bab 1 pendahuluan 1.1 latar belakang masalah...1.1 latar belakang masalah masyarakat indonesia...
TRANSCRIPT
-
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Kemajemukan
masyarakat Indonesia dapat dilihat dari beragamnya suku, agama, ras dan
golongan serta bahasa. Hal ini berakibat munculnya keanekaragaman hukum,
Hukum Keluarga, Hukum Perkawinan dan Hukum Waris yang berbeda-beda.
Perbedaan ini disebabkan ketiga hukum ini bersumber pada Hukum Adat dan
Hukum Agama ataupun gabungan diantara keduanya.
Menurut Ngutra, sumber hukum memiliki arti segala sesuatu yang
menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan
itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya.1
Sumber Hukum Waris adalah Hukum Keluarga dan Hukum Perkawinan. Di
Indonesia dikenal 4 (empat) sistem kekeluargaan yaitu (a) Sistem Kekeluargaan
Patrilineal; (b) Sistem Kekeluargaan Matrilineal; (c) Sistem Kekeluargaan
Parental atau Bilateral; dan (4) Sistem Kekeluargaan Beralih (Alternatif).2
Sementara itu Hukum Perkawinan di Indonesia dikenal (a) Hukum Perkawinan
Islam dan (b) Hukum Perkawinan Non-Islam, yang keduanya tunduk pada Hukum
Perkawinan Nasional yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan).
1 Theresia Ngutra, 2016, “Hukum dan Sumber-Sumber Hukum”, Jurnal Supremasi,
Vol.XI, No.2, hal.195. 2 Hilman Hadikusumo, 2003, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 23
-
2
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain pengertian perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan ini,
Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) di Indonesia juga memberikan
definisi lain yang lebih mendalam tanpa mengurangi arti definisi dalam Undang-
Undang Perkawinan.
Perkawinan menurut Islam seperti yang diatur dalam KHI adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Akad yang sangat
kuat atau miitsaaqan ghaliizhan mengandung arti bahwa akad dalam
perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Bagi
umat Islam melaksanakan perkawinan merupakan peristiwa agama dan suatu
perbuatan ibadah. Hal ini termasuk dalam ungkapan perkawinan untuk
mentaati perintah Allah.3
Landasan filosofis KHI tidak dapat dilepaskan dari Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
NRI 1945). Landasan filosofis ini tercermin dari Sila pertama Pancasila yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 28 B ayat (1) UUD NRI 1945 yang
menyebutkan “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah” dan Pasal 28 E ayat (1) yang berbunyi
“Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan,
memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak
kembali”.
3 Amir Syarifuddin, 2009, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, (selanjutnya disingkat Amir
Syarifuddin I), hal. 40-41.
-
3
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, KHI secara filosofis tidak
hanya berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 tetapi juga mempunyai landasan
yang kokoh berdasarkan hukum Islam yaitu sesuai dengan Al-Qur‟an dan Hadis.
Setiap muslim yang telah bersyahadat memeluk agama Islam punya konskuensi
logis wajib menjalankan syariah Islam. Prinsip tauhid mewajibkan kepada setiap
orang yang beriman kepada Allah Yang Maha Esa, maka ia wajib taat dan patuh
terhadap perintah Allah dalam Al-Qur‟an dan perintah Rasulullah dalam
sunahnya.
KHI juga sesuai dengan landasan yuridis atau perundang-undangan yang
ada di Indonesia. KHI merupakan kumpulan segala peraturan agama Islam yang
meliputi semua aspek kehidupan manusia berupa akhlak, hukum-hukum ibadah,
kepercayaan dan keyakinan sebagai wujud aktualisasi sikap bathin seseorang yang
beragama Islam. Dengan kata lain, makna integral syari„at (hukum Islam)
merupakan keseluruhan peraturan, baik dalam hubungannya antara manusia
dengan Tuhan-Nya, manusia dengan manusia dan makhluk hidup lainnya. Secara
yuridis dapat dikatakan juga tradisi penerapan hukum Islam di Indonesia
dilakukan melalui kebijakan politik hukum yakni unifikasi dan kodifikasi hukum
Islam. Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (takhrîj al-
ahkâm fî al-nash al-qânûn) me-rupakan produk interaksi antar elite politik Islam
(para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite
kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai
contoh, diundangkannya Undang-Undang Perkawinan peranan elite Islam cukup
dominan di dalam melakukan pende-katan dengan kalangan elite di tingkat
legislatif, sehingga Undang-Undang Perkawinan dapat dikodifikasikan.
-
4
selanjutnya disusul dengan pelegislasian KHI dalam bentuk Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Secara sosiologis KHI juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat
Indonesia. Mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim yang membutuhkan
peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan prinsip Islam. Tradisi hukum
Islam yang ada dalam masyarakat muslim Indonesia terbagi ke dalam beberapa
tingkatan: Pertama, sebagai nilai berarti ia menjadi suatu pedoman hukum yang
diikuti dan ditaati berdasarkan autoritas keagamaan seorang muslim untuk tunduk,
taat dan patuh kepada ajaran Islam. Kedua, sebagai kaidah hukum berarti ia
berisikan muatan-muatan norma hukum Islam yang universal dan spesifik,
bersifat vertikal dan horizontal, ditaati dan dipatuhi serta berlaku dalam
masyarakat muslim secara terus-menerus. Ketiga, sebagai norma hukum berarti ia
berisikan sejumlah peraturan, baik peraturan tertulis maupun tidak tertulis, serta
tetap eksis dan berlaku dalam kehiduan masyarakat muslim itu sendiri. Keempat,
sebagai produk hukum berarti ia merupakan produk politik berupa undang-undang
dan peraturan lainnya, yang dihasilkan dari sebuah kesepakatan di tingkat
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Pembahasan mengenai pewarisan harus didahului terlebih dahulu dengan
pembahasan mengenai perkawinan, mengingat perkawinan merupakan salah satu
sebab timbulnya pewarisan. Pewarisan ini lahir ketika ada salah satu pihak yang
meninggal dunia (Pasal 830 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya
disebut KUHPerdata)). Orang yang meninggal dunia ini biasanya meninggalkan
harta, baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun yang menjadi hak
dan kewajibannya. Harta tersebut dikenal dengan istilah harta warisan. Harta yang
ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia memerlukan pengaturan tentang
-
5
siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, dan bagaimana cara
mendapatkannya.4
Hukum waris di Indonesia secara umum masih menggunakan tiga
landasan hokum yaitu: hukum waris berdasarkan hukum Islam, hukum waris
berdasarkan hukum adat, dan menggunakan hukum waris yang berdasarkan
hukum barat yang diatur dalam KUHPerdata.5 Tidak adanya hukum nasional yang
mengikat secara nasional mengakibatkan pelaksanaan hukum waris sangat
tergantung pada pilihan warga negaranya. Meskipun bersifat fakultatif (tidak
imperatif), tetapi kenyataan di lapangan KHI pada umumnya digunakan para
hakim pada peradilan Agama dalam memutuskan perkara, juga dijadikan rujukan
para pejabat kantor Urusan Agama dan sebagian anggota masyarakat.6
Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian yang besar karena
pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan
bagi keluarga yang ditinggal mati. Warisan adalah soal apa dan bagaimana
berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meniggal akan beralih kepada keluarga yang masih hidup.7
Hukum kewarisan Islam berlaku bagi umat yang beragama Islam di
seluruh dunia. Hukum kewarisan Islam bersumber dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah
demikian juga dengan KHI yang juga bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa‟ (4) ayat (11) yang menjelaskan
mengenai sebagian ahli waris yang berhak menerima warisan yang meliputi anak
4 Habiburrahman, 2011, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal. 17. 5 Masjfuk Zuhdi, 2006, Masail Fiqhiyah (Kapita Selekta Hukum Islam), PT. Gunung
Agung, Jakarta, hal. 195. 6 Marzuki Wahid, 2008, “Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI)
dalam Perspektif Politik Hukum di Indonesia”, Makalah, dalam The 4th Annual Islamic Studies
Postgraduate Conference, The University Melbourne, hal. 51. 7 A. Rofiq, 2008, Hukum Islam di Indonesia cet. III, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hal. 356.
-
6
laki-laki, anak perempuan, ibu, bapak dan saudara dan menjelaskan juga syarat-
syarat serta orang yang berhak mendapatkan warisan.
Mengenai kewarisan Islam di Indonesia diatur dalam Buku II KHI yang
cakupannya berupa: Ketentuan Umum, Ahli Waris, besarnya bagian, Aul dan Rad,
Wasiat, dan Hibah. Salah satu ketentuan dalam hukum waris adalah ketentuan
mengenai penyebab kewarisan dan penghalangnya. Penyebab seseorang
mempunyai hak untuk menerima warisan adalah adanya hubungan perkawinan,
kekerabatan, dan kemerdekaan budak. Perbedaan agama antara pewaris dan ahli
waris merupakan salah satu penghalang kewarisan yang dapat menggugurkan hak
seseorang untuk menerima warisan harta peninggalan. Penghalang-penghalang
untuk menerima warisan merupakan kondisi-kondisi yang dapat menggugurkan
hak seseorang untuk menerima warisan.8
Waris mewaris yang disebabkan karena hubungan pernikahan biasanya
menimbulkan berbagai macam masalah, salah satunya ialah masalah waris dari
suatu perkawinan beda agama, mengingat banyaknya agama yang ada di
Indonesia maka tidak dapat dipungkiri bahwa bisa saja terjadi suatu perkawinan
antara dua orang yang memiliki keyakinan berbeda.9 Perkawinan beda agama
masih bisa terjadi dengan berbagai cara, diantaranya kedua calon mempelai yang
beda agama tidak jarang menggunakan jalur pengadilan untuk dapat dinikahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan. Namun jika pegawai tersebut menolak, maka
calon mempelai berhak memintakan penetapan kepada pengadilan dalam wilayah
hukum pegawai pencatat perkawinan itu berkedudukan dengan menyerahkan surat
keterangan penolakan tersebut. Selanjutnya, hakim akan memeriksa dan
memutuskan dalam sidang cepat. Jika prosedur legal ini ternyata gagal, maka
8 Ahmad Azhar Basyir, 2010, Hukum Waris Islam, Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Ahmad Azhar Basyir I), hal.16. 9 Beni Ahmad Saebani, 2009, Fiqh Mawaris, Pustaka Setia, Bandung, hal. 118-119.
-
7
tidak jarang salah satu pihak dari kedua calon mempelai yang berbeda agama itu
untuk dapat melangsungkan perkawinannya terpaksa berpindah agama mengikuti
agama pihak yang lain. Perpindahan agama itu bisa berlangsung semu/proforma
atau yang sesungguhnya. Perpindahan agama hanya berupa semu/proforma untuk
memenuhi persyaratan agar pernikahannya dapat dilangsungkan dan dicacatkan
secara resmi, namun kemudian setelah perkawinan tersebut berlangsung yang
bersangkutan kembali kepada keyakinan agamanya semula dan tetap menjalankan
aturan agamanya. Perkawinan beda agama dengan cara seperti ini banyak terjadi
yang menyebabkan timbulnya gangguan terhadap kehidupan rumah tangga dan
keluarga di kemudian hari.
Cara lain untuk melakukan perkawinan beda agama masing-masing
pasangan tetap mempertahankan keyakinan agamanya. Pernikahan dilangsungkan
menurut masing-masing agama, bisa jadi di pagi hari pernikahan berlangsung
menurut keyakinan agama salah satu pasangan, serta siang atau sore harinya
melakukan pernikahan lagi menurut agama yang lainnya. Selanjutnya perkawinan
dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Pernikahan dengan cara seperti ini banyak
dilaksanakan dengan konsekuensi masing-masing pasangan yang hidup bersama
dalam perkawinan tersebut tetap menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Bagi orang-orang kaya, dapat saja melaksanakan perkawinan beda agama ke luar
negeri untuk menghindari sulitnya prosedur dan pelaksanaan perkawinan beda
agama di Indonesia. Setelah mereka kembali ke Indonesia mereka mencatatkan
perkawinannya di Kantor Catatan Sipil. Namun sebenarnya hal tersebut tidak
dibenarkan, perkawinan beda agama yang dilangsungkan di luar negeri tersebut
tetap tidak sah menurut undang-undang perkawinan.
-
8
Salah satu hadits yang merupakan dasar para ulama dalam menetapkan
kesepakatan mengenai ketentuan bahwa keluarga dekat (suami atau istri, bahkan
anak sekalipun) yang tidak muslim/muslimah bukan merupakan ahli waris. Hadist
tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah, yang
artinya ”Orang muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir
pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam.”10
Meskipun ketentuan hadist ini
menyatakan bahwa ahli waris seorang muslim harus juga beragama Islam, namun
pada kenyataannya ada putusan hakim yang memberikan hak waris kepada ahli
waris non muslim melalui wasiat wajibah. Pada Pasal 174 ayat (1) KHI
menentukan bahwa:
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah:
1) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.
Ketentuan pada pasal di atas bahwa seorang duda atau janda merupakan
ahli waris yang timbul karena adanya hubungan perkawinan. Tetapi dalam
perkawinan beda agama seorang duda atau janda tidak termasuk ke dalam ahli
waris suami atau isterinya jika yang bersangkutan tidak beragama Islam. Hal ini
ditunjukkan dalam pengertian ahli waris menurut Pasal 171 huruf c KHI yang
mempersyaratkan harus beragama Islam. Pasal tersebut mengatur bahwa ahli
waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang
karena hukum untuk menjadi ahli waris bagi pewaris yang beragama Islam.
10 Hafidz Al-Mundziri, 1997, Mukhtaṣar Sunan Abu Daud, Hadis Nomor 2789, Maktabah
Al-Fikrah, Kairo, hal.563.
-
9
KHI dan kesepakatan mayoritas ulama di atas, atau meskipun ada hadist
nabi yang menyebutkan tidak adanya hubungan waris mewaris antara seorang
muslim dengan non-muslim, namun beberapa putusan hakim ternyata
memberikan hak waris kepada seorang ahli waris non-muslim. Seperti kasus yang
akan dibahas dalam penelitian ini yaitu Putusan Mahkamah Agung
No.16K/AG/2010, yang memberikan hak waris kepada seorang istri yang berbeda
agama dengan suaminya.
Putusan Pengadilan Agama Makassar No 732/Pdt.G/2008/PA, Putusan
Pengadilan Tinggi Agama Makassar No 59/Pdt.G/2009/PT, yang dilanjutkan
dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No 16K/AG/2010 terkait dengan
perkara waris dimana pewaris tidak memiliki anak dan meninggalkan seorang istri
yang non muslim, seorang ibu dan 4 (empat) saudara kandung yang muslim.
Dalam perkara ini Mahkamah Agung memutuskan bahwa istri yang non muslim
tersebut berhak mendapat warisan melalui wasiat wajibah dengan jumlah yang
didapat sebesar ¼ bagian ditambah dengan ½ bagian dari harta bersama.
Sedangkan, ahli waris yang muslim mendapat bagian 1/5 bagian. Dengan
perbandingan bagian untuk saudara perempuan dan laki-laki adalah 1:2.
Timbulnya permasalahan hak kewarisan istri yang beragama non-muslim
dari suami muslim seperti yang diuraikan di atas, karena KHI tidak mengatur istri
yang beragama non-muslim, yang secara hukum Islam tidak berhak menerima
warisan dari suaminya, apakah dapat diberikan wasiat wajibah. Pasal 209 KHI
hanya mengatur pemberian wasiat wajibah kepada orangtua angkat dan anak
angkat sebagaimana ketentuan Pasal 209 KHI sebagai berikut :
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
-
10
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Ketentuan pada Pasal 209 KHI tersebut di atas menunjukkan bahwa
orangtua angkat dan anak angkat yang seharusnya tidak berhak atas warisan dapat
diberikan wasiat wajibah mengingat orangtua angkat dan anak angkat merupakan
orang-orang dekat dari ahli waris. Ketentuan pada Pasal 209 KHI tidak mengatur
(norma kosong) apakah istri yang beragama non-muslim yang tadinya tidak
berhak atas warisan suaminya dapat diberikan wasiat wajibah sebagaimana halnya
orangtua angkat dan anak angkat, mengingat istri juga merupakan orang dekat
bahkan orang terdekat dengan pewaris. Berangkat dari adanya norma kosong
dalam Pasal 209 KHI yang tidak mengatur apakah istri yang beragama non-
muslim yang tadinya tidak berhak atas warisan suaminya dapat diberikan wasiat
wajibah sebagaimana halnya orangtua angkat dan anak angkat, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul
“Kedudukan Janda Beda Agama dalam Pewarisan Menurut Hukum Islam”.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah adalah suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara dua
faktor atau lebih yang menghasilkan situasi yang menimbulkan tanda tanya dan
dengan sendirinya memerlukan upaya untuk mencari sesuatu jawaban.
Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, maka masalah dalam
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan janda yang beda agama menurut Hukum Waris
Islam?
2. Apakah janda beda agama dapat menerima bagian harta warisan dari
almarhum suaminya?
-
11
1.3 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan di perpustakaan hukum di Fakultas
Hukum, Universitas Udayana, peneliti tidak menjumpai penelitian dengan topik
istri sebagai ahli waris beda agama. Namun dari penelusuran kepustakaan secara
online terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan istri sebagai ahli waris
beda agama, yaitu:
No Identitas
Penulis Judul Rumusan
Masalah Persamaan Perbedaan
1 Zainal Abidin, 2016,
Magister Kenotariatan, Universitas Narotama, Surabaya.11
Hak Istri Berbeda Agama
Atas Wasiat Wajibah Harta Warisan Suaminya Beragama Islam
1. Apakah istri berbeda agama
mempunyai hak atas harta warisan suaminya?
2. Apakah istri berbeda agama mempunyai hak atas wasiat
wajibah harta suaminya?
Persamaannya kedua
penelitian ini sama-sama meneliti tentang istri sebagai ahli waris beda agama
- Jika penelitian Zainal Abidin membahas hak istri yang beda agama terhadap warisan suaminya yang beragama Islam yang ditinjau dari hukum waris Islam saja, sedangkan penelitian yang akan dilakukan membahas kedudukan janda beda agama dalam pewarisan menurut hukum Islam, baik ditinjau dari hukum waris Islam maupun KUHPerdata.
- Selain itu perbedaan lainnya penelitian Zainal Abidin menggunakan metode penelitian hukum empiris, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan peneliti menggunakan metode penelitian hukum normatif.
2 Ahmad Royani, 2015,
Kedudukan Anak Non
1. Bagaimana pengaturan anak
Persamaannya kedua
Jika penelitian Ahmad Royani
11 Zainal Abidin, 2016, “Hak Istri Berbeda Agama Atas Wasiat Wajibah Harta Warisan
Suaminya Beragama Islam”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Narotama,
Surabaya.
-
12
Jurnal Independent.12
Muslim terhadap Harta Warisan Pewaris Islam Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
non muslim terhadap harta warisan pewaris islam ditinjau dari KUHPerdata?
2. Bagaimana kedudukan anak
non muslim dari pewaris Islam menurut KUHPerdata?
penelitian ini sama-sama meneliti tentang kedudukan hak waris non-muslim dari pewaris
muslim
meneliti tentang kedudukan anak non muslim terhadap harta warisan pewaris Islam, sedangkan pada penelitian yang akan
dilakukan meneliti tentang kedudukan janda beda agama dalam pewarisan menurut hukum Islam.
3 I Gusti Ngurah Bayu Krisna,
2007, Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang.13
Kedudukan Ahli Waris Beralih
Agama terhadap Harta Warisan Orang Tua menurut Hukum Waris Adat Bali
1. Bagaimanakah hak dan
kewajiban ahli waris beralih agama terhadap pewaris?
2. Apakah beralih agama masih memungkinkan ahli waris tetap
mempunyai hak mewaris harta warisan orang tuanya?
Persamaannya kedua
penelitian ini sama-sama meneliti tentang pewarisan dari pewaris yang berbeda agama
- Jika penelitian I Gusti Ngurah Bayu Krisna meneliti tentang pewarisan dari pewaris yang beragama Hindu Bali, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan meneliti tentang kedudukan janda beda agama dalam pewarisan menurut hukum Islam.
- Perbedaan lainnya bila pada penelitian I Gusti Ngurah Bayu Krisna menggunakan metode penelitian Yuridis Empiris, sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif.
Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan
penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan dalam tabel di atas, maka dapat
dinyatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-
penelitian sebelumnya baik permasalahan maupun metodologinya.
12 Ahmad Royani, 2015, ”Kedudukan Anak Non Muslim terhadap Harta Warisan Pewaris
Islam Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)”, Jurnal Independent,
Vol. 3, No. 1. 13 I Gusti Ngurah Bayu Krisna, 2007, “Kedudukan Ahli Waris Beralih Agama terhadap
Harta Warisan Orang Tua menurut Hukum Waris Adat Bali”, Tesis, Program Studi Magister
Kenotariatan, Universitas Diponegoro, Semarang.
-
13
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai kedudukan janda beda
agama dalam pewarisan menurut hukum Islam.
1.4.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian tesis ini yang dapat dikemukakan
adalah sebagai berikut:
a. Untuk memahami dan menganalisis kedudukan janda yang beda agama
menurut Hukum Waris Islam.
b. Untuk memahami dan menganalisis janda beda agama dapat menerima
bagian harta warisan dari almarhum suaminya.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan dari penelitian tesis ini dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum khususnya mengenai pengaturan istri
non-muslim terhadap harta pewaris muslim.
b. Hasil penelitian ini dapat di pakai sebagai acuan bagi penelitian penelitian
selanjutnya dengan topik sejenis.
1.5.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian tesis ini yang dapat dikemukakan
adalah sebagai berikut:
a. Diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta tambahan
pengetahuan bagi istri yang beragama non-muslim dengan masalah yang
-
14
diteliti khususnya tentang pengaturan istri non-muslim terhadap harta
pewaris.
b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penegak hukum agar
dipakai sebagai bahan pertimbangan dan dasar pengambilan keputusan
ataupun kebijakannya dalam menangani pengaturan istri non-muslim
terhadap harta pewaris muslim.
1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1.6.1 Landasan Teoritis
Teori memiliki peranan yang sangat penting untuk memandu penelitian
sehingga penelitian yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Hal
ini ditegaskan oleh Nazir bahwa teori dapat meningkatkan arti dari penemuan
penelitian karena tanpa teori suatu penelitian hanyalah merupakan keterangan-
keterangan fenomena yang berpencar.14
Terkait dengan hal tersebut, Poerwanto
menjelaskan bahwa suatu kerangka teoretik yang dipakai minimal mengandung
tiga hal, yaitu grand concepts yang melandasi seluruh pemikiran teoretik dari
suatu penelitian, untuk membangun kerangka teori dan proposisi penelitian.15
Adapun teori, asas dan konsep yang digunakan dalam melakukan penelitian ini
adalah Teori Keadilan, Teori Rechtvinding (Penemuan Hukum), Konsep
Pewarisan dalam Hukum Islam, Konsep Wasiat Wajibah dan Konsep Ijtihad
untuk dijadikan pisau analisis dalam menjawab perumusan masalah penelitian.
1.6.1.1 Teori Keadilan
Teori Keadilan digunakan dalam penelitian ini untuk membahas rumusan
masalah pertama kedudukan janda yang beda agama menurut Hukum Waris
Islam. Teori keadilan digunakan karena dalam Hukum Waris Islam janda yang
14 Mohammad Nazir, 2008, Metode Penelitian, PT. Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 24 15 Poerwanto, 2010, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 4.
-
15
berbeda agama dengan almarhum suaminya tidak mendapat warisan sehingga
dipandang sebagai bentuk ketidakadilan.
Pencetus Teori Keadilan adalah Plato dan Aristoteles dan selanjutnya
dikembangkan oleh John Rawl. Pada garis besarnya, pembahasan mengenai
keadilan terbagi atas 2 (dua) arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan
ontologis atau metafisik, sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan
yang metafisik atau ontologis diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang
rasional diwakili oleh pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana
diutarakan oleh Plato, menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari
inspirasi dan intuisi. Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber
pemikirannya dari prinsip-prinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.16
Menurut John Rawls dalam pendapatnya mengenai keadilan yang
menyatakan bahwa:
Semua teori keadilan merupakan teori tentang cara untuk menentukan kepentingan-kepentingan yang berbeda dari semua warga masyarakat. Menurut konsep teori keadilan utilisme, cara yang adil mempersatukan kepentingan-kepentingan manusia yang berbeda adalah dengan selalu mencoba memperbesar kebahagiaan. Baginya keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut.
17
Selanjutnya John Rawls juga berpendapat mengenai prinsip dasar keadilan
yang dinyatakan sebagai berikut:
Bagaimanapun juga cara yang adil untuk mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri. Teori ini sering disebut „justice as fairness (keadilan sebagai kejujuran). Terdapat dua prinsip dasar keadilan yaitu prinsip yang pertama, disebut kebebasan yang menyatakan bahwa setiap orang berhak
16 E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal. 96 17 John Rawls, 1999, A Theory of Justice, Revised Edition, Harvard University Press,
Massachusetts, hal. 11.
-
16
mempunyai kebebasan yang terbesar asal ia tidak menyakiti orang lain. Tegasnya, menurut prinsip kebebasan ini, setiap orang harus diberi kebebasan memilih menjadi pejabat, kebebasan berbicara dan berfikir kebebasan memiliki kekayaan, kebebasan dari penangkapan tanpa alasan dan sebagainya.
18
Keadilan merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna
memperoleh kesebandingan di dalam masyarakat, di samping itu juga untuk
kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang
rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk
Indonesia.19
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak
dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Membicarakan hukum
adalah membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar
manusia adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya
tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam
kemakmuran dan makmur dalam keadilan.20
Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum
sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum” yang berarti dapat
dipersamakan dengan asas hukum.21
Di antara ketiga asas tersebut yang sering
menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan
bahwa: “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how
it distributes its benefits and cost,” (Terjemahan bebas: Dalam hal hukum,
keadilan akan dinilai sebagai bagaimana hukum memperlakukan orang dan
18 Ibid. 19 Soerjono Soekanto, 1990, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Cv. Rajawali, Jakarta,
hal.169. 20 Ibid. 21 Gustav Radbruch, 2005, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask,
Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal.
107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor, hal. 67.
-
17
bagaimana mendistribusikan kemanfaatannya) dan dalam hubungan ini Friedman
juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is
allocative”22
(Terjemahan bebas: Setiap fungsi hukum, umum atau khususnya
bersifat alokatif). Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini
yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan
maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan
konsumen oleh semua pihak yang terlibat.23
Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch yang menyatakan
bahwa:
Tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang
lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut
Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak
berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat
hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu,
Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan
tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa
keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai
dengan hakikat atau ontologi hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk
menciptakan ketertiban melalui peraturan yang adil, yakni pengaturan
kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dengan seimbang sehingga
setiap orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi bagiannya.
Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah filsafat hukum selalu
memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan sebagai suatu tujuan
hukum.24
Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim
menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik
Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan
secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum
sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal
22 Peter Mahmud Marzuki, 2007, “The Need for the Indonesian Economic Legal
Framework”, Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28. 23 Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, hal. 23. 24 Gustav Radbruch, op.cit, hal.107.
-
18
itu tidak menimbulkan masalah?. Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu
dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila
hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya
sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.25
Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan bahwa kita harus
menggunakan asas prioritas dimana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan,
baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.26
Achmad Ali tidak dapat
menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut, sebagaimana dikatakannya:
Penulis sendiri sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut-turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terkhir kepastian hukum. Penulis sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang penulis maksudkan, ketiga tujuan hukum kita diprioritaskan sesuai kasus yang kita hadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum.
27
Berdasarkan kutipan di atas, maka dapat dikatakan bahwa melalui asas
prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan,
atau kepastian hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di
dalam setiap kasus. Pengertian keadilan dalam Teori Keadilan memiliki sejarah
pemikiran yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama
dalam hukum semenjak masa Yunani Kuno.28
Memang secara hakiki, dalam
diskursus hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok,
yakni dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum,
dan dalam arti materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan
cita-cita keadilan masyarakat, namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih
25Achmad Ali, op.cit, hal. 95-96. 26Achmad Ali, op.cit, hal. 96. 27 Achmad Ali, op.cit, hal. 96. 28E. Fernando M. Manullang, op.cit, hal. 96.
-
19
luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang
berbeda-beda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak
buku atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan
teori hukum yang ada.29
Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara
tunggal hampir-hampir sulit untuk dilakukan.
Aristoteles tidak hanya meletakkan dasar-dasar bagi teori hukum, tetapi
juga kepada filsafat barat pada umumnya. Kontribusi Aristoteles bagi filsafat
hukum adalah formulasinya terhadap masalah keadilan yang membedakan
keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan komutatif,
yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan
keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada
setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan yang
sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the law).
Sedangkan keadilan komutatif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan
prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum.30
Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelas bahwa dalam menentukan
pengertian keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit
ditentukan secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung
dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor
lainnya yang turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya.
Seperti halnya John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai
keadilan.31
29 Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81. 30 Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 54. 31 John Rawls, op.cit, hal. 11.
-
20
According to Rawls, justice was not only includes the moral concept of the
individual, but also questioned the mechanism of achieving justice itself, including
how the law participated and supported the efforts.32
(Terjemahan bebas: Menurut
Rawls, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi
juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk
juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut). Menurut Kelsen,
pada dasarnya keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk
memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan
perlindungan itu sendiri pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap
individu (unsur manfaat).33
1.6.1.2 Teori Penemuan Hukum (Rechtvinding)
Teori penemuan hukum (rechtvinding) digunakan untuk membahas
rumusan masalah yang kedua yaitu janda beda agama dapat menerima bagian
harta warisan dari almarhum suaminya. Permasalahan ini muncul karena terdapat
norma kosong dalam Pasal 209 KHI. Untuk mencari penyelesaian adanya norma
kosong ini, dalam penelitian ini digunakan teori penemuan hukum. Pencetus teori
penemuan hukum dicetuskan oleh Paul Scholten dan Mauwissen.
Menurut Paul Scholten “... yang dimaksud dengan penemuan hukum
adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada
peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa
peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan
jalan analogi, rechsvervijning (penghalusan/pengkonkretan hukum) maupun
32 John Rawls, op.cit, hal. 11. 33 Hans Kelsen, 2007, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Penerbit
Nusamedia, Bandung, hal. 48-51.
-
21
dengan metode konstruksi hukum. Konstruksi hukum ini dibutuhkan dalam
menghadapi kekosongan hukum”.34
Suatu undang-undang tidak mungkin mencakup segala kegiatan manusia
yang tidak terhitung jumlah dan jenisnya, seperti yang dikemukakan oleh Sudikno
Mertokusumo dalam bukunya bahwa “Tidak ada peraturan perundang-undangan
yang dapat mencakup keseluruhan kehidupan manusia, sehingga tidak ada
peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas
sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas, dan dapat
menimbulkan multitafsir dan menjadi ketidakpastian, maka harus dicari dan
diketemukan”.35
Kegiatan dalam mencari dan menemukan hukum tersebut disebut
dengan penemuan hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum adalah “... proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan hukum umum untuk
peristiwa hukum yang konkret”.36
Lebih lanjut secara sederhana Sudikno
Mertokusumo menggambarkan bahwa penemuan hukum merupakan “... proses
konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan
mengingat akan peristiwa konkret tertentu”.37
Amir Syamsudin memberikan pengertian bahwa penemuan hukum
merupakan:
Proses pembentukan hukum oleh hakim dalam upaya menerapkan peraturan
hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-
metode tertentu, yang digunakan agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa
tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehinga
34 Achmad Ali, op.cit, hal.146. 35 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 37. 36 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 2013, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Citra
Adtya Bakti, Bandung, hal. 4. 37 Ibid.
-
22
hasil yang diperoleh dari proses itu dapat diterima dan dipertanggungjawabkan
dalm ilmu hukum.38
Selanjutnya Utrecht menjelaskan bahwa “... apabila terjadi suatu peraturan
perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak
berdasar inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut”.39
Hal tersebut
memiliki arti bahwa seorang hakim harus berperan untuk menentukan bagaimana
hukumnya, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya
dalam membuat keputusan.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penemuan hukum dapat diartikan
sebagai suatu proses pembentukan hukum melalui metode-metode tertentu yang
dilakukan oleh hakim atau aparat hukum lain dalam penerapan peraturan hukum
umum pada peristiwa konkrit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penemuan
hukum adalah konkretisasi peraturan hukum dengan tetap mengingat peristiwa
konkret tertentu.
Penemuan hukum dapat dilakukan oleh orang-perorangan (individu),
ilmuan/peneliti hukum, para penegak dan praktisi hukum (hakim, jaksa, polisi,
pengacara, dan notaris), bahkan para pelaku bisnis ataupun masyarakat sekalipun
dapat melakukan penemuan hukum. Walaupun penemuan hukum dapat dilakukan
oleh siapa saja, namun hasil dari penemuan hukum tersebut berbeda-beda, ada
yang menjadi sumber hukum sekaligus menjadi hukum yang berlaku dan ada
yang hanya berlaku sebagai sumber hukum atau doktrin saja.
Hakim melakukan penemuan hukum dalam menangani peristiwa konkret
yang harus diselesaikan. Hasil penemuan hukumnya merupakan hukum, karena
mempunyai kekuatan keberlakuan sebagai hukum yang dalam bentuk putusan.
38 Amir Syamsudin, 2008, “Penemuan Hukum ataukah Perilaku Chaos”, Harian Kompas,
4 Januari, hal. 6. 39 E. Utrecht, 1996, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, hal. 248.
-
23
Jadi penemuan hukum oleh hakim bersifat konfliktif. Penemuan hukum oleh
hakim tersebut sekaligus merupakan sumber hukum juga.
Para pembentuk undang-undang melakukan penemuan hukum walau tanpa
menghadapi peristiwa konkret seperti hakim, namun bertujuan untuk
menyelesaikan peristiwa abstrak tertentu yang mungkin terjadi. Jadi sifat
penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang adalah preventif. Hasil
penemuan hukum oleh pembentuk undang-undang merupakan hukum karena
dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan sekaligus juga
menjadi sumber hukum. Para ilmuan atau peneliti hukum melakukan penemuan
hukum yang bersifat teoritis, maka hasil penemuan hukumnya bukan merupakan
hukum, melainkan hanya sebagai sumber hukum atau doktrin saja.
Menurut Sudikno Mertokusumo, hasil penemuan hukum oleh notaris
adalah hukum, karena berbentuk akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan
mempunyai kekuatan mengikat serta sekaligus merupakan sumber hukum.40
Artinya Notaris dapat melakukan penemuan hukum yang bernilai sebagai hukum
bagi para pihak. Notaris melakukan penemuan hukum dalam mengkonstatir akta
yang mempunyai kekuatan mengikat, namun kekuatan mengikat dalam akta
notaris hanya sebatas mengikat bagi para pihak.41
Kekuatan mengikat akta notaris
masih dapat dibantah oleh salah satu pihak dengan pembuktian di pengadilan
karena walaupun mengikat kekuatan akta notaris tidaklah final seperti putusan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang putusannya bersifat final and
binding (final dan mengikat). Notaris dihadapkan dengan masalah hukum yang
disampaikan oleh kliennya untuk dibuatkan akta. Demikian Notaris melakukan
40 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 51. 41 Mengkonstatir adalah memberi pernyataan tentang adanya suatu gejala; mengambil
kesimpulan setelah ada bukti-bukti nyata. Lihat W.J.S. Poerwadarminta, 2011, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hal. 612.
-
24
penemuan hukum dari peristiwa konkret yang diajukan oleh para klien-nya agar
akta yang dibuat dapat menjabarkan segala kehendak dan melindungi hak dan
kewajiban para klien.42
Pada umumnya problematik yang berkaitan dengan penemuan hukum
dipusatkan sekitar hakim dan pembentuk undang-undang, namun dalam realitanya
problematik penemuan hukum ini tidak hanya berperan pada kegiatan hakim dan
pembentuk undang-undang saja, seperti pendapat Sudikno Mertokusumo
sebelumnya. Hasil penemuan hukum oleh notaris adalah hukum karena berbentuk
akta yang berisi kaidah-kaidah hukum dan mempunyai kekuatan mengikat serta
sekaligus merupakan sumber hukum. Notaris melakukan penemuan hukum dalam
mengkonstatir akta yang dibuatnya. Dalam mengkonstatir suatu akta, notaris
menentukan peristiwa hukum berdasarkan peristiwa konkret yang dialami oleh
para penghadap atau kliennya. Tentunya perbuatan konkret atau perbuatan nyata
yang dilakukan si klien tidak terbatas perbuatan-perbuatan hukum yang sudah
diatur saja, sehingga bisa saja perbuatan konkret yang dimaksud tersebut tidak ada
atau tidak jelas diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
hal tersebut notaris dapat melakukan penemuan hukum terhadap akta yang akan
dibuatnya, dengan tujuan agar para penghadap yang hadir di hadapan notaris
mendapatkan perlindungan hukum atas hak dan kewajibannya.43
Hal penting dalam penemuan hukum oleh Notaris adalah bagaimana
mengkonstatir peristiwa konkret menjadi peristiwa hukum. Setiap peristiwa
konkret harus diketemukan hukumnya dengan menjelaskan, menafsirkan, atau
melengkapi peraturan perundang-undangannya agar hukumnya tidak kosong.
42 Sudikno Mertokusumo, op.cit, hal. 54. 43 Jazim Hamidi, 2005, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan
Intrepretasi Teks, UII Press, Yogyakarta, hal. 51
-
25
Dalam penemuan hukum diperlukan ilmu bantu berupa metode penemuan hukum.
Adapun metode penemuan hukum yang sudah ada yaitu interpretasi (penafsiran),
argumentasi (penalaran), dan eksposisi (konstruksi hukum). Metode interpretasi
digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak jelas. Metode argumentasi
digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak ada.
Metode konstruksi hukum digunakan apabila peraturan perundang-undangan tidak
ada mengatur atau kekosongan hukum (rechts vacuum).44
Konstruksi hukum harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang
sesuatu hal, oleh karena itu harus cukup sederhana dan tidak menimbulkan
masalah baru dan boleh tidak dilaksanakan.”Sedangkan tujuan dari konstruksi
hukum adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi
tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi pencari keadilan”.45
Kontruksi hukum ini
sangat dibutuhkan dalam menghadapi kekosongan hukum.
Menurut Philipus M. Hadjon, model kontruksi hukum terdiri dari “...
analogi dan gandengannya (spiegelbeeld) a-contrario, dan bentuk ketiga oleh P.
Scholten penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh
Prof. Soedikno M. disebut penyempitan hukum”46
Ahmad Rifa‟i dalam bukunya
membedakan metode konstruksi hukum ini menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai
berikut:
1. Metode Argumentum Per Anoalgium (Analogi)
Menurut Bambang Sutiyoso, “Metode analogi berarti memperluas
peraturan perundang-undangan yang terlalu sempit ruang lingkupnya,
44 Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 21. 45 Achmad Ali, op.cit, hal.192. 46 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2009 Argumentasi Hukum, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hal.26.
-
26
kemudian diterapkan terhadap peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip
dengan yang diatur dalam undang-undang”.47
Jadi analogi ini merupakan
metode penemuan hukum dimana hakim mencari esensi yang lebih umum
dari sebuah peristiwa hukum atau perbuatan hukum baik yang telah diatur
oleh undang-undang maupun yang belum ada peraturannya.
2. Metode Argumentum a Contrario
Metode ini menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang
menetapkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu
terbatas pada peristiwa tertentu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku
kebalikannya.48
Maksudnya adalah, bahwa penafsiran ini dilakukan
dengan menjelaskan undang-undang yang berdasarkan pada pengertian
yang sebaliknya antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa
yang diatur dalam undang-undang. Jadi, apabila suatu peristiwa diatur
dalam undang-undang, namun peristiwa lain yang mirip tidak diatur dalam
undang-undang, maka berlaku hal yang sebaliknya.
3. Metode Penyempitan/Penghalusan Hukum
Menurut Jazim Hamidi, metode penyempitan atau pengkongkretan
hukum ini bertujuan untuk menyempitkan suatu aturan hukum yang
bersifat terlalu abstrak, pasif, dan sangat umum sifatnya. Hal tersebut
bertujuan agar aturan hukum dapat diterapkan terhadap suatu peristiwa
teretentu.49
Mengingat suatu norma hukum atau aturan perundang-
undangan terkadang ruang lingkupnya terlalu umum atau luas, maka perlu
dipersempit untuk dapat diterapkan terhadap peristiwa tertentu.
47 Bambang Sutiyoso, 2015, Metode Penemuan Hukum (Upaya Meweujudkan Hukum
yang Pasti dan Berkeadilan), UII Press, Yogyakarta, hal.133. 48 Achmad Ali, op.cit, hal.197. 49 Jazim Hamidi, op.cit, hal.61.
-
27
4. Fiksi Hukum
Fiski hukum adalah “... sesuatu yang khayal yang digunakan dai
dalam ilmu hukum dalam bentuk kata-kat, istilah-istilah yang berdiri
sendiri atau dalam bentuk kalimat yang bermaksud untuk memberikan
suatu pengertian hukum”.50
Metode penemuan hukum ini berlandaskan
pada asas bahwa setiap orang dianggap mengetahui undang-undang.
1.6.1.3 Konsep Pewarisan dalam Hukum Islam
Kata waris berasal dari bahasa arab yaitu warasa-yarisu-warisan yang
berarti berpindahnya harta seseorang kepada seseorang setelah meninggal dunia.
Dalam konteks hukum waris tidaklah semata-mata hanya membicarakan prihal
orang yang menerima harta warisan, melainkan meliputi keseluruhan peraturan-
peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang
harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari suatu angkatan
manusia kepada turunannya, proses penerusan harta benda inilah yang disebut
dengan istilah pewarisan.51
Adapun dalam Al-Qur‟an dijumpai banyak kata
warasa yang berarti menggantikan kedudukan, memberi atau menganugerahkan
dan menerima warisan. Sementara itu, Almiras menurut para ulama merupakan
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang sudah meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup baik warisan yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah
atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar‟i.52
Istilah kewarisan berasal dari bahasa arab Al-irts yang secara leksikal
berarti perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Secara terminologi,
50 Bambang Sutiyoso, op.cit, hal.139. 51 Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali, Cetakan
Kedua, Swasta Nulus, Denpasar, hal.149. 52 Habiburrahman, op.cit, hal.17
-
28
ia berarti pengalihan harta dan hak seseorang yang telah wafat kepada seseorang
yang amsih hidup dengan bagian-bagian tertentu, tanpa terjadi Aqad lebih
dahulu.53
Kewarisan (Al-miras) yang disebut juga sebagai faraidh berarti bagian
tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur‟an dan
Al-Hadits, sehingga dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa pewarisan adalah
pepindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal
dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang telah
ditetapkan dalam nash-nash baik Al-Qur‟an dan Al-Hadits.54
Hukum kewarisan menurut Islam adalah hukum kewarisan yang diatur
dalam Al-Qur‟an. Sunnah Rasul dan fikih sebagai hasil ijtihad para fukaha dalam
memahami ketentuan Al-Qur‟an dan sunnah Rasul. Demikian, hukum kewarisan
Islam merupakan bagian dari agama Islam. Oleh karenanya, tidak aneh jika bagi
umat Islam, tunduk kepada hukum kewarisan Islam itu merupakan tuntutan
keimanannya kepada Allah SWT.55
Dalam hubungan ini QS. An-Nisaa‟ (4) ayat (65) mengajarkan:
Falaa wa rabbika laa yu`minuuna hattaa yuhakkimuuka fiimaa syajara bainahum tsumma laa yajiduu fii anfusihim harajan mimmaa qadhaita wa yusallimuu tasliimaa(n).
Artinya:
Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.
56
53 Ali Parman, 2005, Kewarisan Dalam Alquran, Raja Grafindo Persada, hal. 9 54 Habiburrahman, op.cit, hal. 18. 55 Ahmad Azhar Basyir, op.cit, hal. 130 56 Departemen Agama Republik Indonesia, 2017, devquran.majorbee.com, diakses
tanggal 20 Desember 2017.
-
29
Kewarisan menurut hukum Islam ialah proses pemindahan harta
peninggalan seseorang yang telah meninggal, baik yang berupa benda yang wujud
maupun yang berupa hak kebendaan, kepada keluarganya yang dinyatakan berhak
menurut hukum.57
Bertolak dari batasan dalam QS An Nisaa‟ (4) ayat (65)
tersebut di atas, terlihat bahwa harta milik seseorang baru dikatakan berpindah
apabila pewaris telah wafat dan ada ahli warisnya. Ahli waris memperoleh
warisan secara pasti sesuai ketentuan Al-Qur‟an, apabila mereka telah memenuhi
segala syarat pewarisan. Ada syarat yang melekat pada pewaris, ahli waris, dan
bahkan ada syarat pada harta yang akan di wariskan.
Batasan tersebut menegaskan juga bahwa menurut hukum Islam, yang
tergolong ahli waris hanyalah keluarga, yaitu yang berhubungan dengan pewaris
dengan jalan perkawinan (suami atau isteri) atau dengan adanya hubungan darah
(anak, cucu, orang tua, saudara, kakek, nenek, dan sebagainya).58
Ringkasnya
hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (hirkah) pewaris, menentukan siapasiapa yang
berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Pasal 171 KHI).
Macam-macam ahli waris menurut Pasal 174 KHI yang diuraikan sebagai
berikut:
a. Menurut hubungan darah: 1) Golongan laki-laki terdiri dari: ayah,anak laki-laki, saudara laki-laki,
paman dan kakek;
2) Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda (Pasal 174 KHI).
57 Ahmad Azhar Basyir, op.cit, hal. 132 58 Ahmad Azhar Basyir, op.cit, hal.133.
-
30
Bagian ahli waris menurut sistem bilateral, dapat dikemukakan sebagai
berkut:
a. Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang bagiannya telah diatur dalam Alquran dan hadis yaitu ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara
perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek. b. Ahli waris dzul qarabat, yakni ahli waris yang mendapat bagian warisan
yang tidak ditentukan jumlahnya dan mendapatkan sisa warisan. Ahli waris ini mempunyai hubungan dengan pewaris melalui garis laki-laki dan perempuan, yaitu anak laki-laki, anak perempuan yang mewaris bersama anak laki-laki, bapak, saudara laki-laki apabila pewaris tidak ada keturunan, dan saudara perempuan apabila pewaris tidak mempunyai keturunan.
c. Ahli waris mawali (pengganti), yakni ahli waris yang menggantikan seseorang yang meninggal untuk mendapatkan bagian warisan yang akan didapatkan oleh orang yang digantikan seandainya ia hidup. Misalnya, cucu yang menggantikan ayahnya dalam mewarisi harta kekayaan dari kakeknya.
59
Ahli waris menurut sitem waris patrilineal, dapat diuraikan sebagai
berikut:
a. Ahli waris dzul faraid, yakni ahli waris yang mendapatkan bagian sesuai ketentuan dalam Al-Qur‟an dan Hadits, antara lain: ibu, bapak, duda, saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak, kakek dan nenek.
b. Ahli waris ashabah, yakni ahli waris yang tidak memperoleh bagian tertentu, tapi mendapatkan seluruh harta warisan apabila tidak ada ahli waris dzul faraid, dan mendapatkan seluruh harta warisan setelah dibagikan kepada ahli waris dzul faraid atau tidak menerima apapun jika telah halus dibagikan kepada ahli waris dzul faraid.
60
Ahli waris ashabah terbagi dalam tiga golongan yang dapat dikemukakan
sebagai berikut:
a. Asabah binafsihi, merupakan ahli waris ashabah karena dirinyya sendiri bukan karean bersama ahli waris lainnya, yaitu: anak laki-laki, bapak,
kakek, cucu laki-laki dari anak laki-laki, saudara laki-laki kandung,
saudara laki-laki sebapak, paman kandung, paman sebapak, anak laki-laki
paman kandung, dan anak laki-laki paman sebapak.
59 Hazairin, 2014, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an dan Hadits, Edisi Revisi,
Tintamas, Jakarta, hal.35. 60 F. Satriyo Wicaksono, 2012, Hukum Waris, Visimedia, Jakarta, hal.45.
-
31
b. Asabah bil-ghairi, merupakan ahli waris ashabah karena bersama ahli waris lainnya, yaitu seorang wanita yang menjadi ahli waris asabah karena
ditarik oleh ahli waris laki-laki, yaitu anak perempuan yang mewaris
bersama anak laki-laki, cucu perempuan yang mewaris bersama cucu
lakilaki, saudara perempuan kandung yang mewaris dengan saudara laki-
laki kandung, saudara perempuan sebapak yang dengan saudara yang
mewaris bersama saudara laki-laki sebapak.
c. Asabah ma‟al-ghairi, yakni saudara perempuan kandung atau sebapak yang menjadi ahli waris asabah karena mewaris bersama dengan keturunan
perempuan, yaitu: saudara perempuan kandung yang mewaris dengan anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan
sebapak yang mewaris dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari
anak laki-laki.61
Ahli waris dzul arham, yakni ahli waris yang mempunyai pertalian darah
dengan pewaris lewat keluarga perempuan, yang termasuk ahli waris ini adalah
cucu dari anak perempuan, anak perempuan saudara laki-laki, anak perempuan
pama, paman seibu, saudara laki-laki ibu, dan bibi. Kewarisan patrilineal selalu
memberikan kedudukan yang lebih kepada pihak laki-laki, termasuk bagian antara
ibu dan bapak atas harta warisan dari anaknya sendiri.62
Harta warisan adalah
benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang menjadi hak ahli
waris. Harta itu adalah sisa setelah diambil untuk berbagai kepentingan, yaitu
biaya perawatan jenazah hutang-hutang dan penunaian wasiat.63
Hukum Islam adalah hukum Allah yang menciptakan alam semesta ini,
termasuk manusia didalamnya. Hukumnya pun meliputi semua ciptaan Nya itu.
Hanya, ada yang jelas sebagaimana yang „tersirat‟ di balik hukum yang tersurat
dalam Alquran itu. Selain yang tersurat dan tersirat itu, ada lagi hukum Allah yang
tersenbunyi dibalik Al-Qur‟an. Hukum yang tersirat dan tersembunyi inilah yang
harus dicari, digali dan ditemukan oleh manusia yang memenuhi syarat melalui
61 Amir Syarifuddin, op.cit, hal. 40-41. 62 F. Satriyo Wicaksono, op.cit, hal.85. 63 Abdul Ghofur Anshori, 2002, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Ekonisia,
Yogyakarta, hal. 20.
-
32
penalarannya. Untuk menemukan hukum yang tersirat dan tersembunyi tersebut di
perlukan wawasan yang jelas dan kemampuan untuk mencari dan menggali
hakikat hukum ilahi serta tujuan Allah menciptakan hukum-hukum Nya.64
Hukum waris menduduki tempat amat penting dalam hukum Islam. Ayat
Al-Qur‟an mengatur hukum waris dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat di
mengerti sebab masalah warisan pasti di alami oleh setiap orang. Kecuali itu,
hukum waris langsung menyangkut harta benda apabila tidak diberikan ketentuan
pasti, amat mudah menimbulkan sengketa diantara ahli waris. Setiap terjadi
peristiwa kematian seseorang, segera timbul pertanyaan bagaimana harta
peninggalannya harus diperlakukan dan kepada siapa saja harta itu dipindahkan,
serta bagaimana caranya. Inilah yang diatur dalam hukum waris. Hukum
kewarisan, termasuk salah satu aspek yang diatur secara jelas dalam Al-Qur‟an
dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa, masalah kewarisan cukup
penting dalam agama Islam.65
Berdasarkan seluruh hukum yang berlaku dalam
masyarakat, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan
mencerminkan sistem kekeluargaan yang sekaligus merupakan salah satu bagian
dari hukum perdata.66
1.6.1.4 Konsep Wasiat Wajibah
Wasiat wajibah adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu
wasiat dan wajibah. Kata wasiat berasal dari bahasa arab dapat berarti membuat
wasiat atau berwasiat, dan terkadang digunakan untuk sesuatu yang diwasiatkan.
Kata wajibah berasal dari kata wajib yang telah mendapatkan imbuhan kata ta‟nis.
64 Mohammad Daud Ali, 2006, Hukum Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 124 65 Abdul Ghofur Anshori, op.cit, hal. 14 66 Ali Parman, op.cit, hal. 1
-
33
Menurut Abdul Wahab Khallaf, wajibah adalah sesuatu yang disuruh syari‟at
untuk secara kemestian dilakukan oleh orang mukallaf, karena secara langsung
dijumpai petunjuk tentang kemestian memperbuatnya.67
Pengertian wajibah mengandung makna bahwa wasiat yang
pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau
kehendak si pewasiat yang meninggal dunia. Dimana pelaksanaan wasiat tersebut
tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut diucapkan atau ditulis atau
dikehendaki, tapi pelaksanaannya didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang
membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan.68
Pengertian istilah ulama fikih, Abu Zahrah, setelah mengemukakan
berbagai defenisi yang dibarengi dengan analisis, mengatakan defenisi yang
relative lebih sempurna adalah yang terdapat dalam Undang-Undang Wasiat
Mesir No. 71 Tahun 1946, “wasiat adalah mentasarrufkan peninggalan yang
ditangguhkan waktunya sampai setelah terjadinya kematian”. Kata wajibah
merupakan istilah fikih, yang berasal dari kata wajib yang telah mendapat
penambahan. Zaki Sya‟ban menyebutkan pengertian wajib itu: “sesuatu perbuatan
yang diperintahkan Allah untuk melaksanakannya secara keharusan, baik dia
diperoleh dari kata perintah itu sendiri atau dari tanda-tanda lain yang dapat
dipahami sebagai perintah.69
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa
wasiat wajibah adalah suatu perintah yang syar‟i (Allah) yang merupakan
keharusan untuk mentasarrufkan peninggalan yang ditangguhkan waktunya
sampai setelah terjadinya kematian.70
67 Ali Parman, op.cit, hal.54 68 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, 2009, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan
Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal. 163 69 Ibid, hal. 371 70 Ibid, hal. 372
-
34
Menurut Fatchur Rahman, yang dimaksud dengan wasiat wajibah adalah
suatu tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara
untuk memaksa atau memberikan putusan wajib wasiat bagi orang-orang yang
telah meninggal, yang diberikan kepada orang-orang tertentu, dalam keadaan
tertentu.71
Menurut Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, yang dimaksud
dengan wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau
tidak tegantung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap
dilaksanakan, baik diucapkan atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang
meninggal dunia. Jadi pelaksanaan tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat
tersebut diucapkan atau ditulis atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya
didasarkan kepada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat
tersebut harus dilaksanakan.72
Pendapat Ibn Hazm mengenai wasiat wajibah adalah wasiat yang
ditetapkan oleh penguasa dan dilaksanakan oleh hakim untuk orang-orang tertentu
yang tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, dan tidak memperoleh
warisan karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, atau terhalang mewarisi,
sementara si mayit meninggalkan harta yang baginya berlaku wasiat wajibah.73
Pengertian dari wasiat wajibah adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak
dipengaruhi atau tidak bergantung pada kemauan atau kehendak yang meninggal
dunia.74
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa wasiat wajibah
secara etimologis berarti wasiat yang hukumnya wajib. Sedangkan secara
71 Fatchur Rahman, 2009, Ilmu Waris, Bulan Bintang,, Jakarta, hal. 63. 72 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, op.cit, hal. 89 73 Ramlan Yusuf Rangkuti, 2010, Fikih Kontenporer Di Indonesia (Studi Tentang
Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia), Pustaka Bangsa Press, Medan, hal.373. 74 Suhardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, 2007, Hukum Waris Islam, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 120
-
35
terminologi, wasiat wajibah adalah suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau
lembaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia
tetapi tidak melakukan wasiat secara sukarela diambil sebagian dari harta benda
peninggalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dan dalam keadaan tertentu
pula. Namun demikian, penguasa atau hakim sebagai aparat negara tertinggi
mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putsan wajib wasiat
yang terkenal dengan wasiat wajibah, kepada orang tertentu dalam keadaan
tertentu.
Dalil pokok tentang wasiat wajibah adalah Surat Al-Baqarah: 180 yang
berbunyi:
Kutiba 'alaikum idzaa hadhara ahadakumul mautu in taraka khairanal
washiyyatu lilwaalidaini wal aqrabiina bil ma'ruufi haqqan 'alal muttaqiin(a).
Artinya:
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-
tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (sebagai) kewajiban atas orang-
orang yang bertqwa.75
Ayat di atas, dapat dipahami bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang
diberikan kepada kerabat yang karena alasan tertentu tidak mendapatkan bagian
warisan serta tidak diberi wasiat oleh orang yang meninggal dunia, sementara
orang yang meninggal dunia tersebut mempunyai harta yang baginya berlaku
kewajiban untuk berwasiat. Dikatakan wasiat wajibah disebabkan karena:
75 Departemen Agama Republik Indonesia, 2017, devquran.majorbee.com, diakses
tanggal 20 Desember 2017
-
36
1) Hilangnya unsur ikhtiyar bagi sipemberi wasiat dalam munculnya unsure kewajiban melalui perundang-undangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan dari si penerima wasiat.
2) Ada kemiripan dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.
76
Menurut Ahmad Rofiq, wasiat wajibah adalah wasiat yang dibebankan
oleh hakim agar seseorang yang telah meninggal dunia yang tidak melakukan
wasiat secara sukarela, harta peninggalannya dapat diambil untuk diberikan
kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.77
Berdasarkan penjabaran di atas, terdapat dua unsur yang penting yang
membedakan antara wasiat biasa dengan wasiat wajibah, yaitu:
1) Wasiat wajibah ditetapkan berdasarkan ketetapan hukum dan perundangundangan yang dibuat oleh penguasa atau hakim, sehingga pelaksanaannya berdasarkan ketetapan perundang-undangan atau aturan hukum dan tidak bergantung kepada ada atau tidaknya seseorang berwasiat semasa hidupnya. Oleh karena itu, ketentuan seperti ini berbeda dengan wasiat biasa, di mana pelaksanaannya sangat bergantung kepada kehendak si pewasiat. Batasan pengertian di atas juga menunjukkan bahwa wasiat wajibah sebenarnya tidak murni wasiat, dalam tata aturannya terdapat aspek-aspek yang sama dengan kewarisan, seperti tidak dibutuhkannya ijab dan qabul dari si pemberi wasiat dan si penerima wasiat. Disamping itu, wasiat wajibah berlaku secara terpaksa oleh peraturan perundang-undangan.
2) Wasiat ini diperuntukkan kepada saudara yang suatu halangan syarak (misalnya saudara yang beragama non-muslim) atau karena terdindingi oleh ahli waris yang lain, sehingga tidak berhak menerima warisan. Berbeda dengan wasiat biasa, di mana wasiat itu boleh diperuntukkan kepada orang lain yang bukan ahli waris atau bukan karib kerabat.
78
Wasiat wajibah ini sendiri pada mulanya dipergunakan pertama kali di
Mesir melalui Undang-Undang Hukum Waris tahun 1946 untuk menegakkan
keadilan dan membantu cucu yang tidak memperoleh hak warisnya. Sehingga
ketentuan hukum ini bermanfaat bagi anak-anak dari anak laki-laki yang
meninggal atau anak laki-laki dari anak laki-laki terus ke bawah. Sedangkan untuk
76 Factur Rahman I, op.cit, hal. 63-64. 77 A. Rofiq, op.cit, hal. 462. 78 A. Rofiq, op.cit, hal. 462.
-
37
garis anak perempuan hanya berlaku untuk anak dari anak perempuan saja tidak
berlanjut sampai generasi selanjutnya. Selain di negara Mesir, diberlakukan pula
di negara-negara yang mayoritas Islam, termasuk salah satunya adalah negara
Indonesia.
Pada mulanya wasiat wajibah yang di kenal di Indonesia hanya
diperuntukkan untuk anak angkat dan/atau orang tua angkat, sebagaimana yang
tertuang di dalam Pasal 209 KHI yang menentukan:
1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya
sepertiga dari harta warisan anak angkatnya.
2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat wajibah sebanyakbanyaknya sepertiga dari harta warisan orang tua angkatnya.
Pasal 171 huruf h KHI menentukan bahwa anak angkat adalah anak yang
dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Pasal 171 huruf f KHI menentukan
bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau
lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Aturan mengenai
wasiat ini di atur di dalam KHI mulai dari Pasal 194 sampai dengan Pasal 209.
Pasal 194 sampai dengan Pasal 208, mengatur wasiat pada umunya yang bersifat
lazim sebagaimana yang ada dalam fikih klasik sebagai peninggalan para yuris
Islam. Tetapi pada pasal 209 memuat tentang wasiat wajibah terhadap orang tua
angkat dan anak angkat.
Pada Pasal 209 ayat (2) KHI, memberikan gambaran bahwa anak angkat
dapat menerima wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang
tua angkatnya. Adanya ketentuan wasiat wajibah dalam KHI merupakan jembatan
yang menutupi ketimpangan yang terjadi selama ini antara anak angkat dan orang
-
38
tua angkat yang tidak terjadi saling mewarisi, karena memang tidak ada ketentuan
saling mewarisi antara keduanya. Sedangkan anak angkat yang telah sangat
berjasa, merawat dan memelihara orang tua angkat tidak mendapat harta
peninggalan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia, atau sebaliknya, kecuali
orang tua angkat atau anak angkat itu telah lebih dahulu membuat wasiat. Bila
tidak ada anak angkat atau orang tua angkat itu tidak mendapat harta apapun. Hal
ini telah terasa tidak adil dalam masyarakat. Anak angkat yang telah mengabdi
begitu lama untuk kemaslahatan orang tua angkat atau sebaliknya tidak mendapat
bagian harta.
1.6.1.5 Konsep Ijtihad
Konsep ijtihad berasal dari bahasa Arab. Akar kata ijtihad adalah “ja-ha-
da”. Kata ini beserta seluruh derivasinya menunjukan “pekerjaan yang dilakukan
lebih dari yang biasanya, atau sulit dilaksanakan atau yang tidak disenangi.79
Pengertian inilah Nabi Muhammad SAW, menggunakan kata ijtihad; pada waktu
sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdo„a (Fajtahidu fi al-Du„a).
Konsep ijtihad pada umumnya dibicarakan dalam buku-buku Ushûl Fiqh.
Salah satu definisi Ushûl Fiqh tentang ijtihad adalah pengerahan segenap
kemampuan seorang ahli fiqh untuk memeperoleh pengetahuan tentang hukum-
hukum syara„. Dalam pengertian inilah seorang mujtahid disyaratkan seorang
ahli. Dengan kata lain, ijtihad tidak dapat di-lakukan sembarang orang, melainkan
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:80
Pertama, menguasai pengetahuan
bahasa Arab dan seluk-beluk sejarah bahasa karena seseorang yang tidak
mengetahui bahasa Arab tidak mungkin melakukan Istinbath al-Ahkam; Kedua,
79 Muhammad Musa Towana, 2002, Al-Ijtihad: Madza Hajatina Ilaihi Fi Hadza al-„Ashr
Ans Al-Kutub al-Haditsah, Kairo, hal.97. 80 Rachmat Syafe‟i, 2001, Pengantar Ushul Fiqh, Pustaka Setia, Bandung, hal.52.
-
39
memahami fiqh yaitu ilmu tentang hukum syara„ dan sebab-sebab
pembentukannya; Ketiga, memahami Ushûl fiqh yaitu suatu ilmu yang membahas
secara luas dan mendalam tentang sumber-sumber dalil, Al-Quran, al-Sunnah
serta Turûq al-Istinbath seperti Qiyas; Keempat, memahami ilmu tauhid dan
keadilan Allah; Kelima, mengetahui perbuatan yang baik dan jahat; Keenam,
mampu menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat sehingga tampak menjadi ayat-ayat
yang muhkamat, dan mampu menguraikan perbedaan antara ayat Muhkamat dan
Mutasyabihat.
Perlu dicatat bahwa konsep ijtihad juga merupakan bagian penting dalam
pengkajian hukum Islam. Sehingga para ulama selalu menggunakan ijtihad untuk
menjelaskan masalah-masalah yang tidak diatur secara rinci dalam Al-Quran dan
Hadits. Lapangan ijtihad ialah seputar hukum syara„ yang bukan merupakan dalil
qath„i. Dalam hal ini, ijtihad dibedakan ke dalam dua bagian. Pertama, syari„at
yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu bukan hukum yang telah
dimaklumi sebagai landasan pokok yang berdasarkan pada nash-nash yang qath„i,
seperti kewajiban melaksanakan shalat lima waktu, zakat, puasa, ibadah haji, atau
karena melakukan zina, mencuri dan lain-lain. Kedua, syari„at yang dapat
dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum-hukum yang didasarkan pada dalil-dalil
yang bersifat dzanny dan hukum-hukum yang tidak ada pastinya atau tidak ada
ijma„ ulama.
Ijtihad adalah penafsiran bebas atau orisinal atas masalah-masalah yang
tidak dibahas di dalam Al-Quran, Hadits dan Ijma„. Pada awal berdirinya
masyarakat Muslim, setiap ulama yang memenuhi syarat memiliki hak untuk
menerapkan penafsiran orisinal tersebut. Namun karena ketakutan perubahan
besar akan melemahkan posisi politik mereka, pintu gerbang ijtihad ditutup bagi
-
40
kaum Muslim Sunni oleh para ulama pada sekitar 500 tahun lalu. Sejak saat itu,
para akademisi dan ulama hanya berpegang pada makna asli dan tafsiran awal atas
Al-Quran dan Hadits. Namun, saat ini terdapat gerakan yang terus berkembang di
kalangan para ulama dan intelektual untuk membangkitkan kembali praktek
ijtihad.81
Penting untuk ditelaah di sini bahwa ijtihad merupakan salah satu
instrumen dalam menggali sumber dan metode hukum syara„ (Ijtihad fi al-
Istinbath al-Hukm). Dalam konteks ini, seorang mujtahid umumnya merumuskan
hukum syara„ dari sumbernya yakni Al-Quran dan Hadits.
1.6.2 Kerangka Pemikiran
Penelitian ini berdasarkan adanya norma kosong dalam Pasal 209 KHI
yang tidak mengatur apakah istri yang beragama non-muslim yang tadinya tidak
berhak atas warisan suaminya dapat diberikan wasiat wajibah sebagaimana halnya
orangtua angkat dan anak angkat, maka rumusan masalah penelitian dikemukakan
dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut (1) Bagaimana pengaturan hukum
waris Islam untuk istri yang tidak beragama Islam?; dan Bagaimana kedudukan
istri yang beda agama terhadap harta warisan menurut Hukum Waris Islam dan
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata?.
Selanjutnya untuk membahas rumusan masalah pertama digunakan teori
keadilan, sedangkan untuk membahas rumusan masalah kedua digunakan teori
penemuan hukum (rechtvinding). Penelitian ini juga menggunakan konsep
pewarisan dalam hukum Islam, yang lebih diarahkan untuk membahas rumusan
masalah pertama. Selain itu digunakan juga konsep konsep wasiat wajibah untuk
membahas rumusan masalah kedua.
81 Claude Salhani, 2004, Membuka Pintu Gerbang Ijtihad, Remaja Rosdakarya, Bandung,
hal.36.
-
41
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum
normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan
pendekatan kasus. Bahan hukum primer, sekunder dan tersier dikumpulkan
melalui studi kepustakaan. Selanjutnya hasil penelitian dibahas untuk
mendapatkan suatu simpulan penelitian. Berdasarkan simpulan penelitian ini,
dikemukakan saran-saran untuk menyempurnakan jawaban dari permasalahan
penelitian.
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk jelasnya kerangka pemikiran
tersebut dapat dijelaskan dalam bagan sebagai berikut:
Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Berangkat dari adanya norma kosong dalam Pasal 209 KHI yang tidak
mengatur apakah istri yang beragama non-muslim yang tadinya tidak berhak atas
Latar Belakang
Masalah:
Adanya norma kosong dalam Pasal 209 KHI
yang tidak mengatur apakah istri yang
beragama non-muslim yang tadinya tidak
berhak atas warisan suaminya dapat
diberikan wasiat wajibah sebagaimana
halnya orangtua angkat
dan anak angkat
Rumusan Masalah:
1. Bagaimana kedudukan janda
yang beda agama
menurut Hukum Waris Islam?
2. Apakah janda beda agama dapat
menerima bagian
harta warisan dari
almarhum suaminya?
Teori:
- Teori keadilan - Konsep
Pewarisan dalam Hukum Islam
- Teori Penemuan Hukum
(Rechtvinding) - Konsep Wasiat
Wajibah - Konsep Ijtihad
Metode Penelitian:
Metode penelitian
yuridis normatif
dengan pendekatan
perundang-
undangan (statute
approach),
pendekatan konsep (conceptual
approach) dan
pendekatan kasus
(case approach)
Hasil Penelitian
Pembahasan, Simpulan dan Saran
-
42
warisan suaminya dapat diberikan wasiat wajibah sebagaimana halnya orangtua
angkat dan anak angkat, maka dalam penelitian ini digunakan jenis penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif (normative legal research)
merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum
tertentu. Penelitian hukum normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal,
yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-
undangan dan bahan pustaka.82
Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian
yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam
hukum positif.83
Menurut I Made Pasek Diantha penelitian hukum normatif
berfungsi untuk memberi argumentasi yuridis ketika terjadi kekosongan,
kekaburan dan konflik norma. Lebih jauh ini berarti penelitian hukum normatif
berperan untuk mempertahankan aspek kritis dari keilmuan hukumnya sebagai
ilmu normatif.84
1.7.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan (approach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif
akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan
ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan dan analisis serta eksplanasi
hukum tanpa mengubah karakter ilmu hukum sebagai ilmu normatif. Dalam
kaitannya dengan penelitian hukum normatif dapat digunakan beberapa
pendekatan yaitu:
82 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta,
hal. 34. 83 Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia,
Malang, hal. 295. 84 I Made Pasek Diantha, 2017, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi
Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, hal.12.
-
43
a. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach). b. Pendekatan Konsep (conceptual approach). c. Pendekatan Perbandingan (comparative approach). d. Pendekatan Historis (historical approach). e. Pendekatan Filsafat (philosophical approach). f. Pendekatan Kasus (case approach).85
Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih
yang sesuai. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat
permasalahan yang diteliti dan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai
kedudukan janda beda agama dalam pewarisan menurut hukum Islam.
1.7.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari
data sekunder/kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier, yang diuraikan sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang
berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
permasalahan yang akan dikaji,86
terdiri dari :
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
3) Kompilasi Hukum Islam.
4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
85 Johnny Ibrahim, op.cit, hal. 300-301. 86 Johny Ibrahim, op.cit, hal. 392.
-
44
5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Wanita.
6) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam.
b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari buku
teks, jurnal-jurnal ilmiah, hasil-hasil penelitian, pendapat para sarjana,
kasus-kasus hukum, jurisprudensi serta simposium yang dilakukan para
pakar terkait dengan objek kajian penelitian hukum ini.87
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum dan internet yang memuat informasi yang
relevan dengan objek kajian penelitian.88
1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik yang digunakan untuk pengumpulan bahan hukum dalam
penulisan ini yaitu melalui teknik telaah kepustakaan (study document) dengan
penggunaan teknik bola salju (snow ball) yakni diawali dengan menemukan bahan
hukum yang satu yang diikuti dengan bahan hukum yang lainnya yang
direferensikan oleh bahan hukum yang pertama, begitu seterusnya hingga
terkumpul bahan hukum sebanyak mungkin melalui referensi dari satu literatur ke
literatur lainnya. Pencatatan bahan hukum yang terkumpul dilakukan dengan
sistem kartu (card system) yakni setelah mendapat semua bahan yang diperlukan
87 Johny Ibrahim, op.cit, hal. 392. 88 Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007, The Legal Souyrces of Public Policy,
Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.
-
45
kem