penduduk usia lanjut
yang masih bekerja dengan tingkat pendidikan SLTP ke atas ternyata
meningkat dari 4,4 persen pada tahun 1993 menjadi 5,0 persen pada
tahun 1994.
Sementara itu bagi penduduk usia lanjut yang tidak mampu, baik
yang tinggal sendiri maupun bersama keluarganya yang juga tidak
mampu, dan yang tinggal di panti lanjut usia diberikan penyantunan.
Penyantunan bagi penduduk usia lanjut di dalam panti adalah berupa
jaminan hidup, sedangkan bagi penduduk usia lanjut di luar
panti
adalah berupa sarana pelayanan khusus. Pada tahun 1994/95 jumlah
penduduk usia lanjut yang tidak mampu yang telah menerima
penyantunan adalah sebanyak 43.473 orang, atau meningkat sebanyak
3.329 orang bila dibandingkan dengan jumlahnya pada akhir Repelita
V (1993/94) yaitu 40.144 orang.
F. KELUARGA SEJAHTERA
1. Sasaran, Kebijaksanaan dan Program Repelita VI
Sasaran dalam Repelita VI adalah menurunnya angka kelahiran
total (TFR) menjadi 2,60 per wanita; meningkatnya kepedulian dan
peran serta masyarakat dalam rangka mewujudkan sikap dan
perilaku kemandirian; dan terwujudnya tatanan gerakan Keluarga
Berencana (KB) secara menyeluruh untuk dijadikan landasan
pembangunan selanjutnya.
Dalam mencapai sasaran tersebut, pokok kebijaksanaan yang
ditempuh, antara lain, adalah mengembangkan ketahanan dan
meningkatkan kualitas keluarga, dalam rangka mewujudkan
kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama
dan nilai-nilai luhur budaya bangsa; meningkatkan kelembagaan
gerakan KB, dengan menggalakkan keperdulian dan peran serta
XVIII/83
pemuka agama, pemuka masyarakat, organisasi kemasyarakatan
serta lembaga kemasyarakatan lainnya; dan mengembangkan
kerjasama internasional program KB.
Berdasarkan sasaran dan kebijaksanaan tersebut di atas,
pembangunan keluarga sejahtera dilaksanakan dalam satu program,
yaitu program keluarga berencana yang pelaksanaannya didukung
oleh berbagai bidang pembangunan lainnya secara terpadu.
2. Pelaksanaan dan Hasil Pembangunan Tahun Pertama
Repelita VI
Program KB bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan
peran serta masyarakat terhadap pendewasaan usia perkawinan,
penurunan angka kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, dan
peningkatan kesejahteraan keluarga. Untuk mencapai tujuan tersebut,
program KB dilaksanakan melalui kegiatan: (a) komunikasi,
informasi, dan edukasi (KIE); (b) pelayanan keluarga berencana; dan
(c) pemantapan kelembagaan serta pengelolaan program. Melalui
berbagai kegiatan tersebut telah meningkatkan jumlah peserta KB
baru, dan jumlah peserta KB aktif, dan mengajak masyarakat
melaksanakan KB secara mandiri.
a. Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
Pelaksanaan kegiatan KIE ditekankan pada upaya
menumbuhkan pengertian, kesadaran dan keyakinan tentang manfaat
keluarga kecil. Upaya tersebut diharapkan secara bertahap dapat
mendorong terjadinya proses perubahan pengetahuan, sikap
dan tingkah laku masyarakat terhadap penerimaan KB dalam
mewujudkan norma keluarga kecil, bahagia, sejahtera secara
mandiri. Pelaksanaan kegiatan KIE telah ditingkatkan
XVIII/84
bekerjasama dengan sektor-sektor terkait, organisasi profesi,
swasta niaga, organisasi masyarakat, LSM, dengan partisipasi
masyarakat luas.
Penyebarluasan pesan-pesan KIE tentang KB dilaksanakan
melalui berbagai media cetak dan elektronik seperti surat
kabar/majalah, televisi maupun radio yang disiarkan dalam berbagai
mata acara. Dalam tahun 1994/95 telah dikembangkan KIE melalui
pendekatan baru yaitu dengan melibatkan pemirsa/pendengar
secara
interaktif dalam memecahkan permasalahan KB yang dihadapi.
Pelaksanaan KIE dengan pendekatan baru tersebut telah dilaksanakan
melalui televisi di 3 stasion TVRI propinsi (Palembang, Ujung
Pandang, dan Denpasar) dan melalui stasion radio di 15 propinsi. Di
samping itu, untuk meningkatkan pemerataan pelaksanaan KIE,
setiap Dati II telah dilengkapi dengan sarana mobil unit
penerangan.
Melalui berbagai kegiatan KIE tersebut pemahaman serta
kesadaran masyarakat akan pentingnya KB telah ditingkatkan. Hasil
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1994
menunjukkan bahwa 96 persen dari pasangan usia subur (PUS)
mengetahui tentang KB dan 55 persen telah melaksanakan KB.
Sedangkan hasil SDKI tahun 1991 menunjukkan persentase PUS
yang mengetahui KB adalah 94 persen dan yang menjadi peserta KB
50 persen dari junilah PUS.
b. Pelayanan Keluarga Berencana
Pelayanan keluarga berencana dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam ber-KB yang bermutu, aman, mudah
dan terjangkau agar memberikan kenyamanan dan kepuasan peserta
KB. Pelayanan KB terutama dilaksanakan di rumah sakit dan klinik
KB. Rumah sakit dan klinik KB tersebut selain berfungsi sebagai XVIII/85
tempat pelayanan KB juga berfungsi sebagai tempat rujukan dan
pengayoman bagi peserta KB yang mengalami komplikasi
pemakaian alat/obat kontrasepsi. Upaya meningkatkan pemerataan
dan pelayanan KB khususnya di daerah yang terpencil dilaksanakan
melalui kegiatan tim keluarga berencana keliling (TKBK). Di
samping itu, dalam rangka peningkatan mutu pelayanan KB telah
dilaksanakan penyediaan peralatan pelayanan KB yang cukup
sampai di tingkat desa.
Berbagai upaya pelayanan KB dan dukungan peralatan tersebut
dilakukan untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
PUS untuk berpartisipasi dalam ber-KB. PUS yang baru pertama
kali memakai salah satu alat kontrasepsi disebut sebagai peserta KB
baru. Untuk mempermudah melihat perkembangan pencapaian
peserta KB baru penyajian data dalam Tabel XVIII-11 dibagi
dalam 3 wilayah besar yaitu wilayah Jawa - Bali, wilayah
Luar Jawa - Bali I, dan wilayah Luar Jawa - Bali II. Pembagian
wilayah, tersebut sesuai dengan tahapan dimulainya
penggarapan KB di Indonesia.
Secara nasional jumlah peserta KB Baru pada tahun 1994/95
kurang lebih adalah 4,6 juta PUS atau sekitar 104 persen dari sasaran
tahun pertama Repelita VI. Jumlah tersebut naik sekitar 350 ribu
PUS dibandingkan pada tahun 1993/94. Tercapainya sasaran
peserta KB baru disebabkan tingginya tingkat pencapaian di
wilayah Luar Jawa - Bali I yaitu sebesar kurang lebih 129
persen. Sedangkan di wilayah Jawa - Bali tingkat
pencapaiannya hanya sebesar 94 persen dan di wilayah Luar Jawa -
Bali II mendekati sasaran yang ditetapkan (Tabel XVIII-11).
Rendahnya tingkat pencapaian di wilayah Jawa - Bali kemungkinan
dikarenakan sebagian besar PUS berusia muda sehingga lebih sulit
diajak untuk ber-KB karena masih menginginkan anak.
XVIII/86
Di samping upaya meningkatkan jumlah peserta KB, upaya lain
yang dilakukan adalah meningkatkan pemakaian kontrasepsi efektif
yang memberikan perlindungan lebih lama terhadap kehamilan. Jenis
kontrasepsi efektif tersebut terdiri dari IUD, suntikan, dan implant.
Pada tahun 1994/95 pemakaian berbagai jenis alat kontrasepsi oleh
peserta KB baru umumnya menurun dibandingkan dengan tahun
1993/94, kecuali pemakaian implant. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat semakin berminat pada alat kontrasepsi efektif (Tabel
XVIII-12).
Untuk memberikan hasil nyata dalam penurunan kelahiran,
peserta KB baru tersebut dibina kelangsungannya dalam
pemakaian alat kontrasepsi. Peserta KB yang secara terus
menerus untuk waktu yang lama memakai alat kontrasepsi
disebut peserta KB aktif. Pada tahun 1994/95 jumlah peserta
KB aktif adalah sekitar 22,8 juta PUS (Tabel VIII-13). Jumlah
peserta KB aktif di setiap wilayah menunjukkan peningkatan
yang cukup menggembirakan. Seperti halnya pada peserta KB
baru, peserta KB aktif juga cenderung memakai alat/obat
kontrasepsi efektif. Pada tahun 1994/.95 lebih dari 61 persen
peserta KB aktif memakai kontrasepsi IUD, Suntikan, dan
Implant masing-masing 22 persen, 31 persen dan 8 persen dari
seluruh peserta KB aktif (Tabel XVIII-14). Selain melalui
kegiatan KIE dan pelayanan KB yang terus menerus, tingginya
tingkat kelangsungan pemakaian alat/obat kontrasepsi antara
lain oleh karena dilakukannya pendekatan melalui upaya
peningkatan kesejahteraan dan ketahanan keluarga. Kegiatan
tersebut berupa peningkatan pendapatan bagi peserta KB, serta
pembinaan bagi keluarga balita antara lain melalui usaha
peningkatan pendapatan kelompok akseptor (UPPKA), yang
selanjutnya berkembang menjadi usaha peningkatan pendapatan
keluarga sejahtera (UPPKS).
UPPKA atau UPPKS dilaksanakan dengan pemberian XVIII/87
pinjaman modal secara bergulir kepada peserta KB. Pada tahun
1994/95 peserta UPPKA telah berjumlah 1,8 juta orang. Mulai
Repelita VI kegiatan tersebut telah ditingkatkan melalui
kerjasama dengan perbankan yaitu PT Bank Negara Indonesia
(Persero), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero), dan beberapa
BUMN seperti PT Indosat, PT Telkom, PT Kimia Farma, dan
PT Jasa Raharja.
Di samping itu, dalam rangka memberikan pengetahuan
dan ketrampilan kepada para ibu tentang bagaimana mendidik
dan mengasuh anak balita dibentuk kelompok-kelompok bina
keluarga
balita (BKB). Dengan bekal pengetahuan dan ketrampilan
tersebut diharapkan ibu-ibu mampu mendidik dan mengasuh
anak balitanya sejak dini agar dapat tumbuh dan berkembang
menjadi manusia yang sehat seutuhnya. Pada tahun 1994/95
tercatat sebanyak 3,4 juta peserta BKB yang tersebar
diseluruh Indonesia. Selanjutnya dikembangkan pula bina
keluarga remaja (BKR), dan bina keluarga lanjut usia (BKL).
c. Pemantapan Pelembagaan Program
Dalam rangka meningkatkan pembudayaan NKKBS
melalui gerakan keluarga berencana diupayakan keikutsertaan
lembagalembaga yang ada dalam masyarakat secara aktif
membantu program KB. Dengan upaya itu tumbuh dan
berkembang kelompok-kelompok peserta KB yang diorganisasi
dalam bentuk pembantu pembina KB desa (PPKBD) dan Sub-
PPKBD. Sebagai upaya lebih lanjut untuk meningkatkan peran
aktif masyarakat dalam pembangunan KB, dari Sub-PPKBD
dikembangkan kelompok-kelompok peserta KB yang terdiri
dari 5-10 peserta KB. Pada tahun 1994/95 telah terbentuk
sekitar 668,6 ribu kelompok KB yang tersebar di seluruh desa.
Seiring dengan partisipasi lembaga-lembaga masyarakat
dalam pelaksanaan KB, juga telah ditingkatkan kepedulian dan XVIII/88
peran serta pemuka agama, pemuka masyarakat dan lembaga
swadaya dan organisasi masyarakat seperti LKK-NU,
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Muhammadiyah,
Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), PKK, serta Darma
Wanita. Di samping itu, telah pula ditingkatkan kerjasama
dengan organisasi-organisasi profesi antara lain: Ikatan Dokter
Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan
Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Dengan keikutsertaan lem-
baga/organisasi tersebut pada tahun 1994/95 masyarakat yang
telah melaksanakan KB secara mandiri berjumlah sekitar 1,5
juta PUS.
d. Pendidikan dan Pelatihan
Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan program KB
dilakukan usaha-usaha pendidikan dan pelatihan tenaga program
KB. Melalui pendidikan dan pelatihan tersebut, kemampuan dan
keterampilan teknis makin meningkat sehingga tenaga program
makin dapat memenuhi permintaan masyarakat yang akan . ber-
KB. Jumlah tenaga program yang mendapat pelatihan pada tahun
1994/95 adalah para dokter sebanyak 2.705 orang dan
bidan/pembantu bidan sebanyak 5.370 orang.
Selanjutnya untuk mengantisipasi perkembangan masyarakat
dan ilmu pengetahuan dalam bidang KB dan bidang lain yang
terkait, telah ditingkatkan pengetahuan dan keahlian tenaga
program melalui pendidikan tinggi dalam program Diploma,
Sarjana, dan Pasca Sarjana. Pada tahun 1994/95 telah
diselenggarakan pendidikan berjenjang yang meliputi: 400 orang
D2, 3.000 orang D3, 406 orang S1, 121 orang S2, dan 14 orang S3
baik dalam negeri maupun luar negeri.
Kerjasama internasional dalam KB telah dikembangkan
terutama di antara negara-negara GNB. Kerjasama ini meliputi
pertukaran informasi, pengalaman, keahlian dan iptek sesuai
dengan kondisi negara masing-masing. Pada tahun 1994/95 telah
dilaksanakan kegiatan studi banding di Indonesia bagi 447
peserta yang berasal dari negara-negara Afrika, Asia, Pasifik
Selatan dan Amerika Latin.XVIII/89
Pelaporan dan Penelitian
Salah satu aspek yang penting dalam pengelolaan gerakan
KB nasional adalah sist im pencatatan dan pelaporan
yang dapat
menyediakan informasi secara cepat, tepat, akurat dan terus
menerus. Sistem tersebut terus-menerus disempurnakan agar
dapat memantau pelaksanaan, hasil dan dampak program KB.
Pada akhir Repelita V telah dilakukan desentralisasi
pengumpulan dan pengolahan data pada tingkat
kabupaten/kotamadya. Dengan demikian, laporan dari tingkat
kecamatan dan klinik tidak lagi langsung dikirim ke pusat. Pada
tahun 1994/95 telah dilakukan penyempurnaan sistim pencatatan
dan pelaporan dengan mencakup informasi lebih luas
yaitu tentang keluarga berencana, demografi dan keluarga
sejahtera.
Di samping itu dilakukan pula kegiatan penelitian dengan
maksud untuk menggali informasi yang lebih mendalam tentang
dampak program KB. Pada tahun 1994/95 telah dilakukan 15
paket penelitian antara lain mengenai peran institusi
masyarakat (PKK, PPKBD, BKB) di perdesaan,
pelaksanaan KB di daerah kumuh, pantai dan kepulauan,
serta penelitian tentang peningkatan kualitas pelayanan. Melalui
kegiatan penelitian tersebut diupayakan untuk mengidentifikasi
kebutuhan pelayanan KIE, kontrasepsi maupun pelayanan
terpadu serta pengembangan kemandirian. Di samping itu
dilakukan penelitian pula mengenai pemakaian alat kontrasepsi
dalam upaya mengembangkan kontrasepsi yang dapat XVIII/90
memberikan kepuasan kepada peserta KB.
Penelitian lainnya yang bersifat lebih komprehensif adalah
SDKI 1994 yang dilaksanakan berkerja sama dengan BPS dan
Departemen Kesehatan. Kajian yang mendalam atas SDKI telah
memberikan informasi yang sangat berarti antara lain tentang
angka prakiraan jumlah permintaan terhadap pelayanan KB serta
gambaran prioritas sasaran gerakan KB dimasa yang akan
datang.
9. METODE PENGENDALIAN
A. Tindakan pencegahan:
Tujuan dasarnya adalah untuk mengurangi kemungkinan orang-orang yang digigit oleh kutu yang
terinfeksi, mengalami kontak langsung dengan jaringan infektif dan eksudat, atau terkena pasien
dengan wabah pneumonia.
1) Mendidik masyarakat di daerah enzootic pada mode eksposur hewan manusia dan domestik;
pentingnya bangunan pemeriksaan tikus, mencegah akses ke makanan dan tempat tinggal oleh tikus
peridomestic melalui penyimpanan dan pembuangan makanan, sampah dan menolak sesuai; dan
pentingnya menghindari gigitan kutu dengan menggunakan insektisida dan penolak. Di daerah
sylvatic atau wabah pedesaan, masyarakat harus dianjurkan untuk menggunakan penolak serangga dan
diperingatkan untuk tidak kamp dekat liang tikus dan untuk menghindari penanganan hewan pengerat,
tetapi untuk melaporkan hewan yang mati atau sakit kepada otoritas kesehatan atau penjaga taman.
Anjing dan kucing di daerah tersebut harus diperlakukan secara berkala dengan insektisida yang tepat.
2) populasi Survey tikus secara berkala untuk menentukan efektivitas program sanitasi dan untuk
mengevaluasi potensi wabah epidemi. Rat penindasan oleh keracunan (lihat 9B6, di bawah) mungkin
diperlukan untuk meningkatkan langkah-langkah sanitasi lingkungan dasar; kontrol tikus harus selalu
didahului oleh langkah-langkah untuk mengendalikan kutu. Menjaga pengawasan fokus alami dengan
pengujian bakteriologis tikus liar yang sakit atau mati dan oleh studi serologis karnivora liar dan
outdoor anjing dan kucing mulai populasi dalam rangka untuk menentukan bidang kegiatan wabah.
Pengumpulan dan pengujian kutu dari tikus liar dan sarang mereka atau liang juga mungkin tepat.
3) Pengendalian tikus di kapal dan dermaga dan gudang oleh tikus pemeriksaan atau penyemprotan
periodik, bila perlu dikombinasikan dengan perusakan tikus dan kutu mereka di kapal dan di kargo,
terutama kargo kemas, sebelum pengiriman dan pada kedatangan dari wabah lokasi endemik.
4) Pakailah sarung tangan ketika berburu dan penanganan satwa liar.
5) Imunisasi aktif dengan vaksin bakteri tewas menganugerahkan perlindungan terhadap penyakit pes
(tapi wabah pneumonia tidak primer) di sebagian besar penerima untuk setidaknya beberapa bulan bila
diberikan dalam serangkaian utama 3 dosis dengan dosis satu dan dua 1-3 bulan terpisah diikuti
dengan dosis tiga 5-6 bulan kemudian; suntikan penguat diperlukan setiap 6 bulan jika eksposur risiko
tinggi terus. Setelah dosis booster ketiga, interval dapat diperpanjang untuk setiap 1 sampai 2 tahun.
Imunisasi pengunjung ke daerah epidemi dan laboratorium dan lapangan pekerja penanganan basil
wabah atau hewan yang terinfeksi dapat dibenarkan namun tidak boleh diandalkan sebagai tindakan
pencegahan tunggal. Imunisasi rutin tidak diindikasikan meskipun bagi sebagian besar orang yang
tinggal di daerah enzootic seperti Amerika Serikat bagian barat. Vaksin hidup yang dilemahkan
digunakan di beberapa negara, namun dapat menghasilkan reaksi yang lebih buruk dan tidak ada bukti
bahwa mereka lebih protektif.
B. Pengawasan kontak pasien dan lingkungan sekitarnya:
1) Laporkan kepada instansi kesehatan setempat: Laporan kasus dicurigai dan kasus yang
dikonfirmasi secara universal dibutuhkan oleh International Health Regulation, Kelas 1 (lihat
Pelaporan Penyakit Menular). Karena kelangkaan alami diperoleh wabah utama pneumonia, bahkan
satu kasus harus inititate pertimbangan prompt dengan baik kesehatan masyarakat dan penegakan
hukum otoritas dari paparan bioteroris / biowarfare.
2) Isolasi: pasien sembuh, dan terutama pakaian dan bagasi mereka, kutu menggunakan insektisida
yang efektif terhadap kutu lokal dan dikenal aman bagi orang-orang; rawat inap jika praktis. Untuk
pasien dengan penyakit pes (jika tidak ada batuk dan dada x-ray negatif) drainase dan sekresi tindakan
pencegahan yang ditunjukkan untuk 48 jam setelah dimulainya terapi yang efektif. Untuk pasien
dengan wabah pneumonia, isolasi ketat dengan tindakan pencegahan terhadap penyebaran udara
diperlukan hingga 48 jam terapi antibiotik yang sesuai telah selesai dan telah ada respon klinis yang
menguntungkan (lihat 9B7, di bawah).
3) Disinfeksi serentak: Dari sputum dan pembuangan purulen dan artikel kotor dengannya.
Membersihkan terminal. Tubuh manusia dan bangkai hewan yang mati karena wabah harus ditangani
dengan tindakan pencegahan aseptik yang ketat.
4) Karantina: Mereka yang telah berada di rumah tangga atau tatap muka kontak dengan pasien
dengan wabah pneumonia harus disediakan kemoprofilaksis (lihat 9B5, di bawah) dan ditempatkan di
bawah pengawasan selama 7 hari; mereka yang menolak kemoprofilaksis harus dipertahankan dalam
isolasi ketat dengan pengawasan yang cermat selama 7 hari.
5) Perlindungan kontak: Dalam situasi epidemi di mana kutu manusia diketahui terlibat, kontak pasien
penyakit pes harus disinfested dengan insektisida yang tepat. Semua kontak dekat harus dievaluasi
untuk kemoprofilaksis. Kontak dekat dikonfirmasi atau diduga kasus pneumonia wabah (termasuk
tenaga medis) harus diberi kemoprofilaksis menggunakan tetrasiklin (15-30 mg / kg) atau
chioramphenicol (30 mg / kg) setiap hari dalam 4 dosis terbagi selama 1 minggu setelah paparan
berhenti.
6) Investigasi kontak dan sumber infeksi: Cari orang dengan rumah tangga atau tatap muka paparan
wabah pneumonia, dan untuk hewan pengerat yang sakit atau mati dan kutu mereka. Kontrol kutu
harus mendahului atau bertepatan dengan tindakan antirodent. Debu tikus berjalan, tempat tinggal
yang dan liang di dalam dan sekitar daerah wabah diketahui atau diduga dengan insektisida diberi
label untuk mengendalikan kutu dan diketahui efektif terhadap kutu lokal. Jika nonburrowing tikus
liar yang terlibat, stasiun umpan insektisida dapat digunakan. Jika tikus perkotaan yang terlibat,
disinfeksi oleh debu rumah, kakus dan perabot rumah tangga; debu tubuh dan pakaian dari semua
warga di sekitar langsung. Menekan populasi tikus oleh kampanye terencana dan energik keracunan
dan dengan langkah-langkah bersamaan kuat untuk mengurangi tempat tinggal yang tikus dan sumber
makanan.
7) Pengobatan spesifik: Streptomycin adalah obat pilihan, gentamisin dapat digunakan ketika
streptomisin tidak tersedia; tetrasiklin dan chioramphenicol adalah pilihan alternatif. Chioramphenicol
diperlukan untuk pengobatan meningitis wabah. Semua sangat efektif jika digunakan awal (dalam 8-
18 jam setelah onset dari wabah pneumonia). Setelah respon yang memuaskan terhadap terapi obat,
munculnya kembali demam bisa terjadi akibat infeksi sekunder atau bubo supuratif yang mungkin
memerlukan insisi dan drainase.
C Penanganan wabah:
1) Selidiki semua kematian wabah yang dicurigai dengan pemeriksaan otopsi dan laboratorium jika
diperlukan. Mengembangkan dan melaksanakan penemuan kasus. Mendirikan sarana terbaik untuk
diagnosis dan pengobatan. Fasilitas medis yang ada peringatan untuk melaporkan kasus segera dan
untuk menggunakan layanan diagnostik dan terapeutik penuh.
2) Mencoba untuk mengurangi histeria publik dengan informasi yang tepat dan rilis pendidikan
melalui pers dan media berita.
3) Institute intensif kontrol kutu dalam memperluas lingkaran dari fokus dikenal.
4) Melaksanakan penghancuran hewan pengerat di dalam daerah yang terkena hanya setelah kontrol
kutu yang memuaskan telah dicapai.
5) Lindungi semua kontak seperti yang tercantum dalam 9B5, di atas.
6) Melindungi pekerja lapangan terhadap kutu; pakaian debu dengan bubuk insektisida dan
menggunakan penolak serangga setiap hari.
D. Implikasi bencana:
Wabah bisa menjadi masalah yang signifikan di daerah endemik bila ada gejolak sosial, crowding dan
kondisi yang tidak higienis. Lihat sebelum dan sesudahnya paragraf untuk tindakan yang tepat.
E. Tindakan Internasional:
1) Pemberitahuan Bank dalam waktu 24 jam oleh pemerintah untuk WHO dan negara-negara yang
berdekatan yang pertama diimpor, pertama ditransfer atau kasus non-impor pertama wabah di setiap
daerah yang sebelumnya bebas dari penyakit. Laporkan baru ditemukan atau diaktifkan kembali fokus
wabah di antara hewan pengerat.
2) Tindakan berlaku untuk kapal-kapal, pesawat dan angkutan darat yang datang dari daerah wabah
ditentukan dalam Peraturan Kesehatan Internasional. Peraturan ini sedang direvisi, tetapi peraturan
baru tidak akan berlaku sampai tahun 2002 atau setelah.
3) Semua kapal harus bebas dari tikus atau deratted berkala.
4) Rat bangunan bukti di pelabuhan dan bandar udara; menerapkan insektisida yang tepat;
menghilangkan tikus dengan rodentisida efektif.
5) Untuk wisatawan internasional, peraturan internasional mengharuskan sebelum keberangkatan
mereka pada pelayaran internasional dari daerah di mana ada epidemi wabah paru, mereka yang
dicurigai eksposur yang signifikan harus ditempatkan dalam isolasi selama 6 hari setelah pajanan
terakhir. Pada kedatangan kapal penuh yang terinfeksi atau dicurigai, atau pesawat penuh, wisatawan
dapat disinsected dan diawasi untuk jangka waktu tidak lebih dari 6 hari dari tanggal kedatangan.
Imunisasi terhadap wabah tidak dapat diminta sebagai syarat masuk ke suatu wilayah.
6) Pusat Kerjasama WHO.
Tindakan F. bioterorisme:
Y. pestis didistribusikan di seluruh dunia; teknik untuk produksi massal dan penyebaran aerosol yang
tersedia; dan tingkat kematian dari wabah pneumonia primer tinggi dan ada potensi nyata untuk
penyebaran sekunder. Untuk alasan ini, serangan biologis dengan wabah dianggap menjadi perhatian
kesehatan masyarakat yang serius. Beberapa kasus sporadis kemungkinan akan terjawab atau
setidaknya tidak dikaitkan dengan tindakan bioteroris disengaja. Setiap tersangka kasus wabah harus
segera dilaporkan melalui telepon kepada departemen kesehatan setempat. Kemunculan tiba-tiba dari
banyak pasien dengan demam, batuk, kursus fulminan dan tingkat fatalitas kasus tinggi harus
memberikan peringatan untuk tersangka antraks atau wabah; jika batuk terutama disertai hemoptisis,
presentasi ini nikmat diagnosis tentatif dari wabah pneumonia. Untuk dicurigai atau dikonfirmasi
wabah pneumonia, mengikuti pengobatan dan penahanan langkah-langkah yang diuraikan di atas 9B.
Google Translate for Business:Translator Toolkit Website Translator Global Market Finder
faktor risiko lingkungan yang mempunyai hubungan yang bermakna sebagai faktor yang
mempengaruhi keberadaan vektor adalah Kondisi Lantai Rumah, Kondisi Dinding Dapur, Kondisi
Lantai Dapur (P=0,00), Kondisi Tempat Sampah (P=0,40) dan Jarak Rumah dengan Ladang
(P=0,013) sementara untuk faktor perilaku adalah kebiasaan menangkap/membunuh tikus (P=0,005).
Selanjutnya pengendalian tikus dapat dilakukan dengan perbaikan sanitasi lingkungan yaitu
menciptakan lingkungan yang tidak favourable untuk kehidupan tikus pelaksanaannya dapat ditempuh
dengan cara:
a) Menyimpan semua makanan atau bahan makanan dengan rapi ditempat yang kedap tikus.
b) Menampung sampah dan sisa makanan ditempat sampah yang terbuat dari bahan yang kuat, kedap
air, mudah dibersihkan, bertutup rapi dan terpelihara dengan baik.
c) Tempat sampah tersebut hendaknya diletakkan di atas pondasi beton atau semen, rak atau tonggak.
d) Sampah harus selalu diangkut secara rutin minimal sekali sehari.
e) Meningkatkan sanitasi tempat penyimpanan barang/alat sehingga tidak dapat dipergunakan tikus
untuk berlindung atau bersarang.
Pemasangan perangkap (trapping) perlu diupayakan secara rutin. Macam
perangkap tikus yang beredar di pasaran adalah jenis snap/guillotine trap dan cage
trap. Jenis cage trap digunakan untuk mendapatkan tikus hidup, guna diteliti
pinjalnya. Biasanya perangkap diletakkan di tempat jalan tikus atau di tepi bangunan.
Pemasangan perangkap lebih efektif digunakan setelah dilakukan poisoning, dimana
tikus yang tidak mati karena poisoning dapat ditangkap dengan perangkap.
Pencegahan penyakit pes dapat dilakukan melalui penyuluhan dan pendidikan kesehatan
kepada masyarakat dengan cara mengurangi atau mencegah terjadinya kontak dengan
tikus serta pinjalnya.
Cara mengurangi atau mencegah terjadinya kontak antara tikus beserta pinjalnya dengan
manusia seperti:
1. Penempatan kandang ternak di luar rumah.
2. Perbaikan konstruksi rumah dan gedung-gedung sehingga mengurangi kesempatan
bagi tikus untuk bersarang (rat proof).
3. Membuka beberapa buah genting pada siang hari atau memasang genting kaca
sehingga sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah sebanyak-banyaknya.
4. Lantai semen.
5. Menyimpan bahan makanan dan makanan jadi di tempat yang tidak mungkin dicapai
atau mengundang tikus.
6. Melaporkan kepada petugas Puskesmas bilamana menjumpai adanya tikus mati tanpa
sebab yang jelas (rat fall).
7. Tunggi tempat tidur lebih dari 20 cm dari tanah.
Institusi yang berwenang dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian
vektor di pelabuhan adalah Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). KKP merupakan
UPT pusat yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI. Hal
ini sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.356/Menkes/Per/IV/2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan yang menyatakan
bahwa tugas Kantor Kesehatan Pelabuhan adalah melaksanakan pencegahan masuk
keluarnya penyakit karantina dan penyakit menular potensial wabah, pelaksanaan
kekarantinaan, pelayananan kesehatan terbatas di wilayah pelabuhan/bandara dan
lintas batas darat serta pengendalian dampak risiko lingkungan (Depkes RI, 2008).
Nurisa, Ima, dan Ristiyanto. Penyakit Bersumber Rodensia (Tikus dan Mencit) di Indonesia dalam
Jurnal Ekologi Kesehatan Volume 4 Nomer 3 Desember 2005. Jakarta : Departemen Kesehatan
Pelaksanaan pengendalian zoonosis lintas batas terdapat beberapa
tantangan yaitu:
1)Tingkat endemisitas zoonosis masih tinggi sehingga masyarakat
masih terancam dengan tertular dari hewan sebagai sumber penularan sehingga perlu dilakukan
advokasi penguatan regulasi di daerah dan menjalankan regulasi tersebut secara konsisten;
2)Keterbatasan tenaga kesehatan hewan (veterinarian) di daerah
kabupaten/kota endemis;
3)Keterbatasan mobilitas operasional karena kurangnya sarana dan
prasarana, kondisi geografis dan pendanaan;
4)Disparitas kapasitas sumberdaya Pemda dalam melakukan
pengendalian zoonosis;
5)Diperlukan kerjasama untuk membatasi penyebaran zoonosis
melalui pengawasan lalu lintas hewan antar wilayah Indonesia
maupun dengan negara lain di pintu masuk wilayah;
6)Masyarakat dan pemangku kepentingan masih belum sepenuhnya
paham tentang pengendalian zoonosis sehingga aspek sosial-budaya dalam masyarakat diarahkan
harus mendukung upaya pengendalian zoonosis;
Leptospirosis Zoonosis yangtersebar luas di seluruh dunia yangditularkan melalui urinetikus dan sering muncul mengiringi fenomena alam seperti banjirPada saat terjadi bencana nasional gunung merapi juga diiringi meningkatnya kejadian leptopirosis yang dimulai pada tahun 2010 sampai dengan 2011 di Kabupaten Bantul dan Kulon Progo provinsi DI Yogyakarta.
dunia. Sedangkan pada tahun yang sama juga terjadi peningkatan angkafatalitas yang cukup tajam di Kota SemarangProvinsi Jawa Tengah.Gambar Diagram Perkembangan Leptospirosis Pada Manusia Seca
dunia. Sedangkan pada tahun yang sama juga terjadi peningkatan angkafatalitas yang cukup tajam di Kota SemarangProvinsi Jawa Tengah.
Tulung Agung Provinsi Jawa Timur yang menyebabkan 1 orang meninggaldunia. Sedangkan pada tahun yang sama juga terjadi peningkatan angkafatalitas yang cukup tajam di Kota SemarangProvinsi Jawa Tengah.
Pada tahun 2012 terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB)leptospirosis di Kabupaten
Tulung Agung Provinsi Jawa Timur yang menyebabkan 1 orang meninggal
dunia. Sedangkan pada tahun yang sama juga terjadi peningkatan angka
fatalitas yang cukup tajam di Kota Semarang Provinsi Jawa Tengah.
Meskipun sampai saat ini belum ditemukan adanya penderita pes, namun dari hasil pengamatan selama ini masih ditemukan adanya serologist positif baik pada human maupun rodent.