awasan karst gunung kidul dan kearifan lokal

21
awasan Karst Gunung Kidul dan Kearifan Lokal Gunung kidul adalah salah satu dari 5 kabupaten dan 1 kota yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Luas wilayah mencapai hampir seluruh luas Provinsi DIY, yaitu kurang-lebih 1.485,36 kilometer persegi. Kabupaten Gunung Kidul memiliki keunikan topografi, terbagi menjadi 3 (tiga) zona yang memiliki karakter topografi, morphologi, dan hidrologi yang berbeda, yaitu : 1. Bagian utara, disebut sebagai : Zona Batur Agung. Zona ini berada pada ketinggian 200-700 dpl, dengan topografi menyerupai pegunungan, pada sisi utara dan barat memiliki lereng yang terjal. Jenis tanah vulkanis laterit, dengan bantuan induknya berupa dasiet dan andesiet. Di zona ini masih dijumpai adanya sungai di atas permukaan tanah (antara lain Sungai Oya, yang mengalirkan air sepanjang tahun). kedalaman air tanah berkisar antara 6 – 12 meter. Hampir semua jenis tanaman tahunan, juga berbagai jenis tanaman pangan (seperti padi dan palawija) dapat tumbuh di zona ini, karena air cukup tersedia. Beberapa kawasan di zona ini termasuk kategori rawan bencana alam longsor dan beberapa tempat potensial karena terkena banjir dari luapan Sungai Oya. Secara administrasi, zona ini meliputi : Kecamatan Patuk, Nglipar, Gedangsari, Ngawen, Smein, dan Ponjong bagian utara. 2. Bagian tengah, disebut sebagai : Zona Ledok Wonosari. Zona ini berada pada ketinggian 150 – 200 meter dpl, topografi datar sampai sedikit bergelombang, memiliki lapisan tanah yang relatif tebal dengan tingkat kesuburan yang lebih baik daripada zona lainnya. Banyak dijumpai sungai di atas permukaan tanah, tetapi sebagian besar hanya berair pada musim penghujan. Air tanah dapat diketemukan pada

Upload: rinny-irianti

Post on 09-Sep-2015

52 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

BIOLOGI

TRANSCRIPT

awasan Karst Gunung Kidul dan Kearifan LokalGunung kidul adalah salah satu dari 5 kabupaten dan 1 kota yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Luas wilayah mencapai hampir seluruh luas Provinsi DIY, yaitu kurang-lebih 1.485,36 kilometer persegi. Kabupaten Gunung Kidul memiliki keunikan topografi, terbagi menjadi 3 (tiga) zona yang memiliki karakter topografi, morphologi, dan hidrologi yang berbeda, yaitu :1. Bagian utara, disebut sebagai : Zona Batur Agung.Zona ini berada pada ketinggian 200-700 dpl, dengan topografi menyerupai pegunungan, pada sisi utara dan barat memiliki lereng yang terjal. Jenis tanah vulkanis laterit, dengan bantuan induknya berupa dasiet dan andesiet. Di zona ini masih dijumpai adanya sungai di atas permukaan tanah (antara lain Sungai Oya, yang mengalirkan air sepanjang tahun). kedalaman air tanah berkisar antara 6 12 meter. Hampir semua jenis tanaman tahunan, juga berbagai jenis tanaman pangan (seperti padi dan palawija) dapat tumbuh di zona ini, karena air cukup tersedia. Beberapa kawasan di zona ini termasuk kategori rawan bencana alam longsor dan beberapa tempat potensial karena terkena banjir dari luapan Sungai Oya.Secara administrasi, zona ini meliputi : Kecamatan Patuk, Nglipar, Gedangsari, Ngawen, Smein, dan Ponjong bagian utara.2. Bagian tengah, disebut sebagai : Zona Ledok Wonosari.Zona ini berada pada ketinggian 150 200 meter dpl, topografi datar sampai sedikit bergelombang, memiliki lapisan tanah yang relatif tebal dengan tingkat kesuburan yang lebih baik daripada zona lainnya. Banyak dijumpai sungai di atas permukaan tanah, tetapi sebagian besar hanya berair pada musim penghujan. Air tanah dapat diketemukan pada kedalaman 5 25 meter. Tanaman pangan tadah hujan (padi dan palawija), serta tanaman tahunan (termasuk buah-buahan, khususnya mangga) dapat tumbuh dengan baik di zona ini. Bahkan di beberapa lokasi dapat dilakukan budidaya tanaman sayuran pada musim kemarau, mengandalkan suplai air dari sumur bor, atau mata air di beberap sungai (tanaman satrenan).Secara administrasi zona ini meliputi : Kecamatan Playen, Wonosari, Karang Mojo, Ponjong bagian tengah, dan Semanu bagian utara.

3. Bagian selatan, disebut sebagai : Zona Gunung Sewu.Zona ini berada pada ketinggian 100 300 meter dpl, topografi berbukit-bukit (konon terdapat 60.000 bukit berjajar, nyaris memenuhi zona ini, tanpa menyisakan kawasan pedataran. Paling hanya pelembahan yang relatif sempit). Jenis tanah dominan tanah kapur, dengan ketebalan yang relatif tipis, dan miskin unsur hara, sehingga produktivitas relatif rendah. Kondisi ini menyebabkan penduduknya sulit mengembangkan kegiatan usaha di sektor pertanian. Sangat sulit dijumpai sungai di atas permukaan tanah. Beberapa batang sungai yang muncul ke permukaan, kemudian masuk lagi ke dalam permukaan tanah melalui gua (atau luweng, istilah lokal), dan muncul kembali di kawasan pantai selatan. Air tanah dapat diketemukan pada kedalaman 60 120 meter atau lebih. Jadi dapat dimengerti apabila zona ini sering mengalami bencana kekeringan (menjadi bencana yang rutin datang setiap tahun, sebagaimana Jakarta yang selalu kebanjiran di musim penghujan). Diperkirakan terdapat 260.000 jiwa yang mendiami zona ini selalu mengalami kekurangan air setiap tahun. jenis tanaman yang dapat tumbuh, terutama tanaman tahunan seperti : jati, sonokeling, Randu, Akasia, Mahoni, Kelapa di beberapa lokasi di pesisir. Tanaman pangan hanya dapat diusahakan di musim penghujan dengan hasil yang kurang baik. Tanaman buah yang cukup cocok dibudidayakan adalah : mangga dan srikaya (srikaya tidak dibudidayakan secara khusus).Secara administrasi zona ini mencakup : Kecamatan Panggang, Paliyan, Tapus, Saptosari, Rongkop, Semanu bagian selatan, dan Ponjong bagian selatan. Menurut N. Daldjoeni, degradasi alam (baca : kegersangan) Gunung Kidul yang tampak sebagaimana sekarang ini, berdasar penelusuran sejarah ternyata baru berlangsung kurang dari 200 tahun terakhir, seperti catatan ahli Biologi dari Belanda : Junghuns, yang mengagumi ijo royo-royonya daerah ini setidaknya sampai dengan tahun 1836, sebagia berikut :benar-benar Gunungsewu ini seperti Taman Firdaus! Vegetasinya serba hijau lebat, keindahan alamnya tidak mampu saya lukiskan dengan kata-kata. Hutannya yang berisi segala macam pepohonan dan di mana-mana saya jumpai accasia berlatar belakang langit biru yang indah. Ketenteraman suci dipercikkan oleh daun-daun pisang, sedang bersama itu tanpa hentinya burung perkutut, deruk, dan ayam alas mengumandangkan musik alaminya. Sambil mengaso tiduran slonjor, saya nikmati keindahan Gunungsewu dan dari kejauhan sana kedengaran jelas bunyi genta sapi-sapi yang digembalakan.Konon, hilangnya hutan jati di Gunung Kidul di masa silam dipicu oleh kebutuhan masyarakat Kota Yogyakarta akan kayu jati sebagai bahan baku pembuatan mebel dan perabotan rumah lainnya. Sebagai salah satu kawasan karst yang berada di Jawa, di Gunung Kidul juga banyak dijumpai goa-goa alam yang selain dapat dijadikan obyek wisata, juga bisa menjadi laboratorium geologi, seperti : goa Langse, Goa Gepang Tinatar, Goa Tritis, Goa Ngobaran, Goa Pari, Goa Song Gilap, Goa Lawa, Goa Bribin, Goa Wot Lemah, Goa Sundak, dan masih banyak yang lainnya.Penduduk setempat berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan lahan karst yang ada untuk dibudidayakan, baik dengan tanaman musiman : padi, ketela dan palawija lainnya, maupun dengan tanaman tahunan, seperti : Mangga, Mahoni, Jati, Kapuk Randu, Petai, Nangka dan lain sebagainya. Kegiatan usaha lainnya adalah usaha penambangan batu gamping, baik pada skala kecil (rumah tangga), maupun skala besar (pabrikan yang sudah memasukkan unsur teknologi). Kegiatan usaha ini yang perlu tindak pengawasan dari pemerintah daerah, karena apabila dilakukan secara sembrono alias tidak didukung oleh studi dan penelitian yang mendalam potensial merusak sistem dan bentang alam karst, serta proses karstifikasi yang berlangsung.Pada sisi lainnya, upaya pelestarian lingkungan hampir dapat dikatakan tidak bersentuhan dengan teknologi, tetapi mengandalkan kearifan lokal yang sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu, dan ternyata cukup efektif dalam mengerem laju penurunan kualitas lingkungan. Kearifan lokal (local wisdom) merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya, dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek-moyang, atau budaya setempat, yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya. Perilaku yang bersifat umum dan berlaku di masyarakat secara meluas, turun-temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang dipegang teguh, yang kita sebut sebagai kebudayaan (budaya). Beberapa kegiatan penduduk yang ditujukan untuk pelestarian lingkungan, yang berbasis kearifan lokal diantaranya adalah :Bentang alam yang berupa perbukitan dan jenis tanahnya yang mudah tererosi, membuka kesadaran masyarakat (baca : petani karst) untuk mengakali agar lapisan tanah tidak habis tergerus air hujan,tererosi bersama aliran permukaan air hujan yang jatuh. Terasiring/bentengisasi menggunakan material lokal berupa pecahan batu gamping yang tersedia dalam jumlah hampir tak terbatas, menjadi pilihan yang arif dan efisien. Terasiring dibuat mulai dari kaki, pinggang, sampai pucuk perbukitan. Lahan tipis yang tertahan, meskipun bercampur batuan berserak, dipergunakan untuk budidaya tanaman pangan (Padi, jagung, ketela, palawija, dll), sementara garis konturnya (jawa: galengan) ditanami tanaman tahunan seperti jati, srikaya,sirsak, diseling dengan rumput kalanjana untuk pakan ternak. Bentuk kearifan lokal ini ternyata dapat mengendalikan laju erosi mempertahankan lapisan tanah yang ada.Proses terbentukan karst juga memunculkan bentang alam berupa cekungan-cekungan. Pada musim penghujan cekungan ini akan berfungsi menjadi tempat parkir air (telaga. Telaga inilah yang menjadi andalan simpanan (tandon) air bagi penduduk setempat. Hampir semua kebutuhan air dipenuhi dari telaga tersebut, apalagi pada musim kemarau. Sayangnya karena sifat tanah dan batuan yang porus dan proses penguapan yang berlangsung cepat dan proses sedimentasi yang selalu mengurangi daya tampung telaga, menyebabkan persediaan air di telaga rata-rata hanya bertahan satu atau dua bulan setelah memasuki musim kemarau. Tindakan yang arif, adalah dengan melakukan pembuatan benteng keliling bibir telaga sesuai dengan kedalaman telaga, menggunakan batu gamping yang banyak tersedia. Dinding telaga dari batu kapur ini berfungsi untuk mengurangi laju sedimentasi untuk mempertahankan umur telaga, dan menjaga volume telaga agar relatif konstan, sekaligus berperan menjadi saringan muatan padat pada aliran air yang masuk telaga.Pada lahan karst yang tipis dan miskin unsur hara, sangat jarang dijumpai tumbuhan yang besar rimbun dan umurnya mencapai puluhan tahun. tumbuhan seperti ini sebetulnya memiliki kemampuan menyimpan (menahan) air yang meresap ke dalam tanah (memperbaiki fungsi hidrologi). Dalam beberapa kasus, kearifan lokal melahirkan cerita atau mitos yang mengarah pada perlindungan terhadap tumbuhan dimaksud, agar fungsi lingkungannya tetap terjaga, misalnya dengan dikeramatkan. Analogi dengan cerita pohon keramat, berbagai upacara adat, seperti : bersih desa/nyadran/mengeramatkan goa atau telaga, adalah sebagai perwujudan dari kearifan lokal yang ditujukan untuk menjaga keselamatan dan kelestarian tempat-tempat (obyek) tersebut. Doa-doa yang dipanjatkan pada setiap ritual adalah tetap tertuju kepada Gusti Allah, Sang Maha Pencipta Penguasa alam semesta.Pemilihan lokasi permukiman penduduk asli (yang sudah turun temurun hidup di kawasan karst) yaitu di atas lahan berbatu dengan lapisan tanah yang tipis adalah bentuk pertimbangan kearifan lokal dengan pertimbangan ekonomi sederhana. Karena dengan memilih mendirikan permukiman di lahan berbatu meskipun pencapaian relatif lebih sulit, tetapi tidak mengurangi luasan areal tegal sebagai lahan usaha untuk dibudidayakan sebagai lahan pertanian tanaman pangan yang pada umumnya terdapat di lembah di antara bukit-bukit kerucut (dolina) lembah-lembah tidak teratur yang buntu (blind valley). Resiko kesulitan air di musim kemarau, kadang-kadang menjadi konsekuensi yang sangat mereka sadari, sekaligus menjadi dinamika kehidupan mereka sehari-hari.Di Gunung Kidul, terutama di daerah pantai yang bertipe curam dan hampir tegak lurus, banyak dijumpai adanya goa-goa alami sebagai hasil proses karstifikasi. Goa-goa tersebut menjadi habitat yang baik bagi berkembang-biaknya burung walet. Di sanalah burung walet biasanya membuat sarang untuk bertelur. Burung walet sangat peka terhadap perubahan lingkungan hidupnya. Cara dan waktu pengambilan (memanen) sarang walet yang sembarangan akan menyebabkan walet enggan untuk tinggal dan bertelur lagi. Kearifan lokal yang dihidupkan oleh masyarakat di Desa Jepitu, dan m,endapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten, adalah mengatur masa panen secara ketat dan setiap kali panen akan dilaksanakan sebuah upacara ritual tertentu. Cara ini ternyata cukup baik dalam menjaga sarang walet yang ada agar tetap lestari.

Potensi Flora KarstEkosistem Karst memiliki berbagai jenis flora yang spesifik dan unik karena pengaruh bentangalam karst yang juga unik. Keunikan bentang alam karst diantaranya; kandungan mineral kalsium yang tinggi, kekurangan air di permukaan, tanah tipis dan bahkan ada yang tidak bertanah, permukaan kasar, licin, retak, dll. Flora ekosistem karst memiliki fungsi ekonomis maupun ekologis yang sangat tinggi, baik dalam bentuk herba, perdu maupun pohon. Berbagai jenis tumbuhan baik yang endemik maupun eksotik yang tumbuh di tanah karst memberikan fungsi sebagai tumbuhan obat, pangan, buah, bahan bangunan, pakan ternak dan bahkan hiasan. Beberapa tumbuhan yang berguna sebagai obat, antara lain: Gandul atau pepaya (Carica papaya L.), Wedusan (Ageratum conyzoides), Bribil (Gallinsoga parviflora Cav.), Songgo Langit (Tridax procumbens L.), Gewor (Commelina nudiflora L.), Jarak (Jatropha curcas), Waru (Hibiscus tiliaceus), Putri Malu (Mimosa pudica L.), Kembang Telang (Centrosaema pubescens Benth.) Suruhan (Peperomia pelucida), Pecut Kuda (Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl) dan lain-lain. Berikut ini beberapa gambar flora yang biasa tumbuh baik di ekosistem karst.

-Gambar 6.35. Berbagai tanaman di ekosistem karst

Berbagai tumbuhan lainnya yang terdapat di ekosistem karst dengan kegunaan masing-masing diantaranya: Manihot esculenta Crantz (Singkong) sebagai tanaman pangan dan sayuran, Euphorbia milii (Mahkota Duri) sebagai tanaman hias, Hyptis capitata (Srengenge) sebagai tanaman hias juga bahan pangan, Urena lobata L. sebagai tumbuhan obat, Swietenia macrophylla (Mahoni) berfungsi sebagai tanaman peneduh juga bahan bangunan, Acacia auriculiformis A. Cunn. Ex Bl. (Akasia) selain sebagai kayu bakar juga bahan bangunan, bahan kertas dan peti kemasan, Platyseranthes falcatarius (Sengon) sebagai bahan bangunan, Arachis hypogea L. (Kacang Tanah) sebagai Tanaman pangan, Eleusin indica (L.) Gaertner sebagai tumbuhan obat dan pakan ternak, Eragrostis brownii Nees ex Hook. & Arnott sebagai Pakan Ternak, Imperata cylindrica (L.) Raeuschel (Alang-alang) sebagai Tumbuhan obat, Panicum repens L. Digunakan untuk Pakan Ternak, Paspalum conjugatum Bergius juga sebagai Pakan Ternak, Tectona grandis (Jati) sebagai bahan bangunan, Anthocephalus cadamba (Jabon) selain sebagai bahan baku kertas juga bisa digunakan sebagai bahan bangunan, dan lain-lain.

13. PEPAYA (Carica papaya L.)KlasifikasiKingdom : Plantae (Tumbuhan)Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)Sub Kelas : DilleniidaeOrdo : ViolalesFamili : CaricaceaeGenus : CaricaSpesies : Carica papaya L.

Deskripsi:Pohon pepaya umumnya tidak bercabang atau bercabang sedikit, tumbuh hingga setinggi 5-10 m dengan daun-daunan yang membentuk serupa spiral pada batang pohon bagian atas. Daunnya menyirip lima dengan tangkai yang panjang dan berlubang di bagian tengah. Bentuknya dapat bercangap ataupun tidak. Pepaya kultivar biasanya bercangap dalam.Bentuk buah bulat hingga memanjang, dengan ujung biasanya meruncing. Warna buah ketika muda hijau gelap, dan setelah masak hijau muda hingga kuning. Bentuk buah membulat bila berasal dari tanaman betina dan memanjang (oval) bila dihasilkan tanaman banci. Tanaman banci lebih disukai dalam budidaya karena dapat menghasilkan buah lebih banyak dan buahnya lebih besar. Daging buah berasal dari karpela yang menebal, berwarna kuning hingga merah, tergantung varietasnya. Bagian tengah buah berongga. Biji-biji berwarna hitam atau kehitaman dan terbungkus semacam lapisan berlendir (pulp) untuk mencegahnya dari kekeringan. Dalam budidaya, biji-biji untuk ditanam kembali diambil dari bagian tengah buah.

Profil PracimantoroKecamatan Pracimantoro merupakan salah satu dari 25 kecamatan di Kabupaten Wonogiri Provinsi Jawa Tengah. Terletak di wilayah di bagian selatan. Di di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Eromoko, di sebelah barat dengan Kabupaten Gunung Kidul, DIY, sebelah timur dengan kecamatan Giritontro dan sebelah selatan dengan kecamatan Paranggupito. Kecamatan Pracimantoro mempunyai luas wilayah 14.214,3245 ha yang mempunyai ketinggian 250 m diatas pernukaan air laut. Wilayah yang Luasnya 142,14 km ini berpenduduk 59.242 (2003) Kepadatan 417 jiwa per km (2003). Tahun 2010 jumlah penduduknya mencapai 72,391 jiwa.Profil Hutan WanagamaKawasan Hutan Pendidikan Wanagama yang luasnya hampir mencapai 600 hektar ini merupakan tumpuan harapan bagi banyak orang yang bermukim di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan sekitarnya untuk kepentingan ekonomis ataupun kebutuhan akan jasa lingkungan sebagai paru paru kota , insane pendidikan sebagai media pembelajaran alamiah ataupun oleh pemerintah daerah sebagai salah satu aset wisata alam bagi daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Eucalyptus pellita dan Jati (Tectona grandis) yang saat ini mencapai ratusan pohon dalam kawasan Hutan Wanagama telah menjadi salah satu jenis tanaman yang penting dalam pembangunan hutan di Indonesia khususnya untuk jenis hutan tanaman baik untuk keperluan industri maupun pendidikan dan penelitian dimana sejak akhir tahun 1980-an . Kedua jenis ini banyak dimanfaatkan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan warga masyarakat akan kayu di pasaran karena kemampuan adaptasi yang tinggi terutama pada tanah-tanah marginal bekas padang alang-alang (Imperata cylindrica) seperti di daerah Wanagama, pertumbuhannya cepat, bentuk pohon bagus, relatif tahan terhadap hama dan penyakit, kayunya memiliki sifat-sifat yang baik sebagai bahan baku pulp dan kertas, untuk pertukangan, konstruksi ringan dan teknik silvikulturnya mudah. Walaupun Eucalyptus pellita dan Tectona grandis mempunyai berbagai macam kelebihan namun di sisi lain kedua jenis ini tidak tahan terhadap serangan hama dan penyakit, yang disebabkan oleh serangga, virus, atupun jamur. Saat ini dalam Kawasan Hutan Wanagama ditemukan hampir sebagian besar tegakan Jati dan Eucalyptus telah mengalami penurunan kwalitas tegakan yang cukup besar, hal ini ditandai dengan adanya kerusakan, kematian ataupun perubahan penampakan fisik beberapa tegakan dalam plot plot penananam dari pucuk daun hingga akar pohon yang disebabkan oleh berbagai macam faktor penyebab baik faktor biotic maupun abiotik.

Karst diartikan sebagai bentang alam khas yang berkembang di suatu kawasan batuan karbonat (batu gamping dan dolomit) atau batuan lain yang mudah larut dan telah mengalami proses karstifikasi atau pelarutan sampai tingkat tertentu (Siradz, 2004). Karena faktor yang mempengaruhi pembentukan batuan karbonat bermacam-macam menyebabkan bentang lahan yang dibentuknya juga beraneka ragam. Pelarutan tersebut akan menghasilkan bentukan-bentukan yang khas yang tidak dapat dijumpai pada batuan jenis lain. Gejala pelarutan ini merupakan awal dari proses karstifikasi. Morfologi yang dihasilkan oleh batuan karbonat yang mengalami karstifikasi dikenal dengan sebutan bentang lahan karst.Saat ini kawasan karst banyak mendapat ancaman kerusakan oleh ketidaktahuan masyarakat terhadap fungsi karst itu sebagai sumber daya air dan keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis. Masyarakat hanya mengenal karst sebagai bahan galian untuk bangunan, semen, kapur tohor dan marmer. Sehingga pemanfaatan karts oleh masyarakat kurang memperhatikan aspek kelestarian fungsi lingkungan sebagai penunjang pembangunan termasuk pembangunan pertanian berkelanjutan (Siradz, 2004).Ekosistem karst merupakan keseluruhan komponen abiotik, biotik, dan budaya yang berada di bentang alam kawasan karst. Kandungan hara dan sifat tanah karst mempengaruhi jenis jenis flora dan fauna yang hidup disana. Karakteristik wilayah di ekosistem karst yang sangat spesifik menimbulkan berbagai permasalahan, terutama menyangkut fungsi dan daya dukung ekosistem karst terhadap aktivitas kehidupan manusia yang berada didalamnya. Berbagai permasalahan yang muncul dapat diklasifikasikan dalam permasalahan lingkup abiotik, biotik dan sosial.Informasi ini dapat menggambarkan / memprediksi tingkat dan luasnya penyebaran yang mungkin akan terjadi (potential spread) berdasarkan pengetahuan tentang habitat-habitat yang lebih disukai jenis-jenis tersebut di tempat aslinya; juga dampak yang mungkin terjadi berdasarkan pengetahuan tentang kompetisi karena tekanan preferensi makanan, ukuran kelompok/ populasi dan densitas/kepadatan; serta pengendalian alam terhadap populasi jenis eksotik tersebut (pengendalian oleh atau karena penyakit, pemangsa-pemangsa dan kompetisi yang berasal dari organisme-organisme lain).Pertanian pada lahan karst pada saat ini masih bersifat tradisional. Tanaman pangan berupa jagung, ketela pohon dan kacang tanah dengan sistem tumpang sari dan / atau tumpang gilir merupakan tanaman andalan petani. Meskipun demikian pada beberapa tempat telah ada usaha petani untuk menanam cash crop yang bernilai ekonomi tinggi. Wawasan untuk menanam komoditas yang bernilai ekonomi tinggi perlu mendapat dukungan dari semua pihak sebab cara ini merupakan alternatif untuk mengangkat kesejahteraan dan harkat petani setempat. Dalam hubungan ini dukungan pihak perguruan tinggi berupa penelitian-penelitian yang bermuara pada pengembangan pertanian spesifik lokasi sangat diperlukan.Kebutuhan ekonomi masyarakat yang tinggi menyebabkan terjadinya konversi dari hutan alam menjadi hutan tanaman dengan jenis jenis komersial yang bernilai tinggi seperti jati, mahoni, sonokeling, akasia, lamtoro, kelapa, kapuk randu, dll. Kondisi ini akan menghilangkan keanekaragaman hayati dari jenis jenis tumbuhan yang tidak berniai ekonomi tinggi. Tekanan masyarakat terhadap lahan menyebabkan kerusakan dan hilangnya keanekaragahan hayati, karena tingginya kebutuhan tanpa diimbangi dengan konservasi.Salah satu persoalan pokok yang dijumpai pada lahan karst adalah ketidak seimbangan hara tersedia di dalam tanah. Lahan karst yang berkembang dari batuan induk gampingan biasanya mempunyai kandungan hara kalsium (Ca) tersedia yang sangat tinggi sampai berlebihan, sedangkan hara lain misalnya fosfat dan hara mikro ketersediaanya sangat rendah. Fosfat di dalam tanah akan dijerap dengan kuat oleh kalsium membentuk ikatan kalsium fosfat yang tidak tersedia bagi tanaman. Gejala chlorosis fosfat merupakan gejala defisiensi yang sering terlihat pada lahan karst. Selain fosfat, nitrogen umumnya juga sangat rendah karena bahan organik yang rendah. Selain kandungannya rendah, taraf dekomposisi bahan organik lambat karena lengas tanah rendah. Lebih lanjut, dalam kondisi ketersediaan hara kalsium yang sangat tinggi dapat mengakibatkan interaksi serapan hara yang kurang menguntungkan, misalnya menurunnya serapan hara mikro (Siradz, 2004).

Antraknosa

a. Gejala

Penyakit ini disebabkan oleh patogen (Colletotrichum gloeosporioides). Penyakit ini muncul pada buah yang belum matang (bewarna hijau). Gejala tersebut dalam bentuk bercak-bercak cokelat sampai hitam pada buah. Gejala-gejala awal adalah kebasah-basahan dan terdapat cekungan pada buah. Bintik ini kemudian berubah menjadi hitam dan kemudian merah muda ketika jamur menghasilkan spora daging di bawah titik menjadi lembut dan berair, yang menyebar ke seluruh buah. Pada daun juga dapat dilihat. bintik yang akhirnya berubah menjadi cokelat. Pada buah, gejala muncul hanya pada saat pematangan dan mungkin tidak terlihat di waktu panen (Semangun 2000) Gejala yang nampak adalah adanya tempat cekung di permukaan buah, yang kemudian memperbesar membentuk lesion. Daging buah yang terkena menjadi lebih lembut dan cepat membusuk

b. Penyebab penyakit

Penyakit ini disebabkan oleh (C. gloeosporioides). Cendawan ini mempunyai aservulus berbentuk bulat, jorong, tidak teratur, berseta atau tidak. Seta mempunyai panjang yang variabel, tetapi jarang yang lebih dari 200mm, tebal 4-8mm, bersekat 1-4, bewarna cokelat, pangkal agak membengkak dengan ujung meruncing yang sering membentuk konidium pada ujungnya.

c. Daur Penyakit

C. gloeosporioides merupakan cendawan yang umum terdapat di berbagai komoditas. Cendawan ini merupakan parasit lemah yang dapat menginfeksi dan berkembang pada jaringan yang telah menjadi lemah, khususnya karena proses penuaan. Cendawan ini dapat menginfeksi melalui luka atau lentisel. Konidium jamur dipencarkan oleh angin dan air hujan. Infeksi buah banyak terjadi dari konidium yang berasal dari bercak pada daun dan tangkai daun.

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit

Faktor ini ditentukan oleh keadaan lingkungan dan penanganan buah pepaya. Penyakit banyak ditemukan pada kebun-kebun yang lembab, pada tanah pH 5,5 atau lebih rendah. Kerusakan lebih banyak terjadi pada buah yang luka.

e. Pengelolaan

Pengelolaan berbasis PHT dapat dilakukan dengan saran sebagai berikut: Berusaha untuk tidak membuat luka pada buah, membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman yang berpenyakit, mengatur jarak tanam, tidak menanam pepaya secara tumpangsari dengan tanaman lain yang dapat menjadi inang C. gloeosporioides, pemetikan buah pada saat buah asih bewarna hijau dll (Lim 1984).

Gambar 1 Gejala srangan C. gloeosporioides (kiri) dan mikroskopisnya (kanan)

2. Bercak Daun Corynespora

GejalaPenyakit ini tersebar luas di daerah-daerah penanaman papaya di seluruh dunia.. Gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah pada daun terdapat bercak-bercak bulat dengan garis tengah mencapai 3cm, bewarna cokelat. Pusat bercak sering pecah sehingga bercak berlubang. Jika menyerang tangkai daun maka akan berbentuk jorong yang diliputi oleh miselium jamur tua bewarna cokelat.

Penyebab penyakitPenyakit ini disebabkan oleh jamur Corynespora cassiicola. Dulunya nama pathogen ini adalah Helminthosporium cassiicola. Miselium bewarna cokelat muda dengan tebal 2-6mm membentuk konidiofor tunggal, tegakbatau agak lentur. Konidium berbentuk lurus, melengkung, atau seperti gada terbalik

Daur penyakitKonidium banyak ditemukan pada bercak daun dan disebarkan oleh angin dan air hujan. Di udara konidium paling banyak ditemukan pada tengah hari. Patogen yang menginfeksi jaringan daun dan buah muda tidak dapat berkembang sebelum jaringan tersebut menua.

PengelolaanUmumnya penyakit ini tidak menimbulkan kerugian yang sangat berarti. Pengendalian yang selama ini dilakukan adalah menggunakan fungisida sintetik.

Gambar 2 Gejala bercak daun C. papayae (kiri) dan gambar mikroskopik C. papayae (kanan)

3. Penyakit bakteri

a. GejalaPenyakit pada daun papaya ini pertama kali dilaporkan terjadi di Jawa Timur. Penyakit ini menimbulkan kerugian yang besar terutama pada musim penghujan. Gejala yang ditimbulkan adalah pada tanaman muda daun menguning dan membusuk. Umumnya setelah beberapa lama tanaman akan mati pada tanaman atas, lama-kelamaan diikuti matinya seluruh tanaman.

b. Penyebab penyakitPenyakit ini disebabkan oleh bakteri Erwinia papayae. Sebelumnya pernah disebut sebagai Bacillus papayae. Bakteri ini berbentuk basil, panjang 1,0-1,5mm, berantai, tidak berspora, gram negative, dan aerob.

c. Daur penyakitE. papayae dapat ditularkan oleh serangga. Cara pemencaran lainnya belum pasti. Infeksi dapat terjadi pada sisi atas maupun sisi bawah daun. Percobaan penularan ke tanaman lain tidak memberikan hasil. Penyakit ini berkembang baik pada musim penghujan.

d. PengelolaanSebelum meluas hal yang bisa dilakukan adalah bagian tanaman yang terinfeksi segera dibuang (dipotong dan dibakar). Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan budidaya dan pengelolaan tanaman yang baik sehingga dapat terhindar dari penyakit ini.

Gambar 3 Gejala penyakit bakteri E. papayae pada pohon pepaya

4. Busuk Akar dan Pangkal batang

a. Gejala

Penyakit ini merupakan salah satu penyakit penting di Indonesia. Hawar Phytophthora dapat menjadi salah satu penyakit yang menghancurkan sebagian besar dari pepaya. Penyakit ini muncul pada bermacam-macam umur. Selain pada akar dan batang, penyakit ini juga timbul di buah baik yang masih muda atupun dalam penyimpanan. Jamur ini menyebabkan berbagai kerusakan, termasuk damping-off, busuk akar, batang membusuk dan girdling, dan busuk buah. Gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini adalah mula-mula daun layu, menguning, dan menggantung di sekitar batang sebelum rontok. Daun mudapun juga menunjukkan gejala yang sama sehingga tanaman hanya mempunyai sedikit daun-daun kecil di puncaknya. Pada akar gejalanya adalah terdapat akar-akar lateral yang membusuk menjadi massa bewarna cokelat tua, lunak, dan sering berbau tidak sedap. Pada semai penyakit ini menyebabkan rebah kecambah (damping off). Pangkal batang membusuk dan tampak seperti selai. Terdapat anggapan bahawa tanaman pepaya itu mudah. Jika penanaman hanya untuk kebutuhan sendiri, memang demikian. Namun, saat dikebunkan secara komersial, penyakit dumping off dan kapang daun di pembibitan menjadi masalah yang serius.

Dumping off timbul kerana aerasi jelek atau kelembapan tinggi.Pemakaian pupuk kandang belum matang memicu munculnya penyakit ini. Di dataran tinggi, Phythium aphanidermatum tidak aktif. Peranannya diambil alih oleh Rhizoctonia dengan gejala serangan sama. Rebah batang dapat dihindari dengan memakai media semai steril. Sterilisasi dilakukan dengan medium suap air panas atau pemberian Basamid atau formalin 4% selama 24 jam.

b. Penyebab penyakit

Penyakit ini disebabkan oleh patogen Phytophthora palmivora. Dahulu patogen ini sering disebut sebagai Ph. Faberi Maubl atau Ph. Theobromae. Patogen ini mudah dibiakkan. Patogen mempunyai banyak sporangium besar dalam karangan simpodial, mempunyai papil terminal yang menonjol. Setelah masak sporangium lepas dari sporangiofornya beserta dengan pedisel (tangkai) yang pendek.

c. Daur penyakit

Patogen ini merupakan patogen tular tanah dan dapat bertahan lama di dalam tanah yang mengandung banyak bahan organik. Selain itu, dapat menginfeksi berbagai tumbuhan inang, Patogen ini menyebar dengan bantuan air yang mengalir dia atas permukaan tanah. Diduga penyakit dapat menyebar dengan perantaraan sporangium yang terdapat pada permukaan buah yang terinfeksi.

d. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit

Penyakit ini umumnya dapat berkembang baik pada lingkungan yang sesuai. Kerugian besar dapat terjadi pada keadaan tanah yang basah, khususnya jika air mengalir di permukaan tanah. Selain itu suhu udara juga sangat membantu dalam perkembangan penyakit. Penyakit ini berkembang optimal pada suhu udara 20-30C. Infeksi lebih banyak terjadi pada akar yang luka. Selain itu juga pada buah mtang yang lebih rentan terhadap penyakit ini. Penyakit rebah kecambah yang sering menyerang persemaian terjadi pada suhu dan kelembaban yang tinggi. Penyakit dibantu oleh tanah yang basah, drainase, dan aerasi tanah yang buruk, penanaman biji terlalu dalam, dan jarak tanam yang terlalu rapat (Alfaeez 1987)

e. Pengelolaan

Dalam pengelolaan penyakit ini dapat dilakukan dengan cara adanya drainase yang baik, mencegah penularan pada tanaman lain dengan membongkar dan memusnahkan bagian tanaman agar tidak menjadi sumber inokulum, selain itu diadakan rotasi dengan tanaman lain. Untuk pengendalian di persemaian dilakukan dengan cara menjaga pola pembibitan sehingga drainase dan aerasinya baik

Gambar 4 Buah pepaya terserang P. palmivora (kiri) dan mikroskopik patogen penyebab busuk akar dan pangkal batang.

5. Bercak Cincin

a. Gejala

Penyakit ini umumnya menyebabkan daun menjadi belang dan terjadi malformasi daun. Jika menyerang buah umumnya buah bergejala terdapat cincin-cincin dan bercak-bercak. Pada tangkai daun terdapat garis-garis hijau tua dengan tangkai yang pendek, sehingga hal ini tentunya akan mempengaruhi produksi buah sehingga sangat membatasi potensi untuk produksi komersial. Pertama gejala muncul sebagai menguning dan urat-kliring daun muda. Bintik-bintik kuning yang menonjol dari daun. Satu atau lebih lobus daun terinfeksi dapat menjadi sangat terdistorsi dan sempit dan garis-garis hijau gelap dapat mengembangkan pada petioles dan batang.

b. Penyebab penyakit

Penyakit ini disebabkan oleh virus bercak cincin papaya Papaya ringspot virus (PRV). Virus ini berbentuk batang lentur dengan panjang 800nm dan garis tengah 12nm. Dalam sel tanaman sakit umumnya terdapat sel khusus berbentuk cakra (pinwhell inclusion).

c. Daur penyakit

Virus ini mudah ditularkan secara mekanis dengan menggunakan sap tanaman. Virus tidak terbawa oleh biji. Sampai saat ini beberapa kutu daun dilaporkan menjadi penular virus secara non persisten terutama Myzus persicae.

d. Pengelolaan

Sampai saat ini pengelolaan menggunakan kimiawi karena sangat susah untuk mengendalikan penyakit di lapang. Untuk penanggulangan yang pernah dicoba yaitu menggunakan cara proteksi silang yaitu dengan menulari semai papaya dengan virus bercak cincin papaya yang telah dilemahkan. Selain itu dihindari penanaman tanaman suku Cucurbitaceae di sekitar kebun papaya. Pertumbuhan tanaman yang terinfeksi menunjukkan penurunan. Dampak lain adalah penurunan berbuah, dan kualitas (terutama rasa). Pepaya ringspot virus dapat ditularkan secara mekanis dan okulasi. Namun, transmisi Aphid adalah mekanisme yang paling penting untuk menyebarkan penyakit di lapangan.

Sampai saat ini, sedikit yang bisa dilakukan untuk secara efektif mengendalikan penyakit ini. Upaya untuk mengurangi tingkat penyakit dengan menerapkan Aphicides (insektisida) belum berhasil. Budidaya papaya yang baik seperti mengisolasi tanaman terinfeksi dan mengisolasi secara fisik kebun Namun, sumber-sumber yang baik resistensi lapangan telah diidentifikasi oleh para ilmuwan di Homestead Tropis Pusat Penelitian dan Pendidikan, dengan potensi untuk varietas unggul.

Gambar 5 Gejala malformasi oleh virus bercak cincin papaya

Kesimpulan

Memanglah tidak dapat dinafikan bahawa kehadiran hama dan penyakit pada tumbuh-tumbuhan jelas membawa kerugian kepda para pengusaha tanaman tumbuhan. Ditambah adanya gangguan tersebut juga akan membawa kemudaratan kepada kesehatan manusia jika termakan tumbuhan yang berpenyakit tersebut. Oleh karena itu, langkah-langkah pengendalian dan pencegahan yang sewajarnya haruslah dilaksana dan dipatuhi .

Daftar Pustaka

Alvarez AM, Nishijima WT. 1987. Post harvest disease of papaya. Plant Disease71:681-686

Lim TK, Tang SC. 1984. Anthracnose and some local fruit trees. Seminar Nasional buah-buahan Malaysia. UPM. Malaysia

Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gajah Mada Univ Pr