bab 1 pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Permasalahan transportasi di Indonesia tidak akan ada habisnya apabila
dibicarakan satu persatu. Transportasi merupakan hal yang sangat vital dalam
sebuah kehidupan. Transportasi diartikan sebagai pemindahan barang dan
manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Seiring dengan berjalannya waktu,
maka mobilitas orang semakin meningkat. Mobilitas orang yang semakin dinamis
tersebut membuat semakin berkembang pula alat transportasi. Mulai dari sepeda
kayuh yang semakin berkembang hingga pesawat terbang yang semakin
berkembang. Hal ini karena Transportasi berfungsi sebagai sektor penunjang
ekonomi (the promoting sector) dan pemberi jasa (the servicing sector) bagi
perkembangan ekonomi (Nasution H.M.N, 1996).
Semakin meningkat mobilitas manusia, maka akan semakin maju dan
berkembang pula moda transportasi yang ada. Namun, perkembangan moda
transportasi apabila tidak diatur dengan baik akan menimbulkan suatu masalah
tersendiri dikemudian hari. Permasalahan untuk mengatasi kemacetan saat ini
menjadi focus utama para pemangku kebijakan. Tidak seimbangnya prasarana
berupa pembangunan jalan baru dan sarana menjadi salah satu alasannya.
Kendaraan pribadi yang semakin bertambah, dan jalan raya yang persentasenya
tetap telah menimbulkan permasalahan kemacetan di kota besar maupun kecil
sekalipun. Hal pasti ketika kemacetan timbul, maka akan banyak polusi yang
ditimbulkan dari penambahan jumlah kendaraan pribadi yang kian tak terbendung.
Bus umum maupun angkutan yang ada bahkan telah banyak ditinggalkan
dengan alasan yang tidak tepat waktu, dan kondisi dalam angkutan umum yang
tidak nyaman. Berbeda dengan kereta api yang tidak pernah mengalami
2
kemacetan terutama pada saat jam sibuk. Kereta api juga memiliki tingkat polusi
yang relative kecil dari pada angkutan yang ada di jalan raya. Kemacetan yang
parah di jalan raya dan kondisi angkutan umum yang tidak aman dan nyaman
tersebut membuat para pengguna jalan ada yang beralih menggunakan moda
trasportasi kereta sebagai alternativnya. Alasan mengapa kereta api tidak
mengalami kemacetan dijalan raya adalah kerena jalur yang digunakannya
berbeda, yaitu rel khusus kereta.
Kereta api semakin digemari oleh masyarakat secara luas selain karena
anti macet, pada masa sekarang ini kereta api mengalami peningkatan pelayanan
yang cukup pesat. Jadi kesan yang tertempel pada kereta api yang hanya
digunakan oleh penumpang kelas ekonomi mulai luntur. Bahkan kereta dengan
jarak tempuh yang dekat atau sering disebut kereta komuterpun sudah dilengkapi
dengan sarana yang cukup baik.
Dalam tulisan ini akan membahas lebih dalam mengenai moda transportasi
Kereta Api (KA). Lokusnya pada KA Prambanan Ekspress (Prameks). Dengan
focus pembahasan keberadaan gerbong wanita yang saat ini dijalankan oleh PT.
Kereta Api Indonesia (PT KAI) Daerah Operasional VI (Daop) Yogyakarta.
Alasannya adalah sector transportasi yang ada di Indonesia belum sepenuhnya
mendukung keberadaan wanita sebagai sumber daya pembangunan Indonesia
yang signifikan. Penelitian menunjukkan sebagian besar mobilitas kaum
perempuan menggunakan angkutan umum sebagai sarana perpindahan mereka.
Keberadaan gerbong wanita ini menarik untuk dibahas dalam sebuah
laporan skripsi karena, kereta ini ada lantaran memberikan pelayanan yang
nyaman dan aman kepada pelanggan penumpang Kereta Prameks khususnya
wanita. Selama ini penumpang wanita banyak yang menjadi korban dari tindakan
kriminal seperti pelecehan seksual dan pencopetan dengan memanfaatkan
kelemahan dari wanita. Selain itu PT KAI juga berupaya menerapkan regulasi dari
pemerintah untuk ikut menjadi pelopor gerakan kesetaraan gender. Maka dari itu
ditetapkanlah kebijakan yang melindungi kaum perempuan di dalam kereta. Serta,
3
PT KAI DAOP VI mencoba untuk mengantisipasi tindakan yang lebih parah lagi
pada kaum wanita dengan mengadakan kereta khusus wanita.
Gerbong khusus wanita ini diresmikan pada tanggal 5 September 2010
oleh GKR Hemas dan mantan Walikota Yogyakarta Heri Zudianto. Setelah
peresmian kereta khusus wanita yang melayani rute Jabodetabek (Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi). Gerbong khusus wanita oleh kalangan penglaju
maupun PT KAI biasa disebut dengan Kereta Khusus Wanita (KKW).
Namun keberadaan kereta khusus wanita ini masih menemui banyak
permasalahan dalam proses kebijakannya. Ketiadaan partisipasi masyarakat dalam
proses agenda setting, sampai pada evaluasi kebijakan, membuat kebijakan yang
bagus ini menjadi pincang. Sosialisasi yang tidak ada membuat ketertarikan
terhadap gerbong ini kurang. Padahal regulasi ini sebagai pemenuhan kebutuhan
serta ikut berpartisipasi terhadap perjanjian Internasional tentang kesetaraan
gender, hingga membuat regulasi mengenai affirmative action. Pada tahun 2000,
Presiden kee-4 Indonesia, Abdurrahman Wahid juga menerbitkan Instruksi
Presiden Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Hal ini
merupakan salah satu komitmen pemerintah untuk secara serius mewujudkan
kesetaraan gender. Sehingga banyak kebijakan yang pada akhir-akhir ini mulai
berpihak kepada perempuan, termasuk kebijakan pengadaan gerbong wanita ini.
Keberadaan alat transportasi khusus wanita sebenarnya telah banyak
dijalankan diberbagai Negara di dunia. DetikNews.com pada 1 Desember 2011
mengungkapkan bahwa di Asia pun kebijakan seperti ini bukan merupakan
kebijakan yang baru lagi. Di Malaysia, pada tahun 2011 meluncurkan taksi khusus
wanita dengan tujuan agar kaum hawa terhindar dari segala bentuk kriminalitas.
Taksi-taksi tersebut dikemudikan perempuan dan tertulis 'Teksi Wanita' di atas
kaca depannya.
Masih dalam laman detiknews.com, menjelaskan bahwa di Iran, kebijakan
ramah wanita juga berlangsung lebih dulu, yakni pengadaan gerbong khusus
wanita pada kereta komuter mereka. Berbeda dengan kereta prameks yang letak
4
gerbong wanitanya selalu menjadi tanda tanya, dengan kata lain tidak pasti
tempatnya kadang ditengah rangkaian kereta, terkadang dibelakang ataupun
paling depan dari rangkaian kereta. Gerbong wanita di Iran letaknya sangat jelas
yakni pada rangkaian kereta terdepan dan paling belakang serta tertulis disetiap
papan pengumuman. Hal ini memudahkan para turis asing yang baru datang ke
negara mereka untuk mudah menggunakan jasa transportasi umum.
Sedangkan di Indonesia kebijakan perlindungan terhadap kaum perempuan
yang bagus tersebut selalu dimimpikan oleh banyak konsumennya. Hal tersebut
juga dapat penulis rasakan. Seperti mendapat angin segar ketika gerbong wanita
mulai dioperasikan pada tanggal 5 September 2010, namun selama itu pula jarang
sekali pihak stasiun mengumumkan letak gerbong wanita yang letaknya tidak
pasti.
Ketiadaan sosialisasi kebijakan dalam tahapan implementasi kebijakan
merupakan masalah besar bagi sebuah instansi yang mengeluarkan kebijakan.
Termasuk dalam kasus gerbong wanita ini tidak adanya selebaran, ataupun
pengumuman dari pihak PT KAI terutama PT KAI Daerah Operasi (DAOP) VI
Yogyakarta. Selaku pemangku kebijakan keacuhan PT KAI akan membuat
efektivitas dan efisiensi serta esensi dari sebuah kebijakan akan kabur. Gerbong
wanita yang selama ini dipromosikan melaui media massa oleh PT KAI Daerah
Operasi VI Yogyakarta, namun alpa pada promosi keberadaan gerbong wanita
pada setiap stasiun pemberhentian, maka gerbong wanita tidak sepenuhnya
digunakan oleh kaum wanita. Ini yang membuat masih banyak penumpang pria
yang salah masuk kemudian langsung duduk dikereta wanita. Bahkan tahu ada
tulisan gerbong wanita tetapi tetap duduk digerbong wanita dengan alasan
gerbong lain sudah tidak tersedia tempat duduk.
Keadaan yang lebih parah adalah mana kala keadaan rangkaian kereta
penuh sesak. Banyak penumpang pria duduk digerbong yang tidak seharusnya
yakni gerbong wanita, petugas keamanan maupun kondektur hanya membiarkan
keadaan tersebut terjadi. Hal tersebut tidak akan terjadi pada gerbong wanita di
5
Iran. Karena di Iran, apabila ada pelanggaran sekecil apapun itu akan ditindak
tegas oleh petugas kemanan. Berbeda dengan di Indonesia, dimana pelanggaran di
gerbong wanita hanya akan ditegur tanpa diberikan sanksi ataupun denda. Paling
jauh hanya akan disuruh pindah ke gerbong lain yang bersebelahan dengan
gerbong wanita. Seolah kebijakan gerbong wanita ini hanya sebagai pemanis
perjanjian affirmative action yang sedang gencar dikampanyekan pemerintah.
Sarana transportasi yang mengkhususkan pengadaan gerbong wanita
masih sangat jarang ada di Indonesia. Sarana transportasi masih dianggap sama
dan setara untuk semua gender. Hal ini yang menambah ketertarikan peneliti,
alasan dari PT KAI DAOP VI Yogyakarta mengadakan gerbong wanita. Banyak
kereta komuter di Jawa ini namun yang menambahkan gerbong wanita hanya pada
Kereta Prameks dan Kereta Khusus Wanita di Jakarta. Bahkan sarana transportasi
umum yang jumlahnya lebih banyak seperti Bus selain di Jakarta, atau bahkan
pelayanan Pesawat terbang sepanjang penulisan proposal ini tidak ada
pengkhususan bagi penumpang perempuan. Hanya saja implementasi pengadaan
kereta khusus wanita ini tidak ditindak lanjuti dengan fasilitas penunjang lain
seperti, ruang tunggu khusus wanita terutama ibu menyusui ataupun wanita hamil,
penjagaan dari penumpang pria yang ketat, dan pihak pengawas keamanan yang
bukan pria namun seharusnya wanita pula. Kekurangan yang lain adalah karena
jarak gerbong kereta dengan peron umum itu terlalu tinggi bagi wanita, namun
tidak ada sarana kemudahan seperti, semua peron stasiun harus tinggi maupun
diadakannya tangga portable di depan gerbong wanita di setiap stasiun
pemberhentian kereta.
Penelitian yang akan peneliti lakukan menggunakan metode penelitian
kualitatif, dengan cara wawancara serta penelitian observasi untuk penguatan data
baik primer maupun sekunder. Dengan penelitian studi kasus akan membuat hasil
skripsi ini lebih tepat sasaran dan sesuai dengan realitas yang ada. Dengan tujuan
utama penelitian ini adalah perbaikan pada semua kebijakan mengenai perempuan
khususnya di PT KAI DAOP VI Yogyakarta. Karena harapan penelitian ini akan
6
menghasilkan temuan yang baik, dengan begitu peneliti dapat memberikan
rekomendasi yang sesuai realitas kebutuhan, dan tepat sasaran.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan kajian dari penulian diatas dapat disimpulkan bahwa
permasalahan yang peneliti fokuskan adalah Bagaimana Dinamika
Implementasi Kebijakan dalam Regulasi Pengadaan Gerbong Wanita Pada
Kereta Prameks ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui sejauh mana komitmen PT KAI
DAOP VI Yogyakarta untuk, memberikan pelayanan untuk melindungi dan
memberikan rasa nyaman bagi pelanggan kereta Prameks Khususnya penumpang
perempuan. Serta meninjau proses, pengimplementasian dan hasil dari kebijakan
pengadaan kereta khusus wanita pada kereta Prameks.
D. MANFAAT PENELITIAN
Setelah tujuan dari penelitian tercapai tentunya akan ada manfaat yang
diperoleh dari berbagai pihak dari hasil penelitian ini. Manfaat yang diharapkan
dari penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Bagi Mahasiswa, penelitian ini akan menambah pengetahuan yang
dapat dipakai sebagai sarana untuk menerapkan teori yang telah
diperoleh lewat bangku kuliah.
2. Bagi PT KAI, penelitian ini dapat dijadikan suatu masukkan berupa
sumbangan pemikiran yang mungkin bermanfaat dalam membantu
mengevaluasi kebijakan khususnya kereta khusus wanita. Yang terkait
7
dengan pelaksanaan kegiatan sosialisasi kebijakan, formulasi
kebijakan, pengagendaan, implementasi sampai dengan tahap evaluasi.
PT KAI juga dapat menggunakan penelitian ini sebagai alat bantu
perencanaan strategi pemasaran di masa mendatang. Tentu saja
manfaat ini tidak akan didapat dengan sendirinya, perusahaan harus
terlebih dahulu melakukan tindakan perbaikan terhadap aspek-aspek
kebijakan yang masih memiliki kekurangan dan terus mempertahankan
segala aspek yang sudah baik. Bila hal ini sudah terlaksana maka dapat
dipastikan perusahaan dapat tetap mempertahankan kualitas untuk
melangsungkan kegiatan bisnisnya.
3. Bagi Pengguna Jasa Kereta, peneliti mengharapkan adanya kesadaran
akan apa yang telah dilakukan dan belum dilakukan oleh PT KAI.
Pengguna jasa juga harus lebih mengerti kondisi PT KAI bukan hanya
pada sisi pelayanan yang saat ini ada, serta pelanggan tidak hanya
meminta pelayanan yang lebih baik, namun juga harus menjaga sarana
dan prasarana yang dimiliki PT KAI.
4. Bagi masyarakat luas, semoga penelitian ini dapat membuka mata bagi
semua pihak agar tidak hanya menilai PT KAI sebagai sisi
penumpang, namun juga sebagai sisi operator.
5. Harapan peneliti adalah penelitian ini bisa dijadikan bahan acuan,
sebagai perbandingan dengan penelitian yang lain yang sudah ada
ataupun akan dilaksanakan.
E. KERANGKA TEORI
E.a. Definisi Konseptual
E.a.1. Implementasi Kebijakan Menurut Grindle
Secara terminology ada banyak ilmuan yang mencoba untuk mengartikan,
menjelaskan dan memetakan mengenai kebijakan public. Dari banyak pengertian
8
kebijakan public yang ada tergantung pada penulis akan menggunakan teori yang
mana, tergantung pula pada sudut pandang penulis untuk melihat sebuah
kebijakan dimaknai. Sebuah kebijakan, menurut James E Anderson (1975)
merupakan serangkaian keputusan yang saling terkait berkenaan dengan tujuan
dan cara-cara untuk mencapainya dalam situasi tertentu. Sebuah kebijakan dapat
dikatakan kebijakan publik, jika dihasilkan oleh badan pemerintah untuk publik
atau masyarakat umum.
Menurut Dunn maupun Patton & Sawicky mengemukakan model-model
proses kebijakan yang lebih bersifat siklis daripada tahap-tahap/stages. Dunn
menambahkan proses forecasting, recommendation, dan monitoring. Hampir
sama seperti Anderson, dkk. maupun Dye, Dunn pun membuat analisis pada tiap
tahap dari proses kebijakan dari model Anderson, dkk. dan Dye. Pada penelitian
ini peneliti menitik beratkan pada konsep implementasi sebuah kebijakan.
Implementasi kebijakan publik sebagai salah satu aktivitas dalam proses
kebijakan publik, sering bertentangan dengan yang diharapkan, bahkan
menjadikan produk kebijakan itu sebagai menjadi batu sandungan bagi pembuat
kebijakan itu sendiri. Itulah sebabnya implementasi kebijakan publik, diperlukan
pemahaman yang mendalam tentang studi kebijakan publik, yang menurut Djadja
Saefullah dalam prakatanya pada buku Tachjan (2006:ix) bahwa studi kebijakan
publik tersebut dapat dipahami dari dua perspektif, yakni ;Pertama, perspektif
politik, bahwa kebijakan publik di dalamnya perumusan, implementasi, maupun
evaluasinya pada hakekatnya merupakan pertarungan berbagai kepentingan publik
di dalam mengalokasikan dan mengelola sumber daya (resources) sesuai dengan
visi, harapan dan prioritas yang ingin diwujudkan.
Kedua, perspektif administratif, bahwa kebijakan publik merupakan
ikhwal berkaitan dengan sistem, prosedur, dan mekanisme, serta kemampuan para
pejabat public (official officers) di dalam menterjemahkan dan menerapkan
kebijakan publik, sehingga visi dan harapan yang diinginkan dicapai dapat
diwujudkan di dalam realitas.
9
Memahami kebijakan publik dari kedua perspektif tersebut secara
berimbang dan menyeluruh akan membantu kita lebih mengerti dan maklum
mengapa suatu kebijakan publik tersebut meski telah dirumuskan dengan baik
namun dalam implementasinya sulit terwujudkan. Hal seperti inilah yang amat
mencolok terjadi pada kasus gerbong wanita Kereta Prameks yang peneliti angkat
dalam penulisan skripsi ini.
Tahapan implementasi kebijakan merupakan salah satu dalam lingkaran
siklus kebijakan yang sangat krusial. Apabila kebijakan yang diambil salah maka
sebagus apapun implementasi kebijakannya tetap akan salah/tidak akan berhasil.
Selain itu kebijakan yang baik tidak dapat dipastikan bahwa pengimplementasian
kebijakannya pasti berhasil (Subarsono, 2005, h87).
Pada tahapan implementasi kebijakan diperlukan upaya dari pembuat
kebijakan untuk mempengaruhi birokrat pelaksana agar bersedia memberikan
pelayanan dan mengatur perilaku kelompok sasaran. Kasus gerbong wanita ini
yang menjadi pihak implementor kebijakan adalah PT KAI sendiri secara khusus
DAOP VI Yogyakarta. Jadi kerumitan dalam pengimplementasian kebijakan ini
tidak terlalu kompleks, karena hanya ada satu instansi yang menaungi kebijakan.
Pengimplementasian sebuah kebijakan akan lebih mudah dilakukan kerena pihak
yang terlibat tidak banyak, kelompok target kebijakan juga akan lebih mudah
diatur, sesuai dengan pelayanan yang telah dirumuskan.
Untuk memperkaya pemahaman tentang berbagai faktor yang terkait di
dalam implementasi, maka pada bagian ini peneliti akan menjelaskan teori
implementasi kebijakan model Merilee S Grindle yang dijadikan sebagai landasan
pijak dalam penelitian ini.
Model Merilee S. Grindle
Grindle mengemukakan teori implementasi sebagai proses politik dan
administrasi. Teori implementasi milik Grindle digunakan untuk kebijakan yang
telah dilaksanakan, sehingga dapat dilihat dari proses sampai dengan outcome dari
10
kebijakan. Sesuai dalam artikelnya berjudul Policy Content and Context in
Implementation, mengungkapkan pada halaman 6, bahwa secara umum maksud
implementasi kebijakan adalah “.. to establish a link that allows the goals of
public policies to be realized as outcomes of governmental activity.”
Dalam teori ini Grindle juga memandang bahwa suatu implementasi
sangat ditentukan oleh dua variable besar yakni mengenai isi kebijakan (content of
policy) dan konteks implementasinya (context of implementation). Dari dua
variable konteks dan konten sebuah kebijakan masih terpecah lagi menjadi
beberapa bagian. Grindle, menjelaskan bahwa proses implementasi kebijakan
hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula telah
diperinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana telah
dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut.
Implementation as a Political and Administrative Process
Policy Goal Outcomes: Goal a. impact on society individuals Achived? implementing activitie and groups influence by: b. change and its acceptance Action Programs and Individual a. Content of Policy Project Designed and Funded 1. Interest affected
2. Type of benefits 3. Extent of change envisioned 4. Site of decision making 5. Program implementers 6. Resources committed
Program delivered b. Context of Implementation As designed? 1. Power, interest, and strategies of actors involved 2. Institution and regime characteristics 3. Compliance and responsiveness MEASURING SUCCESS
Tabel 1: Implementasi Kebijakan Grindle
11
Content of policy menurut Grindle mengacu pada muatan-muatan yang
terdapat dalam kebijakan yang dihasilkan. Isi kebijakan akan berpengaruh pada
tingkat keberhasilan implementasi. Kebijakan kontroversial, kebijakan-kebijakan
yang dipandang tidak populis, kebijakan menghendaki perubahan besar, biasanya
akan mendapatkan perlawanan baik dari kelompok sasaran bahkan mungkin dari
implementornya sendiri yang mungkin merasa kesulitan melaksanakan kebijakan
tersebut atau merasa dirugikan. Adapun Content of policy menurut Grindle ada
beberapa hal, yakni:
a. Interest Affected (Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan).
Theodore Lowi (dalam Grindle, 1980) mengungkapkan bahwa jenis
kebijakan publik yang dibuat akan membawa dampak tertentu terhadap
macam kegiatan politik. Suatu kebijakan apabila tidak menimbulkan
kerugian pihak lain tidak mustahil kebijakan yang dikeluarkan akan
diterima dengan baik oleh implementor maupun kelompok target yang
diharapkan. Suatu kebijakan jika akan diimplementasikan tentu akan
mempengaruhi banyak orang, sedangkan setiap orang memiliki
kepentingan yang masing-masing berbeda. Maka dapat disimpulkan
bahwa dalam pelaksanaan suatu kebijakan pasti memiliki banyak
kepentingan, kepentingaan yang terpengaruhi oleh kebijakan dapat berupa
kepentingan ekonomi, social, budaya, atau politik tertentu.
b. Type of Benefits (Jenis manfaat yang akan dihasilkan). Semakin bagus
kebijakan jika pengimplementasian kebijakannya tidak baik maka manfaat
yang dihasilkan juga tidak sebanding dengan apa yang diharapkan.
Kebijakan akan dikatakan berhasil apabila dalam pelaksanaannya
menghasilkan suatu hal yang positif. Kelompok yang memiliki persamaan
kepentingan akan mendukung program yang di implementasikan, namun
jika tidak sesuai dengan kelompok target dan kelompok kepentingan
lainnya, kebijakan yang telah dikeluarkan akan mendapat perlawanan dari
berbagai pihak, tidak menutup kemungkinan seorang implementor sendiri.
12
c. Extent of Change Envision (Derajat/Jangkauan perubahan yang
diinginkan). Semakin besar perubahan yang diinginkan maka semakin
sulit pula pengimplementasian kebijakannya. Selain itu kredebelitas pesan
kebijakan tidak dapat terpenuhi karena isi kebijakan yang mengatur
tentang adanya sangsi tidak dijalankan secara konsisten.
d. Site of Decision Making (Kedudukan pembuat kebijakan). Semakin
tersebar kedudukan pengambil keputusan dalam kebijakan (baik secara
geografis ataupun organisatoris), akan semakin sulit pula
implementasinya. Karena secara otomatis akan banyak instansi yang
terlibat maka kerumitannya akan semakin besar juga.
e. Program Implementer (Siapa pelaksana program). Apabila tim pelaksana
program memiliki kemampuan dan dukungan yang dibutuhkan oleh
kebijakan, maka tingkat keberhasilannya juga akan tinggi.
f. Resources Committed (Sumber daya yang dikerahkan). Tersedianya
sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan kebijakan,
dengan sendirinya akan mempermudah pelaksanaannya. Sumberdaya ini
berupa tenaga kerja, keahlian, dana, sarana, dll.
Sedangkan konteks implementasi (context of implementation) adalah
kondisi lingkungan yang mewarnai implementasi kebijakan. Konsep sebagus
apapun suatu kebijakan apabila implementasi tidak bagus maka kebijakan tidak
akan berjalan dengan baik akan terbukti pada konsep ini. Karena konteks dimana
dan oleh siapa kebijakan tersebut diimplemetasikan juga akan berpengaruh pada
tingkat keberhasilannya, dengan alasan seberapapun baik dan mudahnya
kebijakan dan seberapapun dukungan kelompok sasaran, hasil implementasi tetap
bergantung pada implementornya.
Karakter dari pelaksana akan mempengaruhi segala tindakan yang akan
diambil dalam pelaksanaan implementasi kebijakan. Karena pelaksana
/implementor kebijakan adalah seorang individu yang tidak mungkin bebas dari
13
kepercayaan, aspirasi dan kepentingan pribadi yang ingin mereka capai. Karena
karakter individu yang berbeda itulah maka ada celah bagi individu untuk
membelok dari tugasnya demi kepentingan dan keuntungan pribadi dari seorang
implementor. Sikap ketidakjujuran seorang implementor juga dapat
mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kebijakan, serta semakin dekat
dengan kebijakan yang diharapkan atau justru menjauh dari harapan.
Konteks implementasi yang berpengaruh pada keberhasilan implementasi
menurut Grindle adalah sebagai berikut:
a) Power, Interest, and Strategy of Actor Involved (Kekuasaan, kepentingan,
dan strategi actor yang terlibat), semakin besar kekuasaan seseorang maka
secara tidak langsung berpengaruh terhadap keputusan suatu kebijakan.
Semakin banyak actor maka semakin banyak kepentingan yang ikut
berperan dalam suatu kebijakan. Kepentingan strategi aktor yang terlibat,
suatu kekuatan politik ataupun individu yang merasa berkepentingan atas
suatu program, maka mereka akan menyusun strategi guna memenangkan
persaingan yang terjadi dalam implementasi sehingga mereka dapat
menikmati outputnya.
b) Institution and Regime Characteristic (Karakteristik lembaga dan
penguasa). Implementasi suatu program dapat menimbulkan konflik bagi
yang kepentingan-kepentingannya dipengaruhi. Strategi penyelesaian
konflik mengenai ”siapa mendapatkan apa” dapat menjadi petunjuk tak
langsung mengenai ciri-ciri penguasa atau lembaga yang menjadi
implementor.
c) Compliance and Responsiveness (Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana).
Menjadi hal yang juga sangat mempengaruhi suatu implementasi
kebijakan. Ini karena implementor yang patuh dan rasionya bagus maka
implementasi kebijakannya akan sebaik kebijakan yang telah
direncanakan. Keadaan ini dapat dikaitkan dengan kecepatan dan
kemampuan individu dalam merespons keadaan dilapangan.
14
E.a.2. PELAYANAN PUBLIK
Pelayanan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan pelayanan
sebagai usaha/perihal melayani kebutuhan orang lain. Sedangkan melayani adalah
membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang. Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 tahun 1993 menyatakan bahwa
pelayanan umum adalah segala bentuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah
pusat/daerah, BUMN/BUMD, dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pelayanan merupakan salah satu
unsur yang sangat penting dalam menciptakan kepuasan konsumen. Salah satu
cara untuk menempatkan hasil pelayanan yang lebih unggul daripada pesaing
adalah dengan memberikan pelayanan yang baik, efisien, dan cepat.
Salah satu fungsi-fungsi dari perusahaan negara penyedia jasa transportasi
seperti PT KAI adalah memberikan pelayanan bagi masyarakat. Dijelaskan
bahwa: ”pelayanan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh perorangan
untuk mengamalkan atau mengabdikan diri.” Menurut keputusan Menteri
Pemberdayagunaan Aparatur Negara No 63 tahun 2004 tentang pedoman
penyelenggaraan pelayanan publik dan UU Pelayanan Publik No 25 tahun 2009
mendefinisikan pelayanan publik sebagai “kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam
rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak sipil sebagai warga
negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan pelayanan yang di sediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik, yakni lembaga pemerintah.“
Kebutuhan pelanggan sangat menentukan kualitas yang akan diberikan
oleh perusahaan sehingga kualitas yang tinggi bukan berdasar pada persepsi
pelanggan. Seperti yang dikemukakan oleh Zeithaml dan Berry (1988) bahwa
perusahaan harus menetapkan customer defined standards yang merupakan
pelaksanaan standar layanan berdasarkan kebutuhan pelanggan. Untuk perusahaan
Negara seperti PT KAI, PT KAI telah menerbitkan costumer defined standards
berupa SOP (Standar Operating Procedurs) dan SPM (Standard Pelayanan
Minimum).
15
Sebuah perusahaan dalam menyediakan jasa, perlu mengerti tentang
makna kualitas jasa yang diberikan keada konsumen. Kualitas jasa adalah tingkat
keunggulan atas produk atau jasa yang diharapkan oleh konsumen dapat
memenuhi kebutuhannya, dengan demikian kualitas jasa memiliki hubungan yang
erat dengan kepuasan pelanggan.
Kebanyakan hasil penelitian menunjukan bahwa kualitas pelayanan
terhadap loyalitas pelanggan melalui kepuasan pelanggan. Cronin dan Taylor
(1992) menunjukan bahwa kualitas pelayanan yang diterima berpengaruh positif
terhadap consumer behavioral intension melalui kepuasan pelanggan. Berikut
adalah beberapa pengertian kualitas jasa menurut para ahli:
Menurut Bitner & Hubert dalam Rush & Oliver (1994, page 77), kualitas jasa
adalah:
“The consumer’s overall impression of the relative inferiority /
superiority of theorganization and its service”.
Menurut Wirasasmita, Sitorus dan Manurung (1999, hal 410), kualitas jasa
adalah:
“Suatu sifat atau ciri yang membedakan nilai dari suatu barang atau
jasa dengan nilai dari barang atau jasa yang lain yang sejenis”.
Menurut Zeithaml (1990, page 19), kualitas jasa adalah:
“Service Quality as perceived by customer, can be defined as the extent
of discrepancy between customer’s expectations or desires and their
perceptions.”
Beberapa pengertian kualitas jasa diatas dapat peneliti simpulkan bahwa
kualitas jasa adalah sebuah penilaian akan kesesuaian antara jasa layanan yang
diberikan sebuah instansi dengan harapan dari konsumen. Salah satu cara
meningkatkan kualitas jasa adalah memberikan pelayanan sesuai dengan SPM dan
keinginan dari masyarakat, tentunya dengan mengindahkan logika pelayanan.
16
Sebuah kualitas jasa pelayanan akan dinilai baik oleh pelanggan apabila
paling tidak pelayanan sudah mendekati SPM yang ada. Kepuasan pelanggan akan
terbentuk dari pengalaman yang didapatkan oleh pelanggan. Sebuah iklan yang
didasari dari pengalaman individu, saran yang disampaikan oleh orang lain, akan
jauh lebih berpengaruh terhadap penilaian masyarakat terhadap penyedia jasa.
Indicator dari kepuasan pelanggan dapat dinilai dari beberapa hal. Pagano
dan McKnight dalam Masri (2002), mengembangkan pengukuran kepuasan
pelanggan yang sering digunakan pada jasa transportasi, meliputi delapan aspek
pelayanan, masing-masing dipercayai mewakili kebutuhan dasar dari keseluruhan
dimensi kualitas, yaitu:
1. Keandalan dan Kinerja Tepat Waktu (Reliability And On-Time
Performance)
Pengumuman penundaan/pembatalan keberangkatan (notification of delays and
cancellations) waktu tunggu (wait times), alasan kedatangan yang tepat waktu
(reasonably on-time arrivals), minimal penundaan atas kendaraan (minimal on-
vehicle delays).
2. Kenyamanan (Comfort)
Adanya jaminan (guaranteed space), kondisi dan kebersihan kendaraan (condition
and cleanliness of vehicles), kemulusan perjalanan (smoothness of ride), ventilasi
dan penyejuk udara (air conditioning and ventilation), tempat berlindung (shelter)
dan tempat duduk untuk menunggu di luar ruang.
3. Kemudahan Membuat Reservasi
Akomodasi yang berubah (Accomodation to changes) menentukan pengendara
atau menyusun waktu penjemputan (rider determined or preset pick-up times),
memperpendek waktu pemesanan atau reservasi (shortness of reservation time)
dan prosedur reservasi yang mudah (easy of procedure).
17
4. Perluasan Layanan (Extend Of Service)
Layanan total 24 jam (total hour of availability); pembatasan jarak (distance
restriction); layanan akhir minggu dan sore hari (weekend and evening service);
penolakan perjalanan yang rendah disebabkan pembatasan kapasitas (low rate of
trips denial due to capacity constraint).
5. Akses Kendaraan (Vehicles Access)
Lebar lorong antar tempat duduk (aisle width) di gerbong kereta api, tinggi
pijakan kaki pertama di pintu masuk gerbong (first step height), jumlah tangga
masuk (number of steps), tingkat bantuan yang disediakan dari kendaraan sampai
ke tujuan (level of assistance provided from vehicles to destination), bantuan
bagasi (assistance with packages).
6. Keamanan (Safety)
Tingkat kemungkinan terjadi kecelakaan yang rendah (low probability of assault
or accidental injury), masinis yang mendahulukan keamanan, lintasan kereta api
yang aman dan jalur rel kereta api yang aman.
7. Karakteristik Masinis Dan Kru (Driver & Crew Characteristic)
Kemampuan menangani medis dalam keadaan darurat (ability to handle medical
emergencies), jujur dan ramah (courteous and friendly), sensitive dan memahami
kebutuhan penumpang KA (sensitive and knowledgeable about riders need),
sensitive pada kebutuhan individual, tingkat profesionalisme dan berpengalaman.
8. Tanggung Jawab Pada Individual (Responsiveness To Individual)
Operator telepon yang meyakinkan dan ramah, kemudahan memperoleh informasi
yang jelas, bertanggung jawab pada keluhan dan pemberian saran dan mengikuti
prosedur.
18
8 aspek kepuasan pelanggan terhadap pelayanan transportasi diatas, dapat
peneliti gunakan untuk menilai hasil dari implementasi sebuah kebijakan.
Keterkaiatan antara implementasi kebijakan, pelayanan yang diberikan serta
kepuasan dari penumpang kereta api akan menjadi dasar bagi peneliti untuk
menilai efektivitas, dan evisiensi sebuah kebijakan public.
E.a.3. Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender sering dikaitkan dengan diskriminasi antara jenis
kelamin pria dan wanita. Diskriminasi gender pun sudah banyak didengungkan
dalam berbagai macam dialog, baik itu agama, budaya, social, ekonomi, maupun
politik. Penulis dalam karya ini lebih menitik beratkan pada tema social politik
yang berpengaruh pada perekonomian wanita. Wanita yang lebih sering dianggap
lemah, manja, dan tidak bisa apa-apa. Gender menjadikan wanita setara, serasi,
selaras dan seimbang dalam bermitra dengan pria untuk mewujudkan sumber daya
manusia yang memiliki kualitas yang sama. Setara dalam mendapatkan hak dan
kewajiban, dan perempuan berhak mendapatkan perlindungan yang lebih baik dari
pria.
Fokus penelitian ini pada kebijakan public mengenai pengadaan kereta
khusus wanita pada rangkaian kereta api Prameks. PT KAI DAOP VI sebagai
pihak operasional yang mengadakan gerbong khusus wanita tentu memiliki
maksud dan tujuan yang jelas. Utamanya adalah untuk melayani penumpang
khususnya wanita, dengan latar belakang apapun yang menyertainya. Pelayanan
terhadap penumpang wanita ini tidak dapat dipisahkan dari pemikiran tentang
kesetaraan gender (gender mainstreaming).
Pemantapan program kesetaraan gender untuk pertama kalinya dikemas
dalam konsep Gender And Development (GAD), disetujui pada tahun 1990. Hasil
dari pertemuan di Vienna, dengan strategi gender mainstreaming, yang
menekankan pentingnya perencanaan sensitif gender.
19
Menurut definisi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dalam Sufiarti, gender
mainstreaming adalah strategi agar kebutuhan dan pengalaman perempuan dan
laki-laki menjadi bagian tak terpisahkan dari desain, Implementasi, monitoring,
dan evaluasi kebijakan dan program dalam seluruh lingkup politik, ekonomi, dan
sosial sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan keuntungan,
dan ketidakadilan tak ada lagi.
Kesetaraan Gender dalam Inpres No 9 Tahun 2000 yang dipublikasikan
oleh Pemerintah menyatakan bahwa:
.. Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai
manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional, dan
kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. ..
Dengan tujuan utama:
.. terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksana, pemantauan,
dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang
berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan
gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara ..
Kesetaraan gender menurut peneliti adalah kondisi dimana adanya
persamaan hak antara pria dan wanita dalam berbagai bidang seperti ekonomi,
social, politik dan budaya, untuk memperoleh sumber daya yang penting dalam
proses pembangunan nasional.
Ketika pengertian dari kesetaraan gender telah dijabarkan lengkap dengan
tujuan utamanya maka pemerintah tidak hanya diam ditempat menunggu reaksi.
Pemerintah Indonesia dibawah Presiden Abdurrahman Wahid kala itu juga
menginstruksi kepada seluruh jajaran dibawahnya untuk melaksanakan Inpres
No.9, inpres ditunjukkan kepada:
20
1. Menteri; 2. Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; 3. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; 4. Panglima Tentara Nasional Indonesia; 5. Kepala Kepolisian Repulik Indonesia; 6. Jaksa Agung Republik Indonesia; 7. Gubernur; 8. Bupati/Walikota;
Untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan
dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender sesuai dengan
bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing.
Dibutuhkan kebijakan dan program yang proaktif untuk memperbaiki
ketidaksetaraan yang telah lama berlangsung antara pria dan wanita. Perlu adanya
kerelaan dari pria untuk meningkatkan pentingnya kesetaraan gender. Karena
seluruh kebijakan pulik yang berkaiatan dengan kesetaraan gender utamanya
wanita mustahil untuk berhasil tanpa kerelaan dari pria. Kebijakan kesetaraan
gender mutlak diperlukan untuk melakukan perubahan institusi dan pembangunan
ekonomi, serta perlu memperhatikan dan mengatasi ketidaksetaraan gender dalam
hak, sumber daya, dan aspirasi.
Bukti yang ada telah memberi cukup dasar bagi diterapkannya tiga
langkah strategis untuk meningkatkan kesetaraan gender. (Rangkuman
Pembangunan Berprespektive Gender, h 17-30):
1. Mereformasi Institusi untuk Menetapkan Hak-hak dan Kesempatan yang
Sama bagi Perempuan dan Laki-laki.
2. Peningkatan Pertumbuhan Ekonomi untuk Memantapkan Insentif demi
Kesetaraan Sumber Daya dan Partisipasi.
1. Mengambil Langkah Kebijakan Pro Aktif untuk Mengatasi
Ketidaksetaraan Gender dalam Penguasaan Sumber Daya dan Partisipasi
Politik.
21
PT KAI selaku perusahaan Negara dibawah naungan Kementrian
Perhubungan mencoba untuk menerapkan Inpres No 9 tahun 2000 dengan dasar
kepedulian untuk melindungi kaum perempuan. Implementasi kebijakan seperti
ini sudah sepatutnya mendapat apresiasi dari masyarakat. Meskipun sudah
memiliki dasar hukum yang kuat tidak menutup kemungkinan implementasi
mengalami kegagalan. Oleh karenanya peneliti akan lebih mudah mengusut
mengenai kebijakan pengadaan gerbong khusus wanita.
E.b. Definisi Operasional
Kebijakan public yang ramah wanita masih sangat jarang ditemui di
Indonesia ini. Ketika kaum perempuan banyak dianggap lebih lemah dari kaum
pria, maka diperlukan adanya kesesuaian kesetaraan antara hak dan kewajiban
antara pria dengan wanita untuk mendapatkan sumber daya secara adil.
Penelitian ini menitik beratkan pada kebijakan public khusus wanita, yakni
pengadaan kereta khusus wanita pada rangkaian kereta Prameks. Kerangka
penelitiannya adalah mengenai pelayanan trnasportasi khusus wanita. Sesuai
dengan hasil kajian Worldbank pada tahun 1999 dalam jurnal PS PKW UNISBA
yang mengungkapkan:
“Transport can make a big difference in increasing women’s
productivity and promoting social equity.”
Banyaknya wanita yang bekerja pada sector public memicu pengunaan
moda transportasi baik pribadi maupun umum. Kereta api merupakan salah satu
pilihan moda transportasi umum yang dipilih kaum wanita. Selain cepat, dan anti
macet, akses penggunaan kereta api tergolong mudah untuk kaum wanita. Kereta
api Prameks yang melayani rute Solo-Yogya-Kutoarjo bahkan telah
mengimplementasikan kebijakan pengadaan kereta khusus wanita dalam setiap
rangkaiannya. Inilah yang menjadi focus peneliti, ketika kebutuhan akan
kebijakan kesetaraan gender dalam bidang transportasi semakin dinantikan, dan
pelayanan yang baik selalu dimimpikan namun kenyataan yang berjalan tidak
22
sesuai dengan harapan. Peneliti akan mengkerangkai seluruh temuan penelitian
mengenai kebijakan kereta khusus wanita ini dalam 3 landasan teori yakni
kebijakan public, pelayanan public, dan kesetaraan gender.
Pada bab selanjutkan peneliti akan menjelaskan bagaimana transportasi
yang ramah terhadap perempuan, apa seharusnya yang dilakukan dan tidak
dilakukan oleh pemangku kebijakan, serta apa yang seharusnya dilakukan oleh
masyarakat untuk medukung kebijakan yang telah diimplementasikan. Dan
bagaimana sikap pemerintah dalam mendorong penggunaan transportasi massal.
F. METODE PENELITIAN
a. Metode Pendekatan Masalah
Pada penulisan penelitian skripsi ini penulis menggunakan pendekatan
proses berfikir yang bersifat deduktif. Deduktif adalah sebuah penelitian yang
dilakukan dengan mendekati sisi konsep dan teori yang berkaitan dengan
terminology birokrasi dalam pelayanan public. Telah banyak penelitian yang
menulis, menyoroti, mengembangkan, dan mengkaji masalah pelayanan publik.
Dengan pemilihan metode kualitatif sebagai penguat data. Bogdan dan Taylor
menyebutnya sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati (Moleong, 1994:3).
Penggunaan metode penelitian kualitatif, dengan alasan data kualitatif
tetap diperlukan sebagai data pendukung untuk kelengkapan analisis data
penelitian, serta alur berpikir dalam rumusan masalah peneliti adalah untuk
mencari informasi yang mendalam yang berkaitan dengan alasan dan penjalbaran
dari pengadaan gerbong khusus wanita pada kereta Prameks. Tidak banyak
penelitian yang memfokuskan diri untuk meneliti dinamika kebijakan public yang
terjadi didalam gerbong wanita kereta Prameks, oleh karena itu penulis ingin
23
menjalbarkan topic ini secara lebih terperinci. Tujuannya adalah agar dari pihak
PT KAI dan masyarakat secara lebih memahami kondisi yang ada di dalam
gerbong wanita. Dengan memfokuskan diri pada penelitian studi kasus maka
batasan waktu dan tempat tema yang ditulis lebih jelas dan tidak melebar terlalu
jauh.
Menurut Yin (1996:1) dalam Herdiansyah (2010:76) studi kasus
merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian
berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang
untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan bilamana fokus
penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks
kehidupan nyata.
Creswell (1998) menyatakan bahwa studi kasus adalah suatu model yang
menekankan pada eksplorasi dari suatu “system yang berbatas” (bounded system)
pada satu kasus atau beberapa kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian
data secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang kaya
akan konteks. Yang dimaksud dengan system yang berbatas adalah adanya
batasan dalam hal tempat dan waktu serta kasus yang diangkat.
Tujuan pemilihan study kasus sebagai model penelitian yang penulis
lakukan adalah untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan
sekarang, dan interaksi lingkungan suatu kebijakan public yang menyangkut
permasalahan social: individu, kelompok, lembaga atau masyarakat, yang
diangkat oleh penulis.
Hal yang penting adalah penulis perlu mengingat untuk tetap
mempertahankan ketertarikan pembaca terhadap masalah yang diangkat. Penulis
harus mampu membuat pembaca seolah-olah ikut mengalami setiap situasi yang
tertulis. Dengan cara memberikan informasi yang jelas dan sesuai dengan
kenyataan yang ada. Kemudian kesesuaian sudut pandang penulis dengan
pembaca dalam melihat informasi yang dilaporkan penulis. Karena perbedaan
sudut pandang dalam awal akan berakibat fatal pada akhir sebuah laporan,
24
lantaran muncul kesalah pahaman dan ketidak sesuaian antara tujuan dari penulis
dengan yang diharapkan oleh pembaca.
Sesuai dengan tujuan penelitian maka penulis menggunakan model Stake
(1995) dalam Herdiansyah (2010:78-79), dalam mengemukakan bentuk studi
kasus intrinsic. Strategi ini ditempuh bukan karena suatu kasus mewakili kasus-
kasus lain ataupun menggambarkan sifat atau bahkan problem tertentu, namun
karena dalam seluruh aspek kekhususan dan kesederhanaannya, kasus itu sendiri
menarik minat untuk diteliti lebih dalam. Kelebihan dari bentuk ini adalah lebih
bisa memahami tujuan penelitian secara lebih baik dan, mendalam suatu
fenomena, keteraturan serta, kekhususan suatu kasus.
Model studi kasus memungkinkan posisi penulis juga sebagai
alat/instrumen penelitian. Kelebihan dari penulis sebagai alat adalah penulis dapat
berperan aktif dalam mengumpulkan data, sehingga tidak ada silang pendapat
dengan peneliti lain. Urgensi peran peneliti sebagai instrument nampak dalam
proses penelitian mulai dari awal sampai akhir penelitian yang meliputi:
menentukan informan, wawancara dengan informan, meneliti dokumentasi,
membuat rekaman arsip, membuat reduksi data, menyajikan data, menganalisis
data, menguji validitas data, dan menginterpretasi hasil penelitian, serta observasi
atau melihat keadaan dan aktivitas yang senyatanya dilapangan.
b. Unit Analisis
i. Subjek Penelitian
Studi mengenai kebijakan publik sudah banyak dilakukan, kritik terhadap
kebijakan publik sudah banyak pula dilontarkan baik melalui media massa,
bahkan secara langsung melalui artikel kepada kantor perwakilan pemangku
kebijakan. Bahkan revisi seluruh konten dan konteks kebijakan sudah
dikumandangkan, dan dilaksanakan oleh pemerintah. Namun tetap saja, tidak ada
perubahan yang mencolok pada pelayanan public kepada masyarakat.
25
Salah satu produk kebijakan public yang menjadi focus penelitian ini
adalah kebijakan mengenai keberadaan gerbong wanita pada kereta prameks.
Kebijakan ini sering mendapat keluhan dari para penumpang kereta komuter
jurusan Solo-Jogja-Kutoarjo ini. Permasalahan yang muncul baik dari penumpang
sendiri maupun implementor kebijakan akan menjadi dasar bagi penulisan
penelitian ini.
ii. Metode Pengumpulan Data
Penelitian yang dilakukan dalam kereta Prameks ini menggunakan sumber
data primer maupun sekunder. Data primer datanya berkaitan langsung dengan
kasus yang diteliti. Data primer didapatkan dari penumpang dan pemangku
kebijakan secara langsung. Sedangkan data sekunder adalah sumber data yang
datanya tidak berkaitan langsung atau hanya sebagai data pendukung dengan
kasus yang diteliti. Data sekunder ini penulis dapatkan dari media cetak dan
elektronik.
Perlu diketahui bahwa ada banyak cara untuk mendapatkan data primer
dan sekunder. Cara mendapatkan data menurut Yin, dalam studi kasus terdapat
enam sumber bukti yang dapat dijadikan sebagai fokus bagi pengumpulan data
yaitu dokumen, rekaman arsip, wawancara, observasi langsung, observasi peran
serta, dan perangkat fisik (Yin 2008: 103).
Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan narasumber terpilih
dan acak. Narasumber terpilih didapatkan berasal dari para pemangku kebijakan
dan penumpang tetap kereta Prameks. Metode wawancara yang penulis lakukan
adalah dengan beberapa narasumber sebagai berikut:
1. Humas PT KAI DAOP VI Yogyakarta selaku pesjabat pembuat akta
kebijakan pengadaan gerbong wanita,
2. Pegawai diatas Kereta Api Prameks,
3. Penumpang KA Prameks secara umum pada gerbong umum, dan
26
4. Penumpang KA Prameks secara umum (pria dan wanita) pada gerbong
wanita, serta
5. Penumpang KA Prameks khusus wanita pada gerbong wanita.
Wawancara pada penumpang mutlak dilakukan karena penumpang
merupakan kelompok sasaran kebijakan yang dikeluarkan oleh PT KAI. Dari
pengalaman penumpang inilah yang membuat penilaian antara peneliti dan
pemangku kebijakan dapat dikonfirmasikan untuk kemudian melihat efekivitas
dan evisiensi sebuah kebijakan. Dari penilaian sudut evektivitas dan evisiensi
kebijakan, maka evaluasi kebijakan dapat dilakukan agar lebih tepat sasaran.
Metode observasi langsung dilapangan telah peneliti lakukan dengan
menjadi penumpang kereta api Prameks. Harapan penulis untuk menggunakan
metode observasi ini adalah argument yang penulis tulis lebih baik dan dapat
dipertangung-jawabkan.
Metode selanjutnya yang penulis gunakan adalah metode dokumentasi dan
arsip. Pada laporan skripsi ini penulis menggunakan data dokumentasi baik yang
berasal dari media cetak maupun elektronik, serta beberapa foto lapangan untuk
memperkuat argument peneliti.
iii. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan didalam kereta api Prambanan ekspress (Prameks)
yang melayani rute Solo-Jogja-Kutoarjo. Pertimbangan pemilihan lokasi kereta
komuter Prameks ini sebagai lokasi penelitian adalah karena jalur kereta ini
merupakan jalur krusial yang menghubungkan beberapa kota dalam 2 (dua)
provinsi. Kepadatan penumpang yang terjadi sering menimbulkan masalah sendiri
dalam pelayanannya. Dengan aktivitas rute perjalanan dan kepenuhan penumpang
yang tergolong tinggi, menarik penulis untuk meneliti keberadaan kereta Prameks
ini. Apalagi, dengan adanya gerbong wanita yang secara khusus menjadi kekhasan
dan daya tarik bagi peneliti untuk memahami dan meneliti lebih jauh kereta ini.
27
Fokus penelitiannya adalah studi mengenai implementasi kebijakan
adanya gerbong wanita dalam kereta api Prambanan ekspress. Hal ini karena
dalam beberapa pengamatan masih banyak penumpang pria yang nekat berada
dalam gerbong wanita dengan alasan apapun. Petugas yang masih sering ragu
menindak terhadap pelanggaran yang dilakukan penumpang pria yang duduk di
gerbong wanita.
c. Teknik Analisis Data
Sesuai dengan jenis penelitiannya maka metode analisis datanya pun
menggunakan analisis kualitatif deskriptif. Analisis terhadap data memiliki fungsi
yang sangat penting yakni, sebagai proses menilai suatu data hingga data
penelitian dapat dipertanggung-jawabkan keabsahannya. Inti dari analisis data
kualitiaf diskriptif ini adalah mengurai dan mengolah data “mentah” data yang
diapatkan langsung dari lapangan hingga menjadi data yang mudah dipahami dan
dibaca oleh pembaca.
Analisis data dapat dilakukan dengan dua cara yakni dengan piranti lunak
(software) ataupun dengan cara manual. Penelitian ini akan menggunakan cara
manual untuk menganalisis data. Analisis secara manual memiliki kelebihan dari
piranti lunak yang tidak bisa membaca mimic/ekspresi orang yang diteliti, jargon
yang digunakan, dan analisis secara manual bisa membuat peneliti lebih peka
terhadap respondennya. Hal ini dikarenakan biasanya data kualitatif berbentuk
narasi, kalimat, dan pernyataan. Berbeda halnya dengan data kuantitatif yang bisa
dan lebih mudah jika digunakan dengan data kuantitatif yang bisanya berbentuk
angka.
Proses analisis data kualitatif dalam kasus gerbong wanita sudah dilakukan
sejak awal penelitian hingga akhir penelitian. Tujuannya adalah, agar data yang
disuguhkan kepada pembaca lebih valid dan tidak terkesan ambigu.
28
Menurut Miles dan Huberman (1992:16), secara umum analisis data
kualitatif terdiri dari 3 (tiga) alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan masing-
masing adalah :
1. Reduksi Data.
Reduksi data yaitu sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis
yang memanajemen, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu
dan mengoordinasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-
kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
2. Penyajian Data.
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis data adalah penyajian data
dalam bentuk sekumpulan informasi yang tersusun secara lebih sistematis yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Dengan melihat penyajian data kita akan dapat memahami apa yang sedang terjadi
dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh menganalisis atau mengambil tindakan
berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian data tersebut.
Data dapat disajikan dalam bentuk matriks, jaringan grafik, bagan dan sebagainya
yang mempermudah peneliti memahami pola umum dari data atau informasi yang
diperoleh.
3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi.
Pengambilan kesimpulan pada hakekatnya adalah memberi pemaknaan dari
data yang diperoleh. Untuk itu sejak pengumpulan data awal, peneliti berusaha
memaknai data yang diperoleh dengan cara mencari pola, model, tema, hubungan
persamaan, alur sebab-akibat dan hal lain yang sering muncul. Pada awalnya
kesimpulan itu masih kabur tetapi semakin lama kesimpulan akan semakin jelas
setelah dalam proses selanjutnya didukung oleh data yang semakin banyak.
29
Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung.
Singkatnya makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya,
kekokohannya dan kecocokannya sehingga akan diperoleh satu keyakinan
mengenai kebenarannya.
Perlu kita ketahui bahwa penelitian studi kasus memang dianggap mudah,
namun apabila terjadi kesalahan dari awal, baik itu pandangan maupun dalam
teknik pengambilan data dapat berakibat fatal. Semoga dengan adanya tulisan ini
sedikit membuka pikiran kita semua untuk lebih memahami kekurangan
kelebihan, teknik pengumpulan data, dan lainnya. Agar pada penelitian
mendatang kita menjadi peneliti yang lebih baik.
G. SISTEMATIKA BAB
Sebagai suatu penelitian social, penulisan ini dikelompokkan menjadi bab
dan terdiri dari sub-sub bab. Penjelasan secara umum peneliti uraikan sebagai
berikut:
Bab 1. Pendahuluan, pada bab ini penulis menjelaskan mengenai beberap sub bab
antara lain:
a. Latar belakang, berisi mengenai latar belakang penulis menentukan
pilihan untuk penulis mengenai keberadaaan gerbong wanita.
b. Tujuan Penelitian, berisi ulasan mengenai tujuan pilihan dari tema
yang penulis pilih.
c. Manfaat Penelitian, berisi harapan yang didapat peneliti untuk semua
pihak.
d. Rumusan Masalah, berisi pertanyaan besar atas penelitian yang
dilakukan.
e. Kerangka teori, mendiskripsikan mengenai teori implementasi
kebijakan yang akan direlevansikan dengan temuan dari masalah yang
ada.
30
f. Metodologi Penelitian, yang berisi mengenai pilihan metode studi
kasus yang penulis pilih.
Bab 2. Outcomes Kebijakan Gerbong Wanita, berisi mengenai asal dari
keberadaaan gerbong wanita. Dan membahas outcomes kebijakan.
a. Proses Kebijakan, meliputi siapa saja actor yang berpengaruh, serta
latar belakang dari PT KAI mengadakan gerbong khusus wanita, serta
kebijakan yang telah berjalan.
b. Outcomes kebijakan, meliputi dampak adanya kereta khusus wanita.
Bab 3. Content of Policy. Menjelaskan tentang seberapa jauh keterlibatan
masyarakat.
Bab 4. Context of Imlementation. Menjelaskan seluruh pelayanan yang diberikan
PT KAI terhadap penumpang khususnya di rangkaian gerbong khusus wanita.
Bab 5. Kesimpulan. Berisi laporan hasil analisis dan penelitian terhadap gerbong
wanita KA Prameks.
DAFTAR ISI
LAMPIRAN