bab 1 daftar isi

27
BAB 1 Daftar isi Pendahuluan BAB II Isi a.pengertian,sejarah dan prinsip demokrasi b. prinsip demokrasi pancasila indonesia c. paradigma gender dalam kesetaraan d. keterkaitan perempuan sebagai mayoritas dalam masyarakat untuk membangun demokrasi dalam masa kini e.peran perempuan dalam demokrasi di Indonesia f..prioritas pembangunan pada kaum mayoritas BAB III kesimpulan dan saran

Upload: hayathamzahd1993

Post on 12-Aug-2015

21 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1    daftar isi

BAB 1 Daftar isi PendahuluanBAB II Isi a.pengertian,sejarah dan prinsip demokrasi b. prinsip demokrasi pancasila indonesia c. paradigma gender dalam kesetaraan

d. keterkaitan perempuan sebagai mayoritas dalam masyarakat untuk membangun demokrasi dalam masa kini

e.peran perempuan dalam demokrasi di Indonesia f..prioritas pembangunan pada kaum mayoritas

BAB III kesimpulan dan saran

Page 2: Bab 1    daftar isi

Pendahuluan

Memasuki abad ke XXI, keterlibatan dan keterwakilan perempuan dalam pemerintahan adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari lagi. Akses dan partisipasi perempuan di setiap tingkatan pada lembaga pembuat atau pengambil kebijakan adalah merupakan hak asasi bagi setiap perempuan yang paling mendasar. Berdasarkan hak asasi tersebutlah, sesungguhnya sangat banyak alasan mengapa begitu pentingnya melibatkan perempuan dalam pemerintahan Baik itu perempuan sebagai pelaku yang terjun langsung dan menduduki posisi/ jabatan di partai politik, parlemen dan birokrasi atau hanya sekedar melibatkan kepentingan perempuan dalam ideologi dan program kerja pemerintah, hal ini karena perempuan pada dasarnya adalah pelaku yang lebih memahami kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri dengan lebih baik. Selama ini umumnya segala keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan isu-isu ataupun persoalan perempuan selalu menjadi agenda politik kaum laki-laki. Jadi, keterwakilan perempuan dalam dunia politik bukanlah suatu kemewahan atau gagah-gagahan saja tetapi sudah selayaknyalah menjadi sebuah kebutuhan. Karena pada saat ini banyak sekali kebutuhan perempuan yang hanya memadai jika dibicarakan dan dipahami oleh perempuan itu sendiri. Sebut saja isu tentang kesehatan reproduksi perempuan seperti program keluarga berencana (KB) atau alat kontrasepsi yang aman, pendidikan anak, pekerja perempuan, penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, pemerkosaan, trafficking, pelecehan dan lain sebagainya.Sedangkan jika kita melihat sisi lain dari peta pemerintahan yang ada di Indonesia, partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam memperluas tingkat keterwakilan perempuan di pemerintahan. Dalam hal ini partai politik dapat membantu dan mendorong perempuan mencapai kepentingan-kepentingannya demi memenuhi dan memberikan solusi terbaik bagi permasalahan dan persoalan perempuan yang selama ini terabaikan. Terlebih lagi partai politik dapat membantu perempuan yang akan dicalonkan untuk masuk dalam lembaga-lembaga politik formal. Yang nantinya perempuan tersebut juga dapat ikut terlibat dalam hal pembuat atau pengambil kebijakan terbaik bagi setiap persoalan yang menyangkut perempuan di Indonesia. , keterwakilan perempuan dalam pemerintahan memang masih jauh dari bayangan.

Page 3: Bab 1    daftar isi

Demokrasi

Pengertian demokrasi dan sejarah demokrasiPengerian demokrasi Secara etimologi Secara terminologyDemokrasi pengertian etimologis mengandung makna pengertian universal. Abraham Lincoln th 18673 memberikan pengertian demokrasi " government of the people, by the people, and for the people". Menurut etimologi/bahasa, demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu dari demos = rakyat dan cratos atau cratein=pemerintahan atau kekuasaan. Demokrasi berarti pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat. Oleh karena itu dalam sistem demokrasi rakyat mendapat kedudukan penting didasarkan adanya rakyat memegang kedaulatan.

SEJARAH DEMOKRASI• Gagasan demokrasi berawal di negara kota (city-state) di Yunani Kuno, pada abad 6-3 sebelum masehi, berupa demokrasi langsung (direct democracy), dimana keputusan politik dijalankan

Page 4: Bab 1    daftar isi

langsung oleh seluruh warga negara berdasarkan suara mayoritas. Luas wilayah city-state terbatas dan jumlah penduduk 300.000 jiwa. Ketentuan demokrasi berlaku untuk warga negaraasli, tidak berlaku untuk budak dan pendatang.

2. PRINSIP-PRINSIP DEMOKRASI• Prinsip-prinsip demokrasi menurutAsykuri Ibn Chamin (2003) :1. Kebebasan menyatakan pendapat2. Kebebasan berkelompok3. Kebebasan berpartisipasi4. Kebebasan antarwarga5. Kesetaraan Gender6. Kedaulatan Rakyat7. Rasa saling percaya8. Kerjasama

Demokrasi Indonesia

demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam Undang Undang Dasar 1945. Selain dari itu Undang-Undang Dasar kita menyebut secara eksplisit 2 prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang dicantumkan dalam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara, yaitu:

1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat).

Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machstaat).

2. Sistem Konstitusionil

Pemerintahan berdasarkan atas Sistem Konstitusi (Hukum Dasar), tidak bersifat Absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Berdasarkan 2 istilah Rechstaat dan sistem konstitusi, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 1945, ialah demokrasi konstitusionil. Di samping itu corak khas demokrasi Indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin

Page 5: Bab 1    daftar isi

oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilana, dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar.

Dengan demikian demokrasi Indonesia mengandung arti di samping nilai umum, dituntut nilai-nilai khusus seperti nilai-nilai yang memberikan pedoman tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama manusia, tanah air dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintah dan masyarakat, usaha dan krida manusia dalam mengolah lingkungan hidup. Pengertian lain dari demokrasi Indonesia adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (demokrasi pancasila). Pengertian tersebut pada dasarnya merujuk kepada ucapan Abraham Lincoln, mantan presiden Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa demokrasi suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, berarti pula demokrasi adalah suatu bentuk kekuasaan dari – oleh untuk rakyat. Menurut konsep demokrasi, kekuasaan menyiratkan arti politik dan pemerintahan, sedangkan rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara. Kenyataannya, baik dari segi konsep maupun praktik, demos menyiratkan makna diskriminatif. Demos bukan untuk rakyat keseluruhan, tetapi populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal memiliki hak preogratif forarytif dalam proses pengambilan/pembuatan keputusan menyangkut urusan publik atau menjadi wakil terpilih, wakil terpilih juga tidak mampu mewakili aspirasi yang memilihnya. (Idris Israil, 2005:51)

Secara ringkas, demokrasi Pancasila memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:

1. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang berdasarkan kekeluargaan dan gotong-royong yang ditujukan kepada kesejahteraan rakyat, yang mengandung unsur-unsur berkesadaran religius, berdasarkan kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan berkesinambungan.

2. Dalam demokrasi Pancasila, sistem pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat sendiri atau dengan persetujuan rakyat.

3. Dalam demokrasi Pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial.

4. Dalam demokrasi Pancasila, keuniversalan cita-cita demokrasi dipadukan dengan cita-cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat kekeluargaan, sehingga tidak ada dominasi mayoritas atau minoritas.

Prinsip Pokok Demokrasi Pancasila

Page 6: Bab 1    daftar isi

Prinsip merupakan kebenaran yang pokok/dasar orang berfikir, bertindak dan lain sebagainya. Dalam menjalankan prinsip-prinsip demokrasi secara umum, terdapat 2 landasan pokok yang menjadi dasar yang merupakan syarat mutlak untuk harus diketahui oleh setiap orang yang menjadi pemimpin negara/rakyat/masyarakat/organisasi/partai/keluarga, yaitu:

1. Suatu negara itu adalah milik seluruh rakyatnya, jadi bukan milik perorangan atau milik suatu keluarga/kelompok/golongan/partai, dan bukan pula milik penguasa negara.

2. Siapapun yang menjadi pemegang kekuasaan negara, prinsipnya adalah selaku pengurusa rakyat, yaitu harus bisa bersikap dan bertindak adil terhadap seluruh rakyatnya, dan sekaligus selaku pelayana rakyat, yaitu tidak boleh/bisa bertindak zalim terhadap tuannyaa, yakni rakyat.

Paradigma gender dalam kesetaraan

FeminismeIstilah untuk doktrin persamaan hak bagi perempuan dan ideologi transformasi sosial

yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan malalui persamaan sosial yang sederhana. Secara umum, feminisme adalah ideologi pembebasan perempuan karena dalam pendekatannya ia memiliki keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Lantas berbagai aliran dalam feminisme menawarkan berbagai analisa mengenai penyebab, pelaku dan penindasan perempuan. Feminis Marxis percaya bahwa pembagian kerja secara seksual sebagai penyebab penindasan dan kemudian menawarkan perubahan ekonomi sebagai jalan keluarnya. Feminisme juga menggabungkan berbagai metode analisa dan teori dari sudut pandang perempuan. Penyadaran merupakan inti dari metode feminisme, dan ia menyoroti berbagai pengetahuan yang sudah ada dengan cara pandang yang baru, sehingga ia memerlukan pandangan yang berbeda mengenai relasi antara metode dan teori. Yang menarik adalah definisi feminisme oleh para feminis cenderung dibentuk oleh latihan, ideologi atau ras mereka. sehingga lahirlah feminis Marxis, feminis kulit hitam atau feminis kultural, misalnya, dengan teori-teori mereka.

Pandangan miring terhadap perempuan sudah cukup lama terjadi. Dalam buku The Status of Women in Mahabarata, Prof. Indra menulis: Tidak ada makhluk yang lebih berdosa daripada perempuan. Perempuan itu menyalakan api. Dia adalah sisi pisau yang tajam. Efek dari pandangan diskriminatif mengakibatkan kekhawatiran terhadap perempuan. Tidak sedikit orang yang meyakini bahwa perempuan adalah sumber malapetaka, kerusakan suatu bangsa, dan pangkal kemerosotan moral. Mengikuti logika di atas, maka perempuan dilarang menjadi pemimpin.

Alih-alih menjadi pemimpin, kehadirannya pun membawa malapetaka. Bentuk klasik yang terus

Page 7: Bab 1    daftar isi

muncul saat ini adalah pandangan para kiai/tokoh masyarakat yang menganggap bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, perempuan ngurusi rumah tangga saja justru menghambat bagi para santriwati untuk maju. Kiai sebagai tokoh berpengaruh memiliki massa yang tidak sedikit. pemikiran itu terus tersebar dan berlangsung terus menerus, turun temurun dan menjadi fatwa yang ampuh untuk membatasi peran perempuan di lembaga-lembaga sekolah di pesantren. Contoh, Guru perempuan tidak bisa menjadi kepala sekolah, karena perempuan.

Asumsi semacam ini tentu saja bertentangan dengan sejumlah teks agama yang secara telanjang memberikan posisi dan derajat yang sejajar dengan laki-laki.

Lingkungan masyarakat desa, perempuan dianggap setengah manusia daripada laki-laki, itu pula perempuan dilarang menjadi pemimpin. Karena perempuan sibuk dalam urusan rumah tangga, sehingga peran publik dibatasi. Untuk mendobrak pandangan masyarakat desa yang seperti itu tidaklah mudah. Walau perempuan telah belajar disiplin ilmu, masih saja belum dipercaya menjadi leader (pemimpin).

Pengesahan terhadap Undang-Undang Pornografi tidak lepas dari pandangan di atas. Sebab, sorotan undang-undang tersebut lebih banyak kepada kaum perempuan yang membuka auratnya di depan publik. Dengan kata lain, perempuan diposisikan sebagai objek dari Undang-Undang, karena ia telah didudukan sebagai subjek yang mengumbar pornografi.

Peran seorang ibu rumah tangga dan karier di luar rumah menyita banyak waktu. Perempuan mesti berkorban banyak hal agar sukses keduanya. Jika tidak, akan terjebak pada istilah (double burden) peran ganda, sebagai ibu rumah tangga dengan tugas-tugas domestik dan juga sebagai pencari nafkah keluarga.

Bagaimana menyerasikan keduanya antara peran domestik dan karier? itu pulalah yang menuntut perempuan untuk cerdas dan belajar mengambil tanggung jawab peran mana yang kan dilakukan. Bentuk lain yang muncul adalah perempuan sebagai pencari nafkah tanpa dibekali disiplin ilmu yang memadai. Akhirnya perempuan bekerja pada sektor buruh dan tenaga kasar.

Bagaimana sejarah Islam mencatat tentang perempuan?Dalam sejarah awal-awal Islam (masa nabi), perempuan dan laki-laki berjalan setara. Perempuan biasa keluar masuk rumah, mesjid untuk mendapatkan pendidikan dari Nabi sebagaimana halnya laki-laki. Hasilnya bermunculannya ulama-ulama perempuan, seperti Siti Aisyah, yang tidak kalah hebatnya dengan ulama laki-laki, seperti Sahabat Abu Bakar.

Namun, kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan ini menjadi surut pasca wafatnya Nabi. Ditambah lagi dengan peristiwa keterlibatan Siti Aisyah dalam Perang Unta melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa yang kontroversial di kalangan pemikir Islam klasik, dikatakan sebagai biang kerok terjadinya perpecahan dalam Islam. Stigma ini semakin kuat di kalangan

Page 8: Bab 1    daftar isi

ulama, sehingga tragedi itu dijadikan justifikasi perempuan Islam untuk tidak berkiprah dalam dunia politik.

Kulminasi dari pembatasan ruang publik bagi perempuan terjadi pada masa Kekhalifahan Daulah Islamiyah dan Abbasiyah. Pada masa kepemimpinan Khalifah al-Walid (743-744 M), pada awalnya perempuan ditempatkan di harem-harem dan tidak punya andil dalam keterlibatan publik. Sistem harem ini semakin kukuh tak tertandingi pada akhir kekhalifahan Abbasiyah, yaitu pertengahan abad ke-13 M. Pada periode seperti inilah, lahir tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ar-Razi, Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya, sehingga tidak bisa dipungkiri akan adanya hadist dan tafsir misoginis yang melecehkan perempuan.

Sesungguhnya, Islam sama sekali tidak membedakan jenis kelamin manusia. Yang membedakan antara laki-laki dan perempuan disamping jenis kelaminnya (sex) adalah derajat ketaqwaannya di hadapan Allah. Baik laki-laki ataupun perempuan, sama-sama memiliki potensi yang sama dan sejajar. Disinilah letak Maha Adilnya Allah SWT. Allah tidak membedakan antara satu makhluk dengan makhluk yang lain.

Sebagai bentuk apresiasi terhadap perempuan, Allah juga memberikan ketentuan dan kategori-kategori perempuan ideal. al-Qur'an memberikan penjelasan yang cukup cemerlang. Allah berfirman (QS.. 30:41) Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Membaca ayat di atas sungguh sangat tegas betapa kerusakan dan malapetaka bukan saja disebabkan oleh satu jenis kelamin manusia (baca: perempuan), melainkan manusia secara umum tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin.

., Gerakan perempuan setara dengan laki-laki dalam hal karier menjadi keharusan untuk dilakukan. Citra ideal perempuan menurut al-Qur'an adalah perempuan yang memiliki kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasah/QS. al-Mumtahanah/ 60: 12) sebagaimana Ratu Balqis, memiliki kemandirian ekonomi (al-istiqlal al-iqtishadi/ QS. al-Nahl/16: 97), perempuan pengelola peternakan (QS. al-Qashash/28: 23), memiliki kemandirian dalam menentukan pilihan-pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshy) yang diyakini kebenarannya, perempuan yang berani menyuarakan kebenaran dan melakukan oposisi terhadap segala kejahatan (QS al-Tawbah/9: 71), dan bahkan Allah menyerukan perang kepada suatu negeri yang menindas kaum perempuan (Nasaruddin Umar, 1999).

Paradigama dalam perilaku sosial seksis dinamakan jender. Kajian akademis tentang jender dan sex dalam arti seksis (jenis kelamin) yang menggunakan kerangka analisis wacana dimulai pada awal tahun 1970. Para peneliti mengetengahkan dua ranah berkaitan dengan sikap bahasa, umpamanya ranah yang terkait dengankebiasaan pada perangkat fonologi antara perempuan dan laki-laki. Kajian mengenai bahasa jender secara khusus mengasumsikan dua hal pokok, yaitu

Page 9: Bab 1    daftar isi

asumsi tentangadanya bahasa seksis dan adanya metodologi pengkajian jender. Bahasa perempuan misalnya lebih mencerminkan konservatisme, prestise, mobilitas, keterkaitan, sensitivitas, solidaritas dan sejenisnya, sedangkan bahasa laki-laki sebagai bandingannya lebih terikat pada hal ketangguhan, persaingan, kemampuan, hirarki dan sejenisnya.

Kajian mengenai jender berangkat dari kritik terhadap idiologi yang berlaku adanya perbedaan ragawi (biologis) antara perempuan dan laki-laki yang dipandang merupakanpersyaratan budayawi terhadap kualitas jender. Ideologi yang berlaku dalam masyarakat Barat ialah peran sosial kaum laki-laki dapat mewakili semua urusan yang berhubungan dengan hampir semua tugas manusia kecuali hamil dan melahirkan keturunan. Kedudukan ini dipertentangkan secara binari. Menurut kaum feminis perbedaan ragawi hanya sebatas tanda pengenal perempuan dan laki-laki, tidak sampai menyebabkan peran sosial menjadi berbeda. Sikap berat sebelah ini dianggap sebagai sikap yang merendahkan kaum wanita. Seterusnya dengan adanya sikap ini membentuk atau mencipta ideology “kaum laki-laki” di satu pihak dan pihak yang lainnya adalah “kaum perempuan”. Munculnya perjuangan persamaan hak dan kedudukan sosial perempuan dan laki-laki merupakan bukti adanya kritik terhadap pembedaan ragawi yang berlaku secara sosial dan budayawi. Dari perspektif bahasa ada nilai sosial yang ditandai dengan ungkapan “istri (perempuan) mempunyai kewajiban mematuhi suami (laki-laki)”. Ini ungkapan bahasawi yang sering diperdengarkan di berbagai ceramah, jarang terdengar penceramah berucap misalnya “suami (laki-laki) mempunyai kewajiban mematuhi istri (perempuan) juga”. Ini seolah menyiratkan bahwa realita bahasawi berbunyi “kepatuhan” maupun realita sosial berupa ‘kepatuhan’ hanya melekat pada perempuan, tidak pada laki-laki. Ungkapan klausa seperti tersebut memang harus dilihat lebih jauh tautannya dalam teks yang juga ada konteksnya, tidak sesederhana itu, tetapi kebiasaan berbahasa demikian berpotensi melahirkan kepincangan jender dalam nilai dan tatanan sosial kita. ‘Kepatuhan’ yang ‘diwajibkan’ pada perempuan seperti tergambar di atas harus diakui masih diamalkan di Indonesia terutama di daerah pedesaan. Perlu adadekonstruksi/rekonstruksi sosial-budaya perihal sikap dominan laki-laki terhadap perempuan dalam praktik kehidupan bermasyarakat dan berbangsa kita, sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Sebagai contoh di daerah pedesaan khususnya perempuan hampir selalu tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengatakan “ya” pada laki-laki bila ‘diperintah’, padahal mestinya mereka punya pilihan lain dan hak bicara juga. Dalam adat Melayu nama suami tidak boleh disebut di depan umum, harus diganti misalnya dengan kata “pacalan”, ayah si anu (menyebut nama anak tertua), sedangkan suami boleh menyebut nama istri di depan umum. Gambaran-gambaran realita sosialbudaya kehidupan yang menyepelekan perempuan nusantara misalnya di jalan raya ada seorang pengendara mobil menyalib mobil di depannya maka laki-laki selalu berkomentar “oh itu yang bawa mobil mesti perempuan”. Dan gambaran ini cerminan dari nilai dan hubungan sosial suami-istri yang-secara gramatik-sangat bernuansa modulation (wajib/harus begini, begitu) pada sikap suami (laki-laki), jauh dari nuansa modalisation (boleh/bisa begini atau begitu). Idiologi menstereotaipkan kaum perempuan sebagai golongan yang lemah kelihatannya tidak berlaku secara maksimal bagi orang Batak Toba karena terbukti

Page 10: Bab 1    daftar isi

para perempuan bukan saja berfungsi sebagai ibu rumah tangga tetapi bekerja di lading sementara kaum laki-laki duduk di kedai kopi bermain catur. Dalam konteks di Eropa/Australia cukup banyak perempuanberprofesi sebagai supir bis, pekerjaan yangbiasanya dilakukan laki-laki malah dikerjakan perempuan juga di masyarakat budayatersebut. Ini membuktikan bahwasanya faktor jenis kelamin adalah faktor kromosom dan hormonal. Kress dan Hodge (1979) mengatakan bahwa kajian ideologi membicarakan hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan karena adanya pengaruh tuntutan sosial politik. Pengaruh kekuasaan terhadap sejarah, politik, system masyarakat, nilai, sastra dan budaya membentuk pandangan masyarakat sehingga meyakini suatu konsep sebagai kebenaran yang wajar ini dinamakan ideologi. Contohnya, pandangan yang sudah menjadi “ilmu” atau “teori” yang dipercayai dunia Barat adalah “orang-orang Timur Tengah adalah teroris”, atau “orang Melayu malas”. Konsep ini dilahirkan oleh penguasa yang dominan yang dapat membentuk pandangan masyarakat terhadap sesuatu objek sehingga masyarakat tersebut secara wajar mempercayai pandangan atau “ilmu” tadi. Kewajaran ini selanjutnya merepresentasikan gambaran tersebut menjadi yang absah dan diyakini.

Orientasi gender dalam demokrasi

Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk didiskusikan, selain karena terus mengalami perkembangan, juga banyak permasalahan perempuan tidak pernah habis oleh suatu masa atau zaman kehadirannya di permukaan bumi, hal ini sangat tampak ketika dibicarakan tentang rendahnya sumberdaya perempuan, masalah kekerasan pada perempuan yang marak terjadi baik di rana publik atau sektor-sektor lainnya Semuanya menuntut adanya perhatian dan perjuangan serius oleh semua stakeholder yang ada, terlebih dari kelompok perempuan sendiri. Seiring dengan perjalanan pembangunan yang sarat dengan perubahanperubahan mendasar, baik pada tingkat paradigmatik maupun implementatif, dengan sebuah gerakan reformasi yang mengarah pada sistem demokrasi berkelanjutan guna terciptanya mekanisme desentralistik dengan mempertimbangkan potensi-potensi daerah dalam managerial sistem pemerintah daerah (Otonomi), merupakan peluang dan harapan besar bagi pengembangan potensi-potensi dasar perempuan dalam berbagai organisasi social kemasyarakatan yang mempunyai kekuatan basis massa pada tingkat bawah. Disamping merupakan tantangan bagi pengelolaan organisasi terhadap minimnya sumber daya manusia yang selama ini pada tingkat Nasional cukup memprihatinkan, dan ini menggambarkan bahwa kwalitas sumber daya manusia\Indonesia “perempuan” perlu ditingkatkan, perjuangan perempuan tidak pernah usai, meskipun kesempatan dan peluang selalu ada, hal ini disebabkan oleh kuatnya bangunan sosial masyarakat terhadap perempuan serta pemberian segala bentuk kesan yang mendistorsi terhadap kemajuan dan pemberdayaan perempuan,

Page 11: Bab 1    daftar isi

disamping minimnya sumber daya perempuan yang menyebabkan kondisinya semakin marginal oleh sistem dan budaya patriakhi yang mengarah pada mekanisme sistem kehidupan sosial bermasyarakat, dan anehnya kondisi ini terkadang didukung dan diciptakan oleh diri “perempuan” sendiri. Sebuah proses panjang yang pada akhirnya dapat memiliki dan meraih kesempatan bagi para perempuan Indonesia untuk tetap maju dan terus meningkatkan pengetahuan dan pendidikan melalui jalur lembaga pendidikan formal ataupun organisasiorganisasi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat, karena tidak sedikit yang dapat diperoleh dalam berpartisipasi aktif dalam berorganisasi, selain pengalaman langsung serta nilai-nilai kehidupan sosial masyarakat yang banyak berkembang dalam berorganisasi.Lembaga atau organisasi apapun yang dipilih para perempuan dalam mengaplikasikan potensi–potensi dirinya, mempunyai makna sesuai dalam peningkatan sumber daya manusia serta partisipasi dalam menciptakan iklim kehidupan yang lebih kondusif. Sehingga organisasi perempuan apapun bentuknya bukan sekedar wadah yang akan mengumpulkan atau memberdayakan potensi-potensi perempuan yang semakin ketinggalan, karena banyak hal yang dapat dilakukan oleh para aktivis perempuan secara kolektif apabila ingin maju dan ikut serta menyelesaikan ketimpangan-ketimpangan sosial yang bermuara pada ketidak adilan dan kesetaraan gender dalam kehidupan.

Terlebih ketika situasi politik Indonesia memberikan angin segar dalam perspektif perempuan dalam menentukan kebijakan, meskipun hal ini belum optimal akan tetapi Undang-Undang Partai Politik No.31 Tahun 2002 bahkan telah mensyaratkan 30 % keterwakilan bagi perempuan, yang secara tidaklangsung akan menjadi beban moral dan psycologis bagi setiap organisasi peserta pemilu, apabila mengabaikan potensi-potensi perempuan dalam peran aktifnya. Merupakan fenomena baru dan menyegarkan dalam perkembangan system demokrasi di Indonesia, meskipun dalam tataran yang relatif kecil dan sederhana, tetapi masih banyak harapan dan peluang yang bisa dilalui oleh para aktivis perempuan partai dalam partisipasinya untuk mensosialisasikan dan mengimplementasikan undang-undang tersebut sekaligus sebagai penghargaan terhadap pengorbanan dan perjuangan perempuan yang selama terpinggirkan oleh sistem. Karena pada kesempatan kali ini publik akan memberikan penilaian langsung terhadap partai-partai politik peserta pemilu yang mempunyai kepedulian terhadap perjuangan serta potensi-potensi perempuan, bahkan ada semacam kecaman dari berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi-organisasi kemasyarakatan perempuan lainnya, untuk tidak memilih gambar partai yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan atau dengan tidak merealisasikan undang-undang tentang keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan menjadi penting karena jumlah perempuan dalam panggung politik masih sangat rendah, berada dibawa standar, sehingga posisi dan peran perempuan dalam lembaga–lembaga legislatif, terlebih jabatan eksekutif sebagai pengambil dan penentu kebijakan masih minim, mengakibatkankeberadaan perempuan masih belum diperhitungkan, meskipun menurut data BPS tahun 2000 jumlah perempuan lebih besar dari jumlah laki–laki berkisar

Page 12: Bab 1    daftar isi

52% : 48%. Kurang adanya pengakuan terhadap pentingnya peran perempuan dalam proses politik ini terbukti dengan kurang terakomodirnya permasalahan perempuan dalam perencanaan pembangunan ( Pengaruh sosialisasi, 1999, 7 ), meskipun sejak lama sudah dikampanyekan dalam isu gender mainstriming tentang perempuan sebagai bagian dan sasaran dalam pembangunan pada tahun 1974 dengan menggunakan pemdekatan “Women In Development Approach (WID)”, karena konsep gender dalam pembangunan masih belum diterjemahkan dengan baik oleh semua elemen pembangunan baik secara teoritis maupun aplikatif. Sehingga hasil–hasil pembangunan masih berpihak pada kelompok– kelompok tertentu.dan menjadi bias gender. Upaya–upaya untuk mencapai penyetaraan dan keadilan gender terus dilakukan oleh aktivis perempuan, pada tahun 1980 an, melalui pendekatan “Gender And Development Aproach (GAD)”. Dalam pendekatan ini tidak lagi melihat perempuan dan laki–laki dari perbedaan biologis ( Mansur, 1999, 7 ), akan tetapi memandang laki–laki dan perempuan secara sosial dan structural dapat berpartisipasi dalam proses kehidupan, terutama partisipasi dalamkehidupan di rana politik dan publik. Partisipasi antara laki–laki dan perempuan dalam kehidupan berpolitik merupakan salah satu prinsip perjuangan para aktivis perempuan, sampai di amanatkan dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Ellimination of All Form of Discrimination Againt Women) atau CEDAW yang kemudian diadopsi oleh sidang umum PBB tahun1979 an ditetapkan pada tahun 1981 dan pemerintah Indonesia sendiri juga telah meratifikasi melalui Undang–Undang Republik Indonesia no 7 tahun 1984 pada tanggal 24 juli 1984 melalui lembar negara no 29 tahun 1984. Meskipun sampain saat ini perjuangan menuju kesetaraan dan keadilan masih belum optimal, karena diskriminasi sacara struktural dan kelembagaan (Mansur F, 1999, 6) masih kuat dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu peneliti mencoba mengadakan panelitian kepada beberapa aktivis perempuan, apakah organisasi politik sebagai suatu lembaga masih mempunyai komitmen terhadap perjuangan para aktivis perempuan?

Perbedaan peran jenis kelamin tidak dapat diganggu gugat akan tetapi perbedaan peran gender masih bisa dirubah karena bergantung pada faktor social dan sejarah (Mansur F, 1999, 9). Meskipun peran-peran jenis kelamin atau gender biologis yang dijalani oleh para perempuan dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat sering kali tidak terekspos atau diakui secara formal, hal ini disebabkan kuatnya kontruksi sosial serta pengaruh hegemoni budaya patriakhi yang mengindikasikan pada mayoritas model pekerjaan laki-laki lebih terakui. Pendiskriminasian semacam ini semakin melemahkan sumber daya perempuan terlebih ketika para perempuan tidak mempunyai keinginan untuk merubah dan melakukan pembenahan – pembenahan sejak dini. Karena ideologi patriakhi, akhirnya melahirkan nilai-nilai yang membedakan sifat-sifat maskulin dan feminin pada laki dan perempuan, perempuan lebih pada peran-peran lembut, halus dan tidak banyak tantangan, bersifat emosional tidak rasional karena perempuan dikaruniai sembilan puluh sembilan nafsu dan satu akal dan sebaliknya laki-laki dikaruniai sembilan puluh

Page 13: Bab 1    daftar isi

sembilan akal dan satu nafsu. Sehingga laki-laki lebih pada peran yang keras, penuh tantangan dan lebih bersifat rasional. Fenomena diatas membawa tugas yang berat bagi para aktivis perempuandalam melakukan pemberdayaan terhadap komunitasnya, karena sedikit demi sedikit harus mampu merobohkan kontruksi sosial berupa mitos, stereotype, citra, prasangka dan pelebelan-pelebelan yang negatif, merugikan serta melemahkan terhadap keberadaan perempuan ( Gender sensitivity, 2003, 8 ). Sebuah perjuangan dan pengorbanan yang secara komprehensif harus dilakukan dengan terus menerus dan berkelanjutan oleh para perempuan dan elemen masyarakat lainnya.

Dampak dari rendahnya representasi perempuan dalam struktural dan arena pembuat serta pengambil kebijakan ini adalah langkanya kebijakan-kebijakan pemerintah dalam segala level yang berpihak pada perempuan sehingga kepentingan-kepentingan perempuan tidak dapat diartikulasikan. Kebijakan-kebijakan yang ada selain diskriminatif terhadap perempuan juga tidak merepresentasikan kepentingan perempuan sebagai warga negara. Kebijakan negara yang bersifat bias jender selalu menyebabkan kepentingan perempuan terabaikan.

Menurut sensus Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan Indonesia adalah 101.525.816 atau 51% dari jumlah seluruh penduduk. Ini lebih banyak dari total jumlah penduduk di tiga negara; Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun jumlah besar tersebut tidak tercermin dalam jumlah dan persentase keterwakilan perempuan di lembaga pengambilan keputusan politik di Indonesia (parlemen).8 Dalam kerangka perpolitikan demokrasi saat ini maka peningkatan jumlah representasi perempuan dalam lembaga perwakilan hanya dapat dilakukan melalui dua jalur, yakni partai politik ataupun utusan golongan. Dari dua kemungkinan jalur tersebut maka partai politik merupakan jalur paling efektif yang dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan secara signifikan karena partai politik merupakan satu-satunya organisasi politik yang secara sah dapat ikut dalam pemilihan umum, selain itu adalah jalur non partai politik atau independen yang dapat mengikuti pemilihan umum.Faktor masuknya perempuan menjadi calon anggota legislatif banyak ditentukan oleh basis dari mana mereka berasal, bagaimana mereka dididik dalam partai dan bagaimana prosedur pemilihan calon melalui partai politik. Sistem kepartaian yang terlembaga, struktur organisasi yang mempunyai peraturan yang jelas, transparan dan stabil, ideologi partai yang lebih progresif serta peran aktivis perempuan dalam partai, menurut penelitian berkorelasi dengan peningkatan keterwakilan perempuan.

PERAN PEREMPUAN DALAM DEMOKRASI DI INDONESIA

Sejarah perempuan dalam demokrasi indonesia

Berbicara mengenai sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran politik perempuan. Diakui atau tidak, perempuan turut memberi warna dalam upaya mencapai (dan pasca) kemerdekaan.

Page 14: Bab 1    daftar isi

Sayangnya, meski andil perempuan cukup besar, tapi hingga kini masih banyak masyarakat yang belum tahu kebenaran akan hal itu. Nah, dalam konteks inliah, menjadi menarik membincangkan buku bertajuk Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45.Membuka lembar demi lembar buku itu saya menemukan kebenaran baru. Kebenaran atas sebuah peristiwa sejarah yang selama ini terdistorsi. Yakni peranan perempuan yang punya andil besar dalam usaha mewujudkan kemerdekaan, tapi apa mau dikata jasa perempuan itu tak banyak disebutkan dalam (literatur) sejarah nasional.

Seperti dijelaskan dalam buku itu, tanpa partisipasi aktif perempuan tidak akan mungkin terwujud kemerdekaan. Perempuan dalam praktiknya, mampu menciptakan dinamika politik yang berbuah manis. Kaum hawa yang tergabung dalam wadah, Pemuda Putri Indonesia (PPI), mampu membantu penduduk untuk mengungsi dan menyediakan makanan bagi pribumi.

Kesadaran kaum perempuan akan kemerdekaan bangsa Indonesia di zaman itu, bukanlah hal yang perlu diragukan lagi. Mereka berbondong-bondong terlibat aktif dalam perjuangan melawan penjajah baik perseorangan maupun perjuangan kelompok. Bersama rekan-rekannya,  RA Kartini menanamkan kesadaran pendidikan pada penduduk jelata sebagai alat perjuangan untuk membuka kesadaran nasionalisme rakyat.

Selain itu peran strategis perempuan juga terlihat dalam komunitas yang terlahir pada masa itu. Demi menyokong perjuangan rekannya, mereka mendirikan dapur umum untuk memberikan makan bagi pejuang di front dan pengungsi. Organisasi ini disebut PRRI (Pemuda Putri Republik Indonesia). Selain misi di atas, organ ini juga menghidupkan pos-pos P3K. Tugasnya, menolong pengungsi, dan membentuk laskar-laskar putri di daerah-daerah. Di organ lain, kaum perempuan yang tergabung di BKR (Badan Keamanan Rakyat) atau pun di PRI (Pemuda Republik Indonesia) mengemban tugas untuk mengorganisir sumbangan yang dapat diambil dari rumah-rumah penduduk, mengirim bahan makanan mentah dan matang yang kemudian didistibusikan ke hampir seluruh kota dan membagi makanan pemberian untuk pejuang di front.

Peran perempuan selain di dapur umum, yang sangat mencolok adalah pelayanan kesehatan baik tergabung di PMI (Palang Merah Indonesia) atau pun laskar-laskar putri lainnya. Peran perempuan di garis ini cukup membahayakan meski sepatutnya, sebagai petugas kesehatan mendapatkan perlindungan dari tembakan, tetapi justru sebaliknya. PMI (Palang Merah Indonesia/ petugas kesehatan) sering mendapatkan berondongan peluru baik ketika berada dalam mobil ambulans atau pun di lapangan.

Perjuangan perempuan terus berlanjut dari tahun ke tahun. Kaum perempuan juga ikut berperan sebagai prajurit, hal ini bisa dibaca dari kisah perjalanan Maryati Djaffar. Pada tahun 1944 ia bertugas di Badan Pembantu Perjuangan (BPP) kemudian dipindahkan ke BPKKP (Badan Pembantu Keluarga Korban Perjuangan) dan pada 1945 menjadi anggota penerangan Batalyon

Page 15: Bab 1    daftar isi

Damarwulan di Blambangan. Tugas yang ia emban sangatlah berat yakni menyelamatkan dokumen penting dan stempel perjuangan dan sekian tugas lain.

Di tempat lain, tercatat, sekitar 200 putri Solo pada Oktober 1945 berikrar menjadi prajurit yang tergabung dalam Laskar Puteri Indonesia (LPI) Surakarta. LPI berada di sekian kota di Indonesia. Di organisasi ini, mereka berlatih kemiliteran sebagaimana dialami oleh Dartiyah Soeripto.

Sebagaimana LPI yang tersebar di beberapa kota, LASWI (Laskar Wanita Indonesia) juga berada di beberapa tempat. Seorang anggota LASWI memang harus tanggap dan serba bisa melakukan berbagai hal, seperti menyamar untuk mengantarkan makanan ke Gunung Slamet dan tempat lain, membimbing anak-anak, mengadakan pemeriksaan terhadap para penumpang wanita yang akan bepergian di Stasiun Kereta Api Purwokerto, membantu tugas PMI (Palang Merah Indonesia) dan sekian pekerjaan yang lainnya.

Sementara itu, Pemuda Putri Priangan (PPI Priangan) terdapat Djoeningsih Abdul Muis sebagai wakil ketua yang juga punya pengaruh besar membangkitkan kesadaran cinta tanah air. Organisasi ini bertugas di front terdepan, yaitu daerah Bandung Selatan, di Ciparay, Majalaya, dan Banjaran. Mereka bertugas sebagai PMI dan dapur umum. PPI juga menerjunkan kadernya di badan-badan legislatif (DPRD Priangan, Kowani, Dewan Pimpinan Pemuda Priangan, BPKKP, dan MPPP).

Peran Pemuda Putri Indonesia juga tidak bisa dihiraukan dalam hal mengurusi kebutuhan pengungsi dan memberikan informasi selama perjalanan panjang rakyat Bandung ke arah selatan (11 Km dari pusat kota) ketika Bandung dikenang dengan Bandung Lautan Api. Dari sini, selayaknyalah penghargaan terhadap kaum perempuan perlu ditinggikan. Bukan justru mengebiri kebebasannya, misalnya, lewat Perda Keluar Malam yang membatasi hak-haknya untuk bekerja dan berkarya. Tapi jangan juga, penghargaan terhadap perempuan dengan mewajibkan perempuan berjilbab seperti di Padang dan kota lainnya.

Semua hal di atas hanya artifisial belaka, simbolis dan menelikung perjuangan atas kemerdekaan. Semua pembatasan di atas sama saja dengan politik penjajah yang membatasi kemerdekaan kaum perempuan. Jika hal itu terjadi, maka dialah penjajah kemerdekaan perempuan di masa kini. Pejuang ’45 menyebutnya dengan semut ireng (Belanda hitam).

Keterkaitan perempuan sebagai mayoritas dalam masyarakat untuk membangun demokrasi dimasa kini

Model demokrasi yang setara, egaliter menuju kemakmuran bersama adalah bangunan politik yang ingin kita tuju, karena itu seyogyanya citra kodrati melahirkan, menyusui dan melayani suami yang di konstruksi pada perempuan tidak terus menerus dijadikan legitimasi pembenaran dalam meminggirkan peran mayoritas dalam ranah demokrasi. Sangat disayangkan bila partai

Page 16: Bab 1    daftar isi

sebagai salah satu instrumen civil society yang dipercaya tidak beranjak dari cara berpikir baru dalam memajukan perempuan melalui pembukaan ruang politik yang anti diskriminatif terhadap ras, agama, jenis kelamin dalam memerankan fungsi edukasi dan pemberdayaan dalam masyarakat kita. Karena reformasi yang melahirkan demokrasi tak akan matang bila kekuatan civil-society terjebak dalam kepentingan kekuasaan semata. Anjloknya kepercayaan publik pasca pemilu 2004 pada partai seyogyanya menjadi cambuk dalam mematangkan arah, tujuan dan orientasi yang lahir dari rahim reformasi politik yang pro pada pemberdayaan rakyat miskin atau partai pro-poor. Namun apa yang dilakukan partai jauh api dari panggangnya, partai hanya peduli tatkala momen yang menguntungkan partai saja, sesudah itu rakyat hanyalah komoditi diskusi di ruang rapat dan demonstrasi saja. Atau fulgarnya meminjam anekdot, habis pemilu dan pilkada rakyat langsung ditendang! Dalam konteks itu, mereka yang paling di rugikan dan merasakan beratnya beban hidup adalah rakyat. Mereka ini kebanyakan adalah kaum perempuan yang paling rentan tatkala negara diguncang ekses krisis ekonomi, politik, budaya dan krisis lainnya. Seorang ibu misalnya terpaksa bekerja ekstra setelah suaminya di PHK oleh perusahaan tempat kerjanya. Fenomena para ibu yang mengambil peran suami dengan bekerja sebagai \penjual tukang bakul jamu, tukang cuci, maupun (maaf) menjual diri dilakukannya demi urusan perut rumah tangga yang tidak bisa ditunda kebutuhannya. Karena masalah perut inilah tak jarang orang berbuat nekat melakukan kekerasan dan eksploitasi secara tidak bermoral pada kaum lemah, seperti trafficking yang tinggi pada anak perempuan dibawah umur, penganiayaan yang kerap di derita kaum perempuan berupa pemukulan, pemerkosaan secara physic yang merusak (maaf) genital serta pemerkosaan secara

psikologi berupa rasa malu korban (perempuan) pasca pemerkosaan yang rata-rata pelakunya laki-laki atau suami. Tidak sampai disitu saja, derita lain dari implikasi krisis ekonomi yaitu penyakit busung lapar dari anak-anak akibat gizi buruk. Memang, gizi buruk tidak otomatis karena kemiskinan, namun minimnya kesadaran masyarakat daerah tentang hidup sehat saat hamil juga sangat mungkin menimbulkan penyakit gizi buruk terhadap bayi pada saat di dalam kandungan, hingga pemeriksaan rutin kesehatan juga memegang peran penting terjadinya penyakit gizi busung lapar itu terjadi. Tapi secara umum busung lapar sangat terkait dengan kemiskinan keluarga, meskipun ada temuan menarik di daerah Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat (NTT dan NTB) terlihat ada ibu dengan memakai gelang emas ditangan dan dileher – yang sedang antri meminta pertolongan kesehatan anaknya, yang tengah menggendong anaknya dalam kondisi lunglai lemah karena busung lapar pada saat itu - hal itu membangun kesan bahwa kemiskinan bukan satu-satunya faktor terjadinya gizi buruk anak itu terjadi. Terlepas dari itu, krisis yang dialami negara apapun bentuknya implikasi empuknya selalu rakyat kecil yang menanggung deritanya. Sudah pasti perempuan, ibu, dan anak-anak kita yang menjadi sangsak kesengsaraan tersebut. Mereka sangat lemah dan sangat rentan dalam prilaku bunuh diri, kekerasan rumah tangga, serta prilaku lain. Sebagai contoh krisis budaya dan moral, berupa tergusurnya norma-norma turun-temurun di dalam masyarakat kita. Tercerbutnya budaya santun yang tergantikan dengan hedonisme keterbukaan yang liberal membawa masyarakat kita mulai menganggap berbohong, bermewah-mewah dalam kesengsaraan masyarakat kecil menjadi hal yang lumrah dan biasa sekarang ini. Amati media tayangan pendidik kita, yang kini – sengaja

Page 17: Bab 1    daftar isi

atau tidak - banyak mengajarkan generasi kita dengan tontonan kemewahan melalui sinetron yang ‘miskin’ rasa dengan realitas masyarakat kita yang banyak sekali terhimpit kemiskinan.

Padahal idealnya akar solidaritas yang dimiliki dalam menangani derita kaum lemah ini bisa segera tumbuh, saat kita butuh penyelesaian untuk mengatasi berbagai dampak negatif krisis yang menerpa bangsa ini.` Mengapa kita tak juga bisa keluar dari persoalan, meskipun perdebatan tentang formulasi sudah kita pakai dan kita coba berkali-kali \dengan cara pergantian pemimpin di negara ini misalnya, namun hasilnya belum maksimal hingga sekarang ini. Tak ada jawaban memuaskan, karena ketidaksabaran hampir menjadi obsesi semua elit dalam mencari-cari titik lemah ketimbang, bersabar sekaligus memberi masukan sebagimana dalam teori gotong-royong yang mendorong keutamaan kerjasama dalam mengkonstruksi perbaikan.

PRIORITAS PEMBANGUNAN PADA KAUM MAYORITAS

Implikasi krisis (ekonomi, politik, budaya dan lainnya) korbannya adalah kaum lemah (perempuan dan ibu-ibu). Karena itu proyeksi pembangunan dalam memperhatikan kaum lemah (mayoritas perempuan) agar terbebas dari diskriminasi, kekerasan serta eksploitasi harus berjalan secara simultan-terintegrasi bila system ekonomi dan politik yang baik juga menjadi prioritas dalam penyelesaian krisis yang di lakukan oleh pemerintah.

Pasalnya, dalam ratifikasi CEDAW (Convention on Elimination of all forms of Discriminations Against Women), sebuah organisasi internasional dengan misi menghapuskekerasan, memperjuangkan kesetaraan gender serta mengangkat harkat dan martabat secara sama antara laki-laki dan perempuan di dunia. Karena itu Indonesia sebagai salah satu negara anggota CEDAW perlu pula memproyeksikan perempuan menjadi elemen strategis dalam mendorong pembangunan bisa berjalan secara merata di Indonesia.

(Jurnal Perempuan Indonesia, Vol 2005.)

Upaya perempuan Indonesia sejak puluhan tahun sejak ikut serta menandatangani gerakan internasional agar kekerasan, diskriminasi, trafficking, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan persoalan kaum perempuan lain tak lagi ada dengan lahirnya organisasi ini. Pasalnya hanya dengan kekuatan dan power organisasi seperti ini, musuh demokrasi berupa kemiskinan, diskriminasi, kekerasan dapat di eliminir secara terencana \dan berkesinambungan. Indonesia sebagai negara yang telah bergabung dalam CEDAW mestinya lebih kencang dalam mendorong perbaikan pada persoalan yang masih meminggirkan peran perempuan di Indonesia.

Karena itu, diskriminasi berupa ketimpangan laki-laki dan perempuan dalam pendidikan, angka kekerasan yang tinggi yang dialami perempuan, perempuan masih sekedar objek formalitas-

Page 18: Bab 1    daftar isi

prosedural dalam demokrasi harus bisa diatasi kaum perempuan sendiri dimanapun peran perempuan itu berada. Di legislatif (DPR), eksekutif (gubernur, walikota, bupati, camat dll) yudikatif (hakim, jaksa, polisi dll) maupun mereka yang berjuang di organisasi sosial, kiranya mau memikirkan kaum perempuan yang masih lemah tersebut. Perjuangan pada mereka bisa dimulai dari lingkungan kita sekitarnya secara simultan. Di tingkat kebijakan (policy), gerakan itu semakin membumi bila dana pendukung dari pemerintah yang masih sangat terbatas, bisa dimaksimalkan lagi dalam menopang keseriusan negara dalam membantu kaum lemah (perempuan). Maklum dana \bagi pemberdayaan perempuan masih memakai formula lembaga PKK, Dharma Wanita, yang sudah tidak cocok lagi dengan konsep pemberdayaan di era demokrasi. Dimana banyak sekali lembaga non formal yang berdiri dan fokus pada perjuangan perempuan yang tertatih-tatih karena tiadanya alokasi dana dari pemerintah dengan memadahi.

Namun itu bukan artinya responsi pemerintah terhadap isu kesetaraan, diskriminasi dan kekerasan tidak ada sama sekali. Justru tanda-tanda menguatnya gerakan perempuan ini, diharapkan pembangunan nasional yang terencana dalam membawa kesejahteraan rakyat dapat bersinergi memainkan peran pemberdayaan perempuan pada peningkatan kualitas pembangunan kita nantinya. Karena hanya dengan konsep pembangunan yang saling \bersinergi, bangsa yang makmur dan damai dapat kita kelola dan kita wujudkan dengan segera

Kesimpulan dan saranSesuai dengan teori kedaulatan rakyat bahwa rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara maka keterlibatan perempuan dalam membangun demokrasi dan juga sebagia pemegang mayoritas gender dalam masyarakat maka rekonstruksi system demokrasi dinilai sebagai jaln keadilan ketika tujuan proporsional yg didasari oleh kehendak mayoritas.namun apakah namun apakah demokrasi akan memproduksi kebenaran dan keadilan melalui metedologinya yang menyerahkan mayoritas suara…? Namun secara kritikal yang pasti kebenaran dan keadilan tidak identik dengan kehendak mayoritas kalu ditelaah dari masyarakat hukum demokrasi ingin mewujudkan social justicenyang diabsahkan menjadi legal justice sehingga Negara dan aparaturnya dapat melaksanakan putusan justice dalam tindakan nyata.