bab 13 beberapa implikasi kebijakan

18
159 BAB 13 BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN 13.1. PENDAHULUAN Seperti telah disampaikan pada bagian sebelumnya, dua dekade terakhir merupakan periode “pertumbuhan” bagi perkembangan pemetarencanaan di negara-negara maju. Selain itu, upaya pemetarencanaan kolaboratif di negara maju tersebut juga umumnya cenderung semakin meningkat. Sementara itu untuk sebagian besar negara, termasuk negara berkembang di Asia seperti Indonesia, akhir abad 20 baru merupakan masa-masa awal upaya- upaya pemetarencanaan. Beragam upaya kolaborasi tersebut terutama didorong oleh kenyataan bahwa dinamika perubahan yang semakin kompleks menyadarkan pelaku bisnis dan pemerintah di berbagai industri dan negara bahwa semakin tidak mungkin (atau sulit) melakukan pengembangan atau inovasi secara sendiri. Para pihak menyadari bahwa satu sama lain makin saling membutuhkan dan mendorong prakarsa-prakarsa bersama sesuai dengan peran terbaik masing-masing. Pemetarencanaan dinilai penting tidak saja dalam mendorong sinergi antar pihak untuk meningkatkan daya saing masing-masing dan industri tertentu secara keseluruhan, tetapi juga bagi proses pembelajaran bersama terutama dalam upaya mendorong perkembangan inovasi secara lebih sistematis. Pemetarencanaan bersama menjadi salah satu alat penting bagi perkembangan sistem inovasi nasional. Karena itu, pemerintah berkepentingan untuk mendorong prakarsa dan upaya pengembangannya. Dalam kaitan tersebut, bab ini mendiskusikan secara singkat beberapa implikasi kebijakan pemerintah terkait dengan upaya pemetarencanaan kolaboratif sebagai suatu cara untuk mendorong penguatan sistem inovasi. Yang dimaksud dengan kebijakan dalam konteks ini dibatasi pada pengertian langkah/intervensi tertentu pemerintah (yang dalam bentuk pragmatisnya berupa suatu atau sehimpunan instrumen kebijakan tertentu): 1. untuk mendorong prakarsa dan pengembangan pemetarencanaan, dan/atau 2. sebagai akibat dari suatu upaya pemetarencanaan di bidang tertentu.

Upload: tatang-taufik

Post on 27-Oct-2015

34 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

159

BAB 13

BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN

13.1. PENDAHULUAN

Seperti telah disampaikan pada bagian sebelumnya, dua dekade terakhir merupakan periode “pertumbuhan” bagi perkembangan pemetarencanaan di negara-negara maju. Selain itu, upaya pemetarencanaan kolaboratif di negara maju tersebut juga umumnya cenderung semakin meningkat. Sementara itu untuk sebagian besar negara, termasuk negara berkembang di Asia seperti Indonesia, akhir abad 20 baru merupakan masa-masa awal upaya-upaya pemetarencanaan.

Beragam upaya kolaborasi tersebut terutama didorong oleh kenyataan bahwa dinamika perubahan yang semakin kompleks menyadarkan pelaku bisnis dan pemerintah di berbagai industri dan negara bahwa semakin tidak mungkin (atau sulit) melakukan pengembangan atau inovasi secara sendiri. Para pihak menyadari bahwa satu sama lain makin saling membutuhkan dan mendorong prakarsa-prakarsa bersama sesuai dengan peran terbaik masing-masing.

Pemetarencanaan dinilai penting tidak saja dalam mendorong sinergi antar pihak untuk meningkatkan daya saing masing-masing dan industri tertentu secara keseluruhan, tetapi juga bagi proses pembelajaran bersama terutama dalam upaya mendorong perkembangan inovasi secara lebih sistematis. Pemetarencanaan bersama menjadi salah satu alat penting bagi perkembangan sistem inovasi nasional. Karena itu, pemerintah berkepentingan untuk mendorong prakarsa dan upaya pengembangannya.

Dalam kaitan tersebut, bab ini mendiskusikan secara singkat beberapa implikasi kebijakan pemerintah terkait dengan upaya pemetarencanaan kolaboratif sebagai suatu cara untuk mendorong penguatan sistem inovasi. Yang dimaksud dengan kebijakan dalam konteks ini dibatasi pada pengertian langkah/intervensi tertentu pemerintah (yang dalam bentuk pragmatisnya berupa suatu atau sehimpunan instrumen kebijakan tertentu):

1. untuk mendorong prakarsa dan pengembangan pemetarencanaan, dan/atau

2. sebagai akibat dari suatu upaya pemetarencanaan di bidang tertentu.

PEMETARENCANAAN (ROADMAPPING): KONSEP, METODE DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 160

Pemetarencanaan dan kebijakan yang dimaksud di sini masih bersifat generik. Karena itu, kebijakan spesifik (beserta instrumennya) yang diperlukan tentunya perlu dikaji dan dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan konteks spesifiknya.

13.2. URGENSI INTERVENSI PEMERINTAH

Intervensi pemerintah umumnya didasarkan pada argumen kegagalan pasar (market failure), kegagalan pemerintah (government failure) atau kegagalan yang dinilai “menyeluruh” dalam suatu sistem keseluruhan akibat terjadi sangat meluas dan dalam periode waktu yang demikian lama (systemic failure).

Walaupun teknologi disadari sebagai faktor yang semakin penting oleh para pelaku bisnis, ini tidak otomatis menjamin mekanisme pasar yang efektif. Intervensi pemerintah yang terkait dengan pengetahuan (knowledge), teknologi, inovasi, dan litbang seringkali dibutuhkan dengan berbagai alasan. Beragam kajian tentang ini telah banyak dilakukan.

1 Tassey (2002,

1999) misalnya mengungkapkan salah satu bentuk kegagalan pasar terkait dengan litbang adalah fenomenon “investasi yang terlampau rendah” (underinvestment), yang antara lain terjadi dalam empat kategori:

1. aggregate underinvestment oleh suatu industri (misalnya rendahnya litbang keseluruhan);

2. investasi yang terlampau rendah dalam litbang terapan di perusahaan-perusahaan baru/ pemula (misalnya tidak memadainya modal ventura);

3. investasi yang terlampau rendah dalam pembaharuan teknologi yang ada (inkremental) atau penciptaan teknologi baru (misalnya ketidakmemadaian riset teknologi generik);

4. investasi yang terlampau rendah dalam mendukung infrastruktur teknologi (misalnya kurangnya litbang infratechnology).

Karena proses pengembangan teknologi berlangsung secara siklus (cyclically), kegagalan pasar yang mengarah kepada investasi yang terlampau rendah cenderung berulang terus. Selain itu, beragam jenis kegagalan pasar yang berbeda biasanya terjadi dan membutuhkan pola respon dari pemerintah atau industri-pemerintah yang berbeda pula.

Bentuk lain yang juga sering menjadi perhatian pembuat kebijakan adalah sifat “barang publik” (public goods) pengetahuan/teknologi (sepenuhnya ataupun sebagian) dan ekonomi eksternal (positif) dari aktivitas penciptaan, pemanfaatan dan difusinya dalam aktivitas bisnis (misalnya adanya knowledge spillover).

Upaya pemetarencanaan (khususnya yang dilaksanakan secara kolaboratif) terkait erat dengan upaya pemerintah yang berkehendak menanggulangi bentuk-bentuk kegagalan pasar

1 Lihat misalnya Cortright (2001), Tassey (2002, 1999), Lipsey (1999).

BAB 13 BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN

161

seperti disebutkan. Dalam konteks kebijakan, pemetarencanaan membantu formulasi kebijakan terutama dalam bentuk:

Membantu pemahaman yang sama antara pembuat kebijakan iptek, industri, para perencana anggaran dan pelaku bisnis tentang tantangan masa depan. Pemetarencanaan juga dapat mendukung tercapainya konsensus pandangan tentang peluang-peluang pasar yang baru dan teknologi-teknologi yang dinilai sangat penting (critical technologies);

Memberikan arah untuk menyesuaikan kebijakan-kebijakan, program dan regulasi pemerintah. Pemahaman pasar yang lebih baik memperbesar peluang rancangan kebijakan yang sejalan dengan mekanisme pasar yang sehat (conform to the market mechanism) atau mengarah kepada kondisi demikian. Karena itu, pemetarencanaan juga dapat membantu mengarahkan investasi (termasuk melalui dukungan pembiayaan pemerintah) yang lebih baik dalam pengetahuan/teknologi dan aktivitas litbang;

Mengidentifikasi hambatan/kendala-kendala utama dan kesenjangan kapabilitas bagi pengembangan di masa depan;

Mengurangi risiko kolaborasi dan mendorong formasi aliansi baru, jaringan dan kemitraan antar berbagai pihak;

Memberikan pendekatan yang sistematis bagi pengembangan teknologi yang berorientasi kebutuhan pasar masa datang. Ini terutama penting dalam mendorong pengembangan teknologi-teknologi terobosan, terdepan, atau yang dapat mempelopori perkembangan lebih lanjut (leading-edge technologies) yang dinilai penting bagi daya saing industri dan perkembangan industri baru di masa depan.

13.3. INTERVENSI UNTUK MENDORONG PEMETARENCANAAN

Seperti telah disebutkan, intervensi tertentu pemerintah dalam diskusi di sini dibatasi pada bentuk yang dimaksudkan:

1. untuk mendorong prakarsa dan pengembangan pemetarencanaan, dan/atau

2. sebagai akibat dari suatu upaya pemetarencanaan di bidang tertentu.

Untuk kebijakan kategori pertama, yaitu intervensi yang dimaksudkan untuk mendorong prakarsa dan pengembangan pemetarencanaan, secara umum telah disampaikan pada bagian sebelumnya tentang beberapa peran pemerintah. Bentuk kebijakan umumnya antara lain adalah sebagai berikut.

2

1. Penyediaan data dan analisis.

2 Lihat antara lain misalnya Industry Canada (2002), USDOE (2000)

PEMETARENCANAAN (ROADMAPPING): KONSEP, METODE DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 162

“Studi sektor” dari industri yang menjadi tema/topik pemetarencanaan akan memberikan informasi dasar (baseline information) bagi upaya pemetarencanaan yang akan dilakukan. Ini sangat penting, terutama untuk mendapatkan gambaran aktivitas-aktivitas utama dalam industri yang dikaji, pemanfaatan sumber dayanya, perubahan-perubahan yang dihadapi, perkembangan statistik dari industri terkait (termasuk misalnya perkembangan produktivitas dan indikator ekonomi lainnya), kapabilitas perusahaan dan organisasi terkait, perkembangan penting dalam industri (khususnya menyangkut inovasi), tantangan lingkungan persaingan (konsumen, kebijakan/regulasi, pesaing, dan lainnya), keterkaitan dengan industri lainnya, statistik pasar internasional, kecenderungan pasar (yang ada dan/atau yang sedang muncul/berkembang), dan persyaratan yang dibutuhkan bagi SDM dan pelatihan.

Informasi ini membantu para pelaku dalam mempertimbangkan misalnya apakah ini saat/momen yang strategis bagi pasar yang baru, teknologi dan keterampilan baru dan lainnya. Selain itu, ini akan membantu pelaku menyadari dan mengupayakan solusi (sikap dan tindakan) atas tantangan-tantangan masa depan yang akan dipertimbangkan dalam proses pemetarencanaan.

2. Menggalang dukungan dan partisipasi dari instansi pemerintah lain.

Sumber daya dan dukungan lain dalam bentuk seperti pembiayaan, keahlian, akses kepada staf penelitian dan bantuan lainnya yang mungkin diperlukan oleh proses pemetarencanaan mungkin tersedia di beberapa instansi pemerintah. Pemetarencanaan memungkinkan kemitraan antar lembaga pemerintah dan berbagi (sharing) sumber daya untuk secara bersama membangun kontribusi yang lebih kuat.

Di tahap awal mungkin akan diperlukan diskusi antar lembaga pemerintah untuk menjajagi kemungkinan penyediaan sumber daya bagi proses pemetarencanaan dan apakah cukup kredibel bahwa pemerintah menunjuk/mengajak beberapa pelaku industri dalam industri tertentu untuk menghasilkan petarencana.

3. Menyampaikan konsep dan manfaat kepada industri.

Idealnya, manakala telah diyakini bahwa suatu industri akan memperoleh manfaat dari suatu petarencana dan pelaku industri siap menginvestasikan waktu, sumber daya dan keahliannya, maka pemerintah dapat membantu.

Berbeda dengan di negara maju, sejauh ini upaya memperluas kesadaran, pemahaman dan prakarsa dalam pemetarencanaan di Indonesia (termasuk tentang konsep dan manfaatnya) nampaknya tetap perlu peran proaktif pemerintah. Tentunya secara bertahap pihak pemerintah perlu meyakinkan kepada industri untuk mengambil peran kepemimpinan dalam proses pemetarencanaan, dan peran pemerintah adalah dalam memberikan dukungan. Proses ini juga dapat dimanfaatkan untuk menggalang jaringan dari berbagai kalangan seperti perguruan tinggi, lembaga-lembaga litbang dan lainnya, yang dapat membantu upaya pemetarencanaan bagi industri tertentu.

BAB 13 BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN

163

4. Membantu industri mendapatkan keterampilan dan pengetahuan.

Pemetarencanaan akan membutuhkan masukan dari beragam sumber. Keterlibatan pelaku dengan beragam pengetahuan dan keterampilan atau keahlian tertentu seperti ahli teknologi, strategi organisasi, analis ekonomi, pembuat kebijakan, dan lainnya akan memperkaya perspektif yang diperlukan dalam proses pemetarencanaan. Partisipasi luas juga akan memperbesar peluang keragaman potensi untuk berbagai peran. Pihak pemerintah dapat membantu industri untuk menggali beragam potensi keterampilan dan pengetahuan tersebut, serta membantu merancang peran dan koordinasi berbagai partisipasi pelaku.

5. Berperan sebagai fasilitator pertemuan atau pengelola proses pemetarencanaan.

Pemerintah juga dapat berperan sebagai fasilitator dan/atau pengelola proses pemetarencanaan. Pihak pemerintah tidak selalu harus mengambil peran sebagai pengambil keputusan dalam proses pemetarencanaan. Peran fasilitasi seringkali diperlukan oleh pihak industri, misalnya dalam membentuk tim/komite pengarah, identifikasi dan pelibatan pelaku industri tertentu yang dianggap sebagai champion, mengembangkan visi bagi industri, menentukan lingkup dan batasan petarencana atau menyiapkan kesepakatan-kesepakatan tertentu yang bersifat rahasia atau memerlukan dukungan aspek legal seperti menyangkut Hak Kekayaan Intelektual.

6. Menyediakan pembiayaan dan layanan dukungan pemerintah.

Bentuk instrumen keuangan dari pemerintah seringkali menjadi elemen penting dalam bidang iptek umumnya atau aktivitas litbang/inovasi. Demikian halnya dalam upaya menumbuhkembangkan upaya-upaya pemetarencanaan, terutama mengingat hal ini masih relatif baru di Indonesia. Proses pemetarencanaan membutuhkan sumber daya yang memadai untuk mendukung agar proses ini efektif dan memberikan manfaat nyata bagi industri. Penyiapan sumber daya dan penganggaran yang tidak tepat akan sangat mempengaruhi bukan saja kelancaran prosesnya tetapi juga kualitas hasil yang diperoleh.

Selain itu, proses pemetarencanaan seringkali membutuhkan layanan dukungan tertentu dari lembaga-lembaga pemerintah terkait. Beberapa bentuk umum misalnya adalah kesekretariatan, tenaga-tenaga tertentu, bantuan penyiapan laporan dan koordinasi.

7. Menjembatani/memfasilitasi hubungan antar pelaku dan antara pelaku dengan pembuat kebijakan atau program.

Pengembangan hubungan antar pelaku dan antara pelaku dengan pembuat kebijakan atau program seringkali membutuhkan peran pihak pemerintah. Selain itu, dalam konteks hubungan antara kebijakan dan/atau program yang terkait dengan pemetarencanaan

PEMETARENCANAAN (ROADMAPPING): KONSEP, METODE DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 164

industri tertentu, dan sebaliknya, kejelasan keterkaitan akan sangat penting. Ini di antaranya berguna dalam menggali potensi kolaborasi dan penguatan keselarasan kebijakan sehingga memperbesar peluang keberhasilan inovasi dari pemetarencanaan.

8. Memantau kemajuan.

Pemetarencanaan merupakan suatu proses yang memerlukan tahapan dan waktu yang harus dilalui dan dijaga kesinambungannya. Petarencana yang dihasilkan pun pada dasarnya merupakan dokumen hidup yang harus terus dipelihara pemutakhirannya. Tugas demikian memang yang seringkali merupakan salah satu “kelemahan” upaya kolaborasi. Ini merupakan peran pemerintah, khususnya pihak yang berperan sebagai leading agency, untuk dapat membantu para stakeholder mencapai kemajuan (progress) dan terus memelihara kesinambungan proses yang perlu dilalui dan disepakati dalam pemetarencanaan.

9. Mendiseminasikan hasil-hasil.

Hasil-hasil yang diperoleh dari proses pemetarencanaan perlu didiseminasikan kepada partisipan pemetarencanaan maupun stakeholder kunci lain yang mungkin tidak terlibat langsung dalam proses. Ini penting untuk bukan saja menginformasikan hasil yang diperoleh, tetapi juga untuk “mengingatkan” para pihak untuk menindaklanjuti hasil dari proses yang dilalui dan kesepakatan-kesepakatan yang dicapai sesuai dengan peran masing-masing, serta memperoleh umpan balik (feedback) atas hasil-hasil tersebut.

Pemerintah perlu mempertimbangkan bentuk dukungan/bantuan seperti apa yang harus disediakan. Sebaliknya, pelaku bisnis dan stakeholder lain memang harus mempunyai motivasi kuat dan menunjukkan komitmen yang tinggi dalam upaya kolaborasi tersebut. Jika tidak, dukungan pemerintah tersebut boleh jadi hanya akan dianggap sebagai kehendak sepihak (yang dinilai tidak diperlukan oleh industri) dan sia-sia.

Sebagai contoh ilustrasi, Industry Canada, memberikan dukungan bagi prakarsa pemetarencanaan (jika industri menunjukkan kehendak kuat dan kapasitasnya untuk menghasilkan suatu petarencana teknologi) dalam bentuk:

Pembiayaan studi sektor, pertemuan, jasa layanan sekretariat, penterjemahan dan pencetakan dokumen-dokumen petarencana;

Keahlian (expertise) dari para spesialis industri terkait dari pemerintah dan non pemerintah, dengan pengetahuan menyangkut litbang, kecenderungan teknologi dan isu relevan lainnya;

Jasa layanan sekretariat, termasuk koordinasi pertemuan dan produksi dan distribusi laporan-laporan pertemuan;

Pengembangan dan pemeliharaan situs web, untuk menampilkan laporan-laporan yang relevan dan mengelola forum diskusi elektronik;

BAB 13 BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN

165

Informasi tentang program-program pembiayaan riset bagi litbang yang akan datang yang mungkin akan direkomendasikan dari petarencana.

Perwakilan-perwakilan industri dalam hal ini akan membiayai sendiri partisipasi mereka masing-masing dalam proses pemetarencanaan, termasuk misalnya jam kerja, biaya perjalanan, akomodasi dan konsumsi.

13.4. INTERVENSI SEBAGAI IMPLIKASI DARI PEMETARENCANAAN

Bagi pembuat kebijakan, proses pemetarencanaan dan petarencana yang dihasilkan merupakan alat strategis yang penting dalam siklus kebijakan – pengkajian, formulasi, implementasi, evaluasi dan penyempurnaan. Artinya, pemetarencanaan merupakan bagian integral dari pembuatan kebijakan publik yang terkait dengan tema bidang/industri atau isu pemetarencanaan tersebut.

Simplifikasi kerangka kerja (framework) untuk memahami hal tersebut adalah seperti diilustrasikan pada Gambar 13.1. Dalam kaitan ini, beberapa aspek perlu dipertimbangkan bagi pembuatan kebijakan.

A. Fokus Tujuan dan Platform Tematik Industri

Apa yang menjadi tujuan strategis dari dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi secara umum atau aktivitas penelitian dan pengembangan serta penumbuh-kembangan inovasi khususnya, pada umumnya adalah dalam rangka meningkatkan daya saing industri. Dalam kaitan ini berkembang berbagai pandangan dan konsep, yang sebagian “sebatas” menjadi wacana dan sebagian mengkristal menjadi suatu platform bagi strategi dan/atau kebijakan.

PEMETARENCANAAN (ROADMAPPING): KONSEP, METODE DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 166

Waktu

PendorongPasar

(MarketDrivers)

Sumber

Daya

Program

Litbang

(R&D)

Sains/

Teknologi

Fitur

Produk

PP 1

PP 2

PP 3

ST 1 ST 3

ST 2

FP 1 FP 3

FP 2 FP 4

ST 4

Segmen A

Segmen B

Kelompok A

Kelompok B

Bidang A

Bidang B

Keuangan

Kepemilikan /Infrastruktur

SDM / Kapabilitas

LB 1 LB 2

LB 3

LB 5

LB 4 LB 6

LB 7

K 1 K 2

KI 1

SK 2SK 1

KI 1

KI 2

KI 3

KompetensiInti

(CoreCompetences)

KI 4

SISI

PENAWARAN

BIDANG

KETERKAITANSISI

PERMINTAAN

Instrumen Implisit

Fungsi dan Aktivitas Teknologi, Inovasi, Litbang

VARIABEL SASARAN

Instrumen Eksplisit

Faktor Kontekstual

ISU KEBIJAKAN

TUJUAN KEBIJAKAN

Haru

s s

em

akin

jela

s

exit

po

licy-n

ya

KEBIJAKAN

STRATEGIS

Ke

rang

ka

Ke

lem

bag

aa

n

Gambar 13.1 Pemetarencanaan dalam Suatu Kerangka Kebijakan.

Di antara perkembangan konsep penguatan daya saing industri, pendekatan klaster industri merupakan salah satu yang dewasa ini mendapat perhatian besar dan dinilai sebagai

BAB 13 BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN

167

suatu pendekatan yang sesuai dengan dinamika perubahan yang berkembang (perkembangan iptek, globalisasi, perubahan pasar di berbagai industri dan perubahan lain yang saling terkait).

3

Pemetarencanaan spesifik dengan konteks klaster industri tertentu merupakan suatu alat strategis yang dapat digunakan yang terkait dengan bagaimana agenda peningkatan daya saing klaster industri dan implikasi kebijakannya disusun secara lebih sistematis (lihat ilustrasi Gambar 13.2).

Kesepakatan klaster industri sebagai suatu platform bersama dalam peningkatan daya saing tentu akan sangat membantu bukan saja bagi pembuat kebijakan tetapi juga para pelaku bisnis dan non bisnis lain.

Petarencana mengindikasikan bagaimana proyeksi kebutuhan-kebutuhan pasar masa depan (dalam konteks klaster industri tertentu) dijabarkan kepada elemen-elemen lain yang lebih operasional. Petarencana ini juga menunjukkan bagaimana elemen-elemen operasional tersebut terkait dengan elemen organisasi dan pengorganisasiannya (baik dalam pengertian individu maupun multipihak).

Masing-masing organisasi menterjemahkan ke dalam agenda strategis organisasinya (yang mencakup pula strategic intent dan keputusan posisinya/positioning). Ini terkait dengan konteks yang dalam istilah Michael Porter

4 sebagai “sofistikasi strategi dan operasi perusahaan”

(sophistication of company operations and strategy) sebagai bagian dari landasan ekonomi mikro untuk bersaing.

5 Elemen strategi dan operasi perusahaan (organisasi) tentu lebih

merupakan elemen internal masing-masing organisasi dan menjadi tanggung jawab utama organisasi yang bersangkutan. Setiap organisasi akan perlu memperbaiki peran strategisnya secara dinamis sesuai dengan kapabilitasnya dan perkembangan/perubahan yang terjadi atau diantisipasi akan berkembang di masa depan.

Dalam konteks penciptaan, pengembangan dan pemanfaatan teknologi atau inovasi, pemerintah berupaya agar sisi pemasok teknologi dan penggunanya (permintaan/demand) berkembang sesuai dengan perannya masing-masing. Yang sebenarnya sangat mendasar dalam konsep klaster industri dan “membedakannya” dengan konsep lainnya adalah dimensi/aspek rantai nilai (value chain). Karena itu, upaya/intervensi pemerintah juga seringkali dinilai penting untuk mendorong terjadinya keterkaitan (linkages) antara keduanya sehingga menjadi “pasar “ yang efektif.

Dalam kaitan ini, pemetarencanaan berperan sangat penting untuk dapat menjadi alat efektif bagi komunikasi, proses pembelajaran dan kolaborasi sinergis multipihak dalam suatu klaster industri.

3 Untuk lebih detail menyangkut diskusi klaster industri lihat antara lain Taufik (2003), dan Bergman dan Feser

(1999). 4 Lihat misalnya Porter (2002, 1999).

5 Elemen lain dari landasan ekonomi mikro untuk bersaing dalam kerangka Porter tersebut adalah “kualitas

lingkungan bisnis ekonomi mikro (the microeconomic business environment).

PEMETARENCANAAN (ROADMAPPING): KONSEP, METODE DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 168

Gambar 13.2 Pemetarencanaan dalam Mendukung Platform Kebijakan Peningkatan Daya Saing.

BAB 13 BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN

169

B. Konsistensi Suatu Rancangan Kebijakan

Secara umum, setiap kebijakan idealnya memenuhi persyaratan efektivitas, mempunyai daya ungkit signifikan, memiliki kelayakan cakupan dan memenuhi kesesuaian dengan atau mendukung percepatan ke arah mekanisme pasar (conforming to the market mechanism) serta memiliki nilai pragmatis.

Efektivitas kebijakan pada akhirnya ditentukan oleh instrumennya, terutama menyangkut “bentuk” dan mekanismenya (bagaimana instrumen tersebut diimplementasikan). Tujuan kebijakan harus kontekstual dengan kenyataan yang dihadapi dan kondisi ideal yang diharapkan. Hal ini tentu terkait dengan isu kebijakan yang akan diatasi. Ini bukan saja menyangkut “ada atau tidaknya” isu kebijakan (perlunya intervensi secara spesifik) tetapi juga urgensinya (apa/bagaimana dampaknya tanpa atau dengan adanya kebijakan).

Isu kebijakan yang terdefinisikan dengan baik menjadi dasar bagi penggalian variabel-variabel sasaran kebijakan. Sementara tingkat kepentingan isu kebijakan akan mempengaruhi/ membantu identifikasi bidang yang diperkirakan akan mempunyai daya ungkit (leverage effect) paling signifikan.

Berkaitan dengan hal tersebut juga kesesuaian rancangan instrumen kebijakan perlu mempertimbangkan “bentuk” yang paling tepat (apakah bersifat “langsung/eksplisit” atau bentuk lainnya) dan mekanisme operasionalnya. Konsep yang baik jika tidak didukung mekanisme operasional yang tepat sering tidak mencapai sasaran, menjadi pemborosan atau bahkan berpotensi menimbulkan distorsi baru.

Dalam kerangka inilah, pemetarencanaan dapat membantu pembuat kebijakan jika benar-benar menjadi bagian integral proses formulasi kebijakan terutama yanfg terkait dengan industri spesifik yang menjadi tema pemetarencanaan.

C. Sasaran Selektif

“Jastifikasi” perlunya intervensi pemerintah dalam bidang atau aktivitas yang terkait dengan iptek tidak otomatis harus diartikan bahwa semua aktivitas dan bidang ataupun “jenis” teknologi misalnya, perlu diintervensi secara langsung. Dalam konteks “teknologi” atau “inovasi,” beragam aspek penting perlu dipertimbangkan. Kerangka perkembangan teknologi atau sering disebut siklus teknologi (technology life cycle) dan “kategori” teknologi adalah di antara aspek penting yang perlu dipertimbangkan bagi rancangan kebijakan.

Perkembangan teknologi akan terkait dengan kondisi masing-masing yang juga akan mendorong tantangan yang berbeda, sehingga membutuhkan intervensi yang berbeda pula (lihat Gambar 1.1 dan 13.3).

PEMETARENCANAAN (ROADMAPPING): KONSEP, METODE DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 170

FenomenaDisruptive Development

Fenomena

Pervasive Diffusion

Aktivitas

Bisnis

Siklus Teknologi

Tumbuh (Growing)

Matang (Maturity)

Baru (Emerging)

Perubahan Fundamental -Pola Transformasional

Perubahan “Besar” (Major) -Pola Transisional

Perubahan Inkremental -Pola Normal

Gambar 13.3 Siklus Teknologi dan Dampaknya terhadap Bisnis.

Sejumlah “kategori” teknologi yang biasanya “mengandung” elemen signifikan barang publik (public goods) antara lain adalah:

6

Teknologi yang baru muncul (emerging technologies) yang masih dinilai berisiko tinggi dan memerlukan waktu pengembangan cukup panjang tetapi berpotensi menciptakan pasar yang baru dengan nilai tambah signifikan. Ini dihasilkan dari inovasi yang bersifat fundamental ataupun inovasi “radikal” atau berdampak sangat “besar” (major).

Teknologi sistem (systems technologies) yang memberikan infrastruktur ataupun integrasi bagi beragam teknologi produk (barang dan/atau jasa) sehingga berpotensi mendorong pertumbuhan dalam sektor/bidang-bidang utama perekonomian.

Teknologi multiguna (enabling/multi-use technologies) yang memanfaatkan beragam segmen dari suatu industri atau kelompok industri, namun menghadapi persoalan “ekonomi cakupan” (economies of scope) dan hambatan-hambatan investasi difusi.

6 Lihat antara lain Tassey (1999).

BAB 13 BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN

171

Infratechnologies7 yang dapat membangkitkan investasi, baik dalam pengembangan

maupun penggunaan teknologi tertentu yang dimiliki oleh organisasi/perusahaan (proprietary technologies), namun membutuhkan kompetensi tertentu/khusus untuk mengembangkannya dan “kepemilikan bersama” (common ownership), seperti misalnya standar, untuk dapat menggunakannya secara efektif.

Untuk kelompok-kelompok teknologi tersebut, pola-pola perkembangan risiko teknis dan pasar sepanjang siklus hidupnya dapat mengakibatkan investasi yang tidak memadai yang sebenarnya dibutuhkan pada masing-masing titik periode perkembangan pada “kurva” siklus teknologi tersebut. Menurut Tassey (1999), hal demikian umumnya disebabkan oleh keadaan ekonomi yang tak mendukung (dan berkontribusi kepada kegagalan pasar), terutama:

a. Kerumitan teknis (technical complexity): kebutuhan beragam disiplin yang perlu digabungkan/dikombinasikan dalam suatu struktur organisasi untuk melaksanakan aktivitas litbang;

b. Waktu: dampak negatif dari pengambilan keputusan investasi dengan discounting yang terlampau berlebihan;

c. Intensitas modal (capital intensity): dampak pada kajian risiko (risk assessment) atas intensitas modal dari beragam proses riset (misalnya seperti biaya proses riset, khususnya sebagai bagian dari portfolio litbang perusahaan);

d. “Ekonomi cakupan” (economies of scope): cakupan yang luas dan tidak/belum pasti dari potensi penerapan dalam pasar untuk beragam teknologi baru (emerging technologies) yang penting.

e. Spillover: kecenderungan “kebocoran” atau spillover yang besar dari pengetahuan teknis yang dihasilkan oleh perusahaan individual kepada perusahaan/pihak lainnya yang tidak memberikan kontribusi kepada penelitian.

f. Infratechnologies dan standar: sifat barang publik dan cenderung nampak “kabur” mengakibatkan investasi yang tidak memadai.

g. Segmentasi pasar: kemunculan pengguna-pengguna yang maju (sophisticated) yang menuntut sehimpunan atribut kinerja yang tidak dapat dipenuhi oleh kapabilitas litbang yang ada di industri.

Ada 3 (tiga) dampak negatif utama dari kegagalan pasar ini, yaitu:

1. Tidak berfungsinya keputusan investasi korporasi menyangkut riset teknologi yang bersifat jangka panjang, kompleks, dan multidisiplin. Underinvestment terjadi terutama pada fase awal siklus litbang, yang menunjukkan hambatan investasi yang sangat kuat

7 Infratechnologies pada dasarnya merupakan sehimpunan alat teknis (technical tools) yang dapat melakukan

beragam pengukuran, integrasi dan fungsi-fungsi infrastruktur lainnya.

PEMETARENCANAAN (ROADMAPPING): KONSEP, METODE DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 172

karena risiko teknis dari teknologi dan ketidaksesuaiannya dengan strategi dan kompetensi korporasi.

2. Pemampatan/penyingkatan siklus litbang yang berlebihan yang berakibat pada disinsentif bagi riset yang menguntungkan namun membutuhkan waktu panjang. Kompetisi global mendorong siklus hidup produk yang lebih pendek, yang pada gilirannya mendorong portfolio litbang untuk menekankan perluasan lini produk dan perbaikan proses inkremental secara berlebihan.

3. Kegagalan memproyeksikan akses kepada pasar untuk teknologi yang semakin berbasis sistem. Banyak teknologi yang penting masa kini mempunyai struktur sistem yang kompleks, yang membutuhkan antarmuka (interface) yang kompleks pula untuk memungkinkan masuknya pemasok berskala kecil dan menengah (ke pasar), serta optimalisasi sistem oleh para pengguna. Namun tanpa adanya infrastruktur yang diperlukan, maka struktur industri yang tidak efisien lah yang berkembang.

D. Konteks Spesifik Industri

Suatu kenyataan bahwa setiap “industri” umumnya memiliki karakteristik tertentu dalam kaitannya dengan praktik/aktivitas bisnis dan implikasi kebijakan, yang tidak dapat diabaikan oleh pelaku bisnis maupun pembuat kebijakan.

Sementara itu dalam pemetarencanaan, dalam memproyeksikan faktor-faktor pendorong pasar maka kajian atas elemen-elemen yang relatif stabil merupakan hal yang sangat penting. Hal ini, hingga batas tertentu, mempengaruhi pula pemetarencanaan yang dilakukan. Tabel 13.1 mengilustrasikan beberapa karakteristik umum industri tertentu. Tentu saja karakteristik industri tersebut pun tidak berarti sama sekali tidak akan berubah selamanya.

Tabel 13.1 Beberapa Karakteristik Umum Industri.

Karakteristik Industri Elemen yang Relatif Stabil

Industri yang “berbasis teknologi” (misalnya semiconductor)

Kecenderungan teknologi

Industri yang sangat market-driven (misalnya otomotif)

Pendorong-pendorong pasar (market drivers)

Industri hybrid (misalnya telekomunikasi, otomasi)

Fungsi-fungsi produk inti

Sumber : Bucher (2002).

BAB 13 BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN

173

E. Beberapa Arah/Tekanan Kebijakan

Berdasarkan beberapa telaahan yang dilakukan, Tassey (1999) menyampaikan dua isu utama kebijakan litbang yang dihadapi oleh Amerika Serikat, yaitu:

1. Memahami dan menyediakan respon kebijakan yang tepat untuk fase awal riset teknologi. Menurutnya, penyediaan pembiayaan untuk riset teknologi generik sangatlah penting dalam menurunkan risiko teknis dan pasar yang utama yang umumnya berada pada fase awal siklus teknologi dan harus tersedia manakala jendela peluang terbuka. Banyak negara kini mengembangkan kemitraan industri-pemerintah dalam beragam bentuk untuk menyediakan jenis infrastruktur teknologi yang sangat penting ini.

2. Mengidentifikasi dan menyediakan infrastruktur teknis yang diperlukan oleh industri-industri berbasis teknologi. Intinya dalam hal ini adalah bahwa penyediaan dukungan pemerintah bukan saja haruslah memadai tetapi juga perlu diarahkan kepada fasilitas yang unik/khas yang dapat mencapai ekonomi skala dan cakupan yang besar yang mencerminkan jenis infrastruktur demikian dan mampu mendifusikannya ke industri, lembaga-lembaga standarisasi, dan pengguna lainnya. Selain itu, kecenderungan-kecenderungan teknologi berinteraksi dengan strategi korporasi, struktur industri dan kebijakan pemerintah. Adanya kecenderungan atau lintasan teknologi (technology trends/trajectories) dapat memberikan dampak sangat besar pada sejumlah industri atau bahkan beberapa sektor perekonomian dalam arti arah dan tingkat pertumbuhannya. Oleh karena itu, evaluasi dini atas beberapa lintasan yang dapat dicapai melalui pengembangan teknologi generik

8 dan infratechnologies secara tepat waktu sangatlah

penting.

Walaupun pengamatannya spesifik pada kasus Amerika Serikat, kedua hal yang disampaikannya sebenarnya bersifat “universal.” Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kedua hal tersebut pada dasarnya dapat digali dari upaya-upaya pemetarencanaan yang tepat. Jika setiap pemetarencanaan memberikan perhatian pada penggalian kebutuhan kebijakan yang penting, maka hal ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan sangat bernilai bagi pembuat kebijakan terkait.

Kecenderungan makin kompleksnya teknologi dan organisasi, yang antara lain juga mendorong berkembangnya jaringan bisnis/ekonomi khususnya di Amerika Serikat, merupakan fenomena yang menurut Rycroft dan Kash (1999) membutuhkan reformulasi kebijakan inovasi. Kebijakan inovasi tersebut menurut mereka harus mencakup komponen pembelajaran diri secara sadar (a self-conscious learning component). Rycroft dan Kash mengungkapkan bahwa kebijakan inovasi dalam teknologi yang kompleks (complex technology) perlu diarahkan pada tiga prakarsa luas, yaitu:

8 Teknologi generik/fundamental pada dasarnya merupakan dasar bagi penerapan yang lebih spesifik pada pasar-

pasar tertentu. Bentuknya dapat berupa model konseptual (konsep teknis generik) atau “konsep yang terbukti” (seperti prototype skala laboratorium).

PEMETARENCANAAN (ROADMAPPING): KONSEP, METODE DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 174

1. Mengembangkan sumber daya jaringan (developing network resources). Jaringan setidaknya memiliki tiga sumber daya, yaitu kapabilitas inti yang ada, aset internal yang komplementatif, dan pembelajaran organisasional. Saran utamanya adalah pengembangan kemampuan SDM dalam organisasi yang bersifat broad-based terutama integrasi sistem, pengetahuan teknis dan sosial.

2. Menciptakan peluang pembelajaran (creating learning opportunities). Arah dan tekanan yang disarankannya adalah pengembangan dukungan kebijakan litbang pada elemen yang sebenarnya lebih diperlukan oleh swasta. Ini terutama berkaitan dengan pengembangan kapabilitas organisasional yang dapat memfasilitasi pengembangan tacit know-how dan keterampilan, perbaikan proses produksi terpadu, dan cara-cara mensintesiskan dan mengintegrasikan keahlian individual kepada kelompok kerja atau tim.

9

3. Meningkatkan pasar (enhancing markets). Esensinya adalah bahwa untuk tujuan ini, pemerintah tidak hanya memberikan perhatian sebatas pada isu kekayaan intelektual dan kredit pajak litbang. Yang sangat penting justru berupa upaya mendorong pengembangan jaringan, terutama berbentuk (1) infrastruktur dasar, baik transportasi, komunikasi dan sistem pendidikan; (2) tatanan-tatanan penentuan standar; (3) keterkaitan antara perusahaan dengan beragam lembaga iptek, termasuk perguruan tinggi.

The Competitiveness Policy Council (CPC) bekerjasama dengan Harvard University's Science, Technology, and Public Policy program berdasarkan studi yang dilakukan menyarankan enam prinsip dasar (bagi Amerika Serikat) untuk mengembangkan kebijakan khusus (Branscomb, 1997):

1. Mendorong inovasi di kalangan swasta. Pemerintah diharapkan menciptakan insentif untuk dan mengurangi hambatan pengembangan teknologi inovasi berbasis riset.

2. Menekankan riset teknologi dasar. Penekanannya pada litbang teknologi yang berpotensi manfaat besar bagi masa depan ekonomi.

3. Pemanfaatan lebih baik dari teknologi yang telah ada. Antara lain memberikan perhatian sungguh-sungguh pada pendidikan tinggi dan difusi teknologi.

4. Penggunaan seluruh alat kebijakan, bukan semata dukungan litbang. Pemerintah perlu menggunakan kombinasi beragam alat kebijakan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing industri.

5. Mendorong globalisasi inovasi. Kepemimpinan AS dalam beragam bidang teknologi akan memberikan manfaat terutama bagi perusahaan AS dari globalisasi.

9 Beragam peluang proses pembelajaran perlu didorong, tidak sebatas aktivitas litbang, misalnya learning by doing,

learning by using, learning from advances in science and technology, learning from spillover, learning by interaction. Untuk lebih detail, lihat Rycroft dan Kash (1999).

BAB 13 BEBERAPA IMPLIKASI KEBIJAKAN

175

6. Memperbaiki efektivitas pemerintah. Terutama sebagai mitra bagi komunitas riset, dan peningkatan efektivitas partisipasi berbagai institusi pemerintah dan non pemerintah dalam formulasi kebijakan.

Beberapa kajian kebijakan teknologi/inovasi di berbagai negara telah banyak dilakukan. Berbagai segi yang bersifat universal dari kajian tersebut ataupun contoh-contoh praktik baik (good practices) tentunya menjadi bahan pelajaran bagi kajian kebijakan spesifik yang terkait dengan pemetarencanaan pada industri tertentu.

10 Namun hal tersebut tetap membutuhkan

penyesuaian dengan konteks spesifiknya. Diskusi tentang kebijakan iptek dan inovasi nasional juga telah banyak dilakukan. Beberapa di antaranya adalah dalam KRT (2001, 2000), dan Sudarwo (2002, 2001).

Boekholt dan Thuriaux (2000) dan dalam Roelandt dan den Hertog (1999, 1998), diskusi kebijakan dalam platform klaster industri diangkat disertai beberapa praktik di beberapa negara. Sementara itu, Sudarwo (2002a) membahas antara lain beberapa aspek kebijakan sistem nasional inovasi yang berkaitan dengan pembentukan daya saing dan contoh pendekatan perumusan instrumen kebijakan sistem inovasi.

Model keterkaitan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13.1 dan 13.2 memberikan kerangka dasar bagi proses perumusan kebijakan yang didasarkan atas platform klaster industri dan diturunkan dari agenda klaster dan proses pemetarencanaan.

Pada dasarnya, kebijakan pemerintah perlu dikembangkan secara seimbang baik pada sisi penawaran (pasokan teknologi/inovasi), permintaan (penggunaannya) dan keterkaitan antara keduanya (linkage area).

Dalam kerangka ini, proses siklus kebijakan dilakukan melalui proses partisipatif dan senantiasa melibatkan berbagai pihak kunci termasuk non pemerintah. Pelibatan stakeholder (stakeholder involvement) dan proses partisipatif (participatory process) demikian diharapkan menghasilkan kebijakan yang tepat, kredibel dan akuntabel.

Untuk menjaga/meminimumkan risiko dari moral hazard, terutama kemungkinan “penyalahgunaan” dari para pencari rente (rent seekers), maka keterbukaan bagi proses kajian dan perancangan/formulasi kebijakan, tinjauan eksternal (external review) serta kontrol sosial perlu menjadi bagian integral siklus kebijakan.

Kerangka klaster industri dan pemetarencanaan kolaboratif dapat menjadi platform dan alat bagi formasi dan pengembangan/penguatan kemitraan swasta-pemerintah dalam agenda peningkatan daya saing, khususnya melalui pengembangan dan difusi teknologi serta inovasi baik dalam pengertian teknokratik (produk dan proses) maupun inovasi organisasional (manajemen, kelembagaan, dan lainnya).

13.5. CATATAN PENUTUP

10

Lihat misalnya Gera (2001), Holthuyzen (2000), dan McKeon (1999) di antara yang membahas isu yang berkaitan dengan kebijakan dan KBE. Sementara Roelandt dan den Hertog (1999, 1998) membahas isu-isu menyangkut telaahan pengembangan ekonomi dan kebijakan inovasi berbasis klaster industri.

PEMETARENCANAAN (ROADMAPPING): KONSEP, METODE DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 176

Pemetarencanaan merupakan alat strategis bukan saja bagi para pelaku industri, tetapi juga para pembuat kebijakan. Pemetarencanaan dapat menjadi alat bantu untuk memperbaiki kualitas kebijakan publik dalam mendorong kemajuan teknologi dan peningkatan daya saing industri.

Ini bisa terjadi jika upaya-upaya pemetarencanaan berkembang di berbagai industri terutama yang “prioritas” bagi perekonomian nasional (atau daerah). Untuk ini bagaimana pun akan diperlukan pemrakarsa/inisiator yang mempelopori hal tersebut, dan patut diakui bahwa faktor inilah yang mungkin memang masih relatif “langka” ditemui di Indonesia dan tidak selalu dimiliki pula oleh instansi pemerintah.

Prakarsa pemetarencanaan perlu ditumbuhkan baik di kalangan pelaku bisnis sendiri, knowledge pool seperti perguruan tinggi dan lembaga-lembaga litbang, maupun di lingkungan lembaga pemerintah.

Pemetarencanaan yang dirancang dengan tepat dapat menjadi alat bersama (pemerintah dan industri) dalam mengkaji, merumuskan dan mengevaluasi kebijakan yang dinilai prioritas bagi kemajuan industri.

Yang tentunya juga perlu dipahami adalah bahwa pemetarencanaan dan proses kebijakan keduanya sama-sama merupakan proses pembelajaran berbagai pihak dan sebagai proses iteratif dalam membentuk dan melangkah ke masa depan yang lebih baik.