bab 1, bab 2, bab 3, evaluasi praktikum, apklin, kesimpulan

48
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keseimbangan cairan, asam dan basa adalah komponen homeostasis yang harus senantiasa dipelihara dan dijaga untuk keberlangsungan kehidupan yang sehat Jika terjadi kegagalan pengaturan keseimbangan cairan, asam dan basa maka akan terjadi beberapa gangguan dan penyakit seperti edema generalisata, hipertensi, gagal jantung, gagal jantung, dan lain-lain yang prevalensi dan insidensinya selalu meningkat dari waktu ke waktu (Asmadi, 2008). Ginjal selaku organ yang berperan penting dalam proses homeostatis ini adalah tetapi pada kondisi patologis tertentu, ginjal pun tidak bisa mengatur keseimbangan ini secara mandiri. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu intervensi medis baik dalam bentuk medikamentosa ataupun operatif. Contoh terapi medikamentosa adalah dengan penggunaan diuretik (Graber et al., 2006). Obat diuretik saat ini banyak macam dan jenisnya, diantaranya adalah golongan diuretik kuat, tiazid, diuretik hemat kalium, diuretic osmotik, carbonic anhydrase inhibitor dan anagonis ADH (jarang digunakan) (Stringer, 2008). Masing-masing obat tersebut mempunyai karakter dan efek serta 1

Upload: erica-skinner

Post on 11-Jul-2016

247 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

hedhdbdbdbdbdbdbdbdbdbbdbdbdbd

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keseimbangan cairan, asam dan basa adalah komponen

homeostasis yang harus senantiasa dipelihara dan dijaga untuk

keberlangsungan kehidupan yang sehat Jika terjadi kegagalan pengaturan

keseimbangan cairan, asam dan basa maka akan terjadi beberapa gangguan

dan penyakit seperti edema generalisata, hipertensi, gagal jantung, gagal

jantung, dan lain-lain yang prevalensi dan insidensinya selalu meningkat

dari waktu ke waktu (Asmadi, 2008).

Ginjal selaku organ yang berperan penting dalam proses

homeostatis ini adalah tetapi pada kondisi patologis tertentu, ginjal pun

tidak bisa mengatur keseimbangan ini secara mandiri. Oleh karena itu,

dibutuhkan suatu intervensi medis baik dalam bentuk medikamentosa

ataupun operatif. Contoh terapi medikamentosa adalah dengan

penggunaan diuretik (Graber et al., 2006).

Obat diuretik saat ini banyak macam dan jenisnya, diantaranya

adalah golongan diuretik kuat, tiazid, diuretik hemat kalium, diuretic

osmotik, carbonic anhydrase inhibitor dan anagonis ADH (jarang

digunakan) (Stringer, 2008). Masing-masing obat tersebut mempunyai

karakter dan efek serta toksisitas tersendiri yang perlu dipahami secara

mendalam sehingga perlu didalami dalam praktikum farmakologi.

B. Tujuan Praktikum

1. Untuk mengetahui jenis-jenis diuretik beserta perbedaannya

2. Untuk bisa membandingkan efek diuretik spironolakton, furosemide,

dan ekstrak teh terhadap kontrol (aquadest)

1

Page 2: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

C. Manfaat Praktikum

1. Menambah ilmu pengetahuan tentang macam-macam diuretik dan

perbedaannya

2. Menambah ilmu pengetahuan tentang perbandingan efek diuretik

spironolakton, furosemide, dan ekstrak teh terhadap kontrol (aquadest)

2

Page 3: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.

Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan edema, yang berarti

mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan

ekstrasel kembali menjadi normal (Nafrialdi, 2009).

B. Dasar Teori

Obat diuretik meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga

menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler sehingga terjadi penurunan

curah jantung dan tekanan darah. Beberapa diuretik juga menurunkan resistensi

perifer sehingga menambah efek hipotensinya (Tjay & Rahardja, 2007).

Pengaruh diuretik terhadap ekskresi zat terlarut penting artinya untuk

menentukan tempat kerja diuretik dan sekaligus untuk memperkirakan akibat

dari suatu diuretik. Secara umum diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan

besar, yaitu penghambat mekanisme transpor elektrolit di dalam tubulus ginjal

dan diuretik osmotik. Obat yang dapat menghambat transpor elektrolit di

tubulus ginjal antara lain penghambat karbonat anhidrase, benzotiazid (tiazid),

diuretik hemat kalium, dan diuretik kuat (Gupta & Neysed, 2005).

1. Diuretik Kuat

Diuretik kuat bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium,

klorida, dan kalium pada segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron)

melalui inhibisi pembawa klorida. Obat yang termasuk golongan ini

adalah asam etakrinat, furosemid dan bumetanid. Obat ini digunakan

untuk pengobatan hipertensi, edema, serta oliguria yang disebabkan oleh

gagal ginjal. Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan selama

menggunakan obat ini (Ilyas, 2011).

Asam etakrinat termasuk diuretik yang dapat diberikan secara oral

maupun parenteral dengan hasil yang memuaskan. Furosemid atau asam 4-

kloro-N-furfuril-5-sulfomail antranilat masih tergolong derivat sulfonamid

(Ilyas, 2011).

3

Page 4: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

Furosemida adalah suatu derivat asam antranilat yang efektif

sebagai diuretik. Efek kerjanya cepat dan dalam waktu yang singkat.

Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat penyerapan kembali

natrium oleh sel tubuli ginjal. Furosemida meningkatkan pengeluaran air,

natrium, klorida, kalium dan tidak mempengaruhi tekanan darah yang

normal. Pada penggunaan oral, furosemida diabsorpsi sebagian secara

cepat dan diekskresikan bersama urin dan feses (Lukmanto,2003).

a. Farmakodinamik

Diuretik kuat terutama bekerja dengan cara menghambat

reabsorpsi elektrolit Na+/K+/2Cl- di ansa Henle asenden bagian epitel

tebal; tempat kerjanya di permukaan sel epitel bagian luminal (yang

menghadap ke lumen tubuli). Pada pemberian secara IV obat ini

cenderung meningkatkan aliran darah ginjal tanpa disertai

peningkatan filtrasi glomerulus (Nafrialdi, 2009).

b. Farmakokinetik

Awal kerja obat terjadi dalam 0,5-1 jam setelah pemberian

oral, dengan masa kerja yang relatif pendek ± 6-8 jam. Absorpsi

furosemida dalam saluran cerna cepat, ketersediaan hayatinya 60-69

% pada subyek normal, dan ± 91-99% obat terikat oleh plasma

protein. Kadar darah maksimal dicapai 0,5-2 jam setelah pemberian

secara oral, dengan waktu paruh biologis ± 2 jam (Lukmanto,2003).

Kira-kira dua pertiga dari asam etakrinat yang diberikan secara

IV diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi

dengan senyawa sulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein.

Sebagian lagi diekskresi melalui hati. Sebagian besar furosemid

diekskresi dengan cara yang sama, hanya sebagian kecil dalam bentuk

glukoronid. Kira-kira 50% bumetanid diekskresi dalam bentuk asal,

selebihnya sebagai metabolit (Nafrialdi, 2009).

c. Indikasi

Furosemid lebih banyak digunakan daripada asam etakrinat, karena

ganguan saluran cerna yang lebih ringan. Diuretik kuat merupakan

4

Page 5: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

obat efektif untuk pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati

atau ginjal (Lukmanto,2003).

d. Kontraindikasi

Gangguan fungsi ginjal atau hati, anuria, koma hepatik, hipokalemia,

hiponatremia, hipovolamia dengan atau tanpa hipotensi (Lukmanto,

2003).

e. Efek Samping

Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan oleh

pemakaian obat diuretik kuat antara lain (Nafrialdi, 2009):

1) Gangguan cairan dan elektrolit. Sebagian efek samping berkaitan

dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, antara lain

hipotensi, hiponatremia, hipokalemia, hipokalsemia, dan

hipomagnesemia (Nafrialdi, 2009).

2) Ototoksisitas. Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian

sementara maupun menetap. Ketulian sementara dapat terjadi

pada furosemid dan lebih jarang pada bumetanid. Ketulian ini

mungkin sekali disebabkan oleh perubahan komposisi eletrolit

cairan endolimfe.

3) Efek metabolik. Diuretik kuat dapat menimbulkan efek samping

metabolik berupa hiperurisemia, hiperglikemia, peningkatan

kolesterol LDL dan trigliserida, serta penurunan HDL (Nafrialdi,

2009).

4) Reaksi alergi. Reaksi alergi umumnya berkaitan dengan struktur

molekul yang menyerupai sulfonamid. Diuretik kuat dan diuretik

tiazid dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat alergi

sulfonamid. Asam etakrinat merupakan satu-satunya diuretik kuat

yang tidak termasuk golongan sulfonamid dan digunakan untuk

pasien yang alergi terhadap sulfonamid (Nafrialdi, 2009).

5) Nefritis interstisialis alergik. Furosemid dan tiazid diduga dapat

menyebabkan nefritis interstisialis alergik yang menyebabkan

gagal ginjal reversibel (Nafrialdi, 2009).

5

Page 6: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

f. Interaksi obat

Hipokalemia akibat pemberian diuretik kuat dapat meningkatkan

risiko aritmia pada pasien yang juga mendapat digitalis atau obat

antiaritmia. Pemberian bersama obat yang bersifat nefrotoksik seperti

aminoglikosida dan antikanker sisplatin akan meningkatkan risiko

nefrotoksisitas. Probenesid mengurangi sekresi diuretik ke lumen

tubulus sehingga efek diuresisnya berkurang. Diuretik kuat daat

berinteraksi dengan warfarin dan klofibrat melalui penggeseran

ikatannya dengan protein. Pada penggunaan kronis, diuretik kuat ini

dapat menurunkan klirens litium. Penggunaan bersama dengan

sefalosporin dapat meningkatkan nefrotoksisitas sefalosporin. NSAID

terutama indometasin dan kortikosteroid melawan kerja furosemid

(Nafrialdi, 2009).

g. Contoh Obat dan Sediaannya

1) Asam etakrinat. Tablet 25 dan 50 mg digunakan dengan dosis 50-

200 mg per hari. Sediaan IV berupa Na-etakrinat, dosisnya 50

mg, atau 0,5-1 mg/kgBB (Lukmanto,2003).

2) Furosemid. Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 20,40,80 mg dan

preparat suntikan. Umunya pasien membutuhkan kurang dari 600

mg/hari. Dosis anak 2mg/kgBB, bila perlu dapat ditingkatkan

menjadi 6 mg/kgBB (Lukmanto,2003).

3) Bumetanid. Tablet 0.5mg dan 1 mg digunakan dengan dosis

dewasa 0.5-2mg sehari. Dosis maksimal per hari 10 mg. Obat ini

tersedia juga dalam bentuk bubuk injeksi dengan dosis IV atau IM

dosis awal antara 0,5-1 mg, dosis diulang 2-3 jam maksimum

10mg/kg (Lukmanto,2003).

2. Tiazid (Benzotiadiazid)

Komposisi yang terbentuk setelah pemberian obat ini ternyata

mengandung banyak ion klorida, efek yang sangat berbeda dengan senyawa

induknya yaitu benzen disulfonamid. Penelitian lebih lanjut menunjukkan

bahwa benzotiadiazid berefek langsung terhadap transpor Na+ dan Cl- di

tubuli ginjal, tepatnya pada tubulus distal (Vigen, 2011).

6

Page 7: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

Beberapa obat yang termasuk ke dalam golongan obat-obatan diuretik

tiazid dan diuretik analog tiazid, antara lain hidroklorotiazid (HCT),

klorotiazid, hidroflumetazid, bendroflumetazid, politiazid, benztiazid,

siklotiazid, metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, indapamid, metolazon

(Nafrialdi, 2009).

a. Farmakodinamik

Selain dengan filtrasi glomerular, diuretik tiazid terutama

diekskresikan secara aktif ke dalam lumen tubulus melalui sistem

transpor anion yang terlokalisir di tubulus proksimal. Dari sebelah

luminal terjadi penghambatan absorpsi Na+ dan Cl- di sel-sel epitel

tubuli distal hulu (efek saluretik). Selain itu, ion-ion Mg2+ dan K+ juga

diekskresikan lebih banyak (Vigen, 2011).

Pertukaran (Na+/K+) yang terjadi di tubulus distal hilir bertanggung

jawab untuk ekskresi K+. Selanjutnya ion Na+ diabsorpsi dari lumen dan

sebaliknya ion K+ dieksresi. Makin tinggi kadar Na+ di dalam urin yang

tiba di tubulus distal hilir, makin besar pertukaran (Na+/K+) dan juga

makin banyak kehilangan K+. Efek diuretik tidak berubah apabila ada

asidosis atau alkalosis (tidak bergantung pada pH). Berlawanan dengan

diuretik kuat, diuretik tiazid mengurangi filtrasi glomerular yang

disebabkan oleh kenaikan tekanan hidrostatik, intratubular yang

menyebabkan pengurangan tekanan filtrasi yang efektif (Schmitz et al,

2009).

b. Farmakokinetik

Diabsorpsi dengan baik dalam gastrointestinal. Dengan suatu

proses aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli proksimal ke dalam cairan

tubuli. Jadi klirens ginjal obat ini besar sekali, biasanya dalam 3-6 jam

sudah diekskresi dari badan. Hidroklorotiazid memiliki kakuatan ikat

protein yang lebih lemah dibandingkan dengan furosemid. Waktu paruh

tiazid lebih panjang dibandingkan diuretik loop. Untuk alasan ini, tiazid

harus diberikan pada pagi hari untuk menghindari nokturia (berkemiih

di malam hari). Bendroflumetiazid, politiazid, dan klortalidon

mempunyai masa kerja yang lebih panjang karena ekskresinya lebih

7

Page 8: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

lambat. Klortiazid dalam badan tidak mengalami perubahan metabolik,

sedangkan politiazid sebagian dimetabolisme dalam badan (Kee, 2006).

c. Indikasi

1) Hipertensi

Tiazid merupakan salah satu obat penting pada pengobatan

hipertensi, baik sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi dengan

obat hipertensi lain. Selain sebagai diuretik, tiazid memberi efek

antik hipertensi berdasarkan efek penurunan resistensi pembuluh

darah (Nafrialdi, 2009).

2) Gagal jantung

Tiazid merupakan diuretik terpilih untuk pengobatan edema

akibat gagal jantung ringan sampai sedang. Ada baiknya bila

dikombinasikan dengan diuretik hemat kalsium pada pasien yang

juga mendapat pengobatan digitalis untuk mencegah timbulnya

hipokalemia yang memudahkan terjadinya intoksikasi digitalis.

Hasil yang baik juga didapat pada pengobatan tiazid untuk edema

akibat penyakit hati dan ginjal kronis. Pemberian tiazid pada pasien

gagal jantung atau hipertensi yang disertai gangguan fungsi ginjal

harus dilakukan dengan hati-hati sekali, karena obat ini dapat

memperberat gangguan fungsi ginjal akibat penurunan kecepatan

filtrasi glomerulus dan hilangnya natrium, klorida, dan kalium

dalam jumlah banyak (Nafrialdi, 2009).

3) Pengobatan jangka panjang edema kronik

Obat ini hendaknya diberikan dalam dosis yang cukup

untuk mempertahankan berat badan tanpa edema. Pasien jangan

terlalu dibatasi makan garam (Nafrialdi, 2009).

4) Diabetes insipidus

Golongan tiazid juga digunakan untuk pengobatan diabetes

insipidus terutama yang bersifat nefrogenik. Untuk diabetes

insipidus tipe sentral, tiazid masih mempunyai manfaat, walaupun

bukan merupakan obat pilihan (Nafrialdi, 2009).

5) Hiperkalsiuria

8

Page 9: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

Pasien dengan batu kalsium pada saluran kemih mendapat manfaat

dari pengobatan tiazid, karena obat ini dapat mengurangi ekskresi

kalsium ke saluran kemih sehingga mengurangi risiko

pembentukan batu (Nafrialdi, 2009).

d. Kontraindikasi

Diuretik tiazid dikontraindikasikan untuk gangguan fungsi ginjal

yang berat disertai anuria, gangguan fungsi hati yang berat,

hipersensitivitas (alergi) terhadap sulfonamid dan antidiabetik oral

tipe sulfonilurea (Schmitz et al, 2009).

e. Efek Samping Obat

Beberapa efek samping penggunaan diuretik tiazid, antara lain

(Schmitz et al, 2009):

1) Hipokalemia. Efek samping yang sangat sering terjadi pada terapi

jangka panjang dengan diuretik yaitu 25-40% kasus. Jika hal ini

terjadi, perlu diberikan substitusi K+; sebaiknya juga diberikan

suatu kombinasi diuretik tiazid dengan diuretik hemat kalium

seperti amilorid, triamteren atau spironolakton (Schmitz et al,

2009).

2) Hipomagnesemia dan hiperkalsemia akibat penghambatan

ekskresi Ca2+ tubular.

3) Alkalosis metabolik, hipokloremia

4) Toleransi glukosa yang berkurang dapat bermanifestasi diabetes

melitus pada kondisi metabolik pradiabetes.

5) Gangguan metabolisme lemak, kenaikan kadar trigliserid serum

dan kadar kolesterol serum; kenaikan LDL, HDL tidak berubah

atau turun; setelah kurang lebih 6 minggu akan menjadi

manifestasi (Schmitz et al, 2009).

6) Hiperurisemia disebabkan oleh penghambatan kompetitif sekresi

asam urat, yang berlangsung melalui sistem transpor anion di

tubulus proksimal seperti juga eliminasi diuretik tiazid. Setelah

kurang lebih 7-10 hari kenaikan asam urat serum akan mencolok

(Schmitz et al, 2009).

9

Page 10: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

f. Interaksi Obat

Indometasin dan NSAID lain dapat mengurangi efek diuretik tiazid

karena kedua obat ini menghambat sistesis prostaglandin vasodilator

di ginjal, sehingga menurunkan aliran darah ginjal dan laju filtrasi

glomerulus. Probenesid menghambat sekresi tiazid ke dalam lumen

tubulus. Akibatnya efektivitas tiazid berkurang (Nafraldi, 2009).

Penggunaan dengan digoksin akan menimbulkan efek yang serius,

tiazid dapat menyebabkan hipokalemia yang menguatkan kerja

digoksin dan dapat terjadi keracunan digitalis Hipokalemia yang

terjadi akibat pemberian tiazid dapat meningkatkan risiko aritmia oleh

digitalis dan obat antiaritmia, sehingga pemantauan kadar kalium

sangat penting pada pasien yang juga mendapat digitalis atau

antiaritmia. Kehilangan kalium lebih lanjut misalnya pada keadaan

diare, muntah-muntah atau anoreksia harus segera diatasi karena dapat

memperbesar bahaya intoksikasi digitalis (Kee, 2006).

Kombinasi tetap tiazid dengan KCl tidak digunakan lagi karena

menimbulkan iritasi lokal di usus halus. Tiazid menghambat ekskresi

litium sehingga kadar litium dalam darah dapat meningkat (Nafrialdi,

2009).

3. Diuretik Hemat Kalium

Diuretik hemat kalium merupakan diuretik yang lebih lemah daripada

loop diuretic. Menurut prinsip kerjanya, diuretik hemat kalium terbagi

menjadi dua, yaitu (Neal, 2006):

a. Antagonis aldosteron

1) Farmakodinamik

Diuretik antagonis aldosteron bekerja pada segmen nefron

yang berrespon terhadap aldosteron dengan menghambat

pertukaran Na-K. Aldosteron bekerja dengan menstimulasi

reabsorpsi Na+, dan menyebabkan ion K+ dan H+ disekresi ke

dalam lumen tubulus. Sehingga dengan penggunaan diuretik

antagonis aldosteron, reabsorpsi Na+ dan Cl- menurun, dan sekresi

10

Page 11: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

kalium berkurang. Contoh diuretik golongan ini adalah

spironolakton (Neal, 2006).

2) Farmakokinetik

Diuretik antagonis aldosteron banyak diabsorpsi di saluran

cerna, lalu didistribusikan dengan berikatan dengan protein plasma.

Proses metabolismenya terjadi di hepar. Setelah itu obat-obatan ini

diekskresikan bersamaan dengan urin oleh ginjal (Neal, 2006).

3) Indikasi

Indikasi penggunaan diuretik antagonis aldosteron meliputi

(Theodorus, 1996):

a) hipertensi,

b) edema karena gagal jantung kongestif.

4) Kontraindikasi

Kontraindikasi penggunaan diuretik antagonis aldosteron meliputi

(Theodorus, 1996):

a) hiperkalemia,

b) gangguan fungsi ginjal,

c) hipersensitivitas terhadap diuretik hemat kalium.

5) Efek Samping Obat

a) Ginekomastia

Diuretik hemat kalium spironolakton dapat menyebabkan

ginekomastia pada laki-laki, sehingga pemakaiannya terbatas

(Huon, 2003).

6) Interaksi obat

Diuretik hemat kalium sering digunakan bersama dengan golongan

diuretik lain, seperti loop diuretic, untuk mengurangi efek

hiperkaliuria dari loop diuretic (Davey, 2005).

7) Contoh Obat dan Sediaan

Spironolakton

Sediaan: tablet 25 mg, 50 mg, dan 100 mg.

Dosis: dewasa 100 mg/hari dalam dosis bagi, maksimal 400

mg/hari. Anak-anak 3 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi.

11

Page 12: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

b. Amilorid dan Triamteren

a. Farmakodinamik

Diuretik hemat kalium golongan ini memiliki cara kerja yang hampir

sama dengan golongan penghambat aldosteron, hanya saja golongan

ini berefek langsung pada kanal ion pada tubulus, tanpa melibatkan

aldosterone. Contoh diuretik yang memblok kanal Na+ adalah amilorid

dan triamteren (Neal, 2006).

b. Farmakokinetik

Diuretik hemat kalium golongan ini cepat diabsorpsi di saluran cerna,

lalu didistribusikan dengan berikatan dengan protein plasma. Proses

metabolisme triamterene terjadi di hepar, sementara amilorid tidak

mengalami metabolisme di hepar. Setelah itu obat-obatan ini

diekskresikan bersamaan dengan urin oleh ginjal (Neal, 2006).

c. Indikasi

Indikasi penggunaan amilorid dan triamteren meliputi (Theodorus,

1996):

a) hipertensi,

b) edema karena gagal jantung kongestif,

c) sirosis hati.

d. Kontraindikasi

Kontraindikasi penggunaan amilorid dan triamteren meliputi

(Theodorus, 1996):

d) hiperkalemia,

e) gangguan fungsi ginjal,

f) hipersensitivitas terhadap diuretik hemat kalium.

e. ESO

1) Hiperkalemia

Diuretik hemat kalium seperti amilorid dapat menyebabkan

hiperkalemia berat pada pasien dengan gangguan ginjal, terutama

dengan kombinasi obat-obatan inhibitor ACE. Hiperkalemia dapat

terjadi tanpa adanya gejala yang tampak, namun kadang dapat

disertai dengan kelemahan otot (Davey, 2005).

12

Page 13: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

2) Anemia megaloblastik

Diuretik hemat kalium jenis triamteren merupakan antagonis folat

dengan menghambat kerja enzim dihidrofolat reduktase (Huon,

2003).

f. Interaksi Obat

Diuretik hemat kalium berinteraksi dengan obat inhibitor ACE

menyebabkan hiperkalemia pada pasien gangguan ginjal (Davey,

2005). Selain itu efek hiperkalemia juga meningkat dengan

penggunaan bersama obat-obatan beta-blocker, dan indometasin

(Theodorus, 1996).

g. Contoh Obat dan Sediaan

Contoh obat dan sediaan diuretik hemat kalium meliputi (Theodorus,

1996):

1) Amilorid

Sediaan: tablet.

Dosis: 5-10 mg/hari.

2) Triamteren

Sediaan: tablet

Dosis: 50-100 mg/hari dengan kombinasi dengan diuretik kuat.

a. Contoh Obat dan Sediaan

Contoh obat dan sediaan diuretik hemat kalium meliputi

(Theodorus, 1996):

1) Amilorid

Sediaan: tablet.

Dosis: 5-10 mg/hari.

2) Spironolakton

Sediaan: tablet 25 mg, 50 mg, dan 100 mg.

Dosis: dewasa 100 mg/hari dalam dosis bagi, maksimal 400

mg/hari. Anak-anak 3 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi.

3) Triamteren

Sediaan: tablet

Dosis: 50-100 mg/hari dengan kombinasi dengan diuretik kuat.

13

Page 14: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

4. Diuretik Osmotik

Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan elektrolit yang

mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai

diuretik osmotik apabila memenuhi 4 syarat:

a. Difiltrasi secara bebas oleh glomerulus.

b. Tidak atau hanya sedikit direbasorbsi sel tubulus ginjal.

c. Secara farmakologis merupakan zat yang inert, dan

d. Umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan metabolik.

Dengan sifat-sifat ini, maka diueretik osmotik dapat diberikan dalam

jumlah cukup besar sehingga turut menentukan derajat osmolalitas plasma,

filtrat glomerulus dan cairan tubuli. Diuretik Osmotik (manitol) adalah

Diuretik yang digunakan dan mempuyai efek meningkatkan produksi urin,

dengan cara meningkatkan tekanan osmotik di filtrasi glomerulus dan

tubulus. Mencegah tubulus mereabsorbsi air. Tubulus proksimal dan ansa

henle desenden sangat permeable terhadap reabsobsi air. Diuretik osmotik

yang tidak ditransportasi menyebabkan air dipertahankan disegmen ini,

yang dapat menimbulkan diuresis air. Contoh lain dari golongan obat

diuretik osmotik adalah: uera, gliserin, isosorbit (Chulay, 2006).

a. Farmakokinetik

Manitol tidak dimetabolisme terutama oleh glomerulus, sedikit atau

tanpa mengalami reabsobsi dan sekresi di tubulus atau bahkan praktis

dianggap tidak direabsrbsi. Manitol meningkatkan tekanan osmotik

pada glomerulus dan mencegah tubulus mereabsorbsi air dan sodium.

Manitol paling sering digunakan diantara obat ini. Sesuai dengan

definisi, diuretik osmotik absobsinya buruk bila diberikan peroral,

yang berarti bahwa obat ini harus diberikan secara parenteral. Manitol

diekresikan melalui filtrasi glomerulus dalam waktu 30 – 60 menit

setelah pemberian. Efek yang segera dirasakan klien adalah

peningkatan jumlah urine. Bila diberikan peroral manitol

menyebabkan diare Osmotik. Karena Efek ini maka Manitol dapat

juga digunakan untuk meningkatkan efek pengikatan K+ dan resin atau

14

Page 15: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

menghilangkan bahan-bahan toksin dari saluran cerna yang

berhubungan dengan zat arang aktif (Chulay, 2006).

b. Farmakodinamik

Diuretik osmotik (Manitol) mempunyai tempat utama yaitu: pada

Tubulus Proksimal, Ansa Henle dan Duktus kolingens. Diuresis

osmotik digunakan untuk mengatasi kelebihan cairan di jaringan (intra

sel) otak . Diuretik osmotik yang tetap berada dalam kompartemen

intravaskuler efektif dalam mengurangi pembengkakan otak

(Shawkat, 2012).

Manitol adalah larutan hiperosmolar yang digunakan untuk terapi

meningkatkan osmolalitas serum. Dengan alasan fisiologis ini, cara

kerja diuretik osmotik (Manitol) ialah meningkatkan osmolaritas

plasma dan menarik cairan normal dari dalam sel otak yang

osmolarnya rendah ke intravaskuler yang olmolar tinggi, untuk

menurunkan oedema otak. Pada sistem ginjal bekerja membatasi

reabsobsi air terutama pada segmen dimana nefron sangat permeable

terhadap air, yaitu tubulus proksimal dan ansa henle desenden.

Adanya bahan yang tidak dapat direbasobsi air normal dengan

masukkan tekanan osmotik yang melawan keseimbangan. Akibatnya,

volume urine meningkat bersamaan dengan ekskresi manitiol.

Peningkatan dalam laju aliran urin menurunkan waktu kontak antara

cairan dan epitel tubulus sehingga menurunkan reabsobsi Na+. Namun

demikian, natriuresis yang terjadi kurang dibandingkan dengan

diuresis air, yang mungkin menyebabkan hipernatremia. (Chulay,

2006).

Pemberian manitol untuk menurunkan Tekanan Intra cranial masih

terus dipelajari dan merupakan objek penelitian, untuk mengetahui

efek, mekanisme kerja dan efektifitas secara klinis manitol untuk

menurunkan PTIK. Telah diketahui pemberian manitol banyak

mekanisme aksi yang terjadi pada sistim sirkulasi dan darah dalam

mengatur haemostasis dan haemodinamik tubuh, sehingga menjadi

15

Page 16: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

obat pilihan dalam menurunkan Peningkatan tekanan intra cranial

(Shawkat, 2012).

c. Indikasi

Manitol antara lain digunakan untuk (Nafrialdy, 2012) :

1) Profilaksis gagal ginjal akut (GGA). GGA dapat timbul oleh

sebab prerenal, postrenal atau sebab renal. Nekrosis tubulus akut

merupakan kejadian yang paling sering pada GGA. Pada hewan,

manitol bermanfaat mengurangi kejadian NTA. Namun data

klinis tidak menunjukkan kelabihan manitol dibanding dengan

pemberian diuretik kuat dan hidrasi yang cukup.

2) Menurunkan tekanan atau volume cairan intraokular.

3) Menurunkan tekanan atau cairan serebrospinal.

d. Kontraindikasi

Manitol dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan anuria

atau pada keadaan oligouria yang tidak responsif dengan dosis

percobaan, kongesti atau edema paru yang berat, dehidrasi hebat dan

perdarahan intrakranial kecuali bila dilakukan kraniotomi. Infus

manitol harus segera dihentikan bila terdapat tanda-tanda gangguan

fungsi ginjal yang progresif, payah jantung atau kongesti paru

(Shawkat, 2012).

Urea tidak boleh diberikan pada gangguan fungsi hati berat karena

ada risiko terjadinya peningkatan kadar amoniak. Manitol dan urea

dikontraindikasikan pada perdarahan serebral aktif (Nafrialdy, 2012).

e. Efek Samping

Manitol didistribusikan ke cairan ekstrasel, oleh karena itu

pemberian larutan manitol hipertonis akan meningkakan osmolaritas

cairan ekstrasel sehingga dapat menambah jumlah cairan ekstrasel.

Hal ini tentu berbahaya bagi pasien payah jantung. Kadang-kadang

manitol juga dapat menimbulkan hipersensitif (Nafrialdy, 2012).

f. Interaksi Obat

16

Page 17: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

Obat diuretik osmotik khususnya manitol akan menyebabkan

toksisitas litium (dengan hiponatremia yang diinduksi diuretik)

(Shawkat, 2012).

g. Contoh Obat dan sediaannya

Manitol. Untuk infus intravena digunakan larutan 20%. Dosis

dewasa berkisar antara 50-100 g (250-500 ml) dengan kecepatan infus

30-50 mL/jam. Untuk mengurangi edema otak diberikan 0,25-2

g/kgBB selama 30-0 menit. Untuk edema dan asites dan untuk

mengatasi GGA pada keracunan digunakan dosis 500 mL dalam 6 jam

(Nafrialdy, 2012).

5. Penghambat Karbonik Anhidrase

Carbonic Anhydrase Inhibitor merupakan diuretik yang bekerja di

semua saluran kemih. Namun, yang paling dominan menjadi sasaran obat

ini ialah sel epitel tubulus kontortus proksimal, di mana obat ini

merupakan katalisator dehidrasi H2CO3 menjadi CO2 dan rehidrasi CO2

menjadi H2CO3, sehingga menghambat reabsorpsi NaHCO3 dan

menyebabkan diuresis (Katzung et al, 2012).

a. Farmakokinetik (Katzung et al, 2012)

Obat ini diabsorpsi secara oral dengan baik. Di dalam tubuh, efek

peningkatan pH urin terlihat dalam 30 menit dan mencapai maksimal

dalam 2 jam dan bertahan hingga 12 jam. Obat golongan carbonic

anhydrase inihibitor diekskresi melalui tubulus proksimal segmen S2.

(Katzung et al, 2012)

b. Farmakodinamik (Katzung et al, 2012)

Kemampuan Carbonic anhydrase inhibitor mengambat reabsorpsi

HCO3- di permukaan tubulus kontortus proksimal dalam satu dosis

aman dapat mencapai 85%. Beberapa HCO3- masih dapat diabsorpsi di

bagian nefron lain melalui mekanisme carbonic anhydrase-

independent, sehingga secara keseluruhan efek maksimal obat ini

ialah 45% dari semua reabosrpsi HCO3- di seluruh ginjal. Walaupun

hanya 45% obat ini dapat menyebabkan hilangnya kandungan HCO3-

secara signifikan dan hyperchloremic metabolic acidosis.

17

Page 18: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

c. Indikasi

1) Glukoma

Reduksi pembentukan aqueous humor oleh carbonic

anhydrase inhibitor menurunkan tekanan intraokuler. Efek ini

berguna dalam proses penyembuhan glukoma (Katzung et al,

2012).

2) Alkalinisasi urin

Asam urat dan cystine biasanys sulit larut dan dapat

membentuk batu dalam urin yang asam. Pada cystinuria, kelainan

pada reabsorpsi cystine, dapat teratasi oleh alkalisasi urin menjadi

pH 7.0-7.5 yang dapat dicapai oleh penggunaan carbonic

anhydrase inhibitor. Pada kasus asam urat, pH yang harus dicapai

ialah 6.0-6.5. Peningkatan pH harus dikontrol sesuai dengan

penyakitnya karena peningkatan pH yang terlalu tinggi dapat

menyebabkan pembentukan batu kalsium (Katzung et al, 2012).

3) Acute Mountain Sickness

Para pendaki gunung apabila sudah mencapai ketinggian

lebih dari 3000 m dapat merasakan lelah, muntah, insomnia, dan

sakit kepala yang disebut acute mountain sicknesss. Penyakit ini

dapat bertahan hingga beberapa hari. Carbonic anhydrase

inhibitor dapat meningkatkan ventilasi sehingga dapat

mengurangi gejala-gejala tersebut (Katzung et al, 2012).

d. Kontraindikasi

Obat ini memicu alkalinisasi urin sehingga menurunkan ekskresi

NH4+ dalam urin. Keadaan ini dapat berakibat pada berkembangnya

hiperammonemia dan enselofati hepar pada penderita sirosis (Katzung

et al, 2012).

e. Efek Samping

1) Asidosis hiperkloremik

Secara otomatis ketika carbonic anhydrase inhibitor

mereduksi HCO3- terjadilah asidosis yang dapat bertahan

sepanjang obat ini digunakan (Katzung et al, 2012).

18

Page 19: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

2) Batu ginjal

Fosfaturia dan hiperkalsiuria dapat terjadi sebagai respon

terhadap carbonic anhydrase inhibitor. Ekskresi renal yang

berupa faktor pelarut dapat menyusut seiring penggunaan jangka

panjang sehingga menjadi faktor risiko terbentuknya batu ginjal

(Katzung et al, 2012).

3) Hipokalemia

Hipokalemi dapat terjadi karena meningkatnya jumlah Na+

di tubulus kolektivus sehingga meningkatkan sekresi K+.

Hipokalemi merupakan masalah yang sering terjadi pada

penggunaan diuretik yang meningkatkan jumlah Na+ di tubulus

(Katzung et al, 2012).

f. Bentuk Sediaan Obat (Kee et al, 1996)

Tabel 1. Bentuk dan sediaan obat inhibitor karbonat anhidrase

Nama Obat Sediaan

Acetazolamide D : PO : 250 mg

IV : 250-500 mg/hari

Diklorfenamide D : PO : 100 mg/12 jam

Metazzolamide D : PO : 50-100 mg

19

Page 20: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat

1. Beakerglass

2. Papan Lilin

3. Kapas

4. Sonde Kelinci

5. Kateter (pipa NGT bayi)

6. Spuit 3cc

B. Bahan

1. Aquadest

2. Furosemid

3. Spironolactone

4. Ekstrak daun teh

5. Prokain-Penicillin G

6. Paraffin

C. Hewan Percobaan

Kelinci (Oryctolagus cuniculus)

D. Cara Kerja

1. Mengambil kelinci dari tempatnya

2. Menimbang kelinci dalam satuan Kilogram

3. Meletakkan kelinci di pemasung

4. Memasukkan kateter yang telah dilicinkan dengan kaeter ke dalam penis

kelinci

5. Berilah Pada masing-masing Kelinci dengan menggunakan sonde lambung

a. Aquadest; 5 ml

b. Furosemid; dengan dosis yang sudah dikonversi adalah sebagai berikut

: Dosis Kelinci = 40 mg x 0,07 x BB kelinci dalam kilogram

1,5 x110

20

Page 21: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

c. Spironolactone; dengan dosis yang sudah dikonversi adalah sebagai

berikut : Dosis Kelinci = 25 mg x 0,07 x BBkelinci dalam kilogram

1,5 x1025

d. Ekstrak teh; 5 mg/KgBB

6. Mencatat pengeluaran urin kelinci setiap 10 menit selama 30 menit

7. Membuat grafik jumlah urin yang keluar dalam cc/kgBB terhadap waktu.

8. Menyuntik masing-masing Kelinci dengan prokain-penicilin G sesudah

percobaan

21

Page 22: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

A. Aplikasi Klinis

1. Gagal Jantung

Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan

gejala), ditandai oleh sesak nafas dan fatik (Saat istirahat atau saat

aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.

Dulu gagal jantung dianggap merupakan akibat dari berkurangnya

kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan inotropik untuk

meningkatkannya dan diuretik serta vasodilator untuk mengurangi

beban (un-load) (Panggabean, 2009).

Penatalaksanaan gagal jantung antara lain dengan menggunakan

obat diuretik oral, digitalis, aldosteron antagonis. Diuretik oral atau

parenteral tetap merupakan ujung tombak pengobatan gagal jantung

sampai edem atau asites hilang (tercapai euvolemik). Aldosteron

antagonis memiliki efek menghambat kerja hormone aldosterone

sehingga proses pertukaran antara ion Na+ dan K+ yang menarik air

tidak terjadi. Antagonis aldosterone dipakai untuk memperkuat efek

diuretik atau pada pasien dengan hipokalemia, dan ada beberapa studi

yang menunjukan penurunan mortalitas dengan pemberian jenis obat

ini (Panggabean, 2009).

2. Asites

Asites dapat dijumpai pada beberapa bentuk sirosis dan biasanya

merupakan gambaran terakhir dari bentuk bilier. Mekanisme

terbentuknya asites yaitu pertukaran cairan antara darah dan cairan

interstitiel dikontrol oleh keseimbangan antara tekanan darah kapiler

yang mendorong masuk kedalam jaringan interstitiel dan tekanan

osmotik dari plasma protein yang menarik cairan tetap tinggal didalam

kapiler (Hadi, 2003).

Penatalaksanaan asites dapat dengan menggunakan diuretik. Bila

setelah 4 hari dengan pengaturan diit dan cairanm penurunan BB

kurang dari 1 kg, maka perlu diberikan diuretika. Pemberian diuretika

22

Page 23: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

harus ditentukan untuk masing-masing penderita. Pemberian diuretika

harus segera dihentikan atau dikurangi dosisnya, jika diuresis terlalu

cepat. Diuretika menghambat reabsorbsi ion Na+, K+ dan Cl- sehingga

pada pemberian diuretika harus diingat akan komplikasi yang mungkin

terjadi misalnya: hipokalemi, hiponatremi, dan hipokhloremia alkalosis

(Hadi, 2003).

3. Sindroma nefrotik

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik

dari glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka,

proteinuriamasif ≥3,5 g/hari, hipoalbuminemia <3,5 g/dl,

hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atauSN ringan

untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus

ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN

berat yang disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam

urin juga bekrurang (Sudoyo, 2009).

Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan

terhadap penyakit dasar dan pengobatan nonspesifik untuk mengurangi

proteinuria, mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik

disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol

edema. Furosemid oral yang memiliki mekanisme kerja menghambat

reabsorbsi ion Na+, K+ dan Cl- dapat diberikan dan bila resisten dapat

dikombinsi dengan tiazid, metalazon, dan atau asetazolamid. Kontrol

proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko

komplikasi yang ditimbulkan (Sudoyo, 2009).

4. Edema

Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-

sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh keadaan ini terjadi

sebagai akibat ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengontrol

perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik sistem

kapiler yang menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta

berpindahnya air dari intravaskuler ke interstitium (Sudoyo, 2009).

23

Page 24: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

Terapi edema harus mencakup penyebab yang mendasarinya yang

reversibel (jika memungkinkan), pengurangan asupan sodium harus

dilakukan untuk meminimalisasi retensi air. Tidak semua pasien edema

memerlukan terapi farmakologis. Pada beberapa pasien terapi non

farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium dan

menaikkan kaki di atas level atrium kiri. Pada kondisi tertentu diuretik

seperti furosemide yang menghambat reabsorbsi ion Na+, K+ dan Cl-

harus diberikan bersamaan dengan terapi non farmakologis. Pemilihan

obat, rute pemberian, dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit

yang mendasarinya, berat ringannya penyakit dan urgen di penyakitnya

(Sudoyo, 2009).

24

Page 25: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

B. Evaluasi

1. Bagaimana Mekanisme Kerja HCT dan Furosemide dalam

menimbulkan diuresis

a. Hidroclorothiazid

Mekanisme kerja HCT adalah menghambat reabsorbsi Na+ Cl-

pada area luminal epitel tubulus kontortus distal dengan

memnblokir reseptor Na+/Cl- di tempat tersebut sehingga

reabsorbsi air dari urin pun ikut terhambat (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

b. Furosemide

Furosemide bekerja pada ansa henle dengan menghambat

transporter Na+K/2Cl- sehingga reabsorbsi garam natrium dan

reabsorsi air juga terhambat (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FK UI, 2007).

2. Sebutkan gejala-gejala toksik loop diuretic

a. Alergi

b. Alkalosis metabolic hipokalemia

c. Gangguan pendengaran (ototoksitas)

d. Deplesi Cairan

e. Gangguan keseimbangan elektrolit seperti hipomagnesemia

(ditandai oleh lemas, haus, hipotensi).

Loop diuretik pada dosis tinggi dapat menginduksi perubahan

komposisi elektrolit dalam endolimfe dan menyebabkan ketulian

yang sifatnya tidak dapat pulih kembali. Ketualian adalah

manifestasi klinis yang digunakan sebagai salah satu indikator tanda

toxic effec dari loop diuretik (Neal, 2002).

3. Sebutkan kegunaan diuretic thiazide dan golongan acarbose

Diuretic Thiazid : Terapi Hipertensi, Gagal Jantung, Hiperkalsiuria

Acarbose : Pengobatan Diabetes Mellitus Tipe 2

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

25

Page 26: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

4. Sebutkan klasifikasi diuretic dan cara kerjanya serta berilah

contohnya masing-masing dua!

a. Diuretik kuat

Obat ini bekerja di lengkung henle ascendens epitel tebal

melalui penghambatan reabsorpsi Na+, K+, dan Cl-. Contoh

obatnya antara lain furosemide dan bumetamid (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

b. Diuretik hemat kalium

Obat ini bekerja di tubulus colligentes (untuk obat antagonis

aldosterone) dan di akhir tubulus distal (untuk obat triamterene

dan amilorid). Antagonis aldosterone seperti spironolactone dan

eplerenon bekerja dengan cara antagonis kompetitif pada

reseptor aldosterone sehingga menghambat reabsorpsi Na+dan

Cl-, namun mampu menghemat K+. Sedangkan triamterene dan

amilorid bekerja langsung tanpa melalui penghambatan reseptor

aldosterone (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI,

2007).

c. Thiazid

Obat ini bekerja di hulu tubulus distal dengan cara menghambat

reabsorpsi natrium dan klorida, contoh obatnya adalah

hidrochlorothiazid dan chlorothiazid (Departemen Farmakologi

danTerapeutik FK UI, 2007).

d. Diuretik osmotic

Obat ini bekerja di tiga tempat yaitu tubulus proximal, ansa

henle, dan tubulus collectivus. Prinsip kerja pada proximal

tubule adalah meningkatkan tekanan osmotic intralumen

sehingga menarik air ke lumen dan menghambat reabsorpsi

natrium serta klorida. Sedangkan pada ansa henle, diuretic

osmotic bekerja melalui prinsip hipertonisitas. Pada tubulus

collectivus diuretic osmotic bekerja dengan menghambat

ADH.Contoh obat diuretic osmotic antara lain mannitol,

26

Page 27: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

gliserin, isosorbid, dan urea (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FK UI, 2007).

e. Inhibitor carbonic anhydrase

Obat Bekerja di tubulus proksimal dengan cara menghambat

enzim carbonic anhydrase secara non kompetitif. Hal tersebut

menyebabkan penghambatan reabsorpsi HCO3- di ginjal. Contoh

obatnya adalah asetazolamid dan metazolamid (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).

f. Antagonis ADH

Obat ini bekerja di duktus collectivus melalui penurunan

produksi cAMPsebagai respon ADH, hal ini menyebabkan

peningkatan diuresis. Contoh obatnya adalah lithium dan

demeclocycline (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK

UI, 2007).

5. Jelaskan efek pemberian ekstrak daun teh

Daun teh memiliki kandungan kafein yang memiliki efek diuretik

(Ratnasooriyaet al., 2009). Di dalam tubuh, kafein bertindak melalui

beberapa mekanisme, tetapi efek yang paling penting adalah untuk

menangkal zat yang disebut adenosin yang secara alamiah

bersirkulasi pada tingkat tinggi di seluruh tubuh, dan terutama dalam

sistem saraf. Di otak, adenosine memainkan peran umumnya

pelindung, bagian yang adalah untuk mengurangi tingkat aktivitas

saraf - misalnya, ada beberapa bukti bahwa adenosin membantu

untuk menginduksi mati suri pada hewan yang musiman hibernasi

(Jinka et al., 2011).

27

Page 28: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

IV. KESIMPULAN

1. Diuretik terbagi menjadi beberapa golongan dengan karakterisik yang

berbeda yaitu diuretik kuat, tiazid, diuretic osmotik, diuretic hemat kalium

dan inhibitor karbonik anhidrase

2. Kelinci kontrol adalah kelinci dengan pengeluaran urin terbanyak

dibandingkan dengan kelinci yang diberi obat diuretic

3. Kelinci yang diberi furosemide adalah kelinci dengan jumlah pengeluaran

urin terkecil dibandingkan dengan kelinci lainnya

28

Page 29: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Konsep & Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Chulay, M. 2006. AACN Essentials of Critical Care Nursing. USA: Mc Graw Hill.

Davey, Patrick. 2005. At A Glance: Medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Graber, M.A., Toth, P.P., & Herting, R.L. 2006. Dokter Keluarga University of Iowa. Jakarta: EGC.

Gupta, S and L. Neysed. 2005. Diuretic Usage in Heart Failure: A Continuing Conundrum in 2005. European Heart Journal. 26 (7): 644-649.

Hadi, Sujono. 2003. Gastroenterologi. Bandung: PT. Alumni.

Huon H. Gray, Keith D. Dawkins, John M. Morgan, Iain A. Simpson. 2003. Lecture Notes: Kardiologi. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ilyas, S. 2011. Penggolongan Obat. Samarinda, available from http://www.akfarsam.ac.id/ (diakses pada tanggal 9 September 2014)

Jinka, T.R., Tøien, Ø, & Drew, K.L. 2011. "Season primes the brain in an arctic hibernator to facilitate entrance into torpor mediated by adenosine A(1) receptors". Journal of Neuroscience. 31 (30): 10752–8.

Kee, L. joyce & Evelyn R. Hayes. 2006. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Jakarta: EGC

Lukmanto, H. 2003. Informasi Akurat Produk Farmasi di Indonesia. Edisi II. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Nafrialdi. 2009. Diuretik dan Antidiuretik dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman

Neal, M. J. 2006. At A Glance: Farmakologi Medis. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Erlangga.

29

Page 30: Bab 1, Bab 2, Bab 3, Evaluasi Praktikum, Apklin, Kesimpulan

Panggabean, Marulam. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing

Ratnasooriya WD, Fernando TSP, Ranatunga RAAR. 2009. Diuretic activity of

Schmitz, G., Hans Lepper., Michael Heidrich. 2009. Farmakologi dan Toksikologi. Jakarta: EGC

Shawkat, H. 2012. A review of its clinical uses. Available at: http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/early/2012/01/12/bjaceaccp.mkr063.full. (Diakses pada 6 September 2014)

Sri Lankan black tea (Camellia sinensis L.) in rats. Pharmacognosy Research; 1(1): 4-10.

Stringer, J. L. 2008. Konsep Dasar Farmakologi Panduan untuk mahasiswa. Jakarta: EGC.

Sudoyo, Aru W., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

Theodorus. 1996. Penuntun Praktis Peresepan Obat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Tjay, T.H dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting. Jakarta: Elex Media Komputindo

Vigen, Rebecca, Rick A, Robert F. 2011. Thiazides Diuretics in The Treatment of Nephrolithiasis. Journal of International Urology and Nephrology Vol.43 pp 813-819

30